Perbandingan kadar gula darah sewaktu pada kedua jenis stroke

advertisement
J Kedokter Trisakti
Vol.23 No.4
Perbandingan kadar gula darah sewaktu
pada kedua jenis stroke
Riani Indiyarti
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK
Membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemik secara cepat adalah langkah yang paling penting karena
penatalaksanaannya berbeda. Cara yang paling akurat adalah pemeriksaan computerized tomography (CT) scan.
Tetapi karena keterbatasan fasilitas dan biaya, tidak semua pasien stroke dapat melaksanakan pemeriksaan CTscan. Pada stroke fase akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif. Hiperglikemia memperburuk defisit neurologik
dan meningkatkan mortalitas. Pemeriksaan gula darah sewaktu adalah pemeriksaan yang mudah dan cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar gula darah sewaktu antara stroke hemoragik dan stroke
iskemik untuk membantu diagnosis jenis stroke. Penelitian comparative cross sectional dilakukan pada 40
penderita stroke iskemik dan 40 penderita stroke hemoragik fase akut yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Diagnosis jenis stroke ditetapkan dengan computerized tomography scan. Dilakukan klasifikasi derajat
defisit neurologik berdasarkan skala National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dan klasifikasi penderita
stroke iskemik menurut Bamford. Pengumpulan data meliputi pemeriksaan gula darah sewaktu, hemoglobin
adult type 1c (HbA1c) dan pengambilan data lainnya. Rata-rata kadar gula darah sewaktu stroke hemoragik
lebih tinggi secara bermakna daripada stroke iskemik (stroke hemoragik 134,3 ± 28,3 mg/dL, stroke iskemik
107,2 ± 21,9 mg/dL), sehingga kadar gula darah sewaktu dapat membantu diagnosis jenis stroke apabila
digabungkan dengan sistem skoring dan pemeriksaan sederhana lainnya.
Kata kunci : Kadar gula darah sewaktu, stroke, hemoragik, iskemik
Comparisson of non-fasting blood glucose level
in both types stroke
ABSTRACT
To differentiate hemorrhagic from ischemic stroke is the most important step in the management of acute
stroke because the clinical management of these two disorders differs substantially. The most accurate method
for distinguishing hemorrhagic from ischemic stroke is computerized tomography (CT) scan. However some
patients do not have access to CT facilities. Increased blood glucose concentration at the time of stroke appear
to be associated with poor outcome. The aim of this study is to know the association between non-fasting blood
glucose level and stroke type. This is a comparative cross sectional study in 40 acute ischemic stroke patients
and 40 acute hemorrhagic stroke patients that were suitable with inclusion and exclusion criteria’s. The nonfasting blood glucose level, brain CT-scan, neurologic deficit status, Bamford’s classification of ischemic stroke,
hemoglobin adult type 1c (HbA1c) and others data were taken. The average hemorrhagic stroke blood glucose
level is significantly higher than ischemic stroke (hemorrhagic stroke 134.3± 28.3 mg/dL, ischemic stroke 107.2
± 21.9 mg/dL). This finding suggested that non-fasting blood glucose level might be used as mean differentiating
hemorrhagic from ischemic stroke when collected together with scoring system and other simple laboratory test.
Keywords : Non-fasting blood glucose level, stroke, hemorrhagic, ischemic
115
Indiyarti
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga
di dunia dan penyebab kecacatan pada usia
produktif dan usia lanjut. (1) Menurut Survei
Kesehatan Nasional tahun 2001, penyakit sirkulasi
(pembuluh darah dan penyakit jantung) merupakan
penyebab utama kematian penduduk Indonesia
sebesar 26,3% dan terbanyak pada usia ≥ 55
tahun.(2) Angka kejadian stroke makin meningkat
di Indonesia sesuai dengan perubahan pola hidup.(3)
Berdasarkan sifat lesi serebral, stroke dibagi
menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan hemoragik
(perdarahan). Sekitar 80% kasus stroke adalah
iskemik dan 20% lainnya merupakan hemoragik.
