perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa di mana seorang individu lebih dekat dengan teman-teman sekolahnya dibanding keluarga. Aktivitas remaja biasanya akan mendapatkan pengaruh sosial lebih banyak oleh teman-teman sekolah dibanding keluarga dan masyarakat. Siswa remaja lebih banyak melakukan suatu tingkah laku hanya karena ingin mengikuti atau menyamakan tingkah laku dengan temantemannya. Hal ini bisa menjadi kunci utama bahwa pengaruh sosial dari lingkungan luar keluarga merupakan faktor utama pembentuk tingkah laku siswa remaja. Pengaruh sosial yang buruk dapat menyebabkan penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para remaja (Sarwono, 2009). Menurut Kartini Kartono, kenakalan remaja didefinisikan sebagai ‘Juvenille Delincuency’ yaitu bentuk perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh anak yang berumur 13-21 tahun yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono,1986). Salah satu bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan remaja adalah perkelahian antar pelajar atau tawuran. Fenomena tawuran antar pelajar sudah bukan sekedar tawuran remaja biasa. Perkelahian beramai-ramai tersebut bukan dengan tangan kosong atau mengandalkan kekuatan, melainkan sudah menggunakan barang-barang atau senjata berbahaya lainnya dan mengarah ke tindakan kriminal karena menelan korban jiwa. commit to user 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Terkadang tawuran pelajar terjadi secara spontan ketika dua kelompok pelajar secara sengaja maupun tidak sengaja bertemu atau berpapasan di sebuah tempat. Namun terkadang tawuran terjadi karena dipicu oleh alasan sederhana seperti balas dendam karena ada pelajar yang diganggu oleh pelajar dari sekolah lain, keributan setelah pertandingan, atau hanya karena saling ejek. Bahkan seringkali tawuran terjadi karena sudah menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi pada hari- hari tertentu di tempat yang menjadi titik rawan tawuran Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah kasus tawuran antarpelajar sepanjang tahun 2012 ada 147 kasus tawuran pelajar, lebih banyak dibandingkan periode sama tahun lalu sejumlah 128 kasus. (http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar- memprihatinkan-dunia-pendidikan.html/ diakses pada Rabu 12-03-2014 pukul 13:35) Menurut data yang diperoleh dari layanan pengaduan masyarakat KPAI tersebut, dari 147 kasus tawuran yang kebanyakan berupa kekerasan antarpelajar tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah dan sudah memakan korban jiwa sebanyak 82 anak (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/21/10534239/82.Pelajar.Tewas.Sia sia.karena.Tawuran. Diakses pada 26-11-2013 pukul 14.25). Berdasarkan data kasus tawuran pelajar 2012 di wilayah hukum Polda Metro Jaya, sudah terjadi puluhan kasus tawuran pelajar yang menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Kasus pertama terjadi pada 19 April 2012 di Jalan Matraman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan membuat dua pelajar berinisial GN (17) dan HS (17) mengalami luka-luka. Kejadian kedua di Jalan commit to user Ampera RT 03 05 Bekasi Timur, Kota Bekasi, 3 Mei 2012, aksi tawuran ini 3 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyebabkan Bayu Dwi Kurniawan (16) meninggal dunia dan membuat lukaluka terhadap RA (17) dan MA (16). Tawuran antar pelajar di Bundaran Bulungan, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terjadi 29 Mei 2012. Korban lima pelajar SMAN 6, dua pelajar SMAN 70, dan anggota Patko Polres Jakarta Selatan. Aksi tawuran juga terjadi di Jalan Kramat Raya Senen, Jakarta Pusat, 26 Juli 2012. Korban RN (28). Korban berada di antara keributan antara pelajar Budi Utomo dengan Santa Yoseph. Penyebab karena saling ejek dan salah satu pelajar melempar air keras sehingga mengenai kaki korban di sebelah kanan. Tawuran pelajar di Stasiun Panjang, Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, 29 Agustus 2012, menyebabkan Jasuli (16) meninggal dunia. Korban sedang tawuran dengan pelajar lain, tiba-tiba datang kereta api dari Jakarta arah Bekasi menyebabkan korban terseret kereta api dan mengalami luka di kepala (http://metro.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-dijabodetabek-sejak-awal-2012 diakses pada 26-11-2013 pukul 11.43). Tawuran yang dilakukan oleh para pelajar tersebut dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delinkuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delinkuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat commit to user melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya (Kartono, 1986). perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Pada tahun 2014 SMA Negeri 70 menjadi sorotan setelah sebanyak 13 siswanya dikeluarkan dari sekolah lantaran melakukan pelanggaran, yaitu melakukan kekerasan terhadap juniornya hingga luka-luka. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) DKI Jakarta Lasro Marbun menjelaskan kronologi mengenai kasus bullying yang menimpa 15 siswa kelas X oleh seniornya di Gelora Bung Karno (GBK). Di sana, para junior di plonco habis-habisan oleh senior. Satu orang junior mengalami luka di wajah hingga berdarah-darah (https://id.berita.yahoo.com/siswa-sma-70-dianiaya-senior-hingga-berdarahdarah-090030079.html diakses pada 10-10-2014 pukul 13.29 WIB). Tak hanya di dalam SMA Negeri 70, aksi kekerasan pun terjadi di luar sekolah. Siswa SMAN 70 langganan terlibat tawuran dengan SMAN 6 yang berjarak beberapa meter saja. Salah satu kasus tawuran yang banyak diberitakan adalah tawuran di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 September 2012 antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6. Korban meninggal dunia adalah Alawi Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6. Sementara dua pelajar lain, RD dan DF, yang juga pelajar SMA Negeri 6 mengalami luka-luka (http://m.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-dijabodetabek-sejak-awal-2012, pada tanggal 01-07-2014 pukul 23.50). SMA Negeri 70 sebagai sekolah bertaraf internasional yang berdiri sejak tahun 1981 dilaporkan memiliki tradisi kekerasan yang berlangsung sejak puluhan tahun, sampai sekarang. "Sudah membudaya. Sudah puluhan tahun," kata Ketua Komite Sekolah SMAN 70 Musni Umar kepada VIVAnews.com, Jumat 28 Oktober 2011 (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/259713--budaya--di-sma70-bulungan/ diakses pada Sabtu 22-11-2014 pukul 14.12). commit to user 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Siswa senior mempunyai peranan penting dalam membudayakan kebiasaan tawuran pada kelompok pelajar. Aksi kekerasan hingga tawuran yang sering terjadi antara Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 70 Bulungan dan SMAN 6 terjadi karena rivalitas diantara kedua sekolah dan budaya tawuran yang turun-temurun diwariskan seniornya serta pelanggaran wilayah kekuasaan masing-masing sekolah. siswa SMA 6 dilarang memasuki Jalan Bulungan, yang menjadi wilayah SMA 70. Demikian pula, Jalan Mahakam adalah teritori SMA 6 dan menjadi wilayah terlarang bagi siswa SMA 70. Pelanggaran terhadap batas wilayah kekuasaan itu bisa langsung memicu tawuran. Tim Psikologi Polda Metro Jaya telah selesai melakukan hasil pemeriksaan terhadap kejiwaan Fitra (19), tersangka pembunuhan terhadap siswa SMA Negeri 6. Dari hasil tes diketahui lingkungan menjadi pemicu kuat FR bisa bertindak demikian (http://m.tribunnews.com/metropolitan/2012/10/07/sejarah-kelam-antarsekolahmemicu-fr-membunuh-alawy / diakses pada Senin 05-01-2015 pukul 14.12). Gaya komunikasi yang diterapkan para siswa di lingkungan SMA 70 merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya tawuran. