II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Ikan nila merah pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1981 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Bogor. Ikan nila merah mulai banyak dipelihara luas di berbagai daerah sejak dilakukannya penelitian intensif pada tahun 1981. Ikan nila merah (Oreochromis sp.) merupakan hasil hibridisasi antara ikan nila O. mozambicus dengan ikan nila O. niloticus. Ikan nila merah tergolong dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Acanthoptherygii, ordo Percomorphi, famili Cichlidae, dan genus Oreochromis (Durant, 1995). Ikan ini memiliki sifat biologis yang menguntungkan diantaranya yaitu dapat memanfaatkan berbagai macam pakan alami dan memiliki pertumbuhan yang cepat. Pada ikan ini terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan antara ikan jantan dengan ikan betina. Ikan nila jantan memiliki pertumbuhan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan betina Selain itu, ikan nila merah memilki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk (Popma dan Masser, 1999). Bentuk ikan nila merah adalah pipih secara lateral dengan sirip punggung yang panjang dan bagian depan sirip punggung sangat tajam. Ikan ini termasuk kelompok mouth breeder dimana telur dibuahi pada substrat yang kemudian dengan segera diambil oleh induk betina untuk diinkubasi hingga beberapa hari setelah menetas di dalam mulutnya. Ikan nila merah jantan memiliki dua lubang kecil dan sempit di bawah perutnya yaitu anus dan urogenital, sedangkan ikan nila merah betina memiliki tiga lubang yaitu anus, lubang genital, dan muara ureter. Anus dapat mudah dibedakan karena bentuknya bundar (Djariah, 1996). Gambar 1. Perbedaan ikan nila jantan (kiri) dan betina (kanan). 2.2 Determinasi dan Diferensiasi Seks Determinasi seks digunakan untuk menggambarkan proses genetik dan lingkungan serta variabel-variabel yang mempengaruhi diferensiasi seks atau disebut juga pengendali primer yang mempengaruhi keadaan diferensiasi seks (Devlin dan Nagahama, 2002). Menurut Yatim (1986), jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor lingkungan dan genetik yaitu kromosom seks atau gonosom. Secara genetik, jenis kelamin suatu individu sudah ditetapkan pada waktu terjadinya pembuahan (Matty, 1985). Pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam keadaan indiferen, yaitu keadaan dimana bakat-bakat untuk menjadi jantan atau betina dalam bentuk rudimeter dan semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah aspek jantan atau betina (Toelihere, 1981). Namun gonad ikan yang baru menetas belum terdeferensiasi menjadi jantan atau betina (Junior, 2002). Apabila faktor jantan lebih dominan dari faktor betina maka zigot akan berkembang menjadi jantan, demikian sebaliknya (Yamamoto, 1969). Proses determinasi dan diferensiasi seks pada ikan sangat labil dan memungkinkan untuk dimanipulasi secara ploidi, menggunakan hormon, kejutan suhu, dan faktor lingkungan lain (Pandian dan Sheela, 1995). Diferensiasi seks adalah proses perkembangan gonad setelah seks dideterminasikan (Devlin dan Nagahama, 2002). Diferensiasi seks adalah proses perkembangan gonad ikan menjadi jaringan yang defintif. Proses ini terdiri dari serangkaian kejadian yang memungkinkan genotipe seks terekspresi menjadi fenotipe seks. Proses diferensiasi sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Pada kondisi normal tanpa adanya gangguan, perkembangan gonad akan terjadi secara normal. Akan tetapi, apabila ada intervensi dari luar dengan bahan tertentu seperti hormon, maka perkembangan gonad dapat berlangsung berlawanan dari yang seharusnya (Junior, 2002). Pengarahan kelamin menjadi jantan atau betina fungsional dapat dilakukan pada saat gonad belum berkembang atau pada masa indiferen (Matty, 1985). Masa diferensiasi kelamin ikan nila merah berlangsung sampai dengan umur 30 hari setelah menetas (Kwon et al., 2000). 2.3 Sex Reversal dan Metiltestosteron Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan secara genetik menjadi ikan betina secara fenotipe atau sebaliknya (Junior, 2002). Sex reversal bisa dilakukan karena pada waktu menetas gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina. Dengan teknik sex reversal, fenotipe ikan dapat berubah, tetapi genotipenya tidak berubah (Junior, 2002). Tujuan utama dari penerapan teknik sex reversal adalah menghasilkan populasi monoseks (tunggal kelamin). Dengan membudidayakan ikan monoseks akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (teknik pemurnian ras ikan). Beberapa jenis ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias, telah berhasil diproduksi dengan teknologi sex reversal (Junior, 2002). Androgen yang paling umum yang digunakan dalam aplikasi sex reversal untuk maskulinisasi adalah 17α-metiltestosteron (MT) yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji (Devlin dan Nagahama, 2002). 