BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Model Hidrologi
Rauf (1994) menjelaskan bahwa model hidrologi adalah sebuah gambaran
sederhana dari suatu sistem hidrologi yang aktual. Dooge dalam Harto (1993)
menyatakan pengertian sistem sebagai suatu struktur, alat, skema atau prosedur,
baik riil maupun abstrak, yang dikaitkan dalam satu referensi waktu tertentu sebuah
masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran pengaruh atau
tanggapan secara menyeluruh.
Tujuan penggunaan model dalam hidrologi diantaranya : (1) peramalan
(forecasting), termasuk didalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen.
Peramalan memberikan maksud bahwa baik besaran ataupun waktu kejadian yang
dianalisis berdasar cara probabilistik, (2) perkiraan (prediction), memberikan
pengertian bahwa besaran kejadian dan waktu hipotetik (hypothetical future time),
(3) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian. Dengan sistem yang telah
pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur, (4)
sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan (planning),
(5) eksplorasi data/informasi, (6) perkiraan lingkungan akibat perilaku manusia
yang berubah/meningkat dan (7) penelitian dasar dalam proses hidrologi (Harto,
1993).
Pada siklus hidrologi terdapat beberapa proses yang saling terkait mencerminkan
pergerakan air, meliputi proses presipitasi, evaporasi, transpirasi, intersepsi,
infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan, aliran air bawah tanah. Selanjutnya proses
II-1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Evapotranspirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran disebut sebagai komponen
ketersediaan air. Pergerakan air pada suatu DAS merupakan manifestasi dari siklus
hidrologi untuk mencapai keseimbangan ketersediaan air di bumi. Konsep
keseimbangan air adalah water balance atau persamaan air (Viessman et.al, 1977,
Arsyad, 1989), yaitu:
AP = P - IN - ET – PE – ∆SA ..........................................................................(2.1)
Aliran permukaan (AP); curah hujan (P); intersepsi (IN); evapotranspirasi (ET);
Perkolasi (PE); dan perubahan simpanan air (∆SA). Proses pergerakan air tersebut
dapat ditiru dan diwujudkan dalam bentuk model.
Model tentang pengalihragaman hujan menjadi aliran yang paling sederhana dan
sampai saat ini masih digunakan di Indonesia maupun negara lain yaitu Metode
Rasional. Pengembangan model pengalihragaman hujan menjadi aliran telah
banyak dilakukan.
II-2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2
DAS ( Daerah Aliran Sungai)
2.2.1. Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS ialah air yang mengalir pada suatu
kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi di mana air tersebut berasal dari
air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut. Guna dari DAS
adalah menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh
diatasnya melalui sungai. Air Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah air yang
mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air
tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem
tersebut.
Air pada DAS merupakan aliran air yang mengalami siklus hidrologi secara
alamiah. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari
permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi
ke laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air tersebut akan tertahan
(sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga akan
dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup.
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk
(terserap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan air yang tidak terserap ke
dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan
permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas
permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya
masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya
II-3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila
tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru
masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) untuk
selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah
(subsurface flow) yang kemudian akan mengalir ke sungai.
