II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila Ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus Linne) merupakan salah satu jenis ikan budidaya yang penting dan telah menjadi komoditas ekspor. Sejauh ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor ikan nila GIFT terbesar (sekitar 10 juta ton/tahun) (Suria 2003, diacu dalam Nur 2004) disamping Taiwan, Costa Rica, Filipina dan Thailand. Oleh karenanya budidaya ikan tersebut terus berkembang dan produksinya selalu ditingkatkan. Ikan nila GIFT (Genetic Improvement of Farmed Tilapias) merupakan hasil persilangan beberapa varietas nila yang ada di beberapa negara di dunia (Beniga dan Circa 1997). Menurut Eknath et al. (1993), ikan nila GIFT merupakan varietas baru dari jenis ikan nila yang dikembangkan oleh ICLARM di Filipina. Ikan ini merupakan hasil seleksi famili dari 25 pasangan terbaik yang dilakukan oleh GIFT Project di Filipina dan merupakan hasil perkawinan 4 jenis strain nila dari Afrika dan 4 jenis strain nila dari Asia. Ikan nila GIFT tersebut diintroduksi dari Filipina oleh Balitkanwar pada tahun 1995 dan 1997 (Gupta dan Acosta 2004, diacu dalam Madinawati 2005). Klasifikasi ikan nila GIFT adalah : Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus (Suyanto 1993, diacu dalam Nur 2004). 5 Jantan Betina Gambar 1 Morfologi ikan nila GIFT Nila GIFT dapat dibedakan dari nila lokal dengan melihat ketebalan tubuhnya, yaitu tubuh nila GIFT memanjang dengan perbandingan panjang dan tinggi 2 : 1, sementara perbandingan tinggi dan lebar tubuh 4 : 1. Ikan nila lokal tubuhnya lebih memanjang dan tipis karena perbandingan panjang dan tinggi 2,5 : 1 dan perbandingan tinggi dan lebar 3 : 1 (Arie 2001). Selanjutnya dinyatakan, bahwa pada bagian bawah tutup insang ikan nila GIFT berwarna putih sedangkan ikan nila lokal berwarna putih agak kehitaman, bahkan ada yang kuning. Tubuh ikan nila pipih, berwana kelabu kehijauan dengan garis melintang pada kedua sisinya dan pada sirip punggung dan sirip ekor. Panjang kepala ikan nila lebih pendek daripada ikan mujair sedangkan tinggi badan sebaliknya (Mc Bay 1961; Schmittou dan Dendy 1961; Soejanto 1971, diacu dalam Brojo 1992). Ciri-ciri morfologi ikan nila adalah: sirip punggung ikan nila XV-XVI. 1213, sirip duburnya III, 10-15, jumlah sisik pada linea lateral ada 31-33, sisik di atas linea lateral ada 4-5 sedangkan sisik pipinya ada 2-3, panjang kepala 0,28 – 0,33 kali panjang baku, tinggi badan 0,40 – 0,45 kali panjang baku, panjang rahang bawah 0,29 – 0,33 kali panjang baku (Beckman 1962, diacu dalam Brojo 1992). Jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama bagian bawah ikan nila adalah 22-23 (Selam 1989, diacu dalam Brojo 1992). 2.2 Logam Berat Nikel Nikel (Ni) merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIIB yang berwarna putih perak mengkilat, keras, mudah dibentuk dan mudah ditempa. Di alam, nikel terdapat dalam bentuk senyawa, misalnya pentlandite (FeS.NiS), nickeliferous pyrrhotite dan lain-lain. Ditemukan oleh Axel Cronstedt pada tahun 1751. Nikel mempunyai masa atom 58,6934 sma, massa jenis 8,90 gram/cm³, 6 nomor atom 28, jari-jari atom 1,24 Å, konfigurasi elektron 2 8 16 2, konduktivitas listrik 14,6 x 10⁶ ohm ¹ cm ¹, dan konduktivitas kalor 90,7 W/mK, serta dalam senyawa mempunyai bilangan oksidasi +2 dan +3. Nikel digunakan sebagai pelapis logam tahan karat, membuat aliasi logam seperti monel, nikron dan alkino, dan serbuk nikel digunakan sebagai katalis pada hidrogenasi lemak dalam pembuatan margarin (Sunardi 2006). Menurut Setiono (1990), logam nikel (Ni) larut dalam asam klorida encer dan pekat, serta asam sulfat encer membentuk hidrogen . Nikel mempunyai titik didih 1453,0 °C dan titik leleh 2732,0 °C (Anonim 2005, diacu dalam Zulkarnain et al. 2008). Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore 1991, diacu dalam Effendi 2003). Pada proses pelapukan, nikel membentuk mineral hidrolisat yang tidak larut. Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garamgaram nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida karbonat dan sulfat. Pada pH > 9 nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/L (Scoullus dan Hatzianestis 1989; Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al. 1979). Untuk melindungi kehidupan organisme akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak melebihi 0,025 mg/liter (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Untuk air minum < 0,1 mg/L (WHO 1984, diacu dalam Effendi 2003). Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Urutan toksisitas beberapa logam dari sangat rendah sampai yang sangat tinggi berturut-turut adalah Sn<Ni<Pb<Cr<Co<Cd<Zn<Cu<Ag<Hg (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Secara umum nikel di perairan merupakan unsur yang bersifat non konservatif, akan tetapi menunjukkan sifat konservatif di muara sungai (Chester 1993). Sumber utama nikel berasal dari pengikisan batuan yang ada di sungai 7 (Bryan 1976). Nikel di muara sungai menunjukkan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorbsi dari partikelpartikel yang ada di muara sungai dan proses tersuspensi. Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri, seperti : pelindung baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai, elektronik, aplikasi industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit listrik bertenaga gas, pembuat magnet kuat, pembuatan alat-alat laboratorium (nikrom), kawat lampu listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai fungsi lain (Gerberding 2005). 2.3 Toksisitas Logam Berat Toksisitas logam-logam berat yaitu melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernafasan berupa sirkulasi dan ekskresi dari insang (Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008). Keracunan Cu dapat menyebabkan kehilangan ion-ion natrium dan sodium dalam tubuh ikan, sehingga ikan menjadi lemas dan akhirnya mati (Zahner et al. 2006). Unsur Cd dalam tubuh hewan dapat menyebabkan oksidasi yang berlebihan, sehingga timbul perasaan lapar terus-menerus dan akhirnya mati (Sandrini et al. 2006). Keracunan Hg, Cu, Zn, Fe, Cd, dan Pb pada larva Haliotis rubra, dapat menyebabkan abnormalnya bentuk tubuh larva tersebut (Gorski dan Nugegoda 2006). Di pertambangan uranium yang mengandung Selenium (Se), ikan rainbow trout dan Brook trout memiliki kandungan Se tinggi dalam telurnya (8,8 – 10,5 µg/g bobot basah telur) dan terjadi kelainan pada anak ikan yaitu tulang kepala (craniofacial) dan rangka tubuh (skeletal) serta terjadi oedema (Holm et al. 2005, diacu dalam Jalius 2008). 8 Keracunan Pb dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan sebagai akibat dari gangguan penyerapan kalsium (Grosel et al. 2005). Ikan salmon yang diekspose dalam air dengan dosis 1 ppm Hg selama 30 menit akan menurunkan fertilitas spermatozoanya (Darmono 1995). Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel (Manahan 1977). Di perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk senyawa kompleks dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi (Connel dan Miller 1995). Sedikitnya terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yang keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Ni, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Jenis kedua, logam berat tidak esensial atau beracun, yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Connel dan Miller 1995). Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono 1995). Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah), yaitu merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan 9 adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+> Sn2+ > Zn2+. Menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : a) Bersifat toksik tinggi (Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn) b) Bersifat toksik sedang (Cr, Ni, dan Co) c) Bersifat tosik rendah (Mn dan Fe). Adanya logam berat di perairan berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Sutamihardja 1982) yaitu : a) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai b) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut c) Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air d) Mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu. Walaupun terjadi peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasinya dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini terkait dengan berbagai macam proses yang dialami oleh senyawa tersebut selama dalam kolom air. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total atau seston (Nanty 1999). Fungsi-fungsi perilaku secara umum akan lemah akibat adanya zatpencemar, dan ikan sering memperlihatkan tanggapan ini pertama ketika terekspos polutan (Little et al. 1993). Perubahan tingkah laku seperti gerakan vertikal terjadi karena hilangnya keseimbangan. Pada toksisitas yang tinggi membuat gerakan ikan kacau balau dan akhirnya mati. Aktifitas renang merupakan indikator sensitif akan hadirnya senyawa berracun diperairan (Rose et al. 1993). Toksisitas cadmium menyebabkan gerakan operculum yang 10 tidak beraturan dan hilangnya keseimbangan pada Tilapia mossambica (Ghatak dan Konar 1990). 2.4 Toksisitas Logam Berat Nikel Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC- 50 ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al. (1985), nikel dinyatakan sebagai logam beracun sedang untuk ikan dan hewan invertebrata ketika konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan logam yang lain. Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Toksisitas nikel (LC 50 ) terhadap Lemna minor adalah 0,45 mg/liter, Nilai LC- 50 nikel terhadap Daphnia magna adalah 19,5 mg/loter, terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar antara 1 – 100 mg/liter. Bersama-sama dengan Cu dan Zn, nikel memiliki sifat aditif (Moore 1991, diacu dalam Effendi 2003). Dampak limbah pertambangan nikel (Ni) yang mengandung Cu, nolin, dan garson dapat menyebabkan penurunan daya hidup dan depresi tingkat hormon testosteron ikan creek chub dan pearl dace. Kemampuan hidup berkurang dari 60% pada limbah yang mengandung Cu dan garson, juga terjadi penurunan bobot badan. Effluent pertambangan nikel juga banyak mengandung nikel, rubidium, strontium, lithium, selenium yang dapat berakumulasi dalam jaringan ikan (Dube et al. 2005, diacu dalam Jalius 2008). Nikel merupakan logam berat non essensial yang dapat menyebabkan toksik bagi mahluk hidup. Meski racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racun akan timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh mahluk hidup. Ketoksikan nikel pada organisme akuatik bergantung pada kesadahan, pH dan kandungan bahan organik, seperti parameter monitor lingkungan lainnya (Sanusi 2009). Pada pH < 9, nikel di perairan bersifat sebagai kation bebas (Effendi 2003). Chapman et al. (1980) melaporkan ketoksikan nikel akut itu pada Daphnia makin berkurang dengan meningkatnya kesadahaan. Kematian 11 organisme khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya kation logam berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir sehingga menyebabkan insang diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen merupakan komponen yang utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Anonim 1985). Nikel (Ni) mempunyai dampak negatif bagi kesehatan terutama jika kadarnya sudah melebihi ambang batas. Walaupun pada konsentrasi rendah, efek ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya sumber-sumber polusi lingkungan lainnya, logam berat tersebut dapat ditransfer dalam jangkuan yang sangat jauh di lingkungan (Hapsari 2008). Nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh, tetapi bila terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi dapat berbahaya untuk kesehatan manusia, yaitu : menyebabkan kanker paru-paru, kanker hidung, kanker pangkal tenggorokan dan kanker prostat, merusak fungsi ginjal, menyebabkan kehilangan keseimbangan, menyebabkan kegagalan respirasi, kelahiran cacat, menyebabkan penyakit asma dan bronkitis kronis serta merusak hati. Nikel terdapat di dalam air sebagai Ni2+ dan kadang-kadang sebagai NiCO 3 . Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,1-0,3 ppb, sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,5 – 2 ppb (Lawrence 2003). Fitoplankton mengandung 1-10 ppb nikel, alga (air tawar dan air asin) mengandung 0,2 - 84 ppb nikel, lobsters mengandung 0,14-60 ppb nikel, moluska 0,1-850 ppb, dan ikan antara 0,1 dan 11 ppb (Conard 2005). Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Di muara sungai, nikel menunjukkan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikel-partikel yang ada di muara sungai dan proses resuspensi. 