BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanguning urip punika, tan dumunung ana bagusing rupi, dalah sugih banda bandu, miwah sugih kapinteran, amung ing manah ingkang slamet satuhu, pangerehing poncondriyo, minongko sedyo pambudi. (Ki Kusumawicitra, 1917) Bekal hidup itu, tidak berada pada keelokan rupa, Serta kekayaan yang dimiliki, ataupun kekayaan pengetahuan, Tetapi ada di hati yang selamat, Pengendalian hawa nafsu, sebagai tekad yang harus dijalani Manusia menjadi objek yang menarik untuk dibicarakan dan dikaji dalam berbagai wilayah pembahasan disiplin pengetahuan. Segala hal yang dihasilkannya, entah sebagai subjek pelaku, sebagai objek ataupun praktik yang dijalankan seakan menjadi sumber yang berlimpah bagi perkembangan pengetahuan. Demikian pula untuk manusia di Jawa dengan segala peradaban dan kebudayaan yang dihasilkannya. Perkembangan peradaban dan budaya yang terbentuk di Jawa telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Dalam sejarah panjang yang dilalui tentunya ditemukan jejakjejak pemikiran yang dipraktikan, diwariskan, dan dikembangkan. Jalinan perdagangan dan komunikasi dengan pihak luar Jawa turut mewarnai perkembangan budaya Jawa akibat adanya budaya asing yang dibawa oleh pendatang. Akibatnya, terjadilah pertemuan dua kebudayaan yang berbeda, yakni kebudayaan yang dibawa pendatang bertemu dengan budaya yang diyakini masyarakat Jawa pada waktu itu. Interaksi antar budaya inilah 1 yang berakibat pada terbentuknya perpaduan budaya baru yang dihasilkannya. Perpaduan yang terjadi tidak hanya pada batas wilayah kehidupan sehari-hari, tetapi juga sampai pada wilayah kehidupan spiritual berupa pemikiran tentang hakikat hidup dan tujuan hidup manusia di dunia. Para peneliti sebelumnya memperkirakan pada awal tarikh Masehi telah terjadi hubungan di nusantara (khususnya manusia Jawa) dengan para pedagang dari India yang membawa dan menyebarkan kebudayaan Hindu. Kondisi ini semakin berkembang hingga abad ke-6 Masehi. Pada perkembangan berikutnya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 diwarnai kedatangan pengaruh Islam yang dibawa para pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia. Seiring perjalanan waktu, pada abad ke-15 Islam di Jawa berkembang pesat ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak. Pada abad ke-16 diwarnai kedatangan bangsa barat yang menjadikan Indonesia sebagai koloninya (Simuh, 1995: 120-121). Khususnya untuk pulau Jawa, merupakan daerah tempat pertemuan kebudayaan asli dengan kebudayaan Hindu dan Islam yang paling intensif. Akibatnya, sukar sekali untuk mengetahui persis bagaimana keadaan kebudayaan asli Jawa itu (Hadiwijana, 1983: 12). Simuh (1995: 111-112) beranggapan jika agama asli Jawa, yang oleh para pemikir barat disebut Religion Magis, berbentuk kepercayaan animisme-dinamisme. Kepercayaan terhadap ruh-ruh halus dan daya magis di alam semesta dan alam rohani yang eksistensinya berpengaruh dan berkuasa atas hidup manusia. Dalam perkembangannya, paham agama Hindu dan Islam justru malah berbaur 2 dengan kepercayaan orang Jawa. Bagi orang Jawa, yang menganut paham sinkretis, yang memandang semua agama baik dan benar, yang suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda atau berlawanan, menerima pengaruh dari luar dengan sikap aktif (Simuh, 1995: 116-117). Akibatnya, timbullah kondisi budaya Jawa yang sudah mengalami perpaduan dengan berbagai unsur budaya lain dari luar Jawa. Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Hindu di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para bangsawan dan cendekia Jawa. Para cendekia Jawa mengolah teks Hindu berbahasa Sansekerta dan menulisnya ke dalam bahasa Jawa yang terpengaruh huruf-huruf Hindu. Penggunaan tulisan ini merupakan awal sejarah permulaan bagi pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa. Demikian halnya dengan pengaruh Islam yang masuk di Jawa. Pandangan sinkretis menunjang pertumbuhan kepustakaan Islam Jawa yang berkembang di lingkungan pesantren (Kepustakaan Islam Santri) dan lingkungan istana (Kepustakaan Islam Kejawen) (Simuh, 1988: 1-2). Dengan demikian, lalu timbul beberapa pertanyaan seputar pembentukan ajaran mistik, tokoh-tokoh penganut ajaran mistik dan praktik mistik yang dilakukannya. Salah satu cara yang ditempuh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ialah melalui naskah dan teks-teks sastra, yang dalam penelitian ini dipilih dari kategori sastra lama. Menurut perkiraan Zoetmoelder (1983: 21), naskah Jawa berawal sejak abad 9, adapun jumlah naskah hingga saat ini belum dapat ditentukan (Behrend, 1993: 407-437). 3 Demikian halnya dengan naskah karya kesusastraan Jawa pasca Islamisasi Jawa, masih merupakan wilayah yang belum bisa dipetakan dengan jelas (Behrend, 1995: 1). Naskah dan teks ini merupakan warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Warisan ini mengandung banyak nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Dalam kaitannya dengan ketersediaan objek kajian ilmiah, sastra Jawa yang merupakan karya sastra berbahasa Jawa aksara Jawa menyediakan materi yang berlimpah. Namun demikian, penelitian karya sastra Jawa bagi para peneliti masa sekarang ini berhadapan dengan dua permasalahan mendasar. Pertama, yaitu adanya keterbatasan penguasaan bahasa Jawa yang rumit dan lebih tua jika dibandingkan dengan bahasa sekarang serta klasifikasi tingkat tutur bahasa. Kedua, berkaitan dengan penggunaan tulisan huruf Jawa yang sudah sulit dikenali oleh sebagian masyarakat Jawa masa kini. Bagi kebanyakan orang Jawa, sastra Jawa berarti karya para pujangga di kraton-kraton Surakarta dan Yogyakarta yang menulis terutama dalam abad ke-18 dan ke-19 (Damono, 1993: 2). Suatu hal yang sangat menarik ditinjau adalah pandangan yang bersifat sinkretis yang mempengaruhi watak dari kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan Jawa sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen. Menurut Simuh (1995: 2-3) kepustakaan Islam santri bercirikan muatan ajaran syariat, yang merupakan dasar fundamental, yang merupakan ukuran untuk membedakan antara ajaran yang lurus dan yang benar dengan ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam. 4 Kepustakaan Islam Kejawen merupakan perpaduan unsur-unsur ajaran Islam dengan tradisi budaya Jawa. Ciri utamanya adalah penggunaan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syariat, bahkan sebagaian ada yang kurang menghargai syariat. Kajian dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana dalam karya sastra Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra Jawa yang dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen. Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik mistik jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana ini muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini. Kepustakaan Islam Kejawen lazim disebut dengan istilah primbon, serat, suluk dan wirid (Simuh, 1988: 3). Serat berarti surat, tulisan atau kitab (Poerwadarminta 1939: 559). Suluk berasal dari kata salaka berarti melalui, menempuh, jalan atau cara. Dalam kaitannya dengan ajaran spiritual, suluk juga dapat dimaknai transformasi sikap mental spiritual untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan penyucian diri lahir batin menempuh jalan kehidupan rohani yang lebih baik, yang lebih sempurna, sehingga tercapai kedekatan dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan (Salam, 2004: 41). Wirid bermakna ajaran rahasia yang berkaitan dengan 5 tasawuf . Serat, suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf, yang sering disebut ajaran mistik Islam (Simuh, 1988: 3). Adapun primbon berupa rangkuman macam-macam ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu petung, ramalan, guna-guna dan sebagainya. Salah satu pujangga Jawa yang terkenal menghasilkan karya Islam kejawen adalah R. Ng. Ranggawarsita. Berbagai karya agung yang monumental terutama berupa karya-karya sastra dalam tradisi tulis hasil peninggalannya sampai saat ini masih bisa kita nikmati keindahannya. Karya yang dihasilkannya cukup banyak dan sangat populer. Karya-karya besar inilah yang menjadi warisan budaya adiluhung dan merupakan aset yang tak ternilai harganya yang sangat berguna bagi perkembangan sastra Jawa di masanya dan bahkan terasa sampai sekarang. Muatan pandanganpandangan hidup yang dikandungnya berpengaruh terhadap pandangan masyarakat. Oleh karena itu bisa digunakan sebagai salah satu sumber orientasi yang tidak hanya akan memberi inspirasi bagi generasi sekarang untuk berekspresi, tetapi juga menjadi bahan kajian sebagai upaya untuk menginterpretasikan kembali ajaran-ajaran yang dikandungnya pada era sekarang. Ranggawarsita sebagai pujangga penutup di tanah Jawa. Ranggawarsita adalah nama pemangku jabatan di bawah tumenggung yang turun temurun, maka perlu peneliti jelaskan bahwa yang dimaksud disini adalah Ranggawarsita III. Ranggawarsita I adalah Yasadipuro II (kakek dari Ranggawarsita III), dan Ranggawarsita II adalah Suradimejo yang notabene 6 adalah ayah dari Ranggawarsita III (Day, 1981: 167-168; Simuh, 1988: 36; Mulyanto, 1990: 36; Florida, 2008: 78-85,). Pujangga yang hidup sekitar tahun 1802 sampai tahun 1873 masehi ini mengartikulasikan ide, pemikiran dan hasil proses kreatifnya dalam karya yang dituliskanya dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi (tembang) ataupun prosa. Karyanya banyak dikutip, dikaji dan diteliti dalam berbagai kegiatan ilmiah. Sebagai seorang pujangga sekaligus bangsawan keraton Kasunanan Surakarta yang pernah dididik di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo, Ranggawarsita berhasil mempertemukan tradisi kejawaan dengan ajaran Islam. Hasil dari perpaduan tersebut termuat beberapa karya yang berkonsepsi tasawuf, misalnya Serat Salokajiwa,Serat Wirid Hidayat Jati, Wirid Maklumat Jati, Serat Kalatidha, Serat Pranawa Jati, dan Serat Sabda Jati (Mulyanto, 1990: 50-51). Dari karya-karya yang dihasilkannya, ada satu karya yang masih jarang dikaji secara ilmiah yaitu Serat Wedaraga. Serat Wedaraga (selanjutnya disingkat SWR) adalah salah satu karya sastra Ranggawarsita ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa Jawa aksara Jawa yang dapat dikategorikan kedalam naskah dan teks sastra lama. Teks-teks sastra lama kebanyakan masih tersimpan dalam bahan pustaka berupa naskah tulisan tangan yang sudah rapuh dan rusak kondisinya. Dalam tradisi sastra tulis, sastra Jawa sejak awal perkembangannya menggunakan pelbagai media sebagai sarana penyebarluasannya. Berbagai jenis bahan dan alat telah dimanfaatkan oleh para pujangga dalam mewariskan pengetahuan 7 berdasarkan pengalaman dan penghayatan hidupnya (Zoetmoelder, 1983: 186). Dari segi aksara dan bahasa mungkin sudah tidak banyak yang mengetahui dan memahami teks SWR ini, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan akses dan koleksi tempat penyimpanannya. Jika tahap pembacaan di level awal saja masih sulit diakses, apalagi proses pemahaman yang mendalam terhadap teks. Teks SWR yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1880. Media penulisan yang bersifat tradisional berakibat pada keterbatasan persebarannya. Akibatnya, karya ini jarang dijumpai di masyarakat dan kalaupun ada, koleksinya sangat terbatas. Persebaran dalam bentuk naskah yang berupa manuskrip bisa dijumpai di beberapa perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah kuna. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan dalam mengakses pembacaan karya ini, apalagi kondisi naskah yang sudah tua, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam membacanya. Tugas berat pelacakan persebaran dan perkembangan teks SWR dalam berbagai media, mengingat adanya keterbatasan koleksi naskah dan tempat penyimpanannya. Berangkat dari fakta-fakta keterbatasan koleksi naskah, keterbatasan kemampuan membaca aksara Jawa, keterbatasan memahami bahasa Jawa, dan keterbatasan buku-buku yang mengulasnya, maka proses pengkajian teks SWR menjadi salah satu permasalahan yang harus dikerjakan dalam rangka menghadirkan teks yang terbaca dan siap dianalisis menggunakan teori-teori sastra. 