Templat tugas akhir S1

advertisement
STRUKTUR ADAPTASI ANATOMI TUMBUHAN
MONOKOTIL TERHADAP KONDISI AKUATIK
DI SITU BURUNG, DRAMAGA BOGOR
WAHYU WIDI ANDINI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Adaptasi
Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung,
Dramaga Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Wahyu Widi Andini
NIM G34100041
iv
ABSTRAK
WAHYU WIDI ANDINI. Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil
terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor. Dibimbing oleh
HILDA AKMAL dan HADISUNARSO.
Proses adaptasi tumbuhan dapat dibedakan berdasarkan kondisi
lingkungannya atau kombinasi dari beberapa faktor abiotik lain. Struktur adaptasi
yang sering ditemukan pada tumbuhan yang teradaptasi dengan air (hidrofit) yaitu
terbentuknya jaringan aerenkima. Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk
struktur adaptasi anatomi tumbuhan monokotil terhadap kondisi akuatik di tepi
Situ Burung, Dramaga Bogor. Tumbuhan monokotil yang digunakan dalam
percobaan dengan metode eksplorasi berjumlah sembilan spesies yaitu: Axonopus
compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria
violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus
sanguinolentus, dan Sacciolepis interupta. Hasil sayatan melintang struktur
adaptasi terhadap kondisi akuatik adalah terbentuknya ruang udara (aerenkima)
dan tereduksinya jaringan pembuluh. Sayatan paradermal daun menunjukkan
bahwa jumlah kerapatan stomata pada sisi abaksial dan adaksial daun tumbuhan
terendam lebih tereduksi dibandingkan yang tidak terendam.
Kata kunci: aerenkima, asterosklereid, monokotil, stomata, struktur adaptasi
ABSTRACT
WAHYU WIDI ANDINI. The Structures of Anatomical Adaptation of
Monocot Plant to The Aquatic Condition at Situ Burung, Dramaga Bogor.
Supervised by HILDA AKMAL and HADISUNARSO.
The adaptation process of plants is divided based on the environmental
conditions or combination of several other abiotic factors. Adaptation structures
which are found in hydrophyte plants is aerenchyma. This study aimed to
determine the structures of anatomical adaptation of monocot plants to the aquatic
conditions at the edge of Situ Burung, Dramaga Bogor. There are nine species of
monocot plant used in this research, by exploration method, i.e.: Axonopus
compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria
violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus
sanguinolentus, and Sacciolepis interupta. The result of a transverse section
structures anatomical adaptation of aquatic condition been observed, such as:
formation of aerenchyma and a well as reduced of xylem. Paradermal section on
the leaves showed that the density of stomata on the abaxial and adaxial side of
leaves from the inundated plants are more reduced than plants that are not
inundated.
Key word: adaptation structure, aerenchyma, asterosclereid, monocot, stomata
v
STRUKTUR ADAPTASI ANATOMI TUMBUHAN
MONOKOTIL TERHADAP KONDISI AKUATIK
DI SITU BURUNG, DRAMAGA BOGOR
WAHYU WIDI ANDINI
WAHYU WIDI ANDINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
vii
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap
Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor
: Wahyu Widi Andini
: G34100041
Disetujui oleh
Dra Hilda Akmal, MSi.
Pembimbing I
Ir Hadisunarso, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi.
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah
struktur adaptasi, dengan judul Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil
terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra Hilda Akmal, MSi dan Bapak
Ir Hadisunarso, MSi selaku pembimbing, serta ibu Dr. Dyah Perwitasari, MSc
selaku penguji yang banyak memberikan saran selama penyusunan karya ilmiah.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman dan laboran di Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan yang telah membantu dalam penelitian ini. Terima kasih
juga disampaikan kepada Yayasan Karya Salemba Empat dan PT. Indofood
Sukses Makmur Tbk. atas beasiswa dan pelatihan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Wahyu Widi Andini
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Tujuan Penelitian
BAHAN DAN METODE
2
2
Tempat dan Waktu Penelitian
2
Bahan dan Alat
2
Metode Penelitian
2
HASIL
5
PEMBAHASAN
17
SIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
22
x
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi penelitian Situ Burung, Dramaga Bogor.
2. Peta Situ Burung, Dramaga Bogor dan lokasi pengambilan sampel.
3. Habitus Axonopus compressus (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (bp)
berkas pembuluh, (X) xilem.
4. Habitus Brachiaria reptans (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X)
xilem.
5. Habitus Colocasia sp. (A), Penampang melintang akar kondisi terendam
(B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D),
batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun
kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (Ep) epidermis berpapil, (*)
tidak diberi pewarna safranin 0.5%.
6. Habitus Commelina diffusa (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) sel epidermis, (X)
xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%.
7. Habitus Digitaria violascens (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (X) xilem.
8. Habitus Fimbristylis dichotoma (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
air (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F),
dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) epidermis.
9. Habitus Hymenachne amplexicaulis (A), penampang melintang akar
kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf)
sel buliform, (x) xilem.
10. Habitus Pycerus sanguinolentus (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F),
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima.
11. Habitus Sacciolepis interupta (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F),
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X)
xilem.
3
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
xi
12. Sayatan paradermal Brachiaria reptans (A), sayatan paradermal
Commelina diffusa (B). (SA) stomata anomositik, (SH) stomata halter,
dan (T) trikoma.
