presentasi kasus ulkus dm

advertisement
PRESENTASI KASUS
ULKUS DM
Oleh:
Alia Nessa Utami (0906507772)
Lutfie (0906487871)
Narasumber:
dr. Suhartono, SpB(K)BV
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas

Nama
: Tn. MP

Tanggal lahir
: 21 Oktober 1959

Usia
: 54 tahun

RM
: 371-55-88

Alamat
: Jl. S. Kampar XI No. 793, RT 014/01, Cilincing

Pendidikan terakhir
: SMA

Pekerjaan
: Wiraswasta

Agama
: Kristen protestan

Status pernikahan
: Sudah menikah

Masuk Rumah Sakit : 28 November 2013
II. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 23/1/2014)
Keluhan utama
Nyeri kaki yang memberat sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri kaki yang memberat sejak 3 hari SMRS. Nyeri telah dirasakan
sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah kanan 1 bulan SMRS. 1 bulan yang
lalu, tiba-tiba muncul luka di jempol kaki kanan dan punggung kaki kanan. Luka timbul
setelah pasien memakai sepatu yang rutin dipakai oleh pasien ke tempat kerja. Riwayat
trauma disangkal. Luka dirasa nyeri seperti berdenyut, VAS 4-5. Keluhan demam ada, namun
pasien hanya mengonsumsi obat warung. Setiap hari, pasien merawat luka sendiri di rumah,
kemudianluka bertambah luas dan semakin nyeri. Pasien kemudian berobat ke klinik,
diberikan antibiotik (pasien lupa nama antibiotik tersebut).
Sejak 1 minggu SMRS, luka bertambah luas, pasien semakin tidak kuat untuk berjalan
dan beraktivitas. Nyeri semakin bertambah hingga pasien susah tidur, di daerah luka, VAS 67, dirasa berdenyut.
2
Sejak 3 hari SMRS, nyeri di kaki memberat, dirasa berdenyut dengan VAS 7-8.
Keluhan disertai dengan demam yang terus menerus dan nafsu makan menurun. Mualmuntah disangkal.
Pasien memiliki riwayat luka sebelumnya di tungkai atas kiri sejak 2 tahun yang lalu. 1
tahun yang lalu, luka kembali muncul di tungkai bawah kiri. Pasien kemudian menjalani
operasi untuk membersihkan luka tungkai atas dan bawah kiri.
Pasien telah didiagnosis diabetes melitus sejak 14 tahun yang lalu, saat itu mengeluh
cepat lapar, cepat haus, dan sering buang air kecil (3P +). Sejak 14 tahun yang lalu, pasien
memiliki riwayat luka yang sukar sembuh dan timbul bisul kehitaman, terutama di jari-jari
tangan dan kaki. Pasien mengontrol gula dengan glucophage 3x1 tab, rutin kontrol ke poli.
Keluhan pandangan kabur ada, pasien belum berobat. Keluhan tangan kaku dan
kesemutan disangkal. Riwayat keluhan sesak napas ada, pasien dikatakan memiliki sakit
jantung sejak 1 tahun yang lalu.
Selama perawatan, pasien telah menjalani operasi debridement 1x. Saat itu juga
dilakukan pemasangan CuraVAC. Pasien juga telah menjalani terapi heparin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi dan asma disangkal. Pasien pernah dirawat di rumah sakit 1 tahun
yang lalu, saat itu dikatakan memiliki sakit jantung dan paru-paru terendam air. 1 tahun yang
lalu, pasien juga menjalani operasi untuk membersihkan luka yang terdapat pada tungkai
kirinya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, dan alergi di keluarga disangkal. Riwayat
terdapat penyakit jantung dan paru di keluarga disangkal. Keluhan serupa di anggota keluarga
lain disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai kontraktor, telah bekerja sejak 21 tahun yang lalu. Saat ini
pasien memiliki 4 orang anak dan membayar dengan menggunakan KJS (Kartu Jakarta
Sehat). Sehari-hari, pekerjaan pasien sebagai kontraktor membuat pasien harus memakai
sepatu yang sempit untuk naik dan turun tangga. Sebelumnya, pasien tidak pernah
menggunakan sepatu khusus untuk penyandang kaki diabetik.
3
Hingga saat ini, pasien masih menjalani diet DM, berat badan telah turun sebanyak 22
kg dalam 14 tahun terakhir. Pasien jarang berolahraga. Selama 30 tahun, pasien merokok 5
bungkus/hari. Semenjak 5 tahun yang lalu (2009), pasien telah berhenti merokok. Konsumsi
alkohol disangkal.
III. Pemeriksaan Fisik (7/1/2014 dan 23/1/2014)
Kesadaran
: kompos mentis
Keadaan umum
: tampak sakit ringan
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 83x/menit
Suhu
: 36,7°C
Pernapasan
: 20x/menit
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat, tidak terdapat ikterik dan hiperpigmentasi,
turgor baik.
Mata
Konjungtiva pucat tidak ada dan sklera ikterik tidak ada
Tenggorokan
Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
Gigi Dan Mulut
Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang
Leher
Posisi trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Jantung
A : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru
A : Vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen
I :Datar, lemas, tidak tampak benjolan
P : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri ketok CVA -/-,
ballotement -/P : Timpani, shiffting dullness tidak ada
A : Bising usus normal 3x/menit
4
Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis tidak teraba dan
simetris kanan maupun kiri (lengkap lihat status lokalis)
Status Lokalis

(Pre-op) Terpasang curavac pada regio cruris dan pedis dekstra

(Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada 1/3 proksimal regio femur
sinistra bagian medial

(Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada regio cruris sinistra medial

Terdapat kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan, perubahan warna dan
penebalan kuku kaki

Pemeriksaan Vaskular
Kaki Kanan
Arteri dorsalis pedis
Arteri tibialis posterior
Kaki Kiri
Palpasi: tidak teraba
Palpasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: 60
Tekanan sistolik: 60
Pulsasi: tidak teraba
Pulsasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: -
Tekanan sistolik: -
TD sistolik arteri brachialis: 100 / 100 mmHg (kanan / kiri)
ABI (ankle brachial index): 0,6

Pemeriksaan Neurologis
Sensoris: dengan monofilamen 10 gram: tidak normal (kaki kanan dan kiri)
Klasifikasi PEDIS:

P: Penyakit Arteri Perifer tapi tidak kritis (0,6-0,9)

E: Tidak diperiksa.

