BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perluasan Merek (Brand Extension) 2.1.1.1 Definisi Merek Pengetahuan merek didefinisikan sebagai adanya informasi tentang merek dalam ingatan (memory) konsumen, berserta dengan assosiasi-assosiasi yang berkaitan dengan merek tersebut (Keller, 2003). Informasi yang direkam dalam ingatan konsumen itu dapat berupa informasi visual, verbal, dan abstrak. Secara umum, Keller (2003) juga menyatakan bahwa pengetahuan merek dapat terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu: 1. Brand Awarness (Kesadaran Merek) Brand ini menunjukan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. 2. Brand Images (Gambaran Merek) Gambaran mengenai sebuah merek dinilai dari persepsi kualitas, loyalty (loyalitas) pelanggan terhadap suatu produk/jasa. Dengan demikian pengetahuan konsumen tentang merek dibutuhkan untuk mengevaluasi merek tersebut. Dalam kaitannya dengan Brand extension, konsumen dapat lebih mudah mengevaluasi dan menilai persepsi kecocokan dari produk yang menggunakan brand extension dengan memiliki pengetahuan tentang merek induknya. 6 7 2.1.1.2 Definisi Perluasan Merek ( Brand Extension ) Menurut Afiff (2006), Strategi brand extension adalah pengenalan produk baru dengan memanfaatkan merek yang telah dikenal dan laku dipasar, dimana kategori produk baru tersebut berbeda dengan kategori produk yang lamanya. Contoh dari penggunaan strategi ini di Indonesia adalah ketika produk wings dari awal mulanya hanya sebuah produk deterjen, kemudian mengeluarkan produk mie instannya (mie sedap), dimana Wings menjadi merek induk, kemudian contoh lainnya adalah produk deterjen So Klin mengeluarkan produk cairan pembersih lantai So Klin. Menurut Keller (2003), Brand extension didefinisikan sebagai situasi dimana perusahaan menggunakan merek yang sudah mapan sebelumnya untuk memperkenalkan produk baru. Brand extension digunakan sebagai strategi untuk memperluas jangkauan merek karena awareness dari merek telah berbentuk sebelumnya. Dengan pengetahuan tentang merek yang telah dikenal sebelumnya, konsumen berpeluang untuk mengurangi risiko mengalami kinerja buruk dari produk baru tersebut. Mortimer (2003) menyatakan bahwa suatu produk dengan merek yang telah dikenal sebelumnya tidak lagi hanya dilihat fungsi produknya semata, namun juga dilihat dari nilai emosional keseluruhan. Menurut Rangkuti (2004, p113), apabila sebuah merek digabung dengan merek yang sudah ada, maka perluasan merek tersebut dinamakan Submerek. Tingkat keberhasilan suatu perluasan merek sangat tergantung kepada merek induknya (parent brand). Merek induk dapat pula memiliki berbagai macam produk, contohnya Betadine. Ia mengeluarkan berbagai macam produk seperti obat luka, obat antiseptik, shampoo, dan sebagainya. Semua ini disebut sebagai family brand . 8 Strategi merek (branding) tidak diragukan lagi merupakan elemen penting dalam strategi pemasaran suatu produk untuk menciptakan keunggulan daya saing bagi perusahaan. Merek yang dibangun atas dasar karakteristik emosional seperti kepercayaan, reputasi, citra dan responsifitas dipercaya memiliki daya tahan yang lebih baik dalam persaingan (Doyle, 2002). Dari pemahaman ini, perusahaan tidak lagi mengembangkan merek hanya sekedar nama tetapi sudah terintegrasi dalam strategi jangka panjangnya. Salah satu strategi yang banyak digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan merek adalah strategi brand extension (Mortimer 2003). 2.1.1.3 Dimensi Perluasan Merek Berikut ini merupakan dimensi dari perluasan merek menurut Barata (2007, pp6566), yaitu: 1. Pengetahuan Merek Induk Pengetahuan konsumen tentang merek dibutuhkan untuk mengevaluasi merek tersebut. Dalam kaitannya dengan brand extension, konsumen dapat lebih mudah mengevaluasi dan menilai persepsi kecocokan dari produk yang menggunakan brand extension dengan memiliki pengetahuan tentang merek induknya. Secara umum, Keller (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merek dapat terbagi menjadi dua komponen, yaitu brand awareness dan brand images. (Seperti yang telah dinyatakan pada halaman sebelumnya). 2. Persepsi Kualitas (Perceived Quality) Perceived quality didefinisikan sebagai gambaran umum dari penilaian konsumen tentang keunggulan atau kesempurnaan dari suatu produk dan dalam level 9 tertentu dapat dibandingkan dengan atribut tertentu dari produk. Konsumen menilai kualitas dari suatu produk berdasarkan berbagai informasi yang didapatkannya baik melalui pengalaman menggunakan produk itu sendiri, didapatkannya dari kampanye iklan maupun dari pertukaran informasi dari orang lain (word of mouth). Adapun indikator yang terdapat dalam dimensi ini, yaitu: a. Performance (Kinerja), karakteristik operasi pokok dari produk yang dibeli , misalnya kecepatan, konsumsi bahan bakar, jumlah penumpang yang dapat diangkut, kemudahan dan kenyamanan, dan sebagainya. b. Features (Fitur atau Ciri-Ciri Tambahan), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. c. Appearances (Penampilan), yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, misalnya bentuk fisik mobil yang menarik, model/desain yang artistic, warna, dan sebagainya 3. Inovatif (Innovativeness) Menurut Keller (2003), produk atau merek baru yang berhasil serta inovatif dipersepsikan oleh konsumen sebagai produk atau merek yang modern atau up to date, merupakan hasil dari investasi riset dan pengembangan produk, diproduksi dengan teknologi terbaik dan memiliki features produk terbaru. Dalam kaitannya dengan brand extension, konsumen cenderung untuk mengevaluasi produk baru tersebut dengan mencari kecocokan antara merek induk dengan merek extension-nya, apakah inovasi yang ditawarkan oleh brand extension tersebut sesuai dengan persepsinya tentang merek induk. Indikator dalam dimensi ini adalah modern, investasi pengembangan, dan unik. 10 4. Konsistensi Konsep Merek Strategi brand extension berfokus pada pentingnya asosiasi yang sesuai serta adanya persepsi kecocokan antara merek induk dengan merek extension nya, namun demikian tetap terdapat perbedaan-perbedaan dalam menentukan dimensi dari kecocokkan itu sendiri. Persepsi kecocokkan ini terdiri dari beberapa komponen yaitu kemiripan (similarity), kesamaan tipe (typicality), keterkaitan (relatedness) dan konsistensi konsep merek atau brand concept consistency. 