STRUKTUR ADAPTASI ANATOMI TUMBUHAN MONOKOTIL TERHADAP KONDISI AKUATIK DI SITU BURUNG, DRAMAGA BOGOR WAHYU WIDI ANDINI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Wahyu Widi Andini NIM G34100041 iv ABSTRAK WAHYU WIDI ANDINI. Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor. Dibimbing oleh HILDA AKMAL dan HADISUNARSO. Proses adaptasi tumbuhan dapat dibedakan berdasarkan kondisi lingkungannya atau kombinasi dari beberapa faktor abiotik lain. Struktur adaptasi yang sering ditemukan pada tumbuhan yang teradaptasi dengan air (hidrofit) yaitu terbentuknya jaringan aerenkima. Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk struktur adaptasi anatomi tumbuhan monokotil terhadap kondisi akuatik di tepi Situ Burung, Dramaga Bogor. Tumbuhan monokotil yang digunakan dalam percobaan dengan metode eksplorasi berjumlah sembilan spesies yaitu: Axonopus compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus sanguinolentus, dan Sacciolepis interupta. Hasil sayatan melintang struktur adaptasi terhadap kondisi akuatik adalah terbentuknya ruang udara (aerenkima) dan tereduksinya jaringan pembuluh. Sayatan paradermal daun menunjukkan bahwa jumlah kerapatan stomata pada sisi abaksial dan adaksial daun tumbuhan terendam lebih tereduksi dibandingkan yang tidak terendam. Kata kunci: aerenkima, asterosklereid, monokotil, stomata, struktur adaptasi ABSTRACT WAHYU WIDI ANDINI. The Structures of Anatomical Adaptation of Monocot Plant to The Aquatic Condition at Situ Burung, Dramaga Bogor. Supervised by HILDA AKMAL and HADISUNARSO. The adaptation process of plants is divided based on the environmental conditions or combination of several other abiotic factors. Adaptation structures which are found in hydrophyte plants is aerenchyma. This study aimed to determine the structures of anatomical adaptation of monocot plants to the aquatic conditions at the edge of Situ Burung, Dramaga Bogor. There are nine species of monocot plant used in this research, by exploration method, i.e.: Axonopus compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus sanguinolentus, and Sacciolepis interupta. The result of a transverse section structures anatomical adaptation of aquatic condition been observed, such as: formation of aerenchyma and a well as reduced of xylem. Paradermal section on the leaves showed that the density of stomata on the abaxial and adaxial side of leaves from the inundated plants are more reduced than plants that are not inundated. Key word: adaptation structure, aerenchyma, asterosclereid, monocot, stomata v STRUKTUR ADAPTASI ANATOMI TUMBUHAN MONOKOTIL TERHADAP KONDISI AKUATIK DI SITU BURUNG, DRAMAGA BOGOR WAHYU WIDI ANDINI WAHYU WIDI ANDINI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 vi vii Judul Skripsi Nama NIM : Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor : Wahyu Widi Andini : G34100041 Disetujui oleh Dra Hilda Akmal, MSi. Pembimbing I Ir Hadisunarso, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi. Ketua Departemen Tanggal lulus: viii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah struktur adaptasi, dengan judul Struktur Adaptasi Anatomi Tumbuhan Monokotil terhadap Kondisi Akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra Hilda Akmal, MSi dan Bapak Ir Hadisunarso, MSi selaku pembimbing, serta ibu Dr. Dyah Perwitasari, MSc selaku penguji yang banyak memberikan saran selama penyusunan karya ilmiah. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman dan laboran di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan yang telah membantu dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Yayasan Karya Salemba Empat dan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. atas beasiswa dan pelatihan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2015 Wahyu Widi Andini ix DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL x DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Tujuan Penelitian BAHAN DAN METODE 2 2 Tempat dan Waktu Penelitian 2 Bahan dan Alat 2 Metode Penelitian 2 HASIL 5 PEMBAHASAN 17 SIMPULAN 18 DAFTAR PUSTAKA 19 LAMPIRAN 20 RIWAYAT HIDUP 22 x DAFTAR GAMBAR 1. Peta lokasi penelitian Situ Burung, Dramaga Bogor. 2. Peta Situ Burung, Dramaga Bogor dan lokasi pengambilan sampel. 3. Habitus Axonopus compressus (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (bp) berkas pembuluh, (X) xilem. 4. Habitus Brachiaria reptans (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X) xilem. 5. Habitus Colocasia sp. (A), Penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (Ep) epidermis berpapil, (*) tidak diberi pewarna safranin 0.5%. 6. Habitus Commelina diffusa (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) sel epidermis, (X) xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%. 