1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Pada dasarnya faktor yang menyebabkan orang menjadi tua dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2007) Perubahan gaya hidup dalam masyarakat terutama diet tidak sehat (asupan lemak jenuh yang meningkat), berkurangnya aktivitas fisik (sedentary lifestyle) menyebabkan masalah kesehatan yang cukup serius, salah satunya adalah penyakit jantung koroner yang disebabkan oleh kadar kolesterol total, LDL (Low Density Lipoprotein) dan trigliserida yang tinggi dan kadar kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang rendah. Penyakit kardiovaskular adalah salah satu peyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat. Pada tahun 1999, diperkirakan lebih dari 12 juta orang menderita penyakit jantung koroner, dan sekitar 960.000 orang meninggal dunia. (AHA, circulation 2003). Penyakit ini diperkirakan memerlukan kompensasi 2 biaya sebanyak $112 millyar, sehingga sangat penting bagi kedokteran masyarakat untuk segera melakukan upaya pencegahan (AHA, circulation 2003). Penyakit yang diakibatkan dislipidemia merupakan masalah yang serius pada negara-negara maju bahkan saat ini juga muncul sebagai penyebab kematian dini dan ketidakmampuan fisik di negara-negara berkembang. Di Indonesia, angka kejadian dislipidemia pada penelitian MONICA (Multinational Monitoring of Trends Determinants in Cardiovascular Diseases) I sebesar 13,4 persen untuk wanita dan 11,4 persen untuk pria. Pada MONICA II (1994) didapatkan meningkat menjadi 16,2 persen untuk wanita dan 14 persen pria (Bahri, 2004). Angka kejadian penyakit kardiovaskular di Indonesia juga cenderung meningkat terlihat dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1992 angka kejadian penyakit kardiovaskular hanya sebesar 16 persen, mengalami peningkatan menjadi 18,9 persen pada SKRT 1995. Hasil Sensus Kesehatan Masyarakat 2001 menunjukkan angka penyakit kardiovaskular meningkat menjadi 26,4 persen (Departemen Kesehatan 2001). Strategi untuk mencegah dan mengobati dislipidemia sangat penting dilakukan untuk mengurangi beban oleh penyakit kardiovaskular secara global (He et al., 2004). Anti-aging medicine adalah cabang ilmu yang senantiasa mencari terobosan baru dalam upaya pencegahan kematian dini dan ketidakmampuan fisik yang disebabkan oleh berbagai penyebab, salah satunya oleh karena dislipidemia. Terapi obat-obatan konvensional sudah diteliti secara luas untuk memperbaiki keadaan dislipidemia, dikenal beberapa golongan menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI), Adult Treatment Panel III (ATP III) 2 3 2001: bile acid sequestrants (kolestiramin, kolestipol, kolesevelam), fibrat (klofibrat, fenofibrat, gemfibrozil), niasin / nicotinic acid (vitamin B3), statin (atrovastatin, fluvastatin, lovastatin, pravastatin, rosuvastatin, cerivastatin, simvastatin), produk kombinasi (lovastatin + niasin, simvastatin + ezetemibe), lain-lain: ezetemibe. Berbagai studi medukung bukti ilmiah obat-obatan di atas secara efektif menurunkan kadar kolesterol serum, tetapi juga menyebabkan berbagai efek sampingan (National Cholesterol Education Program (NCEP) (NHBLI, 2001). Adanya alternatif lain dari produk natural merupakan angin segar yang menumbuhkan harapan untuk pencegahan dengan harga yang lebih murah dan kemungkinan efek samping yang lebih kecil. Adanya dukungan bukti-bukti ilmiah yang cukup kuat bahwa penggunaan bawang putih mungkin bermanfaat pada orang yang mempunyai kadar koleterol darah yang tinggi. Beberapa laporan studi pada manusia menyatakan terjadi penurunan pada kolesterol total darah dan LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai "bad cholesterol" dalam jangka waktu yang singkat (4-12 minggu). Suatu penelitian menjelaskan adanya penurunan rata-rata total kolesterol sebesar -0.77 mmol/l (95% Confidence IntervaI (CI): -0.65, -0.89 mmol/l), dan ini menunjukkan 12% penurunan pada subyek yang memakai terapi bawang putih dibandingkan dengan kelompok plasebo, dimana efek tersebut terlihat dalam kurun 1 bulan setelah terapi dan bertahan selama sedikitnya 6 bulan. (Gardner et at., 2001), tetapi belum diketahui secara jelas efeknya dalam jangka panjang. 4 Sedangkan efek terhadap HDL ( high density lipoprotein) masih belum diketahui secara jelas dan kontroversial (Mayoclinic, 2008). Masih diperlukan banyak penelitian untuk memperjelas efek bawang putih terhadap profil lipid darah secara umum, oleh karena inkonsistensi hasil penelitian terdahulu dimana beberapa laporan studi klinis termasuk meta analisis menemukan efek penurunan kolesterol pada manusia secara signifikan (Kannar et al., 2001, Amagase, 2006), tetapi sebaliknya ditemukan juga publikasi negatif mengenai efek bawang putih terhadap penurunan kolesterol serum (Superko & Krauss, 2000, Turner et al., 2004). Secara logika hal tersebut diperkirakan karena perbedaan komponen yang terbentuk saat pembuatan sediaan bawang putih, kuantitas preparat dan durasi penelitian Penelitian terhadap orang dewasa menyatakan bahwa bawang putih dapat diberikan dalam beberapa bentuk sediaan. Beberapa kepustakan menganjurkan dosis yang berbeda-beda, bergantung dari bentuk sediaan bawang putih yang dipakai. Bubuk bawang putih menurut The European Scientific Cooperative on Phytotherapy (ESCOP, 2003) dianjurkan untuk dikonsumsi 0.5-1.0 gram (sesuai dengan kadar allicin 3-5 mg, atau 6-10 mg aliin) atau setara dengan satu siung bawang putih segar. The World Health Organization (WHO) menganjurkan 2-5 gram bawang putih segar, atau 0.4-1.2 gram bubuk kering, atau 2-5 miligram dalam bentuk minyak, atau 300-1000 mg dalam bentuk ekstrak, ataupun dalam bentuk lain yang setara dengan 2-5 miligram allicin/hari (mayoclinic, 2008). Sedangkan sumber lain menyatakan Sediaan komersial bawang putih minimal mengandung 10 mg alliin atau 5000 µg total potensi allicin dengan bentuk enteric 4 5 coated. Dosis yang dianjurkan untuk bawang putih mentah adalah satu siung yaitu sebanyak 4 gram (Browns, 1995). Pada umumya dosis harian yang dipakai pada kebanyakan studi klinis untuk bubuk kering bawang putih adalah 900 mg, walaupun hubungan dosis dan responsnya masih belum diketahui secara jelas. AGE (aged garlic extract) memiliki efektivitas yang beragam dalam berbagai studi klinis. Terlihat penurunan kolesterol plasma pada pemberian AGE sebanyak 1-7.2 g/hari pada manusia (Steiner, 2001). Bawang putih diperkirakan memiliki efek untuk menurunkan kolesterol dengan cara menghambat sintesisnya. Kemungkinan mekanisme penghambatannya melalui dua cara, yaitu: (i) penghambatan pada reaksi enzim hydroxymethylglutaryl-CoA reduktase (suatu rate limiting enzym) dan (ii) penghambatan pada reaksi enzim lain, seperti squalene mono-oksigenase dan lanosterol- 14-demethylase (Pizorno dan Murray, 2000; Gupta dan Porter, 2001) Penelitian ini dilakukan pada tikus dengan pertimbangan sudah ada konversi dosis tikus ke manusia yang rasional, dan untuk memudahkan pengendalian faktor-faktor seperti umur, akitivitas fisik, diet, obat-obatan/suplemen dan juga faktor genetik atau keturunan. 1.2 RUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pemberian ekstrak ethanol bawang putih menurunkan kadar kolesterol total pada tikus yang dislipidemia? dapat 6 2. Apakah pemberian ekstrak ethanol bawang putih dapat menurunkan kadar trigliserida pada tikus yang dislipidemia? 3. Apakah pemberian ekstrak ethanol bawang putih dapat putih dapat menurunkan kadar LDL pada tikus yang dislipidemia? 4. Apakah pemberian ekstrak ethanol bawang meningkatkan kadar HDL pada tikus yang dislipidemia? 1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui efek ekstrak ethanol bawang putih untuk memperbaiki profil lipid secara umum pada tikus yang dislipidemia 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui pemberian ekstrak ethanol bawang putih menurunkan kadar kolesterol total pada tikus yang dislipidemia 2. Mengetahui pemberian ekstrak ethanol bawang putih menurunkan kadar trigliserida pada tikus yang dislipidemia 3. Mengetahui pemberian ekstrak ethanol bawang putih menurunkan kadar LDL pada tikus yang dislipidemia. 4. Mengetahui pemberian ekstrak ethanol bawang putih meningkatkan kadar HDL pada tikus yang dislipidemia. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Memberikan informasi ilmiah mengenai peranan ekstrak ethanol bawang putih dalam memperbaiki profil lipid darah 6 7 2. Mendukung pengembangan penelitian untuk menggunakan bahan-bahan natural dalam pencegahan dan pengobatan dislipidemia dalam usaha untuk memperlambat penuaan dan kematian dini akibat penyakit yang berhubungan dengan dislipidemia. 