ISSN : 14411-1799 AKTIVA TETAP DALAM NERACA DAN BELANJA MODAL PADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (Studi Analisis Kualitatif Di Kantor Walikota Jayapura) John Agustinus * Abstract Within the context of debates about integrated and territorial approaches to rural development in Indonesia regions, this paper introduces the notion of integrated rural theorized in relation to the concepts of embeddedness, dis-embeddedness, endogeneity, and empowerment. The paper reports on qualitative research which explored the existence of such characteristics in rural networks operating among small businesses and resource controllers in the Jayapura. It is argued that the creation of embedded and endogenous networks does not necessarily result in empowerment for all concerned. Complex issues of participation and inclusion remain central to the creation of equitable, sustainable, and integrated rural. Keywords: networks, businesses, resource controllers Seiring dengan era reformasi yang mulai bergulir maka istilah good governance (pemerintahan yang baik) juga ikut populer, dengan maksud bahwa reformasi tanpa penataan kembali aspek pemerintahan yang baik tidak akan berhasil. Termasuk disini adalah Pemerintahan Daerah sebagai bagian dari struktur pemerintahan keseluruhan, setelah mendapat peran lebih dengan adanya otonomi daerah, diharuskan untuk melakukan pengelolaan pemerintahannya dengan baik. Aspek pemerintahan yang ditata kembali tersebut antara lain: birokrasi perangkat pemerintahan termasuk legislatif, pengelolaan sumber daya nasional yang ada di daerah, pengelolaan administrasi kepegawaian, dan pengelolaan keuangan daerah. Itikad baik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik coba diwujudkan dengan keluarnya peraturan perundangan. Khusus untuk pemerintahan daerah antara lain dengan adanya Undang-undang 22 tahun 1999 dan nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam bidang keuangan khususnya keuangan daerah, Implementasi terhadap prinsip-prinsip good governance tersebut antara lain dengan Peraturan Pemerintah nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Juga Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kedua peraturan perundangan tersebut semuanya menuntut adanya suatu pola ** Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay Jayapura Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 pelaksanaan pemerintahan yang baik dari sisi keuangan dengan penerapan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan yang dimaksud menurut Boediono (2002 : 4), yaitu : Pengaturan, pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan sistem serta prosedurnya dengan keputusan Kepala Daerah, Perencanaan, penganggaran berbasis kinerja dengan adanya indikator kinerja. Pelaksanaan, penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku, dan Pertanggungjawaban, pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas dan Neraca Daerah. Laporan keuangan termasuk bagian dari proses pertanggungjawaban yang harus disampaikan pada masyarakat merupakan bagian dari sifat transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, menurut Zaki Baridwan (1992:5-6) mempunyai manfaat apabila dipenuhi beberapa kualitas antara lain: Relevan, apabila harus dihubungkan dengan maksud penggunaannya untuk pengambilan keputusan, Dapat dimengerti, dinyatakan dalam bentuk dan dengan istilah yang dibatasi dengan pengertian para pemakai, Daya uji, pengukuran tidak dapat sepenuhnya lepas dari pertimbangan-pertimbangan dan pendapat yang subyektif, oleh karena itu untuk meningkatkan manfaatnya informasi harus dapat diuji kebenarannya oleh para pengukur yang independen dengan menggunakan metode pengukuran yang sama, terdiri dari: Netral, informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, dan tidak tergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak-pihak tertentu, Tepat waktu, informasi harus disampaikan sedini mungkin dapat digunakan sebagai dasar untuk membantu dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi, Daya banding, informasi dalam laporan keuangan akan lebih berguna bila dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya dari organisasi yang sama maupun dengan laporan keuangan organisasi lainnya. Harus diikuti dengan konsistensi sistem laporan, dan Lengkap, informasi akuntansi yang lengkap meliputi semua data akuntansi yang memenuhi secukupnya enam tujuan kualitatif di atas; dapat juga diartikan sebagai pemenuhan standar pengungkapan yang memadai dalam laporan keuangan. Neraca menggambarkan posisi semua kekayaan, kewajiban dan modal atau equitas suatu organisasi pemerintah daerah, dimana cara perolehannya adalah akumulasi dari realisasi APBD tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya atau berasal dari sitaan yang berkekuatan hukum serta barang hibah dan donasi. Aktiva atau aset dalam pengertian Suwarjono (2002:71) adalah