SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN BAB IV HUTAN MANGROVE Dr. Wahyu Surakusuma, M.Si KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB IV. HUTAN MANGROVE Kompetensi Utama: Profesional Kompetensi Inti Guru: Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Kompetensi Dasar: Memahami definisi Hutan manggrove dan pengelolaannya Hutan mangrove, adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain. Kusmana (2002), mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove” adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata. Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa 1 keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu. Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Saenger (1983); Salim (1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil 2 penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002). Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983), hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa : 1. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol. 2. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove. 3. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat- obatan. 4. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai. 5. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb. 6. Produksi kertas; berbagai macam kertas Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : 1. Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 2. Pengendali intrusi air laut 3. Habitat berbagai jenis fauna 3 4. Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang 5. Pembangun lahan melalui proses sedimentasi 6. Pengontrol penyakit malaria 7. Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) 8. Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung, adalah sebagai berikut 1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya: a. Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan pengendalian intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut. b. Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan berlindung biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia. c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya iklim makro). 2. Fungsi Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai: a. Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil hutan ikutannya. b. Tempat rekreasi atau wisata alam. c. Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi Dahuri (2004). Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut : 1. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang. 2. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan. 3. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. 4. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik. 4 5. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring- jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewanhewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya. 6. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerangkerangan. Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan). Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian zona pantai di Papua. Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan. Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan yang lebih baik. Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat 5 tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi dunia. Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an. 1. Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove. Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai. 6 Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri. Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi. Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram. Ekosistem mangrove perlu dikelola dengan secara berkelanjutan adalah karena : Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah : Manfaat ekonomis, terdiri atas hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu) dan hasil bukan kayu yang terdiri dari : hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll), jasa lingkungan (ekowisata), manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : 1. Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 2. Pengendali intrusi air laut 3. Habitat berbagai jenis fauna 7 4. Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. 5. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi 6. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air) 7. Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat pesisir itu sendiri. Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relative kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui. 2. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan A. Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar : 1) Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh secara terus menerus. 2) Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya. 8 Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi. Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut). Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu : 1) Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula. 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya. 3) Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi. Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : 1) Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan. 2) Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak. 3) Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik . 3. Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove a. Kendala Aspek Teknis 1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu. 9 2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria). 3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi 4) penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah. b. Kendala Aspek Kelembagaan 1) Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah : 2) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali. 3) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas. 4) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove 5) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait 6) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada 7) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove 8) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan tersebut. 4. Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni : a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi). b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll) 10 c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna. 5. Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah: a. Kondisi fisik areal hutan 1) Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh 2) Luas areal hutan 3) Kondisi tanah 4) Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna). 5) Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan 6) Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya. Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di suatu daerah. Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal : 1) Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut 2) Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras 3) Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic 4) Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan. 6. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) 11 mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah : Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi Indikator : a. Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan b. Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan c. Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya d. Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat e. Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin f. Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan g. Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi. h. Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan i. Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan j. Efisiensi pemanfaatan hutan k. Tingkat kerusakan pohon induk l. Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan m. Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan. n. Kesehatan perusahaan o. Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah p. Sitem informasi manajemen q. Satuan Pemeriksaan Internal (SPI) r. Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis s. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan t. Peningkatan modal hutan Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis Indikator : 12 a. Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait. b. Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan c. Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi d. Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen e. Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan f. Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka g. Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya h. Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial Indikator : a. Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya. b. Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin c. Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin d. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama e. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi f. Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka g. Modal domestik berkembang 13 h. Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan i. Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural j. Kerjasama dengan otoritas kesehatan k. Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) l. Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil m. Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 7. Jenis Jenis Pohon Mangrove di Indonesia: a. Acanthus ebracteatus, Hampir sama dengan A. ilicifolius, tetapi seluruh bagiannya lebih kecil. Daun : Pinggiran daun umumya rata kadang bergerigi seperti A. ilicifolius. Unit & Letak: Sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-20 x 4-10 cm. Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung cerah, kadang agak putih di bagian ujungnya. Panjang tandan bunga lebih pendek dari A. ilicifolius, sedangkan bunganya sendiri 2-2,5 cm. Bunga hanya mempunyai satu pinak daun utama, karena yang sekunder biasanya cepat rontok. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: Buah panjang 2,5- 3 cm, biji 5-7 mm. b. Acanthus ilicifolius Herba rendah, terjurai di permukaan tanah, kuat, agak berkayu, ketinggian hingga 2m. Cabang umumnya tegak tapi cenderung kurus sesuai dengan umurnya. Percabangan tidak banyak dan umumnya muncul dari bagian-bagian yang lebih tua. Akar udara muncul dari permukaan bawah batang horizontal. Daun : Dua sayap gagang daun yang berduri terletak pada tangkai. Permukaan daun halus, tepi daun bervariasi: zigzag/bergerigi besar-besar seperti gergaji atau agak rata dan secara gradual menyempit menuju pangkal. Unit & letak: sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset lebar. Ujung: meruncing dan berduri tajam. Ukuran: 930 x 4-12 cm. Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung, kadang agak putih. Panjang tandan bunga 10-20 cm, sedangkan bunganya sendiri 5-4 cm. Bunga memiliki satu pinak daun penutup utama dan dua sekunder. Pinak daun tersebut tetap menempel seumur hidup pohon. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: buah panjang 2,5- 3 cm, biji 10 mm. Ekologi : Biasanya pada atau dekat mangrove, sangat jarang di daratan. Memiliki kekhasan sebagai herba yang 14 tumbuh rendah dan kuat, yang memiliki kemampuan untuk menyebar secara vegetatif karena perakarannya yang berasal dari batang horizontal, sehingga membentuk bagian yang besar dan kukuh. Bunga kemungkinan diserbuki oleh burung dan serangga. Biji tertiup angin, sampai sejauh 2 m. Di Bali berbuah sekitar Agustus. c. Acrostichum aureum Ferna berbentuk tandan di tanah, besar, tinggi hingga 4 m. Batang timbul dan lurus, ditutupi oleh urat besar. Menebal di bagian pangkal, coklat tua dengan peruratan yang luas, pucat, tipis ujungnya,bercampur dengan urat yang sempit dan tipis. Daun : Panjang 1-3 m, memiliki tidak lebih dari 30 pinak daun. Pinak daun letaknya berjauhan dan tidak teratur. Pinak daun terbawah selalu terletak jauh dari yang lain dan memiliki gagang yang panjangnya 3 cm. Ujung daun fertil berwarna coklat seperti karat. Bagian bawah dari pinak daun tertutup secara seragam oleh sporangia yang besar. Ujung pinak daun yang steril dan lebih panjang membulat atau tumpul dengan ujung yang pendek. Duri banyak, berwarna hitam. Peruratan daun menyerupai jaring. Sisik yang luas, panjang hingga 1 cm, hanya terdapat di bagian pangkal dari gagang, menebal di bagian tengah. Spora besar dan berbentuk tetrahedral. Ekologi : Ferna tahunan yang tumbuh di mangrove dan pematang tambak, sepanjang kali dan sungai payau serta saluran. Tingkat toleransi terhadap genangan air laut tidak setinggi A.speciosum. Ditemukan di bagian daratan dari mangrove. Biasa terdapat pada habitat yang sudah rusak, seperti areal mangrove yang telah ditebangi yang kemudian akan menghambat tumbuhan mangrove untuk beregenerasi. Tidak seperti A.speciosum, jenis ini menyukai areal yang terbuka terang dan disinari matahari. d. Bruguiera cylindrica Deskripsi : Pohon selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang melebar ke samping di bagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang mencapai 23 meter. Kulit kayu abuabu, relatif halus dan memiliki sejumlah lentisel kecil. Daun : Permukaan atas daun hijau cerah bagian bawahnya hijau agak kekuningan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: agak meruncing. Ukuran: 7-17 x 2-8 cm. Bunga : Bunga mengelompok, muncul di ujung tandan (panjang tandan: 1-2 cm). Sisi luar bunga bagian bawah biasanya memiliki rambut putih. Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga. Formasi: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga. Daun Mahkota: putih, lalu menjadi coklat ketika umur bertambah, 3- 4 mm. Kelopak Bunga: 8; hijau kekuningan, bawahnya seperti tabung. Buah : Hipokotil (seringkali disalah artikan sebagai “buah”) berbentuk 15 silindris memanjang, sering juga berbentuk kurva. Warna hijau didekat pangkal buah dan hijau keunguan di bagian ujung. Pangkal buah menempel pada kelopak bunga. Ukuran: Hipokotil: panjang 8-15 cm dan diameter 5-10 mm. Ekologi : Tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi mangrove kearah laut. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya pada tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk memperoleh pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat responsif terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah yang ringan dan mengapung sehinggga penyebarannya dapat dibantu oleh arus air, tapi pertumbuhannya lambat. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Penyebaran : Asia Tenggara dan Australia, seluruh Indonesia, termasuk Irian Jaya. e. Bruguiera exaristata Deskripsi : Semak atau pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 10 m. Kulit kayu berwarna abu-abu tua, pangkal batang menonjol, dan memiliki sejumlah besar akar nafas berbentuk lutut. Daun : Permukaan atas daun berwarna hitam, bagian bawah memiliki bercak- bercak, tepi daun sering tergulung ke dalam. Unit & letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-11,5 x 2,5 x4,5 cm. Bunga : Bunga hijau-kekuningan, tepi daun mahkota memiliki rambut berwarna putih dan kemudian akan rontok. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun mahkota: 8-10; panjang 10-13 mm. Kelopak bunga: 8-10; panjang 10-15 mm. Buah : Hipokotil berbentuk tumpul, silindris agak menggelembung. Ukuran: Hipokotil: panjang 5-7 cm dan diameter 6-8 mm. Ekologi : Tumbuh di sepanjang jalur air atau menuju bagian belakang lokasi mangrove. Kadang-kadang ditemukan suatu kelompok yang hanya terdiri dari jenis tersebut. Substrat yang cocok adalah tanah liat dan pasir. Toleran terhadap salinitas yang tinggi. Hipokotil relatif kecil dan mudah tersebar oleh pasang surut atau banjir. Anakan tumbuh tidak baik di bawah lindungan. Bunga dan buah terdapat sepanjang tahun. Penyebaran : Penyebaran terbatas. Diketahui dari Timor, Irian Jaya Selatan dan Australia Utara. f. Bruguiera gymnorrhiza Deskripsi : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai coklat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal 16 pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut. Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (ada juga yang tidak). Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai elips-lanset. Ujung: meruncing Ukuran: 4,5-7 x 8,5-22 cm. Bunga : Bunga bergelantungan dengan panjang tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun Mahkota: 10-14; putih dan coklat jika tua, panjang 13-16 mm. Kelopak Bunga: 10-14; warna merah muda hingga merah; panjang 30-50. Buah : Buah melingkar spiral, bundar melintang, panjang 2-2,5 cm. Hipokotil lurus, tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Ukuran: Hipokotil: panjang 12-30 cm dan diameter 1,5-2 cm. Ekologi : Merupakan jenis yang dominan pada hutan mangrove yang tinggi dan merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan. Tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering, serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika terjadi erosi pada lahan di hadapannya. Substrat-nya terdiri dari lumpur, pasir dan kadang- kadang tanah gambut hitam. Kadang-kadang juga ditemukan di pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut, hal tersebut dimungkinkan karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang. Regenerasinya seringkali hanya dalam jumlah terbatas. Bunga dan buah terdapat sepanjang tahun. Bunga relatif besar, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan, tergantung, dan mengundang burung untuk melakukan penyerbukan. Penyebaran : Dari Afrika Timur dan Madagaskar hingga Sri Lanka, Malaysia dan Indonesia menuju wilayah Pasifik Barat dan Australia Tropis. g. Bruguiera hainessii Deskripsi : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 30 meter dan batang berdiameter sekitar 70 cm. Kulit kayu berwarna coklat hingga abu-abu, dengan lentisel besar berwarna coklat-kekuningan dari pangkal hingga puncak. Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan di bawahnya. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 9-16 x 4-7 cm. Bunga : Letak: Di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga (panjang tandan: 18-22 cm). Formasi: kelompok (2-3 bunga per tandan. Daun Mahkota: putih, panjang 7-9 mm. Berambut pada tepi bawah dan agak berambut pada bagian atas cuping. Kelopak Bunga: 10; hijau pucat; bagian bawah berbentuk tabung, panjangnya 5 mm. Buah : Hipokotil berbentuk cerutu 17 atau agak melengkung dan menebal menuju bagian ujung. Ukuran: Hipokotil: panjang 9 cm dan diameter 1 cm. Ekologi : Tumbuh di tepi daratan hutan mangrove pada areal yang relatif kering dan hanya tergenang selama beberapa jam sehari pada saat terjadi pasang tinggi. Penyebaran : Dari India hingga Burma, Thailand, Malaysia, seluruh Indonesia dan Papua New Guinea. h. Bruguiera parviflora Deskripsi : Berupa semak atau pohon kecil yang selalu hijau, tinggi (meskipun jarang) dapat mencapai 20 m. Kulit kayu burik, berwarna abu-abu hingga coklat tua, bercelah dan agak membengkak di bagian pangkal pohon. Akar lutut dapat mencapai 30 cm tingginya. Daun : Terdapat bercak hitam di bagian bawah daun dan berubah menjadi hijaukekuningan ketika usianya bertambah. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 5,5-13 x 2-4,5 cm. Bunga : Bunga mengelompok di ujung tandan (panjang tandan: 2 cm). Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (3-10 bunga per tandan). Daun mahkota: 8; putihhijau kekuningan, panjang 1,5-2mm. Berambut pada tepinya. Kelopak Bunga: 8; menggelembung, warna hijau kekuningan; bagian bawah berbentuk tabung, panjangnya 7-9 mm. melengkung, permukaannya halus, warna hijau kekuningan. Ukuran: Hipokotil: panjang 815 cm dan diameter 0,5-1 cm. Ekologi : Jenis ini membentuk tegakan monospesifik pada areal yang tidak sering tergenang. Individu yang terisolasi juga ditemukan tumbuh di sepanjang alur air dan tambak tepi pantai. Substrat yang cocok termasuk lumpur, pasir, tanah payau dan bersalinitas tinggi. Di Australia, perbungaan tercatat dari bulan Juni hingga September, dan berbuah dari bulan September hingga Desember. Hipokotilnya yang ringan mudah untuk disebarkan melalui air, dan nampaknya tumbuh dengan baik pada areal yang menerima cahaya matahari yang sedang hingga cukup. Bunga dibuahi oleh serangga yang terbang pada siang hari, seperti kupu-kupu. Daunnya berlekuk-lekuk, yang merupakan ciri khasnya, disebabkan oleh gangguan serangga. Dapat menjadi sangat dominan di areal yang telah diambil kayunya (misalnya Karang Gading-Langkat Timur Laut di Sumatera Utara; Giesen & Sukotjo, 1991). Penyebaran : Dari India, Seluruh Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga Australia utara. i. Bruguiera sexangula Deskripsi : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m. Kulit kayu coklat muda-abu-abu, halus hingga kasar, memiliki sejumlah lentisel berukuran 18 besar, dan pangkal batang yang membengkak. Akar lutut, dan kadangkadang akar papan. Daun : Daun agak tebal, berkulit, dan memiliki bercak hitam di bagian bawah. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 8-16 x 3-6 cm. Bunga : Letak: Di ketiak daun. Formasi: soliter (1 bunga per tandan). Daun makhota: 10-11; putih dan kecoklatan jika tua, panjang 15mm. Kadang berambut halus pada tepinya. Kelopak bunga: 10-12; warna kuning kehijauan atau kemerahan atau kecoklatan; panjang tabung 10-15 mm. Buah : Hipokotil menyempit di kedua ujung. Ukuran: Hipokotil: panjang 6-12 cm dan diameter 1,5 cm. tipe substrat yang tidak sering tergenang. Biasanya tumbuh pada kondisi yang lebih basah dibanding B. gymnorrhiza. Kadang-kadang terdapat pada pantai berpasir. Toleran terhadap kondisi air asin, payau dan tawar. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunganya yang besar diserbuki oleh burung. Hipokotil disebarkan melalui air. Penyebaran : Dari India, Seluruh Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga Australia utara. j. Rhizophora apiculata Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubahubah. Daun : Berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga : Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak bertangkai. Buah : Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm. Ekologi : Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar 19 anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun. Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik. k. Rhizophora mucronata Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Daun : Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm. Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masing- masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; tak bertangkai. Buah : Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm. Ekologi : Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus. Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka. Penyebaran :Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara, seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan ditanam di Hawaii. l. Rhizophora stylosa Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah. Daun :Daun berkulit, berbintik teratur di lapisan bawah. Gagang daun berwarna hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan pinak daun panjang 20 4-6 cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar. Ujung: meruncing. Ukuran: meruncing. Bunga :Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (8-16 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; putih, ada rambut. 8 mm. Kelopak bunga: 4; kuning hijau, panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; dan sebuah tangkai putik, panjang 4-6 mm. Buah :Panjangnya 2,5-4 cm, berbentuk buah pir, berwarna coklat, berisi 1 biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil agak halus. Leher kotilodon kuning kehijauan ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 20-35 cm (kadang sampai 50 cm) dan diameter 1,5-2,0 cm. Ekologi :Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada pulau/substrat karang. Menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun. Kemungkinan diserbuki oleh angin. Penyebaran :Di Taiwan, Malaysia, Filipina, sepanjang Indonesia, Papua New Guinea dan Australia Tropis. Tercatat dari Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Sulawesi, Sumba, Sumbawa, Maluku dan Irian Jaya. m. Terminalia catappa Pohon meluruh dengan ketinggian 10-35 m. Cabang muda tebal dan ditutupi dengan rapat oleh rambut yang kemudian akan rontok. Mahkota pohon berlapis secara horizontal, suatu kondisi yang terutama terlihat jelas pada pohon yang masih muda. Daun : Sangat lebar, umumnya memiliki 6-9 pasang urat yang jaraknya berjauhan, dengan sebuah kelenjar terletak pada salah satu bagian dasar dari urat tengah. Daun berubah menjadi merah muda atau merah beberapa saat sebelum rontok, sehingga kanopi pohon tampak berwarna merah. Unit & Letak: s e d e r h a n a dan bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 8- 25 x 5-14 cm (kadang panjangnya sampai 30 cm). Bunga : Tandan bunga (panjangnya 8-16 cm) ditutupi oleh rambut yang halus. Bunga berwarna putih atau hijau pucat dan tidak bergagang. Sebagian besar dari bunga merupakan bunga jantan, dengan atau tanpa tangkai putik yang pendek. Letak: di ketiak daun. Formasi: bulir. Kelopak bunga: halus di bagian dalam. Buah : Penampilan seperti buah almond. Bersabut dan cangkangnya sangat keras. Ukuran 5-7 cm x 4x5,5 cm. Kulit buah berwarna hijau hingga hijau kekuningan (mengkilat) di bagian tengahnya, kemudian berubah menjadi merah tua. Ekologi : Sebarannya sangat luas. Tumbuh di pantai berpasir atau berkarang dan bagian tepi daratan dari mangrove hingga jauh ke darat. Penyebaran buah dilakukan melalui air atau oleh kelelawar pemakan buah. Pohon menggugurkan daunnya (ketika warnanya berubah merah) 21 sekali waktu, biasanya dua kali setahun (di Jawa pada bulan Januari atau Februari dan Juli atau Agustus). Penyebaran : Di seluruh Indonesia, tetapi agak jarang di Sumatera dan Kalimantan. Tumbuh di bagian tropis Asia, Australia Utara dan Polinesia. n. Xylocarpus rumphii Pohon tingginya dapat mencapai 6 m. Memiliki akar udara tapi tidak jelas. Kulit kayu kasar berwarna coklat dan mengelupas seperti guratan-guratan kecil dan sempit. :Susunan daun berpasangan (umumnya 3-4 pasang pertangkai) dan ada pula yang menyendiri. Warna hijau tua. Unit & Letak: majemuk & berlawanan. Bentuk: bulat telurbulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 7 x 12 cm. Bunga :Terdiri dari dua jenis kelamin atau betina saja. Letak: di ketiak. Formasi: Gerombol acak. Daun mahkota: 4; kremputih kehijauan. Kelopak bunga: 4 cuping; hijau kekuningan. Benang sari: menyatu membentuk tabung; putih krem. Buah : Warna hijau, bulat seperti jambu bangkok, permukaan licin berkilauan dan di dalamnya terdapat 4-10 kepingan biji berbentuk tetrahedral. Ukuran: buah: diameter 8 cm (lebih kecil dari X. granatum). Ekologi : Jenis mangrove sejati. Terdapat di pantai berpasir atau berbatu, di belakang atau sedikit di atas garis pasang tinggi. Penyebaran : Di Indonesia terdapat di Jawa dan Bali. 22