BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komunikasi Pemasaran Komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk, dan/atau mengingatkan berusaha pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan (Tjiptono, 1997). Tanpa komunikasi pemasaran, konsumen maupun masyarakat tidak akan mengetahui keberadaan produk di pasar. Pemasaran modern membutuhkan lebih dari sekedar produk atau jasa yang berkualitas, harga kompetitif, dan ketersediaan produk bagi pelanggan sasaran, namun juga memerlukan komunikasi interaktif yang berkesinambungan dengan para pelanggan potensial dan actual (Endaari, 2011). Salah satu alat komunikasi yang mampu menjangkau pembeli yang tersebar secara geografis adalah iklan. Iklan dapat membangun citra jangka panjang bagi suatu produk atau memicu penjualan cepat yang tersebar secara geografis (Kotler dan Keller, 2009). Periklanan adalah segala bentuk penyajian dan promosi ide, barang, atau jasa secara non-personal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. 14 15 Menurut Shimp (2003) periklanan dihargai karena dikenal sebagai pelaksana beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan, bisnis, dan organisasi lainnya. Iklan yang efektif selain mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan, namun juga mampu menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Periklanan merupakan salah satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh perusahaan maupun perseorangan. Dalam periklanan, pihak yang memasang iklan (disebut sponsor) harus mengeluarkan sejumlah biaya pada media. Jadi menurut Swastha dan Sukotjo (1999:223) periklanan adalah “komunikasi non-individu, dengan sejumlah biaya, melalui berbagai media yang dilakukan perusahaan, lembaga non-laba, serta individu-individu”. Di sini pihak sponsor berusaha menyebarluaskan berita kepada masyarakat. Berita inilah yang disebut iklan atau advertensi. 2.2 Pengertian Kredibilitas Sumber Menurut Sternthal, Phillips, dan Dholakia (1978) mengatakan kredibilitas adalah aset berharga karena sumber informasi yang kredibel menarik perhatian iklan dan meningkatkan ingatan mereka. Kredibilitas suatu sumber bisa dikelompokkan ke dalam dua aspek: kredibilitas perusahaan dan kredibilitas endorser. Kredibilitas korporasi mengacu pada bagaimana konsumen dan pemangku kepentingan lain (stakeholders) memandang sejauh mana korporasi atau perusahaan dapat dipercaya dan memiliki keahlian yang mumpuni dalam bidangnya. Dengan kata lain, kredibilitas perusahaan mencerminkan apakah perusahaan dapat diandalkan untuk 16 melakukan apa yang dikatakan atau untuk menepati janji (Herbig dan Milewicz 1995:6). Sedangkan, kredibilitas endorser berarti adalah sejauh mana endorser yang dipakai dalam suatu komunikasi pemasaran, seperti iklan, dapat dipercaya dan dipandang memiliki keahlian oleh audiens sebagai target komunikasi. Menurut Wangenheim dan Bayon (2005) sumber informasi yang kredibel dan menarik lebih memberikan pengaruh terhadap opini konsumen atas suatu produk. Opini konsumen atas suatu produk memberikan bobot tertentu pada proses evaluasi konsumen. Hasil evaluasi merupakan pilihan akhir yang menentukan keputusan konsumen (apakah membeli atau tidak membeli, berganti atau tidak, dan sebagainya). Teori kredibilitas sumber yang ditemukan oleh Hovland, Janis dan Kelley (1963) menyatakan bahwa orang atau penerima lebih mungkin dibujuk ketika sumber pesan tersebut menunjukkan kredibilitas dirinya. Selanjutnya, mereka melakukan studi pada pengaruh sumber (source) dalam persuasi. Temuan penelitian mereka menegaskan asumsi bahwa sumber-sumber yang kredibel cenderung menciptakan dampak yang diinginkan para pemirsa. 