9 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Psikologi Pendidikan
Psikologi menurut American Psychology Assocation (APA) adalah ilmu yang
mempelajari pikiran dan perilaku, yang mencakup seluruh aspek pengalaman
manusia, dari fungsi otak hingga tindakan, dari perkembangan anak hingga dewasa.
Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang khusus mempelajari
pengajaran dan pembelajaran dalam pendidikan.
Psikologi pendidikan bertujuan untuk menyediakan pengetahuan yang dapat
diterapkan dalam situasi pengajaran dan kemampuan meningkatkan pemahaman
tentang apa yang berdampak terhadap pembelajaran siswa. (Alexander & Mayer,
2011; Harris, Graham, & Urdan, 2011 dalam Santrock 2011:5).
2.1.1. Belajar
Belajar adalah fokus utama dalam psikologi pendidikan. Belajar
merupakan pengaruh yang relatif permanen terhadap perilaku, pengetahuan, dan
kemampuan berpikir melalui pengalaman.
Pendekatan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
2.1.1.1. Pendekatan Perilaku
Behaviorisme adalah pandangan bahwa perilaku dijelaskan melalui
pengalaman yang dapat diobservasi, bukan melalui proses mental. Perilaku
merupakan seluruh hal yang dilakukan, baik secara verbal maupun
nonverbal, yang dapat secara langsung dilihat atau didengar, contohnya
anak-anak sedang membuat poster, guru menjelaskan kepada murid.
Sedangkan, proses mental merupakan pikiran, perasaan, dan motif yang
dialami tetapi tidak dapat diobservasi oleh orang lain, contohnya pikiran
anak-anak tentang cara membuat poster terbaik, motivasi diri untuk
mengendalikan perilaku mereka.
2.1.1.2. Pendekatan Kognitif
Ada empat jenis pendekatan kognitif. Kognitif sosial menekankan
bagaimana faktor perilaku, lingkungan, dan orang mempengaruhi belajar
(Bandura, 2009, 2010 dalam Santrock 2011:218). Pemrosesan informasi
9
10
berfokus pada bagaimana anak-anak memproses informasi melalui perhatian,
ingatan, berpikir, dan proses kognitif lainnya (Martinez, 2010 dalam
Santrock 2011:218). Kontruktivis kognitif menenkankan pembangunan
kognitif pengetahuan dan pemahaman (Halford, 2008 dalam Santrock
2011:218) Kontruktivis sosial berfokus pada kolaborasi dengan orang lain
untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman (Holzman, 2009 dalam
Santrock 2011:218).
2.2. Gender
Gender merujuk pada konsep laki-laki atau perempuan berdasarkan dimensi
sosial budaya dan psikologi. Gender dibedakan dari jenis kelamin, yang melibatkan
dimensi biologis dari perempuan atau laki-laki. Peran gender (gender roles) adalah
harapan sosial yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya
berpikir, bertindak, dan merasakan. Terdapat tiga pandangan tentang perkembangan
gender.
2.2.1. Pandangan tentang Perkembangan Gender
2.2.1.1. Pandangan Biologis
Dalam pasangan kromosom yang ke-23 pada manusia (kromosom
jenis kelamin) menentukan apakah janin tersebut perempuan (XX) atau lakilaki (XY). Para ahli gender yang memiliki orientasi lingkungan yang kuat
mengakui bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda
karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam
reproduksi.
Beberapa pendekatan biologis menjelaskan perbedaan-perbedaan
dalam otak perempuan dan laki-laki (Lippa, 2005 dalam Santrock
2009:218). Satu pendekatan berfokus pada perbedaan antara perempuan dan
laki-laki di dalam corpus collosum, sekumpulan serat saraf yang
menggabungkan dua belahan otak (LeDoux, 1996, 2002 dalam Santrock
2009:218). Corpus collosum pada perempuan lebih besar daripada laki-laki
dan ini mungkin menjelaskan mengapa perempuan lebih sadar dibandingkan
dengan laki-laki tentang emosi mereka sendiri dan emosi orang lain.
11
2.2.1.2. Pandangan Sosialisasi
a. Teori Psikoanalitik Gender
Teori psikoanalitik gender (psychoanalytic theory of gender)
berasal dari pandangan Freud bahwa anak prasekolah mengembangkan
daya tarik seksual kepada orang tua yang jenis kelaminnya berlawanan
dengan dirinya. Pada usia 5 atau 6 tahun, anak menghilangkan daya
tarik tersebut karena perasaan gelisah. Sesudah itu, anak menganggap
dirinya mempunyai karakteristik yang sama dengan orang tua dengan
jenis kelamin yang sama.
b. Teori Kognitif Sosial Gender
Teori kognitif sosial gender (social cognitive theory of gender)
menekankan bahwa perkembangan gender anak-anak terjadi melalui
observasi dan imitasi perilaku gender, serta melalui penghargaan dan
hukuman yang didapat anak-anak untuk perilaku yang sesuai dan yang
tidak sesuai menurut gender.
Tidak seperti teori identifikasi, teori kognitif sosial berpendapat
bahwa daya tarik seksual kepada orang tua tidaklah terlibat dalam
perkembangan gender. Orang tua sering menggunakan penghargaan
dan hukuman untuk mengajari anak perempuan mereka bersikap
feminin dan anak laki-laki mereka bersikap maskulin.
2.2.1.3. Pandangan Kognitif
Menurut teori kognitif sosial, gender berkembang melalui
mekanisme yang terdiri atas observasi, imitasi, penghargaan, dan
hukuman. Menurut pandangan kognitif, interaksi antara anak dan
lingkungan sosial merupakan kunci utama untuk perkembangan gender.
