BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Manajemen Pemasaran dan Ritel
Menurut
Kotler
dan
Keller
(2009:5),
pemasaran
adalah
mengidentifikasikan dan memenuhi kebutuhan manusia dan sosial. Salah satu
definisi yang baik dan singkat dari pemasaran adalah memenuhi kebutuhan
dengan cara yang menguntungkan. Menurut Suprapti (2010:6), jika para pemasar
memahami perilaku konsumennya, maka mereka akan bisa memprediksi
bagaimana konsumen akan bereaksi terhadap berbagai isyarat pemasaran dan
isyarat lingkungan sehingga berdasarkan hasil prediksi itu mereka bisa
mempertajam startegi pemasaran yang sesuai.
Bisnis ritel didefinisikan sebagai semua kegiatan yang terlibat dalam
penjualan barang dan jasa secara langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan
pribadi dan bukan bisnis (Alma, 2005). Pendapat lain diutarakan oleh Sopiah dan
Syihabuddin (2008) yang menyatakan ritel merupakan penjualan barang atau jasa
kepada konsumen akhir. Menurut Utami (2010:5) bisnis ritel dipahami sebagai
semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang dan jasa secara langsung
kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan penggunaan bisnis.
2.1.2 Promosi
Menurut Simamora (dalam Kurniawan dan Yohanes, 2013), promosi
adalah usaha perusahaan untuk mempengaruhi calon pembeli melalui pemakaian
11
segala unsur atau bauran pemasaran. Promosi juga merupakan komunikasi yang
persuasif, mengajak, mendesak, membujuk, meyakinkan. Ciri dari komunikasi
yang persuasif membujuk adalah ada komunikator yang secara terencana
mengatur berita/informasi dan cara penyampaiannya untuk mendapatkan akibat
tertentu dalam sikap dan tingkah laku si penerima (target pendengar).
Menurut Griffin dan Ebert (dalam Kurniawan dan Yohanes, 2013)
promosi adalah setiap teknik yang dirancang untuk menjual produk. Suatu produk
betapapun bermanfaat akan tetapi jika tidak dikenal oleh konsumen, maka produk
tersebut tidak akan diketahui kegunaannya dan mungkin tidak dibeli oleh
konsumen. Oleh karena itu, perusahaan harus berusahan mempengaruhi para
konsumen, untuk dapat menciptakan permintaan atas produk itu dan kemudian
dipelihara dan dikembangkan. Usaha tersebut hanya dapat dilakukan melalui
kegiatan promosi, yang merupakan salah satu dari acuan/bauran pemasaran.
Subagyo (2010:129) mengemukakan bahwa, promosi adalah semua
kegiatan yang dimaksudkan untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan suatu
produk kepada pasar sasaran, untuk memberi informasi tentang keistimewaan,
kegunaan dan yang paling penting adalah tentang keberadaannya, untuk
mengubah sikap ataupun untuk mendorong orang untuk bertindak dalam membeli
suatu produk. Tujuan utama dari promosi yang akan dilakukan oleh perusahaan
secara mendasar terdiri dari beberapa alternatif, antara lain: menginformasikan,
mempengaruhi, membujuk dan mengingatkan sasaran konsumen tentang
perusahaan dan bauran pemasarannya. Menurut Sutojo (2009:265), promosi
adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberitahu pembeli tentang keberadaan
12
produk di pasar atau kebijaksanaan pemasaran tertentu yang baru ditetapkan
perusahaan misalnya pemberian bonus pembelian atau pemotongan harga.
Beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa promosi
merupakan cara berkomunikasi yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendorong
atau menarik calon konsumen agar membeli produk atau jasa yang dipasarkan.
2.1.3 Pelayanan Ritel
Stanton (dalam Alma, 2005) mengemukakan bahwa, pelayanan sebagai
sesuatu yang dapat diidentifikasi secara terpisah, tidak berwujud, ditawarkan
untuk memenuhi kebutuhan. Pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen ini
biasanya tidak berwujud, namun pelayanan dapat dihasilkan dengan menggunakan
benda-benda berwujud maupun tidak. Menurut Buchari Alma (2009:58), dalam
hal ini sangat berlaku ungkapan “pembeli adalah raja” dalam arti kata bahwa
setiap pembeli harus dilayani sebaik mungkin. Hal ini akan menunujukkan kesan
yang sangat baik dihati konsumen dan akan mengundang pembeli untuk tidak
bosan-bosan berbelanja ke toko yang bersangkutan.
