perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB I

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa di mana seorang individu lebih dekat dengan
teman-teman sekolahnya dibanding keluarga. Aktivitas remaja biasanya akan
mendapatkan pengaruh sosial lebih banyak oleh teman-teman sekolah dibanding
keluarga dan masyarakat. Siswa remaja lebih banyak melakukan suatu tingkah
laku hanya karena ingin mengikuti atau menyamakan tingkah laku dengan temantemannya. Hal ini bisa menjadi kunci utama bahwa pengaruh sosial dari
lingkungan luar keluarga merupakan faktor utama pembentuk tingkah laku siswa
remaja. Pengaruh sosial yang buruk dapat menyebabkan penyimpangan perilaku
yang dilakukan oleh para remaja (Sarwono, 2009).
Menurut Kartini Kartono, kenakalan remaja didefinisikan sebagai
‘Juvenille Delincuency’ yaitu bentuk perilaku yang menyimpang yang dilakukan
oleh anak yang berumur 13-21 tahun yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial,sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang (Kartono,1986). Salah satu bentuk perilaku menyimpang yang
dilakukan remaja adalah perkelahian antar pelajar atau tawuran. Fenomena
tawuran antar pelajar sudah bukan sekedar tawuran remaja biasa. Perkelahian
beramai-ramai tersebut bukan dengan tangan kosong atau mengandalkan
kekuatan, melainkan sudah menggunakan barang-barang atau senjata berbahaya
lainnya dan mengarah ke tindakan kriminal karena menelan korban jiwa.
commit to user
1 2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terkadang tawuran pelajar terjadi secara spontan ketika dua kelompok
pelajar secara sengaja maupun tidak sengaja bertemu atau berpapasan di sebuah
tempat. Namun terkadang tawuran terjadi karena dipicu oleh alasan sederhana
seperti balas dendam karena ada pelajar yang diganggu oleh pelajar dari sekolah
lain, keributan setelah pertandingan, atau hanya karena saling ejek. Bahkan
seringkali tawuran terjadi karena sudah menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi
pada hari- hari tertentu di tempat yang menjadi titik rawan tawuran
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah
kasus tawuran antarpelajar sepanjang tahun 2012 ada 147 kasus tawuran pelajar,
lebih banyak dibandingkan periode sama tahun lalu sejumlah 128 kasus. (http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-
memprihatinkan-dunia-pendidikan.html/ diakses pada Rabu 12-03-2014 pukul
13:35) Menurut data yang diperoleh dari layanan pengaduan masyarakat KPAI
tersebut, dari 147 kasus tawuran yang kebanyakan berupa kekerasan antarpelajar
tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah dan sudah memakan
korban
jiwa
sebanyak
82
anak
(http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/21/10534239/82.Pelajar.Tewas.Sia
sia.karena.Tawuran. Diakses pada 26-11-2013 pukul 14.25).
Berdasarkan data kasus tawuran pelajar 2012 di wilayah hukum Polda
Metro Jaya, sudah terjadi puluhan kasus tawuran pelajar yang menimbulkan
korban luka dan meninggal dunia. Kasus pertama terjadi pada 19 April 2012 di
Jalan Matraman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan membuat dua pelajar
berinisial GN (17) dan HS (17) mengalami luka-luka. Kejadian kedua di Jalan
commit to user
Ampera RT 03 05 Bekasi Timur, Kota Bekasi, 3 Mei 2012, aksi tawuran ini
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyebabkan Bayu Dwi Kurniawan (16) meninggal dunia dan membuat lukaluka terhadap RA (17) dan MA (16). Tawuran antar pelajar di Bundaran
Bulungan, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terjadi 29 Mei 2012.
Korban lima pelajar SMAN 6, dua pelajar SMAN 70, dan anggota Patko Polres
Jakarta Selatan.
Aksi tawuran juga terjadi di Jalan Kramat Raya Senen, Jakarta Pusat, 26
Juli 2012. Korban RN (28). Korban berada di antara keributan antara pelajar Budi
Utomo dengan Santa Yoseph. Penyebab karena saling ejek dan salah satu pelajar
melempar air keras sehingga mengenai kaki korban di sebelah kanan. Tawuran
pelajar di Stasiun Panjang, Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, 29 Agustus 2012,
menyebabkan Jasuli (16) meninggal dunia. Korban sedang tawuran dengan pelajar
lain, tiba-tiba datang kereta api dari Jakarta arah Bekasi menyebabkan korban
terseret
kereta
api
dan
mengalami
luka
di
kepala
(http://metro.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-dijabodetabek-sejak-awal-2012 diakses pada 26-11-2013 pukul 11.43).
Tawuran yang dilakukan oleh para pelajar tersebut dapat digolongkan ke
dalam 2 jenis delinkuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delinkuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka
untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk
memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para
remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau
geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti
anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat
commit to user
melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya (Kartono, 1986).
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
Pada tahun 2014 SMA Negeri 70 menjadi sorotan setelah sebanyak 13
siswanya dikeluarkan dari sekolah lantaran melakukan pelanggaran, yaitu
melakukan kekerasan terhadap juniornya hingga luka-luka. Kepala Dinas
Pendidikan (Kadisdik) DKI Jakarta Lasro Marbun menjelaskan kronologi
mengenai kasus bullying yang menimpa 15 siswa kelas X oleh seniornya di
Gelora Bung Karno (GBK). Di sana, para junior di plonco habis-habisan oleh
senior. Satu orang junior mengalami luka di wajah hingga berdarah-darah
(https://id.berita.yahoo.com/siswa-sma-70-dianiaya-senior-hingga-berdarahdarah-090030079.html diakses pada 10-10-2014 pukul 13.29 WIB).
Tak hanya di dalam SMA Negeri 70, aksi kekerasan pun terjadi di luar
sekolah. Siswa SMAN 70 langganan terlibat tawuran dengan SMAN 6 yang
berjarak beberapa meter saja. Salah satu kasus tawuran yang banyak diberitakan
adalah tawuran di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24
September 2012 antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6. Korban meninggal
dunia adalah Alawi Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6. Sementara dua pelajar
lain, RD dan DF, yang juga pelajar SMA Negeri 6 mengalami luka-luka
(http://m.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-dijabodetabek-sejak-awal-2012, pada tanggal 01-07-2014 pukul 23.50).
SMA Negeri 70 sebagai sekolah bertaraf internasional yang berdiri sejak
tahun 1981 dilaporkan memiliki tradisi kekerasan yang berlangsung sejak puluhan
tahun, sampai sekarang. "Sudah membudaya. Sudah puluhan tahun," kata Ketua
Komite Sekolah SMAN 70 Musni Umar kepada VIVAnews.com, Jumat 28
Oktober 2011 (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/259713--budaya--di-sma70-bulungan/ diakses pada Sabtu 22-11-2014
pukul 14.12).
