BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Teori Modern (H-O) Teori ini dikenal dengan sebutan teori Heksher-Ohlin (H-O). Nama teori ini diambil dari kedua pencetusnya yang berasal dari Swedia yaitu Eli Heksher dan Berti Ohlin. Teori H-O berfokus pada faktor proporsi. Teori ini dianggap lebih modern karena menyatakan adanya perbedaan relatif faktor-faktor pemberian dan intensitas penggunaan faktor produksi sebagai penyebab terjadinya perdagangan internasional (Lindert, 2003). Teori ini juga menyatakan suatu negara akan melakukan ekspor untuk produksi dengan persediaan yang banyak dan murah, dan cenderung menyimpan produksi dengan persediaan yang terbatas (langka) dan mahal secara intensif. Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah: 12 1) Faktor Endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi di dalam suatu negara. 2) Faktor Intensity, yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity. Menurut Krugman (2003) teori modern Heckescher-Ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. 2.1.2 Konsep RCA (Keunggulan Komparatif) Menurut David Ricardo, teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of Labor Value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu dan jam kerja yang diigunakan atau diperlukan untuk kegiatan produksinya. Keunggulan komparatif (perbedaan biaya yang dapat dibandingkan) yang digunakan sebagai dasar dalam perdagangan internasional adalah banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi suatu barang. Motif melakukan perdagangan bukan sekadar mutlak lebih produktif (lebih menguntungkan) dalam menghasilkan sejenis barang, tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia tetap dapat ikut serta dalam perdagangan internasional, asalkan Negara tersebut menghasilkan barang dengan biaya yang lebih murah (tenaga kerja) dibanding dengan lainnya. 13 Keuntungan komparatif terjadi bila suatu negara lebih unggul terhadap kedua macam produk yang dihasilkan, dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah jika dibandingkan dengan biaya tenaga kerja di negara lain (Hady, 2001:32). Hady juga mengatakan bahwa ekspor suatu negara hanya dilakukan untuk barang/jasa yang memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Berbeda dengan ekspor, impor juga hanya dilakukan pada barang/jasa dengan tingkat keunggulan komparatif negara yang rendah (Boediono, 2000:21). Mankiw (2003:66) menjelaskan bahwa keunggulan komparatif adalah perbandingan sesama produsen suatu jenis barang, didasarkan atas biaya oportunis yang ditanggung tiap-tiap produsen. Menurut Porter (1990), definisi komparatif atau yang disebut daya saing diidentikkan dengan produktivitas dimana tingkat output yang di hasilkan untuk setiap unit input yang digunakan. Peningkatan produktivitas meliputi peningkatan jumlah input fisik (tenaga kerja dan modal), peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (total faktor produktivitas). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Daya saing ekspor adalah kemampuan suatu negara untuk memasuki pasar luar negeri sesuai dengan komoditinya dan kemampuan untuk dapat bertahan di pasar tersebut (Amir, 1992:13). Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi. Daya saing juga dapat diukur dengan indeks RCA (Revelaed Comparative Advantage). Tingkat daya saing suatu Negara pada prinsipnya ditentukan oleh dua faktor yaitu : faktor keunggulan komparatif 14 (comparative advantage) yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang mempunyai sifat dapat dikembangkan dan diciptakan (Tambunan, 2001:48-50). Konsep RCA (Revelead Comparative Advantage) merupakan konsep yang disebut juga sebagai indikator apakah produk suatu komoditas tertentu dapat bersaing secara baik dengan komoditas yang sama dengan negara pesaing. Indikator RCA merupakan alat ukur yang digunakan untuk menunjukkan daya saing suatu Negara dalam suatu komoditas terhadap dunia (Tambunan, 2001:92). Menurut Ballasa B (1965:32), untuk mendapatkan indeks RCA suatu Negara, harus mengetahui kedudukan nilai ekspor suatu komoditas tertentu ke suatu Negara tertentu, nilai total ekspor seluruh komoditas tertentu ke Negara tujuan, nilai ekspor suatu komoditas tertentu seluruh Negara di dunia ke Negara tujuan dan nilai total ekspor seluruh komoditas seluruh Negara di dunia ke Negara tujuan yakni dengan membandingkan komponen-komponen tersebut ke dalam perhitungan. 