BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, BUILD OPERATE TRANSFER (BOT), DAN WANPRESTASI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris).1 Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berarti para pihak yang bersepakat memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masingmasing. Hubungan hukum ini sering disebut sebagai perikatan. Perikatan didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.2 1 Salim, op.cit, H.160. Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h.229. 2 Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan selain undangundang maka yang menjadi kaitan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau sanggupan yang diucapkan atau ditulis. 3 Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian lisan biasanya dilakukan oleh masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana. Sedangkan perjanjian tertulis biasanya dilakukan oleh masyarakat yang modern, berkaitan dnegan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis ini yang hubungan hukumnya kompleks disebut dengan kontrak. Namun tidak semua perjanjian tertulis diberikan judul kontrak, tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan istilah untuk perjanjian itu.4 Adapun beberapa pandangan para Sarjana mengenai perjanjian adalah: Rutten menyatakan bahwa “perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitasformalitas dari peraturan-peraturan yang ada, tergantung dari persesuaian kehendak dua orang atau lebih orang-orang yang ditunjukkan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.”5 3 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, 2014, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 5 Purwahid Patrik, 1984, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h.46. 4 J.Van Dunne menyatakan bahwa “perjanjian dapat ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum penerimaan dari pihak lain.”6 Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.”7 2.1.2 Subjek Dan Objek Perjanjian Pihak-pihak dalam perjanjian adalah sebagai berikut: a. Antara orang dengan orang b. Antara orang dengan badan usaha berbadan hukum c. Antara orang dengan badan usaha bukan badan hukum8 Apabila perjanjian dibuat antara orang dengan orang, maka orang-orang yang bertindak sebagai pihak-pihak harus cakap bertindak menurut hukum yaitu orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum yang telah berusia 21 tahun dan berakal sehat. Sedangkan tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam halhal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 6 Ibid. R. Subekti, loc.cit. 8 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.30. 7 Badan usaha berbadan hukum diwakili oleh orang yang secara hukum mempunyai kewenangan untuk mewakili badan hukum itu, tergantung bentuk badan usahanya. Secara hukum artinya baik menurut ketentuan hukum Perdata dan hukum lainnya, maupun akta pendirian badan usaha itu sendiri. Menurut Sri Soedewi Masjchoen bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu berwujud himpunan, dan harta kekayaan yang disendirikian untuk tujuan tertentu dan dikenal dengan yayasan. 9 Selanjutnya Salim HS berpendapat bahwa: “badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban, berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur badan hukum, antara lain: 1. Mempunyai perkumpulan 2. Mempunyai tujuan tertentu 3. Mempunyai harta kekayaan 4. Mempunyai hak dan kewajiban, dan 5. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.”10 Adanya badan hukum disamping manusia tunggal adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat. manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula, Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, 9 Salim HS, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h.26. Ibid, h.26. 10 dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka anggota organisasi itu. Semua orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap perlu sebagai kesatuan yang baru, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri sebagaimana halnya manusia sebagai subjek hukum. Badan hukum memiliki hak dan kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan hukum baik antara badan hukum dengan orang manusia sehingga badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewamenyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan. 11 Badan hukum merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum atau dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan demikian badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara-perantara pengurus-pengurusnya. Badan hukum dikategorikan sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena: 1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri 2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban 3. Dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan 11 h.21. Riduan Syahrini, 