22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Hidup
1. Pengertian Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus Tipe II
Kualitas hidup sering disamaartikan dengan standar hidup, namun
sebenarnya keduanya memiliki konsep yang berbeda. Standar hidup cenderung
mengarah pada penilaian yang lebih objektif terhadap suatu set parameter tertentu,
sedangkan kualitas hidup lebih bersifat persepsi subjektif individu yang dapat
sesuai maupun tidak sesuai dengan kriteria yang disetujui umum mengenai
indikator
kehidupan.
Istilah
kualitas
hidup
sering
didefinisikan
atau
dikonseptualisasikan dalam berbagai bentuk menurut fungsinya atau pendekatan
yang digunakan, misalnya kualitas hidup terkait kesehatan, status kesehatan
subjektif dan status fungsional (Oksuz & Malhan, 2006).
Menurut World Health Organization (WHOQOL), kualitas hidup
didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka di kehidupan
terkait dengan konteks sistem nilai dan budaya individu tersebut tinggal serta
berhubungan dengan berbagai tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang
menjadi perhatian dari individu. Preedy & Watson (2010) mendefinisikan kualitas
hidup sebagai kepuasan yang dimiliki individu dalam berbagai aspek
kehidupannya. Melengkapi pendapat peneliti lainnya, Romero, Consuelo &
Guzman (2013) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu konsep yang luas dan
kompleks karena dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis, tingkat kemandirian,
22
23
hubungan sosial individu dan berhubungan dengan berbagai segi penting dari
lingkungan.
Gurkova (2011) berpendapat bahwa terdapat dua hal yang mendasari
kualitas hidup individu, yaitu subjektifitas dan multidimensi. Subjektifitas berarti
kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari sudut pandang masing-masing individu
dan hanya bisa diketahui melalui pertanyaan langsung kepada individu. Kualitas
hidup juga bercirikan multidimensi, artinya bahwa kualitas hidup dapat dipandang
dari seluruh aspek kehidupan seseorang seperti aspek biologis atau fisik, psikologis,
sosial dan lingkungan secara menyeluruh. Pada bidang kesehatan dan aktivitas
pencegahan
penyakit,
kualitas
hidup
dijadikan
sebagai
aspek
untuk
menggambarkan kondisi kesehatan.
Berbeda dengan definisi sebelumnya Garrido, Diez, Gutierrez, Centeno,
Vazquez, Miguel, Carballo & Garcia (2006) menambahkan bahwa kualitas hidup
terkait kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai aspek, seperti aspek fisik,
psikologis, dan sosial yang sangat unik pada masing-masing individu. Setiap aspek
tersebut dapat diukur secara objektif melalui performa atau kondisi kesehatan yang
terlihat atau dapat diamati dari individu dan secara subjektif yaitu melalui persepsi
masing-masing individu mengenai kesehatan.
Barcaccia (2013) mendefinisikan kualitas hidup terkait kesehatan sebagai
persepsi yang dimiliki individu dan harapan individu mengenai kondisi kesehatan
fisik, emosi dan kesejahteraan sosial yang dipengaruhi oleh kondisi medis dan
pengobatannya. Pienimaki (2014) menyatakan kualitas hidup terkait kesehatan
meliputi beberapa dimensi seperti status dan persepsi kondisi medik atau kesehatan
24
secara umum, status mental, psikologis, status tidur, kemampuan untuk melakukan
aktivitas keseharian dan aktivitas sosial.
Berdasarkan pemaparan definisi kualitas hidup menurut beberapa tokoh
diatas, maka kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap
kondisi fisik maupun psikologisnya yang dapat diukur secara subjektif melalui
bagaimana persepsi individu terhadap kesehatannya dan secara objektif melalui
performa atau kondisi fisik yang terlihat dari individu.
2. Aspek Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus
Kualitas hidup dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang individual
karena masing-masing individu memiliki hal-hal yang penting yang berbeda.
Beberapa tokoh menyebut aspek kualitas hidup sebagai indikator, dimensi ataupun
domain, seperti berikut:
World Health Organization Quality of Life Version (WHOQoL-BREF)
(Skevington, Lotfy & O’Connell, 2004) menyebutkan terdapat empat dimensi
mengenai kualitas hidup yang meliputi:
a. Dimensi Kesehatan Fisik
Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kapasitas individu untuk
melakukan aktivitas-aktivitas. Ketergantungan obat-obatan ataupun bantuan
medis, kelelahan, keterbatasan dalam energi, kualitas tidur akan mempengaruhi
mobilitas individu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempengaruhi
kenyamanan individu.
25
b. Dimensi Psikologis
Dimensi ini berkaitan dengan kondisi mental individu. Kondisi mental
memiliki pengaruh terhadap kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap
berbagai tuntutan baik dari dalam maupun luar diri individu. Individu yang
sehat mental akan memiliki body image, perasaan positif, harga diri,
spiritualitas, keyakinan diri dan kemampuan kognitif yang positif (berpikir,
ingatan, belajar, konsentrasi).
c. Dimensi Hubungan Sosial
Dalam melakukan hubungan atau relasi dengan orang lain, masingmasing individu akan saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
perilaku dan pola pikirnya. Dimensi ini meliputi ketersediaan dukungan sosial,
aktivitas bersama dan aktivitas seksual.
d. Dimensi Lingkungan
Dimensi ini menyangkut kondisi tempat tinggal individu, yang meliputi
keadaan didalamnya, ketersediaan dan prasaran tempat tinggal untuk
menunjang aktivitas kehidupan individu, sumber finansial, ketersediaan
perawatan kesehatan, kesempatan mendapatkan informasi baru, rekreasi,
kondisi lingkungan tempat tinggal seperti polusi, iklim, kebisingan.
Pada pasien diabetes melitus, kualitas hidup meliputi aspek-aspek berikut
(Burroughs, Desikan, Waterman, Gilin & McGill, 2004):
a. Kepuasan terapi
Aspek ini berkaitan dengan bagaimana pasien menjalani pengobatan
atau terapi, seperti kondisi perawatan atau pengobatan, waktu yang dibutuhkan
26
untuk berobat, bagaimana harapan individu terhadap pengobatan yang akan
datang.
b. Dampak terapi
Aspek ini berkaitan dengan kemampuan pasien dalam melakukan
beberapa hal, seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat
penyakitnya dan kondisi kesakitan.
c. Kekhawatiran terkait diabetes
Aspek ini berkaitan dengan bagaimana kondisi psikologis pasien yang
disebabkan penyakitnya, misalnya ada tidaknya perasaan cemas, ketakutan,
sedih, rendah hati ataupun perasaan bahagia dan damai.
d. Kekhawatiran terhadap sosial dan pekerjaan
Aspek
ini
berkaitan
dengan
bagaimana
kondisi
kesehatan
mempengaruhi hubungan sosial pasien dengan lingkungan dan kemampuan
pasien menjalankan aktivitas pekerjaannya.
Penelitian ini selanjutnya akan menggunakan aspek kualitas hidup pasien
diabetes mellitus berdasarkan teori Burroughs dkk (2004), yaitu terdiri dari aspek
kepuasan terapi, dampak terapi, kekhawatiran terkait diabetes melitus dan
kekhawatiran sosial serta pekerjaan, sebab konsep ini lebih banyak aspek
psikologisnya dan khusus diabetes mellitus.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
WHO menyebutkan bahwa kesehatan fisik, kesehatan psikologis, relasi
sosial dan keadaan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup individu (Skevington dkk, 2004).