3. Apabila ekstrak ethanol bawang putih terbukti dapat memperbaiki profil lipid darah maka hasil penelitian dapat disosialisasikan dalam masyarakat sebagai alternatif pencegahan dan pengobatan dislipidemia 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan dari metabolisme lipoprotein, yaitu overproduksi ataupun defisiensi dari lipoprotein tertentu. Dislipidemia dapat bermanifestasi dengan peningkatan konsentrasi total kolesterol, low density lipoprotein (LDL) dan trigliserida, serta penurunan high density lipoprotein (HDL) dalam darah. Kebanyakan dislipidemia yang terjadi adalah hiperlipidemia dimana terjadi peningkatan lipid darah, biasanya berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup santai (Wikipedia, 2008). Dislipidemia bukanlah penyakit, tetapi lebih tepat disebut sebagai kekacauan metabolik yang mungkin adalah akibat sekunder dari beberapa macam penyakit dan dapat berperan serta dalam terjadinya berbagai macam penyakit, yang terutama adalah penyakit kardiovaskular (Wikipedia, 2008). Peningkatan kolesterol biasanya tidak menyebabkan gejala yang spesifik pada awalnya. Terkadang dapat kita temukan gejala fisik yang spesifik seperti: xanthoma (penebalan tendon oleh karena akukumulasi kolesterol), xanthelasma palpabrum (bercak-bercak kuning di sekitar kelopak mata) dan archus senilis (perubahan warna menjadi keputihan di sekitar kornea) (Wikipedia, 2008). Terjadinya dislipidemia dalam jangka waktu panjang menyebakan terjadinya atheroskeloris, yang biasanya berdampak sebagai penyakit kardiovaskular seperti: angina pectoris, myocardial infarction, TIA (Transient Ischemic attacks), Stroke, PAD (Peripheral Artery Diseases) (Grundy, et al., 2004). 8 9 Kolesterol adalah zat seperti lemak (lipid) yang terdapat dalam sel membran dan merupakan prekursor dari semua steroid yang ada dalam tubuh termasuk asam empedu, kortikosteroid, vitamin D, dan hormon seks. Kolesterol beredar dalam darah dalam bentuk partikel kecil yang berbeda-beda yang mengandung lipid dan protein (lipoprotein). Ada beberapa lipoprotein yang ditemukan dalam darah yaitu : kilomikron, low density lipoproteins (LDL), high density lipoproteins (HDL), dan very low density lipoproteins (VLDL). Ada juga lipoprotein yang disebut sebagai intermediate density lipoprotein (IDL) yang berada di antara VLDL dan LDL, dimana biasanya termasuk dalam pengukuran LDL. Kolesterol LDL kurang lebih sebanyak 60-70 persen dari total serum kolesterol, mengandung apolipoprotein tunggal yaitu apo B-100 (apo B), dimana LDL merupakan lipoprotein yang paling bersifat aterogenik dan telah lama ditetapkan oleh NCEP sebagai target utama terapi penurunan kolesterol. Kolesterol HDL biasanya 20-30 persen dari total serum kolesterol. Lipoprotein utama yang terkandung dalam HDL adalah Apo A-I dan Apo A-II. Kolesterol HDL berkorelasi terbalik dengan risiko penyakit kardiovaskuler. Beberapa bukti mengindikasikan bahwa HDL mencegah aterosklerosis atau nonaterogenik. Kadar HDL yang rendah seringkali merefleksikan adanya faktorfaktor aterogenik yang lainnya. VLDL merupakan lipoprotein yang kaya trigliserida,merupakan 10-15 persen dari total serum kolesterol. Apolipoprotein yang utama dalam VLDL adalah apo B-100, apo Cs (C-I, C-II, and C-III), dan apo E. VLDL diproduksi dalam hepar 10 dan merupakan perkursor dari LDL. VLDL remnant merupakan bentukan VLDL yang bersifat aterogenik (mirip dengan LDL) dimana VLDL remnant ini mengandung VLDL yang mengalami degradasi parsial dan mengandung kolesterol ester yang relatif tinggi. IDL sebenarnya termasuk dalam lipoprotein remnant walaupun secara klinis pengukuran IDL biasanya dimasukkan kedalam pengukuran LDL. Kilomikron yang merupakan lipoprotein kelas ke-4 merupakan lipoprotein yang kaya trigliserida. Kilomikron terbentuk dalam usus setelah konsumsi makanan berlemak. Apolipoprotein yang ada dalam kilomikron sama dengan yang ada dalam VLDL, hanya saja apo B-48 yang ditemukan (bukan apo B-100 seperti yang ada pada VLDL). Kilomikron remnant yang merupakan kilomikron yang mengalami degradasi parsial kemungkinan bersifat aterogenik Trigliserida tidak larut dalam darah, dan tidak bersirkulasi bebas dalam darah. Trigliserida bersirkulasi dalam bentuk kilomikron dan pre-beta lipoprotein (very low density lipoproteins [VLDL]). Sekitar 80% kilomikron dan 55% pre-beta lipoprotein merupakan trigliserida. Total kolesterol yang tinggi merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam timbulnya penyakit kardiovaskular, semakin tinggi kadar total kolesterol maka semakin tinggi risiko untuk terjadinya penyakit pembuluh darah jantung, sebaliknya dengan menurunkan kadar kolesterol total yang tinggi akan mengurangi risikonya (Kumar & Clark, 2009). Kolesterol dianalisis dengan cara pemeriksaan dengan metode kolesterol oksidase, trigliserida dianalisis dengan cara metode ensimatik setelah terjadi 10 11 hidrolisis dan pelepasan gliserol. HDL diukur sebagai kolesterol pada supernatant yang terdapat pada serum setelah terjadi presipitasi dari lipoproteinlipoprotein lainnya dengan kombinasi kation polianion-divalen seperti phospotungstate-Mg++ atau heparin-Mn++. LDL dapat diukur secara tidak langsung dengan perhitungan rumus persamaan Friedewald, yaitu : LDL (mmol/l) = kolesterol total - [(trigliserida/5) + HDL)]. Dimana rumus di atas berlaku apabila trigliserida tidak melebihi dari 400 mg/dL atau 4,516 mmol/L (Grundy et al., 2004) Berikut adalah klasifikasi kadar kolesterol pada manusia yang dikutip dari ATP III (Adult Treatment Panel III) yang ditetapkan oleh National Cholesterol Education Program, National Institutes of Health, Lung and Blood Institutes, 2002 : Tabel 1.1 Klasifikasi Total kolesterol dan LDL kolesterol menurut ATP III, 2002 12 Tabel 1.2. Klasifikasi serum trigliserda menurut ATP III, 2002 Tabel 1.3. Klasifikasi HDL Kolesterol menurut ATP III, 2002 2.2 Hubungan Kolesterol dengan Aterosklerosis pada Proses Penuaan Ketertarikan para peneliti untuk berjuang menemukan obat-obat penurun kolesterol disebabkan karena peranan kolesterol sebagai etiologi yang menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan predisposisi terjadinya infark miokardium, trombosis serebri, iskemik gangren pada ekstremitas, dan beberapa penyakit serius lainnya. Keadaan tersebut ditandai dengan terjadinya infiltrasi kolesterol melalui endothel pembuluh darah arteri sehingga terbentuk akumulasi kolesterol dalam tunika intima dimana LDL mengalami proses oksidasi. LDL yang teroksidasi bersifat toksik dan akan menimbulkan proses inflamasi. LDL yang teroksidasi kemudian masuk kedalam makrofag, mengubah makrofag menjadi foam cells dalam dinding arteri. Hal 12 13 tersebut kemudian diikuti dengan perubahan secara berantai yang melibatkan selsel platelet, makrofag, sel otot polos, growth factors, dan mediator-mediator inflamasi sehingga menyebabkan terbentuknya lesi-lesi proliferatif yang pada akhirnya menjadi ulcerative dan dapat mengalami kalsifikasi. Lesi-lesi yang terbentuk menyebabkan pembuluh darah distorsi sehingga menjadi kaku. Demikianlah proses yang terjadi pada pembuluh darah pada saat seseorang mengalami proses penuaan. Pada orang-orang yang mengalami peningkatan kadar kolesterol, insiden terjadinya arterosklerosis beserta komplikasinya meningkat. Bahkan sebuah data mengatakan satu dari enam orang yang mengalami serangan jantung koroner langsung mengalami kematian, tanpa ada gejala apapun sebelumnya (Kumar & Clark, 2009). Sudah terbukti dengan menurunkan kolesterol plasma dengan mengontrol diet dan obat-obatan akan memperlambat bahkan membalikkan perkembangan lesi aterosklerotik beserta komplikasinya 2.3 Bawang Putih (Allium Sativum) Bawang putih telah lama menjadi bagian kehidupan masyarakat di berbagai peradaban dunia. Namun belum diketahui secara pasti sejak kapan tanaman ini mulai dimanfaatkan dan dibudidayakan. Awal pemanfaatan bawang putih diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Hal ini didasarkan pada temuan sebuah catatan medis yang berusia sekitar 5000 tahun yang lalu (3000 SM). Dari Asia Tengah kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Santoso, 2000). Bangsa Sumeria telah mengenal bawang putih untuk pengobatan, sekitar tahun 2600–2100 SM. Sedangkan bangsa Mesir Kuno, dalam Codex Ebers (1550 14 SM), mengenal bawang putih sebagai bahan ramuan untuk mempertahankan stamina tubuh para pekerja dan olahragawan. Orang Yahudi kuno mempelajari pemanfaatan bawang putih dari Bangsa Mesir dan menyebarkannya ke semenanjung Arab. Penduduk Romawi diketahui telah lama mengkonsumsi bawang putih terutama, para tentara dan budak. Penduduk Cina dan Korea sudah biasa memanfaatkan bawang putih sebagai obat dan pengusir roh jahat (Banerjee dan Maulik, 2002; Yarnell, 1999). Bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi Kuno sangat memuji khasiat bawang putih dan menggunakannya untuk berbagai macam tujuan. Hippocrates menyarankan penggunaannya untuk mengobati sembelit dan sebagai diuretik. Bawang putih dipercaya dapat meningkatkan stamina para kuli yang membangun piramid, meningkatkan keberanian tentara Romawi dan melawan roh-roh jahat. Teks kuno Charaka-Samhita dari India menyebutkan khasiat bawang putih untuk serangan jantung dan arthritis. Bawang putih juga masuk dalam catatan kuno India lainnya, yaitu Bower Manuscript (300 SM) (Banerjee dan Maulik, 2002; Yarnell, 1999). Bawang putih mencapai Eropa beberapa abad sebelum akhirnya dibawa ke Amerika (Yarnell, 1999). Kapan tanaman tersebut masuk Indonesia, belum diketahui dengan pasti, diduga dibawa oleh para pedagang dari India, Cina, Arab, dan Portugis pada abad 19. Beberapa laporan studi klinis termasuk meta analisis menemukan efek penurunan kolesterol pada manusia (Kannar et al., 2001, Amagase, 2006). Penemuan – penemuan di atas meningkatkan kesadaran publik mengenai efek penurunan kolesterol yang ditimbulkan oleh bawang putih. Walaupun demikian, 14 15 publikasi yang datang akhir-akhir ini (Superko & Krauss, 2000, Turner et al., 2004) menyatakan tidak semua sediaan bawang putih bersifat hipokolesterolemik. Publikasi negatif ini menyebabkan kebingungan dan keragu-raguan bagi pihak publik maupun akademik. Saat ini alasan mengapa terjadi inkonsistensi di atas masih belum diketahui secara jelas, tetapi secara logika diduga oleh karena perbedaan komponen yang terbentuk pada saat pembuatan sediaan bawang putih, kuantitas preparat dan durasi penelitian. 