BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanguning

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sanguning urip punika, tan dumunung ana bagusing rupi,
dalah sugih banda bandu, miwah sugih kapinteran,
amung ing manah ingkang slamet satuhu,
pangerehing poncondriyo, minongko sedyo pambudi.
(Ki Kusumawicitra, 1917)
Bekal hidup itu, tidak berada pada keelokan rupa,
Serta kekayaan yang dimiliki, ataupun kekayaan pengetahuan,
Tetapi ada di hati yang selamat,
Pengendalian hawa nafsu, sebagai tekad yang harus dijalani
Manusia menjadi objek yang menarik untuk dibicarakan dan dikaji
dalam berbagai wilayah pembahasan disiplin pengetahuan. Segala hal yang
dihasilkannya, entah sebagai subjek pelaku, sebagai objek ataupun praktik
yang dijalankan seakan menjadi sumber yang berlimpah bagi perkembangan
pengetahuan. Demikian pula untuk manusia di Jawa dengan segala
peradaban dan kebudayaan yang dihasilkannya. Perkembangan peradaban
dan budaya yang terbentuk di Jawa telah berlangsung dalam kurun waktu
yang panjang. Dalam sejarah panjang yang dilalui tentunya ditemukan jejakjejak pemikiran yang dipraktikan, diwariskan, dan dikembangkan. Jalinan
perdagangan dan komunikasi dengan pihak luar Jawa turut mewarnai
perkembangan budaya Jawa akibat adanya budaya asing yang dibawa oleh
pendatang. Akibatnya, terjadilah pertemuan dua kebudayaan yang berbeda,
yakni kebudayaan yang dibawa pendatang bertemu dengan budaya yang
diyakini masyarakat Jawa pada waktu itu. Interaksi antar budaya inilah
1
yang
berakibat
pada
terbentuknya
perpaduan
budaya
baru
yang
dihasilkannya. Perpaduan yang terjadi tidak hanya pada batas wilayah
kehidupan sehari-hari, tetapi juga sampai pada wilayah kehidupan spiritual
berupa pemikiran tentang hakikat hidup dan tujuan hidup manusia di dunia.
Para peneliti sebelumnya memperkirakan pada awal tarikh Masehi
telah terjadi hubungan di nusantara (khususnya manusia Jawa) dengan para
pedagang dari India yang membawa dan menyebarkan kebudayaan Hindu.
Kondisi ini semakin berkembang hingga abad ke-6 Masehi. Pada
perkembangan berikutnya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 diwarnai
kedatangan pengaruh Islam yang dibawa para pedagang dari Gujarat, Arab
dan Persia. Seiring perjalanan waktu, pada abad ke-15 Islam di Jawa
berkembang pesat ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak. Pada abad
ke-16 diwarnai kedatangan bangsa barat yang menjadikan Indonesia sebagai
koloninya (Simuh, 1995: 120-121).
Khususnya untuk pulau Jawa, merupakan daerah tempat pertemuan
kebudayaan asli dengan kebudayaan Hindu dan Islam yang paling intensif.
Akibatnya, sukar sekali untuk mengetahui persis bagaimana keadaan
kebudayaan asli Jawa itu (Hadiwijana, 1983: 12). Simuh (1995: 111-112)
beranggapan jika agama asli Jawa, yang oleh para pemikir barat disebut
Religion Magis, berbentuk kepercayaan animisme-dinamisme. Kepercayaan
terhadap ruh-ruh halus dan daya magis di alam semesta dan alam rohani
yang eksistensinya berpengaruh dan berkuasa atas hidup manusia. Dalam
perkembangannya, paham agama Hindu dan Islam justru malah berbaur
2
dengan kepercayaan orang Jawa. Bagi orang Jawa, yang menganut paham
sinkretis, yang memandang semua agama baik dan benar, yang suka
memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda
atau berlawanan, menerima pengaruh dari luar dengan sikap aktif (Simuh,
1995: 116-117). Akibatnya, timbullah kondisi budaya Jawa yang sudah
mengalami perpaduan dengan berbagai unsur budaya lain dari luar Jawa.
Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Hindu di Jawa, tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh para bangsawan dan cendekia Jawa. Para
cendekia Jawa mengolah teks Hindu berbahasa Sansekerta dan menulisnya
ke dalam bahasa Jawa yang terpengaruh huruf-huruf Hindu. Penggunaan
tulisan ini merupakan awal sejarah permulaan bagi pertumbuhan dan
perkembangan kepustakaan Jawa. Demikian halnya dengan pengaruh Islam
yang masuk di Jawa. Pandangan sinkretis menunjang pertumbuhan
kepustakaan Islam Jawa yang berkembang di lingkungan pesantren
(Kepustakaan Islam Santri) dan lingkungan istana (Kepustakaan Islam
Kejawen) (Simuh, 1988: 1-2).
Dengan demikian, lalu timbul beberapa pertanyaan seputar
pembentukan ajaran mistik, tokoh-tokoh penganut ajaran mistik dan praktik
mistik yang dilakukannya. Salah satu cara yang ditempuh dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu ialah melalui naskah dan teks-teks sastra, yang
dalam penelitian ini dipilih dari kategori sastra lama. Menurut perkiraan
Zoetmoelder (1983: 21), naskah Jawa berawal sejak abad 9, adapun jumlah
naskah hingga saat ini belum dapat ditentukan (Behrend, 1993: 407-437).
3
Demikian halnya dengan naskah karya kesusastraan Jawa pasca Islamisasi
Jawa, masih merupakan wilayah yang belum bisa dipetakan dengan jelas
(Behrend, 1995: 1). Naskah dan teks ini merupakan warisan leluhur yang
tak ternilai harganya. Warisan ini mengandung banyak nilai budaya yang
terdapat dalam karya sastra Jawa. Dalam kaitannya dengan ketersediaan
objek kajian ilmiah, sastra Jawa yang merupakan karya sastra berbahasa
Jawa aksara Jawa menyediakan materi yang berlimpah. Namun demikian,
penelitian karya sastra Jawa bagi para peneliti masa sekarang ini berhadapan
dengan dua permasalahan mendasar. Pertama, yaitu adanya keterbatasan
penguasaan bahasa Jawa yang rumit dan lebih tua jika dibandingkan dengan
bahasa sekarang serta klasifikasi tingkat tutur bahasa. Kedua, berkaitan
dengan penggunaan tulisan huruf Jawa yang sudah sulit dikenali oleh
sebagian masyarakat Jawa masa kini.
Bagi kebanyakan orang Jawa, sastra Jawa berarti karya para
pujangga di kraton-kraton Surakarta dan Yogyakarta yang menulis terutama
dalam abad ke-18 dan ke-19 (Damono, 1993: 2). Suatu hal yang sangat
menarik
ditinjau
adalah
pandangan
yang
bersifat
sinkretis
yang
mempengaruhi watak dari kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan
Jawa sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan
kepustakaan Islam kejawen. Menurut Simuh (1995: 2-3) kepustakaan Islam
santri bercirikan muatan ajaran syariat, yang merupakan dasar fundamental,
yang merupakan ukuran untuk membedakan antara ajaran yang lurus dan
yang benar dengan ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam.
