Kebijakan Pivot Asia Pemerintahan Obama Pendahuluan Pada penghujung tahun 2011 Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton memperkenalkan kebijakan Pivot Asia atau 'rebalancing Asia'. Pivot Asia bertumpu pada perubahan fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari kawasan trans-atlantik dan timur tengah ke kawasan Asia-Pasifik. Perubahan orientasi ini didorong oleh meningkatnya dinamika hubungan antara negara-negara di AsiaPasifik akibat peningkatan kemampuan ekonomi dan militer. Dan kebijakan Pivot Asia diambil untuk mempertahankan kepemimpinan, mengamankan kepentingan, dan mengembangkan nilai-nilai Amerika di kawasan Samudera Pasifik (Clinton 2011). Salah satu cara untuk mencapai Pivot Asia adalah penguatan kerjasama aliansi bilateral dan peningkatan kehadiran militer di kawasan. Penguatan kerjasama didasarkan pada kebutuhan bersama antara negara aliansi untuk mencapai keamanan bersama. China dianggap sebagai sumber ancaman karena berbagai hal, mulai dari masalah persengketaan wilayah, budget militer yang tidak transparan, hingga modernisasi militer yang mulai menunjukkan superioritas terhadap militer negara lain. Meningkatkan kehadiran militer menjadi penting karena akan memastikan China tidak akan melakukan tindakan asertif yang dapat memicu konflik terbuka. 1 Hingga tahun 2014 Amerika Serikat telah memiliki kerjasama keamanan strategis dengan beberapa negara, yaitu Jepang, Korea Selatan, Filipina, Singapura, dan Australia. Selain perjanjian keamanan, Amerika Serikat telah memiliki sekitar 325.000 tentara di seluruh kawasan Pasifik, di Jepang 40.000 tentara, Korea Selatan 28.500 tentara, Hawaii 40.000 tentara, Australia 2.500 tentara, dan Guam 5.000 tentara. Pada tahun 2015 Hawaii akan mendapatkan tambahan 2.700 tentara dan pangkalan logistik angkatan laut di Singapura akan diaktifkan (Center for Strategic and International Studies 2012, p.48). Mengintegrasikan penataan kembali postur pertahanan dengan usaha untuk meingkatkan perekonomian menjadi bagian penting dari kebijakan Pivot Asia. Sejak Perang Dunia 2 Amerika Serikat telah berhasil menjamin kebebasan navigasi di Pasifik yang mendorong peningkatan perdagangan di kawasan (Clinton 2011). Memastikan keamanan dan kebebasan navigasi akan membantu pertumbuhan ekonomi kawasan. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibukanya pangkalan militer angkatan laut di Singapura yang memiliki posisi strategis dalam jalur perdagangan Selat Malaka. Bank Dunia memproyeksikan kawasan Asia-Pasifik akan berkontribusi sebesar 40% pertumbuhan ekonomi global dan meingkat menjadi 50% dalam dua dekade kedepan. Peningkatan pesat ekonomi tersebut akan melahirkan ratusan juta kelas menengah baru yang memiliki kemampuan dan kebutuhan untuk melakukan 2 konsumsi dalam skala besar (Marciel 2013). Ini adalah sebuah kesempatan besar karena kelesuan ekonomi akibat rendahnya permintaan domestik dapat ditutupi melalui permintaan dari kawasan Asia-Pasifik. Perubahan orientasi politik ke kawasan Asia-Pasifik tidak dapat dilihat hanya karena terdapat ancaman dari China ataupun potensi ekonominya yang tinggi. Menurut penulis terdapat faktor-faktor pendorong lain pengambilan kebijakan Pivot Asia oleh pemerintahan Obama. Oleh karena itu, karya ini akan berusaha untuk menjawab pertanyaan, "Mengapa pemerintahan Obama mengambil kebijakan Pivot Asia?". Dalam menjawab rumusan masalah, penulis akan menggunakan teori dynamic differentials oleh Dale C. Copeland sebagai landasan konseptual untuk menjelaskan bahwa kemunduran yang dialami oleh Amerika Serikat adalah faktor pendorong utama pengambilan kebijakan Pivot Asia. Argumen utama dari teori ini adalah negara yang sedang mengalami kemunduran memiliki rasa takut atas kepastian eksistensinya dimasa depan, -states in decline fear the future. Untuk melihat kemunduran yang dialami oleh Amerika Serikat, penulis menggunakan salah satu dari bentuk kemunduran yang menurut Copeland paling sering dibahas, "entrenched relative stagnation" -stagnansi relatif (p,5). Kemunduran ini ditandai dengan kemerosotan relatif basis sosial, ekonomi, dan teknologi terhadap negara lain. Salah satu tanda umumnya adalah dimana warga negara tersebut lebih fokus melakukan konsumsi dibandingkan investasi untuk 3 kegiatan produksi di masa depan. Negara yang mengalami stagnansi akan berjuang untuk melakukan reformasi internal. Semakin sulit untuk melakukan reformasi internal akan mendorong pemimpin negara tersebut untuk berpikir bahwa kemunduran telah terjadi begitu dalam dan tidak dapat lagi dihindarkan. Maka pemimpin negara tersebut akan mempertimbangkan untuk melakukan perang preventif ataupun kebijakan beresiko dengan memulai krisis -risky crisis policy. Ketakutan atas kemunduran yang terjadi mendorong pemerintah Obama untuk mengambil kebijakan Pivot Asia sebagai jalan untuk melakukan koreksi internal, mendapatkan konsesi melalui tindakan koersif, dan persiapan untuk perang di masa depan. Untuk menganalisa kemunduran Amerika Serikat, penulis akan melihat dari kemunduran ekonomi dan keamanan. Kemunduran relatif ekonomi akan melihat dari kemampuan Amerika Serikat untuk memiliki pertumbuhan jangka panjang. Kemunduran relatif keamanan akan difokuskan pada keadaan militer Amerika Serikat dan situasi keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Selanjutnya penulis akan menganalisa dan menjabarkan pengejewantahan kebijakan Pivot Asia dalam usaha untuk mengatasi kemunduran yang terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Dan terakhir adalah kesimpulan tentang hubungan kemunduran yang dialami Amerika Serikat dan kebijakan Pivot Asia. 4