17
DAFTAR TABEL
1. Data pengukuran kondisi lingkungan Situ Burung, Dramaga Bogor
2. Jenis tumbuhan monokotil yang dijumpai pada tepi Situ Burung
3. Hasil pengukuran organ vegetatif dan konduktivitas akar tumbuhan
monokotil di Situ Burung, Dramaga
4. Hasil pengukuran stomata pada sayatan paradermal daun
5
6
16
16
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel perbandingan struktur adaptasi yang terbentuk pada masing-
masing spesies
21
xii
1
PENDAHULUAN
Tumbuhan dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tempat
tumbuhnya. Perubahan kondisi lingkungan yang berlangsung lama akan
mempengaruhi bentuk, struktur atau jaringan dalam tubuh tumbuhan. Menurut
Dickison (2000), proses peningkatan kemampuan hidup ini akan berdampak pada
modifikasi morfologi luar, perubahan histologi pada jaringan dan sel, atau
terjadinya spesialisasi secara fisiologi. Jaringan atau struktur yang mengalami
perubahan tersebut akan memiliki fungsi dan peran masing-masing dan saling
menopang dalam proses pertumbuhannya. Jaringan tersebut akan memiliki ukuran
dan tipe sel tertentu bergantung pada habitat, kondisi lingkungan dan jenis
tumbuhan itu sendiri (Rompas et al. 2011). Adaptasi yang berkelanjutan akan
menghasilkan perubahan yang bersifat evolusioner.
Proses adaptasi pada tumbuhan dapat dibedakan berdasarkan kondisi
lingkungannya atau kombinasi dari beberapa faktor abiotik lainnya. Berdasarkan
kadar air di lingkungan, tumbuhan dibedakan ke dalam tumbuhan mesofit,
hidrofit, dan xerofit. Mesofit yaitu kelompok tumbuhan yang hidup dalam kondisi
tanah, air, dan kelembapan yang relatif tinggi atau berada pada kondisi rata-rata.
Hidrofit merupakan tumbuhan yang mampu hidup dalam kondisi lingkungan yang
terendam air pada ketinggian yang bervariasi. Xerofit yaitu kelompok tumbuhan
yang memiliki kemampuan hidup pada kondisi yang kering atau kekurangan air
(Dickison 2000).
Respon perubahan lingkungan pada tumbuhan dapat terlihat dari perbedaan
struktur daun terutama pada bagian stomata. Sebagai contoh, stomata tipe
anomositik pada anggrek kalajengking berbentuk ginjal seperti yang terdapat pada
tumbuhan dikotil. Stomata tersebut teramati dalam posisi terbuka dan terlihat
adanya porus atau celah yang terbuka (Rompas et al. 2011).
Adaptasi pada kondisi akuatik dapat menyebabkan terbentuknya jaringan
aerenkima. Jaringan aerenkima dapat terbentuk pada akar, batang dan daun pada
tumbuhan yang beradaptasi dengan kondisi akuatik, berfungsi untuk merespon
kekurangan udara. Jaringan aerenkima berasal dari pembentukan ruang udara
melalui proses skizogen (pemisahan sel) atau lisogen (kematian sel) (Jongduk et
al. 2008). Faktor lain yang dapat mempengaruhi terbentuknya struktur adaptasi
pada tumbuhan yang hidup dalam kondisi akuatik adalah suhu, udara, konsentrasi
dan komposisi garam dalam air (Mulyani 2006).
Tumbuhan monokotil merupakan anggota Angiospermae dengan ciri-ciri:
akar serabut, pertulangan daun sejajar dan atau melengkung, bagian-bagian bunga
berjumlah tiga atau kelipatan tiga, batang tidak berkambium, dan memiliki satu
kotiledon (Spring 2009). Keragaman monokot di alam tidak sebanyak dikotil
karena terbatasnya kemampuan monokotil membentuk kayu sejati.
Kelompok tumbuhan monokotil memiliki banyak manfaat, di antaranya
sebagai sumber karbohidrat, tanaman obat, tanaman hias, serta berbagai manfaat
lainnya. Tumbuhan monokotil yang dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat
antara lain: Zea mays, Oryza sativa, dan Cocos nucifera. Tumbuhan monokotil
lain yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat, yaitu: Zingiber officinale,
Typhonium flagelliforme, dan lainnya. Tumbuhan monokotil yang dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman hias misalnya Orchidaceae dan Aglonema.
2
Situ Burung berada di desa Cikarawang, Dramaga Bogor. Lokasi danau
yang memiliki luas 4,05 ha dan kedalaman 2 – 4 m ini berbatasan langsung
dengan IPB di bawah naungan University Farm, lahan pertanian warga serta
pemukiman penduduk dan jalan. Lokasi yang berbatasan langsung dengan jalan
mengalami pembetonan pada bagian tepinya, sedangkan daerah tepi lainnya masih
ditutupi oleh semak dan beberapa pohon besar. Sumber air pada situ ini berasal
dari limpahan air hujan dan air buangan dari Situ Panjang. Situ Burung
dimanfaatkan warga sebagai sumber irigasi lahan pertanian, keramba apung,
tempat pemancingan, juga sebagai tempat rekreasi warga.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk struktur adaptasi anatomi
tumbuhan monokotil terhadap kondisi akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2014. Sampel
diambil dari tepi Situ Burung Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga Bogor.
Analisis struktur adaptasi dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi FMIPA IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah sampel daun dan akar monokotil (hidrofit dan
mesofit), alkohol 70%, HNO3 50% dan 100%, kloroks (Bayclin), pewarna
safranin, gliserin 30%, dan aquades. Peralatan yang digunakan di lapangan untuk
pengambilan sampel adalah: botol, cutter, gunting tanaman, kantung plastik,
kamera digital, dan alat 4 in1 (mengukur suhu, intensitas cahaya, kelembapan).