D: Ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur subkutan, fasia, otot, atau
tendon.

I: Riwayat infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, instabilitas
metabolik, hipotensi, azotemia

S: ada neuropati dengan monofilamen 10 g.
5
Gambar 1. Regio Femur Sinistra
Gambar 2. Regio Cruris Sinistra
Gambar 3. Regio Cruris Dextra (pre-op) Gambar 4. Regio Cruris Dextra (post-op)
(terbalut verban)
6
Gambar 5. Regio Pedis Dextra (post-op)
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (16/1/2014) –pre-op
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
9,6
g/dL
13-17
Hematokrit
30,6
%
40-50
Eritrosit
3,73
10^6/uL
4,5-5,5
MCV/VER
82,0
fL
80,0-95,0
MCH/HER
25,7
pg
27,0-31,0
MCHC/KHER
31,4
g/dL
32,0-36,0
Jumlah trombosit
410
10^3/uL
150-400
Jumlah leukosit
9,51
10^3/uL
5-10
Natrium (Na) darah
138
mEq/L
132-147
Kalium (K) darah
4,43
mEq/L
3,30-5,40
Klorida (Cl) darah
101,3
mEq/L
94,0-111,0
GDS
175
Mg/dl
A1C
5,8
Darah perifer lengkap
Elektrolit
b. Laboratorium (24/1/2014) –post-op
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Darah perifer lengkap
7
Hemoglobin
9,5
g/dL
13-17
Hematokrit
30,1
%
40-50
Eritrosit
3,76
10^6/uL
4,5-5,5
MCV/VER
80,1
fL
80,0-95,0
MCH/HER
25,3
pg
27,0-31,0
MCHC/KHER
31,6
g/dL
32,0-36,0
Jumlah trombosit
85
10^3/uL
150-400
Jumlah leukosit
7,99
10^3/uL
5-10
Basofil
0,6
%
0,5-1,0
Eosinofil
3,6
%
1-4
Neutrofil
72,2
%
55,0-70,0
Limfosit
14,1
%
20-40
Monosit
9,5
%
2-8
Laju Endap Darah
77
mm
0-10
Ureum darah
27
mg/dL
<50
Kreatinin darah
0,60
mg/dL
0,8-1,3
eGFR
116,4
mL/min
79,0-117,0
Pasien
14,5
Detik
9,8-12,6
Kontrol
11,6
Detik
Pasien
38,7
Detik
Kontrol
29,6
Detik
Hitung Jenis
Kimia klinik
Hemostasis
PT
APTT
c.
31,0-47,0
Radiologi
Pemeriksaan radiografi femur sinistra
 Kedudukan tulang femur baik, tidak tampak subluksasi, dislokasi
 Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik
 Celah sendi dan permukaan sendi coxae ataupun femurotibial baik
 Soft tissue swelling regio femur sinistra
8
 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
Gambar 6. Radiografi Femur Sinistra
Pemeriksaan radiografi cruris sinistra (AP dan lateral)
 Kedudukan tulang-tulang cruris baik, tidak tampak subluksasi, dislokasi
 Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik
 Celah sendi dan permukaan sendi femurotibial ataupun talocrural baik
 Soft tissue swelling regio cruris sinistra
 Tidak tampak tanda osteomyelitis
Gambar 7. Radiografi Cruris Sinistra
9
Radiografi Pedis Dextra
Kesan: Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik, celah sendi
normal, tampak soft tissue swelling
Gambar 8. Radiografi Pedis Dextra
Foto Rontgen Thorax AP
Kesan:
 Corakan bronkovaskular meningkat
 CTR >50%
Gambar 9. Rontgen Thorax AP
10
USG Doppler Tungkai (3/12/2013)
 Kanan
o Arteri femoralis komunis, 7,2 mm, plaque 3,1 mm, bifasik, PS:
19,1 cm/s, VolFlow: 19,6 ml/min
o Arteri poplitea dekstra, 2,6 mm, plaque 1,3 mm, monofasik, PS:
12,2 cm/s, VolFlow: 14,7 ml/min
 Kiri
o Arteri femoraliskomunis, 5,6 mm, plaque 0,5 mm, bifasik, PS: 22,3
cm/s, VolFlow: 73,9 ml/min
o Arteri poplitea, 4,8 mm, bifasik, PS: 34,9 cm/s, VolFlow: 127,7
ml/min
o Arteri dorsalis pedis, 1,7 mm, monofasik, VolFlow: sulit dinilai
o Arteri ribilais posterior, 1,3 mm, sulit dinilai
V. Laporan Operasi (Debridement dan pemasangan curavac)

Pasien telentang di atas meja operasi dalam anestesi blok

A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

Evaluasi luka, dilakukan debridement hingga batas jaringan sehat, pus (+), jaringan
nekrotik (+), slough (+), granulasi ada

Dilakukan pencucian dengan salin steril

Dikeringkan, dipasang curavac dengan spons pada area yang pus lebih banyak

Operasi selesai
V. Daftar Masalah
o Ulkus DM pedis et cruris dekstra pro debridement + STSG
o PAD
o DM tipe II
o CHF fc. II-III
VI. Tata Laksana (23/01/2014)