2.1.1.4 Macam – Macam Jenis Perluasan Merek Berdasarkan pendapat Rangkuti (2004, p114), perluasan merek secara umum dapat dibedakan berdasarkan: 1. Perluasan Lini (Line Extension). Perusahaan membuat produk baru dengan menggunakan merek lama yang terdapat pada merek induk. Meskipun target market produk yang baru tersebut berbeda, tetapi kategori produknya sudah dilayani oleh merek induk (atau merek lama). Contohnya; Sunsilk, Head & Shoulder Shampoo mengeluarkan produk baru tetapi dengan flavour berbeda, ukuran dan campuran bahan kimia yang berbeda untuk melayani pasar sasaran yang berbeda. Semua produk shampoo tersebut tetap menggunakan satu merek asalnya (merek induk). 2. Perluasan Kategori (Category Extension). Artinya, perusahaan tetap menggunakan merek induk yang lama untuk memasuki kategori produk yang sama sekali berbeda dari yang dilayani oleh merek induk sekarang. Contohnya; Astra motor, Astra Kartu Kredit, dan sebagainya. 11 2.1.1.5 Penyebab Terjadinya Perluasan Merek Menurut Rangkuti (2004, pp114-115), Perluasan Merek terjadi apabila: a. Merek individual dikembangkan untuk menciptakan suatu merek kelompok. b. Produk yang memiliki hubungan ditambahkan pada suatu merek kelompok yang ada. c. Suatu merek individu atau kelompok, dikembangkan keproduk-produk yang tidak memiiliki hubungan. Perluasan merek kedalam kategori produk yang sama memiliki keuntungan dari meminimalkan biaya pengembangan produk dan memperkecil risiko. Sedangkan perluasan merek kedalam kategpri produk yang berbeda ditujukan untuk menangkap peluang pasar dengan risiko meningkatnya risiko apabila produk tersebut gagal dipasaran. 2.1.1.6 Tahap-Tahap Strategi Perluasan Merek Menurut Rangkuti (2004, p115), Strategi Perluasan Merek membutuhkan 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Mengidentifikasi asosiasi-asosiasi merek. 2. Mengidentifikasi produk-produk yang berkaitan dengan asosiasi-asosiasi tersebut. 3. Memiliki calon yang terbaik dari daftar produk tersebut untuk dilakukan uji konsep dan pengembangan produk baru. 12 2.1.1.7 Berhasilnya Sebuah Perluasan Merek Menurut Rangkuti (2004, p115), Perluasan Merek akan berhasil apabila: a. Asosiasi-asosiasi merek yang kuat memberikan poin pembeda dan keuntungan untuk perluasan. b. Perluasan tersebut membantu merek inti dengan cara menguatkan asosiasiasosiasi kunci, menghindari asosiasi-asosiasi negatif, dan menimbulkan pengenalan merek (asosiasi negatif akan muncul apabila merek hanya mengandalkan kesan kualitas, sehingga rentan terhadap persaingan). 2.1.1.8 Keunggulan Perluasan Merek Berikut ini merupakan keunggulan-keunggulan dari sebuah perluasan merek (brand extension) berdasarkan pendapat Freddy Rangkuti (2004, p121), yaitu: 1. Mengurangi persepsi risiko ditolaknya produk tersebut oleh pelanggan. 2. Memanfaatkan kemudahan saluran distribusi yang sudah ada. 3. Meningkatkan efisiensi biaya promosi. 4. Mengurangi biaya perkenalan produk baru serta program tindak lanjut. 5. Mengurangi biaya pengembangan produk baru. 6. Meningkatkan efisiensi desain logo dan kemasan. 7. Menyediakan variasi pilihan produk kepada pelanggan. 2.1.1.9 Kelemahan Perluasan Merek Berikut ini merupakan kelemahan-kelemahan dari sebuah perluasan merek (Brand extension) menurut Rangkuti (2004, pp121-123), yaitu: 1. Dapat membingungkan pelanggan dalam memilih produk mana yang paling baik. 13 2. Retail cenderung beranggapan bahwa perluasan lini semata-mata merupakan me- too product, yaitu semata-mata merupakan fotokopi dari merek yang sudah ada, sehingga mereka tidak perlu menyimpan stok produk tersebut. 3. Dapat merusak merek induk yang sudah ada. Kasus yang pernah terjadi adalah pada saat General Motor memperkenalkan mobil Cadillac Cimarron bagi pasar sasaran mereka yang tidak mampu membeli mobil Cadillac mewah yang sudah ada. Akibatnya, pemilik mobil Cadillac mewah merasa ditipu karena perusahaan tidak konsisten dengan prestise yang melekat pada mobil Cadillac. Pelanggan Cadillac merasa gengsinya turun. 4. Seandainya produk baru dengan perluasan lini tersebut sukses dipasar, ada kemungkinan ia memakan merek induk yang sudah ada. Penyebabnya adalah konsumen produk yang sudah ada beralih ke produk baru. 5. Apabila merek induk menurun kekuatannya. Merek yang sebelumnya memiliki fokus ke salah satu kategori, akibat adanya perluasan merek, menjadi memilki bermacam–macam kategori sehingga tidak memiliki identitas yang jelas. 6. Seandainya perluasan merek tersebut dilakukan tidak secara konsisten, artinya, atribut atau manfaat yang melekat pada merek tersebut saling bertentangan dengan merek induk, sehingga konsumen merubah persepsinya. 7. Seandainya perluasan merek tersebut dilakukan secara besar-besaran. Misalnya, Gucci dengan lini produk sebanyal lebih dari 20.000 jenis didistribusikan keseluruh dunia melalui berbagai saluran distribusi, sehingga merek tersebut menjadi tidak terkontrol dan mudah dipalsukan. Hal ini akan menyebabkan menurunnya persepsi terhadap merek tersebut. 14 2.1.1.10 Pedoman Untuk Memperoleh Keberhasilan Dan Meminimalisasi Kegagalan Dalam Perluasan Merek (1). Segmentasi Pelanggan Perluasan lini dapat dilihat dari berbagai upaya untuk menurunkan biaya, menurunkan risiko, dan berbagai cara cepat memenuhi keinginan pelanggan sesuai dengan pasar sasaran yang telah ditentukan. (2). Harapan Pelanggan Lebih banyak pelanggan yang beralih dan mencoba adanya variasi yang diberikan akibat adanya perluasan lini. Hal ini dapat menimbulkan daya tarik tersendiri terhadap merek tersebut. (3). Variasi Harga Perluasan lini akan mengakibatkan timbulnya peluang untuk menawarkan berbagai produk dengan berbagai variasi harga kepada pelanggan. (4). Optimalisasi Kapasitas Perusahaan dapat mengoptimalkan kapasitas produksi yang telah dimiliki dengan membuat perluasan lini terhadap produk yang dihasilkan, atau kemampuan manufaktur yang telah dimiliki selama ini dapat dimodifikasi untuk membuat perluasan lini, sehingga harga yang ditawarkan dapat lebih bersaing, variasi produk lebih banyak, dan segmen pasarnya menjadi lebih luas. (Rangkuti, 2004, pp125-126). 