Bab 1 - Widyatama Repository

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Era globalisasi merupakan era yang syarat dengan adanya persaingan
yang ketat dalam segala sisi kehidupan, khususnya di dalam kegiatan bisnis. Hal
ini dikarenakan sudah tidak ada batasan antara satu negara dengan negara lain di
dalamnya. Bagi beberapa Futurolog, era globalisasi dicirikan dengan kondisi
yang uncertainty, unpredict dan uncontroll ( James n Kelly: 1998). Kondisi ini
memaksa semua pelaku bisnis berusaha untuk terus berbenah diri agar tetap dapat
menjalankan roda bisnisnya. Ekpansi usaha, penggunaan teknologi informasi,
inovasi dan pengembangan produk baru mutlak dilakukan, dan tentunya
membutuhkan banyak dana di dalam menjaga stabilitas dan eksistensi usahanya .
Untuk itu, segala upaya dilakukan dalam rangka menghimpun dana, salah satunya
melalui penerbitan sekuritas seperti saham, obligasi dan derivatifnya serta
sekuritas lainnya untuk kemudian diperdagangkan di bursa efek atau pasar modal.
Pasar modal dipandang sebagai salah satu sarana efektif untuk
mempercepat perkembangan suatu perusahaan. Pengumpulan dana melalui pasar
modal dapat dikerahkan perusahaan untuk melakukan ekspansi dengan
memperluas usahanya memasuki lingkup ekonomi global sejalan dengan
perkembangan ekonomi dunia yang semakin meningkat.
Jika perusahaan memilih untuk menjual sebagian kepemilikannya kepada
masyarakat/ investor (Go Public) untuk pertama kalinya melalui sekuritas (saham)
yang diterbitkannya hal ini dikenal dengan istilah Penawaran Umum Perdana
(Initial Public Offering/ IPO). Tempat dilakukannya transaksi pembelian saham
dari perusahaan oleh investor untuk pertama kalinya adalah di Pasar Perdana dan
BAPEPAM menetapkan prosedur serta peraturan khusus yang harus dipatuhi oleh
perusahaan tersebut.
Penentuan harga saham di pasar perdana merupakan proses yang sulit.
Hal ini dikarenakan perusahaan yang akan melakukan penawaran umum perdana/
IPO (emiten), belum tahu berapa harga sekuritasnya, karena belum pernah tercatat
di bursa saham. Oleh karena itu, emiten yang akan melakukan IPO akan meminta
bantuan penjamin emisi (underwriter) untuk menentukan harga sahamnya di pasar
perdana.
Mekanisme pembentukan harga saham saat IPO berbeda dengan
pembentukan harga saham di pasar sekunder. Di pasar sekunder, harga saham
tercipta melalui mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran akan saham tersebut. Semakin tinggi permintaan investor terhadap
suatu saham maka semakin tinggi pula harga saham tersebut dan berlaku
sebaliknya. Sementara di pasar perdana, proses penentuan harga saham emiten
adalah melalui mekanisme negosiasi/ kesepakatan antara emiten dan penjamin
emisinya (Jusuf: 2002).
Dalam mekanisme penentuan harga tersebut, sering terjadi perbedaan
antara harga saham perdana dengan harga di pasar sekunder. Apabila penentuan
harga pasar saham saat IPO lebih rendah dibanding dengan harga yang terjadi di
pasar sekunder hari pertama, maka terjadi underpricing (Carter & Manaster:
1990).
Kondisi harga saham yang underpriced ini akan merugikan jika dipandang
dasi sisi emiten. Emiten sebagai pihak yang membutuhkan dana akan
menginginkan harga perdana yang tinggi, karena dengan harga perdana yang
tinggi, emiten akan memperoleh dana dari keuntungan penjualan saham yang
dapat digunakan untuk membiayai aktivitas operasinya. Makin tinggi harga jual,
maka makin tinggi pula pemasukan yang diterima yang juga menggambarkan
nilai perusahaan yang tinggi.
Penelitian Suad Husnan (1996) yang dikutip oleh Ghozali (2002)
menunjukkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun pada
perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced. Temuan ini
pun sejalan dengan penelitian Ghozali (2002) yang menyatakan bahwa tingkat
underpricing di Bursa Efek Jakarta mencapai 25,183%.
Fenomena underpricing ini terjadi karena adanya kondisi asimetri
informasi, yaitu suatu kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan informasi
diantara pihak-pihak yang terlibat di dalam penawaran perdana, yaitu emiten,
investor dan penjamin emisi. Dimana underwriter sebagai pihak yang memiliki
kelebihan informasi menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil
resiko (Husnan, 1991; Cheung, dan Alli (1994) & How (1995) dalam Ghozali,
2002).
