BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan gaya hidup dan perubahan lingkungan sarat dengan
polusi mengakibatkan munculnya berbagai penyakit. Daya tahan tubuh lemah,
vertigo, dan penurunan kualitas hidup semakin banyak dijumpai. Paparan agenagen pengoksidasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain itu,
lingkungan telah dipenuhi oleh berbagai agen infektif yang dapat menyerang dan
melakukan multiplikasi dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit infeksi.
Penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri, virus, maupun substansi asing yang
masuk kedalam tubuh. Ketika terpapar substansi asing, tubuh akan membentuk
serangkaian mekanisme pertahanan sebagai respon yang terkoordinasi terhadap
pengenalan substansi asing, yang disebut respon imun (Abbas dkk, 2012).
Penyakit yang ada saat ini hampir selalu berkaitan dengan sistem imun.
Pengobatan yang dijumpai untuk berbagai penyakit banyak menggunakan obatobatan yang dapat menurunkan respon sistem imun seperti, berbagai obat kanker
dan kortikosteroid. Selain itu, tingkat persaingan yang tinggi dalam hidup dapat
menyebabkan stres dan cemas yang juga berpotensi menurunkan respon sistem
imun. Mekanisme penurunan sistem imun dapat melalui menurunkan produksi
interferon-γ (IFN- γ), sel natural killer (NK), ekspresi interleukin-2 (IL-2),
proliferasi limfosit, rasio CD4+/CD8+ (Zhang dkk, 2005).
2
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu agen yang dapat berperan sebagai
antioksidan dan mengatur sistem imun (imunomodulator). Antioksidan dapat
melawan stres oksidatif sel-sel tubuh akibat paparan radikal-radikal bebas dari
lingkungan.
Imunomodulator
dimaksudkan
untuk
mempercepat
proses
penyembuhan, meringankan gejala penyakit infeksi dan mengatasi efek
imunosupresi (penurunan respon sistem imun) serta menjaga daya tahan tubuh.
Pemilihan agen dari bahan alam yang dapat digunakan sebagai antioksidan
dan mempengaruhi sistem imun merupakan peluang yang prospektif. Salah
satunya adalah buah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Buah mengkudu
mengandung skopoletin, rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin,
proxironin, dan proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam
lemak, kalsium, vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa (Yanine,
2006). Senyawa polisakarida dalam jus buah mengkudu mempunyai potensi
profilaktik dan terapetik sebagai imunomodulator (Furuzawa dkk, 2003). Selain
itu, senyawa yang juga sangat berpotensi sebagai antioksidan adalah senyawa
polifenol xanthone pada buah manggis (Chin dkk, 2008; Haruenkit dkk, 2007;
Yoshikawa dkk, 1994).
Kombinasi dari buah mengkudu dan kulit buah manggis diharapkan dapat
menjadi alternatif yang lebih efektif dalam melindungi dari agen-agen
pengoksidasi dan meningkatkan respon sistem imun. Salah satu parameter untuk
menilai aktivitas antioksidan adalah persentase penangkapan radikal bebas suatu
senyawa. Sedangkan, parameter untuk menilai fungsi imunitas yang diperantarai
oleh sel adalah melihat jumlah proliferasi limfosit. Namun, hingga saat ini belum
3
banyak penelitian yang mengkombinasikan agen antioksidan dengan agen
imunomodulator. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai aktivitas
antioksidan dan imunomodulator kombinasi ekstrak buah mengkudu dan ekstrak
kulit manggis. Aktivitas antioksidan ditinjau secara in vitro dengan metode DPPH
dan aktivitas imunomodulator dilihat dari peningkatan proliferasi limfosit secara
in vivo.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan melalui penangkapan radikal DPPH?
2.
Apakah kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis dapat
menunjukkan aktivitas imunomodulator dengan meningkatkan proliferasi sel
limfosit pada mencit galur Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih lanjut potensi bahan
alam sebagai agen antioksidan dan imunomodulator dalam upaya pengatasan
berbagai kondisi kesehatan yang berkaitan dengan penekanan sistem imun. Hasil
penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah mengenai
potensi kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis sebagai agen
antioksidan dan imunomodulator sehingga dapat menjadi sumber data yang
4
bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya, serta pengembangan
produk komersial penambah daya tahan tubuh.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengembangkan dan mengeksplorasi potensi buah mengkudu dan kulit
buah manggis sebagai alternatif antioksidan dan imunomodulator berbasis
bahan alam yang aman digunakan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui aktivitas antioksidan kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM)
dan ekstrak kulit buah manggis (EKM) terhadap penangkapan senyawa
DPPH.
b. Mengetahui aktivitas imunomodulator kombinasi ekstrak buah mengkudu
(EBM) dan ekstrak kulit buah manggis (EKM) terhadap proliferasi limfosit
mencit Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B.
