PRESENTASI KASUS ULKUS DM Oleh: Alia Nessa Utami (0906507772) Lutfie (0906487871) Narasumber: dr. Suhartono, SpB(K)BV MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS I. Identitas Nama : Tn. MP Tanggal lahir : 21 Oktober 1959 Usia : 54 tahun RM : 371-55-88 Alamat : Jl. S. Kampar XI No. 793, RT 014/01, Cilincing Pendidikan terakhir : SMA Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Kristen protestan Status pernikahan : Sudah menikah Masuk Rumah Sakit : 28 November 2013 II. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 23/1/2014) Keluhan utama Nyeri kaki yang memberat sejak 3 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh nyeri kaki yang memberat sejak 3 hari SMRS. Nyeri telah dirasakan sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah kanan 1 bulan SMRS. 1 bulan yang lalu, tiba-tiba muncul luka di jempol kaki kanan dan punggung kaki kanan. Luka timbul setelah pasien memakai sepatu yang rutin dipakai oleh pasien ke tempat kerja. Riwayat trauma disangkal. Luka dirasa nyeri seperti berdenyut, VAS 4-5. Keluhan demam ada, namun pasien hanya mengonsumsi obat warung. Setiap hari, pasien merawat luka sendiri di rumah, kemudianluka bertambah luas dan semakin nyeri. Pasien kemudian berobat ke klinik, diberikan antibiotik (pasien lupa nama antibiotik tersebut). Sejak 1 minggu SMRS, luka bertambah luas, pasien semakin tidak kuat untuk berjalan dan beraktivitas. Nyeri semakin bertambah hingga pasien susah tidur, di daerah luka, VAS 67, dirasa berdenyut. 2 Sejak 3 hari SMRS, nyeri di kaki memberat, dirasa berdenyut dengan VAS 7-8. Keluhan disertai dengan demam yang terus menerus dan nafsu makan menurun. Mualmuntah disangkal. Pasien memiliki riwayat luka sebelumnya di tungkai atas kiri sejak 2 tahun yang lalu. 1 tahun yang lalu, luka kembali muncul di tungkai bawah kiri. Pasien kemudian menjalani operasi untuk membersihkan luka tungkai atas dan bawah kiri. Pasien telah didiagnosis diabetes melitus sejak 14 tahun yang lalu, saat itu mengeluh cepat lapar, cepat haus, dan sering buang air kecil (3P +). Sejak 14 tahun yang lalu, pasien memiliki riwayat luka yang sukar sembuh dan timbul bisul kehitaman, terutama di jari-jari tangan dan kaki. Pasien mengontrol gula dengan glucophage 3x1 tab, rutin kontrol ke poli. Keluhan pandangan kabur ada, pasien belum berobat. Keluhan tangan kaku dan kesemutan disangkal. Riwayat keluhan sesak napas ada, pasien dikatakan memiliki sakit jantung sejak 1 tahun yang lalu. Selama perawatan, pasien telah menjalani operasi debridement 1x. Saat itu juga dilakukan pemasangan CuraVAC. Pasien juga telah menjalani terapi heparin. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi dan asma disangkal. Pasien pernah dirawat di rumah sakit 1 tahun yang lalu, saat itu dikatakan memiliki sakit jantung dan paru-paru terendam air. 1 tahun yang lalu, pasien juga menjalani operasi untuk membersihkan luka yang terdapat pada tungkai kirinya. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, dan alergi di keluarga disangkal. Riwayat terdapat penyakit jantung dan paru di keluarga disangkal. Keluhan serupa di anggota keluarga lain disangkal. Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai kontraktor, telah bekerja sejak 21 tahun yang lalu. Saat ini pasien memiliki 4 orang anak dan membayar dengan menggunakan KJS (Kartu Jakarta Sehat). Sehari-hari, pekerjaan pasien sebagai kontraktor membuat pasien harus memakai sepatu yang sempit untuk naik dan turun tangga. Sebelumnya, pasien tidak pernah menggunakan sepatu khusus untuk penyandang kaki diabetik. 3 Hingga saat ini, pasien masih menjalani diet DM, berat badan telah turun sebanyak 22 kg dalam 14 tahun terakhir. Pasien jarang berolahraga. Selama 30 tahun, pasien merokok 5 bungkus/hari. Semenjak 5 tahun yang lalu (2009), pasien telah berhenti merokok. Konsumsi alkohol disangkal. III. Pemeriksaan Fisik (7/1/2014 dan 23/1/2014) Kesadaran : kompos mentis Keadaan umum : tampak sakit ringan Tekanan darah : 100/60 mmHg Nadi : 83x/menit Suhu : 36,7°C Pernapasan : 20x/menit Kulit Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat, tidak terdapat ikterik dan hiperpigmentasi, turgor baik. Mata Konjungtiva pucat tidak ada dan sklera ikterik tidak ada Tenggorokan Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1 Gigi Dan Mulut Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang Leher Posisi trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2 cmH2O Jantung A : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada Paru A : Vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada Abdomen I :Datar, lemas, tidak tampak benjolan P : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri ketok CVA -/-, ballotement -/P : Timpani, shiffting dullness tidak ada A : Bising usus normal 3x/menit 4 Ekstremitas Akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis tidak teraba dan simetris kanan maupun kiri (lengkap lihat status lokalis) Status Lokalis (Pre-op) Terpasang curavac pada regio cruris dan pedis dekstra (Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada 1/3 proksimal regio femur sinistra bagian medial (Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada regio cruris sinistra medial Terdapat kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan, perubahan warna dan penebalan kuku kaki Pemeriksaan Vaskular Kaki Kanan Arteri dorsalis pedis Arteri tibialis posterior Kaki Kiri Palpasi: tidak teraba Palpasi: tidak teraba Tekanan sistolik: 60 Tekanan sistolik: 60 Pulsasi: tidak teraba Pulsasi: tidak teraba Tekanan sistolik: - Tekanan sistolik: - TD sistolik arteri brachialis: 100 / 100 mmHg (kanan / kiri) ABI (ankle brachial index): 0,6 Pemeriksaan Neurologis Sensoris: dengan monofilamen 10 gram: tidak normal (kaki kanan dan kiri) Klasifikasi PEDIS: P: Penyakit Arteri Perifer tapi tidak kritis (0,6-0,9) E: Tidak diperiksa. D: Ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur subkutan, fasia, otot, atau tendon. I: Riwayat infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, instabilitas metabolik, hipotensi, azotemia S: ada neuropati dengan monofilamen 10 g. 5 Gambar 1. Regio Femur Sinistra Gambar 2. Regio Cruris Sinistra Gambar 3. Regio Cruris Dextra (pre-op) Gambar 4. Regio Cruris Dextra (post-op) (terbalut verban) 6 Gambar 5. Regio Pedis Dextra (post-op) IV. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium (16/1/2014) –pre-op Hasil Satuan Nilai Rujukan Hemoglobin 9,6 g/dL 13-17 Hematokrit 30,6 % 40-50 Eritrosit 3,73 10^6/uL 4,5-5,5 MCV/VER 82,0 fL 80,0-95,0 MCH/HER 25,7 pg 27,0-31,0 MCHC/KHER 31,4 g/dL 32,0-36,0 Jumlah trombosit 410 10^3/uL 150-400 Jumlah leukosit 9,51 10^3/uL 5-10 Natrium (Na) darah 138 mEq/L 132-147 Kalium (K) darah 4,43 mEq/L 3,30-5,40 Klorida (Cl) darah 101,3 mEq/L 94,0-111,0 GDS 175 Mg/dl A1C 5,8 Darah perifer lengkap Elektrolit b. Laboratorium (24/1/2014) –post-op Hasil Satuan Nilai Rujukan Darah perifer lengkap 7 Hemoglobin 9,5 g/dL 13-17 Hematokrit 30,1 % 40-50 Eritrosit 3,76 10^6/uL 4,5-5,5 MCV/VER 80,1 fL 80,0-95,0 MCH/HER 25,3 pg 27,0-31,0 MCHC/KHER 31,6 g/dL 32,0-36,0 Jumlah trombosit 85 10^3/uL 150-400 Jumlah leukosit 7,99 10^3/uL 5-10 Basofil 0,6 % 0,5-1,0 Eosinofil 3,6 % 1-4 Neutrofil 72,2 % 55,0-70,0 Limfosit 14,1 % 20-40 Monosit 9,5 % 2-8 Laju Endap Darah 77 mm 0-10 Ureum darah 27 mg/dL <50 Kreatinin darah 0,60 mg/dL 0,8-1,3 eGFR 116,4 mL/min 79,0-117,0 Pasien 14,5 Detik 9,8-12,6 Kontrol 11,6 Detik Pasien 38,7 Detik Kontrol 29,6 Detik Hitung Jenis Kimia klinik Hemostasis PT APTT c. 31,0-47,0 Radiologi Pemeriksaan radiografi femur sinistra Kedudukan tulang femur baik, tidak tampak subluksasi, dislokasi Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik Celah sendi dan permukaan sendi coxae ataupun femurotibial baik Soft tissue swelling regio femur sinistra 8 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis Gambar 6. Radiografi Femur Sinistra Pemeriksaan radiografi cruris sinistra (AP dan lateral) Kedudukan tulang-tulang cruris baik, tidak tampak subluksasi, dislokasi Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik Celah sendi dan permukaan sendi femurotibial ataupun talocrural baik Soft tissue swelling regio cruris sinistra Tidak tampak tanda osteomyelitis Gambar 7. Radiografi Cruris Sinistra 9 Radiografi Pedis Dextra Kesan: Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik, celah sendi normal, tampak soft tissue swelling Gambar 8. Radiografi Pedis Dextra Foto Rontgen Thorax AP Kesan: Corakan bronkovaskular meningkat CTR >50% Gambar 9. Rontgen Thorax AP 10 USG Doppler Tungkai (3/12/2013) Kanan o Arteri femoralis komunis, 7,2 mm, plaque 3,1 mm, bifasik, PS: 19,1 cm/s, VolFlow: 19,6 ml/min o Arteri poplitea dekstra, 2,6 mm, plaque 1,3 mm, monofasik, PS: 12,2 cm/s, VolFlow: 14,7 ml/min Kiri o Arteri femoraliskomunis, 5,6 mm, plaque 0,5 mm, bifasik, PS: 22,3 cm/s, VolFlow: 73,9 ml/min o Arteri poplitea, 4,8 mm, bifasik, PS: 34,9 cm/s, VolFlow: 127,7 ml/min o Arteri dorsalis pedis, 1,7 mm, monofasik, VolFlow: sulit dinilai o Arteri ribilais posterior, 1,3 mm, sulit dinilai V. Laporan Operasi (Debridement dan pemasangan curavac) Pasien telentang di atas meja operasi dalam anestesi blok A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya Evaluasi luka, dilakukan debridement hingga batas jaringan sehat, pus (+), jaringan nekrotik (+), slough (+), granulasi ada Dilakukan pencucian dengan salin steril Dikeringkan, dipasang curavac dengan spons pada area yang pus lebih banyak Operasi selesai V. Daftar Masalah o Ulkus DM pedis et cruris dekstra pro debridement + STSG o PAD o DM tipe II o CHF fc. II-III VI. Tata Laksana (23/01/2014) Kontrol mekanik: istirahatkan kaki Kontrol luka o Rencana tutup luka dengan STSG (soft tissue skin graft) 11 Kontrol infeksi: Ciprofloxacin 2x400 mg iv Kontrol metabolik: Lantus 1x6 unit sc, Novorapid 3x8 unit sc Kontrol edukasi Atasi nyeri o Tramadol 3x50 mg VII. Prognosis Ad vitam : bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam Ad sanasionam : dubia ad bonam 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Ulkus