Peralatan yang digunakan di laboratorium mencakup kaca preparat, gelas penutup,
cawan petri, gelas arloji, pinset, pipet, silet, kuas, label, mikroskop, optilab,
mikrotom.
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Situ Burung memiliki luas 4,05 ha, berada sekitar 1 km dari Kampus IPB
Dramaga. Sekitar 2/3 bagian sepanjang tepi danau masih tertutup oleh semak dan
pepohonan, sepertiga bagian lainnya telah mengalami perubahan karena
berbatasan langsung dengan akses jalan ke pemukiman penduduk. Lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
3
(Sumber: http://www.maps.google.co.id)
Gambar 1 Peta lokasi penelitian Situ Burung, Dramaga Bogor.
Pengambilan Sampel
Lokasi pengambilan sampel berada di Situ Burung, Desa Cikarawang
Dramaga Bogor. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode eksplorasi
mengelilingi Situ Burung. Sampel diambil sebanyak tujuh spesimen dari setiap
spesies, tiga spesimen dalam kondisi yang terendam (hidrofit) dan tiga spesimen
dalam kondisi mesofit serta satu spesimen untuk diidentifikasi. Setiap spesies
diambil bagian akar, batang, dan daunnya dan masing-masing bagian diambil tiga
potongan Sampel disimpan dalam botol berisi alkohol 70%. Sampel daun yang
digunakan dari daun kedua dan ketiga dari pucuk. Sampel akar yang digunakan
dipilih secara acak dari tumbuhan tersebut. Pengamatan kondisi lingkungan
dilakukan dengan mengamati suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Pencatatan
kondisi lingkungan diambil setiap satu bulan sekali selama penelitian
berlangsung.
4
Identifikasi Sampel
Sampel tumbuhan diidentifikasi berdasarkan kunci identifikasi Soerjani et al.
(1987) dan Sudarnadi (1996), serta kunci identifikasi lain. Dicatat nama
daerahnya untuk mempermudah identifikasi.
Pembuatan dan Pengamatan Sayatan Paradermal dan Sayatan Transversal
Daun
Sampel daun disayat secara paradermal dan transversal. Pembuatan sayatan
paradermal menggunakan metode Wholemount (Sass 1954), sayatan transversal
menggunakan mikrotom beku (Johansen 1940). Karakter yang diamati pada
sayatan paradermal daun adalah kerapatan dan ukuran stomata. Sampel diamati
dalam lima bidang pandang pada setiap ulangan. Penentuan kerapatan stomata
dihitung dengan rumus (Willmer 1983) sebagai berikut:
Kerapatan Stomata =
Karakter yang diamati pada sayatan transversal daun adalah ketebalan daun dan
struktur jaringan pada daun tersebut.
Pembuatan dan Pengamatan Sayatan Transversal Akar dan Batang
Sayatan transversal akar dan batang menggunakan mikrotom beku
(Johansen 1940). Karakter yang diamati pada sayatan transversal akar dan batang
adalah struktur jaringan dan ukuran jaringan (diameter atau luas sayatan) pada
bagian tersebut.
Konduktivitas Akar
Pengukuran xilem dilakukan dengan mengukur diameternya menggunakan
grid pada mikroskop, selanjutnya dikonversikan ke µm. Perhitungan luas
penampang melintang akar diperlukan agar nilai konduktivitas akar sebanding
dengan luasnya. Setelah diperoleh diameter xilem dan jumlah xilem, penentuan
ratio konduktivitas akar dihitung menggunakan rumus (Leuschner dan Hertel
2003) sebagai berikut:
Konduktivitas akar =
Hasil tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik Uji T pada taraf
nyata 5%.
5
HASIL
Deskripsi Tumbuhan dan Struktur Anatomi pada Sayatan Transversal
Akar, Batang, dan Daun
Beranekaragam spesies tumbuhan yang teradaptasi dengan kondisi akuatik
dijumpai di sekitar tepi Situ Burung, baik tumbuhan dikotil maupun monokotil.
Berdasarkan pengukuran kondisi lingkungan yang dilakukan daerah ini memiliki
suhu berkisar 31- 36,7oC, intensitas cahaya lebih dari 15790-18880 lux, dan
kelembapan berkisar 57- 65,7% (Tabel 1). Pada penelitian ini, dijumpai sembilan
spesies monokotil (Tabel 2) pada kondisi terendam dan tidak terendam di
sepanjang tepi Situ Burung (Gambar 1).
Tabel 1 Data pengukuran kondisi lingkungan Situ Burung, Dramaga Bogor
Faktor lingkungan
Ternaungi
Tidak ternaungi
Suhu ( C)
31,1-36,4
35,5-36,7
Intensitas cahaya (Lux)
± 15790-18860
± 18560-18800
Kelembapan udara (%)
57.8-64,2
57-65,7
o
(sumber: maps.google.co.id)
Gambar 2 Peta Situ Burung, Dramaga Bogor dan lokasi pengambilan sampel.
6
Tabel 2 Jenis tumbuhan monokotil yang dijumpai pada tepi Situ Burung
Famili
Spesies
Nama Daerah
Araceae
1. Colocasia sp.
Talas-talasan
Commelinaceae 1. Commelina diffusa
Gewor
Cyperaceae
1. Fimbristylis dichotoma
Jukut mata munding
2. Pycerus sanguinolentus
Poaceae
1. Axonopus compressus
Rumput pait
2. Brachiaria reptans
Brabahan
3. Digitaria violascens
Jampang piit
4. Hymenachne amplexicaulis Udul-udul
5. Sacciolepis interupta
Utulan
Kondisi lingkungan tempat tumbuhan monokotil dijumpai bervariasi.
