BAB II TINJAUAN UMUM TETANG PERJANJIAN JUAL BELI

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TETANG PERJANJIAN JUAL BELI ANGSURAN,
WANPRESTASI, SERTA LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
2.1. Perjanjian Jual Beli Angsuran
2.1.1. Pengertian Perjanjian
Sebelum membahas pengertian jual beli secara angsuran, ada baiknya
mengetahui pengertian perjanjian secara umum terlebih dahulu. Perjanjian adalah
hal yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua orang pernah
melakukan perjanjian baik dalam bentuk yang formal maupun dalam bentuk yang
sederhana sekalipun. Namun kadang-kadang apa yang menjadi pengertian dari
perjanjian itu sendiri kurang dipahami secara benar, terlebih perjanjian dalam
pengertian yuridis. Mengenai pengertian perjanjian pada umumnya, ada berbagai
macam pendapat di kalangan para ahli hukum, dimana masing-masing
menggunakan pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pengertian
tersebut perlu pula diketahui agar tidak terjadi kesalahpahaman didalam
penafsirannya. Perbedaan pendapat dikalangan para ahli hukum adalah wajar
karena adanya perbedaan latar belakang pola berpikir ataupun pandangan hidup
yang dianutnya.
Menurut Subekti, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.” 1
Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian merupakan perbuatan hukum,
perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau
1
Subekti II, op.cit., h.1
lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh
perbuatan orang atau orang-orang itu.2
Dalam pasal 1313 KUHPerdata bahwa suatu “persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih.” Dari definisi perjanjian tersebut, maka hukum perjanjian yang
didalamnya termasuk perjanjian jual beli masuk bagian hukum perdata,
merupakan sendi yang sangat penting oleh karena di dalam hukum perdata banyak
mengandung peraturan hukum yang berdasarkan janji seseorang.
Adapun bentuk-bentuk dari perjanjian, antara lain:
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
b. Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak
lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi
mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada
pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan
perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).
c. Perjanjian
kebendaan
adalah
perjanjian
dengan
mana
seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut
kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian
2
h.47
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung,
kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian
jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara.
d. Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk menngadakan perikatan.
Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan
mengikat.3
2.1.2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli
“Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.” 4
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan satu persatu mengenai keempat
syarat untuk sahnya suatu perjanjian jual beli, yaitu sebagai berikut:
ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Yang dimaksud adalah bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
sepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
3
Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.66
4
Subekti II, op.cit., h.17
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian
persetujuan disini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.
Persetujuan kehendak sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela
pihak-pihak, tidak ada paksaaan sama sekali dari pihak manapun. Biasanya ada pihakpihak, yang mengadakan perundingan atau negosiasi, yaitu pihak yang satu
memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya.
Sebaliknya pihak yang lain menyatakan kehendaknya itu, sehingga tercapailah
persetujuan yang mantap. Kadang-kadang kehendak itu dapat dinyatakan secara tegas dan
kadang-kadang ada pula secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang
dikehendaki pihak lain itu.
ad.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
umumnya, setiap orang yang sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau
sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun dan sehat pikirannya dikatakan cakap
melakukan perbuatan hukum. Menurut ketentuan pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang
belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Selain kecakapan ada lagi yang disebut dengan kewenangan melakukan perbuatan
hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan apabila ia
mendapat kasus dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal
ini membuat perjanjian, dan dikatakan tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat
kuasa untuk itu.
Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian ialah
bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.
Jika pembatalannya itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka
perjanjian tetap berlaku bagi pihak-pihak.
ad.3. Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan suatu pokok perjanjian, merupakan prestasi yang
perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan obyek perjanjian. Apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan
asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus sudah tertentu atau dapat
ditentukan gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika
timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila prestasi itu kabur, sehingga
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat
tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum.
ad.4. Suatu sebab yang halal
Kata Causa berasal dari bahasa Latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang
menyebabkan orang membuat perjanjian, dan yang mendorong orang membuat
perjanjian. Namun bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dengan sebab yang
halal. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak
diperdulikan oleh Undang-Undang. Yang diperhatikan oleh hukum atau Undang-Undang
hanyalah tindakan orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksudkan dengan sebab atau
causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Tidak dipenuhinya
salah satu syarat tersebut dapat berakibat hukum dapat dibatalkannya perjanjian.
Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Tidak
dipenuhinya salah satu syarat obyektif dapat menimbulkan akibat hukum batalnya
perjanjian. Akibat hukum perjanjian yang sah menurut Pasal 1338 KUHPerdata
adalah:
1.
Berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak artinya pihak-pihak
harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati Undang-Undang. Jika
ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dianggap sama dengan
melanggar Undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi
hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat
hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.
2.
Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak artinya perjanjian yang telah
dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh
ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik
kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lain.
Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut UndangUndang, perjanjuan dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
3.
Pelaksanaan dengan itikad baik artinya pelaksanaan itu harus berjalan
dengan
mengindahkan
norma-norma
kepatuhan
dan
kesusilaan.
Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan
itulah yang dipandang adil.
2.1.3. Azas-azas Perjanjian
Seseorang
akan
melakukan
suatu
perjanjian
di
samping
harus
mengindahkan ketentuan-ketentuan yang ada, pada pihak lain juga harus
memperhatikan azas-azas yang ada dalam hukum perjanjian. Azas-azas tersebut
antara lain :
1.
Azas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia. Azas kebebasan berkontrak (Freedom of Making
Contact) mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa
saja walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Azas kebebasan
berkontrak dibatasi oleh tiga hal,yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak
bertentangan dengan kessilaan, dan tidak bertentangan dengan kepentingan
umum. Dari adanya ketentuan umum tentang sahnya suatu perjanjian dapat
disimpulkan bahwa pembuat Undang-Undang pada asasnya memang mengakui
kemungkinan adanya perjanjian-perjanjian yang lain dari yang sudah di sebutkan
dalam perjanjian khusus dan ini membuktikan berlakunya asas kebebasan
berkontrak.5
2.
Azas Konsensualisme
Azas Konsensualisme berarti perjanjian itu terjadi atau ada sejak saat
tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain bahwa perjanjian
itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat
antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.
Hukum
perjanjian
berlaku
suatu
asas,
yang
dinamakan
asas
Konsensualisme. Kata ini berasal dari bahasa Latin, yaitu Consensus yang berarti
5
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Penerbit Alumni,
Bandung, h.36
sepakat. Asas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian
diisyaratkan adanya kesepakatan dan ini memang sudah semestinya. Suatu
perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau
bersepakat mengenai sesuatu hal.
Arti dari “Asas Konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan.” Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat
mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.6 Dari
pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata mengatakan bahwa semua persetujuan yang
dibentuk menurut Undang-Undang mempunyai kekuatan seperti Undang-undang
bagi para pihak, dengan kata lain bahwa suatu persetujuan pada hakekatnya sudah
dianggap terjadi dengan adanya persetujuan belaka (konsensus) dari kedua belah
pihak. 7
3.
Azas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain bukan memegang
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa ada
kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan tersebut, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.
6
Subekti II, op.cit., h. 15
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-azas Hukum Perjanjian, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II), h. 164
7
4.
Azas Kekuatan Mengikat
Azas kekuatan mengikat atau sering juga di sebut sebagai azas pacta sun
servanda dapat di sebutkan dari bunyi pasal 1338 ayat 1 KHUPerdata sebagai
berikut: "Semua persetujuan yang di buat secara sah berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang membuatnya."
Konsekuensi dari azas ini bahwa sejak dipenuhinya
syarat sahnya
perjanjian, maka sejak itu pula perjanjian mengikat bagi para pihak. Mengikat
Sebagai Undang-Undang berarti perlanggaran terhadap perjanjian tersebut
berakibat hukum sama dengan melanggar Undang-Undang. Maksud dari azas ini
adalah memberikan kapastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian
tersebut.
5.
Azas persamaan Hukum
Azas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan walaupun ada yaitu seperti perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masin-masing pihak dalam mebuat perjanjian
wajib melihat adanya persamaan tersebut dan juga mengharuskan kedua belah
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
6.
Azas Keseimbangan
Azas ini menghendaki agar kedua pihak dapat memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang disepakatinya. Azas ini merupakan kelanjutan dari azas
persamaan. Berdasarkan azas keseimbangan, kedudukan kreditur yang kuat
diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
7.
Azas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian
hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai UndangUndang bagi para pihak.
8.
Azas Moral
Azas ini terlihat dalam perikatan wajar, diana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari
pihak lain. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada
kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nurani.