8 Teks sastra ditulis untuk dibaca, pembaca mempunyai hak untuk menginterpretasi karya sastra sesuai dengan kemampuan dan latar belakang budayanya. Pada hakikatnya teks mampu menembus ruang dan waktu, sedangkan penulis dan pembaca tidak. Itulah sebabnya dalam kesusastraan masalah interpretasi menjadi penting, bahkan meskipun pengarang dan pembaca berasal dari zaman dan kebudayaan yang sama ataupun berbeda (Sedyawati, 201: 464). Pandangan Anthony Day (1981:3) yang menyatakan bahwa secara sekilas puisi dari abad ke-19, meskipun secara tersamar dalam memuat teks historis, ternyata dikandung nilai tertinggi dan tak tergantikan. Meskipun sangat mungkin atau perlu sekali untuk mendiskusikan keseluruhan bentuk puisi dalam sebagian kalimat pendahulunya dan untuk membuktikan secara tekstual kontinuitas dan diskontinuitas dengan masa lalu direpresentasikan, yang artinya sisa-sisa yang akan sulit dipahami (Day, 1981: 247). Teks SWR ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa Jawa. Bahasa Jawa digunakan sebagai sarana vital untuk menyampaikan wacana. Bahasa yang digunakan dalam teks SWR adalah bahasa menurut versi pengarang. Wacana sebagai dasar dalam pemahaman teks sangat diperlukan oleh masyarakat bahasa agar dapat menyampaikan informasi wacana secara utuh. Para ahli bahasa pada umumnya berpendapat sama mengenai wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Penyajian wacana dalam bentuk tembang gambuh perlu dilakukan, mengingat bahasa yang digunakan oleh pengarang 9 banyak menggunakan ungkapan simbolik yang perlu dikaji lebih mendalam. Simbol-simbol itu disajikan secara tersurat, sehingga diperlukan pemahaman untuk mengungkapkan wacana yang tersirat didalamnya. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada, maka permasalahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: pertama, teks SWR yang termasuk dalam kategori sastra lama berhuruf jawa, hadir dalam sejumlah naskah dan edisi, sehingga dirasa membahas pernaskahan dan perteksan serta menyajikan suntingan; kedua, teks SWR hadir dalam konvensi yang asing bagi pembaca masa kini terutama dalam hal bahasa, teks SWR disajikan dengan medium bahasa Jawa. Oleh karena itu, dipandang perlu menghadirkan teks SWR dalam sebuah bentuk terjemahan yang dapat dibaca oleh pembaca masa kini; dan ketiga, permasalahan analisis wacana yang terkandung dalam teks SWR. Adapun masalah-masalah tersebut selanjutnya dijadikan batasan dalam penelitian ini. Masalah yang dimaksud: pertama, bagaimanakah agar teks sastra lama berbahasa Jawa aksara Jawa yang berupa teks SWR dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca masa kini?; kedua, bagaimana wacana praktik mistik terbentuk dalam teks sastra SWR? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk menguraikan apa yang telah menjadi pokok permasalahan seperti yang diuraikan sebelumnya, yaitu: 10 a. Melakukan proses inventarisasi naskah yang memuat teks SWR. b. Menyajikan suntingan teks dan terjemahan teks SWR, sehingga bisa dijangkau dan dipahami oleh pembaca yang lebih luas. c. Mengupas wacana tentang praktik mistik yang dimuat dalam teks SWR sebagai produk budaya masa lalu yang dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh pembaca masa sekarang. Adapun tujuan praktis penelitian ini berkaitan dengan sejarah panjang sastra Jawa. Hingga saat ini, studi terhadap sastra Jawa dan lingkupnya yang sangat luas. Banyak khasanah sastra Jawa yang sebenarnya punya peran sebagai penyumbang data sejarah sastra Jawa yang masih terkandung dalam naskah-naskah kuna yang rapuh kondisinya dan terancam rusak. Kondisi iklim di Indonesia, perawatan dan penanganan koleksi naskah yang kurang memadai, bisa berdampak pada kerusakan naskah-naskah. Penelitian ini diharapkan punya peran dalam upaya preservasi teks SWR sebagai salah satu produk budaya masa lampau melalui pembuatan suntingan teks. Teks yang telah disunting dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah selanjutnya bisa digunakan sebagai sumber bagi peneliti selanjutnya, ataupun sebagai referensi bacaan tentang salah satu renik budaya Jawa yang selama ini jarang dibaca dan bahkan diabaikan. 1.4 Tinjauan Pustaka Pelacakan teks SWR dilakukan melalui studi katalog naskah. Katalog merupakan alat bibliografis yang bertujuan memberi akses pada naskah, namun kenyataannya katalogpun jumlahnya sudah ratusan dan tidak diketahui 11 umum. Menurut Loir (1999: 8), katalog yang terbaik adalah yang mampu melampaui dimensi pemerian naskah dan dapat memberikan uraian terlengkap tentang masing-masing kesusastraan tersebut. Katalog merupakan alat penelitian dan penggarapan naskah yang paling mendasar, yang memungkinkan peneliti memasuki rimba raya pernaskahan dan mengurangi resiko tersesat karena tidak menemukan semua pohon yang dicarinya. Katalog deskriftif lebih lagi membantu dalam menghemat waktu penelitian (Behrend, 1997: ix). Berdasarkan studi katalog ditemukan data-data teks SWR yang telah mengalami katalogisasi. Katalog-katalog yang memuat naskah teks SWR yaitu: (1) Katalog naskah induk Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo, Yogyakarta (Behrend, 1990); (2) Katalog induk naskah Nusantara Jilid 3 Fakultas Sastra Universitas Indonesia dua jilid yang disusun T.E Behrend dan Titik Pujiastuti (1997); dan (3) Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman yang disusun Sri Ratna Saktimulia, dkk (2005). Dalam studi katalog ditemukan 10 naskah yang memuat teks SWR yang dikoleksi oleh empat perpustakaan. Adapun deskripsi data 10 naskah yang ditemukan akan dibahas lebih detail dalam bab dua penelitian ini. Selain 10 naskah koleksi berbagai perpustakaan, juga ditemukan buku cetakan yang memuat teks SWR. Pertama, Serat Wedaraga berupa buku yang diterbitkan oleh Radya Pustaka Surakarta pada tahun 1906. Buku ini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Kedua, Serat Wedaraga disusun oleh Hardjosupadijo Kediri, diterbitkan dan dijual 12 oleh Boek handel Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922 berupa terbitan berbahasa Jawa aksara Jawa. Yang ketiga, Serat Wedaraga yang diterbitkan oleh Yayasan penerbitan “Djojobojo” cetakan pertama pada tahun 1963, berupa terbitan berbahasa Jawa aksara Jawa yang disertai catatan huruf latin yang diperkirakan bersumber dari naskah PW 48 koleksi perpustakaan FS UI; dan yang keempat, Dalam buku Lima Karya Ranggawarsita yang ditulis oleh Karkono Kamajaya dan diterbitkan Balai Pustaka cetakan pertama tahun 1985, cetakan kedua 1991, berupa terbitan