1985, Selak Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 4. Ikut serta dalam lalu lintas hukum dalam melakukan jual beli 5. Mempunyai tujuan dan kepentingan. Secara umum Badan hukum dikatakan sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: 1. Badan hukum publik Badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya, maka badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan oleh pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia, dan Perusahaan Negara. Perusahaan Milik Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Badan Usaha Milik Negara bentuknya ada dua macam, yaitu Persero dan Perum. Persero didirikan oleh Mentri merupakan wakil pemerintah yang mewajibkan perseroan didirikan minimal dua orang. Persero menjadi badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Mentri Hukum dan HAM. Sedangkan Perum, dasar pembentukannya dengan Peraturan Pemerintah tentang pendiriaan suatu Perum. Perum memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang berdirinya Perum dalam Lembaran Negara RI (pasal 35 ayat (2) UU BUMN). 2. Badan hukum privat Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang didalam badan hukum itu. badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah, seperti perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal. Badan usaha tidak berbadan hukum. perkumpulan sosial kemasyarakatan, maka yang berhak mewakili perkumpulan itu adalah pihak yang ditunjuk oleh anggaran dasar atau anggaran rumah tangganya. 12 Sedangkan mengenai objek perjanjian menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa, pokok perjanjian adalah barang yang dapat diperdagangkan. Barang yang dapat diperdagangkan ini mengandung pengertian luas, karena yang dapat diperdagangkan bukan hanya barang yang tampak oleh mata namun juga yang tidak tampak oleh mata. objek dari perjanjian adalah barang dan jasa. Jasa 12 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h. 31. dapat menjadi objek perjanjian, artinya orang dapat menjual jasa sebagai barang dagangan.13 Objek perjanjian dapat ditentukan berupa memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Melakukan suatu perbuatan tertentu atau tidak melakukan suatu perbuatan. 14 Tanah sebagai benda yang tidak bergerak yang mempunyai nilai strategis dan ekonomis, karena tanah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanah yang ada diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah tanah yang harus dipergunakan, diusahakan, dimanfaatkan, dipelihara, dilindungi, dan dikelola sebaik-baiknya dan dapat mewujudkan kemakmuran rakyat sebesarbesarnya. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan masyarakat pada umumnya tidak terlepas dari kebutuhan akan tanah, disebabkan kegiatan yang dilakukannya pada umumnya berada diatas tanah. Tanah dapat dipergunakan untuk keperluan mendirikan bangunan. Kebutuhan akan tanah ini terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pesatnya pembangunan. Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria dinyatakan sebagai berikut: 13 14 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h. 33. Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h.302 Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Dengan demikian yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal 4 adalah permukaan bumi. 15 Tanah yang dikuasai oleh pemerintah kabupaten/kota masih ada yang berupa tanah kosong yang tidak mempunyai nilai ekonomis atau nilai ekonomisnya rendah bagi pemerintah kabupaten/kota. Maka agar tanah kososng ini dapat bernilai ekonomis maka pemerintah mendayagunakan atau mengoptimalkan tanah kosong ini dalam bentuk melaksanakan kerjasama dengan perusahaan swasta. Tanah tersebut diberikan kepada pihak swasta untuk mendirikan bangunan gedung diatas tanah yang dikuasai oleh pemerintah. 16 2.1.3 Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dbuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan hal ini, maka suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu ; a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Mengandung arti bahwa antara para pihak dalam perjanjian telah ada persesuaian kehendak masing-masing. 15 Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, h.3 Urip Santoso, 2014, Perjanjian Bangun Guna Serah Antara Pemerintah Kabupaten/Kota Dan Perseroan Terbatas, Mimbar Hukum Volume 26 Nomor 1, Departemen Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.29. 