2.1.3 Konsep ISP (Keunggulan Kompetitif) Perkembangan ekspor dari suatu negara tidak hanya ditentukan oleh faktorfaktor keunggulan komparatif tetapi juga oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif. Inti daripada paradigma keunggulan komparatif adalah keunggulan di suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya dan juga karena adanya proteksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan kompetitif tidak hanya dimiliki oleh suatu 15 negara, tetapi juga dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di negara tersebut secara individu atau kelompok. Perbedaan lainnya dengan keunggulan komparatif adalah keunggulan kompetitif sifatnya lebih dinamis dengan perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan sumber daya manusia (Tambunan, 2001:130). Menurut Sobri (2001:7), ada beberapa sebab terjadinya hubungan ekonomi antar daerah ataupun antar negara, diantaranya beberapa perbedaan seperti : tingkat kelangkaan (scarcity), faktor produksi, komparatif dari harga barang, selera konsumen, dan jumlah awal barang yang dimiliki. Posisi daya saing dalam konsep ISP dibagi menjadi 5 tahap sesuai teori siklus produk yaitu yang pertama adalah nilai ISP antara -1 sampai +1. Kedua, apabila ISP berkisar antara -1 sampai dengan -0,5 adalah komoditi tersebut tahap pengenalan. Ketiga, apabila antara -0,5 sampai dengan 0 adalah tahap substitusi impor. Keempat, apabila antara 0 sampai 0,8 adalah pada tahap perluasan ekspor. Kelima, apabila nilainya mendekati +1 adalah pada tahap pematangan. 2.1.4 Tinjauan Tentang Ekspor Ekspor adalah upaya melakukan penjualan komoditi yang kita miliki kepada bangsa-bangsa atau negara-negara asing sesuai dengan ketentuan pemerintah dengan mengharapkan pembayaran dalam valuta asing, serta melakukan komunikasi dengan bahasa asing (Amir, 2001). Menurut Hendrati dan Yunita (2009) ekspor merupakan strategi dalam memasarkan barang produksi ke luar negeri dan menjadi bentuk paling sederhana dalam sistem perdagangan internasional. Ekspor dapat dikatakan sebagai barang-barang yang dijual ke negara lain ditambahkan dengan jasa-jasa yang diselenggarakan kepada penduduk 16 negara tersebut. Jasa yang dimaksud dapat berupa pengangkutan dengan kapal, permodalan, serta jasa-jasa lainnya yang memantau kegiatan ekspor tersebut (Winardi, 1986). Sukirno (2005:101) menyebutkan bahwa terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah ekspor suatu Negara, faktor-faktor tersebut antara lain : 1) Daya Saing Dalam perdagangan internasional yang bebas, kemampuan suatu negara dalam mengekspor barang sangat ditentukan oleh daya saing barang negara tersebut dengan barang-barang sejenis di pasar internasional. Biasanya yang mempengaruhi daya saing suatu produk yakni harga, kuantitas dan kualitas produk itu sendiri. 2) Proteksi Oleh Negara Lain Proteksi dilakukan oleh setiap negara untuk melindungi komoditas dalam negerinya masing-masing. Jika semua negara melakukan proteksi terhadap barang negara pengekspor maka jumlah ekspor negara pengekspor akan berkurang. 3) Kurs Valuta Asing Peningkatan kurs mata uang pada dasarnya akan berpengaruh terhadap daya beli suatu negara. Dengan meningkatnya daya beli konsumen akan menyebabkan peningkatan jumpah penjualan dalam hal ini ekspor. Dalam suatu aktivitas perdagangan internasional, dalam hal ini ekspor barang dapat dilakukan dengan baik apabila kegiatan ekspor tersebut telah melalui prosedur yang tepat dalam suatu perdagangan internasional. Menurut Yogi Swara dan 17 Suresmiathi (2005:2), pada umumnya tata cara perdagangan luar negeri tidak berbeda dengan perdagangan dalam negeri. Hanya dalam perdagangan luar negeri agak lebih sulit dan berbelit-belit yang disebabkan banyak hal seperti jauhnya jarak antara penjual dan pembeli, terdapat perbedaan bahasa, mata uang, hukum, politik dan masih banyak lagi yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Menurut Amir M.S. (1992), prosedur ekspor secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Bagan Prosedur Ekspor Sumber : Hutabarat (1995:162) Keterangan : 1) Eksportir menerima order (pesanan) dari langganan di luar negeri (B-A), 2) BANK memberitahukan telah dibukanya suatu L/C untuk dan atas nama Eksportir (H-A) 3) Eksportir menempatkan pesanan kepada LEVERANSIR/-MAKER PEMILIK BARANG/PRODUSEN (A-C) 18 4) Eksportir menyelenggarakan pengepakan barang khusus untuk diekspor (seaworthy packing) (A) 5) Eksportir memesan ruang kapal (Booking) dan mengeluarkan Shipping Order pada Maskapai Pelayaran (A-D) 6) Eksportir menyelesaikan semua formulir ekspor dengan semua instansi ekspor yang berwenang (A-E) 7) Eksportir menyelenggarakan pemuatan barang ke atas kapal, dengan atau tanpa mempergunakan perusahaan ekspedisi (A-D) 8) Eksportir mengurus Bill of Landing dengan Maskapai Pelayaran (A-D) 9) Eksportir menutup asuransi laut dengan Maskapai Asuransi (A-F) 10) Menyiapkan faktur dan dokumen-dokumen pengapalan lainnya (A) 11) Mengurus Consular-Invoice dengan Trade Councelor Kedutaan Negara Importir (A-G) 12) Menarik Wesel kepada importir dan menerima hasilnya dari Negotiation Bank (A-H) 13) Negotiation Bank mengirimkan shipping-documents kepada principalsnya di negara importir (H-I) 14) Eksportir mengirimkan shipping-advice dan copy shipping-documents kepada importir (A-B), Skema di atas menggambarkan prosedur yang pada umumnya harus dilaksanakan oleh eksportir dalam menyelesaikan suatu transaksi ekspor. Sekarang dari pihak pembeli atau importir dapat pula dikemukakan jalan yang harus ditempuhnya dalam melakuka pembelian barang dari luar negeri, yang 19 dimulai dari menempatkan pesanan dan diakhiri dengan dilakukannya pembayaran. 