7. Habitus Digitaria violascens (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (X) xilem. 8. Habitus Fimbristylis dichotoma (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam air (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) epidermis. 9. Habitus Hymenachne amplexicaulis (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (x) xilem. 10. Habitus Pycerus sanguinolentus (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima. 11. Habitus Sacciolepis interupta (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X) xilem. 3 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15 xi 12. Sayatan paradermal Brachiaria reptans (A), sayatan paradermal Commelina diffusa (B). (SA) stomata anomositik, (SH) stomata halter, dan (T) trikoma. 17 DAFTAR TABEL 1. Data pengukuran kondisi lingkungan Situ Burung, Dramaga Bogor 2. Jenis tumbuhan monokotil yang dijumpai pada tepi Situ Burung 3. Hasil pengukuran organ vegetatif dan konduktivitas akar tumbuhan monokotil di Situ Burung, Dramaga 4. Hasil pengukuran stomata pada sayatan paradermal daun 5 6 16 16 DAFTAR LAMPIRAN 1. Tabel perbandingan struktur adaptasi yang terbentuk pada masing- masing spesies 21 xii 1 PENDAHULUAN Tumbuhan dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Perubahan kondisi lingkungan yang berlangsung lama akan mempengaruhi bentuk, struktur atau jaringan dalam tubuh tumbuhan. Menurut Dickison (2000), proses peningkatan kemampuan hidup ini akan berdampak pada modifikasi morfologi luar, perubahan histologi pada jaringan dan sel, atau terjadinya spesialisasi secara fisiologi. Jaringan atau struktur yang mengalami perubahan tersebut akan memiliki fungsi dan peran masing-masing dan saling menopang dalam proses pertumbuhannya. Jaringan tersebut akan memiliki ukuran dan tipe sel tertentu bergantung pada habitat, kondisi lingkungan dan jenis tumbuhan itu sendiri (Rompas et al. 2011). Adaptasi yang berkelanjutan akan menghasilkan perubahan yang bersifat evolusioner. Proses adaptasi pada tumbuhan dapat dibedakan berdasarkan kondisi lingkungannya atau kombinasi dari beberapa faktor abiotik lainnya. Berdasarkan kadar air di lingkungan, tumbuhan dibedakan ke dalam tumbuhan mesofit, hidrofit, dan xerofit. Mesofit yaitu kelompok tumbuhan yang hidup dalam kondisi tanah, air, dan kelembapan yang relatif tinggi atau berada pada kondisi rata-rata. Hidrofit merupakan tumbuhan yang mampu hidup dalam kondisi lingkungan yang terendam air pada ketinggian yang bervariasi. Xerofit yaitu kelompok tumbuhan yang memiliki kemampuan hidup pada kondisi yang kering atau kekurangan air (Dickison 2000). Respon perubahan lingkungan pada tumbuhan dapat terlihat dari perbedaan struktur daun terutama pada bagian stomata. Sebagai contoh, stomata tipe anomositik pada anggrek kalajengking berbentuk ginjal seperti yang terdapat pada tumbuhan dikotil. Stomata tersebut teramati dalam posisi terbuka dan terlihat adanya porus atau celah yang terbuka (Rompas et al. 2011). Adaptasi pada kondisi akuatik dapat menyebabkan terbentuknya jaringan aerenkima. Jaringan aerenkima dapat terbentuk pada akar, batang dan daun pada tumbuhan yang beradaptasi dengan kondisi akuatik, berfungsi untuk merespon kekurangan udara. Jaringan aerenkima berasal dari pembentukan ruang udara melalui proses skizogen (pemisahan sel) atau lisogen (kematian sel) (Jongduk et al. 2008). Faktor lain yang dapat mempengaruhi terbentuknya struktur adaptasi pada tumbuhan yang hidup dalam kondisi akuatik adalah suhu, udara, konsentrasi dan komposisi garam dalam air (Mulyani 2006). Tumbuhan monokotil merupakan anggota Angiospermae dengan ciri-ciri: akar serabut, pertulangan daun sejajar dan atau melengkung, bagian-bagian bunga berjumlah tiga atau kelipatan tiga, batang tidak berkambium, dan memiliki satu kotiledon (Spring 2009). Keragaman monokot di alam tidak sebanyak dikotil karena terbatasnya kemampuan monokotil membentuk kayu sejati. Kelompok tumbuhan monokotil memiliki banyak manfaat, di antaranya sebagai sumber karbohidrat, tanaman obat, tanaman hias, serta berbagai manfaat lainnya. Tumbuhan monokotil yang dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat antara lain: Zea mays, Oryza sativa, dan Cocos nucifera. Tumbuhan monokotil lain yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat, yaitu: Zingiber officinale, Typhonium flagelliforme, dan lainnya. Tumbuhan monokotil yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias misalnya Orchidaceae dan Aglonema. 