Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
4
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Persilangan Sebidang Jalan dan Jalan Rel
Persilangan sebidang antara jalan dengan jalan rel (perlintasan) merupakan
kasus khusus pada suatu ruas jalan raya dengan tanggung jawab untuk pengaturan
dan pertimbangan keamanan terbagi pada kepentingan jalan dan jalan rel.
Pengemudi kendaraan yang mendekat ke suatu perlintasan harus memiliki
pandangan yang tidak terhalang ke jalur masuk yang cukup untuk memungkinkan
kontrol terhadap kendaraan. Selain ditinjau dari segi keselamatan, perlintasan juga
berdampak terhadap tundaan kendaraan. Tundaan yang terjadi pada persilangan
sebidang antara jalan dan jalan rel dipengaruhi oleh faktor-faktor :
(1) pengoperasian kereta yang meliputi kecepatan, panjang kereta, dan frekuensi
kereta yang lewat dalam satu hari;
(2) pengoperasian jalan yang meliputi kecepatan kendaraan dan tingkat
kepadatan arus;
(3) kondisi geometrik jalan yang meliputi lebar jalan, jumlah lajur, dan
keberadaan pemisah arus, keberadaan rumble strips, dan alur jalan rel.
II.2 Karakteristik Lalu Lintas
Lalu lintas merupakan interaksi antara beberapa komponen yang membentuk
suatu sistem yang terdiri dari jalan, manusia, dan kendaraan. Untuk keberhasilan
pengoperasiannya, ketiga komponen ini harus kompatibel. Dalam kenyataan seharihari hal ini tidak pernah terjadi, akibatnya sistem lalu lintas jalan seringkali gagal.
Kecelakaan, kemacetan, dan gangguan lalu lintas merupakan contoh kegagalan
sistem dan hampir semua kasus disebabkan oleh ketidaksesuaian antar ketiga
komponen, atau antar satu komponen dan lingkungan dimana sistem beroperasi.
Ada tiga karakteristik primer dalam teori arus lalu lintas yang saling terkait,
secara makroskopik dikenal dengan arus (flow), kecepatan (speed), dan kerapatan
(density), dimana ketiga variabel ini menggambarkan kualitas tingkat pelayanan
yang dialami oleh pengemudi kendaraan (Martin dan Brian, 1967).
5
A.
Arus dan Volume
Arus lalu lintas (flow) adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik
pengamatan pada penggal jalan tertentu pada periode waktu tertentu, diukur dalam
satuan kendaraan per satuan waktu.
Sedangkan volume adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan
pada periode waktu tertentu, diukur dalam satuan kendaraan per satuan waktu.
Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau kendaraan/jam. Volume
dapat juga dinyatakan dalam periode waktu yang lain. Dalam pembahasannya
volume dibagi menjadi :
(1)
volume harian (daily volumes)
Volume harian ini digunakan sebagai dasar untuk perencanaan jalan dan
observasi umum tentang trend. Pengukuran volume harian dibedakan
menjadi :
(a)
Average Annual Daily Traffic (AADT), dalam satuan vehicle per
hour (vph) rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam
dalam kurun waktu 365 hari.
(b)
Average Annual Weekday Traffic (AAWT), dalam satuan vehicle
per hour (vph) rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam
pada hari kerja selama satu bulan dalam kurun waktu 365 hari.
(c)
Average Daily Traffic (ADT), dalam satuan vehicle per hour (vph)
rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam penuh dalam
periode waktu tertentu yang lebih kecil dari satu tahun, misal enam
bulan, satu musim, seminggu.
(d)
Average Weekday Traffic (AWT), dalam satuan vehicle per hour
(vph) rata-rata yakni volume yang diukur selama 24 jam pada hari
kerja selama satu bulan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
(2)
volume jam-an (hourly volumes)
Yakni suatu pengamatan terhadap arus lalu lintas untuk menentukan jam
puncak selama periode pagi dan sore yang biasanya terjadi kesibukan
akibat orang pergi dan pulang kerja. Dari pengamatan tersebut dapat
diketahui arus yang paling besar yang disebut sebagai jam puncak. Arus
6
pada jam puncak ini dipakai sebagai dasar untuk desain jalan raya dan
analisis operasi lainnya.
(3)
volume per sub jam (subhourly volumes)
Yakni arus yang disurvei dalam periode waktu lebih kecil dari satu jam.
B.
Kecepatan (Speed)
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh. Kecepatan umumnya dibagi menjadi tiga jenis :
(1)
kecepatan setempat (spot speed)
Adalah kecepatan kendaraan kendaraan pada suatu saat diukur dari suatu
tempat yang ditentukan.
(2)
kecepatan bergerak (running speed)
Adalah kecepatan kendaraan rata-rata pada suatu jalur pada saat
kendaraan bergerak dan didapat dengan membagi panjang jalur dibagi
dengan lama waktu kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut.
(3) kecepatan perjalanan ( journey speed)
Adalah kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara
dua tempat, dan merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama
waktu bagi kendaraan untuk menyelesaikan perjalanan antara dua tempat
tersebut, dengan lama waktu ini mencakup setiap waktu berhenti yang
ditimbulkan oleh hambatan (penundaan) lalu lintas.
Panjang lintas pengamatan untuk survai kecepatan setempat dapat dilihat
pada Tabel II. 1 berikut ini :
Tabel II.1 Panjang Lintasan Pengamatan yang Dianjurkan
Kecepatan rata-rata arus lalu lintas
Panjang lintasan
(km/jam)
(m)
< 40
25 - 30
40 – 65
50 – 60
> 65
75 - 90
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1990
7
Dalam pergerakan arus lalu lintas, tiap kendaraan berjalan pada kecepatan
yang berbeda. Dengan demikian dalam arus lalu lintas tidak dikenal kecepatan
tunggal tetapi lebih dikenal sebagai distribusi dari kecepatan kendaraan tunggal.
Dari distribusi tersebut jumlah rata-rata atau nilai tipikal dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik dari arus lalu lintas. Dalam perhitungannya, kecepatan
rata-rata dibedakan menjadi :
Time Mean Speed ( U t )
(1)
Adalah kecepatan rata-rata dari seluruh kendaraan yang melewati suatu
titik dari jalan selama periode waktu tertentu.
(2)
Space Mean Speed ( Us )
Adalah kecepatan dari seluruh kendaraan yang menempati penggalan
jalan selama periode waktu tertentu.
Keduanya dapat dihitung dari serangkaian pengukuran waktu tempuh dan
pengukuran jarak menurut rumus di bawah ini (May, 1990) :
n
d
∑t
i
U t = i =1 .......................................................................................................... (II.1)
n
Us =
d
n
t
∑ ni
i =1
.......................................................................................................... (II.2)
Wadrop memberikan persamaan hubungan umum antara U t dan Us adalah :
2
σ
U t = Us + s .................................................................................................... (II.3)
Us
dimana :
U s = space mean speed (km/jam , m/dt)
Ut
= time mean speed (km/jam , m/dt)
σs
= simpangan baku dari space mean speed
d
= jarak tempuh (km, meter)
ti
= waktu tempuh kendaraan (jam, detik)
n
= jumlah kendaraan yang diamati
8
Sedangkan untuk menghitung besarnya kecepatan rata-rata ruang dari
keseluruhan lalu lintas kendaraan bermotor digunakan rumus (Budiarto,1998) :
Usr =
n MC . Us MC + n LV . Us LV + n HV . Us HV
n MC + n LV + n HV
.................................................... (II.4)
dimana :
Usr
= kecepatan rata-rata ruang dari seluruh kendaraan (km/jam)
nMC
= jumlah sampel sepada motor
nLV
= jumlah sampel kendaraan ringan
nHV
= jumlah sampel kendaraan berat
Us MC
= kecepatan rata-rata ruang sepeda motor (km/jam)
Us LV
= kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)
Us HV
= kecepatan rata-rata ruang kendaraan berat (km/jam)
Selanjutnya, untuk mendapatkan variabel kerapatan (D) dilakukan dengan
membagi jumlah arus (V) dalam satuan smp dengan kecepatan rata-rata ruang
keseluruhan ( Usr ).
C.
Kerapatan (Density)
Kerapatan didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu
panjang jalan atau lajur, secara umum diekspresikan dalam vehicle per mile (vpm)
atau vehicle per mile per lane (vpmpl). Kerapatan sulit diukur secara langsung di
lapangan, sehingga nilai kerapatan diperoleh dari hubungan :
V = Us ∗ D
Sehingga D =
V
........................................................................................... (II.5)
Us
dimana :
V
= volume (kend/jam)
Us
= space mean speed (km/jam)
D
= kerapatan (kend/km)
9
II.3 Ekivalensi Mobil Penumpang
Untuk keperluan analisa dan perhitungan dari arus lalu lintas yang terdiri dari
berbagai macam tipe maka perlu dikonversikan ke dalam satuan kendaraan ringan,
yang dikenal sebagai satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan faktor
ekivalensi mobil penumpang.
