Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge)

advertisement
Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge)
“Pasompe” Bugis-Makassar dalam Menjelajah Nusantara
Sakaria J. Anwar
Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Hasanuddin Makassar
Email; [email protected]
Abstract
Human in act is always based on experience gained by interaction process among five senses owned
by him with some objects. Then, the formed experience affects someone’s attitude and action from
generation to generation in the community called local knowledge by the humanists or sometimes
also called local wisdom. Historically, Indonesians well-known as talented sailors, they sailed on the
wide oceans bravely until sailing trough the continent. Therefore, it is metioned in a song existing
in our mind up to now as “nenek moyangku seorang pelaut” (my great-grand parent is a sailor).
The courage and resilience of the Indonesians as a sailor was proved by the “merchants” BugisMakassar as “merchant seaman” (passompe) crossing the islands of archipelago until Madagascar
and Africa at the time. The courage and resilience of the “Pasompe” Bugis-Makassar in sailing
the ocean were absolutely based on local knowledge (indigenous knowledge) which was applied
by generation to generation. Before making a definitive action, on themselves always passed the
process “intellectual exercise” around the idea. So there was a process of interaction “stimulus
responses” to anticipate and take real action. This interactional dynamics are more complex, when
there are a number of contextual factors also affecting self of “Pasompe” such as norms and value
systems, ecological setting, and historical settings that affect the experience and way of taking
decision to act. Understanding of context of interaction among actors results communicative action
(komunikativen handeln), then establishes the similarity of view (lifeworld) about life and work
choices (rational choice) as “Pasompe”. That condition makes “Passompe” to surfive up to now.
Keywords: local knowledge (local wisdom), merchant mariner (passompe), intellectual exercise,
stimulus response, communicative action, rational action.
Pendahuluan
Manusia dalam bertindak senantiasa
didasarkan pada pengalaman yang diperolehnya melalui proses interaksi antara
pancaindera yang ada padanya dengan
berbagai obyek. Pengalaman yang terbentuk itu kemudian mempengaruhi prilaku
seseorang dari generasi ke generasi dalam
suatu komunitas tertentu, yang oleh kalangan budayawan disebut pengetahuan
lokal (local knowledge) atau kadang juga
disebut kearifan local (local wisdom). Berbicara mengenai hal ini sangat sulit kita
lepas dari pembahasan aspek masa lalu
atau cultural studi (I Gusti Ngurah Bagus). Namun dalam tulisan ini, akan lebih
difokuskan pada bagaimana pengetahuan
lokal mempengaruhi tindakan rasional
dan tindakan komunikatif dari suatu komunitas tertentu. Pada kesempatan ini,
66
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
penulis tertarik menelusuri bagaimana
rasionalitas para “Pasompe” BugisMakassar mengarungi lautan luas untuk
melakukan misi dagangnya.
Secara historis bangsa Indonesia dikenal sebagai pelaut yang ulung, mereka dengan gagah berani mengarungi samudera
yang luas hingga melintasi benua. Karena
itu tersebutlah dalam sebuah lagu yang
hingga saat ini kita masih ingat “nenek
moyangku seorang pelaut”. Keberanian
dan ketangguhan bangsa Indonesia sebagai pelaut itu telah dibuktikan oleh
para “saudagar” Bugis-Makassar sebagai “pelaut pedagang” yang menyusuri
kepualauan nusantara hingga sampai ke
Madagaskar dan Afrika kala itu. Tradisi
orang Bugis-Makassar sebagai “pelautpedagang” tersebut oleh Abu Hamid
disebut “Pasompe”.
Keberanian dan ketangguhan para
“Pasompe” Bugis-Makassar dalam mengarungi samudera tentu didasari oleh
pengetahuan dan tata cara tersendiri atau
pengetahuan lokal (indigenous knowledge) sebagaimana dimiliki secara turun
temurun di kalangan mereka. Didalamnya terdapat perpaduan nilai-nilai dan
norma yang diperkuat keyakinan mereka serta prilaku mereka yang senantiasa
menyatu dengan alam. Mereka memiliki
pengetahuan, tata cara, nilai dan norma
yang menjadi dasar rasionalitas dalam
bertindak. Sebelum melakukan tindakan
yang defenitif, pada diri mereka selalu
mengalami proses “intelektual exercise”
dalam wilayah gagasannya. Jadi ada
proses interaksi “stimulus respons” dalam
mengantisipasi dan mengambil langkah
tindakan nyata. Dinamika interaksional
stimulin ini semakin kompleks, manakala
terdapat sejumlah faktor kontekstual ikut
berpengaruh pada diri “Pasompe” seperti
norma dan sistem nilai, setting ekologi,
dan setting sejarah yang mempengaruhi
pengalaman serta cara berpikirnya dalam
pengambilan keputusan untuk bertindak.
Akan tetapi proses berpikir (intelektual exercise) tidak akan terjadi tanpa
didukung oleh pemaknaan (meaning)
dari seluruh pesan yang diterima dalam
bentuk simbol-simbol. Pemahaman atas
konteks interaksi antaraktor melahirkan
tindakan komunikatif (komunikativen
handeln) “Pasompe”. Tindakan komunikatif yang terbangun dari proses berpikir
dari masing-masing “Pasompe” selanjutnya membentuk kesamaan pandang
(lifeworld) mengenai kehidupan dan
pilihan pekerjaan (rational choice) sebagai “Pasompe”. Kondisi yang demikian
itulah yang membuat “Pasompe” survive
sampai saat ini. Untuk lebih memperkuat
keberadaannya, maka mereka menyatukan diri dengan membentuk persatuan
“Saudagar” Bugis-Makassar yang setiap
tahun berkongres.