2 Situ Burung berada di desa Cikarawang, Dramaga Bogor. Lokasi danau yang memiliki luas 4,05 ha dan kedalaman 2 – 4 m ini berbatasan langsung dengan IPB di bawah naungan University Farm, lahan pertanian warga serta pemukiman penduduk dan jalan. Lokasi yang berbatasan langsung dengan jalan mengalami pembetonan pada bagian tepinya, sedangkan daerah tepi lainnya masih ditutupi oleh semak dan beberapa pohon besar. Sumber air pada situ ini berasal dari limpahan air hujan dan air buangan dari Situ Panjang. Situ Burung dimanfaatkan warga sebagai sumber irigasi lahan pertanian, keramba apung, tempat pemancingan, juga sebagai tempat rekreasi warga. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk struktur adaptasi anatomi tumbuhan monokotil terhadap kondisi akuatik di Situ Burung, Dramaga Bogor. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2014. Sampel diambil dari tepi Situ Burung Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga Bogor. Analisis struktur adaptasi dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi FMIPA IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah sampel daun dan akar monokotil (hidrofit dan mesofit), alkohol 70%, HNO3 50% dan 100%, kloroks (Bayclin), pewarna safranin, gliserin 30%, dan aquades. Peralatan yang digunakan di lapangan untuk pengambilan sampel adalah: botol, cutter, gunting tanaman, kantung plastik, kamera digital, dan alat 4 in1 (mengukur suhu, intensitas cahaya, kelembapan). Peralatan yang digunakan di laboratorium mencakup kaca preparat, gelas penutup, cawan petri, gelas arloji, pinset, pipet, silet, kuas, label, mikroskop, optilab, mikrotom. Metode Penelitian Lokasi Penelitian Situ Burung memiliki luas 4,05 ha, berada sekitar 1 km dari Kampus IPB Dramaga. Sekitar 2/3 bagian sepanjang tepi danau masih tertutup oleh semak dan pepohonan, sepertiga bagian lainnya telah mengalami perubahan karena berbatasan langsung dengan akses jalan ke pemukiman penduduk. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 3 (Sumber: http://www.maps.google.co.id) Gambar 1 Peta lokasi penelitian Situ Burung, Dramaga Bogor. Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel berada di Situ Burung, Desa Cikarawang Dramaga Bogor. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode eksplorasi mengelilingi Situ Burung. Sampel diambil sebanyak tujuh spesimen dari setiap spesies, tiga spesimen dalam kondisi yang terendam (hidrofit) dan tiga spesimen dalam kondisi mesofit serta satu spesimen untuk diidentifikasi. Setiap spesies diambil bagian akar, batang, dan daunnya dan masing-masing bagian diambil tiga potongan Sampel disimpan dalam botol berisi alkohol 70%. Sampel daun yang digunakan dari daun kedua dan ketiga dari pucuk. Sampel akar yang digunakan dipilih secara acak dari tumbuhan tersebut. Pengamatan kondisi lingkungan dilakukan dengan mengamati suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Pencatatan kondisi lingkungan diambil setiap satu bulan sekali selama penelitian berlangsung. 4 Identifikasi Sampel Sampel tumbuhan diidentifikasi berdasarkan kunci identifikasi Soerjani et al. (1987) dan Sudarnadi (1996), serta kunci identifikasi lain. Dicatat nama daerahnya untuk mempermudah identifikasi. Pembuatan dan Pengamatan Sayatan Paradermal dan Sayatan Transversal Daun Sampel daun disayat secara paradermal dan transversal. Pembuatan sayatan paradermal menggunakan metode Wholemount (Sass 1954), sayatan transversal menggunakan mikrotom beku (Johansen 1940). Karakter yang diamati pada sayatan paradermal daun adalah kerapatan dan ukuran stomata. Sampel diamati dalam lima bidang pandang pada setiap ulangan. Penentuan kerapatan stomata dihitung dengan rumus (Willmer 1983) sebagai berikut: Kerapatan Stomata = Karakter yang diamati pada sayatan transversal daun adalah ketebalan daun dan struktur jaringan pada daun tersebut. Pembuatan dan Pengamatan Sayatan Transversal Akar dan Batang Sayatan transversal akar dan batang menggunakan mikrotom beku (Johansen 1940). Karakter yang diamati pada sayatan transversal akar dan batang adalah struktur jaringan dan ukuran jaringan (diameter atau luas sayatan) pada bagian tersebut. Konduktivitas Akar Pengukuran xilem dilakukan dengan mengukur diameternya menggunakan grid pada mikroskop, selanjutnya dikonversikan ke µm. Perhitungan luas penampang melintang akar diperlukan agar nilai konduktivitas akar sebanding dengan luasnya. Setelah diperoleh diameter xilem dan jumlah xilem, penentuan ratio konduktivitas akar dihitung menggunakan rumus (Leuschner dan Hertel 2003) sebagai berikut: Konduktivitas akar = Hasil tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik Uji T pada taraf nyata 5%. 