1. pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah yang memiliki sumberdaya yang
potensial dan prospektif bagi suatu daerah jika dikelola dengan optimal. Hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi suatu daerah dalam mengelola sumberdaya
secara berkelanjutan demi mendorong percepatan pembangunan daerah. Sebagai
wilayah yang sangat strategis, wilayah pesisir merupakan suatu zona peruntukan
berbagai aktivitas manusia baik sosial, budaya, ekonomi, industri maupun
pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung.
Ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya laut telah menyebabkan
eksploitasi besar-besaran dan mengakibatkan kerusakan. Inilah yang terjadi
dengan sumberdaya terumbu karang yang merupakan ekosistem terpenting di
wilayah pesisir dan laut. Ancaman utama terumbu karang ialah penangkapan
ikan berlebihan, praktek penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi serta
pencemaran yang berasal dari daratan. Burke et al. (2002) menyatakan bahwa
aktivitas manusia saat ini diperkirakan mengancam 88 persen terumbu karang
Asia Tenggara, mengancam nilai biologi dan ekonomi yang amat penting bagi
masyarakat. Sekitar 50 persen dari terumbu karang yang terancam tersebut,
berada pada tingkat keterancaman yang tinggi atau sangat tinggi. Hanya 12
persen di antaranya berada pada tingkat ancaman yang rendah.
Dalam banyak kasus di wilayah pesisir di negeri ini, ketidakberdayaan
masyarakat pesisir mengatasi tekanan hidup yang semakin tinggi serta menilai
terlalu rendah (under value) terhadap sumberdaya telah memaksa mereka
mengeksploitasi sumberdaya secara merusak. Sementara dilain pihak pemerintah
selaku koordinator dari semua kegiatan pembangunan dan penentu kebijakan
sering kali melupakan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir. Penting untuk melibatkan masyarakat dalam seluruh proses
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, mengingat sumberdaya tersebut bersifat
open access dan kepemilikan yang bersifat barang publik (public good). Jika
tanpa adanya koordinasi yang jelas diantara para pemangku kepentingan, maka
2
dapat dipastikan eksistensi sumberdaya di wilayah pesisir terancam punah dan
degradasi lingkungan fisik tidak dapat terhindarkan lagi.
Konsep desentralisasi sebagaimana diungkapkan oleh Satria et al.
2002, dapat memberikan peluang terciptanya perikanan berkelanjutan. Hal
ini dikarenakan, yaitu: pertama, konsep desentralisasi memberikan peluang
partisipasi
bagi
seluruh
pemangku
kepentingan
perikanan,
khususnya
masyarakat nelayan. Partisipasi tersebut merupakan bentuk tanggung jawab
masyarakat terhadap masa depan sumberdaya ikan sebagai lahan mencari nafkah.
Adanya keterlibatan masyarakat nelayan dari perencanaan hingga pengawasan
merupakan langkah efektif dan efisien guna mewujudkan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Kedua, adanya UU No. 22/1999 merupakan kekuatan hukum yang
mengakui eksistensi institusi lokal yang ada di beberapa daerah dalam mengelola
sumberdaya ikan. Bagi daerah yang memiliki institusi lokal tidak perlu
menyusun model pengelolaan sumberdaya, sebaliknya tinggal melengkapi
yang sudah ada di masyarakat, sehingga model pengelolaan berbasis masyarakat
yang dulunya diterapkan oleh masyarakat lokal dapat disempurnakan menjadi
model ko-manajemen yang lebih kompleks. .
Ketiga, secara ekonomi, penerapan UU No. 22/1999 tersebut menciptakan
efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan terbentuknya
zonasi penangkapan yang adil antara nelayan kecil dengan nelayan besar atau
industri penangkapan, sehingga
konflik sosial (social
friction) dapat
diminimalisir.
Keempat, perlu dipahami bahwa desentralisasi pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan merupakan wujud demokratisasi, karena kesempatan
berpartisipasi nelayan lokal dalam mengelola sumberdaya sangat terbuka
lebar, suatu kesempatan yang sangat langka di era sentralistis. Selain itu
dekatnya jarak antara pengambil keputusan (decision maker) dengan nelayan
lokal memudahkan dalam proses menyalurkan aspirasi dan kontrol sosial
dalam suatu kebijakan yang ditetapkan.