9. Azas Kepatutan
Azas ini dituangkan dalam pasal 139 KHUPerdata. Azas kepatutan ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui azas ini ukuran
tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
10.Azas Kebiasaan
Azas ini diatur dalam pasal 1449 Jo. 1347 KHUPerdata yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian. Suati perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dana
kebiasaan yang lazim diikuti. 8
2.1.4. Pengertian Perjanjian Jual Beli Angsuran
Salah satu perbuatan hukum yang sering dilakukan di dalam kehidupan
bermasyarakat adalah jual beli. Interaksi antar manusia untuk memenuhi
8
Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit., h. 83
kebutuhan hidupnya dapat diperoleh dari berbagai cara, antara lain melalui
transaksi jual beli.
Kedudukan perjanjian jual beli dalam KUHPerdata telah diatur dalam buku
III tentang Perikatan. Buku III tersebut mengatur tentang perjanjian baik secara
umum maupun secara khusus.
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan”, demikianlah rumusan Pasal 1457
KUHPerdata.9 Berdasarkan pada rumusan yang diberikan, dapat dilihat bahwa
jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau
perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk
penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh
pembeli kepada penjual.
Jual beli tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1458 KUHPerdata yang
menyatakan: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,
seketika setelahnya orang-orang ini telah mencapai sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar.” Sehingga perjanjian diangap sah ketika sudah terjadi
kata sepakat, walaupun belum terjadi peralihan uang dan barang. Hal tersebut
mengartikan bahwa jual beli memiliki sifat konsensualisme.
Di dalam masyarakat, terdapat bentuk jual beli yang berkembang dengan
berbagai variasi, antara lain:
9
h.7
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
a. jual beli dengan contoh (sale by sample);
b. jual beli dengan percobaan (koop op proef);
c. jual beli dengan hak membeli kembali (recht van wederinkoop);
d. jual beli dengan syarat tangguh dan lain-lain. 10
Bentuk-bentuk jual beli tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dalam perbuatan hukum jual beli. Salah
satu bentuk jual beli adalah jual beli dengan pembayaran angsuran. Jual beli
semacam ini merupakan variasi dari bentuk jual beli dengan syarat tangguh. Dan
pembahasan dalam skripsi ini difokuskan pada jual beli mobil bekas
yang
pembayarannya dengan angsuran. Jual beli secara angsuran atau cicilan, dalam
bahasa Inggris disebut dengan Credit Sale atau dalam bahasa Belanda disebut
Koop en Verkoop of afbetaling. Bentuk jual beli semacam ini tidak dilakukan
seperti jual beli pada umumnya, karena cara pembayarannya tidak dilakukan
secara tunai.
Di negara Belanda yang merupakan dimana sistem hukum kita berasal,
lembaga jual beli secara angsuran ini telah diatur dalam ketentuan tersendiri.
Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 1576 sampai 1576x BW Belanda. 11
Pengertian jual beli secara angsuran dinyatakan sebagai berikut :
10
CST. Kansil dsn Christine S.T Kansil, 2000, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asasasas Hukum Perdata), cet. ke-III, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 237.
11
Suryodiningrat RM., 1980, Perikatan-perikatan yang Bersumber Perjanjian, Penerbit
Tarsito, Bandung, hal. 27
Koop en verkoop of Afbetaling is de koop en verkoop, waarbij partijen
overeen komen, dat de kooprijs wordt betaald in termijnen, waarvan twee of
meer verschijnen, nadat de verkochte zaak aan den koper is over gedragen,
al and niet in eigendom.
Terjemahan dalam bahasa Indonesianya adalah sebagai berikut :
Jual beli secara angsuran ialah jual beli dimana para pihak telah
bersepakat bahwa barang akan dibayar secara angsuran setelah barang
diserahkan oleh penjual kepada pembeli, baik dalam hak milik maupun
tidak.12
Bentuk jual beli dengan pembayaran angsuran tidak dikenal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, munculnya lembaga ini disebabkan karena
adanya kebutuhan dalam praktek. Oleh karena itu, dasar hukum dari jual beli
secara angsuran adalah ketentuan-ketentuan hukum perikatan (Verbintenissen
Rechts). Jadi, para pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan
pembayaran angsuran dapat membuat perjanjian atas dasar kesepakatan. Tujuan
dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk mengatur hak-hak dan kewajiban yang
harus
dilakukan
oleh
masing-masing
pihak,
serta
guna
menghindari
kesalahpahaman. Perjanjian seperti ini dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Tapi,
guna keperluan pembuktian, sebaiknya apa yang diperjanjikan oleh para pihak
ditulis dalam suatu akta perjanjian.