27
Sejumlah penelitian kualitas hidup sebelumnya menyebutkan bahwa
kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut hasil penelitian yang
dilakukan masing-masing peneliti. Hasil-hasil penelitian mengenai faktor-faktor
kualitas hidup terangkum sebagai berikut:
a. Usia
Penelitian yang dilakukan Thompson, Zack, Krahn, Andresen & Barile
(2012) terkait kualitas hidup, mendapatkan hasil bahwa faktor usia individu
tidak memiliki hubungan dengan tinggi rendahnya kualitas hidup individu.
Hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian yang dilakukan Nityas,
Wahyudi & Prasetyowati (2013) yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara usia dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe II. Hasil berbeda
diperoleh oleh Moons (dalam Nofitri, 2009) yang menemukan bahwa usia
individu merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap kualitas
hidup. Kesimpulan yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan
oleh Mandagi (2010).
b. Jenis Kelamin
Penelitian-penelitian mengenai kualitas hidup yang berhubungan
dengan jenis kelamin mendapatkan hasil yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan Spasic, Radovanovic, Dordevic, Stefanovic & Cvetkovic (2014)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang yang signifikan terkait kualitas
hidup menurut jenis kelamin. Dalam penelian tersebut, individu laki-laki
memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada individu berjenis kelamin
perempuan. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Ayman dkk
28
(2014) yaitu perempuan memiliki skor kualitas hidup yang lebih buruk daripada
laki-laki. Pada individu perempuan yang memiliki penyakit diabetes cenderung
memiliki kerentanan kesejahteraan psikologis daripada laki-laki.
c. Tingkat Pendidikan
Pada penelitian Yusra (2011) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan
memiliki hubungan positif terhadap kualitas individu. Semakin tinggi tingkat
pendidikan individu maka semakin tinggi juga kualitas hidupnya. Berbeda
dengan penelitian sebelumnya, Spasic dkk (2014) menemukan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kualitas hidup pasien diabetes melitus dengan
tingkat pendidikannya.
d. Status Sosial Ekonomi
Thompson dkk (2012) menyatakan bahwa tingkat penghasilan yang
rendah dapat memprediksi rendahnya kualitas hidup pada pasien usia lanjut
yang harus dirawat di rumah sakit karena penyakitnya. Nityas (2013)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan
dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe II.
e. Dukungan Sosial
Penelitian yang dilakukan Robinson (2010) menyimpulkan bahwa
dukungan keluarga yang dimiliki individu merupakan faktor yang paling
penting dalam mempertahankan kestabilan metabolik yang juga akan
mempengaruhi kualitas hidup individu. Individu yang terikat dalam status
pernikahan cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibanding
dengan yang belum menikah (Sari, 2011).
29
f. Lama Perjalanan Penyakit
Penelitian yang dilakukan Tamara, Ajdukovic, Sekerija, Okanovic,
Metelko & Mavrinac (2014) mendapatkan kesimpulan bahwa individu yang
telah menderita penyakit diabetes lebih dari satu tahun menunjukkan adanya
penurunan kualitas hidup.
g. Coping dari Individu
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stresor yang dimiliki individu
memiliki hubungan signifikan dengan kadar gula darah sehingga dapat
menurunkan kesejahteraan psikologis dan memicu simptom fisik lain yang
dapat memperburuk kesehatan sebagai upaya mengatasi stres disebut dengan
coping dan coping mencakup Problem Focused Coping (PFC), mencakup
bertindak secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi
yang relevan dengan solusi dan Emotional Focused Coping (EFC), merujuk
pada berbagai upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif
terhadap stres (Lazarus dan Folkman, 2008).
Coping yang menggunakan pendekatan keagamaan disebut juga dengan
coping religius. Pargament (1997) menyatakan bahwa strategi coping religius
cenderung digunakan saat suatu individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa
didapat dari manusia, serta mendapati dirinya tidak mampu lagi menghadapi
kenyataan. Individu tersebut mengalihkan kelemahannya kepada suatu
kekuatan yang terbatas guna mendapat kekuatan untuk menghadapi kenyataan
tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ellison (Pargament, 1997)
bahwa doa digunakan untuk coping, terkait masalah dan krisis kehidupan yang
30
terlalu berat untuk ditangani sendiri. Hal ini didukung oleh penelitian (Tepper,
Rogers, Coleman & Malony, 2001) bahwa penggunaan aktifitas religius seperti
doa tidak hanya dilakukan oleh individu normal, namun individu dengan
penyakit mental, mayoritas juga cenderung menggunakan doa sebagai coping.
Berdasarkan penjelasan di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi,
dukungan sosial, lama perjalanan penyakit dan koping religius yang dilakukan
pasien diabetes mellitus tipe II dalam menjalani kehidupan baik dan buruk
selama menderita penyakit.
B. Kebersyukuran (Gratitude )
1.
Pengertian Pelatihan Kebersyukuran
Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk meperbaiki kemampuan
seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas religiusitas. Pelatihan mebantu
seseorang dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya,
guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan
dalam usaha mencapai keterampilan. Menurut Siagian (1988) definisi
pelatihan adalah proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik dan
metode tertentu secara konsepsional dapat dikatakan bahwa latihan
dimaksud untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja
seseorang atau sekelompok orang. Pelaksanaan pelatihan dimaksud agar
setiap peserta dapat memiliki pengetahuan, keterampilan yang baik,
31
kemampuan dan sikap yang baik untuk mengatasi permasalahan yang
muncul pada orang dengan diabetes mellitus tipe II. Moekijat (1991)
mengatakan pelatihan diperlukan untuk membantu individu menambah
kecakapan dan pengetahuan yang berhubungan erat dengan berkembangnya
keahlian individu dalam hal ini perilaku bersuyukur dalam menghadapi
setiap masalah yang muncul pada orang dengan diabetes mellitus tipe II.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan pelatihan adalah suatu kegiatan
untuk memperbaiki kemampuan individu dalam kaitannya perilaku
bersyukur yang dapat membantu dalam memahami suatu pengetahuan
praktis dan penerapannya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
kecakapan serta sikap seseorang yang diperlukan dalam mencapai suatu
tujuan, yaitu kebersyukuran orang dengan diabetes mellitus tipe II.
Menurut Al-Ghazali (2013) syukur adalah semua nikmat atau karuni
berasal dari Allah SWT, pemberian nikmat tersebut membuat seseorang
menyukurinya, dengan cara bersyukur membuat seseorang memiliki
kepuasan batin sehingga merasa senang dan bahagia atas nikmat yang
diberikan Allah SWT dan berprilaku syukur atas nikmat yang sudah
diberikan dengan mematuhi perintahnya dan mejauhi larangannya, dengan
demikian membuat seseorang merasa dekat dengan yang memberi nikmat
dan mejadikannya seorang yang taat dan tawadhu. Al-Ghazali menjelaskan
bahwa sikap syukur itu merupakan perintah dari sang khalik kepada
umatnya. Memerintahkan kita untuk selalu bersyukur kepada-Nya dan
32
mengakui segala keutamaan yang telah Dia berikan. Allah SWT dalam AlQur'an surat Ibrahim ayat 7 berfirman:
”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih."
