Autonomic Drugs Prof Ngatidjan ELS Editor: Anna Bismillahirrahmaanirrahiim. . mari kita berpusing-pusing ria menghadapi pusingan kata-kata tentang obat-obatan yang aneh-aneh. . langsung sajaa. . . Pengantar Farmakodinamik membahas aksi obat pada tubuh sehingga menimbulkan efek, baik pada tingkat molekular, subselular, selular, organ atau jaringan maupun pada tingkat organisme bahkan antar organisme. Sebagai contoh misalnya morfin (obat analgesik yang selain mempunyai efek analgesik juga dapat menimbulkan euforia, ketagihan dan ketergantungan) beraksi dengan menstimulasi reseptor µ (mu), κ (kappa), δ (delta) dan ε (epsilon) yang pada tingkat molekular berinteraksi dengan reseptor opiat itu sehingga terjadi penutupan voltage gated Ca2+ channels pada membran ujung saraf presinaptik sehingga pelepasan transmitor turun, dan menimbulkan hiperpolarisasi serabut saraf pascasinaptik melalui pembukaan K+ channels. Pada tingkat organ (otak) morfin menimbulkan efek analgesik, euforia, miosis, mual, muntah dan depresi respirasi. Efek euforia lah yang menyebabkan obat ini disalahgunakan, yang jika digunakan dalam jangka waktu lama dapat berakibat adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). Oleh karena itu morfin juga mempunyai efek pada tingkat hubungan antar individu sebagai akibat adiksi dan dependensi misalnya, acuh pada sekitar, malas bekerja, berusaha dengan segala cara unttuk mendapatkan morfin, jika perlu tidak segan melakukan kejahatan. Pada prinsipnya, dalam menimbulkan efek pada tubuh obat dapat beraksi melalui cara (mekanisme aksi) yang spesifik (khas) atau non-spesifik (tidak khas). Sebagai contoh, obat antasida [campuran Al(OH)3 dan Mg(OH)2] beraksi secara tidak khas, mengikat asam lambung (HCl) sehingga timbul AlCl3 dan MgCl2 yang keduanya tidak larut di dalam air (mengendap). Mengapa keduanya diberikan bersama-sama? Karena AlCl3 bersifat konstipatif (inhibisif) sedangkan MgCl2 bersifat katartik (stimulatif) pada saluran cerna dan jika keduanya diberikan bersama-sama dapat memberikan efek saling menetralkan. Reaksi Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dengan asam lambung itu tidak spesifik karena hal itu tidak hanya terjadi di dalam lambung tetapi juga dapat terjadi di tempat lain bahkan di luar tubuhpun terjadi demikian. Banyak obat yang beraksi secara tidak spesifik misalnya obat desinfektan mercurochrom, jodium tinctur, dan absorben. Meskipun banyak obat beraksi secara non-spesifik, sebagian besar obat beraksi secara spesifik pada molekul protein target, dapat berupa reseptor, enzim atau transporter. Obat-obat itu dapat menstimulasi (memacu), memblok (menyekat) molekul target agar tidak terstimulasi agonis endogen, atau dapat juga berikatan dengan molekut protein target dan menghambat kerjanya. Nah, di atas disebutkan kata agonis. Apakah agonis itu? Apa pula antagonis itu? Check this out! >,< Agonis dan Antagonis Obat yang beraksi pada reseptor harus punya afinitas tinggi pada reseptor (agar dapat berikatan dengan reseptor) dan mampu menimbulkan efek setelah berikatan dengan reseptor. Kemampuan obat menimbulkan efek setelah berikatan dengan reseptor berbeda antara obat satu dengan lainnya dan oleh Arien disebut aktivitas intrinsik (α), diberi harga 0 – 1. Dengan demikian obat yang beraksi pada reseptor dapat merupakan agonis kuat (afinitas pada reseptor besar dan mampu menimbulkan efek kuat setelah berikatan dengan reseptor, α = 1), agonis parsial (afinitas pada reseptor besar dan mampu menimbulkan efek lemah sampai kuat setelah berikatan dengan reseptor, 0 <α< 1), dan antagonis kompetitif (afinitas pada reseptornya besar tetapi tidak mampu menimbulkan efek setelah berikatan dengan reseptor, α= 0). Antagonis kompetitif merupakan obat yang mempunyai efek melawan atau menghambat stimulasi reseptor oleh agonisnya (endogen atau eksogen) dengan memblok reseptor itu (berkompitisi dengan agonis), sedangkan antagonis nonkompetitif melawan atau memghambat efek stimulasi reseptor oleh agonisnya dengan cara selain berebut reseptor dengan agonisnya. Sebagai contoh, adrenalin atau obat simpatomimetik lain yang berefek vasokonstriksi (melalui stimulasi r-α pada dinding pembuluh darah) merupakan antagonis non-kompetitifnya histamin karena adrenalin dan obat simpatomimetik stimulan r-α lainnya melawan efek vasodilatasi histamin melalui stimulasi r-H1. Sistem Saraf Autonomik Pada dasarnya, komponen sistem saraf dibagi menjadi tiga substansi, pertama sel saraf itu sendiri, kedua, neurotransmiternya, dan yang terakhir, reseptornya. Sel saraf atau populer disebut neuron, terdiri atas badan sel, dendrit, dan neurit. Fungsinya untuk menyintesis neurotransmitter yang kemudian dilepaskan dalam celah sinaps. Sedangkan neurotransmitter, fungsinya untuk menghantarkan (transmit) impuls dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain, atau dari satu sel saraf ke sel efektor. Neurotransmitter terdiri dari asetilkolin (Ach) dan noradrenalin (NA). Reseptor bertugas untuk berinteraksi dengan si neurotransmitter yaitu memediasi penghantaran impuls atau menginisiasi respons sel efektor. AUTONOMIC DRUGS AND RECEPTORS Ceritanya sejarah penyelidikan aksi obat ni. . sampai tahun 1970, dogma masyarakat ilmiah menyatakan bahwa semua situs pengikat spesifik obat disebut reseptor. Situs pengikat spesifik = specific binding site disingkat sbs. Misalnya, blockernya adrenaline, phenylephrine dan adrenoceptor memiliki sbs di substansi reseptif. Ca2+ antagonis, quinidine, dll memiliki sbs yaitu ion channel. Reserpine memiliki sbs carrier molecule (transport system). Digitalis, papaverine, theophyline memiliki sbs enzim. Aksi Obat Pada Reseptor Obat yang dalam menimbulkan efek bekerja pada molekul protein spesifik berupa reseptor dapat menstimulasi atau menyekatnya (blokade). Obat atau zat endogen yang mampu menstimulasi reseptor sehingga metimbulkan serangkaian proses baik biokimiawi, biofisik maupun biomekanik di dalam sel yang bermuara pada timbulnya efek disebut agonis, yang dapat berisifat endogen atau eksogen. Agonis endogen berperan penting dalam berbagai macam fungsi fisiologis seperti asetilkolin (r-M dan N), noradrenalin (r-α1), dopamin (r-D dan r-ß1), adrenalin (r-α dan r-ß), serotonin (r-5HT), histamin (r-H), GABA (gamma amino butyric acic) untuk r-GABA, endorfin (r-µ, κ dan δ) dan leukotrien (r-LT). Agonis eksogen dapat berupa obat misalnya muscarin (r-M), nikotin (r-N), fenilefrin (r-α1), acebutolol (r-ß1), salbutamol (rß2), morfin (r-µ, κ dan δ) atau alkaloida seperti pilokarpin (r-M). Di samping itu ada obat atau zat lain yang jika berikatan dengan reseptor dapat menimbulkan tersekat atau terblokadenya reseptor itu sehingga mencegah agonis (baik endogen maupun eksogen) untuk menstimulasi reseptor itu. Obat demikian disebut antagonis kompetitif misalnya atropin (r-M), tubokurarin (r-N), prazosin (r-α1), acebutolol (r-ß1), idazoxan (r-ß2), ganiseron (r-5HT), difenhidramin (r-H1), simetidin (r-H2), nalokson (r-µ, κ dan δ) dan zafirlukas (r-LTD4). Aksi Obat Pada Enzim Obat yang beraksi pada enzim biasanya berupa penghambat enzim seperti NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory drugs), dalam bahasa Indonesia disebut obat AINS (anti-inflamasi non-steroidal) yang menghambat enzim siklooksigenase (cyclooxygenase: COX), katalisator dalam sintesis prostaglandins (PGs), terdiri atas atas COX-1 (cyclooxygenase-1), katalisator sintesis PGs yang penting dalam banyak fungsi fisiologis, seperti PG-E, tromboksan dan prostasiklin, dan COX-2 (cyclooxygenase-2) menkatalisasi sintesis PGs dan mediator kimiawi lainnya yang berperan dalam proses radang. Dengan demikian obat NSAIDs yang lebih selektif pada COX-2 (seperti diklofenac dan meloksikam) lebih aman daripada yang tidak selektif (seperti indometasin dan asam mefenamat) karena menghambat sintesis mediator kimiawi radang tetapi sedikit pengaruhnya pada fungsi fisiologis PGs 34. Demikian juga obat penghambat phosphodiesterase (PDE) misalnya papaverin (inhibitor PDE non-selektif), milrinon (inhibitor PDE3), teofilin (inhibitor PDE4) dan sildenafil (inhibitor PDE5)34. Papaverin dapat menimbulkan efek samping berupa konstipasi jika diberikan pada wanita hamil yang akan mengalami abortus karena obat ini menghambat PDE secara tidak selektif, sedangkan sildenafil yang berefek ereksi (akibat dilatasinya pembuluh darah di corpus cavernosus penis) tetapi tidak punya efek pada saluran cerna, dan teofilin yang menimbulkan efek terapi berupa bronkodilatasi tidak menimbulkan efek samping konstipasi karena keduanya lebih selektif pada PDE5 dan PDE4 Selain enzim sebagai tempat aksi obat seperti COX dan PDE, enzim yang berperan dalam metabolisme obat (cytochrome P-450s) juga dapat dihambat atau distimulasi (proliferasinya) oleh obat sehingga dapat berpengaruh pada efek obat lainnya. Pengaruh itu merupakan interaksi antara obat satu dengan obat lainnya (antaraksi) misalnya antara rifampin dan omeprazol dengan imipramin. Rifampin yang diberikan lebih dari satu minggu dapat menstimulasi proliferasi CYP-2C19 (cytochrome-2C19) sehingga waktu paro (t1/2) imipramin berkurang. Sebaliknya, omeprazol yang mempunyai efek menghambat CYP-2C19 dapat memperpanjang waktu paro imipramin sehingga memperlama efeknya. Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin selektif suatu obat pada enzim semakin kecil risiko timbulnya efek samping karena obat itu hanya beraksi pada enzim yang dikehendaki (selektif) sehingga efek yang timbul juga dapat dibatasi pada efek yang dikehendaki dalam terapi. Aksi Obat Pada Transporter Pada prinsipnya pada pemberian obat (apapun cara pemberiannya), obat pindah dari tempat pemberiannya ke tempat obat beraksi melewati sawar biologik (biological barrier) yang dapat terdiri atas satu atau banyak membran sel. Sebagai contoh, obat asma bronkial yang diberikan secara oral harus menembus lapisan epitel lambung atau usus dan dinding pembuluh darah untuk mencapai otot polos bronkus sebagai sasaran aksi obat. Pindahnya obat melewati satu atau beberapa lapis membran sel itu dapat berlangsung secara pasif (dengan cara berdifusi, baik lipidmaupun water-diffusion) atau mengalami transport aktif menggunakan suatu molekul carrier sebagai transporter. Untuk ion tertentu transporter itu bisa berupa ion channels yang dapat dikendalikan oleh proses aktivasi reseptor (ligand gated ion channels), aktivitas beda potensial (voltage gated ion channels) atau akibat simpanan ion yang harus direstorasi (storage gated ionchannels). Untuk senyawa atau zat tertentu biasanya molekul carrier berupa protein yang mengikat senyawa yang diangkut ke dalam atau ke luar sel pada salah satu sisi membran kemudian kompleks zat-carrier pindah ke sisi lainnya kemudian melepaskan senyawa atau zat itu. Probenesid (obat anti-inflamasi) misalnya diekskresi dengan cara trsnsport aktif oleh sel tubulus ginjal dan carrier yang sama juga berperan dalam ekskresi penisilin. Oleh karena itu probenesid dapat menghaambat ekskresi penisilin dari dalam tubuh dan ini dimanfaatkan untuk menghambat ekskresi penisilin sehingga dapat meningkatkan efektivitas antibiotik itu Transporter lainnya ialah P-glikoprotein MDR-1 (multi drug resistance 1), MRP-1 (multi drug resistance associated protein type-1) dan MRP-5 (multi drug resistance associated protein type-5) yang berperan dalam retransport obat anti-kanker keluar dari sel kanker sehingga obat kanker yang diberikan tidak berefek2. Suatu glikoprotein serupa yang disandi oleh gena MDR-1 juga berperan di dalam retransport beberapa obat penghambat protease virus HIV seperti doksorubisin dari peredaran darah fetus pada ibu penderita HIV yang hamil. Akibatnya kadar doksorubisin di dalam janin tidak cukup efektif sebagai obat anti-HIV janin yang mendapat infeksi dari ibunya, penderita HIV. Obat yang dapat mengikat molekul transporter ini dapat meningkatkan efektivitas obat antikanker atau anti-HIV itu. Beberapa obat yang cara kerjanya melibatkan transporters antara lain obat diuretik, antagonis kalsium, insulin (dalam kaitan dengan timbulnya hipokalemia pada infus insulin), probenesid, dan sulfonilurea dalam terapi diabetes melitus. 1. Kebanyakan obat diuretik bekerja dengan cara menghambat Na+/K+/Clcontransport (menghambat Na/K-ATP-ase pada proses reabsorpsi Na sehingga terjadi diuresis yang diikuti keluarnya K. 2. Antagonis kalsium memblok calcium channel dengan cara menghambat potential operated calcium channels sehingga terjadi penurunan jumlah ion kalisium intraselular dan berakibat fungsi eksitatif sel terkait. 3. Insulin menstimulasi reseptornya meningkatkan masuknya glukose ke dalam sel. Di samping itu, insulin juga dapat menimbulkan hipokalemia karena insulin menstimulasi Na/K-ATP-ase (dalam transport Na dan K sehingga K banyak masuk ke dalam sel dan menimbulkan hipokalemia. Untuk itu, pemberian infus insulin dalam terapi emergensi hiperglikemia dengan ketoasidosis sebaiknya disertai dengan pemberian kalium.. 4. Probenecid, turunan asam benzoat yang dapat menghambat ekskresi penisilin (melalui penghambatan sekresi aktif tubuler) diberikan untuk meningkatkan kadar penisilin di dalam darah. Probenesid ternyata juga dapat menghambat reabsorpsi asam urat oleh tubulus ginjal sehingga dapat menurunkan kadar asam urat darah dan bermanfaat dalam terapi penyakit gout. 5. Sulfonilurea menghambat ATP-dependent potassium efflux yang terkait dengan sekresi insulin sehingga dapat meningkatkan pelepasan insulin dari (oleh) sel-ß pankreas. Efek ini menjadi tidak ada jika sel-ß sudah rusak akibat proses imunologis (pada diabetes tipe II) sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. RECEPTORS SITE OF DRUG ACTION Reseptor sebagai tempat aksi obat sudah diteliti lebih dari satu abad paling tidak sejak Langley seorang dosen yang juga peneliti dari Cambridge University pada tahun 1878 mempublikasikan hasil penelitiannya efek nikotin dan muskarin pada kelenjar ludah anjing dan pada tahun 1905 menggunakan istilah receptive substance untuk suatu molekul pada otot rangka sebagai tempat beraksinya (site of action) nikotin dan kurare. Ketiga tempat obat beraksi (reseptor, enzim dan transporter) semuanya berupa molekul protein makro, tetapi reseptor mempunyai substansi atau zat yang secara fisiologis menstimulasinya, meskipun ada reseptor (orphan receptor) yang belum diketahui zat endogen sebagai agonisnya. Secara prinsip reseptor merupakan molekul protein makro sebagai komponen sebuah sel atau organisme yang dapat berinteraksi dengan suatu zat endogen atau eksogen (dapat sebagai obat atau racun) untuk memicu rangkaian proses baik biokimiawi, biofisik ataupun biomekanik di dalam sel sehingga menimbulkan efek yang dapat diamati. Obat yang beraksi pada reseptor menimbulkan efek melalui cara kerja (mekanisme) berikut: (1) pengendalian penutupan dan pembukaan ion channels, (2) memicu rangkaian proses biokimiawi terkait protein-G, (3) menstimulasi kinase dan (4) mempengaruhi pengaturan transkripsi pada sintesis protein dalam sel. HOW DRUGS ELICITES ITS EFFECTS (VIA DRUG-RECEPTOR BINDING) Pertama, reseptor yang terkait dengan pengendalian ion channels dikenal sebagai ionotrophic receptor, dan ion channel demikian disebut ligand gated ion channels misalnya r-N yang terkait dengan ion channel Na+, reseptor GABA yang terkait ion channel Cl-, reseptor serotonin (r-5HT3A, r-5HT3B dan r-5HT3C) terkait ion channel Na+, reseptor glisin terkait dengan ion channel Cl-, dan r-NMDA terkait dengan ion channel Na+ dan Ca2+. Sebagai ilustrasi, jika r-N terstimulasi maka ion channel Na+ akan terbuka selama 0,2 detik dan setiap detiknya masuk 10 juta Na + sehingga menginisiasi aksi potensial dengan segala rangkaian proses yang mengikutinya seperti penjalaran impuls atau kontraksi otot rangka. Kedua, reseptor yang terkait dengan protein-G (G-protein linked receptor), jika terstimulasi akan menginisiasi proses biokimiawi di dalam sel yang melibatkan proteinG dan reseptor ini dikenal sebagai reseptor metabotropik (metabotrophic receptors). Ada lebih dari 100 jenis reseptor dalam kelompok ini, antara lain r-α, r-ß, r-M, reseptor untuk glukagon, purin, glutamat dan hormon. Sebagai contoh, stimulasi r-α akan mengaktivasi fosfolipase yang mengkatalisasi reaksi biokimiawi yang menghasilkan IP3 (inositol triphosphate). Akumulasi IP3 intraselular ini akan berakibat dilepaskannya Ca2+ dari endoplasmic reticulum yang kemudian memicu kontraksi otot polos terkait. Demikian juga jika r-M terstimulasi akan mengaktivasi enzim adenilat siklase dalam sintesis cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Akumulasi cGMP berakibat pelepasan Ca2+ dari endoplasmic reticulum yang akan memicu kontraksi otot atau sekresi kelanjar terkait. Ketiga, reseptor yang cara kerjanya terkait dengan (kinase linked receptor). Stimulasi reseptor ini dapat mengaktivasi enzim kinase karena sisi eksktraselular reseptor ini yang berikatan dengan ligand sedangkan sisi intraselular merupakan enzim sitoplasmik (berupa protein tyrosine kinase). Reseptor dengan mekanisme kerja melibatkan kinase seperti ini antara lain reseptor insulin, EGF (epidermal growth factor), PDGF (platelet derived growth factor), TGF-ß (transforming growth factor-ß), interferon dan beberapa hormon tropik lainnya. Keempat, reseptor nuklear atau intracellular merupakan cytosolic receptor sebagai sasaran (tempat aksi) zat atau obat yang bersifat lipofilik. Sintesis semua protein disandi oleh DNA yang ditranskripsi ke RNA, dan translasi RNA ke dalam protein dikendalikan oleh seperangkat molekul lain yang dikenal sebagai regulator atau faktor transkripsi (transcription regulators or factors). Hormon steroida adalah contoh zat atau obat yang mudah masuk ke dalam sel yang kemudian menstimuli regulataor atau faktor transkripsi ini di dalam sitoplasma atau nukleus. Dengan demikian zat atau obat ini dapat menimbulkan efek pada sintesis protein tertentu yang sintesisnya disandi oleh gena tertentu yang terkode di dalam DNA, misalnya efek anabolik dari steroida tertentu seperti nandrolon. Reseptor Nikotinik Yeahh. . itu tadi segunung bacaan yang ternyata baru pengantar dari materi intinya. . Sambutlaaaah. . . . . . .hhh. . . AUTONOMIC DRUGS Obat Otonomik Obat otonomik adalah obat yang berefek pada sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom ialah sistem saraf yang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh kesadaran sehingga juga disebut sistem saraf tidak sadar atau vegetatif. Secara anatomis sistem saraf ini meliputi semua serabut eferen yang keluar dari sistem saraf pusat selain serabut somatomotorik. Serabut preganglioner simpatis keluar dari sistem saraf pusat pada segmen torakolumbal kemudian berganti neuron pada ganglion paravertebrale di sebelah kiri dan kanan columna vertebralis. Serabut preganglioner parasimpatis keluar dari sistem saraf pusat sebagai nervi craniales (N. III, VII, IX, dan X) dan serabut saraf yang keluar dari segmen sakral ke 3 dan 4. Serabut ini bersinapsis dengan saraf yang badan – selnya membentuk ganglion parasimpatikus yang letaknya dekat atau pada organ yang diinervasi. Pembagian sistem saraf otonom menjadi sistem saraf simpatis dan parasimpatis lebih bersifat anatomis dan seringkali rancu kerena serabut saraf simpatis yang menuju ke kelenjar keringat yang secara anatomis merupakan saraf simpatis tetapi secara fisiologis melepaskan asetilkolin. Oleh karena itu sistem saraf otonom juga dapat dibagi berdasarkan transmitor yang dilepaskan oleh ujung serabut saraf itu jika terstimulasi, menjadi serabut saraf kolinergik dan noradrenergik. Serabut saraf yang mensintesis dan melepaskan acetylcholine (ACh) sebagai transmitor pada waktu terstimulasi merupakan serabut saraf kolinergik. Ini meliputi serabut preganglioner otonom, serabut kolinergik di dalam sistem saraf pusat, serabut somatomotorik, serabut postganglioner parasimpatis dan beberapa serabut di dalam sistem saraf simpatis. Serabut saraf yang mensintesis dan melepaskan NA (noradrenalin) sebagai transmitornya pada waktu terstimulasi disebut serabut saraf noradrenergik dan sering disebut juga saraf adrenergik, meliputi serabut saraf noradrenergik di dalam sistem saraf pusat dan hampir semua serabut postganglioner saraf simpatis. ACh disintesis di dalam sitoplasma ujung saraf kolinergik dari acethylcoenzyme A (dibuat oleh mitokondria dalam sitoplasma pada ujung saraf itu) dan choline (diambil dari cairan ekstraseluler) dengan katalisator acethylcholinetransferase. Transport aktif kolin dari luar sel menggunakan suatu carrier yang bersifat Na+-dependent dan dapat dihambat oleh hemikolinium. ACh kemudian dimasukkan ke dalam vesikel (granul) penyimpan dengan transport aktif yang menggunakan suatu carrier yang dapat dihambat oleh vesamicol. Sintesis ACh berlangsung sangat cepat dan tiap vesikel dapat berisi 1.000 - 50.000 molekul ACh. Setelah dilepaskan ke dalam celah sinaptik ACh dapat menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik (N) atau muskarinik (M) pra- atau pasca-sinaptik, atau segera