Teori skema gender (gender schema theory), yang saat ini
merupakan teori kognitif gender yang diterima di mana-mana,
menyatakan bahwa pengelompokan gender muncul ketika anak-anak
secara bertahap mengembangkan skema gender tentang apa yang pantas
dan apa yang tidak pantas menurut gender dalam budaya mereka.
Skema adalah struktur kognitif, jaringan asosiasi yang membimbing
persepsi satu individu. Skema gender mengatur dunia menurut
perempuan dan laki-laki. Anak-anak termotivasi secara internal untuk
12
menerima dunia dan untuk bertindak sesuai dengan skema mereka yang
mengalami perkembangan.
2.2.2. Pemberian Stereotip Gender, Kesamaan, dan Perbedaan
2.2.2.1. Stereotip Gender
Stereotip gender (gender stereotype) adalah kategori luas yang
mencerminkan kesan dan keyakinan tentang perilaku yang pantas untuk
perempuan
dan
laki-laki.
Semua
stereotip––apakah
stereotip
itu
berhubungan dengan gender, etnisitas, atau kategori lain––merujuk pada
kesan seperti apakah anggota dari satu kategori. Banyak stereotip begitu
umum sehingga stereotip itu menjadi ambigu.
Contohnya, pemberian stereotip “maskulin” atau “feminin” pada
siswa bisa menghasilkan konsekuensi yang signifikan (Halpern, 2006; Kite,
2001; Smith, 2007 dalam Santrock 2009:221). Menjuluki seorang laki-laki
“feminin” atau seorang perempuan “maskulin” bisa mengurangi status
sosialnya dan penerimaan dalam kelompok.
2.2.2.2. Persamaan dan Perbedaan Gender dalam Bidang yang Relevan
dengan Akademis
Ada banyak aspek dari kehidupan siswa-siswa yang bisa diteliti
untuk menentukan seberapa mirip atau berbedanya anak perempuan dan
anak laki-laki (Crawford & Unger, 2004 dalam Santrock 2009:221-222).
a. Penampilan Fisik
Pada umumnya, anak laki-laki lebih unggul daripada anak
perempuan dalam keterampilan atletik, seperti berlari, melempar, dan
melompat. Selama bertahun-tahun sekolah dasar, perbedaan tersebut
seringnya tidak terlalu besar; perbedaan itu menjadi semakin dramatis
dalam tahun-tahun sekolah menengah pertama (Smoll & Schutz, 1990
dalam Santrock 2009:222). Perubahan hormon semasa pubertas
menghasilkan penambahan massa otot pada laki-laki dan peningkatan
lemak pada perempuan. Ini memberikan keuntungan bagi laki-laki
dalam aktivitas yang berkaitan dengan kekuatan, ukuran, dan tenaga.
Meskipun demikian, faktor-faktor lingkungan tetap terlibat dalam
penampilan
fisik,
bahkan
setelah
pubertas.
Anak
perempuan
kemungkinan kecil terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan
13
keterampilan motorik yang dibutuhkan untuk berprestasi dalam
olahraga. (Thomas & Thomas, 1988 dalam Santrock 2009:222).
b. Keterampilan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Perbedaan gender dalam keterampilan matematika cenderung
kecil. Ketika perbedaan gender dalam matematika benar-benar muncul,
perbedaan itu tidak seragam dengan semua konteks. Anak laki-laki
mendapat prestasi yang lebih baik dalam pelajaran matematika yang
berkaitan dengan ukuran, ilmu pengetahuan, dan olahraga; anak
perempuan mendapat prestasi yang lebih baik yang melibatkan tugas
wanita pada umumnya seperti memasak dan menjahit (Linn & Hyde,
1989 dalam Santrock 2009:222).
Sedangkan, dalam sebuah studi nasional terbaru tentang prestasi
ilmu pengetahuan alam, anak laki-laki memang mendapatkan prestasi
yang sedikit lebih baik dalam ilmu pengetahuan alam bila dibandingkan
dengan anak perempuan di kelas empat, delapan, dan dua belas.
(National Assessment of Educational Progress, 2005 dalam Santrock
2009:223). Dalam kelas ilmu pengetahuan yang menekankan aktivitas
laboratorium yang membutuhkan partisipasi aktif, nilai tes ilmu
pengetahuan anak perempuan meningkat drastis. Ini menunjukkan
pentingnya keterlibatan aktif siswa-siswa di dalam kelas ilmu
pengetahuan, yang bisa memajukan keadilan gender.
c. Keterampilan Verbal
Tinjauan utama tentang persamaan dan perbedaan gender yang
diadakan pada 1970-an menyimpulkan bahwa perempuan memiliki
keterampilan verbal yang lebih baik daripada laki-laki (Maccoby &
Jacklin, 1974 dalam Santrock 2009:223). Namun, beberapa analisis
terkini mengemukakan bahwa dalam beberapa hal, tidak ada perbedaan
atau hanya ada sedikit perbedaan dalam keterampilan verbal perempuan
dan laki-laki. Sebagai contoh, pada tahun 2002, pria mendapatkan nilai
yang sama tinggi dengan wanita dalam bagian verbal tes SAT.
d. Pencapaian Pendidikan
Persentase laki-laki di perguruan tinggi selama 1950-an hampir
60% dan di tahun 2001 menurun sampai kurang lebih 45% (DeZolt &
Hull, 2001 dalam Santrock 2009:224). Perempuan kemungkinan besar
14
lebih terlibat dalam materi akademis, penuh perhatian di kelas,
mengerahkan lebih banyak upaya akademis, dan lebih banyak
berpartisipasi di dalam kelas daripada laki-laki (DeZolt & Hull, 2001
dalam Santrock 2009:224). Namun, meskipun ketika anak perempuan
lebih unggul daripada anak laki-laki dalam prestasi akademis, anak
perempuan cenderung meremehkan prestasi mereka (Ruble, Martin, &
Berenbaum, 2006; Wiafield, Byrnes, & Eccless, 2006 dalam Santrock
2009:224).
e. Keterampilan Hubungan
Perbedaan gender dalam konteks komunikasi sering bergantung
pada konteks:
1) Ukuran kelompok. Perbedaan gender dalam kegemarannya
berbicara
(anak
perempuan
lebih
kompeten
dalam
berkomunikasi) sering muncul dalam kelompok besar daripada
pada pasangan.