Seperti dalam firman-firman Allah SWT dalam AL-Quran (AlGhazali, 20013) :
“Karena itu ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat Kepadamu, dan
bersyukurlah kepadaKu, serta janganlah kamu mengingkari nikmatKu”
(Qs. Al-Baqarah: 152)
“ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menamnah
kenikmatan “ (Qs. Ibrahim: 7)
”Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”
(Qs. Ali Imran: 145)
“Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar keutamaannya” (Qs. AlAnkabut: 45).
Hakikat syukur adalah menggunakan nikmat Allah SWT untuk taat
kepadaNya dan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat. AdzDzakiey (2008), menjelaskan bahwa kebersyukuran merupakan wujud dari
jiwa yang senantiasa mendorong dan menggerakkan diri agar mengerti rasa
terimakasih (syukur) kepada Allah SWT, dengan melahirkan daya upaya
33
untuk memanfaatkan seluas-luasnya atas apa-apa yang telah dilimpahkan
dan dianugerahkan.
Kebersyukuran merupakan salah satu bentuk perilaku dari emosi
positif dan bertolak belakang dengan perilaku cemas, cemburu, marah serta
bentuk perilaku negatif lainnya (Emmons, 2004). Menurut McColough
(2004), kebersyukuran adalah pengalaman seseorang ketika menerima
sesuatu yang berharga, dan merupakan ungkapan perasaan seseorang yang
menerima perlakukan baik dari orang lain. Bersyukur dapat mengubah
seseorang menjadi lebih baik, bijaksana dan menciptakan keharmonisan
antara dirinya dengan lingkungan (Emmons, 2007).
Kebersyukuran juga dapat dikatakan sebagai perilaku seseorang
yang menerima sesuatu dengan suka rela baik secara kognitif maupun
afektif serta memberi nilai tentang apa yang dterima tersebut (Peterson,
2004). Ketika seseorang kurang dapat mencapai kepuasan dalam hidupnya,
bersyu-kur merupakan salah satu cara guna menerima serta memberi nilai
terhadap apa yang telah didapat. Kebersyukuran merupakan konstruksi
kognitif, emosi, dan perilaku (Emmons, 2007). Kebersyukuran sebagai
konstruksi kognitif ditunjukkan dengan mengakui kemurahan dan kebaikan
hati atas berkah yang telah diterima dan fokus terhadap hal positif di dalam
dirinya saat ini. Sebagai konstruksi emosi, kebersyukuran ditandai dengan
kemampuan mengubah respons emosi terhadap suatu peristiwa sehingga
menjadi lebih bermakna (Rosenberg dalam McCullough, Tsang, &
Emmons, 2004).
34
Lazarus dan Lazarus memberikan pengertian akan rasa syukur
sebagai salah satu “perasaan empati” yang mencerminkan pengakuan atau
penghayatan atau apresiasi dari pemberian alturistik (McCullough, Tsang &
Emmons, 2004). Kemudian Emmons dan Crumpler berpendapat bahwa
syukur adalah respon perasaan terhadap suatu pemberian, hal ini adalah
identifikasi syukur sebagai bentuk apresiasi yang dirasakan setelah
seseorang menerima atau mendapatkan tindakan altuistik (McCullough,
Tsang & Emmons, 2004).
Krause (2006) memperluas makna syukur dengan menyebutkan
bahwa syukur adalah percaya bahwa setiap masalah yang dihadapi
merupakan bagian dari rencana Tuhan dan Tuhan akan membantu
menghadapi masalah tersebut. Hal ini berarti syukur tidak hanya diartikan
sebagai respon yang muncul atas kebaikan yang datang pada manusia
melainkan juga ketika manusia mendapatkan masalah, dalam hal ini
bersyukur sama dengan mampu mengambil hikmah. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa gratitude
(kebersyukuran) adalah suatu bentuk apresiasi atau pengakuan akan
kenikmatan melalui hati, lisan dan anggota tubuh baik kepada si pemberi
nikmat Allah SWT maupun sesama manusia sebagai bentuk ciri pribadi
yang bersyukur dan berpikir positif sebagai barometer moral sehingga
menimbulkan suatu perasaan percaya bahwa setiap kejadian / peristiwa
merupakan bagian dari rencana Allah SWT dan Allah akan membantu
35
menghadapi kejadian tersebut dan dengan bersyukur akan menimbulkan
perilaku yang taat, tunduk dan tawadhu’.
Pelatihan kebersyukuran adalah suatu terapi yang memfokuskan
kebersyukuran terhadap nikmat yang telah diberikan Allah SWT terhadap
individu dengan cara mengucapkan alhamdullillah, mengucapkan rasa
syukur setiap hari, mensyukuri setiap hari, mensyukuri setiap peristiwa
kehidupan dan dapat menurunkan emosi negatif yang muncul dalam diri
individu serta memperbesar emosi positif dalam dirinya. Menurut
McCullough (2008) pelatihan kebersyukuran dapat memunculkan emosi
yang menyenangkan, seperti kebahagiaan karena rasa syukur akan
membawa manfaat bagi diri sendiri atau juga dihati orang lain.
Melalui
pelatihan
kebersyukuran
orang
mengalami
dan
mengekspresikan rasa syukur dengan berbagai cara, individu akan
merasakan
emosi
bersyukur
seperti
bersyukur,
menghargai
dan
mengembangkan budaya serta mengungkapkan rasa syukur tersebut (
Synder dan Lopez, 2002). Emmons dan Crumpler (2002) telah melaporkan
bahwa fokus pada rasa beryukur membuat hidup lebih memuaskan,
bermakna, dan produktif. El-Firdausy (2010), menyatakan adanya pelatihan
kebersyukuran akan memberikan dampak positif dalam beragam sisi
kehidupan. Penelitian ini menggunakan metode membandingkan, bahwa
mereka yang mengikuti pelatihan kebersyukuran akan mendapatkan
kualitas hidup yang baik dibandingkan mereka yang tidak mengikuti
pelatihan kebersyukuran yaitu orang dengan diabetes mellitus II.
36
2.
Aspek-aspek kebersyukuran
Syukur terbentuk dari keterpaduan tiga aspek, yaitu pengetahuan,
suasana hati, dan perbuatan. Pertama, pengetahuan terhadap nikmat yaitu
bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat memberi nikmat selain Allah SWT.
Kemudian, pengetahuan terhadap perincian-perincian nikmat Allah SWT,
atas seluruh anggota tubuh, jiwa, serta segala kebutuhan demi kelangsungan
hidup. Pengetahuan itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi suasana hati
sehingga mendorong kesadaran untuk memiliki kewajiban dalam
melaksanakan apa yang dikehendaki dan disukai oleh pemberi nikmat.
Syukur dapat diterapkan di dalam hati, ucapan dan seluruh anggota tubuh
(Al-Ghazali,2010),.
