BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Kualitas hidup sering disamaartikan dengan standar hidup, namun sebenarnya keduanya memiliki konsep yang berbeda. Standar hidup cenderung mengarah pada penilaian yang lebih objektif terhadap suatu set parameter tertentu, sedangkan kualitas hidup lebih bersifat persepsi subjektif individu yang dapat sesuai maupun tidak sesuai dengan kriteria yang disetujui umum mengenai indikator kehidupan. Istilah kualitas hidup sering didefinisikan atau dikonseptualisasikan dalam berbagai bentuk menurut fungsinya atau pendekatan yang digunakan, misalnya kualitas hidup terkait kesehatan, status kesehatan subjektif dan status fungsional (Oksuz & Malhan, 2006). Menurut World Health Organization (WHOQOL), kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka di kehidupan terkait dengan konteks sistem nilai dan budaya individu tersebut tinggal serta berhubungan dengan berbagai tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian dari individu. Preedy & Watson (2010) mendefinisikan kualitas hidup sebagai kepuasan yang dimiliki individu dalam berbagai aspek kehidupannya. Melengkapi pendapat peneliti lainnya, Romero, Consuelo & Guzman (2013) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu konsep yang luas dan kompleks karena dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis, tingkat kemandirian, 22 23 hubungan sosial individu dan berhubungan dengan berbagai segi penting dari lingkungan. Gurkova (2011) berpendapat bahwa terdapat dua hal yang mendasari kualitas hidup individu, yaitu subjektifitas dan multidimensi. Subjektifitas berarti kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari sudut pandang masing-masing individu dan hanya bisa diketahui melalui pertanyaan langsung kepada individu. Kualitas hidup juga bercirikan multidimensi, artinya bahwa kualitas hidup dapat dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang seperti aspek biologis atau fisik, psikologis, sosial dan lingkungan secara menyeluruh. Pada bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan. Berbeda dengan definisi sebelumnya Garrido, Diez, Gutierrez, Centeno, Vazquez, Miguel, Carballo & Garcia (2006) menambahkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai aspek, seperti aspek fisik, psikologis, dan sosial yang sangat unik pada masing-masing individu. Setiap aspek tersebut dapat diukur secara objektif melalui performa atau kondisi kesehatan yang terlihat atau dapat diamati dari individu dan secara subjektif yaitu melalui persepsi masing-masing individu mengenai kesehatan. Barcaccia (2013) mendefinisikan kualitas hidup terkait kesehatan sebagai persepsi yang dimiliki individu dan harapan individu mengenai kondisi kesehatan fisik, emosi dan kesejahteraan sosial yang dipengaruhi oleh kondisi medis dan pengobatannya. Pienimaki (2014) menyatakan kualitas hidup terkait kesehatan meliputi beberapa dimensi seperti status dan persepsi kondisi medik atau kesehatan 24 secara umum, status mental, psikologis, status tidur, kemampuan untuk melakukan aktivitas keseharian dan aktivitas sosial. Berdasarkan pemaparan definisi kualitas hidup menurut beberapa tokoh diatas, maka kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kondisi fisik maupun psikologisnya yang dapat diukur secara subjektif melalui bagaimana persepsi individu terhadap kesehatannya dan secara objektif melalui performa atau kondisi fisik yang terlihat dari individu. 2. Aspek Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus Kualitas hidup dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang individual karena masing-masing individu memiliki hal-hal yang penting yang berbeda. Beberapa tokoh menyebut aspek kualitas hidup sebagai indikator, dimensi ataupun domain, seperti berikut: World Health Organization Quality of Life Version (WHOQoL-BREF) (Skevington, Lotfy & O’Connell, 2004) menyebutkan terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi: a. Dimensi Kesehatan Fisik Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kapasitas individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas. Ketergantungan obat-obatan ataupun bantuan medis, kelelahan, keterbatasan dalam energi, kualitas tidur akan mempengaruhi mobilitas individu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempengaruhi kenyamanan individu. 