2.1.5 Tinjauan Tentang Impor Impor adalah cara membeli dan mendatangkan barang dari luar negeri untuk dimasukkan ke dalam negeri dalam suatu kegiatan perdagangan (Ahsjar, 2007:43). Menurut Hutabarat (1995:43) impor merupakan suatu bentuk perdagangan antar negara yang dilakukan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean suatu negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Besaran impor sangat ditentukan oleh kemampuan produksi barang dan jasa negara lain yang nantinya akan bersaing dengan produksi dalam negeri. Kecenderungan mengimpor akan meningkat ketika negara lain mampu menghasilkan barang/ jasa dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih terjangkau (Herlambang, 2001:216). Menurut Sukirno (2005), pendapatan masyarakat suatu negara merupakan penentu impor yang paling utama. Apabila pendapatan negara mengalami perubahan maka impor akan berubah dengan sendirinya. Jika semakin tinggi pendapatan negara maka semakin tinggi pula permintaan barang/jasa melalui kegiatan impor dan begitu pula sebaliknya (Krugman dan Obstfeld, 1991). 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang menjadi acuan penelitian, diantaranya ialah : 20 Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia oleh Tuti Ernawati dan Yeni Saptia (2013). Pada penelitian tersebut dalam mengukur keunggulan komparatif menggunakan metode RCA dan mengukur tingkat daya saing industry menggunakan pendekatan CMS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa negara yang memiliki kinerja ekspor tertinggi adalah Malaysia dengan indeks RCA pada tahun 2004-2012 rata-rata di atas 1 untuk CPO (1,04) dan PKO (1,08), dikarenakan kebijakan pemerintah Malaysia konsisten dalam mendukung ekspor minyak sawitnya dengan membebaskan secara penuh pajak komoditas CPO, sedangkan dalam pendekatan CMS pada tahun 2008-2012 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor seluruh produk CPO maupun PKO Indonesia ke dunia lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor seluruh produk dunia. Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia oleh Rashid Anggit Y.A.D dkk. (2012). Pada penelitian tersebut dalam mengukur keunggulan komparatif menggunakan metode RCA dan mengukur keunggulan kompetitif menggunakan ISP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks RCA dan ISP rata-rata sebesar 0,85 dan 0,95 menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia masih rendah di pasar Internasional. Alternatif Strategi Pengembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia oleh Bambang Dradjat dan Hamzah Bustomi (2009). Tujuan penelitian tersebut yaitu menganalisis masalah tindakan pengembangan ekspor komoditas utama perkebunan Indonesia yang salah satunya adalah minyak sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan ekspor komoditas perkebunan yang terkait dengan daya saing, posisi Indonesia dalam perdagangan internasional 21 komoditas kelapa sawit cukup kuat dibandingkan negara lain. Pada tahun 20012006 pada umumnya volume dan nilai ekspor komoditas perkebunan mengalami kenaikan. Effects of an Export Tax on Competitiveness : The Case of The Indonesian Palm Oil Industry oleh Mohamad F. Hasan, Michael R. Reed dan Mary A. Marchant (2001). Tujuan penelitian tersebut yaitu menganalisis efek dinamis dari pajak ekspor terhadap kinerja ekspor. Industri sawit Indonesia menggunakan analisis time series. Menurut penelitian ini dikatakan bahwa hasil model VAR menunjukkan bahwa pangsa ekspor bersih yang positif terkait dengan saham ekspor bersih tertinggal oleh satu periode. Seperti yang diharapkan, pajak ekspor memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan pangsa ekspor bersih, sementara harga ekspor relatif memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik pada saham ekspor bersih minyak sawit Indonesia. Hasil model vektor autoregressive menunjukkan ekspor turun secara dramatis dengan pengenaan pajak. Dengan adanya pajak eskpor, dapat mempengaruhi daya saing dan kinerja ekspor serta implikasi dinamis penting yang bisa relevan apabila kebijakan yang diterapkan untuk CPO tahunan. 22