BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori dan Literatur 2.1.1 Agency Theory Agency theory (teori keagenan) diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976 dan merupakan dasar untuk memahami tata kelola perusahaan (corporate governance). Teori keagenan (agency theory) menjelaskan perbedaan kepentingan antara pemegang saham (principal) dan manajemen (agent), serta hubungan kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (Alijoyo dan Zaini, 2004:6). Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen dapat memicu konflik yang menimbulkan biaya keagenan. Konflik ini timbul akibat keinginan manajemen untuk melakukan tindakan yang menguntungkan, tetapi dapat mengorbankan kepentingan pemegang saham untuk memperoleh return dari kegiatan investasi yang dilakukan. Eisenhardt (1989) yang dikutip Kenniady (2011), menjelaskan tiga asumsi dasar sifat manusia yang dapat menimbulkan konflik, yaitu: 1. Manusia umumnya mementingkan diri sendiri (self interest). 2. Manusia memiliki daya pikir yang terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality). 3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Hal inilah yang menyebabkan timbulnya agency conflict karena manajemen dan pemegang saham cenderung mengutamakan tujuan dan kepentingan sendiri tanpa memikirkan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, agency conflict juga dipicu oleh beberapa permasalahan berikut: (Widiarno, 2012) 19 1. Moral Hazard Manajemen cenderung menempatkan investasi yang lebih menguntungkan dirinya dibandingkan perusahaan. 2. Earning Retention Manajemen cenderung mempertahankan pendapatan perusahaan pada titik stabil, sedangkan pemilik modal lebih mementingkan distribusi kas yang lebih tinggi melalui peluang investasi. 3. Risk Aversion Manajemen lebih memilih posisi aman untuk dirinya sendiri dalam membuat kebijakan investasi. 4. Time Horizon Cash flow perusahaan merupakan fokus manajemen selama mereka bertugas mengontrol dan mengawasi kinerja perusahaan. Manajemen dan pemegang saham memiliki posisi, fungsi, kepentingan, dan latar belakang yang berbeda. Perbedaan kepentingan antara pemegang saham sebagai pemilik dan manajemen sebagai pengelola dapat menimbulkan agency conflict dalam perusahaan. Manajer lebih memahami informasi internal dan prospek perusahaan, sehingga manajer memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan kondisi perusahaan kepada pemilik modal melalui pengungkapan informasi akuntansi. Hal ini menyebabkan interpretasi atas informasi akuntansi yang diungkapkan dalam laporan keuangan menjadi tidak seimbang antara manajemen sebagai penyedia informasi dan pemegang saham sebagai pengguna informasi. Informasi yang tidak seimbang ini disebut juga dengan asimetri informasi (information asymmetry) yang secara umum terbagi menjadi dua (Scott, 2009), yaitu: 20 1. Adverse Selection Adverse selection merupakan keadaan pada saat pemegang saham tidak mengetahui kebijakan yang diambil oleh manajemen untuk perusahaan di masa kini maupun masa mendatang. Adverse selection terjadi ketika manajer memiliki kemampuan untuk memanfaatkan informasi yang dimiliki, membiaskan, dan membatasi informasi yang diberikan kepada investor. Sehingga, hal ini akan membuat investor meragukan kualitas perusahaan. 2. Moral Hazard Moral Hazard timbul karena adanya pemisahan kepemilikan dan kontrol dalam perusahaan, sehingga beberapa pihak tidak dapat mengamati perilaku dari pihak lainnya. Akibatnya, pemegang saham dan kreditur sulit mengawasi perilaku manajer yang mungkin telah lalai dalam menjalankan tugasnya. Selain agency theory, stewardship theory juga menjadi dasar pemahaman atas pentingnya corporate governance. Menurut Etty Murwaningsari (2009), stewardship theory mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan merupakan individu yang berintegritas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teori ini memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya dalam menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh para pemegang saham. Salah satu cara untuk membatasi perilaku oportunistik manajemen dan menghindari timbulnya agency conflict adalah dengan menerapkan corporate governance. Kesenjangan hubungan antara manajemen dan pemegang saham dapat diatasi dengan menerapkan Good Corporate Governance (GCG) yang berperan penting dalam menumbuhkan kembali kepercayaan pemegang saham terhadap perusahaan. 