2) Berbicara dengan kawan sebaya atau orang dewasa. Tidak ada
perbedaan rata-rata dalam pembicaraan dengan kawan sebaya,
tetapi anak perempuan lebih banyak berbicara dengan orang
dewasa daripada anak laki-laki.
3) Keakraban. Perbedaan gender dalam kemampuan berbicara
yang asertif (anak laki-laki lebih sering menggunakannya)
kemungkinan besar lebih sering muncul ketika berbicara dengan
orang asing daripada dengan individu-individu yang sudah
akrab.
4) Usia. Perbedaan gender dalam kemampuan bicara yang afiliatif
sangatlah besar dalam masa remaja. Ini mungkin disebabkan
oleh minat remaja putri yang meningkat dalam perilaku
sosioemosional yang biasanya ditentukan untuk wanita.
f. Perilaku Prososial (Perilaku Moral yang Positif)
Wanita memandang dirinya sebagai makhluk yang lebih
prososial dan empatik, serta wanita terlibat dalam perilaku yang lebih
prososial daripada pria (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006; Eisenberg
& Morris, 2004 dalam Santrock 2009:225).
15
g. Agresi
Salah satu perbedaan gender yang paling konsisten adalah
bahwa laki-laki lebih agresif secara fisik daripada perempuan (Dodge,
Coie, & Lynam, 2006; Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam
Santrock 2009:225). Faktor yang mempengaruhi agresif secara fisik
adalah faktor biologis (keturunan dan hormon) dan faktor lingkungan
(harapan budaya, teladan orang dewasa dan kawan sebaya, serta
penghargaan akan agresif fisik pada laki-laki.
Selain agresif fisik, penelitian agresi verbal menunjukkan
perbedaan gender menjadi hilang atau terkadang bahkan lebih nyata
pada anak perempuan (Eagly & Steffen, 1986 dalam Santrock
2009:226). Sedangkan penelitian belakangan ini dilakukan terhadap
agresi hubungan, yaitu yang melibatkan tindakan menyakiti seseorang
dengan cara memanipulasi suatu hubungan (Crick, Ostrov, & Werner,
2006; Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226). Hasil
penelitian yang beragam sehubungan dengan gender dan agresi
hubungan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak
perempuan terlibat dalam lebih banyak agresi hubungan dan studi lain
yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan (Young, Boye, & Nelson, 2006 dalam Santrock 2009:226).
h. Emosi dan Pengaturannya
Ketika berada di sekolah dasar, anak laki-laki kemungkinan
besar menyembunyikan emosi negatif mereka, seperti kesedihan, dan
anak perempuan kemungkinan besar jarang mengungkapkan emosi,
seperti kekecewaan yang mungkin melukai perasaan orang lain
(Eisenberg, 1986 dalam Santrock 2009:226). Ketika masa remaja awal,
anak perempuan mengatakan mereka mengalami lebih banyak rasa
sedih, rasa malu, dan rasa bersalah, serta menunjukkan emosi yang
lebih intens; anak laki-laki kemungkinan besar menyangkal mereka
mengalami emosi-emosi ini (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006 dalam
Santrock 2009:226).
Pada anak laki-laki, biasanya pengaturan dirinya lebih sedikit
daripada anak perempuan (Eisenberg, Spinrad, & Smith, 2004 dalam
Santrock 2009:226). Pengendalian diri yang rendah ini bisa
16
menyebabkan masalah perilaku, seperti: agresi yang lebih tinggi,
mengejek orang lain, beraksi secara berlebihan terhadap frustasi, kerja
sama yang buruk, dan ketidakmampuan untuk menunda kegembiraan
(Blok & Bock, 1980 dalam Santrock 2009:226).
2.2.3. Kontroversi Gender
Psikolog evolusioner David Buss (2004, dalam Santrock 2009:226)
berpendapat bahwa perbedaan gender itu luas dan disebabkan oleh masalahmasalah adaptif yang dihadapi sepanjang sejarah evolusioner. Alice Eagly (2001,
dalam Santrock 2009:226) juga menyimpulkan bahwa perbedaan gender juga
substansial, tetapi sampai pada satu kesimpulan yang sangat berbeda mengenai
penyebabnya. Ia menekankan bahwa perbedaan gender disebabkan oleh kondisi
sosial yang mengakibatkan wanita hanya mempunyai sedikit kekuatan dan
mengendalikan lebih sedikit sumber daripada pria.
Sebaliknya menurut Janet Shibley Hyde (1986, 2005, 2007 dalam
Santrock 2009:227) menyimpulkan bahwa perbedaan gender sangat dilebihlebihkan. Ia berpendapat bahwa wanita dan pria itu sama dalam sebagian besar
faktor psikologis. Di sebagian besar bidang, termasuk kemampuan matematika,
komunikasi, dan agresi, tidak ditermukan perbedaan gender atau hanya ada
sedikit perbedaan. Perbedaan terbesar muncul pada keterampilan motoric
(menguntungkan pria), yang diikuti oleh seksualitas, dan agresi fisik.