Membedakan stroke iskemik dan hemoragik adalah
langkah yang paling penting dalam penatalaksanaan
stroke
akut
karena
secara
prinsip
penatalaksanaannya berbeda. Cara yang paling
akurat untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik adalah dengan pemeriksaan
computerized tomography (CT) scan otak.(4) Tidak
semua pasien stroke dapat melaksanakan
pemeriksaan CT-scan. Di Indonesia hanya sebagian
kecil rumah sakit yang mempunyai peralatan CTscan dan terbatas pada kota-kota besar. Di samping
itu keterbatasan sosial ekonomi masyarakat juga
merupakan hambatan untuk dilakukannya
pemeriksaan CT-scan. Sistem skor berdasarkan
data klinis yang didapatkan dari pemeriksaan pada
saat pasien datang dapat membedakan stroke
hemoragik dengan stroke iskemik. Sistem skor yang
telah diformulasikan antara lain adalah The Allen
score (Guy’s Hospital score/GHS), The Siriraj
stroke score (SSS), The Besson score serta
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM). (4-7)
Idealnya cara-cara tersebut harus mempunyai nilai
prediktif 100%, tetapi semua sistem skor tidak dapat
memenuhi ketentuan tersebut. (4,8) Di Bagian
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI) / Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo telah
dilakukan penelitian laboratorium dari sampel darah
untuk membedakan stroke iskemik dan hemoragik.
Kasim (1998) mendapatkan bahwa jumlah lekosit
total dan persentase lekosit polymorphomiclens
(PMN) secara bermakna lebih tinggi pada stroke
116
Kadar gula darah dan stroke
hemoragik dibanding iskemik, sedangkan agregasi
trombosit meninggi dan kadar hematokrit secara
bermakna ditemui meningkat pada stroke iskemik.(9)
Pramadya (1998) mendapatkan perbedaan yang
bermakna antara kadar neuron spesifik enolase
(NSE) serum pada penderita stroke iskemik dan
hemoragik di mana kadar NSE serum pada stroke
iskemik lebih tinggi dari hemoragik.(10)
Davis melaporkan bahwa 6-11% penderita
stroke mengalami hiperglikemia non diabetes
[terjadi peningkatan kadar gula darah dengan
hemoglobin adult type 1c (HbA1c) normal].(11)
Berbagai penelitian menunjukkan adanya
hiperglikemia relatif pada stroke hemorhagik dan
iskemik masing-masing sebesar 30-63%, dan 26,1
- 47,6%.(12,13) Peningkatan kadar gula darah puasa
reaktif pada penderita stroke hemoragik mencapai
puncaknya pada hari kedua, menurun pada hari
ketiga dan menjadi stabil kembali pada hari keempat
dan kelima.(13) Hiperglikemia reaktif pada stroke
fase akut merupakan respons terhadap stres dan
berhubungan dengan prognosis yang lebih
buruk.(11,14-20)
Interaksi antara evaluasi klinis dan hasil
laboratorium yang cepat merupakan hal yang
penting dalam penatalaksanaan stroke akut, maka
cara-cara yang mudah dikerjakan dan tidak
memerlukan waktu yang lama merupakan prioritas
dalam menegakkan diagnosis stroke.(4) Pemeriksaan
gula darah sewaktu adalah pemeriksaan yang
mudah dan cepat diketahui hasilnya, oleh karena
itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
perbedaan kadar gula darah sewaktu antara stroke
hemoragik dan iskemik pada penderita yang
mengalami stroke akut.
METODE
Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional menggunakan rancangan
comparative cross sectional.