E. Tinjauan Pustaka
1. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mampu menunda, memperlambat
dan mencegah proses oksidasi lipid oleh radikal bebas (Thaipong, 2006).
Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas dengan mendonorkan atau
5
menerima elektron. Hal ini menunjukan bahwa antioksidan menjadikan dan
membuat molekul radikal bebas menjadi nonradikal (Chomnawang dkk, 2007).
Antioksidan terbagi menjadi dua kategori, yakni antioksidan alami dan
antioksidan sintetik. Antioksidan alami berasal dari mahluk hidup terutama
tumbuh-tumbuhan. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang dibuat secara
sintesis
kimia di
laboratorium. Antioksidan sintetik
yang diizinkan
penggunaannya adalah ter-butil hidroksi anisol (BHA), ter-butih hidroksi
toluen (BHT), propel galat (PG), ter-butil hidroksi kuinon (TBHQ) dan
tokoferol. BHT dan TBHQ dapat menyebabkan keracunan tertentu serta
bertanggung jawab pada kerusakan liver dan karsinogenesis (Amarowick dkk,
2000).
Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama
merupakan fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen
(antioksidan primer). Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara
cepat ke radikal lipid atau mengubahnya menjadi bentuk lebih stabil. Fungsi
kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Castaner,
2011).
Untuk mengetahui potensi suatu senyawa sebagai agen antioksidan
dapat
dilakukan
pengujian
dengan
metode
2,2-azinobis
(3-ethyl-
benzothiazoline-6-sulfonic acid) (ABTS) (Lilian dkk, 2008), 2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl (DPPH) (Molyneux, 2003), Ferric Reducing Antioxidant Power
6
(FRAP) (Firuzi dkk, 2005; WojdyƂo dkk, 2007) dan the Oxygen Radical
Absorption Capacity (ORAC) (Dávalos, 2004). Prinsip dasar metode DPPH
dan ABTS adalah pembentukan senyawa radikal yang akan ditangkap oleh
atom H dari senyawa antioksidan. Pada metode FRAP terjadi reduksi analog
Ferroin Fe3+ menjadi Fe2+ oleh senyawa antioksidan di medium acidic. Metode
ORAC mengukur aktivitas penetralan radikal bebas yaitu radikal yang
merupakan reactive oxygen species (ROS). Nilai total ORAC dilaporkan dalam
μTrolox Equivalent per 100 gram bahan (μTE/100g) (Thaipong dkk, 2006).
Metode DPPH merupakan metode yang paling luas digunakan
(Molyneux, 2004). DPPH (Gambar. 3) merupakan suatu radikal nitrogen
organik yang stabil dan berwarna ungu. Molekul DPPH distabilkan oleh
delokalisasi elektron bebas secara menyeluruh dan menyebabkan DPPH tidak
mudah terbentuk dimer. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi
kemampuan antiradikal suatu senyawa sebab hasilnya terbukti akurat, realibel,
praktis, sederhana, dan cepat (Molyneuz, 2004).
+H
Gambar. 1 DPPH: Reaksi senyawa radikal DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan
sehingga menjadi DPPH nonradikal (Molyneux, 2003)
Mekanisme reaksi antara DPPH dengan ekstrak antioksidan adalah
ekstrak merupakan donor hidrogen penangkap radikal DPPH. Intensitas
warna ungu larutan DPPH akan menurun ketika berikatan dengan atom H
7
dari senyawa antioksidan. Penurunan intensitas warna ungu inilah yang dapat
diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 517 nm (Osawa & Namiki,
1981).
2. Imunomodulator
Imunomodulator adalah berbagai macam bahan baik rekombinan,
sintetik maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang mengembalikan
ketidakseimbangan sistem imun yang dipakai pada imunoterapi (Kayser, 2003).
Imunoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan dengan cara merestorasi,
meningkatkan atau mensupresi respon imun. Berdasarkan hal terebut
imunoterapi
diklasifikasikan
menjadi
activation
immunotherapy
dan
suppression immunotherapy (Masihi, 2001). Ada dua cara mekanisme kerja
dari obat imunomodulator, yaitu up regulation (menguatkan sistem imun
tubuh/imunostimulasi dan imunorestorasi), dan down regulation (menekan
reaksi sistem imun yang berlebihan / imunosupresi).