Menurut Raharjani (2005), pelayanan meliputi segala fasilitas nonfisik
yang di tawarkan perusahaan kepada konsumen. Pelayanan adalah suatu kegiatan
yang dilakukan untuk keperluan orang lain. Pelayanan merupakan suatu kinerja
penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada
dimiliki serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses konsumsi
jasa tersebut. Disamping itu, sikap tenaga penjual yang sopan dan ramah
merupakan bentuk pelayanan yang diharapkan oleh konsumen.
13
Ma’ruf (2006)
mengungkapkan bahwa pelayanan ritel bertujuan
memfasilitasi para pembeli saat berbelanja di gerai. Sopiah dan Syihabudhin
(2008) menyebutkan jenis-jenis pelayanan yang ditawarkan dalam gerai meliputi:
1) Customer service
a) Pramuniaga yang terampil dengan cara pelayanan dan kesigapan membantu.
b) Personal shopper, yaitu staf perusahaan ritel yang melayani pembeli melalui
telepon dan menyiapkan barang pesanan yang nantinya tinggal diambil oleh
pelanggan.
2) Terkait fasilitas gerai
a) Jasa pengantaran (delivery)
b) Fasilitas tempat makan
c) Fasilitas kenyamanan dan keamanan berupa tangga jalan dan tangga
darurat
d) Fasilitas telepon
e) Cara pembayaran dengan credit card atau debit card
f) Terkait jam operasional gerai
3) Fasilitas-fasilitas lain seperti ruang/lahan parkir
Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai konsep ritel dan pelayanan
(service) yang telah diutarakan dapat dielaborasi bahwa pelayanan ritel
merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada pelanggan oleh peritel
dengan tujuan agar mampu memfasilitasi pelanggan saat berbelanja dalam suatu
gerai.
14
2.1.4 Pembelian impulsif
Pemahaman mengenai konsep pembelian impulsif (impulsive buying) dan
pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak
dibedakan. Philipps dan Bradshow (dalam Semuel, 2006), tidak membedakan
antara unplanned buying dengan impulsive buying, tetapi memberikan perhatian
penting kepada periset, pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara
point-of-sale dengan pembeli yang sering diabaikan. Engel dan Blackwell (dalam
Semuel, 2006), mendefinisikan unplanned buying adalah suatu tindakan
pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih sebelumnya atau keputusan
pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko.
Cobb dan Hayer (dalam Semuel 2006), mengklasifikasikan suatu
pembelian impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu
atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Kadangkala tanpa
alasan ataupun stimulus langsung yang diberikan peritel, konsumen juga termotivasi
untuk melakukan pembelian impulsif (Rook dalam Park, 2006). Stern (1962),
mengidentifikasi hubungan sembilan karakteristik produk yang mungkin dapat
mempengaruhi pembelian impulsif, yaitu harga rendah, kebutuhan tambahan
produk atau merek, distribusi massa, self service, iklan massa, display produk
yang menonjol, umur produk yang pendek, ukuran kecil, dan mudah disimpan.
Pernyataan tersebut didukung oleh Iyer (Fadjar, 2007), impulse buying
adalah suatu fakta kehidupan dalam perilaku konsumen yang dibuktikan sebagai
suatu kegiatan pembelian yang berhubungan dengan lingkungan dan keterbatasan
waktu dalam berbelanja, dimana rute pembelian yang mereka lakukan semestinya
15
berbeda. Rute tersebut dapat dibedakan melalui hirarki impulse yang
memperlihatkan bahwa perilaku didasarkan pada respon afektif yang dipengaruhi
oleh perasaan yang kuat (Mowen dan Minor, 2002). Pembelian impulsif biasanya
terjadi secara tiba-tiba saat pelanggan berada dalam gerai ritel, ini mungkin
disebabkan oleh rangsangan-rangsangan dalam lingkungan gerai yang memang
dirancang oleh peritel untuk membangkitkan gairah belanja pelanggan (Kassarjian
dalam Park dan Lennon, 2006).
Beberapa peneliti pemasaran beranggapan bahwa impulse sinonim dengan
unplanned ketika para psikolog dan ekonom memfokuskan pada aspek irasional
atau pembelian impulsif murni (Bayley dan Nancarrow, 1998). Thomson (dalam
Semuel, 2006), mengemukakan bahwa ketika terjadi pembelian impulsif akan
memberikan pengalaman emosional lebih dari pada rasional, sehingga tidak
dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih
dipandang sebagai keputusan rasional dibanding irasional.