4
Kepustakaan Islam Kejawen merupakan perpaduan unsur-unsur ajaran
Islam dengan tradisi budaya Jawa. Ciri utamanya adalah penggunaan bahasa
Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syariat, bahkan sebagaian
ada yang kurang menghargai syariat.
Kajian dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana
dalam karya sastra Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra
Jawa yang dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen.
Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik mistik
jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana ini
muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari
berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara
mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan
pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang
berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini.
Kepustakaan Islam Kejawen lazim disebut dengan istilah primbon,
serat, suluk dan wirid (Simuh, 1988: 3). Serat berarti surat, tulisan atau
kitab (Poerwadarminta 1939: 559). Suluk berasal dari kata salaka berarti
melalui, menempuh, jalan atau cara. Dalam kaitannya dengan ajaran
spiritual, suluk juga dapat dimaknai transformasi sikap mental spiritual
untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan penyucian diri lahir batin
menempuh jalan kehidupan rohani yang lebih baik, yang lebih sempurna,
sehingga tercapai kedekatan dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan
(Salam, 2004: 41). Wirid bermakna ajaran rahasia yang berkaitan dengan
5
tasawuf . Serat, suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf,
yang sering disebut ajaran mistik Islam (Simuh, 1988: 3). Adapun primbon
berupa rangkuman macam-macam ajaran yang berkembang dalam tradisi
Jawa, seperti ngelmu petung, ramalan, guna-guna dan sebagainya.
Salah satu pujangga Jawa yang terkenal menghasilkan karya Islam
kejawen adalah R. Ng. Ranggawarsita. Berbagai karya agung yang
monumental terutama berupa karya-karya sastra dalam tradisi tulis hasil
peninggalannya sampai saat ini masih bisa kita nikmati keindahannya.
Karya yang dihasilkannya cukup banyak dan sangat populer. Karya-karya
besar inilah yang menjadi warisan budaya adiluhung dan merupakan aset
yang tak ternilai harganya yang sangat berguna bagi perkembangan sastra
Jawa di masanya dan bahkan terasa sampai sekarang. Muatan pandanganpandangan hidup yang dikandungnya berpengaruh terhadap pandangan
masyarakat. Oleh karena itu bisa digunakan sebagai salah satu sumber
orientasi yang tidak hanya akan memberi inspirasi bagi generasi sekarang
untuk berekspresi, tetapi juga menjadi bahan kajian sebagai upaya untuk
menginterpretasikan kembali ajaran-ajaran yang dikandungnya pada era
sekarang.
Ranggawarsita
sebagai
pujangga
penutup
di
tanah
Jawa.
Ranggawarsita adalah nama pemangku jabatan di bawah tumenggung yang
turun temurun, maka perlu peneliti jelaskan bahwa yang dimaksud disini
adalah Ranggawarsita III. Ranggawarsita I adalah Yasadipuro II (kakek dari
Ranggawarsita III), dan Ranggawarsita II adalah Suradimejo yang notabene
6
adalah ayah dari Ranggawarsita III (Day, 1981: 167-168; Simuh, 1988: 36;
Mulyanto, 1990: 36; Florida, 2008: 78-85,). Pujangga yang hidup sekitar
tahun 1802 sampai tahun 1873 masehi ini mengartikulasikan ide, pemikiran
dan hasil proses kreatifnya dalam karya yang dituliskanya dengan
menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk puisi (tembang) ataupun prosa.
Karyanya banyak dikutip, dikaji dan diteliti dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Sebagai seorang pujangga sekaligus bangsawan keraton Kasunanan
Surakarta yang pernah dididik di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo,
Ranggawarsita berhasil mempertemukan tradisi kejawaan dengan ajaran
Islam. Hasil dari perpaduan tersebut termuat beberapa karya yang
berkonsepsi tasawuf, misalnya Serat Salokajiwa,Serat Wirid Hidayat Jati,
Wirid Maklumat Jati, Serat Kalatidha, Serat Pranawa Jati, dan Serat Sabda
Jati (Mulyanto, 1990: 50-51).
Dari karya-karya yang dihasilkannya, ada satu karya yang masih
jarang dikaji secara ilmiah yaitu Serat Wedaraga. Serat Wedaraga
(selanjutnya disingkat SWR) adalah salah satu karya sastra Ranggawarsita
ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa Jawa aksara Jawa yang
dapat dikategorikan kedalam naskah dan teks sastra lama. Teks-teks sastra
lama kebanyakan masih tersimpan dalam bahan pustaka berupa naskah
tulisan tangan yang sudah rapuh dan rusak kondisinya. Dalam tradisi sastra
tulis, sastra Jawa sejak awal perkembangannya menggunakan pelbagai
media sebagai sarana penyebarluasannya. Berbagai jenis bahan dan alat
telah dimanfaatkan oleh para pujangga dalam mewariskan pengetahuan
7
berdasarkan pengalaman dan penghayatan hidupnya (Zoetmoelder, 1983:
186). Dari segi aksara dan bahasa mungkin sudah tidak banyak yang
mengetahui dan memahami teks SWR ini, apalagi jika dikaitkan dengan
keterbatasan akses dan koleksi tempat penyimpanannya. Jika tahap
pembacaan di level awal saja masih sulit diakses, apalagi proses
pemahaman yang mendalam terhadap teks.
Teks SWR yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1880. Media
penulisan
yang
bersifat
tradisional
berakibat
pada
keterbatasan
persebarannya. Akibatnya, karya ini jarang dijumpai di masyarakat dan
kalaupun ada, koleksinya sangat terbatas. Persebaran dalam bentuk naskah
yang berupa manuskrip bisa dijumpai di beberapa perpustakaan yang
menyimpan naskah-naskah kuna. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan
dalam mengakses pembacaan karya ini, apalagi kondisi naskah yang sudah
tua, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam membacanya.
Tugas berat pelacakan persebaran dan perkembangan teks SWR
dalam berbagai media, mengingat adanya keterbatasan koleksi naskah dan
tempat penyimpanannya. Berangkat dari fakta-fakta keterbatasan koleksi
naskah, keterbatasan kemampuan membaca aksara Jawa, keterbatasan
memahami bahasa Jawa, dan keterbatasan buku-buku yang mengulasnya,
maka proses pengkajian teks SWR menjadi salah satu permasalahan yang
harus dikerjakan dalam rangka menghadirkan teks yang terbaca dan siap
dianalisis menggunakan teori-teori sastra.
8
Teks sastra ditulis untuk dibaca, pembaca mempunyai hak untuk
menginterpretasi karya sastra sesuai dengan kemampuan dan latar belakang
budayanya. Pada hakikatnya teks mampu menembus ruang dan waktu,
sedangkan penulis dan pembaca tidak. Itulah sebabnya dalam kesusastraan
masalah interpretasi menjadi penting, bahkan meskipun pengarang dan
pembaca berasal dari zaman dan kebudayaan yang sama ataupun berbeda
(Sedyawati, 201: 464). Pandangan Anthony Day (1981:3) yang menyatakan
bahwa secara sekilas puisi dari abad ke-19, meskipun secara tersamar dalam
memuat teks historis, ternyata dikandung nilai tertinggi dan tak tergantikan.