Eksistensi para “Pasompe” BugisMakassar tersebut menjadi kajian menarik
oleh berbagai kalangan. Pada kesempatan ini penulis memfokuskan diri pada
pertanyaan kritis “bagaimana eksistensi
para “Pasompe” Bugis-Makassar mengarungi lautan luas untuk melakukan misi
dagangnya?”
I. Kerangka Berpikir
a. Teori Rasionalitas
Konsep rasionalitas dipakai oleh
Weber dalam berbagai konteks, seperti
segi-segi tindakan tertentu, keputusan,
dan pandangan dunia sistematis. Yang
terpenting dari semua itu rasionalitas tindakan. Sebagai ciri tindakan rasionalitas
mengacu pada perhitungan yang masuk
akal untuk mencapai sasaran berdasarkan
pilihan, sarana yang masuk akal, serta
efisien yang mengacu pada perumusan
nilai-nilai tertinggi dalam mengarahkan
tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian
nilai-nilai tersebut.
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
Rasionalitas disebut Weber “Zweckrational” atau “rasionalitas tujuan”. Cirinya
formal sebab orang yang bekerja dengan
rasionalitas ini hanya mementingkan caracara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai
kesadaran. Kesadaran akan nilai-nilai etis,
estetis dan religious oleh Weber disebut
“Wertrational” atau “rasionalitas nilai”.
Cirinya substantif sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalnya terhadap nilai
yang dihayatinya secara pribadi. Tindakan
rasionalitas nilai oleh Weber disebut tindakan tradisional yang didorong oleh emosi
dan afeksi. Tindakan rasional nilai itu
merupakan deduksi kaidah-kaidah praktis
dari prinsip-prinsip universal, misalnya
kesamaan dan keadilan yang dinyatakan
hukum kodrat.
Asumsi penting dalam teori tindakan
(rasionalitas) adalah tindakan apapun
bentuk dan arahnya selalu diputuskan
pada tingkat individu. Penentuan sebuah
tindakan yang defenitif, selalu didahului
oleh proses “intelectual exercise” (apapun
kualitasnya) yang dilangsungkan pada
wilayah gagasan seseorang. Bila keputusan itu dilakukan oleh suatu “organisasi
sosial” (entitas sosial), maka proses pengambilan keputusannya akan berjalan layaknya proses yang terjadi pada individu.
Ada proses interaksi “stimulus-respons”
dalam mengantisipasi dan mengambil
langkah tindakan nyata. Dinamika interaksional stimuli dan respons memasuki
tataran yang semakin kompleks, manakala
sejumlah faktor kontekstual seperti norma
dan sistem nilai, setting ekologi-kawasan
dimana keputusan akan diambil dan dijalankan, setting sejarah yang mempengaruhi pengalaman dan cara berpikir, masuk
ke dalam proses pengambilan keputusan
tindakan. Dengan demikian, tindakan
yang ditunjukkan merepresentasikan resultante bekerjanya sejumlah “kekuatan”
67
yang berpengaruh.
Pengambilan dan penetapan sebuah
keputusan suatu tindakan akan melibatkan sejumlah pilihan masuk akal (rational
coice) yang diambil setelah mempertimbangkan kehadiran sejumlah faktor.
Dalam rangka memproduksi sebuah
tindakan seorang individu dapat memanipulasi, memanfaatkan ataupun sekedar
mempertimbangkan kehadirannya.
Persoalan pemaknaan yang berbedabeda atas situasi yang sama oleh Weber
disebut “verstehen” (actors understanding). Jadi aktivitas yang berlangsung
pada suatu masyarakat sesungguhnya
bukanlah hasil kelembagaan semata,
melainkan hasil akhir atau resultan dari
sejumlah pemahaman individu dalam
merespons suatu keadaan atau aksi yang
datang pada mereka. Interest (kepentingan) dan meaning (pemaknaan) merupakan
proses psikologis yang penetapannya
berlangsung pada tataran orang per orang
(individuals social action). Lebih jauh
Weber menjelaskan bahwa interest yang
mendorong tindakan-tindakan individual
dibagi dalam dua bentuk yaitu (1) material
interest, yang mengacu pada pemenuhan
sarana kebendaan; (2) ideal interest, yang
mengacu pada orientasi pemenuhan atau
pencapaian tujuan ideologis.
Weber pada akhirnya mengemukakan
bahwa tindakan adalah resultan (muara)
dari “olah budaya” yang mengkombinasikan interest dan dua aspek tindakan
lainnya yang berlangsung pada setiap individu yaitu habits (kebiasaan atau tradisi)
dan emotions (perasaan). Ketiga aspek
tersebut menurut Weber merupakan faktor penggerak tindakan terpenting dari
seseorang. Intinya, bagaimana seseorang
menentukan tindakan, akan sangat tergantung pada bekerjanya nilai-nilai cultural
pada individu (ataupun masyarakat di
mana individu tersebut berada).