2.3 Pengertian Endorser dan Selebriti Endorser Endorser dapat didefinisikan sebagai setiap individu yang dikenal dan diakui olehpublik dan/atau konsumen, dan memanfaatkan pengakuan konsumen tersebut untuk tampil mendukung suatu produk dalam sebuah iklan (Ohanian, 1990). Endorser bisa berupa siapa saja seperti selebriti, atlet, politisi, pekerja profesional 17 atau individu lain yang mendapatkan pengakuan atas keahlian mereka dalam bidang tertentu, sebagai perwakilan atau „wajah‟ dari produk yang diiklankan. Endorser atau pendukung iklan atau juga yang dikenal sebagai bintang iklan yang mendukung produk yang di iklankan. Selebriti endorser atau selebriti pendukung, dapat didefinisikan sebagai setiap individu yang terkenal atau dikenal banyak orang dan menggunakan keterkenalannya tersebut untuk mendukung suatu produk, biasanya berupa produk barang konsumsi (consumer goods) dengan bentuk kemunculannya dalam sebuah iklan (McCracken, 1989). Selebriti di dunia periklanan sudah sangat popular. Menurut Agrawal dan Kamakura (1989) dalam penelitian mereka meyebutkan bahwa sumber industri di Amerika, 20% dari semua iklan televisi adalah menggunakan orang terkenal, dan hampir 10% dari uang yang beredar di dalam periklanan untuk televisi digunakan untuk membayar selebritis sebagai endorser. Dukungan selebriti (celebrity endorsement) dapat meningkatkan keuntungan financial secara signifikan bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakannya dalam kampanye iklan mereka (Erdogan et al., 2001, Farrell et al., 2000). Namun demikian, perlu dicatat bahwa konsumen yang tidak melihat relevansi produk tersebut dengan dirinya mungkin menerima daya tarik selebriti tersebut semata-mata hanya untuk alasan bahwa selebriti tersebut terkenal atau secara fisik dipandang menawan oleh konsumen. Ada dua bentuk dari dukungan selebriti dalam iklan: lisensi selebriti dan dukungan selebriti (Mistry, 2006). Lisensi selebriti, walaupun jarang digunakan karena kecenderungannya menjadi komitmen jangka panjang, adalah komitmen co- 18 branding antara perusahaan produsen dan selebriti dalam bentuk melekatkan nama selebriti langsung ke produk. Inti dari bentuk hubungan ini adalah bahwa selebriti dan produk terikat berhubungan secara langsung satu sama lain. Hal ini dapat berupa kekuatan atau kelemahan tergantung pada status selebriti dan kualitas produk. Contoh dari jenis kesepakatan termasuk Reggie Bar (candy bar dinamai mantan pemain baseball profesional, Reggie Jackson) dan George Foreman Grill (nama alat dapur untuk mantan petinju profesional, George Foreman). Sedangkan, dukungan selebriti adalah salah satu strategi perusahaan dengan menggunakan selebriti sebagai alat promosi dalam sebuah iklan. Selebriti disini dikatakan sebagai alat, karena testimonyselebriti atau pendapat yang dikemukakan oleh mereka digunakan oleh perusahaan sebagai alat untuk kampanye perusahaan dalam mengiklankan suatu produk. Menurut Seno dan Lukas (2007:123), beberapa jenis dukungan selebritis diantaranya; dukungan secara eksplisit („Endorser menyatakan mendukung sebuah produk‟), secara implisit („Endorser menggunakan sebuah produk”), secara imperative („Endorser menyarankan seseorang untuk menggunakan sebuah produk‟), secara co-presentasu („Endorser hanya muncul dengan produk‟). Hawkin, Best and Conney (1989), mengemukakan ada 3 keuntungan dalam menggunakan selebritis sebagai endorser, yaitu: 1. Selebritis lebih menarik perhatian banyak orang 2. Dipercaya konsumen 3. Kelatahan konsumen untuk meniru gaya hidup mereka 19 4. Dapat diasosiasikan dengan produk sehingga terjadi pemindahan karakter selebritis kepada produk sehingga produk mempunyai kepribadian tersendiri yang disebut kepribadian merek. Efektivitas penggunaan selebritis untuk mengiklankan suatu produk tergantung pada kemampuan perusahaan periklanan dalam memilih selebritis yang cocok dengan produk. Ada dua hal yang harus cocok antara selebritis dengan produk yakni: citra selebritis dengan kepribadian dari produk dan citra selebritis dengan konsep produk dan target pasar. Pemakaian selebritis juga mempunyai resiko diantaranya sebagai berikut: 1. Perbedaan preferensi tentang selebritis, ada yang menyukai ada pula yang tidak menyukai seorang selebritis 2. Pengaruh karakter selebritis 3. Selebriti Shadow yaitu proses tertutupnya popularitas produk yang diiklankan oleh popularitas produk yang diiklankan oleh popularitas selebritis. Hal ini bisa terjadi karena desain iklan yang kurang tepat, atau selebritis tersebut juga mengiklankan banyak produk lain dalam jangka waktu yang bersamaan. Akibatnya meskipun iklan sering ditayangkan, popularitas penduduk tetap tidak meningkat. Sebaliknya hanya selebritis yang sering diingat orang bukan produk yang diiklankan. 