Al-Ghazali (2013) juga menjelaskan bahwa syukur itu tersusun dari
ilmu, hal ihwal dan amal perbuatan. Berikut ini aspek-aspek syukur menurt
Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
a. Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat
atau karunia berasal dari Allah SWT dan perantaranya untuk
mendapatkan nikmat dan karunianya juga merupakan bagian dari
rencana Allah swt. Apabila telah mengenal Dzat pemberi nikmat Allah
SWT, maka mengerti bahwa yang diciptakan bersumber dari Yang Maha
Esa, dan seluruh ciptaan merupakan nikmat dari-Nya.
b. Hal ihwal adalah kesenangan yang diperoleh dari pemberian nikmatNya.
Al-Ghazali (2013) menjelaskan hal ihwal ini dengan perumpaan pada
seseorang yang diberi hadiah seekor kuda oleh sang raja. Ada 3 rasa
37
senang atau perasaan gembira yang muncul dari pemberian nikmat.
Pertama, hanya sekedar rasa senang atas pemberian nikmat, bukan rasa
syukur atas pemberian nikmat, dan ini bukanlah makna syukur yang
dimaksud. Kedua, munculnya perasaan senang karena mendapatkan
nikmat dan tahu cara mensyukuri nikmat dan ini sudah dapat dikatakan
bersyukur misalnya mengucapakn pujian kepada pemberi nikmat dengan
ucapan “alhamdulillah”. Ketiga, merupakan syukur yang sempurna.
Syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah, bukan
hanya rasa syukur berupa kegembiraan terhadap nikmat dan perspektif
nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah SWT, tetapi
nikmat itu merupakan perantara kepadaNya, sebab dengan nikmat itulah
kebaikan-kebaikan menjadi sempurna. Tanda-tandanya adalah tidak
bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa
kesibukan dengan urusan dunia dan segala bentuk kenikmatan. Bisa
dikatakan syukur yang ketiga ini atau syukur yang sempurna ini telah
mendapat cahaya dari Allah SWT, sehingga mampu memandang segala
yang ada, yang di lihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah
kepada makhlukNya.
c. Amal perbuatan adalah melaksanakan apa yang diperintahkan pemberi
kenikmatan dan yang dicintainya dengan amal berbuatan. Amal
perbuatan itu berkaitan dengan syukur dengan hati (kalbu), lisan dan
anggota badan. Berikut akan dijelaskan bagian syukur dari segi amal
perbuatan, yaitu sebagai berikut:
38
a) Syukur dengan Hati
Syukur dengan hati itu adalah berbuat kebaikan dan
menyembuyikannya bagi seluruh makhluk-Nya. Al-Ghazali (2013),
juga menambahkan bahwa sesungguhnya hati itu tidak merasa lezat
(tentram) pada waktu-waktu sehat, kecuali dengan dzikir kepada
Allah SWT dan sesungguhnya hati itu akan sakit apabila dengan
kebiasaan-kebiasan buruk atau perilaku yang tidak baik. Rasulullah
SAW bersabda yang artinya: ”Barangsiapa membaca Subhanallah,
maka ia akan memperoleh sepuluh kebaikan, siapa yang membaca
Lailahaillah, maka ia akan memperoleh dua puluh kebaikan dan
siapa yang membaca Alhamdulillah, maka ia akan memperoleh tiga
puluh kebaikan.
Subhanallah adalah kalimat yang menunjukkan kepada taqdis
(pensucian), Lailahaillah adalah kalimat yang menunjukkan kepada
tauhid, dan Alhamdulillah adalah kalimat yang menunjukkan kepada
mengenal kenikmatan dari Allah SWT. Al-Ghazali (2013),
menjelaskan bahwa saat berdzikir itu bukan hanya sebatas
menggerakkan lisan tetapi sebaiknya mengetahui arti dari kalimat
dzikir tersebut. Itulah makna syukur melalui anggota tubuh yaitu
syukur melalui hati (kalbu).
b) Syukur dengan Ucapan (Lisan)
Menurut Al-Ghazali (2013), syukur dengan lisan adalah untuk
melahirkan rasa senang kepada Allah SWT, syukur dengan lisan itu
39
juga termasuk sejumlah bentuk (wujud) syukur dan pengakuan akan
nikmat yang diberikan dengan cara tunduk serta syukur dengan lisan
itu juga dapat dilakukan dengan melakukan pujian dan menyebutkan
perbuatan kebajikan kepada yang memberi kenikmatan.
c) Syukur dengan seluruh anggota badan
Menurut Al-Ghazali (2013), syukur dengan anggota badan yaitu
menggunakan kenikmatan-kenikmatan dari Allah SWT dalam proses
menaatiNya dan menjaga diri dari meminta pertolongan dengan
kenikmatan itu untuk menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah
SWT. Syukur dengan seluruh anggota tubuh berarti bersyukur dengan
melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan ridho Allah SWT
seperti menjauhi laranganNya dan mengikuti segala perintahNya.
Al-Ghazali (Mujieb, Ismail, & Syafi’ah, 2009), menjelaskan bahwa
syukur dengan anggota badan dapat dilakukan dengan tujuh anggota tubuh,
yaitu:
1) Mata, mensyukuri nikmat dengan tidak menggunakannya untuk melihat
hal-hal yang maksiat
2) Telinga, digunakan hanya untuk mendengarkan hal-hal yang baik dan
tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak boleh di dengar
3) Lidah, dengan banyak mengucapkan zikir, mengucapkan pujian-pujian
kepada Allah SWT, dan mengungkapkan nikmat-nikmat yang
diberikan Allah SWT, sesuai dengan firman Allah Adh- Dhuha ayat 11
40
yang artinya “dan terhadap nikmat Tuhan maka hendaknya kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”.
4) Tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan baik untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, dan tidak menggunakannya untuk
melakukan hal-hal yang haram
5) Perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal atau baik dan
tidak berlebih-lebihan (mubazir). Makanan itu dimakan untuk anggota
tubuh terutama untuk beribadah kepada Allah SWT
6) Kemaluan (seksual), untuk digunakan di jalan yang diridai Allah SWT
(hanya bagi suami istri) dan disertai dengan niat memelihara diri dari
perbuatan yang haram
7) Kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang baik, seperti
mesjid, berhaji ke Baitullah, mencari rezeki yang halal dan menolong
sesama umat manusia.
Aspek syukur menurut Al-Munajjid (2006) terbagi tiga yaitu mengenal
nikmat, menerima nikmat dan memuji Allah atas pemberian nikmat. Pujian yang
berkaitan dengan nikmat terbagi dua yaitu bersifat khusus yang berarti
mengungkapkan bentuk-bentuk nikmat secara lisan yang ditujukan kepada Allah
swt, sedangkan bersifat umum berarti memuji sifat kebaikan seseorang karena
memiliki sifat murah hati dan dermawan. Aspek syukur menurut Al-Jauziyyah
terdiri dari tiga aspek yaitu pengakuan diri seorang hamba atas nikmat yang berasal
dari Allah swt, memuji Allah swt atas pemberian nikmatNya, dan menjadikan
nikmat sebagai sarana meraih ridhaNya. Berbeda dengan pendapat Al-Fauzan
41
(2007), aspek syukur terbagi tiga yaitu syukur dengan hati, syukur dengan lisan dan
syukur dengan anggota badan.