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Siswa senior mempunyai peranan penting dalam membudayakan
kebiasaan tawuran pada kelompok pelajar. Aksi kekerasan hingga tawuran yang
sering terjadi antara Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 70 Bulungan dan
SMAN 6 terjadi karena rivalitas diantara kedua sekolah dan budaya tawuran yang
turun-temurun diwariskan seniornya serta pelanggaran wilayah kekuasaan
masing-masing sekolah. siswa SMA 6 dilarang memasuki Jalan Bulungan, yang
menjadi wilayah SMA 70. Demikian pula, Jalan Mahakam adalah teritori SMA 6
dan menjadi wilayah terlarang bagi siswa SMA 70. Pelanggaran terhadap batas
wilayah kekuasaan itu bisa langsung memicu tawuran. Tim Psikologi Polda Metro
Jaya telah selesai melakukan hasil pemeriksaan terhadap kejiwaan Fitra (19),
tersangka pembunuhan terhadap siswa SMA Negeri 6. Dari hasil tes diketahui
lingkungan
menjadi
pemicu
kuat
FR
bisa
bertindak
demikian
(http://m.tribunnews.com/metropolitan/2012/10/07/sejarah-kelam-antarsekolahmemicu-fr-membunuh-alawy / diakses pada Senin 05-01-2015 pukul 14.12).
Gaya komunikasi yang diterapkan para siswa di lingkungan SMA 70
merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya tawuran. Gaya
komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan berbeda antara
orang yang satu dengan yang lain. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu
orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam
berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi,
dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi
(Ardianto, 1999). Gaya komunikasi para siswa tersebut dapat dilihat dari berbagai
faktor yaitu di dalam lingkungan internal sekolah dan lingkungan luar sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
Gaya komunikasi antar siswa di dalam lingkungan SMA Negeri 70 yang
memiliki tradisi senioritas yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari
angkatan sebelumnya kepada angkatan berikutnya. Budaya senioritas di SMA 70
sangat kuat, dapat dikatakan hormat terhadap senior sudah menjadi hal yang
mutlak. Setiap angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta mempunyai nama angkatan
yang dibentuk oleh senior atau siswa kelas tiga. Mereka harus melalui proses
inisiasi dimana proses ini melalui metode kekerasan. Pembagian angkatan tersebut
berarti juga pembagian terhadap wilayah wilayah sekolah, seperti kantin, tangga,
koridor sekolah serta wilayah tongkrongan masing-masing angkatan yang
semuanya tidak boleh dilanggar.
Setiap angkatan hanya boleh berada di tempat yang merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan angkatan masing-masing. Senior memiliki hak otoritas yang
lebih tinggi dibanding dengan angkatan tahun di bawahnya. Hal ini dikarenakan
senior dianggap seseorang yang lebih mengerti dan berkuasa di lingkungan
sekolah sehingga para junior, baik itu satu tahun dibawah dan siswa baru, harus
mengikuti aturan yang berlaku.
Sedangkan gaya komunikasi para siswa di luar sekolah, Jalan Bulungan
dimana lokasi SMA 70 berada merupakan wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh
siswa SMA 70. Kalau wilayah Bulungan dimasuki SMA 6 ataupun SMA lainnya
maka akan diserang oleh siswa SMA 70.
Fenomena tawuran siswa yang lebih sering terjadi di kota-kota besar
khususnya Jakarta dibandingkan dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia
menyebabkan fenomena ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Masyarakat perkotaan yang sangat heterogen saat ini umumnya memiliki gaya
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi konteks rendah atau low context culture communication oleh Edward
T Hall yaitu bersifat logis, linear atau langsung, individualistis, dan lebih banyak
bertindak
daripada
berbicara,
mengutamakan
menggunakan kata-kata yang tepat dan langsung.
logika,
fakta,
dan
selalu
Diskusi yang terjadi pada
masyarakat dengan low context culture biasanya akan berakhir dengan suatu
tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Aspek komunikasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
komunikan, yaitu orang yang menerima pesan penerimaan pesan tersebut bisa
melalui pendengaran, penglihatan, atau secara verbal maupun nonverbal.
Komunikan difokuskan pada para siswa SMA Negeri 70 Jakarta.
Metode yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif studi kasus yaitu
suatu penyelidikan intensif tentang individu dan atau unit sosial yang dilakukan
secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang
perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah dalam
penelitian ini secara umum adalah ‘Bagaimanakah gaya komunikasi siswa SMA
Negeri 70 Jakarta sehingga budaya tawuran dapat bertahan hingga saat ini?’
Khusus:
a. Bagaimanakah gaya komunikasi antar siswa di dalam SMA Negeri 70
dikaitkan dengan high/low context culture?
b. Bagaimanakah gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 dengan lingkungan
commit to user
di luar sekolah dikaitkan dengan high/low context culture?
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 Jakarta sehingga budaya
tawuran dapat bertahan hingga saat ini. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus
adalah:
a. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi antar siswa di dalam
SMA Negeri 70 dikaitkan dengan high/low context culture.
b. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70
dengan lingkungan di luar sekolah dikaitkan dengan high/low context
culture.
D. Manfaat
Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yaitu:
a. Sekolah
: Sebagai acuan untuk melakukan pencegahan tawuran
siswa
b. Guru SMA 70 : Mengetahui bagaimana gaya komunikasi siswa sehingga
dapat menentukan cara berkomunikasi yang efektif dalam menanamkan
nilai-nilai moral untuk mencegah tawuran
c. Depdiknas
: Dapat digunakan sebagai bahan referensi yang valid bagi
dunia pendidikan maupun dalam pembuatan kebijakan terkait strategi
pencegahan tawuran di kalangan pelajar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
E. Tinjauan Teoritis
1. Komunikasi
Alo Liliweri (2011: 37) mengemukakan bahwa komunikasi adalah
pertukaran informasi, ide, sikap, emosi, pendapat, atau instruksi antar
individu atau kelompok yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu,
memahami, dan mengkoordinasikan suatu aktivitas. Komunikasi secara
umum (Uchjana, 1992:3) dapat dilihat dari dua pengertian yaitu:
a. Pengertian komunikasi secara etimologis
Komunikasi berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber
juga dari kata communis yang artinya sama, dalam arti kata sama
makna. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang
terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan.
b. Pengertian komunikasi secara terminologis
Komunikasi pada hakikatnya adalah sebuah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan. Menurut Onong Uchjana
Effendi, pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan
(the content of the message) lalu kedua, lambang (symbol). Tujuan
dari komunikasi yaitu, mengubah sikap, mengubah opini, mengubah
perilaku, dan mengubah masyarakat.
Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses
penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi
commit to user
dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia.
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward mengenai
komunikasi manusia yaitu:
“Human communication is the process through which
individuals –in relationships, group, organizations and
societies—respond to and create messages to adapt to the
environment and one another.”
Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan
individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi, dan
masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi
dengan lingkungan satu sama lain.
Komunikasi berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang
kepada orang lain. Menurut Everett Rogers dalam Hafied Cangara
(1998:20), komunkasi didefinisikan sebagai “proses di mana suatu ide
dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud
untuk merubah tingkah laku mereka”. Sedangkan menurut Arni
Muhammad (2005:5), komunikasi didefinisikan sebagai “pertukaran
pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dengan penerima pesan
untuk mengubah tingkah laku”.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat
dilancarkan secara efektif dalam Effendy bahwa para peminat komunikasi
sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell
dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society.
Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan
komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says
What in Which Channel to Whom With What Effect.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi
meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan
itu,yaitu:
1.
Komunikator (siapa yang mengatakan?)
2.
Pesan (mengatakan apa?)