dihidrolisis oleh acetylcholinesterase (AChE) menjadi kolin dan asetat. Dalam sistem saraf noradrenergik, transmitor NA disintesis dari tirosin yang dimasukkan ke dalam ujung saraf simpatis secara aktif oleh suatu carrier lalu dihidroksilasi oleh tyrosine hydroxylase menjadi dopa yang selanjutnya mengalami dekarboksilasi menjadi dopamin. Dopamin lalu dimasukkan kedalam vesikel penyimpan secara aktif dengan carrier yang dapat dihambat oleh reserpin. Di dalam vesikel dopamin diubah menjadi NA oleh dopamine -hydroxylase, sehingga selain NA, dopamin dan dopamine -hydroxylase pada waktu ada stimulasi ATP juga ikut dicurahkan ke dalam celah sinaptik. Proses pelepasan transmitor ke dalam celah sinaptik terjadi secaca exocytosis. Setelah impuls mencapai ujung saraf, terjadi fusi antara membran vesikel penyimpan transmitor dengan membran sel (ujung saraf), kemudian terjadi lisis membran hasil fusi itu. Isi vesikel seolah dicurahkan ke dalam celah sinaptik. Transmitor (NA atau ACh) di dalam celah sinaptik dapat terjadi hal berikut. a. mengaktivasi reseptor pra- atau pasca-sinaptik sehingga timbul efek, b. diambil lagi oleh ujung saraf (neuronal uptake) atau oleh jaringan di sekitar ujung saraf (extra-neuronal uptake), c. mengalami deaminasi oleh MAO, atau diubah menjadi normetanefrin oleh COMT, (misalnya noradrenalin) d. dihidrolisis oleh cholinesterase (misalnya asetilcholin). Stimulasi reseptor pascasinaptik (r-M, N, -α dan-ß) menimbulkan proses biokimiawi, biofisik atau biomekanik pada sel efektor dengan melibatkan enzim atau substansi kimia lain di dalam sel antara lain adenilat siklase, guanilat siklase, ATP (adenosine triphosphate), ADP (adenosinediphosphate), GMP (guanosinemonophosphate), cAMP (cyclicadenosinemonophosphate) dan cGMP (cyclic guanosine mono-phosphate). Akibat dari rangkaian proses itu dapat timbul kontraksi atau relaksasi otot polos, sekresi kelenjar dan sebagainya sebagai respons efektor pada stimulasi saraf yang berkaitan. SYMPATHOMIMETICS Adrenergic drugs & Noradrenergic drugs c. Obat Simpatomimetik Obat simpatomimetik (mempunyai efek mirip dengan stimulasi saraf simpatis) juga disebut obat adrenergik, atau obat noradrenergik. Efek obat simpatomimetik pada tubuh antara lain stimulasi (kontraksi) otot polos dinding pembuluh darah pada kulit dan mukosa sehingga timbul vasokonstriksi, stimulasi jantung yang berakibat meningkatnya kontraksi jantung (kekuatannya : inoktropik positif dan frekuensinya : kronotropik positif), inhibisi (relaksasi) otot polos usus dan bronkus (bronkodilatasi), inhibisi otot polos dinding pembuluh darah di dalam bundel otot rangka (vasodilatasi), stimulasi sistem saraf pusat (timbul peningkatan kewaspadaan) dan efek metabolik berupa peningkatan pemecahan glikogen (glikogenolisis) dan lemak (lipolisis). Dalam sistem saraf simpatis transmitor yang berperan ialah NA (noradrenalin) yang disintesis di dalam ujung saraf itu dari tirosin. Di dalam sitoplasma tirosin dihidroksilasi (tyrosine hydroxylase) menjadi dopa yang kemudian mengalami dekarboksilasi menjadi dopamin. Dopamin dimasukkan ke dalam vesikel penyimpan transmitor secara aktif menggunakan suatu carrier, dan proses ini dapat dihambat oleh reserpin. Di dalam vesikel dopamin diubah menjadi noradrenalin oleh enzim dopamine ß-hydroxylase. Oleh sebab itu selain noradrenalin, dopamin dan enzim itu di dalam vesikel juga ada ATP yang ikut dilepaskan bersama transmitor ke dalam celah sinaptik pada waktu terjadi pacuan sarafi, yang terjadi secara exocytosis. Noradrenergic Nerve Ending NA yang dilepaskan pada waktu ada stimulasi sarafi itu dapat mengaktivasi adrenoseptor pra- atau pasca-sinaptik, atau mengalami uptake, neuronal atau extraneuronal uptake, atau diinaktivasi dengan deaminasi oleh MAO atau diubah menjadi normetanefrin oleh COMT. Stimulasi adrenoseptor pascasinaptik menimbulkan efek misalnya vasokonstriksi, stimulasi jantung, bronkodilatasi dan relaksasi usus. Menurut Ahlquist (1948) ada 2 tipe adrenoseptor yang menyebabkan ada perbedaan efek itu. Adrenoseptor alfa (α) yang bertanggung jawab atas fungsi eksitatif (misalnya vasokonstriksi dan kontraksi otot dilator pupil), dan inhibisif (misalnya relaksasi otot polos usus) dan adrenoseptor beta (ß) yang bertanggung jawab atas fungsi inhibisif (vasodilatasi pembuluh darah di dalam bundel otot rangka, relaksasi otot uterus dan bronkus) dan fungsi eksitatif yaitu stimulasi jantung. Pembagian adrenoseptor oleh Ahlquist dilanjutkan oleh Lands (1967) yang membagi adrenoseptor-ß menjadi 2 subtipe yaitu subtipe-ß1 pada jantung dan sub-tipe-ß2 pada bronkus dan uterus. Saat ini ada 6 subtipe adrenoseptor-α yaitu adrenoseptor-α1A, α1B, α1D, α2A, α2B dan α2C. Adrenoseptor-ß dibagi menjadi subtipe-ß1 pada jantung, subtipe-ß2 pada bronkus dan uterus serta subtipe-ß3 pada sel lemak. Stimulasi adrenoseptor-α1 berakibat hidrolisis polifosfoinositida, sintesis inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG). Pada otot polos stimulasi adrenoseptor-α1 menimbulkan infuks Ca2+, dan pada beberapa otot polos lainnya menyebabkan pemecahan polifosfoinositida menjadi IP3 dan DAG. IP3 memacu pelepasan Ca2+ dari ikatan-simpanannya, meningkatkan Ca2+ pada endoplasmic reticulum sehingga memacu potein kinase yang calcium-dependent. IP3 segera difosforilasi menjadi inositol. Stimulasi adrenoseptor-α2 menghambat adenylate cyclase sehingga berakibat cAMP intraseluler turun. Bagaimana reaksi selanjutnya belum diketahui dengan jelas. Stimulasi reseptor-ß1, -ß2 dan -ß3 mengaktivasi adenylate cyclase sehingga konversi AMP menjadi cAMP naik. Berbeda dengan bronkus, pada otot jantung stimulasi reseptor-ß menyebabkan influk Ca2+ naik dan sekuestrasi Ca2+ turun, akibatnya kontraksi. Pada bronkus aktivasi adrenoseptor-ß2 justru meningkatkan cAMP dan ini meningkatkan sekuestrasi Ca2+ sehingga Ca2+ bebas yang siap dipakai untuk kontraksi turun, berakibat relaksasi otot. (1) Efek Farmakologis Obat Simpatomimetik Obat simpatomimetik menstimulasi sistem saraf simpatis dapat beraksi langsung pada adrenoseptor-α atau ß, atau tidak langsung, dengan menghambat proses uptake noradrenalin, atau menghambat MAO (monoamine oxydase) sehingga terjadi akumulasi NA sehingga NA menstimulasi adrenoseptor. Pada sistem kardiovaskuler, tonus otot polos dinding pembuluh darah diatur oleh saraf simpatis melalui aktivasi adrenoseptor-α yang menimbulkan vasokonstriksi. Pada jantung adrenoseptor-ß1 bersifat dominan atas aktivitas jantung sehingga meskipun adrenoseptor-α dan -ß2 juga ada tetapi tidak dominan. Stimulasi adrenoseptor-ß1 menimbulkan eksitasi otot jantung, sel nodus dan jaringan konduksi sehingga kontraksi jantung meningkat (frekuensi dan kekuatannya). Stimulasi adrenoseptor-ß2 pada otot polos pembuluh darah koroner dan pembuluh darah di dalam bundel otot lurik berakibat relaksasi sehingga terjadi vasodilatasi kedua macam pembuluh darah itu. Pada tekanan darah obat simpatomimetik menaikkan tekanan darah sistolik melalui kenaikan tahanan periferi sebagai akibat dari vasokonstriksi. Naiknya tekanan darah yang ditimbulkan oleh agonis selektif pada adrenoseptor-α diikuti dengan reflek homeostasis melalui aktivasi baroreseptor, tonus Vagus naik dan frekuensi denyut jantung turun (bradikardia). Simpatomimetika yang selektif pada adrenoseptor-ß1 meningkatkan kontraksi jantung (kekuatan dan frekuensi) sehingga meningkatkan tekanan darah. Obat agonis adrenoseptor-ß2 sedikit pengaruhnya pada tekanan darah dan kalaupun ada, tekanan darah turun sedikit akibat dari vasodilatasi pembuluh darah pada otot lurik. Pada saluran nafas inervasi saraf parasimpatis mencapai otot polos bronkus tetapi tidak demikian halnya dengan serabut simpatis. Meskipun serabut saraf simpatis tidak sampai pada otot polos itu, adrenoseptor-ß2 dipastikan ada pada otot itu. Aktivasi reseptor-ß2 oleh obat agonis yang selektif pada reseptor itu (misalnya salbutamol, terbutalin dan klenbuterol) berefek bronkodilatasi. Dalam terapi asma bronkial dahulu digunakan adrenalin tetapi karena adrenalin selain memacu reseptorß2 (sebagai efek yang diharapkan) juga memacu reseptor-ß1 dan-α sehingga timbul takikardia (bahkan dapat sampai aritmia), vasokonstriksi sehingga menaikkan tekanan darah sebagai efek yang tidak diinginkan (efek samping). Oleh karena itu adrenalin sekarang tidak digunakan lagi dalam terapi asma bronkial. Pada saluran nafas bagian atas (hidung) obat simpatomimetik berefek decongesti pada mukosa hidung. Pada mukosa itu terdapat pembuluh darah yang dapat terdilatasi pada keadaan radang catharal sehingga timbul congesti jalan nafas. Obat agonis adrenoseptor-α1 menyebabkan vasokonstriksi sehingga kongesti berkurang. Oleh karena itu obat dari golongan ini (fenilefrin, fenilpropanolamin dan neosinefrin) sering digunakan sebagai obat tetes atau semprot hidung dan sebagai campuran obat racikan untuk selesma. Pada saluran cerna, obat ini berefek mengurangi motilitas. Otot polos pada saluran cerna selain diinervasi oleh saraf kolinergik juga dipengaruhi oleh obat adrenergik melalui adrenoseptor-α dan -ß pada otot lolosnya dan α2-prasinaptik pada ujung saraf cholinergik di dalam saluran cerna (ganglion Meisner atau Auerbach). Stimulasi reseptor-α dan ß itu berakibat relaksasi otot polos saluran cerna dan kontraksi otot sfingternya. Hal ini perlu dipertimbangkan jika kita menggunakan obat simpatomimetik secara sistemik dapat timbul meteorrhismus. Pada saluran genitourinaria obat adrenergik berefek tidak tetap, tergantung pada spesies dan siklus estrus. Uterus manusia berisi adrenoseptor-α dan -ß2 yang jika terstimulasi terjadi relaksasi. Oleh karena itu pada abortus imminent dapat diberikan agonis reseptor-ß2 (ritrodrin) untuk merelaksasi uterus, dan sebaliknya pada perdarahan pasca curetage serta inersia uterus postpartum dapat diberi penyekat reseptor-α berupa alkaloid ergot yang memacu kontraksi uterus. Pada kelenjar ludah yang dipelihara oleh saraf kolinergik dan adrenergik, stimulasi saraf adrenergik menyebabkan sekresi ludah lebih mukus (kaya amilase) sedangkan stimulasi saraf kolinergik berefek meningkatkan skresi lebih sereous (encer). Oleh karena itu pada terapi dengan klonidin (obar simpatolitik yang beraksi memacu adrenoseptor-α2 prasinaptik) dapat timbul efek samping kering mulut. Kelenjar keringat diinervasi oleh saraf simpatis tetapi sekresinya melibatkan r-M. Obat adrenergik dan obat muskarinik meningkatkan produksi keringat dan sebaliknya blokade r-M mengurangi keringat. Efek metabolik obat simpatomimetik, lipolisis