1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan gaya hidup dan perubahan lingkungan sarat dengan polusi mengakibatkan munculnya berbagai penyakit. Daya tahan tubuh lemah, vertigo, dan penurunan kualitas hidup semakin banyak dijumpai. Paparan agenagen pengoksidasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain itu, lingkungan telah dipenuhi oleh berbagai agen infektif yang dapat menyerang dan melakukan multiplikasi dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri, virus, maupun substansi asing yang masuk kedalam tubuh. Ketika terpapar substansi asing, tubuh akan membentuk serangkaian mekanisme pertahanan sebagai respon yang terkoordinasi terhadap pengenalan substansi asing, yang disebut respon imun (Abbas dkk, 2012). Penyakit yang ada saat ini hampir selalu berkaitan dengan sistem imun. Pengobatan yang dijumpai untuk berbagai penyakit banyak menggunakan obatobatan yang dapat menurunkan respon sistem imun seperti, berbagai obat kanker dan kortikosteroid. Selain itu, tingkat persaingan yang tinggi dalam hidup dapat menyebabkan stres dan cemas yang juga berpotensi menurunkan respon sistem imun. Mekanisme penurunan sistem imun dapat melalui menurunkan produksi interferon-γ (IFN- γ), sel natural killer (NK), ekspresi interleukin-2 (IL-2), proliferasi limfosit, rasio CD4+/CD8+ (Zhang dkk, 2005). 2 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu agen yang dapat berperan sebagai antioksidan dan mengatur sistem imun (imunomodulator). Antioksidan dapat melawan stres oksidatif sel-sel tubuh akibat paparan radikal-radikal bebas dari lingkungan. Imunomodulator dimaksudkan untuk mempercepat proses penyembuhan, meringankan gejala penyakit infeksi dan mengatasi efek imunosupresi (penurunan respon sistem imun) serta menjaga daya tahan tubuh. Pemilihan agen dari bahan alam yang dapat digunakan sebagai antioksidan dan mempengaruhi sistem imun merupakan peluang yang prospektif. Salah satunya adalah buah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Buah mengkudu mengandung skopoletin, rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxironin, dan proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam lemak, kalsium, vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa (Yanine, 2006). Senyawa polisakarida dalam jus buah mengkudu mempunyai potensi profilaktik dan terapetik sebagai imunomodulator (Furuzawa dkk, 2003). Selain itu, senyawa yang juga sangat berpotensi sebagai antioksidan adalah senyawa polifenol xanthone pada buah manggis (Chin dkk, 2008; Haruenkit dkk, 2007; Yoshikawa dkk, 1994). Kombinasi dari buah mengkudu dan kulit buah manggis diharapkan dapat menjadi alternatif yang lebih efektif dalam melindungi dari agen-agen pengoksidasi dan meningkatkan respon sistem imun. Salah satu parameter untuk menilai aktivitas antioksidan adalah persentase penangkapan radikal bebas suatu senyawa. Sedangkan, parameter untuk menilai fungsi imunitas yang diperantarai oleh sel adalah melihat jumlah proliferasi limfosit. Namun, hingga saat ini belum 3 banyak penelitian yang mengkombinasikan agen antioksidan dengan agen imunomodulator. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan dan imunomodulator kombinasi ekstrak buah mengkudu dan ekstrak kulit manggis. Aktivitas antioksidan ditinjau secara in vitro dengan metode DPPH dan aktivitas imunomodulator dilihat dari peningkatan proliferasi limfosit secara in vivo. B. Rumusan Masalah 1. Apakah kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis dapat meningkatkan aktivitas antioksidan melalui penangkapan radikal DPPH? 2. Apakah kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis dapat menunjukkan aktivitas imunomodulator dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit pada mencit galur Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih lanjut potensi bahan alam sebagai agen antioksidan dan imunomodulator dalam upaya pengatasan berbagai kondisi kesehatan yang berkaitan dengan penekanan sistem imun. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah mengenai potensi kombinasi ekstrak buah mengkudu dan kulit buah manggis sebagai agen antioksidan dan imunomodulator sehingga dapat menjadi sumber data yang 4 bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya, serta pengembangan produk komersial penambah daya tahan tubuh. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengembangkan dan mengeksplorasi potensi buah mengkudu dan kulit buah manggis sebagai alternatif antioksidan dan imunomodulator berbasis bahan alam yang aman digunakan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui aktivitas antioksidan kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan ekstrak kulit buah manggis (EKM) terhadap penangkapan senyawa DPPH. b. Mengetahui aktivitas imunomodulator kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan ekstrak kulit buah manggis (EKM) terhadap proliferasi limfosit mencit Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B. E. Tinjauan Pustaka 1. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang mampu menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid oleh radikal bebas (Thaipong, 2006). Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas dengan mendonorkan atau 5 menerima elektron. Hal ini menunjukan bahwa antioksidan menjadikan dan membuat molekul radikal bebas menjadi nonradikal (Chomnawang dkk, 2007). Antioksidan terbagi menjadi dua kategori, yakni antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami berasal dari mahluk hidup terutama tumbuh-tumbuhan. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang dibuat secara sintesis kimia di laboratorium. Antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaannya adalah ter-butil hidroksi anisol (BHA), ter-butih hidroksi toluen (BHT), propel galat (PG), ter-butil hidroksi kuinon (TBHQ) dan tokoferol. BHT dan TBHQ dapat menyebabkan keracunan tertentu serta bertanggung jawab pada kerusakan liver dan karsinogenesis (Amarowick dkk, 2000). Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen (antioksidan primer). Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid atau mengubahnya menjadi bentuk lebih stabil. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Castaner, 2011). Untuk mengetahui potensi suatu senyawa sebagai agen antioksidan dapat dilakukan pengujian dengan metode 2,2-azinobis (3-ethyl- benzothiazoline-6-sulfonic acid) (ABTS) (Lilian dkk, 2008), 2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl (DPPH) (Molyneux, 2003), Ferric Reducing Antioxidant Power 6 (FRAP) (Firuzi dkk, 2005; WojdyĆo dkk, 2007) dan the Oxygen Radical Absorption Capacity (ORAC) (Dávalos, 2004). Prinsip dasar metode DPPH dan ABTS adalah pembentukan senyawa radikal yang akan ditangkap oleh atom H dari senyawa antioksidan. Pada metode FRAP terjadi reduksi analog Ferroin Fe3+ menjadi Fe2+ oleh senyawa antioksidan di medium acidic. Metode ORAC mengukur aktivitas penetralan radikal bebas yaitu radikal yang merupakan reactive oxygen species (ROS). Nilai total ORAC dilaporkan dalam μTrolox Equivalent per 100 gram bahan (μTE/100g) (Thaipong dkk, 2006). Metode DPPH merupakan metode yang paling luas digunakan (Molyneux, 2004). DPPH (Gambar. 3) merupakan suatu radikal nitrogen organik yang stabil dan berwarna ungu. Molekul DPPH distabilkan oleh delokalisasi elektron bebas secara menyeluruh dan menyebabkan DPPH tidak mudah terbentuk dimer. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi kemampuan antiradikal suatu senyawa sebab hasilnya terbukti akurat, realibel, praktis, sederhana, dan cepat (Molyneuz, 2004). +H Gambar. 1 DPPH: Reaksi senyawa radikal DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan sehingga menjadi DPPH nonradikal (Molyneux, 2003) Mekanisme reaksi antara DPPH dengan ekstrak antioksidan adalah ekstrak merupakan donor hidrogen penangkap radikal DPPH. Intensitas warna ungu larutan DPPH akan menurun ketika berikatan dengan atom H 7 dari senyawa antioksidan. Penurunan intensitas warna ungu inilah yang dapat diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 517 nm (Osawa & Namiki, 1981). 