25 b. Dimensi Psikologis Dimensi ini berkaitan dengan kondisi mental individu. Kondisi mental memiliki pengaruh terhadap kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap berbagai tuntutan baik dari dalam maupun luar diri individu. Individu yang sehat mental akan memiliki body image, perasaan positif, harga diri, spiritualitas, keyakinan diri dan kemampuan kognitif yang positif (berpikir, ingatan, belajar, konsentrasi). c. Dimensi Hubungan Sosial Dalam melakukan hubungan atau relasi dengan orang lain, masingmasing individu akan saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku dan pola pikirnya. Dimensi ini meliputi ketersediaan dukungan sosial, aktivitas bersama dan aktivitas seksual. d. Dimensi Lingkungan Dimensi ini menyangkut kondisi tempat tinggal individu, yang meliputi keadaan didalamnya, ketersediaan dan prasaran tempat tinggal untuk menunjang aktivitas kehidupan individu, sumber finansial, ketersediaan perawatan kesehatan, kesempatan mendapatkan informasi baru, rekreasi, kondisi lingkungan tempat tinggal seperti polusi, iklim, kebisingan. Pada pasien diabetes melitus, kualitas hidup meliputi aspek-aspek berikut (Burroughs, Desikan, Waterman, Gilin & McGill, 2004): a. Kepuasan terapi Aspek ini berkaitan dengan bagaimana pasien menjalani pengobatan atau terapi, seperti kondisi perawatan atau pengobatan, waktu yang dibutuhkan 26 untuk berobat, bagaimana harapan individu terhadap pengobatan yang akan datang. b. Dampak terapi Aspek ini berkaitan dengan kemampuan pasien dalam melakukan beberapa hal, seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat penyakitnya dan kondisi kesakitan. c. Kekhawatiran terkait diabetes Aspek ini berkaitan dengan bagaimana kondisi psikologis pasien yang disebabkan penyakitnya, misalnya ada tidaknya perasaan cemas, ketakutan, sedih, rendah hati ataupun perasaan bahagia dan damai. d. Kekhawatiran terhadap sosial dan pekerjaan Aspek ini berkaitan dengan bagaimana kondisi kesehatan mempengaruhi hubungan sosial pasien dengan lingkungan dan kemampuan pasien menjalankan aktivitas pekerjaannya. Penelitian ini selanjutnya akan menggunakan aspek kualitas hidup pasien diabetes mellitus berdasarkan teori Burroughs dkk (2004), yaitu terdiri dari aspek kepuasan terapi, dampak terapi, kekhawatiran terkait diabetes melitus dan kekhawatiran sosial serta pekerjaan, sebab konsep ini lebih banyak aspek psikologisnya dan khusus diabetes mellitus. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup WHO menyebutkan bahwa kesehatan fisik, kesehatan psikologis, relasi sosial dan keadaan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup individu (Skevington dkk, 2004). 27 Sejumlah penelitian kualitas hidup sebelumnya menyebutkan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut hasil penelitian yang dilakukan masing-masing peneliti. Hasil-hasil penelitian mengenai faktor-faktor kualitas hidup terangkum sebagai berikut: a. Usia Penelitian yang dilakukan Thompson, Zack, Krahn, Andresen & Barile (2012) terkait kualitas hidup, mendapatkan hasil bahwa faktor usia individu tidak memiliki hubungan dengan tinggi rendahnya kualitas hidup individu. Hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian yang dilakukan Nityas, Wahyudi & Prasetyowati (2013) yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe II. Hasil berbeda diperoleh oleh Moons (dalam Nofitri, 2009) yang menemukan bahwa usia individu merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup. Kesimpulan yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Mandagi (2010). b. Jenis Kelamin Penelitian-penelitian mengenai kualitas hidup yang berhubungan dengan jenis kelamin mendapatkan hasil yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan Spasic, Radovanovic, Dordevic, Stefanovic & Cvetkovic (2014) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang yang signifikan terkait kualitas hidup menurut jenis kelamin. Dalam penelian tersebut, individu laki-laki memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada individu berjenis kelamin perempuan. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Ayman dkk 28 (2014) yaitu perempuan memiliki skor kualitas hidup yang lebih buruk daripada laki-laki. Pada individu perempuan yang memiliki penyakit diabetes cenderung memiliki kerentanan kesejahteraan psikologis daripada laki-laki. c. Tingkat Pendidikan Pada penelitian Yusra (2011) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan positif terhadap kualitas individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin tinggi juga kualitas hidupnya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Spasic dkk (2014) menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kualitas hidup pasien diabetes melitus dengan tingkat pendidikannya. d. Status Sosial Ekonomi Thompson dkk (2012) menyatakan bahwa tingkat penghasilan yang rendah dapat memprediksi rendahnya kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang harus dirawat di rumah sakit karena penyakitnya. Nityas (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe II. e. Dukungan Sosial Penelitian yang dilakukan Robinson (2010) menyimpulkan bahwa dukungan keluarga yang dimiliki individu merupakan faktor yang paling penting dalam mempertahankan kestabilan metabolik yang juga akan mempengaruhi kualitas hidup individu. Individu yang terikat dalam status pernikahan cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibanding dengan yang belum menikah (Sari, 2011). 