kekayaan atau sumber ekonomik yang dikuasai perusahaan atau organisasi pemerintah dalam konteks keuangan pemerintah dan digunakan oleh organisasi yang bersangkutan untuk mencapai tujuannya. Al Haryono Yusup (1992:22) menambahkan bahwa aktiva adalah sumber-sumber ekonomi yang dimiliki organisasi yang biasanya dinyatakan dalam suatu uang. Sebagai bagian dari kekayaan suatu organisasi aktiva terdiri dari: Aktiva Lancar, Aktiva Tetap Berwujud ataupun Tidak Berwujud serta, Aktiva Lain-lain. Suwarjono (2002:71) mengatakan untuk dapat dikatakan sebagai aktiva, suatu objek atau pos harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: pertama, mempunyai manfaat ekonomik yang cukup pasti di masa datang (probable future sacrifices of economic benefits). Kedua, dikuasai oleh perusahaan atau organisasi (controlled by a particular entity) dan ketiga, timbul karena transaksi di masa lalu (result of past events). 10 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 Maka pembahasan penelitian ini adalah menganalisis beberapa sumber baik literature, informasi media masa dan informasi keuangan daerah untuk mengkaji tentang sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi/sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan untuk pemeliharaan sumber-sumber daya karena alasan sejarah dan budaya. Aktiva Tetap Aktiva tetap menurut Mardiasmo (2003:25) adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan atau satu tahun anggaran untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum, biaya perolehannya dapat diukur secara andal, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas dan dibangun atau diperoleh dengan maksud untuk digunakan. Bentuk aktiva tetap antara lain: Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi dan Jaringan, Aset Tetap Lainnya, dan Konstruksi Dalam Pengerjaan. Yang tidak termasuk menurut Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 adalah Aktiva Sumber Daya Alam seperti hutan, sungai, kekayaan di dasar laut, dan kandungan pertambangan, serta harta peninggalan sejarah yang menjadi aset nasional. Pencantuman Aktiva Tetap dalam neraca oleh Zaki Baridwan (1992:22) adalah dengan dimulai dari yang paling tetap (yang paling panjang umur ekonominya) disusul dengan yang lebih pendek umur ekonominya. Pengakuan Aktiva Tetap dengan nilai perolehannya atau dengan nilai buku atau dengan harga pasar yang sedang berlaku. Bila didapat dengan menggunakan mata uang asing (valas) maka aktivas tersebut harus dikonversikan dalam nilai rupiah berdasarkan kurs mata uang yang berlaku pada saat perolehan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan daerah. Disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan (Renstra) dan kemampuan daerah. APBD seperti yang diisyaratkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 dan disebutkan dalam PP No. 105 Pasal 8 bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja, mengharuskan adanya indikator pencapaian output disertai dampak dan manfaat jangka panjang dari input atau biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkannya. APBD yang dimaksud mempunyai struktur: Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Khusus untuk Belanja terdiri dari: Belanja Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan serta, Belanja Modal, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, Belanja Tidak Terduga. Berdasarkan asas manfaat belanja dibagi dengan Belanja Aparatur dan Belanja Publik, sehingga diketahui seberapa besar pengeluaran dalam APBD nantinya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara langsung dalam belanja publik dan secara tidak langsung tampak dalam belanja aparatur. Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 11 Devas (1989:281), mengemukakan bahwa, ciri pengelolaan keuangan yang baik antara lain sederhana, lengkap, berhasilguna dan mudah disesuaikan. Pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia selama ini, pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dimana sekitar dua pertiga dari pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat. Belanja Modal Peran APBD seperti yang disebutkan sebelumnya akan menjadi komponen dalam penyusunan Laporan Keuangan. Karena akuntansi pemerintahan biasanya disebut dengan akuntansi anggaran, Revrisond Baswir (1988:8) mengatakan pada dasarnya akuntansi pemerintahan merupakan bagian dari akuntansi mikro yang berfungsi mencatat dan melaporkan realisasi anggaran. Termasuk realisasi belanja yang diantaranya belanja modal baik dari belanja modal aparatur maupun belanja modal publik. Mardiasmo (2003:7) menyebutkan belanja modal adalah semua pengeluaran daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah. Belanja modal adalah belanja yang mengakibatkan adanya penambahan aktiva tetap berwujud ataupun tidak berwujud dan perolehannya mengakibatkan pengurangan kas atau penambahan hutang. Belanja modal sebagai bagian