2.2.4. Bias Gender
2.2.4.1. Interaksi Guru-Siswa
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan
anak laki-laki mendapatkan bias gender dalam hal berinteraksi antara guru
dan siswa (DeZolt & Hull, 2011 dalam Santrock 2009: 230) adalah sebagai
berikut.
a. Mematuhi, mengikuti peraturan, serta tampil rapi dan teratur dihargai dan
dikuatkan di banyak kelas biasanya berhubungan dengan anak perempuan
daripada laki-laki.
b. Mayoritas guru adalah perempuan, terutama di sekolah dasar. Hal ini dapat
lebih
menyulitkan anak
laki-laki daripada
anak perempuan untuk
17
menganggap dirinya memiliki karakteristik atau pemikiran yang sama dengan
gurunya dan meniru perilaku guru mereka.
c. Anak laki-laki lebih diidentifikasikan memiliki masalah belajar dibandingkan
anak perempuan.
d. Anak laki-laki lebih sering dikritik dibandingkan dengan anak perempuan.
e. Staf sekolah cenderung mengabaikan bahwa banyak anak laki-laki jelas-jelas
memiliki masalah akademis, terutama dalam seni bahasa.
f. Staf sekolah cenderung memberikan stereotip perilaku anak laki-laki sebagai
problematik.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yang berkaitan dengan
anak laki-laki mendapatkan bias gender di dalam kelas (Sadker & Sadker,
1994, 2005 dalam Santrock 2009:231) adalah sebagai berikut.
a. Anak laki-laki meminta lebih banyak perhatian; anak perempuan cenderung
lebih diam ketika menunggu giliran mereka. Para pendidik khawatir bahwa
kecenderungan anak perempuan untuk patuh dan diam bisa membahayakan,
yaitu hilangnya asertivitas.
b. Dalam banyak kelas, guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk
mengamati dan berinteraksi dengan anak laki-laki, sementara anak
perempuan belajar dan bermain sendiri dengan diam.
c. Anak laki-laki mendapatkan lebih banyak perintah dan lebih bantuan ketika
mereka kesulitan dengan satu pertanyaan dibandingkan anak perempuan.
d. Pada tahun-tahun sekolah menengah pertama, harga diri anak perempuan
menurun secara signifikan daripada harga diri anak laki-laki (Robins, dkk.,
2002 dalam Santrock 2009:231).
e. Pada sekolah menengah atas, ada lebih banyak anak laki-laki daripada anak
perempuan dalam program berbakat (U.S. Office of Education, 1999 dalam
Santrock 2009: 231).
2.2.4.2. Isi Kurikulum dan Isi Atletik
Menurut Santrock (2009:232), buku pelajaran dan materi kelas pada
saat ini lebih netral secara gender. Sekolah memberi lebih banyak
kesempatan kepada siswa perempuan untuk mengambil mata pelajaran
pendidikan kejuruan dan berpartisipasi dalam atletik bila dibandingkan
dengan zaman ketika orang tua dan kakek nenek mereka bersekolah (Gill,
18
2001 dalam Santrock 2009: 232). Meskipun demikian, bias masih ada pada
tingkat kurikulum. Sebagai contoh, jarang ada penggunaan buku pelajaran
sekolah yang baru, sehingga banyak siswa masih mempelajari buku-buku
yang ketinggalan zaman dan berbias gender.
2.2.4.3. Pelecehan Seksual
Menurut Santrock (2009: 232-233), anak perempuan melaporkan
mendapat lebih banyak pelecehan seksual daripada anak laki-laki. 16% siswa
mengatakan mereka mendapatkan pelecehan seksual dari guru. Pelecehan
seksual quid pro quo (quiz pro quo sexual harassment) terjadi ketika
seorang karyawan sekolah mengancam untuk mendasarkan keputusan
pendidikan (seperti nilai) pada ketundukan seorang siswa terhadap perlakuan
seksual yang tidak dikehendaki. Pelecehan seksual di lingkungan yang tidak
ramah (hostile environment sexual harassment) terjadi ketika siswa menjadi
korban perlakuan seksual yang tidak dikehendaki, sehingga membatasi
kemampuan siswa untuk mendapatkan manfaat dari pendidikan mereka.
2.2.5. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Gender
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara
gender dan prestasi akademik.
Byrne dan Flood (2008:208) memperoleh hasil penelitian bahwa gender
tidak secara signifikan berhubungan dengan pengukuran prestasi. Hal ini
kemungkinan dikarenakan bahwa perbedaan gender bukanlah menjadi isu dunia
yang lebih seimbang untuk gender dari pendidikan akuntansi saat ini.
Jelas & Dahan (2010:726) melakukan penelitian dengan menggunakan
data sekunder dan data primer. Hasil data sekunder menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa mahasiswa perempuan lebih sukses secara akademik dan
mengonfirmasi penelitian yang dilakukan oleh negara berkembang. Data primer
menunjukkan bahwa karakteristik belajar perempuan memberikan kontribusi
yang substansial terhadap prestasi akademik mereka.
Menurut Garkaz et.al. (2011:125) bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara prestasi akademik laki-laki dan perempuan, yaitu perempuan
memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan laki-laki.