2.2.2. Pemilihan STA Hujan
a. Memilih STA Hujan yang dekat dengan DAS tetapi letaknya tersebar
merata, dan tidak berkumpul di satu arah, karna jika pos hujan berada di
satu titik maka tidak bisa memperkirakan jumlah air yang akan masuk ke
sungai melalui DAS
b. Memilih STA hujan yang ketersediaan datanya lengkap
c. Data hujan diperoleh di PUSAIR/BMKG/PSDA
2.2.3. Curah Hujan Wilayah
a. Metode kebalikan jarak (inverse distance weighting)
Metode kebalikan jarak (inverse distance weighting) berdasarkan konsep
Hukum Pertama Tobler (Hukum Pertama tentang Geografi) yang berbunyi
: "Segala hal berhubungan dengan segala hal yang lain, namun hal yang
dekat lebih berkaitan daripada dengan hal yang jauh." (Chen dan Liu,
2012). Pembobotan dengan metode ini menggunakan persamaan sebagai
berikut (Indarto, 2010) :
1
wi =
di 2
1
∑N
i=1d 2
......................................................................................(2.2)
i
II-4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
dimana :
wi
= bobot masing-masing stasiun hujan
di
= jarak stasiun hujan ke lokasi (diambil titik berat DAS) (km 2)
N
= jumlah stasiun hujan
Ilustrasi untuk IDW dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 Metode IDW
b. Cara rata-rata aljabar
Metode ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan merata-ratakan
tinggi curah hujan yang terukur dalam daerah yang ditinjau secara
aritmatik. Keuntungan cara ini adalah lebih obyektif jika dibandingkan
dengan cara lain.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang
didapat dengan cara lain jika dipakai pada:
 daerah datar,
 stasiun-stasiun penakarnya banyak dan tersebar merata,
 masing-masing data tidak bervariasi banyak dari nilai rata-ratanya
II-5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2 Metode Aritmatik
Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan:
RH
1 n
=
H
n i 1 i
..........................................................................(2.3)
dimana:
HI
= hujan pada masing-masing stasiun i (1,2., n dalam areal yang
Ditinjau).
n
= jumlah stasiun,
RH
= rata-rata hujan
Perlu diketahui bahwa untuk menghitung hujan wilayah dengan
menerapkan cara rata-rata aljabar, data hujan yang ditinjau dan
diperhitungkan adalah data hujan yang berada didalam daerah aliran
(cathment area) dalam hal ini H1, H2, H¬n. Yang berada di luar daerah
aliran tidak dihitung.
II-6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
c. Cara Polygon Theissen
Cara ini sering dipakai karena mengimbangi tidak meratanya distribusi alat
ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi
masing-masing stasiun. Cara Poligon Theiessen dapat dipakai pada daerah
dataran atau daerah pegunungan (dataran tinggi) dan stasiun pengamat
hujan minimal ada tiga, sehingga dapat membentuk segitiga.
Koordinat/lokasi stasiun diplot pada peta, kemudian hubungkan tiap titik
yang berdekatan dengan sebuah garis lurus sehingga membentuk segitiga.
Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk
poligon di sekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon
merupakan batas luas efektif yang diasumsikan untuk stasiun tersebut. Luas
masing-masing poligon ditentukan dengan planimetri atau cara lain.
Ilustrasi untuk Poligon Thiessen dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. 3 Metode Poligon Thiessen
http://digilib.mercubuana.ac.id/
II-7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan :
RH =
∑n
i=1 Hi .Ai
∑n
i=1 Ai
...................................................................(2.4)
dimana :
Hi
= hujan pada masing- masing stasiun 1, 2 … n (mm)
Ai
= luas pengaruh masing- masing stasiun 1, 2 … n pada daerah
aliran (km2)
n
= jumlah stasiun yang ditinjau
RH
= rata- rata curah hujan (mm)
Metode ini dapat dipakai untuk menghitung curah hujan wilayah di daerah
pegunungan atau dataran, namun metode ini memiliki kelemahan, yaitu
lokasi stasiun hujan yang sebisa mungkin berada di dalam DAS, lokasi
stasiun yang harus tersebar merata di sekitar DAS, dan ketidakakuratan
ketika menggunakan stasiun yang berbeda letak geografisnya (misalnya ada
stasiun di pegunungan dan dataran untuk menghitung DAS tertentu).
d. Cara Ishoyet
Cara ini merupakan cara rasional yang terbaik dalam merata-ratakan hujan
pada suatu daerah, jika garis-garis digambar dengan akurat. Cara ini dapat
dipakai bila stasiun curah hujan cukup banyak dan tersebar merata pada
daerah aliran sungai. Cara ini agak sulit mengingat proses penggambaran
peta isohyet (serupa dengan garis kontur pada peta topografi) harus
mempertimbangkan topografi, arah angin dan faktor di daerah yang
bersangkutan. Lokasi stasiun dan besar datanya diplot dalam peta, kemudian
II-8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
digambar garis yang menghubungkan curah hujan yang sama (prosesnya
sama dengan penggambaran garis kontur pada peta topografi) dengan
perbedaan interval berkisar antara 10 sampai 20 mm. Luas bagian daerah
antara dua garis isohyet berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu
kemudian diukur dengan planimetri. Besarnya rerata curah hujan dapat
dihitung dengan formulasi sbb.:
n
RH =
 H .A
i
i 1
i
n
A
i 1
..............................................................(2.5)
i
dimana:
HI
= Hujan pada masing-masing stasiun A1, A2,…., An
AI
= Luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet
n
= Jumlah bagian-bagian antara garis-garis isohyet,
RH
= Rata-rata hujan.