DM Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik Diabetes Melitus (DM) yang paling kompleks karena melibatkan tindakan amputasi. Angka kematian akibat ulkus atau gangren DM di Indonesia berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi saat ini berkisar 15-30%.1 II. Patofisiologi Kejadian kaki diabetik melibatkan berbagai komponen, seperti neuropati perifer, gangguan vaskular, infeksi, dan perubahan tekanan plantar. Neuropati perifer dan gangguan vaskularisasi terutama memegang peranan penting dalam patofisiologi kaki diabetik.2 a. Neuropati perifer Manifestasi klinis neuropati perifer terhadap saraf otonom, sensorik, dan motorik dapat meningkatkan risiko terjadinya kaki diabetik. Hal tersebut terjadi akibat tiga hal berikut: - Neuropati pada saraf sensorik mengurangi fungsi protektif saraf, sehingga kemungkinan terpajan trauma fisik, kimia, dan suhu semakin meningkat. Fungsi protektif saraf sensoris yang menurun dapat meningkatkan risiko ulkus DM hingga tujuh kali lipat.1,2 - Neuropati motorik menyebabkan deformitas kaki (hammer toes, claw foot), sehingga distribusi tekanan pada tonjolan tulang di kaki menjadi tidak normal. Hal tersebut disebabkan oleh atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik (m. introsseus dan lumbrikal) sehingga terjadi peningkatan tekanan pada daerah metatarsal dan ujung jari kaki. 1,2 - Neuropati pada saraf otonom berkaitan dengan kulut yang kering. Kulit kering dapat menimbulkan fisura, kalus, dan kulit pecah-pecah. Bounding pulse yang terjadi pada neuropati otonom seringkali salah diinterpretasikan sebagai sirkulasi yang baik. Neuropati otonom juga menyebabkan vasodilatasi perifer. Hal tersebut meningkatkan pintasan arteri-vena yang mempengaruhi perfuwsi tulang pada ekstremitas bawah. Akibatnya, terjadi peningkatan resorpsi tulang yang menyebabkan fraktur neuropati (charcoat foot). 1,2 Refleks tendon Achilles dapat ditemui menurun pada gangguan neuropati perifer, terjadi pula gangguan sensasi yang dibuktikan dengan Semmes Weinsten Monofilament yang 13 bertujuan mengetahui ambang rasa tekan. Sensasi proteksi masih ada bila pengidap kaki diabetik masih merasakan tekanan monofilamen berukuran 5,07 yang setara dengan tekanan 10 gram.1 b. Gangguan vaskular Gangguan vaskularisasi, terutama makroangiopati dan mikroangiopati acap terjadi pada pasien diabetes. Risiko untuk mendapat peripheral artery disease (PAD) pada pasien diabetes dapat mencapai dua kali lipat. Vaskularisasi yang tidak baik merupakan merupakan penyebab utama kaki diabetik pada 50% pasien.2 Mikroangiopati pada pasien diabetes menyebabkan penyembuhan luka menjadi terganggu.2 Gangren yang luas dapat terjadi karena sumbatan pembuluh darah luas yang dapat berujung pada amputasi. Adanya gangguan pembuluh darah dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik (nilai Ankle Brachial Index dan perabaan pulsasi denyut nadi), alat ultrasound Doppler, dan angiografi.1 Diagram 1. Patofisiologi Kaki Diabetik3 c. Perubahan tekanan plantar kaki Tekanan pada bagian lateral kaki (kaput metatarsal jari III, IV, dan V) baik pada orang sehat maupun penyandang neuropati diabetik tidak berbeda. Akan tetapi, pada sebagian besar penyandang DM dengan neuropati, terdapat tekanan yang lebih tinggi pada kaput metatarsal 14 jari I, sementara tumit memiliki beban tekanan yang lebih tinggi pada orang sehat. Tidak terdapat perbedaan tekanan pada sisi-sisi plantar kaki yang lain.2 Bagian yang menerima tekanan lebih besar, seperti kaput metatarsal jari III disusul kaput metatarsal jari I sering mengalami tukak. Hal tersebut menjadi pertimbangan saat memilih bentuk insole pada penyandang kaki DM.1 Penyebab terjadinya luka pada penyandang kaki DM:1 o Tekanan terus menerus o Luka tusuk o Home surgery o Antiseptik o Tekanan berulang o Trauma panas Gambar 1. Area Berisiko Kaki DM2 Gambar 2. Area Berisiko Kaki DM4 Faktor risiko terjadinya kaki DM meliputi antara lain:5 Neuropati perifer Penglihatan kabur PAD Kontrol gula darah buruk Infeksi Usia lebih tua Riwayat ulkus DM Jenis kelamin laki-laki Deformitas kaki struktural Ras (paling banyak di hispanik dan Trauma Charcoat foot kulit hitam) 15 III. Klasifikasi Terdapat berbagai klasifikasi kaki diabetes, penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Berikut berbagai jenis klasifikasi kaki DM. Tabel 1. Klasifikasi Texas Modifikasi1 Stadium Tingkat A 0 = tanpa tukak atau pasca tukak, kulit intak/utuh tulang 1 = luka superfisial, tidak sampai tendon atau kapsul sendi 2 = Luka sampai tendon atau kapsul sendi 3 = Luka sampai tulang/sendi B 1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan Infeksi 2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-) 3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia C 1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia Iskemi 2 = critical limb ischemia D B1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan Infeksi dan B2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-) Iskemi