BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Kebijakan Dividen Menurut Lukas Setia Atmaja (2010:110) menyebutkan ada lima teori dari preferensi investor yaitu: 1. Dividen Tidak Relevan Ketidakrelevanan DPR adalah berdasarkan ide bahwa pada saat terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan dan sebelum dividen dibayarkan, dana yang dibayarkan perusahaan harus ditempatkan kembali oleh dana yang diperoleh melalui pembelanjaan eksternal. Menurut Modigliani dan Miller, nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya DPR, tetapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas risiko perusahaan. Beberapa asumsi penting yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional. 2) Tidak ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru. 3) Tidak ada pajak. 4) Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah. Ketidakseimbangan informasi terjadi dengan adanya asumsi tidak 12 adanya pajak. Jika ada pajak maka penghasilan investor dari dividen dan dari capital gains (kenaikan harga saham) lah sama, investor cenderung lebih suka menerima capital gains daripada dividen diakui. 2. Bird-in-the-hand theory, Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri perusahaan akan naik jika Devidend Payout Ratio (DPR) rendah. Hal ini dikarenakan investor lebih suka menerima deviden daripada capital gains. Berbeda dengan pandangan Modigliani dan Miller, pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir sama. 3. Tax preference theory Litzenberger dan Ramaswamy menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan dividen yield tinggi, capital gains yang rendah daripada saham dengan dividen yield rendah, capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar dari pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa. 13 4. Information content or signaling hypothesis Jika terdapat kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya penurunan dividen pada umumnya menyebabkan harga saham turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gains. Tapi Modigliani dan Miller berpendapat bahwa suatu kenaikan dividen yang di atas biasanya merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang di bawah kenaikan normal diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang. 5. Clientele effect Teori ini menyatakan bahwa kelompok pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu Dividend Payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Jika ada perbedaan pajak bagi individu maka kelompok pemegang saham yang dikenai pajak tinggi lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika 14 perusahaan membagi dividen yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak relative rendah cenderung menyukai dividen yang besar. 2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Menurut Fachrudin (2011:149) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen, yaitu : 1. Peraturan Hukum 1) Peraturan mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat dibayar dan laba yang terdahulu dan laba sekarang. 2) Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal yang berarti melindungi para kreditur, dengan melarang pembayaran dividen yang menyedot atau membagikan investasinya bukan membagikan keuntungan. 3) Peraturan mengenai tak mampu bayar yang berarti perusahaan boleh tidak membayar dividen jika tidak mampu (bankkrupt) yaitu jumlah hutang lebih besar dari jumlah harta. 2. Faktor Keuangan dan Ekonomi 1) Posisi Likuiditas merupakan laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesin dan peralatan, persediaan dan barang-barang lainnya, bukan disimpan dalam 15 bentuk uang tunai. Oleh karena itu, suatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. 2) Perlunya membayar kembali pinjaman adalah jika perusahaan telah membuat pinjaman untuk memperluas usahanya atau untuk pembiayaan lainnya, maka ia dapat melunasi pinjaman pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangancadangan untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika diputuskan bahwa pinjaman itu akan dilunasi, maka biasanya harus ada laba ditahan. 3) Keterbatasan karena pokok pinjaman merupakan kontrak pinjaman apalagi jika menyangkut pinjaman jangka panjang seringkali membobol kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasan-pembatasan ini dimaksudkan untuk melindungi para kreditur. 4) Tingkat penjualan pertumbuhan aktiva perusahaan, merupakan semakin semakin banyak dana cepat yang dibutuhkan di kemudian hari dan semakin banyak laba yang harus ditahan dan tidak dibayarkan. 5) Tingkat laba merupakan laba dibagikan kepada para pemegang saham atau tetap ditahan di perusahaan untuk digunakan kembali. 16 6) Stabilitas laba adalah perusahaan yang labanya relatif teratur seringkali dapat memperkirakan laba di kemudian hari. Maka perusahaan seperti itu kemungkinan besar akan membagikan labanya dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berfluktuasi. 7) Pasar modal adalah perusahaan yang sudah mantap dengan profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah masuk ke pasar modal atau memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya, karena itu perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahan kecil atau yang masih baru. 8) Kontrol adalah jika perusahaan hanya memperluas usahanya dari pembiayaan intern maka pembiayaan dividen akan berkurang. Kebijakan ini dijalankan atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasa akan mengurangi control atas perusahaan itu oleh golongan pemegang saham yang kini sedang berkuasa. Selain itu, penjualan saham tambahan akan memperbesar risiko berfluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham. 9) Keputusan kebijakan dividen adalah hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen per lembar saham pada tingkat 17 yang konstan. Tetapi nilai dividen selalu terlambat dibandingkan dengan nilai keuntungannya. Artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya laba itu benarbenar mantap dan nampak cukup permanen. Sekali dividen naik, maka segala daya dan upaya yang akan dikerahkan supaya tingkatan yang bayar itu dapat terus dipertahankan. Jika laba di kemudian hari merosot, tongkat dividen yang baru itu sementara akan tetap dipertahankan sampai betul-betul jelas bahwa labanya memang tak mungkin pulih kembali. 