3.
Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
4.
Komunikan (kepada siapa?)
5.
Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana
proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan
dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak
penerima yang menimbulkan efek tertentu.
1.1. Tingkatan Proses Komunikasi
Menurut Denis McQuail dalam Riswandi (2009:9), secara umum
kegiatan atau proses komunikasi dalam masyarakat berlangsung dalam
enam tingkatan sebagai berikut :
a.
Komunikasi intrapribadi atau intrapersonal communication yaitu
proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang, berupa
pengolahan informasi melalui pancaindra dan sistem syaraf.
b.
Komunikasi
antarpribadi
atau
interpersonal
yaitu
kegiatan
komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan
orang lain.
c.
Komunikasi dalam kelompok yaitu kegiatan komunikasi yang
berlangsung di antara suatu kelompok. Pada tingkatan ini, setiap
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan
peran dan kedudukannya dalam kelompok. Pesan atau informasi
yang disampaikan juga menyangkut kepentingan seluruh anggota
kelompok.
d.
Komunikasi antar kelompok/asosiasi yaitu kegiatan komunikasi
yang berlangsung antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Jumlah pelaku yang terlibat boleh jadi hanya dua atau beberapa
orang, tetapi masing-masing membawa peran dan kedudukannya
sebagai wakil dari kelompok/asosiasinya masing-masing.
e.
Komunikasi organisasi mencakup kegiatan komunikasi dalam suatu
organisasi dan komunikasi antar organisasi. Bedanya dengan
komunikasi kelompok adalah bahwa sifat organisasi organisasi lebih
formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam
melakukan kegiatan komunikasinya.
f. Komunikasi dengan masyarakat secara luas, pada tingkatan ini
kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas. Bentuk
kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara:
Komunikasi massa yaitu komunikasi melalui media massa seperti
radio, surat kabar, TV, dsbnya. Langsung atau tanpa melalui media
massa Misalnya ceramah, atau pidato di lapangan terbuka.
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses
sosial di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling
mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh DeVito dalam
(Liliweri, 1991:13) komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman
pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain atau
sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang bersifat langsung.
Dalam
Pawito
(2007:
2)
dijelaskan
bahwa
komunikasi
antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara
individu dan individu lain dimana lambang-lambang pesan efektif
digunakan., terutama lambang-lambang bahasa. Penggunaan lambanglambang bahasa verbal, terutama yang bersifat lisan, dalam kenyataan
kerapkali disertai dengan bahasa isyarat. Komunikasi antarpribadi pada
umumnya dipahami lebih bersifat pribadi (private) dan berlangsung
secara tatap muka (face to face).
R. Wayne Pace dalam Cangara (1998) mengemukakan bahwa
komunikasi
antarpribadi
merupakan
proses
komunikasi
yang
berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka di mana
pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima
pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung. Komunikasi
antarpribadi merupakan komunikasi yang pesannya dikemas dalam
bentuk verbal atau nonverbal, seperti komunikasi pada umumnya
komunikasi antarpribadi selalu mencakup dua unsur pokok yaitu isi
pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan secara verbal
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau nonverbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan dilakukan
berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan.
Komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan aktif bukan pasif
dan bukan hanya komunikasi dari pengirim pada penerima pesan,
begitupula sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara
pengirim dan penerima pesan. Komunikasi antarpribadi bukan sekedar
serangkaian
rangsangan-tanggapan,
stimulus-respon,
akan
tetapi
serangkaian proses saling menerima, penyerapan, dan penyampaian
tanggapan yang telah diolah oleh masing-masing pihak.
Ada
beberapa
ciri-ciri
komunikasi
antarpribadi
yang
dikemukakan oleh para ahli, diantaranya DeVito dalam (Liliweri,
1991:13) menurutnya ada lima ciri komunikasi antarpribadi yang umum
yaitu sebagai berikut:
a. Keterbukaan
Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau
gagasan bahkan permasalahan secara bebas dan terbuka tanpa ada
rasa malu. Keduanya saling mengerti dan memahami pribadi
masing-masing.
b. Empati
Komunikator dan komunikan merasakan situasi dan kondisi
yang dialami mereka tanpa berpura-pura dan keduanya menanggapi
apa-apa saja yang dikomunikasikan dengan penuh perhatian. Empati
merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya
kepada peranan orang lain. Apabila komunikator atau komunikan
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai kemampuan untuk melakukan empati satu sama lain,
kemungkinan besar akan terjadi komunikasi yang efektif.
c. Dukungan
Setiap pendapat atau ide serta gagasan yang disampaikan
akan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi.
Dukungan membantu seseseorang untuk lebih bersemangat dalam
melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang diharapkan.
d. Rasa Positif
Apabila pembicaraan antara komunikator dan komunikan
mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak, maka
percakapan selanjutnya akan lebih mudah dan lancar. Rasa positif
menjadikan orang-orang yang berkomunikasi tidak berprasangka
atau curiga yang dapat menganggu jalinan komunikasi.
e. Kesamaan
Komunikasi akan lebih akrab dan jalinan pribadi akan
menjadi semakin kuat apabila memiliki kesamaan tertentu antara
komunikator dan komunikan dalam hal pandangan, sikap, kesamaan
ideologi, dan lain sebagainya.
Hubungan
dalam
konteks
komunikasi
antarpribadi
tidak
selamanya bersifat simetris atau setara. Tidak jarang terdapat
kecenderungan dominasi dalam jalinan hubungan antar pribadi, secara
relatif, meskipun negosiasi senantiasa lebih mudah diupayakan dalam
komunikasi antarpribadi dibanding dengan komunikasi yang mana pun.
Dalam hubungan ini, tujuan personal (atau kemungkinan lain tujuan
commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial)
menjadi
faktor
penentu
kesepakatan
diantara
partisipan
komunikasi (Pawito, 2007: 3).
3. Komunikasi Kelompok
Menurut Deddy Mulyana (2010) kelompok adalah sekumpulan
orang yang memiliki tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain
untuk mencapai tujuan bersama., mengenal satu sama lainnya, dan
memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini
misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, atau suatu komite yang
sedang rapat untuk mengambil suatu keputusan. Komunikasi kelompok
juga melibatkan komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan dari
komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya: Human
Communication, A Revision of Approaching Speech/Communication,
memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari
tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang
dikehendaki
seperti
berbagi
informasi,
pemeliharaan
diri,
atau
pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan
karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat (the face-to
faceinteraction of three or more individuals, for a recognized purpose
such as information sharing, self-maintenance, or problem solving, such
that the members are able to personal characteristics of the other
members accurately).
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ada empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas, yaitu
interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi,
maksud atau tujuan yang dikehendaki, dan kemampuan anggota untuk
dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya. Terminologi
tatap muka (face to face) mengandung makna bahwa setiap anggota
kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga
harus dapat rnengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari
setiap anggota. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan
individu yang sedang melihat proses pembangunan gedung atau
bangunan. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut berkait erat
dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Jumlah
partisipan dalam komunikasi kelornpok berkisar antara 3 sampai 20
orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang,
kurang memungkinkan berlangsungnya suatu interaksi di mana setiap
anggota kelompok mampu melihat dan mendengar anggota lainnya dan
kurang tepat untuk dikatakan sebagai komunikasi kelompok.