15 2.1.2 Pemahaman Mengenai Jasa 2.1.2.1 Konsep Dan Definisi Jasa Menurut Rangkuti (2002, p26), “Jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain.” Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Menurut Philip Kolter, seperti yang dikutip Supranto (2003, p227), mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau perbuatan, yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik), dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. 2.1.2.2 Karakteristik Jasa Menurut Kotler dan Amstrong (2001, p376), perusahaan harus mempertimbangkan empat karakteristik jasa tertentu ketika merancang program pemasaran antara lain: 1. Jasa Tidak Berwujud (Intangibility) Jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar atau dibaui sebelum dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian pembeli mencari “tanda” dari kualitas jasa pelayanan. Mereka mengambil kesimpulan mengenai kualitas dari tempat, orang, harga, peralatan, dan konsumsi yang dapat mereka lihat. Oleh karena itu, tugas penyedia jasa adalah membuat jasa dapat berwujud dalam satu atau beberapa cara. 16 2. Ketidakterpisahan Jasa (Inseparability) Jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, apakah penyedia tadi adalah orang atau mesin. Bila karyawan jasa menyediakan jasa, maka karyawan itu merupakan bagian dari jasa. Karena konsumen turut hadir saat jasa itu diproduksi sebagai Coproducer, interaksi penyedia jasa maupun konsumen akan mempengaruhi hasil jasa. 3. Keragaman Jasa (Service Variability) Kualitas jasa bergantung pada siapa yang menyediakan jasa, waktu, tempat, dan bagaimana cara mereka disediakan. Ada tiga faktor yang menyebabkan variabilitas kualitas jasa, yaitu kerjasama atau partisipasi konsumen selama penyampaian jasa, moral, atau motivasi karyawan dalam melayani konsumen, dan beban kerja perusahaan. 4. Tidak Tahan Lamanya Jasa (Perishability) Jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan datang. Tidak tahan lamanya jasa bukanlah masalah apabila permintaan selalu ada. Tapi, ketika permintaan berfluktuasi, perusahaan jasa sering kali mengalami masalah sulit. Oleh karena itu, perusahaan jasa sering kali merancang strategi agar lebih baik lagi menyesuaikan permintaan dengan penawaran. 2.1.3 Pengertian Kualitas Layanan Pengertian kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk membarengi harapan pelanggan. 17 Menurut Wyckof dalam Tjiptono (2005, p260), “Kualitas Pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Dengan kata lain, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu: Expected service dan Perceived service. Jika pelayanan yang diterima dan dirasakan (perceived) sesuai dengan yang diharapkan (expected), maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik. Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal dan begitu juga sebaliknya, jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik atau tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada penyedia pelayanan dalam memenuhi harapan pelanggan. Menurut Gronroos dalam Tjiptono (2005, p260), “Kualitas total suatu pelayanan terdiri atas 3(tiga) komponen, yaitu Technical Quality (kualitas output pelayanan yang diterima pelanggan), Functional Quality (kualitas cara penyampaian suatu pelayanan) dan Corporate image , yaitu profil , reputasi, citra umum, daya tarik khusus suatu perusahaan”. Menurut Kotler (2002, p67), “Mutu atau kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat”. Menurut Goetsch dan Davis (2004, p47) , “Quality is a dynamic associated with product, service, people, process, and environments that meets or exceeds expectation”. Artinya kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia, proses, tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. 18 Berdasarkan beberapa pengertian kualitas, atau mutu diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas adalah gabungan seluruh karakteristik suatu produk/jasa yang menampilkan kemampuannya untuk dapat memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. 2.1.3.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Terdapat 6 unsur dasar yang mempengaruhi kualitas/mutu, menurut Wirosentono (2002, p12) yaitu : 1. Manusia (Man) SDM adalah unsur utama yang memungkinkan terjadinya proses penambahan nilai . Kemampuan merk untuk melakukan suatu tugas adalah kemampuan, pengalaman , pelatihan (training), dan potensi kreativitas yang beragam sehingga diperoleh suatu hasil (output). 2. Metode (Method) Hal ini meliputi prosedur kerja dimana setiap orang harus melakukan kerja sesuai dengan tugas yang dibebankan pada masing-masing individu. Metode ini harus merupakan prosedur kerja terbaik agar setiap orang dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Walaupun seseorang dapat saja menginterpretasikan tugas-tugasnya secara berbeda satu sama lain, asalkan saja pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan sesuai rencana. 19 3. Mesin (Machines) Mesin / peralatan yang digunakan dalam proses penambahan nilai menjadi output. Dengan memakai mesin sebagai alat pendukung pembuatan suatu produk memungkinkan berbagi variasi dalam bentuk, jumlah, dan kecepatan proses penyelesaian kerja. 4. Bahan (Materials) Bahan baku yang diproses, diproduksi agar menghasilkan nilai tambah menjadi output, jenisnya sangat beragam. Keragaman bahan baku yang digunakan akan mempengaruhi nilai output yang beragam pula. Bahkan perbedaan bahan baku (jenisnya) mungkin dapat pula menyebabkan proses pengerjaannya. 5. Ukuran (Measurement) Dalam setiap tahap proses produksi, harus ada ukuran sebagai standar penilaian agar setiap tahap proses produksi dapat nilai kinerjanya. Kemampuan dari standar ukuran tersebut merupakan faktor penting untuk mengukur kinerja seluruh tahapan proses produksinya, tujuannya agar hasil yang diperoleh sesuai dengan rencana. 