16 Kesepakatan ini tidak sah apabila disebabkan oleh kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan ( Pasal 1321, Pasal 1322, Pasal 1328 KUHPerdata) Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan yang mantap.17 Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Akta dibawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu diatas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum) 2. Akta dibawah tangan yang didaftar oleh notaris/pejabat yang berwenang 3. Akta dibawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang berwenang.18 17 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), h.89 18 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, 2014, Perancangan Kontrak Dan Memorandum Of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, h. 16 Akta otentik atau akta notariel merupakan pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris. notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan memberikan kesaksian atau melegalisasi suatu fakta. Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat sederhana. Misalnya saat berbelanja di pasar. Kesepakatan secara diam-diam juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja di swalayan dengan mengambil barang menyerahkan kepada kasir dan membayar barangnya. kesepakatan menggunakan simbol juga banyak ditemui dalam kehidupan seharihari yaitu saat kita berbelanja di warung untuk membeli rokok maka dengan menempel dua jari di mulut merupakan simbol untuk membeli rokok.19 Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Kapan kesepakatan itu terjadi merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk kapan lahirnya perjanjian, yaitu: 1. Teori Kehendak Menurut teori ini, pada hakekatnya yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah kehendak. Suatu penerapan konsekuan dari teori ini adalah bahwa kalau terjadi perbedaan atau pertentangan antara pernyataan dengan kehendaknya maka tidak terjadi perjanjian. Teori ini akan menghadapi kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. 19 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.52. 2. Teori Keterangan Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah semata-mata keterangan atau pernyataan yang dikemukakan. Jika terjadi pertentangan antara kehendak dengan pernyataan, maka perjanjian dianggap terjadi seperti yang dituangkan dalam keterangan atau pernyataan. 3. Teori Kepercayaan Menurut teori ini tidak semua keterangan atau pernyataan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, tetapi hanyalah keterangan atau pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu memang sungguh-sungguh dikehendaki. 20 b. Kecakapan untuk membuat perikatan Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum karena kecakapan bertindak dapat melahirkan perjanjian yang sah. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, dalam KUH Perdata Pasal 1330 disebutkan sebagai orangorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. 1. Orang yang belum dewasa, yang ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 20 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.26. 2. Mereka yang masih di bawah pengampuan, sesuai ketentuan Pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap, dan boros. 3. Orang Perempuan dalam hal tertentu dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang.21 orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Akan tetapi hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu adalah pokok perjanjian karena merupakan objek perjanjian dan prestasi yang harus dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya ataupun jumlahnya. Keharusan mengenai suatu hal tertentu artinya apa 21 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.57. yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.22 d. Suatu sebab/kausa yang halal Kausa yang halal dalam perjanjian yaitu isi dari perjanjian itu sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dengan jelas tentang causa yang halal. Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa sebab yang halal adalah : 1. Bukan tanpa sebab 2. Bukan sebab yang palsu 3. Bukan sebab yang terlarang Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu sebab terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Rumusan Pasal 1337 sesungguhnya tidak memberikan batasan yang pasti tentang makna sebab terlarang maka apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum. Hal ini berarti dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian dilakukan dan tujuan para pihak tersebut dalam melahirkan persetujuan adalah gagal. Hal suatu syarat subtyektif, jadi syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah dibuat akan tetap berlaku selama tidak ada pembatalan dari para pihak.23 22 23 R. Subekti, op.cit, h.19. R. Subekti, loc.cit. 2.2.4 Unsur-Unsur Perjanjian Dalam perjanjian terdapat tiga unsur penting yaitu: a. Unsur Esensialia Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. unsur esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.24 b. Unsur Naturalia Unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya. 25 c. Unsur Aksidentalia Suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidentalia mengikat para pihak. 26 2.1.5 Asas-Asas Dalam Perjanjian Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, sehingga pada 24 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.35. Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, loc.cit. 26 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.36. 25 akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata: a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun 3. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. 27 Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang. b. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, segara setelah orang-orang tersebut mencapai 27 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.2 kesepakatan tersebut telah tercapai secara lisan semata karena perjanjian tidak harus memerlukan formalitas. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. 28 c. Asas Personalitas Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri’. Dari rumusan tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 29 d. Asas Pacta Sunt Servada Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. 30 28 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.48. Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. h.14. 30 H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, loc.cit. 29 2.2 Tinjaun Umum Tentang Build, Operate, And Transfer 2.2.1 Pengertian Build, Operate, And Transfer Perjanjian Bangun Guna Serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT) merupakan istilah yang baru dalam kegiatan ekonomi indonesia. Walaupun jika melihat sejarahnya konsep BOT sebenarnya merupakan konsep yang sudah memiliki umur yang cukup tua yaitu sekitar 300 sebelum masehi dilakukan di kota Eretria yunani (Athena). Pada hakekatnya konsep BOT yang diterapkan pada proyek infrastruktur pemerintah, merupakan suatu konsep yang mana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta bekerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahap pengoperasian selesai, sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek. 31 Adapun beberapa pendapat sarjana mengenai pengertian BOT. Menurut Clifford. W Garstang menyebutkan bahwa “BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.”32 Menurut Neal Bieker dan Cassie Boggs, “bahwa bentuk kerjasama BOT dapat dilakukan jika pemerintah atau badan usaha milik pemerintah mengadakan suatu perjanjian dengan suatu perusahaan 18ector swasta dimana perusahaan tersebut tersedia untuk 31 32 Budi Santoso, op.cit, h.14. Anita Kamilah, op.cit, h. 115. membiayai, merancang, dan membangun suatu fasilitas atau proyek atas biaya sendiri, dan kepadanya diberikan hak konsesi, biasanya untuk suatu waktu yang telah ditentukan, hak untuk mengoperasikan fasilitas atau proyek tersebut dan mengumpulkan atau menyediakan barang-barang bagi kepentingan fasilitas atau proyek atau pendapatan lain dari pengoperasian proyek sebelum fasilitas atau proyek tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah diakhiri masa konsesi.” 33 Pengertian perjanjian Bangun Guna Serah dapat pula dirujuk menurut Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 248/KMK.04/1995 tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT), yang menyebutkan bahwa: BOT adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, dimana pihak investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Buil, Operate, And Transfer/ BOT, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir. Menurut keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 470/KMK.01/1994 tentang tata cara penghapusan dan pemanfaatan barang milik/kekayaan negara, yang menentukan perjanjian Bangun Guna Serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT) adalah: Pemanfaatan barang/milik kekayaan negara berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut membangun bangunan atau sarana lain, berikut fasilitasnya diatas tanah tersebut, serta mendayagunakannya dalam jangka waktu tertentu, untuk kemudian meyerahkannya kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada departemen/lembaga yang bersangkutan selalu berakhirnya jangka waktu yang disepakati. 33 Anita Kamilah, loc.cit. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, menyebutkan bahwa: Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunannya dan/atau saran berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Menyebutkan: Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu. Pelaksanaan pengadaan proyek infrastruktur menggunakan sistem BOT tidak lain adalah suatu kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. pemilik proyek memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah saran dan prasarana serta mengoperasikannya untuk jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila semuanya berjalan sesuai dengan rencana maka pada akhir masa kontrak, atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah maka kontraktor telah mendapatkan kembali semua biaya yang telah dikeluarkannya ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.34 Build Operate And Transfer merupakan