68
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Gambar 1: Faktor Pengaruh Tindakan
terhadap Aktor/Individu
Interest : Ideal and Material
Tindakan Aktor
Habits
Emotions
II. R a s i o n a l i t a s d a n T i n d a k a n
Komunikatif
Apa yang disebut Weber sebagai “rasionalitas” adalah proses perubahan yang
dihasilkan oleh meluasnya rasionalitas
tersebut. Habermas menjelaskan rasionalisasi menurut Weber sebagai perluasaan
wilayah-wilayah masyarakat yang ditempatkan di bawah aturan-aturan keputusan
rasional. Artinya, segala kegiatan masyarakat dilakukan lewat keputusan dan
tindakan rasional sebagaimana tampak
dalam birokrasi dan administrasi. Itulah
pengertian “umum rasionalisasi”. Analisis
Weber atas rasionalisasi masyarakat telah
dipakai oleh Mazhab Frankfurt untuk
mengkritik bentuk-bentuk rasionalitas
yang menindas dalam masyarakat dewasa
ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa
mereka mencurigai proses rasionalisasi
itu.
Sejalan dengan pemikiran Weber,
Habermas memusatkan perhatian pada
tindakan sosial, suatu obyek yang memiliki ciri-ciri mendasar sekaligus dapat
diobservasi secara empiris. Dia bertolak
dari distingsi yang ditemukannya dalam
“praksis”. Praksis adalah tindakan dasar
manusia dalam dunia di luar dirinya,
dalam alam atau masyarakat. Habermas
membedakan dua dimensi dalam praksis
hidup manusia. Di mana yang satu tidak
bisa mengesampingkan yang lain. Kedua
dimensi tersebut adalah “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi”. Selanjutnya
Habbermas membedakan dua macam
tindakan yaitu “tindakan rasionalitas
bertujuan” (tercakup dalam dimensi kerja)
dan “tindakan komunikatif” (tercakup
dalam dimensi komunikasi).
Tindakan rasional bertujuan (Zwerckrationales Handeln) mengacu pada konsep
rasionalitas tujuan Weber yang sejauh
menjadi ciri hakiki sebuah tindakan sosial. Di mana tindakan seperti itu bersifat
instrumental dalam arti mematuhi aturanaturan teknis, berdasarkan pengetahuan
empiris untuk meramal hasilnya, dan
memilih sarana-sarana yang tepat untuk
mewujudkan tujuan-tujuan. Tindakan ini
juga bersifat strategis, dalam arti tergantung pada penilaian yang tepat mengenai
pilihan-pilihan alternatif yang mungkin
berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah. Selanjutnya Habermas berpendapat bahwa tindakan instrumental
hanya bisa dilakukan terhadap kenyataan
non-sosial (alam), sedangkan tindakan
strategis dilakukan dalam kenyataan sosial. Istilah tindakan komunikatif (Communikativen Handeln) menurut Habermas
mengacu pada tindakan yang diarahkan
oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik
di antara subyek-subyek yang berinteraksi. Simbol-simbol yang dipahami timbal balik, khususnya bahasa sehari-hari,
sangat penting sebagai medium tindakan
komunikatif.
Berdasarkan hal di atas dapat dipahami bahwa kedua jenis tindakan tersebut
merupakan tindakan sosial, yaitu tindakan
yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Habermas membedakan secara
analitis dua segi sistem sosial: pertama, apa
yang disebutnya sebagai “kerangka kerja
institusioal” yang tersusun dari tidakantindakan komunikatif atau dunia kehidupan (Lebenswelt) sosial budaya. Kedua,
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
“subsistem tindakan rasional-bertujuan”
yang tersusun dari tindakan-tindakan
rasional bertujuan yang tertanam di
dalam dunia kehidupan sosial budaya,
seperti dalam bentuk sistem ekonomi dan
birokrasi negara.
Habermas juga membagi dua macam
rasionalisasi yaitu: pertama, rasionalisasi
“dari bawah” (interaksi sosial) yang semakin diatur oleh norma-norma tindakan
sosial bertujuan. Kedua, rasionalisasi “dari
atas” yaitu tindakan di mana terjadi krisis
legitimasi tradisional atau sekularisasi
yang disebabkan mitos, agama dan metafisika telah kehilangan daya tariknya pada
tingkah laku sosial, dan sebagai gantinya
muncul ideologi borjuis yang mengumandangkan kebebasan. Proses rasionalisasi
“dari atas” mencapai kesadaran teknokratis, di mana pada tahap inilah ilmu dan
teknologi berfungsi sebagai ideologi
(legitimasi teknokratis). Sementara itu
rasionalisasi “dari bawah” semakin memperkuat dan memperluas keberlakuan
norma-norma tindakan rasional bertujuan
dalam bentuk tingkah laku birokratis dan
administratif.
Lebih lanjut Habermas menjelaskan
bahwa ketimpangan proses rasionalisasi
itu sebagai penekanan terlalu besar yang
diberikan kepada tindakan rasional bertujuan, sehingga mengesampingkan proses
rasionalisasi pada dimensi komunikasi.
Dengan kata lain terjadi penindasan dimensi praktis oleh dimensi teknis. Tesis Habermas bahwa proses rasionalisasi
yang berjalan seimbang akan terjadi dalam
dua “jalur” di mana yang satu tidak boleh
menggantikan yang lain. Pada taraf subsistem tindakan “rasionalitas bertujuan”,
rasionalisasi meliputi perkembangan
kekuatan-kekuatan produksi, kemajuan
dan perluasan control teknis atas alam
dan proses-proses obyektif. Pada taraf
kerangka kerja institusional atau dunia
kehidupan sosial budaya, rasionalisasi
69
diwujudkan dalam medium komunikasi
melalui bahasa, dengan jalan menyingkirkan pembatasan-pembatasan komunikasi.
Menurut Habermas rasionalisasi jenis
ini dapat dilihat jika ada diskusi-diskusi
umum yang bebas dari dominasi, pengurangan tindakan represif pada normanorma sosial, pengurangan kekakuan,
penerapan norma-norma secara luwes.
