3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Mas (C. carpio L.) Ikan mas atau common carp termasuk Ordo Cypriniformes, Familia Cyprinidae. Ikan mas (C. carpio L.) mempunyai empat buah sungut dan bagian belakang jari-jari terakhir sirip dubur pada ikan mas mengeras dan bergerigi. Ikan mas berasal dari Jepang, China, dan diintroduksi ke seluruh dunia sebagai ikan konsumsi. Ikan mas merupakan ikan budidaya tertua yang dapat tumbuh mencapai ukuran panjang 120 cm dengan berat 37,3 kg. Sifat ikan mas adalah omnivora atau pemakan segala, mencari hewan dasar dengan cara mengauk dasar kolam yang menyebabkan air menjadi keruh (Tim Peneliti BRPPU 2008). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan mas (C. carpio L.) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus Spesies : Cyprinus carpio (Linnaeus 1758), morfologi ikan mas (C. carpio L.) disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Ikan mas (C. carpio L.) 2.2 Suhu Ikan merupakan hewan berdarah dingin (poikilothermal) yang metabolisme tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Neuman et al. 1997). Engelsma et al. (2003) menyatakan bahwa suhu juga berpengaruh terhadap parameter hematological dan daya tahan terhadap penyakit. Pemberian suhu tinggi 4 ataupun suhu rendah yang mendadak dapat meningkatkan jumlah sel darah putih pada ikan mas. Proses fisiologis dalam ikan yaitu tingkat respirasi, makan, metabolisme, pertumbuhan, perilaku, reproduksi dan tingkat detoksifikasi dan bioakumulasi dipengaruhi oleh suhu (Fadhil et al. 2011). Setiap ikan memiliki rentang suhu yang optimal bagi pertumbuhannya. Ikan yang hidup di lingkungan lebih hangat memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat tetapi cenderung memiliki jangka hidup yang lebih pendek daripada ikan pada lingkungan air dingin. Suhu air yang tinggi sistem metabolisme tubuh ikan sehingga konsumsi dapat meningkatkan pakan meningkat (Kausar & Salim 2006). Meningkatnya suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan yang dapat mempercepat pencernaan nutrisi sehingga dapat meningkatkan hasil buangan (Shcherbina & Kazlauskene 1971). 2.3 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter kimia perairan yang memiliki pengaruh besar terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Nilai pH akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Kisaran pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6,5-9. Batas terendah yang menyebabkan kematian ikan adalah pH 4 dan tertinggi pada pH 11 (Boyd 1990). Perairan dengan kisaran pH 4-6 mengakibatkan pertumbuhan lambat bagi ikan budidaya (Boyd 1990). Nilai pH suatu perairan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis normal organisme air, termasuk pertukaran ion dengan air dan respirasi (EIFAC 1969). 2.4 Oksigen Terlarut (DO) Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dengan batas minimum adalah 3 ppm. Kandungan oksigen di dalam air dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4-10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas kelarutan oksigen antara 3-4 ppm pada suhu 20-30 oC (Ghufran & Kordi 2007). Ernest (2000) ikan mas dapat bertahan hidup pada konsentrasi DO minimum sebesar 2 mg/L. Doudoroff dan Shumway (1970) menyatakan bahwa kebutuhan minimum oksigen untuk ikan mas (C. carpio) adalah 0,2-2,8 mg/L. Boyd (1990) 5 menjelaskan juga bahwa kandungan DO kurang dari 1 mg/L dapat menyebabkan lethal atau menyebabkan kematian dalam beberapa jam. 2.5 Karbondioksida (CO2) Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari hasil respirasi organisme perairan. Lamanya waktu transportasi berbanding lurus dengan tingginya eksresi CO2 yang dihasilkan. Kepadatan yang tinggi juga akan menghasilkan eksresi CO2 yang lebih tinggi. Karbondioksida bereaksi dengan air akan menghasilkan asam karbonat (H2CO3) (Suryaningrum et al. 2006). Berikut ini adalah reaksi terbentuknya asam karbonat menurut William & Robert (1992) : H2O + CO2 = H2CO3 = H+ + HCO3Tingkat aktivitas dan stres ikan juga mempengaruhi kadar CO2 dalam air terkait tingkat respirasinya. Hal tersebut dikarenakan CO 2 dihasilkan sebagai oksidasi senyawa organik yang berasal dari makanan selama proses respirasi (Suryaningrum et al. 2006). Ketika ikan ditebar sangat banyak atau pada kepadatan tinggi, konsentrasi CO2 dapat menjadi tinggi sebagai hasil dari respirasi. CO2 bebas yang dilepaskan selama respirasi akan berekasi dengan air sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air (William & Robert 1992). 2.6 Total Amonia Nitrogen (TAN) Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Sumber amonia pada wadah transportasi berasal dari hasil metabolisme ikan yang dikeluarkan oleh insang. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia (Effendi 2003). Metode penghitungan amonia yang ada sekarang ini sebenarnya melakukan perhitungan terhadap amonia total atau total amonia nitrogen (TAN) yang terdiri dari NH3 dan NH4+ (Hargreaves dan Tucker 2004). Berikut merupakan kesetimbangan reaksinya: NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH- 6 Proporsi relatif dari kedua bentuk amonia tersebut di dalam perairan ditentukan oleh derajat keasaman atau pH. Bentuk toksik dari amonia adalah saat menjadi NH3 dan umumnya dominan saat pH tinggi. Ion amonium relatif tidak toksik dan mendominasi saat pH rendah (Hargreaves dan Tucker 2004). Konsentrasi amonia dalam suatu perairan harus diatur secara hati-hati karena amonia yang tidak terionisasi (NH3) dapat menjadi sangat beracun bagi hewan budidaya. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi Pada pH 7 atau kurang. Amonia tidak terionisasi pada pH lebih besar dari 7 dan akan bersifat toksik jika jumlahnya banyak. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi 2003). Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi (Effendi 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L, sedangkan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,2 mg/L. Kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/L, perairan toksik bagi beberapa jenis ikan (Effendi 2003). Pada tingkat toksik, NH3 dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah, gangguan osmoregulasi, dan kesulitan bernafas. Akumulasi NH3 pada kolam-kolam budidaya dapat bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi dan dapat menyebabkan kematian hewan budidaya. Akumulasi NH3 pada kolam-kolam budidaya biasanya hanya sampai pada level yang menyebabkan efek-efek subletal (Hargreaves dan Tucker 2004). 2.7 Glukosa Darah Respon sekunder terjadi karena adanya pengaktifan hormon stres yang menyebabkan perubahan kimia darah dan jaringan (Begg & Pankhurst 2004), misalnya peningkatan glukosa dalam plasma darah (Porchas et al. 1990). Glukosa darah kebanyakan diproduksi akibat adanya aksi hormon kortisol yang dapat merangsang glukoneogenesis pada hati dan menghentikan penyerapan gula 7 (Porchas et al. 1990). Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Sedangkan selama stres terjadi inaktivasi insulin sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel (Brown 1993 dalam Hastuti et al. 2003). Pengujian glukosa darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat stres pada ikan (Kucukgul & Sahan 2008). Barton & Iwama (1991) menyatakan bahwa konsentrasi kortisol dan glukosa merupakan indikator stres yang paling penting pada ikan. Kebutuhan energi dari glukosa untuk menangani stres dapat dipenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel target. Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Inaktivasi insulin terjadi selama stres sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel (Hastuti et al. 2003). Mekanisme terjadinya perubahan performa glukosa darah selama stres adalah sebagai berikut: Adanya perlakuan shock suhu (perubahan suhu) lingkungan akan diterima oleh organ reseptor. lnformasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf, dan selanjutnya sel kromaffin menerima perintah melalui serabut syaraf symphatik untuk mensekresikan hormon katekolamin. Hormon ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan otot serta menekan sekresi hormon insulin, sehingga glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan hipothalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing factor) yang meregulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan ACTH (adrenocorticotropik hormone), MSH (melanocyte stimulating hormone) dan B-End (B-endorphin). Hormon tersebut akan meregulasi sekresi hormon kortisol dari sel. Kortisol selanjutnya akan menggertak enzim-enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan glukosa darah yang bersumber dari non karbohidrat. Penurunan glukosa darah terjadi akibat adanya katabolisme protein untuk membentuk glukosa, katabolisme protein ini juga menghasilkan asam amino, sehingga asam amino dalam darah diduga meningkat. Meningkatnya asam amino dalam darah akan mengaktivasi insulin kembali sehingga mampu melakukan transport glukosa, sehingga glukosa dalam darah akan menurun kembali (Hastuti et al. 2003). 8 Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pulau lengerhan pada jaringan epithelium pankreas yang mengatur tingkat kenormalan gula darah yang relatif konstan dibawah kondisi normal. Hormon ini berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Suptijah 1996). Insulin adalah protein yang mempunyai struktur primer spesifik dan merupakan polipeptida besar dengan berat molekul kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai: rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat 2 jembatan disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan N-19 dengan A-20. Jembatan disulfida juga terdapat antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A (Suharto & Handoko 1987 dalam Suptijah 1996). Insulin memiliki fungsi yang luas dan rumit. Efek akhir dari hormon ini adalah penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak sehingga insulin dapat disebut sebagai hormone of abudance (Nurtanio & Wangko 2007). Insulin memiliki dua fungsi penting dalam menjaga homeostasis metabolisme dalam tubuh. Mengusahakan tetap tersedianya sumber energi yang cukup untuk kebutuhan tubuh dalam masa perkembangan, pertumbuhan, dan reproduksi adalah fungsi pertama. Fungsi kedua adalah mengatur konsentrasi glukosa plasma. Pengaturan pelepasan insulin ini dikendalikan oleh sistem saraf pusat dan dipengaruhi oleh jumlah sel lemak dan glukosa plasma (Nurtanio & Wangko 2007).