2.3.1 Morfologi dan ekologi Berikut ini adalah klasifikasi dari tumbuhan bawang putih atau yang dikenal juga sebagai Allium Sativum: Kingdom: Plantae Subkingdom: Tracheobionta Super Divisi: Spermatophyta Divisi: Magnoliophyta Kelas: Liliopsida Sub Kelas: Liliidae Ordo: Liliales Famili: Liliaceae Genus: Allium Spesies: Allium sativum L. Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 3075 cm. Batang yang tampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang 16 terdiri dari pelepah–pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan (Santoso, 2000). Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000; Zhang, 1999). Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–60 cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah daun panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6 tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5 mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3 ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Zhang, 1999). Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu mampu tumbuh di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan 16 17 tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran tinggi berkisar antara 20–25OC dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–30OC (Santoso, 2000). Bawang putih merupakan umbi yang dapat dimakan, merupakan tumbuhan yang termasuk dalam lily family (lilliaceace), berwarna putih susu, yang dapat ditemukan di berbagai negara di dunia. Bawang putih sudah dikenal selama ribuan tahun sebagai tanaman obat, bahkan tercatat dalam sejarah di Yunani dipergunakan oleh seorang dokter yang bernama Galen (130-200 A.D) dan disebut sebagai obat yang sangat mujarab (Mahan & Stump, 2000). Satu siung bawang putih mengandung sekitar 0.2 g protein, 0.01 g lemak, kira-kira 0.001 mg karbohidrat, 0.05 g serat, vitamin A, B1, B2, B3 dan C. Mineral yang terkandung dalam bawang putih adalah Kalium, Fosfor, Natrium, Besi, Magnesium, dan Zinc. Sedangkan selenium dan germanium hanya didapatkan apabila bawang putih ditanam dalam tanah yang tepat. Bawang putih mengandung kadar Sulfur yang tinggi, barangkali merupakan sumber sulfur yang tertinggi dari tanaman. Unsur kimia dari bawang putih merupakan senyawa yang mengandung sulfur, termasuk allicin, diallyl disulfide dan diallyl trisulfide, semua merupakan minyak yang mudah menguap (volatil), serta S-allyl cysteine (SAC), asam amino yang larut dalam air (Murray, 1995). Penggunaan bawang putih yang terbanyak adalah sebagai makanan pelengkap yaitu suatu produk yang mengandung vitamin, mineral, tumbuh-tumbuhan, asam amino, enzim, dan/atau zat lain yang ditujukan untuk melengkapi diet sehari-hari. 18 The U.S. Food and Drug Administration (FDA) mempunyai persyaratan khusus untuk memberi label sebagai dietary supplements dimana bawang putih dianggap sebagai makanan dan bukan sebagai obat ditujukan untuk dislipidemia, penyakit jantung dan tekanan darah tinggi/hipertensi. Bawang putih juga digunakan untuk mencegah beberapa jenis kanker, termasuk kanker lambung dan kolon. Siung bawang putih dapat dimakan mentah ataupun dimasak. Dapat dikeringkan ataupun digiling menjadi bubuk sehingga dapat dijadikan tablet ataupun kapsul. Siung bawang putih mentah dapat digunakan untuk membuat minyak dan ekstrak liquid. Secara ilmiah didapatkan fakta sebagai berikut: a. Beberapa bukti mengindikasikan bahwa konsumsi bawang putih dapat menurunkan kadar kolesterol darah, dimana studi jangka pendek (1-3 bulan) menunjukkan efek yang positif, b. Penelitian pendahuluan memperkirakan bahwa konsumsi bawang putih mungkin memperlambat terjadinya aterosklerosis, c. Bukti-bukti masih meragukan apakah dengan menkonsumsi bawang putih dapat menurunkan tekanan darah, d. Beberapa studi memperkirakan konsumsi bawang putih secara teratur sebagai bagian dari diet sehari-hari mungkin dapat menurunkan risiko terjadinya beberapa jenis kanker. Walaupun masih belum ada clinical trial yang dilakukan untuk membuktikannya, 18 19 e. Beberapa penelitian yang didanai oleh NCCAM belakangan ini termasuk bagaimana bawang putih berinteraksi terhadap beberapa obat2an, dan bagaimana bawang putih dapat mengencerkan darah, f. Dari berbagai penelitian in vitro, ekstrak umbi bawang putih diketahui memilki aktivitas anti-oksidatif (Borek, 2001). Disebutkan dalam beberapa studi bahwa bawang putih menghambat oksidasi LDL kolesterol dimana LDL yang teroksidasi adalah zat yang merusak pembuluh darah, sehingga bawang putih dapat mengurangi plak aterosklerotik, menghambat deposit kalsium yang mengeraskan arteri, mengurangi tekanan darah, menghalangi agregasi platelet yang membentuk gumpalan darah, dan mengurangi homocysteine (suatu asam amino yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan stroke). Bawang putih merupakan tumbuh-tumbuhan yang paling banyak terjual di pasaran Amerika dan merupakan salah satu tumbuhan yang banyak diteliti, terutama 20 tahun terakhir (Leung & Foster, 1996). Penggunaan bawang putih sebagai zat terapeutik yang terbanyak adalah untuk mengobati hiperlipoproteinemia (misalnya: menurunkan kadar serum kolesterol total dan trigliserida), juga sering dipakai sebagai antibiotik (Tyler,1994). 20 2.3.2 Senyawa Kimia dalam Bawang Putih 2.3.2.1 Nonvolatile sulfur containing prekursor pada bawang putih yang masih utuh. Mayoritas senyawa yang mengandung sulfur dalam bawang putih yang masih utuh adalah γ-glutamyl-S-allyl-L-cysteines dan S-allyl-L-cysteine sulfoxides (aliin). Keduanya terdapat dalam jumlah yang banyak sebagai senyawa sulfur, dimana alliin merupakan senyawa utama asam amino yang mengandung sulfur yang tidak berbau, merupakan prekursor dari allicin, methiin, (+)-S-(trans-1propenyl)-L-cysteine sulfoxide dan cycloalliin. Semua sulfoxides di atas, terkecuali cycloalliin, dikonversi menjadi thiosulfinates, misalnya allicin melalui reaksi enzimatik ketika bawang putih 20 21 dipotong atau dihancurkan. Oleh karenanya tidak ada thiosulfinates yang ditemukan pada bawang putih yang masih utuh. γ-Glutamyl-S-allyl-L-cysteines kemudian dikonversi menjadi S-allyl-Lcysteines (SAC) melalui transformasi enzimatik dengan γ-Glutamyltranspeptidase pada saat bawang putih diesktrak dengan pelarut cairan. SAC yang merupakan hasil produk utama dari γ-Glutamyl-S-allyl-L-cysteines merupakan sulfur asam amino yang terdeteksi dalam darah, terbukti sebagai zat yang aktif secara biologis dan bioavailabel. 2.3.2.2 Metabolit sekunder : organosulfur Metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui pembentukan tunas (Amagase et al., 2001). Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna. Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Hernawan & Setyawan, 2003). Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-volatil γ-glutamil-Salk(en)il-L-sistein (1) dan minyak atsiri Salk(en)ilsistein sulfoksida atau alliin (2). Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur di 22 dalam umbi (Zhang, 1999). Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein (1) merupakan senyawa intermediet biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin (2). Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γ-glutamil-Salk(en)il-L-sistein (1), reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S-allil sistein (SAC) (4) (Gambar 1). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allicin (3). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin, ajoene, dan senyawa sulfur lain (Song dan Milner, 2001). Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il- L-sistein (1) berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil – transpeptidase dan γ-glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin (2) (Song dan Milner, 2001). Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis alliin (2) menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat 22 23 (5). Kondensasi asam tersebut menghasilkan allicin (3), asam piruvat, dan ion NH4+ (Gambar 2). Satu miligram alliin (2) ekuivalen dengan 0,45 mg allicin (3) (Zhang, 1999). Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60oC, enzim ini inaktif Asam amino alliin (2) akan segera berubah menjadi allicin begitu umbi diremas (Song dan Milner, 2001). Gambar 2.1 Jalur pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il- L-sistein 24 Gambar 2.2 Reaksi pembentukan allicin Allicin (3) bersifat tidak stabil (Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut, tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan, suhu, dan lain-lain. Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC, akan menghasilkan alliin (2). Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan menghasilkan allicin (3) dan tidak menghasilkan alliin (2). Sedang ekstraksi dengan metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan alliin berubah menjadi senyawa allil sulfida (Zhang, 1999). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan pada suhu kamar. Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-kanker ekstrak umbi bawang putih. Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya 90% kinerja enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001). 