Sistem
pengelolaan
berbasis
masyarakat
atau
Community
Management (CBM) adalah salah satu alternatif yang diharapkan dapat
Based
3
memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang
terkait (stakeholders) dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka
memanfaatkan sumberdaya pesisir secara lestari. Dalam pengelolaan berbasis
masyarakat ditekankan pada pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat
lokal sebagai dasar pengelolaan. Pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan
masyarakat akan membawa dua keuntungan sekaligus. Pertama, untuk
memelihara fungsi ekologi dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur dan
memijah biota-biota laut. Kedua, untuk memelihara fungsi ekonomi kawasan bagi
masyarakat setempat, sehingga terjadi keberlanjutan bagi peningkatan produksi
perikanan maupun pendapatan dari sektor lain seperti pariwisata dan budidaya.
Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai satu-satunya kabupaten yang terpisah
dari daratan Propinsi Sulawesi Selatan dan sebagian besar wilayahnya adalah
lautan, memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar. Ekosistem terumbu
karang di kabupaten ini merupakan ekosistem laut tropis yang memiliki
keanekaragaman khas. Luas areal terumbu karang meliputi kurang lebih 2000 Ha,
dengan keragaman 375 jenis ikan-ikan pelagis, demersal dan ikan hias. Selain itu
terdapat 4 jenis penyu dari keseluruhan 6 jenis penyu yang ada di dunia (PPTK
Unhas 2007). Sumberdaya terumbu karang, selain dimanfaatkan oleh sebagian
besar masyarakat lokal juga dimanfaatkan oleh nelayan pendatang (andon) dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sementara, dilain pihak pemanfaatan
ekosistem ini telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan sumberdaya oleh
karena pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah pesisir di
Kabupaten Kepulauan Selayar adalah dengan membentuk daerah perlindungan
laut (DPL), yang merupakan cikal bakal terbentuknya kawasan konservasi laut
daerah (KKLD). Untuk mendukung upaya tersebut serta untuk mengetahui
efektifitas pengelolaan DPL maka dipandang perlu dilakukan kajian terhadap
pengelolaan daerah perlindungan laut yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, telah teridentifikasi sejumlah isu
permasalahan pokok aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat di
Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar antara lain: (1) Perusakan terumbu
4
karang akibat metode penangkapan ikan secara destruktif masih terus
berlangsung, (2) rendahnya pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan
sumberdaya laut secara optimal dan berkelanjutan, (3) lemahnya kapasitas unsurunsur pelaksana kelembagaan yang ada, (4) belum efektifnya pelaksanaan fungsifungsi kelompok masyarakat dan organisasi masyarakat dalam tatanan
kelembagaan desa, (5) rendahnya taraf hidup masyarakat karena metode
pemanfaatan dan penanganan hasil tangkapan masih relatif sederhana, (6) belum
berkembangnya pengetahuan masyarakat terhadap mata pencaharian alternatif, (7)
peran punggawa sebagai penguasa modal masih sangat dominan, sehingga
melemahkan posisi tawar nelayan, (8) tidak adanya koordinasi dan pola
komunikasi yang baik antar stakeholders, dan (9) lemahnya penegakan hukum
terhadap pihak-pihak yang merusak terumbu karang dan inkonsistensi pada pihak
pemerintah dalam upaya menegakkan hukum (COREMAP II Selayar 2007).
Secara umum permasalahan-permasalahan diatas telah terjadi sebelum
ditetapkannya DPL di Pulau Pasi dan berdasarkan pengamatan di lapangan
beberapa hal masih terjadi sampai sekarang. Para ahli pengelolaan perikanan telah
memberikan beberapa solusi dalam mengelola sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan antara lain dengan penerapan kuota, pajak dan pengaturan alat
tangkap. Salah satu solusi dalam menjaga ketersediaan sumberdaya pesisir dalam
hal perlindungan spesies tertentu serta habitatnya, dan menjaga keanekaragaman
hayati suatu wilayah adalah dengan dibentuknya daerah perlindungan laut (DPL).
Melalui bentuk pengelolaan tersebut sebuah kawasan laut dibagi kedalam
beberapa zona antara lain zona inti dimana nelayan tidak dapat melakukan
aktifitas menangkap; Salah satu fungsi zona ini adalah untuk melindungi
ketersediaan sumberdaya perikanan (Kelleher 1999; Carter 2003; Russ and Zeller
2003; Pomeroy et al. 2004; Himes 2007).
Agar pengelolaan berbasis masyarakat berhasil maka semua pemangku
kepentingan, khususnya masyarakat, harus memiliki kesadaran dan pemahaman
mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan yang bertumpu
pada kekuatan masyarakat sendiri sebagai subjek. Mengingat keterkaitan yang
erat antara masyarakat dan sumberdaya alam, maka pemberdayaan masyarakat
5
dalam mengelola sumberdaya alam merupakan salah satu solusi yang diharapkan
mampu mengatasi permasalahan yang ada.