2. Imunomodulator Imunomodulator adalah berbagai macam bahan baik rekombinan, sintetik maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang dipakai pada imunoterapi (Kayser, 2003). Imunoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan dengan cara merestorasi, meningkatkan atau mensupresi respon imun. Berdasarkan hal terebut imunoterapi diklasifikasikan menjadi activation immunotherapy dan suppression immunotherapy (Masihi, 2001). Ada dua cara mekanisme kerja dari obat imunomodulator, yaitu up regulation (menguatkan sistem imun tubuh/imunostimulasi dan imunorestorasi), dan down regulation (menekan reaksi sistem imun yang berlebihan / imunosupresi). Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan yang dapat meningkatkan/merangsang sistem imun disebut imunomodulator. Imunorestorasi adalah suatu cara mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG), plasma, transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, 8 timus, plasmaferesis, dan leukoferesis. Imunosupresi merupakan tindakan menekan respon imun (Baratawidjaja, 2006). 3. Sistem Pertahanan Tubuh Sistem pertahanan tubuh atau sistem imun adalah mekanisme yang digunakan tubuh dalam perlindungan melawan partikel atau agen asing yang masuk ke dalam tubuh. Agen tersebut dapat berupa mikroorganisme, senyawa kimia, obat-obatan, serbuk sari, atau bulu hewan. Tubuh manusia didukung oleh keberadaan dua macam sistem imun, yaitu sistem imun alami (nonspesifik) dan sistem imun adaptif (spesifik) (Shen & Louie, 2005). Dalam sistem imun, tubuh manusia telah dilengkapi dengan kemampuan memberi respon non spesifik, misalnya fagositosis. Sedangkan respon imun spesifik dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang terdapat dalam sistem limfo retikuler serta jaringan limfoid lain yang tersebar di seluruh tubuh (Soeroso, 2007). Sistem imun spesifik dibagi menjadi sistem imun humoral yang dijalankan oleh sel limfosit B dan sistem imun seluler yang dijalankan oleh sel limfosit T (Abbas dkk, 2012). Sistem imun spesifik dapat diaktifkan dengan pemberian vaksin. Vaksin dari agen suatu virus tertentu akan memicu sel limfosit untuk melakukan pertahanan sehingga ketika virus yang sebenarnya menyerang, tubuh telah mengenali dan memiliki antibodi untuk melawannya. Limfosit merupakan turunan dari sel darah putih (leukosit) yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dalam melawan berbagai 9 penyakit infeksi. Limfosit merupakan sel yang istimewa dibanding leukosit yang lain karena kemampuannya mengenali antigen secara spesifik. Limfosit berdiferensiasi dari stem cell didalam hati, sumsum tulang, dan timus sehingga menjadi beberapa kelas utama (Gambar 3). Limfosit B memiliki protein marker surface imunoglobulin M (sIgM), sedangkan pada Limfosit T marker proteinnya adalah sitotoksik berupa CD8+ dan limfosit T helper berupa CD4+ (Shen & Louie, 2005). Gambar 2. Proses maturasi limfosit. Limfosit terbentuk dari bone marrow stem cells yang kemudian mengalami maturasi di bano marrow (limfosit B) dan di timus (limfosit T). keduanya akan melalui peredaran darah hingga samapai ke organ limfoid sekunder seperti limpa node, spleen, dan jaringan limfoid kelenjar mukosa dan subkutan (Abbas dkk, 2000). Sel T helper CD4+ adalah pemain utama dalam imunitas spesifik. Mereka berkontribusi dengan memberikan bantuan kepada APC (Antigen Presenting Cells) dan limfosit CD8+ untuk memulai respon imun spesifik. Aktivasi sel ini sangat penting karena diperlukan tubuh untuk menghilangkan patogen, virus, dan kanker (Virella, 2001). Limfosit CD8+ juga memiliki kemampuan untuk mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi atau sel kanker. Penurunan sel limfosit akan berdampak pada penurunan sistem imun 10 tubuh karena memiliki peran penting dalam sisitem imun adaptif yang menghasilkan dan meregulasi respon imun terhadap antigen dan membunuh mikroba patogen (Arnold dkk, 2006). Penurunan respon sistem imun dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti obat-obat kanker dan kortikosteroid. Mekanisme penurunan sistem imun dapat melalui menurunkan produksi interferon-γ (IFN- γ), sel natural killer (NK), ekspresi interleukin-2 (IL-2), proliferasi limfosit, rasio CD4+/CD8+ (Zhang dkk, 2005). 4. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Klasifikasi tanaman: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Morinda Spesies : Morinda citrifolia L. Morinda citrifolia L. atau yang lebih dikenal dengan nama Mengkudu (Gambar. 1) adalah tanaman yang tumbuh baik di sepanjang Pasifik dan 11 merupakan tumbuhan native dari Asia Tenggara terutama Indonesia serta Australia. Di berbagai negara, mengkudu dikenal dengan berbagai nama seperti noni (Hawai’i); Indian mulberry (English); canary wood (Australia); dan di Cook Island serta Tahiti di kenal dengan nama nono (Nelson, 2003). Di Indonesia mengkudu juga memiliki berbagai nama daerah yaitu, Eodu, mengkudu, bengkudu (Sumatera); kudu, cengkudu, kemudu, pace (Jawa); wangkudu, manakudu, bakulu (Nusa tenggara); dan di Kalimantan di kenal dengan nama mangkudu, wangkudu, dan labanan (Wijayakusuma, 1995). Gambar 3. Mengkudu Tanaman mengkudu tumbuh selalu hijau setinggi tiga sampai sepuluh meter, tumbuh agak bengkok, kulit kasar, mempunyai cabang banyak dengan ranting muda bersegi empat. Daun memiliki panjang 10-40 cm dan lebar 5-17 cm, berwarna hijau tua, terletak berhadapan dengan tangkai pendek, helai daun tebal mengkilap berbentuk buah telur hingga elips, ujung runcing, pangkal menyempit, tepi rata dan tulang daun menyirip (Nelson, 2006; Widjayakusuma 12 dkk, 1996). Buah mengkudu merupakan buah majemuk berdaging dengan panjang 5-10 cm dan diameter 3-4 cm. Bentuk buah lonjong berwarna putih kekuningan, lunak, berair, dan memiliki bau busuk. Biji terdapat di bagian dalam buah dengan bentuk segitiga yang keras, berwarna coklat kehitaman, dan jumlahnya tidak sama dalam satu buah (Dalimarta, 2006; Nelson 2006; Syamsuhidayar & Hutapea, 1991). Masyarakat Polinesia telah memanfaatkan tanaman mengkudu sebagai tanaman obat sejak 2000 tahun yang lalu (Ahn, 2006). Buah mengkudu diklaim dapat mencegah dan menggobati berbagai penyakit terutama untuk menstimulasi sistem imun dan agen antibakteri, virus, parasit, dan juga jamur (Dixon dkk, 1999; McClatchey, 2002). Buah mengkudu mengandung skopoletin, rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxironin, dan proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam lemak, kalsium, vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa (Yanine, 2006). Berdasarkan analisis polisakarida dengan KLT, polisakarida yang terkandung dalam fraksi tak larut etanol jus buah mengkudu terdiri dari heteropolisakarida gom arab, asam glukoronat, arabinosa dan rhamnosa (Hirazumi & Furusawa, 1999). Penelitian dari Anh dkk (2006) fraksi tak larut etanol jus buah mengkudu yang diperoleh dengan cara yang sama mengandung polisakarida pektin yang terdiri dari homogalakturonan, rhamnogalakturonan I, arabin, dan arabinogalaktan sebagai penyusun utama serat polisakarida lain dengan jumlah relatif kecil. 13 Dilaporkan oleh Furuzawa dkk (2003) senyawa polisakarida dalam jus buah mengkudu mempunyai potensial sebagai profilaktik maupun terapetik sebagai imunomodulator. Polisakarida buah mengkudu mampu memicu aktivitas makrofag dan menstimulasi produksi TNF-alfa, IL-1 beta, hingga IL12p70 dan NO (nitric oxide). Selain itu, polisakarida dari buah mengkudu juga mampu mempengaruhi sitotoksisitas sel Nk dan sel T melalui penekanan dan stimulasi produksi IL-12 p70 (Hirazumi & Furusawa, 1999). 5. Manggis (Garcinia mangostana L.) Klasifikasi tanaman: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub-divisio : Angiospermae Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales Familia : Guttiferae (Clusiaceae) Genus : Garcinia Spesies : Garcinia mangostana L. Garcinia mangostana L. atau yang dikenal dengan nama manggis (Gambar. 