Meskipun sangat mungkin atau perlu sekali untuk mendiskusikan keseluruhan
bentuk puisi dalam sebagian kalimat pendahulunya dan untuk membuktikan
secara
tekstual
kontinuitas
dan
diskontinuitas
dengan
masa
lalu
direpresentasikan, yang artinya sisa-sisa yang akan sulit dipahami (Day,
1981: 247). Teks SWR ditulis dalam bentuk tembang gambuh berbahasa
Jawa. Bahasa Jawa digunakan sebagai sarana vital untuk menyampaikan
wacana.
Bahasa yang digunakan dalam teks SWR adalah bahasa menurut
versi pengarang. Wacana sebagai dasar dalam pemahaman teks sangat
diperlukan oleh masyarakat bahasa agar dapat menyampaikan informasi
wacana secara utuh. Para ahli bahasa pada umumnya berpendapat sama
mengenai wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi
dalam hal lain ada perbedaannya. Penyajian wacana dalam bentuk tembang
gambuh perlu dilakukan, mengingat bahasa yang digunakan oleh pengarang
9
banyak menggunakan ungkapan simbolik yang perlu dikaji lebih mendalam.
Simbol-simbol
itu
disajikan
secara
tersurat,
sehingga
diperlukan
pemahaman untuk mengungkapkan wacana yang tersirat didalamnya.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada, maka
permasalahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: pertama, teks
SWR yang termasuk dalam kategori sastra lama berhuruf jawa, hadir dalam
sejumlah naskah dan edisi, sehingga dirasa membahas pernaskahan dan
perteksan serta menyajikan suntingan; kedua, teks SWR hadir dalam konvensi
yang asing bagi pembaca masa kini terutama dalam hal bahasa, teks SWR
disajikan dengan medium bahasa Jawa. Oleh karena itu, dipandang perlu
menghadirkan teks SWR dalam sebuah bentuk terjemahan yang dapat dibaca
oleh pembaca masa kini; dan ketiga, permasalahan analisis wacana yang
terkandung dalam teks SWR.
Adapun masalah-masalah tersebut selanjutnya dijadikan batasan
dalam penelitian ini. Masalah yang dimaksud: pertama, bagaimanakah agar
teks sastra lama berbahasa Jawa aksara Jawa yang berupa teks SWR dapat
dibaca dan dimengerti oleh pembaca masa kini?; kedua, bagaimana wacana
praktik mistik terbentuk dalam teks sastra SWR?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan teoritis dan tujuan
praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk menguraikan apa yang
telah menjadi pokok permasalahan seperti yang diuraikan sebelumnya, yaitu:
10
a. Melakukan proses inventarisasi naskah yang memuat teks SWR.
b. Menyajikan suntingan teks dan terjemahan teks SWR, sehingga bisa
dijangkau dan dipahami oleh pembaca yang lebih luas.
c. Mengupas wacana tentang praktik mistik yang dimuat dalam teks SWR
sebagai produk budaya masa lalu yang dapat dipahami dan dimanfaatkan
oleh pembaca masa sekarang.
Adapun tujuan praktis penelitian ini berkaitan dengan sejarah
panjang sastra Jawa. Hingga saat ini, studi terhadap sastra Jawa dan
lingkupnya yang sangat luas. Banyak khasanah sastra Jawa yang sebenarnya
punya peran sebagai penyumbang data sejarah sastra Jawa yang masih
terkandung dalam naskah-naskah kuna yang rapuh kondisinya dan terancam
rusak. Kondisi iklim di Indonesia, perawatan dan penanganan koleksi naskah
yang kurang memadai, bisa berdampak pada kerusakan naskah-naskah.
Penelitian ini diharapkan punya peran dalam upaya preservasi teks SWR
sebagai salah satu produk budaya masa lampau melalui pembuatan suntingan
teks. Teks yang telah disunting dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah
selanjutnya bisa digunakan sebagai sumber bagi peneliti selanjutnya, ataupun
sebagai referensi bacaan tentang salah satu renik budaya Jawa yang selama
ini jarang dibaca dan bahkan diabaikan.
1.4 Tinjauan Pustaka
Pelacakan teks SWR dilakukan melalui studi katalog naskah. Katalog
merupakan alat bibliografis yang bertujuan memberi akses pada naskah,
namun kenyataannya katalogpun jumlahnya sudah ratusan dan tidak diketahui
11
umum. Menurut Loir (1999: 8), katalog yang terbaik adalah yang mampu
melampaui dimensi pemerian naskah dan dapat memberikan uraian
terlengkap tentang masing-masing kesusastraan tersebut. Katalog merupakan
alat penelitian dan penggarapan naskah yang paling mendasar, yang
memungkinkan peneliti memasuki rimba raya pernaskahan dan mengurangi
resiko tersesat karena tidak menemukan semua pohon yang dicarinya.
Katalog deskriftif lebih lagi membantu dalam menghemat waktu penelitian
(Behrend, 1997: ix).
Berdasarkan studi katalog ditemukan data-data teks SWR yang telah
mengalami katalogisasi. Katalog-katalog yang memuat naskah teks SWR
yaitu: (1) Katalog naskah induk Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo,
Yogyakarta (Behrend, 1990); (2) Katalog induk naskah Nusantara Jilid 3
Fakultas Sastra Universitas Indonesia dua jilid yang disusun T.E Behrend
dan Titik Pujiastuti (1997); dan (3) Katalog Naskah-naskah Perpustakaan
Pura Pakualaman yang disusun Sri Ratna Saktimulia, dkk (2005).
Dalam studi katalog ditemukan 10 naskah yang memuat teks SWR
yang dikoleksi oleh empat perpustakaan. Adapun deskripsi data 10 naskah
yang ditemukan akan dibahas lebih detail dalam bab dua penelitian ini. Selain
10 naskah koleksi berbagai perpustakaan, juga ditemukan buku cetakan yang
memuat teks SWR. Pertama, Serat Wedaraga berupa buku yang diterbitkan
oleh Radya Pustaka Surakarta pada tahun 1906. Buku ini merupakan karya
R. Ng. Ranggawarsita dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Kedua,
Serat Wedaraga disusun oleh Hardjosupadijo Kediri, diterbitkan dan dijual
12
oleh Boek handel Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922 berupa terbitan
berbahasa Jawa aksara Jawa. Yang ketiga, Serat Wedaraga yang diterbitkan
oleh Yayasan penerbitan “Djojobojo” cetakan pertama pada tahun 1963,
berupa terbitan berbahasa Jawa aksara Jawa yang disertai catatan huruf latin
yang diperkirakan bersumber dari naskah PW 48 koleksi perpustakaan FS UI;
dan yang keempat, Dalam buku Lima Karya Ranggawarsita yang ditulis oleh
Karkono Kamajaya dan diterbitkan Balai Pustaka cetakan pertama tahun
1985, cetakan kedua 1991, berupa terbitan berbahasa Jawa huruf latin dan
disertai terjemahan. Dalam terbitan ini tidak menyebutkan naskah sumber
terbitan.