Arthur and Everaert (2012, dalam B. Apostolou et al., 2013:120)
melakukan investigasi untuk mengetahui apakah gender mempengaruhi prestasi
19
akademik mahasiswa dengan menggunakan tes pilihan berganda dan
constructed-response questions. Hasil menunjukkan perempuan lebih unggul
dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih unggul dalam mengerjakan tes pilihan
berganda daripada constructed-response questions.
Menurut Muda et.al. (2013:718), hasil penelitiannya di University
Technology MARA, Malaysia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara proporsi laki-laki dan perempuan untuk lulus dalam ujian. Hasil
menunjukkan hubungan yang signifikan antara gender dan prestasi mata kuliah
ACC106 (Introduction to Financial Accounting).
2.3. Asal Sekolah
Chudgar (2012 dalam Amjad & MacLeod, 2014:3) menunjukkan bahwa
perbedaan antara prestasi sekolah swasta dan negeri berbeda di seluruh konteks dan
pengaruh positif pada prestasi swasta berkurang di desa dengan kehadiran
pemerintah dan infrastruktur.
Lingkungan pendidikan sekolah mengatur parameter hasil belajar mahasiswa
(Ali et.al. (2013:284). Kwesiga (2002 dalam Ali et.al., 2013:284) menyetujui bahwa
prestasi dari mahasiswa juga dipengaruhi oleh sekolah yang mana yang mereka
belajar, tetapi Kwesiga juga menyatakan bahwa jumlah fasilitas yang ditawarkan
sekolah biasanya menentukan kualitas sekolah, yang kemudian mempengaruhi
prestasi dan pencapaian siswanya.
Mahasiswa yang berasal dari sekolah elit diharapkan untuk berprestasi
dengan baik karena mereka menghadiri sekolah elit ini dan alasan utama dibalik hal
tersebut adalah sekolah-sekolah ini sangat kaya akan sumber daya dan fasilitas.
Beberapa pandangan bahwa kepemilikan sekolah dan dana yang tersedia memang
mempengaruhi prestasi mahasiswa (Ali et.al, 2013:284).
Menurut Crosne dan Elder (2004 dalam Ali et.al., 2013:284-285) bahwa
kepemilikan sekolah, ketentuan fasilitas dan ketersediaan sumber daya dalam
sekolah merupakan komponen struktural dari sekolah. Sekolah swasta karena
pendanaan yang lebih baik, ukuran kecil, kepemilikan yang serius, memotivasi
fakultas dan akses pada sumber daya, seperti komputer yang bekerja lebih baik
dibandingkan sekolah negeri. Dengan pendanaan tambahan terhadap sumber daya
dan fasilitas di sekolah swasta meningkatkan prestasi akademik dan pencapaian
pendidikan siswa.
20
Penelitian yang dilakukan oleh Amjad dan MacLeod (2014) di Pakistan
menunjukkan bahwa siswa di sekolah swasta lebih baik dibandingkan sekolah negeri.
Konfirmasi lebih lanjut, menunjukkan bahwa dampak substansi sekolah swasta
adalah bahkan siswa yang membayar biaya paling rendah di swasta lebih baik
dibandingkan dengan sekolah negeri.
2.4. Kemampuan Manajemen Waktu
Berdasarkan literatur tentang manajemen waktu dari berbagai ahli, Claessens
et al. (2005:262-263) menyarankan definisi manajemen waktu sebagai “perilaku
yang bertujuan untuk mencapai penggunaan waktu secara efektif ketika melakukan
aktivitas yang diarahkan pada tujuan tertentu. Perilaku tersebut meliputi:
1. Perilaku penilaian waktu, yang bertujuan pada kesadaran di sini dan sekarang
atau masa lalu, kini, dan masa depan (Kaufman et al., 1991) dan kesadaran
diri dalam menggunakan waktu (Wratcher dan Jones, 1988) yang membantu
menerima tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan
seseorang.
2. Perilaku perencanaan, seperti mengatur tujuan, merencanakan tugas,
memprioritaskan, membuat to-do lists, mengelompokkan tugas (contohnya
Britton dan Tesster, 1991; Macan, 1994, 1996) yang bertujuan pada
penggunaan waktu secara efektif.
3. Perilaku monitoring, yang bertujuan untuk mengobservasi penggunaan waktu
seseorang ketika melakukan aktivitas, menghasilkan umpan balik yang
mengizinkan batasan terhadap pengaruh interupsi orang lain. (contohnya Fox
dan Dyer, 1996; Zijlstra et al, 1999).
Menurut Indreica (2011:1102), manajemen waktu memiliki dampak positif
terhadap prestasi akademik. Keberhasilan akademik, pada perspektif lain, berdampak
positif terhadap motivasi (menghasilkan motif) dan waktu pekerjaan (waktu yang
lebih pendek bila tujuannya untuk kecepatan, dan lebih lama jika tugas yang
kompleks dan memerlukan usaha berkelanjutan).
Waktu adalah sumber daya penting yang dimiliki setiap orang secara sama
tetapi gagal untuk memanfaatkan pada level yang sama karena berbagai alasan.
(Örücü et al., 2007 dalam Pehlivan, 2013:196). Menurut Pehlivan (2013:196),
manajemen adalah mengarahkan. Sehingga, manajemen waktu adalah kemampuan
untuk mengarahkan dirinya sendiri, tindakan dan aktivitas lainnya, dan menggunakan
21
waktu secara lebih efektif. Dengan kata lain, manajemen waktu berhubungan dengan
proses menyusun sejumlah pekerjaan dan aktivitas yang banyak selama jangka waktu
tertentu.