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi, dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi (Ardianto, 1999). Gaya komunikasi para siswa tersebut dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu di dalam lingkungan internal sekolah dan lingkungan luar sekolah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 6 digilib.uns.ac.id Gaya komunikasi antar siswa di dalam lingkungan SMA Negeri 70 yang memiliki tradisi senioritas yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari angkatan sebelumnya kepada angkatan berikutnya. Budaya senioritas di SMA 70 sangat kuat, dapat dikatakan hormat terhadap senior sudah menjadi hal yang mutlak. Setiap angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta mempunyai nama angkatan yang dibentuk oleh senior atau siswa kelas tiga. Mereka harus melalui proses inisiasi dimana proses ini melalui metode kekerasan. Pembagian angkatan tersebut berarti juga pembagian terhadap wilayah wilayah sekolah, seperti kantin, tangga, koridor sekolah serta wilayah tongkrongan masing-masing angkatan yang semuanya tidak boleh dilanggar. Setiap angkatan hanya boleh berada di tempat yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan angkatan masing-masing. Senior memiliki hak otoritas yang lebih tinggi dibanding dengan angkatan tahun di bawahnya. Hal ini dikarenakan senior dianggap seseorang yang lebih mengerti dan berkuasa di lingkungan sekolah sehingga para junior, baik itu satu tahun dibawah dan siswa baru, harus mengikuti aturan yang berlaku. Sedangkan gaya komunikasi para siswa di luar sekolah, Jalan Bulungan dimana lokasi SMA 70 berada merupakan wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh siswa SMA 70. Kalau wilayah Bulungan dimasuki SMA 6 ataupun SMA lainnya maka akan diserang oleh siswa SMA 70. Fenomena tawuran siswa yang lebih sering terjadi di kota-kota besar khususnya Jakarta dibandingkan dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia menyebabkan fenomena ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Masyarakat perkotaan yang sangat heterogen saat ini umumnya memiliki gaya commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id komunikasi konteks rendah atau low context culture communication oleh Edward T Hall yaitu bersifat logis, linear atau langsung, individualistis, dan lebih banyak bertindak daripada berbicara, mengutamakan menggunakan kata-kata yang tepat dan langsung. logika, fakta, dan selalu Diskusi yang terjadi pada masyarakat dengan low context culture biasanya akan berakhir dengan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aspek komunikasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah komunikan, yaitu orang yang menerima pesan penerimaan pesan tersebut bisa melalui pendengaran, penglihatan, atau secara verbal maupun nonverbal. Komunikan difokuskan pada para siswa SMA Negeri 70 Jakarta. Metode yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif studi kasus yaitu suatu penyelidikan intensif tentang individu dan atau unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah ‘Bagaimanakah gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 Jakarta sehingga budaya tawuran dapat bertahan hingga saat ini?’ Khusus: a. Bagaimanakah gaya komunikasi antar siswa di dalam SMA Negeri 70 dikaitkan dengan high/low context culture? b. Bagaimanakah gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 dengan lingkungan commit to user di luar sekolah dikaitkan dengan high/low context culture? 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Tujuan Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 Jakarta sehingga budaya tawuran dapat bertahan hingga saat ini. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah: a. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi antar siswa di dalam SMA Negeri 70 dikaitkan dengan high/low context culture. b. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi siswa SMA Negeri 70 dengan lingkungan di luar sekolah dikaitkan dengan high/low context culture. D. Manfaat Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yaitu: a. Sekolah : Sebagai acuan untuk melakukan pencegahan tawuran siswa b. Guru SMA 70 : Mengetahui bagaimana gaya komunikasi siswa sehingga dapat menentukan cara berkomunikasi yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral untuk mencegah tawuran c. Depdiknas : Dapat digunakan sebagai bahan referensi yang valid bagi dunia pendidikan maupun dalam pembuatan kebijakan terkait strategi pencegahan tawuran di kalangan pelajar. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id E. Tinjauan Teoritis 1. Komunikasi Alo Liliweri (2011: 37) mengemukakan bahwa komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, emosi, pendapat, atau instruksi antar individu atau kelompok yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu, memahami, dan mengkoordinasikan suatu aktivitas. Komunikasi secara umum (Uchjana, 1992:3) dapat dilihat dari dua pengertian yaitu: a. Pengertian komunikasi secara etimologis Komunikasi berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber juga dari kata communis yang artinya sama, dalam arti kata sama makna. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. b. Pengertian komunikasi secara terminologis Komunikasi pada hakikatnya adalah sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Menurut Onong Uchjana Effendi, pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message) lalu kedua, lambang (symbol). Tujuan dari komunikasi yaitu, mengubah sikap, mengubah opini, mengubah perilaku, dan mengubah masyarakat. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi commit to user dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward mengenai komunikasi manusia yaitu: “Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another.” Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Komunikasi berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Menurut Everett Rogers dalam Hafied Cangara (1998:20), komunkasi didefinisikan sebagai “proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk merubah tingkah laku mereka”. Sedangkan menurut Arni Muhammad (2005:5), komunikasi didefinisikan sebagai “pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dengan penerima pesan untuk mengubah tingkah laku”. Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy bahwa para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect. commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu: 1. Komunikator (siapa yang mengatakan?) 