5 HASIL Deskripsi Tumbuhan dan Struktur Anatomi pada Sayatan Transversal Akar, Batang, dan Daun Beranekaragam spesies tumbuhan yang teradaptasi dengan kondisi akuatik dijumpai di sekitar tepi Situ Burung, baik tumbuhan dikotil maupun monokotil. Berdasarkan pengukuran kondisi lingkungan yang dilakukan daerah ini memiliki suhu berkisar 31- 36,7oC, intensitas cahaya lebih dari 15790-18880 lux, dan kelembapan berkisar 57- 65,7% (Tabel 1). Pada penelitian ini, dijumpai sembilan spesies monokotil (Tabel 2) pada kondisi terendam dan tidak terendam di sepanjang tepi Situ Burung (Gambar 1). Tabel 1 Data pengukuran kondisi lingkungan Situ Burung, Dramaga Bogor Faktor lingkungan Ternaungi Tidak ternaungi Suhu ( C) 31,1-36,4 35,5-36,7 Intensitas cahaya (Lux) ± 15790-18860 ± 18560-18800 Kelembapan udara (%) 57.8-64,2 57-65,7 o (sumber: maps.google.co.id) Gambar 2 Peta Situ Burung, Dramaga Bogor dan lokasi pengambilan sampel. 6 Tabel 2 Jenis tumbuhan monokotil yang dijumpai pada tepi Situ Burung Famili Spesies Nama Daerah Araceae 1. Colocasia sp. Talas-talasan Commelinaceae 1. Commelina diffusa Gewor Cyperaceae 1. Fimbristylis dichotoma Jukut mata munding 2. Pycerus sanguinolentus Poaceae 1. Axonopus compressus Rumput pait 2. Brachiaria reptans Brabahan 3. Digitaria violascens Jampang piit 4. Hymenachne amplexicaulis Udul-udul 5. Sacciolepis interupta Utulan Kondisi lingkungan tempat tumbuhan monokotil dijumpai bervariasi. Beberapa tumbuhan dijumpai di bawah naungan semak, pohon, dan ada pula di daerah terbuka. Colocasia sp., Sacciolepis interupta, Fimbristylis dichotoma, dan Hymenachne amplexicaulis dijumpai pada tempat yang tidak ternaungi, kondisi tanah berlumpur dan digenangi air. Digitaria violascens ditemukan pada kondisi yang ternaungi. Spesies lainnya dijumpai pada kedua kondisi tersebut. 1. Axonopus compressus Perawakan berupa herba, rumput, tinggi sekitar 5-10 cm; akar serabut menjalar dengan stolon yang keras; batang roset; daun berbentuk pita, berwarna hijau muda-tua, panjang 3-8 cm, lebar 1-1,5 cm, pelepah berwarna hijau-ungu, pelepah menutupi batang, ligula di bagian pangkal daun; perbungaan majemuk bulir dengan spikelet 2-3. Penampang melintang akar memiliki jumlah ruang udara lebih banyak dan jumlah xilem lebih sedikit pada kondisi terendam (Gambar 3B dan 3C). Di bagian pelepah yang membungkus batang pada kondisi terendam terdapat rongga udara (Gambar 3D dan 3E). Sedangkan, penampang melintang daun memiliki ukuran sel lebih besar pada kondisi terendam. Berkas dan seludang pembuluh yang terendam lebih sedikit dari yang tidak terendam. Sel buliform kondisi terendam lebih besar (Gambar 3F dan 3G). 7 Gambar 3 Habitus Axonopus compressus (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (bp) berkas pembuluh, (X) xilem. 2. Brachiaria reptans Habitus herba, rumput, tinggi 20-35 cm; akar serabut; batang gilig; daun berbentuk pita, warna hijau tua, panjang 5-8 cm, lebar 0,8-1 cm, pertulangan sejajar, duduk daun berseling; perbungaan bulir dengan tangkai bulir yang pendek; perbungaan terdiri atas 3-4 spikelet. Pada struktur anatomi akar terbentuk rongga udara (Gambar 4B dan C). 8 Gambar 4 Habitus Brachiaria reptans (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X) xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%. 3. Colocasia sp. Perawakan berupa herba, tinggi 30-40 cm; akar serabut; batang memiliki umbi; daun lengkap dengan lembaran berbentuk perisai, warna hijau muda-tua, panjang 15-20 cm, pangkal daun berbentuk hati, ujung runcing; pelepah berwarna hijau muda. Struktur anatomi daun Colocasia sp memiliki epidermis berpapil pada sisi adaksial. Pada parenkima bunga karang terbentuk rongga udara. Struktur pada akar di kedua kondisi tidak terlalu berbeda (Gambar 5). Jumlah xilem dan rongga udara yang terbentuk pada kondisi terendam lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak terendam. Nilai konduktivitas akar pada Colocasia sp. yang terendam sebesar 0,0074 dan yang tidak terendam sebesar 0,0071 (Tabel 3). 9 Gambar 5 Habitus Colocasia sp. (A), Penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (Ep) epidermis berpapil, (*) tidak diberi pewarna safranin 0.5%. 4. Commelina diffusa Perawakan herba, tinggi 10-20 cm; akar serabut, akar baru muncul pada nodus; batang gilig; daun bulat telur-lanset, warna hijau tua, berseling, tulang daun sejajar, panjang 3-6 cm, lebar 0,8-1,5 cm. Struktur anatomi jaringan pada masing-masing organ di kedua kondisi tidak berbeda. Perbedaan terlihat pada ukuran sel. Daun pada kondisi terendam memiliki sel epidermis yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terendam. Bagian mesofil dalam kondisi terendam cenderung lebih tipis dibandingkan yang tidak terendam (Gambar 6F dan 6G). Kondisi serupa dapat terlihat pada sayatan melintang akar. Jumlah ruang udara pada kondisi terendam lebih banyak dibandingkan dengan kondisi tidak terendam (Gambar 6B dan 6C). 10 Gambar 6 Habitus Commelina diffusa (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) sel epidermis, (X) xilem, (*) tidak diberi perwarna safranin 0.5%. 