24 25 Allicin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7), diallil sulfida (DAS) (8), metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), allil merkaptan (12), dan allil metil sulfida (13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut dalam minyak. Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut nonpolar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene, misalnya E-ajoene (14) dan Z-ajoene (15), serta kelompok dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)1,2-dithiin (17), juga berawal dari pemecahan allicin (3) (Zhang, 1999). Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi bawang putih antara lain, S-propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein (SEC) (19), dan S-metil- sistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organo-selenium dan tellurium, antara lain Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin (22), dan selenosistein (23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam air (Gupta dan Porter, 2001). Beberapa senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-3-O-β-Dglukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-3-O-β- Dglukopiranosa (25) (Kim et al., 2000). Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-(1-deoxy-Dfructose- 1-yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001). 26 26 27 Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15– 20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE (aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan allicin (3) akan menurun dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawa-senyawa baru. Senyawa yang dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan Sallilmerkaptosistein (SAMC) (27) (Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001). Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih dapat pula diolah melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang putih yang banyak digunakan dalam pengobatan. Kandungan kimia minyak atsiri bawang ini secara umum terdiri dari 57% diallil sufida (8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil sulfida. Minyak bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida (6), 19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil disulfida, 8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil trisulfida, 4% pentasulfida, dan 1% heksasulfida. 28 Minyak bawang hasil maserasi mengandung kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g (Banerjee dan Maulik, 2002). 2.3.2.3 Senyawa organosulfur pada proses pembuatan preparat bawang putih a. Pembentukan thiosulfinate Pada saat siung bawang putih dihancurkan maka terbentuklah thiosulfinates seperti misalnya allicin melalui serangkaian reaksi kimia dari sulfur-substituted cysteine sulfoxides, ditempatkan dalam sitoplasma bersamaan dengan alliinase didalam vakuola, melalui sulfur –substituted sulfenic acid sebagai intermediate yang sangat reaktif (gambar 3. Enzymatic reaction of sulfur –substituted cysteine sulfoxides) Selain allicin, terdapat thiosulfinates lainnya seperti allylmethyl-methylallyl-, dan tans-1-propenyl-thiosulfinates didalam peraprat bawang putih. Sifat-sifat mereka tidak stabil serupa dengan allicin. Pada saat allicin disimpan pada suhu 20°C selama 20 jam, ternyata mengalami perubahan menjadi diallyl disulfide (DADS) (66%), diallyl sulfides (DAD) (14%), diallyl trisulfide (9%), dan sulfur dioxide. Allicin sangat mudah bereaksi dengan asam amino dan protein, menghasilkan SH grup. Freeman menemukan bahwa allicin terikat pada protein dan asam lemak dalam membran plasma, oleh karenanya tidak dapat diabsorbsi dan tidak dapat bersirkulasi dalam darah. Pada kenyataannya, tidak ada allicin yang dideteksi dalam darah setelah memakan bawang putih mentah ataupun setelah mengkonsumsi allicin murni. 28 29 Gambar 2.3. Enzymatic reaction of sulfur –substituted cysteine sulfoxides. (Amagase, 2006) Alliinase merupakan enzim kunci yang memfasilitasi transformasi cysteine sulfoxides menjadi thiosulfinates. Enzim tersebut memiliki PH optimal 6,5 dengan S-methyl-L-cysteine sebagai substratnya. Sebagai tambahan, pyridoxal phosphate menstimulasi aktivitas alliinase sebagai kofaktor. Aktivitas alliinase yang tergantung pada PH terlihat pada saat allicin dan thiosulfinates lainnya dilepaskan waktu dilakukan inkubasi serbuk bawang putih dalam larutan buffer PH 2 sampai dengan 10. Thiosulfinates tidak terbentuk pada PH yang lebih rendah dari 3.6, yang merupakan PH normal dalam lambung. Bahkan thiosulfinates tidak pernah terbentuk walaupun larutan tersebut telah dinetralisasi apabila sebelumnya sudah sempat diinkubasi pada PH yang lebih rendah dari 3. Oleh karenanya disimpulkan bahwa alliinase secara keseluruhan dan ireversibel diinhibisi oleh keasaman lambung. Freeman et al. juga melaporkan 30 bahwa tidak ada preparat bawang putih yang mengandung allicin, bahkan allicin tidak terbentuk didalam cairan lambung. Oleh karenanya, allicin seharusnya tidak menjadi struktur kimia yang penting dalam produk preparat bawang putih. Berbagai temuan secara jelas menunjukkan bahwa allicin dalam bawang putih tidak ikut serta berperperan penting pada tubuh manusia. Allicin diketahui sebagai bahan yang bersifat sementara , dan secara cepat terurai menjadi senyawa sulfur lainnya, dan bukan merupakan senyawa penting yang aktif dari bawang putih b. Organosulfur Volatiles Bawang putih yang telah diproses memiliki organosulfur volatiles yang jauh lebih bervariasi dibandingkan dengan siung bawang putih yang masih utuh. Volatiles yang telah berhasil diidentifikasi dalam bawang putih yang sudah dihancurkan dan minyak esensial bawang putih adalah DAS, DADS, diallyl trisulfide, methylallyl disulfide, methylallyl trisulfide, 2-vinyl-4H-1, 3-dithiin, 3vinyl-4H-1, 2-dithiin, dan (E,Z)-ajoenes. Lebih dari 20 sulfides telah dapat diidentifikasi dalam minyak bawang putih, dan kebanyakan dari sulfides tersebut, terutama yang mengandung grup allyl meyebabkan aroma dan rasa bawang putih yang khas pada saat dicerna. Dalam minyak bawang putih mayoritas sulfides adalah DAS (57%), allylmethyl (37%) dan dimethyl (6%), mono – hexasulfides, dan sebagian kecil allyl 1-propenyl dan methyl 1-propenyl di-, tri- dan tetrasulfides. Vinyldithiins merupakan produk yang hasil degradasi allicin pada saat proses pemanasan. Produksi vinyldithiins akan lebih banyak apabila solven yang kurang polar seperti misalnya hexane digunakan sebagai pelarut. Vinildithiins terutama 2- 30 31 vinyl-4H-1,3 dithiin sangat banyak ditemukan pada bawang putih yang telah dimaserasi dengan minyak. Apitz-Castro et al yang pertama kali melakukan isolasi ajoene dari ekstrak bawang putih, dimana ajoene merupakan zat antitrombotik yang poten. Dikatakan bahwa ajoene terbentuk dari S-thioallylation yang berasal dari allicin., selain itu juga didapatkan juga senyawa organosulfur yang menyerupai ajoene yaitu E-4,59-tritriadeca-1,7-diene-9-oxide yang diisolasi dari maserasi minyak bawang putih (Amagase, 2006). c. Senyawa organosulfur yang larut air Ekstrak bawang putih dengan air ataupun alkohol mempunyai kandungan utama S-allyl-L-cysteines yang berasal dari γ-glutamyl-S-allyl-L-cysteines (gambar 4). S-allyl-L-cysteines (SAC) dan trans-S-1-propenyl-L-cysteine (SIPC), bersamaan dengan sejumlah kecil S-methyl-L-cysteine ditemukan dalam ekstrak bawang putih seperti AGE. Derivat cysteine ini tidak berwarna, tidak berbau dan stabil dalam keadaan padat ataupun cair, pada kondisi yang netral maupun asam. SAC memberikan proteksi terhadap oksidasi, radikal bebas, kanker dan penyakit kardiovaskular. Terlebih lagi ternyata S-allylmercapto-L-cysteine yang secara in vivo memiliki efek hepatoproteksi, ternyata memiliki sifat proteksi kanker prostat pada manusia, dan juga bersifat antioksidan secara in vitro. Dimana senyawa di atas merupakan senyawa khas yang terdapat dalam AGE. 32 Gambar 2.4 Variasi dari S-allylcysteines yang berasal dari γ-glutamylS -allyl L-cysteines. (Amagase, 2006) 2.3.2.4 Komponen non-sulfur, steroid saponin Saponin memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu apabila dikocok dengan air akan membentuk busa yang bersifat stabil, memiliki aktivitas hemolitik dan bercita rasa pahit. Saponin digolongkan menjadi dua, yaitu triterpenoid saponin dan steroid saponin berdasarkan struktur molekuler aglycone. Triterpenoid saponin dapat ditemukan pada beberapa obat-obatan herbal yang lain seperti ginsenosides pada ginseng dan glycyrrhizin pada licorice. Steroid saponin kemudian dipisahkan lagi menjadi furostanol dan spirostanol saponin. Steroid saponin dan sapogenins dapat dianggap sebagai marker kimia yang dapat dipercaya pada sediaan bawang putih selain sediaan yang berbentuk minyak. Sebuah penelitian menyatakan bahwa efek penurunan kolesterol pada bawang putih kemungkinan disebabkan oleh saponin (Amagase, 2006). Studi lain melaporkan bahwa fraksi crude glycoside (Matsuura H, 2001 and Slowing et al., 2001) dari ekstrak metanol bawang putih, yang mengandung spirostanol saponin yang diproduksi dari konversi furostanol saponins melalui b-glucosidase melalui 32 33 b-glucosidase, menurunkan total plasma kolesterol dan LDL kolesterol tanpa merubah kadar HDL pada binatang yang dislipidemia. Saponin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan terbukti dapat menghambat absorbsi kolesterol pada hewan percobaan, sehingga menurunkan kadar kolesterol plasma. Beberapa senyawa kimia lain dalam bawang putih seperti allicin dan organo-selenium diduga bekerja secara sinergis dengan senyawa organosulfur untuk menimbulkan efek biologis termasuk penurunan kadar kolesterol. 