Konsep Dasar Asthma Bronkial

advertisement
. Konsep Dasar Asthma Bronkial
Untuk menambah pemahaman tentang konsep asthma bronchial, berikut ini akan di bahas
tentang pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi,
pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.
1. Pengertian
Asthma atau obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel. Asthma terjadi ketika bronki
mengalami inflamasi atau peradangan dan hiperresponsif (Reever, et. All, 2001).
Asthma Bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
nafas yang luas dan derajatnya dan dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, et al. 1999).
Asthma Bronkial adalah penyakit jalan nafas obstruksi intermitten, reversibel, dimana
trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimulus tertentu yang
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk
dan mengi (Smeltzer, 2001).
Asthma Bronkial adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh konstriksi yang
dapat pulih dari otot halus bronkial, hipersekresi mukosa, dan inflamasi mukosa serta
edema. Faktor pencetus termasuk alergen, masalah emosi, cuaca dingin, latihan, obat,
kimia, dan infeksi (Doenges, 2000).
Beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa Asthma Bronkial adalah penyempitan
jalan nafas dari otot halus di bronkus yang bersifat reversibel dan disebabkan oleh
beberapa faktor pencetus seperti alergen, emosi, cuaca dingin, latihan dan infeksi.
2. Etiologi
Menurut Robiansyah (2009) http://athearobiansyah.blogspot.com diperoleh tanggal 28
Juni 2009, ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan Asthma Bronkial, yaitu :
Faktor Predisposisi
Genetik, dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas.
Faktor Presipitasi
Beberapa faktor yang dapat mencetuskan terjadinya Asthma pada orang yang memiliki
riwayat atau keturunan Asthma seperti :
1) Alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, polusi dan
makanan.
2)
Perubahan cuaca seperti cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asthma.
3)
Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asthma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asthma yang sudah ada.
4)
Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asthma. Hal ini berkaitan dengan di mana dia bekerja.
5)
Olahraga atau aktivitas fisik yang berat.
Sebagian besar penderita Asthma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat.
3. Klasifikasi
Menurut Smeltzer (2001) berdasarkan penyebabnya, Asthma Bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti : debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin),
dan spora jamur. Asthma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya faktor
predisposisi genetik terhadap alergi, oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan Asthma ekstrinsik.
Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti : udara dingin, infeksi saluran pernafasan, latihan,
emosi. Serangan Asthma ini lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan
dapat berkembang menjadi Bronkhitis Kronik dan Emfisema.
Asthma Gabungan
Bentuk Asthma yang paling umum. Asthma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergi dan non alergi.
4. Patofisiologi
Menurut Suparman, (2001) obstruksi saluran nafas pada asthma merupakan kombinasi
spasme otot bronkus, sumbatan mucus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada
fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan
tidak bisa di ekspirasi. Keadaan ini menyebabkan hiperinflasi bertujuan agar saluran
nafas lancar untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu nafas.
Gambaran adanya obstruksi pada bronkus akibat adanya spasme otot bronkus, sumbatan
mukus secara rinci dapat dilihat pada gambar 2.2. berikut ini.
Gambar 2.3. Kondisi bronkus pada penderita Asthma
(http://doctorology.net, diperoleh tanggal 2 Juli 2009)
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat di nilai secara objektif dengan
volume ekspirasi paksa detik pertama ( VEP1) . hal ini menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada saluran nafas yang
besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran nafas
besar, sedangkan pada saluran nafas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.
Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Pada daerahdaerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui darah
tersebut mengalami hipoksemia. Pada serangan asthma yang lebih berat lagi banyak
saluran nafas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukaran gas. Hal ini yang menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot
pernafasan bertambah berat serta terjadi peningkatan CO2. Peningkatan produksi CO2
yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnea) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal nafas.