Harga perdana yang underpriced akan memberikan return rata-rata
positif bagi investor setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa.
Underpricing pada harga perdana akan diikuti oleh kenaikan harga pada hari-hari
perdagangan berikutnya. Dengan demikian, underpricing pun menjadi pertanda
bahwa perusahaan menjanjikan keuntungan bagi investor (Marchia, 2003).
Penentuan harga penawaran saham perdana berkaitan dengan penentuan
nilai sesungguhnya dari perusahaan (emiten) dan merupakan proses tersulit yang
harus dilakukan oleh penjamin emisi, karena penjamin emisi harus menghadapi
ketidakpastian saham (risiko) yang berkaitan dengan tipe penjaminannya. Di
Indonesia hanya ada satu tipe penjaminan emisi, yaitu full commitment dimana,
pihak penjamin emisi wajib membeli seluruh saham milik emiten yang nantinya
tidak terjual di pasar perdana. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjamin
emisi akan berupaya untuk bernegosiasi dengan emiten agar saham-saham
tersebut
tidak
terlalu
tinggi
harganya,
bahkan
cenderung
underpriced
(Cheung, Alli, 1994 ; How: 1995).
Beatty & Ritter (1996) dalam Yuwendhy (2004) menemukan bahwa
semakin besar tingkat ketidakpastian mengenai nilai yang sesungguhnya dari
harga saham, maka semakin tinggi pula tingkat underpricing, dengan kata lain
berkorelasi positif dengan tingkat underpricing pasar perdana. Besarnya
keterbukaan informasi yang dilakukan oleh emiten akan mempengaruhi keputusan
investasi investor.
Prospektus dalam penawaran umum perdana menjadi sumber informasi
utama bagi calon investor untuk menilai suatu perusahaan. Besarnya keterbukaan
informasi yang dilakukan oleh emiten dan penjamin emisi yang tertuang dalam
prospektus akan mempengaruhi tingkat ketidakpastian yang dihadapi investor.
Nasirwan (2000) dalam Tantri (2007) menyatakan bahwa informasi yang
terkandung dalam prospektus terdiri dari informasi akuntansi dan informasi nonakuntansi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Klein (1989) dalam Tantri (2007)
menyajikan suatu model penilaian IPO dan menemukan bukti adanya hubungan
antara angka-angka akuntansi pada prospektus termasuk pendapatan dan
penghasilan dengan nilai pasar dari saham perusahaan IPO satu minggu setelah
tanggal perdagangan di pasar sekunder. Informasi yang diungkapkan dalam
prospektus baik informasi akuntansi dan non-akuntansi akan membantu investor
dalam membuat keputusan yang rasional mengenai resiko dan nilai sesungguhnya
yang ditawarkan oleh emiten.
Berdasarkan uraian, penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang
pengaruh variabel-variabel yang terdapat dalam prospektus dan pengaruhnya
terhadap tingkat underpricing.
Penelitian yang dilakukan, merujuk pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Imam Ghozali & Mudrik Al Mansur
(2002) tentang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpriced di
Bursa Efek Jakarta. Variabel yang diajukan dalam penelitian tersebut meliputi:
reputasi underwriter, skala/ ukuran perusahaan, umur perusahaan, ROA serta
financial leverage yang diperkirakan menjadi penyebab underpricing saham
perdana saat IPO. Sampel penelitian adalah perusahaan yang listing di Bursa Efek
Jakarta selama tahun 1997-2000 dan mengalami underpriced. Hasil penelitiannya
menunjukkan hasil sbb: Variabel ROA, reputasi underwriter serta financial
leverage terbukti memiliki pengaruh
negatif
yang
signifikan terhadap
underpricing.
Dalam penelitian ini menekankan bahwa semakin besar ROA suatu
perusahaan maka semakin kecil tingkat underpricing saham perdana.
ROA
merupakan suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan (asset yang
dimiliki) untuk mendapatkan laba.
ROA menjadi salah satu pertimbangan
investor di dalam melakukan investasi terhadap saham di lantai bursa (Ghozali:
2002).
Reputasi Underwriter dalam penelitian tersebut dijelaskan merupakan
salah satu faktor yang turut menentukan besar atau kecilnya tingkat underpricing
saham perdana.
Penelitian yang dilakukan oleh Carter dan Manaster (1990)
mengatakan bahwa emiten yang menggunakan underwriter yang berkualitas akan
mengurangi tingkat ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi
yang terdapat dalam prospektus dan memberikan signal bahwa infromasi privat
dari emiten mengenai prospek perusahaan dimasa mendatang tidak menyesatkan.