Sampel
Sebanyak 40 orang penderita stroke iskemik
dan 40 orang penderita stroke hemoragik yang
J Kedokter Trisakti
dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada bulan Juli 2001 – Mei 2002,
didiagnosis secara klinis dan menggunakan CT-scan
otak dipilih sebagai sampel. Kriteria inklusi
pemilihan sampel adalah : (i) penderita yang
mengalami serangan pertama stroke, (ii) berusia 4565 tahun, (iii) onset 48 jam pertama. Sedangkan
kriteria eksklusi adalah : (i) penderita transient
ischemic attacks, (ii) stroke like syndrome (misal :
perdarahan subdural), (iii) pernah mengalami stroke
sebelumnya, (iv) dalam 2 minggu terakhir
menggunakan terapi steroid, (v) menderita infark
miokard akut, dan (vi) menderita salah satu jenis
penyakit berikut diabetes melitus, koma ketoasidosis
diabetika, koma hiperosmolar non ketotik, atau
koma hipoglikemia.
Cara kerja
Pasien stroke yang sesuai kriteria inklusi dan
bersedia untuk ikut serta penelitian dimasukkan
dalam penelitian ini. Dilakukan pencatatan,
anamnesis, pemeriksaan klinis umum dan
pemeriksaan neurologik untuk menentukan derajat
defisit neurologik menurut skala National Intitutes
of Health Stroke Scale (NIHSS) (ringan : NIHSS
<4, sedang : NIHSS 4-15, berat : NIHSS >15) dan
klasifikasi penderita stroke iskemik menurut
Bamford (lacunar infarct/LACI, partial anterior
circulation infarct/PACI, total anterior circulation
infarct/TACI, posterior circulation infarct/POCI).
Setelah itu diambil darah vena 3 cc untuk
pemeriksaan gula darah sewaktu saat pasien masuk
rumah sakit. Dicatat waktu antara pengambilan
darah dan onset stroke serta waktu makan terakhir.
Gula darah sewaktu langsung diperiksa di
laboratorium instalasi gawat darurat RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan
metoda enzimatik yaitu menggunakan alat Microlab
100 (Merck) dengan regensia Radox. Sedangkan
untuk pemeriksaan HbA1c, darah vena sebanyak
3 cc diambil pada hari kerja berikutnya. Setelah
dicampur EDTA, dilakukan pemeriksaan dengan
cara kromatografi di laboratorium penelitian
Patologi Klinik FKUI / RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan pemeriksaan CT-scan
otak untuk menentukan jenis stroke.
Vol.23 No.4
Analisis data
Uji kai-kuadrat digunakan untuk menguji
kesetaraan jenis kelamin dan derajat defisit
neurologik (nilai NIHSS) kedua kelompok jenis
stroke. Uji Mann Whitney digunakan untuk
membandingkan waktu antara onset sampai dengan
pengambilan darah dan waktu antara makan
terakhir sampai dengan pengambilan darah pada
kedua kelompok jenis stroke. Uji-t digunakan untuk
menguji kesetaraan umur, kadar HbA1c dan untuk
menguji perbedaan rata-rata kadar gula darah antara
kedua jenis stroke.
HASIL
Penelitian ini dilakukan terhadap 80 penderita
stroke iskemik dan hemoragik. Perbandingan jenis
kelamin laki-laki dan wanita besarnya 2,3 : 1.
Perbandingan jenis kelamin pada stroke hemoragik
adalah 3 : 1, lebih tinggi dibandingkan stroke
iskemik sebesar 1,8 : 1.