DPU (1997) mendefinisikan satuan mobil penumpang dan ekivalen mobil
penumpang sebagai berikut :
(1)
satuan mobil penumpang (smp) yaitu satuan arus dimana arus dari berbagai
tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil
penumpang dengan menggunakan emp);
(2) ekivalensi mobil penumpang (emp) yaitu faktor konversi berbagai jenis
kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan
lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas, dimana
untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya nilai emp sama
dengan 1,0.
Nilai satuan mobil penumpang pada daerah ruas menggunakan nilai ekivalen
jalan perkotaan terbagi pada Bab 5 MKJI 1997.
Tabel II.2
Nilai emp untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah
Sumber : DPU, 1997
10
Dimana klasifikasi kendaraan yang dimaksud sebagai berikut :
(1) kendaraan ringan (LV) yaitu kendaraan bermotor beras dua dengan empat
roda dengan jarak as 2,0-3,0 meter, meliputi mobil penumpang, mikrobis,
pick up, dan truk kecil sesuai klasifikasi Bina Marga;
(2) kendaraan berat (HV) yaitu kendaraan bermotor dengan lebih dari empat
roda yang meliputi bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga;
(3) sepeda motor (MC) yaitu kendaraan bermotor dengan dua atau tiga roda
yang meliputi sepeda motor dan kendaraan roda tiga sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga.
II.4 Kapasitas
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan
yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua
lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah),
tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas
ditentukan per lajur.
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut :
C = Co x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ............................................................... (II.6)
dimana :
C
= kapasitas (smp/jam)
Co
= kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi), bernilai
1,0 untuk jalan terbagi dan jalan satu arah
FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
FCCS = faktor penyesuaian ukuran kota
11
Tabel II.3 Kapasitas Dasar (Co)
Sumber : DPU, 1997
Tabel II.4 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FCW)
Sumber : DPU, 1997
12
Tabel II.5 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Hambatan Samping dan Jarak
Kereb Penghalang (FCSF)
Sumber : DPU, 1997
Tabel II.6 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Ukuran Kota (FCCS)
Sumber : DPU ,1997
II.5 Model Hubungan Karakteristik Arus Lalu Lintas
Pendekatan teori dari pergerakan kendaraan di jalan sering diambil dari
prinsip aliran fluida. Hal ini disebabkan terdapatt kemiripan antara aliran fluida dan
pergerakan arus pada kondisi kepadatan tinggi.
Model yang pertama diajukan dengan mengasumsikan fenomena keadaan
tunggal (single regime) atas rentang kompleks dari kondisi aliran arus yang
meliputi arus bebas dan kondisi arus macet. Model yang diajukan belakangan
berusaha lebih mempresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan dengan
13
mempertimbangkan penggabungan dua keadaan, yaitu keadaan arus bebas dan
keadaan arus macet dengan mengenalkan parameter tambahan.
A.
Model Linier Greenshields
Model ini adalah model yang paling awal tercatat dalam usaha mengamati
perilaku lalu lintas. Greenshields mengadakan studi pada jalur jalan di luar kota
Ohio, dimana kondisi lalu lintas memenuhi syarat karena tanpa gangguan dan
bergerak secara bebas (steady state condition). Greenshields mendapatkan hasil
bahwa hubungan antara kecepatan dan kerapatan bersifat linier. Berdasarkan
penelitian-penelitian selanjutnya terdapat hubungan yang erat antara model linier
dengan keadaan data di lapangan. Hubungan linier kecepatan dan kerapatan ini
menjadi hubungan yang paling populer dalam tinjauan pergerakan lalu lintas,
mengingat fungsi hubungannya adalah yang paling sederhana sehingga mudah
diterapkan. Model ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
⎛ Uf ⎞
⎟ D ............................................................................................ (II.7)
Us = U f − ⎜
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
dimana :
Us
= kecepatan rata-rata ruang
Uf
= kecepatan rata-rata ruang keadaan arus bebas (free flow)
Dj
= kerapatan pada saat macet (jam density)
D
= kerapatan
Pada saat kecepatan merupakan kecepatan arus bebas (free flow), pengemudi dapat
memacu kendaraannya pada kecepatan yang diinginkannya sedangkan pada saat
kondisi kerapatan macet (jam density), kendaraan tidak dapat bergerak sama sekali
atau kondisi kecepatan sangat kecil.
Untuk mendapatkan nilai konstanta U f dan Dj, maka persamaan (II.7) diubah
menjadi persamaan linier y = a + bx, dengan memisalkan :
y = Us
a
= Uf
x=D
b= −
Uf
Dj
14
Hubungan antara arus dan kerapatan diperoleh dari substitusi Us =
V
ke
D
persamaan (II.7) didapat :
⎛ Uf ⎞
⎟D
Us = U f − ⎜
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
⎛ Uf ⎞
V
⎟D
= Uf − ⎜
⎜ Dj ⎟
D
⎝
⎠
⎛ Uf ⎞ 2
⎟ D ...................................................................................... (II.8)
V = D Uf − ⎜
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
Hubungan antara arus dan kecepatan diperoleh dari substitusi D =
V
ke
Us
persamaan (II.7) didapat :
⎛ Uf ⎞
⎟D
Us = U f − ⎜
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
⎛ Uf ⎞ V
⎟
Us = U f − ⎜
⎜ D j ⎟ Us
⎝
⎠
⎛ Dj ⎞
⎟ Us 2 ................................................................................. (II.9)
V = Us D j - ⎜⎜
⎟
⎝ Uf ⎠
Harga arus maksimum dapat dicari dengan menurunkan persamaan (II.8)
terhadap kerapatan (D) dan nilai arus maksimum terjadi pada saat nilai kerapatan
maksimum yakni pada saat nilai turunan pertama (diferensial ke-1) tersebut sama
dengan nol.
⎛ Uf ⎞ 2
⎟D
V = D Uf − ⎜
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
⎛U ⎞
∂V
= Uf − 2 Dm ⎜ f ⎟
⎜ Dj ⎟
∂D
⎝
⎠
Untuk nilai
∂V
= 0 maka :
∂D
⎛U ⎞
0 = Uf − 2 Dm ⎜ f ⎟
⎜ Dj ⎟
⎝
⎠
15
Dm =
Dj
......................................................................................................... (II.10)
2
Dm disubstitusikan ke dalam persamaan (II.8) dengan kondisi V berubah
Nilai
menjadi Vm dan D menjadi Dm , diperoleh :
Vm =
D j Uf
................................................................................................... (II.11)
4
dimana :
Vm = arus maksimum (kend/jam)
Arus (smp/jam)
Dm = kerapatan pada saat arus maksimum (kend/km)
tan θ =
Vm
Vm
= Um
Dm
θ
Kecepatan (km/jam)
0
Dm
Dj
Uf
Uf
Um
0
Dm
Dj
Kerapatan (smp/km)
0
Vm
Arus (smp/jam)
Gambar II.1 Hubungan Antara Kecepatan, Arus dan Kerapatan Model
Greenshields
16
Selanjutnya hubungan antara ketiga kecepatan, volume dan kerapatan
digambarkan pada Gambar II.1. Gambar ini menunjukkan bentuk umum hubungan
antara arus
dengan kecepatan, arus
dengan kerapatan dan kecepatan dengan
kerapatan. Hubungan antara kecepatan dengan kerapatan adalah monoton ke bawah
yang artinya apabila kerapatan naik, maka kecepatan akan turun. Arus menjadi nol
ketika kerapatan sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan kendaraan untuk
bergerak lagi. Ketika kerapatan nilainya nol, maka tidak terdapat kendaraan di jalan
sehingga arus juga nol. Antara kedua nilai-nilai ekstrim tersebut dikembangkan
hubungan antara kedua parameter tersebut.
Gambar II.1 menunjukkan beberapa titik penting, yaitu tingkat volume nol
terjadi pada dua kondisi berbeda. Pertama, jika tidak ada kendaraan di fasilitas,
kerapatan adalah nol dan tingkat arus adalah nol. Secara teoritis, kecepatan pada
saat kondisi ini ditentukan oleh pengemudi pertama (diasumsikan pada nilai yang
tinggi). Kecepatan ini dinyatakan dalam U f . Kedua, jika kerapatan menjadi begitu
tinggi sehingga semua kendaraan harus berhenti, kecepatan adalah nol dan tingkat
arus adalah nol. Karena tidak ada pergerakan dan kendaraan tidak dapat melintas
pada suatu titik di potongan jalan. Kerapatan dimana semua kendaraan berhenti
disebut kerapatan macet dinyatakan sebagai Dj.