dari Belanja secara keseluruhan memiliki ciri karena pengorbanannya menghasilkan wujud aktiva sebagai ukuran kekayaan suatu organisasi. Semua pengeluaran yang dilakukan dalam memeperoleh aktiva diakui sebagai Harga Perolehan suatu aktiva. Untuk pengukuran dan penilaian aktiva tetap, lebih lanjut Mardiasmo (2003:25) dilakukan dengan beberapa cara: untuk penilaian awal, biaya perolehan aktiva tetap harus dikapitalisasi sebagai nilai aktiva. Berasal dari harga beli atau konstruksi, termasuk biaya impor dan setiap biaya yang dapat didistribusikan secara langsung yang membawa aktiva tetap ke dalam kondisi siap pakai. Apabila dengan cara tersebut tidak memungkinkan maka aktiva didasarkan pada nilai wajar pada saat perolehan. Biaya perolehan aktiva yang didapat dengan membangun sendiri meliputi biaya tenaga kerja langsung, bahan baku, dan biaya tidak langsung termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, perlengkapan, tenaga listrik, sewa peralatan, dan semua biaya lainnya yang terjadi dengan adanya pembangunan tersebut. Untuk acuannya sangat jelas terdapat dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) yang telah disetujui dan ditetapkan dalam Peraturan daerah yang tertuang dalam APBD. Termasuk komponen biaya yang tercantum dalam rencana anggaran satuan kerja dan diakui sebagai harga perolehan pada saat terealisir adalah: Biaya konstruksi (material, Tenaga Kerja), Biaya Perencanaan dan Pengawasan, Biaya Asuransi selama proses konstruksi, Biaya pemesangan dan percobaan, Biaya Administrasi Proyek dan Biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama persiapan, pelaksanaan dan penyerahan suatu asset kepada pemiliknya. Semua biaya yang dikeluarkan dikapitalisir menjadi harga perolehan aktiva yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah adanya penambahan nilai karena adanya aktivitas diluar upaya perolehan aktiva tersebut sehingga nilai perolehan yang dikapitalisir biasanya menjadi lebih besar dibanding dengan Harga perolehan yang umum berlaku (harga pasar). Misalnya adalah adanya biaya-biaya kepanitian dan 12 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 tenaga kerja tidak langsung lainnya karena adanya kebijakan organisasi. Aktiva Tetap Dalam Neraca Ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam hal yang berkaitan dengan aktiva tetap dalam neraca, Mardiasmo (2003:31-32) menyebutkan ketentuan secara teoritisnya adalah: Penyajian Aktiva Tetap, Aktiva Tetap dalam Neraca Daerah disajikan setelah Aktiva Lancar dan terpisah dari jenis aktiva lainnya. Pengungkapan, Yang perlu ditampilkan untuk masing-masing jenis aktiva tetap; Dasar penilaian, Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir peiode yang menunjukkan adanya penambahan, pelepasan, akumulasi penyusutan dan perubahan nilai serta mutasi aktiva lainnya, Informasi penyusutan yang meliputi jumlah penyusutan, metode yang dipakai, umur ekonomis atau tarif penyusutan, serta nilai tercatat bruto dan akumulasi awal dan akhir periode. Juga yang perlu ditampilkan adalah informasi mengenai: Eksistensi dan batasan hak milik atas aktiva tetap, Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi yang berkaitan dengan aktiva tetap, Jumlah pengeluaran pada pos aktiva tetap dalam pembangunan, Jumlah komitmen untuk kepemilikan aktiva tetap. Selanjutnya jika ada penilaian kemabali, maka Laporan Keuangan harus menyampaikan informasi: Dasar peraturan untuk menilai kembali, tanggal efektif berlakunya penilaian kemabali, Hakikat setiap petunjuk untuk penentuan biaya pengganti, jumlah tercatat setiap jenis Aktiva Tetap Permasalahan Lain Dalam Aktiva Tetap Permasalahan yang biasanya ada saat penyusunan neraca daerah adalah penentuan aktiva tetap. Antara lain dikarenakan dalam pencantuman masing-masing komponen yaitu: Tanah, dimana pengakuannya didasarkan pada kepemilikan daerah terhadap tanah yang dimaksud tidak disertai dengan dokumen bukti kepemilikan secara legal formal. Ditambah lagi selain pengelolaannya ditangan pemerintah daerah juga ada beberapa yang sedang dikelola oleh masyarakat umum. Tanah biasanya diakui dengan harga perolehan. Atau kalau tidak mungkin karena kurangnya dokumen bukti, dilakukan dengan estimasi harga yang berlaku dan untuk neraca awal bisa digunakan NJOP (SAKD : 37) Mesin dan Peralatan, permasalahannya adalah tidak jelasnya keberadaan asset tersebut walaupun dokumennya ada. Sehingga asas manfaat yang harus dimiliki oleh aktiva tidak dapat diukur karena bisa jadi penggunaannya bukan untuk operasi Pemerintah Daerah seperti: Gedung dan Bangunan, terutama karena kebanyakan aset dalam jenis ini merupakan peninggalan dari periode sebelumnya malahan dari jaman sebelum kemerdekaan sehingga nilai perolehan tidak diketahui dan adanya perubahan wujud dari aktiva ini diakibatkan oleh adanya Pemeliharaan, Renovasi dan Rehabilitasi Berat, Jalan, Irigasi dan Jaringan, permasalahannya adalah tidak jelasnya klasifikasi jalan merupakan milik Kabupaten, Propinsi atau Negara dan juga terjadinya perubahan kondisi aktiva setiap tahunnya karena adanya perbaikan dan renovasi. Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 13 KAJIAN TEORI Sejak era reformasi Tahun 1998 paradigma pembangunan nasional di Indonesia telah bergeser dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini diwujudkan melalui otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua perundang-undangan tersebut berpengaruh terhadap instrumen kebijakan dan manajemen bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dituntut untuk berorientasi pada kepentingan publik sehingga pemerintah daerah perlu membuat laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah selanjutnya dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelolaan keuangan daerah selaku pejabat pengelolaan keuangan daerah, dan kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. Selaku pelaksana kekuasaan ini pejabat pengelola keuangan daerah bertugas antara lain melaksanakan fungsi bendahara umum daerah dan menyusun laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Sedangkan pejabat pengguna anggaran/barang daerah bertugas antara lain mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya, dan menyusun laporan keuangan termasuk laporan barang milik/kekayaan daerah satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Laporan Pertanggungjawaban, kedua entitas tersebut sama kewajibannya yakni harus menyusun laporan setidak – tidaknya terdiri atas: Laporan realisasi Anggaran, yaitu laporan yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode tertentu, Neraca, yaitu laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan (aset, hutang, dan ekuitas dana) pemerintah pada suatu tanggal tertentu, Laporan Arus Kas, yaitu laporan yang menyajikan informasi mengenai sumber dan penggunaan kas dan setara kas pemerintah, serta perubahannya selama satu periode akuntansi, Catatan Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan BUMN atau BUMD meliputi antara lain kebijakan fiskal dan kinerja keuangan, atau rincian angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Laporan Arus Kas. Kebijakan Akuntansi Aktiva Tetap Dalam Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan merupakan prinsip – prinsip atau pedoman pokok yang digunakan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan pemerintah. Standar akuntansi pemerintahan berguna sebagai pedoman bagi penyusunan laporan dalam menyusun laporan keuangan pemerintah, sebagai kriteria bagi auditor dalam melaksanakan audit laporan keuangan pemerintah, sebagai pedoman bagi pengguna dalam memahami laporan keuangan pemerintah dan sebagai bahan acuan bagi penyusun sistem dalam mengembangkan sistem akuntansi pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan berperan sangat penting dalam meningkatkan akuntabilitas dan 14 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 transparansi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah, karena standar akuntansi berisikan prinsip – prinsip akuntansi yang menunjang penyajian informasi keuangan pemerintah yang relevan, andal, dapat dibandingkan dan dapat dipahami. Menyadari kebutuhan tersebut diatas, Menteri Keuangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 308/KMK/.012/2002 tanggal 13 Juni 2002 telah membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah (KSAP) yang bertugas menyusun standar akuntansi yang akan berlaku untuk pemerintah pusat dan daerah. Dalam mengembangkan standar akuntansi pemerintah, KASP menempuh due process yang lazim dilakukan dalam penetapan standar akuntansi yang meliputi antara lain pemilihan topik untuk dikembangkan menjadi standar, riset, penulisan dan pembahasan draft, peluncuran draft publikasian, dengar pendapat terbatas dan dengar pendapat publik, pembahasan tanggapan dan masukan dengar pendapat, permintaan pertimbangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), finalisasi standar, penetapan standar, dan sosialisasi. KASP mengembangkan standar akuntansi pemerintahan berorientasi kepada International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants. Kebijakan ini ditempuh agar sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah dapat diterima oleh masyarakat internasional. Disamping itu, untuk meningkatkan kualitas standar akuntansi pemerintah tersebut, KSAP juga memperhatikan praktek – praktek akuntansi yang terbaik yang berlaku di Indonesia dan negara lain. Praktek – praktek akuntansi di atas disesuaikan dengan operasi keuangan di pemerintahan Indonesia, peraturan perundang – undangan khususnya yang mengatur keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga standar yang dihasilkan diharapkan memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan kondisi Indonesia. KSAP juga memperhatikan kemudahan standar untuk dijadikan acuan dalam