Ilustrasi untuk garis Isohyet dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.4 Metode Isohyet
II-9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Cara ini akan menjadi lebih sulit bila jumlah titik-titik pengamatan hujan
lebih banyak dan variasi curah hujan di daerah tersebut cukup besar.
Kemungkinan individual error akan terjadi dalam penggambaran isohyet.
2.3
Klimatologi
Pengertian klimatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari iklim atau kondisi
cuaca rata-rata selama periode waktu tertentu. Klimatologi merupakan cabang dari
ilmu atmosfer karena mempelajari perubahan pola cuaca rata-rata dalam
hubungannya dengan kondisi atmosfer. Berbeda dengan meteorologi, yang
berfokus pada sistem cuaca jangka pendek yang berlangsung hingga beberapa
minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dan kecenderungan sistem tersebut
selama bertahun-tahun, bahkan hingga ribuan tahun. Pengetahuan dasar iklim
dapat digunakan dalam peramalan cuaca jangka pendek maupun untuk peramalan
iklim pada masa mendatang.
2.4
Evapotranspirasi
Faktor penentu tersedianya air permukaan setelah hujan adalah evapotranspirasi,
yaitu banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk uap air.
Evapotranspirasi
dihasilkan
dari
proses
evaporasi
dan
transpirasi.
Evaporasi/penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air dalam
wujud cair ke dalam wujud gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat perbedaan
tekanan uap air antara permukaan dan udara di atasnya. Evaporasi terjadi pada
permukaan badan- badan air, misalnya danau, sungai dan genangan air.
II-10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.5 Proses Evaporasi dan Evapotranspirasi
Besarnya limpasan atau surface run off dapat diperkirakan dari selisih antara hujan
dengan evapotranspirasi. Cara ini memberikan pendekatan yang lebih memuaskan
dan pada pemakaian koefisien run off terutama untuk daerah tropis seperti
Indonesia, dimana daerah tersebut mempunyai curah hujan dan kelembaban tanah
sehingga air tidak membatasi evapotranspirasi sepanjang tahun kecuali untuk
beberapa wilayah di Indonesia.
Pada kondisi atmosfir tertentu evapotranspirasi tergantung pada keberadaan air.
Jika kandungan air dalam tanah selalu dapat memenuhi kelembaban yang
dibutuhkan oleh tanaman, digunakan istilah evapotranspirasi potensial.
Evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi pada kondisi spesifik tertentu, dan
disebut evapotranspirasi aktual.
II-11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi antara lain adalah sebagai
berikut:
1.
Radiasi matahari (Solar Radiation).
Evaporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini terjadi hampir
tanpa berhenti di siang hari dan sering kali juga di malam hari. Perubahan dari
keadaan cair menjadi gas ini memerlukan input energi yang berupa panas
latent atau evaporasi. Proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran
langsung dari matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan
akan mengurangi input energi, jadi akan menghambat proses evaporasi.
2.
Angin (Wind)
Jika air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara tanah dengan udara
menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses evaporasi terhenti. Agar proses
tersebut berjalan terus, lapisan jenuh itu harus diganti dengan udara kering.
Pergantian itu dapat dimungkinkan hanya kalau ada angin, jadi kecepatan
angin memegang peranan dalam proses evaporasi.
3.
Kelembaman Relatif (Relative Humidity)
Faktor lain yang mempengaruhi evaporasi adalah kelembaman relatif udara.
Jika kelembaman relatif ini naik, kemampuannya untuk menyerap uap air
akan berkurang sehingga laju evaporasinya munurun. Penggantian lapisan
udara pada batas tanah dan udara denganudara yang sama kelembaman
relatifnya tidak akan menolong untuk memperbesar laju evaporasi. Ini hanya
dimungkinkan jika diganti dengan udara yang lebih kering.