Beberapa tumbuhan dijumpai di bawah naungan semak, pohon, dan ada pula di
daerah terbuka. Colocasia sp., Sacciolepis interupta, Fimbristylis dichotoma, dan
Hymenachne amplexicaulis dijumpai pada tempat yang tidak ternaungi, kondisi
tanah berlumpur dan digenangi air. Digitaria violascens ditemukan pada kondisi
yang ternaungi. Spesies lainnya dijumpai pada kedua kondisi tersebut.
1. Axonopus compressus
Perawakan berupa herba, rumput, tinggi sekitar 5-10 cm; akar serabut
menjalar dengan stolon yang keras; batang roset; daun berbentuk pita, berwarna
hijau muda-tua, panjang 3-8 cm, lebar 1-1,5 cm, pelepah berwarna hijau-ungu,
pelepah menutupi batang, ligula di bagian pangkal daun; perbungaan majemuk
bulir dengan spikelet 2-3.
Penampang melintang akar memiliki jumlah ruang udara lebih banyak dan
jumlah xilem lebih sedikit pada kondisi terendam (Gambar 3B dan 3C). Di bagian
pelepah yang membungkus batang pada kondisi terendam terdapat rongga udara
(Gambar 3D dan 3E). Sedangkan, penampang melintang daun memiliki ukuran
sel lebih besar pada kondisi terendam. Berkas dan seludang pembuluh yang
terendam lebih sedikit dari yang tidak terendam. Sel buliform kondisi terendam
lebih besar (Gambar 3F dan 3G).
7
Gambar 3 Habitus Axonopus compressus (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (bp)
berkas pembuluh, (X) xilem.
2. Brachiaria reptans
Habitus herba, rumput, tinggi 20-35 cm; akar serabut; batang gilig; daun
berbentuk pita, warna hijau tua, panjang 5-8 cm, lebar 0,8-1 cm, pertulangan
sejajar, duduk daun berseling; perbungaan bulir dengan tangkai bulir yang
pendek; perbungaan terdiri atas 3-4 spikelet. Pada struktur anatomi akar terbentuk
rongga udara (Gambar 4B dan C).
8
Gambar 4 Habitus Brachiaria reptans (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima,
(bf) sel buliform, (X) xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%.
3. Colocasia sp.
Perawakan berupa herba, tinggi 30-40 cm; akar serabut; batang memiliki
umbi; daun lengkap dengan lembaran berbentuk perisai, warna hijau muda-tua,
panjang 15-20 cm, pangkal daun berbentuk hati, ujung runcing; pelepah berwarna
hijau muda.
Struktur anatomi daun Colocasia sp memiliki epidermis berpapil pada sisi
adaksial. Pada parenkima bunga karang terbentuk rongga udara. Struktur pada
akar di kedua kondisi tidak terlalu berbeda (Gambar 5). Jumlah xilem dan rongga
udara yang terbentuk pada kondisi terendam lebih banyak dibandingkan dengan
yang tidak terendam. Nilai konduktivitas akar pada Colocasia sp. yang terendam
sebesar 0,0074 dan yang tidak terendam sebesar 0,0071 (Tabel 3).
9
Gambar 5 Habitus Colocasia sp. (A), Penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
(D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan
daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (Ep) epidermis
berpapil, (*) tidak diberi pewarna safranin 0.5%.
4. Commelina diffusa
Perawakan herba, tinggi 10-20 cm; akar serabut, akar baru muncul pada
nodus; batang gilig; daun bulat telur-lanset, warna hijau tua, berseling, tulang
daun sejajar, panjang 3-6 cm, lebar 0,8-1,5 cm.
Struktur anatomi jaringan pada masing-masing organ di kedua kondisi tidak
berbeda. Perbedaan terlihat pada ukuran sel. Daun pada kondisi terendam
memiliki sel epidermis yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
terendam. Bagian mesofil dalam kondisi terendam cenderung lebih tipis
dibandingkan yang tidak terendam (Gambar 6F dan 6G). Kondisi serupa dapat
terlihat pada sayatan melintang akar. Jumlah ruang udara pada kondisi terendam
lebih banyak dibandingkan dengan kondisi tidak terendam (Gambar 6B dan 6C).
10
Gambar 6 Habitus Commelina diffusa (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima,
(E) sel epidermis, (X) xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%.
5. Digitaria violascens
Perawakan berupa herba, rumput, tinggi 30-50 cm; akar serabut, merambat
dengan stolon; batangnya gilig dengan lubang di tengahnya; daun berbentuk pita,
panjang 10-15 cm, lebar 1-1,5 cm, berwarna hijau muda, ujung daunnya runcingmeruncing, permukaan daun agak kasar, ligula melekat di sekeliling tepi pelepah,
pelepah daun menutupi 1/3 bagian internodus; perbungaan majemuk bulir,
spikelet berjumlah 2-3.
Susunan jaringan pada akar, batang dan daun pada kondisi terendam tidak
berbeda dengan kondisi yang tidak terendam (Gambar 7). Terdapat sel buliform
yang menjadi ciri khas dari anggota famili Poaceae.
11
Gambar 7 Habitus Digitaria violascens (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima,
(X) xilem.
