BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Psikologi Pendidikan Psikologi menurut American Psychology Assocation (APA) adalah ilmu yang mempelajari pikiran dan perilaku, yang mencakup seluruh aspek pengalaman manusia, dari fungsi otak hingga tindakan, dari perkembangan anak hingga dewasa. Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang khusus mempelajari pengajaran dan pembelajaran dalam pendidikan. Psikologi pendidikan bertujuan untuk menyediakan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam situasi pengajaran dan kemampuan meningkatkan pemahaman tentang apa yang berdampak terhadap pembelajaran siswa. (Alexander & Mayer, 2011; Harris, Graham, & Urdan, 2011 dalam Santrock 2011:5). 2.1.1. Belajar Belajar adalah fokus utama dalam psikologi pendidikan. Belajar merupakan pengaruh yang relatif permanen terhadap perilaku, pengetahuan, dan kemampuan berpikir melalui pengalaman. Pendekatan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: 2.1.1.1. Pendekatan Perilaku Behaviorisme adalah pandangan bahwa perilaku dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diobservasi, bukan melalui proses mental. Perilaku merupakan seluruh hal yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, yang dapat secara langsung dilihat atau didengar, contohnya anak-anak sedang membuat poster, guru menjelaskan kepada murid. Sedangkan, proses mental merupakan pikiran, perasaan, dan motif yang dialami tetapi tidak dapat diobservasi oleh orang lain, contohnya pikiran anak-anak tentang cara membuat poster terbaik, motivasi diri untuk mengendalikan perilaku mereka. 2.1.1.2. Pendekatan Kognitif Ada empat jenis pendekatan kognitif. Kognitif sosial menekankan bagaimana faktor perilaku, lingkungan, dan orang mempengaruhi belajar (Bandura, 2009, 2010 dalam Santrock 2011:218). Pemrosesan informasi 9 10 berfokus pada bagaimana anak-anak memproses informasi melalui perhatian, ingatan, berpikir, dan proses kognitif lainnya (Martinez, 2010 dalam Santrock 2011:218). Kontruktivis kognitif menenkankan pembangunan kognitif pengetahuan dan pemahaman (Halford, 2008 dalam Santrock 2011:218) Kontruktivis sosial berfokus pada kolaborasi dengan orang lain untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman (Holzman, 2009 dalam Santrock 2011:218). 2.2. Gender Gender merujuk pada konsep laki-laki atau perempuan berdasarkan dimensi sosial budaya dan psikologi. Gender dibedakan dari jenis kelamin, yang melibatkan dimensi biologis dari perempuan atau laki-laki. Peran gender (gender roles) adalah harapan sosial yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak, dan merasakan. Terdapat tiga pandangan tentang perkembangan gender. 2.2.1. Pandangan tentang Perkembangan Gender 2.2.1.1. Pandangan Biologis Dalam pasangan kromosom yang ke-23 pada manusia (kromosom jenis kelamin) menentukan apakah janin tersebut perempuan (XX) atau lakilaki (XY). Para ahli gender yang memiliki orientasi lingkungan yang kuat mengakui bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi. Beberapa pendekatan biologis menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam otak perempuan dan laki-laki (Lippa, 2005 dalam Santrock 2009:218). Satu pendekatan berfokus pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki di dalam corpus collosum, sekumpulan serat saraf yang menggabungkan dua belahan otak (LeDoux, 1996, 2002 dalam Santrock 2009:218). Corpus collosum pada perempuan lebih besar daripada laki-laki dan ini mungkin menjelaskan mengapa perempuan lebih sadar dibandingkan dengan laki-laki tentang emosi mereka sendiri dan emosi orang lain. 11 2.2.1.2. Pandangan Sosialisasi a. Teori Psikoanalitik Gender Teori psikoanalitik gender (psychoanalytic theory of gender) berasal dari pandangan Freud bahwa anak prasekolah mengembangkan daya tarik seksual kepada orang tua yang jenis kelaminnya berlawanan dengan dirinya. Pada usia 5 atau 6 tahun, anak menghilangkan daya tarik tersebut karena perasaan gelisah. Sesudah itu, anak menganggap dirinya mempunyai karakteristik yang sama dengan orang tua dengan jenis kelamin yang sama. b. Teori Kognitif Sosial Gender Teori kognitif sosial gender (social cognitive theory of gender) menekankan bahwa perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi perilaku gender, serta melalui penghargaan dan hukuman yang didapat anak-anak untuk perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai menurut gender. Tidak seperti teori identifikasi, teori kognitif sosial berpendapat bahwa daya tarik seksual kepada orang tua tidaklah terlibat dalam perkembangan gender. Orang tua sering menggunakan penghargaan dan hukuman untuk mengajari anak perempuan mereka bersikap feminin dan anak laki-laki mereka bersikap maskulin. 