Maksud atau tujuan yang dikehendaki sebagai elemen ketiga dari
definisi di atas, bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan
memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Kalau tujuan kelompok
tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi yang dilakukan
dimaksudkan untuk menanamkan pengetahuan (to import knowledge).
Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (selfmaintenance),
biasanya
memusatkan
perhatiannya
kelompok atau struktur dari kelompok itu sendiri.
commit to user
pada
anggota
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tindak komunikasi yang dihasilkan adalah kepuasan kebutuhan
pribadi,
kepuasan
kebutuhan
kolektif,
atau
kelompok
bahkan
kelangsungan hidup dari kelompok tersebut. Dan apabila tujuan
kelompok adalah upaya pemecahan masalah, maka kelompok tersebut
biasanya melibatkan beberapa tipe pembuatan keputusan untuk
mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Elemen
terakhir
adalah
kemampuan
anggota
untuk
menumbuhkan karakteristik personal anggota lainnya secara akurat. Ini
mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok secara tidak langsung
berhubungan satu sama lain dan maksud/tujuan kelompok telah
terdefinisikan dengan jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota
dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen.
Dalam Jalaluddin Rakhmat (2005:142) disebutkan bahwa
kelompok memiliki dua tanda psikologis, yaitu:
a.
Anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok dan
terdapat (sense of belonging) yang tidak dimiliki oleh orang yang
bukan anggota
b.
Nasib anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap
orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain
Menurut Charles Horton Cooley (1909) dalam Riswandi (2009:
120-123), dari perspektif psikologi dan sosiologi, kelompok dapat
diklasifikasikan ke dalam:
1.) Kelompok primer dan sekunder
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kelompok primer ditandai dengan adanya hubungan
emosional, personal akrab, dan menyentuh hati seperti hubungan
dengan keluarga, teman sepermainan, tetangga sebelah rumah di
pedesaan, dll. Sedangkan kelompok sekunder adalah lawan dari
kelompok primer. Ditandai dengan hubungan yang tidak akrab, tidak
personal, dan tidak menyentuh hati seperti organisasi massa,
komunitas, fakultas, serikat buruh, dsb.
2.) In-group dan out-group
In -group dalah kelompok kita dan out-group adalah
kelompok mereka. In-group dapat berupa kelompok primer maupun
sekunder. Keluarga kita adalah in-group kelompok primer. Fakultas
adalah in-group kelompok sekunder.
3.) Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan
Pembagian kelompok ini dikemukakan oleh Theodore
Newcomb yang menciptakan istilah membership group dan
reference group. Kelompok rujukan diartikan sebagai kelompok
yang digunakan sebagai alat ukur atau standar untuk menilai diri
individu atau untuk membentuk sikap.
4.) Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif
Kategori deskriptif
menunjukkan klasifikasi kelompok
dengan melihat proses pembentukan secara alamiah. Kategori
preskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah
rasional yang harus dilewati oleh anggota kelompok untuk mencapai
tujuan.
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Gaya Komunikasi
Manusia
mengucapkan
atau
menulis
kata-kata
untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan yang memotivasi, menyatakan
belas kasihan, menyatakan kemarahan, menyatakan pesan agar suatu
perintah cepat dikerjakan. Semua kombinasi ini adalah gaya komunikasi,
gaya tentang relasi dengan sesama. Keterampilan berkomunikasi melalui
gaya komunikasi mengisyaratkan kesadaran diri pada level yang tinggi.
Setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang bersifat personal, itu
gaya khas seseorang waktu berkomunikasi. Untuk memahami gaya
berkomunikasi
setiap
orang
harus
berusaha
menciptakan
dan
mempertahankan gaya komunikasi personal sebagai ciri khas pribadinya,
karena gaya adalah kepribadian.
Gaya komunikasi didefinisikan sebagai a cognitive process which
accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal content, and adds up
to macro judgement. When a person communicates, it is considered an
attempt of getting literal meaning across (proses kognitif yang
mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro.
Setiap gaya selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima
dirinya ketika dia berinteraksi dengan orang lain). (Norton 1983;
Kirtley&Weaver, 1999).
Gaya komunikasi juga dapat dipandang sebagai meta-messages
yang mengaktualisasikan bagaimana pesan-pesan verbal diakui dan
diinterpretasi (communication styles can also be viewed as meta-messages
which contextualize how verbal messages should be acknowledged and
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
interpreted) Gudykus &Ting-Toomey dalam Alo Liliweri (2011). Definisi
ini
menjelaskan
mengapa
seseorang
berkomunikasi,
tidak
lain
berkomunikasi sebagai upaya untuk merefleksikan identitas pribadinya
yang dapat mempengaruhi persepsi orang lain dalam identitas ini.
Gaya komunikasi dapat dipandang sebagai campuran unsur-unsur
komunikasi lisan dan ilustratif. Pesan-pesan verbal individu yang
digunakan untuk berkomunikasi diungkapkan dalam kata-kata tertentu
yang mencirikan gaya komunikasi. Ini termasuk nada dan volume atas
semua pesan yang diucapkan Raynes (2001) dalam Alo Liliweri (2011).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kata-kata yang diucapkan selalu mempunyai makna tertentu. Bahkan
nada suara dan bahasa tubuh yang menyertai setiap kata yang diucapkan
tetap mempunyai makna. Setiap orang memberikan tekanan pada katakata yang diucapkan untuk menyatakan bahwa ada sesuatu yang sangat
penting yang ingin disampaikan yang membedakan hal tersebut dari yang
lainnya.
Heffner (1997) dalam Alo Liliweri (2011) mengklasifikasikan
ulang gaya komunikasi dari McCallister (1992) ke dalam tiga gaya,
yakni:
1. Gaya pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung menilai
orang lain selalu benar dan lebih penting daripada diri sendiri.
2. Gaya tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi
secara tegas mempertahankan dan membela hak-hak sendiri demi
mempertahankan hak-hak untuk orang lain.
commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Gaya agresif (aggresive style), gaya seorang individu yang selalu
membela hak-haknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggar
hak orang lain serta mengabaikan perasaan orang lain.
Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku
komunikasi seperti gaya berbicara, karakteristik, tanda-tanda verbal dan
nonverbal yang dipakai untuk mendapatkan respons atau tanggapan
tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari gaya
komunikasi yang digunakan bergantung pada maksud dari pengirim
(sender) dan harapan dari penerima (receiver). Gaya komunikasi adalah
cara atau pola yang ditampilkan oleh komunikator untuk mengungkapkan
sesuatu (menyampaikan pesan, ide, dan gagasan) baik melalui sikap,
perbuatan, dan ucapannya ketika berkomunikasi dengan komunikan
(Suryadi,2004:33).
Gaya komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang
berkomunikasi baik secara verbal (bicara) maupun nonverbal (ekspresi
wajah, gerakan tubuh, tangan, serta gerakan anggota tubuh lainnya).
Myers-Briggs dalam Alo Liliweri (2011) membedakan gaya komunikasi
berdasarkan indikator-indikator tertentu. Tabel berikut ini menunjukkan
kategori indikator dari tiga gaya komunikasi utama itu berlaku umum
dalam komunikasi manusia.