5. Digitaria violascens Perawakan berupa herba, rumput, tinggi 30-50 cm; akar serabut, merambat dengan stolon; batangnya gilig dengan lubang di tengahnya; daun berbentuk pita, panjang 10-15 cm, lebar 1-1,5 cm, berwarna hijau muda, ujung daunnya runcingmeruncing, permukaan daun agak kasar, ligula melekat di sekeliling tepi pelepah, pelepah daun menutupi 1/3 bagian internodus; perbungaan majemuk bulir, spikelet berjumlah 2-3. Susunan jaringan pada akar, batang dan daun pada kondisi terendam tidak berbeda dengan kondisi yang tidak terendam (Gambar 7). Terdapat sel buliform yang menjadi ciri khas dari anggota famili Poaceae. 11 Gambar 7 Habitus Digitaria violascens (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (X) xilem. 6. Fimbristylis dichotoma Habitus herba, rumput, tinggi 10-15 cm; akar serabut; batang bersegi tiga; daun berbentuk pita, warna hijau tua, panjang 8-10 cm, lebar 0.5-0.8 cm; perbungaan bulir-payung, spikelet bercabang dua. Secara anatomi struktur pada masing-masing organ sama, terdapat sedikit perbedaan pada tampilan struktur korteks. Pada kondisi terendam korteks tampak seperti jala, kondisi tidak terendam bentuk jala tidak terlalu jelas karena cenderung lebih rapat (Gambar 8B dan 8C). Mesofil daun pada Fimbristylis dichotoma yang dijumpai di kondisi terendam memiliki satu lapis sel, sedangkan kondisi tidak terendam memiliki dua lapis sel (Gambar 8F dan 8G). Daun pada kondisi terendam memiliki ketebalan 0,29 mm, pada kondisi tidak terendam ketebalan daun 0,22 mm. Diameter batang kondisi terendam 1,70 mm, kondisi tidak terendam 0,83 mm. Luas penampang melintang akar pada kondisi terendam 0,42 mm2, kondisi tidak terendam 0,26 mm2. 12 Gambar 8 Habitus Fimbristylis dichotoma (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam air (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (E) epidermis. 7. Hymenachne amplexicaulis Habitus herba, tinggi 90-100 cm; akar serabut, akar baru sering muncul di nodus; batang gilig lebih kokoh dari Sacciolepis sp., penampang batang bergaris hijau lebih tua dari warna batang; daun berbentuk pita dengan tepi yang tajam, permukaan kasar, berwarna hijau tua, panjang 60-70 cm, lebar 2-3 cm. Struktur akar pada kondisi terendam memiliki sel penyusun yang lebih besar ukurannya dari yang tidak terendam, terbentuk rongga udara, dan dinding sel lebih tipis dari yang tidak terendam (Gambar 9B dan 9C). Pada kondisi tidak terendam tidak dijumpai ruang udara pada bagian tengah (Gambar 9D dan 9E). Sel buliform pada daun kondisi terendam ukurannya lebih besar dari kondisi tidak terendam. Sel epidermis pada tumbuhan yang terendam tidak memiliki papil di sisi adaksial dan abaksial, pada tumbuhan yang tidak terendam terdapat papil (Gambar 9). 13 Gambar 9 Habitus Hymenachne amplexicaulis (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), dan daun kondisi tidak terendam (G). (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (x) xilem. 8. Pycerus sanguinolentus Sinonim dengan Cyperus sanguinolentus berdasarkan world ceklist (The Plantlist). Habitus berupa herba, rumput, tinggi 40-70 cm; akar serabut; batang segitiga padat; daun berbentuk pita, pertulangan daun sejajar, kaku, berwarna hijau-kuning, panjang 20-25 cm, lebar 1-2 cm, berseling, memiliki 3 brakteola; perbungaan payung. Pada sayatan melintang akar, tampak struktur akar lebih padat pada kondisi tidak terendam (Gambar 10). Luas melintang akar pada kondisi terendam sebesar 0,46 mm2 dan yang tidak terendam sebesar 0,36 mm2. Daun dalam kondisi terendam lebih tipis (0,26 mm) dibandingkan dengan ketebalan daun pada kondisi tidak terendam (0,63 mm). Diameter batang sebesar 2,39 mm pada kondisi terendam, kondisi tidak terendam 2,87 mm (Tabel 3). 14 Gambar 10 Habitus Pycerus sanguinolentus (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (a) asterosklereid, (ae) aerenkima. 9. Sacciolepis interupta Anggota famili Poaceae, habitus herba dengan tinggi 80-100 cm; akar serabut, akar baru tumbuh pada nodus; batang berwarna hijau muda-ungu; daun berbentuk pita, panjang daun 20-30 cm, lebar 1,5-2,5 cm, warna daun hijau tua, kasar bila diraba, terdapat ligula pada pangkal dekat pelepah, tepi daun terasa tajam bila tergores; perbungaan majemuk tidak terbatas, perhiasan bunga berwarna ungu. Secara anatomi struktur jaringan masing-masing organ tidak berbeda. Pada akar dalam kondisi terendam, jumlah jaringan aerenkima lebih banyak dari kondisi tidak terendam. Jaringan pembuluh pada akar dikelilingi sel dengan struktur berlapis seperti endodermis. Pada kondisi terendam lapisan sel tersebut lebih sedikit dibandingkan pada kondisi tidak terendam (Gambar 11B dan 11C). 