2. Pesan (mengatakan apa?) 3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?) 4. Komunikan (kepada siapa?) 5. Efek (dengan dampak/efek apa?). Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. 1.1. Tingkatan Proses Komunikasi Menurut Denis McQuail dalam Riswandi (2009:9), secara umum kegiatan atau proses komunikasi dalam masyarakat berlangsung dalam enam tingkatan sebagai berikut : a. Komunikasi intrapribadi atau intrapersonal communication yaitu proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang, berupa pengolahan informasi melalui pancaindra dan sistem syaraf. b. Komunikasi antarpribadi atau interpersonal yaitu kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan orang lain. c. Komunikasi dalam kelompok yaitu kegiatan komunikasi yang berlangsung di antara suatu kelompok. Pada tingkatan ini, setiap commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam kelompok. Pesan atau informasi yang disampaikan juga menyangkut kepentingan seluruh anggota kelompok. d. Komunikasi antar kelompok/asosiasi yaitu kegiatan komunikasi yang berlangsung antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Jumlah pelaku yang terlibat boleh jadi hanya dua atau beberapa orang, tetapi masing-masing membawa peran dan kedudukannya sebagai wakil dari kelompok/asosiasinya masing-masing. e. Komunikasi organisasi mencakup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi. Bedanya dengan komunikasi kelompok adalah bahwa sifat organisasi organisasi lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan komunikasinya. f. Komunikasi dengan masyarakat secara luas, pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas. Bentuk kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara: Komunikasi massa yaitu komunikasi melalui media massa seperti radio, surat kabar, TV, dsbnya. Langsung atau tanpa melalui media massa Misalnya ceramah, atau pidato di lapangan terbuka. commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh DeVito dalam (Liliweri, 1991:13) komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang bersifat langsung. Dalam Pawito (2007: 2) dijelaskan bahwa komunikasi antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara individu dan individu lain dimana lambang-lambang pesan efektif digunakan., terutama lambang-lambang bahasa. Penggunaan lambanglambang bahasa verbal, terutama yang bersifat lisan, dalam kenyataan kerapkali disertai dengan bahasa isyarat. Komunikasi antarpribadi pada umumnya dipahami lebih bersifat pribadi (private) dan berlangsung secara tatap muka (face to face). R. Wayne Pace dalam Cangara (1998) mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung. Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal, seperti komunikasi pada umumnya komunikasi antarpribadi selalu mencakup dua unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan secara verbal commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id atau nonverbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan. Komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan aktif bukan pasif dan bukan hanya komunikasi dari pengirim pada penerima pesan, begitupula sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi antarpribadi bukan sekedar serangkaian rangsangan-tanggapan, stimulus-respon, akan tetapi serangkaian proses saling menerima, penyerapan, dan penyampaian tanggapan yang telah diolah oleh masing-masing pihak. Ada beberapa ciri-ciri komunikasi antarpribadi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya DeVito dalam (Liliweri, 1991:13) menurutnya ada lima ciri komunikasi antarpribadi yang umum yaitu sebagai berikut: a. Keterbukaan Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas dan terbuka tanpa ada rasa malu. Keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing. b. Empati Komunikator dan komunikan merasakan situasi dan kondisi yang dialami mereka tanpa berpura-pura dan keduanya menanggapi apa-apa saja yang dikomunikasikan dengan penuh perhatian. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Apabila komunikator atau komunikan commit to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mempunyai kemampuan untuk melakukan empati satu sama lain, kemungkinan besar akan terjadi komunikasi yang efektif. c. Dukungan Setiap pendapat atau ide serta gagasan yang disampaikan akan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang diharapkan. d. Rasa Positif Apabila pembicaraan antara komunikator dan komunikan mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak, maka percakapan selanjutnya akan lebih mudah dan lancar. Rasa positif menjadikan orang-orang yang berkomunikasi tidak berprasangka atau curiga yang dapat menganggu jalinan komunikasi. e. Kesamaan Komunikasi akan lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi semakin kuat apabila memiliki kesamaan tertentu antara komunikator dan komunikan dalam hal pandangan, sikap, kesamaan ideologi, dan lain sebagainya. Hubungan dalam konteks komunikasi antarpribadi tidak selamanya bersifat simetris atau setara. Tidak jarang terdapat kecenderungan dominasi dalam jalinan hubungan antar pribadi, secara relatif, meskipun negosiasi senantiasa lebih mudah diupayakan dalam komunikasi antarpribadi dibanding dengan komunikasi yang mana pun. Dalam hubungan ini, tujuan personal (atau kemungkinan lain tujuan commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sosial) menjadi faktor penentu kesepakatan diantara partisipan komunikasi (Pawito, 2007: 3). 3. Komunikasi Kelompok Menurut Deddy Mulyana (2010) kelompok adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama., mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, atau suatu komite yang sedang rapat untuk mengambil suatu keputusan. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan dari komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya: Human Communication, A Revision of Approaching Speech/Communication, memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri, atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat (the face-to faceinteraction of three or more individuals, for a recognized purpose such as information sharing, self-maintenance, or problem solving, such that the members are able to personal characteristics of the other members accurately). commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ada empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas, yaitu interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi, maksud atau tujuan yang dikehendaki, dan kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya. Terminologi tatap muka (face to face) mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat rnengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggota. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang sedang melihat proses pembangunan gedung atau bangunan. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut berkait erat dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Jumlah partisipan dalam komunikasi kelornpok berkisar antara 3 sampai 20 orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang, kurang memungkinkan berlangsungnya suatu interaksi di mana setiap anggota kelompok mampu melihat dan mendengar anggota lainnya dan kurang tepat untuk dikatakan sebagai komunikasi kelompok. Maksud atau tujuan yang dikehendaki sebagai elemen ketiga dari definisi di atas, bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahuan (to import knowledge). Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (selfmaintenance), biasanya memusatkan perhatiannya kelompok atau struktur dari kelompok itu sendiri. commit to user pada anggota 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tindak komunikasi yang dihasilkan adalah kepuasan kebutuhan pribadi, kepuasan kebutuhan kolektif, atau kelompok bahkan kelangsungan hidup dari kelompok tersebut. Dan apabila tujuan kelompok adalah upaya pemecahan masalah, maka kelompok tersebut biasanya melibatkan beberapa tipe pembuatan keputusan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Elemen terakhir adalah kemampuan anggota untuk menumbuhkan karakteristik personal anggota lainnya secara akurat. Ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan satu sama lain dan maksud/tujuan kelompok telah terdefinisikan dengan jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen. Dalam Jalaluddin Rakhmat (2005:142) disebutkan bahwa kelompok memiliki dua tanda psikologis, yaitu: a. Anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok dan terdapat (sense of belonging) yang tidak dimiliki oleh orang yang bukan anggota b. Nasib anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain Menurut Charles Horton Cooley (1909) dalam Riswandi (2009: 120-123), dari perspektif psikologi dan sosiologi, kelompok dapat diklasifikasikan ke dalam: 1.) Kelompok primer dan sekunder commit to user 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kelompok primer ditandai dengan adanya hubungan emosional, personal akrab, dan menyentuh hati seperti hubungan dengan keluarga, teman sepermainan, tetangga sebelah rumah di pedesaan, dll. Sedangkan kelompok sekunder adalah lawan dari kelompok primer. Ditandai dengan hubungan yang tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati seperti organisasi massa, komunitas, fakultas, serikat buruh, dsb. 2.) In-group dan out-group In -group dalah kelompok kita dan out-group adalah kelompok mereka. In-group dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Keluarga kita adalah in-group kelompok primer. Fakultas adalah in-group kelompok sekunder. 3.) Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan Pembagian kelompok ini dikemukakan oleh Theodore Newcomb yang menciptakan istilah membership group dan reference group. Kelompok rujukan diartikan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur atau standar untuk menilai diri individu atau untuk membentuk sikap. 4.) Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukan secara alamiah. Kategori preskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus dilewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuan. commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. Gaya Komunikasi Manusia mengucapkan atau menulis kata-kata untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang memotivasi, menyatakan belas kasihan, menyatakan kemarahan, menyatakan pesan agar suatu perintah cepat dikerjakan. Semua kombinasi ini adalah gaya komunikasi, gaya tentang relasi dengan sesama. Keterampilan berkomunikasi melalui gaya komunikasi mengisyaratkan kesadaran diri pada level yang tinggi. Setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang bersifat personal, itu gaya khas seseorang waktu berkomunikasi. Untuk memahami gaya berkomunikasi setiap orang harus berusaha menciptakan dan mempertahankan gaya komunikasi personal sebagai ciri khas pribadinya, karena gaya adalah kepribadian. Gaya komunikasi didefinisikan sebagai a cognitive process which accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal content, and adds up to macro judgement. When a person communicates, it is considered an attempt of getting literal meaning across (proses kognitif yang mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap gaya selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi dengan orang lain). (Norton 1983; Kirtley&Weaver, 1999). Gaya komunikasi juga dapat dipandang sebagai meta-messages yang mengaktualisasikan bagaimana pesan-pesan verbal diakui dan diinterpretasi (communication styles can also be viewed as meta-messages which contextualize how verbal messages should be acknowledged and commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id interpreted) Gudykus &Ting-Toomey dalam Alo Liliweri (2011). Definisi ini menjelaskan mengapa seseorang berkomunikasi, tidak lain berkomunikasi sebagai upaya untuk merefleksikan identitas pribadinya yang dapat mempengaruhi persepsi orang lain dalam identitas ini. Gaya komunikasi dapat dipandang sebagai campuran unsur-unsur komunikasi lisan dan ilustratif. Pesan-pesan verbal individu yang digunakan untuk berkomunikasi diungkapkan dalam kata-kata tertentu yang mencirikan gaya komunikasi. Ini termasuk nada dan volume atas semua pesan yang diucapkan Raynes (2001) dalam Alo Liliweri (2011). Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata-kata yang diucapkan selalu mempunyai makna tertentu. Bahkan nada suara dan bahasa tubuh yang menyertai setiap kata yang diucapkan tetap mempunyai makna. Setiap orang memberikan tekanan pada katakata yang diucapkan untuk menyatakan bahwa ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikan yang membedakan hal tersebut dari yang lainnya. Heffner (1997) dalam Alo Liliweri (2011) mengklasifikasikan ulang gaya komunikasi dari McCallister (1992) ke dalam tiga gaya, yakni: 1. Gaya pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung menilai orang lain selalu benar dan lebih penting daripada diri sendiri. 2. Gaya tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara tegas mempertahankan dan membela hak-hak sendiri demi mempertahankan hak-hak untuk orang lain. commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Gaya agresif (aggresive style), gaya seorang individu yang selalu membela hak-haknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggar hak orang lain serta mengabaikan perasaan orang lain. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi seperti gaya berbicara, karakteristik, tanda-tanda verbal dan nonverbal yang dipakai untuk mendapatkan respons atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari gaya komunikasi yang digunakan bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver). Gaya komunikasi adalah cara atau pola yang ditampilkan oleh komunikator untuk mengungkapkan sesuatu (menyampaikan pesan, ide, dan gagasan) baik melalui sikap, perbuatan, dan ucapannya ketika berkomunikasi dengan komunikan (Suryadi,2004:33). Gaya komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang berkomunikasi baik secara verbal (bicara) maupun nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh, tangan, serta gerakan anggota tubuh lainnya). Myers-Briggs dalam Alo Liliweri (2011) membedakan gaya komunikasi berdasarkan indikator-indikator tertentu. Tabel berikut ini menunjukkan kategori indikator dari tiga gaya komunikasi utama itu berlaku umum dalam komunikasi manusia. Tabel 1. Indikator Gaya Komunikasi Variabel Agresif Pasif Tampilan Karakteristik 1. Mencapai 1. Apologetic dan commit to user tujuan dengan sadar diri perhitungan 2. Percaya orang Asertif 1. Tidak suka menilai 2. Mengamati 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Sangat dominan dalam komunikasi 3. Ingin jadi patron 4. Kasar dan sinis 5. Impulsif 3. 