Di antara kedua ekstrim tersebut, dinamika arus lalu lintas menghasilkan
pengaruh maksimum. Dengan meningkatnya arus dari nol, kerapatan juga
meningkat karena lebih banyak kendaraan di jalan. Jika hal ini terjadi, kecepatan
menurun karena interaksi antar kendaraan. Penurunan ini diabaikan pada kerapatan
dan arus rendah dan sedang. Dengan meningkatnya kerapatan, kurva ini
menganjurkan bahwa kecepatan menurun cukup berarti sebelum kapasitas dicapai.
Apabila kerapatan naik dari nol, maka arus juga naik. Namun apabila
kerapatan terus naik akan dicapai suatu titik dimana akan menyebabkan penurunan
kecepatan dan arus. Titik maksimum ini dinamakan kapasitas.
B.
Model Logaritma Greenberg
Hubungan karakteristik arus lalu lintas pada model ini dibuat dengan
mengasumsikan bahwa arus lalu lintas mempunyai kesamaan dengan arus fluida.
Pada tahun 1959 Greenberg mengadakan studi yang dilakukan di terowongan
17
Lincoln dan menganalisa hubungan antara kecepatan dan kerapatan dengan
menggunakan asumsi persamaan kontinuitas dari persamaan gerakan benda
cair/fluida. Rumus dasar dari Greenberg adalah :
D = c e bUs ............................................................................................ (II.12)
dimana c dan b merupakan nilai konstanta
Dengan menggunakan asumsi di atas Greenberg mendapatkan hubungan
antara kecepatan dan kerapatan berbentuk logaritma sebagai berikut :
Us = U m ln
Dj
........................................................................................ (II.13)
D
Untuk mendapatkan nilai konstanta U m dan Dj, maka persamaan (II.13) diubah
menjadi persamaan linier y = a + bx sebagai berikut :
Us = U m . ln Dj - U m . ln D ......................................................................... (II.14)
Dengan memisalkan variabel-variabelnya :
y = Us
a
x = ln D
= U m . ln Dj
b = - Um
Untuk mendapatkan hubungan antara arus dan kerapatan maka Us =
V
D
disubstitusikan ke persamaan (II.11) :
Us = U m . ln Dj - U m . ln D
V
= U m . ln Dj - U m . ln D
D
V
= U m (ln Dj – ln D)
D
Dj
V
= U m . ln
D
D
V = U m D ln
Dj
D
..................................................................................... (II.15)
18
Hubungan antara arus dan kecepatan didapat dari substitusi D =
V
ke
Us
persamaan (II.13) didapat :
⎛
⎞
⎜ Dj ⎟
Us = U m . ln ⎜
⎟
V
⎜
⎟
⎝ Us ⎠
⎛ D j Us
Us = U m . ln ⎜
⎜ V
⎝
⎛ D j Us
ln ⎜
⎜ V
⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
⎞ Us
⎟=
⎟ Um
⎠
V = D j Us e
−
Us
Um
............................................................................................. (II.16)
Nilai kerapatan pada saat arus maksimum untuk model Greenberg dapat
dicari dengan menurunkan persamaan (II.15) terhadap kerapatan (D) dan
menyamakan hasil diferensial tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
V = U m . D . ln
Dj
D
⎛ Dj
⎜− 2
⎛ Dj ⎞
∂V
⎟ + U m D⎜ D
= U m ln⎜⎜
⎟
∂D
⎜ Dj
⎝ D ⎠
⎜ D
⎝
⎛Dj ⎞
∂V
⎟ − Um
= U m ln⎜⎜
⎟
∂D
⎝ D ⎠
Untuk nilai
∂V
= 0 maka :
∂D
⎛ Dj ⎞
⎟ − Um
0 = U m ln⎜⎜
⎟
⎝ D ⎠
⎛ Dj ⎞
⎟ −1
0 = ln⎜⎜
⎟
⎝ D ⎠
⎞
⎟
⎟
⎟
⎟
⎠
19
⎛ Dj ⎞
⎟
0 = ln⎜⎜
⎟
D
⎝
⎠
Dm =
Dj
e
........................................................................................................ (II.17)
Sedangkan nilai kecepatan pada saat volume maksimum dicari dengan
menurunkan persamaan (II.16) terhadap kecepatan ( U s ) dan menyamakan hasil
diferensial tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
V = D j Us e
−
Us
Um
U
Us
− s
⎛ 1 ⎞ ⎛⎜ − U m
∂V
Um
⎟⎟ e
= Dj e
+ D j U s ⎜⎜ −
⎜
U
∂U s
m ⎠⎜
⎝
⎝
U
⎛ − Us
− s
Us
∂V
Um
D j ⎜⎜ e U m
= Dj e
−
∂U s
Um
⎜
⎝
U
⎛
− s
∂V ⎜
Um
= Dj e
∂U s ⎜⎜
⎝
Untuk
⎞
⎟
⎟⎟
⎠
⎞
⎟
⎟⎟
⎠
⎞⎛
⎟⎜1 − U s ⎞⎟
⎟⎟⎜ U ⎟
m⎠
⎠⎝
∂V
= 0 maka :
∂U s
U
⎛
− s
⎜
Um
0 = ⎜D j e
⎜
⎝
⎞⎛
⎟⎜1 − U s ⎞⎟
⎟⎟⎜ U ⎟
m⎠
⎠⎝
⎛
U ⎞
0 = ⎜⎜1 − s ⎟⎟
⎝ Um ⎠
U s = U m .......................................................................................................... (II.18)
Arus maksimum pada metode Greenberg dihitung dengan menggunakan rumus
dasar :
Vm = D m x U m
=
Vm =
Dj
e
x Um
D j Um
................................................................................................... (II.19)
e
20
C.
Model Eksponensial Underwood
Underwood mengemukakan suatu hipotesis bahwa hubungan antara
kecepatan dan kerapatan merupakan hubungan eksponensial dengan bentuk
persamaan sebagai berikut :
Us = U f e
−
D
Dm
................................................................................................. (II.20)
Untuk mendapatkan nilai konstanta U f dan Dm, maka persamaan (II.20)
diubah menjadi persamaan linier y = a + bx sebagai berikut :
−
ln ( Us ) = ln ( U f . e
ln ( Us ) = ln ( U f ) -
D
Dm
)
D
................................................................................. (II.21)
Dm
Dengan memisalkan variabel-variabelnya :
y = ln Us
a
x=D
= ln U f
b=-
1
Dm
Untuk mendapatkan hubungan antara volume dan kerapatan maka Us =
V
D
disubstitusikan ke persamaan (II.20) :
−
Us = U f e
D
Dm
D
−
V
= Uf e D m
D
V = D Uf e
−
D
Dm
.............................................................................................. (II.22)
Selanjutnya dengan mengganti U f = eB dan Dm = −
−
V = D Uf . e
D
Dm
V = D . eB . e-D/(-1/A)
V = D . eB+AD
1
didapat :
A
21
Hubungan antara arus dan kecepatan didapat dengan substitusi D =
V
ke
Us
persamaan (II.20) :
−
Us = U f . e
D
Dm
−
Us = U f . e
V
UsDm
Apabila kedua ruas dinyatakan dalam fungsi logaritma naturalis, maka diperoleh
persamaan :
−
V
ln ( Us ) = ln ( U f . e U s D m )
ln ( Us ) = ln ( U f ) -
V
Us . Dm
V = Us . Dm . ln ( U f ) - Us . Dm . ln ( Us )
V = Us D m ln
Uf
............................................................................................. (II.23)
Us
Nilai kerapatan pada saat arus maksimum dicari dengan menurunkan
persamaan (II.22) terhadap kerapatan (D) dan menyamakan hasil diferensial
tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
−
V = D Uf e
D
Dm
− DD
⎛ 1
∂V
= U f e m + U f D ⎜⎜ −
∂D
⎝ Dm
− D
∂V
= U f e Dm − U f
∂D
− D
∂V
= U f e Dm
∂D
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎛
D
⎜⎜1 −
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
⎞ ⎛ − DDm
⎟⎟ ⎜ e
⎜
⎠⎝
⎞ ⎛ − DDm
⎟⎟ ⎜ e
⎜
⎠⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
⎞
⎟
⎟
⎠
22
Untuk
∂V
= 0 maka diperoleh :
∂D
0 = Uf e
− DD
⎛
D
⎜⎜1 −
⎝ Dm
m
⎛
D
0 = ⎜⎜1 −
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
⎞
⎟⎟
⎠
D m = D ....................................................................................................... (II.24)
Sedangkan nilai kecepatan pada saat arus maksimum dicari dengan
menurunkan persamaan (II.23) terhadap kecepatan ( U s ) dan menyamakan hasil
diferensial tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
V = Us Dm ln
Uf
Us
⎛ Uf
⎜− 2
⎛ Uf ⎞
∂V
Us
⎟⎟ + D m U s ⎜
= D m ln ⎜⎜
⎜ Uf
∂U s
⎝ Us ⎠
⎜ U
s
⎝
⎛U
∂V
= D m ln ⎜⎜ f
∂U s
⎝ Us
⎞
⎟⎟ - D m
⎠
⎡ ⎛U
∂V
= D m ⎢ln ⎜⎜ f
∂U s
⎢⎣ ⎝ U s
Untuk
⎞
⎟
⎟
⎟
⎟
⎠
⎞ ⎤
⎟⎟ - 1⎥
⎠ ⎦⎥
∂V
= 0 maka :
∂U s
⎡ ⎛U
0 = D m ⎢ln ⎜⎜ f
⎢⎣ ⎝ U s
⎛U
0 = ln ⎜⎜ f
⎝ Us
⎞ ⎤
⎟⎟ - 1⎥
⎠ ⎦⎥
⎞
⎟⎟ - 1
⎠
Uf
= e ............................................................................................................. (II.25)
Us
Karena terjadi pada kondisi maksimum maka U s adalah U m .