B3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia C1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia C2 = critical limb ischemia Klasifikasi yang masih banyak dipakai hingga kini adalah klasifikasi Wagner.3 Detailnya adalah sebagai berikut: 0: kulit intak/utuh 1: tukak superfisial 2: tukak dalam (sampai tendon dan tulang) 3: tukak dalam dengan infeksi 4: tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki 5: tukak dengan gangren luas seluruh kaki 16 Tabel 2. Klasifikasi PEDIS3 Impaired Perfusion 1= tidak ada 2= PAD + tetapi tidak critical 3= critical limb ischemia Size/Extent in mm2 1= fullthickness superfisial, tidak lebih dalam dari dermis Tissue Loss/Depth 2= ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur subkutan, fasia, otot, atau tendon 3= seluruh lapisan kaki terlibat, termasuk tulang dan sendi Infection 1= tidak ada tanda dan gejala infeksi 2= infeksi kulit dan jaringan subkutan 3= eritema >2 cm atau infeksi yang meliputi struktur subkutan. Tidak ada tanda sistemik respons inflamasi 4= infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, lekositosis, shift to the left, instabilitas metabolik, hipotensi, azotemia Impaired Sensation 1= absent 2= tidak ada Terdapat pula klasifikasi lain yang acap dipakai, seperti klasifikasi Liverpool:3 Klasifikasi primer Klasifikasi sekunder Vaskular Neuropati Neuroiskemik Tukak sederhana, tanpa komplikasi Tukak dengan komplikasi IV. Pendekatan Ulkus DM Pendekatan diagnosis kaki DM dilalui dengan anamnesis keluhan dan faktor risiko, kemudian pemeriksaan fisik menyeluruh dan pemeriksaan penunjang.1 Pada anamnesis, harus dievaluasi mengenai penyakit DM, kontrol gula darah, serta komplikasinya. Harus diteliti pula mengenai riwayat merokok, status gizi, dan lain-lain. Aktivitas sehari-hari, pemakaian sepatu, riwayat pajanan bahan kimia, kalus, infeksi, gejala neuropati, klaudikasio, kelainan bentuk kaki, dan riwayat luka harus ditanyakan secara cermat. Tanyakan pula menenai charcoat foot dan riwayat keluarga.1,2,4 17 Pemeriksaan fisik terdiri atas beberapa jenis, meliputi pemerikssaan vaskular, neuropati, kulit, tulang dan otot, serta sepatu atau alas kaki.1,2 Perabaan pulsasi arteri tungkai merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, ada atau tidaknya perubahan warna kulit, suhu, dan edema juga harus diperhatikan. Pemeriksaan neurologi harus meliputi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Dalam meneliti kelainan motorik, dapat ditemui lengkung longitudinal kaki yang lebih meninggi, sehingga terjadi peningkatan tekanan pada kaput metatarsal I. Kelemahan nervus peroneal dapat menyebabkan foot drop. Pemeriksaan sensoris dilakukan dengan monofilamen Semmes Weinstein 10g.1,4 Alas kaki pasien juga harus diperiksa. Perhatikan jenis sepatu, bentuk dan jenis insole, kecocokan dengan bentuk kaki, serta ada atau tidaknya benda asing di dalam alas kaki.1 Gambar 3. Pemeriksaan Monofilamen2 Gambar 4. Kaki Nekrotik2 18 Setelah itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Seluruh faktor yang berperan penting dalam penyembuhan luka harus diteliti, seperti faktor hemostasis, fungsi ginjal, jantung, hati, dan paru-paru. Ada atau tidaknya infeksi pada luka juga harus diteliti, jika ada, dilakukan kultur pus luka. Foto polos pedis dapat dilakukan untuk deteksi osteomielitis. Faktor vaskular juga harus diteliti dengan cermat melalui beberapa pemeriksaan, seperti ABI (ankle brachial index, butuh penilaian lanjut jika ABI <0,7, toe blood pressure <40 mmHg atau TcPO2 <30 mmHg), USG Doppler, dan arteriografi.1 Tabel 3. Diagnosis Infeksi pada Kaki Diabetes2 19 Bagan 2. Algoritma Pasien Kaki Diabetik5 20 V. Pengelolaan Kaki Diabetes Secara garis besar, pengelolaan pada kasus kaki diabetik mencakup 2 kelompok besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan progresinya menuju ulkus yang dikenal sebagai pencegahan primer serta pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah atau dikenal sebagai pencegahan sekunder. Pengelolaan kaki diabetes tidak dapat diperankan oleh satu bidang tertentu dalam dunia kedokteran, namun menjadi sebuah bentuk kerja sama multidisiplin di antara seluruh bidang ilmu yang terkait. Pencegahan Primer Berdasarkan risiko terjadinya masalah pada kaki seorang penyandang diabetik, Frykberg membuat klasifikasi kaki menjadi: Sensasi normal tanpa deformitas Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi Insensititivas tanpa deformitas Iskemia tanpa deformitas Kombinasi / komplikata Pencegahan kaki diabetik biasanya dilakukan sesuai dengan keadaan risiko kaki. Pada kelompok risiko kategori 3 dan 5, diperlukan pemilihan alas kaki yang tepat untuk melindungi kaki yang telah menjadi insensitif. Demikian pula halnya pada pasien dengan faktor risiko 2 dan 5, agar tekanan pada kaki dapat lebih merata. Pada faktor risiko 4, diperlukan latihan khusus untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.3 Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci pencegahan primer ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga dibarengi dengan pemeriksaan rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu dilepas.3 Senam kaki juga disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai bawah serta melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu melancarkan aliran darah ke kedua kaki. Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali seminggu.1 21 Pencegahan Sekunder Untuk dapat mengelola kasus kaki diabetik secara lebih komprehensif, dilakukan kontrol terhadap setidaknya 6 faktor, yaitu kontrol metabolik, vaskular, luka, mikrobiologik / infeksi, tekanan, serta edukasi. Kontrol Metabolik, merupakan upaya kendali pada kadar glukosa darah pasien agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Hal ini umumnya dicapai dengan penggunaan insulin. Di samping itu, dilakukan pula koreksi kadar albumin serum, kadar Hb, serta derajat oksigenasi jaringan.1,3 Kontrol Luka, merupakan bentuk upaya perawatan luka. Prinsip terpenting yang harus diketahui adalah luka memerlukan kondisi optimal / kondusif. Setelah dilakukan debridemen yang baik dan adekuat, maka jaringan nekrotik akan berkurang dan dengan sendirinya produksi pus dari ulkus juga akan berkurang. Di samping itu, debridemen juga berfungsi untuk mengurangi tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan menjadi aerob, mempermudah swab, dan membuat luka koronik menjadi akut kembali. Tahapan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan dressing yang disesuaikan dengan keadaan dan letak luka. Pada luka yang masih produktif, dipakai dressing dengan komponen penyerap seperti carbonated dressing dan alginate dressing mengingat sifatnya yang absortif. Bila luka tersebut terinfeksi, dapat digunakan hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated dressing dengan efek kerja dari kandungan antibiotik di dalamnya. Bila luka telah relatif baik, dilakukan hydrocolloid dressing dengan sifat yang impermeabel sehingga dapat mempertahankan lingkungan lembab yang dapat dipertahankan selama beberapa hari. 1,3,6 Kontrol Mikrobiologik atau Kontrol Infeksi, merupakan pengetahuan mengenai jenis mikroorganisme pada ulkus, dengan demikian dapat pula dilakukan penyesuaian antibiotik yang digunakan dengan tetap melihat hasil biakan kuman dan resistensinya. Pada ulkus DM, umumnya pola kuman yang ditemukan polimikrobila dengan kombinasi gram positif, gram negatif, serta anaerob. Oleh karena itu, mutlak diberikan antibiotik dengan spektrum luas misalnya golongan sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol. 1,3 Kontrol Tekanan / Mekanik, merupakan salah satu bentuk modifikasi yang penting untuk proses penyembuhan luka mengingat setiap kaki digunakan untuk berjalan dan menahan berat badan luka akan sulit menyembuh. Untuk mencapai keadaan non weight- 22 bearing, dapat dilakukan modifikasi non surgikal maupun surgikal. Secara non surgikal, kaki diistirahatkan serta dapat diberikan removable cast walker, total contact casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, dan craddled insoles. Secara surgikal, dapat dilakukan dekompresi ulkus / abses melalui insisi, serta koreksi bedah unntuk setiap bentuk deformitas yang terjadi pada kaki. 1,3 Adapun pada pasien degan kaki DM, terdapat kriteria sepatu yang aman untuk digunakan, yaitu: Ruang jari kaki pada sepatu (toe box) cukup lebar sehingga tidak terjadi penekanan. Panjang sepatu diukur dari tumit sampai 0,5 inch dari ujung jari kaki terpanjang. Lebar sepatu diukur dari kaput metatarsal I-V. Memiliki tali atau sabuk pengaman sehingga kaki terfiksasi dalam sepatu dan mengurangi geseakan antara kaki dan lapisan dalam sepatu selama berjalan. Tinggi hak sepatu tidak lebih dari 5 cm untuk mengurangi tekanan berlebihan pada bagian metatarsal. Bahan untuk insole / alas kaki lunak Sepatu dibeli pada sore/malam hari mengingat secara relatif kaki lebih membengkak setelah beraktivitas seharian Penggunaan kaus kaki atau stoking untuk mencegah luka lecet pada kaki.1 Kontrol Edukasi, berupa penyuluhan pada penyandang DM beserta anggota keluarganya terkait segala upaya yang dapat dilakukan guna mendukung optimalisasi penyembuhan luka, termasuk di antaranya kondisi saat ini, rencana diagnosis dan terapi, serta prognosis. 1,3 Kontrol Vaskular, merupakan salah satu faktor kunci untuk kesembuhan luka. Terkait diagnosis kondisi vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan sederhana berupa pemeriksaan warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan mulai dari yang bersifat non invasif seperti Ankle Brachial Index (ABI) hingga invasif seperti arteriografi. 