menyusun sistem akuntansi pemerintahan pusat maupun akuntansi pemerintahan daerah, kemudahan implementasi dan pemahaman para pengguna informasi, serta ketaatan terhadap peraturan perundang – undangan. Sistem akuntansi pemerintah adalah serangkaian prosedur dan perangkat yang digunakan untuk memproses transaksi keuangan negara, dari dokumen sumber sampai dihasilkannya laporan pertanggungjawaban keuangan. Dari pengertian tersebut tampak bahwa sistem akuntansi meliputi berbagai elemen yang diperlukan dalam proses akuntansi keuangan dan barang milik/kekayaan daerah. Elemen – elemen tersebut antara lain fomulir, catatan, buku –buku, laporan, sumber daya manusia, kebijakan, tata kerja, serta sarana dan prasarana yang diperlukan. Seluruh elemen ini saling berinteraksi dan harus sinkron dalam menghasilkan laporan pertanggungjawaban. Kebijakan pelaporan keuangan daerah bertujuan untuk mengatur penyusunan dan penyajian pelaporan keuangan daerah. Pelaporan keuangan daerah adalah laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah atas kegiatan keuangan dan sumber daya ekonomi yang dipercayakan serta menunjukkan posisi keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah. Pelaporan keuangan merupakan satu kesatuan yang terdiri dari laporan keuangan, catatan atas laporan keuangan, dan informasi tambahan yang harus disajikan bersama – sama. Laporan keuangan terdiri atas laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), nota perhitungan Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 15 APBD, neraca, dan laporan aliran kas. Pelaporan keuangan harus menyajikan secara wajar dan mengungkapkan secara penuh kegiatan pemerintah daerah dan sumber daya ekonomis yang dipercayakan, serta menunjukkan ketaatan terhadap peraturan perundang – undangan. Fungsi pelaporan keuangan adalah untuk mengkomunikasikan informasi keuangan kepada para pemakai. Kebijakan pelaporan keuangan ini merupakan pedoman penyusunan dan penyajian pelaporan keuangan daerah untuk memenuhi fungsi tersebut. Pelaporan keuangan juga perlu menyajikan perbandingan antara suatu periode akuntansi dengan periode akuntansi sebelumnya. Periode akuntansi adalah satu tahun anggaran. Agar perbandingan dapat bermanfaat, maka informasi keuangan suatu periode akuntansi harus dilaporkan secara konsisten dengan informasi keuangan periode akuntansi sebelumnya. Apabila terjadi perubahan akuntansi harus diungkapkan dalam pelaporan keuangan. Pelaporan keuangan harus diterbitkan tepat waktu, yakni segera setelah periode akuntansi berakhir. Pelaporan keuangan harus menyajikan transaksi dan kejadian penting. Informasi pelaporan keuangan dapat diandalkan jika pemakai laporan dapat menggunakan informasi tersebut untuk pembuatan keputusan atas transaksi dan kejadian yang penting berdasarkan kondisi keuangan yang sesungguhnya. Asumsi dasar dari pada pelaporan akuntansi adalah bahwa pertama, transaksi dan kejadian diakui atas dasar kas modifikasian. Kedua, dasar kas modifikasian merupakan kombinasi dasar kas dengan dasar akrual. Ketiga, transaksi dan kejadian dalam periode berjalan diakui atas dasar kas, yaitu saat penerimaan kas atau pengeluaran kas. Periode berjalan adalah periode akuntansi selama tahun anggaran yang sedang berjalan. Pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari transaksi dan kejadian dimaksud belum terealisir. Entitas pelaporan keuangan mengacu pada konsep bahwa setiap pusat pertanggungjawaban harus bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan perundang – undangan. Tujuan dari pada entitas pelaporan keuangan untuk menunjukkan entitas akuntansi pada pusat – pusat pertanggungjawaban keuangan daerah. Entitas pelaporan terdiri atas: Pemerintah Daerah secara keseluruhan, atau DPRD, Pemerintah tingkat provinsi/kabupaten/kota, dinas pemerintah tingkat provinsi/kabupaten/kota dan lembaga teknis daerah propinsi/kabupaten/kota. PEMBAHASAN Pemerintah pusat dan daerah harus mengelola keuangan negara secara transparan dan akuntabel. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pemerintah wajib menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan yang menyajikan informasi uang dan barang milik/kekayaan daerah secara terpadu dalam suatu laporan. Untuk keperluan penyusunan laporan tersebut diperlukan Standar Akuntansi Pemerintah yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan berlaku secara nasional. Pengembangan sistem akuntansi pemerintah daerah merupakan tanggungjawab daerah dan 16 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun penyusunannya harus mengacu kepada Standar Akuntansi Pemerintahan agar dapat dihasilkan laporan dengan struktur dan kualitas informasi yang seragam. Dengan demikian informasi yang dihasilkan dapat memenuhi berbagai kebutuhan seperti analisis keuangan antar daerah dan analisis kebijakan fiskal dan ekonomi makro. Sistem harus dirancang agar dapat menunjang pengelolaan uang