1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma nasofaring

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang muncul di lapisan
epitel nasofaring, yaitu area di belakang hidung dan di atas tenggorok (Tsao
et al, 2014; Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015). Kejadian
terbanyak biasanya merupakan keganasan yang berasal dari sel skuamosa
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015). Menurut tipe histologinya,
WHO mengklasifikasikan KNF menjadi tiga, yaitu karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi (tipe I), karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi (tipe II) dan
karsinoma tidak berdiferensiasi non-keratinisasi (tipe III) (American Cancer
Society, 2011).
Secara umum, KNF merupakan salah satu jenis kanker yang cukup
jarang terjadi di dunia. KNF merupakan kanker yang paling sering terjadi
nomer 23. Pada tahun 2002, hanya 80.000 kasus insidensi KNF yang
terdiagnosis (Parkin et al, 2005). Kini, angka insidensinya pada laki-laki
maupun perempuan mencapai 1,2 per 100.000 orang, dengan penyesuaian
umur (Ferlay et al, 2010).
Di daerah Asia Timur dan Tenggara, angka kejadian KNF cukup tinggi.
Kasus KNF di Cina Selatan merupakan angka insidensi yang tertinggi, yaitu
mencapai
40-50
kasus
Penanggulangan Kanker,
per
100.000
2015).
penduduk
Sedangkan
di
(Komite
Nasional
negara-negara
Asia
Tenggara, angka insidensinya termasuk dalam kategori intermediet (Parkin
et al., 2002). Begitu pula di Indonesia, KNF dikenal sebagai keganasan
1
2
leher yang paling umum terjadi (Adham et al, 2014). Keganasan ini
menempati urutan keempat yang sering ditemukan, setelah kanker leher
rahim, kanker payudara dan kanker paru-paru, dengan insidensi mencapai
6,2 per 100.000 penduduk (Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015;
Adham et al, 2014). Kejadiannya lebih sering menyerang laki-laki produktif.
Data terakhir menunjukkan bahwa perbandingan kasus pada laki-laki dan
perempuan adalah 2,18:1 (Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015;
Tsao et al, 2014) Pada perempuan, keganasan ini menempati urutan kelima,
setelah kanker payudara, kanker leher rahim, kanker ovarium dan kanker
tiroid. Sedangkan pada laki-laki, keganasan ini menempati urutan pertama
(Suzana, 2007).
KNF ini dapat terjadi pada segala umur. Baik tua maupun muda dapat
berisiko mengalami KNF. Namun, diketahui bahwa angka insidensi KNF
meningkat pada umur 45-65 tahun (Komite Nasional Penanggulangan
Kanker, 2015; Tsao et al, 2014).
Sebenarnya, banyak faktor risiko yang dapat memicu kejadian KNF.
Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) dan kerentanan genetik telah terbukti
memiliki peran yang besar dalam meningkatkan insidensi KNF di populasi
berisiko (Chang dan Adami, 2006). Tidak hanya itu, beberapa studi telah
membuktikan bahwa faktor lingkungan juga memiliki peranan penting dalam
hal ini. Diantara faktor lainnya, pola makan menjadi salah satu faktor penting
yang memiliki hubungan dengan kejadian KNF, baik di daerah dengan angka
insidensi tinggi maupun rendah (Jia dan Qin, 2012; Gallicchio et al, 2006;
Chang dan Adami, 2006).
3
Di Indonesia, pola makan yang sehat masih belum dapat dilakukan oleh
seluruh lapisan
masyarakat.
Banyak
masyarakat
yang
tidak dapat
mengonsumsi sayur dan buah dalam kesehariannya. Dengan alasan
sedikitnya waktu yang ada, masyarakat lebih banyak mengonsumsi
makanan cepat saji yang kaya akan pengawet. Bakso, sosis, mie instan dan
berbagai jenis makanan yang diawetkan lainnya menjadi pilihan untuk
dikonsumsi. Kondisi inipun bertambah parah dengan belum adanya
kebijakan khusus dari pemerintah yang mengatur penggunaan bahan
pengawet pada makanan juga membuat penjual bergerak bebas menjualkan
barang dagangannya. Tidak heran, seperti yang dilaporkan dalam The
Jakarta Post, banyak bahan terlarang seperti formalin dan boraks yang
ditemukan di makanan yang dijual bebas ditengah-tengah masyarakat
(Hidayah dan Muharrami, 2014).
Padahal, sebenarnya konsumsi buah dan sayur serta makanan yang
diawetkan memiliki keterkaitan yang erat dengan kejadian KNF. Pola makan
sayur dan buah yang cukup terbukti dapat menurunkan risiko KNF sebesar
30-50% (Jia dan Qin, 2012). Selain itu, asupan makanan yang diawetkan
menjadi salah satu jenis faktor risiko KNF. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa tingginya asupan ikan asin, terutama ikan asin yang
dibuat dengan sedikit garam dan suhu fermentasi tinggi pada proses
pengeringannya, dapat menyebabkan KNF (Ho, 1972; Yu et al, 1986; World
Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research, 2007).