12 Gerberding (2005) melaporkan bahwa dalam konsentrasi tinggi nikel di tanah berpasir merusak tanaman dan di permukaan air dapat mengurangi tingkat pertumbuhan alga. Lebih lanjut dikatakan bahwa nikel juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapi mereka biasanya mengembangkan perlawanan terhadap nikel setelah beberapa saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Beberapa faktor-faktor telah dihubungkan dengan tingkah laku abnormal pada ikan lele akibat toksisitas logam berat Ni, termasuk kerusakan saraf karena terganggunya transmisi antara sistem saraf dan berbagai lokasi-lokasi efektor, kelumpuhan dan gangguan sistem pernapasan karena kelainan fungsi enzim tubuh, dan penyalahgunaan energi yang mengakibatkan penghabisan energi (Isaac 2009). Nilai LC 50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentarasi LC 50 ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0-12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al. (1985), ketika konsentrasi nikel lebih tinggi dibandingkan logam yang lain, nikel dinyatakan sebagai logam beracun. Tingkat toleransi beberapa jenis ikan terhadap nikel tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat toksisitas nikel pada beberapa jenis ikan No Uraian 1. LC 50 -96 jam terhadap Atherinops affinis 2. Larva abalone LC 50 -48 jam 3. Abalone fase juvenil LC 50 -48 jam 4. LC 50 -96jam terhadap Clarias gariepinus 5. Daphnia hyaline LC 50 – 48 jam 6. Daphnia magna LC 50 – 48 jam Nilai 26,560 ppm Sumber Hunt et al. 2002 14,5 ppm 26,43ppm Hunt et al. 2002 Hunt et al. 2002 8,87 ppm Isaac 2009 1.9 ppm 30-150 ppb Chapman et al. 1980 Chapman et al. 1980 13 2.5 Akumulasi Logam Berat Ni pada Tubuh Ikan Nila Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002). Bahan pencemaran seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh melalui mulut, insang, dan kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan yang hidup pada media yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan mengakumulasi logam berat ke dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui permukaan kulit dan insang maupun melalui makanannya. Ikan mas dan nila dari Waduk Saguling dan Waduk Cirata mengakumulasi Hg, Cu, dan Zn dengan kadar yang cukup membahayakan. Kerang dari Pantura Semarang ditemukan mengandung logam Cd 40 kali lipat di dalam dagingnya (Anonim 2002, diacu dalam Marwati 2005). Ikan umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan diekskresikan. Logam organik tidak diekskresikan tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. logam berat dalam tubuh ikan juga dapat Selain itu, masuknya melalui rantai makanan (Mokoagouw 2000). Akumulasi logam berat dipengaruhi oleh faktor biologis dan fisik seperti musim, reproduksi, salinitas dan kedalaman air. Bioakumulasi logam berat bergantung pada zat kimia, peredarannya dan mekanisme masuknya logam interseluler kompartemen dan aspek homeostatis seluler logam (Gosling 1992, diacu dalam Jalius 2008). Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal ikan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam mengakumulasi logam berat Hg dan Cd. Tingginya kandungan logam berat tersebut disebabkan karena logam berat tersebar memiliki afinitas yang besar terhadap metallothionein pada organ tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972; Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann 1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie 1980; Ward 1982a, diacu dalam Sanusi 14 1985). Dari hasil penelitian terhadap 21 jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis protein metallothionein pengikat logam berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai lebih tinggi daripada yang terdapat pada ototnya. Hal tersebut diduga sebagai penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati dan ginjal ikan uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya (Takeda dan Shimizu 1982, diacu dalam Sanusi 1985). Selanjutnya Darmono dan Arifin (1989) menyatakan, bahwa logam berat banyak terakumulasi pada tulang daripada organ lain. Sistem kekebalan pada ikan, umumnya hampir sama dengan hewan mamalia, yaitu terbagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Kekebalan ini bisa diperoleh karena bawaan atau akibat respon tanggap kebal terhadap suatu agen (Ingram 1979; Gudkovs 1998, diacu dalam Saptiani 1997). 