49 • HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974 • 1--....;.'- - -_ _ _ _ Oleh : M. Tahir Azhary, S.H. _ _ _ _ _ _ __ Sebagaimana diketahui UU No. 1 Tahun 1974 telah berusia hampir dua belas tahun (dihitung sejak tanggal diundangkannya 2 Januari 1975). Namun demikian, sampai saat ini pemahaman orang terhadap UU ter~ebut dalam hubungannya dengan hukum perkawinan Islam masih seringkali belum memperlihatkan suatu ketepatan atau kebenaran ilmiah. Akibatnya terjadi pemahaman yang keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih fatal lagi, akibat dari pemahaman yang keliru itu, ada kesan seolah-olah terdapat konflik atau pertentangan antara hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut. Untuk menduduki masalah pada tempatnya, melalui karangan ini penulis mencoba menjelaskan/membahas persoalan pokok di bawah ini : - Adakah hubungan antara hukum perkawinan Islam dengan UU No.1 Tahun 1974? Apabila ada, bagaimanakah sesungguhnya bentuk hubungan tersebut ? Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Untuk menjawab persoalan pokok tersebut di atas, pada hemat penulis perlu diperhatikan dua pendapat yaitu: Pertama, pandangan ataupendapat yang secara tegas menyatakan bahwa ada hubungan antara hukum perkawin an Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974. Kiranya dapat dianggap sebagai pelopor pendapat ini adalah almarhum Prof. DR. Hazairin, S.H. yang dengan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan suatu ijtihad. 1 Sebagaimana diketahui ijtihad dalam hukum Islam merupakan urutan ketiga dari sumber-sumber hukum Islam yaitu setelah al-Quran dan Sunnah RasuI.2 Jadi, hubungan antara 1 Lihat "Kata Sambutan" Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam buku Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, cetakan ke4, hlm. ix. 2Dalam suatu dialog antara Nabi Muhammad SAW yang juga adalah kepala negara kota Madinah dengan Mu'adz bin Jabal yang dikirim menjadi penguasa di Yaman, Nabi bertanya kepada Mu'adz: "Dengan apa engkau mengatur? Dengan Quran", Jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi: "Jika di dalamnya tidak ada ketentuan?" Mu'adz menjawab: "Dengan sunnah Nabi". Nabi bertanya lagi: "Jika di dalam sunnah tidak ada?" Jawab Mu'adz: "Aku akan ber-ijtihad dengan akal". (teks aslinya: sa ajtahidu bi ra'yi). Dad percakapan Nabi Muhammad SA W dengan Mu'adz bin Jabal itu dan dengan didasarkan pula pada al-Quran surah IV:59 dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber hukum Islam itu adalah (1} al-Quran, (2) Sunnah Rasul dan (3) aka! (al-rayu) melalui ijtihad. Untuk selanjutnya lihat buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, cetakan kedua, him. 22/29 dan buku beliau, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, ce- Februari 1987 • , 50 Hukum dan Pembangunan hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat dari sudut ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga. . Dalam hukum Islam , ada dua bidang yang harus diperhatikan yaitu ibadat dan mu 'amalat. Termasuk ke dalam bidang yang pertama adalah pengaturan mengenai hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Bidang mu'amalat adalah berkenaan dengan hubungan dan kehidupan kemasyarakatan yang mencakup aspek-aspek hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, serta hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan kedua macam bidang tersebut, perlu diketahui, bidang mana yang memungkinkan orang berijtihad dan bidang mana yang tidak. 