Buku-buku yang telah ada sebelumnya baik yang disalin secara
terbatas ataupun yang sudah diterbitkan belum menyelesaikan pokok masalah
penelitian ini dan belum mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ada
buku yang sebatas menyalin teks SWR berupa tulisan tangan aksara Jawa
kedalam tulisan tangan aksara yang sama (manuskrip), ada pula yang
melakukan proses transliterasi dan diketik ulang ke dalam aksara latin bahasa
Jawa, dan ada pula yang menerbitkan kedalam bentuk tulisan Jawa versi
cetak, serta juga ditemukan satu buku yang menerbitkan dalam bentuk huruf
latin yang disertai terjemahan. Adanya buku-buku terdahulu diharapkan bisa
melengkapi pemecahan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
Pelacakan penelitian terdahulu terkait teks SWR yang dapat
ditemukan yaitu: (1) Eksplorasi Indikator Regulasi Diri pada Remaja versi
Serat Wedharaga, hasil penelitian: Sudarmanto, staf pengajar di Fakultas
13
Psikologi Universitas Gadjah Mada dan (2) Konsep Regulasi Diri Remaja
Berdasar Serat Wedharaga Dalam Piwulang Warna-warni, berupa tulisan
Skripsi atas nama Anggiastri Hanantyasari Utami. Dari penelitian terdahulu
ini, permasalahan kajian sastra belum tersentuh sama sekali, sehingga dirasa
perlu dikajikan secara lebih lanjut dalam penelitian ini.
Selanjutnya, kajian tentang relasi Islam dengan budaya Jawa
berbasiskan pada naskah juga telah banyak dilakukan oleh para sarjana.
Mereka melakukan pembuatan suntingan maupun kajian terhadap teks-teks
Islam Jawa. Apa yang dilakukan para sarjana Barat lebih banyak berfokus
pada jenis karya-karya hikayat, syair, serta sajak atau tembang macapat
daripada karya-karya yang berjenis prosa. Nampaknya, penelitian sastra dan
bahasa maupun sejarah lebih banyak dilakukan daripada teks-teks
keagamaan. Namun demikian, apa yang Kraemer dan Schrieke yang
kemudian dikoreksi dan diperbaiki oleh Drewes (1969) adalah bentuk kajian
yang berbasis pada teks keagamaan pada naskah abad ke-16. Periode yang
dapat dianggap sebagai periode transisi di pesisir utara Jawa, yaitu periode
ketika sejumlah orang tetap menganut kepercayaan lama sedangkan sebagian
yang lain telah menganut Islam sebagai agama. Salah satu karya Drewes yang
menunjukan hal itu adalah The Admonitions of Seh Bari . Tulisan ini adalah
koreksi dari karya Schrieke yang mengatakan bahwa naskah yang ia temukan
adalah karya dari Sunan Bonang atau muridnya. Menurut Drewes, bahwa
mungkin saja jika berdasarkan kolofon naskah itu ditulis oleh penyalin
naskah yang belum tentu Sunan Bonang sendiri. Terkait dengan teks yang
14
dikandung dalam naskah mengenai inti sari dari ajaran tasawuf. Drewes
berpendapat bahwa ajaran tasawufnya merupakan tasawuf yang mendapat
inspirasi dari ajaran al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, yaitu tasawuf yang
dianggap sebagai ‘ortodoks’. Sebagian besar ide yang dimuat dalam naskah
ini adalah juga terdapat dalam karya-karya berbahasa Arab mengenai agama
Islam, sedangkan unsur-unsur kejawennya tidak ada. Dengan demikian, ini
memperkuat pandangan bahwa Islam yang dipeluk oleh orang Jawa di Pesisir
utara pulau Jawa pada abad 16 tentu merupakan Islam yang ‘ortodoks’ yang
tidak atau belum tentu dicampuri oleh unsur-unsur kejawen yang baru muncul
pada periode sesudahnya. Naskah ini, secara garis besar menganjurkan agar
orang melaksanakan kewajiban Islam, seperti shalat dan puasa. Selain itu,
diberikan pula sejumlah kata hikmah yang bercorak tasawuf moderat, yang
sama sekali tidak ditemukan pemikiran-pemikiran spekulatif yang berunsur
monisme atau panteisme.
Zoetmulder (1991) dalam buku berjudul Manunggaling Kawula
Gusti : Pantehisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa – Suatu Studi
Filsafat. Ia berpendapat jika terdapat kedua unsur tersebut dalam sastra
suluk Jawa, khususnya terhadap karya-karya sastra Islam Jawa pedalaman.
Dalam karyanya, Zoetmulder memulai dengan konsep panteisme dan
monisme. Konsep ini tidak dikenal dalam dunia pemikiran Jawa, tetapi
diambil dari filsafat klasik yang telah lama dipegang kuat dalam gereja
Katolik. Rumusan ini diterapkan dalam ajaran Hindu dan Islam. Sebagai
sumber telaahnya, ia menggunakan sejumlah episode dari Serat Centhini.
15
Selain itu pula dipakai dua buah naskah yang panjang, yang merupakan
bunga rampai suluk yang disusun di kraton Surakarta pada pertengahan
abad 19. Melalui konsep yang diambil dari luar dunia Islam dan Jawa, ia
melakukan penilaian terhadap sastra suluk ini.
Kajian yang membahas kepustakaan Islam kejawen juga dilakukan
Soebardi (1975) yang diterbitkan dalam buku berjudul The Book of
Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes. A
Contribution to the Study of Javanese Mystical Tradition. Kajian filologi
terhadap naskah yang ditulis abad ke-18 ini terungkap temuan bahwa
pengarang teks Serat Cebolek, Yasadipura I, seorang Pujangga Kraton
Surakarta telah memadukan unsur tasawuf Islam dan tradisi Jawa. Terdapat
kesan memihak ulama yang menganggap syariat sebagai tuntunan formal
dalam kehidupan religius lahiriah orang Jawa. Tetapi, hal yang
membedakan adalah cara mencapai kesempurnaan hidup, orang Jawa harus
mengikuti cerita Dewa Ruci, yang unsur Hindunya kental, sebagaimana
yang termuat dalam naskah tersebut.
Pada tahun 1983, Hadiwijana menerbitkan buku berjudul Konsepsi
Manusia dalam Kebatinan Jawa. Dalam buku ini menjelaskan tentang
konsepsi manusia Jawa semenjak sebelum kedatangan agama hingga
tumbuhnya berbagai aliran kebatinan pada abad ke-20. Tujuannya adalah
untuk memberikan deskripsi konsep-konsep tentang Manusia dan Tuhan
berdasarkan sejarah perkembangan konsep religi dan keagamaan yang
terjadi di Jawa. Terkait pembahasan dalam Serat Wirid Hidayat Jati,
16
Hadiwijana (1983: 100) menyatakan, “Secara positif hanya dapat dikatakan
bahwa Allah adalah kekosongan, awang-uwung yang mengingatkan pada
ajaran Hindu dan Budha tentang Niskala dan Sunyata”.