Tabel 1. Indikator Gaya Komunikasi
Variabel
Agresif
Pasif
Tampilan
Karakteristik 1. Mencapai
1. Apologetic dan
commit to user
tujuan dengan
sadar diri
perhitungan
2. Percaya orang
Asertif
1. Tidak suka
menilai
2. Mengamati
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sangat
dominan dalam
komunikasi
3. Ingin jadi
patron
4. Kasar dan sinis
5. Impulsif
3.
4.
5.
6.
Perilaku
1. Suka
menjatuhkan
orang lain
2. Tampil seperti
bos
3. Memasuki
privasi orang
lain
4. Terlalu
berkuasa
5. Ketika
berkomunikasi
suka menjauhi
orang dari
dirinya
6. Seolah
mengetahui
sikap semua
orang
7. Tidak
menunjukkan
apresiasi
8. Menggunakan
kekerasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
lain tetapi tidak
percaya diri
Tidak suka
nyatakan
keinginan dan
perasaan
Membiarkan
orang lain
membuat
keputusan bagi
dirinya
Tidak perlu
dapat sesuatu,
biar orang lain
yang dapat
Mengikuti
tuntutan dan
kemauan orang
lain, ingin
menghindari
konflik
Mengambil
posisi tengah
ketika
menghadapi
konflik
Rela berkorban
Napas
panjang/kuat
Akan bertanya
jika situasi tidak
menentu
Suka
menghindar dan
menunda
Selalu sepakat
commit to user
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
perilaku
daripada
memberi label
Percaya diri
dan orang lain
Konfiden
Sadar diri
Terbuka, luwes
dan serbaguna
Rasa humor
dan suka
berguyon
Tegas
Proaktif dan
inisiatif
1. Berorientasi
pada tindakan
2. Tahu apa yan
dibutuhkan dan
kembangkan
rencana untuk
mendapatkanny
a
3. Realistis dalam
harapan
4. konsisten
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tanda-tanda
Nonverbal
1. Suka tunjuk
pakai telunjuk
2. Dahi berkerut
3. Menatap
dengan tajam
dan kritis
4. Pandangan
marah
5. Tampil dingin
6. Suara nyaring
7. Ceplas-ceplos
1. Selalu gelisah
2. Selalu angguk
kepala kalau
berkomunikasi
3. Jarang
ekspresikan
wajah
4. Senyum dan
angguk tanda
setuju
5. Mata selalu sayu
dan sedih
6. Tampilan tubuh
melorot
7. Volume suara
rendah
8. Ragu-ragu
ketika ada
kecemasan
1. Terbuka, gesture
alamiah
2. Sangat atensi,
ekspresi wajah
menarik
3. Kontak mata –
langsung
4. Tampilan tubuh
penuh percaya
diri, santai
5. Volume suara
tepat, ekspresif
6. Bicara dengan
nada yang
bervariasi
5. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak
dapat dipisahkan. Keduanya memperhatikan pada variasi langkah dan
cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok
sosial. Alo Liliweri dalam buku Makna Budaya dalam Komunikasi
Antarbudaya (2009:12) menjelaskan tentang komunikasi antarbudaya
yaitu merupakan interaksi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan
oleh beberapa orang yang memilki latar belakang kebudayaan yang
berbeda.
Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya
(interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep
komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya
mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah
komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan
kata lain, komunikasi, dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya
menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung
pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya,
budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam,
maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 20).
Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka
ada beberapa asumsi (Liliweri, 2003: 15), yaitu:
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan;
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi;
4. Komunikasi
antarbudaya
bertujuan
mengurangi
tingkat
ketidakpastian;
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan; dan
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
a. Komunikasi Konteks Tinggi dan Rendah
Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori Hall
mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat.
Menurutnya, communication is culture and culture is communication.
Hall terlebih dahulu membedakan budaya konteks tinggi (high context
culture) dengan budaya konteks rendah (low context culture). Budaya
konteks rendah ditandai dengan komunikasi konteks rendah seperti pesan
verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. Para
penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan
(they say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean
what they say). Sebaliknya, budaya konteks tinggi, seperti kebanyakan
pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan
yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku nonverbal,
intonasi suara, gerakan tangan, pemahaman lebih kontekstual, lebih ramah
dan toleran terhadap budaya masyarakat.
Terkadang pernyataan verbal bisa bertentangan dengan pesan
nonverbal. Manusia yang terbiasa berbudaya konteks tinggi lebih terampil
membaca perilaku nonverbal dan juga akan mampu melakukan hal yang
sama. Watak komunikasi konteks tinggi yaitu tahan lama, lamban berubah
dan mengikat kelompok penggunanya. Orang-orang berbudaya konteks
tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang
berbudaya konteks rendah.
Kita mengetahui bahwa orang berasal dari kebudayaan yang
berbeda mempunyai kecenderungan untuk berkomunikasi dengan cara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
yang berbeda pula. Kita berpendapat bahwa perbedaan itu lebih
berhubungan pada perbedaan budaya komunikasi mereka dibanding
dengan perbedaan-perbedaan lainnya Edward T. Hall dalam Liliweri
(2011) mengatakan bahwa sebuah pesan hanya akan bermakna jika
pengirim dan penerima berada dalam satu konteks yang sama, yaitu
konteks budaya. T. Hall membedakan antara kebudayaan konteks tinggi
dan kebudayaan konteks rendah. Kebudayaan konteks tinggi adalah
kebudayaan yang memiliki, menyimpan, dan menampilkan kode-kode
informasi yang bersifat implisit. Artinya, kita tidak bisa memahami
makna kata-kata yang terucap, tertulis, atau perilaku nyata tanpa
memahami nilai dan norma yang mendasari atau yang ada dibalik
ungkapan ini.
Sifat eksplisit yang digunakan dalam kebudayaan konteks rendah
untuk berkomunikasi sering menyebabkan terjadinya konflik. Sifat
eksplisit yaitu kata-kata yang terucap, tertulis, atau perilaku nyata
langsung dipahami tanpa memahami secara lebih terperinci nilai dan
norma yang mendasari ucapan itu. Tidak ada masyarakat atau suatu
kelompok yang menggunakan salah satu konteks tersebut secara murni.
Klasifikasi masyarakat berdasarkan konteks tinggi dan rendah biasanya
berdasarkan kecenderungan yang lebih terlihat dalam interaksi
masyarakat tersebut. Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat
asia diklasifikasikan sebagai masyarakat yang menganut budaya konteks
tinggi namun saat ini karena kehidupan di kota besar yang sangat
dinamis menimbulkan adanya
pergeseran
commit
to user dalam interaksi masyarakatnya
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mulai menganut budaya konteks rendah karena sikap individual
dan orientasi kerja.