2.2.1.3. Pandangan Kognitif Menurut teori kognitif sosial, gender berkembang melalui mekanisme yang terdiri atas observasi, imitasi, penghargaan, dan hukuman. Menurut pandangan kognitif, interaksi antara anak dan lingkungan sosial merupakan kunci utama untuk perkembangan gender. Teori skema gender (gender schema theory), yang saat ini merupakan teori kognitif gender yang diterima di mana-mana, menyatakan bahwa pengelompokan gender muncul ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender tentang apa yang pantas dan apa yang tidak pantas menurut gender dalam budaya mereka. Skema adalah struktur kognitif, jaringan asosiasi yang membimbing persepsi satu individu. Skema gender mengatur dunia menurut perempuan dan laki-laki. Anak-anak termotivasi secara internal untuk 12 menerima dunia dan untuk bertindak sesuai dengan skema mereka yang mengalami perkembangan. 2.2.2. Pemberian Stereotip Gender, Kesamaan, dan Perbedaan 2.2.2.1. Stereotip Gender Stereotip gender (gender stereotype) adalah kategori luas yang mencerminkan kesan dan keyakinan tentang perilaku yang pantas untuk perempuan dan laki-laki. Semua stereotip––apakah stereotip itu berhubungan dengan gender, etnisitas, atau kategori lain––merujuk pada kesan seperti apakah anggota dari satu kategori. Banyak stereotip begitu umum sehingga stereotip itu menjadi ambigu. Contohnya, pemberian stereotip “maskulin” atau “feminin” pada siswa bisa menghasilkan konsekuensi yang signifikan (Halpern, 2006; Kite, 2001; Smith, 2007 dalam Santrock 2009:221). Menjuluki seorang laki-laki “feminin” atau seorang perempuan “maskulin” bisa mengurangi status sosialnya dan penerimaan dalam kelompok. 2.2.2.2. Persamaan dan Perbedaan Gender dalam Bidang yang Relevan dengan Akademis Ada banyak aspek dari kehidupan siswa-siswa yang bisa diteliti untuk menentukan seberapa mirip atau berbedanya anak perempuan dan anak laki-laki (Crawford & Unger, 2004 dalam Santrock 2009:221-222). a. Penampilan Fisik Pada umumnya, anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan dalam keterampilan atletik, seperti berlari, melempar, dan melompat. Selama bertahun-tahun sekolah dasar, perbedaan tersebut seringnya tidak terlalu besar; perbedaan itu menjadi semakin dramatis dalam tahun-tahun sekolah menengah pertama (Smoll & Schutz, 1990 dalam Santrock 2009:222). Perubahan hormon semasa pubertas menghasilkan penambahan massa otot pada laki-laki dan peningkatan lemak pada perempuan. Ini memberikan keuntungan bagi laki-laki dalam aktivitas yang berkaitan dengan kekuatan, ukuran, dan tenaga. Meskipun demikian, faktor-faktor lingkungan tetap terlibat dalam penampilan fisik, bahkan setelah pubertas. Anak perempuan kemungkinan kecil terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan 13 keterampilan motorik yang dibutuhkan untuk berprestasi dalam olahraga. (Thomas & Thomas, 1988 dalam Santrock 2009:222). b. Keterampilan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perbedaan gender dalam keterampilan matematika cenderung kecil. Ketika perbedaan gender dalam matematika benar-benar muncul, perbedaan itu tidak seragam dengan semua konteks. Anak laki-laki mendapat prestasi yang lebih baik dalam pelajaran matematika yang berkaitan dengan ukuran, ilmu pengetahuan, dan olahraga; anak perempuan mendapat prestasi yang lebih baik yang melibatkan tugas wanita pada umumnya seperti memasak dan menjahit (Linn & Hyde, 1989 dalam Santrock 2009:222). Sedangkan, dalam sebuah studi nasional terbaru tentang prestasi ilmu pengetahuan alam, anak laki-laki memang mendapatkan prestasi yang sedikit lebih baik dalam ilmu pengetahuan alam bila dibandingkan dengan anak perempuan di kelas empat, delapan, dan dua belas. (National Assessment of Educational Progress, 2005 dalam Santrock 2009:223). Dalam kelas ilmu pengetahuan yang menekankan aktivitas laboratorium yang membutuhkan partisipasi aktif, nilai tes ilmu pengetahuan anak perempuan meningkat drastis. Ini menunjukkan pentingnya keterlibatan aktif siswa-siswa di dalam kelas ilmu pengetahuan, yang bisa memajukan keadilan gender. c. Keterampilan Verbal Tinjauan utama tentang persamaan dan perbedaan gender yang diadakan pada 1970-an menyimpulkan bahwa perempuan memiliki keterampilan verbal yang lebih baik daripada laki-laki (Maccoby & Jacklin, 1974 dalam Santrock 2009:223). Namun, beberapa analisis terkini mengemukakan bahwa dalam beberapa hal, tidak ada perbedaan atau hanya ada sedikit perbedaan dalam keterampilan verbal perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, pada tahun 2002, pria mendapatkan nilai yang sama tinggi dengan wanita dalam bagian verbal tes SAT. d. Pencapaian Pendidikan Persentase laki-laki di perguruan tinggi selama 1950-an hampir 60% dan di tahun 2001 menurun sampai kurang lebih 45% (DeZolt & Hull, 2001 dalam Santrock 2009:224). Perempuan kemungkinan besar 14 lebih terlibat dalam materi akademis, penuh perhatian di kelas, mengerahkan lebih banyak upaya akademis, dan lebih banyak berpartisipasi di dalam kelas daripada laki-laki (DeZolt & Hull, 2001 dalam Santrock 2009:224). Namun, meskipun ketika anak perempuan lebih unggul daripada anak laki-laki dalam prestasi akademis, anak perempuan cenderung meremehkan prestasi mereka (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006; Wiafield, Byrnes, & Eccless, 2006 dalam Santrock 2009:224). e. Keterampilan Hubungan Perbedaan gender dalam konteks komunikasi sering bergantung pada konteks: 1) Ukuran kelompok. Perbedaan gender dalam kegemarannya berbicara (anak perempuan lebih kompeten dalam berkomunikasi) sering muncul dalam kelompok besar daripada pada pasangan. 