Skema 2.1. Patofisiologi Asthma Bronkial
Sumber : Suparman, (2001) Ilmu Penyakit Dalam : Arifin, (2008) Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Asthma Bronkial, www.rusari.com diperoleh tanggal 30 Juni 2009
5. Manifestasi klinis
Menurut Smelzer (2000) manifestasi klinis yang sering muncul pada penyakit Asthma
antara lain :
Mulai secara mendadak dengan batuk dan sensasi sesak dada.
Adanya faktor pencetus yang masuk ke dalam saluran pernafasan menyebabkan spasme
otot polos pada saluran nafas tersebut yang menyebabkan sesak nafas, penggunaan otot
bantu pernafasan dan retraksi interkosta berlebihan menyebabkan sensasi sesak dada.
Terdengar wheezing pada saat ekspirasi.
Terjadinya bronkospasme dan adanya hipersekresi mukus, saat ekspirasi terjadi getaran
mucus pada bronkus sehingga terdengar wheezing.
Ekspirasi lebih kuat dan lama dari inspirasi.
Penyempitan pada lumen bronkus sehingga oksigen yang masuk berkurang sedangkan
karbondioksida tertahan untuk keluar menyebabkan ekspirasi lebih kuat dan lama dari
inspirasi.
Obstruksi jalan nafas membuat sensasi dispnea.
Obstruksi jalan nafas menyebabkan terganggunya proses ventilasi sehingga terjadi
sensasi dispnea.
Batuk dengan sputum kental.
Bronkospasme menyebabkan reaksi radang dan terjadi edema mukosa serta hipersekresi
mukus yang menyebabkan batuk dengan sputum kental.
Pernafasan cuping hidung.
Bronkospasme yang berat menyebabkan ketidakmampuan dalam penumpukan sekret.
Akumulasi sekret semakin mengental sehingga menimbulkan perlengketan pada bagian
hidung saat inspirasi (cuping hidung ).
Sianosis pada permukaan kuku.
Adanya bronkospasme menyebabkan proses ventilasi tidak berjalan dengan semestinya,
kondisi ini juga turut mempengaruhi mekanisme pernafasan lain seperti difusi,
transportasi dan perfusi. akibat tidak maksimalnya mekanisme pernafasan tersebut
menyebabkan oksigen yang dibawa oleh darah melalui proses transportasi ini tidak
mencukupi kebutuhan jaringan sehingga proses perfusi pun terhambat dan terjadilah
sianosis.
6. Komplikasi
Menurut Soeparman (2001) komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit Asthma,
yaitu :
Atelektasis
Bronkospasme menyebabkan bagian paru tidak berisi udara atau kolaps sehingga daerah
tadi di tandai dengan jaringan paru yang mengeras, kaku dan disertai dahak kental .
Pneumotoraks
Terjadi karena rupture suatu emfisematosa pada permukaan paru-paru atau terjadi setelah
batuk yang hebat dikarenakan adanya bronkospasme dan sumbatan oleh mukus
Emfisema
Kerusakan alveolus yang disebabkan oleh penyempitan bronkus sehingga udara
pernafasan tertahan karena elastis dinding alveolus yang menurun.
Bronkhitis
Terjadi karena bronkospasme yang menyebabkan hipersekresi mukus sehingga
menyebabkan terjadi batuk disertai sputum.
Gagal Nafas
Adanya bronkospasme sehingga menyebabkan penyempitan pada lumen bronkus,
kurangnya O2 yang masuk dan CO2 yang tertahan sehingga terjadi gagal nafas.
Aspergilus Bronkopulmonar Alergik
Terjadinya peradangan yang di sebabkan oleh faktor alergi menyebabkan terjadinya lesi
granulasi pada bronkus.