2.3.3 Bioavailabilitas dan metabolisme dari senyawa organosulfur Bioavailabilitas komponen-komponen kimia yang aktif didalam tubuh sangat penting untuk diketahui, tetapi data yang didapatkan dari studi preklinis dan klinis masih sangat terbatas mengenai bagaimana bawang putih diabsorbsi, metabolisme dan distribusinya didalam tubuh. a. Aliin Pada penelitian dengan mencit, 10 menit setelah diberikan alliin peroral (10mg/mencit), alliin diobservasi terdapat dalam perut (7.2%), usus (22.4%), dan liver (2.5%) tanpa pembentukan allicin beserta produk degradasinya seperti DADS, vinyl dithiins dan allyl-SS conjugated compounds. Dalam penelitian yang lain, alliin menunjukkan konsentrasi plasma yang lebih rendah dengan bioavailabilitas 16.5% dalam 4 jam setelah diberikan peroral 60mg/kg pada tikus (Amagase, 2006). Dalam sebuah studi farmakokinetik yang menggunakan Slabelled alliin, ternyata 60-70% diabsorbsi pada tikus. Ditemukan bahwa alliin bersamaan dengan DADS terdeteksi dalam cairan jaringan setelah melalui jaringan hepar pada tikus, dimana allicin tidak ditemukan. Temuan di atas 34 mengindikasikan bahwa alliin tidak pernah dikonversi menjadi allicin didalam tubuh dan akan dimetabolisme menjadi berbagai macam senyawa organosulfur seperti DADS oleh enzym dalam hepar (Amagase 2006). b. Allicin. Belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui absorbsi allicin dalam saluran cerna. Freeman et al. melaporkan bahwa allicin secara cepat yaitu dalam beberapa menit menghilang dari peredaran darah dimana DAS dan allylmercaptan dibentuk. Pada saat allicin tecampur dalam darah in vitro, hampir semuanya menghilang dalam beberapa menit karena allicin terikat pada protein dari sel darah merah dan langsung mengoksidasinya. Diperkirakan allicin yang dikunyah dalam mulut, akan segera terikat dalam lumen dan terperangkap didalamnya sehingga pada saat siung bawah putih dikunyah akan terasa aroma yang tajam dalam mulut. Oleh karenanya allicin tidak akan melewati membran saluran cerna melalui serosa untuk masuk kedalam peredaran darah. Egen- Schwind et al. melaporkan first pass effect yang luar biasa pada jaringan hepar tikus yang dilakukan perfusi yang terisolasi. DADS segera terbentuk setelah diinfus dengan allicin konsentrasi rendah. Kemudian ditemukan pembentukan allylmercaptan dalam cairan empedu dan juga dalam jaringan hepar. Tidak ditemukan allicin dalam hepar. Sehingga disimpulkan bahwa allicin bukan merupakan komponen bawang putih yang secara biologis aktif. Meskipun allicin dilaporkan akan mengalami metabolisme menjadi allyl methyl sulfoxide (AMS) dan dilepaskan bersamaan dengan nafas, belum diketahui jelas konsentrasi dalam darah dan bioavaibilitasnya. Oleh karenanya AMS belum 34 35 dinyatakan sebagai hasil metabolisme aktif dari allicin. Tidak dapat dibuktikan bahwa allicin dan AMS merupakan senyawa aktif atau dianggap dapat mewakili akitivitas biologis bawang putih secara keseluruhan. c. Organosulfure volatiles. DASs dan vinyldithiins merupakan komponen utama dari minyak bawang putih dan preparat yang memakai teknik maserasi dengan minyak. d. S-Allyl-L-cysteine. SAC merupakan senyawa organosulfur yang larut dalam air, konsentrasinya terus meningkat pada proses ekstraksi yang lama menggunakan media cairan. Farmakokinetik SAC telah diketahui secara pasti in vivo. SAC terdeteksi dalam darah, pada hewan percobaan konsentrasi dan parameter farmakokinetik nya sangat berhubungan dengan dosis peroral SAC. Ditemukan hasil metabolisme SAC yang signifikan dalam urine yaitu sebagai N-acetyl-S-allyl-L-cysteine. Ini menunjukkan bahwa SAC dapat berubah menjadi hasil metabolisme N-acetylated oleh N-acetyltransferse dalam tubuh. Bioavaibilitas SAC adalah 103.0% pada mencit, 98.2% pada tikus. Karena SAC ditemukan pada berbagai preparat bawang putih dan memiliki banyak efek, selain dari bioavaibilitasnya yang tinggi maka dipastikan bahwa SAC merupakan zat aktif dalam preparat bawang putih. SAC dianggap mempunyai peranan dalam aktivitas biologis yang ditimbulkan oleh bawang putih. Standarisasi preparat bawang putih menggunakan SAC sebagai marker kimia dianggap benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. 2.3.4 Bawang putih sebagai anti kolesterol dan anti aterosklerosis 36 Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis. Tahapan pengujian, penelitian, dan pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh generasi di masa depan. Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam tabung kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan aktivitas biologi dari senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan kemungkinan efek sampingnya. Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai antidiabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, anti-aterosklerosis, anti-oksidan, antiagregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, anti-virus, antimikrobia, dan anti-kanker. Bawang putih dapat mengurangi pembekuan darah dan mengurangi tekanan darah, sehingga penting dalam terapi penyakit kardiovaskuler. Allicin dan adrenosin merupakan kandungan anti-platelet paling penting dalam bawang putih (Hernawan & Setyawan, 2003). Minyak bawang putih yang diberikan kepada pasien penyakit jantung koroner dapat menghambat agregasi platelet secara in vivo. Pemberian bawang putih dengan dosis rendah menghambat agregasi platelet tersebut (Bordia et al., 1996). 36 37 Dithiin (16- 17) dan ajoene memiliki sifat-sifat antitrombik, bahkan ajoene kini dikembangkan untuk obat gangguan tromboembolik (Hernawan & Setyawan, 2003). Dithiin dan ajoene menurunkan kecepatan pembekuan darah karena bersifat antikoagulasi. Hal ini secara langsung dapat mengurangi risiko stroke dan penyakit kardiovaskuler (Jesse et al., 1997). Bawang putih dapat menaikkan fungsi kardiovaskuler karena dapat menjaga serangan hiperkolesterolemik, aterosklerosis, ischemia reperfusi, arrhythmia, dan infarksi. Radikal bebas merupakan penyebab utama penyakit ini dan antioksidan tampaknya dapat mengimbangi hal ini karena dapat memburu radikal bebas ini (Prasad et al., 1996). Suatu keadaan dimana kadar lemak dalam darah mengalami kenaikan melebihi batas normal disebut hiperlipidemia. Keadaan ini biasa dihadapi oleh seseorang yang mengalami masalah kegemukan. Dislipidemia meliputi dua kondisi yaitu, hiperlipidemia (kolesterol tinggi) dan hipertrigliseridemia (trigliserida tinggi). Keduanya memicu aterosklerosis dan mempertinggi risiko penyakit kardiovaskuler (Barnes, 2002). Penelitian yang menguji khasiat umbi bawang putih untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah telah dilakukan pada hewan percobaan dan manusia. Dari berbagai penelitian tersebut, diketahui pemberian ekstrak umbi bawang putih dengan kandungan 10 mg alliin (2) dan/atau 4000 μg allicin (3) dapat menurunkan kadar kolesterol total serum antara 10-12%; kolesterol LDL turun sekitar 15%; kolesterol HDL naik sekitar 10%; dan trigliserida turun 15% (Berthold et al., 1998; Pizorno dan Murray, 2000; Zhang et al., 2001; Yeh dan Liu, 2001). 38 Dalam beberapa studi meta analisis terhadap pasien yang mempunyai kadar kolesterol melebihi 200 mg/dL, dengan mengkonsumsi suplemen bawang putih 900mg/hari (setara dengan 0.5 sampai 1 siung bawang putih perhari) menurunkan kadar total serum kolesterol sebanyak kurang lebih 9% (Warshafsky et al., 2004). Suatu penelitian menjelaskan adanya penurunan rata-rata total kolesterol sebesar -0.77 mmol/l (95% CI: -0.65, -0.89 mmol/l), dan ini menunjukkan 12% penurunan pada subyek yang memakai terapi bawang putih dibandingkan dengan kelompok plasebo, dimana efek tersebut terlihat dalam kurun 1 bulan setelah terapi dan bertahan selama sedikitnya 6 bulan (Silagi & Neil, 1994). Senyawa SAC (4), SPC (18) dan SEC (19) pada konsentrasi 2–4 mmol/liter mampu menghambat kecepatan sintesis kolesterol antara 40–60%, sedangkan γglutamil-S-alk(en)il-L-sistein (1) mampu menghambat kecepatannya hingga 20– 35%. Kelompok senyawa allil sulfida, yakni DADS (6), DATS (7), DAS (8), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), dan allil metil sulfida (13) pada konsentrasi 0,05–0,5 mmol/liter mampu menghambat 10–15%. Sedangkan alliin (2) tidak menunjukkan aktivitas penghambatan (Yeh dan Liu, 2001). Ekstrak segar umbi bawang putih 1 g/L menunjukkan 50% inhibitory concentration (IC50) pada aktivitas enzim squalene mono-oksigenase. Enzim tersebut merupakan enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol. Senyawa yang menunjukkan aktivitas penghambatan adalah selenosistein (23) (IC50 = 65 mmol/L), SAC (4) (IC50 = 110 mmol/L), alliin (2) (IC50 = 120 mmol/L), DATS (7) (IC50 = 195 mmol/L), dan DADS (6) (IC50 = 400 mmol/L). Reaksi penghambatan kerja enzim tersebut bersifat ireversibel (Gupta dan Porter, 2001). 38 39 Penelitian secara in vitro menggunakan hepatosit menunjukkan senyawa organosulfur bawang putih menghambat biosintesis kolesterol. Namun, tahap biosintesis yang lebih detail belum diketahui. Kemungkinan mekanisme penghambatannya melalui dua cara, yaitu: (i) penghambatan pada reaksi enzim hydroxymethylglutaryl-CoA reduktase (suatu rate limiting enzym) dan (ii) penghambatan pada reaksi enzim lain, seperti squalene mono-oksigenase dan lanosterol- 14-demethylase (Pizorno dan Murray, 2000; Gupta dan Porter, 2001). Aterosklerosis merupakan penyempitan pembuluh darah karena lemak. Oleh karena itu, hubungan aterosklerosis dengan fungsi metabolisme lemak sangat erat. Kelainan metabolisme lemak, seperti hiperlipidaemia, dapat mempertinggi risiko aterosklerosis. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa ekstrak umbi bawang putih dapat menekan terjadinya aterosklerosis (Yarnell, 1999). Perlakuan ekstrak umbi bawang putih selama 2 tahun dapat menjaga elastisitas aorta sukarelawan pada berbagai kelompok umur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kecepatan denyut nadi atau PWV (pulse wave velocity) dan resistensi pembuluh elastis (EVR/elastic vascular resistance) yang secara signifikan lebih rendah dari kontrol, baik pada kondisi tubuh istirahat maupun bekerja (Breithaupt-Grogle et al., 1997). Ekstrak AGE dapat mengurangi 64% area dalam aorta yang tertutup oleh lemak dan secara signifikan menurunkan kadar kolesterol. Ekstrak AGE juga dapat mengurang penebalan dinding aorta sampai 50%, mencegah perubahan fenotipe dan proliferasi jaringan otot polos pembuluh darah, dan mengurangi akumulasi lemak pada kultur makrofag. Mekanisme aktivitas biologi tersebut berkaitan 40 dengan pengaruh umbi bawang putih terhadap metabolisme kolesterol (Campbell et al., 2001). Gambar 2.5. Inhibisi negatif pada cholesterolgenic pathway oleh derivat-derivat bawang putih. Suatu mekanisme dimana senyawa kimia bawang putih meregulasi mundur HMG-CoA reduktase melalui inhibisi sterol 4-methyl oxydase. Hanya beberapa intermediate kolesterol yang ditampilkan dalam gambar. (Singh & Porter, 2006) Inhibisi sintesa kolesterol diduga sebagai mekanisma utama yang menyebabkan bawang putih dapat menurunkan kadar kolesterol darah, walaupun tetap diperkirakan ada mekanisma lain yang turut berperan juga. Sebenarnya telah ada beberapa studi yang meneliti tentang efek bawang putih terhadap sintesa kolesterol pada binatang. Studi-studi tersebut khusus mempelajari penurunan 40 41 aktivitas HMG-CoA reduktase. Karena HMG-CoA reduktase mengalami regulasi mundur oleh isoprenoid dan intermediate-intermediate sterol (Sever et al., 2003 & Song et al., 2005), maka dapat diharapkan bahwa inhibisi dari enzim enzim yang bersifat kolesterolgenik akan menyebabkan akumulasi dari satu atau lebih intermediate yang dapat menyebabkan terjadinya feed back mengurangi aktivitas HMG-CoA reduktase. Kesimpulannya adalah bawang putih menghambat sterol 4a-methyl oxidase sudah sesuai dengan teori tersebut, dimana 4-dimethylated sterols, termasuk lanosterol dan dimethylzymosterol, secara jelas mempercepat degradasi HMG-CoA reduktase melalui Insig-mediated pathway (Song et al., 2005). Penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan untuk menentukan apakah senyawa organosulfur yang berasal dari bawang putih menghambat purified sterol 4a-methyl oxidase dan apakah bawang putih secara efektif menghambat enzim ini secara in vivo. 2.3.4.1 Penurunan kolesterol pada studi klinis Setelah dilakukan meta-analisis, didapatkan kesimpulan bahwa bubuk bawang putih yang dikeringkan tidak efektif untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Mulrow et al., 2000). Masih belum ditemukan alasan yang jelas mengapa terjadi ketidaksamaan dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan efek penurunan kolesterol dari bawang putih. Standarisasi bawang putih menggunakan allicin sebagai pertanda potensi atau kekuatan sediaan bawang putih adalah tidak tepat karena allicin memiliki bioavaibilitas yang sangat rendah sehingga tidak dapat dikatakan sebagai senyawa yang aktif dalam bawang putih. Dengan adanya studi-studi yang bersifat negatif di atas dan publikasi media 42 terhadap hasil penelitian yang kurang mendukung maka terjadi kebingungan dan skeptisme/keragu-raguan dalam masyarakat (Amagase, 2006). Hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan konsumsi suplemen bawang putih yang sebenarnya memiliki keuntungan untuk kesehatan, terutama dalam masyarakat yang mempunyai risiko penyakit tinggi. Penelitian meta-analisis di atas ternyata tidak termasuk beberapa studi klinis yang meneliti efek AGE terhadap kolesterol. AGE mempunyai hasil yang konsisten terhadap penurunan kadar kolesterol dan penurunan risiko penyakit kardiovaskular (Budoff et al., 2004). Dalam beberapa dari studi-studi di atas, kadar SAC dalam darah diukur sebagai marker pada subyek penelitian. Kadar SAC dalam darah subyek yang menkonsumsi suplemen secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan grup plasebo (Steiner, 2001), maka jelaslah bahwa SAC bioavailabel karena diserap dalam darah dan oleh karenanya aktif dalam tubuh. Dengan adanya senyawa SAC, maka dapat dilakukan standarisasi produk bawang putih karena dapat dilakukan pengukuran yang konsisten. 2.3.5 Hasil metabolisme bawang putih setelah dikonsumsi oleh manusia Penelitian mengenai hasil metabolisme bawang putih setelah dikonsumsi pada manusia masih sangat terbatas. Dalam sebuah penelitian dilaporkan setelah mengkonsumsi parutan bawang putih, terjadi 2 peningkatan, identik dengan allylmercaptan dan DADS dengan menggunakan analisa GC-MS terdeteksi dalam nafas manusia tanpa adanya senyawa organosulfur volatil yang lainnya. Tidak terdeteksi allicin dalam serum and urine dari 1-24 jam, walaupun setelah mengkonsumsi bawang putih mentah sebanyak 25 g yang mengandung allicin 42 43 dalam jumlah sangat signifikan. Rosen et al. menunjukkan bahwa allicin mengalami dekomposisi dalam lambung, dan dilepaskanlah DAS, DADS, dan volatil lainnya yang dipostulasikan akan mengalami proses menjadi AMS oleh glutathione ataupun S-adenosylmethionine. AMS kemudian dilepaskan dalam nafas. Senyawa lain hasil metabolisme dari bawang putih seperti N-acetyl-S-(2carboxypropyl)-cysteine dan N-acetyl-S-allylcysteine, tedeteksi dalam urine manusia setelah mengkonsumsi bawang putih. Dari bukti-bukti di atas maka Nacetyl-S-(2-carboxypropyl)-cysteine dan N-acetyl-S-allylcysteine dapat digunakan sebagai marker pada penelitian dengan manusia yang menggunakan bawang putih karena senyawa tersebut bersifat stabil dan mudah untuk dianalisis (Amagase, 2006). 2.3.6 Sediaan bawang putih yang tersedia secara komersial Terdapat banyak macam sediaan bawang putih yang kita temukan pada farmasi dan toko obat natural, dimana pada umumnya dibedakan menjadi: garlic essensial oil, garlic oil macerate, garlic powder (bubuk bawang putih), dan garlic extract (ekstrak bawang putih). Proses pembuatan sediaan bawang putih berperan penting untuk mementukan karakteristik kimia, efikasi dan keamanan dari sediaan tersebut. Telah diketahui secara pasti bahwa proses ekstraksi pada umumnya akan meningkatkan potensi dan bioavaibilitas berbagai sediaan mentah tumbuhtumbuhan termasuk juga bawang putih. Preparat bawang putih yang terbanyak digunakan dalam penelitian adalah AGE, dimana perparat ini telah terbukti memiliki efikasi yang lebih besar dan konsisten juga lebih aman dibandingkan dengan preparat bawang putih yang lainnya. 44 Sediaan komersial bawang putih minimal mengandung 10 mg alliin atau 5000 µg total potensi allicin dengan bentuk enteric coated. Dosis yang dianjurkan untuk bawang putih mentah adalah satu siung yaitu sebanyak 4 gram (Brown, 1995). Pada umumya dosis harian yang dipakai pada kebanyakan studi klinis untuk bubuk kering bawang putih adalah 900 mg, walaupun hubungan dosis dan responsnya masih belum diketahui secara jelas. AGE memiliki efektivitas yang beragam dalam berbagai studi klinis. Terlihat penurunan kolesterol plasma pada pemberian AGE sebanyak 1-7.2 g/hari pada manusia (Steiner, 2001). Dipercaya bahwa beberapa zat kimia yang larut dalam air, termasuk Sallylcysteine (SAC), kemungkinan berperan dalam menurunkan toksisitas ekstrak bawang putih. Proses ekstraksi yang dilakukan dengan pelarut hidroalkoholik mempunyai toksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan sediaan mentah bawang putih (Amagase et al., 2001). 2.3.7 Kontraindikasi, efek samping dan toksisitas Belum ada risiko kesehatan yang dilaporkan selama ini untuk orang normal yang mengkonsumsi bawang putih dalam jumlah sedang (Murray, 1995). Konsumsi bawang putih sebanyak lima siung atau lebih dapat menimbulkan nyeri ulu hati atau flatulence. Efek samping lainnya adalah reaksi alergi ringan, dermatitis dan keluhan gastrointestinal (Tyller, 1994). Bawang putih memperpendek waktu pembekuan sehingga harus dipergunakan secara berhatihati apabila mengkonsumsi aspirin atau antikoagulan lainnya secara bersamaan. Dalam suatu penelitian disebutkan LD50 allicin pada mencit adalah 60 mg/kg apabila diberikan secara intravena, dan 120 mg/kg apabila diberikan secara 44 45 subkutaneus. Peneliti lain melaporkan sediaan ekstrak ethanol bawang putih 14,5% mempunyai nilai LD50 pada tikus dan mencit 30 ml/kg apabila diberikan secara peroral (ESCOP 2003). Yang menarik dari penelitian menggunakan AGE, ternyata tidak dilaporkan adanya efek samping yang parah walaupun dosis yang diberikan tinggi. AGE sudah diteliti pada beberapa clinical trial dan ternyata tidak mempunyai kontraindikasi dengan beberapa obat-obatan seperti warfarin, aspirin, statin, adriamycine/doxorubicin, 5-fluorouracil/methotrexate, dll. Dengan cara pembuatan AGE, toksisitas dan karakteristik merugikan dari bawang putih dihilangkan, sehingga dapat dikombinasi dengan obat-obatan yang lain tanpa efek samping yang tidak diharapkan. 