dan barang milik/kekayaan daerah secara terpadu. Selama masa transisi pendapatan dan belanja dalam APBD/APBD berbasis kas, sehingga sistem harus mengakomodasikan pengakuan aset, utang dan ekuitas dengan berbasis akrual. Proses reformasi yang telah berjalan selama lima tahun terakhir telah menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan di negara kita. Salah satunya adalah adanya peribahan system pemerintahan dari sentralisasi ke system pemerintahan yang desentraliasi yang merupakan jawaban dari tuntutan daerah yang dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan dalam pelaksanaan pembangunan selama masa orde baru yang terlalu sentralistik. Aspirasi tersebut segera direspon oleh wakil rakyat kita dengan dikeluarkannya Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaaan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus perhatian selama ini yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (UU Otonomi Daerah), dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPPD). Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang tersebut telah membawa angin baru bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua undang-undang tersebut telah membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antar pemerintahan dan keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua Undang-undang tersebut mempunyai misi utama mewujudkan asas desentralisasi. Secara normatif, desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah Pusat ke pemerintah ditingkat yang lebih bawah. Positioning pemerintah selanjutnya hanya sebagai fasilitator dan katalis, yaitu mereka berperan untuk mengarahkan dan mengakselerasikan pelayanan publik pada masyarakat (Osborne, 1992). Dengan demikian, arah pembangunan tidak lagi berdasarkan konsep dari atas ke bawah (top down) melainkan lebih ke arah partisipasi dari bawah ke atas (bottom up). Secara substansial, wewenang pemerintah daerah menjadi sangat besar dalam melaksanakan pembangunan didaerahnya masing-masing. Bila ditinjau lebih jauh, UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah memiliki perbedaan yang signifikan dibanding undang-undang sebelumnya, yaitu UU No.5 tahun 1974. Perbedaan tersebut secara singkat dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Perbandingan antara UU No.22 tahun 1999 dengan UU No. & tahun 1974 No UU. No. 22 tahun 1999 UU. No.5 tahun 1974 1. Pemerintah Pusat Selanjutnya disebut pemerintah, adalah perangkat negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari presiden bersama para menteri Pemerintah Pusat Selanjutnya disebut disebut pemerintah, adalah perangkat negara kesatuan RI yang terdiri dari presiden bersama pembantu-pembantunya Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 17 2. 3. 4. 5. 6. Pemerintah Daerah Adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah Otonomi daerah Adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Desentralisasi Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepala daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia Pemerintah daerah Adalah kepala daerah beserta dewan perwakilan rakyat daerah Daerah Otonom Selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia Sumber Pendapatan daerah - Pendapatan asli daerah (PAD) yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. - Dana perimbangan - Pinjaman daerah - Lain-lain pendapatan daerah yang sah Derah otonom Selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Sumber Pendapatan Daerah - Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari hasil pajak derah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. - Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah, yang terdiri dari sumbangan dari pemerintah, sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan - Lain-lain pendapatan yang sah Otonomi daerah Adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku Desentralisasi Adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya Sumber: Kumpulan Undang-undang, 2003 Dari tabel diatas terdapat beberapa perubahan definisi kunci. Salah satunya adalah pemerintah daerah. Undang-undang lama mengatakan bahwa pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD setempat. Sedangkan peraturan baru menyebutkan yang dimaksud pemerintah daerah adalah badan eksekutif daerah yang terdiri atas kepala daerah dan perangkat otonom lainnya. Dengan demikian sudah terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi eksekutif dan legislatif. Perbedaan lain mengenai sumber pendapatan daerah, pada peraturan yang baru muncul dana perimbangan dan pnjaman daerah. Hal ini berarti daerah mempunyai sumber pembiayaan keuangan yang lebih luas (Mardiasmo, 2000). Perubahan diatas dimaksudkan untuk memperjelas keinginan agar pemerintah Daerah secara gradual dan berkesinambungan menjadi otonom yang tentunya harus berjalan secara efisien dan efekif. Arahan seperti itu adalah