6. Lingkungan (Environment) Lingkungan dimana proses produksi berada, sangat mempengaruhi hasil kinerja proses produksinya. Bila faktor lingkungan eksternal pun dapat mempengaruhi ke 5 (lima) unsur tersebut di atas sehingga dapat menimbulkan variasi tugas pekerjaan. 20 2.1.3.2 Dimensi Kualitas Jasa Konsep orientasi layanan (service orientation) sangat menekankan aspek praktik, kebijakan, dan prosedur layanan sebuah organisasi. Menurut Umar (2005, pp38-40), terdapat 5 (lima) dimensi pokok dari dimensi kualitas jasa, yaitu: 1. Berwujud (Tangible), berarti tampilan fisik seperti peralatan, penampilan karyawan, fasilitas gedung, dan lainnya. Dimensi tangible ini umumnya digunakan perusahaan untuk menaikan image dimata konsumen. Dimensi ini dapat digambarkan dengan kebersihan ruangan, kerapihan berpakaian, penataan tempat, dan juga fasilitas kamar kecil. 2. Keandalan (Reliability), berarti kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan dengan akurat dan handal. Dimensi ini sangat penting bagi sebagian pelanggan, sehingga mereka bersedia mengeluarkan biaya tambahan agar perusahaan melaksanakan transaksi seperti yang dijanjikan. Dimensi ini dapat digambarkan dengan kesegaran makanan, ketepatan pelayanan, menu yang beraneka ragam. 3. Ketanggapan (Responsiveness), yaitu kesediaan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang tepat. Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecepatan dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan, serta kesulitan pelanggan. Dimensi ini dapat digambarkan dengan tanggap menghadapi keluhan, kesediaan membantu konsumen, kecepatan pelayanan. 4. Keyakinan (Assurance), adalah pengetahuan, keramahan serta kemampuan karyawan untuk menimbulkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Konsumen menganggap dimensi ini penting untuk perusahaan yang bergerak dibidang jasa dengan resiko tinggi seperti perbankan dan asuransi. Dimensi ini dapat 21 digambarkan dengan kebersihan makanan, keramahan pelayanan, dan pengetahuan produk. 5. Empati (Empathy), adalah perhatian secara individual yang diberikan oleh penyedia jasa atau perusahaan sehingga pelanggan merasa penting, dihargai, dan dimengerti oleh perusahaan. Inti dari dimensi ini adalah bagaimana perusahaan meyakinkan pelanggannya bahwa mereka unik dan istimewa. Dimensi ini dapat digambarkan dengan perhatian personal kebutuhan spesifik terhadap keluhan. Dimensi ini merupakan penggabungan dari dimensi: a. Akses, meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. b. Komunikasi, merupakan kemampuan untuk melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada konsumen atau memperoleh masukan dari konsumen. c. Pemahaman kepada konsumen, meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan konsumen. Pelayanan yang baik sangat mempengaruhi banyaknya jumlah pelanggan dalam satu perusahaan. Dapat dikatakan bahwa faktor pelayanan pelanggan merupakan salah satu ujung tombak perusahaan dalam meraih sukses. 2.1.3.3 Faktor-Faktor Penyebab Buruknya Kualitas jasa Menurut Tjiptono dan Chandra (2005, pp175-176) Setiap perusahaan harus benar-benar memahami sejumlah faktor potensial yang bisa menyebabkan buruknya kualitas jasa, diantaranya: 22 1. Produksi dan Konsumsi yang terjadi secara Simultan Artinya satu karakteristik unik jasa adalah inseparability, artinya jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Hal ini kerap kali membutuhkan kehadiran dan partisipasi pelanggan dalam proses penyampaian jasa. Konsekuensinya, berbagai macam persoalan sehubungan dengan interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan jasa bisa saja terjadi. Beberapa kelemahan yang mungkin ada pada karyawan jasa dan mungkin berdampak negatif terhadap persepsi kualitas meliputi: a. Tidak terampil dalam melayani pelanggan. b. Cara berpakaian karyawan kurang sesuai dengan konteks. c. Tutur kata karyawan kurang sopan atau bahkan menyebalkan. d. Bau badan karyawan mengganggu kenyamanan pelanggan. e. Karyawan selalu cemberut atau pasang tampang “angker”. 2. Intensitas Tenaga Kerja yang Tinggi Keterlibatan karyawan secara intensif dalam penyampaian jasa dapat pula menimbulkan masalah kualitas, yaitu berupa tingginya variabilitas jasa yang dihasilkan. Faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya antara lain: Upah rendah (umumnya karyawan yang melayani atau berinteraksi langsung dengan pelanggan memiliki tingkat pendidikan dan upah yang paling rendah dalam sebuah perusahaan), pelatihan yang kurang memadai atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi, tingkat perputaran karyawan terlalu tinggi, dan lain-lain. 3. Dukungan Terhadap Pelanggan Internal Kurang Memadai Karyawan merupakan ujung tombak sistem penyampaian jasa. Agar mereka dapat memberikan jasa secara efektif, mereka membutuhkan dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen ( operasi, pemasaran, keuangan, dan SDM ). Dukungan tersebut 23 bisa berupa peralatan (perkakas, material, pakaian seragam), pelatihan keterampilan, maupun informasi (misalnya prosedur operasi). Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah unsur pemberdayaan (empowerment), Baik menyangkut karyawan maupun manajer. Pemberdayaan dalam konteks ini tidak diartikan secara sempit sebagai sekadar penghapusan hierarki, arahan, atau akuntabilitas pribadi. Akan tetapi pemberdayaan lebih dipandang sebagai state of minds. Karyawan dan manajer yang diberdayakan akan lebih mampu: a. Mengendalikan dan menguasai cara melaksanakan pekerjaan dan tugasnya. b. Memahami konteks dimana pekerjaannya dilaksanakan dan kesesuaian pekerjaannya dalam rangka pekerjaan yang lebih luas. c. Bertanggung jawab atas output kerja pribadi. d. Mengemban tanggung jawab bersama atas kinerja unit dan organisasi, dan e. Menjamin keadilan dalam distribusi balas jasa berdasarkan kinerja individual dan kinerja kolektif. 