4. Keterlibatan selebritis dalam iklan, dimana satu selebritis mengiklankan banyak produk dan materi iklan yang tidak jauh berbeda. Akibatnya konsumen menjadi bingung dan sering salah dalam mengingat sebuah iklan. Apakah produk A diiklankan oleh selebritis A atau B? Sebaliknya artis A mengiklankan produk A atau B? Kalau sudah begini iklan tidak dapat lagi menciptakan diferensiasi. 20 Selebriti merupakan simbol budaya. Ketika selebriti mengiklankan sebuah produk, para pemirsa membentuk asosiasi sesuai dengan arti budaya yang ditransfer selebriti terhadap produk. Akhirnya, pada fase konsumsi arti budaya tersebut ditransfer dari produk ke konsumen.Jadi, ketika konsumen menggunakan produk tersebut maka konsumen secara simbolik menanamkan ciri-ciri bintang iklan tersebut pada diri mereka (Mowen dan Minor, 2002:408). 2.4 Pengertian Kredibilitas Selebriti Endorser Dalam memilih selebriti untuk mendukung sebuah produk, pemasar cenderung berfokus pada kredibilitas selebriti. Ohanian (1990) mendefinisikan kredibilitas endorser sebagai sejauh mana mereka dianggap dapat dipercaya. Methaq (2011), disitasikan dalam model kredibilitas sumber yang dikembangkan oleh Hovland, et al., (1953), menyatakan kredibilitas selebritiyang terdiri dari keahlian, keterpercayaan sebagai karakteristik sumber, dan daya tarik model yang berfokus pada karakter.dapat menciptakan sikap konsumen yang dapat mengarahkan pada minat untuk membeli produk. Dimensi ini juga didukung oleh Ohanian (1990) yangmengembangkan model penjelasan multi-dimensi untuk menjelaskan kredibilitas sumber: 1. Attractiveness (Daya Tarik) Methaq (2011) mendefinisikan daya tarik sebagai penampilan fisik dan/atau kepribadian yang dicerminkanoleh sumber atau penyampai pesan. Daya tarik endorser iklan dapat menangkap perhatian konsumen untuk produk. Dalam dunia 21 periklanan saat ini, baik iklan tradisional (seperti iklan di media televisi, cetak, dll.) maupun iklan internet, pengiklan selalu memilih selebriti yang menarik secara fisik. Hal ini didukung oleh temuan penelitian dari Bahram, Zahra dan Zahra (2010) yang menunjukkan bahwa daya tarik dapat meningkatkan sikap positif konsumen terhadap iklan. 2. Expertise (Keahlian) Keahlian diartikan sebagai sejauh mana endorser iklan dipandangmemiliki profesionalisme yang dapat membujuk konsumen untuk membeli produk (Goldsmith et al, 2000). Erdogan, et al (2001) mendefinisikan keahlian sebagai sejauh mana suatu sumberpenyampai pesan dipandang mampu memegang pernyataan yang valid. Clinton, Gary dan David (2008) menunjukkan bahwa efektivitas sumber dipengaruhi oleh persepsi penerima pesan atau audiens terhadap keahlian sumber. 3. Trustworthiness (Keterpercayaan) Erdem dan Swait (2004) mendefinisikan keterpercayaan sebagai kemampuan untuk konsisten memberikan apa yang telah dijanjikan. Keterpercayaan juga merujuk kepada sejauh mana endorser dipandang menyampaikan suatu pesan yang valid dan dapat dipercaya oleh publik atas pesan disampaikannya tersebut. Pada konteks yang lebih luas, keterpercayaan bisa berarti sejauh mana publik memandang endorser tersebut sebagai sosok atau figur yang tulus danjujur secara umum. Para peneliti menemukan bahwa keterpercayaan endorser merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan niat pembelian konsumen. 