“The fuel of modern industrialisation”

advertisement
Title:
Author:
The fuel of modern industrialisation
Budi Wahyu Jati
“Pada abad ke-21, ketersediaan akses broadband yang makin meluas akan menjadi
faktor penentu bagi kemakmuran ekonomi suatu bangsa, seiring dengan kehadiran
revolusi digital yang menggantikan revolusi industri,” demikian ungkap Budi Wahyu
Jati, Country Manager Intel Indonesia Corporation.
Sejarah mencatat bahwa kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya diwujudkan
dari hasil kebijakan moneter dan fiskal pemerintahan semata, namun juga muncul dari hasil
manajemen dan strategi ekonomi dalam hal investasi dan inovasi untuk generasi mendatang.
Hal ini dimulai sejak Revolusi Industri, salah satu peristiwa sejarah paling penting pada
akhir abad ke-18 dan 19 dengan munculnya kelompok besar elite ekonomi di Eropa.
Sepanjang era tersebut, berbagai perubahan besar dan investasi dilakukan pada sektor seperti
pertanian, industri manufaktur, transportasi dan infrastruktur logistik. Dari sini, munculah
sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi kapitalis seperti
yang dianut Amerika Serikat dan Inggris.
Kunci kesuksesannya adalah pada kemampuan negara tersebut untuk mendapatkan akses
informasi atau pengetahuan (know-how) dalam periode tersebut, baik dalam bidang pertanian,
manufaktur tekstil, maupun transportasi. Sebelum ditemukan dan digunakannya internet
sebagai sumber informasi yang super cepat, metode yang biasa digunakan untuk bertukar
informasi pada masa itu adalah melalui keikutsertaan dalam program study tour seperti misi
Iwakura dari Jepang pada 1871 yang menghabiskan waktu hingga dua tahun untuk
menyelesaikannya. Pertukaran informasi tersebut kiranya dapat mempertahankan momentum
industrialisasi, dan faktor ini merupakan salah satu penyebab utama Jepang menjadi negara
ekonomi kuat seperti saat ini.
Akan halnya revolusi digital saat ini bergerak sangat cepat menuju tahapan baru, yang
menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge society ) dan ekonomi berbasis
informasi (information economy), dimana pengetahuan –jika dibandingkan dengan mesin dan
peralatan— keduanya merupakan komoditas dan juga modal. Pada saat sebuah gagasan bisa
diwujudkan menjadi suatu inovasi yang bernilai triliunan dolar, secepat apapun gagasan itu
dikembangkan dan dipasarkan, sebelum persaingan mengalahkan mereka, akses broadband
internet saat ini menjadi faktor penentu bagi kesuksesan ekonomi di masa depan.
Sejauh ini, negara maju telah memperkuat dengan investasi dalam jumlah besar pada sektor
ini. Sementara negara berkembang masih jauh tertinggal dalam investasi, untuk bisa bersaing
di abad ke-21.
Wilayah Asia Pacifik yang terdiri dari beberapa negara yang memiliki keragaman, potensi
besar dan pasar yang berkembang di dunia, termasuk di antaranya China, India, Indonesia,
Pakistan, Filipina, Korea Selatan dan Vietnam. Lembaga internasional Goldman Sachs
bahkan mengidentifikasi beberapa pasar yang mungkin akan muncul sebagai negara terkaya
pada 2050 dan bisa mengendalikan ekonomi dunia. Pasar yang berkembang ini sebagian
besar telah membangun kekayaan ekonomi mereka di bidang pertanian dan manufaktur.
Namun, apabila bidang tersebut hanya berdiri sendiri, kemungkinan tidak akan cukup mampu
untuk menyesuaikan pertumbuhan populasi dalam kurun 10, 20 hingga 100 tahun mendatang.
Oleh karena itu, pihak pemerintah dan swasta di kawasan Asia Pasifik seharusnya lebih
bijaksana untuk dapat lebih memberikan prioritas untuk investasi dalam infrastruktur
broadband, demi mendorong ekonomi berbasis informasi (information economy) yang pada
akhirnya akan mendapatkan keuntungan dari pengaruhnya yang signifikan terhadap
produktivitas nasional, pertumbuhan ekonomi, persaingan dunia internasional, serta
keterikatan sosial.
Kenyataan ini menjadi sebuah catatan penting tersendiri bagi pemimpin di Asia. Pada tahun
1997 dan 1998, satu dasawarsa sebelum krisis keuangan yang terjadi saat ini, krisis ekonomi
Asia memaksa pemimpin di kawasan tersebut memikirkan kembali strategi mereka untuk
membawa negara mereka ke milenium berikutnya. Dalam konteks ini, bisa dilihat pada
Malaysia. Pada 2002, pemerintah Malaysia menyadari pentingnya era informasi dan
melegalisasikannya melalui undang-undang bagi pengembangan broadband melalui National
Broadband Plan dengan visi yang “memungkinkan Malaysia bersaing secara ekonomis
dengan negara-negara lainnya di dunia, dimana broadband menjadi perangkat yang penting
bagi dunia bisnis.”
