BENTONIT ALAM TAPANULI DIINTERKALASI SURFAKTAN KATIONIK BENZILTRIMETILAMMONIUM KLORIDA (BTMA-Cl) SEBAGAI ADSORBEN p-KLOROFENOL DAN FENOL Dr. Yuni K. Krisnandi 1, Dr. Riwandi Sihombing, Ph. D 2, dan Ovan Sunu M 3 Departemen Kimia, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak Bentonit alam yang berasal dari Tapanuli dimodifikasi menjadi Organoclay Tapanuli agar menjadi lebih organofilik. Sebelum digunakan untuk preparasi, dilakukan proses fraksinasi terhadap bentonit Tapanuli untuk memurnikan montmorillonit (MMT) yang ada pada bentonit. Hasil MMT kemudian diseragamkan kation penyeimbangnya dengan Na + menjadi Na-MMT. Selanjutnya menggunakan tembaga amin (Cu(en)22+), dihitung nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang diperoleh sebesar 24,2 mek/100 gram Na-MMT. Preparasi organoclay menggunakan Na-MMT dengan surfaktan BTMA-Cl (Benzil Trimetilammonium Klorida) sebagai agen penginterkalasi dan konsentrasi BTMA-Cl yang ditambahkan sesuai dengan nilai 1 KTK yaitu 0,0484 M dan 2 KTK yaitu 0,0968 M. Hasil karakterisasi organoclay menunjukkan surfaktan BTMA-Cl telah berhasil terinterkalasi ke dalam MMT. Setelah itu, organoclay diaplikasikan sebagai adsorben p-klorofenol dan fenol dengan variasi konsentrasi 10-80 ppm. Karakterisasi untuk melihat daya adsorpsinya dibandingkan dengan bentonit alam. Hasil karakterisasi menunjukkan daya adsorpsi organoclay lebih besar dibandingkan bentonit alam. Pada konsentrasi tertinggi daya adsorpsi bentonit alam, organoclay terhadap p-klorofenol, dan organoclay terhadap fenol masing-masing sebesar 1,53 mg/g; 4,28 mg/g; dan 2,83 mg/g yang menunjukkan bahwa adsorpsi organoclay terhadap p-klorofenol lebih besar dibandingkan adsorpsi organoclay terhadap fenol. 1. PENDAHULUAN Bentonit merupakan jenis mineral aluminasilika hidrat yang terbentuk dari hasil pelapukan dan reaksi hidrotemal batuan vulkanik. Bentonit hampir tersebar di seluruh Indonesia, namun penggunaanya belum maksimal dan masih bernilai rendah dan harga jualnya sangat murah. Untuk meningkatkan potensi sumber daya alam mineral Indonesia, serta meningkatkan pemanfaatan dan nilai jual bentonit, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap material bentonit. Penelitian ini menggunakan bentonit Tapanuli yang diinterkalasi surfaktan benziltrimetilamonium (BTMA) klorida. Diharapkan pada organoclay BTMA-Cl yang terbentuk akan memiliki basal spacing yang lebih besar dari surfakatan-surfaktan kationik sebelumnya sehingga lebih optimum dalam menyerap senyawasenyawa organik. Lempung bentonit sangat menarik untuk diteliti, karena lempung ini memiliki struktur yang berlapis dengan kemampuan mengembang, luas permukaan yang besar, dan kation-kation yang dapat dipertukarkan. Oleh karena sifat-sifat itulah banyak peneliti yang tertarik untuk memodifikasi bentonit sehingga memiliki kemampuan untuk dapat mengadsorpsi molekul organik dan diaplikasikan sebagai adsorben polutan organik yang terkandung di dalam air. Modifikasi yang sering digunakan adalah dengan menyisipkan senyawa organik ke dalam ruang antar lapisan pada bentonit yang menghasilkan material baru organoclay. Modifikasi bentonit menjadi organoclay dilakukan melalui pertukaran kation anorganik pada permukaan eksternal dan internal kristal montmorillonit dengan senyawa organik seperti kation organik berupa ammonium kuarterner, atau yang biasa disebut dengan istilah terinterkelasi pada clay. Pergantian dengan kation organik ini akan memberikan sifat bentonit yang semula hidrofilik menjadi hidrofobik sehingga dapat berinteraksi atau mengadsorp senyawa-senyawa organik yang umumnya bersifat nonpolar atau mempunyai kepolaran yang rendah. Dalam studi awal yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan bentonit Tapanuli diketahui bahwa oktadesil trimetilammonium-bentonit (ODTMA-bentonit) memiliki basal spacing yang lebih besar dibandingkan dengan heksadesil trimetilammonium-bentonit (HDTMA-bentonit). Pada penelitian tersebut juga diketahui bahwa senyawa organik yang lebih nonpolar akan teradsorpsi lebih besar pada ODTMA-bentonit dibandingkan pada HDTMA-bentonit (Haryani, 2010). Pada penelitian Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 ini digunakan bentonit yang berasal dari daerah Tapanuli tetapi dengan surfaktan kationik yang berbeda yaitu benziltrimetilammonium (BTMA) klorida, yang diharapkan dengan penggunaan BTMACl ini adalah organoclay yang terbentuk memiliki basal spacing yang lebih besar dari surfakatansurfaktan kationik sebelumnya. Selain itu, surfaktan yang digunakan adalah surfaktan komersial yang digunakan dalam industri sabun (PT. KAO). Pada penelitian ini juga akan mempelajari kemampuan adsorpsi organoclay yang terbentuk terhadap pklorofenol dan fenol. Pemilihan p-klorofenol dan fenol sebagai molekul organik yang akan diadsorpsi karena molekul-molekul tersebut merupakan limbah atau polutan organik yang cukup berbahaya keberadaannya terhadap lingkungan, yang biasanya berasal dari limbah industri minyak bumi dan gas, pabrik resin sintetik , industri tekstil, dan lain-lain. Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feld sparts, dan mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Bentonit berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%) merupakan mineral montmorillonit. Struktur montmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 (TOT) yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral (T) dan satu alumunium oksida oktahedral (O). Pada tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Empat ikatan silikon terkadang disubsitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugus-gugus hidroksil yang beralokasi pada ujung oktahedron. Substitusi lapisan Si oleh Al mengakibatkan bentonit bersifat negatif, sehingga pada bagian antar lapis dibutuhkan adanya kation penyeimbang. Adanya atom-atom yang terkait pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk diantara unit lapisan, akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu terjadinya peningkatan muatan negatif disebabkan oleh substitusi isomorfis atom Si oleh Al pada permukaan bentonit di alam. Bagian inilah yang merupakan sisi aktif (active site) dari bentonit yang dapat menyerap kation dari senyawasenyawa organik atau dari ion-ion senyawa logam. Montmorillonit merupakan anggota kelompok mineral lempung. Umumnya montmorillonit membentuk kristal mikroskopik atau setidaknya kristal micaceous berlapis sangat kecil. Kandungan air dalam montmorillonit sangat bervariasi dan ketika mengadsorpsi air, montmorillonit cenderung mengembang sampai beberapa kali volume awal. Sifat ini membuat montmorillonit menjadi mineral yang bermanfaat untuk berbagai tujuan, seperti : pembersih dan penjernih larutan gula, penyerap ion-ion logam dan penjernih air minum. Gbr 1. Struktur Montmorillonit Secara alami struktur montmorillonit mengalami proses substitusi isomorfis, dimana posisi Al3+ digantikan oleh Mg2+ dan Fe2+ sedangkan Si4+ digantikan Al3+ dan Fe3+. Substitusi isomorfis ini menyebabkan permukaan montmorilonit bermuatan negatif sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran kation. Kation-kation yang dipertukarkan dalam struktur kristal montmorillonit kebanyakan adalah Na+ dan Ca2+, namun terdapat kation lain sebagai pengotor seperti K+, Mg2+, Li+, Rb+, dan Cs+. Komponen montmorillonit ini lebih diutamakan dibandingkan bentonit dalam penelitian ini, karena bentonit masih memiliki mineral pengotor yang memiliki sifat beragam. Oleh karena itu bentonit akan difraksinasi untuk mendapatkan montmorillonit murni. Pemilihan metode fraksinasi dibandingkan dengan purifikasi ini didasari studi yang dilakukan Irwansyah (2007) yang menyatakan bahwa perlakuan kimia yang diberikan terhadap bentonit akan mengurangi kandungan montmorillonit dan merusak struktur bentonit. Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel butiran yang halus berbentuk rekahan-rekahan atau serpihan yang khas seperti tekstur pecah kaca (concoidal fracture), kilap lilin, lunak, plastis, berwarna kuning muda hingga abu-abu, bila lapuk berwarna cokelat kekuningan, kuning merah atau cokelat, bila diraba terasa licin, Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 dan bila dimasukkan ke dalam air akan menghisap air. Massa jenis bentonit adalah 2,2-2,8 g/L. Titik leburnya sekitar 1330-1430 oC dan memiliki pH sekitar 8,5 sampai 9,8. Partikel bentonit bermuatan negatif yang diimbangi dengan kation yang dapat dipertukarkan dan terikat lemah (Na, Ca, Mg, atau K). Adanya kation yang dapat dipertukarkan ini memungkinkan bentonit memisahkan logam berat dari air, dan juga memisahkan senyawa organik kationik melalui mekanisme pertukaran ion. Sifat kapasitas tukar kation menunjukkan daya serap bentonit terhadap jumlah kadar air. Dalam bentonit terjadi kesetimbangan kimia karena terdapat kisi-kisi kristal montmorillonit dan adanya kation yang mudah menarik air. Salah satu sifat yang menarik dari bentonit adalah memiliki kemampuan menyerap kation tertentu yang selanjutnya ditukarkan dengan kation lain menggunakan suatu pereaksi ion tertentu. Reaksi pertukaran ion ini terjadi pada bagian sisi dari unit struktur silika aluminat sehingga tidak merubah struktur mineral dari bentonit. Pertukaran kation adalah reaksi reversibel dengan transfer energi rendah dan ion antara fasa padat dan fasa cair. Metoda pertukaran kation banyak digunakan pada proses-proses yang berkaitan dengan tanah, seperti pada pemisahan mineral tanah, adsorpsi nutrisi tanah, pemisahan senyawa elektrolit, dan untuk mempertahankan pH tanah. Proses pertukaran kation menyebabkan terjadinya netralisasi dari muatan negatif koloid tanah melawan muatan kation. Kation berikatan dengan permukaan koloid melalui ikatan van der Waals. Gerakan kation pada permukaan koloid tidak terlalu kaku, tetapi karena ada energi panas yang mempengaruhi gerakan dan menyebabkan lebih mudah bergerak dari permukaannya, seperti gerakan belahan yang memberikan kombinasi khusus dari ion dan permukaan koloid. Ada dua tipe permukaan, pertama yang sukar terikat sehingga sulit terjadi pertukaran atau fixed cation dan yang kedua adalah tidak terlalu sukar untuk berikatan sehingga terjadi pertukaran kation. Besarnya kapasitas pertukaran kation dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis mineral, pH larutan, jenis kation, dan konsentrasi mineral. Adapun penyebab bentonit memiliki kapasitas pertukaran kation yaitu: 1. Karena adanya ikatan yang terputus di sekeliling sisi silika-alumina sehingga menimbulkan muatan yang tidak seimbang, dan untuk menyeimbangkannya kembali diperlukan penyerapan kation. 