Menurut Pehlivan (2013:197), karena waktu adalah sumber daya yang
terbatas yang perlu diatur secara efektif seperti sumber daya terbatas lainnya,
dianggap perlu untuk mengevaluasi pengaruhnya pada prestasi siswa. Asumsi umum
menggarisbawahi bahwa siswa dengan kemampuan manajemen waktu yang baik
dapat mengatur waktu secara efektif bahkan setelah mereka tamat dan masuk ke
kehidupan profesional.
Menurut Kaushar (2013:59), manajemen waktu memiliki peran penting
dalam mengembangkan prestasi akademik mahasiswa. Setiap mahasiswa seharusnya
memiliki kemampuan manajemen waktu yang mencakup pengaturan tujuan dan
prioritas, menggunakan mekanisme manajemen waktu (seperti membuat “to do list”)
dan teratur dalam menggunakan waktu.
2.5. Prestasi Akademik
Penilaian (grading) yaitu menerjemahkan informasi asesmen deskriptif
menjadi huruf, angka, atau tanda lain yang mengindikasikan kualitas pembelajaran
atau prestasi siswa.
2.5.1. Tujuan Penilaian
Penilaian dilakukan untuk mengomunikasikan informasi yang berarti
tentang pembelajaran atau prestasi seorang siswa (Butler & McMunn, 2006;
Taylor & Nolen, 2005 dalam Santrock 2009:384). Dalam proses ini, nilai
mempunyai empat tujuan dasar (Airasian, 2005 dalam Santrock 2009:384).
1. Administratif. Nilai membantu menentukan peringkat kelas siswa, kredit
untuk kelulusan, dan apakah seorang siswa harus dinaikkan ke tingkat yang
berikutnya.
2. Informasional. Nilai dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan siswa,
orang tua, dan yang lainnya (seperti petugas penerimaan untuk pendidikan
sekolah yang berikutnya) tentang pekerjaan seorang siswa. Nilai mewakili
kesimpulan keseluruhan guru tentang seberapa baik seorang siswa
memenuhi tujuan dan target pembelajaran.
22
3. Motivasional. Banyak siswa bekerja lebih keras karena mereka termotivasi
secara ekstrinsik oleh keinginan untuk nilai yang tinggi dan rasa takut akan
nilai yang rendah.
4. Bimbingan. Nilai membantu siswa, orang tua, dan konselor untuk memilih
mata pelajaran serta tingkat pekerjaan yang sesuai untuk siswa. Nilai
memberikan informasi tentang siswa mana yang membutuhkan jasa khusus
dan tingkat pendidikan masa depan apa yang kemungkinan besar bisa
ditangani oleh siswa.
2.5.2. Hasil Penilaian
Dalam menilai prestasi mahasiswa, terdapat tiga metode penilaian
menggunakan skor menurut Ormrod (2011:243), yaitu sebagai berikut:
2.5.2.1. Raw scores
Raw score merupakan nilai yang hanya berdasarkan pada angka atau
persentase dari poin yang diperoleh atau pertanyaan yang dijawab dengan
benar. Raw score mudah dihitung dan kelihatannya mudah dimengerti,
tetapi kadang-kadang kita salah mengartikannya. Tanpa mengetahui jenis
tugas yang sedang dinilai, kita tidak mudah menginterpretasikan raw score
tersebut.
2.5.2.2. Criterion-Referenced Scores
Criterion-referenced scores menunjukkan pencapaian siswa terkait
dengan tujuan pembelajaran tertentu atau ruang lingkup standar. Beberapa
criterion-referenced scores adalah salah satu skor yang menunjukkan bahwa
siswa telah ahli atau tidak ahli suatu kemampuan, memenuhi atau tidak
memenuhi suatu tujuan, atau lulus atau gagal suatu unit. Terkadang,
Criterion-referenced scores disebut penilaian yang absolut.
2.5.2.3. Norm-Referenced Scores
Norm-referenced scores berasal dari perbandingan penilaian prestasi
mahasiswa dengan prestasi mahasiswa yang lain–mungkin teman sekelas atau
mahasiswa yang berada di norma kelompok secara nasional. Norm-referenced
scores memberitahukan kita sedikit tentang hal yang secara spesifik dapat
dilakukan oleh mahasiswa, tetapi memberitahukan kita apakah prestasi
seorang mahasiswa khas atau tidak biasa pada umurnya atau tingkat kelasnya.
23
a. Grade-Equivalent and Age-Equivalent Scores
Grade-
and
age-equivalent
scores
ditentukan
dengan
mencocokkan raw scores terhadap tingkat kelas atau umur tertentu
dalam kelompok norma. Grade- and age-equivalent scores sering
digunakan karena kelihatannya sederhana dan mudah, namun, juga
memiliki kekurangan yang serius, yaitu kita tidak mengetahui rentang
khas dari prestasi mahasiswa pada tingkat atau umur tertentu.
Contohnya, raw score 34 pada RAT memberikan nilai grade-equivalent
score 8, tetapi tidak semua tingkat 8 akan memiliki nilai 34, ada
kemungkinan lebih tinggi ataupun lebih rendah.
b. Percentile ranks
Percentile rank (atau disingkat menjadi percentile) merupakan
persentase dari orang yang berada pada tingkat umur atau kelas yang
sama, memiliki raw score lebih rendah atau sama dengan raw score
mahasiswa lain. Percentile rank relatif mudah dimengerti dan oleh
karena itu, sering digunakan untuk melaporkan hasil tes. Akan tetapi,
metode ini memiliki kelemahan utama, yaitu mendistorsi perbedaan
actual di antara mahasiswa. Percentiles cenderung menaksir terlalu
tinggi (overestimate) perbedaan di rentang tengah dari karakteristik
yang diukur. Skor yang memiliki beberapa poin terpisah menunjukkan
pencapaian atau kemampuan yang mirip. Sedangkan, percentiles
meremehkan perbedaan di ekstrim atas dan bawah. Untuk menghindari
masalah seperti ini dalam percentile, cara yang dapat digunakan adalah
dengan menggunakan metode standard scores.