1,3 Terkait kontrol vaskular, dapat dilakukan modifikasi faktor risiko berupa penghentian merokok, kendali hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia, serta program berjalan. Terapi medikamentosa disinyalir juga mendapatkan tempat untuk memperbaiki kondisi vaskular yang ada. Untuk setiap penyandang DM dengan penyakit vaskular perifer, disarankan pemberian anti platelet (aspirin 75 mg sehari atau clopidogrel 75 mg sehari bila tidak toleran 23 terhadap aspirin) dan golongan statin. Apabila ditemui kemungkinan kesembuhan luka yang rendah atau ditemui klaudikasio intermitten hebat, dapat dianjurkan tindakan revaskularisasi atas dasar hasil pemeriksaan arteriografi yang telah dilakukan. Untuk oklusi yang panjang, dianjurkan operasi bedah terbuka sedangkan untuk oklusi yang penddek dapat dipikirkan prosedur endovaskular – PTCA. Untuk keadaan yang bersifat akut, dapat dilakukan tromboarterektomi. 3 Dewasa ini, terdapat kemajuan pesat terkait dengan metode revaskularisasi yang dapat dilakukan, misalnya terapi oksigen hiperbarik yang dikatakan dapat memperbaiki vaskularisasi dan okisgenasi jaringan luka pada kaki sebagai sebuah terapi ajuvan.3 Dengan pemberian oksigen bertekanan tinggi, diharapkan kadar oksigen dalam darah akan menjadi lebih tinggi, demikian pula dengan kapasitas difusinya ke dalam jaringan. Pada kadar oksigen yang lebih tinggi, stimulasi neovaskularisasi, replikasi fibroblas, serta fagositosis akan berjalan dengan lebih baik.6,7 Keenam jenis kontrol ini menjadi pedoman utama dalam penanganan kaki diabetik dalam konteks rawat jalan maupun rawat inap. Secara ringkas, algoritma tatalaksana ulkus DM dijelaskan pada bagan 3. Adapun rawat inap terutama diindikasikan pada ulkus yang mencapai lapisan subkutan atau lebih dalam disertai adanya gejala SIRS. Pada kasus-kasus rawat inap, antibiotik yang digunakan biasanya merupakan antibiotik jenis kombinasi dengan tindakan nekrotomi serta kontrol hiperglikemia yang lebih agresif, umumnya menggunakan insulin.1 24 25 Bagan 3. Algoritma Ulkus Diabetik 5 Terapi Nutrisi pada Kasus Kaki Diabetik Terapi nutrisi mutlak diperlukan guna menunjang proses penyembuhan luka. Adapun rekomendasi gizi yang diberikan ialah makanan yang sehat dan seimbang dngan cukup energi dan protein. Perhitungan kecukupan kalori pada penatalaksanaan ulkus DM wajib memperhitungkan faktor infeksi atau stres yang lebih tinggi pada pasien rawat inap, dengan 26 kalori basal dihitung dengan mengalikan berat badan ideal pasien dengan 30 kcal pada lakilaki atau 25 kcal pada perempuan. Untuk proses penyembuhan luka, diperlukan sekitar 1,5-2 gram protein per kg berat badan per hari. Karbohidrat disarankan menyusun sekitar 45-65% dari kebutuhan kalori karena bila tidak terpenuhi akan memperberat hipoalbuminemia akibat pemecahan protein. Asam lemak esensial dikatakan dapat mempengaruhi penyembuhan luka melalui sinstesis sel baru, sehingga diberikan sebanyak 20-25% dari kebutuhan energi, degan asam lemak jenuh < 7%, lemak tidak jenuh < 10%, dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal. Mikronutrien sepertu vitamin dan mineral juga dibutuhkan, misalnya vitamin A, vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin E, vitamin K, besi, seng, selenium, dan lain-lain.1 Tindakan Pembedahan pada Kaki Diabetik Di bidang bedah, terapi surgikal umumnya lebih banyak ditujukan dalam bentuk nekrotomi jaringan nekrotik / debridemen.1 Apabila selama debridement tulang dapat divisualisasi atau dipalpasi, dapat dicurigai terjadinya osteomielitis. Terapi bedah dapat diklasifikasikan sebagai: Kelas 1 (elektif, untuk menangani deformitas tanpa gangguan sensasi) Kelas 2 (profilaktif, untuk mengurangi risiko ulserasi atau reulserasi pada pasien dengan gangguan sensoris, namun tanpa luka terbuka) Kelas 3 (kuratif, unntuk membantu penyembuhan luka terbuka) Kelas 4 (emergent, untuk menghentikan progresi infeksi akut) 5 Pada bidang vaskular, dilakukan penilaian apakah terdapat penyakit aterokslerotik pada semua kasus. Dalam hal ini, dilakukan pemeriksaan pada seluruh arteri kaki yang dapat diperiksa. Bila diperlukan, dapat dilakukan restorasi perfusi melalui rekonstruksi distal, misalnya berupa bypass atau angioplasti perifer dan rekanalisasi segmen yang teroklusi. Adapun indikasi pembedahan ini ialah rasa nyeri yang sama sekali tidak dapat ditahan pada saat istirahat atau malam hari, luka kompleks / sulit dikontrol, dan gangren.6 Amputasi umumnya merupakan pilihan terakhir pada penanganan kaki diabetik mengingat sifatnya yang permanen. Amputasi umumnya dilakukan untuk alasan live saving, terutama untuk mencegah penyebaran asendens dari infeksi atau kematian jaringan.5 Indikasi amputasi ekstremitas bawah umumnya adalah komplikasi diabetes melitus, umumnya berupa gangren pedis, ulkus yang tidak menyembuh, serta nyeri saat istirahat yang sama sekali tidak 27 tertangani (60-80%), infeksi non diabetik dengan iskemia (15-25%), iskemia tanpa infeksi (510%), osteomielitis kronik (3-5%), trauma (2-5%), dan lain-lain. Prosedur ini dapat dilakukan setinggi digital tertentu, trans metatarsal, Syme’s, below knee, disartikulasi lutut, suprakondilar, paha tengah, paha tinggi, dan disartikulasi panggul.8 Bagan 4. Terapi Pembedahan pada Kaki Diabetik Negative Pressure Wound Therapy / NPWT Luka dengan tendon, saraf, serta tulang yang terekspos didefinisikan sebagai luka kompleks. Adapun kompleksitas luka dapat diperparah pada ukuran luka yang