2. Terjadi substitusi alumina bervalensi tiga di dalam kristal bentonit. Proses pertukaran kation terjadi bersamaan dengan proses swelling dari bentonit. Pada saat bentonit berada pada lingkungan air, maka ion-ion positif akan meninggalkan matrik bentonit. Karena molekul air bermuatan polar maka molekul air akan tertarik pada matrik bentonit dan kation akan terlepas dari bentonit. Apabila terjadi proses balik yaitu penarikan kation oleh bentonit, molekul air yang bermuatan positif akan tertarik menuju bentonit. Sehingga terjadi proses mengembang dari bentonit yang lebih dikenal dengan sebutan swelling. Bentonit yang dimodifikasi oleh senyawa organik disebut sebagai organobentonit atau organoclay. Organobentonit terbentuk karena permukaan antar lapis dalam bentonit menyerap atau berinteraksi dengan molekul kation dari senyawa-senyawa organik. Ada banyak pemanfaatan yang diperoleh dengan disintesisnya organobentonit. Pestisida dan makanan hewan merupakan sebagian kecil dari pemanfaatan organobentonit. Penambahan kation organik yang berasal dari garam organik dapat pula menghasilkan organobentonit yang memiliki sifat tertentu. Salah satu sifat yang merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukan organobentonit adalah kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik. Dengan kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik yang selanjutnya digunakan untuk memodifikasi sifat bentonit, diharapkan akan terbentuk bentonit termodifikasi atau organobentonit yang memiliki kestabilan termal yang tinggi. Proses interkalasi surfaktan terjadi melalui pertukaran kation-kation pada daerah interlayer NaMMT yang tertarik secara elektrostatik dengan muatan negatif pada bentonit. Gugus amina kwarterner yang bersifat kationik dari surfaktan BTMA-Cl akan menggantikan kation-kation pada interlayer Na-MMT (kation penyeimbang). Gbr 2. Mekanisme Pertukaran Kation Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Surfaktan yang digunakan pada penelitian ini adalah Benziltrimetilammonium Klorida (BTMA-Cl). Benzyltrimethylammonium Chloride atau dikenal dengan BTMA-Cl adalah garam ammonium kwarterner yang bermuatan positif (kationik). Berwarna putih, larut dalam alkohol dan air panas, dan dapat melunakkan, mensterilisasi, dan mengemulsi. Nama lain dari surfaktan ini yakni N,N,N-Trimethyl(phenyl)methanammonium chloride. Molekul ini memiliki rumus C10H16NCl dengan berat molekul 185,69 g/mol dan formula molekulnya [C6H5CH2N(CH3)3]+Cl-. Benziltrimetilammonium Klorida memilki massa jenis 1,08 g/mL pada 25 °C dan kelarutan dalam air 800 g/L. Gbr 3. Benziltrimetilammonium Klorida (BTMA-Cl) Gugus amina kwarterner pada surfaktan BTMA-Cl nantinya akan menggantikan kation-kation yang berada di dalam interlayer bentonit sehingga basal spacingnya diharapkan lebih besar dari sebelumnya. p-Klorofenol merupakan senyawa dengan rumus kimia C6H4OHCl dan memiliki struktur gugus cincin fenil yang berikatan dengan hidroksil dan klorida. p-Klorofenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 2,7 gram/100 mL pada suhu 20 0C. Mempunyai massa molar 128,56 g/mol. Mempunyai titik didih 220 0C dan titik lebur 43 oC. Senyawa p-klorofenol dan senyawa fenolik lainnya terdapat dalam minyak bumi. Dalam proses produksi bahan bakar, senyawa-senyawa tersebut akan dipisahkan dengan dilarutkan dalam air dan akan menjadi limbah. Limbah ini akan sangat berbahaya bila mencemari lingkungan dan perairan. Gbr 4. p-Klorofenol p-Klorofenol biasanya digunakan sebagai salah satu senyawa dalam pembuatan insektisida, herbisida, antiseptik, dan desinfektan, p-klorofenol dapat masuk ke dalam perairan akibat dari penggunaan pestisida dan limbah berbagai industri. Selain p-klorofenol, pada limbah minyak bumi juga terdapat fenol. Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 mL dan massa molar sebesar 94,11 g/mol. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air. Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H +. Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan anionnya. Gbr 5. Fenol Fenol yang murni berupa hablur yang tidak berwarna, sedikit larut dalam air, sedangkan larutannya dalam air bersifat sebagai asam lemah. Senyawa fenol ini seperti halnya alkohol, dapat dijadikan senyawa eter maupun ester. Dalam senyawa fenol terdapat gugus -OH yang terikat pada atom C yang berikatan rangkap. Atom H dari inti benzena dalam fenol lebih mudah diganti (disubstitusi) dengan atom atau gugus lain daripada atom H dalam inti benzena saja. Oleh karena itu larutan fenol dengan brom langsung akan memberikan senyawa tri-bromfenol. Limbah fenol banyak dihasilkan dari industri minyak bumi dan gas, industri tekstil industri kimia, dll. Oleh karena banyaknya jenis industri yang menghasilkan air limbah yang mengandung fenol, Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 merupakan alasan yang mendasari pada penelitian ini menggunakan fenol sebagai senyawa yang diadsorpsi. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Preparasi Bentonit Bentonit asal Tapanuli digerus serta diayak, lalu serbuk bentonit yang didapat dipanaskan di dalam oven suhu 105o C selama 2 jam kemudian bentonit dikarakterisasi dengan XRD dan FTIR. Sebanyak 100 gram bentonit dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan 2 liter akuades. Campuran tersebut diaduk selama 30 menit kemudian didiamkan selama 3-4 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi. Endapan ini disebut sebagai fraksi satu (F1). Suspensi sisa F1 didiamkan kembali selama 30 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi. Endapan yang didapat ialah fraksi dua (F2). Suspensi sisa F2 didiamkan kembali selama 2 jam. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi. Endapan yang didapat ialah fraksi tiga (F3). Suspensi sisa F3 didiamkan kembali selama 3 hari. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi. Endapan yang didapat ialah fraksi empat (F4). Endapan F1, F2, F3, dan F4 dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 0C sampai kering dan kemudian dikarakterisasi dengan XRD dan FTIR. 2.2 Preparasi Na-Montmorillonir (Na-MMT) Sebanyak 20 gram bentonit F2 disuspensikan ke dalam larutan NaCl 1 M sebanyak 600 mL. Pengadukan suspensi dengan menggunakan magnetic stirrer selama 6 jam. Kemudian campuran tersebut didekantasi. Endapan yang didapat lalu didispersikan dengan larutan NaCl 1 M sebanyak 600 mL. Kemudian dilakukan pengadukan dengan stirrer kembali selama 6 jam, lalu campuran didekantasi. Endapan yang didapat kemudian dicuci dengan akuades beberapa kali. Filtrat diuji dengan menambahkan AgNO3 1 M sampai tidak terbentuk endapan putih AgCl. Setelah itu, endapan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 110-120 0C. Endapan digerus dan diayak hingga berukuran 100 mikron. Na-MMT yang diperoleh dikarakterisasi dengan XRD dan FTIR. 2.3 Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan Senyawa Cu(en)22+ Larutan CuSO4 0.1 M dicampurkan dengan larutan etilendiamin 0.5 M untuk membuat larutan 0,01 M Cu(en)22+. Setelah itu, 0,1 gram Na-MMT disuspensikan ke dalam 5 mL larutan Cu(en)22+ dan dilarutkan dengan akuades hingga 25 mL. Lalu suspensi tersebut diaduk selama 30 menit. Kemudian larutan sebelum dan setelah dicampur diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV/Vis pada λ maks 548 nm. Konsentrasi larutan standar dibuat dengan mendekati konsentrasi filtrat larutan kompleks setelah diaduk (0,0005 M, 0,001 M, 0,002 M, 0,003 M, 0,004 M, 0,005 M, dan 0,008 M) untuk pembuatan kurva standar. 2.4 Preparasi Organoclay Diencerkan 3,1 mL BTMA-Cl 1.56 M sampai 50 mL untuk membuat larutan BTMA-Cl 0,0968 M. Ambil 2,5 mL larutan BTMA-Cl 0,0968 M lalu diencerkan sampai 5 mL untuk pembuatan 1 KTK organoclay. Sebanyak 1 gram NaMontmorillonit didispersikan dalam 20 mL akuades dan dilakukan pengadukan selama 5 jam. BTMA-Cl yang sudah siap ditambahkan ke dalam suspensi secara perlahan-lahan pada suhu suspensi 600C. Campuran diultrasonik pada suhu 600C selama 30 menit. Suspensi didekantasi, endapan dicuci beberapa kali dengan akuades sampai tidak ada klorida yang tersisa (tidak ada endapan putih AgCl). Sentrifugasi campuran tersebut, ambil padatannya lalu oven dengan suhu 600C selama 3 jam. Padatan (organoclay 1 KTK) yang didapat dikarakterisasi dengan XRD, EDX dan FTIR. Untuk pembuatan 2 KTK organoclay, Sebanyak 1 gram Na-Montmorillonit didispersikan dalam 20 mL akuades dan dilakukan pengadukan selama 5 jam. Lalu tambahkan 5 mL BTMA-Cl 0.0968 M ke dalam suspensi secara perlahan-lahan pada suhu suspensi 600C. Campuran diultrasonik pada suhu 600C selama 30 menit. Suspensi didekantasi, endapan dicuci beberapa kali dengan akuades sampai tidak ada klorida yang tersisa (tidak ada endapan putih AgCl). Sentrifugasi campuran tersebut, ambil padatannya lalu oven dengan suhu 600C selama 3 jam. Padatan (organoclay 2 KTK) yang didapat dikarakterisasi dengan XRD, EDX dan FTIR. Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 2.5 Aplikasi Organoclay sebagai Adsorben Sebanyak 0,1 gram organoclay dilarutkan ke dalam 10 mL larutan p-klorofenol atau fenol dengan variasi konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm. Untuk setiap campuran yang ada diaduk dengan stirrer selama 12 jam. Untuk pengambilan filtrat, campuran disentrifugasi. Kemudian filtrat dari campuran diambil untuk kemudian dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis. Untuk mengetahui konsentrasi larutan yang diuji, dibuatkan larutan standar p-klorofenol atau fenol dengan variasi konsentrasi (5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm) sebagai pembanding konsentrasi sisa hasil adsorpsi. Endapan yang ada kemudian dikeringkan dan digerus sampai membentuk serbuk lalu dikarakterisasi dengan FTIR. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN dari fraksi montmorillonit. Mineral-mineral lain (kuarsa, kaolin) akan lebih cepat mengendap karena densitasnya lebih besar, dan diikuti oleh fraksi montmorrilonit (F2) yang densitasnya 2,35 g/cm3. Pengotor-pengotor lainnya seperti karbon arang, serta nonsilika lainnya akan mengapung di permukaan suspensi. Pada penelitian Irwansyah (2007), fraksi 1 (F1) bentonit Tapanuli mulai mengendap setelah 5 menit setelah bentonit disuspensi dan dilakukan pengadukan. Tetapi pada penelitian kali ini sampai dengan 5 menit hampir semua suspensi bentonit mengendap, oleh sebab itu F1 hanya didiamkan selama 3 menit, dan kemudian dipisahkan. Selanjutnya sisa suspensi dari F1 didiamkan selama 30 menit untuk mendapatkan fraksi 2 (F2). Sesudah 30 menit, ternyata hampir semua suspensi F2 mengendap sehingga tidak dilanjutkan untuk fraksi selanjutnya. Purifikasi (kalsinasi, perlakuan kimia, dll) selanjutnya tidak dilakukan terhadap bentonit karena dapat merusak struktur bentonit (Irwansyah, 2007). 3.1 Preparasi Bentonit Preparasi bentonit yang diawali dengan penggerusan dan pengayakan dimaksudkan untuk memperkecil ukuran partikel sampai 100 mikron, sehingga luas permukaannya menjadi lebih besar. Selanjutnya bubuk bentonit dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC untuk dihilangkan kadar airnya. Untuk mendapatkan fraksi komponen montmorrilonit terbesar, bentonit difraksinasi berdasarkan densitas partikelnya. Fraksinasi akan memisahkan mineralmineral lain yang terkandung dalam bentonit seperti kuarsa dan kaolinit yang memiliki densitas lebih besar pada bentonit. Oleh karena itu, fraksi yang densitasnya lebih besar akan mengendap lebih awal (densitas kuarsa, kaolinit, dan montmorillonit : 2,62; 2,6; dan 2,35 g/cm3). Metode fraksinasi ini juga dilakukan berdasarkan kemampuan montmorillonit mengadsorpsi air. Montmorillonit yang mengadsorpsi air akan tersuspensi di dalam larutan sehingga terpisah dari mineral lainnya yang tidak mengadsorpsi air (cepat mengendap) Metode fraksinasi ini dilakukan sesuai dengan penelitian sebelumnya (Irwansyah,2007), dengan menggunakan bentonit yang sama (berasal dari daerah Tapanuli) diketahui bahwa fraksi kedua (F2) dari bentonit mengandung montmorillonit yang paling banyak. Montmorillonit berinteraksi dengan air, sehingga montmorillonit akan lebih lama mengendap. Proses fraksinasi melalui pembentukan suspensi dalam air juga dimaksudkan untuk memisahkan pengotor atau mineral-mineral lainnya 3.2 Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan Senyawa Cu(en)22+ Penentuan KTK hanya dilakukan pada fraksi yang diamati yaitu F2. Setelah dilakukan penyeragaman kation (Na+) pada interlayer bentonit F2 dengan cara membentuk suspensi F2 dalam NaCl 1 M sehingga diperoleh endapan Na-MMT. Na-MMT yang diperoleh dilakukan penentuan kapasitas tukar kation. Dengan penyeragaman kation ini akan menambah daya mengembang dari bentonit dan dapat digunakan untuk menentukan Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang lebih akurat. Na-bentonit bersifat lebih mengembang karena ion Na+ yang berada di permukaan bentonit akan berasosiasi dengan daerah yang mengalami defisiensi muatan positif pada salah satu lembar saja, sehingga di antara lembaran akan terpisah cukup jauh dan memungkinkan interaksi dengan air lebih banyak dan meningkatkan kestabilan (Irwansyah, 2007). Perbesaran daya mengembang ini akan mempermudah proses interkalasi surfaktan. Penentuan kapasitas kation menggunakan metode kompleks Cu(en)22+ (Bergaya, 1997). Menurut Bergaya (1997), pertukaran kation dengan ion logam berat atau kation kompleks Cu(en)22+ bersifat irreversibel dan tidak bergantung pada pH. Keuntungan metode ini dalam menentukan kapasitas tukar kation dibandingkan metode Kjeldahl adalah terjadinya reaksi tunggal yang lebih cepat dan komplit dalam pertukaran kationnya. Selain itu, logam berat pun ikut tergantikan dan kapasitas tukar kation yang Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 dihasilkan lebih reprodusibel dengan akurasi sekitar 10% untuk CEC < 20 meq/100 gram clay. Pada penelitian ini, penentuan konsentrasi kompleks Cu(en)22+ dilakukan dengan pengukuran spektrofotometer visibel pada λ = 548 nm. Dengan menentukan konsentrasi kompleks Cu(en)22+ yang bersisa, maka konsentrasi kompleks Cu(en)22+ yang terserap dapat ditentukan. Dengan melakukan perhitungan, didapat nilai KTK Na-MMT sebesar 24,2 mek/100gram, nilai KTK ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil sebelumnya yaitu 65,5 mek/100 gram (Oktaviani,2011) tetapi mendekati hasil KTK yang ditentukan oleh Irwansyah (Irwansyah, 2007) yaitu 32 mek/100 gram. Perhitungan dilakukan dengan membuat kurva antara konsentrasi dan absorbansi. Nilai KTK yang diperoleh ini digunakan untuk menentukan jumlah surfaktan BTMA-Cl dalam proses interkalasi. Tabel 1. Tabel d-spacing Bentonit Sampel 2θ d-spacing (Å) Bentonit Alam 5,6072 15,74852 F1 5,9386 14,87041 F2 5,6690 15,57698 Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa d-spacing fraksi 2 (F2) lebih besar dari fraksi 1 (F1). Tetapi dspacing fraksi 2 lebih kecil dibandingkan d-spacing bentonit alam, hal ini mungkin dikarenakan masih banyaknya pengotor yang terdapat pada fraksi 2 (F2). Tabel 2. Persentase Montmorillonit dan Kuarsa 3.3 Karakterisasi dengan XRD Intensitas % % Total Montmorillonit Kuarsa 864 59,26 40,74 F1 723 53,39 46,61 F2 1234 56,08 43,92 