dan glikogenolisis. Lipolisis terjadi melalui aktivasi adrenoseptor-ß1 pada sel lemak, sedangkan aktivasi adrenoseptor-α2 berakibat menghambat lipolisis. Glikogenolisis dalam hepar terjadi melalui aktivasi adrenoseptor-ß2 yang secara fisiologis dipacu oleh adrenalin. Obat simpatomimetik juga dapat mempengaruhi sekresi hormon. Sekresi insulin terjadi melalui aktivasi reseptor-ß dan dihambat oleh aktivasi reseptor-α2. Beberapa obat simpatomimetik seperti adrenalin, noradenalin, isoprenalin, fenilefrin, terbutalin dan salbutamol memacu reseptor-α atau -ß secara langsung. Adrenalin menstimulasi adrenoseptor -α, -ß1 dan -ß2. Noradrenalin menstimulasi adrenoseptor-α dan –ß, tetapi efeknya pada reseptor-ß1 jauh lebih kuat daripada ß2. Fenilefrin memacu reseptor- α1 jauh lebih kuat daripada - α2 dan pada dosis rendah nyaris tidak berefek pada reseptor-ß. Isoprenalin tidak selektif memacu reseptor- ß (ß1 dan - ß2), tetapi salbutamol dan terbutalin selektif menstimulasi adrenoseptor- ß 2. (2) Kegunaan Obat Simpatomimetik Berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular, bronkus dan sistem saraf pusat obat simpatomimetik banyak digunakan di dalam terapi antara lain pada kongesti nasal (akibat selesma dan rhinitis), sebagai campuran obat anestetik lokal, hemostatika, syok anafilaksi, asma bronkial, dan kehamilan terganggu. Sebagai decongestant obat simpatomimetik (fenilefrin) diberikan sebagai obat tetes atau semprot hidung. Sebagai decongestan obat simpatomimetik juga dapat diberikan secara oral (fenilpropanolamin) sebagai sediaan campuran dengan obat analgesik dan antihistamin (cold remedy). Obat yang diberikan secara oral dapat menimbulkan efek sistemik berupa naiknya tekanan darah. Oleh karena itu nasal decongestant sediaan topikal (tetes atau semprot hidung) lebih aman. Obat simpatomimetik sering digunakan sebagai campuran obat anestetik lokal untuk menghambat absorpsi obat anestetik agar lebih lama berefek. Sebagai vasokonstriktor dalam sediaan obat anestetik lokal, dipakai adrenalin dan fenilefrin. Oleh karena itu sediaan obat anestetik yang berisi obat simpatomimetik tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi, penyakit jatung koroner dan gagal jantung. Obat simpatomimetik juga digunakan sebagai hemostatika pada perdarahan kecil dan difus akibat luka kecil misalnya pasca cabut gigi atau robek kulit muka akibat pukulan (pada pertandingan tinju). Obat simpatomimetik yang selektif pada reseptor- α1 berefek vasokonstriksi dan menghentikan perdarahan itu. Obat simpatomimetik misalnya adrenalin merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dalam terapi syok anafilaksi. Syok sendiri merupakan sindroma kardiovaskuler akut dengan gejala khas berupa turunnya tekanan darah secara drastis sehingga berakibat perfusi darah ke organ vital turun sampai tingkat kritis. Dilihat dari penyebab utamanya syok dapat dikelompokkan ke dalam syok hipovolemik, kardiogenik, septik dan anafilaktik. Pada syok hipovolemik kehilangan cairan darah merupakan penyebab syok sehingga penggantian cairan atau darah yang hilang merupakan tindakan yang tepat dan obat simpatomimetik tidak bermanfaat sebab obat itu justru dapat lebih menurunkan perfusi darah ke dalam jaringan. Pada syok kardiogenik yang penyebabnya gagal jantung akut, obat simpatomimetik justru dapat memperburuk gagal jantungnya, sedangkan pada syok septik yang paling penting adalah mengatasi sepsis yang ada. Syok anafilaksi (yang terjadi karena reaksi hipersensitif terhadap suatu zat atau obat), penggunaan adrenalin merupakan pilihan tepat karena selain efek vasokonstriksi, obat ini juga berefek menstimulasi jantung dan bronkodilatasi karena afinitas adrenalin pada reseptor- α, -ß1 dan - ß2 sama kuatnya. Vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor- α1 berakibat tekanan darah naik dan edema mukosa berkurang. Naiknya kontraksi jantung akibat stimulasi adrenoseptor- ß1 berakibat tekanan darah naik sedangkan stimulasi adrenoseptor- ß2 berakibat bronkodilatasi, vasodilatasi koroner dan dalam bundel otot rangka. Seperti obat simpatomimetik lainnya, adrenalin hanya punya manfaat untuk syok anafilaksi pada tahap awal sebab pada syok tahap lanjut adrenalin justru lebih mengurangi perfusi darah jaringan. Pasa asma bronkial, adrenalin, isoprenalin, efedrin, salbutamol dan terbutalin mempunyai efek melebarkan bronkus (bronkodilatasi) melalui stimulasi adrenoseptorß2 pada otot polos bronkus. Terbutalin dan salbutamol yang selektif pada reseptorß2 berefek bronkodilatasi, dan efek samping yang terkait dengan stimulasi reseptorß1 minimal. Adrenalin selain menimbulkan bronkodilatasi juga menimbulkan efek samping berupa naiknya tekanan darah secara drastis dan aritmia akibat dari stimulasi reseptor-α dan - ß1. Obat simpatomimetik digunakan sebagai midriatikum. Biasanya, untuk pemeriksaan bagian dalam bola mata diperlukan obat yang berefek melebarkan pupil (midriasis). Obat antimuskarinik (misalnya homatropin) memblok r-M sehingga menimbulkan midriasis. Efek midriasis yang ditimbulkan oleh obat antimuskarinik disertai dengan sikloplegia sehingga dapat berakibat pengelihatan penderita kabur. Obat simpatomimetik yang menimbulkan midriasis dengan memacu reseptor-α pada otot polos iris pars radier tidak disertai sikloplegia sebagaimana yang terjadi pada pemberian obat antimuskarinik. (3) Efek Samping dan Toksisitas Obat simpatomimetik yang tidak selektif bisa menimbulkan efek samping yang terkait dengan stimulasi reseptor-α dan ß1 misalnya naiknya tekanan darah, rasa dingin pada ekstremitas, dan takikardia (dirasakan sebagai palpitasi). Meskipun demikian penggunaan obat simpatomimetik topikal dapat memperkecil risiko efek samping dari pada jika digunakan secara sistemik (oral dan injeksi). Pada kelebihan dosis obat simpatomimetik dapat menimbulkan efek yang dapat membahayakan jiwa penderita seperti hemorrhagia cerebral, kambuhnya penyakit jantung dan nekrosis jaringan. SYMPATHOLYTICS Antiadrenergics Obat Simpatolitik Obat simpatolitik yaitu obat yang mempunyai efek menghambat sistem saraf simpatis dan dapat beraksi pada (1) ujung saraf simpatis dengan menghambat sintesis, penyimpanan dan pelepasan NA pada ujung saraf noradrenergik, (2) beraksi di otak dengan mengurangi sympathetic drives dan (3) memblok adrenoseptor baik r-α ataupun- ß. Obat simpatolitik dapat bekerja melalui satu atau lebih mekanisme itu. (1) Penghambat Neuron (Neuron Blockers) Obat penghambat fungsi neuron bekerja dengan menghambat sintesis, penyimpanan dan pelepasan NA sehingga obat golongan ini tidak mempengaruhi efek NA yang sudah berada di dalam sirkulasi, NA eksogen dan obat simpatomimetik yang beraksi langsung pada reseptor pasca sinaptik. Golongan ini meliputi guanetidin, bretilium, betanidin, debrisokuin, reserpin dan metirosin. Guanetidin yang masuk ke dalam tubuh mengalami up-take oleh ujung saraf simpatis lalu dimasukkan ke dalam vesikel penyimpan transmitor. Proses uptake ini bersifat kompetitif dengan NA yang telah dilepaskan ke dalam celah sinaptik (dalam proses reuptake) sehingga vesikel penyimpan transmitor tidak berisi NA. Guanetidin yang ikut disimpan dalam vesikel juga ikut dilepaskan pada waktu ada stimulus sarafi, juga berada di dalam celah sinaptik tetapi tidak mempunyai kemampuan menstimulasi adrenoseptor (sebagai false transmitter). Guanetidin mempunyai efek anestetik lokal meskipun hanya terjadi pada kadar tinggi. Guanetidin dapat mendesak noradrenalin keluar dari vesikel dan segera dirusak oleh MAO. Pemberian guanetidin dalam waktu lama selain mengakibatkan ujung saraf simpatis tidak mampu melepaskan noradrenalin pada waktu ada pacuan sarafi, juga berakibat sel efektor menjadi lebih sensitif terhadap katekolamin seperti pada denervasi saraf noradrenergik post ganglioner. Hal ini terjadi karena ada proliferasi adrenoseptor-α dan ß (sebagai akibat dari up regulation). Guanetidin pernah dipakai dalam terapi hipertensi berat tetapi karena tidak selektif dan irreversibel sekarang obat ini tidak digunakan lagi, apalagi sudah banyak obat yang lebih selektif. Bretilium menghambat pelepasan NA dari vesikel penyimpannya melalui efek anestetik lokal pada ujung saraf. Efek ini menyebabkan ujung saraf menjadi tidak responsif terhadap stimulasi sarafi yang sampai pada tempat itu. Di samping itu bretilium juga menghambat uptake noradrenalin pada ujung saraf sehingga meningkatkan efek katekolamin yang sudah berada di dalam sirkulasi. Reserpin merupakan ekstraks tanaman Rouwofia serpentina, mempunyai efek mengosongkan vesikel penyimpan NA, A dan 5-HT (serotonin) dalam ujung saraf noradrenergik, medula kelenjar adrenal, dan saraf serotoninergik di dalam otak. Pengosongan dapat dicapai sesudah 24 jam. Reserpin beraksi pada proses uptake dopamin ke dalam vesikel penyimpan (dengan transport aktif, menggunakan ATP dan ion Mg) di dalam ujung saraf noradrenergik dan serotoninergik. Di dalam klinik reserpin pernah digunakan dalam terapi hipertensi, tetapi kerena efeknya lambat berkembang maka pada pemakaian kronis dapat terjadi kumulasi efek. Pada dosis kurang dari 1,0 mg/hari sudah efektif untuk mengurangi jumlah noradrenalin di dalam vesikel, sehingga efek yang ditimbulkan tampak nyata. Efek sentral reserpin dapat berupa sedasi, acuh pada sekitar dan depresi sehingga jangan diberikan pada orang hipertensi yang menderita depresi. Sediaan obat berisi reserpin padat berisi reserpin saja (Serpasil(R)) atau dalam kombinasi dengan obat lain, misalnya Serapes (R) yang berisi serpasil (reserpin), aprezolin (vasodilator) dan esidrex (diuretika). Metirosin merupakan zat kompetitor tirosin pada biosintesis NA yang beraksi dengan menghambat tirosinehydroxylase suatu enzim katalisator sintesis dopa dalam ujung saraf simpatis. Oleh karena itu sintesis NA terhambat dan vesikel tidak terisi NA baik sentral maupun periferi. Di dalam klinik metirosin pernah dipakai dalam pengelolaan penyakit feokromositoma. (2) Simpatolitika yang Berefek Sentral Meskipun sistem saraf simpatis itu bersifat otonom tetapi secara fisiologis aktivitasnya tetap dipengaruhi oleh sistem saraf pusat lewat mekanisme yang sangat kompleks. Pengaruh kejiwaan pada aktivitas saraf simpatis dapat disaksikan dalam kejadian sehari-hari. Diduga, bagian otak seperti korteks, batang otak, hipotalamus dan nukleus solitarius berperan dalam mengatur aktivitas sistem saraf simpatis. Obat simpatolitik yang beraksi di dalam otak memodifikasi efek sentral pada sistem saraf simpatis (sebagai sympathetic drives atau