In a setting of high context culture, preventive strategies are
utilized prior to the surfacing of conflict. On the contrary, overt
argumentation, confrontations are embraced by a low context culture. In
fact, an aggressive verbal languages embodies the expressions of
explicit warnings and threats. Open confrontations, based on the pursuit
of exclusive, individual interests can be distinguishes from the emotional
appeal of a grup bond. (Ting Tomey dalam Won Jeong (2008))
Tabel 2. Indikator Gaya Komunikasi Langsung dan Tidak Langsung
GAYA KOMUNIKASI
Langsung
Tidak Langsung
Tipe orang yang selalu mengatakan apa
yang dia maksudkan, dan dia selalu
memahami apa yang dia katakan
Tipe orang yang cara
berkomunikasinya selalu tidak
langsung, dia langsung menganjurkan
dan menerapkan apa yang dia katakan
Orang ini tidak membutuhkan garis
Kata-kata yang penting yang “di-garis
bawah dari pernyataan penting melalui
bawahi” merupakan bernilai sehingga
kata-kata
dia selalu membaca ulang makna garis
bawah itu
Kejujuran merupakan dasar untuk
Kepercayaan hanya bisa tumbuh jika
menentukan kebijakan yang terbaik
terjadi suatu masalah
Kepercayaan lebih penting daripada
Kepercayaan tidak dapat dipisahkan
berhadapan dengan perasaan
dengan perasaan
PERANAN KONTEKS
Rendah
Tinggi
Selalu mengutamakan heterogenitas dan
Selalu mengutamakan homogenitas
budaya individual
dan budaya kolektif
Kompetitif
Kooperatif
Mengetahui dan mengetahui sedikitMengetahui dan menguasai sangat
sedikit tentang segala sesuatu
banyak tentang sesuatu
Pernyataan secara eksplisit, bicara
Pernyataan pesan selalu secara
langsung
implisit, kata-kata yang diucapkan
bukan merupakan pesan komunikasi
yang utama
Ketika menjelaskan sesuatu maka tandaKetika menjelaskan sesuatu maka
tanda nonverbal tidak penting
peranan tanda-tanda nonverbal sangat
penting karena dia memperkuat pesan
commit to user
verbal
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Mempercayai bahwa keputusan dan
Mempercayai bahwa keputusan dan
kehidupan mereka dipengaruhi oleh
kehidupan mereka dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan yang tidak dapat diri mereka sendiri
mereka ubah atau terjadi secara kebetulan
atau nasib
EKSPRESI WAJAH
Ekspresi Wajah Kurang Penting
Ekspresi Wajah Merupakan Kunci
Komunikasi
Ekspresi wajah selalu moderat
Ekspresi wajah selalu serius
Fakta-fakta yang dikemukakan lebih
Cara mengatakan sesuatu lebih penting
penting daripada cara anda
dari mengungkapkan kata-kata dalam
mengungkapkan sesuatu
komunikasi
Menerima dan memberikan informasi
Menerima dan memberikan informasi
merupakan tujuan pertukaran komunikasi tidak selalu merupakan tujuan
pertukaran komunikasi, relasi lebih
penting
Harmoni tidak selalu dibutuhkan dalam
Selalu menjaga harmoni demi tujuan
pertukaran informasi
pertukaran komunikasi
Kritik merupakan sesuatu yang baik
Kritik merupakan sesuatu yang tabu
dalam komunikasi
dalam komunikasi
Konfrontasi itu perlu untuk mengasah
Konfrontasi merupakan sesuatu yang
kecerdasan
tidak lazim
Kalau setuju katakan setuju dan tidak
Sangat sulit mengatakan sikap tidak
setuju katakan tidak setuju
setuju
Berkomunikasi lebih enak jika berhadap- Berkomunikasi berhadap-hadapan
hadapan
tidaklah utama
Sumber: Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Alo Liliweri. 2011 hlm 321
6. Tawuran
Menurut Kartono dalam Aprilia (2014), kelompok tawuran remaja
ini pada masa awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis.
Permainan yang mula-mula bersifat netral, baik, dan menyenangkan,
kemudian berubah menjadi sebuah perilaku eksperimental yang berbahaya
dan sering mengganggu atau merugikan orang lain. Pada akhirnya kegiatan
tersebut menjadi sebuah tindakan kriminal. Dengan semakin sering
frekuensi kegiatan bersama dalam bentuk keberandalan dan kejahatan itu
commit to user
membuat kelompok remaja ini menjadi semakin “ahli” dalam berkelahi dan
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbentuk sebuah perilaku “perkelahian kelompok”, pengeroyokan, perang
batu, dan termasuk perkelahian antarsekolah. Aksi demikian ini mempunya
tujuan khusus yaitu mendapatkan prestige individual juga memiliki dalih
untuk menjunjung tinggi nama sekolah. Mustofa (1998) membagi jenis-jenis
tawuran pelajar menjadi:
a. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda
yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turun-temurun /
bersifat tradisional.
b. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu
berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok yang lainnya berasal
dari suatu perguruan yang didalamnya tergabung beberapa jenis
sekolah. Permusuhan yang terjadi di antara dua kelompok ini juga
bersifat tradisional.
c. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda
yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya dipicu situasi
dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok pelajar yang sedang
menaiki bus secara kebetulan berpapasan dengan kelompok pelajar
yang lainnya. Selanjutnya terjadilah saling ejek-mengejek sampai
akhirnya terjadi tawuran.
d. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang sama
tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya tawuran antara
siswa kelas II dengan siswa kelas III
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Menurut Kartono (2006) ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya perkelahian antar kelompok atau tawuran, dan faktor-faktor itu ke
dalam dua jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal mencakup reaksi frustasi negatif, gangguan
pengamatan, dan tanggapan pada diri remaja, gangguan cara berfikir
pada diri remaja, dan gangguan emosional atau perasaan pada diri
remaja. Tawuran pada dasarnya dapat terjadi karena tidak berhasilnya
remaja untuk mengontrol dirinya sendiri. Gangguan pengamatan dan
tanggapan pada diri remaja antara lain berupa: ilusi, halusinasi, dan
gambaran semu. Pada umumnya remaja dalam memberi tanggapan
terhadap realita cenderung melalui pengolahan batin yang keliru,
sehingga timbul pengertian yang salah. Hal ini disebabkan oleh harapan
yang terlalu muluk dan kecemasan yang terlalu berlebihan.
b. Faktor Eksternal
Selain faktor dari dalam (internal) yang dapat menyebabkan
tawuran juga ada beberapa faktor dari luar, yaitu keluarga, lingkungan
sekolah yang tidak menguntungkan, dan lingkungan sekitar. Keluarga
memegang peranan penting dalam membentuk watak anak. Kondisi
keluarga sangat berdampak pada perkembangan yang dialami seorang
anak, apabila hubungan dalam keluarganya baik maka akan berdampak
positif begitupun sebaliknya, jika hubungan dalam keluarganya buruk
maka akan pula membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan
anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan akan menyebabkan anak
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengalami ketidakpastian emosional, perlindungan dari orang tua,
penolakan orang tua dan pengaruh buruk orang tua.
Menurut Sarwono (2010) ada beberapa bentuk perilaku yang
biasa muncul pada saat suatu kelompok tawuran yaitu:
a.
Perkelahian, pengancaman, atau intimidasi pada orang lain;
b.
Merusak fasilitas umum. Seperti melakukan penyerangan ke sekolah
lain, dll;
c.
Mengganggu jalannya aktifitas orang lain. Tawuran yang terjadi juga
menyebabkan terganggunya aktifitas orang lain atau masyarakat di
sekitarnya. Seperti pembajakan bus atau kendaraan umum;
d.
Melanggar aturan sekolah;
e.