c. Standard scores
Standard scores menggunakan istilah distribusi normal (kurva
normal), yaitu dalam pendidikan dan psikologi memiliki pola yang
sama, di mana kebanyakan skor individual berada di rentang tengah dan
hanya sedikit yang berada di salah satu ekstrim. Dua angka yang
digunakan untuk menghasilkan skor ini adalah mean dan simpangan
baku (standard deviation). Mean adalah rata-rata dari satu set skor,
sedangkan simpangan baku adalah statistik yang menunjukkan jumlah
karakteristik yang beragam dari satu set skor. Standard scores
mencerminkan posisi mahasiswa dalam distribusi normal; seberapa jauh
24
prestasi mahasiswa dari mean dipandang dari sisi simpangan baku.
Akan tetapi, tidak semua standard scores menggunakan skala yang
sama, terdapat empat yang paling umum digunakan, yaitu:
1) IQ scores umumnya digunakan untuk melaporkan prestasi
mahasiswa dalam tes kecerdasan, memiliki mean 100 dan
simpangan baku 15 dalam kebanyakan tes.
2) ETS scores digunakan pada tes yang dipublikasikan oleh
Educational Testing Services, seperti SAT Reasoning Test dan
Graduation Record Examination (GRE), memiliki mean 500 dan
simpangan baku 100.
3) Stanines (singkatan dari Standard nines) sering digunakan untuk
melaporkan standarisasi pencapaian hasil tes, memiliki mean 5 dan
simpangan baku 2.
4) z-scores adalah standard scores yang paling sering digunakan oleh
ahli statistik, memiliki mean 0 dan simpangan baku 1.
Criterion-referenced
scores
memusatkan
perhatian
pada
tujuan
penguasaan dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, meningkatkan
keberhasilan siswa untuk belajar mata kuliah akademik. Norm-referenced scores
kadang-kadang lebih sesuai jika kita ingin mengetahui mahasiswa telah
berprestasi dibandingkan dengan yang lain. Contohnya dalam kelas musik
instrumental, mencari pemain biola terbaik.
Kita sebaiknya tidak menggunakan norm-referenced scores untuk
penilaian yang dilakukan oleh guru (teacher-developed assessment). Skor
tertentu akan menciptakan situasi kompetitif, karena mahasiswa melakukan
dengan baik jika prestasinya melampaui teman sekelasnya. Oleh karena itu,
norm-referenced score memusatkan perhatian pada tujuan prestasi daripada
penguasaan suatu tujuan dan kemungkinan mendorong mahasiswa untuk berbuat
curang dalam tugas (E.M. Anderman et al., 1998; Brophy, 2004; Mac Iver et al.,
1995 dalam Ormrod 2011:560).
2.5.3. Sistem Penilaian Prestasi
Berdasarkan katalog UBN 2013-2014, prestasi akademik mahasiswa
dinilai berdasarkan tugas mandiri, nilai UTS, dan nilai UAS untuk memperoleh
Nilai Akhir Semester (NAS). NAS kemudian disajikan dalam bentuk alphabet.
25
Nilai alphabet tersebut akan digunakan untuk menghitung Indeks Prestasi (IP).
Apabila hanya mengukur nilai semester terakhir sebelumnya yang telah dilalui,
maka akan diperoleh hasil Indeks Prestasi Semester (IPS). Sebaliknya, apabila
ingin mengukur seluruh semester yang telah dilalui selama kuliah, maka akan
diperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).
Sistem penilaian yang memenuhi tujuan program pendidikan di UBN
merupakan Sistem Penilaian Absolut. Penghitungan NAS suatu mata kuliah
yang terdapat praktikum dilakukan sebagai berikut:
Nilai NAT diperoleh sebagai berikut:
Keterangan:
NAT :
Nilai akhir teori
TMK :
Tugas Mandiri
NMS :
Nilai UTS
NUS :
Nilai UAS
Jika mata kuliah tidak terdapat praktikum, maka nilai NAS = NAT.
Tabel 2.1 Pembobotan Nilai
Nilai Alphabet
Bobot
NAS
A : Very Good
4
85 – 100
B : Good
3
75 – 84
C : Adequate
2
65 – 74
D : Less than adequate
1
50 – 64
E : Failed
0
0 – 49
F : Incomplete*
0
0 – 49
G : Failed**
-
-
L : Pass**
-
-
Catatan:
* Tidak hadir ketika UAS atau frekuensi kehadiran kelas tidak mencukupi
** Mata kuliah tertentu
26
Cara menghitung IPS dan IPK mahasiswa adalah sebagai berikut.
Keterangan:
K = Jumlah SKS yang ditempuh di semester terkait
N = Bobot setiap mata kuliah yang diambil
M = Nilai Konversi (K x N)
L = Jumlah SKS yang lulus
2.5.4. Penelitian Lainnya yang Berkaitan dengan Prestasi Akademik
Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara langsung,
maupun tidak langsung. Menurut Graetz (1995 dalam Ali et.al. 2013:283),
keberhasilan pendidikan siswa sangat bergantung pada status sosial orang tua
atau wali dalam masyarakat. Hal yang sama disetujui oleh Considine dan
Zappala (2002).
Menurut Minnesota (2007 dalam Ali et.al., 2013:283), prestasi akademik
yang tinggi bergantung pada prestasi akademik dari siswa yang sudah tamat.