Kontrol mekanik: istirahatkan kaki

Kontrol luka
o Rencana tutup luka dengan STSG (soft tissue skin graft)
11

Kontrol infeksi: Ciprofloxacin 2x400 mg iv

Kontrol metabolik: Lantus 1x6 unit sc, Novorapid 3x8 unit sc

Kontrol edukasi

Atasi nyeri
o Tramadol 3x50 mg
VII.
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanasionam
: dubia ad bonam
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ulkus DM
Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik Diabetes Melitus (DM) yang paling
kompleks karena melibatkan tindakan amputasi. Angka kematian akibat ulkus atau gangren
DM di Indonesia berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi saat ini berkisar 15-30%.1
II. Patofisiologi
Kejadian kaki diabetik melibatkan berbagai komponen, seperti neuropati perifer,
gangguan vaskular, infeksi, dan perubahan tekanan plantar. Neuropati perifer dan gangguan
vaskularisasi terutama memegang peranan penting dalam patofisiologi kaki diabetik.2
a. Neuropati perifer
Manifestasi klinis neuropati perifer terhadap saraf otonom, sensorik, dan motorik dapat
meningkatkan risiko terjadinya kaki diabetik. Hal tersebut terjadi akibat tiga hal berikut:
- Neuropati pada saraf sensorik mengurangi fungsi protektif saraf, sehingga kemungkinan terpajan trauma fisik, kimia, dan suhu semakin meningkat. Fungsi protektif
saraf sensoris yang menurun dapat meningkatkan risiko ulkus DM hingga tujuh kali
lipat.1,2
- Neuropati motorik menyebabkan deformitas kaki (hammer toes, claw foot),
sehingga distribusi tekanan pada tonjolan tulang di kaki menjadi tidak normal. Hal
tersebut disebabkan oleh atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik (m. introsseus dan
lumbrikal) sehingga terjadi peningkatan tekanan pada daerah metatarsal dan ujung
jari kaki. 1,2
- Neuropati pada saraf otonom berkaitan dengan kulut yang kering. Kulit kering
dapat menimbulkan fisura, kalus, dan kulit pecah-pecah. Bounding pulse yang
terjadi pada neuropati otonom seringkali salah diinterpretasikan sebagai sirkulasi
yang baik. Neuropati otonom juga menyebabkan vasodilatasi perifer. Hal tersebut
meningkatkan pintasan arteri-vena yang mempengaruhi perfuwsi tulang pada
ekstremitas
bawah.
Akibatnya,
terjadi
peningkatan
resorpsi
tulang
yang
menyebabkan fraktur neuropati (charcoat foot). 1,2
Refleks tendon Achilles dapat ditemui menurun pada gangguan neuropati perifer,
terjadi pula gangguan sensasi yang dibuktikan dengan Semmes Weinsten Monofilament yang
13
bertujuan mengetahui ambang rasa tekan. Sensasi proteksi masih ada bila pengidap kaki
diabetik masih merasakan tekanan monofilamen berukuran 5,07 yang setara dengan tekanan
10 gram.1
b. Gangguan vaskular
Gangguan vaskularisasi, terutama makroangiopati dan mikroangiopati acap terjadi pada
pasien diabetes. Risiko untuk mendapat peripheral artery disease (PAD) pada pasien diabetes
dapat mencapai dua kali lipat. Vaskularisasi yang tidak baik merupakan merupakan penyebab
utama kaki diabetik pada 50% pasien.2
Mikroangiopati pada pasien diabetes menyebabkan penyembuhan luka menjadi
terganggu.2 Gangren yang luas dapat terjadi karena sumbatan pembuluh darah luas yang
dapat berujung pada amputasi. Adanya gangguan pembuluh darah dapat dideteksi dengan
pemeriksaan fisik (nilai Ankle Brachial Index dan perabaan pulsasi denyut nadi), alat
ultrasound Doppler, dan angiografi.1
Diagram 1. Patofisiologi Kaki Diabetik3
c. Perubahan tekanan plantar kaki
Tekanan pada bagian lateral kaki (kaput metatarsal jari III, IV, dan V) baik pada orang
sehat maupun penyandang neuropati diabetik tidak berbeda. Akan tetapi, pada sebagian besar
penyandang DM dengan neuropati, terdapat tekanan yang lebih tinggi pada kaput metatarsal
14
jari I, sementara tumit memiliki beban tekanan yang lebih tinggi pada orang sehat. Tidak
terdapat perbedaan tekanan pada sisi-sisi plantar kaki yang lain.2
Bagian yang menerima tekanan lebih besar, seperti kaput metatarsal jari III disusul
kaput metatarsal jari I sering mengalami tukak. Hal tersebut menjadi pertimbangan saat
memilih bentuk insole pada penyandang kaki DM.1
Penyebab terjadinya luka pada penyandang kaki DM:1
o Tekanan terus menerus
o Luka tusuk
o Home surgery
o Antiseptik
o Tekanan berulang
o Trauma panas
Gambar 1. Area Berisiko Kaki DM2
Gambar 2. Area Berisiko Kaki DM4
Faktor risiko terjadinya kaki DM meliputi antara lain:5