Financial leverage menurut Firth dan Smith (1992) menjelaskan bahwa
tingkat kewajiban yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi
lebih sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan. Hal tersebut
akan berpengaruh terhadap besar atau kecilnya tingkat underpricing saham
perdana.
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis menggunakan variabel keuangan
yang terdapat dalam prospektus emiten yang meliputi ROA, financial leverage
dan ukuran perusahaan sebagai alat analisis pengaruh terhadap tingkat
underpricing di Bursa Efek Indonesia. Dalam penelitian ini penulis berorientasi
penuh kepada pengembangan analisis internal prospektus emiten di dalam
meneliti besar atau kecilnya tingkat underpricing saham perdana di BEI. Agar
tidak menimbulkan bias, penulis menganggap faktor-faktor lain konstan dan tidak
diteliti.
Weston & Copeland (1992) dalam Dewi (2005) menyatakan bahwa
investor dalam melakukan keputusan investasinya akan lebih menekankan pada
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan efisiensi operasinya.
Demikian juga halnya dengan para calon pemegang saham yang menanamkan
modalnya dalam bentuk saham biasa akan lebih tertarik dengan profitabilitas.
Return on Assets (ROA) adalah salah satu rasio profitabilitas dan
merupakan
suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan (asset yang
dimilikinya) untuk mendapatkan laba. ROA menjadi salah satu pertimbangan
investor didalam melakukan investasi terhadap saham-saham dilantai bursa
(Ghozali: 2002).
Selain menganalisis prospek perusahaan dari sisi profitabilitasnya, investor
juga akan mempertimbangkan sisi risiko yang akan dihadapinya. Financial
leverage merupakan rasio yang tepat yang menggambarkan tingkat resiko dari
perusahaan yang diukur dengan membandingkan total kewajiban perusahaan
dengan total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan (Dewi, 2006).
Financial leverage dipertimbangkan sebagai variabel keuangan dalam
penelitian ini karena menurut Kimetall (1993) dalam Misnen (2004), secara
teoritis leverage menunjukkan resiko suatu perusahaan sehingga berdampak
terhadap ketidakpastian suatu harga saham. Semakin besar tingkat kewajiban
suatu perusahaan maka semakin besar pula tingkat underpricing.
Ukuran perusahaan merupakan salah satu informasi dalam prospektus
yang menurut Tantri (2007) sangat mempengaruhi investor dalam mengambil
keputusan investasi karena mendukung teori uncertainty of company value, yaitu
ketidakpastian nilai perusahaan di masa datang yang akan membuat investor raguragu menginvestasikan uangnya di saham emiten. Ketika investor membaca
prospektus, menganalisa ukuran perusahaan atau total aktivanya dan menilai
bahwa total aktiva dapat dipergunakan untuk menambah penghasilan emiten dan
mampu menutupi kewajibannya, maka risiko ketidakpastian di masa depan dapat
diperkecil.
Berdasarkan uraian, ROA, financial leverage dan ukuran perusahaan dapat
digolongkan sebagai faktor ketidakpastian yang turut menentukan pembentukan
harga pasar saham di pasar modal. Semakin besar faktor ketidakpastian yang
dihadapi, maka akan semakin tinggi tingkat underpricing yang terjadi.
Penulis melakukan penelitian kembali, dengan pertimbangan sebagai
berikut: Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian Ghozali (2002)
terbatas pada perusahaan yang go public antara tahun 1997–2000. Sementara
dalam penelitian yang akan Penulis lakukan, periode pengamatan akan
diperpanjang dari tahun 2000-2008. Pemilihan periode ini berdasarkan beberapa
alasan, pertama tahun-tahun tersebut adalah tahun setelah terjadinya krisis
sehingga diharapkan pasar modal Indonesia telah kembali normal. Tahun 1997
tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena krisis ekonomi mulai terjadi pada
pertengahan tahun 1997 (Juli 1997), sehingga pengaruh krisis selama 1 semester
itu belum memberikan pengaruh yang penuh bagi keseluruhan data tahun 1997
karena terakumulasi oleh data yang berasal dari semester pertama tahun 1997
(Manao dan Nur, 2001 dalam Henny & Payamta, 2004).
sedangkan
perkembangan tahun 1998-1999 turut untuk tidak diikutsertakan dalam penelitian
ini dikarenakan tahun tersebut merupakan tahun dimana perekonomian indonesia
berada pada masa pemulihan (recovery) setelah terjadi krisis. Kedua, karena
faktor ketersediaan data.