Bagi Habermas, ketika seseorang
berhubungan dengan dunia kehidupan,
maka dia mengalami salah satu dari 3 relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu
di dunia objektif (sebagai totalitas entitas
yang memungkinkan adanya pernyataan
yang benar. Kedua, dengan sesuatu di
dunia sosial (sebagai totalitas hubungan
antarpribadi yang diatur secara sah).
Ketiga, dengan sesuatu di dunia subjektif
(sebagai totalitas pengalaman yang akses
ke dalamnya hanya dimiliki si pembicara
dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).
Ucapan komunikatif selalu melekat
pada berbagai hubungan dengan dunia.
Tindakan komunikatif bersandar pada
proses kooperatif interpretasi tempat
partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial,
dan subjektif. Pembicara dan pendengar
menggunakan sistem acuan ketiga dunia
tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi
situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di
dunia namun merelatifkan ucapan mereka
berdasarkan kesempatan aktor lain untuk
menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan
intersubjektif atas klaim validitas yang
dikemukakan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala pendengar
menerima kebenaran pernyataan namun
pada saat yang sama juga meragukan
kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma.
70
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Proses yang terjadi dalam ucapan
komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian), pengubahan, penundaan sebagian,
atau dipertanyakan secara keseluruhan.
Proses definisi dan redefinisi yang terus
berlangsung meliputi korelasi isi dengan
dunia, ditafsirkan secara konsensual dari
dunia objektif, sebagai elemen privat dunia subjektif yang hanya bisa diakses oleh
orang yang bersangkutan. Jadi komunikasi terbentuk dalam situasi intersubjektif,
yaitu “situasi” yag tidak didefinisikan
secara kaku, tapi diselami konteks-konteks
relevansinya dan hal itu membawah kepada situasi terjadinya kesamaan pandang
atas persoalan atau dunia yang diamati
(lifeworld).
Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, yaitu: aspek teleologis yang terdapat
pada perealisasian tujuan seseorang (atau
dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang
terdapat dalam interpretasi atas situasi
dan tercapainya kesepakatan (lifeworld).
Dalam tindakan komunikatif, partisipan
Tindakan
Rasional
Tindakan
Komunikatif
menjalankan rencananya secara kooperatif
berdasarkan definisi situasi bersama. Jika
definisi situasi bersama tersebut harus
dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika
upaya untuk sampai pada kesepakatan
dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus
dapat menjadi tujuan tersendiri., karena
konsensus adalah syarat bagi tercapainya
tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai
oleh tindakan teleologis dan konsensus
yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria apakah situasi
tersebut telah dijalani dan ditanggulangi
dengan baik atau belum. Oleh karen itu,
syarat utama agar tindakan komunikatif
bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif
dalam situasi tindakan yang didefiniskan
bersama (lifeworld). Sehingga mereka
bisa menghindarkan diri dari dua resiko,
resiko tidak tercapainya pemahaman
(ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan)
dan resiko pelaksanaan rencana tindakan
secara salah (resiko kegagalan).
Pengetahuan Lokal
(Kapital Sosial)
Faktor Eksternal
atau
(Rasionalitas “dari atas”)
Faktor Inetrnal
atau
(Rasionalitas “dari bawah”)
Lifeworld
Ketidaksamaan
Tindakan
Kesamaan
Tindakan
Berkelanjutan
(Surfive)
III.Pembahasan
Sebagai makhluk social, manusia
senantiasa bertindak beradasarkan pengetahuan. Pengetahuan adalah kekuatan
dan dasar bagi perkembangan manusia,
serta perbaikan pertanian. Pengetahuan
itu merupakan kapasitas manusia untuk
memahami dan menginterpretasi apa
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
yang dialami, apa yang dilihat, serta
memampukan manusia untuk memprediksi dan membuat keputusan. Pada saat
yang sama, pengetahuan bersifat dinamis
dan selalu berkembang. Seperti sistem
pengetahuan lain, sistem pengetahuan
(Indigenous Knowledge) “Pasompe”
telah terbentuk dan berkembang seiring dengan waktu. Sebagai bagian dari
keseluruhan sistem pengetahuan lokal
termasuk aspek sosial dan budaya, dapat
berasal dari berbagai sumber yang beragam. Sekalipun demikian pengetahuan
lokal (Indigenous Knowledge) “Pasompe”
merupakan bagian yang mutlak penting
dalam perkembangan kemaritiman, terutama di Indonesia.
A. Pengetahuan Lokal dalam Karakter
Budaya Bahari “Pasompe”
Karya C. Nooteboom berjudul De
Boomstamkano in Indonesie, memperkenalkan kepada kita bahwa bentuk-bentuk
perahu itu mempunyai makna. Pendapat
ini dipertegas oleh Tobing yang melihat
perahu itu dari segi teori Totalitern way
of Thinking, bahwa perahu di Indonesia
merupakan mikrodesa. Peraturan-peraturan yang berlaku di perahu harus dipandang sebagai tata tertib mikroskosmos.
Suasana di perahu harus bercermin pada
suasana di desa. Dengan demikian, budaya maritim yang dikembangkan harus
bersifat menyatu dengan struktur sosial
dan segala sistem organisasi yang terjalin
di dalamnya.