4. Gap Komunikasi Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa komunikasi merupakan sektor esensial dalam menjalin kontak dan relasi dengan pelanggan. Bila terjadi gap komunikasi, maka bisa timbul penilaian atau persepsi negatif terhadap kualitas jasa. Gap-gap komunikasi dapat berupa: a. Penyedia jasa memberikan janji berlebihan, sehingga tidak mampu memenuhinya. b. Penyedia jasa tidak bisa selalu menyajikan informasi terbaru kepada para pelanggan, misalnya yang berkaitan dengan perubahan prosedur/aturan, perubahan susunan barang di rak pajangan pasar swalayan, dan lain-lain. 24 c. Pesan komunikasi penyedia jasa tidak dipahami pelanggan. d. Penyedia jasa tidak memperhatikan atau tidak segera menanggapi keluhan dan atau saran pelanggan. 5. Memperlakukan Semua Pelanggan Dengan Cara yang Sama Pelanggan merupakan individu unik dengan preferensi, perasaan, dan emosi masingmasing. Dalam hal interaksi dengan penyedia jasa, tidak semua pelanggan bersedia menerima jasa yang seragam (standardized service). Sering terjadi ada pelanggan yang menginginkan atau bahkan menuntut jasa yang sifatnya personal dan berbeda dengan pelanggan lain. Hal ini memunculkan tantangan bagi penyedia jasa dalam hal kemampuan memahami kebutuhan spesifik pelanggan individual dan memahami perasaan pelanggan terhadap penyedia jasa dan layanan yang mereke terima. 6. Perluasan atau Pengembangan Jasa Secara Berlebihan Di satu sisi, mengintroduksi jasa baru atau menyempurnakan jasa lama dapat meningkatkan peluang pertumbuhan bisnis dan menghindari terjadinya layanan yang buruk. Di sisi lain, bila terlampau banyak jasa baru dan tambahan terhadap jasa yang sudah ada, hasil yang didapatkan belum tentu optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan timbul masalah-masalah seputar standar kualitas jasa. Selain itu, pelanggan juga bisa bingung membedakan antara variasi penawaran jasa, baik dari segi fitur, keunggulan, maupun tingkat kualitasnya. Situasi semacam ini bisa dijumpai dalam industri perbankan, jasa asuransi, jasa telepon genggam, dan seterusnya. 25 7. Visi Bisnis Jangka Pendek Visi jangka pendek ( misalnya, orientasi pada pencapaian target penjualan dan laba tahunan , dan lain-lain ) bisa merusak kualitas jasa yang sedang dibentuk untuk jangka panjang. Sebagai contoh, kebijakan sebuah bank untuk menekankan biaya dengan cara menutup sebagian kantor cabangnya akan mengurangi tingkat akses bagi para nasabahnya, yang ada gilirannya bisa menimbulkan ketidakpuasan pelanggan dan persepsi negative terhadap kualitas jasa bersangkutan. Menurut Yamit (2004, p32), Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas pelayanan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari: 1. Kurangnya otoritas yang diberikan kepada pelanggan. 2. Terlalu birokrasi sehingga lambat dalam menanggapi keluhan konsumen. 3. Bawahan tidak berani mengambil keputusan sebelum ada ijin dari atasan. 4. Petugas sering bertindak kaku dan tidak memberi jalan keluar yang baik. 5. Petugas sering tidak ada ditempat pada waktu jam kerja sehingga sulit dihubungi. 6. Banyak interest pribadi. 7. Budaya tip. 8. Aturan main yang tidak terbuka dan jelas. 9. Kurang professional dan terampil dalam menguasai bidangnya. 10. Banyak instansi atau bagian lain yang terlibat. 11. Disiplin kerja sangat kurang dan tidak tepat waktu. 12. Tidak ada keselarasan antar bagian dalam memberikan pelayanan. 13. Kurang control sehingga petugas agak “nakal”. 14. Ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan. 15. Belum ada sistem informasi manajemen (SIM) yang terintegrasi. 26 2.1.3.4 Strategi Penyempurnaan Kualitas Jasa Meningkatkan kualitas jasa tidaklah mudah. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan secara cermat, karena upaya penyempurnaan kualitas jasa berdampak signifikan terhadap budaya organisasi secara keseluruhan. Berikut merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan menurut Tjiptono dan Chandra (2005, pp177-181) : 1. Mengidentifikasi Determinan Utama Kualitas Jasa Setiap penyedia jasa wajib berupaya menyampaikan jasa berkualitas terbaik kepada para mengidentifikasi pelanggan sasarannya. determinan atau Upaya faktor ini penentu membutuhkan utama proses kualitas jasa berdasarkan sudut pandang pelanggan. Oleh Karena itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan riset mendalam dalam rangka memahami determinan terpenting yang digunakan pelanggan sebagai kriteria utama dalam mengevaluasi jasa spesifik. Langkah berikutnya adalah memperkirakan penilaian yang diberikan pelanggan sasaran terhadap perusahaan dan pesaing berdasarkan determinan-determinan tersebut. Dengan cara ini dapat diketahui posisi relatif perusahaan dimata pelanggan dibandingkan dengan para pesaing, sehingga perusahaan bisa memfokuskan upaya peningkatan kualitasnya pada determinan-determinan spesifik yang membutuhkan perbaikan. Seiring dengan dinamika kompetisi dan perubahan perilaku konsumen, perusahaan harus memantau perkembangan setiap determinan sepanjang waktu,karena sangat mungkin prioritas pasar sasaran mengalami perubahan. 27 2. Mengelola Ekspetasi Pelanggan Tidak jarang sebuah perusahaan berusaha melebih-lebihkan pesan komunikasinya kepada para pelanggan dengan tujuan memikat sebanyak mungkin pelanggan. Hal ini bisa menjadi “boomerang” bagi perusahaan. Semakin banyak janji yang diberikan, semakin besar pula ekspektasi pelanggan (bahkan bisa menjurus menjadi harapan yang tidak realistis). Pada gilirannya ini akan memperbesar peluang tidak terpenuhinya ekspektasi pelanggan oleh penyedia jasa. Untuk itu ada satu pepatah bijak yang bisa dijadikan pegangan: “jangan janjikan apa yang tidak bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari apa yang dijanjikan”. 3. Mengelola Bukti Kualitas Jasa Manajemen bukti kualitas jasa bertujuan untuk memperkuat persepsi pelanggan selama dan sesudah jasa disampaikan. Oleh karena jasa merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang fisik, maka pelanggan cenderung memperhatikan dan mempersepsikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan jasa sebagai bukti kualitas. Dari sudut pandang penyedia jasa, bukti kualitas meliputi segala sesuatu yang dipandang konsumen sebagai indikator “seperti apa jasa yang akan diberikan” (pre-service expectation) dan “seperti apa jasa yang telah diterima” (post-service evaluation). Bukti-bukti kualitas jasa bisa berupa fasilitas fisik jasa (seperti gedung, kendaraan, dan sebagainya), penampilan karyawan penyedia jasa, perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk memberikan jasa, laporan keuangan, dan logo perusahaan. Selain itu, berbagai faktor seperti musik, warna, aroma, temperatur, lokasi gedung , tata letak jasa , dan atmosfir (situasi dan kondisi transaksi) dapat 28 pula menciptakan persepsi tertentu terhadap penyedia jasa, misalnya keramahan, ketenangan, kecermatan, wibawa, rasionalitas, stabilitas, dan fleksibelitas. 