22 2.5 Pengertian Kredibilitas Perusahaan Kredibilitas perusahaan didefinisikan oleh Keller (1998) sebagai seberapa jauh konsumen percaya bahwa suatu perusahaan bisa merancang dan menghadirkan produk serta jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Keller secara konsisten juga memasukkan kredibilitas perusahaan sebagai bagian atau determinan dari reputasi perusahaan. Kredibilitas perusahaan memainkan peran yang cukup penting dalam mempengaruhi sikap dan keputusan membeli (Goldmith, et al., 2000). Peran reputasi perusahaan untuk kesuksesan dalam persaingan pasar begitu penting, sehingga Goldsmith (2000) menekankan bahwa komponen penting yang harus diperhatikan dalam membangun reputasi perusahaan adalah kredibilitas perusahaan. Li, Wang dan Yang (2011) juga menyatakan hal yang sama, bahwa wilayah penelitian terpenting untuk memahami bagaimana membangun reputasi perusahaan yaitu dengan memfokuskan pada unsur kredibilitas yang dimiliki perusahaan. Goldsmith et al., (2000) serta Newell et al., (2001) menyatakan bahwa penilaian kredibilitas perusahaan serupa tetapi tidak sama dengan kredibilitas juru bicara yang melibatkan selebritis atau orang biasa. Sebagai ilustrasi, beberapa penelitian dan teori seperti yang dikemukakan oleh Kotler (2013) menyatakan bahwa dimensi likability termasuk ke dalam kredibilitas juru bicara atau endorser, seperti seberapa “lucu” atau tampan juru bicara tersebut, yang mana hal ini tentu saja tidak mewakili karakteristik kredibilitas perusahaan. 23 Ada dua dimensi penting untuk kredibilitas, yaitu keahlian dan kepercayaan (Belch dan Belch, 2009). Sejalan dengan itu, Goldsmith et al. (2000) mengemukakan komposisi dimensi dari kredibilitas perusahaan terdiri dari : 1. Coorporate Expertise(Keahlian Perusahaan) Sejauh mana perusahaan dinilai ahli oleh konsumen dalam memproduksi barang/jasa. 2. Coorporate Trustworthiness (Keterpercayaan Perusahaan) Sejauh mana perusahaan dinilai jujur oleh konsumen dalam memasarkan barang/jasa. 2.6 Pengertian Tingkat Keyakinan Konsumen untuk Membeli Konstruk keyakinan konsumen untuk membeli suatu produk dapat dipahami sebagai tingkat sejauh mana konsumen tersebut yakin bahwa keputusannya untuk membeli produk tersebut akan membawa manfaat (atau sebaliknya, kerugian) bagi dirinya. Pada awalnya, konsep consumer confidence ini berasal dari bidang ilmu ekonomi, yang mendefinisikan consumer confidence sebagai konstruk psikologis yang mengukur harapan subyektif konsumen akan iklim keuangan dan ekonomi mereka di masa yang akan datang (Ou et al., 2014). Kata kunci dari consumer confidence dalam pengertian ini terletak pada harapan subyektif konsumen akan seusatu yang belum pasti (yaitu dalam hal ini, iklim ekonomi di masa depan), atau ketidakpastian. Ketidakpastian sendiri, dalam pengambilan keputusan secara umum, diartikan sebagai situasi di mana konsekuensi, atau magnitude dari suatu keadaan 24 atau kondisi tidak dapat ditebak. Dalam konteks rencana pembelian konsumen, konsumen seringkali dihadapkan pada ketidakpastian akan hasil akhir yang akan diterimanya sebagai konsekuensi logis dari keputusan yang diambil. Dengan demikian, cukup logis jika ketidakpastian diduga terkait dengan kebimbangan atau ketidakyakinan. Hal tersebut didukung oleh Fischer et al. (2003), yang berpendapat bahwa ketidakyakinan atau kebimbangan sebagai atribut pembuat keputusan, memiliki bobot yang besar dan konflik dalam alternatif berkontribusi kepada ketidakpastian dalam preferensi konsumen terhadap suatu produk. Secara khusus, jika ketidakpastian subjektif dihasilkanoleh karakteristik stimulus, dan memiliki efek pada pengambil keputusan, maka pengambil keputusan dapat menyesuaikan penentuan preferensinya sesuai dengan alterternatif yang dipandang relevan baginya (Fischer, et al., 2003). Ketidakpastian subyektif konsumen ini dapat terwujud dalam bentuk ketidak yakinan konsumen bahwa pilihannya akan suatu produk atau untuk membeli suatu produk akan membawa manfaat bagi dirinya. Studi tentang konsumen dan perilakunya dalam mengambil keputusan sering mengkaji konflik. Konflik secara langsung mempengaruhi tingkat kesulitan pengambilan keputusan (Luce, Bettman, dan Payne, 2001). Dalam konflik alternatif, efek psikologis cenderung menonjol selama evaluasi produk atau penilaian. Evaluasi produk adalah dasar yang diperlukan untuk mengambil (ataupun tidak mengambil) keputusan tertentu. 