Defisit neurologik yang dialami penderita
stroke hemoragik sebagian besar adalah derajat
berat (NIHSS >15) sedangkan defisit neurologik
penderita stroke iskemik sebagian besar adalah
derajat sedang (NIHSS 4-15). (Gambar 1)
30
25
20
15
Ringan
10
Sedang
Berat
5
0
Stroke
hemoragik
Stroke iskemik
Gambar 1. Sebaran derajat defisit neurologik
subyek penelitian menurut jenis stroke
Penderita stroke iskemik sebagian besar
(87,5%) dalam kondisi sadar (compos mentis),
sedangkan penderita stroke hemoragik lebih banyak
mengalami penurunan kesadaran, hanya 30% dalam
kondisi compos mentis. (Gambar 2)
117
Indiyarti
Kadar gula darah dan stroke
35
30
25
20
Compos
mentis
15
Somnolen
10
Soporous
5
0
Stroke
hemoragik
Stroke
iskemik
Gambar 2. Sebaran tingkat kesadaran subyek
penelitian menurut jenis stroke
Pada pengelompokkan menurut klasifikasi
Bamford untuk penderita stroke iskemik, lebih
banyak (67,5%) masuk klasifikasi LACI (infark
lakunar). (Gambar 3)
30
25
20
LACI
15
PACI
TACI
10
POCI
5
0
Stroke iskemik
Gambar 3. Klasifikasi Bamford pada
stroke iskemik
Kesetaraan antara kedua jenis stroke
Jenis kelamin, umur dan kadar HbA1c antara
kedua kelompok jenis stroke tidak berbeda secara
bermakna. Waktu antara onset stroke sampai
dengan pengambilan sampel darah pada kelompok
stroke iskemik lebih lama dari stroke hemoragik,
sedangkan waktu antara makan terakhir sampai
dengan pengambilan sampel darah pada kelompok
stroke hemoragik lebih lama dari stroke iskemik.
Derajat defisit neurologik antara kedua kelompok
jenis stroke berbeda secara bermakna. Rata-rata
kadar gula darah stroke hemoragik (134,3 ± 28,3
mg/dL) lebih tinggi secara bermakna (p=0,000)
daripada stroke iskemik (107,2 ± 21,9 mg/dL)
(Tabel 1).
PEMBAHASAN
Jenis kelamin mempengaruhi metabolisme gula
darah, maka pada penelitian ini perlu dilihat sebaran
jenis kelamin pada kedua jenis stroke yang
dibandingkan. Ternyata sebaran jenis kelamin pada
stroke hemoragik tidak berbeda bermakna dengan
stroke iskemik. Umur mempengaruhi metabolisme
gula darah. Usia lanjut yang sehat menunjukkan
peningkatan gula darah puasa 1 mg/dL atau 0,6
mmol/L per dekade dan peningkatan gula darah
akibat respon terhadap tes toleransi glukosa
sebanyak 5 mg/dL atau 0,28 mmol/L per dekade.
Menurut kriteria National Diabetes Data Group,
sekitar 10% usia lanjut mengalami intoleransi
glukosa.(21)
Tabel 1. Perbandingan beberapa variabel penting pada kedua jenis stroke
118
J Kedokter Trisakti
Pada usia lanjut juga terjadi respons abnormal
terhadap stres, sehingga serum kortisol meningkat
lebih tinggi pada usia lanjut. Oleh karena itu pada
penelitian ini umur subyek penelitian dibatasi 4565 tahun dan tidak terdapat perbedaan umur yang
bermakna antara penderita stroke hemoragik dan
iskemik. Selain sebaran jenis kelamin dan umur,
kadar HbA1c pada penderita stroke hemoragik dan
stroke iskemik juga tidak berbeda secara bermakna.
Rata-rata jarak waktu antara onset stroke
sampai pengambilan darah dan rata-rata jarak
waktu antara makan terakhir sampai pengambilan
darah berbeda secara bermakna antara penderita
stroke hemoragik dan iskemik. Walaupun rata-rata
jarak waktu antara makan terakhir sampai dengan
pengambilan darah berbeda, tetapi rata-rata jarak
waktu pada kedua kelompok jenis stroke telah
melebihi waktu toleransi glukosa. Tes toleransi
glukosa pada orang normal menunjukkan bahwa 2
jam setelah pemberian glukosa, gula darah akan
kembali normal. Pada kedua kelompok jenis stroke,
jarak waktu antara makan terakhir dengan
pengambilan darah telah melebihi 2 jam (Tabel 1).