Fraktur Iga
Adanya obstruksi yang berat menyebabkan pelebaran atau peregangan sela antar iga yang
disebabkan oleh batuk-batuk yang hebat.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Alsegaff dan Mukti (2002) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada
penderita Asthma terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada penderita Asthma antara lain :
1)
Pemeriksaan sputum, dilakukan untuk melihat adanya :
a)
Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari Kristal eosinofil yang
ditemukan pada dahak sputum purulen, yang mana sputum purulen ini berasal dari
kerusakan (nekrotik) bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri.
b)
Spiral cursmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus
yang ditemukan pada dahak sputum purulen, yang mana sputum purulen ini berasal dari
kerusakan (nekrotik) bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri.
c)
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus yang ditemukan pada dahak
sputum purulen, yang mana sputum purulen ini berasal dari kerusakan (nekrotik)
bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri
d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dimana
netrofil sangat dominan pada Bronkitis kronis sedangkan eosinofil sangat karakteristik
untuk Asthma.
2)
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya komplikasi,
adapun tanda-tanda adanya komplikasi pemeriksaan darah yang biasa ditemukan antara
lain :
a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia
(kekurangan O2 dalam darah), hiperkapnia (kelebihan CO2 dalam darah), atau asidosis
respiratori (suatu kondisi dimana terjadi pH menurun dan PaCO2 > 45 mg).
b)
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari Serum Glutamic Oxaloucetil
Tansaminase (SGOT) dan Lactat Dihidrogenase (LDH).
c)
Hiponatremia (kekurangan kadar natrium dalam darah) dan kadar leukosit kadangkadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
Pemeriksaan Radiologik
Menurut Soeparman (2001) gambaran radiologi pada Asthma umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru, yakni radiolusen
yang bertambah dan pelebaran rongga interkostal, serta diafragma yang menurun. Akan
tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut :
1)
Bila disertai dengan Bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
2)
Bila terdapat komplikasi Emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
3)
Bila terdapat komplikasi Pneumonia, maka terdapat gambaran infiltrate pada paruparu.
4)
Bila terjadi Pneumonia Mediastinum, Pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
Pemeriksaan Faal Paru
Pada pemeriksaan faal paru tingkat serangan dapat diketahui dengan mengukur vital
capacity (kapasitas vital), Forced Ekspiratori Volume (FEV1), FRC atau kapasitas
cadangan fungsional. Batas-batas yang digunakan untuk gradasi ringan, sedang, dan berat
disesuaikan dengan pemeriksaan faal paru.
Berdasarkan pemeriksaan faal paru maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1)
Bila Forced Ekspiratori Volume 1 detik (FEV1) lebih kecil dari 40%, maka 2/3 dari
pasien akan menunjukkan penurunan tekanan sistolik dan bila lebih rendah dari 50%,
maka seluruh pasien akan menunjukkan penurunan tekanan sistolik.
2)
Setiap pasien menunjukkan peningkatan resistensi jalan pernafasan dan penurunan
expiratory flow rate (kecepatan aliran ekspirasi).
3)
FEV1 menurun dan penurunannya sejajar dengan penurunan Forced Vital Capacity
(FVC).
4)
Peningkatan dari volume paru Residual Volume (RV) hampir terjadi pada seluruh
Asthma, dan pada kondisi tersebut biasanya ditemukan FRC selalu menurun.
5)
Perubahan Ventrikular (VT) disebabkan oleh karena perubahan pada ventilasi
perfusi.
6)
FRC lebih kecil dari 1 liter.
7)
Peningkatan fluktuasi dari intrapleura.
Elektrokardiografi
Menurut Alsagaff (2002) pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan sinus
takikardia, bila peningkatan detak jantung di atas 120/menit menunjukkan adanya
hipoksia dan mungkin disertai dengan PaO2 sekitar 60-40 mmHg. Bila terjadi serangan
Asthma akut, tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambaran strain ventrikel
kanan yang disertai perubahan aksis jantung ke kanan dan perubahan ini dapat pulih
kembali.
Skrening Paru
Skrening paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
Asthma ternyata tidak menyeluruh pada paru-paru.