sympathettic out flow). Dengan menurunnya sympathetic drives maka tonus simpatis juga turun sehingga timbul vasodilatasi, berkurangnya kontraksi jantung (frekuensi dan kekuatannya). Klonidin, guanabenz dan guanfasin. Klonidin menghambat saraf simpatis dengan menstimulasi adrenoseptor-α2 prasinaptik sehingga pelepasan NA dari ujung saraf noradrenergik berkurang. Efek klonidin terutama timbul pada saraf noradrenergik di dalam otak sehingga sympatetic out flow berkurang dan tekanan darah turun. Guanabenz dan guanfasin juga merupakan agonis adrenoseptor-α2 seperti pada klonidin dan kedua obat ini mempunyai efek sentral lebih menonjol. Metildopa menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis dengan menghambat biosintesis NA. Sebagai kompetitornya dopa metildopa juga mengalami dekarboksilasi menjadi α-metildopamin, dan seperti halnya dopamin α-metildopamin juga dimasukkan ke dalam vesikel, kemudian juga dihidroksilasi menjadi αmetilnoradrenalin. Senyawa ini juga dilepaskan pada waktu ada pacuan sarafi tetapi tidak dapat memacu adrenoseptor pasca sinaptik sebagaimana NA. Sebaliknya, αmetilnoradrenalin justru mempunyai efek memacu adrenoseptor-α2 prasinaptik, sehingga pelepasan transmitor lebih berkurang lagi dan aktivitas saraf noradrenergik turun. Seperti klonidin, efek metildopa lebih menonjol di dalam otak sehingga sympathetic drives berkurang. (3) Obat Penyekat Adrenoseptor (Receptor Blockers) Secara fisiologis amin endogen terutama NA dan A mempunyai peranan penting dalam mengendalikan sistem saraf simpatis melalui aktivasi reseptor-α dan- ß. Obat receptor blockers menghalangi amin endogen (A dan NA) menstimulasi adrenoseptor-α dan - ß. Penemuan obat adrenoseptor blockers baik α maupun ß -blockers sangat penting artinya dalam terapi hipertensi. Dari beberapa obat α-blockers hanya prazozin dan terazosin (α1-selective blockers) yang mempunyai arti klinis dalam terapi hipertensi. Sebaliknya banyak obat ß-blockers baik yang cardioselective maupun yang noncardioselective efektif untuk menurunkan tekanan darah penderita hipertensi. (1) Obat Penyekat Adrenoseptor-α Ikatan obat penyekat adrenoseptor- α dengan reseptornya dapat bersifat reversible (misalnya pada prazosin, fentolamin dan tolazolin) dan dapat pula irreversible (misalnya pada fonoksibenzamin). Obat penyekat adrenoseptor- α juga dapat berbeda selektivitas dan afinitas nya pada subtipe adrenoseptor- α. Prazosin dan fenoksibenzamin lebih selektif pada reseptor- α 1 daripada- α 2, tetapi fentolamin berefek tidak selektif pada adrenoseptor- α1 dan - α2 sedangkan yohimbin dan idazoxan lebih selektif pada adrenoseptor- α2. Fenoksibenzamin efeknya lambat dan eliminasinya juga lambat sehingga pada dosis tunggal efeknya berkurang menjadi separonya sesudah 24 jam. Efek itu dapat bertahan sampai 3-4 hari. Pada sistem kardiovaskuler fenoksibensamin menurunkan tekanan darah, timbul hipotensi postural karena hilangnya mekanisme homeostasis yang melibatkan adrenoseptor- α. Fentolamin memblok adrenoseptor- α 1 dan - α 2 dan efeknya berpengaruh pada mekansime pelepasan transmitor NA. Blokade reseptor- α2 prasinaptik berakibat meningkatnya pelepasan NA oleh ujung saraf simpatis. Karena fentolamin juga memblok reseptor- α 1 (pascasinaptik) maka kenaikan pelepasan NA hanya memacu adrenoseptor-ß. Oleh karena itu obat yang memblok adrenoseptor- α secara tidak selektif selain menurunkan tekanan darah juga akan menimbulkan efek samping berupa takikardia atau aritmia. Takikardia juga dapat timbul sebagai manifestasi dari adanya reaksi homeostasis pada jantung akibat turunnya tekanan darah. Prazosin memblok adrenoseptor- α1 secara selektif. Karena efek prazosin pada reseptor- α2 relatif sangat kecil, efek prazosin pada pelepasan NA juga tidak berarti dan prazosin jarang menimbulkan efek samping takikardia seperti yang terjadi pada fentolamin. Jika terjadi takikardia sebaagi efek samping, tidak seberat fentolamin. (2) Obat Penyekat Adrenoseptor-ß Obat penyekat adrenoseptor- ß (ß -blockers) menghambat sistem saraf simpatis dengan menyekat reseptor- ß. Di antara obat penyekat adrenoseptor- ß terdapat beberapa jenis yang selain mempunyai efek antagonistik juga mempunyai efek agonistik pada reseptor itu. Efek ini dikenal sebagai ISA (instinsic sympathomimetic activity) atau agonis parsial dan dapat mengurangi efek antagonisnya dsan menurunkan efektivitasnya. Meskipun demikian efek itu tidak selalu merugikan terapi, karena adanya efek agonis parsial dapat mencegah terjadinya blokade total pada reseptor- ß yang dapat berakhir sebagai cardiac arrest. Obat penyekat adrenoseptor- ß tanpa ISA (antagonis kuat) memblok reseptor- ß sepenuhnya yang pada penderita takikardia efek ini menurunkan frekuensi denyut jantung dan menguntungkan terapi tetapi pada penderita bradikardia efek ini dapat merugikan karena denyut jantung pada malam hari (terutama pada dini hari) turun lagi sehingga dapat timbul cardiac arrest (denyut jantung berhenti). Jika pada penderita hipertensi dengan denyut jantung normal diberikan obat penyekat adrenoseptor- ß dengan ISA positif (agonis parsial) maka blokade yang timbul tidak total dan obat itu masih menstimulasi denyut jantung selain juga memblokade. Selain itu sifat kardioselektif juga perlu diperhatikan karena obat ß -blockers yang noncardioselective selain memblok adrenoseptor- ß 1 pada jantung juga memblok r- ß2 pada bronkus sehingga dapat timbul efek samping bronkokonstriksi. Penderita yang mempunyai masalah respirasi dan membutuhkan terapi ß -blockers (menderita hipertensi) harus diberi obat ß -blockers yang kardioseletif, jika obat lainnya tidak bleh diberikan. Obat ß -blockers cepat diabsorpsi oleh saluran cerna dan kadar puncak dalam plasma dicapai sesudah 1-3 jam Kecepatan metabolisme obat penyekat reseptor- ß tidak sama. Propranolol cepat mengalami first pass metabolism dan ketersediaan hayati (bioavailability) rendah (30%) sedangkan pindolol ketersediaan hayatinya cukup tinggi (90%). Obat ß -blockers umumnya volume distribusinya besar dan mudah menembus sawar darah-otak. Berdasar sifat farmakokinetiknya obat ß -blockers dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu yang mudah larut dalam lemak, mudah larut dalam air dan yang mudah larut baik dalam air maupun lemak. Obat ß -blockers yang mudah larut dalam lemak (propranolol, okprenolol, alprenolol, labetolol, metoprolol dan timolol) mudah diabsorpsi oleh saluran cerna (90%). Meskipun demikian karena mengalami first pass metabolism maka ketersediaan hayati rendah, apalagi metabolisme utamanya yang berlangsung di hepar sangat ekstensif maka waktu paronya rata-rata 2-6 jam.Obat ß -blockers yang mudah larut dalam air misalnya satolol, nadolol dan atenolol. Satolol diabsorpsi dengan baik oleh saluran cerna tetapi mengalami first pass metabolism. Nadolol dan atenolol sukar diabsorpsi, sehingga ketersediaan hayati nadolol, atenolol dan satolol rendah. Obat ß -blockers yang mudah larut di dalam air dan lemak yaitu atenolol, pindolol dan asebutolol. Pindolol mudah diabsorpsi oleh saluan cerna dan tidak mengalami first pass metabolism. Distribusi obat ß -blockers sesuai dengan sifat kelarutannya dalam lemak. Alprenolol dan propranolol yang lebih mudah larut dalam lemak, lebih mudah menembus sawar darah otak sehingga lebih mudah sampai diotak. Atenolol dan nadolol lebih sukar larut dalam lemak sehingga lebih sukar mencapai jaringan otak. Efek Farmakologis Blokade reseptor- ß pada jantung, ginjal dan otak oleh ß -blockers merupakan efek utama yang dimanfaatkan dalam terapi hipertensi. Blokade reseptor- ß1 pada sel nodus, jaringan konduksi dan sel otot jantung berakibat berkurangnya frekuensi denyut jantung (kronotropik negatif) dan kekuatan kontraksi jantung (inotropik negatif) sehingga cardiac out put turun. Pada ginjal ß -blockers menghambat sekresi renin oleh sel juksta glomerularis sehingga sistem renin angiotensin aldosteron juga terhambat. Efek ß -blockers pada otak menurunkan sympathetic drive atau sympathetic outflow sehingga tonus sistem saraf simpatis juga turun. Ketiga efek itu bersama-sama menurunkan tekanan darah. Selain itu turunnya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung berakibat kebutuhan oksigen (oxygen demand) otot jantung turun sehingga dapat mengurangi serangan angina pektoris. Pada saluran nafas, obat ß -blockers terutama yang nonselektif memblok reseptor- ß2 pada otot polos bronkus selain reseptor- ß ? pada jantung. Pada asma bronkial, blokade ini berakibat bronkokonstriksi yang dapat menimbulkan kambuhnya (eksaserbasi) asma bronkial. Oleh karena itu penggunaan obat ß -blockers terutama nonselektif pada penderita dengan riwayat asma bronkial harus dihindari. Pada mata, obat ß -blockers misalnya timolol mempunyai efek menurunkan tekanan intraokuler. Mekanisme yang pasti bagaimana obat ini menurunkan tekanan intraokuler belum jelas tetapi diduga melalui hambatan pada produksi humor aqueous atau menaikkan resorpsinya. Timolol telah digunakan dalam terapi glaukoma. Pengaruh obat ß -blockers pada metabolisme ialah menghambat glikogenolisis hepar dan otot rangka. Efek itu dapat menghambat efek hiperglikemik dari amin endogen pada keadaan hipoglikemia. Akibat dari itu ialah reaksi untuk mengembalikan reaksi hipoglikemia (pada overdosis insulin) terhambat. Karena sekresi insulin juga melibatkan reseptor- ß2 maka penggunaan obat ß -blockers terutama yang tidak selektif akan mengurangi sekresi insulin dan penggunaan ß -blockers pada penderita diabetes melitus harus memperhitungkan efek itu. Pemilihan obat ß -blockers dalam terapi hipertensi didasarkan atas adanya penyakit lain di samping hipertensinya. Pasien hipertensi yang juga menderita gagal jantung kronis tidak boleh diberi terapi dengan obat ß -blockers karena obat itu justru dapat memperburuk gagal jantungnya. Pendapat yang membolehkan digunakannya obat ß -blockers pada gagal jantung kronis derajad ringan itu menyesatkan sebab tidak didukung evidence based. Hipertensi dengan gagal ginjal juga tidak boleh diberi obat ß -blockers karena obat ini justru dapat menurunkan aliran darah ginjal dan dapat memperburuk gagal ginjal. Penderita hipertensi yang juga menderita asma bronkial dan diabetes melitus sebaiknya tidak diberi ß -blockers. Penderita hipertensi yang menderita bradikardi dipilihkan ß -blockers agonis parsial. Obat ß -blockers dapat diberikan untuk terapi angina pektoris. Pada penderita ini obat ß -blockers dapat menurunkan kebutuhan oksigen. Selain itu obat ß -blockers