6. Fimbristylis dichotoma
Habitus herba, rumput, tinggi 10-15 cm; akar serabut; batang bersegi tiga;
daun berbentuk pita, warna hijau tua, panjang 8-10 cm, lebar 0.5-0.8 cm;
perbungaan bulir-payung, spikelet bercabang dua. Secara anatomi struktur pada
masing-masing organ sama, terdapat sedikit perbedaan pada tampilan struktur
korteks. Pada kondisi terendam korteks tampak seperti jala, kondisi tidak
terendam bentuk jala tidak terlalu jelas karena cenderung lebih rapat (Gambar 8B
dan 8C). Mesofil daun pada Fimbristylis dichotoma yang dijumpai di kondisi
terendam memiliki satu lapis sel, sedangkan kondisi tidak terendam memiliki dua
lapis sel (Gambar 8F dan 8G).
Daun pada kondisi terendam memiliki ketebalan 0,29 mm, pada kondisi
tidak terendam ketebalan daun 0,22 mm. Diameter batang kondisi terendam 1,70
mm, kondisi tidak terendam 0,83 mm. Luas penampang melintang akar pada
kondisi terendam 0,42 mm2, kondisi tidak terendam 0,26 mm2.
12
Gambar 8 Habitus Fimbristylis dichotoma (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam
air (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F),
dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) epidermis.
7. Hymenachne amplexicaulis
Habitus herba, tinggi 90-100 cm; akar serabut, akar baru sering muncul di
nodus; batang gilig lebih kokoh dari Sacciolepis sp., penampang batang bergaris
hijau lebih tua dari warna batang; daun berbentuk pita dengan tepi yang tajam,
permukaan kasar, berwarna hijau tua, panjang 60-70 cm, lebar 2-3 cm.
Struktur akar pada kondisi terendam memiliki sel penyusun yang lebih besar
ukurannya dari yang tidak terendam, terbentuk rongga udara, dan dinding sel lebih
tipis dari yang tidak terendam (Gambar 9B dan 9C). Pada kondisi tidak terendam
tidak dijumpai ruang udara pada bagian tengah (Gambar 9D dan 9E). Sel buliform
pada daun kondisi terendam ukurannya lebih besar dari kondisi tidak terendam.
Sel epidermis pada tumbuhan yang terendam tidak memiliki papil di sisi adaksial
dan abaksial, pada tumbuhan yang tidak terendam terdapat papil (Gambar 9).
13
Gambar 9 Habitus Hymenachne amplexicaulis (A), penampang melintang akar
kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima,
(bf) sel buliform, (x) xilem.
8. Pycerus sanguinolentus
Sinonim dengan Cyperus sanguinolentus berdasarkan world ceklist (The
Plantlist). Habitus berupa herba, rumput, tinggi 40-70 cm; akar serabut; batang
segitiga padat; daun berbentuk pita, pertulangan daun sejajar, kaku, berwarna
hijau-kuning, panjang 20-25 cm, lebar 1-2 cm, berseling, memiliki 3 brakteola;
perbungaan payung.
Pada sayatan melintang akar, tampak struktur akar lebih padat pada kondisi
tidak terendam (Gambar 10). Luas melintang akar pada kondisi terendam sebesar
0,46 mm2 dan yang tidak terendam sebesar 0,36 mm2. Daun dalam kondisi
terendam lebih tipis (0,26 mm) dibandingkan dengan ketebalan daun pada kondisi
tidak terendam (0,63 mm). Diameter batang sebesar 2,39 mm pada kondisi
terendam, kondisi tidak terendam 2,87 mm (Tabel 3).
14
Gambar 10 Habitus Pycerus sanguinolentus (A), penampang melintang akar
kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang
kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun
kondisi terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (a)
asterosklereid, (ae) aerenkima.
9.
Sacciolepis interupta
Anggota famili Poaceae, habitus herba dengan tinggi 80-100 cm; akar
serabut, akar baru tumbuh pada nodus; batang berwarna hijau muda-ungu; daun
berbentuk pita, panjang daun 20-30 cm, lebar 1,5-2,5 cm, warna daun hijau tua,
kasar bila diraba, terdapat ligula pada pangkal dekat pelepah, tepi daun terasa
tajam bila tergores; perbungaan majemuk tidak terbatas, perhiasan bunga
berwarna ungu.
Secara anatomi struktur jaringan masing-masing organ tidak berbeda. Pada
akar dalam kondisi terendam, jumlah jaringan aerenkima lebih banyak dari
kondisi tidak terendam. Jaringan pembuluh pada akar dikelilingi sel dengan
struktur berlapis seperti endodermis. Pada kondisi terendam lapisan sel tersebut
lebih sedikit dibandingkan pada kondisi tidak terendam (Gambar 11B dan 11C).
15
Gambar 11 Habitus Sacciolepis interupta (A), penampang melintang akar kondisi
terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi
terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi
terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (a) asterosklereid, (ae)
aerenkima, (bf) sel buliform, (X) xilem.
Perbedaan struktur yang teramati dapat dilihat pada Lampiran 1.
Perbandingan kondisi tersebut ditentukan pada kondisi terendam. Struktur yang
paling banyak dijumpai adalah struktur aerenkima. Dalam penelitian ini, dijumpai
arah pembentukan aerenkima honeycomb expansygeny (pada Brachiaria reptans),
radial expansygeni (pada Commelina diffusa dan Hymenachne amplexicaulis),
packet lysigeny (pada Colocasia sp.), radial lysigeny (pada Axonopus compressus,
Digitaria violascens dan Sacciolepis interupta), dan tangensial lysigeny (pada
Fimbristylis dichotoma, dan Pycerus sanguinolentus).