Perjanjian jual beli angsuran ini termasuk dalam perjanjian tidak bernama
(In Nominat) karena perjanjian jual beli angsuran tidak diatur dalam KUHPerdata,
12
Ibid.
tetapi karena didasari atas adanya asas kebebasan berkontrak yang mana setiap
orang boleh membuat perjanjian dalam berbagai bentuknya baik yang sudah
diatur dalam KUHPerdata maupun yang belum ada aturannya dalam KUHPerdata
asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Ketertiban Umum dan
Kesusilaan.
2.2. Wanprestasi
2.2.1. Pengertian Wanprestasi
Dalam hukum perdata adanya atau kealpaan si berhutang yang wajib
melakukan sesuatu atau tidak memenuhi menepati kewajibannya yang telah
diperjanjikan lazim dikatakan sebagai wanprestasi. Dewasa ini wanprestasi lebih
dikenal dengan istilah ingkar janji. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda
(wanprestatie) yang artinya tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang
dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undangundang.
Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai
dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari
perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara
kreditur dan debitur.
Menurut
Munir
Fuady,
yang dimaksud wanprestasi adalah tidak
dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh kontrak kepada pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak
yang bersangkutan. 13
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan
suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian, barangkali dalam bahasa Indonesia
dapat
dipakai
istilah
pelaksanaan
janji
untuk
prestasi
dan
ketiadaan
pelaksanaannya janji untuk wanprestasi. 14
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat
macam:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 15
2.2.2. Jenis-jenis Wanprestasi
Dalam wanprestasi dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
1.
Wanprestasi total (total breachts) artinya pelaksanaan kontrak tidak
mungkin dilaksanakan. Yang dimaksud dengan kontrak yang tidak mungkin
dilaksanakan adalah pihak debitur sama sekali tidak bisa atau tidak mampu
melakukan prestasinya yang sudah di tanda tangani pada saat awal
perjanjian yang dibuat dengan pihak kreditur karena terjadi masalah
13
Munir Fuady, loc.cit.
Wirjono Projodikoro I, loc.cit.
15
Subekti II, op.cit., h. 45
14
financial yang terjadi pada pihak debitur, sehingga pihak debitur tidak bisa
melakukan prestasinya sama sekali, dikarenakan meninggal dunia, cacat
fisik total sehingga tidak bisa bekerja lagi seperti halnya buta, lumpuh total,
gangguan jiwa.
2.
Wanprestasi partial (partial breachts) artinya pelaksanaan perjanjian masih
mungkin untuk dilaksanakan. Yang dimaksud dengan pelaksanaan
perjanjian masih mungkin untuk dilakukan adalah berhentinya kewajiban
debitur bersifat sementara dikarenakan debitur berhenti bekerja karena
sesuatu hal tapi tidak dalam kondisi cacat fisik total maka pihak kreditur
bisa memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk memenuhi
prestasinya pada saat debitur sudah memiliki uang atau bekerja kembali
dengan perjanjian tenggang waktu yang sudah disepakati kedua belah pihak
dengan perjanjian baru yang tidak terlepas dengan perjanjian lama yang
mengakibatkan terjadinya kewajiban prestasi pada pihak debitur. Isi dari
perjanjian baru yang menyebutkan pihak debitur wajib memenuhi
kewajiban denda yang timbul akibat prestasi yang tidak bisa dilakukan
sesuai dengan perjanjian awal yang telah disepakati. Apabila dalam
tenggang waktu yang sudah diperjanjikan pihak debitur masih belum bisa
memenuhi prestasinya maka debitur awalnya dikatakan sebagai wanprestasi
partical breachts bisa berubah menjadi wanprestasi total breachts dan pihak
kreditur memiliki hak untuk menyita objek perjanjian. 16
16
Salim H.S. op.cit., h. 98
2.2.3. Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli
Akibat wanprestasi ini akan menimbulkan akibat hukum bagi debitur dan
kerugian bagi kreditur (pihak yang berpiutang), sehingga dapat ditagih atau
digugat melalui Pengadilan. Oleh karena itu undang-undang menganggap perlu
mengadakan penetapan bilamana debitur itu dalam keadaan wanprestasi. Dalam
kaitan dengan penetapan wanprestasi ini, pasal 1238 KUH Perdata menentukan
sebagai berikut:
“Si berhutang adalah lalai berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri yaitu
bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai karena lewatnya
waktu yang ditentukan.”