juga efektif untuk terapi aritmia ventrikuler dan supraventrikuler. Pada denyut jantung ektopik akibat katekolamin, obat ß -blockers dapat diberikan. Obat ß -blockers juga digunakan dalam terapi glaukoma seperti telah diuraikan di depan. Timolol tetes mata banyak digunakan sebab timolol tidak mempunyai membrane stabilizing effect (efek anestetik lokal) sehingga tidak berbahaya untuk kornea dan mudah diabsorpsi. Obat yang relatif lebih baru misalnya betaksolol dan levobunolol juga digunakan dalam terapi penyakit ini. Pada hipertiroidi, obat ß -blockers berefek menghambat aktivasi adrenoseptorß1 jantung oleh agonis endogen dan juga menghambat konversi tiroksin menjadi triyodotironin. Obat penyekat adrenoseptor- ß terutama nonkardioselektif selain memblok reseptor- ß1 juga memblok adrenoseptor- ß2 pada otot polos bronkus sehingga dapat menimbulkan bronkospasme pada penderita asma bronkial. Meskipun aksi ß -blockers yang bersifat kardioselektif pada reseptor- ß2 kurang kuat tetapi resiko bronkospasme tetap ada pada penderita yang sentitif. Oleh sebab itu penderita hipertensi yang mempunyai riwayat asma bronkial sebaiknya tidak diberi obat itu. Blokade adrenoseptor- ß1 pada jantung menekan pembentukan dan konduksi impuls untuk kontraksi jantung dan berakibat turunnya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Pada penderita AV-block (blokade atrioventrikuler) ß -blockers dapat mengakibatkan cardiac arrest. Blokade reseptor- ß menurunkan eksitabilitas dan kontraktilitas otot jantung yang pada pasien dengan kelainan otot jantung berakibat terhambatnya stimulasi agonis endogen pada jantung sehingga dapat berakibat kontraksi jantung menjadi decompensata. Pada penggunaan obat ß -blockers yang lama jika dihentikan tiba-tiba dapat terjadi peningkatan denyut jantung secara drastis sebagai akibat dari timbulnya up regulation reseptor- ß 1 yang manifestasinya dapat muncul sebagai naiknya tekanan darah secara mendadak atau drastis (sebagai krisis hipertensi), atau serangan angina. PARASYMPATHOMIMETICS Cholinergic Drugs a. Obat Parasimpatomimetik Reseptor yang berperan dalam transmisi impuls sistem saraf parasimpatis ialah reseptor muskarinik (r-M) yang dapat dibagi dalam 3 tipe r-M yaitu r-M1, -M2 dan M3. Reseptor-M1 terdapat pada serabut saraf di dalam otak, serabut postganglionik parasimpatis dan pleksus mienterikus (termasuk di dalamnya sel ECL atau enterochromafin like cell dalam mukosa lambung). Reseptor-M2 terdapat pada sel nodus, otot jantung dan sel otot polos. Reseptor-M3 terdapat pada otot polos dinding pembuluh darah, sel endotel dan kelenjar eksokrin. Stimulasi r-M meningkatkan IP3 (inositol-1,4,5-triphosphate) dan DAG (diaglycerol) intraseluler, pembukaan K+-channels dan inhibisi adenylate cyclase. Stimulasi r-M berakibat aktivasi guanilat siklase sehingga kadar cGMP (cyclic guanosine monophosphate) sebagai second messenger naik dan hal ini berakibat penurunan sekuestrasi Ca2+ sehingga kadar Ca2+ intraseluler naik. Stimulasi r-M pada otot polos menimbulkan kontraksi, pada kelenjar eksokrin meningkatkan sekresi dan pada sel ECL memacu pelepasan histamin yang lalu menstimulasi r-H2 pada sel parietal sehingga sekresi H+ naik. ACh yang dilepaskan oleh ujung saraf parasimpatis pada waktu terstimulas dapat langsung menstimulasi r-M (pada sel efektor) atau dapat dihidrolisis oleh AChE menjadi kolin dan asetat untuk terminasi efeknya. Obat parasimpatomimetik yang beraksi langsung (langsung menstimulasi r-M) atau beraksi tidak langsung (stimulasi r-M secara tidak langsung) dengan menghambat AChE. Hambatan pada AChE berakibat akumulasi ACh di dalam celah sinaptik r-M terstimulasi. Oleh karena ACh merupakan transmitor yang secara fisiologis memacu reseptor kolinergik baik muskarinik (r-M) maupun nikotinik (r-N) maka obat parasimpatomimetik yang beraksi tidak langsung, terjadi akumulasi ACh sehingga timbul efek muskarinik dan nikotinik. (1) Obat Parasimpatomimetik Beraksi Langsung Obat yang langsung memacu r-M terdiri atas 2 golongan yaitu ester kolin dan alkaloida. Ester kolin umumnya sukar larut di dalam lemak sehingga sukar diabsorpsi dan sukar mencapai sistem saraf pusat. Ester kolin mudah dihidrolisis oleh enzim dalam saluran cerna sehingga tidak efektif jika diberikan secara oral. Kecepatan hidrolisis obat di dalam golongan ini tidak sama, ada yang cepat dihirolisis ada yang lebih tahan sehingga dapat lebih lama berada di dalam tubuh. ACh cepat dihidrolisis sehingga pada injeksi intravena (dosis besar sekalipun) hanya dapat berefek selama 5-20 detik. Oleh karena itu ACh tidak punya arti terapi. Methacholine (acetyl-ßmethylcholine) yang lebih lambat dihidrolisis oleh AChE punya efek lebih lama. Ester kolin asam karbamat carbachol (carbamoylcholine) dan bethanechol (carbamoyl-ßmethylcholine) lebih tahan lagi dari hidrolisis. Efek pada mata. Pada mata obat parasimpatomimetik memacu r-M pada iris (serabut otot sirkuler berkontraksi, timbul miosis), kanal Schlemn terbuka. Otot siliare berkontraksi, penggantung lensa kendur dan lensa mata bertambah cembung. Dengan demikian dapat timbul penglihatan kabur, aliran humor aqueous dari camera occuli anterior ke vena melalui kanal Schlemm lebih lancar dan tekanan dalam bola mata turun. Efek ini dipakai dalam terapi narrow angle glaucoma. Pada sistem kardiovaskuler stimulasi r-M menurunkan tahanan vaskular periferi. Obat muskarinik menyebabkan sel endotel melepas EDRF (endothelium derived relaxing factor) yang berefek relaksasi otot polos dinding pembuluh darah. Obat muskarinik menimbulkan perubahan denyut jantung yang semula bradikardia Vagal kemudian menjadi takikardia. Hal ini timbul karena efek muskarinik pada jantung menurunkan frekuensi dan kekuatan kontraksi, tekanan darah turun dan diikuti takikardia reflektoris. Stimulasi r-M pada jantung berakibat (1) aliran K+ pada sel otot atrium, sel nodus SA dan AV naik, (2) aliran Ca2+ otot jantung turun dan (3) aliran ion akibat hiperpolarisaasi turun. Semua itu menghambat pembentukan impuls pada sel nodus (pace maker). Karena inervasi muskarinik pada ventrikel jauh lebih sedikit dibanding atrium maka efek muskarinik pada atrium lebih menonjol. Pada saluran nafas, stimulasi r-M menimbulkan kontraksi otot polos bronkus sehingga timbul bronkokonstriksi dan pada kelenjar eksokrin trakeobronkial terjadi peningkatan sekresi. Akibatnya timbul sesak nafas. Stimulasi r-M pada kelenjar dan otot polos saluran cerna berakibat kenaikan aktivitas motorik dan sekretorik sehingga timbul hiperperistaltik, hipersalivasi, hipersekresi asam lambung dan enzim pankreas meskipun efeknya tidak sekuat pada kelenjar ludah. Pada saluran kemih stimulasi r-M berakibat kontraksi otot dinding kandung kemih dan relaksasi otot sfingternya. Pada sistem saraf pusat r-M mempunyai peran penting dalam pengaturan sistem gerak. Pada parkinsonisme terjadi dominasi relatif saraf kolinergik akibat dari defisiensi dopamin pada ganglia basales. Oleh karena itu terapi dapat dilakukan dengan obat antimuskarinik (benztropin) untuk mengurangi dominasi relatif saraf kolinergik atau dengan pemberian dopamin untuk menutup defisiensi dopamin itu. (2) Obat Parasimpatomimetik Beraksi Tidak Langsung Obat parasimpatomimetik yang beraksi secara tidak langsung menghambat AChE, hidrolisis ACh terhambat, timbul akumulasi ACh yang menstimulasi r-M dan r-N dan timbul efek muskarinik dan efek nikotinik. Ada 2 macam penghambat AChE, yang bersifat reversible dan irreversible. Penghambat AChE yang bersifat reversible misalnya golongan karbamat (edrofonium fisostigmin, piridostigmin, prostigmin dan propoxur) sedangkan yang bersifat irreversible misalnya racun golongan fosfat organis berupa insektisida (paration, malation dan tetraetilpirofosfat) dan gas perang (tabun, soman dan sarin). Umumnya karbamat sukar diabsorpsi tetapi fisostigmin mudah diabsorpsi pada pemberian secara topikal. Racun golongan fosfat organis mudah diabsorpsi melalui mukosa konjungtiva, paru dan usus bahkan beberapa di zat mudah diabsorpsi melalui kulit sehingga mudah menimbulkan keracunan pada manusia. Beberapa jenis racun serangga golongan fosfat organis umumnya cepat dimetabolisme oleh mamalia dan burung sehingga toksisitasnya terhadap kedua organisme itu lebih kecil. Selain itu zat penghambat AChE umumnya mudah larut dalam lemak sehingga mudah sampai ke dalam otak. Gejala keracunan penghambat AChE ini antara lain kejang, koma dan kelumpuhan pernafasan. Efek bahan ini pada organ lainnya mirip efek parasimpatomimetik yang beraksi langsung ditambah dengan stimulasi r-N pada ganglion otonom dan motor end plate. (3) Kegunaan Obat Parasimpatomimetik Di dalam klinik beberapa obat parasimpatomimetik digunakan dalam terapi beberapa penyakit dan gangguan kesehatan seperi glaukoma, gangguan motilitas saluran cerna, myasthenia gravis, dan retensio urin fungsional, . Pada narrow angel glaucoma obat parasimpatomimetik berefek kontraksi otot siliare dan iris (pars sirkularis iridis) sehingga ruang intertrabeculae yang membentuk kanal Schelmn melebar dan aliran humor aqueous lebih lancar, tekanan intraokuler turun. Biasanya, diberikan metakolin 2%, karbakol 3% atau pilokarpin 4% tetes mata. Gangguan gerak saluran cerna dan urin dapat diterapi dengan obat parasimpatomimetik jika gangguan itu tidak disertai obstruksi dengan menaikkan tonus dan kontraksi otot polos saluran itu. Untuk ganguan saluran cerna digunakan betanekol 10-15 mg 3-4 kali sehari peroral dan pada retensio urin neurogenik betanekol diberikan secara suntikan subkutan 5 mg, kalau perlu dapat diulangi sesudah 30 menit. Dapat juga diberikan neostigmin subkutan dosis 0,5-1 mg. Pada myastenia gravis (penyakit autoimun dengan ciri adanya gangguan aktivasi r-N pada motor end plate) timbul kelemahan otot skelet terutama daerah muka, leher dan ekstremitas. Gejala penyakit meliputi diplopia (penglihatan kembar, kabur), ptosis (palpebra jatuh), sukar menelan atau bicara, kelemahan otot lengan dan tungkai. Obat yang diberikan biasanya dari golongan penghambat AChE seperti edrofonium injeksi 8 mg terbagi dalam 2 dosis 3 dan 5 mg dengan interval 45 detik, neostigmin oral 7,5 mg atau piridostigmin 30 mg. (4) Toksisitas Obat Parasimpatomimetik Manifestasi keracunan obat parasimpatomimetik dapat tampak sebagai stimulasi r-M saja atau stimulasi r-M dan r-N. Keracunan obat direct acting parasympathomimetics (misalnya pilokarpin, muskarin) timbul gejala mual, muntah, diare, hipersalivasi, banyak berkeringat, sesak nafas dan gangguan penglihatan sebagai