Imunostimulasi
adalah
cara
memperbaiki
fungsi
sistem
imun
menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan yang dapat
meningkatkan/merangsang
sistem
imun
disebut
imunomodulator.
Imunorestorasi adalah suatu cara mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti
imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune
serum globulin (HSG), plasma, transplantasi sumsum tulang, jaringan hati,
8
timus, plasmaferesis, dan leukoferesis. Imunosupresi merupakan tindakan
menekan respon imun (Baratawidjaja, 2006).
3. Sistem Pertahanan Tubuh
Sistem pertahanan tubuh atau sistem imun adalah mekanisme yang
digunakan tubuh dalam perlindungan melawan partikel atau agen asing yang
masuk ke dalam tubuh. Agen tersebut dapat berupa mikroorganisme, senyawa
kimia, obat-obatan, serbuk sari, atau bulu hewan. Tubuh manusia didukung
oleh keberadaan dua macam sistem imun, yaitu sistem imun alami (nonspesifik) dan sistem imun adaptif (spesifik) (Shen & Louie, 2005).
Dalam sistem imun, tubuh manusia telah dilengkapi dengan
kemampuan memberi respon non spesifik, misalnya fagositosis. Sedangkan
respon imun spesifik dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang terdapat
dalam sistem limfo retikuler serta jaringan limfoid lain yang tersebar di seluruh
tubuh (Soeroso, 2007). Sistem imun spesifik dibagi menjadi sistem imun
humoral yang dijalankan oleh sel limfosit B dan sistem imun seluler yang
dijalankan oleh sel limfosit T (Abbas dkk, 2012). Sistem imun spesifik dapat
diaktifkan dengan pemberian vaksin. Vaksin dari agen suatu virus tertentu akan
memicu sel limfosit untuk melakukan pertahanan sehingga ketika virus yang
sebenarnya menyerang, tubuh telah mengenali dan memiliki antibodi untuk
melawannya.
Limfosit merupakan turunan dari sel darah putih (leukosit) yang
berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dalam melawan berbagai
9
penyakit infeksi. Limfosit merupakan sel yang istimewa dibanding leukosit
yang lain karena kemampuannya mengenali antigen secara spesifik. Limfosit
berdiferensiasi dari stem cell didalam hati, sumsum tulang, dan timus sehingga
menjadi beberapa kelas utama (Gambar 3). Limfosit B memiliki protein marker
surface imunoglobulin M (sIgM), sedangkan pada Limfosit T marker
proteinnya adalah sitotoksik berupa CD8+ dan limfosit T helper berupa CD4+
(Shen & Louie, 2005).
Gambar 2. Proses maturasi limfosit. Limfosit terbentuk dari bone marrow stem cells yang
kemudian mengalami maturasi di bano marrow (limfosit B) dan di timus (limfosit T).
keduanya akan melalui peredaran darah hingga samapai ke organ limfoid sekunder seperti
limpa node, spleen, dan jaringan limfoid kelenjar mukosa dan subkutan (Abbas dkk, 2000).
Sel T helper CD4+ adalah pemain utama dalam imunitas spesifik.
Mereka berkontribusi dengan memberikan bantuan kepada APC (Antigen
Presenting Cells) dan limfosit CD8+ untuk memulai respon imun spesifik.
Aktivasi sel ini sangat penting karena diperlukan tubuh untuk menghilangkan
patogen, virus, dan kanker (Virella, 2001). Limfosit CD8+ juga memiliki
kemampuan untuk mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi atau sel
kanker. Penurunan sel limfosit akan berdampak pada penurunan sistem imun
10
tubuh karena memiliki peran penting dalam sisitem imun adaptif yang
menghasilkan dan meregulasi respon imun terhadap antigen dan membunuh
mikroba patogen (Arnold dkk, 2006).
Penurunan respon sistem imun dapat disebabkan oleh obat-obatan
seperti obat-obat kanker dan kortikosteroid. Mekanisme penurunan sistem
imun dapat melalui menurunkan produksi interferon-γ (IFN- γ), sel natural
killer (NK), ekspresi interleukin-2 (IL-2), proliferasi limfosit, rasio CD4+/CD8+
(Zhang dkk, 2005).
4. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Klasifikasi tanaman:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L.
Morinda citrifolia L. atau yang lebih dikenal dengan nama Mengkudu
(Gambar. 1) adalah tanaman yang tumbuh baik di sepanjang Pasifik dan
11
merupakan tumbuhan native dari Asia Tenggara terutama Indonesia serta
Australia. Di berbagai negara, mengkudu dikenal dengan berbagai nama seperti
noni (Hawai’i); Indian mulberry (English); canary wood (Australia); dan di
Cook Island serta Tahiti di kenal dengan nama nono (Nelson, 2003). Di
Indonesia mengkudu juga memiliki berbagai nama daerah yaitu, Eodu,
mengkudu, bengkudu (Sumatera); kudu, cengkudu, kemudu, pace (Jawa);
wangkudu, manakudu, bakulu (Nusa tenggara); dan di Kalimantan di kenal
dengan nama mangkudu, wangkudu, dan labanan (Wijayakusuma, 1995).
Gambar 3. Mengkudu
Tanaman mengkudu tumbuh selalu hijau setinggi tiga sampai sepuluh
meter, tumbuh agak bengkok, kulit kasar, mempunyai cabang banyak dengan
ranting muda bersegi empat. Daun memiliki panjang 10-40 cm dan lebar 5-17
cm, berwarna hijau tua, terletak berhadapan dengan tangkai pendek, helai daun
tebal mengkilap berbentuk buah telur hingga elips, ujung runcing, pangkal
menyempit, tepi rata dan tulang daun menyirip (Nelson, 2006; Widjayakusuma
12
dkk, 1996). Buah mengkudu merupakan buah majemuk berdaging dengan
panjang 5-10 cm dan diameter 3-4 cm. Bentuk buah lonjong berwarna putih
kekuningan, lunak, berair, dan memiliki bau busuk. Biji terdapat di bagian
dalam buah dengan bentuk segitiga yang keras, berwarna coklat kehitaman,
dan jumlahnya tidak sama dalam satu buah (Dalimarta, 2006; Nelson 2006;
Syamsuhidayar & Hutapea, 1991).
Masyarakat Polinesia telah memanfaatkan tanaman mengkudu sebagai
tanaman obat sejak 2000 tahun yang lalu (Ahn, 2006). Buah mengkudu diklaim
dapat mencegah dan menggobati berbagai penyakit terutama untuk
menstimulasi sistem imun dan agen antibakteri, virus, parasit, dan juga jamur
(Dixon dkk, 1999; McClatchey, 2002). Buah mengkudu mengandung
skopoletin, rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxironin,
dan proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam lemak,
kalsium, vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa (Yanine, 2006).
Berdasarkan analisis polisakarida dengan KLT, polisakarida yang terkandung
dalam fraksi tak larut etanol jus buah mengkudu terdiri dari heteropolisakarida
gom arab, asam glukoronat, arabinosa dan rhamnosa (Hirazumi & Furusawa,
1999). Penelitian dari Anh dkk (2006) fraksi tak larut etanol jus buah
mengkudu yang diperoleh dengan cara yang sama mengandung polisakarida
pektin yang terdiri dari homogalakturonan, rhamnogalakturonan I, arabin, dan
arabinogalaktan sebagai penyusun utama serat polisakarida lain dengan jumlah
relatif kecil.
13
Dilaporkan oleh Furuzawa dkk (2003) senyawa polisakarida dalam jus
buah mengkudu mempunyai potensial sebagai profilaktik maupun terapetik
sebagai imunomodulator. Polisakarida buah mengkudu mampu memicu
aktivitas makrofag dan menstimulasi produksi TNF-alfa, IL-1 beta, hingga IL12p70 dan NO (nitric oxide). Selain itu, polisakarida dari buah mengkudu juga
mampu mempengaruhi sitotoksisitas sel Nk dan sel T melalui penekanan dan
stimulasi produksi IL-12 p70 (Hirazumi & Furusawa, 1999).
5. Manggis (Garcinia mangostana L.)
Klasifikasi tanaman:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub-divisio
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Familia
: Guttiferae (Clusiaceae)
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana L.
Garcinia mangostana L. atau yang dikenal dengan nama manggis
(Gambar. 2) merupakan salah satu buah yang berasal dari hutan tropis di
kawasan Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Masyarakat telah menggunakan kulit manggis untuk mengobati diare, desentri,
infeksi, dan ulcer (José dkk, 2008). Manggis dikenal sebagai “The Queen of
14
Fruit” karena manggis dianggap sebagai salah satu buah dengan rasa terbaik
(Jung dkk, 2006).