8. Penatalaksanaan
Menurut Alsegaff dan Mukti (2002) penatalaksanaan pada Asthma terdiri dari
pencegahan atau pengobatan non farmakologi dan pengobatan farmakologi.
Pengobatan Non Farmakologi
Secara optimal pengobatan non farmakologi harus dilakukan pada penyakit Asthma, dan
tindakan tersebut meliputi :
1)
Penyuluhan mengenai penyakit Asthma kepada penderita dan keluarganya.
2)
Menjauhi bahan-bahan yang dapat menimbulkan serangan Asthma dan faktor
pencetus timbulnya Asthma.
3)
Imunoterapi berdasarkan kelayakan.
Penderita Asthma, sesuai dengan batasannya mempunyai kepekaan yang berlebihan pada
saluran pernafasan. Karenanya menjauhi paparan bahan iritan adalah mutlak. Bahan iritan
dan alergen dapat menimbulkan keluhan akut dan juga meningkatkan
hyperresponsiveness saluran pernafasan.
Pengobatan Farmakologi (Medikamentosa)
Tujuan pengobatan farmakologi adalah menghilangkan obstruksi saluran pernafasan.
Obat-obatan yang dipergunakan meliputi bronkodilator dan anti peradangan atau
keduanya. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya proses peradangan lebih lanjut.
Bronkodilator bekerja dengan cara mengendorkan kontraksi otot polos bronkus.
Obat anti inflamasi meliputi kortikosteroid, sodium cromolyn atau cromolyn-like
compound, dan anti inflamasi lainnya. Sedangkan obat bronkodilator meliputi betaadrenergik agonis, metilsantin, dan antikolinergik.
Bronkodilator atau kortikosteroid dapat diberikan secara enteral, parenteral, atau inhalasi.
Obat-obatan tersebut mempunyai indeks terapeutik yang lebih baik bila diberikan sebagi
aerosol dari pada parenteral atau enteral. Di klinik aerosol dapat diperoleh melalui
Nebulizer (jets atau ultra-sonik), Metered Dose Inhaler (MDI), dan Dry Powder Inhaler
(DPI).
B. Asuhan Keperawatan pada Klien Asthma Bronkial
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah Asthma Bronkial,
penulis menggunakan pendekatan proses keperawatan teoritis. Teori dan konsep
diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan-tahapan yang terintegrasi dan
terorganisir yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi
dan evaluasi (Doenges, 2000).
1. Pengkajian Keperawatan
Aktivitas/Istirahat
Gejala
: Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
Ketidak mampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda : Keletihan
Gelisah, insomnia
Kelelahan umum / kehilangan massa otot.
Sirkulasi
Gejala
: Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda
: Peningkatan TD, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, distritmia,
distensi vena leher (penyakit berat).
Edema dependen, bunyi jantung redup.
Warna kulit/membran mukosa : normal atau abu-abu/sianosis, kuku tabuh dan sianosis
perifer.
Pucat dapat menunjukkan anemia.
Integritas Ego
Gejala
: Peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup.
Tanda
: Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Makanan/Cairan
Gejala
: Mual/muntah.
Nafsu makan buruk
Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
Tanda
: Turgor kulit buruk
Edema dependen
Berkeringat
Penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan.
Hygiene
Gejala
: Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuaan melakukan aktivitas
sehari-hari.
Tanda
: Kebersihan buruk, bau badan.
Pernafasan
Gejala
: Nafas pendek khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit
nafas, rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas.
Lapar udara kronis
Batuk menetap dengan produksi sputum.
Tanda
: Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang.
Penggunaan otot bantu pernafasan misal : meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung
Dada : terlihat hiperinflasi dengan peningkatan diameter AP, gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas : mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi nafas.
Perkusi : bunyi pekak pada paru.
Keamanan
Gejala
: Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan.
Adanya/berulangnya infeksi, kemerahan/berkeringat.
Seksualitas
Gejala
: Penurunan libido.