Setelah mempertimbangkan latar belakang penelitian, maka penulis
bermaksud untuk melakukan penelitian yang berjudul:
“Pengaruh Return on Assets (ROA), Financial Leverage dan Ukuran
Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana”
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh ROA, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan
terhadap tingkat underpricing saham perdana secara parsial.
2. Apakah terdapat pengaruh ROA, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan
terhadap tingkat underpricing saham perdana secara bersama-sama
(simultan).
1.3
Batasan Penelitian
Adapun batasan yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah:
1. Variabel keuangan dalam prospektus yang diteliti adalah ROA, Financial
Leverage dan Ukuran perusahaan. Agar tidak menimbulkan bias dalam
penelitian ini, maka penulis mengasumsikan faktor-faktor lain dianggap
konstan dan tidak diteliti.
2. Penulis tidak meneliti bagaimana cara menentukan harga saham pada saat
penawaran perdana/ IPO.
3. Dalam penelitian ini penulis menggunakan statistical study sama dengan
penelitian Ghozali (2002). Penelitian yang hanya menggunakan statistical
study juga pernah dilakukan oleh Marchia (2003) yang juga meneliti tentang
fenomena underpricing.
1.4
Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi
yang diperlukan untuk bahan analisis bagi penyusunan skripsi. Adapun penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh bukti secara empiris mengenai:
1.
Pengaruh ROA, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan terhadap tingkat
underpricing saham perdana secara parsial.
2.
Pengaruh ROA, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan terhadap tingkat
underpricing saham perdana secara simultan
1.5
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
diandalkan dan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Bagi perusahaan-perusahaan yang akan melakukan IPO, dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan khususnya yang berkaitan dengan masalah
keterbukaan informasi untuk memperoleh perkiraan harga yang baik.
2.
Bagi investor dan calon investor yang tertarik menanamkan modalnya
melalui pasar modal, maka hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk
mempertimbangkan keputusan investasi.
3.
Bagi penulis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman
mengenai fenomena-fenomena yang terjadi di pasar saham dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
4.
Bagi
peneliti
lain,
penelitian
ini
dapat
dijadikan
mengembangkan penelitian-penelitian yang selanjutnya.
dasar
untuk
1.6
Kerangka Pemikiran
Agar suatu perusahaan dapat tetap menjaga going concern usahanya,
perusahaan membutuhkan dukungan finansial yang kuat. Dalam rangka
mendapatkan dukungan tersebut, ada berbagai alternatif sumber pendanaan baik
dari dalam maupun luar perusahaan yang dapat dipilih untuk memperoleh
tambahan dana segera (fresh money)/ modal. Alternatif pendanaan dari dalam
perusahaan umumnya menggunakan laba yang ditahan perusahaan. Sedangkan
alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditur berupa utang
maupun pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham (equity) melalui
pasar modal.
Pendanaan melalui mekanisme penyertaan umumnya dilakukan dengan
menjual saham perusahaan kepada masyarakat atau sering dikenal dengan go
public. Go Public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang
dilakukan oleh emiten (perusahaan yang go public) kepada masyarakat
berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya.
Jika perusahaan akan melakukan penawaran saham kepada
investor umum/publik di pasar modal untuk pertama kalinya, maka ini yang
disebut dengan Penawaran Umum Perdana/ Initial Public Offering (IPO).
Initial Public Offering memberikan berbagai masalah yang rumit bagi
emiten yang akan melakukannya. Salah satunya adalah penentuan harga di pasar
perdana. Hal ini dikarenakan perusahaan yang akan melakukan penawaran umum
perdana/IPO (emiten), belum tahu berapa harga sekuritasnya, karena belum
pernah tercatat di bursa saham. Oleh karena itu, emiten yang akan melakukan IPO
akan meminta bantuan penjamin emisi (underwriter) untuk menentukan harga
sahamnya di pasar perdana.
Mekanisme penentuan harga saham saat IPO/ di pasar perdana berbeda
dengan penentuan harga saham di pasar sekunder. Di pasar sekunder, harga saham
tercipta melalui mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaan akan saham tersebut. Semakin tinggi permintaan investor terhadap
suatu harga saham maka semakin tinggi pula harga saham tersebut, berlaku pula
sebaliknya. Sementara di pasar perdana, proses penentuan harga saham perdana
suatu emiten akan tercipta melalui mekanisme negosiasi/kesepakatan antara
emiten dan penjamin emisinya (Jusuf: 2002). Apabila penentuan harga pasar
saham saat IPO lebih rendah dibanding dengan harga yang terjadi di pasar
sekunder hari pertama, maka terjadi underpricing.