Melanggar undang-undang hukum yang berlaku di suatu negara; dan
f.
Melanggar aturan orang tua.
Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan oleh para remaja ini
memang sudah dikategorikan sebagai bentuk tindakan kriminal karena
tidak hanya membahayakan bagi diri sendiri namun juga menjadikan
pihak lain sebagai korban, bahkan masyarakat sekitar yang tidak ikut
terlibat dalam perilaku tawuran ini juga mendapatkan kerugian fisik
maupun materi. Bentuk tindakan tawuran ini sudah termasuk ke dalam
bentuk perilaku delinkuensi (juvenile delinquency).
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Operasionalisasi Konsep
1. Pelajar Usia Remaja
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) pelajar adalah
anak sekolah (terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan), anak
didik, murid, dan siswa. Pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan berapa pun usianya, dari manapun, siapapun, dalam bentuk
apapun, dengan biaya apapun untuk meningkatkan intelek dan moralnya
dalam rangka mengembangkan apa yang dimilikinya dengan baik.
Menurut Slamet (Haling, 2006:1) mengemukakan bahwa pelajar
adalah individu yang melakukan proses seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Wingkel
dalam Haling (2006:2) menjelaskan bahwa pelajar adalah manusia yang
melalui suatu proses psikologi yang berlangsung dalam interaksi aktif
subjek dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bersifat konstan atau menetap.
Perubahan-perubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru yang segera
nampak dalam perilaku nyata. Moh. Surya (1981:32), mendefinisikan
pelajar sebagai individu yang melakukan proses usaha untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku keseluruhan sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Menurut
Darsono (2000) pengertian pelajar adalah individu yang melakukan
perubahan karena pengalaman dan bukan karena bawaan sejak lahir.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di dalam kamus antropologi, remaja dijelaskan sebagai kategori
sosial yang mencakup manusia yang berusia antara anak-anak dan dewasa.
Definisi ini menekankan pada posisi dan peranan remaja dalam struktur
dan sistem sosial masyarakat dan posisi remaja berada di antara strata
anak-anak dan dewasa, atau masa remaja adalah masa peralihan dari anakanak dan dewasa. Definisi ini cocok bila diterapkan pada remaja yang
hidup di kalangan masyarakat yang masih sederhana dengan kondisi sosial
budaya yang mapan. Keadaannya akan sangat berlainan dengan remaja di
lingkungan masyarakat yang sudah kompleks atau remaja pada masyarakat
perkotaan.
Remaja di lingkungan masyrakat perkotaan dituntut banyak
persyaratan untuk dapat memasuki dunia orang dewasa, sementara kondisi
dan situasi sosial budaya di lingkungan masyarakat ini begitu cepat
berubah. Keadaan ini menyebabkan rumitnya persoalan yang dihadapi
oleh remaja. Mereka dihadapkan dengan ketidakpastian norma dan
budaya, sehingga masa peralihan mereka pun lebih panjang.
Tidak adanya batasan pasti mengenai konsep remaja, pada
penelitian ini yang dianggap remaja adalah mereka yang berumur antara
15-19 tahun, apabila dikaitkan dengan statusnya maka mereka yang
menjadi pelajar di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
2. Tawuran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), tawuran adalah
perkelahian massal atau perkelahian yang dilakukan beramai-ramai.
Berdasarkan definisi tersebut, maka tawuran pelajar dapat diartikan
sebagai perkelahian yang dilakukan secara massal atau beramai-ramai
antara sekelompok pelajar dengan sekelompok pelajar lainnya. Tawuran
merupakan tidakan agresi yang dikategorikan sebagai bagian dari
kenakalan remaja. Dengan demikian tawuran didefinisikan sebagai
tindakan remaja yang dilakukan secara berkelompok atau massal dalam
melanggar peraturan, dan diarahkan untuk merusak dan melukai orang lain
secara fisik dan langsung.
Di dalam penelitian ini, tawuran diartikan sebagai tindakan saling
melempar batu atau benda lainnya dan tindakan agresi lain yang dilakukan
secara berkelompok yang diarahkan untuk merusak dan melukai orang lain
secara fisik. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah
yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turuntemurun
3. Gaya Komunikasi
Proses komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi.
Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan
gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain berbeda.
Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat
berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang
diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi (Soemirat, Ardianto, &
Suminar, 1999).
Gaya komunikasi didefinisikan sebagai seperangkat perilaku
antarpribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam suatu situasi
tertentu. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku
komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu
dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi
yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan
harapan dari penerima (receiver).
G. Kerangka Berpikir
Gambar 1 Kerangka Berpikir Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat dijelaskan bahwa peneliti
ingin mengetahui hubungan antara gaya komunikasi agresif, asertif, dan pasif
yang terdapat dalam komunikasi siswa SMA Negeri 70 dengan komunikasi
konteks tinggi dan rendah. Pada akhirnya menemukan gaya komunikasi dan
konteks komunikasi mana yang memiliki kecenderungan sebagai penyebab
commit to user
budaya tawuran di sekolah tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
H. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Jenis Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang fokus pada
pemaparan gambaran dan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa
suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. (Pawito, 2007). Menurut Jane
Richie, penelitian kualitatif adalah upaya yang menyajikan dunia sosial
dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan
persoalan tentang manusia yang diteliti (Maleong, 2007).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah
salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, dimana muncul pertanyaan
“bagaimana” dan “mengapa”, ketika peneliti hanya memiliki sedikit
peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan
jika fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini)
di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2006).
Menurut Deddy Mulyana (2007) studi kasus adalah uraian dan
penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu
kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi
sosial. Penelitian ini berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai
data yang diteliti menggunakan berbagai cara seperti wawancara,
observasi, dan penelaahan dokumen.
Menurut Lincoln dan Guba dalam Deddy Mulyana studi kasus
mempunyai beberapa keistimewaan. Studi kasus merupakan sarana utama
bagi penelitian etnik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti.
Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari, merupakan sarana efektif
untuk menunjukkan hubungan peneliti dan responden, memungkinkan
pembaca menemukan konsistensi faktual yang dapat dipercaya.
Dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk menunjukkan
adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus mengenai
budaya tawuran yang ada di SMA Negeri 70, yang berbeda dari penjelasan
obyek-obyek
lainnya.
Metode
studi
kasus
digunakan
untuk
mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi yang terdapat di SMA
Negeri 70 Jakarta dan pengaruhnya terhadap budaya tawuran di sekolah
tersebut.
2. Lokasi Penelitian
SMA Negeri 70 Jakarta
Jl. Bulungan Blok C/1, Kebayoran Baru Jakarta 12130
Telepon: (021) 7222667 / 7221343
Fax: (021) 7221343
Website: sman70-jkt.sch.id
3. Subjek Penelitian
a) Siswa SMA Negeri 70 Jakarta
Siswa SMA negeri 70 dikategorikan berdasarkan kelas mereka yaitu
kelas X, XI, dan XII
b) Alumni SMA Negeri 70 Jakarta
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
keterangan narasumber melalui wawancara. Wawancara dilakukan
secara personal kepada narasumber yang telah dipilih. Narasumber di
dalam lingkungan sekolah dibedakan berdasarkan kelas, yaitu kelas X,
XI, dan XII sedangkan narasumber di luar lingkungan sekolah
diperoleh dari wawancara kepada siswa tanpa membedakan kelas,
alumni, dan pakar.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung data primer dan
menggunakan sumber data yang diperoleh melalui kepustakaan, yaitu:
buku, karya ilmiah, jurnal, dan arsip berita yang relevan dengan
penelitian yang sedang dilakukan. Data sekunder yang dipilih adalah
yang berkaitan dengan ilmu komunikasi dan pemberitaan mengenai
tawuran yang melibatkan siswa SMA Negeri 70.
5. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu peneliti memilih
responden sesuai dengan kriteria. Purposive sampling yaitu pengambilan
sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Menurut Nursalam (2003) purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih
sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti,
sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah
dikenal sebelumnya (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/117/jtptunimusgdl-srisugihar-5848-4-daftarp-a.pdf/ diakses pada 11-01-2015 00.26).
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara yaitu peneliti melakukan komunikasi langsung dengan
responden, komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam
hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan
pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu,
wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide tetapi juga
menangkap perasaan, pengalaman, emosi, dan motif yang dimiliki oleh
responden yang bersangkutan.
Dalam wawancara peneliti dapat bertanya kepada responden kunci
tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai
peristiwa yang ada. Peneliti juga dapat meminta responden untuk
mengetengahkan pendapatnya sendiri. Secara keseluruhan, wawancara
merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus, karena studi kasus
umumnya
berkenaan
dengan
urusan
kemanusiaan.
Urusan-urusan
kemanusiaan ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui pihak yang
diwawancarai. Dan para responden yang mempunyai informasi dapat
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam situasi
yang berkaitan (Yin, 2006).
Menurut Pawito (2007: 133) wawancara dengan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide) pada umumnya dimaksudkan untuk
kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan
pada persoalan-persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian.
Pedoman
wawancara
akan
lebih
mempermudah
langkah-langkah
sistemisasi data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan interview
guide sebagai pedoman dalam melakukan wawancara sehingga peneliti
tidak keluar dari tujuan awal melakukan wawancara.
Adapun pertanyaan-pertanyaan dari interview guide penelitian ini
fokus pada perumusan masalah penelitian, misalnya, peneliti bertanya
kepada siswa kelas X, XI, dan XII “Bagaimana gaya komunikasi kamu
dengan teman seangkatan?, Bagaimana gaya komunikasi kamu dengan
senior di sekolah? Bagaimana gaya komunikasi kamu dengan junior di
sekolah?” pertanyaan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana
karakteristik dan perilaku gaya komunikasi siswa dalam hubungannya
dengan teman seangkatan, senior, atau junior.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data
yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Tujuan analisis data
kualitatif yaitu menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan
menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu
fenomena sosial (Bungin, 2007:153). Penganalisisan ini didasarkan pada
kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi,
kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehingga diharapkan muncul
gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian.
Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen (1982)
sebagaimana dikutip Moleong (2007:248), adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang
lain. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal
dari analisis data adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara
sistematis, kemudian mempresentasikan hasil penelitiannya kepada orang
lain.
Gambar 2 Teknik analisis model interaktif
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif, dengan teorinya Miles dan Huberman dalam Pawito
(2007: 104) menawarkan suatu teknik analisis yang lazim disebut
interactive model. Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga
komponen yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan serta pengujian
kesimpulan. Reduksi data bukan membuang data yang tidak diperlukan,
melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis
data dilakukan dan merupakan langkah yang tak terpisahkan dari analisis
data. Tahapan yang peneliti lakukan dalam analisis data sesuai dengan
teknik analisis Miles dan Huberman yaitu:
a.
Pengumpulan data
Data yang didapat peneliti merupakan hasil dari wawancara
oleh 14 orang narasumber. Dari 14 orang narasumber tersebut peneliti
membagi menjadi 4 bagian yaitu siswa kelas X, XI, XI, dan alumni
SMA Negeri 70 Jakarta. Setelah selesai meelakukan wawancara
kepada 14 narasumber tersebut, selanjutnya peneliti membuat
transkrip hasil wawancara tersebut ke dalam bentuk tulisan tanya
jawab antara peneliti dengan narasumber.
b. Penyajian data
Komponen kedua yakni penyajian data melibatkan langkahlangkah mengorganisasikan data, yakni menjalin kelompok data yang
satu dengan kelompok data yang lain sehingga seluruh data yang
dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan. Dari data hasil
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wawancara yang sudah diorganisasi dalam bentuk transkrip, kemudian
peneliti melakukan penyajian data berupa analisis yang sesuai dengan
rumusan masalah.
c. Reduksi data
Reduksi data bukan membuang data yang tidak diperlukan,
melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama
analisis data dilakukan. Langkah reduksi data melibatkan beberapa
tahap.
Tahap
pertama,
melibatkan
langkah-langkah
editing,
pengelompokan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti
meyusun kode-kode dan catatan-catatan mengenai berbagai hal,
termasuk yang berkenaan dengan data yang ditemui. Kemudian pada
tahap terakhir dari reduksi data, peneliti menyusun rancangan konsepkonsep serta penjelasan-penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau
kelompok-kelompok data bersangkutan.
Dalam komponen reduksi data ini kelihatan bahwa peneliti akan
mendapatkan data yang sangat sulit untuk di identifikasi pola serta
temanya, atau mungkin kurang relevan untuk tujuan penelitian sehingga
data-data bersangkutan terpaksa harus disimpan (diredusir) dan tidak
termasuk yang akan dianalisis.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Penarikan kesimpulan
Pada komponen terakhir, yakni penarikan dan pengujian
kesimpulan (drawing dan verifying conclusions), peneliti pada dasarnya
mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan
pola- pola data yang ada dan atau kecenderungan dari penyajian data
yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal,
namun kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara memadai
tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data yang ada. Peneliti
dalam kaitan ini masih harus mengkonfirmasi, mempertajam, atau
mungkin merevisi kesimpulan-kesimp proposisi-proposisi ilmiah
mengenai gejala atau realitas yang diteliti. kesimpulan yang telah dibuat
untuk sampai pada kesimpulan final berupa proposisi-proposisi ilmiah
mengenai gejala atau realitas yang diteliti.
8. Teknik Validitas Data
Validitas data dalam penelitian kualitatif lebih meunjuk pada
tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili
realitas atau gejala yang diteliti (Pawito, 2007:97). Validitas merupakan
derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan
data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010: 117). Oleh
karena itu, data dinyatakan valid apabila data yang dilaporkan oleh peneliti
tidak berbeda dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek
penelitian. Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan peneliti adalah
triangulasi.
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Triangulasi merupakan upaya untuk menunjukkan bukti empirik
untuk meningkatkan pemahaman terhadap realitas atau gejala yang diteliti.
Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi data.
Triangulasi data menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumbersumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data yang berkenaan
dengan persoalan yang sama. Dalam hal ini peneliti membagi objek
penelitian berdasarkan kelas, yaitu siswa kelas X, XI, dan XII. Hal ini
dimaksudkan agar peneliti memperoleh informasi yang lebih akurat karena
perspektif tidak hanya dilihat dari siswa junior kepada senior saja ataupun
sebaliknya.
commit to user
Download