besar, trauma tumpul, infeksi, kronisitas, dan riwayat radiasi sebelumnya, mengakibatkan luka menjadi sulit untuk mengalami penyembuhan.10,11 Manajemen luka kompleks pada dasarnya tetap dapat dicapai dengan penutupan luka. Walaupun pembedahan merupakan terapi terpilih, saat ini penggunaan terapi tekanan negatif 28 (Negative Pressure Wound Therapy / NPWT) mulai mendapat posisi pada praktik klinis sebagai terapi ajuvan, misalnya CuraVAC. Alat ini bekerja dengan cara mempercepat pembentukan jaringan granulasi melalui penyedotan eksudat, stabilisasi lingkungan luka, dan aplikasi stres mekanis.9,10,11 Dengan penyedotan eksudat, diperoleh edema yang lebih minimal, berkurangnya risiko infeksi, berkurangnya sitokin pro inflamasi, serta meningkatnya perfusi aliran darah dan oksigen. Adapun stres mekanik dapat mendukung terjadinya angiogenesis (mikrodeformasi) dan pembentukan jaringan granulasi (makrodeformasi) yang lebih cepat.10 NPWT terbukti efektif untuk meningkatkan organisasi kolagen, ekspresi VEGF dan fibroblast growth factor 2. Ditinjau secara molekular, NPWT juga memicu neovaskularisasi melalui mediasi mobilisasi endothelial progenitor cell. Dengan demikian, akan teraktivasi jalur HIF/VEGF dengan vaskulogenesis dan peningkatan vaskularisasi sebagai hasil akhirnya.9 Selain itu, data juga menunjukkan bahwa kejadian amputasi sekunder pada pemakaian NPWT juga dapat ditekan. Gambar 5. Mekanisme Kerja Curavac 10 Kedua mekanisme ini berjalan melalui pemberian tekanan negatif, umumnya 125 mmHg, kemudian dihubungkan pada unit penyedot. Hasil akhir yang diperoleh adalah peningkatan perfusi vaskular dan penutupan luka yang lebih cepat. Tekanan dapat diberikan secara kontinyu, intermitten, maupun variasi siklik. Dengan pemberian tekanan secara siklik, nyeri yang dirasakan umumnya berkurang.10,11 Indikasi penggunaan alat ini adalah ulkus diabetik, ulkus dekubitus, ulkus traumatik (sindrom kompartemen), ulkus sternal, STSG, donor site, serta cedera jaringan lunak sebelum 29 terapi surgikal.10,11 Pada kasus ulkus diabetik, adanya insufisiensi arteri perifer menambah kebutuhan pemakaian NPWT ini. Kontraindikasi sistem tekanan negatif ini ialah fistula organ / rongga tubuh, jaringan nekrotik, kanker, dan osteomielitis yang tidak ditangani.10 Setelah administrasi NPWT dijalankan dan luka diyakini telah bersih, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah administrasi flap / skin graft.6,11 30 BAB III PEMBAHASAN Pasien laki-laki, usia 54 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kaki yang memberat sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan berdenyut dengan VAS yang semakin memberat seiring dengan perkembangannya. Atas sifatnya yang bersifat pulsatil, karakteristik ini sugestif ke arah nyeri akibat sumbatan / oklusi pada arteri perifer. Nyeri yang dirasakan tidak hanya saat beraktivitas / intermitten menandakan bahwa sumbatan yang terbentuk telah cukup bermakna. Keluhan nyeri telah dirasakan sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah kanan sejak 1 bulan SMRS. Luka awalnya muncul di jempol kaki kanan dan dan punggung kaki kanan setelah pasien memakai sepatu yang biasa dipakainya. Area jempol kaki kanan merupakan area dengan penekanan, sehingga luka pada tempat tersebut diperkirakan disebabkan oleh faktor neurogenik sedangkan punggung kaki kanan merupakan tempat vaskularisasi pembuluh darah perifer sehingga luka pada tempat tersebut makin menguatkan dugaan adanya sumbatan. Oleh karena itu, luka pada kaki ini merupakan kombinasi akibat faktor neuropati dan mikroangiopati. Sebagai faktor risiko, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes melitusyang telah ditegakkan sejak 14 tahun lalu. Adapun keluhan per anamnesis saat itu cukup khas yaitu dengan adanya keluhan klasik, penurunan berat badan, serta luka yang sukar sembuh.Di samping itu, pasien juga memiliki riwayat merokok sejak 5 tahun lalu dan jarang berolahraga. Kedua faktor ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan plak ateroma pada pembuluh darah. Dugaan keluhan terkait DM makin kuat dengan adanya komplikasi mikroangiopati lain pada mata berupa pandangan kabur di samping pasien juga mengalami penyakit jantung. Adanya keluhan demam pada pasien menunjukkan terjadinya infeksi dengan fokus infeksi yang paling mungkin berasal dari ulkus / luka pada kaki pasien. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tanda vital dan keadaan umum dalam batas normal. Dari pemeriksaan status lokalis, terdapat jaringan parut hipertrofik pada tungkai kiri pasien sebagai bekas operasi pada luka yang pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan 31 klasifikasi PEDIS, diperoleh perfusi menurun dengan ABI 0,6 sugestif ke arah PAD, ekstensi luka tidak diperiksa karena saat pemeriksaan luka masih ditutup dengan CuraVAC, kedalaman luka diketahui dari pemeriksaan sebelumnya tidak mencapai tulang, terdapat riwayat manifestasi sistemik berupa infeksi, serta terapat gangguan sensorik pada kedua kaki. Di samping itu, ditemukan pula kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan serta perubahan warna dan penebalan kuku kaki. Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa kaki pasien memiliki kecenderungan untuk menjadi luka. Berdasaarkan pemeriksaan penunjang, gula darah serta HbA1C pasien masih berada dalam rentang batas normal, menandakan gula darah saat pemeriksaan dan 3 bulan sebelumnya realtif terkontrol. Adapun pemeriksaan radiologis juga tidak menunjukkan adanya ekspansi luka hingga ke tulang. Pemeriksan USG Doppler menunjukkan beberapa plak yang bermakna pada pembuluh darah arteri, ditunjukkan dengan penurunan aliran darah, terutama pada tungkai kanan. Dengan demikian, ditegakkan diagnosis ulkus DM pedis sinistra, PAD, serta DM tipe 2. Adapun berdasarkan hasil seluruh data ini, sesuai algoritma kaki diabetik, pasien masuk indikasi untuk rawat inap, yaitu dengan adanya tanda-tanda infeksi sistemik. Pada pasien, dilakukan tatalaksana kontrol terhadap 6 aspek. Pada aspek kontrol mekanik, dilakukan pengistirahatan pada kaki sebagai penopang berat tubuh agar dapat memfasilitasi penyembuhan luka. Aspek kontrol infeksi dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk spektrum luas sesuai dengan hasil kultur resistensinya. Saat ini pasien sudah memasuki perawatan pada bulan ke dua, sehingga antibiotik yang digunakan, yaitu Ciprofloxacin 2x400 mg iv, sudah merupakan stepdown dari antibiotik sebelumnya, yaitu Meropenem iv. Kontrol metabolik dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat dan kerja panjang, yaitu Lantus dan Novorapid. Kontrol vaskular telah dilakukan dengan pemeriksaan ABI serta USG Doppler. Pada kasus ini, dapat pula dipertimbangkan arteriografi untuk penilaian yang lebih baik pada kondisi pembuluh darah pasien. Apabila ternyata sumbatan sangat bermakna, dapat dilakukan tindakan invasif oleh dokter bedah vaskular. Kontrol luka dilakukan dengan operasi derbridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dilanjutkan dengan dressing. Terkait kedua kontrol terakhir, terapi terpilih pada pasien adalah pemasangan CuraVAC. Alat ini diketahui bekerja dengan prinsip tekanan negatif yang memfasilitasi 32 terjadinya penyedotan eksudat, stabilisasi luka, serta aplikasi stres mekanis. Adapun NPWT ini diketahui juga dapat memperbaiki aliran darah perifer melalui mobilisasi EPC dan angiogenesis. Setelah terapi NPWT dijalankan, pasien direncanakan untuk menjalani STSG untuk penutupan ulkus pada kakinya. Di samping itu, diberikan pula terapi simtomatis pereda nyeri berupa tramadol drip 3x50 mg. Pasien juga diberikan edukasi sebagai aspek kontrol ke enam. Salah satu hal yang diedukasikan adalah prognosis pasien. Secara umum, kondisi akut pasien telah teratasi, sehingga saat ini prognosis dubia ad vitam pasien bonam. Dengan perawatan dan pencegahan sekunder yang baik, fungsi tungkai masih dapat berfungsi baik serta kekambuhan dapat dicegah. Salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah pemilhan sepatu yang pas disesuaikan dengan ukuran kaki pasien saat ini. Oleh karena itu, pasien harus sering kontrol ke poliklinik dan menjalani pengobatan. Melihat kadar HbA1C pasien dan konsumsi obat yang teratur, prognosis ad functionam serta ad sanationam pasien digolongkan dubia ad bonam. 33 DAFTAR PUSTAKA 1. Yunir E, Purnamasari D, Ilyas E, Widyahening IS, Mardai RA, Sukardji K. Pedoman penatalaksanaan kaki diabetik. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2008. 2. Wounds International Group. Best practice guidelines: wound management in diabetic foot ulcers. London: Wounds International. 2013; p. 2-20 3. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing. 2009; p. 1933-36. 4. Apelqvist J, Bakker K, Houtum WHV. Practical guidelines on the management and prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev 2008; 24(1):181-187 5. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al. Diabetic foot disorders: a clinical practice guideline. Journal of Foot and Ankle Surgery 2006; 45(5):6-19. 6. Rowe VL. Diabetic Ulcers Treatment & Management. 2012. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/460282-treatment#showall. Accessed Januari 28, 2014. 7. Tongson L, Habawel DL, Evangelista R, Tan JL. Hyperbaric oxygen therapy as adjunctive treatment for diabetic foot ulcers. Wounds International 2013; 4(4): 8-10. 8. Giglia J, Jarboe M. Lower Extremity Amputation. In: Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice [e-book]. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.2006. 9. Seo SG, Yeo JH, Kim JH, Kim JB, Cho TJ, Lee DY. Negative-pressure wound therapy induces endothelial progenitor cell mobilization in diabetic patients with foot infection or skin defects. Experimental & Molecular Medicine 2013; 45: 1-5. 10. Daewoong. The Best Solution CuraVAC. Seoul: Daewoong Bio Incorporated.p.2-7. 11. Hong JP. Addresing the vertical and horizontal aspects of the wound by using negative pressure wound therapy and growth factors. Wounds International 2013; 4(4): 6-7. 34