2) Berbicara dengan kawan sebaya atau orang dewasa. Tidak ada perbedaan rata-rata dalam pembicaraan dengan kawan sebaya, tetapi anak perempuan lebih banyak berbicara dengan orang dewasa daripada anak laki-laki. 3) Keakraban. Perbedaan gender dalam kemampuan berbicara yang asertif (anak laki-laki lebih sering menggunakannya) kemungkinan besar lebih sering muncul ketika berbicara dengan orang asing daripada dengan individu-individu yang sudah akrab. 4) Usia. Perbedaan gender dalam kemampuan bicara yang afiliatif sangatlah besar dalam masa remaja. Ini mungkin disebabkan oleh minat remaja putri yang meningkat dalam perilaku sosioemosional yang biasanya ditentukan untuk wanita. f. Perilaku Prososial (Perilaku Moral yang Positif) Wanita memandang dirinya sebagai makhluk yang lebih prososial dan empatik, serta wanita terlibat dalam perilaku yang lebih prososial daripada pria (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006; Eisenberg & Morris, 2004 dalam Santrock 2009:225). 15 g. Agresi Salah satu perbedaan gender yang paling konsisten adalah bahwa laki-laki lebih agresif secara fisik daripada perempuan (Dodge, Coie, & Lynam, 2006; Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam Santrock 2009:225). Faktor yang mempengaruhi agresif secara fisik adalah faktor biologis (keturunan dan hormon) dan faktor lingkungan (harapan budaya, teladan orang dewasa dan kawan sebaya, serta penghargaan akan agresif fisik pada laki-laki. Selain agresif fisik, penelitian agresi verbal menunjukkan perbedaan gender menjadi hilang atau terkadang bahkan lebih nyata pada anak perempuan (Eagly & Steffen, 1986 dalam Santrock 2009:226). Sedangkan penelitian belakangan ini dilakukan terhadap agresi hubungan, yaitu yang melibatkan tindakan menyakiti seseorang dengan cara memanipulasi suatu hubungan (Crick, Ostrov, & Werner, 2006; Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226). Hasil penelitian yang beragam sehubungan dengan gender dan agresi hubungan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak perempuan terlibat dalam lebih banyak agresi hubungan dan studi lain yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226). h. Emosi dan Pengaturannya Ketika berada di sekolah dasar, anak laki-laki kemungkinan besar menyembunyikan emosi negatif mereka, seperti kesedihan, dan anak perempuan kemungkinan besar jarang mengungkapkan emosi, seperti kekecewaan yang mungkin melukai perasaan orang lain (Eisenberg, 1986 dalam Santrock 2009:226). Ketika masa remaja awal, anak perempuan mengatakan mereka mengalami lebih banyak rasa sedih, rasa malu, dan rasa bersalah, serta menunjukkan emosi yang lebih intens; anak laki-laki kemungkinan besar menyangkal mereka mengalami emosi-emosi ini (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam Santrock 2009:226). Pada anak laki-laki, biasanya pengaturan dirinya lebih sedikit daripada anak perempuan (Eisenberg, Spinrad, & Smith, 2004 dalam Santrock 2009:226). Pengendalian diri yang rendah ini bisa 16 menyebabkan masalah perilaku, seperti: agresi yang lebih tinggi, mengejek orang lain, beraksi secara berlebihan terhadap frustasi, kerja sama yang buruk, dan ketidakmampuan untuk menunda kegembiraan (Blok & Bock, 1980 dalam Santrock 2009:226). 2.2.3. Kontroversi Gender Psikolog evolusioner David Buss (2004, dalam Santrock 2009:226) berpendapat bahwa perbedaan gender itu luas dan disebabkan oleh masalahmasalah adaptif yang dihadapi sepanjang sejarah evolusioner. Alice Eagly (2001, dalam Santrock 2009:226) juga menyimpulkan bahwa perbedaan gender juga substansial, tetapi sampai pada satu kesimpulan yang sangat berbeda mengenai penyebabnya. Ia menekankan bahwa perbedaan gender disebabkan oleh kondisi sosial yang mengakibatkan wanita hanya mempunyai sedikit kekuatan dan mengendalikan lebih sedikit sumber daripada pria. Sebaliknya menurut Janet Shibley Hyde (1986, 2005, 2007 dalam Santrock 2009:227) menyimpulkan bahwa perbedaan gender sangat dilebihlebihkan. Ia berpendapat bahwa wanita dan pria itu sama dalam sebagian besar faktor psikologis. Di sebagian besar bidang, termasuk kemampuan matematika, komunikasi, dan agresi, tidak ditermukan perbedaan gender atau hanya ada sedikit perbedaan. Perbedaan terbesar muncul pada keterampilan motoric (menguntungkan pria), yang diikuti oleh seksualitas, dan agresi fisik. 