Hal yang mengaitkan konsumsi makanan yang diawetkan ini dengan
KNF adalah kandungan nitrosamin di dalamnya. International Agency for
Research on Cancer (IARC) menyebutkan bahwa nitrosamin pada ikan asin
4
bersifat karsinogenik. Hal tersebut mengantarkan ikan asin Kanton sebagai
makanan yang masuk dalam kelompok karsinogen nomer 1 dan ikan asin
jenis lainnya dalam kelompok karsinogen nomer 3 (Lau et al, 2013).
Sebagai zat karsinogen, makanan yang diawetkan mempunyai dampak
buruk bagi kesehatan. Paparan karsinogen tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan DNA di dalam jaringan. Jaringan yang rusak akan
memberikan respon aktivasi inflamasi. Inflamasi kronik dapat mengarah
kepada perkembangan kanker. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi tumor
microenvironment (TME) dan berkontribusi pada terjadinya proliferasi,
survival, angiogenesis dan metastasis sel kanker (Hendrik et al, 2011;
Mantovani, 2010).
Beberapa penanda inflamasi telah sering digunakan sebagai salah satu
ciri risiko kanker. Studi menunjukkan bahwa peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP) memiliki hubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kanker (Guo et al,2013; Tricopoulus et al, 2006). Pada kejadian KNF, CRP
sebagai penanda inflamasi juga sering digunakan sebagai faktor prognosis.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa konsentrasi hsCRP serum
memiliki hubungan dengan kejadian KNF. Hubungan positif terlihat pada
setiap tahap perkembangan kanker (The Classification of Malignant Tumor /
TNM) (Jiang et al., 2010).
Meskipun telah banyak penelitian yang menghubungkan asupan
makanan dengan kejadian KNF, penelitian tersebut kebanyakan terbatas
pada daerah dengan angka insidensi yang tinggi. Hal yang sama juga terjadi
pada studi hubungan antara kadar CRP darah dan kejadian KNF. Selain itu,
di Indonesia, khususnya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, penelitian
5
mengenai hubungan asupan makanan, kadar CRP darah dan kejadian KNF
dalam satu studi belum pernah dilakukan sebelumnya. Terlebih kadar CRP
darah yang dipaparkan dalam bentuk konsentrasi High-sensitivity C-reactive
protein (hsCRP). Berdasarkan hal inilah, peneliti berniat untuk menggugah
ide ini sebagai dasar dalam penelitian ini. Penelitian difokuskan pada
kejadian KNF pada laki-laki karena angka insidensinya yang lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut.
1. Apakah ada hubungan antara asupan makanan dan kejadian karsinoma
nasofaring (KNF) pada laki-laki?
2. Apakah ada hubungan antara konsentrasi high-sensitivity C-reactive
protein (hsCRP) darah dan kejadian karsinoma nasofaring (KNF) pada
laki-laki?
3. Apakah ada hubungan antara asupan makanan dan konsentrasi highsensitivity
C-reactive
protein
(hsCRP)
darah
terhadap
kejadian
karsinoma nasofaring (KNF) pada laki-laki?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara asupan makanan dan
kejadian karsinoma nasofaring (KNF) pada laki-laki.
2. Untuk mengetahui adanya hubungan antara konsentrasi high-sensitivity
6
C-reactive protein (hsCRP) darah dan kejadian karsinoma nasofaring
(KNF) pada laki-laki.
3. Untuk mengetahui adanya hubungan antara asupan makanan dan
konsentrasi high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) darah terhadap
kejadian karsinoma nasofaring (KNF) pada laki-laki
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk akademisi dan peneliti:
a. Memberikan gambaran informasi mengenai asupan makanan pada
laki-laki dengan karsinoma nasofaring (KNF) maupun laki-laki sehat.
b. Memberikan gambaran informasi sebaran konsentrasi high-sensitivity
C-reactive protein (hsCRP) darah pada laki-laki dengan karsinoma
nasofaring (KNF) maupun laki-laki sehat.
c. Memberikan gambaran informasi mengenai hubungan antara asupan
makanan, konsentrasi high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP)
darah dan kejadian karsinoma nasofaring (KNF) pada laki-laki.
2. Untuk pemegang kebijakan:
a. Sebagai dasar masukan pengembangan kebijakan terkait peredaran
makanan yang diawetkan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Studi mengenai hubungan antara asupan makanan dengan kejadian
karsinoma nasofaring (KNF) serta hubungan antara kadar C-reactive protein
(CRP) darah dengan KNF sudah banyak dilaporkan secara terpisah. Namun,
7
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan
makanan, konsentrasi high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) dan
kejadian karsinoma nasofaring (KNF), khususnya pada laki-laki, dalam satu
studi belum pernah dilaporkan, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berikut beberapa penelitian pembanding yang pernah dilakukan.
1. Yuan et al. (2000). Preserved food in relation to risk of nasopharyngeal
carcinoma in Shanghai, China.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor
diet, yaitu makanan yang diawetkan, dengan risiko kejadian KNF.