21 2.1.2 Corporate Governance Kata “governance” dalam bahasa latin memiliki arti mengarahkan, sedangkan dalam bahasa Perancis “gubernance” berarti pengendalian (Kenniady, 2012). Dalam ilmu manajemen, kata ini kemudian diadaptasi menjadi corporate governance yang berarti mengarahkan dan mengendalikan kegiatan dalam perusahaan, yang kini umumnya kita sebut sebagai tata kelola perusahaan. 2.1.2.1 Definisi Corporate Governance Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992. Definisi corporate governance menurut Cadbury Committee yang dikutip oleh Susanto (2012), yaitu “A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities.” Definisi CG dari Cadbury Committee tersebut diterjemahkan oleh Forum For Corporate Governance Indonesia (FCGI) sebagai peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan, kreditor, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Menurut Achmad Daniri dalam bukunya yang berjudul “Konsep dan Penerapan GCG” (2005:8), dikemukakan bahwa GCG adalah: “Suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, Dewan Komisaris, Rapat Umum Pemegang Saham) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.” 22 Berdasarkan beberapa definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan suatu sistem yang dibuat untuk membangun hubungan yang baik dan transparan antara pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan dalam perusahaan. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan nilai tambah bagi pemegang saham dan para stakeholder. 2.1.2.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Prinsip –prinsip GCG yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011, meliputi: 1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Pertanggung jawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan. Prinsip–prinsip good corporate governance yang banyak dijadikan acuan internasional dibuat oleh Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2004. Prinsip-prinsip OECD tersebut meliputi enam prinsip pokok sebagai berikut: 1. Menjamin Kerangka Dasar Tata Kelola Perusahaan yang Efektif (Ensuring the basis for an Effective Corporate Governance Framework) 23 Kerangka corporate governance mendorong transparansi dan efisiensi pasar sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh regulator dan memisahkan fungsi serta tanggung jawab otoritas-otoritas yang memiliki fungsi pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang efektif. 2. Perlindungan Terhadap Hak-hak Para Pemegang Saham (The Rights of Shareholders) Prinsip ini mengatur mengenai hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan saham. Hak-hak pemegang saham dapat meliputi adanya jaminan kepemilikan saham yang sah, hak memperoleh informasi yang relevan, dapat memberikan hak suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), memilih dan mengganti dewan, dapat mengalihkan saham, dan memperoleh hak atas keuntungan perusahaan. 3. Perlakuan yang Sama terhadap Pemegang Saham (The Equitable Treatment of Shareholders) Pasar modal harus dapat melindungi investor dari perlakuan yang merugikan dari manajer, dewan komisaris, dewan direksi, atau pemegang saham utama perusahaan. Semua pemegang saham baik mayoritas, minoritas, ataupun pemegang saham asing akan diperlakukan secara sama dan memperoleh kesempatan yang sama dalam kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan. 4. Peran Stakeholders dalam Tata Kelola Perusahaan (The Role of Stakeholders in Corporate Governance) Peran Stakeholders dalam corporate governance mencakup hak-hak stakeholders yang didasarkan pada ketentuan hukum melalui perjanjian mutual yang 24 mendorong kerja sama antara perusahaan dengan stakeholders agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan pertumbuhan kondisi keuangan perusahaan. 5. Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency) Informasi yang ada dalam perusahaan harus terbuka, tepat waktu, jelas, dan dapat dibandingkan dari segi keuangan, pengelolaan perusahaan, serta kepemilikan perusahaan. 6. Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi (The Responsibility of the Board) Penerapan corporate governance menjamin adanya pemantauan efektif yang dilakukan oleh dewan dan akuntabilitas dewan komisaris atas kinerja manajemen dalam pengelolaan perusahaan maupun terhadap pemegang saham. 