2.2.4. Bias Gender 2.2.4.1. Interaksi Guru-Siswa Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan anak laki-laki mendapatkan bias gender dalam hal berinteraksi antara guru dan siswa (DeZolt & Hull, 2011 dalam Santrock 2009: 230) adalah sebagai berikut. a. Mematuhi, mengikuti peraturan, serta tampil rapi dan teratur dihargai dan dikuatkan di banyak kelas biasanya berhubungan dengan anak perempuan daripada laki-laki. b. Mayoritas guru adalah perempuan, terutama di sekolah dasar. Hal ini dapat lebih menyulitkan anak laki-laki daripada anak perempuan untuk 17 menganggap dirinya memiliki karakteristik atau pemikiran yang sama dengan gurunya dan meniru perilaku guru mereka. c. Anak laki-laki lebih diidentifikasikan memiliki masalah belajar dibandingkan anak perempuan. d. Anak laki-laki lebih sering dikritik dibandingkan dengan anak perempuan. e. Staf sekolah cenderung mengabaikan bahwa banyak anak laki-laki jelas-jelas memiliki masalah akademis, terutama dalam seni bahasa. f. Staf sekolah cenderung memberikan stereotip perilaku anak laki-laki sebagai problematik. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan anak laki-laki mendapatkan bias gender di dalam kelas (Sadker & Sadker, 1994, 2005 dalam Santrock 2009:231) adalah sebagai berikut. a. Anak laki-laki meminta lebih banyak perhatian; anak perempuan cenderung lebih diam ketika menunggu giliran mereka. Para pendidik khawatir bahwa kecenderungan anak perempuan untuk patuh dan diam bisa membahayakan, yaitu hilangnya asertivitas. b. Dalam banyak kelas, guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengamati dan berinteraksi dengan anak laki-laki, sementara anak perempuan belajar dan bermain sendiri dengan diam. c. Anak laki-laki mendapatkan lebih banyak perintah dan lebih bantuan ketika mereka kesulitan dengan satu pertanyaan dibandingkan anak perempuan. d. Pada tahun-tahun sekolah menengah pertama, harga diri anak perempuan menurun secara signifikan daripada harga diri anak laki-laki (Robins, dkk., 2002 dalam Santrock 2009:231). e. Pada sekolah menengah atas, ada lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan dalam program berbakat (U.S. Office of Education, 1999 dalam Santrock 2009: 231). 2.2.4.2. Isi Kurikulum dan Isi Atletik Menurut Santrock (2009:232), buku pelajaran dan materi kelas pada saat ini lebih netral secara gender. Sekolah memberi lebih banyak kesempatan kepada siswa perempuan untuk mengambil mata pelajaran pendidikan kejuruan dan berpartisipasi dalam atletik bila dibandingkan dengan zaman ketika orang tua dan kakek nenek mereka bersekolah (Gill, 18 2001 dalam Santrock 2009: 232). Meskipun demikian, bias masih ada pada tingkat kurikulum. Sebagai contoh, jarang ada penggunaan buku pelajaran sekolah yang baru, sehingga banyak siswa masih mempelajari buku-buku yang ketinggalan zaman dan berbias gender. 2.2.4.3. Pelecehan Seksual Menurut Santrock (2009: 232-233), anak perempuan melaporkan mendapat lebih banyak pelecehan seksual daripada anak laki-laki. 16% siswa mengatakan mereka mendapatkan pelecehan seksual dari guru. Pelecehan seksual quid pro quo (quiz pro quo sexual harassment) terjadi ketika seorang karyawan sekolah mengancam untuk mendasarkan keputusan pendidikan (seperti nilai) pada ketundukan seorang siswa terhadap perlakuan seksual yang tidak dikehendaki. Pelecehan seksual di lingkungan yang tidak ramah (hostile environment sexual harassment) terjadi ketika siswa menjadi korban perlakuan seksual yang tidak dikehendaki, sehingga membatasi kemampuan siswa untuk mendapatkan manfaat dari pendidikan mereka. 2.2.5. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Gender Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara gender dan prestasi akademik. Byrne dan Flood (2008:208) memperoleh hasil penelitian bahwa gender tidak secara signifikan berhubungan dengan pengukuran prestasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan bahwa perbedaan gender bukanlah menjadi isu dunia yang lebih seimbang untuk gender dari pendidikan akuntansi saat ini. Jelas & Dahan (2010:726) melakukan penelitian dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Hasil data sekunder menunjukkan adanya kecenderungan bahwa mahasiswa perempuan lebih sukses secara akademik dan mengonfirmasi penelitian yang dilakukan oleh negara berkembang. Data primer menunjukkan bahwa karakteristik belajar perempuan memberikan kontribusi yang substansial terhadap prestasi akademik mereka. Menurut Garkaz et.al. (2011:125) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi akademik laki-laki dan perempuan, yaitu perempuan memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Arthur