3 . takan pertama, hlrn. 13. Lihat pula buku Prof. Dr. Hazairin, S.H., Hukum Kewarisan Menurut Quran dan Hadith, cetakan keenam, hIm. 61-68, yang membahas surah IV:59 tersebut. Lebih lanjut lihat pula buku Dr. Said Ramadan, Islamic Law Its Scope and Equity, second edition, hIm. 74-83, 3 Hukum Islam mencakup dua bidang yaitu: ibadat (iman, salat, zakat, puasa dan haji) dan urusan kemasyarakatan yang mencakup mu'amalat, munakahat, ukubat, mukhasamat, siyar dan ahkam sultaniah. Sistematik tersebut dapllt dibandingkan dengan sistematik hukum barat yaitu mu 'amalat dan munakahat merupakan hukum perdatu, ukubat atau jinayat adalah hukum pidana" mukhasamat mengatur tentang hukum acara peradilan, siyar merupakan hukum intemasional dan ahkam sultaniah dapat disamakan dengan hukum tata-negara, hukum administrasi /legara dan hukum pajak (liha t buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Keuta· maan Hukum Islam, hIm. 25;-26). Perlu dicatat bahwa penulis karangan ini menggunakan istilah mu 'amalat dalam arti yang luas, dengan demikian mencakup pengertian semua urusan kemasyarakatan yang dirin- Dalam hukum Islam sudah terdapat suatu konsensus di kalangan sarjana hukum Islam bahwa syari'ah telah mengatur sedemikian rupa mengenai bidang ibadat sehingga untuk bidang ini tidak lagi diperlukan ijtihad. Oleh karena serrtua aturan bagaimana manusia harus berperilaku dalam bidang ibadat telal1 tercantum dengan jelas dan terinci khususnya di dalam Sunnah Rasul. Contoh, dalam al-Quran digariskan suatu ketentuan bahwa setiap muslim/mukmin wajib melaksanakan salat lima waktu pada setiap hari/ malam, yaitu: subuh, zuhur, 'asar, maghrib dan 'isya. Tentang berapa jumlah rakaatnya dan bagaimana tata-caranya, semuanya itu telah dijelas, kan secara terinci di dalam Sunnah Rasul. Berbeda dengan bidang mu 'amalat yaitu masalah-masalah kemasyarakatan, al-Quran dan Sunnah Rasul pada umumnya telah ' meletakkan prinsipprinsip dasar yang tentunya memerlukan pengembangan atau penjabaran lebih lanjut, sesuai dengan keadaan, wllktu dan tempat. Timbul pertanyaan, mengapa di dalam bidang ibadat al-Quran dan Sunnah Rasul mengatur secara detil mengenai semua aspek peribadatan dan mengapa di dalam bidang mu 'amalat tidak demikian ? Bidang ibadat sebagaimana diketahui mencakup hubungan antara manusia dengan Allah SWT yang bersifat kQnstan, teratur, tetap dan terus-menerus sampai akhir hayat seseorang. Agar di dalam aplikasinya tidak keliru, maka secara tepat dan sesuai pula dengan fitrah manusia, al-Quran dengan diperjelas oleh Sunnah Rasul memberikan tuntunan yang terinci kepada manusia ci di atas. • 51 Hultum Perltawinan Islam • sebagaimana seharusnya ia menghubungkan dirinya atau berperilqk:u dengan Allah SWT yang telah menciptakannya. Berbeda dengan bidang mu 'amaiat, al-Quran dengan diperjelas oleh Sunnah Rasul hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang prinsipil dengan maksud agar hal-hal lainnya yang belum diatur atau yang tidak ada di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul dapat diatur sendiri oleh manusia sesuai dengan perkembangan zaman dan kebu tuhan manusia, yaitu sepanjang pengaturannya itu tidak bertentangan dengan al-Quran d<\l1 Sunnah Rasul. Di sini peranan akal sangat penting sekali. Sehubungan dengan itu, al-Quran berulangkali memerintahkan manusia agar menggunakan akal pikirannya. 4 Dalam ilmu hukum Islam, aktivitas tersebut dinamakan ijtihad atau al-ra'yu 5 yang diwujudkan dalam berbagai metode antara lain ijma, qias, istihsan, is tislah, a tau masalih almursalah. Dengan demikian , hukum Islam senantiasa dapat mempertahankan sifat dinamisnya dan senantiasa dapat diterapkan di manapun dan pada zaman apa pun. Dalam bidang mu 'amalat (kemasyarakatan) setiap perubahan so sial senantiasa dapat diu'kur dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Sebagaimana diketahui, termasuk ke dalam bidang mu 'amalat itu antara lain adalah hukum perkawinan. Dalam sistematik ilmu hukum , bidang perkawinan ini termasuk dalam kelompok 4 Ayat-ayat al-Quran yang mengandung kata pikir atau akai ada iebih dari SO. Lihat buku' Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Ibid., him. 21. 5 . Lihat karangan Prof. H. Moh . Daud Ali, S.H., A sas-asas Hukum . II , 1986, him. 5. • • hukum kekeluargaan. Dalam hubungan ini, al-Quran telah menggariskan tidak kurang dad 70 ketentuan yang bersifat imperatij di bidang hukum kekeluargaan. 6 Dibandingkan dengan. materi yang diatur, maka 70 ketentuan itu adalah limitatif dan sebagian besar merupa· kan prinsip-prinsip dasar. Oleh karena itu, bagaimana aplikasi dari prinsipprinsip dasar tersebut sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dalam konteks inilah dapat kiranya dipahami pandangan Prof. DR. Hazairin, S.H. sebagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, tidaklah berIebihan apabila ditarik suatu kesimpulan bahwa antal:a hukum perkawinan Islam dan UU No . 