Bagaimana karakter “Passompe”
sebagai pelaut yang berani dan ulet mengarungi samudera, hanya dengan perahu
layar sederhana yang terbuat dari kayu,
tercermin jiwa lautnya dalam bahasa ungkapan mereka sebagai berikut :
71
Bahasa ungkapan
Artinya
“Pettek Cina uala
ranreng lopi
Jarung sipepppak uala
balango
Nakusompek mua
Benang Cina kujadikan
tali temali perahu
Jarum sebatang
kujadikan jangkar
Aku berlayar jua
SomperenngE uala
paddaga-raga
Tasik-E uala lino
pottanang
Lolangeng ri
masagena-E
Pelayaran kujadikan
sebagai hiburan
Lautanlah kujadikan
sebagai alam daratan
Pengembaraan yang
penuh kebebasan
Nalawa mua salareng
riwu
Nakuguncirik gulikku
Kuola mui telling-E
natowali-E
Biar aku dihadang oleh
angin
Aku akan putar
kemudiku
Aku memilih
tenggelam dari pada
kembali
Dua sompe kupattinja
Dua guling kupattejjok
Dua balango
kupanngatta
Makkarewangeng
maneng”
Dua layar kusiapkan
Dua kemudi
kutancapkan
Dua jangkar
kusediakan
Semuanya akan turut
terpasang”
Ungkapan bahasa di atas menunjukkan bagaimana jiwa kebaharian terpatri
dalam jiwa para “Pasompe” BugisMakassar. Ketangguhannya menghadapi
tantangan ombak di lautan semuanya
terjadi karena mereka telah menjadikan
hidup dan matinya di lautan. Rasionalitas
mereka terhadap kehidupan “Pasompe”
terbangun justru karena mereka telah
terbiasa berinteraksi dengan alam lautan
luas dalam perjalanan hidup mereka.
Kebiasaan mereka (habits) berinteraksi
dengan lautan dalam jangka panjang
membentuk nilai-nilai yang menjadi keyakinan mereka dalam menentukan pilihan
mereka sebelum bertindak (rational coice).
Nilai-nilai yang terbangun diantara mereka melalui interaksi sosial (sosial interaction) membentuk norma-norma yang
menjadi patokan dalam bertindak sebagai
72
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
komunitas “Pasompe”, baik saat mereka
di lautan maupun di daratan. Kepatuhan
dan ketaatan mereka pada nilai dan norma
itu yang kemudian melahirkan kohesi sosial (social cohesiveness), sehingga dalam
komunitas mereka terjadi solidaritas sosial
(social solidarity). Atas dasar solidaritas
sosial yang diikat oleh nilai dan norma itulah, maka tidak heran jika para “Pasompe”
memiliki ketangguhan di lautan.
Ketergantungan hidup terhadap
pelayaran, mendorong mereka melakukan
kerjasama (solidaritas mekanik), baik di
laut maupun di daratan. Pantangan utama
setiap “Passompe”, adalah berselisih atau
bertengkar di tengah lautan. Pantangan ini
pula berlaku bagi istri-istri yang ditinggalkan di rumah. Oleh karena itu, suasana
desa dan perahu senantiasa dijalin kerjasama dan kadamaian. Setiap konflik yang
akan muncul, harus diredam dan diusahakan menyelesaikannya melalui mufakat
dan kedamaian. Disinilah urgensi wibawa
seorang nakhoda di kalangan sawinya.
Ia adalah seorang pemimpin, baik di laut
maupun di darat, senantiasa bersikap mengawasi, menuntun dan melihat keselamatan para Sawinya. Ponggawa yang akan
mengangkat seorang Nakhoda, bukan saja
mengutamakan hubungan kekeluargaan,
melainkan kebijaksanaan (wisdom) dan
keahliannya tentang pelayaran. Seorang
Nakhoda harus memiliki sikap mendidik
terhadap Sawinya, mengajarkan kepada
mereka bersikap waspada, hemat-cermat,
ulet dan kerja keras, berani dan jujur,
memperkecil resiko dan mengutamakan
kerjasama. Dibalik semua itu, mereka
berpegang teguh pada prinsip “dahulukan
selamat” (safety first) daripada memaksimumkan penghasilan. Prinsip ini harus
dipegang teguh, baik ketika sedang dalam
pelayaran, maupun pada waktu menginjakkan kaki di sebuah negeri asing.
Lapangan hidup sebagai “Passompe”
adalah suatu lapangan yang penuh resiko,
penuh bahaya yang mengintip kematian,
namun budaya mereka (local knowledge)
memberikan resep tentang bagaimana
melakukannya. Kesadaran mereka atas
kemungkinan datangnya bahaya angin badai dan ombak di tengah lautan yang tidak
mungkin diatasi, maka mereka meredam
kekuatan alam dengan sikap “menyatu
dengan alam”. Sikap ini merupakan refleksi dari prinsip “dahulukan selamat”
(safety first).
Sistem pengetahuan kemaritiman, secara tradisional diwarisi turun temurun,
merupakan suatu usaha dari kebudayaannya untuk melengkapi diri sebagai
masyarakat “Pasompe”. Sejak mereka
berniat untuk berlayar, dipililah hari-hari
baik guna memulai suatu pekerjaan dan
diusahakan menghindari hari buruk, yaitu
hari nahasek (nakhas). Bahkan, setiap hari
itu mengandung makna sendiri secara
kualitatif berbeda dengan hari-hari yang
lain, berdasarkan terbitnya bulan (qamariyah). Pada umumnya hari yang baik untuk
mulai berlayar adalah hari ke-8 terbitnya
bulan.