23
Arus maksimum pada metode Underwood dihitung dengan menggunakan rumus
dasar :
Vm = D m x U m
Uf
e
= Dm x
Vm =
D.
Dm Uf
.................................................................................................. (II.26)
e
Model Northwestern
Model hubungan volume, kecepatan dan kerapatan yang keempat ini
diusulkan oleh sekelompok peneliti dari Universitas Northwestern. Mereka
melakukan observasi lapangan dan mendapatkan model hubungan kecepatan dan
kerapatan mendekati bentuk kurva S terbalik. Model ini kemudian diberi nama
Model Northwestern. Bentuk persamaannya merupakan hubungan eksponensial
kuadratis sebagai berikut :
−
Us = U f e
1
2
⎛ D ⎞
⎜⎜
⎟⎟
⎝ Dm ⎠
2
....................................................................................... (II.27)
Model ini hampir sama dengan model yang dikembangkan oleh Underwood,
hanya besaran nilai parameternya berbeda. Untuk mendapatkan nilai konstanta U f
dan Dm maka persamaan (II.27) diubah menjadi persamaan linier y = a + bx
sebagai berikut :
−
Us = U f . e
1
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
−
1
2
ln Us = ln ( U f . e
1
ln Us = ln U f 2
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
2
)
2
⎞
⎟⎟ ............................................................................. (II.28)
⎠
Dengan memisalkan variabel-variabelnya :
y = ln Us
x = D2
a
b=-
= ln U f
1
2 Dm2
24
Untuk mendapatkan hubungan antara arus dan kerapatan maka Us =
V
D
disubstitusikan ke persamaan (II.27) :
1
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
2
−
1
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
2
−
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
Us = U f . e
V
= Uf . e
D
1
2
−
V = D Uf e
2
..................................................................................... (II.29)
Hubungan antara arus dan kecepatan didapat dengan substitusi D =
V
ke
Us
persamaan (II.27) :
−
Us = U f . e
1
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
2
⎛ V ⎞
1 ⎜ Us ⎟
−
⎜
⎟
2 ⎜ Dm ⎟
⎝
⎠
Us = U f . e
2
Apabila kedua ruas dinyatakan dalam fungsi logaritma naturalis, maka diperoleh
persamaan :
2
⎛ V ⎞
1 ⎜ Us ⎟
−
⎜
⎟
2 ⎜ Dm ⎟
⎝
⎠ )
ln ( Us ) = ln ( U f . e
⎛ V
1 ⎜ Us
ln ( Us ) = ln ( U f ) – ⎜
2 ⎜ Dm
⎝
⎞
⎟
⎟
⎟
⎠
2
V 2 = 2 ( Us Dm)2 . ln ( U f ) – 2 ( Us Dm)2 ln ( Us )
⎡
⎛U
V = Us D m ⎢2ln⎜⎜ f
⎢ ⎝ Us
⎢⎣
1⎤
⎞ 2 ⎥ Uf
⎟⎟ ln
..................................................................... (II.30)
⎥
U
s
⎠ ⎥
⎦
25
Nilai kerapatan pada saat arus maksimum dicari dengan menurunkan
persamaan (II.29) terhadap kerapatan (D) dan menyamakan hasil diferensial
tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
−
V = D Uf . e
1
2
⎛ D
⎜⎜
⎝ Dm
⎞
⎟⎟
⎠
2
2
− 12 ⎛⎜ DD ⎞⎟
∂V
1
= Uf e ⎝ m ⎠ + Uf
∂D
2
⎛ 1 D 2⎞
⎛ 2D ⎞ ⎜ − 2 ⎛⎜⎝ D m ⎞⎟⎠ ⎟
⎜⎜ −
⎟⎟ ⎜ e
⎟
D
m ⎠⎜
⎝
⎟
⎝
⎠
2
⎛ 1⎛ D ⎞2 ⎞
− 12 ⎛⎜ DD ⎞⎟
⎜ − ⎜ ⎟ ⎟
U
D
∂V
= U f e ⎝ m ⎠ - f ⎜ e 2 ⎝ Dm ⎠ ⎟
∂D
Dm ⎜
⎟
⎝
⎠
− 12 ⎛⎜ DD ⎞⎟
∂V
= Uf e ⎝ m ⎠
∂D
Untuk
⎛
D ⎞
⎜⎜1 −
⎟
D m ⎟⎠
⎝
∂V
= 0 maka diperoleh :
∂D
0 = Uf
− 1 ⎛⎜ D ⎞⎟
e 2 ⎝ Dm ⎠
⎛
D
0 = ⎜⎜1 −
⎝ Dm
1 =
2
2
⎛
D ⎞
⎜⎜1 −
⎟⎟
D
m⎠
⎝
⎞
⎟⎟
⎠
D
Dm
D m = D .......................................................................................................... (II.31)
Sedangkan nilai kecepatan pada saat arus maksimum dicari dengan
menurunkan persamaan (II.30) terhadap kecepatan ( U s ) dan menyamakan hasil
diferensial tersebut dengan nol sehingga diperoleh :
V = U s Dm
⎡
⎢2ln⎛⎜ U f
⎢ ⎜⎝ U s
⎢⎣
1⎤
⎞2 ⎥
⎟
⎟ ⎥
⎠ ⎥
⎦
26
⎛ U 1/ 2
⎜ − f
⎤
Us
⎜
⎟ ⎥ + D m U s 2⎜
⎟ ⎥
1/ 2
⎠ ⎥
Uf ⎞
⎛
⎜
⎦
⎜⎜ U ⎟
⎝⎝ s ⎠
⎡
⎛U
∂V
= D m ⎢2ln ⎜⎜ f
⎢ ⎝ Us
∂U s
⎢⎣
1
⎞2
1/ 2
⎞
⎟⎟
⎠
⎛U
∂V
= 2 D m ln ⎜⎜ f
∂U s
⎝ Us
⎡ ⎛U
⎢ln ⎜ f
⎢ ⎜⎝ U s
⎣
∂V
= 2 Dm
∂U s
Untuk
⎞
⎟
⎟
⎟
⎟
⎟
⎠
− 2 Dm
1/2
⎞
⎟⎟
⎠
⎤
- 1⎥
⎥
⎦
∂V
= 0 maka :
∂U s
⎡ ⎛U
0 = 2 D m ⎢ln ⎜⎜ f
⎢ ⎝ Us
⎣
1/2
⎞
⎟⎟
⎠
⎤
- 1⎥
⎥
⎦
1/2
⎛U
0 = ln ⎜⎜ f
⎝ Us
⎞
⎟⎟
⎠
⎛U
0 = ln ⎜⎜ f
⎝ Us
⎞
⎟
⎟
⎠
-1
1/2
2 Uf
= e .......................................................................................................... (II.32)
Us
Karena terjadi pada kondisi maksimum maka U s adalah U m .
Arus maksimum pada metode Underwood dihitung dengan menggunakan rumus
dasar :
Vm = D m x U m
= Dm x
Vm =
2U f
e
2 Dm Uf
..................................................................................... (II.33)
e
27
II.6 Model Antrian
Ketika permintaan melebihi kapasitas untuk suatu periode waktu atau pada
suatu waktu antar kedatangan yang lebih rendah dibandingkan dengan waktu
pelayanan (pada tingkat mikroskopik) di suatu lokasi tertentu, maka terbentuklah
antrian. Antrian bisa berupa antrian yang bergerak (moving queue) atau antrian
yang berhenti (stopped queue). Pada dasarnya kelebihan kendaraan disimpan pada
daerah upstream dari bottleneck atau daerah pelayanan, dan kedatangannya ditunda
selama periode waktu berikutnya.