Kondisi harga saham yang underpriced ini akan merugikan jika
dipandang dari sisi emiten. Emiten sebagai pihak yang membutuhkan dana akan
menginginkan harga perdana yang tinggi. Karena dengan harga perdana yang
tinggi, emiten akan mendapatkan keuntungan penjualan saham yang nantinya
akan digunakan sebagai suntikan modal untuk membiayai aktivitas operasi
perusahaan. Semakin tinggi harga jual maka semakin tinggi pula pemasukan yang
akan diterima. Sehingga, underpricednya harga saham berdampak keuntungan
yang didapat tidak optimal.
Secara teoritis fenomena underpricing ini terjadi karena adanya kondisi
asimetri informasi, yaitu suatu kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan
informasi diantara pihak-pihak yang terlibat di dalam penawaran perdana, yaitu
emiten, investor dan penjamin emisi. Kondisi asimetri informasi inilah yang
menyebabkan terjadinya underpriced dimana underwriter merupakan pihak yang
memiliki kelebihan informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk
memperkecil resiko. (Husnan, 1991; Cheung et al, 1994 dalam Ghozali, 2002).
Janice (1990) menjabarkan asimetri informasi sebagai suatu ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki baik oleh emiten, jasa underwriter dan calon penanam
saham (investor) berkenaan dengan karakteristik, tingkah laku, dan orientasi pasar
(investor), serta penilaian perusahaan yang tidak dapat diungkapkan dalam
prospektus keuangan perusahaan.
Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Selisih harga inilah
yang dikenal sebagai Initial return (IR) atau positive return bagi investor
(Ritter:1984).
Carter & Manaster (1990) dalam Ghozali (2002) menjelaskan
bahwa underpricing adalah hasil dari ketidakpastian harga saham pada pasar
perdana.
Ritter (1984) dalam Tantri (2007), menjelaskan bahwa adanya pengaruh
Emiten yang masih berusia muda dan memiliki skala kecil terhadap tingkat
underpricing. Hal tersebut dibuktikan bahwa dari sekitar 5.000 perusahaan yang
go public selama tahun 1962-1982 di Amerika Serikat, nilai rata-rata IPO-nya
diperdagangkan pada harga 18,8% lebih tinggi dari harga penawaran perdananya
sehingga terjadi underpricing.
Penelitian Suad Husnan (1996) yang dikutip oleh Imam Ghozali (2002)
menunjukkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun pada
perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced. Harga
perdana yang underpriced akan memberikan initial return rata-rata positif bagi
investor setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa. Underpricing pada
harga perdana akan diikuti oleh kenaikan harga pada hari-hari berikutnya. Dengan
demikian, underpricing merupakan suatu pertanda bahwa perusahaan menjanjikan
keuntungan bagi investor.
Hal tersebut juga didukung oleh Brealey & Myers dalam Marchia (2003)
yang menyatakan bahwa: “many investment bankers and institutional investors
argue that underpricing is in the interests of the issuing firm. They say that a low
offering price on the initial offer raises the prices of the stock when it is
subsequently traded in the market & enhances the firms ability to raise further
capital (Brealey & Myers, 1996: 389). Hal tersebut menunjukkan perilaku harga
saham bahwa pada hari-hari awal perdagangan di pasar sekunder dimana harga
saham lebih tinggi daripada harga saham di pasar perdana.
Penentuan harga penawaran saham perdana berkaitan dengan penentuan
nilai sesungguhnya dari perusahaan (emiten) dan merupakan proses tersulit yang
harus dilakukan oleh penjamin emisi, karena penjamin emisi harus menghadapi
ketidakpastian saham (risiko). Untuk itu penjamin emisi harus menganalisis
secara menyeluruh mengenai potensi perusahaan baik dari segi finansial maupun
nonfinansial dan kondisi pasar modal. Apalagi ditambah dengan tipe penjaminan
full commitment yaitu , pihak penjamin emisi wajib membeli seluruh saham milik
emiten yang nantinya tidak terjual di pasar perdana. Kondisi tersebut memaksa
Penjamin emisi untuk berupaya bernegosiasi dengan emiten agar saham-saham
tersebut tidak terlalu tinggi harganya, bahkan cenderung underpriced.
Beatty & Ritter (1996) dalam Yuwendhy (2004) menemukan bahwa
semakin besar tingkat ketidakpastian mengenai nilai yang sesungguhnya dari
harga saham, maka semakin tinggi pula tingkat underpricing, dengan kata lain
berkorelasi positif dengan tingkat underpricing pasar perdana. Besar atau kecilnya
keterbukaan informasi yang dilakukan oleh emiten akan mempengaruhi keputusan
investasi investor.