4. 5. 6. Perilaku 1. Suka menjatuhkan orang lain 2. Tampil seperti bos 3. Memasuki privasi orang lain 4. Terlalu berkuasa 5. Ketika berkomunikasi suka menjauhi orang dari dirinya 6. Seolah mengetahui sikap semua orang 7. Tidak menunjukkan apresiasi 8. Menggunakan kekerasan 1. 2. 3. 4. 5. 6. lain tetapi tidak percaya diri Tidak suka nyatakan keinginan dan perasaan Membiarkan orang lain membuat keputusan bagi dirinya Tidak perlu dapat sesuatu, biar orang lain yang dapat Mengikuti tuntutan dan kemauan orang lain, ingin menghindari konflik Mengambil posisi tengah ketika menghadapi konflik Rela berkorban Napas panjang/kuat Akan bertanya jika situasi tidak menentu Suka menghindar dan menunda Selalu sepakat commit to user 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. perilaku daripada memberi label Percaya diri dan orang lain Konfiden Sadar diri Terbuka, luwes dan serbaguna Rasa humor dan suka berguyon Tegas Proaktif dan inisiatif 1. Berorientasi pada tindakan 2. Tahu apa yan dibutuhkan dan kembangkan rencana untuk mendapatkanny a 3. Realistis dalam harapan 4. konsisten 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tanda-tanda Nonverbal 1. Suka tunjuk pakai telunjuk 2. Dahi berkerut 3. Menatap dengan tajam dan kritis 4. Pandangan marah 5. Tampil dingin 6. Suara nyaring 7. Ceplas-ceplos 1. Selalu gelisah 2. Selalu angguk kepala kalau berkomunikasi 3. Jarang ekspresikan wajah 4. Senyum dan angguk tanda setuju 5. Mata selalu sayu dan sedih 6. Tampilan tubuh melorot 7. Volume suara rendah 8. Ragu-ragu ketika ada kecemasan 1. Terbuka, gesture alamiah 2. Sangat atensi, ekspresi wajah menarik 3. Kontak mata – langsung 4. Tampilan tubuh penuh percaya diri, santai 5. Volume suara tepat, ekspresif 6. Bicara dengan nada yang bervariasi 5. Komunikasi Antarbudaya Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memperhatikan pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Alo Liliweri dalam buku Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (2009:12) menjelaskan tentang komunikasi antarbudaya yaitu merupakan interaksi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memilki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut commit to user 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi, dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi (Liliweri, 2003: 15), yaitu: 1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan; 2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi; 4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian; 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan; dan 6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 26 digilib.uns.ac.id a. Komunikasi Konteks Tinggi dan Rendah Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori Hall mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Hall terlebih dahulu membedakan budaya konteks tinggi (high context culture) dengan budaya konteks rendah (low context culture). Budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi konteks rendah seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (they say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what they say). Sebaliknya, budaya konteks tinggi, seperti kebanyakan pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku nonverbal, intonasi suara, gerakan tangan, pemahaman lebih kontekstual, lebih ramah dan toleran terhadap budaya masyarakat. Terkadang pernyataan verbal bisa bertentangan dengan pesan nonverbal. Manusia yang terbiasa berbudaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan juga akan mampu melakukan hal yang sama. Watak komunikasi konteks tinggi yaitu tahan lama, lamban berubah dan mengikat kelompok penggunanya. Orang-orang berbudaya konteks tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang berbudaya konteks rendah. Kita mengetahui bahwa orang berasal dari kebudayaan yang berbeda mempunyai kecenderungan untuk berkomunikasi dengan cara commit to user perpustakaan.uns.ac.id 27 digilib.uns.ac.id yang berbeda pula. Kita berpendapat bahwa perbedaan itu lebih berhubungan pada perbedaan budaya komunikasi mereka dibanding dengan perbedaan-perbedaan lainnya Edward T. Hall dalam Liliweri (2011) mengatakan bahwa sebuah pesan hanya akan bermakna jika pengirim dan penerima berada dalam satu konteks yang sama, yaitu konteks budaya. T. Hall membedakan antara kebudayaan konteks tinggi dan kebudayaan konteks rendah. Kebudayaan konteks tinggi adalah kebudayaan yang memiliki, menyimpan, dan menampilkan kode-kode informasi yang bersifat implisit. Artinya, kita tidak bisa memahami makna kata-kata yang terucap, tertulis, atau perilaku nyata tanpa memahami nilai dan norma yang mendasari atau yang ada dibalik ungkapan ini. Sifat eksplisit yang digunakan dalam kebudayaan konteks rendah untuk berkomunikasi sering menyebabkan terjadinya konflik. Sifat eksplisit yaitu kata-kata yang terucap, tertulis, atau perilaku nyata langsung dipahami tanpa memahami secara lebih terperinci nilai dan norma yang mendasari ucapan itu. Tidak ada masyarakat atau suatu kelompok yang menggunakan salah satu konteks tersebut secara murni. Klasifikasi masyarakat berdasarkan konteks tinggi dan rendah biasanya berdasarkan kecenderungan yang lebih terlihat dalam interaksi masyarakat tersebut. Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat asia diklasifikasikan sebagai masyarakat yang menganut budaya konteks tinggi namun saat ini karena kehidupan di kota besar yang sangat dinamis menimbulkan adanya pergeseran commit to user dalam interaksi masyarakatnya 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang mulai menganut budaya konteks rendah karena sikap individual dan orientasi kerja. In a setting of high context culture, preventive strategies are utilized prior to the surfacing of conflict. On the contrary, overt argumentation, confrontations are embraced by a low context culture. In fact, an aggressive verbal languages embodies the expressions of explicit warnings and threats. Open confrontations, based on the pursuit of exclusive, individual interests can be distinguishes from the emotional appeal of a grup bond. (Ting Tomey dalam Won Jeong (2008)) Tabel 2. Indikator Gaya Komunikasi Langsung dan Tidak Langsung GAYA KOMUNIKASI Langsung Tidak Langsung Tipe orang yang selalu mengatakan apa yang dia maksudkan, dan dia selalu memahami apa yang dia katakan Tipe orang yang cara berkomunikasinya selalu tidak langsung, dia langsung menganjurkan dan menerapkan apa yang dia katakan Orang ini tidak membutuhkan garis Kata-kata