2.1.2.3 Manfaat Good Corporate Governance Tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi konflik dan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer (Roodposhti dan Chashmi, 2011). Hal ini disebabkan karena penerapan corporate governance yang baik, tidak hanya melindungi kepentingan investor, tetapi juga memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan dan pihak lain yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Manfaat penerapan GCG menurut Tris Sudarto selaku Direktur Keuangan PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) dalam acara Accounting Series ke enam yang diselenggarakan oleh Universitas Al-Azhar Indonesia, yaitu: 1. Informasi yang disampaikan kepada stakeholders dapat dijadikan gambaran dalam pengambilan keputusan, contohnya keputusan untuk berinvestasi dalam perusahaan tersebut. 2. Perusahaan dapat dengan mudah memperoleh akses permodalan, seperti contohnya dapat diperoleh modal dari pasar modal sehingga cost of funding menjadi lebih murah. 25 3. Membantu dalam setiap pengambilan keputusan, baik yang bersifat ekonomis maupun strategis. 4. Meningkatkan keyakinan terhadap stakeholders. 5. Apabila direksi dan komisaris dalam menjalankan tugasnya sudah sesuai dengan prinsip GCG, jika suatu hari terjadi kesalahan, direksi dan komisaris tidak akan dituntut sepanjang direksi dan komisaris tidak berbuat curang. Manfaat lain yang diperoleh dari penerapan GCG adalah minimalisasi biaya modal (cost of capital) perusahaan yang dapat memperkuat kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, tata kelola perusahaan yang baik akan menciptakan paradigma positif atas nilai perusahaan bagi kreditur dan investor karena meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha perusahaan. 2.1.3 Wajibnya Penerapan Good Corporate Governance Wajibnya penerapan GCG ditetapkan oleh peraturan menteri negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nomor PER-01/MBU/2011 yang di otorisasi pada tanggal 1 Agustus 2011. Wajibnya penerapan GCG bagi perusahaan BUMN dilatar belakangi oleh adanya pembaharuan hukum di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik negara, serta memperhatikan perkembangan dunia usaha yang semakin dinamis dan kompetitif. Dalam pasal 4 peraturan menteri negara BUMN nomor PER-01/MBU/2011 dinyatakan bahwa, tujuan diwajibkannya penerapan prinsip GCG pada perusahaan BUMN adalah untuk meningkatkan daya saing BUMN, mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efektif dan efisien, pengambilan keputusan yang seusai dengan nilai moral dan peraturan perundang-undangan, meningkatkan perekonomian nasional, serta meningkatkan perkembangan investasi nasional. 26 2.1.4 Mekanisme Penerapan Corporate Governance Mekanisme corporate governance merupakan prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keputusan. Chen et al. (2009) menyatakan bahwa mekanisme corporate governance yang efektif dapat memperluas tingkat kebebasan perusahaan untuk mengambil keputusan yang tepat waktu dan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Mekanisme corporate governance dibagi menjadi mekanisme internal dan eksternal (Babatunde dan Olaniran, 2009). Mekanisme internal melibatkan kerja sama antara pemegang saham, dewan komisaris, dan manajemen yang nantinya dapat menyeimbangkan kekuatan tiga pihak tersebut. Mekanisme eksternal terdiri dari peraturan dan hukum terkait perlindungan pemegang saham, konsumen, karyawan, badan, praktik akuntansi, dan audit internal. 2.1.4.1 Corporate Governance Perception Index (CGPI) CGPI merupakan pemeringkatan GCG berdasarkan riset yang dirancang untuk mendorong perusahaan dalam meningkatkan kualitas penerapan GCG melalui perbaikan yang berkesinambungan dengan melaksanakan evaluasi dan melakukan studi banding (www.iicg.org). CGPI didapatkan dari penilaian Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) yang bekerja sama dengan majalah SWA sejak tahun 2001. CGPI berupa skor (index) dengan kisaran nilai 0% - 100%. Skor ini berupa persentase yang dihasilkan dari penilaian terhadap pelaksanaan GCG pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penilaian praktik GCG dilakukan dengan metode total skor tertimbang (total weighted score) dan teknik check and balance (Rebecca, 2012). Metode total skor 27 tertimbang digunakan untuk mengevaluasi tingkat penerapan corporate governance (CG) pada masing-masing perusahaan. Teknik check and balance digunakan untuk menghindari unsur subjektivitas dalam mengevaluasi praktek CG pada masingmasing perusahaan. Hasil penilaian tersebut kemudian diinterpretasikan dalam kriteria seperti yang dijabarkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Praktek Good Corporate Governance Persentase Nilai Kategori Peringkat 85-100% Sangat Terpercaya Kesimpulan Perusahaan telah menerapkan dan mematuhi standar penerapan GCG yang ditetapkan pemerintah dengan baik. 70-84% Terpercaya Perusahaan telah memenuhi lebih dari persyaratan kurang peraturan dari ditetapkan, standar minimum dan umum yang namun menunjukkan komitmen positif terhadap praktik good corporate governance. 