and Everaert (2012, dalam B. Apostolou et al., 2013:120) melakukan investigasi untuk mengetahui apakah gender mempengaruhi prestasi 19 akademik mahasiswa dengan menggunakan tes pilihan berganda dan constructed-response questions. Hasil menunjukkan perempuan lebih unggul dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih unggul dalam mengerjakan tes pilihan berganda daripada constructed-response questions. Menurut Muda et.al. (2013:718), hasil penelitiannya di University Technology MARA, Malaysia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara proporsi laki-laki dan perempuan untuk lulus dalam ujian. Hasil menunjukkan hubungan yang signifikan antara gender dan prestasi mata kuliah ACC106 (Introduction to Financial Accounting). 2.3. Asal Sekolah Chudgar (2012 dalam Amjad & MacLeod, 2014:3) menunjukkan bahwa perbedaan antara prestasi sekolah swasta dan negeri berbeda di seluruh konteks dan pengaruh positif pada prestasi swasta berkurang di desa dengan kehadiran pemerintah dan infrastruktur. Lingkungan pendidikan sekolah mengatur parameter hasil belajar mahasiswa (Ali et.al. (2013:284). Kwesiga (2002 dalam Ali et.al., 2013:284) menyetujui bahwa prestasi dari mahasiswa juga dipengaruhi oleh sekolah yang mana yang mereka belajar, tetapi Kwesiga juga menyatakan bahwa jumlah fasilitas yang ditawarkan sekolah biasanya menentukan kualitas sekolah, yang kemudian mempengaruhi prestasi dan pencapaian siswanya. Mahasiswa yang berasal dari sekolah elit diharapkan untuk berprestasi dengan baik karena mereka menghadiri sekolah elit ini dan alasan utama dibalik hal tersebut adalah sekolah-sekolah ini sangat kaya akan sumber daya dan fasilitas. Beberapa pandangan bahwa kepemilikan sekolah dan dana yang tersedia memang mempengaruhi prestasi mahasiswa (Ali et.al, 2013:284). Menurut Crosne dan Elder (2004 dalam Ali et.al., 2013:284-285) bahwa kepemilikan sekolah, ketentuan fasilitas dan ketersediaan sumber daya dalam sekolah merupakan komponen struktural dari sekolah. Sekolah swasta karena pendanaan yang lebih baik, ukuran kecil, kepemilikan yang serius, memotivasi fakultas dan akses pada sumber daya, seperti komputer yang bekerja lebih baik dibandingkan sekolah negeri. Dengan pendanaan tambahan terhadap sumber daya dan fasilitas di sekolah swasta meningkatkan prestasi akademik dan pencapaian pendidikan siswa. 20 Penelitian yang dilakukan oleh Amjad dan MacLeod (2014) di Pakistan menunjukkan bahwa siswa di sekolah swasta lebih baik dibandingkan sekolah negeri. Konfirmasi lebih lanjut, menunjukkan bahwa dampak substansi sekolah swasta adalah bahkan siswa yang membayar biaya paling rendah di swasta lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri. 2.4. Kemampuan Manajemen Waktu Berdasarkan literatur tentang manajemen waktu dari berbagai ahli, Claessens et al. (2005:262-263) menyarankan definisi manajemen waktu sebagai “perilaku yang bertujuan untuk mencapai penggunaan waktu secara efektif ketika melakukan aktivitas yang diarahkan pada tujuan tertentu. Perilaku tersebut meliputi: 1. Perilaku penilaian waktu, yang bertujuan pada kesadaran di sini dan sekarang atau masa lalu, kini, dan masa depan (Kaufman et al., 1991) dan kesadaran diri dalam menggunakan waktu (Wratcher dan Jones, 1988) yang membantu menerima tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan seseorang. 2. Perilaku perencanaan, seperti mengatur tujuan, merencanakan tugas, memprioritaskan, membuat to-do lists, mengelompokkan tugas (contohnya Britton dan Tesster, 1991; Macan, 1994, 1996) yang bertujuan pada penggunaan waktu secara efektif. 3. Perilaku monitoring, yang bertujuan untuk mengobservasi penggunaan waktu seseorang ketika melakukan aktivitas, menghasilkan umpan balik yang mengizinkan batasan terhadap pengaruh interupsi orang lain. (contohnya Fox dan Dyer, 1996; Zijlstra et al, 1999). Menurut Indreica (2011:1102), manajemen waktu memiliki dampak positif terhadap prestasi akademik. Keberhasilan akademik, pada perspektif lain, berdampak positif terhadap motivasi (menghasilkan motif) dan waktu pekerjaan (waktu yang lebih pendek bila tujuannya untuk kecepatan, dan lebih lama jika tugas yang kompleks dan memerlukan usaha berkelanjutan). Waktu adalah sumber daya penting yang dimiliki setiap orang secara sama tetapi gagal untuk memanfaatkan pada level yang sama karena berbagai alasan. (Örücü et al., 2007 dalam Pehlivan, 2013:196). Menurut Pehlivan (2013:196), manajemen adalah mengarahkan. Sehingga, manajemen waktu adalah kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri, tindakan dan aktivitas lainnya, dan menggunakan 21 waktu secara lebih efektif. Dengan kata lain, manajemen waktu berhubungan dengan proses menyusun sejumlah pekerjaan dan aktivitas yang banyak selama jangka waktu tertentu. Menurut Pehlivan (2013:197), karena waktu adalah sumber daya yang terbatas yang perlu diatur secara efektif seperti sumber daya terbatas lainnya, dianggap perlu untuk mengevaluasi pengaruhnya pada prestasi siswa. Asumsi umum menggarisbawahi bahwa siswa dengan kemampuan manajemen waktu yang baik dapat mengatur waktu secara efektif bahkan setelah mereka tamat dan masuk ke kehidupan profesional. Menurut Kaushar (2013:59), manajemen waktu memiliki peran penting dalam mengembangkan prestasi akademik mahasiswa. Setiap mahasiswa seharusnya memiliki kemampuan manajemen waktu yang mencakup pengaturan tujuan dan prioritas, menggunakan mekanisme manajemen waktu (seperti membuat “to do list”) dan teratur dalam menggunakan waktu. 