17α-metiltestosteron merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk merubah jenis kelamin dan penggunaan hormon ini pada dosis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula (Nagy, 1981). 17αmetiltestosteron merupakan hormon sintetik yang molekulnya sudah dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada karbon ke 17 telah ditempeli gugus metil agar tahan lama (Junior, 2002). 2.4 Aromatase dan Aromatase Inhibitor Aromatase adalah enzim kritis untuk biosintesis estradiol-17β dari testosteron (Nakamura, 2000). Menurut Brodie (1991) aromatase pada otak beberapa spesies dapat berperan mengontrol diferensiasi seks. Piferrer et al. (1994), menjelaskan bahwa pemberian hormon sintesis dan alami atau AI dapat mempengaruhi diferensiasi seks pada spesies gonokhoris dan menyebabkan sex reversal dan atau interseks. AI bekerja dengan cara menghambat produksi estradiol-17β dan peningkatan jumlah secara prematur pada plasma 17, 20 β-P ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch) jantan dewasa (Afonso et al., 2000). Secara umum aromatase inhibitor menghambat aromatase melalui dua cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi dari gen-gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al., 1999) atau melalui cara bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Penghambatan ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever, et al., 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen mengakibatkan terjadinya perubahan penampakan hormonal dari betina menjadi menyerupai jantan atau dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis et al., 1999). Aktivitas aromatase terletak di dalam otak yang berpengaruh terhadap pengendalian tingkah laku serta terjadi pada ovari yang berpengaruh tehadap maturasi folikel dan tingkat ovulasi (Silverine et al., 2000). Tabel 1. Penelitian sebelumnya tentang sex reversal pada ikan nila dengan aromatase inhibitor jenis imidazole. Peneliti Jenis Nurlaela (2002) Ikan nila merah Suhanti (2003) Ikan nila merah Astutik (2004) Ikan nila merah Barmudi (2005) Ikan nila merah Lukman (2005) Ikan nila gift Liana (2005) Ikan nila merah Tasdiq (2005) Ikan nila merah Ukuran Embrio fase bintik mata Larva umur 9-13 hari Larva umur 9 hari Larva umur 9-13 hari Larva umur 9-14 hari Larva umur 9-13 hari Larva umur 9-13 hari Sistem Budidaya Dosis Optimum Waktu Metode Suhu Pemeliharaan % Jantan Hapa 20 mg/l 10 jam Perendaman telur 27oC 82,22 % Hapa 500 mg/kg pakan 4 hari Pakan buatan 25-27 oC 74 % Hapa 20 mg/l 10 jam Perendaman larva 25 oC 59,51 % Akuarium 1500 mg/kg pakan 4 hari Pakan buatan 27-30 oC 73,09 % Hapa 1500 mg/l 5 hari Perendaman Daphnia 24-27 oC 74,54 % Akuarium 1500 mg/kg pakan 4 hari Pakan buatan 26,5-28,5 oC 78,63 % Akuarium 1500 mg/l 4 hari Perendaman Artemia 24-30 oC 70,4 % Aktivitas aromatase berkorelasi dengan struktur gonad. Aktivitas aromatase larva akan mengarah pada pembentukan testis, sedangkan aktivitas yang tinggi akan mengarah pada pembentukan ovari (Scholz dan Gutzeit, 2000). Menurut Wozniak (1992), terdapat dua jenis aromatase inhibitor, yaitu aromatase inhibitor steroid dan aromatase inhibitor non steroid. Contoh dari aromatase inhibitor steroid adalah 1,4,6-androstatrien-3,17-dione (ATD) dan 4hidroxy-androstenedione (4-OH-A), sedangkan aromatase inhibitor non steroid diantaranya imidazole (Hutchinson, 1993) dan fadrozole (Afonso, 2000). Aromatase inhibitor non steroid lebih efektif dalam menghambat aktivitas aromatase dibandingkan dengan aromatase inhibitor steroid (ATD atau 4-OH-A). Imidazole memiliki nama lain seperti 1,3-diaza-2,4-cyclopentadiene, 1,3diazole, dan glyoxalin dengan formula kimia C3H4N2. Imidazole memiliki bentuk berupa bubuk kristal berwarna putih kekuningan dengan titik didih dan titik leleh pada suhu 256oC dan 89-91oC. Imidazole memiliki sifat kelarutan air lebih dari 10% dan tidak bersifat karsinogenik (Anonim, 2006). 2.5 Kualitas Air Ikan nila merah lebih memiliki toleransi yang tinggi bila dibandingkan dengan ikan-ikan air tawar pada umumnya terhadap salinitas yang tinggi, suhu yang tinggi, DO yang rendah dan konsentrasi amonia yang tinggi (Popma dan Masser, 1999). Tabel 2. Kisaran kualitas air media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) (Lin, 1995). Parameter Suhu : -Lethal -Optimal DO : -Lethal -Optimal pH : -Lethal -Optimal NH3 : -Lethal -Stres Satuan Nilai <16 ; >42 25-30 <0,5 >2 <4 ;>11 6,5-8 >0,6 0,4 o C mg/l mg/l Menurut D’Cotta et al. (2001), faktor lingkungan seperti suhu juga ikut mempengaruhi proses diferensiasi kelamin, meningkatkan persentase ikan jantan. dimana suhu tinggi dapat