Selain sistem pengetahuan (local
knowledge) tentang “Kutika”, yaitu hari
baik dan buruk, mereka juga memiliki
sistem pengetahuan astronomy dan
oceanology tradisional. Pengetahuan ini
didasarkan atas gejala-gejala alam, yaitu
terbit dan terbenamnya bintang-bintang,
posisi bintang di langit menurut putaran
waktu, gerakan ombak dan tanda-tanda
permukaan laut. Semua gejala-gejala tersebut diketahui melalui “pakkita” (penglihatan), “parengkalinga” (pendengaran),
“paremmau” (penciuman), “penedding”
(firasat), dan “tentuang” (keyakinan).
Nahkoda yang sudah berpengalaman,
mengetahui badai topan yang akan dijumpainya, tahu adanya batu karang dihadapannya, maka haluan perahu segera
dibelokkan. Pengetahuan seperti ini,
masih dimiliki oleh “pasompe” dewasa
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
ini di kecamatan Mallusetasi Kajuara, dan
mungkin pula pada “Pasompe” orang
Bugis-Makassar di daerah lain.
Kepercayaan terhadap penguasa laut
yang disebutnya Nabi Hiderek, sangat
mengikat pikiran mereka sekaligus mempengaruhi kepentingan mereka (ideal
interest). Nabi Hiderek dianggap orang
yang hidup di air dan di darat, seringkali menampakkan dirinya di permukaan
laut dengan memakai serban hijau yang
dapat menjelma di mana saja dan kapan
saja. Kepercayaan ini berakar dalam masyarakat “Pasompe”, sehingga mereka
selalu waspada dan menyiapkan mantra
atau sesuatu perbuatan guna mencegah
marabahaya yang akan muncul. Artinya
“Pasompe” berusaha melakukan komunikasi (komunikativen action) dengan gejala
alam yang mereka hadapi. Melalui pemaknaan (meaning) atas simbol-simbol dari
prilaku alam barulah mereka bertindak.
Apabila mereka mengadakan upacara,
akibat keuntungan yang diperolehnya
selama pelayaran dalam semusim, tidak
lupa menyiapkan sajian terhadap Nabi
Hiderek yang diantar ke tengah laut.
Hantu laut yang dipercaya sering
membahayakan di tengah laut tersebut
ditakuti oleh “Pasompe”. Asal mula hantu
laut dari arwah manusia yang mati di laut
karena tenggelam atau karena sebab lain,
misalnya menabrak batu karang, kena
angin topan, kena “laso-angin” (tornado)
atau perahunya kena “sulili” (air berputar
akibat pertemuan arus). Nahkoda yang
berpengalaman dapat mengusir hantu laut
ini cukup dengan membaca mantra tertentu disertai asap kemenyan. Usaha mencegah bahaya dari peristiwa alam tersebut
yang dianggap dapat meneggelamkan
perahu, oleh “pasompe” telah diketahui
resepnya. Misalnya “laso-angin” (tornado)
dapat dicegah atau dihindari cukup dengan seorang sawi telanjang bulat berdiri
di anjungan perahu dengan menunjuk
73
“laso-angin” tersebut tiga kali, maka pasti
“laso-anginnya akan menghindar dan
selamatlah perahu. Rasionalitas tindakan
yang dilakukan oleh para “Pasompe”
seperti menghalau ombak yang ganas,
mengusir hantu lautan dan sebagainya
didasarkan pada pengetahuan lokal (indigenous knowledge) atas pengalamannya mengarungi lautan dan pemaknaan
terhadap simbol-simbol dari gejala alam
melalui interaksi selama bertahun-tahun.
Seorang Nahkoda dikatakan ahli dan
berpengalaman jika ia memiliki “pake pettu”, yaitu semacam ilmu kebatinan yang
menyatu pada dirinya. Disebut “pake pettu”, oleh karena sekali dipakai maka harus
jadi, dan hanya digunakan pada saat-saat
perahu mengalami ancaman bahaya yang
titak dapat dielakkan. Pada saat itu Nahkoda mengacungkan tangannya disertai
nada suara keras, menunjuk ombak yang
memiringkan perahu, bermain-main di
atas geladak, angin kencang yang memutar haluan, maka pada saat itu pula segera
angin dan ombak kembali tenang sebagai
tanda hormatnya kepada Nakhoda. Inilah
yang disebut sekali dipakai harus jadi.
Namun, kejadian ini harus dibuat upacara
guna memulihkan apa yang telah dipaksakan oleh Nakhoda terhadap kemauan
gejala alam dalam pelayarannya.
Pengetahuan dan kearifan sebagai
“Pasompe” diwariskan secara turun
temurun melaui proses sosialisasi dalam
komunitas mereka. Bagi generasi “Pasompe”, kemampuan dan keberhasilan
mereka mewirisi pengetahuan dan kearifan para leluhurnya sangat ditentukan
oleh kemampuan mereka membangun
komunikasi (komunikativen handeln)
dengan para orang tua sebagai pembimbingnya. Demikian juga, bagi orang
tua harus mampu membentuk generasi
penerus sebagai pelanjut “Pasompe”.
Proses sosialisasi pengetahuan, kearifan,
nilai dan norma sebagai “Pasompe” dapat
74
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
berlangsung dengan baik karena terbangunnya pemaknaan dan pemahaman
(lifeworld) yang sama tentang kehidupan
sebagai “Pasompe”.
B. Alam Pikiran Mistis dalam Pembuatan Perahu Finishi
Perkembangan pola pikir kehidupan maritim masyarakat Sulawesi Selatan
sejak lama dipengaruhi oleh alam pikiran
mistis. Hal ini tampak terutama pada
hal-hal yang bersifat teknis, misalnya
pembuatan perahu finishi. Segala sesuatunya mulai dari awal kegiatan sampai
selesainya perahu tersebut, dikaitkan dengan kepercayaan mereka terhadap mitos
serta kekuatan gaib lainnya.
