Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Saat ini semakin banyak masyarakat dunia khususnya Indonesia yang menggunakan internet sebagai media komunikasi dengan orang lain. Kegiatan berkomunikasi melalui media internet pun dipermudah dengan adanya media sosial. Media sosial menurut Ward (2012) adalah sebuah kategori dari media online dimana orang berbicara, berpartisipasi, berbagi, memiliki jaringan dan bookmark secara online. Indonesia memiliki banyak wadah di dunia maya yang berfungsi untuk berinteraksi dengan orang lain, biasa disebut dengan jejaring sosial. Kementerian Komunikasi dan Informatika (2013) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95% menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Pengguna Twitter, berdasarkan data PT Bakrie Telecom pada tahun 2013, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global. Twitter menjadi salah satu jejaring sosial paling besar di dunia sehingga mampu meraup keuntungan mencapai USD 145 juta. Selain Twitter, jejaring sosial lain yang dikenal di Indonesia adalah Path dengan jumlah pengguna 700.000 pengguna, Line sebesar 10 juta pengguna, Google+ 3,4 juta pengguna dan Linkedlin 1 juta pengguna (Kemenkominfo,2013). Duggan dan Smith (2013) menuliskan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 31% dari total pengguna internet yang berusia 18–24 tahun tercatat menggunakan Twitter. Usia 18–24 tahun menurut Arnett (2000) tergolong dalam masa perkembangan emerging adult, dimana tahapan ini berada di tengah-tengah antara remaja dan dewasa atau merupakan masa transisi. Sebuah penelitian dari Charles Sturt University, Masons, New South Wales, Australia, menemukan bahwa wanita usia 20-25 tahun yang sering membuat status di media sosial adalah mereka yang kesepian. Dalam sebuah penelitian berjudul "Selfdisclosure on Facebook Among Female Users and Its Relationship to Feelings of Loneliness", peneliti tersebut ingin menekankan betapa sulitnya menjadi manusia dalam kehidupan sosial. Di tengah keramaian dan aktivitas, ternyata masih ada orang yang merasa kesepian. Akhirnya, Facebook menjadi media untuk mengeluarkan keluh-kesah. Mereka melakukan pemantauan pada 616 wanita di Facebook untuk beberapa waktu. Dari pemantauan tersebut, mereka menemukan bahwa semakin banyak status yang dibagikan, maka wanita itu sebenarnya semakin kesepian, mereka berpikir di luar sana ada seseorang yang akan menyukai mereka dari status tersebut. Di Indonesia terdapat fenomena seorang wanita usia 20 tahun yang kesepian berkenalan dengan seorang pria di Facebook. Pria tersebut meminta wanita itu untuk mengirimkan foto tanpa memakai busana, dan wanita itupun mengirimkannya. Kemudian suatu saat, pria itu meminta kembali wanita itu untuk mengirimkan foto tanpa busana lagi tapi wanita itu menolaknya. Karena pria itu dendam, akhirnya ia unggah foto tanpa busana wanita itu ke situs jejaring sosial dan membuat wanita itu malu dan stress. Tidak lama setelah itu, wanita itu bunuh diri (GoGirl!, 2014). Menurut Morahan-Martin dan Schumacher (2003) orang-orang pada usia 20 tahun yang kesepian biasanya lebih sering mencari teman melalui internet daripada bertatap muka secara langsung. Maka dari itu Facebook mereka gunakan sebagai media mencari teman agar mereka tidak kesepian. Kesepian definisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan jenis hubungan sosial yang dimiliki (Perlman dan Peplau dalam Taylor, Peplau & Sears, 2012). Dari hasil penelitian Kim, LaRose, dan Peng (2009) didapatkan hasil bahwa individu yang kesepian dapat menjadi kompulsif terhadap perilaku penggunaan internet dan akan berdampak negatif dalam fungsi kesehariannya seperti kegiatan di sekolah atau di tempat kerja. Fenomena-fenomena yang dijabarkan di atas dialami oleh pengguna situs jejaring sosial pada usia 18-24 tahun yang sedang berada dalam tahapan emerging adult atau pada tahap transisi menuju dewasa. Masa transisi selalu memberikan berbagai macam dampak perubahan baik perubahan perilaku secara eksternal juga perubahan psikologis secara internal (Cowan,1991). Teori perkembangan yang paling modern mengenai transisi menuju kedewasaan telah dikemukakan oleh Erik Erikson dan ia juga menulis aspek yang menjadi dasar adalah isolation dan intimacy . Intimacy adalah kemampuan seseorang untuk membuat komitmen secara mendalam dengan orang lain sedangkan isolation adalah ketidakmampuan seseorang untuk membentuk hubungan secara mendalam kepada orang lain. Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) menambahkan bahwa intimacy terbentuk melalui proses kelekatan (attachment), yang merupakan ikatan emosional yang dialami oleh anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu, dimana anak menginginkan kedekatan dengan figur tersebut dalam situasi-situasi tertentu seperti ketika ketakutan dan kelelahan. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa intimacy merupakan perwujudan dari attachment pada masa dewasa muda. Attachment didefinisikan sebagai suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk melanjutkan hubungan tersebut menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Brennan, Clark, Shaver, Fraley dan Waller (dalam Collins dan Feeney, 2004) mengemukakan bahwa ketiga adult attachment memiliki dua dimensi orthogonal yaitu anxiety dan avoidance. Adult attachment anxiety merupakan perasaan tentang keberhargaan dirinya (self-worth) berkaitan dengan seberapa tinggi individu merasa khawatir bahwa ia akan ditolak, ditinggalkan atau tidak dicintai oleh figure attachment atau significant others. Attachment avoidance berkaitan dengan seberapa jauh individu membatasi intimasi dan ketergantungan pada orang lain. Attachment awal memfasilitasi kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif (Geddes, 2007). Geddes (2007) menambahkan bahwa cara datang untuk berkomunikasi dan berintegrasi dibentuk oleh pengalaman awal dalam berhubungan dimana mulai belajar tentang memahami dunia. Menurut Geddes (2007), interaksi memiliki pengaruh dalam pembentukan attachment. Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi dapat terjadi tidak hanya bertatap muka secara langsung melainkan dapat terjadi melalui media sosial di internet. Debernardi (2012) mengungkapkan bahwa orang dengan attachment anxiety dan avoidance cenderung memilih untuk berkomunikasi melalui online. Lalu dari hasil studi Wei, Vogel, Ku dan Zakalik (2005) yang mengungkapkan bahwa attachment anxiety dan avoidance berkorelasi dengan kesepian. Lalu penelitian dari Bernardon, Babb, Larson dan Gragg (2011) mengungkapkan bahwa anxiety dan avoidance berkorelasi signifikan dengan kesepian. Morahan-Martin dan Schumacher (2003) mengungkapkan bahwa orang-orang rata-rata usia 20 tahun yang kesepian akan menggunakan internet lebih banyak dari orang yang tidak kesepian. Dari penelitian-penelitian di atas disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara adult attachment dengan kesepian, kemudian orang-orang yang kesepian itu cenderung memilih berkomunikasi secara online daripada bertatap muka. Melalui uraian-uraian di atas, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melihat kaitan antara adult attachment dengan kesepian pada emerging adult pengguna situs jejaring sosial di Jakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa penelitian sebelumnya meneliti kaitan antara adult attachment dengan kesepian yang terjadi pada kalangan mahasiswa di Amerika, sedangkan penelitian ini ingin meneliti mengenai hubungan antara adult attachment dengan kesepian pada emerging adulthood yang menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Path di Jakarta. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara adult attachment dengan kesepian pada emerging adulthood pengguna situs jejaring sosial di Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan kejelasan mengenai ada tidaknya hubungan antara adult attachment dengan kesepian pada emerging adult pengguna situs jejaring sosial di Jakarta. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, maka diharapkan penelitian ini mampu memberi manfaat kepada peneliti dan pembaca. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat memperkaya dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan psikologi. Kemudian diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.