Tak hanya Malaysia. Pemerintah Australia juga telah mengalokasikan dana AUD $4,7 miliar
untuk mengimplementasikan jaringan broadband nasional yang ditargetkan untuk
menjangkau 98% populasi Australia. Langkah ini mengindikasikan bahwa masa depan
ekonomi ini akan terkait erat secara langsung dengan akses infrastruktur broadband.
Di pasar negara berkembang, broadband bisa menjadi indikator tidak langsung untuk Produk
Domestik Bruto (GDP), seperti bidang kesehatan dan pendidikan. Akses broadband
memungkinkan perkembangan signifikan pada keduanya yaitu telemedicine (pengobatan
jarak jauh) dan distance education (pendidikan jarak jauh) yang saat ini belum
memungkinkan untuk dilaksanakan. Divisi penelitian pemerintah Australia, CSIRO,
mengembangkan ECHONET, yaitu sebuah mobile broadband untuk sistem telemedicine
yang secara virtual membawa para ahli agar dapat membantu mengoperasikan intensive care
unit dari jarak jauh - tanpa perlu berada di lokasi. Teknologi seperti ini sangat penting untuk
negara berkembang, dimana terdapat keterbatasan jumlah ahli kesehatan dan SDM yang
tersedia.
Penggerak ekonomi yang ada di negara besar di kawasan Asia Pasifik adalah sektor
pertanian, manufaktur dan jasa, dimana sektor bisnis tersebar dari pedalaman hingga wilayah
kota. Dalam hal ini, tak cukup hanya internet broadband saja yang harus berjalan “cepat”
namun juga harus bisa bergerak (mobile), sehingga ketersediaan informasi yang penting tetap
tersedia pada wilayah dimana pekerjaan dilakukan, tidak hanya terbatas di area dimana
jaringan kabel tersedia.
Instalasi fixed broadband memiliki kendala geografis jika diterapkan pada negara dengan
populasi yang tersebar di berbagai daerah baik kota maupun rural. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan kebutuhan untuk layanan broadband mobile. Untuk pasar negara
berkembang, pada praktiknya juga ada hal yang menghambat jaringan broadband dengan
fibre atau ADSL, karena dari sisi pendanaan, akan sangat sulit untuk terus-menerus
membiayai jaringan kabel yang mencakup seluruh negara untuk menjangkau jutaan penduduk
seperti di India. Teknologi generasi baru seperti WiMAX tentunya akan sangat efektif dalam
hal biaya, solusi backhaul untuk membantu membangun infrastruktur yang mendukung
pertumbuhan dalam Information Economy di negara tersebut. Saat ini, WiMAX merupakan
satu-satunya teknologi nirkabel 4G yang sudah tersedia secara komersial di Asia Pasifik,
antara lain seperti yang tersedia di Malaysia (Paket One) dan Singapura (QMAX).
Broadband dan peningkatan pengetahuan adalah katalisator yang hebat untuk pertumbuhan.
Faktanya, ada korelasi langsung antara pertumbuhan broadband dan ekonomi seperti terlihat
pada model teledensitas yang digunakan oleh ITU. Perbandingan statistik antara GDP dan
broadband juga mendukung hal ini.
Singapura adalah contoh yang menarik. Sekitar 70% dari GDP diperoleh dari industri jasa
dengan penetrasi broadband yang tinggi yaitu 61,1%. Sementara angka GDP-nya mencapai
USD$49.900. Bandingkan angka tersebut dengan India yang hasilnya juga luar biasa. India
memperoleh 52,8% GDP miliknya dari industri jasa, namun dengan penetrasi broadband
hanya 0,47%, sedangkan GDP per kapitanya adalah USD$2.600.
Sektor jasa di Indonesia adalah 38% dari GDP. GDP per kapitanya adalah USD$3.600.
Sebagian besar hasil ekonomi Indonesia masih diperoleh dari pertanian. Penetrasi broadband
di Indonesia masih cukup rendah, yaitu 0,11% dari keseluruhan populasi. Hal ini adalah
masalah yang sudah lama diketahui dan Investor Group Against Digital Divide (IGADD),
kelompok investor nirlaba telah mendapatkan dukungan pemerintah untuk membantu
mengatasi hal ini. Kelompok ini menargetkan untuk dapat mencapai 50 juta koneksi internet
baru di Indonesia pada 2012.
Ini adalah berita baik untuk kawasan sepanjang momentum ini tetap berlanjut. Kebanyakan
pemimpin di Asia menyadari pentingnya pengetahuan berbasis ekonomi (knowledge
economy) dan hingga saat ini telah giat untuk melalukan investasi. Infrastruktur yang sedang
dibangun dapat membantu bisnis, pelajar, dan pemerintah untuk mengakses pengetahuan di
seluruh dunia demi membangun landasan bagi kemakmuran di masa mendatang. Boleh jadi
pada 100 tahun mendatang, inovasi internet tak lagi datang dari Silicon Valley, tapi dari
Klang Valley, atau dari pesisir Mekong.
Notes on the statistics
All GDP figures have been referenced from the CIA World Fact book.
All Broadband penetration figures are quoted per 100 inhabitants as per ITU teledensity metric:
http://www.itu.int/ITUD/icteye/Reporting/ShowReportFrame.aspx?ReportName=/WTI/InformationTechnologyPublic&RP_int
Year=2007&RP_intLanguageID=1
Download