Ada dua teknik analisis yang bisa dipakai dalam mempelajari proses antrian,
yaitu shock wave analysis dan queueing analysis. Shock wave analysis dapat
digunakan ketika proses permintaan-kapasitas adalah deterministic, dan terutama
cocok untuk evaluasi jarak yang diperlukan untuk proses antrian dan untuk
interaksi proses antrian. Queueing analysis dapat digunakan baik untuk proses
deterministic maupun proses stochastic, dan kendaraan yang berada di dalam
proses dianggap disimpan dalam antrian vertikal.
A. Shock Wave Analysis
Salah satu bagian dalam studi mengenai fenomena lalu lintas ialah sifat-sifat
dari gelombang kejut pada arus lalu lintas. Gelombang kejut didefinisikan sebagai
batas kondisi berbasis ruang dan waktu ditandai dengan diskontinuitas antara arus
padat dan tak padat (May, 1990). Sedangkan Lighthill dan Whitham seperti dikutip
dari Wohl dan Martin (1967) menjelaskan bahwa gelombang kejut terbentuk ketika
pada sebuah ruas jalan terdapat arus dengan kerapatan rendah yang diikuti oleh
arus dengan kerapatan tinggi, dimana kondisi ini mungkin diakibatkan oleh
kecelakaan, pengurangan jumlah lajur, atau jalur masuk ramp. Misalnya saja
perilaku lalu lintas pada saat memasuki jalan menyempit, pada simpang bersinyal
ketika nyala lampu merah, atau pada perlintasan kereta api. Pada perlintasan kereta
api, diskontinuitas terjadi saat kereta melintas (pintu perlintasan ditutup) dan
adanya perlambatan sebagai akibat pengurangan kecepatan oleh kendaraan di
depannya karena adanya hambatan berupa pengendali kecepatan (rumble strips)
maupun alur rel (pada saat kondisi perlintasan dibuka).
28
Kondisi pada saat pintu perlintasan ditutup dapat digambarkan sebagai
berikut :
(1)
Kondisi jalan tertutup total
Kondisi ini terjadi saat kereta melintas dan pintu perlintasan ditutup.
Akibatnya nilai kerapatan pada kondisi arus yang masuk (volume kebutuhan
= demand) berangsur-angsur menjadi kerapatan macet. Kendaraan yang
berada di depan kelompoknya mengurangi kecepatannya saat mendekati
perlintasan, dan akhirnya berhenti sehingga terbentuk antrian di belakangnya.
(2)
Pada saat pintu perlintasan dibuka, kerapatan pada kondisi macet berangsurangsur kembali sampai pada keadaan dimana kerapatan menuju ke kondisi
maksimum.
(3)
Pada tahap ini kecepatan gelombang kejut 2 ( ωBC ) akan menyusul kecepatan
gelombang kejut 1 ( ω AB ), dimana kerapatan saat kondisi macet akan hilang
dan arus akan kembali pada kondisi normal sebelum adanya penutupan.
Tiga gelombang kejut mulai pada saat t 1 di garis henti : ω AD ( gelombang
kejut bentukan maju), ω DB (gelombang kejut diam depan), dan ω AB (gelombang
kejut bentukan mundur). Kecepatan dari ketiga gelombang kejut ini dinyatakan
pada diagram Gambar II.2 (a) dan dapat dihitung dengan menggunakan rumusrumus berikut :
ωDA =
VD − VA
= +μ A ................................................................................. (II.34)
DD − DA
ωDB =
VD − VB
=0
DD − DB
ωAB =
VA − VB
VA
=−
...................................................................... (II.36)
DA − DB
DB − DA
..................................................................................... (II.35)
dimana :
ω DA
=
gelombang kejut dari kondisi titik awal D (VD = 0 dan DD = 0)
ke titik A (VA ,DA)
29
ωDB
=
gelombang kejut pada saat pintu perlintasan ditutup selama
kendaraan berhenti sehingga VB = 0 dan DB = kerapatan saat
macet)
ω AB
=
gelombang kejut saat nilai kerapatan arus pada kondisi volume
kendaraan sama dengan volume kebutuhan (V = VA) berangsurangsur menjadi kerapatan macet (DB).
Kondisi arus A, B, dan D ini tetap sampai waktu t2 pada saat pintu perlintasan
dibuka.
Arus (smp/jam/lajur)
U
V
V
A
AC
•
U
C
ω
C
C
A
•
A
ω
BC
ω
AB
ω
DC
ω
B
DB
D
D
A
•
D
C
B
Jarak
D•
ω
DC
ω
ω
AB
ω
BC
AC
t
0
t
1
t
2
t
t
3
4
Waktu
Ruas yang ditinjau
Gambar II. 2 Gelombang Kejut Pada Perlintasan Kereta Api Saat Pintu Ditutup
30
Kondisi arus baru C pada waktu t 2 di garis henti meningkat dari nol sampai
arus jenuh. Ini menyebabkan dua gelombang kejut baru, ωDC (gelombang kejut
pemulihan maju) dan ωBC (gelombang kejut pemulihan mundur) , sedangkan
gelombang kejut akhir adalah ω DB (gelombang kejut diam di. Kecepatan dua
gelombang kejut baru ini dapat secara grafis dilihat pada Gambar II.2 (a) dan
dihitung dengan persamaan berikut ini :
ωDC =
VD − VC
= +μ C
D D − DC
ωBC =
VB − VC
VC
=−
D B − DC
D B − DC
............................................................................... (II.37)
..................................................................... (II.38)
dimana :
ωDC
=
gelombang kejut pada saat pintu perlintasan dibuka, kondisi ruas
di depan pintu perlintasan dari kondisi arus dan kerapatan nol
perlahan bergerak searah dengan lalu lintas ke arah hilir sampai
pada kondisi titik C (VC = volume maksimum = kapasitas, DC =
kerapatan maksimum)
ωBC
=
gelombang kejut dari kendaraan yang mengalami kondisi
berhenti saat pintu ditutup mulai bergerak
disusul oleh
kendaraan dibelakangnya sampai kendaraan terakhir yang tidak
mengalami antrian tetapi kecepatannya terpengaruh oleh
kecepatan arus di depannya.
Kondisi arus D, C, B, dan A tetap sampai ωAB dan ωBC memotong waktu t3.
Interval waktu antara t 2 dan t3 dapat dihitung sebagai berikut :
⎛ ωAB
⎞
⎟⎟ ....................................................................................... (II.39)
t a = r ⎜⎜
−
ω
ω
AB ⎠
⎝ BC
31
t1
r
t2
α
ta
t3
tb
t4
β
XB
XA
A
B
Gambar II.3 Lokasi Antrian dan Lokasi Hilangnya Antrian
Lokasi antrian dari garis henti pada waktu t 2 dapat dihitung sebagai berikut :
XA = r . tan α .................................................................................................... (II.40)
tan α =
VA
............................................................................................... (II.41)
D j − DA
Lokasi hilangnya antrian dari garis henti pada waktu t3 dapat dihitung dengan
rumus berikut :
XB =
⎡ ω BC . ωAB ⎤
r
⎢
⎥
3600 ⎣ ω BC − ω AB ⎦
............................................................................ (II.42)
dimana r = lamanya waktu penutupan pintu perlintasan = t 2 − t1
Respon lalu lintas yang tidak bisa bergerak dengan segera begitu pintu
perlintasan dibuka mengakibatkan beberapa kendaraan mungkin masih mengalami
tundaan walaupuntidak mengalami antrian.
Pada saat t 3 gelombang kejut gerak maju baru ωAC terbentuk, dan dua
gelombang kejut gerak mundur ωAB dan ωBC berakhir. Gelombang kejut ωAC
dapat dihitung dengan rumus :
ωAC =
VA − VC
D A − DC
........................................................................................ (II.43)
32
Kondisi arus D, C, dan A tetap sampai waktu tertentu sampai pintu
perlintasan ditutup kembali, tetapi sebebelumnya pada saat waktu t 4 , gelombang
kejut bentukan maju ωAC memotong garis henti dan arus di garis henti menurun
dari arus maksimum VC menjadi VA . Periode waktu dari mulai pintu perlintasan
dibuka sampai tingkat pelepasan garis henti turun dibawah nilai maksimum ( t 2
sampai t 4 ) dapat dihitung sebagai berikut :
tb =
r . ωAB ⎡ ω BC ⎤
+ 1⎥ .............................................................................. (II.44)
⎢
ωBC − ωAB ⎣ ωAC ⎦
Jumlah kendaraan yang mengalami antrian :
N = (r + ta ) x VA ............................................................................................... (II.45)
Tundaan yang terjadi :
T = ½ x r x N ..................................................................................................... (II.46)
Pada saat pintu dibuka kondisi yang terjadi dapat disamakan dengan kasus
bottleneck, dimana ruas yang belum terpengaruh perlintasan sebagai daerah
upstream dan ruas dengan perlintasan sebagai downstream. Dalam Wohl (1967)
dijelaskan jika volume pada ruas tanpa hambatan lebih kecil daripada volume
maksimum pada bottleneck, maka akan terjadi penurunan kecepatan dan kenaikan
kerapatan dari D1 ke D2 selama kendaraan memasuki perlintasan. Walaupun terjadi
tundaan pada kendaraan tetapi shock wave tidak terjadi.