Derajat defisit neurologik/skala NIHSS
berbeda bermakna antara stroke hemoragik dengan
stroke iskemik. Penderita stroke hemoragik
mengalami derajat defisit neurologik yang lebih
berat, lebih cepat dibawa ke rumah sakit sehingga
jarak waktu antara onset sampai dengan
pengambilan darah lebih pendek. Sebagian besar
penderita stroke hemoragik mengalami penurunan
kesadaran, tidak dapat diberi makan/minum secara
oral sehingga jarak waktu antara makan terakhir
dengan pengambilan darah lebih panjang.
Rata-rata kadar gula darah sewaktu berbeda
bermakna antara stroke hemoragik (134,3 ± 28,3
mg/dL) dengan iskemik (107,2 ± 21,9 mg/dL).
Penderita stroke hemoragik menunjukkan kadar
gula darah sewaktu yang lebih tinggi daripada stroke
iskemik, sesuai dengan derajat defisit neurologik
yang lebih berat meskipun jarak waktu antara onset
sampai pengambilan darah lebih pendek dan jarak
makan terakhir sampai pengambilan darah lebih
panjang. Hal ini menunjukkan adanya stres yang
lebih besar dan respon terhadap stres yang lebih
kuat pada stroke hemoragik. Rata-rata gula darah
pada stroke hemoragik adalah 134,3 mg/dL dengan
Vol.23 No.4
rata-rata jarak waktu antara makan terakhir sampai
dengan pengambilan darah 9,7 jam, sehingga dapat
diasumsikan sebagai gula darah puasa (minimal
puasa 8 jam). Dengan demikian dapat dikatakan
pada penderita stroke hemoragik terdapat
hiperglikemia reaktif (gula darah puasa >110 mg/
dL).
Terdapat beberapa asumsi yang dapat
menerangkan mengapa gula darah stroke hemoragik
lebih tinggi daripada stroke iskemik. Peningkatan
tekanan intra kranial lebih banyak dan lebih cepat
terjadi pada stroke hemoragik. Inflamasi akut juga
akan mengaktivasi aksis hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) melalui aksi integrasi dari
proinflamatory cytokines. Adrenocorticotropin
hormone (ACTH) yang diinduksi cytokines (TNF
/ tumor necrotizing factor), IL-1, IL-2,IL-6 akan
mengaktivasi sekresi CRH (corticotrophin
releasing hormone) dan arginin vasopressin (AVP)
dari hipotalamus, ekspresi gen proopiomelanocortin
(POMC) hipofise yang akan menghasilkan
peningkatan kortisol.(22) Pada stroke hemoragik,
inflamasi disebabkan kerusakan jaringan dan
adanya darah di luar pembuluh darah yang bersifat
sebagai benda asing.
Meskipun berbeda bermakna, tetapi rata-rata
kadar gula darah sewaktu pada kedua jenis stroke
relatif tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan umur
subyek penelitian dibatasi 45-65 tahun. Apabila
dilakukan penelitian pada usia lanjut kemungkinan
didapatkan rata-rata kadar gula darah sewaktu yang
lebih tinggi karena pada usia lanjut terdapat respon
yang lebih kuat terhadap stres (kortisol meningkat
lebih tinggi). (21) Sehingga dapat dikatakan
hiperglikemia reaktif pada stroke usia muda relatif
tidak begitu tinggi. Kondisi ini dapat memberikan
tambahan keterangan bahwa outcome dan prognosis
stroke usia muda lebih baik karena hiperglikemianya
lebih ringan, sehingga efek buruk hiperglikemia
lebih ringan. Bila dikaji lebih lanjut ternyata
penderita stroke iskemik sebagian besar tidak
mengalami penurunan kesadaran (compos mentis
87,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Zacharia
(1994) yang mendapatkan perbedaan bermakna dan
hubungan linier antara beratnya penurunan
kesadaran dengan terjadinya hiperglikemia
reaktif.(13) Sebagian besar subyek penelitian stroke
119
Indiyarti
iskemik termasuk klasifikasi lacunar infarct / LACI
(67,5%), sehingga timbul pemikiran bahwa infark
lakunar tidak menyebabkan hiperglikemia reaktif.
Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai
hubungan kadar gula darah dengan klasifikasi
Bamford pada stroke iskemik.