2.1.3 Jenis-Jenis Pembayaran Dividen Seperti telah diuraikan bahwa besarnya dividen yang dibagikan yaitu sebesar laba setelah pajak, maka besarnya dividen akan dipengaruhi oleh ada tidaknya kesempatan investasi. Berikut akan diuraikan jenis-jenis alternatif pembagian dividen (Wiagustini, 2010:259), yaitu : 1. Pembayaran dividen yang stabil Perusahaan yang menganut kebijakan untuk membayarkan dividen per lembar saham dalam jumlah yang stabil cenderung untuk memiliki payout ratio yang rendah pada saat profit tinggi dan memiliki payout ratio yang tinggi pada saat profit mengalami penurunan. Alasan untuk memberikan dividen yang stabil dengan membiarkan payout ratio berfluktuasi adalah agar harga pasar saham lebih tinggi. Hal ini mudah dipahami karena : 18 1) Dividen yang berfluktuasi lebih berisiko daripada dividen yang stabil, oleh karena itu tingkat discount rate yang lebih rendah akan diterapkan pada dividen yang stabil sehingga nilai saham lebih tinggi. 2) Pemegang saham yang mengharapkan pendapatan dari penerimaan dividen akan lebih suka untuk menerima dividen dalam jumlah yang stabil (dividen minimum) dan mengharapkan adanya premium atas saham itu. 3) Persyaratan listing surat berharga mensyaratkan dividen yang stabil dan tidak terputus. 2. Residual Decision of Dividend Penentuan besarnya dividen dipengaruhi oleh ada tidaknya kesempatan investasi yang menguntungkan. Sejauh terdapat investasi yang menguntungkan maka dana yang diperoleh dari operasi perusahaan akan digunakan untuk investasi tersebut. Kalau terdapat sisa barulah sisa tersebut dibagikan sebagai dividen. Suatu perusahaan membagikan dividen sangat banyak karena tidak ada investasi yang menguntungkan, pada saat lain tidak membagikan dividen sama sekali karena seluruh dana digunakan untuk investasi. 3. Payout ratio yang konstan Beberapa perusahaan memilih untuk mempertahankan persentase payout atas laba yang konstan. Dengan demikian apabila laba yang diperoleh berfluktuasi, maka dividen yang dibayarkan juga akan 19 berfluktuasi. Kebijakan ini cenderung tidak akan memaksimumkan nilai saham perusahaan. 4. Pembayaran dividen regular yang rendah disertai pembayaran ekstra Kebijakan yang terakhir merupakan kebijakan yang moderat yaitu merupakan kompromi atas dua kebijakan satu dan tiga yang lebih fleksibel. 2.1.4 Kebijakan Dividen Keputusan untuk membagi laba sebagai dividen ataukah menahannya untuk diinvestasikan kembali, merupakan keputusan yang masih mengundang kontroversi. Menurut Brigham dan Houston (2011:198) kebijakan dividen adalah keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. Pembagian dividen hanya akan mempengaruhi harga saham apabila dengan pembagian tersebut para pemodal berubah pengharapan terhadap prospek dan risiko perusahaan. Salah satu kebijakan deviden yang harus diambil oleh manajemen adalah laba yang diperoleh oleh perusahaan selama satu periode akan dibagi sebagian untuk deviden dan sebagian lagi di bagi dalam laba ditahan. Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi perusahaan. Dividen dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Jika perusahaan memutuskan untuk membagi keuntungan dalam dividen, maka semua pemegang saham mendapatkan haknya yang sama. Dividen ditentukan berdasarkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan jenis pembayarannya tergantung kepada kebijakan pemimpin. 20 Dividen juga mungkin dibagikan dalam bentuk saham (stock dividend). Perusahaan juga dapat membagikan dana dengan cara membeli kembali sebagian saham (stock repurchase). Kedua cara tersebut tidak akan mempengaruhi kemakmuran para pemegang saham apabila pasar pemodal tidak berubah pengharapan mereka, dan pembelian saham dilakukan dengan harga yang wajar. Kebijakan lain yang muncul bila perusahaan memecah saham dengan maksud agar saham yang bersangkutan menjadi lebih likuid diperdagangkan. 2.1.5 Struktur Kepemilikan Menurut Asimetri (2009:59) struktur kepemilikan saham merupakan perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. Dengan kata lain struktur kepemilikan saham adalah proporsi kepemilikan institusional dan kepemilikan manajemen dalam kepemilikan saham perusahaan. Dalam menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan diwakili oleh direksi (agen) yang ditunjuk oleh pemegang saham (principal). Struktur kepemilikan dalam sebuah perusahaan dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial. Kepemilikan institusional atau institusion ownership diartikan sebagai kepemilikan oleh pemegang saham, dimana pemegang saham tersebut berbentuk perusahaan atau institusi dan jarang terlibat langsung dalam operasional perusahaan (pasif). Kepemilikan institusional merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik institusional seperti perusahaan asuransi, bank dan perusahaan 21 investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan asosiasi). Pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional mayoritas atau diatas 5 persen, Erida (2011). Kepemilikan institusional, umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Menurut Faizal (2009), perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan yang diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tersebut. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti asuransi, bank dan perusahaan-perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong eningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institutional ownershipsebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Kepemilikan manajerial (managerial ownership) atau yang biasa disebut internal ownership merupakan kepemilikan oleh pemegang saham dimana terlibat langsung dalam aktivitas operasional perusahaan dengan kata lain merupakan pihak insider perusahaan, seperti dewan direksi dan manajer. Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham 22 dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Rustiarini, 2008). Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan. Keberadaan manajemen perusahaan mempunyai latar belakang yang berbeda, antara lain: pertama, pihak yang mewakili pemegang saham institusional, kedua, tenaga- tenaga profesional yang diangkat oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham dan pihak yang duduk di jajaran manajemen perusahaan karena turut memiliki saham. Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. 2.1.6 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu aspek penilaian yang fundamental mengenai kondisi keuangan perusahaan yang dapat dilakukan berdasarkan analisis terhadap rasio-rasio keuangan perusahaan (Artini, 2010). Rasio keuangan sendiri merupakan sebuah penjabaran ulang data-data akuntansi ke dalam bentuk perbandingan dalam rangka mengidentifikasi kebaikan dan keburukan terhadap keuangan suatu perusahaan. Rasio keuangan secara matematis tidak lebih dari penyebut dan pembilangnya disadur dari data keuangan perusahaan tersebut. 23 Rasio-rasio keuangan perusahaan tersebut antara lain rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas, rasio aktivitas dan rasio profitabilitas yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu. Dari perhitungan sebuah rasio akan dihasilkan analisis maupun interpretasi yang akan menberikan sebuah kesimpulan tentang kondisi keuangan sebuah perusahaan dan prestasi-prestasi atau pencapaian-pencapaian atas kinerja perusahaan. Hasil analisis dan interpretasi dari sebuah rasio lebih baik daripada analisis yang hanya berdasarkan pada data keuangan tanpa perhitungan rasio-rasionya. Selaras dengan kepentingan para pemegang saham terhadap ekspektasi hasil yang diharapkan, sehingga pengukuran kinerja keuangan tersebut relevan dengan pengukuran profitabilitas perusahaan. Indikator dalam pengukuran tersebut adalah Return on Equity selain dengan Return on Equity pemegang saham atau calon investor akan melihat dari segi profitabilitas dan risiko, karena kestabilan harga saham berdampak pada tingkat keuntungan yang diperoleh dan dividen di masa datang (Wiagustini, 2010:81). Rasio profitabilitas atau profitabilitas ratio menunjukkan kapasitas perusahaan yang mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungannya dengan penjualan, asset maupun laba bagi modal sendiri. 2.1.7 Return on Investment Return on investment (ROI) menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan (Sartono,2010:123). Return on Investment memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan 24 sebab menunjukkan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan pendapatan. Analisis Return on Invesment dalam analisis keuangan memiliki arti yang sangat penting sebagai salah satu teknik analisis keuangan yang bersifat komprehensif. Return on Invesment yang merupakan salah satu rasio yang mewakili profitabilitas, dapat dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Return on Invesment menghubungkan keuntungan yang diperoleh dari operasi perusahaan dengan jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan operasi tersebut. 2.1.8 Return on Equity Return on Equity (ROE) mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan (Sartono, 2010:126). Rasio ini juga dipengaruhi oleh besar kecilnya hutang perusahaan, apabila proporsi utang makin besar, maka rasio ini juga akan makin besar. Return on Equity digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas yang dimilikinya. Return on Equity merupakan rasio antara laba sesudah pajak terhadap total ekuitas yang berasal dari setoran modal pemilik, laba tak dibagi dan cadangan lain yang diperoleh perusahaan. Analisis Return on equity sering diterjemahkan sebagai rentabilitas modal sendiri. 25 Return on Equity berarti juga ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (return) dari modal sendiri yang ditanamkan dalam bisnis yang bersangkutan yang dinyatakan dalam prosentase (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). 