Pelatihan kebersyukuran disusun berdasarkan aspek Al-Ghazali (2013)
seperti pada pertemuan pertama diberikan materi ilmu tentang bersyukur kemudian
di pertemuan kedua diberikan materi tentang hal ihwal dan amal perbuatan yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman kenersyukuran pada orang dengan
diabetes terkait penyakit yang dialaminya selama ini. Berdasarkan pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kebersyukuran
yang dirujuk untuk
penelitian ini mempergunakan aspek yang dikemukakan oleh Al-Ghazali (2013)
yaitu ilmu, hal ihwal dan amal perbuatan (syukur dengan hati, syukur dengan
ucapan, dan syukur dengan seluruh anggora tubuh).
42
C. Pelatihan kebersyukuran sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup
pada orang dengan diabetes mellitus tipe II
Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit kronis yang dapat
menimbulkan perasaan tidak berdaya pada diri pasien bahkan menganggap vonis
sebagai pasien Diabetes Mellitus suatu ancaman karena tidak dapat mengembalikan
dirinya pada kehidupan sebelumnya ketika mereka masih dalam keadaan sehat.
Reaksi-reaksi yang ditimbulkan pada pasien Diabetes Mellitus cukup beragam baik
mencakup gangguan fisik, psikologis maupun sosial. Reaksi berlawanan terhadap
vonis yang dialami pasien berupa gangguan psikologis seperti kekecewaan,
ketakutan, kekhawatiran dan emosi negatif akan memperburuk keadaan disamping
itu, pasien juga mengalami stres yang berasal dari kehidupan sehari-hari. Pasien
yang mengalami stres dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian yang
dilakukan Denton, Prus, & Watter (2004), menjelaskan bahwa stres dapat juga
disebabkan oleh masalah kehidupan seharihari seperti masalah sosial, keuangan,
hubungan, lingkungan, keluarga, pengasuhan dan masalah kerja. Penelitian Hamid
& Manan (2013), menyebutkan bahwa stres merupakan faktor yang berpotensial
untuk meningkatkan kadar gula darah pada pasien Diabetes Mellitus.
Menurut Sutherland dan Cooper (Smet, 1994) stres dimaknai sebagai respon
terhadap situasi. Seseorang yang mengalami stres cenderung tidak bisa memenuhi
tuntutan kebutuhan sehingga menimbulkan suatu ketegangan atau tekanan.
Tekanan ini akan menimbulkan dampak negatif dari segi fisik dan segi psikologis.
Ketegangan atau tekanan yang terjadi disebabkan karena menanggapi suatu
keadaan dilihat dari perspektif negatif. Keadaan ini disebut dengan stres sebagai
43
stimulus yaitu berupa pengalaman atau kejadian yang menimbulkan perasaan
tegang atau stressor (Sutherland dan Cooper; Smet, 1994). Oleh karena itu,
diperlukan suatu penanganan agar stres yang dimiliki tidak berdampak negatif
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Burroughs, Desikan,
Waterman, Gilin & McGill (2004) mengatakan kualitas hidup terdiri beberapa
aspek yang terdiri dari aspek kepuasan terapi berkaitan tentang proses pasien
selama menjalani perawatan atau pengobatan, seperti waktu yang dibutuhkan untuk
berobat dan harapan individu terhadap pengobatan yang akan datang.
Aspek dampak terapi berkaitan dengan kemampuan pasien dalam
melakukan beberapa hal selama pengobatan seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas
harian, gangguan akibat penyakit dan kondisi kesakitan. Aspek kekhawatiran
terkait diabetes berkaitan dengan kondisi psikologis pasien yang disebabkan
penyakitnya, seperti perasaan cemas, ketakutan, perasaan sedih, rendah hati dan
perasaan bahagia atau damai. Aspek kekhawatiran terhadap sosial dan pekerjaan
berkaitan dengan kondisi kesehatan mempengaruhi hubungan sosial pasien dengan
lingkungannya dan kemampuan pasien menjalankan aktivitas pekerjaannya.
Adanya keterbatasan serta tuntutan dalam melakukan perubahan pola hidup
tersebut dapat memunculkan perasaan tertekan bagi penderita seperti adanya
perasaan cemas, marah, dan rasa bersalah. Marah karena harus menanggung beban
dalam menjalani kehidupan bersama diabetes yang penuh dengan aturan dan
keterbatasan, serta munculnya rasa bersalah dan putus asa ketika penderita
melanggar aturan yang seharusnya dipatuhi sehingga timbul perasaan cemas yang
berlebihan terhadap munculnya komplikasi yang menyertainya. Kondisi ini apabila
44
tidak ditangani secara serius menghambat aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes. Individu
yang mengalami masalah berat dan menimbulkan stres mengaktivasi dua sistem
pada tubuh. Sistem pertama, yaitu sistem saraf autonom yang mempersiapkan tubuh
untuk aktivasi darurat yang singkat. Sistem kedua, yaitu sumbu hipotalamus
hipofisiadrenal , kelenjar pituitari, dan korteks adrenal. Aktivasi hipotalamus akan
memivu kelenjar pituitari anterior untuk menyereksi hormon adrenokortikotropik
(ACTH). Hormon (ATCH) akan menstimulasi korteks adrenal manusia untuk
menyekresikan kortisol yang akan meningkatkan metabolisme serta meningkatkan
kadar gula dan nutrien lain di dalam darah (Pinel, 2009). Semakin meningkat
metabolisme tubuh pada orang dengan diabetes akan meningkatkan kadar gula
berlebih yang dapat mempengaruhi kesehatannya.
Keadaan ini dapat mempengaruhi sistem imunitas melalui beberapa cara,
sebagai bentuk respon terhadap pengalaman yang memicu masalah pada individu
se[erti stres atau cemas, bahkan ketakutan dan amarah dapat menurunkan imunitas
(Kalat,2007). Situasi yang bisa mengakibatkan stres yang bnerlangsung lama dapat
mengganggu hipokampus. Pelepasan kortisol terjadi ketika kita stres, dan kritisol
meningkatkan aktivitas metabolisme di seluruh tubuh. Apabila aktivitas
metabolisme di hipokampus meningkat, maka sel-sel hipokampus menjadi rentan,
zat-zat beracun atau stimulasi berlebih dapat merusak atau membunuh neuronneuron hipokampus Sapolsky, 1992 ( dalam Kalat, 2007)
Penelitian Solli, dkk (2010) juga mengungkapkan penderita diabetes baik
tipe 1 maupun 2 mengalami penurunan kualitas hidup terkait dengan ketakutan
45
yang dialami atas komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Pratiwi (2007) dalam Aini, Fatmaningrum dan Yusuf (2011) menyatakan
pengobatan DM memerlukan waktu yang lama karena DM merupakan penyakit
menahun yang akan diderita seumur hidup, dan sangat kompleks karena tidak hanya
membutuhkan pengobatan tetapi juga perubahan gaya hidup sehingga seringkali
pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi. Keadaan yang
demikian dapat memengaruhi kapasitas fungsional fisik, psikologis dan kesehatan
sosial serta kesejahteraan penderita diabetes mellitus yang didefinisikan sebagai
kualitas hidup (Quality of Life/QOL).