II-12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4.
Suhu (Temperature)
Seperti disebutkan di atas, suatu input energi sangat diperlikan agar evaporasi
berjalan terus. Jika suhu udara dan tanah cukup tinggi, proses evaporasi akan
berjalan lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu udara dan tanah rendah,
karena adanya energi panas yang tersedia. Karena kemampuan udara untuk
menyerap uap air akan naik jika suhunya naik, maka suhu udara mempunyai
efek ganda terhadap besarnya evaporasi, sadangkan suhu tanah dan air hanya
mempunyai efek tunggal.
2.5
Metode Thronthwaite
Thornthwaite telah mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan
besarnya evapotranspirasi potensial dari data klimatologi. Evapotranspirasi
potensial (PET) tersebut berdasarkan suhu udara rerata bulanan dengan standar 1
bulan 30 hari, dan lama penyinaran matahari 12 jam sehari. Metode ini
memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk
berlangsungnya proses ET dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan
efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses ET.
Rumus dasar:
𝐸𝑇𝑃 = 1,6 (
10𝑋 𝑇 a
)
𝐼
........................................................................(2.17)
keterangan:
ETP = evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan)
T
= temperatur udara bulan ke-n (OC)
I
= indeks panas tahunan
a
= koefisien yang tergantung dari tempat
II-13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Harga a dapat ditetapkan dengan menggunakan rumus:
a = 675 ´ 10-9 ( I3 ) – 771 ´ 10-7 ( I2 ) + 1792 ´ 10-5 ( I ) + 0,49239 ................(2.18)
rumus ini baru berlaku untuk suhu udara rata-rata bulanan (t < 26,5 °C).
sedangkan untuk data suhu (t > 26,5 °C) digunakan rumus:
ETP(t ≥26,5 °C) = -0,00433 t2 + 3,2244 t -41,545 ....................................(2.19)
Jika rumus tersebut diganti dengan harga yang diukur, maka:
ETP = evapotranspirasi potensial bulanan standar (belum disesuaikan dalam cm).
Karena banyaknya hari dalam sebulan tidak sama, sedangkan jam penyinaran
matahari yang diterima adalah berbeda menurut musim dan jaraknya dari
katulistiwa, maka harus disesuaikan menjadi:
𝑃𝐸 = 𝐸𝑇𝑃
𝑠. 𝑇𝑧
30 𝑋 12
....................................................................................(2.20)
Keterangan:
s
= jumlah hari dalam bulan
Tz = jumlah jam penyinaran rerata per hari
2.6
Metode NRECA
Salah satu model hujan aliran yang relative sederhana adalah model NRECA.
National Rural Electric Cooperative Association di amerika mengembangkan
suatu model hidrologi untuk “Hydrologic Estimates For Small Hydroelectric
Projects”. Model tersebut dikembangkan oleh Norman H. Crawford dan Steven
M. Thurin (1981). Model NRECA digunakan untuk memperkirakan debit bulanan
yang berdasar pada hujan bulanan. Konsep dari metode NRECA memerlukan
inputan utama berupa data hujan dan evapotranspirasi aktual.
II-14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.6 Diagram alir model NRECA
Secara umum persamaan dasar dari metode NRECA ini dirumuskan sebagai
berikut:
Q = P – ΔE + ΔS
........................................................................(2.21)
dengan:
P = Prespitasi/ Hujan rata-rata DAS (mm)
ΔE = Evapotranspirasi Aktual (mm)
ΔS = Perubahan Tampungan (mm)
Q = Limpasan (mm)
Data masukan yang diperlukan dari model hujan-limpasan NRECA adalah
sebagai berikut:
a. Hujan rata-rata suatu DAS (P)
b. Evapotranspirasi potensial dari DAS (ETP)
Jika data yang ada adalah evapotranspirasi standar maka harus diubah ke
dalam bentuk evapotranspirasi aktual.