berbahasa Jawa huruf latin dan disertai terjemahan. Dalam terbitan ini tidak menyebutkan naskah sumber terbitan. Buku-buku yang telah ada sebelumnya baik yang disalin secara terbatas ataupun yang sudah diterbitkan belum menyelesaikan pokok masalah penelitian ini dan belum mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ada buku yang sebatas menyalin teks SWR berupa tulisan tangan aksara Jawa kedalam tulisan tangan aksara yang sama (manuskrip), ada pula yang melakukan proses transliterasi dan diketik ulang ke dalam aksara latin bahasa Jawa, dan ada pula yang menerbitkan kedalam bentuk tulisan Jawa versi cetak, serta juga ditemukan satu buku yang menerbitkan dalam bentuk huruf latin yang disertai terjemahan. Adanya buku-buku terdahulu diharapkan bisa melengkapi pemecahan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Pelacakan penelitian terdahulu terkait teks SWR yang dapat ditemukan yaitu: (1) Eksplorasi Indikator Regulasi Diri pada Remaja versi Serat Wedharaga, hasil penelitian: Sudarmanto, staf pengajar di Fakultas 13 Psikologi Universitas Gadjah Mada dan (2) Konsep Regulasi Diri Remaja Berdasar Serat Wedharaga Dalam Piwulang Warna-warni, berupa tulisan Skripsi atas nama Anggiastri Hanantyasari Utami. Dari penelitian terdahulu ini, permasalahan kajian sastra belum tersentuh sama sekali, sehingga dirasa perlu dikajikan secara lebih lanjut dalam penelitian ini. Selanjutnya, kajian tentang relasi Islam dengan budaya Jawa berbasiskan pada naskah juga telah banyak dilakukan oleh para sarjana. Mereka melakukan pembuatan suntingan maupun kajian terhadap teks-teks Islam Jawa. Apa yang dilakukan para sarjana Barat lebih banyak berfokus pada jenis karya-karya hikayat, syair, serta sajak atau tembang macapat daripada karya-karya yang berjenis prosa. Nampaknya, penelitian sastra dan bahasa maupun sejarah lebih banyak dilakukan daripada teks-teks keagamaan. Namun demikian, apa yang Kraemer dan Schrieke yang kemudian dikoreksi dan diperbaiki oleh Drewes (1969) adalah bentuk kajian yang berbasis pada teks keagamaan pada naskah abad ke-16. Periode yang dapat dianggap sebagai periode transisi di pesisir utara Jawa, yaitu periode ketika sejumlah orang tetap menganut kepercayaan lama sedangkan sebagian yang lain telah menganut Islam sebagai agama. Salah satu karya Drewes yang menunjukan hal itu adalah The Admonitions of Seh Bari . Tulisan ini adalah koreksi dari karya Schrieke yang mengatakan bahwa naskah yang ia temukan adalah karya dari Sunan Bonang atau muridnya. Menurut Drewes, bahwa mungkin saja jika berdasarkan kolofon naskah itu ditulis oleh penyalin naskah yang belum tentu Sunan Bonang sendiri. Terkait dengan teks yang 14 dikandung dalam naskah mengenai inti sari dari ajaran tasawuf. Drewes berpendapat bahwa ajaran tasawufnya merupakan tasawuf yang mendapat inspirasi dari ajaran al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, yaitu tasawuf yang dianggap sebagai ‘ortodoks’. Sebagian besar ide yang dimuat dalam naskah ini adalah juga terdapat dalam karya-karya berbahasa Arab mengenai agama Islam, sedangkan unsur-unsur kejawennya tidak ada. Dengan demikian, ini memperkuat pandangan bahwa Islam yang dipeluk oleh orang Jawa di Pesisir utara pulau Jawa pada abad 16 tentu merupakan Islam yang ‘ortodoks’ yang tidak atau belum tentu dicampuri oleh unsur-unsur kejawen yang baru muncul pada periode sesudahnya. Naskah ini, secara garis besar menganjurkan agar orang melaksanakan kewajiban Islam, seperti shalat dan puasa. Selain itu, diberikan pula sejumlah kata hikmah yang bercorak tasawuf moderat, yang sama sekali tidak ditemukan pemikiran-pemikiran spekulatif yang berunsur monisme atau panteisme. Zoetmulder (1991) dalam buku berjudul Manunggaling Kawula Gusti : Pantehisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa – Suatu Studi Filsafat. Ia berpendapat jika terdapat kedua unsur tersebut dalam sastra suluk Jawa, khususnya terhadap karya-karya sastra Islam Jawa pedalaman. Dalam karyanya, Zoetmulder memulai dengan konsep panteisme dan monisme. Konsep ini tidak dikenal dalam dunia pemikiran Jawa, tetapi diambil dari filsafat klasik yang telah lama dipegang kuat dalam gereja Katolik. Rumusan ini diterapkan dalam ajaran Hindu dan Islam. Sebagai sumber telaahnya, ia menggunakan sejumlah episode dari Serat Centhini. 15 Selain itu pula dipakai dua buah naskah yang panjang, yang merupakan bunga rampai suluk yang disusun di kraton Surakarta pada pertengahan abad 19. Melalui konsep yang diambil dari luar dunia Islam dan Jawa, ia melakukan penilaian terhadap sastra suluk ini. Kajian yang membahas kepustakaan Islam kejawen juga dilakukan Soebardi (1975) yang diterbitkan dalam buku berjudul The Book of Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes. A Contribution to the Study of Javanese Mystical Tradition. Kajian filologi terhadap naskah yang ditulis abad ke-18 ini terungkap temuan bahwa pengarang teks Serat Cebolek, Yasadipura I, seorang Pujangga Kraton Surakarta telah memadukan unsur tasawuf Islam dan tradisi Jawa. Terdapat kesan memihak ulama yang menganggap syariat sebagai tuntunan formal dalam kehidupan religius lahiriah orang Jawa. Tetapi, hal yang membedakan adalah cara mencapai kesempurnaan hidup, orang Jawa harus mengikuti cerita Dewa Ruci, yang unsur Hindunya kental, sebagaimana yang termuat dalam naskah tersebut. Pada tahun 1983, Hadiwijana menerbitkan buku berjudul Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa. Dalam buku ini menjelaskan tentang konsepsi manusia Jawa semenjak sebelum kedatangan agama hingga tumbuhnya berbagai aliran kebatinan pada abad ke-20. Tujuannya adalah untuk memberikan deskripsi konsep-konsep tentang Manusia dan Tuhan berdasarkan sejarah perkembangan konsep religi dan keagamaan yang terjadi di Jawa. Terkait pembahasan dalam Serat Wirid Hidayat Jati, 16 Hadiwijana (1983: 100) menyatakan, “Secara positif hanya dapat dikatakan bahwa Allah adalah kekosongan, awang-uwung yang mengingatkan pada ajaran Hindu dan Budha tentang Niskala dan Sunyata”. Pertautan antara Islam dan Jawa juga tampak dalam Serat Wirid Hidayat Jati yang dikaji oleh Simuh (1998) dalam disertasinya dengan judul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati . Teks Serat Wirid Hidayat Jati adalah hasil karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang merupakan seorang sastrawan istana Surakarta yang sangat terkenal, yang juga digelari sebagai ‘pujangga penutup’. Teks ini disusun dalam bentuk prosa (jarwa) bukan puisi (macapat). Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap, padat, dan bulat. Isi kandungan teksnya adalah upacara sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang mengajarkan ilmu mistik, uraian mengenai guru dan murid, ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara zat, sifat, asma dan perbuatan Tuhan, uraian mengenai cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan, jalan untuk mencapai kesatuan tersebut, tingkat-tingkat pengahayatannya, uraian mengenai penciptaan manusia dan hakikat manusia, serta aspek budi luhur. Simuh dengan disertasinya membantah pendapat Hadiwijono (1983) yang mengatakan bahwa ajaran Serat Wirid Hidayat Jati adalah ‘doktrin Hindhu dengan pakaian Islam’. Menurut Simuh, pendapat Harun ini kurang tepat, karena keseluruhan ajaran Wirid Hidayat Jati dijiwai oleh ajaran tasawuf, gagasan tentang Allah sebagai zat mutlak, kediaman Allah 17 dalam diri manusia yang sumbernya adalah ajaran tasawuf, yaitu dalam ajaran ‘martabat tujuh’. Namun, Simuh hanya sampai pada kesimpulan bahwa Serat Wirid Hidayat Jati adalah ajaran ‘Islam Kejawen’ (Simuh, 1988: 373-374). Artinya, dalam teks tersebut pokok-pokok ajaran tasawuf dipadukan dengan berbagai ajaran kejawen. Hal yang patut disayangkan, Simuh tidak memerinci lebih jauh dan detail mengenai unsur-unsur kejawen dalam teks tersebut, ia hanya mengajukan adanya nilai-nilai Hindu, seperti konsep atma dan rahsa. Peran penting Islam dalam kraton Jawa juga diungkap oleh Nancy K. Florida. Dengan menelusuri sejarah keluarga pujangga kraton Surakarta di abad 18 dan 19, yakni Yasadipura I (lahir pada 1729) (pengarang Serat Cebolek), Yasadipura II (w.1844) (Ranggawarsita I) (pengarang Serat Centhini), dan Ranggawarsita III (anak Yasadipura II) (1802 – 1873), yang dikenal sebagai ‘pujangga penutup’ yang diantaranya karyanya yang terkenal adalah Serat Wirid Hidayat Jati , Serat Tapel Adam, dan Serat Kalatidha (Florida, 2008: 78-85). Ia menunjukan kembali tempat Islam dalam dunia kepujanggan dan kesusastraan di kraton Surakarta. Menurutnya, dengan menelusuri karya-karya teks Jawa dan pengarangnya, tampak bahwa kehidupan dunia kraton sangat meluas jauh dari balik tembok kraton dan bersifat sangat Islami, yang penyebabnya adalah karena para pengarang yang menghasilkan karya-karya ini banyak dibesarkan dalam lingkungan pesantren di pedesaan Jawa (Florida, 2008: 79). 18 Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, sudah banyak penelitian yang membahas seputar ajaran mistik Islam Kejawen. Penelitian yang menggunakan objek material teks SWR juga sudah ada. Namun demikian, masih ada celah-celah yang belum tersentuh, yaitu kajian sastra terkait teks SWR. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap perlu dan relevan. Kajian dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana dalam karya sastra Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra Jawa yang dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3). Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik mistik jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana ini muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini. 1.5 Landasan Teori Penelitian terhadap teks sastra lama seringkali terkendala oleh keterbatasan dan kemampuan bahasa yang digunakannya. Objek material dalam penelitian ini adalah teks SWR yang merupakan salah satu produk sastra lama berbahasa Jawa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua teori yang terdiri dari teori terjemahan dan teori wacana (arkeologi pengetahuan dan genealogi Michel Foucault). 19 1.5.1 Teori Terjemahan Terjemahan adalah hasil dari proses penerjemahan. Sebagai sebuah kegiatan, menerjemahkan secara umum merupakan suatu proses pengalihan rangkaian kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Menurut Goethe (1992:60 dst. dalam Soekatno, 2009: 72 ) ada tiga jenis terjemahan dari sebuah teks yang tertulis dalam bentuk puisi. Jenis pertama ialah terjemahan segala sesuatu yang dijumpai dalam teks yang disesuaikan dengan konteks budaya pembaca masa kini. Terjemahan dalam bentuk ini adalah yang paling mudah. Apabila yang menjadi fokus adalah kisah yang terkandung dalam teks, seyogyanya terjemahan diubah ke dalam bentuk prosa. Jenis kedua ialah terjemahan sesuai bentuk teks asli yang tetap mempertahankan bentuk syair dengan metrum tembang macapat. Jenis terjemahan ketiga bisa disajikan dengan menanggalkan bentuk teks asli dan menggunakan sebuah bentuk yang mirip, disesuaikan dengan bahasa alih bahasa. Dengan kata lain teks tembang dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam metrum tembang macapat digubah dalam sebuah bentuk syair dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penerjemahan semantis berdasarkan pertimbangan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran, sehingga hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional atau dapat dengan mudah dimengerti. Sifat penerjemahan semantis lebih luwes jika dibandingkan dengan penerjemahan setia yang terkesan lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah bahasa sasaran. Konteks kalimat harus diperhatikan agar 20 penempatan suatu informasi bermakna jelas bagi penerima informasi. Selain itu, apabila penerjemahan tidak menemukan padanan yang diharapkan, maka langkah yang dilakukan adalah pemadanan bercatatan dengan memberikan catatan terjemahan yang disajikan dalam komentar (Machali, 2000: 71-73). Adapun proses penerjemahan dapat digambarkan sebagai berikut: Teks dalam bahasa sumber Analisis Pengalihan Penyusunan kalimat Teks dalam bahasa sasaran Langkah pertama yang dilakukan oleh penerjemah adalah menganalisis teks sastra dalam bahasa sumber. Adapun kegiatan awal yang dilakukan adalah membaca teks sastra dan memahami hubungan antar elemen kalimat sekaligus memahami gagasan, pesan dan informasi yang ada dalam teks bahasa sumber. Langkah kedua adalah pengalihan, dalam hal ini penerjemah