29 f. Lama Perjalanan Penyakit Penelitian yang dilakukan Tamara, Ajdukovic, Sekerija, Okanovic, Metelko & Mavrinac (2014) mendapatkan kesimpulan bahwa individu yang telah menderita penyakit diabetes lebih dari satu tahun menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup. g. Coping dari Individu Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stresor yang dimiliki individu memiliki hubungan signifikan dengan kadar gula darah sehingga dapat menurunkan kesejahteraan psikologis dan memicu simptom fisik lain yang dapat memperburuk kesehatan sebagai upaya mengatasi stres disebut dengan coping dan coping mencakup Problem Focused Coping (PFC), mencakup bertindak secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi dan Emotional Focused Coping (EFC), merujuk pada berbagai upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres (Lazarus dan Folkman, 2008). Coping yang menggunakan pendekatan keagamaan disebut juga dengan coping religius. Pargament (1997) menyatakan bahwa strategi coping religius cenderung digunakan saat suatu individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat dari manusia, serta mendapati dirinya tidak mampu lagi menghadapi kenyataan. Individu tersebut mengalihkan kelemahannya kepada suatu kekuatan yang terbatas guna mendapat kekuatan untuk menghadapi kenyataan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ellison (Pargament, 1997) bahwa doa digunakan untuk coping, terkait masalah dan krisis kehidupan yang 30 terlalu berat untuk ditangani sendiri. Hal ini didukung oleh penelitian (Tepper, Rogers, Coleman & Malony, 2001) bahwa penggunaan aktifitas religius seperti doa tidak hanya dilakukan oleh individu normal, namun individu dengan penyakit mental, mayoritas juga cenderung menggunakan doa sebagai coping. Berdasarkan penjelasan di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan sosial, lama perjalanan penyakit dan koping religius yang dilakukan pasien diabetes mellitus tipe II dalam menjalani kehidupan baik dan buruk selama menderita penyakit. B. Kebersyukuran (Gratitude ) 1. Pengertian Pelatihan Kebersyukuran Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk meperbaiki kemampuan seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas religiusitas. Pelatihan mebantu seseorang dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan dalam usaha mencapai keterampilan. Menurut Siagian (1988) definisi pelatihan adalah proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik dan metode tertentu secara konsepsional dapat dikatakan bahwa latihan dimaksud untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja seseorang atau sekelompok orang. Pelaksanaan pelatihan dimaksud agar setiap peserta dapat memiliki pengetahuan, keterampilan yang baik, 31 kemampuan dan sikap yang baik untuk mengatasi permasalahan yang muncul pada orang dengan diabetes mellitus tipe II. Moekijat (1991) mengatakan pelatihan diperlukan untuk membantu individu menambah kecakapan dan pengetahuan yang berhubungan erat dengan berkembangnya keahlian individu dalam hal ini perilaku bersuyukur dalam menghadapi setiap masalah yang muncul pada orang dengan diabetes mellitus tipe II. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan individu dalam kaitannya perilaku bersyukur yang dapat membantu dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan serta sikap seseorang yang diperlukan dalam mencapai suatu tujuan, yaitu kebersyukuran orang dengan diabetes mellitus tipe II. Menurut Al-Ghazali (2013) syukur adalah semua nikmat atau karuni berasal dari Allah SWT, pemberian nikmat tersebut membuat seseorang menyukurinya, dengan cara bersyukur membuat seseorang memiliki kepuasan batin sehingga merasa senang dan bahagia atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan berprilaku syukur atas nikmat yang sudah diberikan dengan mematuhi perintahnya dan mejauhi larangannya, dengan demikian membuat seseorang merasa dekat dengan yang memberi nikmat dan mejadikannya seorang yang taat dan tawadhu. Al-Ghazali menjelaskan bahwa sikap syukur itu merupakan perintah dari sang khalik kepada umatnya. Memerintahkan kita untuk selalu bersyukur kepada-Nya dan 32 mengakui segala keutamaan yang telah Dia berikan. Allah SWT dalam AlQur'an surat Ibrahim ayat 7 berfirman: ”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." Seperti dalam firman-firman Allah SWT dalam AL-Quran (AlGhazali, 20013) : “Karena itu ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat Kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, serta janganlah