II-15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
c. Kapasitas tampungan kelengasan atau nominal
Diperkirakan nilai nominal seperti persamaan berikut :
NOM = 100 + C x hujan rata-rata tahunan (mm) ...............................(2.22)
Dengan :
 C = 0,2 untuk daerah dengan hujan sepanjang tahun
 C = 0,25 untuk daerah dengan hujan musiman
Hujan nominal dapat dukurangi hingga 25% untuk daerah dengan
tumbuhan yang terbatas dan penutup tanah yang tipis.
d. Persentase limpasan yang keluar dari DAS di sub surface/infiltrasi
(PSUB), dimana:
 PSUB = 0,5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa
 0,5 < PSUB = 0,9, untuk daerah dengan akuifer permeable yang
besar
 0,2 = PSUB < 0,5, untuk daerah dengan akuifer terbatas dan
lapisan tanah yang tipis
e. Persentase limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF)
Dimana :
 GWF = 0,5 , unuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa
 0,5 < GWF = 0,9, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang
kecil (base flow kecil) .
 0,2 = GWF < 0,5, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang
dapat diandalkan (base flow besar)
f. Simpangan kelengasan tanah (soil moisture storage) adalah cadangan air
yang besarnya ditentukan dari selisih tampungan akhir dan awal. Besarnya
II-16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
tampungan ini ditentukan oleh curah hujan, evapotranspirasi dan
kelebihan kelengasan yang menjadi limpasan langsung imbuhan air tanah.
Simpangan kelengasan tanah ini ditentukan dengan cara coba-coba. Nilai
awal dari tampungan kelengasan (Soil Moisture Storage), nilai SMS tidak
ada batasan, tapi perlu diperhatikan fluktuasinya agar seimbang.
g. Simpangan air tanah (Ground Water Flow) adalah : kelebihan kelengasan
tanah yang masuk ke dalam tanah dan mengalami perkolasi dan akan
masuk kedalam tampungan air tanah yang disebut akuifer Nilai awal
tampungan awal (Ground Water Flow), nilai GWF tidak ada batasan, tapi
perlu diperhatikan fluktuasinya agar seimbang.
h. Nilai Crop Factor (CROFT) berkisar antara 0,9 sampai 1,1.
Sedangkan langkah perhitungan Model NRECA :
Metode Nreca dapat digunakan untuk menghitung debit bulanan dari hujan
berdasarkan keseimbangan air di DAS. Langkah perhitungan mencakup 18 tahap,
dan dapat dilakukan kolom perkolom dari kolom (1) hingga (18) dalam satuan
mm.
Kolom 1
: Nama bulan Januari sampai Desember
Kolom 2
: Presipitasi (hujan) bulanan rata-rata (mm)
Kolom 3
: Evapotranspirasi potensial (ETP) (mm)
Kolom 4
: Nilai tampungan awal (Wo). Nilai ini harus dicoba-coba, dan
percobaan pertama diambil 600 (mm/bulan) di bulan januari.
Sebagai kondisi awal dan digunakan untuk perhitungan
selanjutnya.
Moisture Storage (i) = Moisture (i-I) + Delta Storage (i-I) ...........................(2.23)
II-17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kolom 5
: Ratio tampungan tanah (soil storage ratio – Wi). Dihitung
dengan rumus :
𝑊𝑜
Wi = 𝑁𝑂𝑀𝐼𝑁𝐴𝐿
................................................(2.24)
Nominal = 100 + 0,2 Ra ................................................(2.25)
Keterangan :
Ra = hujan tahunan (mm)
Kolom 6
: Ratio Presipitasi (Rb) / Evapotranspirasi Potensial – Kolom (2)
/ kolom (3)
Kolom 7
: Ratio AET / ETP
............................................................(2.27)
Keterangan :
AET = Evapotranspirasi Aktual, Ratio ini didapat dengan bantuan
grafik 1, tergantung nilai Rb / ETP.
Kolom 8
𝐴𝐸𝑇 (𝑖)
: AET (i) = [𝐸𝑇𝑃 (𝑖)] x ETP(𝑖 ) x koefisien reduksi ............(2.28)
= kolom (7) x kolom (3) x koefisien reduksi
Kolom 9
: Neraca Air (Water Balance) = Rb–AET ...............................(2.29)
(kolom (2) – kolom (8))
Kolom 10
: Rasio kelebihan kelengasan tanah (Excess Moisture Ratio)
Diperoleh :
1. Bila neraca air pada kolom (9) positif, maka rasio tersebut
dapat diperoleh bantuan grafik. Dengan memasukkan
nilai tampungan kelengasan tanah (Wi) di kolom (5).