1 Tahun 1974 terdapat hubungan yang erat, artinya di dalam UU No . 1 Tahun 1974 itu terkandung prinsip-prinsip hukum perkawinan Islam dan bagaimana aplikasi (penerapan) prinsip-prinsip tersebut dapat dikualifisir sebagai suatu hasil ijtihad dari bangsa Ind onesia yang dalam hal ini diwakili oleh para ulama dan sarjana-saljana Islam yang duduk sebagai anggota DPR ketika RUU No. 1 Tahun 1974 dibicarakan dalam forum DPR itu .7 Kedua, pendapat yang tidak mengakui adanya hubungan antara hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974. Pendapat ini ter- 6 Lihat Dr. Said Ramadan, Ibid. . him. 15. 7 . Para ulama dan sarjana-sarjana Islam yang menjabat sebagai anggota DPR itu dapat disebut sebagai satu kelompok dari " uIil-amri min-kum" dalam al-Quran Surah IV: 59, yang kiranya memiliki kualifikasi sebagai orang yang ber-ijtihad (mlljtahid) dan mempunyai o toritas itu, sebagaimana yang dimaksud dalam nadits Mu'adz bin Jabal. Februari 198 7 52 Hukum dan Pembanj(unan cermin antara lain dalam pandangan Prof. DR. J. Prins. Di bawah ini penulis sengaja mengutip secara utuh pendapat gurubesar tersebut : "Sudah sering kita memakai istilah "ajaran hukum" untuk menunjukkan asal-muasal - peraturan-peraturan yang berkenaan undang-undang perkawinan yang wajib berlaku menurut keyakinan Islam. Istilah Indonesia yang secara bergantian kami gunakan, ialah syari'at (atau variasinya kata yang berasal dari bahasa Arab ini). Kami telah membuat catatan dalam bab terdahulu, bahwa undang-un dang yang baru" seperti namanya sekarang ini, membawa pengukuhan pada kedudukan peradilan agama Islam. Harus segera ditambahkan di sini, bahwa ini tidak berarti bahwa hukum perkawinan Islam dalam bentuknya yang aslipun, juga diperkukuh. Dapatlah dikatakan bahwa hukum tersebut malah lebih diperlemah. Ini tern ya ta dari pem ba tasan-pem batasan yang ditetapkan oleh un dangundang terhadap poligami (beristri beberapa), yang berada di bawah pengawasan (dapat dikata1can dernikian) peradilan agama Islam, yang menyangkut orangorang Islam. Selanjutnya pelaksanaan hak talak oleh suami Islam terikat pada carnpurtangan, pengawasan dan kerjasama dari pengadilan Agama. Akhirnya ada kewajiban memelihara (bagi yang bukan agarna Islam oleh hakim biasa, bagi yang Islam pada hakikatnya oleh hakim pengadilan agama Islam) yang bukan akan diharuskan kepada suarni yang telah bercerai, untuk kepentingan bekas istrinya (dan ,anakanaknya). Suatu peraturan yang tidak dikenal oleh syari'at Islam klasik terhadap seorang wanita". 8 Terhadap kutipan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditanggapi, yaitu : 8 Prof. Dr. J. Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, alih-bahasa: G.A. Ticoalu, cetakan pertama, him. 86. 1. Bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menurut Prof. Prins telah memperkuat kedudukan peradilan Agama di Indonesia, Penulis sependapat dan setuju dengan pandangan Prof. DR. 1. Prins tersebut. Pendapatnya itu benar dan tepat, oleh karena sesul!i dengan ketentuan dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974. Dengan lahirnya UU No.1 Tahun 1974, maka kedudukan pengadilan Agama di Indonesia menjadi semakin kokoh. 9 2. Bahwa dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 maka kedudukan hukum perkawinan Islam "malah lebih diperlemah". Demikian. menurut Prof. DR. 1. Prins. Pendapatnya ini jelas tidak benar. Oleh karena itu penulis menolaknya. Argumentasi beliau, sehubungan dengan pendapatnya itu sarna sekali tidak mendukung. Bahkan, penulis memperoleh kesan, bahwa beliau belum mengkaji masalah ini dari sudut sumber-sumber hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan ijtihad. Lebih lanjut, dari sudut perundang-undangan - dalam hal ini UU No . 