16
Tabel 3 Hasil pengukuran organ vegetatif dan konduktivitas akar tumbuhan
monokotil di Situ Burung, Dramaga
Ketebalan sayatan
daun (mm)
No
Diameter
batang (mm)
Spesies
1
Jumlah
Xilem
Luas sayatan
melintang akar
(mm2)
Konduktivitas
akar
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
0,12
0,17
2,20
1,98
10
14
0,78*
0,60*
0,013
0,017
2
Axonopus
compressus
Brachiaria reptans
0,17
0,11
1,84
0,54
15
7
0,21
1,81
0,05
0,03
3
Colocasia sp.
0,31
0,39
400
500
14
11
0,22
6,82
0,0074
0,0071
4
Commelina diffusa
0,19
0,39
3,07
3,3
6
7
1,2
1,65
0,014
0,007
5
Digitaria violascens
Fimbristylis
dichotoma
Hymenachne
amplexicaulis
Pycerus
sanguinolentus
Sacciolepis
interupta
0,47
0,13
1,22
1,62
7
9
0,22
0,42
0,026
0,061
0,29
0,22
1,70
0,83
15
9
0,42
0,26
0,004
0,007
0,21*
0,36*
2,08
1,98
10
9
0,47
0,39
0,017*
0,025*
0,26
0,63
2,39
2,87
12
18
0,46
0,36
0,005
0,009
0,15
0,14
1,92
4,84
23
24
0,58
0,63
0,08
0,051
6
7
8
9
Keterangan: * hasil uji T menunjukkan berbeda nyata
A: kondisi terbenam
B: kondisi tidak terbenam
Sayatan Paradermal
Ukuran dan kerapatan stomata di bagian adaksial dan abaksial daun dapat
dilihat pada Tabel 4. Hasil uji T Hymenachne amplexicaulis menunjukkan hasil
berbeda nyata pada panjang stomata sisi adaksial dan lebar stomata sisi abaksial
daun.
Tabel 4 Hasil pengukuran stomata pada sayatan paradermal daun
No.
Spesies
Famili
1
Axonopus
compressus
Poaceae
2
Brachiaria reptans
Poaceae
3
Colocasia sp.
Araceae
4
Commelina diffusa
5
6
7
8
9
Digitaria
violascens
Fimbristylis
dichotoma
Hymenachne
amplexicaulis
Pycerus
sanguinolentus
Sacciolepis
interupta
Commelinaceae
Poaceae
Cyperaceae
Poaceae
Cyperaceae
Poaceae
Bagian
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Adaksial
Abaksial
Panjang
stomata (µm)
A
B
17,4
29,0
35,9
31,1
24,9
20,9
24,5
24,5
17,5
9,9
14,4
19,3
65,1
57,7
66,5
71,5
25,9
22,8
27,7
21,9
30,6
38,6
33,2
28,7
26,3*
26,8*
25,7
26,3
36,5
0,0
17,3
35,9
37,6
31,8
37,4
36,8
Lebar
stomata (µm)
A
B
20,8
18,2
10,3
18,3
12,9
13,2
15,8
12,8
14,1
14,9
13,1
13
56,5
60,9
68,7
65,9
11,6
13,4
14,5
13,9
16,2
20,8
20,9
19,5
12,0
13,0
12,3* 15,6*
11,2
0,0
23,1
10,3
7,8
9,9
7,8
6,9
kerapatan
stomata (/mm2)
A
B
34,9
83,6
18,8
170,4
11,6*
14,3*
24,5* 212,9*
155,0* 170,4*
190,0
84,9
24,9
51,5
72,3
148,6
76,1* 222,9*
238,3
313,7
45,7
80,2
56,3
119,4
133,2
193,7
259,0
328,0
210,2
0,00
264,9
448,51
168,3* 183,1*
230,9* 226,1*
Keterangan: * menunjukkan hasil berbeda nyata pada pengujian Uji T
A: kondisi terbenam
B: kondisi tidak terbenam
Kerapatan stomata paling tinggi pada sisi abaksial daun (Tabel 4). Pada
famili Cyperaceae, kerapatan stomata paling tinggi dijumpai pada Pycerus
sanguiolentus. Sedangkan, famili Poaceae kerapatan stomata tertinggi dijumpai
17
pada Hymenachne amplexicaulis. Anggota famili Cyperaceae dan Poaceae
memiliki bentuk stomata yang sama yaitu halter. Stomata bentuk halter digunakan
sebagai salah satu ciri tumbuhan anggota monokotil. Bentuk stomata anomositik
dijumpai pada Commelina diffusa dan Colocasia sp (Gambar 12).
T
SH
SA
T
A
B
Gambar 12 Sayatan paradermal Brachiaria reptans (A), sayatan paradermal
Commelina diffusa (B). (SA) stomata anomositik, (SH) stomata
halter, dan (T) trikoma.
PEMBAHASAN
Sayatan melintang organ tumbuhan monokotil yang dijumpai dalam
kondisi terendam di lokasi penelitian, menunjukkan struktur adaptasi yang
umumnya dikembangkan yakni berupa terbentuknya struktur aerenkima. Selain
itu, perbedaan ukuran ketebalan organ juga dapat mengindikasi terjadinya
adaptasi pada spesies tersebut. Ketebalan organ yang berbeda terlihat pada daun
Colocasia sp., daun Commelina diffusa, daun dan batang Pycerus sanguinolentus,
daun Axonopus compressus, serta daun Hymenachne amplexicaulis. Dickison
(2000) melaporkan bahwa daun tumbuhan hidrofit mengalami modifikasi, di
antaranya: tekstur atau ketebalan daun menjadi lebih tipis, kutikula cenderung
tipis atau absen, dinding sel epidermis cenderung lebih tipis, jumlah stomata
tereduksi, mesofil daun aerenkimatus, tidak ada jaringan penyimpan air,
sklerenkima dan jaringan pembuluh tereduksi.