Neuropati perifer

Penglihatan kabur

PAD

Kontrol gula darah buruk

Infeksi

Usia lebih tua

Riwayat ulkus DM

Jenis kelamin laki-laki

Deformitas kaki struktural

Ras (paling banyak di hispanik dan

Trauma

Charcoat foot
kulit hitam)
15
III. Klasifikasi
Terdapat berbagai klasifikasi kaki diabetes, penggunaannya disesuaikan dengan
kebutuhan. Berikut berbagai jenis klasifikasi kaki DM.
Tabel 1. Klasifikasi Texas Modifikasi1
Stadium
Tingkat
A
0 = tanpa tukak atau pasca tukak, kulit intak/utuh tulang
1 = luka superfisial, tidak sampai tendon atau kapsul sendi
2 = Luka sampai tendon atau kapsul sendi
3 = Luka sampai tulang/sendi
B
1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi
2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-)
3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the
left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C
1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia
Iskemi
2 = critical limb ischemia
D
B1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi dan
B2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-)
Iskemi
B3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the
left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia
C2 = critical limb ischemia
Klasifikasi yang masih banyak dipakai hingga kini adalah klasifikasi Wagner.3
Detailnya adalah sebagai berikut:
0: kulit intak/utuh
1: tukak superfisial
2: tukak dalam (sampai tendon dan tulang)
3: tukak dalam dengan infeksi
4: tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki
5: tukak dengan gangren luas seluruh kaki
16
Tabel 2. Klasifikasi PEDIS3
Impaired Perfusion
1= tidak ada
2= PAD + tetapi tidak critical
3= critical limb ischemia
Size/Extent in mm2
1= fullthickness superfisial, tidak lebih dalam dari dermis
Tissue Loss/Depth
2= ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur
subkutan, fasia, otot, atau tendon
3= seluruh lapisan kaki terlibat, termasuk tulang dan sendi
Infection
1= tidak ada tanda dan gejala infeksi
2= infeksi kulit dan jaringan subkutan
3= eritema >2 cm atau infeksi yang meliputi struktur
subkutan. Tidak ada tanda sistemik respons inflamasi
4= infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, lekositosis,
shift to the left, instabilitas metabolik, hipotensi, azotemia
Impaired Sensation
1= absent
2= tidak ada
Terdapat pula klasifikasi lain yang acap dipakai, seperti klasifikasi Liverpool:3
Klasifikasi primer
Klasifikasi sekunder

Vaskular

Neuropati

Neuroiskemik

Tukak sederhana, tanpa komplikasi

Tukak dengan komplikasi
IV. Pendekatan Ulkus DM
Pendekatan diagnosis kaki DM dilalui dengan anamnesis keluhan dan faktor risiko,
kemudian pemeriksaan fisik menyeluruh dan pemeriksaan penunjang.1
Pada anamnesis, harus dievaluasi mengenai penyakit DM, kontrol gula darah, serta
komplikasinya. Harus diteliti pula mengenai riwayat merokok, status gizi, dan lain-lain.
Aktivitas sehari-hari, pemakaian sepatu, riwayat pajanan bahan kimia, kalus, infeksi, gejala
neuropati, klaudikasio, kelainan bentuk kaki, dan riwayat luka harus ditanyakan secara
cermat. Tanyakan pula menenai charcoat foot dan riwayat keluarga.1,2,4
17
Pemeriksaan fisik terdiri atas beberapa jenis, meliputi pemerikssaan vaskular,
neuropati, kulit, tulang dan otot, serta sepatu atau alas kaki.1,2 Perabaan pulsasi arteri tungkai
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, ada atau tidaknya perubahan
warna kulit, suhu, dan edema juga harus diperhatikan.
Pemeriksaan neurologi harus meliputi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Dalam
meneliti kelainan motorik, dapat ditemui lengkung longitudinal kaki yang lebih meninggi,
sehingga terjadi peningkatan tekanan pada kaput metatarsal I. Kelemahan nervus peroneal
dapat menyebabkan foot drop. Pemeriksaan sensoris dilakukan dengan monofilamen Semmes
Weinstein 10g.1,4
Alas kaki pasien juga harus diperiksa. Perhatikan jenis sepatu, bentuk dan jenis insole,
kecocokan dengan bentuk kaki, serta ada atau tidaknya benda asing di dalam alas kaki.1
Gambar 3. Pemeriksaan Monofilamen2
Gambar 4. Kaki Nekrotik2
18
Setelah itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Seluruh faktor yang berperan
penting dalam penyembuhan luka harus diteliti, seperti faktor hemostasis, fungsi ginjal,
jantung, hati, dan paru-paru. Ada atau tidaknya infeksi pada luka juga harus diteliti, jika ada,
dilakukan kultur pus luka. Foto polos pedis dapat dilakukan untuk deteksi osteomielitis.
Faktor vaskular juga harus diteliti dengan cermat melalui beberapa pemeriksaan, seperti ABI
(ankle brachial index, butuh penilaian lanjut jika ABI <0,7, toe blood pressure <40 mmHg
atau TcPO2 <30 mmHg), USG Doppler, dan arteriografi.1
Tabel 3. Diagnosis Infeksi pada Kaki Diabetes2
19
Bagan 2. Algoritma Pasien Kaki Diabetik5
20
V. Pengelolaan Kaki Diabetes
Secara garis besar, pengelolaan pada kasus kaki diabetik mencakup 2 kelompok besar,
yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan progresinya menuju ulkus yang dikenal
sebagai pencegahan primer serta pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah
atau dikenal sebagai pencegahan sekunder. Pengelolaan kaki diabetes tidak dapat diperankan
oleh satu bidang tertentu dalam dunia kedokteran, namun menjadi sebuah bentuk kerja sama
multidisiplin di antara seluruh bidang ilmu yang terkait.
Pencegahan Primer
Berdasarkan risiko terjadinya masalah pada kaki seorang penyandang diabetik,
Frykberg membuat klasifikasi kaki menjadi:

Sensasi normal tanpa deformitas

Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi

Insensititivas tanpa deformitas

Iskemia tanpa deformitas

Kombinasi / komplikata
Pencegahan kaki diabetik biasanya dilakukan sesuai dengan keadaan risiko kaki. Pada
kelompok risiko kategori 3 dan 5, diperlukan pemilihan alas kaki yang tepat untuk
melindungi kaki yang telah menjadi insensitif. Demikian pula halnya pada pasien dengan
faktor risiko 2 dan 5, agar tekanan pada kaki dapat lebih merata. Pada faktor risiko 4,
diperlukan latihan khusus untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.3
Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci pencegahan
primer ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada setiap
kesempatan pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga dibarengi
dengan pemeriksaan rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu dilepas.3
Senam kaki juga disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai
bawah serta melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu
melancarkan aliran darah ke kedua kaki. Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali
seminggu.1
21
Pencegahan Sekunder
Untuk dapat mengelola kasus kaki diabetik secara lebih komprehensif, dilakukan
kontrol terhadap setidaknya 6 faktor, yaitu kontrol metabolik, vaskular, luka, mikrobiologik /
infeksi, tekanan, serta edukasi.
Kontrol Metabolik, merupakan upaya kendali pada kadar glukosa darah pasien agar
selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Hal ini umumnya dicapai dengan penggunaan insulin.
Di samping itu, dilakukan pula koreksi kadar albumin serum, kadar Hb, serta derajat
oksigenasi jaringan.1,3
Kontrol Luka, merupakan bentuk upaya perawatan luka. Prinsip terpenting yang harus
diketahui adalah luka memerlukan kondisi optimal / kondusif. Setelah dilakukan debridemen
yang baik dan adekuat, maka jaringan nekrotik akan berkurang dan dengan sendirinya
produksi pus dari ulkus juga akan berkurang. Di samping itu, debridemen juga berfungsi
untuk mengurangi tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan menjadi
aerob, mempermudah swab, dan membuat luka koronik menjadi akut kembali. Tahapan ini
kemudian dapat dilanjutkan dengan dressing yang disesuaikan dengan keadaan dan letak
luka. Pada luka yang masih produktif, dipakai dressing dengan komponen penyerap seperti
carbonated dressing dan alginate dressing mengingat sifatnya yang absortif. Bila luka
tersebut terinfeksi, dapat digunakan hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated
dressing dengan efek kerja dari kandungan antibiotik di dalamnya. Bila luka telah relatif
baik, dilakukan hydrocolloid dressing dengan sifat yang impermeabel sehingga dapat
mempertahankan lingkungan lembab yang dapat dipertahankan selama beberapa hari. 1,3,6
Kontrol Mikrobiologik atau Kontrol Infeksi, merupakan pengetahuan mengenai jenis
mikroorganisme pada ulkus, dengan demikian dapat pula dilakukan penyesuaian antibiotik
yang digunakan dengan tetap melihat hasil biakan kuman dan resistensinya. Pada ulkus DM,
umumnya pola kuman yang ditemukan polimikrobila dengan kombinasi gram positif, gram
negatif, serta anaerob. Oleh karena itu, mutlak diberikan antibiotik dengan spektrum luas
misalnya golongan sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol. 1,3
Kontrol Tekanan / Mekanik, merupakan salah satu bentuk modifikasi yang penting
untuk proses penyembuhan luka mengingat setiap kaki digunakan untuk berjalan dan
menahan berat badan luka akan sulit menyembuh. Untuk mencapai keadaan non weight-
22
bearing, dapat dilakukan modifikasi non surgikal maupun surgikal. Secara non surgikal, kaki
diistirahatkan serta dapat diberikan removable cast walker, total contact casting, temporary
shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, dan craddled insoles. Secara
surgikal, dapat dilakukan dekompresi ulkus / abses melalui insisi, serta koreksi bedah unntuk
setiap bentuk deformitas yang terjadi pada kaki.
1,3
Adapun pada pasien degan kaki DM,
terdapat kriteria sepatu yang aman untuk digunakan, yaitu:

Ruang jari kaki pada sepatu (toe box) cukup lebar sehingga tidak terjadi penekanan.

Panjang sepatu diukur dari tumit sampai 0,5 inch dari ujung jari kaki terpanjang.

Lebar sepatu diukur dari kaput metatarsal I-V.

Memiliki tali atau sabuk pengaman sehingga kaki terfiksasi dalam sepatu dan
mengurangi geseakan antara kaki dan lapisan dalam sepatu selama berjalan.

Tinggi hak sepatu tidak lebih dari 5 cm untuk mengurangi tekanan berlebihan pada
bagian metatarsal.

Bahan untuk insole / alas kaki lunak

Sepatu dibeli pada sore/malam hari mengingat secara relatif kaki lebih membengkak
setelah beraktivitas seharian