2.4 Hewan Coba Tikus (Rattus Norvegicus) 2.4.1 Penggunaan tikus (Rattus Norvegicus) di laboratorium Penggunaan tikus atau rat (Rattus Norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam peneilitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar lebih besar dari famili tikus umumnya dimana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus 46 jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004). Berikut ini adalah data biologis tikus laboratorium: Lama hidup : 2-3 tahun bisa mencapai 4 tahun Lama produksi ekonomis : 1 tahun Lama bunting : 20-22 hari Kawin sesudah beranak : 1-24 jam Umur disapih : 21 hari Umur dewasa : 40-60 hari Umur dikawinkan : 10 minggu (jantan dan betina) Berat badan dewasa : 300-400 g jantan, 200-250 g betina Suhu (rektal) : 36-39 oc Denyut jantung : 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan anastesi, naik sampai 550 dalam stres Volume darah : 57-70 ml/kg Kolesterol serum : 10 – 54 mg/100ml 2.4.2 Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ngatidjan, 2006) antara lain: a. Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi, 46 47 b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus (suhu, kelembaban dan kecepatan pertukatan udara yang ekstrim harus dihindari), c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus adalah 600 cm2, tinggi 20 cm, d. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang 48 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Dislipidemia adalah keadaan dimana terjadinya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah. Keadaan ini bukanlah penyakit, tetapi lebih tepat disebut sebagai kekacauan metabolik yang mungkin adalah akibat sekunder dari beberapa macam penyakit dan dapat berperan serta dalam terjadinya berbagai macam penyakit, yang terutama adalah penyakit kardiovaskular. Kadar kolesterol tinggi dalam darah disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama dipengaruhi oleh faktor eksogen yang meliputi pola makan, aktivitas fisik, gaya hidup, suplementasi, obat-obatan, walaupun ada faktor endogen yaitu fisiologi, hormonal, familial genetik, stress, status gizi, umur, dll. Penelitian secara in vitro menggunakan hepatosit menunjukkan senyawa organosulfur bawang putih menghambat biosintesis kolesterol. Namun, tahap biosintesis yang lebih detail belum diketahui. Kemungkinan mekanisme penghambatannya melalui dua cara, yaitu: (i) penghambatan pada reaksi enzim hydroxymethylglutaryl-CoA reduktase (suatu rate limiting enzym) dan (ii) penghambatan pada reaksi enzim lain, seperti squalene mono-oksigenase dan lanosterol- 14-demethylase. Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan efektivitas bawang putih sebagai anti-kolesterol. Sehingga dapat disusun kerangka konsep dimana diet tinggi lemak tinggi kolesterol yang diberikan secara terus menerus akan menyebakan terjadinya dislipidemia pada tikus. Setelah terjadi hiperkolestrolemia maka tikus diberikan 48 49 suplementasi ekstrak bawang putih dengan makanan yang tinggi tinggi lemak tinggi kolesterol. Diharapkan keadaan dislipidemia pada tikus dapat diperbaiki dengan pemberian ekstrak bawang putih tersebut. Suplementasi Ekstrak Ethanol Bawang Putih Faktor Endogen: Fisiologi Hormonal Genetik Status gizi Umur Faktor Eksogen: Pola makan Aktivitas fisik Suplementasi - Obat-obatan 50 Tikus Dislipidemia Penurunan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida dan peningkatan kadar HDL pada serum tikus Gambar 3.1. Bagan Konsep Penelitian 3.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam desain penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Ekstrak ethanol bawang putih dapat menurunkan kadar kolesterol total serum tikus yang dislipidemia. 2. Ekstrak ethanol bawang putih dapat menurunkan kadar trigliserida tikus yang dislipidemia. 3. Ekstrak ethanol bawang putih dapat menurunkan kadar LDL tikus yang dislipidemia. 4. Ekstrak ethanol bawang putih dapat meningkatkan kadar HDL serum tikus yang dislipidemia. 50 51 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian Pre Test Post-Test Control Group Design (Pocock, 2008). Secara sistematis penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: 01 P S R 03 05 P0 P1 P2 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random 02 04 06 52 01 = Observasi pre test sebelum perlakuan 03= Observasi pre test sebelum perlakuan 05 = Observasi pre test sebelum perlakuan 02 = Observasi post test kelompok kontrol dengan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan plasebo (akuades) selama 28 hari. 04 = Observasi post test dengan ekstrak ethanol bawang putih 32,4 mg/200gr BB dan diet tinggi lemak tinggi kolesterol selama 28 hari 06 = Observasi post test dengan ekstrak ethanol bawang putih 64,8 mg/200gr BB dan diet tinggi lemak tinggi kolesterol selama 28 hari P0 = Kelompok kontrol dengan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan plasebo (akuades) selama 28 hari. P1 = Perlakuan dengan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan ekstrak ethanol bawang putih 32,4 mg/200gr BB selama 28 hari P2 = Perlakuan dengan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan ekstrak ethanol bawang putih 64,8 mg/200gr BB selama 28 hari 4.2 Teknik Sampling dan Kriteria Penarikan sampel dalam penelitian ini secara random menjadi 3 kelompok tikus, 4.2.1. Kriteria penerimaan 1. Tikus putih galur wistar, berjenis kelamin sama yaitu jantan 2. Mau makan 3. Umur kurang lebih 4 bulan 4. Dislipidemia 5. Berat badan antara 180-200 gram 52 53 4.2.2. Kriteria drop out subyek 1. Tikus mati ketika sedang penelitian Penghitungan jumlah sampel beradasarkan pada rumus dibawah (Pocock, 2008) 2σ2 n = x f (,β) (μ2 – μ1)2 n = jumlah sampel σ = simpang baku kelompok plasebo = 18,4 (Silagi & Neil, 1994) μ1 = rerata kolesterol total kelompok plasebo μ2 = rerata kolesterol total kelompok perlakuan μ2 - μ1 = 29,8 = 0,05 β = 0,1 f (,β) = 10,5 Perhitungan sebagai berikut : 2 (18,4)2 n = x 10,5 29,82 n = 8,01 Jumlah sampel dengan penambahan 15% adalah 10 ekor tikus perkelompok. Ada 3 kelompok sehingga total jumlah sampel adalah 30 ekor. Penentuan umur sampel berdasarkan pertimbangan umur dewasa tikus yang masih produktif sekitar 16 minggu (kurang lebih 4 bulan). 54 Lama perlakuan berdasarkan pada perkiraan pada manusia penurunan kolesterol diharapkan selama 3-6 bulan, pada tikus diperhitungkan selama 14-28 hari. Pada penelitian ini dipakai 28 hari sebagai lama perlakuan. Nilai μ1 dan μ2 didapatkan dari penelitian sebelumnya yang menjelaskan adanya penurunan rata-rata total kolesterol sebesar -0.77 mmol/l atau 29,8 mg/dL (95% CI: -0.65, -0.89 mmol/l), dan ini menunjukkan 12% penurunan pada subyek yang memakai terapi bawang putih dibandingkan dengan kelompok plasebo, dimana efek tersebut terlihat dalam kurun 1 bulan setelah terapi dan bertahan selama sedikitnya 6 bulan (Silagi & Neil, 1994). 4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Klasifikasi variabel Variabel bebas (independen variable): a. Ekstrak bawang putih Variabel tergantung a. Kadar kolesterol total b. Kadar LDL: Low Density Lipoprotein c. Kadar Trigliserida d. Kadar HDL : High Density Lipoprotein Variabel kendali meliputi: a. Suhu, kelembaban, nutrisi b. Berat badan c. Umur hewan coba d. Jenis aktivitas fisik 54 55 4.3.2 Definisi operasional 1. Ekstrak bawang putih adalah ekstrak ethanol bawang putih yang menggunakan pelarut ethanol 96%, dengan proses ekstraksi dalam suhu kamar, dengan konsentrasi ekstrak 280mg/ml. Bahan bawang putih didapatkan dari daerah Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. 2. Diet tinggi lemak tinggi kolesterol adalah bahan makanan yang distandardisasi untuk memenuhi syarat tinggi lemak tinggi kolesterol dengan komposisi: kolesterol 1%, kuning telur 5%, lemak hewan 10%, minyak goreng 1%, makanan standar sampai 100%. 3. Kadar Kolesterol total, nilainya dapat ditentukan dengan pemeriksaan serum di laboratorium merupakan penjumlahan dari low dan high density lipoproteins. Kadar normal pada tikus : 110,85 mg/dL (Lilis, 2010) 4. Dislipidemia adalah kelainan dari metabolisme lipoprotein, yaitu overproduksi ataupun defisiensi dari lipoprotein tertentu. Dislipidemia dapat bermanifestasi dengan peningkatan konsentrasi total kolesterol, low density lipoprotein (LDL) dan trigliserida, serta penurunan high density lipoprotein (HDL) dalam darah 5. Kolesterol adalah alkohol monohidrik, berwarna putih merupakan sterol yang terdistribusi luas dalam jaringan tubuh, merupakan bahan dari membran sel, dan terdapat dalam kuning telur, minyak2an, lemak, serabut myelin dalam otak, akson dan medula spinalis, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Kolesterol disintesa dalam hati, merupakan penyebab terjadinya 56 batu empedu, plak aterosklerotik dalam pembuluh darah. Kolesterol memegang peranan penting dalam metabolisme, merupakan perkursor dari berbagai hormon steroid. 