Menurut Mowen & Minor (dalam Kurniawan dan Yohannes, 2013),
pengertian pembelian tak terencana adalah kegiatan pembelian mendadak tanpa
ada perencanaan terlebih dahulu pada saat memasuki suatu toko. Adapun tipe-tipe
dari pembelian tidak terncana menurut Loudon et al., (dalam Fadjar, 2007) :
1. Pure Impulse (pembelian impulsif murni)
Sebuah pembelian menyimpang dari pola pembelian normal. Tipe ini dapat
dinyatakan sebagai novelty / escape buying.
2. Suggestion Impulse (Pembelian impulsif yang timbul karena sugesti)
16
Pada pembelian tipe ini, konsumen tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
terlebih dahulu tentang produk baru, konsumen melihat produk tersebut untuk
pertama kali dan memvisualkan sebuah kebutuhan untuk benda tersebut.
3. Reminder Impulse (pembelian impulsif karena pengalaman masa lampau)
Pembeli melihat produk tersebut dan diingatkan bahwa persediaan di rumah perlu
ditambah atau telah habis.
4. Planned Impulse (pembelian impulsif yang terjadi apabila kondisi penjualan
tertentu diberikan)
Tipe pembelian ini terjadi setelah melihat dan mengetahui kondisi penjualan.
Misalnya penjualan produk tertentu dengan harga khusus, pemberian kupon dan
lain-lain.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Promosi terhadap Pembelian Impulsif di Ramayana Mall
Denpasar
Promosi adalah salah satu alat komunikasi yang digunakan oleh peritel
kepada pelanggannya. Pembelian impulsif dianggap relevan dalam skenario
belanja hari ini dengan promosi yang inovatif, kreatif dan pesan penggunaan
teknologi yang tepat di toko-toko ritel (Schiffman & Kanuk, 2010).
Menurut studi penelitian yang dilakukan oleh Ismu (2011) dimana variabel
bebas yang pertama yaitu promosi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pembelian impulsif.
Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang
dilakukan Kurniawan dan Yohanes (2013) dimana promosi berpengaruh positif
17
dan signifikan terhadap pembelian impulsif di Matahari Department Store cabang
supermall Surabaya. Muruganatham dan Ravi (2013) mendapat kesimpulan
penelitian dari berbagai faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif yang salah
satu diantaranya adalah promosi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Semuel
(2006) promosi secara positif dan signifikan mampu mendorong mereka untuk
melakukan pembelian yang tidak direncanakan.
Berdasarkan kajian yang telah diuraikan tersebut maka dapat disusun
hipotesis sebagai berikut:
H1 : Promosi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian
impulsif di Ramayana Mall Denpasar
2.2.2 Pengaruh Pelayanan Ritel terhadap Pembelian Impulsif di Ramayana
Mall Denpasar
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yistiani, dkk. (2012) dimana
diuraikan bahwa pelayanan ritel berpengaruh positif terhadap pembelian impulsif
di Matahari Department Store Duta Plaza. Stimulus-stimulus pelayanan ritel
relatif lebih efektif dilakukan untuk mendorong terjadinya pembelian impulsif.
Fam et al. (2011) menyebutkan layanan yang disediakan oleh peritel dapat
mempengaruhi terjadinya pembelian impulsif. Hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Youn dan Faber (2000) yang menyebutkan bahwa ketersediaan
fasilitas pelayanan dalam suatu gerai akan mendorong terjadinya pembelian
impulsif. Coley dan Burgess (2003) menyebutkan bahwa fasilitas yang tersedia
dalam gerai seperti adanya pembayaran melalui kartu kredit, ATM, kegiatan
18
operasional gerai 24 jam, dan jaminan uang kembali dapat memperkuat atau
menciptakan godaan sehingga meningkatkan terjadinya pembelian impulsif.
Berdasarkan kajian yang telah diuraikan tersebut maka dapat disusun hipotesis
sebagai berikut:
H2 : Pelayanan ritel berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian
impulsif pada Ramayana Mall Denpasar
Gambar 2.1 Kerangka Konsep :
Promosi
(X1)
H1
Pembelian
Impulsif (Y)
Pelayanan Ritel
H2
(X2)
Sumber : Kajian Penelitian Sebelumnya
19
Download