15 Gambar 11 Habitus Sacciolepis interupta (A), penampang melintang akar kondisi terendam (B), akar kondisi tidak terendam (C), batang kondisi terendam (D), batang kondisi tidak terendam (E), daun kondisi terendam (F), daun kondisi tidak terendam (G). (a) asterosklereid, (ae) aerenkima, (bf) sel buliform, (X) xilem. Perbedaan struktur yang teramati dapat dilihat pada Lampiran 1. Perbandingan kondisi tersebut ditentukan pada kondisi terendam. Struktur yang paling banyak dijumpai adalah struktur aerenkima. Dalam penelitian ini, dijumpai arah pembentukan aerenkima honeycomb expansygeny (pada Brachiaria reptans), radial expansygeni (pada Commelina diffusa dan Hymenachne amplexicaulis), packet lysigeny (pada Colocasia sp.), radial lysigeny (pada Axonopus compressus, Digitaria violascens dan Sacciolepis interupta), dan tangensial lysigeny (pada Fimbristylis dichotoma, dan Pycerus sanguinolentus). 16 Tabel 3 Hasil pengukuran organ vegetatif dan konduktivitas akar tumbuhan monokotil di Situ Burung, Dramaga Ketebalan sayatan daun (mm) No Diameter batang (mm) Spesies 1 Jumlah Xilem Luas sayatan melintang akar (mm2) Konduktivitas akar A B A B A B A B A B 0,12 0,17 2,20 1,98 10 14 0,78* 0,60* 0,013 0,017 2 Axonopus compressus Brachiaria reptans 0,17 0,11 1,84 0,54 15 7 0,21 1,81 0,05 0,03 3 Colocasia sp. 0,31 0,39 400 500 14 11 0,22 6,82 0,0074 0,0071 4 Commelina diffusa 0,19 0,39 3,07 3,3 6 7 1,2 1,65 0,014 0,007 5 Digitaria violascens Fimbristylis dichotoma Hymenachne amplexicaulis Pycerus sanguinolentus Sacciolepis interupta 0,47 0,13 1,22 1,62 7 9 0,22 0,42 0,026 0,061 0,29 0,22 1,70 0,83 15 9 0,42 0,26 0,004 0,007 0,21* 0,36* 2,08 1,98 10 9 0,47 0,39 0,017* 0,025* 0,26 0,63 2,39 2,87 12 18 0,46 0,36 0,005 0,009 0,15 0,14 1,92 4,84 23 24 0,58 0,63 0,08 0,051 6 7 8 9 Keterangan: * hasil uji T menunjukkan berbeda nyata A: kondisi terbenam B: kondisi tidak terbenam Sayatan Paradermal Ukuran dan kerapatan stomata di bagian adaksial dan abaksial daun dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji T Hymenachne amplexicaulis menunjukkan hasil berbeda nyata pada panjang stomata sisi adaksial dan lebar stomata sisi abaksial daun. Tabel 4 Hasil pengukuran stomata pada sayatan paradermal daun No. Spesies Famili 1 Axonopus compressus Poaceae 2 Brachiaria reptans Poaceae 3 Colocasia sp. Araceae 4 Commelina diffusa 5 6 7 8 9 Digitaria violascens Fimbristylis dichotoma Hymenachne amplexicaulis Pycerus sanguinolentus Sacciolepis interupta Commelinaceae Poaceae Cyperaceae Poaceae Cyperaceae Poaceae Bagian Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial Abaksial Panjang stomata (µm) A B 17,4 29,0 35,9 31,1 24,9 20,9 24,5 24,5 17,5 9,9 14,4 19,3 65,1 57,7 66,5 71,5 25,9 22,8 27,7 21,9 30,6 38,6 33,2 28,7 26,3* 26,8* 25,7 26,3 36,5 0,0 17,3 35,9 37,6 31,8 37,4 36,8 Lebar stomata (µm) A B 20,8 18,2 10,3 18,3 12,9 13,2 15,8 12,8 14,1 14,9 13,1 13 56,5 60,9 68,7 65,9 11,6 13,4 14,5 13,9 16,2 20,8 20,9 19,5 12,0 13,0 12,3* 15,6* 11,2 0,0 23,1 10,3 7,8 9,9 7,8 6,9 kerapatan stomata (/mm2) A B 34,9 83,6 18,8 170,4 11,6* 14,3* 24,5* 212,9* 155,0* 170,4* 190,0 84,9 24,9 51,5 72,3 148,6 76,1* 222,9* 238,3 313,7 45,7 80,2 56,3 119,4 133,2 193,7 259,0 328,0 210,2 0,00 264,9 448,51 168,3* 183,1* 230,9* 226,1* Keterangan: * menunjukkan hasil berbeda nyata pada pengujian Uji T A: kondisi terbenam B: kondisi tidak terbenam Kerapatan stomata paling tinggi pada sisi abaksial daun (Tabel 4). Pada famili Cyperaceae, kerapatan stomata paling tinggi dijumpai pada Pycerus sanguiolentus. Sedangkan, famili Poaceae kerapatan stomata tertinggi dijumpai 17 pada Hymenachne amplexicaulis. Anggota famili Cyperaceae dan Poaceae memiliki bentuk stomata yang sama yaitu halter. Stomata bentuk halter digunakan sebagai salah satu ciri tumbuhan anggota monokotil. Bentuk stomata anomositik dijumpai pada Commelina diffusa dan Colocasia sp (Gambar 12). T SH SA T A B Gambar 12 Sayatan paradermal Brachiaria reptans (A), sayatan paradermal Commelina diffusa (B). (SA) stomata anomositik, (SH) stomata halter, dan (T) trikoma. PEMBAHASAN Sayatan melintang organ tumbuhan monokotil yang dijumpai dalam kondisi terendam di lokasi penelitian, menunjukkan struktur adaptasi yang umumnya dikembangkan yakni berupa terbentuknya struktur aerenkima. Selain itu, perbedaan ukuran ketebalan organ juga dapat mengindikasi terjadinya adaptasi pada spesies tersebut. Ketebalan organ yang berbeda terlihat pada daun Colocasia sp., daun Commelina diffusa, daun dan batang Pycerus sanguinolentus, daun Axonopus compressus, serta daun Hymenachne amplexicaulis. Dickison (2000) melaporkan bahwa daun tumbuhan hidrofit mengalami modifikasi, di antaranya: tekstur atau ketebalan daun menjadi lebih tipis, kutikula cenderung tipis