6. LDL adalah Low Density Lipoprotein, merupakan lipid plasma yang membawa sebagian besar kolesterol dalam plasma. Terikat pada albumin. LDL terbukti merupakan penyebab aterosklerosis. Kadar LDL dapat dihitung secara manual dengan rumus persamaan Friedewald, yaitu : LDL (mmol/l) = kolesterol total - [(trigliserida/5) + HDL)]. Kadar normal pada tikus: 20,39 mg/dL (Lilis, 2010) 7. Trigliserida yang juga dikenal sebagai triacylglycerol merupakan kombinasi gliserol dengan tiga dari lima macam asam-asam lemak yang tersedia. Dalam darah, trigliserida dikombinasi dengan protein untuk menghasilkan lipoprotein. Kadar normal pada tikus: 82,47 mg/dL (Lilis, 2010) 8. HDL adalah High Density Lipoprotein, merupakan lipid plasma yang terikat pada albumin, yang mengandung lipoprotein. HDL mengandung lebih banyak protein dibandingkan dengan VLDL ataupun LDL, bersifat kardioprotektif. Kadar normal pada tikus: 82,47 mg/dL (Lilis, 2010) 9. Jenis tikus dalam penelitian ini adalah tikus jantan, galur wistar dislipidemia, umur 4 bulan dengan berat badan 180-200 gram. 4.4. Bahan Penelitian 4.4.1 Bahan bawang putih 56 57 Bahan bawang putih adalah ekstrak ethanol bawang putih yang menggunakan pelarut ethanol 96%, dengan proses ekstraksi dalam suhu kamar, dengan konsentrasi ekstrak 280mg/ml. Siung bawang putih yang dipakai dalam penelitian ini didapatkan dari daerah Pacet yaitu sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pacet merupakan daerah pertanian yang cukup subur karena terletak di antara tiga gunung berapi. Pacet merupakan salah satu daerah penghasil bawang putih terbesar di Jawa Timur. 4.4.2 Hewan percobaan Dalam penelitian ini digunakan tikus berumur kurang lebih 4 bulan, jantan, diperkirakan mencapai usai dewasa muda, berat badan 180-200 gram. Tikus dipelihara di kandang Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental, yaitu tikus ditempatkan dalam kandang yang terbuat dari wadah plastik berukuran 23cm x 17cm x 9,5cm dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat. Kandang di tempatkan dalam ruangan berventilasi dan udara alami. 4.5 Alat Penelitian a. Timbangan gram b. Sonde untuk pemberian makan dan pemberian ekstrak ethanol bawang putih pada tikus c. Syringe 3 cc untuk pengambilan darah d. Tabung kontainer darah 58 4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian: Penelitian ini di laksanakan selama 42 hari di bulan November 2010 di Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana Denpasar. Untuk mengetahui profil lipid tikus percobaan dilakukan pemeriksaan darah di Laboratorium Patologi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Pembuatan sediaan ekstrak ethanol bawang putih Bawang putih 250 gram dicampur dengan ethanol 96% sebanyak 500cc kemudian diblender hingga halus. Larutan bawang putih yang didapatkan disaring dengan kain kasa 2 lapis, kemudian disaring lagi dengan kertas whotman no.2 didapatkan filtrat (crude extract). Filtrat ditampung dalam tabung erlenmeyer. Filtrat tanpa ditutup diangin-anginkan pada suhu kamar (25oc – 30oc) selama 7 hari sampai dianggap tidak ada penguapan lagi dari pelarut ethanolnya. Didapatkan ekstrak ethanol bawang putih dan diambil sebanyak 100 ml. Konsentrasi ekstrak bawang putih yang didapatkan melalui proses di atas adalah 280 mg/1 ml. Dosis ekstrak bawang putih berdasarkan konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus (200 g) adalah 0,018 . Dosis manusia rata-rata 300-1000 mg per hari, dimana pada umumnya digunakan dosis 900 mg per hari apabila dalam bentuk bubuk kering, sedangkan pada penelitian yang menggunakan AGE (aged garlic extract) dosis yang dipakai bahkan lebih tinggi mencapai 1-7,2 gram perhari (Steiner, 2001). Dalam penelitian ini digunakan preparat bawang putih yang didapatkan dengan pelarut ethanol. Apabila dikonversikan dari dosis manusia sebesar 1-7.2 58 59 gram maka didapatkan dosis tikus 18-129,6 mg per hari (Ngatidjan, 2006). Pada penelitian ini diputuskan untuk memakai 2 macam dosis ekstrak ethanol bawang putih yaitu sebesar 32,4 dan 64,8 mg/200 grBB per hari yang apabila dikonversikan pada manusia menjadi 1,8 dan 3,6 gram/ 70 kgBB per hari. 4.7.2 Persiapan untuk meningkatkan kolesterol & lemak darah tikus Tikus setiap harinya diberikan makanan yang tinggi lemak tinggi kolesterol. Bahan makanan akan distandardisasi untuk memenuhi syarat tinggi lemak tinggi kolesterol dengan komposisi: kolesterol 1%, kuning telur 5%, lemak hewan 10%, minyak goreng 1%, makanan standar sampai 100%. Makanan tersebut akan menginduksi peningkatan kadar kolesterol secara eksogen. Pemberian makanan tinggi lemak tinggi kolesterol diberikan selama 14 hari sebelum perlakuan dengan ekstrak ethanol bawang putih dimulai. Untuk memastikan hewan uji tikus telah dislipidemia maka diambil serum dari semua tikus untuk diperiksa kadar kolesterolnya setelah pemberian makanan tinggi lemak tinggi kolesterol selama 14 hari. 4.7.3 Perlakuan pada tikus Hewan uji tikus jantan yang dislipidemia disiapkan 30 ekor dibagi 3 kelompok secara random, diadaptasi dalam kandang selama 1 hari dan di puasakan selama kurang dari 12 jam hanya diberi minum. Timbang berat badan, perlakuan diberikan setiap hari sekali selama 28 hari. 1. Kelompok I sebagai kelompok kontrol yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan plasebo berupa akuades selama 28 hari 60 2. Kelompok II sebagai kelompok perlakuan yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan diberikan bahan uji yaitu ekstrak ethanol bawang putih sebanyak 32,4 mg/200gr BB selama 28 hari. 3. Kelompok II sebagai kelompok perlakuan yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan diberikan bahan uji yaitu ekstrak ethanol bawang putih sebanyak 64,8 mg/200gr BB selama 28 hari. 4.7.4 Pengambilan darah tikus Pengambilan darah dilakukan pada pembuluh darah besar tikus yaitu dari medial canthus sinus orbitalis. Darah yang didapatkan dimasukkan kedalam tabung khusus kemudian dikirimkan ke laboratorium untuk pemeriksaannya. 4.7.5 Pengamatan Setelah dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol serum tikus, maka data yang didapatkan dikumpulkan dan dibandingkan antara kelompok, kelompok II dan kelompok III. 4.8 Jalannya Penelitian Tikus sebanyak 35 ekor dikarantina selama 14 hari, diberikan makanan tinggi lemak tinggi kolesterol dalam jumlah yang sama. Semua tikus berumur 4 bulan, jantan, dengan berat badan tikus yang berkisar antara 180-200 gram. Setelah diberikan makanan tinggi lemak tinggi kolesterol selama 14 hari semua tikus diperiksa kadar kolesterolnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol semua tikus dipuasakan dan hanya diberikan minum akuades selama 12 60 61 jam. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan profil lipid. Dipilih 30 ekor tikus yang sudah dislipidemia untuk dijadikan hewan percobaan. Tikus yang dislipidemia sebanyak 30 ekor kemudian dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor tikus: 1. Kelompok I sebagai kelompok kontrol yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan plasebo yang berupa akuades selama 28 hari 2. Kelompok II sebagai kelompok perlakuan yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan diberikan bahan uji yaitu ekstrak ethanol bawang putih sebanyak 32,4 mg/200gr BB selama 28 hari. 3. Kelompok III sebagai kelompok perlakuan yang diberikan diet tinggi lemak tinggi kolesterol dan diberikan bahan uji yaitu ekstrak ethanol bawang putih sebanyak 64,8 mg/200gr BB selama 28 hari. Diet tinggi kolesterol didapatkan dengan membuat makanan komposisi makanan sebagai berikut: kolesterol 1%, kuning telur 5%, lemak hewan 10%, minyak goreng 1%, makanan standar sampai 100%. Dipersiapkan juga air minum yang matang. Masing-masing tikus diberikan kandang yang terpisah. Makanan yang diberikan pada tikus sebelumnya ditimbang agar semuanya mendapatkan jumlah yang sama. Minum air putih diberikan dalam jumlah yang bebas. Esktrak ethanol bawang putih diberikan dengan cara sonde, sekali sehari. 62 Kelompok 1 adalah kelompok kontrol, sedangkan kelompok ke 2 dan ke 3 adalah kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 10 ekor tikus. Setelah lama perlakuan 28 hari pengambilan darah dari medial canthus sinus orbitalis dilakukan terhadap semua tikus. Darah yang didapatkan kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan serum. Serum yang didapatkan kemudian dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta untuk ditentukan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL dan HDL. Setelah didapatkan hasil laboratorium, maka semua data dikumpulkan untuk diuji dengan statistik, lalu dibikinkan pelaporan mengenai hasilnya. Tikus yg dislipidemia 30 ekor Diadaptasi Kontrol 10 ekor Perlakuan I 10 ekor Perlakuan II 10 ekor Pretest: Total kolesterlol, Trigliserida, Pretest: LDL, Total HDL kolesterlol, Trigliserida, Pretest: LDL, TotalHDL kolesterlol, Trigliserida, LDL, HDL Makanan tinggi lemak Makanan tinggi tinggi kolesterol lemak+tinggi akuades Makanan kolesterol selama tinggi +28ekstrak lemak hari ethanol tinggi kolesterol bawang putih + ekstrak 32,4 mg/200gr ethanol bawang BB, 28putih hari 64,8/200gr BB, 28 hari Posttest: Total Kolesterlol, Trigliserida, Posttest: LDL, Total HDL Kolesterlol, Trigliserida, Posttest: LDL, Total HDL Kolesterlol, Trigliserida, LDL, HDL 62 63 Dianalisis Pelaporan Gambar 4.2 Bagan alur penelitian 4.9 Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah sebagai berikut : 1. Analisis Deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik 2. Analisis Normalitas (Shapiro Wilk) dan Homogenitas (Levene Test) Data berdistribusi normal dan homogen. 3. Analisis Komparasi: - Data berdistribusi normal dan homogen maka untuk uji komparasi antar kelompok dilakukan dengan uji one way Anova dan dilanjutkan dengan Least Significant Difference (LSD) test. 64 64