Berangkat dari uraian di atas maka permasalahan utama yang dibahas dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana peran masyarakat serta pemangku kepentingan lain
(stakeholder) dalam proses penetapan daerah perlindungan laut di Pulau
Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar?
2. Bagaimana efektivitas peran pengelola daerah perlindungan laut (DPL)
berbasis masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang?
1.3. Tujuan
Untuk menganalisis pengelolaan DPL ini, maka dirumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis proses pembentukan atau penetapan DPL berbasis
masyarakat serta menggambarkan proses keputusan yang diambil.
2. Menganalisis efektivitas peran lembaga pengelola DPL berbasis
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Pulau
Pasi.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
efektifitas dalam pengelolaan daerah perlindungan laut Pulau Pasi Kabupaten
Kepulauan Selayar dan menggambarkan bagaimana pengelolaan berbasis
masyarakat diterapkan. Semoga upaya ini dapat memberikan kontribusi bagi
pemerintah daerah setempat dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir. Akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
kepada segenap komunitas peminat pengelolaan wilayah pesisir berbasis
masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Seorang pengelola terumbu karang harus mampu menyeimbangkan antara
pemanfaatan berkelanjutan dengan konservasi. Oleh karena itu hubungan antara
tingkah laku manusia dan ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting.
6
Kondisi terumbu karang yang sehat sangat di pengaruhi aktifitas manusia,
demikian juga mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir tropis sangat tergantung pada sumberdaya laut. Oleh sebab itu,
pemanfaatan, pengelolaan serta ekologi sumberdaya terumbu karang merupakan
aspek yang tidak dapat dipisahkan (Bunce et al. 2000).
Program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap II) telah
mengembangkan “bluepint” pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dan
impelementasi dari pengelolaan tersebut masih berjalan hingga sekarang.
Pendekatan yang efektif sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan tersebut
tidak hanya sebatas “penetapan” saja namun juga sangat dirasakan untuk
kepentingan kelestarian bersama. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui
pengelolaan DPL berbasis masyarakat di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan
Selayar.
Salah satu konsep yang dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya adalah pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat
(DPL-BM). DPL ini memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi-fungsi
ekologi, sosial, ekonomis dan budaya dari ekosistem terumbu karang. Berhasil
atau tidaknya pengelolaan DPL sangat ditentukan oleh kondisi internal dan
eksternal masyarakat yang memanfaatkannya.
Dalam banyak contoh pengembangan DPL-BM mencapai keberhasilan
karena beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya laut cukup tinggi, (2) masyarakat lebih memahami permasalahan
sekitarnya, (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan
kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif. Demikian juga halnya dukungan
pemerintah akan sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu DPL-BM, karena
hal ini akan memberikan pengakuan bagi keberadaan DPL-BM. Pengembangan
DPL-BM yang sukses tentunya akan menjamin pemanfaatan sumberdaya laut
secara optimal dan berkelanjutan. Untuk dapat merumuskan efektifitas
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat, indikator-indikator
kelembagaan diidentifikasi dan dianalisis.
7
Sementara itu dalam menilai peran serta masyarakat dilakukan analisis
pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu suatu proses sistematis dalam
mengumpulkan dan menganalisis informasi kualitatif untuk menentukan
kepentingan siapa yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan dan/atau
melaksanakan kebijakan atau program (Schmeer 2000). Proses penentuan
stakeholder dilakukan dengan cara : (1) mengindentifikasi sendiri berdasarkan
pengalaman (berkaitan dengan perencanaan kebijakan) dan berdasarkan catatan
statistik serta laporan penelitian. Hasilnya berupa daftar panjang individu dan
kelompok yang terkait pengelolaan kawasan DPL, (2) Indentifikasi stakeholder
menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snow ball dimana setiap
stakeholder mengindentifikasi stakeholder lainnya. Berdiskusi dengan stakeholder
yang terindentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka
tentang keberadaan stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan perumusan dan konsep diatas, secara sederhana kerangka
pemikiran penelitian kajian pengelolaan daerah perlindungan laut di Pulau Pasi
dapat digambarkan pada gambar 1.
Ekosistem
Terumbu karang
Identifikasi Pengelolaan
- Kebijakan
- Kelembagaan
Pengelolaan DPL Berbasis
Masyarakat (Program Coremap II)
Identifikasi dan Analisis
Kelembagaan
Lembaga Pengelola DPL
Masyarakat
Peranserta Masyarakat
Strategi Pengembangan
DPL-BM
Analisis
Stakeholder
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan DPL berbasis masyarakat.
Download