2.6 Sistem Pernapasan Ikan Pernapasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernapasan. Proses pengikatan oksigen selain dipengaruhi struktur alat pernapasan juga dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial O 2 antara perairan dengan darah. Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi kedalam darah atau keluar melalui alat pernapasan (Fujaya 2004). Insang merupakan komponen penting dalam proses pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamela insang yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamela insang yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela insang yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler (Harder 1975, diacu dalam Funjaya 2004). Bila oksigen telah berdifusi dalam darah insang, oksigen ditranspor dalam gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan tempatnya dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat diangkut hanya 15 dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah. Pergerakan oksigen kedalam kapiler darah insang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan dari tempat pertama ketempat lainnya. Karena tekanan oksigen (PO 2 ) didalam insang lebih besar dari pada PO 2 kapiler darah insang maka oksigen berdifusi dari insang ke kapiler darah insang kemudian darah insang ditranspor melalui sirkulasi ke jaringan perifer. Pada jaringan perifer, PO 2 sel lebih rendah dari pada PO 2 darah arteri yang memasuki kapiler. Tekanan oksigen yang jauh lebih tinggi di dalam kapiler menyebabkan oksigen berdifusi keluar dari kapiler melalui ruang intertistial ke sel. Sebaliknya bila oksigen dimetabolisasi dengan bahan makanan dalam sel akan membentuk karbondioksida, sehingga CO 2 dalam sel akan meningkat. Keadaan ini menyebabkan CO 2 berdifusi kedalam kapiler jaringan. Setelah berada dalam darah, karbon dioksida ditranspor ke kapiler insang dan keluar melalui insang (Fujaya 2004). 2.7 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod 1973). Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan tersebut (Evans dan Chaiborne 2005). Tingkat kebutuhan oksigen pada ikan berbeda-beda bergantung pada spesies, ukuran (stadia), aktifitas, jenis kelamin, saat reproduksi, tingkat konsumsi pakan, dan suhu. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah (Vernberg dan Vernberg 1972). Organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami gangguan pada proses pernapasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana 16 mestinya (Palar 2004). Insang merupakan salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat terakumulasi logam berat. Jika proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang terganggu, dapat meyebabkan ikan mati lemas (Wardoyo 1987). Ghalib et al. (2002) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal yang dipaparkan maka konsumsi oksigen pada juvenil ikan bandeng dari hari ke hari semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena pada jaringan insang juvenil bandeng terjadi kerusakan akibat terakumulasinya logam timbal pada jaringan tersebut, sehingga pertukaran oksigen dan gas-gas yang melalui insang menjadi terganggu. 2.8 Pengaruh Toksisitas Nikel Terhadap Kondisi Hematologi Ikan Gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut oksigen dan karbondioksida (Ganong 1983). Apabila nafsu makan ikan menurun, maka nilai hematokrit darahnya menjadi tidak normal, jika nilai hematokrit rendah maka jumlah eritrositpun rendah. Sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (platelet) merupakan bagian dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta imunoglobulin adalah unsur penting dari protein plasma total (Bastiawan et al. 2001) Fungsi utama sel darah merah adalah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen, sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi mikrobial. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah ikan dari agen infeksi (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990). Hasil penelitian Narayanan (2008), menunjukkan terjadi peningkatan secara signifikan konsentrasi sel darah putih, gula darah dan kolesterol Cyprinus carpio 17 pada media yang dicemari oleh logam berat kadmium (Cd), Cromium (Cr) dan Timbal (Pb). 2.8.1 Eritrosit Eritrosit membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih dan tak beraturan. Perkembangan eritrosit dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah eritrosit normal pada ikan teleost berkisar antara 1,05 juta3 juta sel/mm3 (Robert 2001). Eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma dan akan terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan Giemsa (Chinabut et al. 1991, diacu dalam Mulyani 2006). Seperti halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977, diacu dalam Taufik 2005). 2.8.2 Leukosit Leukosit (SDP) berwarnanya bening, berukuran lebih besar dibandingkan dengan eritosit, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Leukosit dibuat pada sumsum tulang dan berisi sebuah inti yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir granulosit (Tortora dan Anagnostakos 1990). Jumlah leukosit darah ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 (Rostagi 1977). Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram, amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang komponen darah lainnya harus ada. Protein plasma total, konsentrasi fibrinogen, parameter darah merah (hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit), dan jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies ikan dan hal ini dipengaruhi oleh umur ikan. 18 Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2-12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990, diacu dalam Aliambar 1999). 2.8.3 Hematokrit Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan. Hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi bergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah (Kuswardani 2006). Persentase nilai hematokrit ikan lele normal berkisar antara 30,8%-45,5% (Angka et al. 1985). Aliambar (1999) menyatakan bahwa perhitungan hematokrit dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung. Pada saat yang sama, plasma yaitu suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan packed cell volume (PCV) atau hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen. Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang 19 lebih lama (10-20 menit), sedangkan spesies lainnya (termasuk ikan), waktu centrifuse dilakukan dalam waktu kurang lebih 5 menit. Perbedaan nilai hematokrit dapat terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999). Nilai hematokrit juga berbeda berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal di pegunungan memiliki nilai hematokrit yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal di tepi pantai (Tortora dan Anagnostakos 1990). 2.8.4 Hemoglobin Hemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin (Hb) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sintesis hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999). Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme. Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen. Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis (Ressang 1984). 2.9 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Histopatologis Tingkat konsumsi oksigen pada metabolisme. Konsumsi oksigen adalah dasarnya indikator menunjukkan respirasi tingkat yang juga menunjukkan metabolisme energetik (Fujaya 2004). Kematian ikan yang disebabkan oleh bahan pencemar, umumnya terjadi karena kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Insang terletak di luar 20 dan berhubungan langsung dengan air sebagai media hidupnya. Insang merupakan organ yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar oleh bahan pencemar, baik terlarut maupun tersuspensi (Siahaan 2003). Insang terdiri dari sepasang filamen insang. Setiap filamen terdiri dari serat melintang yang tertutup epithelium yang tipis disebut lamela. Lamela merupakan penyusun filamen. Sebuah rangkaian lamela pada satu sisi dari septum interbranchiale disebut