atau absen, dinding sel epidermis cenderung lebih tipis, jumlah stomata tereduksi, mesofil daun aerenkimatus, tidak ada jaringan penyimpan air, sklerenkima dan jaringan pembuluh tereduksi. Nilai konduktivitas akar pada kondisi terendam lebih kecil dibandingkan dengan tidak terendam. Kecilnya nilai tersebut dipengaruhi oleh luas melintang akar dan jumlah xilem. Modifikasi pada akar dapat ditemukan berupa ada tidaknya rambut akar, jaringan pembuluh cenderung tereduksi agar konduktivitasnya lebih efisien (Dickison 2000). Efisiensi tersebut mengarah pada kemampuan mengantarkan nutrisi dari akar ke seluruh tubuh. Struktur aerenkima juga dapat ditemukan pada akar. Struktur aerenkima berfungsi menyediakan udara terutama oksigen ketika kadar oksigen menurun (Seago et al. 2005). Proses pembentukan aerenkima dipicu oleh adanya etilen. Etilen terbentuk sebagai respon awal suatu tanaman yang mengalami kondisi terendam air. Etilen dibentuk di semua sel pada tumbuhan (Jackson dan Colmer 2005). Pada Arabidopsis sp. etilen paling banyak terbentuk pada membran aparatus golgi dan 18 membran retikulum endoplasma (Voesenek dan Sasidharan 2013). Etilen juga berperan dalam proses terbentuknya akar adventif. Handayani et al. (2013) melaporkan zona aerenkima pada padi sawah dan ladang dapat terbentuk di sepanjang akar, dari bagian proksimal hingga bagian distal. Pembentukan aerenkima pada tanaman padi var. Anakdaro dan var. Merah pada kondisi terendam terbentuk pada hari ketiga dan stabil pada hari ke-21 setelah persemaian (Handayani et al. 2013), sedangkan menurut Shimamura et al. (2007) perkembangan pembentukan aerenkima pada labu stabil pada hari ke-16 setelah persemaian. Berdasarkan arah pembentukannya, aerenkima dibedakan menjadi: honeycomb expansigeny, radial expansigeny, schizogeny, schizo-lysegeny, packet lysigeny, radial lysegeny dan tangensial lysegeny (Seago et al. 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat struktur lain seperti sklereid. Seago et al. (2005) melaporkan bahwa pada aerenkima juga dapat ditemukan struktur lain, seperti: sel-sel kristal, sklereid terutama asterosklereid, dan sel-sel diafragma yang berfungsi untuk transfer lakuna. Stomata merupakan salah satu ciri yang dapat menunjukkan terjadinya adaptasi pada tumbuhan. Stomata adalah celah di antara epidermis yang diapit oleh 2 sel epidermis khusus yang disebut sel penutup. Di dekat sel penutup terdapat sel-sel yang mengelilinginya disebut sel tetangga. Sel penutup dapat membuka dan menutup sesuai dengan kebutuhan tanaman akan transpirasi, sedangkan sel-sel tetangga turut serta dalam perubahan osmotik yang berhubungan dengan pergerakan sel–sel penutup (Haryanti 2010). Stomata membuka karena sel penutup mengambil air dan menggembung (Salisbury dan Ross 1995). Bertambah dan berkurangnya ukuran celah pada sel penutup adalah akibat perubahan tekanan turgor pada sel penutup (Kartasapoetra 1988). Bila dibandingkan kerapatan stomata pada masing-masing sisi permukaan daun pada kondisi terendam dan tidak terendam, stomata pada kondisi terendam jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak terendam. Kerapatan stomata tertinggi dijumpai pada bagian adaksial daun semua spesies tumbuhan yang diamati. Dickison (2000) melaporkan bahwa jumlah stomata pada tumbuhan hidrofit mengalami reduksi. SIMPULAN Tumbuhan monokotil yang hidup pada kondisi terendam dan tidak terendam di sepanjang tepi Situ Burung sebanyak sembilan spesies meliputi: Axonopus compressus, Brachiaria reptans, Colocasia sp., Commelina diffusa, Digitaria violascens, Fimbristylis dichotoma, Hymenachne amplexicaulis, Pycerus sanguinolentus, dan Sacciolepis interupta. Struktur adaptasi terhadap kondisi akuatik yang dijumpai pada spesies-spesies tersebut berupa terbentuknya ruang udara (aerenkima), tereduksinya jumlah stomata dan jaringan pembuluh. 19 DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2014. Bogor. [Internet]. [diunduh pada 2015 Januari 01]. Tersedia pada: http://www.maps.google.co.id/bogor. . Situ Burung Dramaga. [Internet]. [diunduh pada 2014 November 22]. Tersedia pada: http://www.maps.google.co.id/situburung. Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. USA (US): Harcourt Academic Pr. Handayani F, Maideliza T, Mansyurudin. 2013. Studi perkembangan aerenkima akar pada sawah dan padi ladang tahan persemaian dengan perlakuan perendaman. J. Bio. UA. 2(2):145-152. Haryanti S. 2010. Distribusi jumlah stomata pada daun beberapa spesies tanaman Dikotil dan Monokotil. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 18(2):21-28. Jackson MB, Colmer TD. 2005. Respon and adaptation by plant to flooding stress. Annals of Botany. 96:501-505. Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York (US). Mc Graw Hill. Jongduk J, Seung CL, Hong KC. 2008. Anatomical patterns of aerenchyma in aquatic and wetland plants. J .of Plant Biology. 51(6):428-439. Kartasapoetra AG. 1988. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan (Tentang Sel Dan Jaringan). Jakarta (ID): Bina Aksara. Leuschner C, Hertel D. 2003. Water Turnover and Water Loss in Plant: Pelatihan Fisiologi Tumbuhan Bagi Dosen Se-Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Bogor (ID): IPB Pr. Mulyani S . 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rompas Y, Rampe HL, Rumondor MJ. 2011. Struktur sel epidermis dan stomata daun beberapa tumbuhan suku Orchidaceae. J. BIOSLOGOS. 1(1):13-19. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1.Bandung (ID): ITB Pr. Sass JE. 1954. Botanical Microtechnique 2nd Ed. Iowa (US): The Iowa State Collage Pr. Seago JL, Marsh LC, Stevens KJ, Soukup A, Votrubova O, Enstone DE. 2005. A re-examination of the root cortex in wetland flowering plants with respect to aerenchyma. Annals of Botany. 96:565-579. Shimamura S, Yoshida S, Mochizuki T. 2007. Cortical aerenchyma formation in hypocotyl and adventitious roots of Luffa cylindrica subjected to soil flooding. Annals of Botany. 100:1431-1439. Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G. 1987. Weed of Rice in Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Spring. 2009. Lecture 23: Monocot. [internet]. [diunduh 2013 Oktober 22]. Tersedia pada: http://ib.berkeley.edu/courses/ib168/lecture.html Sudarnadi H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Voesenek LACJ, Sasidharan R. 2013. Ethylene and oxygen signaling drive plant survival during flooding. Plant Biology. 15:426-435. Willmer CM. 1983. Stomata. London (UK): Longham. 20 LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel perbandingan struktur adaptasi yang terbentuk pada masing-masing spesies Karakter Akar Batang Daun Ukuran sel epidermis Kecil (< 25 µm) Besar (≥25 µm) Ukuran sel korteks Kecil (< 30 µm) Besar (≥30 µm) Terbentuk aerenkima Pembentukan aerenkima Diameter xilem Kecil (< 30 µm) Besar (≥30 µm) Jumlah Xilem Banyak (>15) Sedang (10-15) Sedikit (<10) Ukuran Sel epidermis Kecil (< 20 µm) Besar (≥20 µm ) Ukuran sel korteks/ parenkima Kecil (<40 µm) Besar (≥40 µm) Terbentuk aerenkima Ukuran Sel epidermis Kecil (< 17 µm) Besar (≥17 µm) Ketebalan mesofil Tipis (<150 µm) Sedang (150≤ m ≥300 µm) Tebal (> 300 µm) Terbentuk aerenkima Jumlah berkas pembuluh Banyak (> 5/bidang pandang) Sedikit (≤ 5/bidang pandang) Axonopus compressus Brachiaria reptans Colocasia sp. Commelina diffusa Digitaria violascens Fimbristylis dichotoma Hymenachne amplexicaulis Pycerus sanguinolentus Sacciolepis interupta kecil Besar Kecil Besar Besar Kecil Besar Kecil Kecil Kecil Besar Kecil Besar besar Kecil Besar Kecil Kecil Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Radial ekspansygeny Honeyccomb ekspansigeny Packet lysigeny Radial ekspansygeny Radial lysigeny Tangensial lysigeny Radial ekspansygeny Tangensial lysigeny Radial lysigeny Kecil Kecil Besar Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Besar Sedang Banyak Banyak Sedikit Sedikit Banyak Sedang Sedang Banyak Kecil Besar Kecil Kecil Besar Besar Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil Kecil Besar Besar Besar Kecil Besar Ada Tidak Tidak Ada Ada Ada Ada Ada Ada Besar Besar Kecil Besar Kecil Kecil Kecil Besar Kecil Tipis Sedang Tebal Sedang Tebal Sedang Sedang Sedang Tipis Tidak Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada Sedikit Sedikit Banyak Banyak Banyak Banyak Banyak Banyak Banyak RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 1992 dari ayah Slamet Ratmoko dan ibu Susilowati. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 10 Kota Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten Biologi Alga dan Lumut pada tahun ajaran 2013/2014, asisten Botani Umum pada tahun ajaran 2013/2014, asisten Anatomi dan Morfologi Tumbuhan pada tahun 2014/2015, dan asisten Sistematika Tumbuhan Berpembuluh pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga aktif mengajar mata pelajaran Biologi pada Bimbingan Belajar dan Privat Sentral Edukatif. Penulis melaksanakan Studi Lapangan pada bulan Juni 2012 dengan judul Keragaman Passiflora di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bulan Juli-Agustus 2013 penulis melakukan Praktik Lapangan di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Cempaka Putih dengan judul Proses Pengawasan dan Uji Keamanan Darah pada Bank Darah Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih Jakarta Pusat. Selain itu penulis adalah salah satu penerima beasiswa Karya Salemba Empat dalam program Beasiswa Indofood Sukses Makmur (BISMA) dari tahun 2012-2014.