2. Jika harga kelebihan kesetimbangan air negatif, maka
harga rasio ini sama dengan nol.
II-18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kolom 11
: Kelebihan kelengasan tanah (excess moisture) didapatkan
dengan mengalikan harga kolom (10) dengan kolom (9)
Excess Moisture(i) = Excess Moisture Ratio(i)xWater Balance(i)..(2.30)
Kolom 12
: Perubahan tampungan = kolom (9) – kolom (11)
Delta storage(i) = Water Balance (i) – excess Moisture (i)................ (2.31)
Kolom 13
: Pengisian air tanah (recharge to ground water). Harga
pengisian air tanah
didapatkan dengan mangalikan PSUB
dengan kolom (11).
Recharge to ground water (i) = PSUB x Excess moisture (i) ............. (2.31)
PSUB atau P1 yaitu parameter yang menggambarkan
karakteristik tanah permukaan (kedalaman 0 – 2 m), nilainya 0,1
– 0,5 tergantung pada sifat lulus air lahan, nilai P1 = 0,1 bila
bersifat kedap air dan nilai P1 = 0,5 bila bersifat lulus air.
Kolom 14
: Tampungan awal air tanah (begin storage GW), Harga
tampungan air tanah awal yang harus dicoba-coba dengan nilai
awal = 2.
Kolom 15
: Tampungan akhir air tanah (end storage Ground Water), Harga
tampungan akhir air tanah didapatkan dari penjumlahan antara
kolom (13) dan kolom (14).
End Storage GW(i) = Recharge to GW(i) + Begin Storage GW (i) ........... (2.32)
Kolom 16
: Aliran air tanah (GW flow), Nilai ini didapat dari perkalian antara
GWF dengan kolom (15).
GWF atau P2 yaitu parameter yang menggambarkan karakteristik
tanah permukaan (kedalaman 2-10 m), nilainya 0,1 – 0,5
II-19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
tergantung pada sifat lulus air lahan, nilai P2 = 0,9 bila bersifat
kedap air dan P2 = 0,5 bila bersifat lulus air.
Kolom 17
: Direct Flow, Nilai direct flow didapat dari pengurangan antara
kolom (11) dengan kolom (13).
Kolom 18
: Debit Total = kolom (16) + kolom (17)
Kolom 19
: Debit Observasi (debit pengukuran)
Perhitungan debit dengan Metode NRECA. Metode ini menggunakan prinsip
inflow sungai yang dipengaruhi oleh sumbangan dari air tanah untuk mendapatkan
debit bulanan untuk tiap-tiap tahun.
2.7
Kalibrasi Model NRECA
2.7.1
Parameter NRECA
Ada 4 parameter NRECA yang merupakan karakteristik DAS yaitu :
1. Nilai PSUB
Persentase limpasan yang keluar dari DAS di sub surface/infiltrasi
(PSUB), dimana:
 PSUB = 0,5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa
 0,5 < PSUB = 0,9, untuk daerah dengan akuifer permeable yang
besar
 0,2 = PSUB < 0,5, untuk daerah dengan akuifer terbatas dan
lapisan tanah yang tipis
II-20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. GWF
Persentase limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF)
Dimana :
 GWF = 0,5 , unuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa
 0,5 < GWF = 0,9, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang
kecil (base flow kecil) . 0,2 = GWF < 0,5, untuk daerah yang
memiliki tampungan air yang dapat diandalkan (base flow besar)
3. ISMS
Initial Soil Moisture Storage (ISMS), yaitu kelembapan tanah yang
digunakan pada seluruh daerah penggalian.
4. IGWS
Initial Groundwater Water Storage (IGWS), yaitu tampungan air
tanah pada kondisi awal.
2.7.2
Evaluasi Ketelitian
Evaluasi ketelitian model dilakukan dengan cara membandingkan debit
hasil
simulasi
dengan
debit
terukur
yang
tersedia,
dengan
memperhitungkan koefisien korelasi, dan verifikasi dengan perhitungan
statistik. Dibawah ini merupakan tabel perhitungan nilai korelasi dan
keterangan rumusnya.