1 Tahun 1974 Pasa12 ayat (1) - dengan tegas dirumuskan suatu ketentuan yang sangat asasi yaitu: "perkawinan adalah sah, apahila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keperca- 9 pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 berbu- nyi: "(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a. Pengadilan Agama bagi merelqi yang beragama islam; b . Pengadilan Umurn bagi lainnya". Kiranya ketentuan di atas dapat dipahami bahwa eksistensi Pengadilan Agama semakin diakui eleh UU dan dengan demikian kedudukannyapun menjadi semakin kuat. • • Hukum Perkawinan Islam 53 ., • • yaannya itu" Dari ketentuan illl dapat kiranya disirnpulkan bahwa UU No . 1 Tahun 1974 telah menetapkan hukum agama sebagai t%kukur untuk menentukan apakah suatu perkawinan itu sah atau tidak. Dengan perkataan lain UU No . 1 Tahun 1974 telah menggariskan suatu ketentuan yang sangat esensial dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, ketcntuan mana .bersifat irnperatif. Dengan demikian sepasang calon mempelai yang ingin menikah wajib melaksanakan ketentuan tersebut. Kalau tidak, maka konsekuensinya, perkawinan mereka menjadi tidak sah. Bagi orang-orang yang beragarna Islam , berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 itu , maka hukum perkawman Islam harus diterapkan terhadap mereka. Lebih lanjut, makna dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 itu, sehubungan dengan kedudukan hukum Islam di Indonesia , adalah, bahwa pasal tersebut di atas secara formal hukum , telah memperkuat dan mengukuhkan kedudukan hukum Islam.lO Dengan demikian, je. 10 Dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 19 74 maka teod resepsi secara hukum perundangan telah diangkat dari bumi Republik Indonesia. Lihat buku Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Un dang-undang Perkawinan, cetakan pertama, hIm. 1 yang mengutip pendapat Prof. Mahadi, S.H., bahwa hukum Islam telah Iangsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan/perantaraan hukum adat. Lihat Prof. Mahadi, S.H., Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia Setelah Perang Dunia ke-II (dalam Bidang Perdata) . Proyek BPHN be· kerja sarna dengan Fakultas Hukum USU, 1978, hIm. 31. Selain itu Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam Hukum Kekeluargaan Nasional. hIm. 6, telah menyampaikan kritik beliau laslah, bahwa pendapat Prof. DR. J. Prins mengenai kedudukan hukum perkawinan Islam, .sebagaimana telah disebutkan di atas, sarna sekali bertentangan dengan makna dan maksud dari isi Pasal 2 (1) UU No. 1 Tahun 1974 itu sendiri. 3. Prof. DR. J. Prins berpendapat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menggariskan apa yang disebutnya sebagai "pembatasan-pembatasan", sehubungan dengan (a) poligami dan (b) pelaksanaan hak talak. Untuk kedua hal ini, oleh karena UU No . 1 Tahun 1974 memberikan wewenang kepada pengadilan Agama dalam aplikasinya, maka wewenang tersebut dinilai oleh Prof. DR. J. Prins sebagai suatu campurtangan dati pengadilan Agama. Pendapatnya ini jelas keliru dan oleh karena itu patut ditolak. Pada hemat penulis, dengan dilirnpahkan wewenang kepada pengadilan Agama mengenai pelaksanaan poligami dan hak talak suami, di• pandang dari sudut hukum · Islam, hal ini tiada lain merupakan salah satu rangkaian dari seluruh rangkaian iftihad, sehubungan dengan UU No.1 Tahun 1974 itu. Sebagairnana diketahui , sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, ada kecenderungan di dalam praktek sehari-hari, seorang suami secara sepihak - tanpa sepengetahuan dan persetujuan istrinya - melakukan perkawinan poligami dan dengan sewenang-wenang menjatuhkan talak - tanpa memberikan kesempatan pembelaan kepada istrinya - . Hal ini jelas, sangat bertentangan secara tajam terhadap teod resepsi yang beliau namakan sebagai ajaran iblis. Februari 1987 Hukum dan Pembangunan 54 dengan kaidah-kaidah hukum perkawinan Islam. Sesungguhnya, apa yang dinamakan oleh Prof. DR. J. Prins sebagai "pembatasan-pembatasan" sepanjang mengenai poligami dan hak talak suami itu, selain penyebutannya tidak benar, masalah ini harus dilihat dari sudut motivasi UU No.1 Tahun 1974 itu sendiri, yaitu apakah maksud dan tujuan UU No.1 Tahun 1974 memberikan wewenang dan peranan yang cukup besar kepada