Oleh karena wanprestasi ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi
debitur, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian ditentukan tenggang
pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Apabila tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi ditentukan berlaku ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata.
“Debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dan jika tidak
ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka diperlukan
peringatan tertulis baik dalam bentuk surat perintah atau akta sejenis itu. Surat
perintah atau akta ini adalah sebagai somatie (peringatan) dan dapat dipergunakan
sebagai alat bukti wanprestasi debitur apabila kemudian timbul gugatan dimuka
pengadilan dari pihak kreditur.17
17
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut
Abdulkadir Muhammad I), h. 23
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi hukum berikut ini: 18
(1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (pasal 1243 KUHPerdata).
(2) Apabila
perikatan
pemutusan/pembatalan
itu
timbal
perikatan
balik,
kreditur
melalui
Hakim
dapat
menuntut
(pasal
1266
KUHPerdata).
(3) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur
sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2).
(4) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
(5) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka
Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.
2.3. Lembaga Pembiayaan Konsumen Secara Umum
2.3.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan
Istilah lembaga pembiayaan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris
financing institution. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih
menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam penyediaan dana atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.19 Melalui
lembaga pembiayaan dimaksud para pelaku bisnis bisa mendapatkan dana atau
modal yang dibutuhkan. Keberadaan lembaga pembiayaan ini sangat penting,
18
19
Ibid., h. 204
Sunaryo, op.cit, h. 1
karena fungsinya hampir mirip sama dengan bank. Dalam prakteknya sekarang ini
lembaga
pembiayaan
banyak
dimanfaatkan
oleh
pelaku
bisnis
ketika
membutuhkan dana atau barang modal untuk kepentingan perusahaan.
Lembaga pembiayaan (financing institution) adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. 20 Lembaga
pembiayaan merupakan alternatif pembiayaan di luar perbankan yang lebih dapat
disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat bisnis. Dalam hal ini antara
nasabah dan lembaga-lembaga pembiayaan terkait hubungan kontraktual, yang
mana ditunjukan oleh adanya kontrak atau perjanjian yang ditandatangani oleh
nasabah dan lembaga pembiayaan tersebut. dalam kontrak termuat hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak, berikut sanksi bagi siapa saja yang
melakukan wanprestasi. Hal inilah yang perlu diketahui oleh siapa saja yang
hendak memanfaatkan jasa yang diberikan oleh lembaga-lembaga pembiayaan
tersebut.
Pada saat ini lembaga pembiayaan secara hukum diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Peraturan Presiden
ini mencabut berlakunya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan. Namun demikian semua peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden dimaksud
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Presiden ini. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
20
Ibid.
2009 tentang Lembaga Pembiayaan disebutkan lembaga pembiayaan adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
atau barang modal.
Lembaga pembiayaan konsumen dalam kegiatannya diatur dan diawasi oleh
sebuah lembaga keuangan yang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini berdasarkan Pasal 1 ayat (1). Menurut pasal 6 OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuanngan Lainnya.
Berdasarkan pengertian lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud diatas,
maka dalam lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Badan Usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan.
b.
Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas
dengan cara membiayai pihak-pihak atau sektor usaha yang
dibutuhkan.
c.
Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang untuk suatu
keperluan.
d.
Barang Modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu
atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan
sebagainya.
e.
Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking), artinya
tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro,
deposito, tabungan dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk
dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi
krediturnya.
f.
Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu
tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama.21
2.3.2. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan
Adapun jenis-jenis kegiatan usaha lembaga pembiayaan meliputi, yaitu:
a.
Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan
digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
21
Ibid., h.2
b.
Anjak Piutang (Factoring), adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka
pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
c.
Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance), yaitu badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen, dengan sistim pembayaran angsuran atau
berkala oleh konsumen.
d.