hemibranchium. Dua hemibranchium dan septum interbranchia membentuk insang lengkap disebut holobranchia (Lagler et al. 1977). Keterangan: 1. Eritrosit 2. Epitelium 3. Sel pillar 4. Lumen kapiler 5. Lamela 6. Sel sel interlamela 7. Sel mukus 8. Tulang rawan penopang Gambar 2 Bagian-bagian lamela insang (Lagler et al. 1977) Keberhasilan ikan dalam mendapatkan oksigen ditentukan oleh kemampuan fungsi insang untuk menangkap oksigen dalam perairan. Proses penyerapan oksigen dalam jaringan insang dilakukan oleh darah yang mengalir ke dalam filamen-filamen insang dan akibat adanya perbedaan tekanan gas antara darah dan filamen dengan air sehingga terjadi difusi gas. Rusaknya jaringan insang akibat adanya pengaruh benda asing atau racun, menyebabkan ikan mengalami gangguan pernafasan atau lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Lagler et al. 1977). Hasil uji histologi yang dilakukan oleh Ghalib et al. (2002) menunjukkan bahwa Pb dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan insang khususnya pada lamela primer dan lamela sekunder sehingga insang tidak dapat berfungsi dengan baik. Sejalan dengan laporan Casarett dan Doult (1975) bahwa pada konsentrasi yang cukup tinggi daya konsentrasi insang juga menurun akibat adanya reaksi antara logam berat timbal dengan protein dan lendir insang yang membentuk methallotionin yang dapat menghambat kerja enzim pernapasan. 21 Vernberg dan Vernberg (1972) menyatakan bahwa oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, jika ikan berada pada medium dengan tekanan parsial oksigennya lebih rendah dari lingkungan (ambien), maka untuk mencukupi kebutuhan oksigennya ikan akan melakukan pemompaan air yang lebih besar melalui peningkatan frekuensi pergerakan operculum. Selanjutnya dikatakan bahwa meningkatnya CO 2 lebih menstimulir respon meningkatnya frekuensi gerakan operculum dalam respirasi dari pada penurunan kandungan oksigen. Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu (1995) hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus di bawa ke hati oleh vena porta hati. Kerusakan hati tersebut dapat terjadi karena : 1) senyawa kimia yang terserap melalui oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta; 2) senyawa kimia yang dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal; serta 3) senyawa asing yang dimetabolisme oleh hati sebagian dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik (Loomis 1978, diacu dalam Siahaan 2003). Kerusakan hepatosit menurut Robert (2001) dapat dibagi menjadi dua yaitu taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan taksohepatik, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman. Kerusakan trofohepatik, yaitu kerusakan yang disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Darmono (1995) mengatakan bahwa hati ikan yang tercemar logam timbal, kadmium, copper, atau merkuri mengalami kerusakan berupa pembendungan, hemoragi dan degenerasi vakuola. Degenerasi vakuola atau pembekakan sel merupakan salah satu indikasi terjadinya perlemakan hati, pada keadaan ini sel hati tampak membesar. Menurut Ressang (1984), perlemakan yang berlangsung lama dapat menyebabkan 22 terjadinya kerusakan hati yaitu kongesti. Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. 2.10 Bioassay Ikan merupakan indikator biologik dalam pencemaran air, sedangkan kematian merupakan tolok ukur toksisitas akut pencemar air pada ikan. Pengaruh pencemar air dapat menyebabkan : 1) Merusak insang : gangguan respiratorik dan sirkulatorik, anoksemia dan gangguan fungsi ekskretorik insang. 2) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan mulut, insang dan kulit. 3) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan saluran pencemaan. Studi bioassay dilakukan sebagai tes spesifik untuk menentukan dampak dari polutan dan faktor lingkungan pada biota akuatik dalam keadaan tertentu dan waktu tertentu (APHA 1979). Menurut Sanusi (2009), terdapat dua tipe dari keracunan akibat logam berat, yaitu : 1) Efek akut, biasanya letal dimana biota akan lansung menderita sesaat setelah dimasukan kedalam media yang terdapat konsentrasi yang tinggi dari polutan dan biasanya berlanjut pada kematian. 