Penurunan kualitas hidup pada pasien diabetes mellitus bisa dikarenakan
sifat penyakit yang kronik sehingga dapat berdampak pada pengobatan dan terapi
yang sedang dijalani (Rahmat, 2010). Kualitas hidup pasien diabetes mellitus dapat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu faktor demografi yang terdiri dari
usia dan status pernikahan, kemudian faktor medis yang meliputi dari lama
menderita dan komplikasi yang dialami dan faktor psikologis yang terdiri dari
kecemasan (Raudatussalamah & Fitri, 2012).
Lazarus (Taylor, 2006) menjelaskan coping merupakan suatu proses untuk
menangani dan menguasi situasi yang menekan akibat masalah yang sedang
dihadapi dengan cara perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa
aman dalam diri. Mu’tadin (Romdhon, 2011) mengungkapkan bahwa strategi
coping merujuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku untuk
menguasai, mentolerir, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan. Strategi coping dapat dijadikan sebagai suatu usaha
46
untuk menangani dan menguasi situasi stres yang menekan akibat dari masalah
yang sedang dihadapi dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku
untuk memperoleh kondisi aman dalam diri.
Romdhon (2011) mengungkapkan bahwa kebersyukuran bisa menjadi
strategi coping yang dapat membantu individu untuk menghadapi atau melepaskan
situasi yang menekan (stressfull) yang dialami. Fredrickson (Kashdan, Uswatte,
Julian, 2006) menjelaskan bahwa emosi positif seperti rasa syukur dapat
menghilangkan efek fisiologis yang negatif dan dapat meningkatkan kemampuan
strategi coping kognitif dan perilaku seseorang. Bagi individu yang bersyukur,
maka ia akan mampu melihat segala pengalaman dan peristiwa dalam kehidupan
sehar-hari dengan acara yang positif dan menyenangkan.
Al-Ghazali (2013) menjelaskan bahwa syukur itu terdiri dari 3 bagian yaitu
ilmu (pengetahuan), hal ihwal dan amal perbuatan. Amal perbuatan terdiri dari tiga
bagian syukur yaitu syukur dengan hati (kalbu), syukur dengan lisan (ucapan) dan
syukur dengan anggota badan. Berdasarkan penjelasan syukur dari Al-Ghazali
(2013), maka dapat dimpulkan bahwa ilmu pengetahuan berkaitan dengan aspek
kognitif, hal ihwal berkaitan dengan aspek afektif dan amal perbuatan berkaitan
dengan aspek psikomotorik. Syukur dalam arti ilmu (pengetahuan) berarti mengerti
bahwa yang diciptakan bersumber dari Allah SWT dan seluruh ciptaan merupakan
nikmat dariNya (Al-Ghazali, 2013). Apabila telah menyadari begitu banyak nikmat
yang diberikan, maka menanggapi suatu keadaan atau pemberian itu dengan rasa
syukur maka seseorang akan terhindar dari suatu tekanan atau permasalahan.
47
Penemuan yang dilakukan oleh McCraty & Childre (dalam Emmons &
McCullough, 2004) menjelaskan bahwa terjadi sinkronisasi antara kerja otak, emosi
dan tubuh. Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang
merefleksikan kerja susunan saraf otonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas saraf
parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang. Adanya kondisi tubuh terasa tenang
menjadikan seseorang terhindar dari situasi yang menekan (stressfull).
Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang
merefleksikan kerja susunan saraf otonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas
parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang (Emmons & McCullogh, 2004).
Emosi-emosi positif yang muncul di saat bersyukur terjadi kemurahan hati kepada
orang lain (McCullough, Kimeldof & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani
kehidupan (Hyland, Whalley &Geraghty, 2007) dan memiliki suasana hati yang
baik (Sheldhon & Lyubomirsky, 2006)Orang yang bersyukur dengan landasan
keimanan mengalami penebalan pada parietal, oksipital dan lobus frontal medial di
hemisper kanan dan di cuneus dan pracuneus di hemisper kiri, keadaan ini dapat
meningkatkan ketahanan terhadap kondisi psikopatologis (Miller, et al, 2013).
Sikap bersyukur, menjadikan seseorang itu bersyukur dengan anggota
tubuhnya yaitu melalui hati (kalbu), lisan dan anggota badan, sehingga dapat
menjadikan seseorang itu selalu berpikir positif dan menanggapi suatu keadaan
dengan cara yang positif yaitu dengan cara syukur yang sempurna. Al-Ghazali
(2013), orang yang bersyukur akan menjadikan seseorang itu memiliki sikap
tunduk, taat dan tawadhu’, sehingga menjadikan dekat dengan si pemberi nikmat
yaitu Allah SWT.
48
Linley & Joseph (2004), menjelaskan bahwa syukur bisa menimbulkan
ketenangan batin, hubungan interpersonal yang lebih baik dan kebahagiaan.
Seseorang yang bersyukur setiap harinya memiliki emosi positif yang lebih besar
dibandingkan dengan emosi negatif dan semakin banyak hal yang disyukuri dan
melimpahkannya kepada orang lain akan meningkatkan rasa syukur (Froh,
Kashdan, Ozimkowski, & Miller, 2009).
Keadaan ini secara tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis pasien
juga erat kaitannya dengan aspek kognitif, dan emosional dari strategi pertahanan
terhadap penyakit (illness-coping strategis), yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kebiasaan mencari obat. Penilaian atau kesadaran subjektif
dari pasien bahwa kesehatan terkait dengan kebiasaan yang dilakukan dan
keyakinannya bahwa dia mampu melakukan sikap hidup tersebut, merupakan tanda
pasien akan patuh terhadap pengobatan yang diberikan dan akan berpengaruh
terhadap kualitas hidupnya (Rose et al, 2002).
Dampak psikologis tersebut muncul karena adanya pikiran negative yang
menimbulkan munculnya emosi-emosi negative. Emosi-emosi negative tersebut
akan mempengaruhi penderita yang cenderung maladaptive. Perilaku maladaptive
akan memperburuk kesehatan penderita diabetes mellitus (Snoek, 2000). Oleh
karena itu diperlukan treatmen yang dapat merubah perilaku maladaptive penderita.
Karena perilaku maladaptive tersebut muncul disebabkan oleh pikiran irasional
tersebut menjadi rasional. Dengan harapan dapat merubah emosi negative dan
merubah perilaku maladaptive menjadi adaptif (Ellis, 2001). Emosi negatif yang
dirasakan penderita diabetes mellitus seperti rasa marah akan dirinya sendiri dan
49
lingkungannya, rasa sedih yang menyelimuti penderita selama menderita diabetes
mellitus, rasa takut akan dampak penyakit diabetes itu sendiri hingga rasa takut
akan kematian, dan rasa bersalah pada dirinya sendiri karena menderita diabetes.
Goleman (2002) mengatakan emosi dasar negatif adalah perasaan individu yang
dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian,
kemarahan) yang berlebihan yang dapat membuat individu bertindak dengan sangat
tidak rasional atau diluar kontrol sehingga mempengaruhi psikologis.