harus bisa menyepadankan kata-kata dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam hal konteks harus diperhatikan, teks sastra hanya akan memiliki makna yang pasti jika teks berada pada sebuah konteks. Tahap berikutnya adalah tahap penyusunan kalimat, maksudnya apabila kata-kata dalam teks sastra sudah diketahui artinya, yang dilakukan adalah penyusunan kalimat-kalimat ke dalam bahasa sasaran. Adapun jenis 21 penerjemahan sesuai dengan tujuan masing-masing ada delapan, antara lain sebagai berikut: Penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harafiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantis, penerjemahan adaptasi, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif (Newmark dalam Machali 2000: 49-50). Adanya prinsip dasar bagi seorang penerjemah yang dituntut untuk mandiri atau independent. Dalam konteks ini, seorang penerjemah mempunyai pilihan untuk menghasilkan hasil terjemahan yang mudah dipahami, dengan berpegang teguh pada kenyataan bahwa dirinya bukanlah pencipta teks asli, melainkan bertugas sebagai pengalih bahasa. Dengan demikian, penerjemah bukanlah dalam cakupan tugasnya untuk menambah atau mengurangi informasi pada teks yang dikerjakannya. 1.5.2 Teori Wacana (Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi) Ada dua kata kunci yang sangat penting dalam analisis wacana Michel Foucault, yaitu istilah arkeologi dan genealogi. Dalam perkembangannya pada tahun 1970-an, kedua istilah ini menjadi metode yang digunakan untuk menganalisis praktik diskursif. Menurut Habermas (dalam Hardiyanto, 1997: 17) metode arkeologi dan genealogi Foucault bertujuan untuk melakukan dekontruksi atas historiografi tradisional yang masih tertangkap dalam pemikiran antropologis dan keyakinan humanistis. Metode arkeologi berusaha untuk menggali praktik-praktik diskursif sampai akarnya, sebagai totalitas yang partikular dengan perspektif dari luar yang dapat ditentukan batas-batasnya, sehingga ruang sejarah dapat diisi oleh kalaideskop, di mana 22 bentuk-bentuk diskursus yang plural datang dan pergi. Genealogi bertugas untuk menjelaskan asal-usul kebetulan dari bentuk-bentuk diskursus itu dari rongga-rongga pembentukan yang saling membatasi (Hardiyanto, 1997: 1718). 1.5.2.1 Arkeologi Arkeologi diartikan sebagai ilmu yang selalu bersentuhan dengan monumen-monumen bisu, benda-benda mentah, objek-objek tanpa konteks dan segala hal yang dicecerkan masa lalu (Foucault, 2012: 26). Foucault menyatakan menggunakan terminologi arkeologi secara metaforis untuk menunjuk pada sesuatu yang disebut arsip. Ciri yang menonjol dari arkeologi salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran pengarang dalam mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa peniadaan peran pengarang ini berguna untuk dapat mencari modus eksistensi dari sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran formasi diskursif. Modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka kita tidak dapat kemudian menyandarkannya pada pengarang untuk bisa mengetahuinya. Cara mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat kehadiran pengarang saja tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar lingkaran pengarang (Foucault, 2012: 52-54). Dalam rangka menyelidiki wacana, Foucault menggunakan tiga konsep yakni positivitas, apriori historis dan arsip (2012: 230-240). Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan wacana dalam satu periode. Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal 23 yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah ‘lingkup komunikasi’ antar pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault disebut sebagai apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang menjadi syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai apriori historis masing-masing. Dalam Arkeologi Ilmu Pengetahuan, Foucault tertarik untuk melakukan penyelidikan terhadap fenomena kesejarahan. Dengan metode arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen pembentuk sejarah dengan menyelidiki ‘peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif’, ‘pernyataan-pernyataan yang dibicarakan’ dan ‘dituliskan’ dalam sebuah konteks sejarah (2012: 246). Menurutnya, arkeologi pengetahuan berbeda dengan sejarah pemikiran. Hal ini dirumuskan dalam empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut, yakni: Pertama, Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi, yang tersembunyi atau tampak dalam wacana. Arkeologi lebih membahas wacana itu sendiri sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya sendiri; Kedua, Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar wacana, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari wacana itu sendiri; Ketiga, Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktik diskursif yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu arkeologi menolak kehadiran pengarang sebagai bagian dari kesatuan kajian; dan keempat, Arkeologi tidak lebih dari sekedar penulisan ulang: yakni, 24 dalam bentuk ekterioritas yang diusahakan agar tetap awet, dia adalah transformasi reguler dari apa yang telah dituliskan. Dia tidak menyelidiki kelahiran wacana tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek wacana (2012: 250-252). Foucault beranggapan bahwa wacana adalah jembatan penghubung antara satu kontradiksi dengan kontradiksi lain. Dalam analisis arkeologis, bertujuan untuk memetakan titik di mana mereka terbentuk di dalam praktik diskursif tertentu, menentukan bentuk-bentuk yang diandaikannya, relasirelasi yang terjadi diantara mereka, serta domain yang mereka bentuk. Singkat kata, tujuannya adalah menegaskan wacana dalam segala bentuk irregularitasnya; dengan demikian, untuk menentukan tema-tema kontradiksi yang telah hilang dan ditemukan kembali, yang telah selesai tetapi kemudian muncul di sepanjang elemen tunggal logos (Foucault, 2012: 274-280). Dalam memahami sejarah Foucault melihat bahwa sejarah bukan sebagai rentetan kesinambungan tetapi sebagai suatu ‘diskontinuitas’. Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai sebuah keterputusan dimana sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan baru (2012: 303-315). Pelacakan asal pengetahuan ini dikenal dengan istilah episteme. Episteme dipahami sebagai total sekumpulan hubungan yang menyatukan, pada periode tertentu, praktik diskursif yang memunculkan figur-figur epistemologis, ilmu pengetahuan, dan mungkin sistem yang yang terbentuk dari pengetahuan (2012: 341). 25 Foucault (2012: 341) menawarkan analisis episteme untuk mengungkapkan analisis tentang formasi-formasi diskursif, analisis tentang positivitas-positivitas dan pengetahuan yang berkaitan dengan pola-pola epistemologis dan sains-sains. Ia menemukan episteme yang menjadi dasar disiplin ilmu dan cirinya yang menentukan pada tiap periode. Episteme merupakan totalitas relasi-relasi yang bisa ditemukan, di dalam masa tertentu (Foucault, 2012: 342). Analisis episteme menghubungkan fakta tersebut bukan kepada otoritas aktus original yang menciptakannya, aktus yang membentuk fakta dan hak dalam subjek transendental, akan tetapi kepada proses-proses praktik historis (Foucault, 2012: 343). Dalam setiap perubahan zaman terdapat perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme tiap zaman dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme. Perubahan episteme dalam setiap zaman yang tidak langsung sekali jadi tersebut dijelaskan Foucault dengan menerangkan bahwa telah terjadi penyebaran formasi diskursif dalam masyarakat (2012: 346-349). 1.5.2.2 Genealogi Foucault dalam judul esainya pada tahun 1971: “Nietzsche, Genealogi, History” menyatakan bahwa genealogi dilengkapi dan dibantu oleh arkeologi. Menurut Habermas, dengan metode genealoginya, Foucault ingin 26 meninggalkan “presentisme” kesadaran waktu modern. Presentisme maksudnya kesadaran bahwa masa kini itu unik, langka, terpenting dan berkaitan dengan desakan tanggung jawab akan masa depan, sedangkan masa lampau membentuknya. Genealogi tidak mencari asal-usul, melainkan menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari ilusi tentang identitas (Foucault dalam Hardiyanto, 1997: 14). Ia menggunakan metode yang sama dengan Nietzsche yaitu mulai dari masa kini, lalu bergerak mundur ke masa lalu untuk menemukan suatu perbedaan, dan bergerak maju lagi untuk menelusuri sebuah proses transformasi dari masa lalu (Sarup, 2011: 90). Istilah genealogi untuk merujuk pada kesatuan pengetahuan intelek dan ingatan-ingatan lokal yang memungkinkan kita membangun pengetahuan historis tentang perjuangan hidup dan menggunakan pengetahuan tersebut secara taktis dalam kehidupan sehari-hari” (Sarup, 2011: 91). Menurut Foucault, genealogi tidak berusaha menegakkan pondasipondasi epistemologis yang istimewa, tapi lebih mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam satu kata kuasa (Hardiyanto, 1997: 15). Sebagaimana dikatakan Faruk (2012: 250) analisis genealogis berkaitan dengan tiga prinsip yaitu: pertama, prinsip diskontinutas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekedar sebagai yang ditekan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak 27 berkesinambungan dengannya, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi juga saling mengeksklusi dan tidak saling kenal; kedua, prinsip spesifitas, yakni anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan, dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip regularitasnya; dan ketiga, prinsip eksterioritas, yakni menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana, pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkan batas-batasnya. Analisis genealogis berusaha mengungkapkan bagaimana rangkaian wacana terbentuk, melintasi apa, menggantikan apa, atau dengan dukungan sistem-sistem hambatan ini. Apa norma spesifik dari masing-masing prinsip itu, bagaimana kondisi permunculannya, pertumbuhannya dan variasinya. Dalam genealogi dipelajari formasi wacana yang sekaligus tersebar, diskontinu, dan regular (Faruk, 2012: 251). Sebagaimana dinyatakan Habermas, bagi Foucault, metode arkeologi dan genealogi bukan merupakan dua metode yang kontradiktoris, melainkan yang saling melengkapi. Arkeologi berusaha untuk menyendirikan tingkat praktik-praktik diskursif dan untuk merumuskan aturan-aturan produksi dan transformasi bagi praktik-praktik tersebut, sedangkan genealogi memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa yang dikaitkan dengan praktik-praktik diskursif (Hardiyanto, 1997: 16). 28 Berdasarkan paparan sebelumnya, penelitian ini mencoba menerapkan pendekatan arkeologi yang difokuskan pada proses transformasi dan pendekatan genealogi yang difokuskan pada prinsip ekterioritas berdasarkan kondisi-kondisi eksternal yang terkait dengan wacana praktik mistik yang dimuat dalam teks SWR. 1.6 Hipotesis Teks SWR memuat wacana jalan keselamatan yang membimbing manusia (khususnya orang Jawa) menentukan jalan keselamatan yang dipilihnya sesuai dengan sistem yang harus dipertanggungjawabkannya sendiri sebagai konsekuensi atas tujuan keselamatan hakiki yang ingin dicapainya. Variabelnya adalah teks SWR, jalan keselamatan, sistem dan konsekuensi praktik jalan keselamatan, serta keselamatan hakiki. Relasi antar variabel sangat berpengaruh untuk mencapai keselamatan yang hakiki. Apabila jalan yang dipilih benar sedangkan praktiknya salah, maka keselamatan yang hakiki tidak dapat dicapai. 1.7 Populasi Sampel Sebagaimana disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa persebaran teks SWR tersimpan di beberapa tempat yaitu di Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan Leiden. Populasi penelitian ini dibatasi pada teks SWR yang terjangkau tempat penyimpanannya dan terbaca dengan jelas. Berdasarkan studi awal dapat dipetakan persebaran teks SWR seperti dalam tabel berikut: 29 Nama Kota Yogyakarta Surakarta Jumlah Eksemplar 3 No Tempat Asal Koleksi 1 Perpustakaan Museum Sana Budaya 2 Perpustakaan Pura Pakualaman 2 3 Perpustakaan Sasana Pustaka 1 4 Kasunanan Surakarta 1 Perpustakaan Radya Pustaka Jakarta 5 Perpustakaan FS UI 2 Leiden 6 Universitas Leiden 1 Jumlah eksemplar teks SWR 10 Perincian 10 eksemplar naskah itu adalah sebagai berikut. 3 eksemplar koleksi Perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta. Dua eksemplar koleksi Pura Pakualaman. Satu eksemplar koleksi Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta. Satu eksemplar koleksi Radya Pustaka Surakarta. 