Kenaikan volume pada upstream masih dapat ditampung oleh bottleneck
sampai pada tingkat volume maksimum bottleneck. Kecepatan gelombang kejut
pada downstream adalah nol. Jika volume maksimum ini terlampaui maka
timbullah antrian. Pada suatu titik masuk bottleneck arus yang diberikan oleh
diagram dasar harus sebanding. Sehingga untuk jalan tanpa hambatan, kerapatan
akan meningkat mencapai titik E. Kecepatan gelombang di E adalah negatif
pengaruhnya terhadap jalan utama, dan dari sini akan dipantulkan ke bawah ke
jalan pendekat dari bottleneck. Pengaruh dari gelombang ini akan bertemu dengan
gelombang yang datang bergabung pada kemiringan di C dan gelombang kejut dari
kecepatan negatif relatif terhadap jalan. Pengaruh dari bottleneck akan berangsurangsur dipantulkan sepanjang jalan jika volume pada pendekat dianggap konstan.
33
Ini dapat dijelaskan bahwa antrian tidak dapat dikurangi selama arus masuk kurang
dari kapasitas bottleneck.
Volume
V = f(D) untuk jalan utama
C
VC
VB
VA
E
V = f(D) untuk bagian bottleneck
D1 D3 D3
Kerapatan
D4
Gambar II.4 Hubungan Antara Volume dan Kerapatan Pada Jalan dengan
Bagian Bottleneck
Volume
Space Mean Speed dari
kendaraan yang
mendekati antrian
Kecepatan dari
gelombang yang mendekat
Kecepatan
gelombang kejut
Kecepatan dari gelombang
yang dipantulkan
Space Mean Speed dari
kendaraan dalam
antrian
Kerapatan
Gambar II.5 Hubungan Antara Volume dan Kerapatan dan Hubungan
Shock Wave Pada Situasi Bottleneck
34
B. Analisis Antrian (Queueing Analysis)
Data masukan yang dibutuhkan pada analisis antrian adalah :
(1)
nilai kedatangan rata-rata (mean arrival value), nilai ini menggambarkan
rata-rata arus (kendaraan per jam)
atau time headway (detik per
kendaraan), istilah permintaan (demand) atau masukan (input) biasanya
menggantikan istilah kedatatangan (arrival);
(2)
distribusi kedatangan (arrival distribution), dapat berupa distribusi
deterministic atau distribusi probabilistic;
(3)
nilai pelayanan rata-rata (mean service value), istilah kapasitas
(capacity), keberangkatan (depature), atau keluaran (output) biasanya
menggantikan istilah pelayanan (service);
(4)
distribusi pelayanan (service distribution);
(5)
disiplin antrian (queue dicipline).
Dalam analisis antrian perlu dilakukan terlebih dahulu klasifikasi masukan
karakteristik, yaitu :
(1)
Apabila distribusi kedatangan dan/atau distribusi pelayanan bersifat
probabilistic dan waktu kedatangan serta pelayanan tiap individu tidak
diketahui maka menggunakan stochastic queueing analysis
(2)
Apabila distribusi kedatangan dan distribusi pelayanan bersifat
deterministic dan waktu kedatangan serta pelayanan diketahui maka
digunakan deterministic queueing analysis
Deterministic queueing anaylsis dapat dibedakan menjadi dua level yang
berbeda. Pada level mikroskopik, pola kedatangan dan pelayanan dianggap
menerus sedangkan pada level makroskopik hal ini dianggap acak. Level
mikroskopik biasanya dipilih ketika rata-rata kedatangan dan pelayanan tinggi dan
level makroskopik sering dipilih ketika kedatangan dan pelayanan rendah.
Pada persilangan sebidang jalan raya dan jalan rel adalah salah satu contoh
analisis antrian deterministic pada tingkat makroskopik, dimana kedatangan dan
pola pelayanan dianggap menerus. Pada Gambar II.6 a menggambarkan rata-rata
kedatangan (λ) yang konstan selama periode studi. Rata-rata pelayanan (μ)
mempunyai dua
kondisi : nol ketika pintu perlintasan ditutup dan meningkat
sampai nilai rata-rata arus jenuh (s) ketika pintu dibuka. Nilai rata-rata pelayanan
35
akan sebanding dengan arus jenuh ketika terjadi antrian. Dengan kata lain, rata-rata
pelayanan sebanding dengan rata-rata kedatangan jika kondisi pintu terbuka.
Disiplin antrian yang dipakai adalah sistem FIFO.
Durasi waktu antrian dimulai dari awal pintu ditutup sampai antrian berakhir
(tq). Durasi waktu antrian ini berguna untuk mengetahui apakah ada kendaraan di
dalam antrian yang tersisa atau bisa dilepaskan seluruhnya.
Area A1 menggambarkan jumlah kendaraan yang disimpan selama periode
waktu pintu ditutup. Saat pintu mulai dibuka, area A2 mulai meluas dan
menggambarkan jumlah kendaraan yang dilepaskan. Ketika luasan A2 sama dengan
luasan A1 maka antrian hilang. Sedangkan luasan A3 menggambarkan jumlah
kendaraan yang dilayani selama pintu terbuka sampai saat pintu ditutup kembali
karena ada kereta yang lewat.
Jumlah kendaraan yang mengalami antrian digambarkan oleh proyeksi
vertikal segitiga antrian. Kendaraan pertama yang mengalami antrian adalah
kendaraan yang datang setelah pintu ditutup. Semua kendaraan yang datang selama
pintu ditutup sama seperti yang datang pada saat pintu dibuka tetapi sebelum
terjebak antrian mengalami proses antrian dan dipaksa untuk berhenti atau
menurunkan kecepatannya.
Panjang antrian digambarkan oleh jarak vertikal melalui segitiga. Pada saat
awal pintu ditutup, panjang antrian meningkat dari nol sampai nilai maksimum di
akhir waktu penutupan. Kemudian panjang antrian berkurang sampai garis
kedatangan berpotongan dengan garis pelayanan (panjang antrian menjadi nol). Hal
ini berlangsung sampai periode waktu penutupan pintu perlintasan kembali.
Tundaan individu digambarkan oleh jarak horisontal yang memotong
segitiga. Kendaraan pertama yang datang setelah awal penutupan mengalami
tundaan individu terbesar. Setiap kendaraan yang datang setelah itu mengalami
lebih kecil dan semakin kecil tundaan individu sampai antrian menghilang.
May memakai teknik dari arus menerus untuk masalah pada bottleneck sementara
(misalnya suatu ruas jalan yang bersilangan dengan jalan rel, atau jalan satu lajur
yang tertutup karena adanya kecelakaan). Kondisi ini dapat dijelaskan dengan
perilaku antrian selama satu siklus sinyal lalu lintas, dimana durasi tundaaan atau
36
penutupan sebanding dengan interval panjang waktu penutupan r dan waktu yang
dibutuhkan oleh antrian untuk habis setelah pelepasan adalah ta.
May dalam Gerlough (1975) merumuskan model persamaan matematis untuk
kondisi jalan dengan kondisi arus menerus yang secara prinsip bisa disamakan
dengan kasus bottleneck seperti pada kasus perlintasan kereta api ini.