yang penting yang “di-garis bawah dari pernyataan penting melalui bawahi” merupakan bernilai sehingga kata-kata dia selalu membaca ulang makna garis bawah itu Kejujuran merupakan dasar untuk Kepercayaan hanya bisa tumbuh jika menentukan kebijakan yang terbaik terjadi suatu masalah Kepercayaan lebih penting daripada Kepercayaan tidak dapat dipisahkan berhadapan dengan perasaan dengan perasaan PERANAN KONTEKS Rendah Tinggi Selalu mengutamakan heterogenitas dan Selalu mengutamakan homogenitas budaya individual dan budaya kolektif Kompetitif Kooperatif Mengetahui dan mengetahui sedikitMengetahui dan menguasai sangat sedikit tentang segala sesuatu banyak tentang sesuatu Pernyataan secara eksplisit, bicara Pernyataan pesan selalu secara langsung implisit, kata-kata yang diucapkan bukan merupakan pesan komunikasi yang utama Ketika menjelaskan sesuatu maka tandaKetika menjelaskan sesuatu maka tanda nonverbal tidak penting peranan tanda-tanda nonverbal sangat penting karena dia memperkuat pesan commit to user verbal perpustakaan.uns.ac.id 29 digilib.uns.ac.id Mempercayai bahwa keputusan dan Mempercayai bahwa keputusan dan kehidupan mereka dipengaruhi oleh kehidupan mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang tidak dapat diri mereka sendiri mereka ubah atau terjadi secara kebetulan atau nasib EKSPRESI WAJAH Ekspresi Wajah Kurang Penting Ekspresi Wajah Merupakan Kunci Komunikasi Ekspresi wajah selalu moderat Ekspresi wajah selalu serius Fakta-fakta yang dikemukakan lebih Cara mengatakan sesuatu lebih penting penting daripada cara anda dari mengungkapkan kata-kata dalam mengungkapkan sesuatu komunikasi Menerima dan memberikan informasi Menerima dan memberikan informasi merupakan tujuan pertukaran komunikasi tidak selalu merupakan tujuan pertukaran komunikasi, relasi lebih penting Harmoni tidak selalu dibutuhkan dalam Selalu menjaga harmoni demi tujuan pertukaran informasi pertukaran komunikasi Kritik merupakan sesuatu yang baik Kritik merupakan sesuatu yang tabu dalam komunikasi dalam komunikasi Konfrontasi itu perlu untuk mengasah Konfrontasi merupakan sesuatu yang kecerdasan tidak lazim Kalau setuju katakan setuju dan tidak Sangat sulit mengatakan sikap tidak setuju katakan tidak setuju setuju Berkomunikasi lebih enak jika berhadap- Berkomunikasi berhadap-hadapan hadapan tidaklah utama Sumber: Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Alo Liliweri. 2011 hlm 321 6. Tawuran Menurut Kartono dalam Aprilia (2014), kelompok tawuran remaja ini pada masa awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis. Permainan yang mula-mula bersifat netral, baik, dan menyenangkan, kemudian berubah menjadi sebuah perilaku eksperimental yang berbahaya dan sering mengganggu atau merugikan orang lain. Pada akhirnya kegiatan tersebut menjadi sebuah tindakan kriminal. Dengan semakin sering frekuensi kegiatan bersama dalam bentuk keberandalan dan kejahatan itu commit to user membuat kelompok remaja ini menjadi semakin “ahli” dalam berkelahi dan 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terbentuk sebuah perilaku “perkelahian kelompok”, pengeroyokan, perang batu, dan termasuk perkelahian antarsekolah. Aksi demikian ini mempunya tujuan khusus yaitu mendapatkan prestige individual juga memiliki dalih untuk menjunjung tinggi nama sekolah. Mustofa (1998) membagi jenis-jenis tawuran pelajar menjadi: a. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turun-temurun / bersifat tradisional. b. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok yang lainnya berasal dari suatu perguruan yang didalamnya tergabung beberapa jenis sekolah. Permusuhan yang terjadi di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional. c. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya dipicu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan berpapasan dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya terjadilah saling ejek-mengejek sampai akhirnya terjadi tawuran. d. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang sama tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya tawuran antara siswa kelas II dengan siswa kelas III commit to user perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id Menurut Kartono (2006) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok atau tawuran, dan faktor-faktor itu ke dalam dua jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Faktor internal mencakup reaksi frustasi negatif, gangguan pengamatan, dan tanggapan pada diri remaja, gangguan cara berfikir pada diri remaja, dan gangguan emosional atau perasaan pada diri remaja. Tawuran pada dasarnya dapat terjadi karena tidak berhasilnya remaja untuk mengontrol dirinya sendiri. Gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja antara lain berupa: ilusi, halusinasi, dan gambaran semu. Pada umumnya remaja dalam memberi tanggapan terhadap realita cenderung melalui pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul pengertian yang salah. Hal ini disebabkan oleh harapan yang terlalu muluk dan kecemasan yang terlalu berlebihan. b. Faktor Eksternal Selain faktor dari dalam (internal) yang dapat menyebabkan tawuran juga ada beberapa faktor dari luar, yaitu keluarga, lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan, dan lingkungan sekitar. Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk watak anak. Kondisi keluarga sangat berdampak pada perkembangan yang dialami seorang anak, apabila hubungan dalam keluarganya baik maka akan berdampak positif begitupun sebaliknya, jika hubungan dalam keluarganya buruk maka akan pula membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan akan menyebabkan anak commit to user 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengalami ketidakpastian emosional, perlindungan dari orang tua, penolakan orang tua dan pengaruh buruk orang tua. Menurut Sarwono (2010) ada beberapa bentuk perilaku yang biasa muncul pada saat suatu kelompok tawuran yaitu: a. Perkelahian, pengancaman, atau intimidasi pada orang lain; b. Merusak fasilitas umum. Seperti melakukan penyerangan ke sekolah lain, dll; c. Mengganggu jalannya aktifitas orang lain. Tawuran yang terjadi juga menyebabkan terganggunya aktifitas orang lain atau masyarakat di sekitarnya. Seperti pembajakan bus atau kendaraan umum; d. Melanggar aturan sekolah; e. Melanggar undang-undang hukum yang berlaku di suatu negara; dan f. Melanggar aturan orang tua. Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan oleh para remaja ini memang sudah dikategorikan sebagai bentuk tindakan kriminal karena tidak hanya membahayakan bagi diri sendiri namun juga menjadikan pihak lain sebagai korban, bahkan masyarakat sekitar yang tidak ikut terlibat dalam perilaku tawuran ini juga mendapatkan kerugian fisik maupun materi. Bentuk tindakan tawuran ini sudah termasuk ke dalam bentuk perilaku delinkuensi (juvenile delinquency). commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id F. Operasionalisasi Konsep 1. Pelajar Usia Remaja Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) pelajar adalah anak sekolah (terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan), anak didik, murid, dan siswa. Pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari manapun, siapapun, dalam bentuk apapun, dengan biaya apapun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan apa yang dimilikinya dengan baik. Menurut Slamet (Haling, 2006:1) mengemukakan bahwa pelajar adalah individu yang melakukan proses seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Wingkel dalam Haling (2006:2) menjelaskan bahwa pelajar adalah manusia yang melalui suatu proses psikologi yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bersifat konstan atau menetap. Perubahan-perubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru yang segera nampak dalam perilaku nyata. Moh. Surya (1981:32), mendefinisikan pelajar sebagai individu yang melakukan proses usaha untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Menurut Darsono (2000) pengertian pelajar adalah individu yang melakukan perubahan karena pengalaman dan bukan karena bawaan sejak lahir. commit to user 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Di dalam kamus antropologi, remaja dijelaskan sebagai kategori sosial yang mencakup manusia yang berusia antara anak-anak dan dewasa. Definisi ini menekankan pada posisi dan peranan remaja dalam struktur dan sistem sosial masyarakat dan posisi remaja berada di antara strata anak-anak dan dewasa, atau masa remaja adalah masa peralihan dari anakanak dan dewasa. Definisi ini cocok bila diterapkan pada remaja yang hidup di kalangan masyarakat yang masih sederhana dengan kondisi sosial budaya yang mapan. Keadaannya akan sangat berlainan dengan remaja di lingkungan masyarakat yang sudah kompleks atau remaja pada masyarakat perkotaan. Remaja di lingkungan masyrakat perkotaan dituntut banyak persyaratan untuk dapat memasuki dunia orang dewasa, sementara kondisi dan situasi sosial budaya di lingkungan masyarakat ini begitu cepat berubah. Keadaan ini menyebabkan rumitnya persoalan yang dihadapi oleh remaja. Mereka dihadapkan dengan ketidakpastian norma dan budaya, sehingga masa peralihan mereka pun lebih panjang. Tidak adanya batasan pasti mengenai konsep remaja, pada penelitian ini yang dianggap remaja adalah mereka yang berumur antara 15-19 tahun, apabila dikaitkan dengan statusnya maka mereka yang menjadi pelajar di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id 2. Tawuran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), tawuran adalah perkelahian massal atau perkelahian yang dilakukan beramai-ramai. Berdasarkan definisi tersebut, maka tawuran pelajar dapat diartikan sebagai perkelahian yang dilakukan secara massal atau beramai-ramai antara sekelompok pelajar dengan sekelompok pelajar lainnya. Tawuran merupakan tidakan agresi yang dikategorikan sebagai bagian dari kenakalan remaja. Dengan demikian tawuran didefinisikan sebagai tindakan remaja yang dilakukan secara berkelompok atau massal dalam melanggar peraturan, dan diarahkan untuk merusak dan melukai orang lain secara fisik dan langsung. Di dalam penelitian ini, tawuran diartikan sebagai tindakan saling melempar batu atau benda lainnya dan tindakan agresi lain yang dilakukan secara berkelompok yang diarahkan untuk merusak dan melukai orang lain secara fisik. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turuntemurun 3. Gaya Komunikasi Proses komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara commit to user perpustakaan.uns.ac.id 36 digilib.uns.ac.id berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi (Soemirat, Ardianto, & Suminar, 1999). Gaya komunikasi didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver). G. Kerangka Berpikir Gambar 1 Kerangka Berpikir Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat dijelaskan bahwa peneliti ingin mengetahui hubungan antara gaya komunikasi agresif, asertif, dan pasif yang terdapat dalam komunikasi siswa SMA Negeri 70 dengan komunikasi konteks tinggi dan rendah. Pada akhirnya menemukan gaya komunikasi dan konteks komunikasi mana yang memiliki kecenderungan sebagai penyebab commit to user budaya tawuran di sekolah tersebut. perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id H. Metodologi Penelitian 1. Metode dan Jenis Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang fokus pada pemaparan gambaran dan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. (Pawito, 2007). Menurut Jane Richie, penelitian kualitatif adalah upaya yang menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti (Maleong, 2007). Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial, dimana muncul pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”, ketika peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan jika fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2006). Menurut Deddy Mulyana (2007) studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Penelitian ini berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai data yang diteliti menggunakan berbagai cara seperti wawancara, observasi, dan penelaahan dokumen. Menurut Lincoln dan Guba dalam Deddy Mulyana studi kasus mempunyai beberapa keistimewaan. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian etnik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti. Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari, merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan peneliti dan responden, memungkinkan pembaca menemukan konsistensi faktual yang dapat dipercaya. Dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus mengenai budaya tawuran yang ada di SMA Negeri 70, yang berbeda dari penjelasan obyek-obyek lainnya. Metode studi kasus digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis gaya komunikasi yang terdapat di SMA Negeri 70 Jakarta dan pengaruhnya terhadap budaya tawuran di sekolah tersebut. 2. Lokasi Penelitian SMA Negeri 70 Jakarta Jl. Bulungan Blok C/1, Kebayoran Baru Jakarta 12130 Telepon: (021) 7222667 / 7221343 Fax: (021) 7221343 Website: sman70-jkt.sch.id 3. Subjek Penelitian a) Siswa SMA Negeri 70 Jakarta Siswa SMA negeri 70 dikategorikan berdasarkan kelas mereka yaitu kelas X, XI, dan XII b) Alumni SMA Negeri 70 Jakarta commit to user 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari keterangan narasumber melalui wawancara. Wawancara dilakukan secara personal kepada narasumber yang telah dipilih. Narasumber di dalam lingkungan sekolah dibedakan berdasarkan kelas, yaitu kelas X, XI, dan XII sedangkan narasumber di luar lingkungan sekolah diperoleh dari wawancara kepada siswa tanpa membedakan kelas, alumni, dan pakar. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang mendukung data primer dan menggunakan sumber data yang diperoleh melalui kepustakaan, yaitu: buku, karya ilmiah, jurnal, dan arsip berita yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Data sekunder yang dipilih adalah yang berkaitan dengan ilmu komunikasi dan pemberitaan mengenai tawuran yang melibatkan siswa SMA Negeri 70. 