Penggunaan kaus kaki atau stoking untuk mencegah luka lecet pada kaki.1
Kontrol Edukasi, berupa penyuluhan pada penyandang DM beserta anggota
keluarganya terkait segala upaya yang dapat dilakukan guna mendukung optimalisasi
penyembuhan luka, termasuk di antaranya kondisi saat ini, rencana diagnosis dan terapi, serta
prognosis. 1,3
Kontrol Vaskular, merupakan salah satu faktor kunci untuk kesembuhan luka. Terkait
diagnosis kondisi vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan sederhana berupa pemeriksaan
warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, serta pengukuran
tekanan darah. Di samping itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan mulai dari yang bersifat
non invasif seperti Ankle Brachial Index (ABI) hingga invasif seperti arteriografi. 1,3
Terkait kontrol vaskular, dapat dilakukan modifikasi faktor risiko berupa penghentian
merokok, kendali hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia, serta program berjalan. Terapi
medikamentosa disinyalir juga mendapatkan tempat untuk memperbaiki kondisi vaskular
yang ada. Untuk setiap penyandang DM dengan penyakit vaskular perifer, disarankan
pemberian anti platelet (aspirin 75 mg sehari atau clopidogrel 75 mg sehari bila tidak toleran
23
terhadap aspirin) dan golongan statin. Apabila ditemui kemungkinan kesembuhan luka yang
rendah atau ditemui klaudikasio intermitten hebat, dapat dianjurkan tindakan revaskularisasi
atas dasar hasil pemeriksaan arteriografi yang telah dilakukan. Untuk oklusi yang panjang,
dianjurkan operasi bedah terbuka sedangkan untuk oklusi yang penddek dapat dipikirkan
prosedur endovaskular – PTCA. Untuk keadaan yang bersifat akut, dapat dilakukan
tromboarterektomi. 3
Dewasa ini, terdapat kemajuan pesat terkait dengan metode revaskularisasi yang dapat
dilakukan, misalnya terapi oksigen hiperbarik yang dikatakan dapat memperbaiki
vaskularisasi dan okisgenasi jaringan luka pada kaki sebagai sebuah terapi ajuvan.3 Dengan
pemberian oksigen bertekanan tinggi, diharapkan kadar oksigen dalam darah akan menjadi
lebih tinggi, demikian pula dengan kapasitas difusinya ke dalam jaringan. Pada kadar oksigen
yang lebih tinggi, stimulasi neovaskularisasi, replikasi fibroblas, serta fagositosis akan
berjalan dengan lebih baik.6,7
Keenam jenis kontrol ini menjadi pedoman utama dalam penanganan kaki diabetik
dalam konteks rawat jalan maupun rawat inap. Secara ringkas, algoritma tatalaksana ulkus
DM dijelaskan pada bagan 3.
Adapun rawat inap terutama diindikasikan pada ulkus yang mencapai lapisan
subkutan atau lebih dalam disertai adanya gejala SIRS. Pada kasus-kasus rawat inap,
antibiotik yang digunakan biasanya merupakan antibiotik jenis kombinasi dengan tindakan
nekrotomi serta kontrol hiperglikemia yang lebih agresif, umumnya menggunakan insulin.1
24
25
Bagan 3. Algoritma Ulkus Diabetik 5
Terapi Nutrisi pada Kasus Kaki Diabetik
Terapi nutrisi mutlak diperlukan guna menunjang proses penyembuhan luka. Adapun
rekomendasi gizi yang diberikan ialah makanan yang sehat dan seimbang dngan cukup energi
dan protein. Perhitungan kecukupan kalori pada penatalaksanaan ulkus DM wajib
memperhitungkan faktor infeksi atau stres yang lebih tinggi pada pasien rawat inap, dengan
26
kalori basal dihitung dengan mengalikan berat badan ideal pasien dengan 30 kcal pada lakilaki atau 25 kcal pada perempuan. Untuk proses penyembuhan luka, diperlukan sekitar 1,5-2
gram protein per kg berat badan per hari. Karbohidrat disarankan menyusun sekitar 45-65%
dari kebutuhan kalori karena bila tidak terpenuhi akan memperberat hipoalbuminemia akibat
pemecahan protein.
Asam lemak esensial dikatakan dapat mempengaruhi penyembuhan luka melalui
sinstesis sel baru, sehingga diberikan sebanyak 20-25% dari kebutuhan energi, degan asam
lemak jenuh < 7%, lemak tidak jenuh < 10%, dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal.
Mikronutrien sepertu vitamin dan mineral juga dibutuhkan, misalnya vitamin A, vitamin B
kompleks, vitamin C, vitamin E, vitamin K, besi, seng, selenium, dan lain-lain.1
Tindakan Pembedahan pada Kaki Diabetik
Di bidang bedah, terapi surgikal umumnya lebih banyak ditujukan dalam bentuk
nekrotomi jaringan nekrotik / debridemen.1 Apabila selama debridement tulang dapat
divisualisasi atau dipalpasi, dapat dicurigai terjadinya osteomielitis. Terapi bedah dapat
diklasifikasikan sebagai:

Kelas 1 (elektif, untuk menangani deformitas tanpa gangguan sensasi)

Kelas 2 (profilaktif, untuk mengurangi risiko ulserasi atau reulserasi pada pasien
dengan gangguan sensoris, namun tanpa luka terbuka)

Kelas 3 (kuratif, unntuk membantu penyembuhan luka terbuka)