Jogiyantoro & Syaiful (2002) dalam Tantri (2007) menyatakan bahwa
salah satu media penyebaran informasi kepada masyarakat dalam rangka IPO
adalah prospektus. Dalam penawaran umum perdana, prospektus merupakan
sumber informasi utama bagi calon investor dalam menilai suatu perusahaan
untuk menunjang pengambilan keputusan investasinya. Besarnya keterbukaan
informasi yang dilakukan oleh emiten dan penjamin emisi yang tertuang dalam
prospektus akan mempengaruhi tingkat ketidakpastian yang dihadapi investor.
Nasirwan (2000) dalam Tantri (2007) menyatakan bahwa informasi yang
terkandung dalam prospektus terdiri dari informasi akuntansi dan informasi nonakuntansi. Informasi akuntansi adalah laporan keuangan yang terdiri atas neraca,
perhitungan laba rugi, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.
Informasi non-akuntansi adalah informasi selain laporan keuangan seperti
underwriter, auditor independen, konsultan hukum, nilai penawaran saham,
persentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, dan informasi lainnya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Klein (1989) dalam Tantri (2007)
menyajikan suatu model penilaian IPO dan menemukan bukti adanya hubungan
antara angka-angka akuntansi pada prospektus termasuk pendapatan dan
penghasilan dengan nilai pasar dari saham perusahaan IPO satu minggu setelah
tanggal perdagangan di pasar sekunder. Informasi akuntansi berkaitan dengan
laporan keuangan emiten yang mempresentasikan kinerja perusahaan terutama
dalam menghasilkan laba (Tantri, 2007). Informasi yang diungkapkan dalam
prospektus baik informasi akuntansi dan non-akuntansi akan membantu investor
dalam membuat keputusan yang rasional mengenai resiko dan nilai sesungguhnya
yang ditawarkan oleh emiten.
Return on Assets (ROA)
Weston & Copeland (1992) dalam Dewi (2006) menyatakan bahwa
investor dalam melakukan keputusan investasinya akan lebih menekankan pada
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan efisiensi operasinya.
Demikian juga halnya dengan para calon pemegang saham yang menanamkan
modalnya dalam bentuk saham biasa akan lebih tertarik dengan profitabilitas.
ROA mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari
keseluruhan investasi yang ditanamkan dalam bentuk asset. Selain itu ROA juga
mengindikasikan seberapa baik perusahaan tersebut memanfaatkan asset. ROA
yang tinggi selain menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
yang tinggi dari keseluruhan investasi yang ditanamkan dalam bentuk asset, juga
bisa berarti terjaminnya kebutuhan dana bagi perusahaan dalam operasi dimasa
yang akan datang.
Return on Assets (ROA) adalah salah satu rasio profitabilitas dan
merupakan suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan (asset yang
dimilikinya) untuk mendapatkan laba. ROA menjadi salah satu pertimbangan
investor di dalam melakukan investasi terhadap saham-saham di lantai bursa
(Ghozali: 2002).
Seperti yang dikutip oleh Johanes (2006), Return on Assets (ROA)
merupakan suatu variabel yang mewakili efektivitas “earning power” yang
mencerminkan kinerja manajemen dalam menghasilkan laba bersamaan dengan
asset yang ada (Halashon, 2006). Pendapat ini sesuai dengan Modigliani & Miller
(MM) yang menyatakan nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset
perusahaan, semakin tinggi earning power semakin tinggi profit margin yang
diperoleh perusahaan, sehingga meningkatkan nilai perusahaan (Natarsyah, 2000).
Sedangkan menurut Samuels (1991) dalam Halashon (2006), ketika laba
meningkat maka harga saham cenderung meningkat, sedangkan ketika laba
menurun, maka harga saham juga ikut menurun.
Ghozali (2002) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat underpriced di Bursa Efek Jakarta periode 1997-2000
menyimpulkan bahwa variabel ROA berpengaruh negatif terhadap underpricing.
Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin besar ROA suatu perusahaan maka akan
semakin kecil tingkat underpricing pada saat saham perdana.
Marchia Penny (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
variabel ROA memiliki pengaruh negatif terhadap underpricing. Berdasarkan
uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa ROA merupakan variabel penting
yang dapat membantu investor dalam membuat keputusan investasinya sehingga
dapat memperkecil faktor ketidakpastian yang dihadapi. Oleh karena itu, penulis
menarik suatu dugaan bahwa ROA akan mempunyai pengaruh negatif terhadap
tingkat underpricing.
Financial Leverage
Selain menganalisis prospek perusahaan dari sisi profitabilitasnya, investor juga
akan mempertimbangkan sisi risiko yang akan dihadapinya. Financial leverage
merupakan rasio yang tepat yang menggambarkan tingkat resiko dari perusahaan
yang diukur dengan membandingkan total kewajiban perusahaan dengan total
aktiva yang dimiliki oleh perusahaan (Dewi, 2006).