55-69% Cukup Terpercaya Perusahaan telah memenuhi persyaratan peraturan minimum menunjukkan terhadap dan komitmen praktik good belum yang cukup corporate governance. Sumber: www.iicg.org - Profil CGPI tahun 2012 (Hasil Olahan Penulis) Manfaat CGPI dalam Profile CGPI 2012 (www.iicg.org), antara lain: 1. Penataan organisasi perusahaan yang belum sesuai dan belum mendukung terwujudnya GCG. 2. Peningkatan kesadaran dan komitmen bersama dari internal perusahaan dan stakeholder terhadap penerapan GCG. 3. Pemetaan masalah-masalah strategis dalam praktik GCG. 4. Alternatif perbaikan indikator atau standar mutu pencapaian kualitas GCG. 28 2.1.4.2 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan merupakan persentase saham yang dimiliki oleh pemegang saham internal maupun eksternal yang menunjukkan besarnya kontrol dan kepentingan pemilik dalam perusahaan. Struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh utang dan ekuitas, tetapi dipengaruhi pula oleh kepemilikan manajerial dan institusional. Struktur kepemilikan akan memberikan motivasi yang berbeda dalam memonitor kinerja perusahaan, manajemen, dan dewan direksi. Menurut Jensen dan Meckling (1976), struktur kepemilikan mendasari penerapan corporate governance yang dapat meminimalisasi masalah yang timbul dalam hubungan keagenan. 2.1.4.2.1 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah proporsi pemegang saham dari manajemen yang aktif dalam pengambilan keputusan, seperti direksi, manajer, karyawan, dan perangkat internal perusahaan. Kepemilikan manajerial memiliki peran yang penting dalam menyelaraskan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan saham oleh manajemen yang rendah dapat menyebabkan meningkatnya perilaku opportunistic manajer dalam perusahaan. Sebaliknya, semakin besar porsi kepemilikan manajerial suatu perusahaan, maka manajemen akan berupaya lebih untuk memenuhi kepentingan pemegang saham dan juga dirinya sendiri sebagai bagian dari pemegang saham. Siallagan dan Machfoedz (2006) yang dikutip oleh Kenniady (2011) menemukan bahwa hubungan kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan, digambarkan sebagai berikut: 29 Tabel 2.2 Hubungan Kepemilikan Manajerial dengan Kinerja Perusahaan Level 0-5% 5-25% 25-50% >50% Hubungan Kepemilikan Non Linear Negatif Positif Negatif Kepemilikan manajerial akan mempengaruhi cara manajemen dalam menjalankan kegiatan perusahaan atau pengambilan kebijakan perusahaan yang bermanfaat bagi tercapainya tujuan perusahaan. Sehingga, kepemilikan manajerial akan mampu menurunkan konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Ali et al. (2008) yang menemukan bahwa konflik antara manajer dan pemegang saham mengalami penurunan apabila kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen mengalami peningkatan dalam perusahaan. 2.1.4.2.2 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah, perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi, institusi luar negeri, dan institusi lainnya (Juniarti dan Sentosa, 2009). Tingkat kepemilikan institusional dapat mempengaruhi besarnya pengawasan dalam operasional perusahaan yang menyebabkan optimalisasi nilai perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh Wening (2009) yang dikutip Kenniady (2011) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan, maka akan memperbesar kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Penelitian Barnae dan Rubin (2006) menyatakan bahwa kepemilikan institusional pada tingkat yang tinggi akan memperbesar kekuatan suara dalam mengoptimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional dalam perusahaan penting untuk meningkatkan pengawasan yang lebih optimal terhadap manajemen 30 dalam mengelola perusahaan. Sehingga, manajemen dapat menerapkan GCG dengan baik dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan, serta menunjukkan tanggung jawab terhadap stakeholder. Proporsi kepemilikan institusional yang dominan dalam perusahaan akan menjadi lebih penting karena dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (Solomon dan Solomon, 2004). Manfaat kepemilikan institusional juga terlihat melalui penelitian Cornett et al. (2006) yang membuktikan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh investor institusional dapat membatasi perilaku manajemen dan mendorong fokus manajemen terhadap kinerja perusahaan. 