Durasi antrian :
⎛ V − VB ⎞
⎟⎟ ............................................................................................... (II.47)
t q = r ⎜⎜ S
⎝ VS − VA ⎠
Waktu pelepasan antrian :
ta = tq – r .......................................................................................................... (II.48)
Jumlah kendaraan yang mengalami tundaan :
N = VA . tq ......................................................................................................... (II.49)
Jumlah maksimum kendaraan dalam antrian :
Nm = r (VA – VB) ............................................................................................... (II.50)
Jumlah rata-rata kendaraan dalam antrian :
N = Nm /2 ......................................................................................................... (II.51)
Total kendaraan dalam satu waktu antrian :
M =
r (VA - VB ) t q
2
............................................................................................ (II.52)
Waktu rata-rata kendaraan tertunda :
Tr =
r ⎛ VB ⎞
⎜1 −
⎟ .................................................................................................. (II.53)
2 ⎜⎝ VA ⎟⎠
Tundaan maksimum per kendaraan :
⎛ V ⎞
T m = r ⎜⎜1 − B ⎟⎟ ................................................................................................. (II.54)
⎝ VA ⎠
dimana :
VA = rata-rata kedatangan lalu lintas pada bagian hulu (upstream)
VS = rata-rata arus jenuh atau kapasitas dari arus tak terganggu
VB = arus rata-rata pada bagian hilir (downstream) selama r (VB < VA < VS)
r
= durasi waktu tinjauan , pada saat pintu perlintasan ditutup r adalah
lama penutupan
37
ta = waktu pelepasan antrian setelah awal pembukaan pintu perlintasan
tq = total waktu antrian = r + ta
Rata-rata arus (smp/jam)
S
A2
A3
μ
λ
A1
0
Pintu
ditutup
Pintu dibuka
Pintu
ditutup
Waktu
(a)
Kendaraan kumulatif
Kedatangan = λ
λ
N
Keberangkatan = μ
μ
Nm
antrian
0
r
to
tq
Waktu
(b)
Gambar II.6 Diagram Antrian
38
II.7 Tundaan
Tundaan menurut MKJI 1997 disebut sebagai waktu tempuh tambahan yang
diperlukan untuk melewati suatu simpang dibandingkan terhadap situasi tanpa
simpang. Berdasarkan definisi di atas, dapat diturunkan ke dalam persamaan
matematis sebagai berikut :
W = W0 + T ..................................................................................................... (II.55)
dimana :
W = waktu tempuh total
W0 = waktu tempuh pada kondisi arus bebas, merupakan waktu minimum
yang diperlukan untuk menempuh suatu ruas jalan tertentu
T =
tundaan
Tundaan terdiri dari Tundaan Lalu Lintas (TT) yaitu tundaan yang disebabkan
oleh pengaruh kendaraan lain, dan Tundaan Geometrik (TG) yaitu tundaan yang
disebabkan oleh perlambatan dan percepatan untuk melewati fasilitas seperti pada
persimpangan dan terhenti karena lampu merah. Secara matematis dapat
dinyatakan sebagai berikut :
T = TT + TG ................................................................................................... (II.56)
dimana :
TT
= tundaan lalu lintas rata-rata
TG
= tundaan geometri rata-rata
Tundaan merupakan ukuran kinerja kritis dari interrupted flow. Menurut
Taylor (1996), ada dua definisi tundaan :
(1)
Tundaan berhenti (stopped delay), yaitu tundaan yang dialami oleh
kendaraan yang benar-benar berhenti, yang merujuk pada tundaan antrian.
(2)
Tundaan kemacetan (congestion delay), yaitu tundaan yang meliputi
tundaan akibat antrian dan yang disebabkan oleh kendaraan yang
mengurangi kecepatan karena interaksi dengan kendaraan lainnya.
Tundaan ini dapat diukur dengan menghitung selisih antara journey time
dan travel time yang diinginkan.
39
Dalam studi ini, tundaan didefinisikan sebagai tambahan waktu perjalanan
saat melalui pertemuan sebidang jalan dan jalan rel. Komponen tundaan terdiri dari
perlambatan kendaraan, berhentinya kendaraan, dan percepatan kembali pada
kondisi kecepatan semula, yang terjadi akibat penutupan pintu perlintasan saat
kereta lewat dan pada saat pintu dibuka (akibat kondisi geometrik daerah
perlintasan). Sehingga nilai tundaan total dapat dicari dari persamaan berikut :
Ttotal = TL1 + TL2 + TL3 .................................................................................. (II.57)
Sehingga waktu tempuh total menjadi :
W = W0 + TL1 + TL2 + TL3 ............................................................................... (II.58)
dimana :
Ttotal = nilai tundaan total (det/smp)
TL1 = tundaan kendaraan dimana pengemudi berjalan dengan kecepatan .
yang diinginkan
TL2 = tundaan kendaraan akibat penurunan kecepatan
TL3 = tundaan kendaraan akibat penutupan pintu perlintasan
Jarak
Kendaraan dengan
arus bebas
Kendaraan dengan
kecepatan yang
diinginkan
Ttotal
Wo
TL1
TL2
TL3
Sta 2
A
Sta 1
Waktu
Gambar II.7 Tundaan Yang Dialami Kendaraan Pada Perlintasan
40
Pada
kondisi
dimana
arus
yang
masuk
bottleneck
menurunkan
kecepatannya maka tundaan yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan kecepatan
pada saat memasuki bottleneck (kecepatan awal) dan saat berada pada daerah akhir
bottleneck (kecepatan akhir). Waktu yang diperlukan bagi kendaraan untuk
menaikkan atau memperlambat pada rata-rata percepatan atau perlambatan dari
kecepatan awal sampai kecepatan akhir adalah :
w=
UA − UB
................................................................................................ (II.59)
a
Sedangkan jarak yang diperlukan bagi kendaraan untuk menaikkan atau
memperlambat pada rata-rata percepatan atau perlambatan a dari kecepatan awal
sampai kecepatan akhir adalah :
x = 1,47 U B w + 0,733 a w 2 ............................................................................. (II.60)
dimana :
UA
= kecepatan pada permulaan perlambatan
UB
= kecepatan pada akhir perlambatan
a
= rata-rata perlambatan
Nilai percepatan atau perlambatan bervariasi tergantung pada pengemudi,
kendaraan, situasi lalu lintas, situasi jalan, dan untuk berbagai tingkat kecepatan
yang berbeda. Maksimum dan normal rata-rata percepatan atau perlambatan untuk
mobil penumpang pada perubahan kecepatan dan kondisi medan yang bervariasi
dapat dilihat pada Tabel II.7 berikut ini :
Tabel II.7 Maksimum dan Normal Percepatan Atau Perlambatan Untuk Mobil
Penumpang (Mil per jam/detik)
Medan
Perubahan Kecepatan (mil/jam)
0-15
0-30
30-40
40-50
50-60
Datar
8,0 (3,3)
5,0 (3,3)
4,7 (3,3)
3,8 (2,6)
2,8 (2,0)
+ 2%
7,8
4,6
4,2
3,4
2,4
+ 6%
6,7
3,7
3,4
2,5
1,5
+ 10%
5,8
2,8
2,5
1,6
0,6
Sumber : May, 1990
41
II.8 Analisis Statistik
A.
Perkiraan Jumlah Sampel
Dari data pengamatan yang diambil sebagai sampel dapat kita hitung nilai
rata-ratanya dan perkiraan yang paling baik terhadap rata-rata populasi adalah ratarata sampel.
Walaupun jumlah sampel yang besar dapat memberikan hasil
perkiraan yang lebih baik dari nilai rata-rata populasi tetapi jumlah sampel yang
besar membutuhkan lebih banyak waktu dan usaha dalam pengumpulan dan
analisisnya. Apabila nilai rata-rata sampel ( x ) dipakai untuk menaksir nilai ratarata populasi (μ), maka besarnya jumlah sampel adalah sebagai berikut :
⎛ ts ⎞
n= ⎜ ⎟
⎝ε⎠
2
................................................................................................ ( II.61)
dimana :
n = jumlah sampel yang dibutuhkan
s
= simpangan baku yang diharapkan
ε =
limit kesalahan tertentu (galat) yang diperbolehkan dan ditetapkan
sebelumnya oleh pengguna
t
= koefisien standar kesalahan dari rata-rata yang dipakai sebagai acuan
untuk tingkat kepercayaan tertentu
Besarnya nilai t untuk berbagai tingkat kepercayaan dapat dilihat pada Tabel II.8.
Tabel II.8 Nilai t Untuk Berbagai Tingkat Kepercayaan
Tingkat kepercayaan yang
diharapkan (%)
t
Persamaan
σ2
68,3
1,00
n=
95,0
1,96
n = 3,84
95,5
2,00
n=4
99,7
3,00
n=9
Sumber : Pignataro, 1973
e2
σ2
e2
σ2
e2
σ2
e2
42
Apabila kita tidak mempunyai data awal mengenai kondisi lokasi penelitian
sehingga sukar untuk menentukan nilai simpangan baku maka kita dapat
menggunakan nilai simpangan baku pada Tabel II.8. Tabel ini memperlihatkan
beberapa simpangan baku untuk fasilitas dan lokasi yang berbeda. Nilai-nilai ini
bisa digunakan untuk perkiraan pendahuluan dari jumlah sampel yang dibutuhkan
jika tidak diketahui data sebelumnya.
Tabel II.9 Simpangan Baku Kecepatan Sesaat Untuk Perkiraan Jumlah Sampel
Area Lalu Lintas
Tipe Jalan Raya
Rural
Intermediate
Urban
Simpangan Baku
(mil per jam)
2 lajur
5,3
4 lajur
4,2
2 lajur
5,3
4 lajur
5,3
2 lajur
4,8
4 lajur
4,9
Sumber : McShane, 1990
B.