Baik hiperglikemia maupun hipoglikemia
dapat memperberat kerusakan neuron. Hipoglikemia
menyebabkan abnormalitas regulasi pH intraselular,
sintesis protein, fungsi membran, metabolisme asam
amino dan pelepasan neurotransmiter.
Hiperglikemia, baik pada hiperglikemia reaktif
maupun pada diabetes mellitus, menyebabkan
asidosis intraselular yang berakibat kerusakan
neuron, jaringan glial dan jaringan vaskular,
sehingga hiperglikemia berhubungan dengan
outcome yang lebih buruk.(20,22-25) Oleh karena itu
mempertahankan kondisi normoglikemia menjadi
bagian yang penting dalam penatalaksanaan
stroke.(26) Kadar gula darah diusahakan secepat
mungkin dikontrol dalam rentang 100-150 mg/dL.
Sedangkan untuk penderita diabetes mellitus,
disarankan target gula darah antara 100-200 mg/
dL.(27,28)
Kadar gula darah dan stroke
yang tidak dapat melaksanakan pemeriksaan CTscan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Dr. Fachrida Moeliono
SpS(K) Alm dan Dr. Jofizal Jannis SpS(K) yang
telah membimbing penelitian ini serta kepada
Dr. Joedo Prihartono MPH yang telah membimbing
metodologi dan statistik.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
KESIMPULAN
Kadar gula darah sewaktu stroke hemoragik
lebih tinggi daripada stroke iskemik, sehingga
pemeriksaan gula darah sewaktu dapat membantu
menegakkan diagnosis jenis stroke apabila
digabungkan dengan sistem skoring dan
pemeriksaan laboratorium sederhana lainnya
5.
6.
SARAN
7.
Diperlukan penelitian dengan jumlah sampel
yang lebih besar dan rentang usia yang lebih luas
untuk mendapatkan titik potong (cut off point) kadar
gula darah sewaktu antara stroke hemoragik dan
stroke iskemik yang lebih tepat. Disarankan
penelitian dengan menggabungkan nilai kadar gula
darah sewaktu dengan sistem skoring dan
pemeriksaan laboratorium sederhana lainnya untuk
menentukan jenis stroke sehingga dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas sistem
skoring untuk diagnosis jenis stroke pada pasien
120
8.
9.
Wolf PA, Cobb JL, D’Agostino RB. Epidemiology
of stroke. In: Barnett HJM, Stein BM, Mohr JP,
Yatsu FM. Stroke: pathophysiology, diagnosis and
management. 2 nd ed. New York: Churchill
Livingstone. 1992. p. 3-27.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survei
Kesehatan Nasional tahun 2001. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002.
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di
Indonesia. Kelompok Study Serebrovaskular dan
Neurogeriatri. PERDOSSI. 1999.
Bogousslavsky J, Castillo V. What is the place of
clinical assessment in acute stroke management ?
In: Bogousslavsky J, editor. Acute stroke treatment.
London: Martin Dunitz Ltd. 1997. p. 15-31.
Sandercock PAG, Allen CMC, Corston RN,
Harrison MJG, Warlow CP. Clinical diagnosis of
intracranial haemorrhage using Guy’s Hospital
Score. BMJ 1985; 291: 1675-77.
Poungvarin N, Viriyavejakul A, Komotri C. Siriraj
stroke score and validation study to distinguish
supretentorial intracerebral haemorrhage from
infarction. BMJ 1991; 302: 1565-7.
Lamsudin R. Algoritma stroke Gadjah Mada –
Penerapan klinis untuk membedakan stroke
perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik
akut atau stroke infark. Berkala Ilmu Kedokteran
1997; 29: 11-6.
Weir CJ, Murray GD, Adams FG, Muir KW,
Grosset DG, Lees KR. Poor accuracy of stroke
scoring systems for differential clinical diagnosis
of intracranial haemorrhage and infarction. Lancet
1994; 344: 999-1002.