25 Kesulitan pengambilan keputusan bisa timbul dari banyak faktor yang berkaitan dengan lingkungan pilihan dan individu pembuat keputusan. Munculnya kesulitan konsumen dalam pengambilan keputusan, berfokus tiga sumber utama kesulitankeputusan: kompleksitas tugas, kesulitan tradeoff, dan ketidakpastian preferensi (Anderson, 2003; Bettman, Johnson, dan Payne, 2001). Penelitian tentang pengambilan keputusan menunjukkan bahwa ketika individu memiliki konflik antara berbagai pilihan, mereka cenderung untuk membuat pilihan dan/atau menangguhkan pilihan (Anderson, 2003). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa individu yang menghadapi konflik cenderung mempertimbangkan informasi yang lebih banyak dari yang tersedia dan mengambil lebih banyak waktu ketika memutuskan (Kleiman dan Hassin, 2011). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan rasa keyakinan dalam diri konsumen bahwa keputusan yang nanti diambil (membeli atau tidak membeli) tidak akan merugikan dirinya. Studi yang ada pada literatur juga menunjukkan bahwa kepercayaan berperan penting dalam membantu pembeli untuk mengatasi persepsi risiko dan ketidakpastian dalam penggunaan dan penerimaan dari produk yang mereka beli (Jones, Lori dan Leonard, 2008). Kepercayaan konsumen adalah persepsi dari sudut pandang konsumen akan keandalan penjual dalam pengalaman dan terpenuhinya harapan dan kepuasan konsumen. Keyakinan konsumen untuk mengambil keputusan membeli juga terkait dengan faktor trust atau kepercayaan. Faktor pengetahuan, pengalaman, dan persepsi merupakan faktor yang membentuk trust, atau kepercayaan (Walzuch, et al., 2001). 26 Kepercayaan melibatkan tingkat keakraban kognitif konsumen dengan produk yang ingin dibeli (Li, Hess, dan Valacich, 2006). Dalam hal ini, pembeli akan membangun keakraban kognitif mereka berdasarkan pengetahuan mereka, tayangan, isyarat kognitif, dan proses kognitif (Gefen, 2000). Dalam konteks penelitian ini, diharapkan bahwa ketika responden memiliki informasi tentang kualitas gadget elektronik atau puas dengan kualitas produk berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya, mereka cenderung mempercayai produk (gadget elektronik) mereka dan berusaha untuk membeli. Penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa kepercayaan lebih dapat meyakinkan (Van Swol dan Sniezek, 2005). 2.7 Pengertian Persepsi Risiko Bauer (1960) menjelaskan konsep dari persepsi resiko (perceived risik) adalah “Prilaku konsumen dimana melibatkan resiko, dalam arti bahwa setiap tindakan dari konsumen akan menghasilkan konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi dengan apapun.” Risiko didefinisikan terdiri dari dua dimensi, yaitu ketidakpastian dan konskuensi (Cunningham, et al., 2004, Naiyi, 2004). Risiko adalah potensi untuk menerima kenyataan yang tidak diinginkan, yaitu konsekuensi-konsekuensi negatif dari suatu peristiwa. Sulit bagi konsumen mempertimbangkan lebih banyak lagi kemungkinan dari konsekuensi-konsekuensi tindakannya, dan jarang dapat mempertimbangkan beberapa konsekuensi ini dengan tingkat kepastian tinggi. Hal ini berarti terdapat faktor ada keterbatasan kemampuan kognitif seseorang. Seringkali seseorang hanya dapat meramalkan sebagian dari jumlah total konsekuensi- 27 konsekuensi potensial. Ha (2002) dalam penelitiannya mengatakan konsumen tidak bisa memastikan bahwa seluruh tujuan pembeliannya akan tercapai. Risiko dipersepsikan sebagai faktor yang paling sering dalam setiap keputusan pembelian. Risiko muncul dari berbagai faktor berikut ini: 1. Ketidakpastian untuk mencapai tujuan 2. Kemungkinan ketidaksesuaian beberapa pembelian (produk, brand, model, dan lain-lain) dengan tujuan pembelian 3. Kemungkinan konsekuensi yang berbeda jika pembelian dilakukan atau tidak dilakukan Dalam penelitian ini, persepsi risiko yang digunakan mengacu pada definisi dan pengertian yang dikemukakan oleh Cunningham, et al (2004) , Naiyi 2004) dan Ha (2004), bila disimpulkan yaitu prilaku konsumen dimana melibatkan resiko, dimana setiap tindakan konsumen akan menghasilkan konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi dengan apapun. 