akibat stimulasi r-M. Keracunan obat atau racun indirect acting parasympathomimetics (penghambat AChE) timbul gejala sebagai akibat dari efek muskarinik (stimulasi r-M : miosis, hipersalivasi, berkeringat banyak, sesak nafas, muntah dan diare) dan efek nikotinik (stimulasi r-N sentral maupun perifer : misalnya fasikulasi diikuti paralisis otot skelet). (5) AChE dan Reaktivator Cholinesterase Ada 2 macam AChE yaitu AChE di dalam celah sinaptik sebagai true cholinesterase (spesifik untuk ACh) dan pseudokoliesterase atau butyrylcholinesterase (di dalam darah, plasma dan eritrosit), hati, sel glia dan jaringan lain. True cholinesterase bersifat spesifik untuk ACh sedangkan pseudocholinesterase tidak spesifik, dapat menghidrolisis ACh dan estercholine lainnya. Inhibisi AChE oleh karbamat (obat maupun racun) terjadi secara reversible artinya ikatan obat atau racun karbamat dengan enzim itu tidak stabil dan dapat balik. Ikatan AChE dengan racun fosfat organis lebih stabil sehingga berakibat regenerasi enzim itu sangat lambat atau nyaris tidak terjadi. Efek penghambatan AChE yang ditimbulkan oleh fosfat organis tidak bersifat kumulatif tetapi hidrolisis ikatan fosfat organis dengan AChE dapat dipercepat (reaktivasi AChE) dengan reaktivator AChE yaitu senyawa oksim (misalnya pralidoksim). PARASYMPATHOLYTICS Anticholinergic Drugs b. Obat Parasimpatolitik atau Antimuskarinik Obat parasimpatolitik atau obat antikolinergik beraksi dengan memblok r-M sehingga disebut sebagai obat antimuskarinik. Dilihat dari sumbernya obat antimuskarinik dapat dikelompokkan ke dalam golongan alkaloida alami (atropin, hyoscin dan skopolamin) dan obat antimuskarinik atau atropinik sintetik dan semisintetik. (1) Atropin dan Obat Antimuskarinik Alami Atropin merupakan campuran dari isomer d- dan l-hyosciamine yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan Atropa belladona. Isomer-l mempunyai potensi 100 kali lebih kuat daripada isomer-d. Hyoscine, alkaloida tumbuhan Hyosciamus niger dan skopolamin dari tanaman Scopolia carniolisa berefek mirip atropin. Atropin dan skopolamin merupakan antagonis kompetitif ACh pada r-M. Oleh karena itu obat parasimpatolitik juga disebut obat antimuskarinik atau obat atropinik. Reseptor muskarinik terdapat pada otot polos beberapa organ seperti iris, otot siliare, saluran cerna, bronkus, jantung, kandung kemih, kelenjar ekskrin dan sebagainya. Ternyata r-M pada bronkus, usus dan kelenjar eksokrin tidak sama. Berdasarkan respon terhadap pirenzepin (antagonis spesifik terhadap reseptor muskarinik pada sel ECL di dalam mukosa lambung) para ahli sepakat bahwa reseptor muskarinik yang menunjukkan afinitas besar pada pirenzepin dikenal sebagai reseptor M1 dan yang kecil afinitasnya merupakan r-M2. Atropin memblok r-M1, -M2 dan -M3 secara tidak selektif, sering minimbulkan banyak efek samping. Skopolamin juga nonselective, efeknya lebih kuat pada iris, otot siliare, kelenjar bronkus, ludah dan kelenjar keringat sedangkan atropin lebih kuat efeknya pada jantung, bronkus dan usus. Atropin pada dosis terapi tidak menekan sistem saraf pusat tetapi skopolamin lebih menonjol efeknya pada sistem saraf pusat dan skopolamin lebih cocok untuk medikasi praanestesi dengan eter. Pada mata, obat atropinik menghambat kontraksi otot sfingter pupil dan otot siliare sehingga timbul midriasis dan sikloplegi. Efek ini berbeda dari midriasis yang ditimbulkan oleh obat simpatomimetik karena obat simpatomimetik menimbulkan midriasis melalui kontraksi pars radier iridis sehingga tidak disertai sikloplegia. Obat atropinik juga menghambat sekresi air mata (lakrima) via blokade r-M pada kelenjar lakrima sehingga mata terasa pedih (sandy sensation). Pada jantung obat atropinik melambatkan denyut jantung akibat dari efek stimulasi Vagus sentral. Pada dosis besar timbul takikardi karena blokade r-M pada sel nodus. Pada dosis terapi obat atropinik tidak mempengaruhi tekanan darah tetapi dapat melawan turunnya tekanan darah akibat ester kolin. Obat atropinik juga dapat menyebabkan vasodilatasi pada wajah. Pada saluran cerna dan saluran nafas, r-M heterogen. Reseptor-M1 terdapat pada sel ECL (enterochromafin like) dan sel-sel pleksus mienterikus sedangkan r-M3 ada pada kelenjar eksokrin, termasuk sel parietal. Pada saluran nafas r-M ialah dari tipeM2 yaitu pada otot polos bronkus dan tipe-M3 pada kelenjar eksokrinnya. Atropin yang tidak selektif mempunyai efek antispasmodik dan mengurangi sekresi kelenjar ludah serta lambung. Berkurangnya sekresi ludah berakibat mulut menjadi kering, sukar menelan dan berbicara. Efek atropin pada sekresi asam lambung (sekresi lambung turun) hanya terjadi pada dosis besar. Oleh karena itu atropin tidak aman jika digunakan untuk terapi ulkus peptik. Pada saluran nafas, atropin menghambat sekresi kelenjar mukus hidung, mulut, faring dan bronkus sehingga obat atropinik dapat digunakan untuk medikasi praanestesi terutama pada anestesi dengan eter. Pada kelenjar keringat, atropin menghambat sekresi keringat. Sebenarnya kelenjar diinervasi oleh sistem saraf simpatis tetapi berisi serabut kolinergik. Karena kelenjar keringat berfungsi sebagai alat pembuang panas dalam pengaturan suhu badan, hambata aktivitas kelenjar ini oleh atropin akan menaikkan suhu badan yang pada bayi yang demam hal ini dapat membahayakan jiwanya. (2) Obat Atropinik Sintetis Obat atropinik ialah obat antimuskarinik sintetik yang efeknya mirip atropin. Obat antimuskarinik golongan alkaloida umumnya tidak selektif pada r-M sehingga pada penggunaannya dapat timbul efek samping yang mengganggu. Beberapa obat antimuskarinik sintetik menunjukkan beberapa kelebihan karena lebih selektif pada subtipe r-M tertentu. Tropicanide misalnya, efeknya pada iris lebih cepat baik onset maupun durasinya daripada homatropin. Sebagai midriatikum tropicanide lebih menguntungkan. Obat lain seperti deksiklomin-HCl, oksifensiklinin dan tifenamil mempunyai efek spasmolitik lebih kuat pada saluran cerna, saluran empedu, ureter dan uterus tanpa atau sedikit sekali efeknya pada kelenjar saluran cerna, ludah dan kelenjar keringat. Karena selektivitas relatifnya, masing-masing obat sintetik mirip atropin mempunyai kegunaan khusus dalam terapi. Pirenzepin yang lebih selektif memblok r-M1 pada sel ECL berefek menurunkan pelepasan histamin oleh sel itu sehingga stimulasi reseptor-H2 pada sel parietal turun dan sekresi HCl juga turun. Pada saluran nafas atropin pernah dipakai dalam terapi asma bronkial tetapi karena efek bronkodilatasi baru timbul pada dosis besar yang disertai dengan efek samping kering mulut, sikloplegia, takikardia dan sebagainya, sekarang obat ini tidak digunakan lagi. Akhir-akhir ini dikenalkan ipratropium yang selektif pada r-M2 pada otot polos bronkus sehingga dapat dipakai sebagai bronkodilator dalam terapi COPD (chronic Obstructive Pulmonary Disesase). (3) Kegunaan Obat Antimuskarinik Di dalam klinik obat atropinik umumnya digunakan dalam terapi gangguan saluran cerna misalnya hipermotilitas saluran cerna, diarea dan ulkus peptik, diagnosis dan terapi gangguan atau penyakit pada mata (sebagai midriatikum dan miotikum), gangguan pada sistem saraf pusat (misalnya motion sickness dan penyakit Parkinson), sebagai medikasi praanestesi, antidotum keracunan kolinomimetik dan hiperhidrosis. Pada gangguan saluran cerna, obat antimuskarinik yang selektif pada r-M1 (misalnya pirenzepin) dahulu sering digunakan untuk terapi ulkus peptik tetapi sejak dikenalkannya obat antagonis reseptor-H2 (simetidin) dalam terapi penyakit itu sudah tidak dianjurkan lagi. Dalam sejarahnya, untuk terapi ulkus peptik pernah digunakan obat antimuskarinik (glikopirolat) dosis besar tetapi pada dosis itu sering timbul penglihatan kabur (blurred vision), kering mulut dan gangguan kencing. Selain itu, obat antimuskarinik terutama yang nonselektif juga mempunyai efek memperpanjang waktu pengosongan lambung sehingga juga memperpanjang kontak ulkus dengan asam lambung. Oleh karena itu obat antimuskarinik terutama yang nonselektif tidak lagi boleh digunakan (kontraindikasi) untuk ulkus lambung. Jika obat antimuskarinik tetap digunakan, harus dipilih yang selektif pada r-M1 (misalnya pirenzepin) dan diberikan bersama obat antagonis-H2. Pada hipermotilitas saluran cerna (misalnya pada batu empedu) dan obat antimuskarinik diberikan bersama obat analgesik opiat. Pada hipersekresi kelenjar saluran nafas akibat dari iritasi obat anestetik umum (misalnya eter), obat antimuskarinik menghambat sekresi. Oleh karena itu obat antimuskarinik sering digunakan dalam medikasi praanestesi. Dalam terapi asma bronkial orang telah lama mengenal rokok kecubung (tumbuhan bernama Datura stramonium) yang dapat meredakan sesak nafas meskipun keamanannya masih dipertanyakan. Saat ini ada ipratropium (suatu obat antimuskarinik sintetik yang selektif pada reseptor-M2) diberikan perinhalasi sebagai aerosol dapat menimbulkan bronkodilatasi pada COPD dengan sedikit saja menimbulkan efek samping. Pada penyakit Parkinson dan parkinsonism terjadi gangguan dominasi saraf kolinergik atas saraf dopaminergik di ganglia basales (yang berperan dalam pengaturan tonus dan gerak otot skelet), ada hipofungsi relatif saraf dopaminergik. Oleh karena itu dapat diberikan terapi untuk mengurangi dominasi saraf kolinergik (dengan benztropin yang memblok r-M3) atau levodopa untuk menstimulasi dopaminergik. Pada gangguan vestibuler misalnya motion sickness (mabuk gerak) obat antimuskarinik dapat menghilangkan gejala. Skopolamin efektif untuk mengurangi mabuk laut dan dapat diberikan secara oral atau injeksi. Sediaan obat muskarinik topikal atau transdermal yang memberikan kadar obat itu dalam darah secara tetap selama 24 - 48 jam dapat menimbulkan efek samping kering mulut dan mengantuk. Beberapa obat antihistamin yang mempunyai efek antimuskarinik menonjol juga sering dipakai dalam terapi gangguan vestibular itu. Di dalam ophthalmology pemeriksaan anomali refraktif pada penderita yang tidak kooperatif atau pada penderita anak seringkali mengalami kesulitan karena reflek cahaya. Untuk mempermudah pemeriksaan bagian dalam bola mata perlu dilakukan pelebaran pupil dengan obat antimuskarinik yang berefek midriasis dan sikloplegia. Homatropin memblok r-M pada otot polos pars sirkuler iridis dan menimbulkan midriasis. Blokade r-M juga terjadi pada corpus siliare sehingga timbul sikloplegia sehingga terjadi gangguan penglihatan blurred vision. Oleh karena itu jika yang diperlukan midriasis saja (tanpa efek