Kepuasan terapi berkaitan dengan pengobatan atau terapi, seperti kondisi
perawatan atau pengobatan, waktu yang dibutuhkan untuk berobat, harapan
individu terhadap pengobatan yang akan datang. Selama menjalani pengobatan ada
konsekuensi-konsekuensi yang muncul dalam penyakit kronis pada individu
memunculkan reaksi seperti shock yang ditunjukkan dengan karakteristik seolah
olah akan pingsan atau merasa bingung, adanya reaksi otomatis yang ditunjukkan,
adanya perasaan ingin melepaskan diri dari situasi yang terjadi, hal ini dipengaruhi
oleh dari lamanya pengobatan yang dibutuhkan, sehingga mempengaruhi harapan
individu terhadapap pengobatan yang akan datang menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Keadaan ini adalah bentuk reaksi lainnya yang muncul karena
terjadinya ketidak selarasan antara pikiran dan perasaan kehilangan, tidak berdaya,
sedih, putus asa, merasa kewalahan terhadap situasi yang terjadi, serta retreat
sebagai keadaan dari adanya strategi pengalihan yang cenderung dilakukan oleh
individu yang didiagnosa penyakit kronis (Sarafino, 1997).
Individu dengan rasa syukur yang baik dapat memaknai semua yang sudah
terjadi, seperti keadaan fisik yang melemah selama menderita diabetes mellitus,
50
lamanya perawatan atau pengobatan selama proses perawatan diabetes mellitus.
Jika individu berpikiran keadaan yang dialami pasien merupakan rencana yang
sudah diataur oleh yang maha kuasa, sehingga penderita diabetes mellitus dapat
mengerti untuk memaksimalkan karunia yang sudah diberikan Allah SWT. Nikmat
yang dimaksud adalah semua yang sudah terjadi, baik dan buruk yang sudah terjadi
selama menderita diabetes mellitus adalah bagian dari rencana Allah SWT. Jika
individu dapat memahaminya hal tersebut, maka dapat mempengaruhi kualitas
hidup penderita diabetes mellitus menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal serupa
juga disampaikan oleh
Puspitasari (2005)
menyatakan kebersyukuran dapat
membuat orang merasa bahagia dan hal ini lah yang nenyebabkan mengapa banyak
orang-orang tidak merasa kesulitan dengan beberapa kondisi yang dialami tidak
sesuai dengan harapan, terkadang hal tersebut cenderung menjadi sebuah
kesenangan.
Dampak dari terapi yang dijalani oleh penderita diabetes mellitus selama
ini diharapkan bisa memunculkan perubahan pada pasien diabetes mellitus seperti
seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat penyakitnya dan
kondisi kesakitan. Penderita diabetes mulai bisa mengontrol pola serta
mengkonsumsi makan yang benar sesuai petunjuk dokter, aktivitas fisik meningkat
baik aktivitas sehari-hari seperti tidak mudah lelah, dengan rasa syukur kepada allah
SWT dapat memahami dan menerima apapun yang terjadi pada dirinya, semua itu
sudah takdir atau rencana Allah SWT kepada umatnya. Saat individu berpikiran
keadaan yang dialami pasien merupakan rencana yang sudah diataur oleh yang
maha kuasa, sehingga penderita diabetes mellitus dapat mengerti untuk
51
memaksimalkan karunia yang sudah diberikan Allah SWT, dengan rasa syukur atas
nikmatnya dan mengetahui cara bersyukur seperti mengucapkan alhamdulillah dan
terus mengingat Allah SWT dalam setiap keseharri-harianya. Saat individu dapat
memahaminya hal tersebut, maka dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita
diabetes mellitus menjadi lebih baik dari sebelumnya. Froh & Synder (2008)
menggungkapkan bahwa bersyukur menjadikan seseorang merasa bahagia, optimis
dan merasakan kepuasan hidup. Hal ini menandakan bahwa kebersyukuran
merupakan salah satu faktor penting dalam mendapatkan kepuasan dan kualitas
hidup.
Penelitian yang dilakukan Emmons dan McCollough (2003) menghasilkan
orang yang bersyukur dengan mencatat kebaikan yang diterima menunjukan
peningkatan hubungan sosial, kesehatan, merasa bahagia serta merasakan kepuasan
hidup. Jika pederita diabetes dapat mengerti rasa syukur dengan menerima semua
nikmat yang diberikan Allah SWT dan dapat memahami semua yang sudah dialami
merupakan nikmat dari Allah SWT dengan mengucapkan kata syukur seperti
alhamdullillah dan terus mengingat nama Allah SWT dalam setiap keadaan dan
kesehariannya, hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes
mellitus.
Adanya sikap bersyukur, menjadikan seseorang itu bersyukur dengan
anggota tubuhnya yaitu melalui hati (kalbu), lisan dan anggota badan, sehingga
dapat menjadikan seseorang itu selalu berpikir positif dan menanggapi suatu
keadaan dengan cara yang positif yaitu dengan cara syukur yang sempurna. AlGhazali (2013) menjelaskan bahwa orang yang bersyukur akan menjadikann
52
seseorang itu memiliki sikap tunduk, taat dan tawadhu’, sehingga menjadikan dekat
dengan si pemberi nikmat yaitu Allah SWT. Penelitian yang dilakukan oleh Miller,
Bansal, Wickramaratne, Hao, Tenke, Weissman, & Patterson (2013) menemukan
bahwa orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan
pada pariental, oksipital dan lobus frontal medical di hemisper kanan dan juga di
cuneus dan precuneus di hemipar kiri. Penebalan pada bagian kortex ini
meningkatkan ketahanan terhadap psikopatologis. Rasa syukur yang besar dalam
diri seseorang maka akan terhindar dari perilaku seperti menyalahkan orang lain
dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena tidak bisa
mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh terhadap lingkungan.
Beberapa penelitian membuktikan keterkaitan antara rasa syukur dan emosi
positif. Forh, Kashdan & Ozimkowski (2009) melakukan penelitian tentang syukur
yang melibatkan 89 subjek yang diminta untuk menuliskan terimakasih kepada
seseorang secara pribadi. Hasilnya subjek menuliskan surat terimakasih memiliki
perasaan positif dan rasa syukur yang lebih besar. Penelitian McCullough,
Kimmeldorf, & Cohen (2008), emosi-emsoi positif yang muncul karena rasa syukur
diantaranya adalah kemurahan hati kepada orang lain. Hyland, Whalley & Gerahty
(2007), juga menemukan bahwa rasa syukur dapat meningkatkan perasaan optimis
dalam menjalani kehidupan.
Penelitian Froh, Yurkewich & Kashdan (2009) dengan subjek 154 orang
yang diminta mengisi lembar kebersyukuran, kepuasaan hidup global, sikap optimis
dukungan sosial dan perilaku sosial membuktikan bahwa rasa syukur memiliki
hubungan yang kuat dengan penghargaan terhadap diri, pandangan hidup positif,
53
dan inisiatif. Penelitian Wood, Stephen & Linley (2007) juga menemukan bahwa
syukur berkorelasi dengan reinterpretasi positif, koping aktif, perencanaan hidup
dan berkorelasi negatif dengan perilaku menyalahkan.
Penelitian Froh, Emmons, Card, Bono, dan Wilson (2011) yang melibatkan
1035 subjek menemukan bahwa subjek yang memiliki rasa syukur yang tinggi
ternyata memiliki iri hati dan depresi yang rendah. Menurut Wood, Froh, Geraghty
(2010), syukur terbukti memiliki hubungan dengan faktor klinis seperti
psikopatologi, karakteristik kepribadian, kesehatan, subjective well-being, stres,
depresi, gangguan tidur, gangguan kecemasan umum, fobia, kecanduan nikotin,
ketergantungan alcohol, penyalahgunaan obat-obatan, bulimia nervosa dan
gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Menurut Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011), syukur
juga berdampak positif terhadap kesejahteraan, vitalitas, kebahagiaan, kepuasan
hidup, perilaku prososial, hubungan interpersonal, penyakit mental seperti stres dan
depresi, dan berdampak positif terhadap emosi. Rosmarin, Pirutinsky, Cohen,
Galler, & Krumei (2011), menjelaskan bahwa syukur memiliki hubungan erat
dengan faktor religius, seperti berkorelasi positif terhadap kegiatan ibadah,
keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan, doa, dan juga mampu berdampak
positif terhadap moral. Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011),
juga menjelaskan bahwa faktor agama menyumbang sekitar 50% bagi kesyukuran,
bahkan ajaran agama telah menekankan pentingnya bersyukur dalam kitab suci
yang telah diterangkan sejak zaman dahulu.
54
Pendapat penelitian diatas, sesuai dengan Firman Allah dalam Qs. AlBaqarah: 152 “Maka ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu supaya Aku ingat pula
kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah menjadi orang yang tidak
berterimakasih” (Al-Ghazali, 2013). Ayat ini merupakan salah satu perintah Allah
SWT bagi umatNya untuk bersyukur.
Wood, Joseph, & Malby (2008), bahwa kebersyukuran dapat menurunkan
tingkat depresi. Penelitian Froh, Emmons, Card, Bono, & Wilson (2011)
menemukan bahwa subjek yang memiliki rasa syukur yang tinggi ternyata memiliki
iri hati dan depresi yang rendah. Emosi-emosi positif yang muncul karena rasa
syukur diantaranya adalah kemurahan hati kepada orang lain (McCullough,
Kimeldorf, & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland,
Whalley, & Geraghty, 2007), dan memiliki suasana hati yang lebih baik
(McCullough, Tsang & Emmons, 2004; Sheldon & Lyubomirsky, 2006). Penelitian
Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011) membuktikan bahwa
religiusitas secara konsisten mempengaruhi kebersyukuran. Orang yang memiliki
keyakinan tentang Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang dipeluk dengan
konsistensi memiliki rasa syukur yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang bersyukur tanpa ada keyakinan terhadap Tuhan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syukur dari konteks
agama memberikan suatu ketenangan batin dalam diri seseorang dan hal ini juga
tercantum dalam Al-Quran. Sejalan dengan konteks agama penelitian-penelitian
ilmiah juga membuktikan bahwa kebersyukuran memiliki manfaat yang luar biasa
bagi kesehatan psikologis sehinga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien
55
diabetes mellitus. Hal ini dikarenakan dengan bersyukur merupakan suatu cara yang
tepat dalam menangani pengalaman hidup yang menyakitkan dengan cara berpikir
positif. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menggunakan pelatihan
kebersyukuran berdasarkan konsep Islam dalam menangani keluhan psikologis
berupa penurunan kualitas hidup yang terjadi pada pasien Diabetes mellitus.
56
Stressor pada Penderita Diabetes Mellitus
Kekhawatiran dan ketakutan terhadap penyakit yang di derita yang dapat menyebabkan komplikasi
penyakit berat bahkan kematian, masalah kehidupan sehari-hari, perubahan pola hidup dan pola
makan, sulit mengelola emosi, rasa cemas, marah, dan rasa bersalah.





•
•
•
Menurunnya Kualitas Hidup
Lamanya waktu pengobatan membuat pasien putus asa
Kemampuas pasien melakukan beberapa hal menurun
seperti aktivitas fisik, aktivitas harian.
Rasa khawatir atau komplikasi penyakit yang dialami
memunculkan rasa cemas. Ketakutan,sedih, rendah hati
dan putus asa akan kesehatannya.
Individu yang mengalami masalah berat dan
menimbulkan stres mengaktivasi dua sistem pada tubuh.
Sistem pertama, yaitu sistem saraf autonom yang
mempersiapkan tubuh untuk aktivasi darurat yang
singkat. Sistem kedua, yaitu sumbu hipotalamus
hipofisiadrenal , kelenjar pituitari, dan korteks adrenal.
Aktivasi hipotalamus akan memivu kelenjar pituitari
anterior untuk menyereksi hormon adrenokortikotropik
(ACTH). Hormon (ATCH) akan menstimulasi korteks
adrenal manusia untuk menyekresikan kortisol yang
akan meningkatkan metabolisme serta meningkatkan
kadar gula dan nutrien lain di dalam darah (Pinel, 2009)
Keadaan ini dapat mempengaruhi sistem imunitas
melalui beberapa cara, sebagai bentuk respon terhadap
pengalaman yang memicu masalah pada individu se[erti
stres atau cemas, bahkan ketakutan dan amarah dapat
menurunkan imunitas (Kalat,2007). Situasi yang bisa
mengakibatkan stres yang bnerlangsung lama dapat
mengganggu hipokampus. Pelepasan kortisol terjadi
ketika kita stres, dan kritisol meningkatkan aktivitas
metabolisme di seluruh tubuh. Apabila aktivitas
metabolisme di hipokampus meningkat, maka sel-sel
hipokampus menjadi rentan, zat-zat beracun atau
stimulasi berlebih dapat merusak atau membunuh
neuron-neuron hipokampus Sapolsky, 1992 ( dalam
Intervensi
Kebersyukuran
1. Pertemuan pertama:
 Tafakur
 Memaknai rasa
syukur
2. Tugas harian selama
1
minggu
menuliskan bentukbentuk rasa syukur
di
jurnal
kebersyukuran
3. Pertemuan kedua:
 Sharing
pengalaman (home
work selama 1
minggu)
 Syukur dengan hati
dan lisan
 Shalat
sebagai
wujud syukur yang
sempurna
Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang merefleksikan kerja susunan saraf otonom
yaitu terjadi peningkatan aktifitas parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang (Emmons & McCullogh,
2004).
Emosi-emosi positif yang muncul di saat bersyukur terjadi kemurahan hati kepada orang lain
(McCullough, Kimeldof & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland, Whalley
&Geraghty, 2007) dan memiliki suasana hati yang baik (Sheldhon & Lyubomirsky, 2006)
Orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan pada parietal, oksipital dan lobus
frontal medial di hemisper kanan dan di cuneus dan pracuneus di hemisper kiri, keadaan ini dapat
meningkatkan ketahanan terhadap kondisi psikopatologis (Miller, et al, 2013).
Kualitas hidup menjadi lebih baik
57
Keterangan
: Menyebabkan
: Ranah Intervensi
: Diharapkan
: Intervensi Keberyukuran
: Intervensi
: Setelah Intervensi
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, ada peningkatan kualitas hidup
penderita diabetes melitus setelah mengikuti pelatihan kebersyukuran.
Download