salah stau jenis kerja sama pemerintah dengan pihak swasta dalam penyediaan . Dalam Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1998 Tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan/Atau Pengelolaan Infrastruktur menyebutkan jenis perjanjian kerjasama yang meliputi dua kelompok perjanjian. Jenis perjanjian kerjasama dalam pengelolaan infrastruktur, dibedakan dari segi: a. Tariff, ongkos biaya, dan sewa, yang meliputi jenis perjanjian Build Operate And Transfer (BOT), Build Own Transfer (BOO) , Develop Operate Transfer (DOT), Rehabilitate Operate Transfer (ROT), Rehabilitate Operate Own (ROO) b. Jadwal pembayaran amortisasi, yang meliputi jenis perjanjian Build Transfer, Build Lease And Transfer (BLT) dan Build Transfer And Operate (BTO).35 2.2.2 Keuntungan Dan Kerugian Buil, Operate, And Transfer/ BOT Sepanjang segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, maka semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung akan memperoleh keuntungan 34 Anita Kamilah, op.cit, h.116. Y. Sogar Simamora, 2013, Hukum Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Indonesia, Kantor Hukum WINS & Partners, Surabaya, h. 227. 35 dengan adanya proyek BOT. adapun keuntungan dan kerugian melalui penggunaan BOT adalah : 1. Keuntungan a. Dari sudut pemerintah Beberapa keuntungan yang akan diperoleh oleh pemerintah dalam pembangunan proyek infrastrukturnya dengan sistem BOT, adalah : 1. Pemerintah dapat mengurangi penggunaan dan APBN/APBD dan mengurangi jumlah dana pinjaman dari pihak ketiga 2. Pembiayaan dengan sistem BOT akan menguntungkan secara financial maupun secara administrative, yaitu pemerintah tidak harus mengadakan studi kelayakan, proyek akan dibiayai dan dilaksanakan oleh dan atas risiko pihak lain dan dari mutu atau kualitas hasil pembangunan dapat dari mutu atau kualitas hasil pembangunan dapat dipertanggung-jawabkan. 3. Pada akhir masa pengelolaan maka segala bangunan dan fasilitas yang ada diserahkan kepada pemerintah, dan untuk menjaga agar bangunan beserta fasilitas pendukung yang diserahkan kepada pemerintah tersebut tetap dalam kondisi yang baik, pemerintah tetap membebani kewajiban kepada pihak investor untuk melakukan pemeliharaan maupun perbaikan-perbaikan selama masa BOT tersebut berlangsung. 4. Pemerintah dapat merealisasikan pengadaan infrastruktur yang sangat bermanfaat bagi pelayanan terhadap masyarakat, tanpa mengeluarkan pendanaan yang berarti Karena semua telah ditanggung oleh kontraktor, dan bahkan membuka kesempatan kerja untuk mengurangi jumlah pengangguran. 5. Pembiayaan pembangunan dengan sistem BOT tidak menimbulkan beban utang bagi pemerintah.36 b. Dari sudut masyarakat/swasta Pada dasarnya keuntungan yang akan didapat oleh pihak swasta atau masyarakat sebagai pemilik lahan, sama dengan keuntungan yang akan didapat oleh pihak pemerintah, karena kedua-duanya berkedudukan samasama sebagai partner pihak kontraktor atau pihak investor. c. Dari sudur investor Bagi investor, dengan proyek BOT akan terbuka peluang dna diberi kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani pemerintah atau BUMUN/BUMD. Investor dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemerintah. 37 2. Kerugian Bagi pemerintah, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan menyerahkan pada swasta. Hal ini akan berarti pula melepaskan salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya pada swasta untuk jangka waktu tertentu. Beberapa hal pemerintah masih sering diikutkan dalam masalah yang rumit (pembebasan tanah, pemindahan lokasi, dan sebagainya). 36 37 Anita Kamilah, op.cit, h.166. Budi Santoso, op.cit, h.19. Bagi investor, proyek BOT biasanya besar risikonya, untuk itu memerlukan perhitungan yang teliti dan rumit. Kemungkinan juga kesulitan dalam pendanaan karena perbankan menganggap tidak bankable untuk dibiayai. Kemungkinan pemerintah tidak mau menanggung risiko selama pelaksanaan proyek dan selama masa konsesi. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian BOT memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak bagi pemerintah sebagai pemilik lahan juga bagi investor sebagai pihak yang memiliki dana. Bagi swasta (investor) dapat melakukan pembangunan untuk melakukan kegiatan usaha tanpa harus memiliki lahan/tanah. Bagi pemerintah yang memiliki lahan strategis yang akan memanfaatkannya memerlukan biaya yang sangat tinggi yang akan mengganggu penggunaan dan APBN/APBD, maka dalam jangka waktu pendek dengan menggunakan sistem BOT, pemerintah mendaptkan keuntungan selain akan mendapatkan pembiayaan atas pembangunan proyek, juga akan mendapatkan kompensasi atau royalty dari pengelolaan proyek tersebut. Dalam jangka panjang maka pemerintah mendapatkan bangunan beserta sarana dan prasarananya, maka perjanjian BOT ini dapat meningkatkan penerimaan keuangan pemerintah, baik pada saat pembangunan, pengoprasian dan pada saat penyerahan bangunan. 