sikloplegia) maka obat yang dianjurkan ialah midriatikum dari golongan simpatomimetika (misalnya fenilefrin). Kegunaan lain obat antimuskarinik dalam optalmologi ialah untuk mencegah sinekia pada iritis atau uveitis. Dalam kasus ini obat antimuskarinik berefek midriasis sehingga tepi bebas iris tertarik ke pangkalnya dan iris terbebas dari perlekatannya dengan lensa (sinekia posterior) atau perlekatannya dengan kornea (pada sinekia anterior). Pada keracunan obat parasimpatomimetik beraksi langsung seperti muskarin dan pilokarpin, timbul gejala yang berkaitan dengan stimulasi r-M seperti hipersekresi kelenjar eksokrin (hipersalivasi, lakrimasi, hipersekresi kelenjar saluran nafas dan saluran cerna), bronkokonstriksi, hipermotilitas saluran cerna dan kontraksi muskulus detrusor vesicae. Terapi keracunan ini dengan obat antimuskarinik seperti atropin untuk memblok r-M pada organ itu. Pada keracunan obat parasimpatomimetik dengan aksi tidak lansung misalnya racun serangga golongan karbamat dan fosfatorganis, gejala yang timbul berkaitan dengan stimulasi r-M dan r-N sehingga terapinya tidak cukup hanya diberi obat antimuskarinik saja. Pada keracunan senyawa karbamat berupa obat (fisostigmin, neostigmin atau edrofonium) atau racun (misalnya propoxur), ikatan antara senyawa karbamat dengan AChE bersifat reversible sehingga obat antimuskarinik seperti atropin saja sudah cukup efektif untuk mengurangi efek muskarinik racun itu. Pada keracunan fosfstorganis (paration, malation, dichlorvos, mevinphos, tabun, soman dan sarin) yang mengikat AChE secara irreversible, pemberian atropin saja tidak cukup sehingga perlu disertai pemberian reaktivator kolinesterase berupa obat dari golongan oksim misalnya pralidoksim (PAM) dan diasetilmonooksim (DAM). Obat antimuskarinik juga bermanfaat untuk terapi hiperhidrosis dan diberikan berupa bedak. Gejala hiperhidrosis berupa berkeringat banyak pada telapak tangan dan kaki sebagai akibat dari banyaknya kelenjar keringat pada kedua tempat itu yang normalnya sedikit saja. e. Obat Ganglionic Obat ganglionik ialah obat yang beraksi pada ganglion otonom baik simpatis maupun parasimpatis, baik memacu atau menghambat. Secara fisiologis transmisi ganglionik terjadi jika r-N terstimulasi oleh ACh, transmitor yang dilepaskan oleh serabut saraf preganglionik. Reseptor ini juga dapat terstimulasi oleh agonis eksogen misalnya nikotin dan obat nikotinik lain. Sebaliknya, transmisi ganglionik dapat terhambat oleh blokade r-N pada ganglion, atau oleh terhambatnya pelepasan transmitor (ACh) oleh serabut saraf preganglionik. Obat yang menstimulasi r-N pada ganglion (langsung atau tidak langsung) disebut ganglionic stimulants, dan yang berefek memblok r-N pada ganglion disebut ganglionic blockers. Selain terdapat pada ganglion otonom, r-N juga terdapat pada motor end plate. Secara fungsional r-N dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu r-N pada motor end plate, ganglion dan sistem saraf pusat. Hampir semua agonis r-N berefek pada ganglion dan motor end plate tetapi beberapa senyawa obat seperti nikotin, lobelin dimethylphenyl-piperazinum (DMPP) lebih banyak berefek pada ganglia. Ganglionic stimulants seperti nikotin, lobelin, DMPP tidak digunakan dalam terapi meskipun pada dekade tahun 70an lobelin pernah digunakan dalam terapi sebagai stimulan sistem saraf pusat. Nikotin, ekstrak tanaman Nicotina tobacum menstimulasi sistem saraf pusat tetapi toleransi dapat berkembang jika nikotin masuk tubuh secara kronis (misalnya pada perokok). Efek menahun nikotin pada sistem saraf pusat itu berakibat ketagihan sehingga sukar bagi perokok untuk berhenti dari merokok. Keluhan pada kelenjar respirasi, lesu, lunglai dan sukar berkonsentrasi terkait dengan penghentian stimulasi nikotinik. Ganglionic blockers bekerja dengan cara menghambat aksi ACh pada r-N pada ganglion otonomik baik simpatis maupun parasimpatis. Obat ini juga memblok r-N pada motor end plate dan blokade tersebut dapat tanpa atau disertai dengan depolarisasi (nondepolarizing atau depolarizing blokade). Nikotin, karbamilkolin dan bahkan ACh sendiri jika diberikan bersama dengan obat penghambat AChE mulamula terjadi stimulasi tetapi segera diikuti dengan blokade r-N disertai dengan timbulnya depolarisasi yang persisten. Obat lain memblok r-N tanpa disertai timbulnya depolarisasi. Beberapa ganglionic blockers seperti tetraetilamonium (TEA), heksametonium dan trimetafan tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga tidak berpengaruh pada otak. Mekamilamin dapat menembus sawar darah otak, menimbulkan efek sedasi, tremor, gerakan chorea dan gangguan mental. Pada mata ganglionic blockers menyebabkan sikloplegia dan midriasis sehingga pandangan menjadi kabur, karena tidak dapat berakomodasi. Ini terjadi sebagai akibat dari blokade ganglion saraf parasimpatis yang memelihara otot siliare dan iris. Pada sistem kardiovaskular obat ini menyebabkan tekanan darah turun, hipotensi ortostatik karena baroreflek (reflek terhadap perubahan posisi bagian tubuh) terhambat sebagai akibat dari blokade ganglion. Pada jantung terjadi takikardia reflektoris akibat dari turunnya tekanan darah. Pada sistem genito-urinaria yang fungsinya banyak diatur oleh sistem saraf otonom blokade ganglion dapat menimbulkan gangguan fungsi yaitu retensio urin, disuria, gangguan ereksi dan ejakulasi. Obat ganglionic blockers juga dapat mengakibatkan timbulnya gangguan berkeringat sehingga dapat timbul hiperthermia. Meskipun demikian gangguan itu dapat diatasi dengan reaksi kompensasi (vasodilatasi). Alhamdulillah . . selesai juga editanku ini. silakan kerjakan soal-soal di bawah ini dan cari jawabannya. . Enzim berikut ini merupakan tempat beraksinya (site of action) obat untuk radang (antiinflamasi) : adenylate cyclase. fosfodiesterase. siklooksigenase. sitokrom oksidase. lipooksigenase. Enzim ini terlibat dalam timbulnya variasi efek obat meskipun enzim itu bukan merupakan sasaran aksi obat : fosfodiesterase. dihydrofolate reducase. siklooksigenase. cytchrome P450s. Na+K+-ATPase. Perbedaan antara agonis dan antagonis kompetitif ialah pada kemampuannya menimbulkan efek setelah berikatan dengan reseptor. Kemampuan itu disebut : afinitas. aktivitas intrinsik. agonis parsial. xenobiotics. efikasi (efficacy) Takikardia, bronkodilatasi dan vasokonstriksi kulit dan mukosa dapat diakibatkan oleh pemberian obat berikut dengan dosis yang cukup : isoprenalin. adrenalin. dopamin. noradrenalin. fenilefrin. Berikut ini merupakan unit terkecil dari sel yang dapat dioperasikan oleh (terkait dengan) reseptor : membran sel. pori berisi air pada membran sel. ion channels. glomerulus. retikulum endoplasmik. Reseptor berikut ini merupakan reseptor metabotropik : r-beta r-N. r-BDZ. r-glycin. r-GABA. Jika reseptor nikotinik terstimulasi oleh asetilkolin (endogen) atau obat golongan ester kolin (eksogen) yang sesuai, akan timbul proses berikut ini : ion channels untuk klorida terbuka lebih lebar. transport aktif ion kalsium keluar sel terstimulasi. enzim guanylate cyclase terhambat. terbukanya ion channels untuk natrium. terstimulasinya fosforilasi oksidatif intraselular. Berikut ini merupakan reseptor yang terkait dengan terstimulasinya enzim adenylate cyclase sehingga sintesis cAMP meningkat : reseptor mukarinik. reseptor nikotinik. reseptor-beta2. reseptor BDZ. reseptor alfa. Agonis ialah zat, senyawa atau obat yang cara kerja dan efeknya sebagai berikut : memblok reseptor sehingga agonis endogen tidak dapat beraksi. menstimulasi reseptor yang fisiologis terpacu oleh zat endogen. menghambat enzim tertentu yang penting dalam sintesis transmitor. menstimulasi ion channels yang terkait dengan proses inhibisi. memblok enzim yang berperan dalam sintesis protein sel. Reseptor noradrenergik berikut ini bersifat eksitatif pada organ atau jaringan yang terkait (di dalam kurung) : r-alfa (pada saluran cerna). r-alfa (pada pembuluh darah). r-beta (pada arteria koronaria). r-beta (pada uterus). r-beta (pada bronkus). Dalam menimbulkan efek umumnya obat yang beraksi pada komponen sel berikut ini baik yang berefek menstimulasi atau menghambat : water filled poreous. retikulum endoplasma. reseptor. chromosom. nukleus. Naiknya tekanan darah akibat stimulasi jantung dan vasokonstriksi tanpa ada efek apapun pada bronkus dapat diakibatkan oleh obat berikut : adrenalin. isoprenalin. noradrenalin. fenilpropanolamin. dopamin. Jika kita menghendaki bronkodilatasi saja dan tidak menghendaki efek vasokonstriksi dan stimulasi jantung, pasien kita berikan : eferin salbutamol. noradrenalin. isoprenalin. adrenalin. Jika kita menghendaki bronkodilatasi saja dan tidak menghendaki efek vasokonstriksi dan stimulasi jantung, pasien kita berikan : eferin salbutamol. noradrenalin. isoprenalin. adrenalin. Hal berikut ini merupakan efek samping obat antihipertensi obat pemblok reseptor alfa (prazosin) : bronkokonstriksi. sekersi insulin berkuarng. takikardia. depresi mental. cardiac arrest. Penghentian tiba-tiba pemberian obat pemblok reseptor beta (misalnya propranolol) yang sudah digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan : krisis hipertensi. diabetes melitus memburuk. biotransformasi. sekresi tubuler. filtrasi glomeruler. Obat berikut beraksi dengan memblok reseptor beta dan alfa sekaligus : propranolol. acebutolol. prazosin. alprenolol. labetolol. Selektivitas pada reseptor untuk suatu obat mempunyai arti penting terkait dengan : metabolisme obat. efek obat. waktu paro (t1/2) obat. ekskresi obat. dosis obat. Polimorfisme dalam hal berikut ini mengakibatkan timbulnya perbedaan aksi dan efek obat antara satu orang dengan orang lain : gen penyandi sintesis reseptor. gen penyandi sintesis enzim. gen penyandi sintesis integrin. A dan B betul. A, B, C dan D tidak ada yang benar. Ikhwal berikut ini menunjukkan adanya pengaruh faktor genetik pada efek obat melalui variasi keberadaan enzim pemetabolisme obat : hemolisis pada defisiensi G6PD. nekrosis hepar akibat parasetamol. asetilator cepat dan lambat. jawaban A, B dan C benar. jawaban A dan C benar. Adanya keragaman efek warfarin ditimbulkan oleh polimorfisme gen penyandi sintesis enzim berikut ini : cyclooxigenase. cytochrom oxidase. cytochrom CYP2C9. cytochrom CYP2D6. acetylcholinesterase. Terjadinya neuropatia pada penderita yang diberi terapi INH diakibatkan oleh ketersediaan enzim pemetabolisme di hepar yang berperan dalam proses : hidroksilasi obat. hidrolisis obat. conjugasi glucuronat. conjugasi glisin. asetilasi obat.