Interaksi Sosial
Gejala
: Hubungan ketergantungan.
Kurang sistem pendukung.
Kagagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang terdekat.
Penyakit lama/ketidakmampuan membaik.
Tanda : ketidakmampuan untuk membuat/mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
Keterbatasan mobilitas fisik.
Kelainan hubungan dengan anggota keluarga lain.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala
: Penggunaan/penyalahgunaan obat pernafasan.
Kesulitan menghentikan merokok.
Penggunaan alkohol secara teratur.
Kegagalan untuk membaik.
Prioritas Keperawatan
1)
Mempertahankan potensi jalan nafas.
2)
Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas.
3)
Meningkatkan masukan nutrisi.
4)
Mencegah komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi.
5)
Memberikan informasi mengenai proses penyakit, prognosis, dan program
pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1) Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk memenuhi kebutuhan perawatan.
2)
Masukan nutrisi memenuhi kebutuhan kalori.
3)
Bebas infeksi.
4)
Proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengoes (2000), diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
pernafasan (Asthma Bronkial) adalah sebagai berikut :
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi sekret, penurunan energi/kelemahan.
Tujuan
: Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih/jelas.
Kriteria Hasil : Menunjukkan prilaku perbaiki bersiha jalan nafas, misalnya batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
Tindakan / Intervensi :
1)
Mandiri
(1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya : mengi, ronchi.
(2) Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
(3) Pertahankan polusi lingkungan minuman misalnya : debu, asap yang berhubungan
dengan kondisi individu.
(4) Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
(5) Observasi karakteristik batuk misal : menetap, batuk pendek dan basah.
2)
kolaborasi
(1) Berikan obat sesuai indikasi.
(2) Berikan humidifikasi tambahan misal : nebulizer ultranik
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekret, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Tujuan
: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan.
Kriteria Hasil : berpatisipasi dalam program pengobatan dalam meningkatkan
kemampuan/situasi.
Tindakan Intervensi :
1)
Mandiri
(a) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan penggunaan otot aksesoris.
(b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.
(c) Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
(d) Dorong mengeluarkan sputum.
2)
Kolaborasi
(a) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan dengan indikasi.
(b) Awasi/gambarkan seri GDA.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, anoreksia,
mual/muntah.
Tujuan
: Menunjukkan peningkatan BB menuju tujuan yang tepat.
Kriteria Hasil : Menunjukkan prilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan/mempertahankan berat yang tepat.
Tindakan intervensi :
1)
Mandiri
(a) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
(b) Auskultasi bising usus.
(c) Berikan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
(d) Hindari makanan sangat panas atau sangat dingin.
(e) Timbang berat badan sesuai indikasi.
2)
Kolaborasi
(a) Konsultasi ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah
dicerna.
(b) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama dan
imunitas.
Tujuan
: Menyatakan pemahaman penyebab/faktor resiko individu.
Kriteria Hasil : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko
infeksi. Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang aman.
Tindakan Intervensi :
1)
Mandiri
(a) Observasi suhu tubuh klien.
(b) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, dan masukan cairan adekuat.
(c) Observasi warna, karakter dan bau sputum.
(d) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
2)
Kolaborasi
(a) Dapatkan specimen batuk atau penghisapan sputum pewarnaan kuman gram negatif.
(b) Berikan anti mikrobial sesuai indikasi.
Pengetahuan mengenai kondisi, tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
Kriteria Hasil : mengidentifikasi hubungan tanda/gejala yang ada dari proses penyakit
dan menghubungkan dengan faktor penyebab.
Intervensi
:
1)
Jelaskan proses penyakit individu, dorong pasien dan keluarga untuk bertanya.
2)
Instruksikan rasional untuk latihan nafas, batuk efektif dan latihan kondisi umum.
3)
Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang diinginkan.
4)
Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi.
Tekankan pentingnya perawatan oral/kebersihan gigi.
Download