2 eksemplar koleksi perpustakaan FS UI. Satu eksemplar koleksi perpustakaan universitas Leiden. Sampel penelitian ini adalah 4 naskah yang terjangkau terdiri: A. naskah PB C 108 Serat Multatuli; B. teks SWR terbitan Djayabaya; C. naskah Pi 29 Serat Piwulang warni-warni B; dan D. naskah PB E 34 Serat Dharma Gandoel e.a. (en audere = dan yang lain). 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan pustaka (library research), yaitu suatu pendekatan yang mengkaji 30 serta mengggunakan literatur sebagai bahan acuan dan rujukan dalam mengelola data. Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang dapat diamati. Hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan objek material sebagai bahan penelitian. Objek material penelitian ini adalah teks SWR. Karena objek material termasuk dalam kategori sastra lama yang ditulis dalam aksara Jawa berbahasa Jawa, maka dalam penelitian ini digunakan dua metode, yaitu metode filologi dan metode penelitian sastra. 1.8.1 Metode filologi Robson (1994: 12) mengatakan bahwa pendekatan filologis tujuannya adalah untuk menjembatani komunikasi antara teks yang terdapat dalam naskah dengan pembacanya. Dengan demikian, tugas filolog adalah menghadirkan teks yang siap baca, dan selanjutnya melanjutkan interpretasi atas teks tersebut agar dapat dimengerti oleh pembaca. Untuk sampai pada tujuan tersebut, maka dalam tesis ini, dilakukan inventarisasi dan deskripsi naskah yang menjadi sumber utama penelitian. Tahap terakhir dari penelitian filologi dalam teks ini adalah menyajikan edisi teks dan terjemahannya. Dalam penelitian ini penyuntingan teks disajikan dengan menggunakan metode diplomatis dan metode kritis dengan perbaikan bacaan. Namun, oleh karena aparat kritik dianggap penting dalam menunjang pemahaman terhadap teks, penelitian ini tetap menyajikan aparat kritik dalam melakukan penyuntingan. 31 Secara garis besar, langkah-langkah penelitian terhadap teks SWR terdiri dari tiga tahap, yaitu: pertama, pemilihan naskah dasar kajian; dan kedua, penyuntingan teks; dan ketiga, penyajian laporan. Pada tahap pertama, kegiatan yang dilakukan meliputi: pertama, Inventarisasi naskah, yaitu dengan mendaftar semua naskah teks SWR berdasarkan katalogus. Dalam inventarisasi ini didapatkan 10 naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan; kedua, observasi pendahuluan, yaitu mengecek kondisi naskah yang terjangkau dan membuat deskripsi naskah yang masih bisa terbaca sebagai bahan kajian; dan ketiga, penentuan naskah dasar kajian. Berdasarkan hasil observasi, teks SWR yang dimuat dalam naskah berjudul Serat Multatuli koleksi Museum Sanabudaya digunakan sebagai naskah dasar kajian karena kondisinya masih bagus, tulisannya terbaca dengan jelas dan muatan teksnya lengkap. Pada tahapan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah: pertama, melakukan transliterasi dengan metode diplomatis pada setiap teks yang sudah ditentukan sebagai sampel penelitian; kedua, melakukakan penyuntingan teks SWR, disertai dengan aparat kritik; ketiga, pembuatan edisi kritis dengan perbaikan bacaan berdasarkan naskah dasar kajian yang sudah ditentukan; dan keempat, proses translasi ke dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, Pada tahapan ketiga, kegiatan yang dilakukan adalah penyusunan laporan hasil penelitian ke dalam bentuk sajian teks yang siap dikaji dengan menggunakan teori-teori sastra 32 1.8.2 Metode Penelitian Sastra Metode penelitian sastra diterapkan dalam penelitian ini karena teks SWR adalah teks sastra yang memuat wacana. Penerapannya bertolak dari interpretasi atas data berupa teks yang dibaca, dengan mencoba mengerti bahwa melalui kata-kata sebuah wacana akan menjadi sesuatu yang lebih esensial. Metode yang digunakan adalah interpretasi. Foucault menyimpulkan bahwa basis dari interpretasi adalah nihil kecuali orang yang menginterpretasi itu sendiri. Setiap interpretasi harus menginterpretasi dirinya sendiri. Kematian interpretasi didasarkan pada keyakinan bahwa tanda itu tidak ada, dalam arti tanda itu tidak hadir secara mutlak: tanda yang eksis secara primer, orisinal, dan aktual sebagai hasil yang berhubungan, bersangkutan, dan sistematis (Foucault, 2011: 62). Kehidupan interpretasi pada akhirnya hanya meyakini bahwa yang ada hanyalah interpretasi. Basis dari interpretasi adalah nihil, kecuali orang yang menginterpretasi itu sendiri (Nietzche dalam Rabinow, 2009:62). Bertolak dari pendapat tersebut, maka penelitian ini merupakan interpretasi peneliti atas wacana yang dimuat dalam teks SWR. Dengan demikian, penerapan metode itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, terhadap data representatif yang dijadikan dasar penelitian, yaitu teks SWR, dilakukan pembacaan secara cermat dan menginterpretasi wacana yang ada di dalamnya. Kedua, melakukan identifikasi wacana yang dimuat dalam teks SWR. Ketiga, menelusuri sumber-sumber teks-teks terkait yang menjadi rujukan. Keempat, mengaitkan wacana teks SWR dengan teks-teks lain dan menentukan relasi- 33 relasinya. Kelima melakukan analisis data temuan dengan menggunakan pendekatan arkeologi dan genealogi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat keterkaitan antar teks, yang juga berfungsi untuk melihat saling keterkaitan dan keterpengaruhan antar teks satu dengan lainnya, sehingga dapat diketahui sejarah perkembangan wacananya. Pendekatan arkeologi dan genealogi juga digunakan sebagai kerangka penafsiran teks yang dihubungkan dengan konteks yang tidak hanya bermakna keterhubungan sesama teks tertulis, tetapi juga semua fenomena kebudayaan yang dapat ditafsirkan. 1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah ‘Pendahuluan’ berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori (teori terjemahan dan teori wacana), hipotesis, populasi sampel, metode penelitian (metode filologi dan metode analisis wacana), dan sistematika penyajian. Bab II ‘Pernaskahan dan Perteksan Serat Weda Raga’ berisi penulisan hasil penelitian kajian filologi teks SWR. Bab III ‘Suntingan Teks dan Terjemahan. Bab IV Wacana Praktik Mistik dalam Teks SWR yang berisi jawaban dari permasalahan yang diuraikan dalam bab pendahuluan. Bab V Kesimpulan . 34