pengadilan Agama, sehubungan dengan pelaksanaan poligami dan hak talak suami? Penulis berpendapat, bahwa maksud dan tujuan UU No. 1 Tahun 1974 memberikan wewenang kepada pengadilan Agama -- dalam hal pelaksanaan poligami dan pelaksanaan talak oleh suami -, tiada lain adalah untuk menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum kepada wanita dan hak-hak mereka. Dalam hal poligami, al-Quran telah menggariskan ketentuan, bahwa dibolehkan berpoligami bagi seorang ~uami , akan tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan syarat utama adalah bersikap adil terhadap para istri (maksimal empat orang). Sesungguhnya, syarat ini merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin sanggup dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu, al-Quran memperingatkan apabila syarat utama menegakkan keadilan tidak mungkin terlaksana , "maka kawinlah kamu dengan seorang istri saja".l1 Ketentuan alal-Quran Surah IV:3 : "Jika kamu takut, bahwa kamu tak akan berlaku adil ten11 Quran ini, sesungguhnya mengandung satu prinsip monogami. Oleh karena, perkawinan seorang suami dengan hanya seorang istri pada hakikatnya merupakan suatu perkawinan yang ideal dan sejalan pula dengan fitrah manusia yang diciptakan untuk hidup berpasangan (suami-istri) sebagaimana tercantum dalam Q.S. IV: 1.12. Apabila garis hukum tentang poligami yang diatur di dalam al-Quran kita kaitkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 maka prinsip hukum yang terkandung di dalam al-Quran itu tetap diakui oleh UU No.1 Tahun 1974, sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 3 ayat (2) UUNo. 1 Tahun 1974: "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami un tuk beristri ~lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangtang anak-anak yatim, maka kawinilah olehmu wanita-wanita yang baik bagimu, dua, tiga atau em pat orang. Tetapi jika kamu takut, bahwa tiada akan berlaku adil , maka kawinilah scorang saja , . . . ". Dari ayat ini dapat ditarik dua kesimpulan yaitu (1) dibolehkan poligami bagi seorang suami dengan persyaratan yang sangat ketat ant~ra lain sanggup menegakkan keadilan (bersikap adil) terhadap para istriitu dan (2) prinsip monogami adalah sesungguhnya kehendak al-Quran. Lihat antara lain Tafsir Quran Karim o1eh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, him. 105 . al-Quran surah IV : 1: " Wahai man usia. Takutbh (dalam arti bertakwa) kepada Tuhan-mu yang tdah mendptakan kamu dari diri yang satu dan menjadikan istri dari padanya . . ,". Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasangan yaitu mulai dari Adam dan Hawa. Proses ini merupakan suatu sunnatullah, demikian secara alamiah manusia itu hidup berpasangan (suami-istri). Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Ibid., hIm . 104 . 12 • • • • Hukum Perkawinan Islam 55 kutan" . Ketentuan ini, pada hakikatnya adalah ketentuan yang bersifat implementatif dari asas hukum yang membolehkan poJigami (Q.S. IV:3). Adapun bagaimana pelaksanaan per. kawinan poJigami itu, telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal5 ayat (1) dan (2) UU No.1 Tahun 1974 yo. PP No.9 Tahun 1975 Pasal 40 sampai dengan Pasal 43. Dihubungkan dengan hukum perkawinan Islam, pada hakikatnya Pasal 3, 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974 itu, tiada lain, adalah merupakan suatu hasil ijtihad dengan reasoning untuk kemaslahatan umum (for the public utilityj.13 Tegasnya, kepentingan masyarakat - dalam hal ini kepentingan kaum wanita - wajib dilindungi oleh UU, mengingat pengalaman-pengalaman pada masa pra UU No. 1 Tahun 1974 sering terjadi tindakan yang sewenang-wenang dari pihak suami tethadap istrinya, sehingga merugikan kepentingannya. Mengenai pelaksanaan talak oleh suami, UU No. 1 Tahun 1974 menggariskan ketentuan sebagai berikut : "pasal 39 ayat (1): perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua pihak". Ayat selanjutnya da!am pasa! yang sarna UU No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk melakukan per- 13 atau masalih al-mursalah (istislah) ada- lah satu metode ijtihad yang diintrodusir oleh Imam Malik. Lihat karangan Prof. H. Moh. Daud Ali, S.H.,lbid., hIm. 92. • ceraian harlls ada cukup alasan, bahwa an tara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Sedangkan, bagaimana tata cara perceraian di depan sidang pengadilan itu diatur dalam UU PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal35 . Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 itu harus dibaca dan dipahami sejalan dengan Pasal 63 ayat (1) UU terse but, yaitu yang dimaksud dengan pengadilan bagi mereka yang beragama Islam adalah pengadilan Agama dan bagi yang lainnya adalah pengadilan Negeri. Di dalam praktek peradilan agarna, seorang suami yang ingin menjatuhkan talaknya terhadap istrinya harus mengajukan l1ermohonan ikrar talak kepada pengadilan Agarna di tempa.t tinggal istrinya atau di tempat tinggalnya sendiri, terhadap permohonan suami itu - setelah disidangkan oleh pengadilan Agama dan para pihak dipanggil untuk hadir - dikeluarkan suatu penetapan pengadilan Agama yang diktumnya mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan itu. Hal ini tergantung pada apakah sudah ada cukup alasan untuk ikrar talak tersebut , sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 itu yo. Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975. Terhadap suatu penetapan peng adilan Agama, berkenaan dengan dikabulkannya satu permohonan ikrar talak, maka kepada istri yang tidak puas dan menolak penetapan itu , tetap diberikan hak untuk • menggunakan upaya hukum banding kepada pengadilan Tinggi Agama, apabila perlu sampai pada Februari 1987 • 56 Hukum dan Pembangunan kasasi, bahkan juga peninjauan kern bali melalui Mahkamah Agung. Dari penjelasan penulis sebagaimana disebutkan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa wewenang pengadilan Agama yang diberikan oleh UU dalam hal poligami dan pelaksanaan talak, bukanlah suatu campur-tangan _.- sebagaimana dipahami oleh Prof. DR. J. Prins - akan tetapi adalah suatu wewenang yang wajar dan memang diperlukan, satu dan lain hal, untuk tercapainya pelaksanaan hukum perkawinan secara tertib, adil dan tidak merugikan kepentingan istri. • 4. Mengenai kewajiban memelihara, dalam arti membeayai bekas istri dan anak -anak, seandainya ketentuanini tidak dikenal oleh syari'at Islam klasik - sebagaimana disebutkan oleh Prof. DR. J. Prins-, maka hal ini harus pula dilihat dalam konteks sumber hukum Islam yang ketiga itu - ijtihad --. Untuk kemaslahatan bekas istri dan anakanak suami, maka ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 (b) dan (c) yang substansinya berkenaan dengan masalah akibat putusnya perkawinan, adalah sesuai dan sejalan dengan prinsip istislah dalam ilmu hukum Islam.14 Dengan reasoning ini pula, 14 Prinsip istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik itu dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan kemasyarakatan, apabila tidak ada pengaturannya dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahkan juga di bidang' lalu-lintas (jalan raya), pemasangan traffic ligh t merupakan sesuatu yang wajib, dengan motivasi untuk kemaslahatan umum yaitu an tara lain mencegah kecelakaan lalulin tas. Di sini jelas ada kaitan an tara H ukum Islam dan lalu-lin tas. penulis menolak pendapat Prof. DR. J. Prins terse but. Kesimpulan Dari uraian tersebu t di atas, sampailah penulis pada suatu kesimpulan, bahwasesungguhnya antara hukum Islam dengan UU No.1 Tahun 1974 tidak ada sesuatu hal yang kontradiktif, bahkan sebalL1<nya terdapat suatu hubungan atau kaitan yang erat, dalam makna, cukup banyak asas-asas hukum perkawinan Islam dituangkan dalam UU No.1 Tahun 1974 itu. 15 • • IS Asas-asas h ukum per ka winan Islam ter- sebut antara lain persetujuan pihak,pihak yang akan melangsungkan pernikahan itu, dengan car,a peminangan, tidak semua wanita boleh dinikahi : ada syarat-syarat tertentu untuk melangsungkan perkawinan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah-tangga yang tenteram, damai dan langgeng, suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dan lain-lain. Lihat Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, hIm. 5- 7. • •