Penelitian yang dilakukan oleh Byrne dan Flood (2008:209) menunjukkan
bahwa prestasi akademik sebelumnya merupakan variabel paling penting dalam
menjelaskan prestasi akademik mahasiswa akuntansi di Irish University.
Temuan ini berdampak serius pada kebijakan penerimaan mahasiswa, dan
setidaknya berhubungan dengan program studi akuntansi.
Menurut Ali et.al. (2013:288), faktor yang paling berpengaruh terhadap
prestasi akademik adalah umur, pendapatan orang tua/wali, dan jumlah jam
belajar. Asumsi umum bahwa mahasiswa yang menunjukkan atau prestasi
akademik yang lebih tinggi pada awal kelas atau perkuliahan juga berprestasi
lebih baik di tahun akademik mendatang pada tingkat sarjana.
Menurut Amalita dan Kurniawati (2013:387), performansi merupakan hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang yang dapat menggambarkan kualitas
output. IPK juga menggambarkan performansi dari suatu Perguruan Tinggi,
karena IPK merupakan hasil komponen pendidikan yang diperoleh mahasiswa
selama menempuh jenjang perkuliahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
27
nilai UN Matematika mahasiswa laki-laki yang berasal dari SMA negeri, dan
jalur masuk melalui jalur SNMPTN memberikan pengaruh signifikan terhadap
peningkatan IPK.
Menurut Erdem (2013:694), terdapat hubungan antara CGPA (IPK)
dengan kemampuan manajemen waktu untuk tujuan akademik dan sosial seperti
kemampuan belajar dan kebiasaan, seperti menggarisbawahi bagian penting dan
menulis komentar mereka ketika mendengarkan pengajar di kelas.
2.6. Akuntansi
Menurut Bastian (2006:53), definisi akuntansi dapat dirumuskan dari dua sudut
pandang, yaitu definisi dari sudut pandang pemakai jasa akuntansi dan dari proses
kegiatannya.
Definisi dari sudut pandang pemakai, yaitu suatu disiplin ilmu yang
menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efisien
dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan suatu organisasi. Sedangkan definisi dari sudut
pandang proses kegiatan, yaitu proses pencatatan, penggolongan, peringkasan,
pelaporan, dan penganalisaan data keuangan suatu organisasi.
Menurut Aryati dan Imran (2014:15), Akuntansi merupakan proses pencatatan,
penggolongan dan peringkasan pada peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang
bersifat keuangan dengan cara yang setepat-tepatnya dan dengan petunjuk atau
dinyatakan dalam uang, serta penafsiran terhadap hal-hal yang timbul daripadanya.
Anggun (2010, dalam Aryati dan Imran 2014:15) menyatakan bahwa tingkat
pemahaman akuntansi mahasiswa dinyatakan dengan seberapa mengerti seorang
mahasiswa terhadap hal yang sudah dipelajari (mengacu pada mata kuliah–mata
kuliah akuntansi). Tanda seorang mahasiswa memahami akuntansi tidak hanya
ditunjukkan dari nilai-nilai yang didapatkannya dalam mata kuliah, tetapi juga
apabila mahasiswa tersebut mengerti dan dapat menguasai konsep-konsep yang
terkait.
2.7. Metode Pembelajaran di UBN
Metode pembelajaran yang digunakan dalam Universitas UBN adalah studentcentered learning (SCL).
Menurut Cubukcu (2012:49), SCL atau student centeredness, adalah model
yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. SCL merupakan
28
model di mana siswa memainkan peranan aktif dalam gaya dan strategi
pembelajaran. Ketika belajar, motivasi internal sangat penting. SCL meningkatkan
pembelajaran untuk belajar dan mempelajari cara untuk mengembangkan
kemampuan seperti berpikir kritis, memecahkan masalah dan berpikir reflektif.
Menurut Gür (2006 dalam Gelisli, 2009:470), pendekatan student centered
pada pelatihan anak-anak berdasarkan sifatnya, tidak bergantung pada yang
diinginkan orang dewasa; dalam cara ini menyatakan bahwa anak-anak akan lebih
kreatif dan lebih bebas.
Menurut Saban (2004 dalam Gelisli, 2009:470), pengertian SCL adalah
pengaturan pembelajaran hidup dengan menekankan pada minat, pengetahuan, dan
kebutuhan siswa, tujuannya adalah membuat siswa memperoleh keahlian untuk
mengeksplorasi ciri belajarnya dan mempelajari bagaimana untuk belajar dalam
proses tersebut.
Menurut Sparrow and Sparrow, Swan (2000 dalam Gelisli, 2009:470), SCL
adalah pendekatan yang membawa minat, keahlian, dan kebutuhan ke dalam
pertimbangan, membiarkan siswa bebas dalam proses pembelajaran, menyajikan
berbagai kesempatan kepada mereka, membuat mereka belajar dalam langkah
mereka sendiri.
29
2.8. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.9. Hipotesis
Hipotesis yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis 1
Ho : Gender tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik
mahasiswa akuntansi.
Ha : Gender berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik
mahasiswa akuntansi.
2. Hipotesis 2
Ho : Asal sekolah sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
prestasi akademik mahasiswa akuntansi.
Ha : Asal sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik
mahasiswa akuntansi.
30
3. Hipotesis 3
Ho : Kemampuan manajemen waktu tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap prestasi akademik mahasiswa akuntansi.
Ha : Kemampuan manajemen waktu berpengaruh secara signifikan terhadap
prestasi akademik mahasiswa akuntansi.
Download