keharusan, karena dengan model pemerintah tersebut pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuru tanah air dapat dilaksanakan. Pada satu sisi, pembangunan 18 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 dengan model pemerintahan Daerah yang baru ini, implementasi berbagai program pemerintah di seluruh wilayah Indonesia dapat berjalan dengan baik. kebijakan desentralisasi telah menghasilkan wadah bagi masyarakat daerah untuk berperan serta dalam menentukan prioritas dan preferensinya sendiri dalam meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan nasional. Otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi mencakup pula kewenangan yang penuh dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaporan dan evaluasi. Dengan demikian, hal ini ditujukan untuk peningkatan pelayanan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang sesuai antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut mencakup pula kewenangan dalam penggunaan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat, maupun yang berasal dari pemerintah daerah sendiri. Paradigma–paradigma baru mempunyai implikasi terhadap kebutuhan ke arah akuntabilitas ganda. Akuntabilitas ganda adalah akuntabilitas atas penganggaran daerah terhadap level yang lebih tinggi (vertical accountability) dan juga akuntabilitas yang ditujukan kepada publik (horizontal accountability). Masyarakat selaku shareholder dari pemerintah daerah memiliki hak untuk mengetahui penganggaran daerah, bagaimana suatu anggaran direncanakan dan bagaimana suatu anggaran dilaksanakan. Dengan cara ini, publik akan mampu mengukur kinerja dari anggaran daerah. Untuk tetap dapat menjaga tujuan ini, pelaporan anggaran seharusnya dipublikasikan, dengan didasarkan pada prinsip objektivitas, konsisitensi, materialitas, serta pengungkapan. Fungsi akuntabilitas horisontal kepada masyarakat akan berjalan dengan lancar apabila proses check and balance dilakukan secara kontinyu. Perlunya proses review ini sendiri telah diamanatkan oleh UU No. 22 tahun 1999. Salah satu pasal dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemerintah daerah setiap tahunnya harus mengeluarkan laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut nantinya harus diaudit oleh auditor yang independen. Masalahnya sekarang adalah siapa yang melakukan audit terhadap laporan keuangan pemda. Apakah audit dilakukan oleh aparat pemerintah seperti BPK atau akan dilakukan oleh akuntan publik. Hal inilah yang sampai sekarang masih belum jelas pengaturannya. Jika nantinya akuntan publik dilibatkan dalam pengauditan terhadap pemda, bagaimana sebenarnya kesiapan pihak profesi akuntan publik menangkap kesempatan sekaligus tantangan ini. Berdasarkan hal diatas maka penelitian ini menganalisis kesiapan profesi akuntan publik dalam menyongsong otonomi daerah. Tetapi terlebih dahulu akan dijelaskan gambaran regulatory framework dalam proses otonomi daerah serta pengalaman negara yang lebih maju dalam menerapkan manajemen sektor publik. Peranan Kerangka Pengaturan (Regulatory Framework) Proses akuntabilitas publik yang dilakukan oleh pemerintah harus dilakukan secara transparan. Untuk itu dibutuhkan perangkat yang memadai untuk menunjang proses transparansi. Disinilah sebenarnya akuntansi berperan untuk menyajikan kinerja instansi pemerintah secara umum dan Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 19 pemda secara khusus. Akuntansi sendiri sebenarnya merupakan sistem informasi yang bertujuan untuk menampilkan kinerja suatu entitas kepada pihak yang berkepentingan dalam melakukan pengambilan keputusan alokasi sumber daya secara efektif. Kelemahan administrasi pengelolaan kekayaan negara selama ini haruslah mulai dibenahi. Salah satunya adalah penerapan akuntansi sektor publik dalam mekanisme pengelolaan kekayaan negara. Akuntansi sektor publik merupakan jawaban dari kelemahan administrasi selama ini. Akuntansi sektor publik sendiri sebenarnya merupakan perangkat akuntansi untuk menyajikan informasi mengenai kinerja badan-badan publik. Hal utama yang mendesak bagi pemerintah sekarang adalah mengganti sistem yang lama yang telah usang. Dua hal yang menjadi bidang pembenahan adalah perlunya perangkat peraturan mengenai pengelolaan keuangan negara. Hal lainnya adalah fungsi pengawasan pengelolaan keuangan negara itu sendiri melalui pemeriksaan atau audit. Analisis tersebut dapat dibahas bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengganti sistem yang lama tampaknya mulai dilakukan. Hal ini tampak dengan dengan disahkannya tiga rancangan undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara. Ketiga rancangan UU tersebut adalah RUU Keuangan Negara, RUU Perbendaharaan Negara dan RUU Pemeriksaan BPK atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara (Media Akuntansi, Mei 2000), menjadi UU dimana pemerintah juga melalui Kepmendagri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Tata