1.8 Hipotesis dan Model Penelitian 1.8.1 Penelitian Terdahulu Tentang Kredibilitas Selebriti Endorser Kredibilitas endorser berpengaruh terhadap proses decoding suatu pesan. Apabila endorser dapat dipercaya oleh audiens, maka pesan sangat mungkin untuk dipercaya (Schiffman dan Kanuk, 2004). Endorser yang kredibel akan dapat meningkatkan penerimaan pesan, sebaliknya endorser yang tidak kredibel akan 28 menurunkan tingkat penerimaan pesan. Dean dan Biswas (2001) mengemukakan bahwa dukungan selebriti dapat berkontribusi untuk membangun kesadaran konsumen yang lebih tinggi, meningkatkan peringkat iklan dan evaluasi produk yang menguntungkan. Langmeyer dan Shank (1993) menemukan bahwa pendapat negatif tentang selebriti mengakibatkan persepsi negatif tentang sebuah organisasi nirlaba yang didukung oleh selebriti. Persepsi risiko berhubungan dengan sejumlah risiko atas pembelian suatu produk atau jasa. Semakin tinggi risiko yang terkandung dalam pembelian produk akan semakin tinggi keterlibatan konsumen dalam proses pengambilan keputusan pembelian. Dukungan selebriti efektif ketika terdapat link positif antara merek dan selebriti. Namun terlepas dari link positif, asosiasi ini penuh dengan risiko. Ada berbagai bentuk risiko yang berhubungan dengan selebriti, misalnya di mana seorang atlet terluka atau terlibat dalam: isu-isu terkait obat(extinction risk/resiko kepunahan) atau skandal kehidupan pribadi (moral danger risk/resiko bahaya moral) (Johansson & Sparredal, 2002). Pada penelitian sebelumnya, juga ditemukan bahwa terdapat dua resiko pada penggunaan selebriti endorser bahwa terdapat dua risiko utama dapat ditemukan dengan menggunakan selebriti endorser,publikasi negatif dan risiko keuanga. Bahkan, telah ditemukan juga bahwa informasi negatif tentang selebriti endorser tidak hanya mempengaruhi persepsi konsumen terhadap selebriti tetapi juga produk yang didukung dan perusahaan. Ketika selebriti terkena citra negatif, citra merek organisasi juga turut terkena imbasnya, hal tersebut menyebabkan penurunan consumer confidence dan trust 29 (Nelson, 2010). Misalnya, Hertz digunakan Simpson sebagai juru bicara untuk 20 tahun dan kehilangan semua ekuitas ketika ia dituduh membunuh mantan istrinya dan temannya (Till dan Shimp, 1998). Di Indonesia sendiri strategi pemasaran dengan menggunakan brand endorser sebuah produk tidak luput dari skandal, artis Luna Maya dimana terkena dampak atas beredarnya “video hot” dengan vokalis band Peterpan, mengalami pemutusan kerjasama iklan dari brand-brand terkenal seperti Lux dan Toshiba. (tempo.co, 6 Juli 2010) Dari penjelasan di atas, dapat diduga bahwa faktor-faktor positif (misalnya prestasi akademik) maupun negatif (misalnya isu-isu keterlibatan selebriti dengan obat terlarang, skandal kehidupan pribadi) yang mempengaruhi tingkat kredibilitas endorser dapat mempengaruhi bagaimana konsumen memandang adanya risiko pembelian terhadap produk yang diiklankan serta keyakinan konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Dengan demikian, maka penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut: H1a : Risiko yang dipandang konsumen melekat pada pembelian suatu produk (persepsi resiko) akan lebih rendah ketika kredibilitas selebriti endorser untuk produk tersebut dipandang tinggi daripada ketika kredibilitas selebriti endorser dipandang rendah. H1b : Tingkat keyakinan konsumen untuk membeli produk akan lebih tinggi ketika kredibilitas selebriti endorser dipandang tinggi daripada ketika kredibilitas selebriti endorser dipandang rendah. 