Gambar 4. Manggis
Batang pohon manggis berbentuk pohon berkayu dan dapat tumbuh
hingga 25m/lebih. Kulit batangnya tidak rata dan berwarna kecoklat-coklatan.
Struktur helai daun tebal dengan permukaan sebelah atas berwaran hijau
mengkilap, sedangkan permukaan bawah berwarna kekuning-kuningan.
Struktur buah manggis memiliki empat kelopak yang tersususn dalam dua
pasang. Mahkota bunga terdiri dari empat helai, berwarna hijau kekuningan
dengan warna merah pada pinggirannya. Bakal buah berbentuk bulat,
mengandung 1-3 bakal biji yang mampu berkembanag menjadi biji normal.
Kulit buah manggis berwarna merah gelap, ukurannya tebal dan mencapai
proporsi sepertiga bagian dari buahnya. Kulit buahnya mengandung getah
berwarna kuning dan pahit. Bagian terpenting dari buah mangggis adalah
15
daging buahnya. Warna daging buahnya putih bersih dan cita rasa sedikit asam
(Jung dkk, 2006).
Kulit buah manggis mengandung senyawa golongan alkaloid,
triterpenoid, saponin, flavonoid, tanin dan polifenol (Dewi dkk, 2013).
Senyawa xanthon yang paling banyak diteliti adalah α-, β-, dan γ-mangostin,
garsinon E, 8-deoxygartanin, dan gartanin. Manggis telah diteliti dapat
digunakan sebagai antioksidan, antitumor, antialergi, antiinflamasi, antibakteri,
antifungi, dan antivirus (Jose dkk, 2008). Telah dilaporkan oleh Chomnawang
dkk (2007) bahwa ekstrak etanolik kulit buah manggis menunjukkan aktivitas
antioksidan
paling
signifikan.
Penelitain
lain
yang
dilakukan
oleh
Weecharangsan dkk (2006); Haruenkit dkk (2007); dan Chin dkk (2008) juga
menunjukan adanya aktivitas antioksidan pada ekstrak kulit buah manggis.
F. Landasan Teori
Berdasarkan penelitian terdahulu mengkudu telah diketahui dapat
digunakan sebagai imunomodulator. Buah mengkudu mengandung skopoletin,
rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxironin, dan
proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam lemak, kalsium,
vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa. Senyawa polisakarida dalam
jus buah mengkudu mempunyai potensial sebagai profilaktik maupun terapetik
sebagai imunomodulator. Polisakarida buah mengkudu mampu memicu aktivitas
makrofag dan menstimulasi produksi TNF-alfa, IL-1 beta, hingga IL-12p70 dan
NO (nitric oxide). Selain itu, polisakarida dari buah mengkudu juga mampu
16
mempenagruhi sitotoksisitas sel Nk dan sel T melalui penekanan dan stimulasi
produksi Il-12 p70. Kulit buah manggis mengandung senyawa golongan alkaloid,
triterpenoid, saponin, flavonoid, tanin dan polifenol. Senyawa xanthon yang
paling banyak diteliti adalah α-, β-, dan γ-mangostin. Dilaporkan bahwa ekstrak
etanolik kulit buah manggis menunjukkan aktivitas antioksidan paling signifikan.
Senyawa antioksidan dapat meningkatkan dan menjaga kesehatan tubuh.
Antioksidan dapat melawan stress oksidatif sel-sel tubuh akibat paparan radikalradikal bebas dari lingkungan. Imunomodulator dimaksudkan untuk mempercepat
proses penyembuhan, meringankan gejala penyakit infeksi dan mengatasi efek
imunosupresi (penurunan respon sistem imun) serta menjaga daya tahan tubuh.
Apabila EBM dan EKM dikombinasikan dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan dan imunomodulator, sehingga diharapkan dapat menjadi alternatif
dalam mengatasi agen-agen pengoksidasi dan meningkatkan respon sistem imun
serta daya tahan tubuh.
G. Hipotesis
1. Kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan kulit buah manggis (EKM)
dapat memberikan aktivitas antioksidan melalui penangkapan terhadap
senyawa DPPH.
2. Kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan kulit buah manggis (EKM)
dapat memberikan aktivitas imunomodulator dengan meningkatkan proliferasi
sel limfosit mencit galur Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B.
Download