4. Mendidik Konsumen Tentang Jasa Membantu pelanggan dalam memahami sebuah jasa merupakan upaya positif untuk mewujudkan proses penyampaian dan pengkonsumsian jasa secara efektif dan efisien. Pelanggan yang lebih “terdidik” akan dapat mengambil keputusan pembelian secara lebih baik. Oleh karenanya, kepuasan mereka dapat tercipta lebih tinggi. Upaya mendidik konsumen bisa dilakukan dalam wujud: a. Penyedia jasa mendidik pelanggannya agar melakukan sendiri jasa/layanan tertentu, misalnya mengisi blanko/formulir pendaftaran, mengangkut barang belanjaan sendiri, memanfaatkan fasilitas teknologi (seperti ATM, phone banking, internet banking, dan sejenisnya), dan lain-lain. b. Penyedia jasa membantu pelanggan mengetahui kapan menggunakan suatu jasa, yaitu sebisa mungkin menghindari periode puncak/sibuk dan memanfaatkan periode biasa (bukan puncak). c. Penyedia jasa mendidik pelanggannya mengenai prosedur atau cara menggunakan jasa. d. Penyedia jasa dapat pula meningkatkan persepsi terhadap kualitas jasanya dengan cara menjelaskan kepada pelanggan alasan-alasan yang mendasari e. Suatu kebijakan yang kemungkinan bisa mengecewakan mereka, misalnya kenaikan harga. 29 5. Menumbuhkembangkan Budaya Kualitas Budaya kualitas (quality culture) merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi proses penciptaan dan penyempurnaan kualitas secara terus-menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang berkenaan dengan peningkatan ditumbuhkembangkan dalam kualitas. sebuah Agar budaya organisasi, kualitas diperlukan bisa komitmen menyeluruh dari semua anggota organisasi, mulai dari yang tertinggi hingga terendah dalam struktur organisasi. Upaya menumbuhkembangkan budaya berkualitas dapat dilakukan melalui pengembangan suatu program yang terkoordinasi dan diawali dengan proses seleksi dan pengembangan karyawan. Karyawan merupakan aset utama perusahaan dalam rangka memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Pembentukan budaya kualitas membutuhkan 8 (delapan) program pokok yang saling terkait: a. Pengembangan Individual Perusahaan menyusun manual terprogram mengenai intruksi pekerjaan, sehingga setiap karyawan baru dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan teknis yang diperlukan untuk menjalankan tugas sesuai dengan posisi atau jabatannya. b. Pelatihan Manajemen Perusahaan pengembangan sebagainya. mengikutsertakan manajemen, manajemennya seperti seminar, dalam kursus program singkat, dan 30 c. Perencanaan Sumber Daya Manusia Perusahaan mengidentifikasi calon-calon potensial untuk menduduki posisi kunci dalam perusahaan untuk periode yang akan datang. d. Standar Kinerja Perusahaan menyusun pedoman yang berisi instruksi dan prosedur melaksanakan suatu tugas, misalnya cara menyapa, dan berinteraksi dengan klien. e. Pengembangan Karir Melalui program pengembangan pekerjaan dengan tuntutan keahlian dan tanggung jawab yang semakin besar, diharapkan setiap karyawan memiliki kesempatan untuk berkembang dalam perusahaan. f. Survey Opini Perusahaan perlu melakukan survey opini tahunan agar bisa mendapatkan masukan berharga demi penyempurnaan kualitas dan pencegahan timbulnya perilaku yang tidak diharapkan. g. Perlakuan Adil Karyawan perlu diberi buku pegangan yang berisi harapan dan kewajiban perusahaan terhadap mereka. Buku pegangan tersebut juga berisi ketentuan dan prosedur yang harus dilalui oleh setiap karyawan yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi masalah atau kesulitan-kesulitan. h. Pembagian Laba (Profit Sharing) Adanya rencana pembagian laba dapat menstimulasi para karyawan untuk lebih bertanggung jawab atas kesuksesan perusahaan secara keseluruhan. 31 6. Menciptakan Automating Quality Otomatisasi berpotensi mengatasi masalah variabilitas kualitas jasa yang disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki organisasi. Akan tetapi, sebelum memutuskan akan melakukan otomatisasi, penyedia jasa wajib mengkaji secara mendalam aspek-aspek yang membutuhkan sentuhan manusia (high touch) dan elemen-elemen yang memerlukan otomatisasi (high tech). keseimbangan antara high touch dan high tech sangat dibutuhkan untuk menunjang kesuksesan penyampaian jasa secara efektif dan efisien. 7. Menindaklanjuti Jasa Penindaklanjutan jasa diperlukan dalam rangka menyempurnakan atau memperbaiki aspek-aspek jasa yang kurang memuaskan dan mempertahankan aspek-aspek yang sudah baik. Dalam rangka itu, perusahaan perlu berinisiatif untuk menghubungi sebagian atau semua pelanggan (tergantung skala bisnis perusahaan) guna mengetahui tingkat kepuasan dan persepsi mereka terhadap kualitas jasa yang mereka terima. Perusahaan dapat pula mengupayakan kemudahan bagi para pelanggan dalam berkomunikasi dengan pihak manajemen maupun karyawan kontak, sehingga mereka bisa menyampaikan kebutuhan spesifik, keluhan, dan atau saran. 