Kelas 4 (emergent, untuk menghentikan progresi infeksi akut) 5
Pada bidang vaskular, dilakukan penilaian apakah terdapat penyakit aterokslerotik
pada semua kasus. Dalam hal ini, dilakukan pemeriksaan pada seluruh arteri kaki yang dapat
diperiksa. Bila diperlukan, dapat dilakukan restorasi perfusi melalui rekonstruksi distal,
misalnya berupa bypass atau angioplasti perifer dan rekanalisasi segmen yang teroklusi.
Adapun indikasi pembedahan ini ialah rasa nyeri yang sama sekali tidak dapat ditahan pada
saat istirahat atau malam hari, luka kompleks / sulit dikontrol, dan gangren.6
Amputasi umumnya merupakan pilihan terakhir pada penanganan kaki diabetik
mengingat sifatnya yang permanen. Amputasi umumnya dilakukan untuk alasan live saving,
terutama untuk mencegah penyebaran asendens dari infeksi atau kematian jaringan.5 Indikasi
amputasi ekstremitas bawah umumnya adalah komplikasi diabetes melitus, umumnya berupa
gangren pedis, ulkus yang tidak menyembuh, serta nyeri saat istirahat yang sama sekali tidak
27
tertangani (60-80%), infeksi non diabetik dengan iskemia (15-25%), iskemia tanpa infeksi (510%), osteomielitis kronik (3-5%), trauma (2-5%), dan lain-lain. Prosedur ini dapat dilakukan
setinggi digital tertentu, trans metatarsal, Syme’s, below knee, disartikulasi lutut,
suprakondilar, paha tengah, paha tinggi, dan disartikulasi panggul.8
Bagan 4. Terapi Pembedahan pada Kaki Diabetik
Negative Pressure Wound Therapy / NPWT
Luka dengan tendon, saraf, serta tulang yang terekspos didefinisikan sebagai luka
kompleks. Adapun kompleksitas luka dapat diperparah pada ukuran luka yang besar, trauma
tumpul, infeksi, kronisitas, dan riwayat radiasi sebelumnya, mengakibatkan luka menjadi sulit
untuk mengalami penyembuhan.10,11
Manajemen luka kompleks pada dasarnya tetap dapat dicapai dengan penutupan luka.
Walaupun pembedahan merupakan terapi terpilih, saat ini penggunaan terapi tekanan negatif
28
(Negative Pressure Wound Therapy / NPWT) mulai mendapat posisi pada praktik klinis
sebagai terapi ajuvan, misalnya CuraVAC. Alat ini bekerja dengan cara mempercepat
pembentukan jaringan granulasi melalui penyedotan eksudat, stabilisasi lingkungan luka, dan
aplikasi stres mekanis.9,10,11
Dengan penyedotan eksudat, diperoleh edema yang lebih minimal, berkurangnya
risiko infeksi, berkurangnya sitokin pro inflamasi, serta meningkatnya perfusi aliran darah
dan
oksigen.
Adapun
stres
mekanik
dapat
mendukung
terjadinya
angiogenesis
(mikrodeformasi) dan pembentukan jaringan granulasi (makrodeformasi) yang lebih cepat.10
NPWT terbukti efektif untuk meningkatkan organisasi kolagen, ekspresi VEGF dan
fibroblast growth factor 2. Ditinjau secara molekular, NPWT juga memicu neovaskularisasi
melalui mediasi mobilisasi endothelial progenitor cell. Dengan demikian, akan teraktivasi
jalur HIF/VEGF dengan vaskulogenesis dan peningkatan vaskularisasi sebagai hasil
akhirnya.9 Selain itu, data juga menunjukkan bahwa kejadian amputasi sekunder pada
pemakaian NPWT juga dapat ditekan.
Gambar 5. Mekanisme Kerja Curavac 10
Kedua mekanisme ini berjalan melalui pemberian tekanan negatif, umumnya 125
mmHg, kemudian dihubungkan pada unit penyedot. Hasil akhir yang diperoleh adalah
peningkatan perfusi vaskular dan penutupan luka yang lebih cepat. Tekanan dapat diberikan
secara kontinyu, intermitten, maupun variasi siklik. Dengan pemberian tekanan secara siklik,
nyeri yang dirasakan umumnya berkurang.10,11
Indikasi penggunaan alat ini adalah ulkus diabetik, ulkus dekubitus, ulkus traumatik
(sindrom kompartemen), ulkus sternal, STSG, donor site, serta cedera jaringan lunak sebelum
29
terapi surgikal.10,11 Pada kasus ulkus diabetik, adanya insufisiensi arteri perifer menambah
kebutuhan pemakaian NPWT ini. Kontraindikasi sistem tekanan negatif ini ialah fistula organ
/ rongga tubuh, jaringan nekrotik, kanker, dan osteomielitis yang tidak ditangani.10
Setelah administrasi NPWT dijalankan dan luka diyakini telah bersih, langkah
selanjutnya yang dapat dilakukan adalah administrasi flap / skin graft.6,11
30
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 54 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kaki yang memberat
sejak 3 hari SMRS.
Nyeri dirasakan berdenyut dengan VAS yang semakin memberat seiring dengan
perkembangannya. Atas sifatnya yang bersifat pulsatil, karakteristik ini sugestif ke arah nyeri
akibat sumbatan / oklusi pada arteri perifer. Nyeri yang dirasakan tidak hanya saat
beraktivitas / intermitten menandakan bahwa sumbatan yang terbentuk telah cukup
bermakna.
Keluhan nyeri telah dirasakan sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah
kanan sejak 1 bulan SMRS. Luka awalnya muncul di jempol kaki kanan dan dan punggung
kaki kanan setelah pasien memakai sepatu yang biasa dipakainya. Area jempol kaki kanan
merupakan area dengan penekanan, sehingga luka pada tempat tersebut diperkirakan
disebabkan oleh faktor neurogenik sedangkan punggung kaki kanan merupakan tempat
vaskularisasi pembuluh darah perifer sehingga luka pada tempat tersebut makin menguatkan
dugaan adanya sumbatan. Oleh karena itu, luka pada kaki ini merupakan kombinasi akibat
faktor neuropati dan mikroangiopati.
Sebagai faktor risiko, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes melitusyang
telah ditegakkan sejak 14 tahun lalu. Adapun keluhan per anamnesis saat itu cukup khas yaitu
dengan adanya keluhan klasik, penurunan berat badan, serta luka yang sukar sembuh.Di
samping itu, pasien juga memiliki riwayat merokok sejak 5 tahun lalu dan jarang berolahraga.
Kedua faktor ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan plak ateroma pada pembuluh
darah. Dugaan keluhan terkait DM makin kuat dengan adanya komplikasi mikroangiopati
lain pada mata berupa pandangan kabur di samping pasien juga mengalami penyakit jantung.