2.1.4.3 Kualitas Audit Kualitas audit memiliki peranan penting dalam penyajian informasi keuangan yang akurat dan transparan. Oleh karena itu, semakin tinggi integritas Kantor Akuntan Publik (KAP), maka semakin tinggi tingkat kepercayaan pengguna laporan keuangan atas laporan keuangan yang telah di audit tersebut. Hal ini tentu akan mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan investasi. Francis dan Yu (2009) membuktikan bahwa kualitas audit pada KAP big four memiliki kualitas audit yang lebih tinggi. KAP yang tergolong dalam big four yaitu Price waterhouse Coopers (PwC), Ernst & Young (EY), Deloitte, dan KPMG. KAP big four dinilai memiliki kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan dengan KAP non big four dikarenakan pengalaman dan pelatihan dalam KAP big four yang lebih baik. Fernando et al. (2010) menyatakan bahwa spesialisasi auditor merupakan strategi diferensiasi yang bertujuan untuk menyediakan auditor dengan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. 31 2.1.5 Biaya Ekuitas Biaya ekuitas adalah suatu rate tertentu yang harus dicapai oleh perusahaan dalam memenuhi imbalan yang diharapkan oleh para pemegang saham biasa atas dana yang telah ditanamkan pada perusahaan tersebut sesuai dengan risiko yang diterimanya (Bodie, Kane, dan Marcus, 2009). Tamara (2012) membuktikan bahwa biaya ekuitas dapat diturunkan dengan pengungkapan informasi keuangan yang lebih luas. Sementara itu, pengungkapan informasi yang lebih baik dapat mengurangi asimetri informasi. Penurunan asimetri informasi dapat menarik minat investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut, karena nilai perusahaan terlihat jelas melalui laporan keuangannya. Perhitungan biaya ekuitas umumnya dilakukan dengan menggunakan Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM adalah model yang menggambarkan hubungan antara risiko dengan tingkat pengembalian yang diharapkan (Tjiptono D. Dan Hendy M.F., 2009:204). CAPM merupakan salah satu model untuk menghitung tingkat pengembalian yang diharapkan oleh para investor. Model ini memperhitungkan risiko sistematis atau risiko pasar yang sering kali disimbolkan dengan beta (β) pada industri keuangan. Selain itu, model CAPM juga memperhitungkan hasil yang diharapkan dari pasar dan nilai pengembalian yang bebas risiko. Pendekatan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pasar harus menetapkan harga yang aman dan sesuai dengan tingkat resiko investor. CAPM dikembangkan pertama kali pada tahun 1960 oleh William F. Sharpe yang mendefinisikan CAPM sebagai berikut: “A Model based on the proposition that any stock’s required rate of return is equal to the risk free of return plus a risk premium,when risk reflect diversification”. Persamaan umum dari CAPM digambarkan sebagai berikut: 32 = Keterangan: E(Ri) : hasil yang diharapkan dari CAPM atau tingkat pengembalian harapan Rf : tingkat pengembalian bebas risiko yang berasal dari BI rate atau suku bunga deposito βi : sensitivitas dari pengembalian aset yang diharapkan E(Rm) : tingkat pengembalian yang diharapkan dari pasar dengan data yang diperoleh dari pergerakan harga saham IHSG Beta (βi) yang digunakan dalam persamaan diatas didefinisikan sebagai ukuran resiko relatif yang mencerminkan resiko relatif saham individual terhadap portofolio pasar saham secara keseluruhan (Tandelilin, 2010:522). Beta bernilai 1 menunjukkan harga saham bergerak mengikuti pasar, beta lebih dari 1 menunjukkan harga saham yang fluktuatif/volatil, sedangkan beta kurang dari 1 berarti harga saham tidak berfluktuatif seiring dengan kondisi pasar (Fakhruddin, 2008). Penelitian ini menghitung beta dengan mengaplikasikan fungsi slope dalam microsoft excel. Fungsi slope memasukkan perhitungan tingkat pengembalian aktual berdasarkan harga saham perusahaan dan tingkat pengembalian dengan dasar pergerakan harga IHSG. Gambar 2.1 Grafik Security Market Line (SML) 33 Grafik tersebut menggambarkan hubungan antara beta dengan tingkat pengembalian aset. Beta merupakan suatu ukuran angka koefisien yang menggambarkan sensitivitas respon suatu saham terhadap pasar dengan tingkat pengembalian bebas risiko (Tjiptono D. dan Hendy M.F., 2009:204). Berdasarkan model CAPM, ada beberapa elemen penting yang menggambarkan hubungan antara risiko dan return, diantaranya adalah: 1. Saham adalah aset yang berisiko, karena tingkat imbal hasilnya berfluktuasi. 2. Ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur risiko adalah standar deviasi. 3. Risiko saham dapat dibagi menjadi dua, yaitu risiko perusahaan dan risiko pasar. 4. Risiko perusahaan dapat timbul karena faktor internal (bisnis perusahaan) dan faktor eksternal (ekonomi makro). 5. Diversifikasi portofolio hanya menghilangkan risiko perusahaan dan bukan risiko pasar. Hanya risiko pasarlah yang merupakan risiko relevan bagi investor yang rasional dan berdiversifikasi dengan baik. 6. Beta mengukur tingkat sensitivitas pergerakan saham individual terhadap pergerakan harga pasar. 2.1.6 Actual Return Tingkat pengembalian aktual (actual return) merupakan suatu nilai yang didapatkan dari aktivitas investasi dan kegiatan bisnis. Biasanya sebelum membuat keputusan investasi, seseorang akan melakukan perhitungan expected return untuk menentukan batas tingkat pengembalian yang diharapkan dengan hasil perhitungan yang nantinya akan dibandingkan dengan actual return yang terjadi. Risiko yang memungkinkan timbulnya tingkat pengembalian aktual yang berbeda dengan tingkat pengembalian yang diharapkan, antara lain: (Husnan, 2003:50) 34 a. Risiko sistematis (systematic risk) atau risiko pasar (general risk) merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, berkaitan dengan faktor makroekonomi yang mempengaruhi pasar. Faktor-faktor tersebut meliputi, tingkat bunga, kurs, inflasi dan kebijakan pemerintah. b. Risiko tidak sistematis (unsystematic risk) atau risiko perusahaan (risiko spesifik) yaitu risiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena hanya ada dalam satu perusahaan atau industri tertentu. Secara umum, tingkat pengembalian aktual dapat dihitung dengan rumus berikut: Keterangan: Rit : Tingkat pengembalian saham i pada waktu ts Pit : Harga saham i pada waktu t Pit-1 : Harga saham t pada waktu t-1 Tingkat pengembalian aktual dapat dihitung dengan membandingkan selisih harga yang dibuka pada awal hari transaksi dengan harga penutupan pada hari yang lalu, kemudian selisih tersebut dibandingkan dengan harga pada saat penutupan di hari sebelumnya. 2.1.7 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi yang penting di dalam perekonomian nasional yang bersama-sama dengan pelaku ekonomi swasta dan koperasi menjadi bentuk dari demokrasi ekonomi yang akan terus dikembangkan secara bertahap dan berkelanjutan. Kementerian BUMN lahir dari transformasi unit 35 kerja Eselon II Departemen Keuangan (1973-1993) yang berubah menjadi unit kerja Eselon I (1993-1998 dan 2000-2001) dan kini unit kerja tersebut dikenal dengan nama BUMN (www.bumn.go.id). BUMN didasari oleh beberapa kebijakan yang tertuang dalam undangundang. Dasar kebijakan pembinaan BUMN digambarkan seperti pada gambar 2.2 (www.bumn.go.id). Gambar 2.2 Dasar Kebijakan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Bentuk BUMN terdiri dari Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perusahaan Umum (PERUM). Persero adalah BUMN berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dengan tujuan utama untuk mencapai keuntungan. Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Perum bertujuan untuk 36 menyediakan barang atau jasa bermutu tinggi dan mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Tugas pokok dan fungsi kementerian BUMN berdasarkan Per-05/MBU/2010, yaitu: Tugas : Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, tugas Kementerian BUMN adalah membidangi urusan Pemerintahan di bidang pembinaan badan usaha milik negara dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Fungsi : Dalam melaksanakan tugasnya, kementerian BUMN menyelenggarakan beberapa fungsi berikut: a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pembinaan badan usaha milik negara; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan badan usaha milik negara; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian BUMN; dan d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian BUMN. 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini dikembangkan dari penelitian Yulissa Rebecca (2012) dengan menggabungkan gagasan dari penelitian Byun et al. (2008), Siswardika Susanto (2012), Shah dan Butt (2009), serta Regalli dan Soana (2012). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari komponen corporate governance terhadap 37 besarnya nilai biaya ekuitas pada perusahaan di Indonesia yang diwakili oleh perusahaan BUMN yang telah go public, dengan periode analisis tahun 2009-2012. Berikut adalah gambaran kerangka pemikiran yang menjadi landasan dilakukannya penelitian ini. Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Faktor Eksternal Good Corporate Governance Analisis Sebelum Diwajibkan (2009-2010) Faktor Internal Analisis Sesudah Diwajibkan (2011-2012) Variabel Kontrol Variabel Independen Corporate Governance Perception Index Periode Waktu Kualitas Audit Variabel Independen Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Variabel Dependen Biaya Ekuitas 38 2.3 Model Penelitian Model penelitian yang digunakan terdiri dari variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan biaya ekuitas sebagai variabel dependen, sementara variabel independen yang digunakan meliputi penilaian internal perusahaan secara keseluruhan yang diwakili oleh corporate governance index, struktur kepemilikan perusahaan, dan kualitas audit yang menilai akurasi penyajian informasi keuangan perusahaan. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah periode waktu yang timbul karena adanya perbedaan waktu sebelum dan sesudah GCG diwajibkan oleh pemerintah. Berikut adalah gambaran model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar 2.4 Model Penelitian 2.4 Perumusan Hipotesis 2.4.1 Perbedaan Nilai Biaya Ekuitas Sebelum dan Sesudah Diwajibkannya Penerapan GCG Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 yang mewajibkan penerapan GCG 39 pada peruahaan BUMN. Kebijakan ini tentu akan memberikan dampak yang positif bagi perusahaan BUMN seperti penurunan biaya ekuitas, jika GCG memang benarbenar diterapkan dengan baik. GCG merupakan salah satu komponen penting yang dapat meningkatkan kualitas perusahaan melalui transparansi informasi keuangan yang berdampak pada penurunan biaya ekuitas perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Byun et al. (2008) yang menemukan bahwa corporate governance dapat menurunkan asimetri informasi dan masalah keagenan antara pemegang saham dan manajemen. Dengan demikian, corporate governance yang diterapkan dengan baik akan mampu menarik minat investor dengan menurunkan biaya ekuitas. Penelitian Brown dan Caylor (2006) juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG akan mengalami peningkatan kinerja perusahaan secara signifikan. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut: Ha1: Adanya penurunan nilai biaya ekuitas yang signifikan setelah diwajibkannya penerapan Good Corporate Governance. 2.4.2 Pengaruh Corporate Governance Perception Index Terhadap Biaya Ekuitas CGPI merupakan suatu index dalam bentuk persentase yang nilainya didapatkan dari penilaian atas pelaksanaan GCG dalam suatu perusahaan. Besar index CGPI dapat mewakili kualitas perusahaan yang mempengaruhi nilai biaya ekuitas suatu perusahaan. Penelitian dari Rebecca (2012) menunjukkan bahwa CGPI berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas dan biaya utang. Hasil penelitian Rebecca sesuai dengan penelitian Byun et al. (2008) yang menggunakan hasil survei dari Korea Corporate Governance Service (KCGS) untuk mengevaluasi 40 penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Korea Selatan. Byun et al. menemukan bahwa praktik corporate governance memiliki hubungan negatif dengan biaya ekuitas dan perlindungan terhadap hak pemegang saham. Lembaga yang mengukur indeks coporate governance di setiap negara berbeda-beda. Regalli dan Soana (2012) meneliti pengaruh corporate governance index dengan menggunakan Gompers Index yang terbukti memberikan pengaruh yang berbanding terbalik dengan biaya ekuitas, atau dengan kata lain Gompers Index yang tinggi akan menurunkan biaya ekuitas. Sementara itu, Derwall et al. (2007) menguji kualitas coporate governance di Amerika dengan menggunakan Governance Metrics International (GMI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan dengan kualitas corporate governance yang baik akan memiliki biaya ekuitas yang rendah. Berdasarkan pertimbangan atas beberapa hasil penelitian diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut: Ha2: Corporate governance perception index berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas. 2.4.