30 1.8.2 Penelitian Terdahulu Tentang Kredibilitas Perusahaan Kredibilitas perusahaan adalah sejauh mana konsumen, investor, dan stakeholder lainnya yakin pada kejujuran dan keahlian dalam perusahaan menyempurnakan bagian dari citra perusahaan (Fomburn, 1996). Konsumen yang memandang suatu perusahaan cukup kredibel, akanmengevaluasi iklan perusahaan secara positif dan lebih mungkin untuk membeli produk perusahaan tersebut (Keller, 1998). Davis (1994) menemukan meningkatnya mayoritas konsumen menyatakan bahwa keputusan mereka untuk membeli produk, setidaknya sebagian dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap perusahaan induk. Artinya kredibilitas perusahaan sangat mempengaruhi dukungan dan pandangan dari para pemegang kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi perusahaan untuk mengelola situasi ini sedemikian rupa sehingga menciptakan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Goldberg dan Hartwick (1990) menilai reputasi pengiklan dan keekstriman klaim dari jasa periklanan pada efektivitas iklan dan menunjukkan bahwa perusahaan dengan reputasi positif tampaknya akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendapatkan kepercayaan konsumen terhadap klaim iklan mereka. Kurangnya kredibilitas perusahaan yang positif dapat mengakibatkan kegagalan dalam usaha peningkatan permintaan, preferensi terhadap merek atau iklan yang efektif (Ketchenat al, 2008). Penurunan jumlah penjualan, dan ketertarikan pasar terhadap suatu produk dapat terkena dampak jika kredibilitas perusahaan menurun. Contoh kuat yang menunjukkan pentingnya reputasi atau kredibilitas perusahaan di benak konsumen adalah manipulasi yang dilakukan oleh Volkswagen 31 (VW). Volkswagen harus tercoreng reputasinya sebagai pembuat mobil bermesin diesel yang 'bersih', karena ternyata mereka menggunakan software khusus yang membuat hasil uji emisi jadi bagus. Hal tersebut berdampak terhadap penurunan penjualan mobil tersebut sebesar 9,8% pada tahun 2015 (bbc.com5 November 2015). Peristiwa lain yang terjadi adalah ketika kapal tanker Exxon menabrak karang dan tenggelam, dan berakibat pada terbuangnya 11 juta galon minyak mentah yang mencemari pantai Alaska. Konsumen tidak hanya membangun sikap negatif terhadap Exxon, tetapi mereka juga memboikot produk Exxon dan mengembalikan ribuan kartu kredit perusahaan ini (Bovee dan Arens, 1992). Dalam studinya, Chevron Corporation mengelola iklan perusahaan dengan tujuan memperbaiki sikap tidak menguntungkan dari konsumen terhadap perusahaan. Melalui iklan ini, kredibilitas perusahaan kemudian meningkat, sikap terhadap Chevron lebih positif, dan penjualan untuk produk Chevron meningkat. (Goldsmith et al, 2000). Ilustrasi beberapa kasus tersebut adalah contoh dari konsekuensi yang terjadi jika kredibilitas perusahaan dipandang rendah atau negatif. Sehingga, tampaknya cukup beralasan untuk berasumsi hal sebaliknya yang mungkin terjadi apabila kredibilitas perusahaan positif. Dari uraian tersebut, dapat dapat diduga bahwa kredibilitas perusahaan dapat mempengaruhi persepsi risiko dan tingkat kepercayaan konsumen untuk membeli (consumer confidence levelof buying). Dengan demikian, maka penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut: 32 H2a: Risiko yang dipandang konsumen melekat pada pembelian produk (persepsi resiko) lebih rendah ketika kredibilitas perusahaan dipandang tinggi daripada ketika kredibilitas perusahaan dipandang rendah. H2b: Tingkat keyakinan konsumen untuk membeli produk akan lebih tinggi ketika kredibilitas perusahaan dipandang tinggi daripada ketika kredibilitas perusahaan dipandang rendah. 1.8.3 Interaksi antara Kredibilitas Selebriti endorser dan Kredibilitas Perusahaan Goldmith (1999) dalam penelitian menunjukan bahwa kredibilitas endorser dan kredibilitas perusahaan memainkan peran penting dalam sikap terhadap iklan dan terhadap merek serta niat pembelian. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara kredibilitas perusahaan dan kredibilitas endorser. Laferty dan Goldmith (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penerima pesan dari juru bicara/ spokesperson yang kredibel mau mempelajari dan mengadopsi pesan karena sang pemberi informasi tersebut dipercaya memberikan penjelasan yang akurat terkait pesan tersebut. Sehingga, juru bicara tersebut dianggap ahli, dan konsumen lebih cenderung untuk menerima/ berfikir positif terhadap iklan dan merek pada pemikiran mereka. Sebaliknya, ketika juru bicara/spokeperson tidak kredibel dalam menyampaikan pesan informasi produk kepada konsumen, maka pesan tersbut akan diterima secara negatif terhadap iklan dan merek. Hal ini dapat diasumsikan bahwa, kebimbangan konsumen akan lebih rendah ketika perusahaan memberikan informasi pesan produk kepada konsumen daripada 33 ketika juru bicara/spoke person yang menyampaikan pesan, perusahaan dianggap lebih informatif dan ahli dari spoke person karena perusahaan tersebut merupakan sumber informasi utama yang lebihmengetahui informasi dari produk yang diproduksinya sendiri. Eisend dan Langner (2010) menyatakan endorser yang kredibel meningkatkan efektivitas iklan. Ketika kredibilitas endorser tinggi, konsumen lebih cenderung menerima argumen yang disajikan dalam iklan, sedangkan mereka cenderung menolak argumen yang berasal dari sumber dengan tingkat rendah kredibilitas (Grewal et al. 1994). Biswas et al., (2006) menyatakan bahwa pada produk high involvement, produk tahan lama, atau produk berorientasi teknologi tinggi, efek endorser ahli dianggap penting daripada selebriti endorser. Hal ini dikarenakan pada kasus produk dengan harga tinggi atau produk berorientasi teknologi tinggi, tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian produk lebih tinggi, serta proses pembelajaran konsumen lebih tinggi dibandingkan proses pengenalan masalah. Petty, Cacioppo dan Schumann (1993) menemukan bahwa pada kategori produk low involvement, status selebriti endorser memberikan pengaruh kuat terhadap persepsi dan sikap terhadap merek. Pada produk high involvement, status selebriti tidak dinyatakan memberi pengaruh kuat terhadap persepsi dan sikap konsumen. Secara umum dapat diasumsikan endorser ahli lebih efektif daripada selebriti endorser dalam menurunkan persepsi risiko. Jika demikian, maka cukup logis jika diajukan simpulan sementara bahwa, pada kasus produk high involvement, peran kredibilitas selebriti endorser menjadi 34 kurang penting dibandingkan peran kredibilitas perusahaan.Sumber kredibilitas terdiri dari kredibilitas selebriti endorser dan kredibilitas. Pada penelitian produk berteknologi tinggi, sumber yang dianggap lebih berpengaruh adalah kredibilitas perusahaan, sehingga kredibilitas dari corporate akan lebih diakui oleh konsumen daripada kredbilitas dari selebriti endorser. Hal ini dikarenakan adanya keterlibatan tinggi konsumen dalam mengevaluasi informasi tidak sebatas kepada kredibilitas endorser, tetapi konsumen akan mengevaluasi informasi lebih jauh sampai kepada kredibilitas perusahaan yang mereka anggap lebih ahli dan lebih dapat dipercaya daripada informasi yang disampaikan oleh endorser dalam menurunkan persepsi resiko. Dengan demikian, maka peneliti mengajukan hipotesa berikut: H3a: Dalam kasus produk berteknologi tinggi, persepsi resiko dipandang lebih rendah ketika kredibilitas endorser rendah tetapi kredibilitas perusahaan tinggi, daripada ketika kredibilitas endorser tinggi tetapi kredibilitas perusahaan rendah. H3b: Dalam kasus produk berteknologi tinggi, tingkat keyakinan konsumen untuk membeli dipandang lebih tinggi pada situasi kredibilitas endorser rendah tetapi kredibilitas perusahaan tinggi, daripada ketika kredibilitas endorser tinggi tetapi kredibilitas perusahaan rendah. 35 Dengan demikian, maka model penelitian ini seperti yang digambarkan berikut: Credibility Perceived Risk Endorser Corporate Consumer Confidence of Buying Gambar 2.1 Model Penelitian