2.1.9 Teori Agensi Jensen, et al. (1996:114) mengemukakan teori keagenan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham sering kali bertentangan, sehingga bisa menyebabkan terjadinya konflik diantara keduanya. Hal tersebut terjadi karena manager cenderung berusaha mengutamakan kepentingan pribadi. Pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer, karena hal tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga akan menurunkan keuntungan. Konflik antara manajer dan pemegang saham dapat dikurangi dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait tersebut. Namun, dengan munculnya mekanisme tersebut akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost. Agency cost ini dapat berupa agency cost of equity. Pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring sekaligus bonding bagi manajemen. Pembagian dividen ini akan membuat pemegang saham mempunyai tambahan return selain dari capital gain. Dividen ini juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan mengurangi agency cost of equity karena tindakan perquisites misalnya biaya perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu yang dilakukan oleh manajemen 26 terhadap cash flow perusahaan seiring dengan menurunnya biaya monitoring karena pemegang saham yakin bahwa kebijakan manajemen akan menguntungkan dirinya (Cruthley, et al. 2000) dan Sujoko dan Soebintoro (2007). Terdapat informasi asimetri yang mempunyai dua tipe yakni adverse selection dan moral hazard Setiawan (2013). Tipe pertama, adverse selection merupakan pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi. Contohnya adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial). Berbagai cara dapat dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor, misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham minoritas memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan pemegang saham mayoritas. Tipe kedua dari informasi asimetri adalah moral hazard. Moral hazard terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh 27 mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham, manajer mungkin cendrung bekerja kurang optimal. Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings) yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang melatarbelakanginya Shubiri, et al. (2012). 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Dividen Struktur kepemilikan istitusional secara teoritis mempunyai hubungan dengan kebijakan dividen. Adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Kepemilikan saham institusional mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. Semakin terkonsentrasi kepemilikan saham maka pengawasan yang dilakukan pemilik terhadap manajemen akan semakin efektif. Semakin tinggi kepemilikan institusonal maka semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan dan 28 mengurangi biaya keagenan, sehingga perusahaan akan cenderung untuk memberikan dividen yang lebih rendah Rizka (2009). Beberapa penelitian sebelumnya seperti Siregar (2011), Soesetio (2012) Hasnawati (2013), Ansori (2010), Tivanie (2008) dan Cruthley (2000) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara struktur kepemilikan institusional dengan kebijakan dividen. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan dua variabel di atas menjadi dasar pengembangan hipotesis yang diajukan yaitu : H1 : Struktur kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen 2.2.2 Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Dividen Kepemilikan manajerial diukur sesuai dengan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajerial. Proporsi kepemilikan saham yang dikontrol oleh manajer dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan terlebih kebijakan dividen. Kepemilikan manajerial akan menyejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham (outsider ownership), sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil serta menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah Nuringsih (2008). Peningkatan managerial ownership diikuti dengan peningkatan pembagian dividen. Hal ini terjadi karena semakin terlibat dalam kepemilikan manajerial, 29 maka asset yang dimiliki manajer tidak terdiversifikasi secara optimal sehingga preferensi manajer berubah dari tax preference theory menjadi the bird in the hand theory. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiawan (2013), Dewi (2008), Pratiwi (2009), Honarbaks (2009), Avitricia (2010) dan Wahidahwati (2012) menemukan bahwa struktur kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap pembayaran dividen. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan dua variabel di atas menjadi dasar pengembangan hipotesis yang diajukan yaitu : H2 : Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen 2.2.3 Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Kebijakan Dividen Kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dengan menggunakan profitabilitas. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi, mampu menghasilkan laba yang tinggi, sehingga mampu menjaga ekuitas tetap positif atau bahkan meningkat seiring dengan peningkatan laba ditahan. Perusahaan yang mampu menghasilkan laba lebih besar juga cenderung mampu melakukan pendanaan dengan sumber kas internal, sehingga memiliki kewajiban untuk membayar bunga utang yang lebih kecil, dan laba yang dihasilkan bisa didistribusikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen ataupun ditahan untuk memperkuat modal yang berasal dari laba ditahan. Perusahaan yang memiliki stabilitas keuntungan dapat menetapkan tingkat pembayaran dividen dengan yakin dan mensinyalkan kualitas atas 30 keuntungan perusahaan (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Hal ini menunjukkan perusahaan selalu berusaha meningkatkan citranya dengan cara setiap peningkatan laba akan diikuti dengan peningkatan porsi laba yang dibagi sebagai dividen tanpa mengabaikan kesehatan pendanaan perusahaan. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marlina (2009), Maria (2013), Mardiyanti (2012) dan Dionisius (2012) menemukan bahwa kinerja keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap perhitungan pembayaran dividen. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan dua variabel di atas menjadi dasar pengembangan hipotesis yang diajukan yaitu : H3 : Kinerja keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen 31