Adanya keluhan demam pada pasien menunjukkan terjadinya infeksi dengan fokus
infeksi yang paling mungkin berasal dari ulkus / luka pada kaki pasien.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tanda vital dan keadaan umum dalam batas
normal. Dari pemeriksaan status lokalis, terdapat jaringan parut hipertrofik pada tungkai kiri
pasien sebagai bekas operasi pada luka yang pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan
31
klasifikasi PEDIS, diperoleh perfusi menurun dengan ABI 0,6 sugestif ke arah PAD, ekstensi
luka tidak diperiksa karena saat pemeriksaan luka masih ditutup dengan CuraVAC,
kedalaman luka diketahui dari pemeriksaan sebelumnya tidak mencapai tulang, terdapat
riwayat manifestasi sistemik berupa infeksi, serta terapat gangguan sensorik pada kedua kaki.
Di samping itu, ditemukan pula kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan serta
perubahan warna dan penebalan kuku kaki. Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa kaki
pasien memiliki kecenderungan untuk menjadi luka.
Berdasaarkan pemeriksaan penunjang, gula darah serta HbA1C pasien masih berada
dalam rentang batas normal, menandakan gula darah saat pemeriksaan dan 3 bulan
sebelumnya realtif terkontrol. Adapun pemeriksaan radiologis juga tidak menunjukkan
adanya ekspansi luka hingga ke tulang. Pemeriksan USG Doppler menunjukkan beberapa
plak yang bermakna pada pembuluh darah arteri, ditunjukkan dengan penurunan aliran darah,
terutama pada tungkai kanan.
Dengan demikian, ditegakkan diagnosis ulkus DM pedis sinistra, PAD, serta DM tipe
2. Adapun berdasarkan hasil seluruh data ini, sesuai algoritma kaki diabetik, pasien masuk
indikasi untuk rawat inap, yaitu dengan adanya tanda-tanda infeksi sistemik.
Pada pasien, dilakukan tatalaksana kontrol terhadap 6 aspek.
Pada aspek kontrol mekanik, dilakukan pengistirahatan pada kaki sebagai penopang
berat tubuh agar dapat memfasilitasi penyembuhan luka. Aspek kontrol infeksi dilakukan
dengan pemberian antibiotik untuk spektrum luas sesuai dengan hasil kultur resistensinya.
Saat ini pasien sudah memasuki perawatan pada bulan ke dua, sehingga antibiotik yang
digunakan, yaitu Ciprofloxacin 2x400 mg iv, sudah merupakan stepdown dari antibiotik
sebelumnya, yaitu Meropenem iv. Kontrol metabolik dilakukan dengan pemberian insulin
kerja cepat dan kerja panjang, yaitu Lantus dan Novorapid.
Kontrol vaskular telah dilakukan dengan pemeriksaan ABI serta USG Doppler. Pada
kasus ini, dapat pula dipertimbangkan arteriografi untuk penilaian yang lebih baik pada
kondisi pembuluh darah pasien. Apabila ternyata sumbatan sangat bermakna, dapat dilakukan
tindakan invasif oleh dokter bedah vaskular. Kontrol luka dilakukan dengan operasi
derbridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dilanjutkan dengan dressing.
Terkait kedua kontrol terakhir, terapi terpilih pada pasien adalah pemasangan
CuraVAC. Alat ini diketahui bekerja dengan prinsip tekanan negatif yang memfasilitasi
32
terjadinya penyedotan eksudat, stabilisasi luka, serta aplikasi stres mekanis. Adapun NPWT
ini diketahui juga dapat memperbaiki aliran darah perifer melalui mobilisasi EPC dan
angiogenesis. Setelah terapi NPWT dijalankan, pasien direncanakan untuk menjalani STSG
untuk penutupan ulkus pada kakinya.
Di samping itu, diberikan pula terapi simtomatis pereda nyeri berupa tramadol drip
3x50 mg. Pasien juga diberikan edukasi sebagai aspek kontrol ke enam. Salah satu hal yang
diedukasikan adalah prognosis pasien. Secara umum, kondisi akut pasien telah teratasi,
sehingga saat ini prognosis dubia ad vitam pasien bonam. Dengan perawatan dan pencegahan
sekunder yang baik, fungsi tungkai masih dapat berfungsi baik serta kekambuhan dapat
dicegah. Salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah pemilhan sepatu yang pas
disesuaikan dengan ukuran kaki pasien saat ini. Oleh karena itu, pasien harus sering kontrol
ke poliklinik dan menjalani pengobatan. Melihat kadar HbA1C pasien dan konsumsi obat
yang teratur, prognosis ad functionam serta ad sanationam pasien digolongkan dubia ad
bonam.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Yunir E, Purnamasari D, Ilyas E, Widyahening IS, Mardai RA, Sukardji K. Pedoman
penatalaksanaan kaki diabetik. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. 2008.
2.
Wounds International Group. Best practice guidelines: wound management in diabetic
foot ulcers. London: Wounds International. 2013; p. 2-20
3. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2009; p. 1933-36.
4. Apelqvist J, Bakker K, Houtum WHV. Practical guidelines on the management and
prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev 2008; 24(1):181-187
5. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al.
Diabetic foot disorders: a clinical practice guideline. Journal of Foot and Ankle Surgery
2006; 45(5):6-19.
6. Rowe VL. Diabetic Ulcers Treatment & Management. 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/460282-treatment#showall. Accessed Januari 28,
2014.
7. Tongson L, Habawel DL, Evangelista R, Tan JL. Hyperbaric oxygen therapy as
adjunctive treatment for diabetic foot ulcers. Wounds International 2013; 4(4): 8-10.
8. Giglia J, Jarboe M. Lower Extremity Amputation. In: Greenfield’s Surgery: Scientific
Principles and Practice [e-book]. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.2006.
9. Seo SG, Yeo JH, Kim JH, Kim JB, Cho TJ, Lee DY. Negative-pressure wound therapy
induces endothelial progenitor cell mobilization in diabetic patients with foot infection or
skin defects. Experimental & Molecular Medicine 2013; 45: 1-5.
10. Daewoong. The Best Solution CuraVAC. Seoul: Daewoong Bio Incorporated.p.2-7.
11. Hong JP. Addresing the vertical and horizontal aspects of the wound by using negative
pressure wound therapy and growth factors. Wounds International 2013; 4(4): 6-7.
34
Download