Sampel Difraktogram XRD bentonit alam, F1, dan F2 ditampilkan pada Gambar 6 dan ringkasannya ditampilkan pada Tabel 1. Puncak-puncak khas bentonit muncul pada sudut 2θ = 19.78° ; 26.62° dan 35.14°, tetapi selain itu juga terdeteksi puncak kuarsa pada 2θ = 21,9° yang menunjukkan bahwa terdapat pengotor pada bentonit alam, fraksi 1, dan fraksi 2. Hal ini menunjukkan bahwa metode fraksinasi tidak merusak struktur bentonit. Namun metode fraksinasi ini memiliki kelemahan pada tingkat kesulitan yang cukup tinggi saat memisahkan fraksi 1 dengan fraksi 2, sehingga terdapat kemungkinan pengotor ikut terbawa saat proses pemisahan (dekantasi). Gbr 6. Difraktogram Bentonit Alam, F1, dan F2 Bentonit alam Dari Tabel 2 memperlihatkan bahwa kandungan montmorillonit pada Fraksi 2 (F2) lebih banyak daripada Fraksi 1 (F1), sehingga pengamatan selanjutnya hanya digunakan Fraksi 2. 3.4 Interkalasi Bentonit dengan Benziltrimetilammonium Klorida (BTMA-Cl) Untuk interkalasi, digunakan fraksi 2 (F2) yang banyak mengandung montmorillonit yang sudah diseragamkan kationnya pada interlayer bentonit dengan ion Na+ (Na-MMT). Setelah kation-kation pada interlayer diseragamkan dengan ion Na+, selanjutnya proses penyisipan (interkalasi) surfaktan ke dalam interlayer Na-MMT sehingga akan terbentuk organoclay. Jumlah surfaktan yang diinterkalasi ke dalam NaMMT ditentukan dari nilai KTK yang di dapat yaitu sebesar 24,2 mek/100 gram. Dari nilai KTK, maka digunakan surfaktan BTMA-Cl dengan konsentrasi tertentu. Jumlah surfaktan yang ditambahkan adalah 5 mL surfaktan 0,0484 M (yang dibuat dari 2,5 mL 0,0968 M diencerkan sampai 5 mL) untuk pembuatan organoclay 1 KTK. Untuk pembuatan organoclay 2 KTK, jumlah surfaktan yang ditambahkan adalah 5 Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 mL surfaktan 0.0968 M. Penambahan surfaktan harus secara perlahan untuk mencegah terbentuknya misel. Suspensi organoclay juga harus diultrasonik untuk menghilangkan agregat yang terbentuk. Endapan organoclay dicuci dan disentrifugasi secara berulang sampai air dekantasi tidak mengandung ion klorida (Cl-) yang tersisa agar d-spacing yang didapat lebih maksimal. Surfaktan BTMA-Cl adalah garam ammonium kwarterner yang bermuatan positif (kationik). Ion ammonium kwarterner (BTMA+) ini akan menggantikan kation-kation yang ada pada interlayer Na-MMT. Na-MMT disuspensikan terlebih dahulu dengan air agar mengembang maksimal. Ketika Na-MMT mengembang maksimal, surfaktan yang diinterkalasi diharapkan akan lebih mudah berdifusi dan masuk menggantikan kation-kation tersebut dan d-spacing yang didapat juga lebih maksimal. Surfaktan BTMA-Cl yang digunakan merupakan surfaktan komersial (PT. KAO) sehingga diharapkan dengan penggunaan surfaktan tersebut, selain mudah didapat juga akan menambah nilai guna dari organoclay yang disintesis. Pada difraktogram Na-MMT, organoclay 1 KTK, dan organoclay 2 KTK (Gambar 7) masih terlihat puncak-puncak khas bentonit yaitu pada 2θ = 19.78° ; 26.62° dan 35.14°, dan juga puncak kuarsa pada 2θ = 21,9°. Hal ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyeragaman kation dan sintesis organoclay, struktur bentonit tidak mengalami kerusakan. Tabel 3. Tabel d-spacing Na-MMT, Organoclay 1 KTK dan 2 KTK Sampel 2θ Na-MMT 9,4800 Organoclay 1 KTK 9,5400 Organoclay 2 KTK 9,2800 Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa walaupun nilai d-spacing tidak mengalami perubahan yang signifikan, organoclay 2 KTK memiliki d-spacing yang lebih besar dari Na-MMT, sedangkan organoclay 1 KTK memiliki d-spacing lebih kecil dari Na-MMT. Hal ini kemungkinan dikarenakan masih belum maksimalnya jumlah BTMA+ yang masuk ke interlayer selama proses pengadukan atau penambahan surfaktan yang terlalu cepat (5 jam) karena penelitian sebelumnya menggunakan waktu 10 jam (Rafi, 2012). Dalam laporannya, dengan fraksi bentonit yang sama, tetapi menggunakan surfaktan berbeda yaitu ODTMA-Br, Rafi (2012) memperoleh nilai d-spacing sebesar 18,39 dan 21, 03 (Ǻ) masingmasing untuk 1 KTK dan 2 KTK. Di pihak lain, kemungkinannya adalah orientasi BTMA+ didalam interior antar lapisan bentonit tersusun dengan model orientasi monolayer dan kation kwarternernya berinteraksi dengan permukaan densitas muatan rendah (Xi, 2006) (Lihat Gambar 8). Akibatnya, masuknya BTMA+ sebanyak 1 KTK dan 2 KTK kedalam antar lapis bentonit tidak merubah d-spacing secara signifikan. S i O S i O S i O S i O S i O Gbr 7. Difraktogram Bentonit Alam, F1, F2, Na-MMT, Organoclay 1 KTK, dan Organoclay 2 KTK Gbr 8. Interkalasi Bentonit dengan BTMA-Cl Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 3.5 Karakterisasi dengan FTIR Organoclay 2 KTK Organoclay 1 KTK Na-MMT F1 Bentonit Alam F2 Gbr 9. Spektra FTIR Bentonit Alam, F1, F2, Na-MMT, Organoclay 1 KTK, dan Organoclay 2 KTK Gbr 11. Komposisi Unsur yang Terdapat pada Organoclay 1 KTK yang Sudah Mengadsorpsi p-Klorofenol (hasil analisis EDX) Hasil karakterisasi dengan FTIR pada Gambar 9 menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 1633 cm-1 pada bentonit alam, F1, F2, Na-MMT, organoclay 1 KTK, dan organoclay 2 KTK merupakan pita tekuk H-O-H yang terdeformasi. Sedangkan puncak OH struktural pada kerangka silikat bentonit muncul pada bilangan gelombang sekitar 3630 cm-1. Pada organoclay 1 KTK dan organoclay 2 KTK muncul peak baru yaitu sekitar 3041 cm-1 yang menandakan BTMA-Cl telah berhasil diinterkalasi ke dalam bentonit. Dari data FTIR tersebut juga menginformasikan bahwa dalam bentonit alam, F1, F2, Na-MMT, organoclay 1 KTK dan organoclay 2 KTK kemungkinan terdapat gugus Si-O, Al-O, Si–O–Si, Mg–Al–OH, Al–O, Si–O–Mg dan Si–O–Fe. Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa organoclay hasil sintesis sudah tidak mengandung kation Na+ . Hal ini memberikan informasi bahwa telah terjadi pertukaran ion Na+ oleh surfaktan kationik BTMA+ melalui proses interkalasi. 3.6 Karakterisasi dengan EDX Tabel 4. Tabel Rasio Si/Al (dari data EDX) Na Sampel (% Ber Organoclay 1 KTK Al Si/Al (% (% (% Na/ (Si+Al) (% Berat) Berat) Berat) 0,31 28,35 11,54 2,46 0,008 0 28,26 10,83 2,61 0 0 28,13 10,43 2,69 0 at) Na-MMT Si Berat) Organoclay 1 KTK + p-Klorofenol Gbr 10. Komposisi Unsur yang Terdapat pada Organoclay 1 KTK (hasil analisis EDX) Dari data Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan rasio Si/Al secara signifikan baik sebelum maupun setelah digunakan sebagai adsorben p-klorofenol. Hal ini membuktikan bahwa struktur pada organoclay tidak mengalami kerusakan sesudah digunakan. Menurut Oktaviani (2011), melaporkan bahwa hasil karakterisasi EDX membuktikan bahwa pada preparasi Na-MMT, ion Na+ telah menggantikan ion-ion penyeimbang pada interlayer montmorillonit. Informasi EDX ini memperkuat hasil data dari FTIR yang menunjukkan keberadaan Fe dan Mg. Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 3.7 Adsorpsi p-Klorofenol dan Fenol Setelah bentonit dimodifikasi menjadi organoclay, maka sifat bentonit menjadi lebih organofilik yang memungkinkan organoclay tersebut mengadsorpsi senyawa organik. Senyawa organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pklorofenol dan fenol. Senyawa p-klorofenol merupakan derivat dari fenol. Kedua senyawa organik tersebut merupakan senyawa berbahaya yang banyak terdapat pada limbah pengolahan minyak bumi. Hal ini juga yang menjadi dasar penelitian ini menggunakan p-klorofenol dan fenol sebagai model yang diadsorpsi. Variasi konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, dan 80 ppm yang akan diinteraksikan dengan bentonit alam dan organoclay. Dalam penentuan konsentrasi fenol dan p-klorofenol dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pengukuran sesudah diadsorpsi oleh bentonit maupun organoclay terdapat kesulitan, karena terdapatnya koloid bentonit yang sukar diendapkan melalui sentrifugasi. terdapat kecenderungan kenaikan adsorpsi seiring dengan bertambahnya konsentrasi, sehingga pada konsentrasi 80 ppm (0,6226 mM) terlihat sudah mulai landai (jenuh) dimana daya adsorpsinya mencapai 4,2818 mg (0,0333 mmol) p-klorofenol/g organoclay 1 KTK. Untuk organoclay 2 KTK terlihat bahwa adsorpsi p-klorofenol mulai dari konsentrasi 10 ppm sampai 80 ppm daya adsorpsinya masih terus meningkat dimana pada konsentrasi 10 ppm diadsorpsi sebanyak 1,1454 mg/g (0,0089 mmol/g) organoclay dan terus meningkat hingga pada 80 ppm p-klorofenol teradsorpsi sebanyak 5,3272 mg/g (0,04146 mmol/g) organoclay 2 KTK. Secara umum dapat disimpulkan bahwa adsorpsi p-klorofenol pada Organoclay 2 KTK lebih banyak dibandingkan organoclay 1 KTK. Gbr 13. Kurva Isoterm Adsorpsi Organoclay 1 KTK terhadap p-Klorofenol dan Fenol Gbr 12. Kurva Isoterm Adsorpsi p-Klorofenol Gambar 12 menunjukkan bahwa adsorpsi bentonit alam terhadap p-klorofenol mulai dari konsentrasi 10 ppm sampai 80 ppm tidak mengalami perubahan yang signifikan. Ini memperlihatkan bahwa bentonit alam (tidak dimodifikasi) bersifat hidrofilik (organo-fobik). Dari kurva tersebut juga terlihat bahwa pada konsentrasi 80 ppm (0,6222 mM), pada bentonit alam yang telah termodifikasi menjadi organoclay lebih besar dari daya adsorpsi bentonit alam (1,5272 mg/g atau 0,0119 mmol/g) yaitu sekitar 4,2818 mg/g (0,0333 mmol/g). Untuk organoclay 1 KTK, kurva adsorpsi terhadap p-klorofenol, terjadi kesulitan pengukuran pada konsentrasi 10 dan 20 ppm. Tetapi secara umum Dari kurva pada Gambar 13 terlihat bahwa adsorpsi fenol oleh organoclay 1 KTK sampai konsentrasi 80 ppm daya adsorpsinya masih terus meningkat. Pada konsentrasi 10 ppm daya adsorpsinya sebesar 1,0571 mg/g (0,0112 mmol/g) organoclay, kemudian terus meningkat walaupun pada konsentrasi 40 ppm daya adsorpsinya mengalami penurunan dari 1,5 mg (pada 20 ppm) menjadi 1,45 mg setiap 1 g organoclay. Pada konsentrasi 80 ppm daya adsorpsinya terhadap fenol mencapai 2,8285 mg/ g (0,0301 mmol/g) organoclay Tapanuli-1 KTK. Pada penelitian ini, sampai dengan konsentrasi fenol 80 ppm belum menunjukkan kapasitas maksimum, karena kurva yang diperoleh masih tampak cenderung mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan adsorpsi terhadap pklorofenol, pada konsentrasi 80 ppm kurva adsorpsi terhadap p-klorofenol sudah mulai terlihat landai (jenuh). Berdasarkan kurva tersebut memperlihatkan bahwa daya adsorpsi organoclay terhadap p- Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 klorofenol