Pertautan antara Islam dan Jawa juga tampak dalam Serat Wirid
Hidayat Jati yang dikaji oleh Simuh (1998) dalam disertasinya dengan judul
Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati . Teks Serat Wirid Hidayat Jati adalah hasil karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang merupakan seorang sastrawan istana
Surakarta yang sangat terkenal, yang juga digelari sebagai ‘pujangga
penutup’. Teks ini disusun dalam bentuk prosa (jarwa) bukan puisi
(macapat). Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang
cukup lengkap, padat, dan bulat. Isi kandungan teksnya adalah upacara
sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang mengajarkan
ilmu mistik, uraian mengenai guru dan murid, ajaran tentang Tuhan dan
hubungan antara zat, sifat, asma dan perbuatan Tuhan, uraian mengenai cita
kesatuan antara manusia dengan Tuhan, jalan untuk mencapai kesatuan
tersebut, tingkat-tingkat pengahayatannya, uraian mengenai penciptaan
manusia dan hakikat manusia, serta aspek budi luhur.
Simuh dengan disertasinya membantah pendapat Hadiwijono
(1983) yang mengatakan bahwa ajaran Serat Wirid Hidayat Jati adalah
‘doktrin Hindhu dengan pakaian Islam’. Menurut Simuh, pendapat Harun
ini kurang tepat, karena keseluruhan ajaran Wirid Hidayat Jati dijiwai oleh
ajaran tasawuf, gagasan tentang Allah sebagai zat mutlak, kediaman Allah
17
dalam diri manusia yang sumbernya adalah ajaran tasawuf, yaitu dalam
ajaran ‘martabat tujuh’. Namun, Simuh hanya sampai pada kesimpulan
bahwa Serat Wirid Hidayat Jati adalah ajaran ‘Islam Kejawen’ (Simuh,
1988: 373-374). Artinya, dalam teks tersebut pokok-pokok ajaran tasawuf
dipadukan dengan berbagai ajaran kejawen. Hal yang patut disayangkan,
Simuh tidak memerinci lebih jauh dan detail mengenai unsur-unsur kejawen
dalam teks tersebut, ia hanya mengajukan adanya nilai-nilai Hindu, seperti
konsep atma dan rahsa.
Peran penting Islam dalam kraton Jawa juga diungkap oleh Nancy
K. Florida. Dengan menelusuri sejarah keluarga pujangga kraton Surakarta
di abad 18 dan 19, yakni Yasadipura I (lahir pada 1729) (pengarang Serat
Cebolek), Yasadipura II (w.1844) (Ranggawarsita I) (pengarang Serat
Centhini), dan Ranggawarsita III (anak Yasadipura II) (1802 – 1873), yang
dikenal sebagai ‘pujangga penutup’ yang diantaranya karyanya yang
terkenal adalah Serat Wirid Hidayat Jati , Serat Tapel Adam, dan Serat
Kalatidha (Florida, 2008: 78-85). Ia menunjukan kembali tempat Islam
dalam dunia kepujanggan
dan
kesusastraan di
kraton
Surakarta.
Menurutnya, dengan menelusuri karya-karya teks Jawa dan pengarangnya,
tampak bahwa kehidupan dunia kraton sangat meluas jauh dari balik tembok
kraton dan bersifat sangat Islami, yang penyebabnya adalah karena para
pengarang yang menghasilkan karya-karya ini banyak dibesarkan dalam
lingkungan pesantren di pedesaan Jawa (Florida, 2008: 79).
18
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, sudah banyak penelitian
yang membahas seputar ajaran mistik Islam Kejawen. Penelitian yang
menggunakan objek material teks SWR juga sudah ada. Namun demikian,
masih ada celah-celah yang belum tersentuh, yaitu kajian sastra terkait teks
SWR. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap perlu dan relevan. Kajian
dalam penelitian ini akan membicarakan sebuah wacana dalam karya sastra
Jawa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Karya sastra Jawa yang
dimaksudkan termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988:
3). Adapun batasan wacananya adalah hal yang terkait dengan praktik
mistik jalan keselamatan yang terjadi di Jawa pada abad ke-19. Dari wacana
ini muncul persoalan-persoalan bagaimana memahami ajaran mistik dari
berbagai sumber yang dimuat dalam karya sastra Jawa dan bagaimana cara
mempraktikkannya agar tidak timbul pertentangan dan perselisihan dengan
pihak-pihak yang mempunyai kerangka pemikiran dan pemahaman yang
berbeda yang banyak dihasilkan pada periode ini.
1.5 Landasan Teori
Penelitian terhadap teks sastra lama seringkali terkendala oleh
keterbatasan dan kemampuan bahasa yang digunakannya. Objek material
dalam penelitian ini adalah teks SWR yang merupakan salah satu produk
sastra lama berbahasa Jawa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan
dua teori yang terdiri dari teori terjemahan dan teori wacana (arkeologi
pengetahuan dan genealogi Michel Foucault).
19
1.5.1
Teori Terjemahan
Terjemahan adalah hasil dari proses penerjemahan. Sebagai sebuah
kegiatan, menerjemahkan secara umum merupakan suatu proses pengalihan
rangkaian kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Menurut Goethe
(1992:60 dst. dalam Soekatno, 2009: 72 ) ada tiga jenis terjemahan dari
sebuah teks yang tertulis dalam bentuk puisi. Jenis pertama ialah terjemahan
segala sesuatu yang dijumpai dalam teks yang disesuaikan dengan konteks
budaya pembaca masa kini. Terjemahan dalam bentuk ini adalah yang paling
mudah. Apabila yang menjadi fokus adalah kisah yang terkandung dalam
teks, seyogyanya terjemahan diubah ke dalam bentuk prosa. Jenis kedua ialah
terjemahan sesuai bentuk teks asli yang tetap mempertahankan bentuk syair
dengan metrum tembang macapat. Jenis terjemahan ketiga bisa disajikan
dengan menanggalkan bentuk teks asli dan menggunakan sebuah bentuk yang
mirip, disesuaikan dengan bahasa alih bahasa. Dengan kata lain teks tembang
dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam metrum tembang macapat digubah
dalam sebuah bentuk syair dalam bahasa Indonesia.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penerjemahan semantis
berdasarkan pertimbangan unsur estetika teks bahasa sumber dengan
mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran, sehingga
hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional atau dapat dengan mudah
dimengerti. Sifat penerjemahan semantis lebih luwes jika dibandingkan
dengan penerjemahan setia yang terkesan lebih kaku dan tidak berkompromi
dengan kaidah bahasa sasaran. Konteks kalimat harus diperhatikan agar
20
penempatan suatu informasi bermakna jelas bagi penerima informasi. Selain
itu, apabila penerjemahan tidak menemukan padanan yang diharapkan, maka
langkah yang dilakukan adalah pemadanan bercatatan dengan memberikan
catatan terjemahan yang disajikan dalam komentar (Machali, 2000: 71-73).