Mean, Median, dan Modus
Rata-rata sampel (mean) didapat dari perhitungan seluruh sampel dibagi dengan
jumlah data.
n
∑ xi
x = i =1
n
................................................................................................ (II.62)
Sedangkan untuk data berkelompok rata-ratanya adalah :
x=
∑ fi x i
.................................................................................................. (II.63)
∑ fi
dimana :
x = rata-rata sampel (mean)
xi = sampel ke-i
n = jumlah sampel
fi = frekuensi untuk nilai xi yang bersesuaian
43
Median menentukan letak data setelah data itu disusun menurut urutan
nilainya. Jika banyak data ganjil, median merupakan data paling tengah setelah
data diurutkan. Sedangkan jika jumlah data genap, median adalah rata-rata hitung
dua data tengah. Jika data telah disusun dalam daftar distribusi frekuensi maka
mediannya :
⎛ 1 n − F⎞
⎟ ................................................................................. (II.64)
Me = b + p ⎜ 2
⎜
⎟
f
⎝
⎠
dimana :
Me =
median
b = batas bawah kelas median, ialah kelas dimana median akan terletak
p = panjang kelas median
F = jumlah semua frekuensi dengan tanda lebih kecil dari tanda kelas
median
f
= frekuensi kelas median
Modus menyatakan fenomena yang paling banyak terjadi, yaitu data yang
mempunyai frekuensi terbanyak. Jika data telah disusun dalam daftar distribusi
frekuensi maka modusnya :
⎛ b1 ⎞
⎟⎟ ................................................................................. (II.65)
Mo = b + p ⎜⎜
⎝ b1 + b 2 ⎠
dimana :
Mo =
modus
b = batas bawah kelas median, ialah kelas dimana median akan terletak
p = panjang kelas modal
b1 = frekuensi kelas modal dikurangi frekuensi kelas interval dengan tanda
kelas yang lebih kecil sebelum tanda kelas modal
b2 = frekuensi kelas modal dikurangi frekuensi kelas interval dengan tanda
kelas yang lebih besar sesudah tanda kelas modal
Dalam membuat daftar distribusi frekuensi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
- Rentang : adalah data terbesar dikurangi data terkecil
- Banyak kelas interval = 1 + 3,3 log (n)
44
dimana n = jumlah sampel
- Panjang kelas interval p =
rentang
banyak kelas
C. Variansi dan Simpangan Baku Sampel
Variansi dan simpangan baku sampel adalah suatu ukuran yang menyatakan
penyebaran dari sampel, dirumuskan sebagai berikut :
n
s2 =
∑ (x i − x )2
i =1
n -1
.......................................................................................... (II.66)
n
∑ (x i − x )2
i =1
s=
n -1
........................................................................................ (II.67)
Untuk data sampel yang telah disusun dalam daftar frekuensi maka :
s2 =
∑ f i (x i − x )
........................................................................................... (II.68)
n -1
2
dimana :
s2 = variansi sampel
s
D.
= simpangan baku sampel
Analisis Regresi Linier
Pada pasangan variabel (xi,yi), apabila yi merupakan variabel yang diamati
(diukur setelah xi ditentukan) maka analisis penentuan y sebagai fungsi x disebut
analisis regresi. Apabila rataan dari peubah acak Y yang berkaitan linier dengan
suatu nilai tetap x, maka persamaan linier populasi dinyatakan sebagai :
μY|x = α + βx .................................................................................................... (II.69)
Koefisien regresi linier α dan β merupakan dua parameter yang ditaksir
dari data sampel. Bila taksiran untuk kedua parameter tersebut masing-masing
dinyatakan dengan a dan b, maka μY|x dapat ditaksir dengan ŷ dari bentuk garis
regresi berdasarkan sampel atau garis kecocokan regresi. Hubungan antara variabel
bebas x dan variabel tidak bebas y yang dicocokkan pada data percobaan ditandai
dengan persamaan prediksi yang disebut persamaan regresi.
45
ŷ = a + bx ................................................................................................. (II.70)
Besarnya konstanta a dan b dapat dicari dari persamaan-persamaan di bawah ini :
b=
n
∑ x i y i - ∑ x i ∑ y i .............................................................................. (II.71)
2
n ∑ x i - (∑ x i ) 2
a = y i − bx i ..................................................................................................... (II.72)
dimana :
yi =
xi =
∑ yi
n
∑ xi
n
n = jumlah sampel
Sedangkan untuk menaksir parameter σ2 yang menggambarkan variasi acak
atau variasi galat percobaan di sekitar garis regresi dapat dicari sebagai berikut :
n
Jxx =
∑ ( xi −x )2 .............................................................................................. (II.73)
i =1
n
Jyy =
∑ ( yi − y )2 ............................................................................................. (II.74)
i =1
n
Jxy =
∑ ( xi - x ) ( yi − y ) ................................................................................ (II.75)
i =1
JKG = Jyy + b Jxy ............................................................................................... (II.76)
s2 =
JKG
.......................................................................................................... (II.77)
n−2
dimana :
JKG = jumlah kuadrat galat
Jxx = total jumlah kuadrat x terkoreksi
Jyy = total jumlah kuadrat y terkoreksi
Jxy = jumlah kuadrat regresi = JKR
s2
= taksiran takbias untuk σ2 dari data sampel
46
E.
Analisis Korelasi
Analisis korelasi dilakukan untuk mengukur eratnya hubungan antara variabel
y dan x dengan menggunakan suatu bilangan yang disebut koefisien korelasi. Nilai
koefisien korelasi dihitung dengan persamaan di bawah ini:
r=
{n ∑ x
n ∑ x i yi - ∑ x i ∑ yi
2
i
}{
- ( ∑ x i ) 2 n ∑ yi 2 - ( ∑ yi ) 2
}
.................................................. (II.78)
Besarnya nilai r terletak antara -1 < r < +1, jika harga r mendekati -1 atau +1
maka hubungan antara variabel y dan variabel x kuat, tetapi jika r mendekati 0
maka hubungan yang dihasilkan lemah dan berarti bahwa baik variabel x maupun
variabel y adalah variabel bebas. Tanda (-) menyatakan pertambahan nilai x
menyebabkan penurunan y, dan tanda (+) menyatakan pertambahan nilai x
menyebabkan kenaikan nilai y.
Pengukuran untuk mengetahui sejauh mana ketepatan fungsi regresi adalah
dengan
melihat
nilai
koefisien
determinasi
(r2)
yang
didapat
dengan
mengkuadratkan nilai koefisien korelasi. Nilai koefisien determinasi menyatakan
proporsi variasi keseluruhan dalam nilai peubah y yang dapat diterangkan atau
diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai peubah acak x.
F.
Uji Signifikansi
Uji signifikansi digunakan untuk menentukan linier atau tidaknya hubungan
antara variabel bebas dan tidak bebas. Uji signifikasi yang digunakan biasanya
adalah Uji- t ( student’s t test) dan Uji- F (variance ratio test /The F test).
Uji-t memungkinkan untuk pengujian dengan tandingan satu arah sementara uji-F
terbatas pada pengujian dengan tandingan dua arah.
(a) Uji - t
Ho : β = βo → variasi dalam y diakibatkan oleh fluktuasi acak yang tidak
tergantung pada nilai x
H1 : β ≠ βo
t=
b - βo
.............................................................................................. (II.79)
s/ J xx
T mempunyai distribusi-t dengan derajat kebebasan n-2.
Hipotesis ditolak bila |t| > t α/2 untuk taraf keberartian α .
47
(b) Uji- F
Misal kita ingin menguji hipotesis :
Ho : β = 0 → variasi dalam y diakibatkan oleh fluktuasi acak yang tidak
tergantung pada nilai x
H1 : β ≠ 0
Untuk menguji hipotesis di atas kita hitung :
f =
JKR/1
JKR
=
........................................................................ (II.80)
JKG/(n − 2)
s2
dan menolak Ho pada taraf keberartian α bila f > f α̂ (1, n-2)
Jika hipotesis nol ditolak, yaitu bila nilai statistik f hitungan melebihi nilai
kritis f α̂ (1,n-2) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat jumlah variasi yang
berarti dalam respon y yang disebabkan atau model merupakan fungsi linier.
Bila statistik f berada dalam daerah penerimaan maka disimpulkan bahwa
data tidak memberikan cukup dukungan kepada model sehingga model
tersebut bukan merupakan fungsi linier.
G.
Distribusi Normal
Distribusi normal standar adalah distribusi normal dengan rata-rata μ=0 dan
simpangan baku σ = 1. Fungsi densitasnya berbentuk :
f(z) = −
1 −1/2z 2
e
.................................................................................... (II.81)
2π
Mengubah distribusi normal umum menjadi distribusi normal baku ditempuh
dengan menggunakan transformasi :
Z=
X −μ
...................................................................................................... (II.82)
σ
48
Kurva Normal Standar
Kurva Normal Umum
μ-3σ μ-2σ
μ-σ
μ
μ+σ
μ+2σ
μ+3σ
-3 -2
-1
0
rata-rata = μ ≠ 0
simpangan baku = σ ≠ 1
Gambar II.8 Kurva Norma Umum dan Standar
1
2
3
Download