2) merupakan salah satu buah yang berasal dari hutan tropis di kawasan Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand. Masyarakat telah menggunakan kulit manggis untuk mengobati diare, desentri, infeksi, dan ulcer (José dkk, 2008). Manggis dikenal sebagai “The Queen of 14 Fruit” karena manggis dianggap sebagai salah satu buah dengan rasa terbaik (Jung dkk, 2006). Gambar 4. Manggis Batang pohon manggis berbentuk pohon berkayu dan dapat tumbuh hingga 25m/lebih. Kulit batangnya tidak rata dan berwarna kecoklat-coklatan. Struktur helai daun tebal dengan permukaan sebelah atas berwaran hijau mengkilap, sedangkan permukaan bawah berwarna kekuning-kuningan. Struktur buah manggis memiliki empat kelopak yang tersususn dalam dua pasang. Mahkota bunga terdiri dari empat helai, berwarna hijau kekuningan dengan warna merah pada pinggirannya. Bakal buah berbentuk bulat, mengandung 1-3 bakal biji yang mampu berkembanag menjadi biji normal. Kulit buah manggis berwarna merah gelap, ukurannya tebal dan mencapai proporsi sepertiga bagian dari buahnya. Kulit buahnya mengandung getah berwarna kuning dan pahit. Bagian terpenting dari buah mangggis adalah 15 daging buahnya. Warna daging buahnya putih bersih dan cita rasa sedikit asam (Jung dkk, 2006). Kulit buah manggis mengandung senyawa golongan alkaloid, triterpenoid, saponin, flavonoid, tanin dan polifenol (Dewi dkk, 2013). Senyawa xanthon yang paling banyak diteliti adalah α-, β-, dan γ-mangostin, garsinon E, 8-deoxygartanin, dan gartanin. Manggis telah diteliti dapat digunakan sebagai antioksidan, antitumor, antialergi, antiinflamasi, antibakteri, antifungi, dan antivirus (Jose dkk, 2008). Telah dilaporkan oleh Chomnawang dkk (2007) bahwa ekstrak etanolik kulit buah manggis menunjukkan aktivitas antioksidan paling signifikan. Penelitain lain yang dilakukan oleh Weecharangsan dkk (2006); Haruenkit dkk (2007); dan Chin dkk (2008) juga menunjukan adanya aktivitas antioksidan pada ekstrak kulit buah manggis. F. Landasan Teori Berdasarkan penelitian terdahulu mengkudu telah diketahui dapat digunakan sebagai imunomodulator. Buah mengkudu mengandung skopoletin, rutin, polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxironin, dan proxeroninase, iridoid, asperolusid, iridoid antrakinon, asam lemak, kalsium, vitamin B, asam amino, glikosida, dan juga glukosa. Senyawa polisakarida dalam jus buah mengkudu mempunyai potensial sebagai profilaktik maupun terapetik sebagai imunomodulator. Polisakarida buah mengkudu mampu memicu aktivitas makrofag dan menstimulasi produksi TNF-alfa, IL-1 beta, hingga IL-12p70 dan NO (nitric oxide). Selain itu, polisakarida dari buah mengkudu juga mampu 16 mempenagruhi sitotoksisitas sel Nk dan sel T melalui penekanan dan stimulasi produksi Il-12 p70. Kulit buah manggis mengandung senyawa golongan alkaloid, triterpenoid, saponin, flavonoid, tanin dan polifenol. Senyawa xanthon yang paling banyak diteliti adalah α-, β-, dan γ-mangostin. Dilaporkan bahwa ekstrak etanolik kulit buah manggis menunjukkan aktivitas antioksidan paling signifikan. Senyawa antioksidan dapat meningkatkan dan menjaga kesehatan tubuh. Antioksidan dapat melawan stress oksidatif sel-sel tubuh akibat paparan radikalradikal bebas dari lingkungan. Imunomodulator dimaksudkan untuk mempercepat proses penyembuhan, meringankan gejala penyakit infeksi dan mengatasi efek imunosupresi (penurunan respon sistem imun) serta menjaga daya tahan tubuh. Apabila EBM dan EKM dikombinasikan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dan imunomodulator, sehingga diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengatasi agen-agen pengoksidasi dan meningkatkan respon sistem imun serta daya tahan tubuh. G. Hipotesis 1. Kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan kulit buah manggis (EKM) dapat memberikan aktivitas antioksidan melalui penangkapan terhadap senyawa DPPH. 2. Kombinasi ekstrak buah mengkudu (EBM) dan kulit buah manggis (EKM) dapat memberikan aktivitas imunomodulator dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit mencit galur Balb/c terinduksi vaksin hepatitis B.