Firth & Smith (1992) dalam Ghozali (2002) menjelaskan bahwa tingkat
kewajiban yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi lebih
sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan kedepan. Peneliti lain dari
Australia, Janice dalam Ghozali (2002) menemukan bahwa variabel financial
leverage ternyata berpengaruh terhadap tingkat underpriced. Penelitian tersebut
mengambil periode tahun 1980-1990 dengan sampel sebanyak 340 perusahaan
yang melakukan IPO di Australia.
Daljono (2000) seperti yang dikutip Yuwendhy (2004) dalam
penelitiannya berhasil membuktikan adanya pengaruh antara reputasi underwriter
dan financial leverage terhadap initial return tetapi gagal membuktikan adanya
pengaruh antara reputasi auditor dengan besarnya initial return saham. Tingkat
kewajiban yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi lebih
sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan. Hal tersebut
berpengaruh terhadap tingkat underpriced, dikarenakan ketidakpastian yang
sangat tinggi di dalam menilai perusahaan di masa yang akan datang.
Financial leverage dipertimbangkan sebagai variabel keuangan dalam
penelitian ini karena menurut Kim (1993) dalam Misnen (2004), secara teoritis
leverage menunjukkan resiko suatu perusahaan sehingga berdampak terhadap
ketidakpastian suatu harga saham. Beatty & Ritter (1996) dalam Yuwendhy
(2004) menemukan bahwa semakin besar tingkat ketidakpastian mengenai nilai
yang sesungguhnya dari harga saham, maka semakin tinggi pula tingkat
underpricing, dengan kata lain berkorelasi positif dengan tingkat underpricing
pasar perdana.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa financial
leverage merupakan variabel penting yang dapat membantu investor dalam
membuat keputusan investasinya sehingga dapat memperkecil faktor
ketidakpastian yang dihadapi. Oleh karena itu, penulis menarik suatu dugaan
bahwa financial leverage akan mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
underpricing.
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor.
Total aktiva perusahaan merupakan tolak ukur besaran atau ukuran perusahaan.
Biasanya perusahaan besar mempunyai total aktiva yang besar pula nilainya.
Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin
mudah untuk mendapatkan informasi akan meningkatkan kepercayaan investor
dan mengurangi faktor ketidakpastian yang berarti risiko underpricing menjadi
lebih kecil (Chastina Yolana & Dwi Martani, 2005 dalam Tantri, 2007).
Ritter (1987) & Hanley (1993) seperti yang dikutip oleh Tantri (2007)
membuktikan bahwa perusahaan berukuran kecil cenderung
mengalami
underpricing dibandingkan dengan perusahaan besar. Penemuan tersebut semakin
dikuatkan dengan hasil penelitian Kooli & Suret (2001) yang menegaskan bahwa
IPO yang dilakukan oleh perusahaan kecil lebih beresiko dibandingkan dengan
perusahaan besar sehingga perusahaan kecil sering mengalami underpricing
dibandingkan dengan perusahaan besar.
Dewi (2006) mampu membuktikan bahwa variabel ukuran perusahaan
memiliki pengaruh negatif terhadap underpricing sebesar 7,68% pada tingkat
signifikansi 5%. Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu
perusahaan, dapat ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah karyawan, jumlah
penjualan, rata-rata tingkat penjualan dan rata-rata total aktiva (Ferri & Jones,
1979 dalam Tantri, 2007).
Menurut Ronal Clapham (1996) dalam Tantri (2007), ukuran perusahaan
yang biasa dipakai untuk menentukan tingkatan perusahaan adalah:
1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan honorer yang terdaftar
atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu.
2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu
periode tertentu misalnya satu tahun.
3. Total hutang ditambah dengan nilai pasar saham biasa perusahaan yang
merupakan jumlah hutang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat
atau suatu tanggal tertentu.
4. Total aktiva (assets), yang merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki
perusahaan pada suatu saat tertentu.
Ukuran untuk size perusahaan dalam penelitian ini akan menggunakan
total aktiva. Indikator ukuran perusahaan adalah total aktiva karena menurut
penelitian yang dilakukan oleh Bambang Suripto dalam Tantri (2007), total aktiva
merupakan salah satu komponen dalam pengukuran size yang paling berpengaruh
terhadap hasil penelitian. Total aktiva terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tidak
lancar setelah dikurangi depresiasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis
menarik suatu dugaan sementara bahwa ukuran perusahaan yang diwakili total
aktiva akan memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat underpricing atau dengan
perkataan lain, semakin besar ukuran perusahaan maka tingkat underpricing akan
semakin kecil.