Nilai konduktivitas akar pada kondisi terendam lebih kecil dibandingkan
dengan tidak terendam. Kecilnya nilai tersebut dipengaruhi oleh luas melintang
akar dan jumlah xilem. Modifikasi pada akar dapat ditemukan berupa ada
tidaknya rambut akar, jaringan pembuluh cenderung tereduksi agar
konduktivitasnya lebih efisien (Dickison 2000). Efisiensi tersebut mengarah pada
kemampuan mengantarkan nutrisi dari akar ke seluruh tubuh. Struktur aerenkima
juga dapat ditemukan pada akar. Struktur aerenkima berfungsi menyediakan udara
terutama oksigen ketika kadar oksigen menurun (Seago et al. 2005).
Proses pembentukan aerenkima dipicu oleh adanya etilen. Etilen terbentuk
sebagai respon awal suatu tanaman yang mengalami kondisi terendam air. Etilen
dibentuk di semua sel pada tumbuhan (Jackson dan Colmer 2005). Pada
Arabidopsis sp. etilen paling banyak terbentuk pada membran aparatus golgi dan
18
membran retikulum endoplasma (Voesenek dan Sasidharan 2013). Etilen juga
berperan dalam proses terbentuknya akar adventif. Handayani et al. (2013)
melaporkan zona aerenkima pada padi sawah dan ladang dapat terbentuk di
sepanjang akar, dari bagian proksimal hingga bagian distal. Pembentukan
aerenkima pada tanaman padi var. Anakdaro dan var. Merah pada kondisi
terendam terbentuk pada hari ketiga dan stabil pada hari ke-21 setelah persemaian
(Handayani et al. 2013), sedangkan menurut Shimamura et al. (2007)
perkembangan pembentukan aerenkima pada labu stabil pada hari ke-16 setelah
persemaian.
Berdasarkan arah pembentukannya, aerenkima dibedakan menjadi:
honeycomb expansigeny, radial expansigeny, schizogeny, schizo-lysegeny, packet
lysigeny, radial lysegeny dan tangensial lysegeny (Seago et al. 2005). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat struktur lain seperti sklereid. Seago et
al. (2005) melaporkan bahwa pada aerenkima juga dapat ditemukan struktur lain,
seperti: sel-sel kristal, sklereid terutama asterosklereid, dan sel-sel diafragma yang
berfungsi untuk transfer lakuna.
Stomata merupakan salah satu ciri yang dapat menunjukkan terjadinya
adaptasi pada tumbuhan. Stomata adalah celah di antara epidermis yang diapit
oleh 2 sel epidermis khusus yang disebut sel penutup. Di dekat sel penutup
terdapat sel-sel yang mengelilinginya disebut sel tetangga. Sel penutup dapat
membuka dan menutup sesuai dengan kebutuhan tanaman akan transpirasi,
sedangkan sel-sel tetangga turut serta dalam perubahan osmotik yang
berhubungan dengan pergerakan sel–sel penutup (Haryanti 2010). Stomata
membuka karena sel penutup mengambil air dan menggembung (Salisbury dan
Ross 1995). Bertambah dan berkurangnya ukuran celah pada sel penutup adalah
akibat perubahan tekanan turgor pada sel penutup (Kartasapoetra 1988). Bila
dibandingkan kerapatan stomata pada masing-masing sisi permukaan daun pada
kondisi terendam dan tidak terendam, stomata pada kondisi terendam jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak terendam. Kerapatan stomata
tertinggi dijumpai pada bagian adaksial daun semua spesies tumbuhan yang
diamati. Dickison (2000) melaporkan bahwa jumlah stomata pada tumbuhan
hidrofit mengalami reduksi.
SIMPULAN
Tumbuhan monokotil yang hidup pada kondisi terendam dan tidak terendam
di sepanjang tepi Situ Burung sebanyak sembilan spesies meliputi: Axonopus
compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria
violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus
sanguinolentus, dan Sacciolepis interupta. Struktur adaptasi terhadap kondisi
akuatik yang dijumpai pada spesies-spesies tersebut berupa terbentuknya ruang
udara (aerenkima), tereduksinya jumlah stomata dan jaringan pembuluh.
19
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2014. Bogor. [Internet]. [diunduh pada 2015 Januari 01]. Tersedia
pada: http://www.maps.google.co.id/bogor.
. Situ Burung Dramaga. [Internet]. [diunduh pada 2014 November
22]. Tersedia pada: http://www.maps.google.co.id/situburung.
Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. USA (US): Harcourt Academic
Pr.
Handayani F, Maideliza T, Mansyurudin. 2013. Studi perkembangan aerenkima
akar pada sawah dan padi ladang tahan persemaian dengan perlakuan
perendaman. J. Bio. UA. 2(2):145-152.
Haryanti S. 2010. Distribusi jumlah stomata pada daun beberapa spesies tanaman
Dikotil dan Monokotil. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 18(2):21-28.
Jackson MB, Colmer TD. 2005. Respon and adaptation by plant to flooding stress.
Annals of Botany. 96:501-505.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York (US). Mc Graw Hill.