2.5. Prestasi Akademik Penilaian (grading) yaitu menerjemahkan informasi asesmen deskriptif menjadi huruf, angka, atau tanda lain yang mengindikasikan kualitas pembelajaran atau prestasi siswa. 2.5.1. Tujuan Penilaian Penilaian dilakukan untuk mengomunikasikan informasi yang berarti tentang pembelajaran atau prestasi seorang siswa (Butler & McMunn, 2006; Taylor & Nolen, 2005 dalam Santrock 2009:384). Dalam proses ini, nilai mempunyai empat tujuan dasar (Airasian, 2005 dalam Santrock 2009:384). 1. Administratif. Nilai membantu menentukan peringkat kelas siswa, kredit untuk kelulusan, dan apakah seorang siswa harus dinaikkan ke tingkat yang berikutnya. 2. Informasional. Nilai dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan siswa, orang tua, dan yang lainnya (seperti petugas penerimaan untuk pendidikan sekolah yang berikutnya) tentang pekerjaan seorang siswa. Nilai mewakili kesimpulan keseluruhan guru tentang seberapa baik seorang siswa memenuhi tujuan dan target pembelajaran. 22 3. Motivasional. Banyak siswa bekerja lebih keras karena mereka termotivasi secara ekstrinsik oleh keinginan untuk nilai yang tinggi dan rasa takut akan nilai yang rendah. 4. Bimbingan. Nilai membantu siswa, orang tua, dan konselor untuk memilih mata pelajaran serta tingkat pekerjaan yang sesuai untuk siswa. Nilai memberikan informasi tentang siswa mana yang membutuhkan jasa khusus dan tingkat pendidikan masa depan apa yang kemungkinan besar bisa ditangani oleh siswa. 2.5.2. Hasil Penilaian Dalam menilai prestasi mahasiswa, terdapat tiga metode penilaian menggunakan skor menurut Ormrod (2011:243), yaitu sebagai berikut: 2.5.2.1. Raw scores Raw score merupakan nilai yang hanya berdasarkan pada angka atau persentase dari poin yang diperoleh atau pertanyaan yang dijawab dengan benar. Raw score mudah dihitung dan kelihatannya mudah dimengerti, tetapi kadang-kadang kita salah mengartikannya. Tanpa mengetahui jenis tugas yang sedang dinilai, kita tidak mudah menginterpretasikan raw score tersebut. 2.5.2.2. Criterion-Referenced Scores Criterion-referenced scores menunjukkan pencapaian siswa terkait dengan tujuan pembelajaran tertentu atau ruang lingkup standar. Beberapa criterion-referenced scores adalah salah satu skor yang menunjukkan bahwa siswa telah ahli atau tidak ahli suatu kemampuan, memenuhi atau tidak memenuhi suatu tujuan, atau lulus atau gagal suatu unit. Terkadang, Criterion-referenced scores disebut penilaian yang absolut. 2.5.2.3. Norm-Referenced Scores Norm-referenced scores berasal dari perbandingan penilaian prestasi mahasiswa dengan prestasi mahasiswa yang lain–mungkin teman sekelas atau mahasiswa yang berada di norma kelompok secara nasional. Norm-referenced scores memberitahukan kita sedikit tentang hal yang secara spesifik dapat dilakukan oleh mahasiswa, tetapi memberitahukan kita apakah prestasi seorang mahasiswa khas atau tidak biasa pada umurnya atau tingkat kelasnya. 23 a. Grade-Equivalent and Age-Equivalent Scores Grade- and age-equivalent scores ditentukan dengan mencocokkan raw scores terhadap tingkat kelas atau umur tertentu dalam kelompok norma. Grade- and age-equivalent scores sering digunakan karena kelihatannya sederhana dan mudah, namun, juga memiliki kekurangan yang serius, yaitu kita tidak mengetahui rentang khas dari prestasi mahasiswa pada tingkat atau umur tertentu. Contohnya, raw score 34 pada RAT memberikan nilai grade-equivalent score 8, tetapi tidak semua tingkat 8 akan memiliki nilai 34, ada kemungkinan lebih tinggi ataupun lebih rendah. b. Percentile ranks Percentile rank (atau disingkat menjadi percentile) merupakan persentase dari orang yang berada pada tingkat umur atau kelas yang sama, memiliki raw score lebih rendah atau sama dengan raw score mahasiswa lain. Percentile rank relatif mudah dimengerti dan oleh karena itu, sering digunakan untuk melaporkan hasil tes. Akan tetapi, metode ini memiliki kelemahan utama, yaitu mendistorsi perbedaan actual di antara mahasiswa. Percentiles cenderung menaksir terlalu tinggi (overestimate) perbedaan di rentang tengah dari karakteristik yang diukur. Skor yang memiliki