2) Efek kronis, biota akan mengalami efek yang lebih lama, biasanya akan berdampak pada pertumbuhan, reproduksi dan pola tigkah laku. Efek dari kronis dapat berupa lethal ataupun sublethal. Berdasarkan tingkatan dari kematian yang disebabkan, polutan atau faktor lingkungan diklasifikasikan dalam lima kategori : 1) Lethal Concentration (LC) LC ditentukan pada saat mortalitas mencapai >50% dan terjadi setelah 24 jam, 48 jam, atau 96 jam setelah dimasukkan kedalam media. 2) Effective Concentration (EC) EC ditentukan pada waktu konsentrasi dapat menyebabkan efek berbahaya seperti perbedaan pola tingkah laku biota dan ketidakseimbangan pada 50% populasi biota akuatik. 3) Incipent Lethal Concentration (ILC) ILC ditentukan pada saat paling tidak 50% dari populasi yang bertahan. 23 4) Save Concentration (SC) Konsentrasi tertinggi yang paling aman bagi biota akuatik 5) Maximum Allowable Toxicant Concentration (MATC) Konsentrasi tertinggi yang diperbolehkan ada di perairan yang tidak akan menyebabkan bahaya apapun bagi organisme akuatik (APHA 1979; Effendi 1993). Dari harga LC 50 , selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi : sangat tinggi : < 1 mg/L tinggi : 1 -50 mg/L sedang : 50 – 500 mg/L sedikit toksik : 500 – 5000 mg/L hampir tidak toksik : 5 – 15 g/L relatif tidak berbahaya : > 15 g/L, (Balazs 1970) 2.11 Kualitas Air Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Palar 2004). Menurut Swingle (1969) diacu dalam Boyd (1984), akibat variasi pH pada ikan di kolam adalah pada pH 6,5- 9 pertumbuhan baik, pada 4-6,5 atau 9-11 ikan tumbuh lambat, dan pada pH < 4 atau > 11 ikan akan mati. Selanjutnya dikatakan bahwa paling tinggi perairan alami memiliki nilai pH 6,5-9,0 (Swingle 1969, diacu dalam Boyd 1984). Parameter kualitas air yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap akumulasi logam berat di perairan adalah: pH, suhu, dan kandungan oksigen (Kurniastuty et al. 2008). Penurunan pH akan menyebabkan tingkat bioakumulasi semakin besar (Sorense 1991; NOAA 2000, diacu dalam Kurniastuty et al. 2008). Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toxit), 24 Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle 1968). Bila DO < 1 mg/L ikan mati jika lama pemaparan selama beberapa jam, 1,00-5,00 mg/L ikan hidup tetapi reproduksi rendah dan pertumbuhan lambat jika pemaparan kontinyu, > 5 mg/L reproduksi dan pertumbuhan normal (Swingle 1969, diacu dalam Boyd 1984). Tingkat kesadahan 0,00-75,00 mg/L (lunak), 75,00-150,00 mg/L (sedang), 150,00-300,00 mg/L (sadah), dan > 300,00 mg/L (sangat sadah) (Sawyer dan Mc Carty 1967, diacu dalam Boyd 1984). Kenaikan suhu air dan penurunan pH akan mengurangi absorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan absorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat suhu air naik, senyawa logam berat akan melarut di air karena penurunan laju adsorpsi ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air, viskositas air, temperatur air, arus serta faktor-faktor lainnya (Palar 2004). Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan-bahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap (Lawrence 2003). Suhu air yang optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar antara 25-30 oC, sedangkan pH optimal adalah 6,5-8,5, namun masih dapat hidup pada kisaran pH 4-12 (Bardach dan lelono, 1986 diacu dalam Haryono et al. 2001). Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang disarankan untuk nila adalah 28-30 oC (82-86 oF). Tingkat pertumbuhan akan menurun secara dramatis jika air dingin sampai 20 oC (50 oF) dan ikan biasanya akan mulai mati di sekitar 10 oC (50 oF). Juga penting untuk diingat bahwa air dingin akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih rentan terhadap kesehatan yang buruk sehingga suhu air di bawah 13 ˚C (55 ˚F) tidak pernah dianjurkan. Kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi bergantung 25 pada spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan (Pescod 1973). Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak boleh kurang dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan oksigen yang minimum untuk perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm. 26