Adapun proses penerjemahan dapat digambarkan sebagai berikut:
Teks dalam bahasa sumber
Analisis
Pengalihan
Penyusunan kalimat
Teks dalam bahasa sasaran
Langkah
pertama
yang
dilakukan
oleh
penerjemah
adalah
menganalisis teks sastra dalam bahasa sumber. Adapun kegiatan awal yang
dilakukan adalah membaca teks sastra dan memahami hubungan antar elemen
kalimat sekaligus memahami gagasan, pesan dan informasi yang ada dalam
teks bahasa sumber. Langkah kedua adalah pengalihan, dalam hal ini
penerjemah harus bisa menyepadankan kata-kata dalam bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran. Dalam hal konteks harus diperhatikan, teks sastra
hanya akan memiliki makna yang pasti jika teks berada pada sebuah konteks.
Tahap berikutnya adalah tahap penyusunan kalimat, maksudnya
apabila kata-kata dalam teks sastra sudah diketahui artinya, yang dilakukan
adalah penyusunan kalimat-kalimat ke dalam bahasa sasaran. Adapun jenis
21
penerjemahan sesuai dengan tujuan masing-masing ada delapan, antara lain
sebagai berikut: Penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harafiah,
penerjemahan
setia,
penerjemahan
semantis,
penerjemahan
adaptasi,
penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif
(Newmark dalam Machali 2000: 49-50).
Adanya prinsip dasar bagi seorang penerjemah yang dituntut untuk
mandiri atau independent. Dalam konteks ini, seorang penerjemah
mempunyai pilihan untuk menghasilkan hasil terjemahan yang mudah
dipahami, dengan berpegang teguh pada kenyataan bahwa dirinya bukanlah
pencipta teks asli, melainkan bertugas sebagai pengalih bahasa. Dengan
demikian, penerjemah bukanlah dalam cakupan tugasnya untuk menambah
atau mengurangi informasi pada teks yang dikerjakannya.
1.5.2
Teori Wacana (Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi)
Ada dua kata kunci yang sangat penting dalam analisis wacana Michel
Foucault, yaitu istilah arkeologi dan genealogi. Dalam perkembangannya
pada tahun 1970-an, kedua istilah ini menjadi metode yang digunakan untuk
menganalisis praktik diskursif. Menurut Habermas (dalam Hardiyanto, 1997:
17) metode arkeologi dan genealogi Foucault bertujuan untuk melakukan
dekontruksi atas historiografi tradisional yang masih tertangkap dalam
pemikiran antropologis dan keyakinan humanistis. Metode arkeologi
berusaha untuk menggali praktik-praktik diskursif sampai akarnya, sebagai
totalitas yang partikular dengan perspektif dari luar yang dapat ditentukan
batas-batasnya, sehingga ruang sejarah dapat diisi oleh kalaideskop, di mana
22
bentuk-bentuk diskursus yang plural datang dan pergi. Genealogi bertugas
untuk menjelaskan asal-usul kebetulan dari bentuk-bentuk diskursus itu dari
rongga-rongga pembentukan yang saling membatasi (Hardiyanto, 1997: 1718).
1.5.2.1 Arkeologi
Arkeologi diartikan sebagai ilmu yang selalu bersentuhan dengan
monumen-monumen bisu, benda-benda mentah, objek-objek tanpa konteks
dan segala hal yang dicecerkan masa lalu (Foucault, 2012: 26). Foucault
menyatakan menggunakan terminologi arkeologi secara metaforis untuk
menunjuk pada sesuatu yang disebut arsip. Ciri yang menonjol dari arkeologi
salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran pengarang dalam
mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa
peniadaan peran pengarang ini berguna untuk dapat mencari modus eksistensi
dari sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran
formasi diskursif. Modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka
kita tidak dapat kemudian menyandarkannya pada pengarang untuk bisa
mengetahuinya. Cara mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat
kehadiran pengarang saja tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar
lingkaran pengarang (Foucault, 2012: 52-54).
Dalam rangka menyelidiki wacana, Foucault menggunakan tiga
konsep yakni positivitas, apriori historis dan arsip (2012: 230-240).
Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan wacana dalam satu periode.
Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal
23
yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah ‘lingkup komunikasi’
antar pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault
disebut sebagai apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang
menjadi syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip
adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai
positivitas sesuai apriori historis masing-masing.
Dalam Arkeologi Ilmu Pengetahuan, Foucault tertarik untuk
melakukan penyelidikan terhadap fenomena kesejarahan. Dengan metode
arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen pembentuk sejarah dengan
menyelidiki ‘peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif’, ‘pernyataan-pernyataan
yang dibicarakan’ dan ‘dituliskan’ dalam sebuah konteks sejarah (2012: 246).
Menurutnya, arkeologi pengetahuan berbeda dengan sejarah pemikiran. Hal
ini dirumuskan dalam empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut,
yakni: Pertama, Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi,
yang tersembunyi atau tampak dalam wacana. Arkeologi lebih membahas
wacana itu sendiri sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya
sendiri; Kedua, Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual
antar wacana, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari wacana itu
sendiri; Ketiga, Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau
ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktik diskursif
yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu
arkeologi menolak kehadiran pengarang sebagai bagian dari kesatuan kajian;
dan keempat, Arkeologi tidak lebih dari sekedar penulisan ulang: yakni,
24
dalam bentuk ekterioritas yang diusahakan agar tetap awet, dia adalah
transformasi reguler dari apa yang telah dituliskan. Dia tidak menyelidiki
kelahiran wacana tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek
wacana (2012: 250-252).
Foucault beranggapan bahwa wacana adalah jembatan penghubung
antara satu kontradiksi dengan kontradiksi lain. Dalam analisis arkeologis,
bertujuan untuk memetakan titik di mana mereka terbentuk di dalam praktik
diskursif tertentu, menentukan bentuk-bentuk yang diandaikannya, relasirelasi yang terjadi diantara mereka, serta domain yang mereka bentuk.
Singkat kata, tujuannya adalah menegaskan wacana dalam segala bentuk
irregularitasnya; dengan demikian, untuk menentukan tema-tema kontradiksi
yang telah hilang dan ditemukan kembali, yang telah selesai tetapi kemudian
muncul di sepanjang elemen tunggal logos (Foucault, 2012: 274-280).
Dalam memahami sejarah Foucault melihat bahwa sejarah bukan
sebagai rentetan kesinambungan tetapi sebagai suatu ‘diskontinuitas’.
Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai sebuah keterputusan dimana
sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan
baru (2012: 303-315). Pelacakan asal pengetahuan ini dikenal dengan istilah
episteme. Episteme dipahami sebagai total sekumpulan hubungan yang
menyatukan, pada periode tertentu, praktik diskursif yang memunculkan
figur-figur epistemologis, ilmu pengetahuan, dan mungkin sistem yang yang
terbentuk dari pengetahuan (2012: 341).