beberapa poin terpisah menunjukkan pencapaian atau kemampuan yang mirip. Sedangkan, percentiles meremehkan perbedaan di ekstrim atas dan bawah. Untuk menghindari masalah seperti ini dalam percentile, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan metode standard scores. c. Standard scores Standard scores menggunakan istilah distribusi normal (kurva normal), yaitu dalam pendidikan dan psikologi memiliki pola yang sama, di mana kebanyakan skor individual berada di rentang tengah dan hanya sedikit yang berada di salah satu ekstrim. Dua angka yang digunakan untuk menghasilkan skor ini adalah mean dan simpangan baku (standard deviation). Mean adalah rata-rata dari satu set skor, sedangkan simpangan baku adalah statistik yang menunjukkan jumlah karakteristik yang beragam dari satu set skor. Standard scores mencerminkan posisi mahasiswa dalam distribusi normal; seberapa jauh 24 prestasi mahasiswa dari mean dipandang dari sisi simpangan baku. Akan tetapi, tidak semua standard scores menggunakan skala yang sama, terdapat empat yang paling umum digunakan, yaitu: 1) IQ scores umumnya digunakan untuk melaporkan prestasi mahasiswa dalam tes kecerdasan, memiliki mean 100 dan simpangan baku 15 dalam kebanyakan tes. 2) ETS scores digunakan pada tes yang dipublikasikan oleh Educational Testing Services, seperti SAT Reasoning Test dan Graduation Record Examination (GRE), memiliki mean 500 dan simpangan baku 100. 3) Stanines (singkatan dari Standard nines) sering digunakan untuk melaporkan standarisasi pencapaian hasil tes, memiliki mean 5 dan simpangan baku 2. 4) z-scores adalah standard scores yang paling sering digunakan oleh ahli statistik, memiliki mean 0 dan simpangan baku 1. Criterion-referenced scores memusatkan perhatian pada tujuan penguasaan dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, meningkatkan keberhasilan siswa untuk belajar mata kuliah akademik. Norm-referenced scores kadang-kadang lebih sesuai jika kita ingin mengetahui mahasiswa telah berprestasi dibandingkan dengan yang lain. Contohnya dalam kelas musik instrumental, mencari pemain biola terbaik. Kita sebaiknya tidak menggunakan norm-referenced scores untuk penilaian yang dilakukan oleh guru (teacher-developed assessment). Skor tertentu akan menciptakan situasi kompetitif, karena mahasiswa melakukan dengan baik jika prestasinya melampaui teman sekelasnya. Oleh karena itu, norm-referenced score memusatkan perhatian pada tujuan prestasi daripada penguasaan suatu tujuan dan kemungkinan mendorong mahasiswa untuk berbuat curang dalam tugas (E.M. Anderman et al., 1998; Brophy, 2004; Mac Iver et al., 1995 dalam Ormrod 2011:560). 2.5.3. Sistem Penilaian Prestasi Berdasarkan katalog UBN 2013-2014, prestasi akademik mahasiswa dinilai berdasarkan tugas mandiri, nilai UTS, dan nilai UAS untuk memperoleh Nilai Akhir Semester (NAS). NAS kemudian disajikan dalam bentuk alphabet. 25 Nilai alphabet tersebut akan digunakan untuk menghitung Indeks Prestasi (IP). Apabila hanya mengukur nilai semester terakhir sebelumnya yang telah dilalui, maka akan diperoleh hasil Indeks Prestasi Semester (IPS). Sebaliknya, apabila ingin mengukur seluruh semester yang telah dilalui selama kuliah, maka akan diperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Sistem penilaian yang memenuhi tujuan program pendidikan di UBN merupakan Sistem Penilaian Absolut. Penghitungan NAS suatu mata kuliah yang terdapat praktikum dilakukan sebagai berikut: Nilai NAT diperoleh sebagai berikut: Keterangan: NAT : Nilai akhir teori TMK : Tugas Mandiri NMS : Nilai UTS NUS : Nilai UAS Jika mata kuliah tidak terdapat praktikum, maka nilai NAS = NAT. Tabel 2.1 Pembobotan Nilai Nilai Alphabet Bobot NAS A : Very Good 4 85 – 100 B : Good 3 75 – 84 C : Adequate 2 65 – 74 D : Less than adequate 1 50 – 64 E : Failed 0 0 – 49 F : Incomplete* 0 0 – 49 G : Failed** - - L : Pass** - - Catatan: * Tidak hadir ketika UAS atau frekuensi kehadiran kelas tidak mencukupi ** Mata kuliah tertentu 26 Cara menghitung IPS dan IPK mahasiswa adalah sebagai berikut. Keterangan: K = Jumlah SKS yang ditempuh di semester terkait N = Bobot setiap mata kuliah yang diambil M = Nilai Konversi (K x N) L = Jumlah SKS yang lulus 2.5.4. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Prestasi Akademik Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Menurut Graetz (1995 dalam Ali et.al. 2013:283), keberhasilan pendidikan siswa sangat bergantung pada status sosial orang tua atau wali dalam masyarakat. Hal yang sama disetujui oleh Considine dan Zappala (2002). Menurut Minnesota (2007 dalam Ali et.al., 2013:283), prestasi akademik yang tinggi bergantung pada prestasi akademik dari siswa yang sudah tamat. Penelitian yang dilakukan oleh Byrne dan Flood (2008:209) menunjukkan bahwa prestasi akademik sebelumnya merupakan variabel paling penting dalam menjelaskan prestasi akademik mahasiswa akuntansi di Irish University. Temuan ini berdampak serius pada kebijakan penerimaan mahasiswa, dan setidaknya berhubungan dengan program studi akuntansi. Menurut Ali et.al. (2013:288), faktor yang paling berpengaruh terhadap prestasi akademik adalah umur, pendapatan orang tua/wali, dan jumlah jam belajar. Asumsi umum bahwa mahasiswa yang menunjukkan atau prestasi akademik yang lebih tinggi pada awal kelas atau perkuliahan juga berprestasi lebih baik di tahun akademik mendatang pada tingkat sarjana. Menurut Amalita dan Kurniawati (2013:387), performansi merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang yang dapat menggambarkan kualitas output. IPK juga menggambarkan performansi dari suatu Perguruan Tinggi, karena IPK merupakan hasil komponen pendidikan yang diperoleh mahasiswa selama menempuh jenjang perkuliahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27 nilai UN Matematika mahasiswa laki-laki yang berasal dari SMA negeri, dan jalur masuk melalui jalur SNMPTN memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan IPK. Menurut Erdem (2013:694), terdapat hubungan antara CGPA (IPK) dengan kemampuan manajemen waktu untuk tujuan akademik dan sosial seperti kemampuan belajar dan kebiasaan, seperti menggarisbawahi bagian penting dan menulis komentar mereka ketika mendengarkan pengajar di kelas. 2.6. Akuntansi Menurut Bastian (2006:53), definisi akuntansi dapat dirumuskan dari dua sudut pandang, yaitu definisi dari sudut pandang pemakai jasa akuntansi dan dari proses kegiatannya. Definisi dari sudut pandang pemakai, yaitu suatu disiplin ilmu yang menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efisien dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan suatu organisasi. Sedangkan definisi dari sudut pandang proses kegiatan, yaitu proses pencatatan, penggolongan, peringkasan, pelaporan, dan penganalisaan data keuangan suatu organisasi. Menurut Aryati dan Imran (2014:15), Akuntansi merupakan proses pencatatan, penggolongan dan peringkasan pada peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dengan cara yang setepat-tepatnya dan dengan petunjuk atau dinyatakan dalam uang, serta penafsiran terhadap hal-hal yang timbul daripadanya. Anggun (2010, dalam Aryati dan Imran 2014:15) menyatakan bahwa tingkat pemahaman akuntansi mahasiswa dinyatakan dengan seberapa mengerti seorang mahasiswa terhadap hal yang sudah dipelajari (mengacu pada mata kuliah–mata kuliah akuntansi). Tanda seorang mahasiswa memahami akuntansi tidak hanya ditunjukkan dari nilai-nilai yang didapatkannya dalam mata kuliah, tetapi juga apabila mahasiswa tersebut mengerti dan dapat menguasai konsep-konsep yang terkait. 2.7. Metode Pembelajaran di UBN Metode pembelajaran yang digunakan dalam Universitas UBN adalah studentcentered learning (SCL). Menurut Cubukcu (2012:49), SCL atau student centeredness, adalah model yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. SCL merupakan 28 model di mana siswa memainkan peranan aktif dalam gaya dan strategi pembelajaran. Ketika belajar, motivasi internal sangat penting. SCL meningkatkan pembelajaran untuk belajar dan mempelajari cara untuk mengembangkan kemampuan seperti berpikir kritis, memecahkan masalah dan berpikir reflektif. Menurut Gür (2006 dalam Gelisli, 2009:470), pendekatan student centered pada pelatihan anak-anak berdasarkan sifatnya, tidak bergantung pada yang diinginkan orang dewasa; dalam cara ini menyatakan bahwa anak-anak akan lebih kreatif dan lebih bebas. Menurut Saban (2004 dalam Gelisli, 2009:470), pengertian SCL adalah pengaturan pembelajaran hidup dengan menekankan pada minat, pengetahuan, dan kebutuhan siswa, tujuannya adalah membuat siswa memperoleh keahlian untuk mengeksplorasi ciri belajarnya dan mempelajari bagaimana untuk belajar dalam proses tersebut. Menurut Sparrow and Sparrow, Swan (2000 dalam Gelisli, 2009:470), SCL adalah pendekatan yang membawa minat, keahlian, dan kebutuhan ke dalam pertimbangan, membiarkan siswa bebas dalam proses pembelajaran, menyajikan berbagai kesempatan kepada mereka, membuat mereka belajar dalam langkah mereka sendiri. 29 2.8. Kerangka Pemikiran Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.9. Hipotesis Hipotesis yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis 1 Ho : Gender tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi. Ha : Gender berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi. 2. Hipotesis 2 Ho : Asal sekolah sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi. Ha : Asal sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi. 30 3. Hipotesis 3 Ho : Kemampuan manajemen waktu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi. Ha : Kemampuan manajemen waktu berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi.