BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data yang diperoleh melalui Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada gay di Indonesia pada tahun 2007, jumlah rata-rata gay di enam kota (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Malang) adalah sebanyak 766.800. Sebanyak 29% - 34% gay di tiga kota (Jakarta, Bandung, dan Surabaya) telah terinfeksi satu atau lebih IMS rektal. Sedangkan berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) di Indonesia pada tahun 2010, prevalensi sifilis pada gay meningkat yaitu dari 4% menjadi 13%. Seseorang dengan infeksi menular seksual (IMS) yang tidak diobati, khususnya yang berkaitan dengan tukak/luka dan duh (cairan yang keluar dari tubuh) memiliki rata-rata 6-10 kali lebih tinggi untuk menularkan atau terjangkit HIV selama hubungan seksual (KPA, 2011). Dalam suatu study mengenai perilaku berisiko gay (sebutan untuk homoseksual dengan jenis kelamin laki-laki) dan biseksual di Vancouver yang dilakukan oleh Steffani A. Strathdee, et all (2000) menyatakan bahwa meningkatnya ketersediaan terapi antiretroviral yang sangat aktif telah menunjukan peningkatan konsekuensi terinfeksi HIV di kalangan gay dan kaum biseksual di Vancouver akibat perilaku berisiko. Salah satu perilaku berisiko pada gay adalah hubungan seks dengan banyak mitra seks (multiple partnership) tanpa kondom. Hubungan seks dengan banyak mitra disebabkan oleh banyak faktor. Menurut penelitian Suciptawati dan Susilawati terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perselingkuhan 1 2 (multiple partnership) dalam suatu rumah tangga, antara lain; kurangnya komunikasi dari salah satu pasangan, faktor ekonomi, kurang perhatian terutama dalam memenuhi kebutuhan seksual, ada godaan dari wanita atau pria lain, salah satu pasangan terlalu mendominasi dalam hubungan, dan faktor disfungsi seksual. Berbagai faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (multiple partnership). Hubungan seks berkaitan dengan perilaku seksual yaitu aktivitas akibat adanya dorongan dan hasrat seksual seseorang dengan orientasi seksual lawan jenis maupun sesama jenis. Orientasi seksual merupakan pilihan hubungan intim seseorang dengan lawan jenis atau sejenisnya. Mayoritas orang dewasa mengidentifikasi diriya heteroseksual, yang berarti memiliki gairah seksual dengan lawan jenisnya. Orang yang memiliki gairah seksual dengan sesama jenis disebut homoseksual (gay pada pria dan lesbi pada wanita). Kira-kira 10% orang dewasa mengidentifikasi dirinya sebagai homoseksual (Salsabilah, 2003). Sebanyak 5,7 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia mengaku dirinya adalah seorang homoseksual dan jumlah tersebut belum termasuk yang sampai saat ini masih menyembunyikan orientasi seksualnya (Pratisthita, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Gaya Dewata tahun 2011, target orang dengan orientasi seksual gay di Bali yang akan diberikan informasi mengenai penyakit menular seksual dan HIV/AIDS adalah sebanyak 384 orang. Hingga bulan Juni 2011 yang mendapat informasi baru sebanyak 216 orang. Awal mula kasus HIV/AIDS ditemukan pada kaum homoseksual yaitu pada tanggal 5 Juni 1969. Pada bulan November 1983 Menteri Kesehatan RI, Dr. Soewandjono Soerjaningrat menyatakan bahwa cara terbaik mencegah HIV/AIDS 3 adalah tidak ikut-ikutan menjadi homoseks (Spiritia, 2012). Keberadaan homoseksual di Indonesia merupakan kelompok yang termarginalkan, meskipun merupakan kelompok yang memiliki faktor penting dalam penyebaran IMS dan HIV, namun masih sedikit sekali kampanye pencegahan yang membahas secara spesifik masalah yang berkaitan dengan homoseksualitas (KPA, 2007). Homoseksual di anggap tidak sesuai dengan norma-norma yang ada. Ini menjadikan keberadaan homoseksual masih terselubung (hiden population). sehingga sangat susah di jangkau untuk dilakukan intervensi maupun pencatatan kasus. Berdasarkan uraian-uraian diatas peneliti tertarik mengetahui gambaran pola hubungan seksual pada gay dan riwayat IMS pada gay di Bali. Dengan mengetahui hal-hal tersebut diharapkan mampu memberikan informasi-informasi baru terkait dengan pola hubungan seksual pada gay di Bali. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan bagaimana pola hubungan seksual dan kejadian IMS pada gay di Bali. 1.3 1.4 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah pola hubungan seksual pada gay di Bali? 2. Bagaimanakah gambaran riwayat IMS pada gay di Bali? Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pola hubungan seksual pada gay di Bali. 4 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pola hubungan seksual pada gay di Bali 2. Untuk mengetahui riwayat IMS pada gay di Bali 1.5 Manfaat 1.5.1 Manfaat Teoritis 1. Memberikan informasi dan pengembangan secara ilmiah mengenai pola hubungan seksual dan kejadian IMS pada gay di Bali. 2. Sebagai bahan acuan dalam pengembangan penelitian ilmiah berkaitan dengan pola hubungan seksual pada gay di Bali. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. Dapat menjadi bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dalam merencanakan dan mengkampanyekan upaya – upaya intervensi untuk mencegah meningkatnya kasus IMS dan HIV/AIDS pada gay di Bali. 2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai pola hubungan seksual pada gay di Bali. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang keilmuan epidemiologi yaitu mengenai pola hubungan seksual pada gay di Bali.