Usaha Keuangan Daerah dan PenyusunanPerhitungan APBD. Didalamnya kepmendagri ini dijelaskan bahwa penyunan anggaran tidak lagi menggunakan system tradisional akan tetapi menggunkan anggaran yang berbasais kinerja dengan menggunkan system pencatatan double entry. Kembali lagi kepada sistem akuntansi pemerintah, sebenarnya upaya untuk mengganti sistem akuntansi pemerintah sudah dilakukan sejak dulu. Pemerintah melalui Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) telah menyusun Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). Tetapi kedua perangkat tersebut mendapat banyak kritikan karena sifatnya yang terlalu sentralistik dan tidak sesuai dengan semangat otonomi yang menekankan pada desentralisasi (Media Akuntansi, Pebruari 2000). Jika kita melihat kepada sektor privat, penyajian dan pengungkapan pelaporan keuangan mereka menggunakan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kemudian apakah standar akuntansi keuangan untuk sektor privat dapat diterapkan pada sektor publik atau tidak. Didalam SAK sendiri sebenarnya sudah terdapat standar PSAK No. 45 yang mengatur standar akuntansi untuk organisasi nirlaba. Namun demikian dalam paragraf penjelasan disebutkan bahwa standar tersebut tidak berlaku untuk lembaga pemerintah, departemen dan instansi pemerintah lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka yang kita butuhkan sekarang adalah satu sistem akuntansi sektor publik sebagai instrumen untuk mewujudkan akuntabilitas publik dari pemerintah. Untuk itu kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara maju dalam mengembangkan manajemen sektor publik mereka . 20 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 Kesimpulan Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa dampak yang besar dalam akuntabilitas publik. Meskipun masih banyak kendala karena disebabkan masih belum lengkapnya regulatory framework pendukung. Beberapa peraturan yang menyangkut pengelolaan keuangan negara dan pengawasannya yang sudah dibuat sampai sejauh ini masih belum begitu menunjukan hasil yang signifikan sehingga dibutuhkan usaha dan political will dari pemerintah dan aparat terkait dalam meciptaikan peraturan yang bisa mendukung mekanisme akuntabilitas vertikal dan horisontal oleh pemerintah daerah. Aktiva Tetap adalah bagian penting dalam neraca daerah untuk mengetahui seberapa besar kekayaan daerah tersebut yang terakumulasi dari APBD stiap tahun anggarannya, Aktiva Tetap menjadi salah satu tolak ukur dalam pertanggungjawaban Pemerintah Daerah untuk kewenangannya mengelola daerah, Cara perolehan Aktiva Tetap tersebut selama ini didapat dari pengeluaran pemerintah yang telah berlangsung bertahun-tahun dan tidak dicatat secara khusus dalam laporan keuangannya,Setelah mulai diberlakukan PP nomor 105 tahun 2002 dan Kepmendagri nomor 29 diharuskan untuk memperoleh Aktiva Tetap dengan proses Belanja Modal, Harus dipergunakan metode pengukurun perolehan dan konsistensi penggunaan metode dalam pencatuman Aktiva Tetap dalam Neraca Daerah, Tidak semua hasil realisasi belanja modal akan menghasilkan aktiva tetap, bisa juga berupa aktiva lain-lain yaitu dalam bentuk bangunan dalam proses. Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011 21 DAFTAR PUSTAKA Dale, Malcolm dan Tony Dale. 1998. Public Sector Reform in New Zealand and Its Relevance to Developing Country, The World Bank Research Observer Vol.13 No.1 (Februari): 03-21 Henley, Douglas, Clive Holtham, Andrew Likierman, John Perrin. 1990. Public Sector Accounting and Financial Control, 3th Edition, Chapman and Hall McCulloch, B.W., dan Ian Ball. 1992. Accounting in the Context of Public Sector Management Reform, Journal Financial Accountablity and Management Vol. 8 No. 1 (Spring). Mc. Hugh, J., dan William T. Steven. 1992. Harmonizing diverse Europe 1992 Auditing Standard Through the Single Audit Concept, The Government Accountants Journal, Vol. XLI No. 1 (Spring) Mardiasmo. 2000. “Value for Money Audit Dalam pemeriksaan Keuangan daerah Sebagai upaya memperkuat Akuntabilitas Publik”. Makalah Seminar yang diselenggarakan BPK, 15 April 2000. Media Akuntansi. 2000. “Akuntansi Pemerintah: Kelemahan dan upaya Penyelesaiannya”, edisi Pebruari, No.6. Media Akuntansi. 2000. “Mengintip Tiga RUU Baru Bidang Keuangan Negara”, edisi Mei, No.9. Narang, C. Jagdish. 1992. Enhancing Accounting and Auditing in Developing Countries, The Government Accountants Journal, Vol. XLI No. 1 (Spring) Osborne, David. 1992. Reinveting Government, Prentice Hall Publishing. Shrick, Allen. 1998. Why Most Developing Countries Should Not Try New Zealand’s Reforms, The World Bank Research Observer, Vol. 13, No. 1 (Februari): 123-31 Republik Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ________________,Undang-undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 22 Analisis Manajemen Vol. 5 No. 2 Desember 2011