lebih baik daripada adsorpsi terhadap fenol. Berdasarkan data adsorpsi fenol dan pklorofenol di atas menunjukkan bahwa daya adsorpsi organoclay lebih besar dibanding bentonit alam. Sifat ini dijelaskan oleh adanya interaksi hidrofobik antara rantai panjang dari surfaktan dengan gugus nonpolar yang ada pada senyawa organik fenol dan pklorofenol. Penjelasan tersebut diilustrasikan pada Gambar 14. S i O S i O S i O S i S i O O Cl C l Cl C l Gbr 15. Ilustrasi interaksi hidrofilik antara gugus yang lebih polar dari senyawa organik (p-Klorofenol (a) dan Fenol (b)) dengan gugus OH pada silanol (SiOH) yang dimiliki bentonit. [Sumber: Oktaviani, 2011, telah diolah kembali] Organoclay 1 KTK + p-Klorofenol S i O Organoclay 2 KTK + p-Klorofenol Organoclay 1 KTK + Fenol Bentonit Alam + p-Klorofenol Gbr 16. Spektra FTIR Adsorpsi p-Klorofenol dan Fenol (a) S i O S i O S i O S i O S i O S i O (b) Gbr 14. Ilustrasi interaksi hidrofobik antara rantai panjang surfaktan dengan gugus nonpolar dari (a) p-Klorofenol dan (b) Fenol Selain itu juga ada interaksi hidrofilik antara gugus yang lebih polar dari senyawa organik (-OH dalam fenol) dengan gugus OH pada silanol (Si-OH) yang dimiliki oleh bentonit, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 15. Dari Gambar 16 memperlihatkan bahwa terdapat pita serapan baru yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 1400-1680 cm-1 yang menandakan terdapatnya p-klorofenol dan fenol dalam sampel tersebut. Dan diperkuat dengan munculnya vibrasi ulur C-O dari senyawa tersebut yaitu pada bilangan gelombang 1000-1320 cm-1. Keberadaan p-klorofenol dalam organoclay yang sudah mengadsorpsi kurang begitu terlihat pada spektra FTIR, tetapi dapat ditunjukkan oleh adanya peningkatan klor yang terlihat dari data EDX. Difraktogram EDX menunjukkan bahwa setelah mengadsorpsi p-klorofenol, kandungan klor di dalam organoclay mengalami peningkatan dari 0,01% naik menjadi 0,05% berat (lihat Gambar 10 dan 11). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fenol dan pklorofenol sudah teradsorpsi pada organoclay. 4. KESIMPULAN Nilai KTK Na-MMT adalah 24,2 mek/100 g Bentonit yang ditentukan dengan metode tembaga amin (Cu(en)22+). Interkalasi bentonit dengan Benziltrimetilammonium Klorida (BTMA-Cl) tidak merubah basal spacing secara signifikan, tetapi Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013 organoclay yang terbentuk semakin organofilik. Daya adsorpsi bentonit yang termodifikasi (organoclay) terhadap senyawa p-klorofenol dan fenol lebih besar dibanding daya adsorpsi bentonit alam. Daya adsorpsi bentonit yang termodifikasi (organoclay) terhadap senyawa p-klorofenol lebih besar dibanding daya adsorpsi organoclay terhadap fenol. 5. DAFTAR ACUAN Barhoumi, M., I. Beurroies, R. Denoyel, H. Saı¨d, K. Hanna. (2003). Coadsorption of phenol and nonionic surfactants onto clays.ScienceDirectJournal. Bergaya, F. Vayer M.s (1997). CEC of clays: Measurement by adsorption of a copper ethylenediamine complex. Applied Clay Science 12 (1997) 275-280. Perancis. David A. Laird. (2006). Influence of layer charge on swelling of smectites.ScienceDirect Journal. Eladio A,Ferreiro. Silvia G, de Bussetti. (2007). Interaction of colloidal particles of NH4+monmorilonite with activated carbon.ScienceDirect Journal. Ghiaci, M., R.J. Kalbasi, A. Abbaspour. (2006) .Adsorption isotherms of non-ionic surfactants on Na-bentonite (Iran) and evaluation of thermodynamic parameters.ScienceDirect Journal. Guegan, Regis. (2010). Intercalation of a Nonionic Surfactant (C10E3) bilayer into a NaMonmorilonite Clay.Institut des Sciences de la Terre d’Orléans, CNRS-Université d’Orléans, Perancis. Heinz, Hendrik, R. A. Vaia, R. Krishnamoorti, B. L. Farmer. (2006). Self-Assembly of Alkylammonium Chains on Monmorilonite: Effect of Chain Length, Head Group Structure, and Cation Exchange Capacity. J. Phys. Chem. B 2005, 109, 13301-13306 Ohio. Wright State UniVersity, Ohio and UniVersity of Houston, Texas. Irwansyah. (2007). Modifikasi Bentonit Menjadi Organoclay Dengan Surfaktan Heksadesiltrimetilamonium Bromida Melalui Interkalasi Metode Ultrasonik. Skripsi Departemen kimia. FMIPA Universitas Indonesia. Luckham, Paul F. Sylvia Rossi. (1999). The colloidal and rheological properties of bentonite suspensions.ScienceDirect Journal. Marz, Rahman Arif. (2012). Studi Daya Adsorpsi Organoclay Tapanuli Terhadap Fenol dalamAir dan Limbah Air Hasil Demulsifikasi Minyak Bumi.Skripsi Departemen kimia.FMIPA Universitas Indonesia. Norrish, K. (1954). The Swelling Of Monmorilonite. Division of Soils, C.S.I.R.O., Adelaide, Australia. Oktaviani, Evi. (2011). Sintesis dan Karakterisasi Organoclay Terinterkalasi Surfaktan Kationik ODTMABr dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Fenol.Skripsi Departemen kimia.FMIPA Universitas Indonesia. Skoog, Douglas A., dkk. (2002). Fundamentals of Analytical Chemistry.Thomson BROOKS/COLE. Syuhada, Rachmat Wijaya, Jayatin, dan Saeful Rohman. (2009). Modifikasi Bentonit (Clay) menjadi Organoclay dengan Penambahan Surfaktan. Jurnal Nanosains & Nanoteknologi. Bandung. Vol. 2 No. 1. Bentonit alam ..., Ovan Sunu Meirivandhy, FMIPA UI, 2013