5. Teknik Pengambilan Sampel Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik yang digunakan pada penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria. Purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui commit to user 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Menurut Nursalam (2003) purposive sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/117/jtptunimusgdl-srisugihar-5848-4-daftarp-a.pdf/ diakses pada 11-01-2015 00.26). 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yaitu peneliti melakukan komunikasi langsung dengan responden, komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu, wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide tetapi juga menangkap perasaan, pengalaman, emosi, dan motif yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan. Dalam wawancara peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Peneliti juga dapat meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri. Secara keseluruhan, wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus, karena studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan. Urusan-urusan kemanusiaan ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui pihak yang diwawancarai. Dan para responden yang mempunyai informasi dapat commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam situasi yang berkaitan (Yin, 2006). Menurut Pawito (2007: 133) wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) pada umumnya dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian. Pedoman wawancara akan lebih mempermudah langkah-langkah sistemisasi data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan interview guide sebagai pedoman dalam melakukan wawancara sehingga peneliti tidak keluar dari tujuan awal melakukan wawancara. Adapun pertanyaan-pertanyaan dari interview guide penelitian ini fokus pada perumusan masalah penelitian, misalnya, peneliti bertanya kepada siswa kelas X, XI, dan XII “Bagaimana gaya komunikasi kamu dengan teman seangkatan?, Bagaimana gaya komunikasi kamu dengan senior di sekolah? Bagaimana gaya komunikasi kamu dengan junior di sekolah?” pertanyaan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana karakteristik dan perilaku gaya komunikasi siswa dalam hubungannya dengan teman seangkatan, senior, atau junior. 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Tujuan analisis data kualitatif yaitu menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial commit to user 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial (Bungin, 2007:153). Penganalisisan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi, kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian. Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen (1982) sebagaimana dikutip Moleong (2007:248), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari analisis data adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian mempresentasikan hasil penelitiannya kepada orang lain. Gambar 2 Teknik analisis model interaktif commit to user 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, dengan teorinya Miles dan Huberman dalam Pawito (2007: 104) menawarkan suatu teknik analisis yang lazim disebut interactive model. Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan serta pengujian kesimpulan. Reduksi data bukan membuang data yang tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data dilakukan dan merupakan langkah yang tak terpisahkan dari analisis data. Tahapan yang peneliti lakukan dalam analisis data sesuai dengan teknik analisis Miles dan Huberman yaitu: a. Pengumpulan data Data yang didapat peneliti merupakan hasil dari wawancara oleh 14 orang narasumber. Dari 14 orang narasumber tersebut peneliti membagi menjadi 4 bagian yaitu siswa kelas X, XI, XI, dan alumni SMA Negeri 70 Jakarta. Setelah selesai meelakukan wawancara kepada 14 narasumber tersebut, selanjutnya peneliti membuat transkrip hasil wawancara tersebut ke dalam bentuk tulisan tanya jawab antara peneliti dengan narasumber. b. Penyajian data Komponen kedua yakni penyajian data melibatkan langkahlangkah mengorganisasikan data, yakni menjalin kelompok data yang satu dengan kelompok data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan. Dari data hasil commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id wawancara yang sudah diorganisasi dalam bentuk transkrip, kemudian peneliti melakukan penyajian data berupa analisis yang sesuai dengan rumusan masalah. c. Reduksi data Reduksi data bukan membuang data yang tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data dilakukan. Langkah reduksi data melibatkan beberapa tahap. Tahap pertama, melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti meyusun kode-kode dan catatan-catatan mengenai berbagai hal, termasuk yang berkenaan dengan data yang ditemui. Kemudian pada tahap terakhir dari reduksi data, peneliti menyusun rancangan konsepkonsep serta penjelasan-penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok-kelompok data bersangkutan. Dalam komponen reduksi data ini kelihatan bahwa peneliti akan mendapatkan data yang sangat sulit untuk di identifikasi pola serta temanya, atau mungkin kurang relevan untuk tujuan penelitian sehingga data-data bersangkutan terpaksa harus disimpan (diredusir) dan tidak termasuk yang akan dianalisis. commit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. Penarikan kesimpulan Pada komponen terakhir, yakni penarikan dan pengujian kesimpulan (drawing dan verifying conclusions), peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola- pola data yang ada dan atau kecenderungan dari penyajian data yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal, namun kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data yang ada. Peneliti dalam kaitan ini masih harus mengkonfirmasi, mempertajam, atau mungkin merevisi kesimpulan-kesimp proposisi-proposisi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti. kesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final berupa proposisi-proposisi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti. 8. Teknik Validitas Data Validitas data dalam penelitian kualitatif lebih meunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti (Pawito, 2007:97). Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010: 117). Oleh karena itu, data dinyatakan valid apabila data yang dilaporkan oleh peneliti tidak berbeda dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan peneliti adalah triangulasi. commit to user 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Triangulasi merupakan upaya untuk menunjukkan bukti empirik untuk meningkatkan pemahaman terhadap realitas atau gejala yang diteliti. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi data. Triangulasi data menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumbersumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data yang berkenaan dengan persoalan yang sama. Dalam hal ini peneliti membagi objek penelitian berdasarkan kelas, yaitu siswa kelas X, XI, dan XII. Hal ini dimaksudkan agar peneliti memperoleh informasi yang lebih akurat karena perspektif tidak hanya dilihat dari siswa junior kepada senior saja ataupun sebaliknya. commit to user