Jongduk J, Seung CL, Hong KC. 2008. Anatomical patterns of aerenchyma in
aquatic and wetland plants. J .of Plant Biology. 51(6):428-439.
Kartasapoetra AG. 1988. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan (Tentang Sel
Dan Jaringan). Jakarta (ID): Bina Aksara.
Leuschner C, Hertel D. 2003. Water Turnover and Water Loss in Plant: Pelatihan
Fisiologi Tumbuhan Bagi Dosen Se-Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Bogor
(ID): IPB Pr.
Mulyani S . 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Rompas Y, Rampe HL, Rumondor MJ. 2011. Struktur sel epidermis dan stomata
daun beberapa tumbuhan suku Orchidaceae. J. BIOSLOGOS. 1(1):13-19.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1.Bandung (ID): ITB Pr.
Sass JE. 1954. Botanical Microtechnique 2nd Ed. Iowa (US): The Iowa State
Collage Pr.
Seago JL, Marsh LC, Stevens KJ, Soukup A, Votrubova O, Enstone DE. 2005. A
re-examination of the root cortex in wetland flowering plants with respect to
aerenchyma. Annals of Botany. 96:565-579.
Shimamura S, Yoshida S, Mochizuki T. 2007. Cortical aerenchyma formation in
hypocotyl and adventitious roots of Luffa cylindrica subjected to soil
flooding. Annals of Botany. 100:1431-1439.
Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G. 1987. Weed of Rice in
Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka.
Spring. 2009. Lecture 23: Monocot. [internet]. [diunduh 2013 Oktober 22].
Tersedia pada: http://ib.berkeley.edu/courses/ib168/lecture.html
Sudarnadi H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Voesenek LACJ, Sasidharan R. 2013. Ethylene and oxygen signaling drive plant
survival during flooding. Plant Biology. 15:426-435.
Willmer CM. 1983. Stomata. London (UK): Longham.
20
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel perbandingan struktur adaptasi yang terbentuk pada masing-masing spesies
Karakter
Akar
Batang
Daun
Ukuran sel
epidermis
Kecil (< 25 µm)
Besar (≥25 µm)
Ukuran sel korteks
Kecil (< 30 µm)
Besar (≥30 µm)
Terbentuk
aerenkima
Pembentukan
aerenkima
Diameter xilem
Kecil (< 30 µm)
Besar (≥30 µm)
Jumlah Xilem
Banyak (>15)
Sedang (10-15)
Sedikit (<10)
Ukuran Sel
epidermis
Kecil (< 20 µm)
Besar (≥20 µm )
Ukuran sel
korteks/ parenkima
Kecil (<40 µm)
Besar (≥40 µm)
Terbentuk
aerenkima
Ukuran Sel
epidermis
Kecil (< 17 µm)
Besar (≥17 µm)
Ketebalan mesofil
Tipis (<150 µm)
Sedang (150≤ m
≥300 µm)
Tebal (> 300 µm)
Terbentuk
aerenkima
Jumlah berkas
pembuluh
Banyak (>
5/bidang pandang)
Sedikit (≤ 5/bidang
pandang)
Axonopus
compressus
Brachiaria
reptans
Colocasia
sp.
Commelina
diffusa
Digitaria
violascens
Fimbristylis
dichotoma
Hymenachne
amplexicaulis
Pycerus
sanguinolentus
Sacciolepis
interupta
kecil
Besar
Kecil
Besar
Besar
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Kecil
Besar
Kecil
Besar
besar
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Radial
ekspansygeny
Honeyccomb
ekspansigeny
Packet
lysigeny
Radial
ekspansygeny
Radial
lysigeny
Tangensial
lysigeny
Radial
ekspansygeny
Tangensial
lysigeny
Radial lysigeny
Kecil
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Kecil
Kecil
Kecil
Besar
Sedang
Banyak
Banyak
Sedikit
Sedikit
Banyak
Sedang
Sedang
Banyak
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Besar
Besar
Besar
Kecil
Besar
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Besar
Besar
Besar
Kecil
Besar
Ada
Tidak
Tidak
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Besar
Besar
Kecil
Besar
Kecil
Kecil
Kecil
Besar
Kecil
Tipis
Sedang
Tebal
Sedang
Tebal
Sedang
Sedang
Sedang
Tipis
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Ada
Tidak
Ada
Ada
Ada
Sedikit
Sedikit
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8
Desember 1992 dari ayah Slamet Ratmoko dan ibu
Susilowati. Penulis adalah anak pertama dari dua
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA
Negeri 10 Kota Bekasi dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
dan diterima di Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis
menjadi asisten Biologi Alga dan Lumut pada tahun
ajaran 2013/2014, asisten Botani Umum pada tahun
ajaran 2013/2014, asisten Anatomi dan Morfologi
Tumbuhan pada tahun 2014/2015, dan asisten Sistematika Tumbuhan
Berpembuluh pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga aktif mengajar mata
pelajaran Biologi pada Bimbingan Belajar dan Privat Sentral Edukatif. Penulis
melaksanakan Studi Lapangan pada bulan Juni 2012 dengan judul Keragaman
Passiflora di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bulan Juli-Agustus 2013
penulis melakukan Praktik Lapangan di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ)
Cempaka Putih dengan judul Proses Pengawasan dan Uji Keamanan Darah pada
Bank Darah Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih Jakarta Pusat. Selain itu
penulis adalah salah satu penerima beasiswa Karya Salemba Empat dalam
program Beasiswa Indofood Sukses Makmur (BISMA) dari tahun 2012-2014.
Download