8. Mengembangkan Sistem Informasi Kualitas Jasa Sistem informasi kualitas jasa merupakan sistem yang mengintegrasikan berbagi macam ancangan riset secara sistematis dalam rangka mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi keputusan. kualitas jasa guna mendukung pengambilan 32 Informasi yang dibutuhkan mencangkup segala aspek, yaitu data saat ini dan masa lalu, kuantitatif dan kualitatif, internal dan eksternal, serta informasi mengenai perusahaan, pelanggan, dan pesaing. Pengembangan sistem informasi kualitas jasa tidak hanya terbatas pada perusahaan besar. Mendengarkan ‘suara pelanggan’ (customer’s voice) merupakan hal yang mutlak harus dilakukan perusahaan apapun, tanpa terkecuali perusahaan kecil. Untuk memahami suara pelanggan diperlukan riset mengenai ekspektasi dan persepsi, baik pelanggan maupun non-pelanggan. Melalui riset semacam ini akan didapatkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan jasa perusahaan berdasarkan sudut pandang pelanggan yang memanfaatkan atau menggunakan jasa. Secara umum, sistem informasi kualitas jasa dapat memberikan sejumlah manfaat, diantaranya: a. Memungkinkan pihak manajemen untuk memasukan ‘suara pelanggan’ dalam pengambilan keputusan. b. Dalam mengidentifikasi dan memahami prioritas jasa pelanggan. c. Memperlancar proses identifikasi prioritas penyempurnaan jasa dan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya. d. Memungkinkan dipantaunya kinerja jasa perusahaan dan pesaing setiap waktu. e. Memberikan gambaran mengenai dampak inisiatif dan investasi kualitas jasa. f. Memberikan performance-based data untuk keperluan penilaian, yaitu memberikan imbalan kepada jasa yang unggul dan melakukan koreksi atas jasa yang buruk. 33 2.1.4 Keputusan Pembelian 2.1.4.1 Definisi Keputusan Pembelian Setiap konsumen melakukan berbagai macam keputusan tentang pencarian, pembelian, penggunaan beragam bentuk, dan merek pada setiap periode tertentu. Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003, p289) mendefinisikan suatu keputusan adalah sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Seorang konsumen yang hendak melakukan pilihan, maka ia harus memilih pilihan alternatif. Jika konsumen tidak memilih pilihan alternatif, maka hal tersebut merupakan bukan situasi konsumen melakukan keputusan. Suatu keputusan tanpa pilihan tersebut, maka disebut sebagai sebuah hobson’s choice. Proses kunci didalam pembuatan keputusan konsumen ialah proses integrasi dengan mana pengetahuan dikombinasikan untuk mengevaluasi dua atau lebih alternatif perilaku, kemudian pilih salah satu. Hasil dari proses integrasi adalah suatu pilihan, secara kognitif terwakili sebagai intensi perilaku. Intensi perilaku disebut rencana keputusan (Supranto dan Limakrisna, 2007, p211). Berdasarkan faktor yang dipertimbangkan, menurut Hawkins et al.dalam Simamora (2003, p8), pengambilan keputusan pembelian dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Atribut Produk (Atribut Based Choise) Pengambilan keputusan ini memerlukan pengetahuan tentang apa atribut suatu produk dan bagaimana kualitas atribut tersebut. Asumsinya, keputusan diambil secara rasional dengan mengevaluasi atribut-atribut yang dipertimbangkan. 34 2. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Sikap (Attitude Based Choise) Pengambilan keputusan ini diambil berdasarkan kesan umum, intuisi, maupun perasaan. Pengambilan keputusan seperti ini bisa terjadi pada produk yang belum dikenal atau tidak sempat di evaluasi oleh konsumen. 2.1.4.2 Peran Dalam Keputusan Pembelian Peran keputusan pembelian merupakan hal yang penting bagi pembeli dan penjual (perusahaan) itu sendiri. Bagi perusahaan adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian, namun terdapat hal lain yang harus juga diperhatikan perusahaan, yaitu pemegang peranan dalam pembelian dan keputusan untuk membeli. Menurut Kolter (2003, p200), terdapat lima orang yang berperan dalam keputusan pembelian, yaitu: 1. Pemrakarsa (Intiator), yaitu orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk atau jasa. 2. Pemberi Pengaruh (Influencer), yaitu orang yang pandangan atau nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan terakhir. 3. Pengambil Keputusan (Decider), yaitu orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian, apakah harus dibeli, apa yang dibeli, kapan hendak membeli, dan dimana akan dibeli. 4. Pembeli (Buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian sebenarnya. 5. Pemakai (User), yaitu orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. 35 2.1.4.3 Perilaku Pembelian Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pembelian. Henry Assael membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembelian dan tingkat perbedaan antar merek yang dikutip dari Kotler (2005, p221) sebagai berikut : 1. Perilaku Pembelian Yang Rumit Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antar merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko dan sangat mengekspresikan diri, seperti mobil. 2. Perilaku Pembelian Pengurang Ketidaknyamanan Dalam kasus ini konsumen akan berbelanja dengan berkeliling untuk mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antar merek, mungkin mereka akan memilih harga yang lebih tinggi. Jika konsumen menemukan perbedaan kecil, mereka mungkin akan membeli, semata-mata berdasarkan harga dan kenyamanan. Setelah pembelian tersebut, konsumen mungkin mengalami ketidaknyamanan yang muncul karena adanya fitur yang tidak mengenakkan atau mendengar kabar yang menyenangkan tentang merek lain. Disini fungsi pemasar sangat diperlukan untuk meyakinkan konsumen agar konsumen merasa yakin dan benar dengan pilihannya. 36 3. Perilaku Pembelian Karena Kebiasaan. Banyak produk yang dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedaan antarmerek yang signifikan. Misalnya saja seorang mahasiswi pergi selalu ke Apotik Guardian untuk membeli suplemen, karena kebiasaan, bukan karena adanya hal yang berbeda dari Apotik tersebut. 4. Perilaku Pembelian Yang Mencari Variasi. Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah tetapi perbedaan antarmerek yang signifikan. Dalam situasi ini, konsumen sering melakukan peralihan merek. Misalnya: Seorang mahasiswi sering berbelanja di Apotik Guardian, tetapi pada lain kesempatan dia berbelanja di tempat lain karena ingin mencari sesuatu yang berbeda. Nah, disini peran pemasar sangat diperlukan, untuk mencari tahu sesuatu yang berbeda dari tempat lain yang diinginkan oleh para konsumen. 2.1.4.4 Tahap-Tahap Proses Pengambilan Keputusan Menurut Kotler (2005,p224) ada lima tahap dalam proses pembelian konsumen yaitu: 1. Pengenalan Masalah Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. 