Kasim Y. Perbedaan nilai komponen korpuskular
darah dan fibrinogen pada stroke iskemik dan
hemoragik akut. Tesis. 1998.
J Kedokter Trisakti
10. Pramadya G. Uji diagnostik neuron spesifik enolase
pada penderita stroke iskemik dan stroke perdarahan
di bagian neurology RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Tesis. 1998.
11. Davis SM. New information about managing
temperature, blood pressure and glucose in acute
ischemic stroke. Ann Am Neurol 2000: 2FC.00.112.
12. Kooten F, Hoogerbrugge N, Naarding P, Koudstaal
PJ. Hyperglycaemia in the acute phase of stroke is
not caused by stress. Stroke 1993; 24: 1129-32.
13. Zacharia TS. Hiperglikemia reaktif pada stroke
fase akut. Tesis Bagian Neurologi FKUI. 1994.
14. Slowik A, Zwolinska G, Tomik B, WyrwiczPetkow U, Szczudlik A. Prognostic significance
of transient hyperglycemia in acute phase of
ischemic stroke. Neurol Neurochir Pol. 1998; 32:
317-29.
15. Kagansky N, Levy S, Knobler H. The role of
hyperglycemia in acute stroke. Arch Neurol. 2001;
58: 1209-12.
16. Capos SE, Hunt D, Malmberg K, Pathak P,
Gerstein HC. Stress hyperglycemia and prognosis
of stroke in nondiabetic and diabetic patients.
Stroke. 2001; 32: 2426.
17. Christensen H, Boysen G. Blood glucose increases
early after stroke onset: a study on serial
measurements of blood glucose in acute stroke. Eur
J Neurol. 2002; 9: 297-301.
18. Mazighi M, Amarenco P. Hyperglycemia: a
predictor of poor prognosis in acute stroke.
Diabetes Metab. 2001; 27: 718-20.
19. Bruno A, Biller J, Adams Hp, Clarke WR, Woolson
RF, Williams LS, et al. Acute blood glucose level
and outcome from ischemic stroke. Neurology
1999; 52: 280-4.
Vol.23 No.4
20. Weir CJ, Murray GD, Dyker AG, Lees KR. Is
hyperglycaemia an independent predictor of poor
outcome after acute stroke ? Results of a long term
follow up study. Br Med J 1997; 314: 1303-6.
21. Greenspan SL, Resnick NM. Geriatric
endocrinology. In: Greenspan FS, editor. Basic and
clinical endocrinology. 3rd ed. Appleton & Lange.
1991. p. 741-56.
22. Melmed S. Disorders of the anterior pituitary and
hypothalamus. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jamesan JL, editors.
Harrison’s principles of internal medicine. 15th ed.
Mc Graw-Hill. New York. 2001: 2029-52.
23. Bruno A, Levine SR, Frankel R, Brott TG, Lin Y,
Tilley BC, et al. Admisson glucose level and
clinical outcomes in the NINDS rt-PA stroke trial.
Neurology 2002; 59: 669-74.
24. Demchuk AM, Morgenstern LB, Krieger DW, Chi
TL, Hu W, Wein TH, et al. Serum glucose level
and diabetes predict tissue plasminogen activator
– related intracerebral hemorrhage in acute
ischemic stroke. Stroke 1999; 30: 34-9.
25. Bhalla A, Sankaralingam S, Tilling K,
Swaminathan R, Wolfe C, Rudd A. Effect of acute
glycaemic index on clinical outcome after acute
stroke. Cerebrovasc Dis 2002; 13: 95-101
26. Deibert E., Diringer MN. The intensive care
management of acute ischemic stroke. The
Neurologist 1999; 5: 313-25.
27. Krieger D., Hacke W. Intesive care treatment of
ischemic stroke. In: Bogouslavsky J, editor. Acute
stroke treatment. London Martin Dunitz .1997. p.
79-108.
28. Whitehouse FW. Management of diabetes in
stroke. Primer on cerebrovascular disease.
Academic Press 1997. p. 689-91.
121
Download