Tabel 2.1 Tabel Perhitungan Nilai Korelasi dan Verifikasi
Q (m3/s)
NRECA
Observed
|X-Y|
(|X-Y|+|Y-Ybar|)^2
(Y - X)^2
(X-Xbar)^2
(X-Xbar)*(YYbar)
(YYbar)^2
NRECA
NRECA
NRECA
NRECA
NRECA
Observed
Sumber : Pengolahan Data
II-21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
X
Y
S(|X-Y|+|YYbar|)^2
S|X-Y|
S(Y - X)^2
Sxx
Sxy
Syy
SY
Xbar
Ybar
b1
b0
SSE
SSR
SST
STDEV.P
RMSE
r^2
d
NS
RCEQM
APB
Tabel 2.2 Keterangan Rumus
Keterangan Rumus
Nilai debit andalan
Nilai debit observasi
Nilai jumlah total dari (|X-Y|+|Y-Ybar|)^2
Nilai jumlah total dari |X-Y|
Nilai jumlah total dari (Y - X)^2
Nilai jumlah total dari (X-Xbar)^2
Nilai jumlah total dari (X-Xbar)*(Y-Ybar)
Nilai jumlah total dari (Y-Ybar)^2
Nilai jumlah total dari Y
Nilai jumlah total dari X
Nilai jumlah total dari Y
Sxx / Sxy
Ybar - b1 x Xbar
Syy - (Sxy)^2/ Sxx
(Sxy)^2/ Sxx
SSR + SSE
STDEV. P(X dan Y)
( S(Y - X)^2) / n (n = Jumlah data debit andalan)
CORREL(nilai x dan y)^2
1- S(Y - X)^2 / S(|X-Y|+|Y-Ybar|)^2
1 - S(Y - X)^2 / Syy
SQRT( S(Y - X)^2) / n^2)
S|X-Y| / SY
Nilai jumlah total dari Y/Nilai jumlah total dari Y, dikali
VE
100%
Sumber : Pengolahan Data
II-22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.8
Flow Duration Curve (FDC)
Analisis Flow Duration Curve (FDC) adalah sebuah teknik plot yang
menunjukkan hubungan antara hasil dari sebuah besaran dengan frekuensi
terjadinya. Dalam hal ini data debit hasil kemudian dianalisa menggunakan Flow
Duration Curve (FDC) untuk menentukan besar debit andalan. FDC pada
umumnya mengelompokkan data seri hidrologi (data debit) selama satu tahun
penuh tanpa memisahkan antara data bulan basah dan data bulan kering.
Pengelompokan tersebut biasanya disebut sebagai FDC tunggal.
Teknik membuat kurva FDC dapat dijelaskan secara urut sebagai berikut:
1. Urutkan n data rata-rata debit air sungai selama periode waktu tertentu mulai
dari nilai tertinggi hingga terendah.
2. Tetapkan m nomor rangking yang unik, dimulai dari angka 1 untuk debit
terbesar hingga angka m dan data n.
3. Probabilitas dari debit air untuk setiap persentasi waktu dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
𝑃 = 100 𝑥
𝑀
(𝑛+1)
........................................................................(2.33)
Dimana:
P = probalitas dari debit air
M = posisi rangking dari data debit
n = total data
II-23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.9
Metode Mikrohidro
Mikrohidro atau yang dimaksud dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
(PLTMH), adalah suatu pembangkit listrik kala kecil yang menggunakan tenaga
air sebagai tenaga penggeraknya seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun
alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan (head) dan jumlah debit air.
Mikrohidro merupakan sebuah istilah yang terdiri dari kata mikro yang berarti
kecil dan hidro yang berarti air. Secara teknis, mikrohidro memiliki tiga
komponen utama yaitu air (sebagai sumber energi), turbin dan generator.
Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan
ketinggian tertentu. Pada dasarnya, mikrohidro memanfaatkan energi potensial
jatuhan air (head). Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi potensial
air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Di samping faktor geografis (tata
letak sungai), tinggi jatuhan air dapat pula diperoleh dengan membendung aliran
air sehingga permukaan air menjadi tinggi. Air dialirkan melalui sebuah pipa pesat
kedalam rumah pembangkit yang pada umumnya dibagun di bagian tepi sungai
untuk menggerakkan turbin atau kincir air mikrohidro. Energi mekanik yang
berasal dari putaran poros turbin akan diubah menjadi energi listrik oleh sebuah
generator. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar,
misalnya dengan ketinggian air 2.5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt. Relatif
kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro dibandingkan dengan PLTA skala
besar, berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal yang
diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan
salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Perbedaan antara Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan
II-24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
mikrohidro terutama pada besarnya tenaga listrik yang dihasilkan, PLTA dibawah
ukuran 200 KW digolongkan sebagai mikrohidro. Dengan demikian, sistem
pembangkit mikrohidro cocok untuk menjangkau ketersediaan jaringan energi
listrik di daerah-daerah terpencil dan pedesaan.
Beberapa keuntungan yang terdapat pada pembangkit listrik tenaga listrik
mikrohidro adalah sebagai berikut :
1. Dibandingkan dengan pembangkit listrik jenis yang lain, PLTMH ini cukup
murah karena menggunakan energi alam.
2. Memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dioperasikan di daerah
terpencil dengan tenaga terampil penduduk daerah setempat dengan sedikit
latihan.
3. Tidak menimbulkan pencemaran Dapat dipadukan dengan program lainnya
seperti irigasi dan perikanan.
4. Dapat mendorong masyarakat agar dapat menjaga kelestarian
hutan
sehingga ketersediaan air terjamin
Prinsip kerja pembangkit listrik tenaga Mikrohidro
Prinsip dasar mikrohidro adalah memanfaatkan energi potensial yang dimiliki
oleh aliran air pada jarak ketinggian tertentu dari tempat instalasi pembangkit
listrik. Sebuah skema mikrohidro memerlukan dua hal yaitu, debit air dan
ketinggian jatuh (head) untuk menghasilkan tenaga yang dapat dimanfaatkan. Hal
ini adalah sebuah sistem konversi energi dari bentuk ketinggian dan aliran (energi
potensial) ke dalam bentuk energi mekanik dan energi listrik. Daya yang masuk
II-25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
(Pgross) merupakan penjumlahan dari daya yang dihasilkan (Pnet) ditambah
dengan faktor kehilangan energi (loss) dalam bentuk suara atau panas. Daya yang
dihasilkan merupakan perkalian dari daya yang masuk dikalikan dengan efisiensi
konversi (Eo).
Pnet = Pgross ×Eo kW
........................................................................(2.34)
Daya kotor adalah head kotor (Hgross) yang dikalikan dengan debit air (Q) dan
juga dikalikan dengan Berat Jenis Air (9,81), sehingga persamaan dasar dari
pembangkit listrik adalah :
Pnet = 𝛾 ×Hgross × Q ×Eo kW
............................................................(2.35)
Dimana head dalam meter (m), dan debit air dalam meter kubik per detik (m/s3).
2.10
Metode Minihidro
PLTM adalah pembangkit listrik dengan kapasitas daya output sekitar 1000 kW.
Pada beberapa PLTM bak pengendap yang berfungsi untuk mengendapkan dan
memisahkan partikel-partikel pasir dari air, tidak digunakan. Tujuannya adalah
untuk menghemat biaya konstruksi dan alasan fungsi pengendap dan pemisah
partikel pasir dari air dapat dilakukan oleh bak penenang (headtank). Pembangkit
Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) adalah salah satu pembangkit listrik tenaga air
yang menjadi pilihan dimana PLTM memanfaatkan energi air yang memiliki kapasitas
aliran yang tidak terlalu besar. Secara umum potensi listrik yang bersumber dari energi
terbarukan di luar Jawa cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal,
salah satunya adalah sumber energi tenaga air.
II-26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Rumus untuk menghitung daya output PLTM adalah:
𝑃 = 𝛾 . 𝑄. ℎ ....................................................................................................(2.36)
dimana:
P = daya output (kW)
𝛾 = Berat jenis air (N/m3) = 9810 (N/m3)
Q = debit air (m3/detik)
h = head turbin (m)
II-27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download