25
Foucault
(2012:
341)
menawarkan
analisis
episteme
untuk
mengungkapkan analisis tentang formasi-formasi diskursif, analisis tentang
positivitas-positivitas dan pengetahuan yang berkaitan dengan pola-pola
epistemologis dan sains-sains. Ia menemukan episteme yang menjadi dasar
disiplin ilmu dan cirinya yang menentukan pada tiap periode. Episteme
merupakan totalitas relasi-relasi yang bisa ditemukan, di dalam masa tertentu
(Foucault, 2012: 342). Analisis episteme menghubungkan fakta tersebut
bukan kepada otoritas aktus original yang menciptakannya, aktus yang
membentuk fakta dan hak dalam subjek transendental, akan tetapi kepada
proses-proses praktik historis (Foucault, 2012: 343).
Dalam setiap perubahan zaman terdapat perubahan-perubahan
episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme tiap zaman
dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti
membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta
multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang
menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme.
Perubahan episteme dalam setiap zaman yang tidak langsung sekali jadi
tersebut dijelaskan Foucault dengan menerangkan bahwa telah terjadi
penyebaran formasi diskursif dalam masyarakat (2012: 346-349).
1.5.2.2 Genealogi
Foucault dalam judul esainya pada tahun 1971: “Nietzsche, Genealogi,
History” menyatakan bahwa genealogi dilengkapi dan dibantu oleh arkeologi.
Menurut
Habermas,
dengan
metode
genealoginya,
Foucault
ingin
26
meninggalkan
“presentisme”
kesadaran
waktu
modern.
Presentisme
maksudnya kesadaran bahwa masa kini itu unik, langka, terpenting dan
berkaitan dengan desakan tanggung jawab akan masa depan, sedangkan masa
lampau membentuknya. Genealogi tidak mencari asal-usul, melainkan
menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis pluralitas
sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari ilusi
tentang identitas (Foucault dalam Hardiyanto, 1997: 14). Ia menggunakan
metode yang sama dengan Nietzsche yaitu mulai dari masa kini, lalu bergerak
mundur ke masa lalu untuk menemukan suatu perbedaan, dan bergerak maju
lagi untuk menelusuri sebuah proses transformasi dari masa lalu (Sarup,
2011: 90). Istilah genealogi untuk merujuk pada kesatuan pengetahuan intelek
dan ingatan-ingatan lokal yang memungkinkan kita membangun pengetahuan
historis tentang perjuangan hidup dan menggunakan pengetahuan tersebut
secara taktis dalam kehidupan sehari-hari” (Sarup, 2011: 91).
Menurut Foucault, genealogi tidak berusaha menegakkan pondasipondasi epistemologis yang istimewa, tapi lebih mau menunjukkan bahwa
asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam
dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam satu kata
kuasa (Hardiyanto, 1997: 15). Sebagaimana dikatakan Faruk (2012: 250)
analisis genealogis berkaitan dengan tiga prinsip yaitu: pertama, prinsip
diskontinutas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka
wacana di dalam masyarakat bukan sekedar sebagai yang ditekan oleh
wacana
utama,
melainkan
terutama
sebagai
wacana
yang
tidak
27
berkesinambungan dengannya, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi
juga saling mengeksklusi dan tidak saling kenal; kedua, prinsip spesifitas,
yakni anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang
dilakukan manusia terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan
pada benda-benda itu, dan, dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana
menemukan prinsip regularitasnya; dan ketiga, prinsip eksterioritas, yakni
menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang
memungkinkan
wacana,
pemunculannya,
regularitasnya,
apa
yang
membangkitkan serangkaian peristiwa-peristiwa itu dan apa yang akan
mengukuhkan batas-batasnya.
Analisis genealogis berusaha mengungkapkan bagaimana rangkaian
wacana terbentuk, melintasi apa, menggantikan apa, atau dengan dukungan
sistem-sistem hambatan ini. Apa norma spesifik dari masing-masing prinsip
itu, bagaimana kondisi permunculannya, pertumbuhannya dan variasinya.
Dalam genealogi dipelajari formasi wacana yang sekaligus tersebar,
diskontinu, dan regular (Faruk, 2012: 251).
Sebagaimana dinyatakan Habermas, bagi Foucault, metode arkeologi
dan genealogi bukan merupakan dua metode yang kontradiktoris, melainkan
yang saling melengkapi. Arkeologi berusaha untuk menyendirikan tingkat
praktik-praktik diskursif dan untuk merumuskan aturan-aturan produksi dan
transformasi bagi praktik-praktik tersebut, sedangkan genealogi memusatkan
perhatian pada kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa yang dikaitkan
dengan praktik-praktik diskursif (Hardiyanto, 1997: 16).
28
Berdasarkan paparan sebelumnya, penelitian ini mencoba menerapkan
pendekatan arkeologi
yang difokuskan pada proses transformasi dan
pendekatan genealogi yang difokuskan pada prinsip ekterioritas berdasarkan
kondisi-kondisi eksternal yang terkait dengan wacana praktik mistik yang
dimuat dalam teks SWR.
1.6 Hipotesis
Teks SWR memuat wacana jalan keselamatan yang membimbing
manusia (khususnya orang Jawa) menentukan jalan keselamatan yang
dipilihnya sesuai dengan sistem yang harus dipertanggungjawabkannya
sendiri sebagai konsekuensi atas tujuan keselamatan hakiki yang ingin
dicapainya.
Variabelnya adalah teks SWR, jalan keselamatan, sistem dan
konsekuensi praktik jalan keselamatan, serta keselamatan hakiki. Relasi antar
variabel sangat berpengaruh untuk mencapai keselamatan yang hakiki.
Apabila jalan yang dipilih benar sedangkan praktiknya salah, maka
keselamatan yang hakiki tidak dapat dicapai.
1.7 Populasi Sampel
Sebagaimana disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa persebaran
teks SWR tersimpan di beberapa tempat yaitu di Yogyakarta, Surakarta,
Jakarta dan Leiden. Populasi penelitian ini dibatasi pada teks SWR yang
terjangkau tempat penyimpanannya dan terbaca dengan jelas. Berdasarkan
studi awal dapat dipetakan persebaran teks SWR seperti dalam tabel berikut:
29
Nama Kota
Yogyakarta
Surakarta
Jumlah
Eksemplar
3
No
Tempat Asal Koleksi
1
Perpustakaan Museum Sana Budaya
2
Perpustakaan Pura Pakualaman
2
3
Perpustakaan Sasana Pustaka
1
4
Kasunanan Surakarta
1
Perpustakaan Radya Pustaka
Jakarta
5
Perpustakaan FS UI
2
Leiden
6
Universitas Leiden
1
Jumlah eksemplar teks SWR
10
Perincian 10 eksemplar naskah itu adalah sebagai berikut. 3 eksemplar
koleksi Perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta. Dua eksemplar
koleksi Pura Pakualaman. Satu eksemplar koleksi Sasana Pustaka Kasunanan
Surakarta. Satu eksemplar koleksi Radya Pustaka Surakarta. 2 eksemplar
koleksi perpustakaan FS UI. Satu eksemplar koleksi perpustakaan universitas
Leiden.