37 2. Pencarian Informasi Konsumen yang tergugah kebutuhannya, akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Tantangan bagi marketer adalah mengenali sumber informasi yang paling berpengaruh. 3. Evaluasi Alternatif Mengevaluasi berbagai alternatif yang ada dalam konteks kepercayaan utama tentang konsekuensi yang relevan dan mengkombinasikan pengetahuan tersebut untuk membuat keputusan. 4. Keputusan Pembelian. Calon pembeli menentukan apa dan dimana produk pilihan mereka akan dibeli. Marketer harus menyediakan jalan paling mudah bagi calon pembeli untuk mendapatkan produk yang mereka inginkan. Misalnya : prosedur yang tidak berbelit, kemudahan pembayaran dengan berbagai macam kartu kredit, kelengkapan produk yang dijual, kenyamanan tempat belanja, dll. 5. Perilaku Pasca Pembelian Dalam perilaku pasca pembelian, hanya ada tiga kemungkinan, yaitu : - Performa produk/jasa sama dengan ekspektasi. - Performa produk/jasa lebih rendah dari ekspektasi. - Performa produk/jasa lebig tinggi dari ekspektasi. 38 Pengenalan masalah Pencarian informasi Evaluasi Informasi Keputusan pembelian Perilaku Pasca Pembelian Gambar 2.1 Tahap Proses Pengambilan Keputusan Sumber : Kotler (2005, p224) Menurut Ma’ruf (2006, pp61-62), dalam membeli barang / jasa, seorang konsumen akan melalui tiga proses keputusan pembelian, yaitu: 1. Proses Keputusan Yang Panjang ( Extended Decision Making ) Proses keputusan yang panjang ini biasanya terjadi untuk barang durable seperti (rumah, lahan, mobil,). Proses tersebut menurut Breman dan Evan adalah stimulus Æ kebutuhan Æ mencari informasi Æ evaluasi Æ transaksi Æ perilaku pasca pembelian. Dimana pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuhan dalam diri konsumen. 39 2. Proses Keputusan Terbatas ( Limited Decision Making ) Proses keputusan terbatas sebenarnya hampir sama dengan proses diatas, tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan-tahapan. Proses keputusan terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah, mobil kedua dan tempat wisata. 3. Proses Pembelian Rutin Keputusan Pembelian ini terjadi secara kebiasaan sehingga proses pembelian sangat singkat. Begitu dirasa ada kebutuhan, langsung dilakukan pembelian. Sedangkan menurut Utami (2006, p45), ada beberapa tahapan dalam proses belanja pelanggan, yang di jelaskan dalam bentuk gambar berikut : 40 TAHAPAN PEMILIHAN RITEL PENGENALAN KEBUTUHAN PENCARIAN INFORMASI EVALUASI PEMILIHAN BARANG KEBUTUHAN PENGENALAN KEBUTUHAN Mencari Informasi tentang Ritel Evaluasi Ritel PENENTUAN PILIHAN Memilih Ritel TRANSAKSI Mengunjungi toko PENGENALAN KEBUTUHAN Mencari Informasi tentang barang dagangan Evaluasi barang dagangan Menyeleksi Barang dagangan Belanja Barang Dagangan Membeli kembali di toko yang sama Evaluasi setelah belanja Gambar 2.2 Proses Belanja Pelanggan Sumber : Utami (2006,p45) 2.1.5 Hubungan Antar Variabel 2.1.5.1 Hubungan Variabel Brand Extension Dengan Keputusan Membeli Menurut Mortimer (2003), sebesar 81% produk baru adalah produk brand extension. Brand extension merupakan salah satu strategi yang banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari 41 penggunaan merek yang telah dikenal sebelumnya untuk produk baru. Menggunakan kebiasaan pelanggan dengan suatu merek atau nama yang ada dalam suatu produk untuk meluncurkan suatu lini produk baru pada kelas produk lain, juga dikatakan sebagai brand extension. Dari sisi konsumen, keuntungan yang diperoleh dari strategi brand extension yakni terbukanya akses informasi yang lebih banyak tentang produk baru sehingga dapat membantu konsumen menentukan pilihan dan mengambil keputusan pembelian. Konsumen juga dapat mengurangi resikonya karena lebih memiliki gambaran tentang produk baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dari original brand-nya. 2.1.5.2 Hubungan Variabel Kualitas Pelayanan Dengan Keputusan Membeli Kualitas berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan dorongan khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan dan kebutuhan spesifik pelanggan. Pada gilirannya, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dimana perusahaan memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. Selanjutnya, kepuasan pelanggan berkontribusi pada terciptanya loyalitas pelanggan. (Tjiptono dan Chandra, 2005, p115). 42 2.1.6 Mengenai Apotik Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, yang dimaksud dengan apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika, sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 922/MENKES/PER/X/1993, pengelolaan apotik meliputi : 1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. 2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. 3. Pelayanan informasi. Pelayanan informasi yang dimaksud apotik : 1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya. 43 Menurut Keputusan 1027/MENKES/SK/!X/2004 Menteri yang Kesehatan dimaksud Republik dengan Indonesia pelayanan Nomor: kefarmasian (charmaceuticalcare) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Apotik mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai dirumah. Apotik juga mempunyai dua profil, yaitu: 1. Merupakan institusi profesi, yang memerankan peranan yang penting sebagai sarana kesehatan. 2. Merupakan perusahaan dibidang perdagangan eceran sediaan farmasi (obat dan bahan obat) dan perbekalan kesehatan (Anief, 2000, p45). Orientasi apotik sekarang telah bergeser dari obat ke pasien (pelanggan) yang mengacu pada pelayanan kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, sekarang menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apotik dituntut untuk lebih menekankan visinya untuk berorientasi kepada pelanggan terutama dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dan keinginan kepada pelanggannya. 44 2.2 Kerangka Pemikiran APOTIK GUARDIAN Brand Extension (X1) Kualitas Pelayanan (X2) Pengetahuan Merek Induk Persepsi Kualitas Inovasi Konsistensi Konsep Merek Berwujud Keandalan Ketanggapan Kayakinan Empati Keputusan Pembelian (Y) Pengenalan Masalah Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif Keputusan Pembelian Pasca Pembelian Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Sumber : Hasil Analisis Data, 2008.