Secara sistematis, uraian tersebut dapat dilihat dalam bagan kerangka
pemikiran berikut ini:
Gambar 1.1.
Bagan Kerangka Pemikiran
underwriter
Melakukan Initial
Public Offering
Melakukan Analisis dan
Pengambilan Keputusan Investasi
Prospektus
investor
Informasi
Akuntansi
ROA
Financial
Leverage
Underpricing
ROA, Financial Leverage, Ukuran
Perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap tingkat
Emiten
Informasi
Non Akuntansi
Ukuran
Perusahaan
1.7
Metodologi Penelitian
Berdasarkan judul skripsi dan hipotesis yang diajukan, maka dibutuhkan
data sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Bahan tersebut diolah,
dianalisis dan diproses lebih lanjut sesuai dengan teori yang telah dipelajari dan
ditarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini, metode yang dipakai adalah metode explanatory
dengan pendekatan survei. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional
untuk mengetahui hubungan komparatif beberapa subjek yang diteliti, untuk
perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dalam
waktu beberapa tahun. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh
dari prospektus, Indonesian Capital Market Directory, www.idx.co.id, idx
Statistic dan www.e-bursa.com.
1.7.1 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah Organisasi, yaitu perusahaanperusahaan yang melakukan IPO mulai tahun 2000-2008, sedangkan yang
menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang
melakukan IPO mulai tahun 2000-2008 dan mengalami underpriced.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Tingkat Underpricing
yang diukur berdasarkan initial return, yaitu selisih antara harga saham pada hari
pertama perdagangan di pasar sekunder dengan harga penawaran saham pada saat
IPO, dibagi dengan harga penawaran pada saat IPO. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah ROA, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan.
Variabel dependen:
Y = Tingkat Underpricing
Variabel independen:
X1 = ROA
X2 = Financial Leverage
X3 = Ukuran perusahaan
1.8
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian di bagian Pusat Referensi Pasar Modal dan
Bagian Riset dan Pengembangan, Bursa Efek Indonesia Jl. Jend. Sudirman Kav.
52–53 Jakarta. Penelitian akan dilakukan selama bulan Juli 2008.
1.9 Rancangan Analisis
Dalam melakukan analisis, tahap-tahap yang akan dilalui penulis adalah
sebagai berikut:
1. Mendapatkan data yang berkaitan dengan variabel-variabel yang terkait
dengan Return on Assets, Financial Leverage, Ukuran Perusahaan, tingkat
Underpricing dan data-data lain yang berkaitan.
2. Menghitung nilai-nilai variabel-variabel terkait sesuai dengan indikator atau
formula yang telah ditetapkan dari data awal yang telah dikumpulkan.
3. Melakukan
pengujian
statistik
untuk
menguji
hipotesis
serta
menginterpretasikan dan menganalisis hasil pengujian hipotesis, adapun
bentuk pengujian asumsi klasik ini, antara lain:
i.
Uji Normalitas yang tujuannya untuk mengetahui apakah masingmasing variabel memiliki distribusi normal atau tidak. Untuk menguji
hipotesis serta menginterpretasikan dan menganalis
hipotesis.
hasil pengujian
ii.
Uji Multikolinearitas yang tujuannya untuk melihat hubungan linier
yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang
menjelaskan dari regresi.
iii.
Uji Heterokedastisitas yang tujuannya untuk menguji apakah dalam
sebuah model regresi, terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari
suatu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dilanjutkan dengan
pengujian Analisis Persamaan Regresi Linier Berganda, yang tujuannya
adalah untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu
persamaan regresi.
Setelah dilakukannya pengujian Analisis Persamaan Regresi Linier
Berganda dilanjutkan dengan Pengujian Hipotesis. Dalam Pengujian
Hipotesis, Uji F bertujuan untuk menguji model regresi yang menjelaskan
bentuk hubungan dan pengaruh antara variabel bebas secara bersama-sama
terhadap variabel terikat, sedangkan Uji T bertujuan untuk menguji model
regresi yang menjelaskan hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dan
variabel terikat secara parsial. Setelah pengujian hipotesis dilakukan maka
langkah terakhir adalah melakukan pengujian Analisis koefisien korelasi dan
koefisien determinasi berganda yang merupakan bagian dari variasi total
dalam variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas secara
bersama-sama. Koefisien korelasi ini digunakan untuk mengetahui seberapa
erat hubungan antara keseluruhan variabel bebas (X1, X2, X3) dengan variabel
terikat (Y).
4. Berdasarkan hasil pengujian statistik akan ditarik kesimpulan.
Download