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Biaya Ekuitas Kepemilikan manajerial diartikan sebagai proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang aktif dalam pengambilan keputusan perusahaan (Diyah dan Widanar, 2009). Kepemilikan saham manajerial dapat menyatukan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga manajer ikut memperoleh langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan menanggung konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Jumlah kepemilikan saham manajerial pada perusahaan di Indonesia relatif masih sangat kecil, terutama dalam perusahaan 41 BUMN yang dominan sahamnya dimiliki oleh institusi pemerintah. Namun, minimnya kepemilikan manajerial dalam beberapa perusahaan di Indonesia tetap akan memberikan pengaruh bagi kualitas suatu perusahaan, karena manajemen memegang banyak peranan penting dalam perusahaan, seperti pengelolaan operasional, pengambilan keputusan, penyajian laporan keuangan, dan memonitor tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini menjadikan kepemilikan manajerial sebagai salah satu tolak ukur penilai kualitas GCG dalam suatu perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Shah dan Butt (2009) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial dapat menurunkan biaya ekuitas perusahaan secara tidak signifikan. Di Indonesia penelitian yang melihat pengaruh kepemilikan manajerial terhadap biaya ekuitas cukup jarang ditemukan, namun Aprina (2012) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan yang mempengaruhi penilaian biaya ekuitas suatu perusahaan. Berdasarkan paparan diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut: Ha3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas. 2.4.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Biaya Ekuitas Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan karena dapat meningkatkan tingkat pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen (Wening, 2009 dalam Kenniady, 2011). Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan pentingnya kepemilikan institusional dalam mencapai GCG, namun pengaruh kepemilikan institusional ditemukan tidak banyak berpengaruh terhadap biaya ekuitas. Hal ini diyakini berbeda dengan perusahaan BUMN yang 51% kepemilikan sahamnya 42 dipegang oleh institusi pemerintah yang dinilai lebih menjamin kualitas perusahaan. Sehingga penelitian ini akan membuktikan efektivitas pengaruh kepemilikan institusional dalam perusahaan BUMN terhadap penurunan biaya ekuitas perusahaan yang dinilai penting bagi investor. Penelitian Regalli dan Soana (2012) serta Ashbaugh et al. (2004) menemukan bahwa proporsi investasi institusional yang besar dapat memperbesar biaya ekuitas suatu perusahaan. Rebecca (2012) juga membuktikan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya ekuitas, tetapi berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya utang. Namun, penelitian Collins dan Huang (2010) mampu membuktikan bahwa kepemilikan institusional berdampak negatif terhadap biaya ekuitas perusahaan. Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian terdahulu, maka dihasilkan hipotesis berikut: Ha4: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas. 2.4.5 Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Biaya Ekuitas Kualitas audit merupakan salah satu komponen yang menentukan kualitas dan akurasi informasi suatu laporan keuangan. Laporan keuangan yang transparan, akurat, dan reliable diyakini akan mampu menurunkan asimetri informasi yang berdampak pada penurunan biaya ekuitas. Sehingga, diperlukan komite auditor independen yang terpercaya seperti yang masuk dalam kategori KAP big four. Komite audit yang masuk dalam big four memiliki kualitas audit yang lebih baik karena memiliki pemahaman lebih atas proses penyusunan laporan keuangan, 43 sehingga risiko informasi yang dimiliki oleh investor akan berkurang dan required rate of return akan lebih rendah (Susanto, 2012). Hasil penelitian Khurana dan Raman (2004) menunjukkan pengaruh dari kualitas audit terhadap kredibilitas suatu laporan keuangan yang menyebabkan penurunan biaya ekuitas. Pentingnya kualitas audit yang dihasilkan oleh komite audit terbaik didukung oleh penelitian Ashbaugh, Collins, dan La Fond (2004) yang menemukan bahwa perusahaan yang memiliki komite audit independen yang lebih baik akan mempunyai biaya ekuitas yang lebih rendah. Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut: Ha5: Kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas. 44