Usaha Kartu Kredit (Credit Card), yaitu badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan jasa menggunakan
kartu kredit.22
2.3.3. Pengertian Lembaga Pembiayaan Konsumen
Dalam hukum pembiayaan di Indoensia kita jumpai bermacam-macam
bentuk lembaga pembiayaan, salah satunya adalah lembaga pembiayaan
konsumen. Pembiayaan konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
consumer finance. Yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen, adalah
kegiatan pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem angsuran atau
kredit, yang bertujuan untuk membantu perorangan ataupun perusahaan dalam
pemenuhan kebutuhan dan permodalan mereka, khususnya untuk pembelian
kendaraan bermotor seperti mobil. Salah satu bentuk alternatif baru untuk
memenuhi kekurangan modal yang dengan terbentuknya lembaga baru yaitu
22
Khotibul Umam, 2010, Hukum Lembaga Pembiayaan, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 5
lembaga pembiayaan konsumen, yang menawarkan bentuk baru terhadap
pemberian dana atau pembiayaan. Perusahaan yang memberikan pembiayaan di
atas disebut perusahaan pembiayaan konsumen atau consumer finance company.
Dalam Pasal 6 peraturan menteri keuangan nomor 84/PMK.012/2006
tentang perusahaan pembiayaan disebutkan bahwa kegiatan pembiayaan
konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Kebutuhan konsumen antara lain meliputi :
a. Pembiayaan kendaraan bermotor;
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga;
c. Pembiayaan barang-barang elektronik;
d. Pembiayaan perumahan.23
Dalam transaksi pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat, yaitu:
1.
Pihak Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Pemberi dana Pembiayaan atau
Kreditor)
2.
Pihak Konsumen (Penerima dana pembiayaan atau Debitor)
3.
Pihak Supplier (Penjual atau Penyedia Barang) 24
Hubungan antara pihak-pihak yang dimaksud, yaitu sebagai beritkut:
1. Hubungan Pihak Kreditor dengan Konsumen
Hubungan pihak kreditor dengan konsumen adalah hubungan kontraktual,
yakni (Consumer Finance Agreement). Dalam kontrak ini, pihak pemberi
23
24
Ibid., h.37
Chidir Muhammad, loc.cit.
kontrak pembiayaan konsumen biaya sebagai kreditor dan pihak penerima
biaya
(konsumen)
sebagai pihak
debitur.
Pihak
pemberi
biaya
berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian
sesuatu barang konsumsi, sedangkan pihak penerima biaya (konsumen)
berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan
kepada pihak pemberi biaya, dimana sudah tercantum pada pasal 4 dalam
Syarat-syarat Perjanjian PT. Adira Finance yang menyatakan bahwa
debitur wajib membayar angsuran, biaya-biaya ataupun denda yang wajib
dibayar (jika ada) secara tepat waktu dan penuh sesuai dengan perjanjian
ini. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak pemberi biaya dengan pihak
konsumen adalah sejenis perjanjian kredit, sehingga ketentuan tentang
perjanjian kredit berlaku. Dengan demikian, sebagai konsekuensi yuridis
dari perjanjian kredit tersebut, maka setelah seluruh kontrak di
tandatangani dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh
supplier kepada konsumen, maka barang yang bersangkutan sudah
langsung menjadi milik konsumen, walaupun kemudian biasanya barang
tersebut dijadikan jaminan hutang melalui perjanjian fidusia.
2. Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier
Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan
jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, di mana pihak supplier selaku
penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan
syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi
biaya. Ini berarti bahwa apabila karena alasan apa pun pihak pemberi
biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak
supplier dengan pihak konsumen sebagai pembeli akan batal. Karena
adanya perjanjian jual beli ini, maka seluruh ketentuan tentang jual beli
yang relevan berlaku. Sebagai contoh tentang adanya kewajiban
“menanggung” dari pihak penjual, kewajiban purna jual (garansi) dan
sebagainya.
3. Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier
Antara pihak penyedia dana dengan supplier tidak ada hubungan khusus,
kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan, yakni
disyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan dalam perjanjian
jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen. Oleh karena itu,
jika pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya,
sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah
selesai dilakukan, jual beli bersyarat antara pihak supplier dengan
konsumen akan batal, sementara konsumen dapat menggugat pihak
pemberi dana karena wanprestasi tersebut.25
25
Khotibul Umam, op.cit., h. 37
Download