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara asupan makanan yang diawetkan dengan
kejadian KNF dengan studi kasus kontrol berbasis populasi. Data asupan
makan juga diperoleh dengan metode food frequency questionnaire
(FFQ) dan dianalisis dengan uji regresi logistik unconditional. Namun,
terdapat perbedaan, yaitu kelompok subjek yang diteliti berumur 15-74
tahun yang kemudian ditanyai estimasi frekuensi asupan 38 kelompok
makanan spesifik Shanghai, China dalam sehari, seminggu, sebulan
maupun setahun. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan yang
mengambil sampel kelompok berumur >18 tahun yang diberikan pilihanpilihan estimasi frekuensi asupan makanan Indonesia.
2. Gallicchio et al. (2006). Adulthood consumption of preserved and
nonpreserved vegetables and the riskof nasopharyngeal carcinoma: A
systematic review.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
asupan sayuran yang diawetkan dan tidak diawetkan dengan risiko
8
berkembangnya KNF. Persamaan dengan penelitian ini adalah samasama bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan makanan
yang diawetkan dengan kejadian KNF. Namun, terdapat perbedaan,
yaitu asupan makanan yang diteliti pada penelitian ini berfokus pada
sayuran yang diawetkan saja. Sedangkan pada penelitian, asupan
makanan yang diawetkan diambil dari keseluruhan jenis makanan yang
diawetkan, baik berasal dari sayuran maupun bukan. Kemudian, desain
penelitian yang digunakan adalah penelaahan sistematik (systematic
review), berbeda dengan penelitian yang menggunakan desain penelitian
kasus kontrol tersarang (nested case control).
3. Yu et al. (1988). Preserved foods and naso-pharyngeal carcinoma: A
case-control study in Guangxi, Cina.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
asupan makanan yang diawetkan dengan kejadian KNF. Persamaan
dengan penelitian ini adalah sama-sama bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara asupan makanan yang diawetkan dengan kejadian
KNF. Namun, terdapat perbedaan, yaitu desain penelitian yang
menggunakan desain penelitian kasus kontrol, sedangkan penelitian
penulis menggunakan desain penelitian kasus kontrol tersarang. Selain
itu, penelitian ini dilakukan pada populasi dengan tingkat insidensi tinggi,
yaitu di Guangxi, Cina. Hal ini berbeda dengan penelitian penulis yang
dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
4. Jiang et al. (2010). Relationship between C-reactive protein and clinical
stage in nasopharyngeal carcinoma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar
9
CRP darah dengan tahap klinis pada KNF. Persamaan dengan penelitian
ini adalah sama-sama bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar CRP
antara dengan kejadian KNF. Namun, terdapat perbedaan, yaitu tujuan
penelitian ini lebih berfokus pada kadar CRP di tahapan-tahapan klinis
KNF, tidak hanya pada risikonya akan kejadian KNF tersebut. Kemudian,
konsentrasi hsCRP diukur dengan metode immunoturbidimetri, bukan
ELISA seperti yang dilakukan pada penelitian ini.
5. Zeng et al. (2015). Serum C-reactive protein predicts poor prognosis in
patients with locoregionally advanced naso-pharyngeal carcinoma
treated with chemo-radiotherapy.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar
CRP serum dengan prognosis pasien KNF lokoregional lanjut yang
ditangani dengan kemoterapi. Persamaan dengan penelitian ini adalah
sama-sama bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar CRP antara
dengan kejadian KNF. Namun, terdapat perbedaan, yaitu subjek hanya
dikhususkan kepada pasien KNF loko-regional lanjut yang ditangani
dengan
kemoterapi.
Perbedaan
lainnya
terdapat
pada
metode
perhitungan peningkatan kadar CRP yang menggunakan the Kaplan–
Meier method, berbeda dengan penelitian penulis yang menggunakan
metode ELISA.
6. Strumylaite et al. (2006). Salt-preserved foods and risk of gastric cancer.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara risiko
kanker lambung dan konsumsi garam serta makanan yang diawetkan
dengan
menggunakan
garam.
Persamaan
penelitian
ini
dengan
penelitian penulis adalah tujuan penelitian yang ingin mengetahui
10
hubungan faktor asupan makanan yang diawetkan dengan risiko
kejadian suatu kanker. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
metode analisis regresi logistik. Namun, terdapat perbedaan dengan
penelitian penulis yaitu penelitian ini hanya berfokus pada makanan yang
diawetkan dengan garam, bukan makanan yang diawetkan secara
keseluruhan. Kemudian, penelitian ini lebih berfokus pada kejadian
kanker lambung, bukan KNF.
7. Erlinger et al. (2004). C-Reactive Protein and the Risk of Incident
Colorectal Cancer
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
peningkatan konsentrasi plasma CRP dengan risiko kejadian kanker
kolon dan rektum. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis
adalah tujuan penelitian yang ingin mengetahui hubungan antara kadar
CRP darah dengan risiko kejadian suatu kanker. Pada penelitian ini,
digunakan pula desain penelitian nested case control study. Perbedaan
dengan penelitian penulis adalah fokus penelitian yang tertuju pada
kejadian kanker kolon dan rektum, bukan KNF.
Download