Demikianlah keterikatan pikiran mereka dalam pembuatan perahu terhadap
pikiran mistis diawali dari keterkaitan
mereka dengan tokoh budaya Sawerigading (Opunna Warek). Diceritakan
bahwa Sawerigading jatuh cinta ada adik
kembarnya yang bernama We Tenriabeng, karena keduanya dibesarkan secara
terpisah. Setelah Sawerigading melihat
saudaranya itu, ia berusaha mengawininya. Orang tuanya beserta penghulu
adat di kerajaan Luwu menasehatinya,
bahwa perbuatan mengawini saudara
sendiri adalah perbuatan incest (sumbang), dilarang oleh adat dan negara akan
hancur. Lalu disarankan kepadanya untuk berangkat ke negeri Cina mengawini
sepupu sekalinya We Cu Dai yang paras
dan bentuk tubuhnya sama persis dengan adik kandungnya We Tenriabeng.
Sawerigading tunduk pada nasehat
tersebut, kemudian berangkat ke negeri
Cina. Sebelum ia berangkat ia bersumpah
bahwa tidak akan kembali lagi ke Luwu.
Ia kemudian membuat perahu besar dari
kayu Walenreng yang diberi nama Wakka
Tana sebagai kendaraan ke negeri Cina.
Diceritakan bahwa dalam perjalanannya
ke negeri Cina, Sawerigading banyak
menghadapi rintangan namun semuanya
berhasil dihadapi, dan akhirnya berhasil
mengawini sepupunya tersebut.
Suatu ketika Sawerigading bersama istrrinya berlayar kembali ke Luwu, karena
didorong oleh kerinduan akan kampung
halamannya, maka ia melupakan sumpahnya. Di tengah pelayaran perahunya
pecah dan tenggelam. Ia bersama istrinya
turun ke benua bawah. Rangka dan papan
perahunya hanyut terpencar dan terdampar di desa Ara, desa Lemo-lemo dan
desa Tanjung Bira. Karena itu kemudian
penduduk di tiga desa tersebut meniru
model Sawerigading dan lambat laun
memiliki keterampilan membuat perahu
hingga saat ini. Bukan teknis keterampilan
saja yang mereka miliki melainkan juga
kemampuan dan kekuatan mistik pada
saat membangun perahu. Hal tersebut
dilakukan pada saat peletakan lunas pertama, amat penting artinya bagi penentuan
suasana yang akan dialami oleh perahu.
Misalnya umur perahu, ketahanan dan
nasib yang akan dialaminya.
Dalam pembuatan perahu yang mulanya secara tradisional, pada umumnya
dilakukan sebagai berikut:
Mencari kayu, pada umumnya yang
digunakan adalah kayu jati karena lebih
disukai serta kuat bagi perahu. Pertama
dicari adalah kayu untuk kalebieseang
(lunas), baru kemudian kayu lengkung
untuk gading-gading (frame). Apabila sebatang kayu telah ditemukan di hutan untuk lunas, maka kepala tukang yang ahli
memulai menebangnya dengan penuh
daya mistik, selanjutnya digantikan oleh
tukang – tukang lainnya. Kayu tersebut
diangkut ke galangan untuk digergaji
menjadi balok-balok kayu lengkung dan
papan. Upacara dilakukan, terutama pada
saat peletakan kalebiseang (lunas). Balokbalok lunas dipotong kedua ujungnya
menurut ukuran panjang dan besarnya
perahu yang akan dibuat. Sebelum
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
dipotong, panrita lopi (ahli perahu) membaca mantra dengan asap kemenyan, lalu
mulai memahat sebagai tanda. Potongan
bagian depan dibuang kelaut dimaksudkan sebagai tulak bala, sedang potongan
bagian belakang, disimpan di rumah
pemilik perahu dengan maksud sebagai
harapan agar perahu (frameselamat digunakan mencari rezeki). Perahu Layar
Motor (PLM) Phinisi Nusantara merupakan perpaduan teknologi tradisional
dengan modern oleh karena diberi mesin
bantu untuk membantu layar mendorong
perahu, maka konstruksi bagian buritan
dimodifikasi sedemikian rupa untuk tempat mesin.
Demikian itu tahap-tahap pembuatan
Perahu Layar Motor (PLM) Phinisi Nusantara yang dilakukan oleh kelompok
Tukang dari Desa Ara, Kabupaten Bulukamba yang dipimpin oleh Haji Damang
(45 tahun) di galangan kapal PT. Industri
Kapal Ujung Pandang dari bulan Februari sampai dengan tanggal 15 Juni 1986.
Perahu phinisi tersebut kemudian menjadi
amat terkenal dengan nama PLM Phinisi
Nusantara. Hasil perhitungan menurut
teori-teori modern dari para ahli perkapalan, bahwa sistem teknologi tradisional
perahu tersebut setelah selesai dibangun,
ternyata adalah sebuah bentuk kapal
dibawah garis air yang dapat digolongkan
sebagai kapal dengan kecepatan tinggi,
tujuh knoks dan menghasilkan stabilitas
kapal yang cukup tinggi. Inilah hasil
teknologi tradisional yang menggunakan
peralatan sederhana.