Sampel penelitian ini adalah 4 naskah yang terjangkau terdiri: A.
naskah PB C 108 Serat Multatuli; B. teks SWR terbitan Djayabaya; C. naskah
Pi 29 Serat Piwulang warni-warni B; dan D. naskah PB E 34 Serat Dharma
Gandoel e.a. (en audere = dan yang lain).
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan pustaka (library research), yaitu suatu pendekatan yang mengkaji
30
serta mengggunakan literatur sebagai bahan acuan dan rujukan dalam
mengelola data. Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek
yang dapat diamati.
Hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan
objek material sebagai bahan penelitian. Objek material penelitian ini adalah
teks SWR. Karena objek material termasuk dalam kategori sastra lama yang
ditulis dalam aksara Jawa berbahasa Jawa, maka dalam penelitian ini
digunakan dua metode, yaitu metode filologi dan metode penelitian sastra.
1.8.1
Metode filologi
Robson (1994: 12) mengatakan bahwa pendekatan filologis tujuannya
adalah untuk menjembatani komunikasi antara teks yang terdapat dalam
naskah dengan pembacanya. Dengan demikian, tugas filolog adalah
menghadirkan teks yang siap baca, dan selanjutnya melanjutkan interpretasi
atas teks tersebut agar dapat dimengerti oleh pembaca. Untuk sampai pada
tujuan tersebut, maka dalam tesis ini, dilakukan inventarisasi dan deskripsi
naskah yang menjadi sumber utama penelitian. Tahap terakhir dari penelitian
filologi dalam teks ini adalah menyajikan edisi teks dan terjemahannya.
Dalam
penelitian
ini
penyuntingan
teks
disajikan
dengan
menggunakan metode diplomatis dan metode kritis dengan perbaikan bacaan.
Namun, oleh karena aparat kritik dianggap penting dalam menunjang
pemahaman terhadap teks, penelitian ini tetap menyajikan aparat kritik dalam
melakukan penyuntingan.
31
Secara garis besar, langkah-langkah penelitian terhadap teks SWR
terdiri dari tiga tahap, yaitu: pertama, pemilihan naskah dasar kajian; dan
kedua, penyuntingan teks; dan ketiga, penyajian laporan. Pada tahap pertama,
kegiatan yang dilakukan meliputi: pertama, Inventarisasi naskah, yaitu
dengan mendaftar semua naskah teks SWR berdasarkan katalogus. Dalam
inventarisasi ini didapatkan 10 naskah yang tersebar di berbagai
perpustakaan; kedua, observasi pendahuluan, yaitu mengecek kondisi naskah
yang terjangkau dan membuat deskripsi naskah yang masih bisa terbaca
sebagai bahan kajian; dan ketiga, penentuan naskah dasar kajian. Berdasarkan
hasil observasi, teks SWR yang dimuat dalam naskah berjudul Serat Multatuli
koleksi Museum Sanabudaya digunakan sebagai naskah dasar kajian karena
kondisinya masih bagus, tulisannya terbaca dengan jelas dan muatan teksnya
lengkap.
Pada tahapan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah: pertama,
melakukan transliterasi dengan metode diplomatis pada setiap teks yang
sudah
ditentukan
sebagai
sampel
penelitian;
kedua,
melakukakan
penyuntingan teks SWR, disertai dengan aparat kritik; ketiga, pembuatan edisi
kritis dengan perbaikan bacaan berdasarkan naskah dasar kajian yang sudah
ditentukan; dan keempat, proses translasi ke dalam bahasa Indonesia.
Selanjutnya, Pada tahapan ketiga, kegiatan yang dilakukan adalah
penyusunan laporan hasil penelitian ke dalam bentuk sajian teks yang siap
dikaji dengan menggunakan teori-teori sastra
32
1.8.2
Metode Penelitian Sastra
Metode penelitian sastra diterapkan dalam penelitian ini karena teks
SWR adalah teks sastra yang memuat wacana. Penerapannya bertolak dari
interpretasi atas data berupa teks yang dibaca, dengan mencoba mengerti
bahwa melalui kata-kata sebuah wacana akan menjadi sesuatu yang lebih
esensial. Metode yang digunakan adalah interpretasi. Foucault menyimpulkan
bahwa basis dari interpretasi adalah nihil kecuali orang yang menginterpretasi
itu sendiri. Setiap interpretasi harus menginterpretasi dirinya sendiri.
Kematian interpretasi didasarkan pada keyakinan bahwa tanda itu tidak ada,
dalam arti tanda itu tidak hadir secara mutlak: tanda yang eksis secara primer,
orisinal, dan aktual sebagai hasil yang berhubungan, bersangkutan, dan
sistematis (Foucault, 2011: 62). Kehidupan interpretasi pada akhirnya hanya
meyakini bahwa yang ada hanyalah interpretasi.
Basis
dari
interpretasi
adalah
nihil,
kecuali
orang
yang
menginterpretasi itu sendiri (Nietzche dalam Rabinow, 2009:62). Bertolak
dari pendapat tersebut, maka penelitian ini merupakan interpretasi peneliti
atas wacana yang dimuat dalam teks SWR. Dengan demikian, penerapan
metode itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, terhadap data representatif
yang dijadikan dasar penelitian, yaitu teks SWR, dilakukan pembacaan secara
cermat dan menginterpretasi wacana yang ada di dalamnya. Kedua,
melakukan identifikasi wacana yang dimuat dalam teks SWR. Ketiga,
menelusuri sumber-sumber teks-teks terkait yang menjadi rujukan. Keempat,
mengaitkan wacana teks SWR dengan teks-teks lain dan menentukan relasi-
33
relasinya. Kelima melakukan analisis data temuan dengan menggunakan
pendekatan arkeologi dan genealogi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat
keterkaitan antar teks, yang juga berfungsi untuk melihat saling keterkaitan
dan keterpengaruhan antar teks satu dengan lainnya, sehingga dapat diketahui
sejarah perkembangan wacananya. Pendekatan arkeologi dan genealogi juga
digunakan sebagai kerangka penafsiran teks yang dihubungkan dengan
konteks yang tidak hanya bermakna keterhubungan sesama teks tertulis,
tetapi juga semua fenomena kebudayaan yang dapat ditafsirkan.
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah ‘Pendahuluan’
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori (teori terjemahan dan teori wacana), hipotesis, populasi
sampel, metode penelitian (metode filologi dan metode analisis wacana), dan
sistematika penyajian.
Bab II ‘Pernaskahan dan Perteksan Serat Weda Raga’ berisi penulisan
hasil penelitian kajian filologi teks SWR. Bab III ‘Suntingan Teks dan
Terjemahan. Bab IV Wacana Praktik Mistik dalam Teks SWR yang berisi
jawaban dari permasalahan yang diuraikan dalam bab pendahuluan. Bab V
Kesimpulan .
34
Download