38 2.2.3 Risiko Yang Ditimbulkan Dalam Build Operate Transfer Pelaksanaan perjanjian BOT sangat rentan dengan berbagai risiko, risikorisiko yang mungkin timbul dalam proyek BOT, adalah : 38 Anita Kamilah, op.cit, h.168. a. Risiko politik Hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai risiki politik diantaranya yaitu nasionalisasi proyek, pelanggaran kewajiban oleh negara, perubahan khusus dalam hukum yang merugikan proyek, kegagalan pembayaran negara.39 b. Risiko hukum Risisko hukum dapat timbul dari berbagai kemungkinan, misalnya kemungkinan tidak dapat diterapkan atau tidak dapat dilaksanakannya kontrak-kontrak baik seluruhnya atau sebagianyang dibuat oleh para pihak. 40 c. Risiko ekonomi Risiko ekonomi terjadi karena perhitungan dari proyek didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak benar dan bias terhadap biaya implementasi proyek, keadaan pasar, atau pergerakan nilai mata uang yang tiba-tiba melonjak sehingga keadaan tersebut sangat menyulitkan bagi pihak investor untuk melanjut pelaksanaan perjanjian BOT.41 d. Risiko pasar dan pendapatan Faktor pasar dan pendapatan ini adalah hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh ketidakcukupan pendapatan langsung dari proyek kekurangannya pendapatan dari sumber lain yang berkaitan dengan proyek atau pembatasan oleh pemerintah dalam hal peningkatan tariff atau juga waktu penggunaan yang minim dari proyek pihak investor sebagai penerima konsesi dapat 39 Anita Kamilah, loc.cit. Anita Kamilah, loc.cit. 41 Anita Kamilah, loc.cit. 40 menegosiasikan kembali dalam kontrak konsesnsi, hak-hak kompensasi, atau hak untuk menaikkan tarif atau memperpendek jangka waktu konsesi. 42 Risiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan perjanjian BOT perlu diperhitungkan secara cermat dan dapat menjadi bahan negosiasi yang cukup alot diantara para pihak. Penganggulangannya atau penyelesaiannya umumnya dilakukan dengan jalan melakukan relokasi meminimalisasi risiko dan mengalokasikan risiko tersebut kepada pihak yang paling lazim dilakukan untuk merelokasikan risiko diantaranya adalah melalui penggunaan pranata asuransi atau pertanggungan sebagai pihak yang akan memberikan jaminan atau tanggungan jika risiko-risiko tersebut benar-benar terjadi pada perjanjian BOT.43 2.2.4 Asas-Asas dalam Buil, Operate, And Transfer/ BOT Perjanjian BOT yang mereka buat pada asasnya menjalankan suatu "asas kerja-sama yang saling menguntungkan", dimana pemilik lahan yang semula hanya memiliki lahan (atau beserta bangunannya) saja setelah adanya kerjasama dengan Perjanjian BOT pada suatu saat akan memiliki bangunan (atau bangunan yang lebih baik dari bangunan semula). Begitu pula pihak Pemerintah yang semula hanya pemegang hak eksklusif saja yang bilamana akan mewujudkan fisik bangunannya tidak mempunyai dana yang cukup. Setelah adanya kerjasama dalam bentuk Perjanjian BOT diharapkan akan memiliki fisik bangunan. demikian pula bagi pihak investor dengan adanya kerjasama dalam Perjanjian BOT akan mendapat suatu keuntungan dari pengelolaannya. 42 Anita Kamilah, loc.cit. Munir Fuady, 1997, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini Tinjauan Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26. 43 adanya "asas kepastian hukum", bahwa pada suatu saat investor akan mengembalikan bangunan beserta fasilitasnya yang melekat padanya (asset) bersangkutan kepada pihak pemilik lahan/pemegang hak eksklusif. Kemudian yang ketiga "asas musyawarah". Artinya jika timbul perselisihan antara pihak investor dengan pihak pemilik lahan pemegang hak eksklusif, baik saat membangun, mengoperasionalkan hasil bangunan serta hal-hal lainnya. mereka akan menyelesaikannya dengan cara mengadakan musyawarah. Apabila musyawarah itu tidak didapat, mereka akan menyerahkan penyelesaiannya pada keadilan putusan hakim. Demikian pula hal-hal yang belum atau kurang diatur di dalam Perjanjian BOT, kedua belah pihak sepakat untuk mengatur lebih lanjut dalam perjanjian tersendiri. Dengan demikian di dalam Perjanjian BOT paling tidak didasarkan atas 3 asas, yaitu asas kerjasama yang saling menguntungkan dan asas kepastian hukum serta asas musyawarah. 2.3 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi 2.3.1 Pengertian Wanprestasi Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Pengertian yang umum mengenai wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali. 44 44 M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h.60. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu: a. Kesalahan debitor, baik karena kesengajaan yang dilakukan debitor maupun kelalaian b. Karena keadaan memaksa, diluar kemampuan debitor, jadi debitor tidak bersalah. 45 Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, dalam hal ini ada 3 keadaan, yaitu: a. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, dan c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan. Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut: debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, 45 Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h.241. yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali sajapun dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur tetap melaksanakan kewajiban. penegasan seperti ini perjanjian, tanpa peneguran kelalaian, dengan sendirinya debitur sudah berada dalam keadaan lalai bila dia tidak melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. 46 untuk memperingatkan debitor untuk menjalankan prestasinya yaitu dengan cara memberikan peringatan tertulis, yang isinya bahwa debitor harus memenuhi prestasinya dalam waktu yang telah ditentukan jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, dibitor dinyatakan lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis tersebut dapat dilakukan secara resmi dan tidak resmi. Jika dilakukan secara resmi dilakukan di pengadilan yang disebut sommatie, sedangkan peringatan tidak resmi misalnya melalui surat tercatat, telegram, facsimile, atau disampaikan sendiri kepada debitor. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.47 2.3.2 Bentuk-Bentuk Wanprestasi Debitor juga dapat dikatakan melakukan wanprestasi apabila ia melanggar perjanjian dengan melakukan atau berbuat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi seorang debitor dapat berupa empat macam, yaitu: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya 46 47 M Yahya Harahap, op.cit, h.62. Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h.242. b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya48 2.3.3 Akibat Hukum Wanprestasi Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini: a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata) b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (pasal 1266 KUHPerdata) c. Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata) d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata) e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan dan debitor dinyatakan bersalah. 49 2.3.4 Ganti Rugi Karena Wanprestasi Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian kepada kreditur, maka debitur wajib mengganti kerugian yang timbul. 50 Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang, tetapi juga berupa kehilangan keuntungan, yaitu keuntungan yang didapat seandainya si berutang tidak lalai. Bahwa kerugian yang harus diganti 48 R. Subekti, op.cit, h.45 Abdulkadir Muhammad I, loc.cit. 50 M Yahya Harahap, op.cit, h.65 49 meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yaitu: 1. Biaya (kosten) adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak 2. Rugi (schaden) adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. 3. Bunga (interesten) adalah bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi, keuntungan yang tidak diperoleh karena keterlambatan penyerahan bendanya. 51 Penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi tersebut. Dapat dikatakan, ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Seorang debitur yang lalai, masih juga dilindungi oleh undang-undang terhadap kewenangan kreditur. Hal ini diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUHPerdata yang menyatakan “si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya.” Dan “bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu-daya si berutang, penggantian gentian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang 51 Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h.247. merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.” Yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Ada macam-macam bunga yang harus diganti oleh debitur, yaitu: 1. Bunga yang konvensional adalah bunga yang diperjanjikan para pihak di dalam perjanjian (Pasal 1249 KUHPerdata) 2. Bunga yang kompensatoir adalah bunga yang tidak diperjanjikan para pihak dalam perjanjian, dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Bunga yang moratoir, adalah bunga yang dibebankan kepada debitur atas utang sejumlah uang yang terlambat dibayarkan atau apabila mengenai sejumlah uang yang tidak tepat dalam memenuhi kewajibannya sesuai KUHPerdata Pasal 1250, adalah 6 % setahun. b. Keadaan memaksa, mengajukan bahwa si berpiutang sendiri juga telah lalai. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan hak nya untuk menuntut ganti rugi atau disebut juga pelepasan hak. 52 Persyaratan dapat diduga dan akibat langsung dari wanprestasi memang sangat dekat hubungannya satu sama lain. Lazimnya apa yang tak dapat diduga, juga bukan suatu akibat langsung atau kelalaian si debitur. Menurut teori tentang sebab dan akibat, bahwa suatu peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa lain, apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman dalam masyarakat dapat diduga akan terjadi. 52 R. Subekti, op.cit, h.49.