Adapun ukuran Phinisi Nusantara
sehingga disebut mempunyai kecepatan
tinggi dalam kelasnya, antara lain: panjang perahu 37.50 m; panjang garis air 25
m; panjang antara garis tegak 23.10 m;
lebar geladak 8.50 m; dan sarat air 2.20 m.
Dikatakan pula, bahwa sistem teknologi
tradisional itu hanya berdasarkan “pengalaman“, karena tidak memiliki: 1. Ship
75
design; 2. Working/manufacturing drawing dan ukuran stabilitas; 3. Gambar lantai
(deck); 4. Pemeriksaan mutu bahan-bahan
kayu,; dan 5. Pengawasan mutu bangunan.
IV.Kesimpulan
Beberapa ahli sejarah dan ahli pemerintahan yang pernah bekerja atau bekerja
ke Indonesia, mengakui dalam tulisannya bahwa suku bangsa yang mendiami
Sulawesi Selatan adalah bagian bahari
yang berani menjelajah lautan dengan
perahu yang dibuatnya sendiri. Terutama orang Bugis, tidak disangkal bahwa
mereka adalah pasompe yang tangkas,
pelaut-pedagang yang ulung, berdagang
dari satu pulau ke pulai lainnya, bahkan
berhubungan dengan benua Asia di Asia
Tenggara, singgah di beberapa negeri
dan bergaul dengan suku bangsa yang
dijumpainya. Berbulan-bulan lamanya
dalam pengembaraan, barulah mereka
pulang setelah berhasil membawa pulang
berbagai macam barang– dagangan yang
diperdagangkan.
“Pasompe”, sudah dilakukannya sejak
zaman Sriwijaya di Indonesia. Mereka
adalah entrepreneurship yang ulet, baik
di laut maupun di darat dengan berani
mengambil resiko atas keberaniannya
mengarungi lautan. Keberanian melakukan lapangan hidup mereka, karena
itu budaya maritim yang diwarisinya
memberikan abstraksi berpikir dan resep
tentang sistem pengetahuan (indigenous
knowledge).
Lapangan hidup sebagai pasompe,
adalah salah satu lapangan hidup yang
utama di Sulawesi Selatan, diantara pallaonruma (petani) dan pakkaja (nelayan).
Kelompok masyarakat pasompe tersebar
di pesisir barat dan timur Sulawesi Selatan,
mereka membagi masyarakatnya atas tiga
lapisan, yakni Ponggawa, Nahkoda atau
Juragan, dan Sawi. Lapisan ini tidak hanya
berlaku dalam pelayaran, melainkan juga
76
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
dalam pergaulan sehari-hari di daratan.
Dewasa ini, kegiatan pasompe, dikordinasi oleh Pelayaran Rakyat (PELRA) di
bawah Menteri Perhubungan Republik
Indonesia dan dimasukkan sebagai masyarakat ekonomi lemah.
Teknologi pembuatan perahu layar
dewasa ini, cenderung diintegrasikan
dengan sistem teknologi modern dan
akan mengalami kemajuan pada masamasa mendatang guna melayani angkutan
barang di Nusantara. Hal ini disadari,
setelah PLM Phinisi Nusantara (170 ton)
yang menyelesaikan pelayarannya dari
Indonesia ke Vancouver, Kanada, dengan
menempuh jarak ± 10600 mil melalui
Samudera Pasifik. PLM Phinisi Nusantara
menjadi saksi sejarah dan ketangguhan
para Sawinya guna membuktikan bahwa
orang-orang Sulawesi Selatan di Indonesia
memiliki budaya maritim yang diwarisi
dari nenek moyangnya. Hasil konstruksi
pembuatan phinisi yang dibangun oleh
para tukang orang Bugis dan Makasar
membuktikan pula bahwa sistem teknologi mereka dan sistem kepercayaan yang
dimiliki secara bulat menyatu dalam kebudayaannya sebagai bangsa bahari.
Bacaan
Bebbington, et al. 2006. The Search For Empowerment Social Capital as Idea and Practice at
The World Bank. Kumarian Press inc.
Cleaver, Frances. 2005. The Inequality of Social Capital and The Reproduction of Chronic
Poverty. Elsevier Jounal World Development (Volume. 33, No.6, PP. 893-906).
Field, John. 2010. Modal Sosial Terjemahan dari Judul Asli Social Capital. Bantul: Kreasi
Wacana.
Geertz, Clifford. 2000. Local Knowledge, Further Essays in Interpretative Antropology.
USA: Perseus Books Group.
Hamid, Abu. 1999. Pengembangan Masyarakat Nelayan dan Kemaritiman, Suatu Studi
Sosio-Antropologi Ekonomi. Makassar: Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Hardiman, Budi F. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Hardt, Hanno. 1992. Critical Communication Studies, Sebuah Pengantar Komprehensif Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Yogyakarta:
Jalasutra.
Jansen, Sue Currey. 2002. Critical Communication Theory, Power, Media, Gender, Gender
and Technology. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Krishna, Anirudh. 2004. Understanding, Measuring, and Utilizing Social Capital: Clarifying Concepts and Presenting Field Application from India. Journal Elsavier Agricultural System 82.
Lawang, Robert Z. 2005. Kapital Sosial: Dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar,
(Edisi Pertama). Jakarta: FISIP UI Press.
Sakaria J.Anwar, Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) ...
Saegert, Susan, dkk (editor). 2001. Social Capital and Poor Communities. New York:
Russell Sage Foundation.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo.
Titilola, S. Ountunji. The Economics of Incorporating Indigenous Knowledge System into
Agriculturel Development: A medel and Anlytical Framework. USA: Lowa State
University.
77
Download