kamu mengingkari nikmatKu” (Qs. Al-Baqarah: 152) “ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menamnah kenikmatan “ (Qs. Ibrahim: 7) ”Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Qs. Ali Imran: 145) “Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar keutamaannya” (Qs. AlAnkabut: 45). Hakikat syukur adalah menggunakan nikmat Allah SWT untuk taat kepadaNya dan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat. AdzDzakiey (2008), menjelaskan bahwa kebersyukuran merupakan wujud dari jiwa yang senantiasa mendorong dan menggerakkan diri agar mengerti rasa terimakasih (syukur) kepada Allah SWT, dengan melahirkan daya upaya 33 untuk memanfaatkan seluas-luasnya atas apa-apa yang telah dilimpahkan dan dianugerahkan. Kebersyukuran merupakan salah satu bentuk perilaku dari emosi positif dan bertolak belakang dengan perilaku cemas, cemburu, marah serta bentuk perilaku negatif lainnya (Emmons, 2004). Menurut McColough (2004), kebersyukuran adalah pengalaman seseorang ketika menerima sesuatu yang berharga, dan merupakan ungkapan perasaan seseorang yang menerima perlakukan baik dari orang lain. Bersyukur dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik, bijaksana dan menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan lingkungan (Emmons, 2007). Kebersyukuran juga dapat dikatakan sebagai perilaku seseorang yang menerima sesuatu dengan suka rela baik secara kognitif maupun afektif serta memberi nilai tentang apa yang dterima tersebut (Peterson, 2004). Ketika seseorang kurang dapat mencapai kepuasan dalam hidupnya, bersyu-kur merupakan salah satu cara guna menerima serta memberi nilai terhadap apa yang telah didapat. Kebersyukuran merupakan konstruksi kognitif, emosi, dan perilaku (Emmons, 2007). Kebersyukuran sebagai konstruksi kognitif ditunjukkan dengan mengakui kemurahan dan kebaikan hati atas berkah yang telah diterima dan fokus terhadap hal positif di dalam dirinya saat ini. Sebagai konstruksi emosi, kebersyukuran ditandai dengan kemampuan mengubah respons emosi terhadap suatu peristiwa sehingga menjadi lebih bermakna (Rosenberg dalam McCullough, Tsang, & Emmons, 2004). 34 Lazarus dan Lazarus memberikan pengertian akan rasa syukur sebagai salah satu “perasaan empati” yang mencerminkan pengakuan atau penghayatan atau apresiasi dari pemberian alturistik (McCullough, Tsang & Emmons, 2004). Kemudian Emmons dan Crumpler berpendapat bahwa syukur adalah respon perasaan terhadap suatu pemberian, hal ini adalah identifikasi syukur sebagai bentuk apresiasi yang dirasakan setelah seseorang menerima atau mendapatkan tindakan altuistik (McCullough, Tsang & Emmons, 2004). Krause (2006) memperluas makna syukur dengan menyebutkan bahwa syukur adalah percaya bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan bagian dari rencana Tuhan dan Tuhan akan membantu menghadapi masalah tersebut. Hal ini berarti syukur tidak hanya diartikan sebagai respon yang muncul atas kebaikan yang datang pada manusia melainkan juga ketika manusia mendapatkan masalah, dalam hal ini bersyukur sama dengan mampu mengambil hikmah. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa gratitude (kebersyukuran) adalah suatu bentuk apresiasi atau pengakuan akan kenikmatan melalui hati, lisan dan anggota tubuh baik kepada si pemberi nikmat Allah SWT maupun sesama manusia sebagai bentuk ciri pribadi yang bersyukur dan berpikir positif sebagai barometer moral sehingga menimbulkan suatu perasaan percaya bahwa setiap kejadian / peristiwa merupakan bagian dari rencana Allah SWT dan Allah akan membantu 35 menghadapi kejadian tersebut dan dengan bersyukur akan menimbulkan perilaku yang taat, tunduk dan tawadhu’. Pelatihan kebersyukuran adalah suatu terapi yang memfokuskan kebersyukuran terhadap nikmat yang telah diberikan Allah SWT terhadap individu dengan cara mengucapkan alhamdullillah, mengucapkan rasa syukur setiap hari, mensyukuri setiap hari, mensyukuri setiap peristiwa kehidupan dan dapat menurunkan emosi negatif yang muncul dalam diri individu serta memperbesar emosi positif dalam dirinya. Menurut McCullough (2008) pelatihan kebersyukuran dapat memunculkan emosi yang menyenangkan, seperti kebahagiaan karena rasa syukur akan membawa manfaat bagi diri sendiri atau juga dihati orang lain. Melalui pelatihan kebersyukuran orang mengalami dan mengekspresikan rasa syukur dengan berbagai cara, individu akan merasakan emosi bersyukur seperti bersyukur, menghargai dan mengembangkan budaya serta mengungkapkan rasa syukur tersebut ( Synder dan Lopez, 2002). Emmons dan Crumpler (2002) telah melaporkan bahwa fokus pada rasa beryukur membuat hidup lebih memuaskan, bermakna, dan produktif. El-Firdausy (2010), menyatakan adanya pelatihan kebersyukuran akan memberikan dampak positif dalam beragam sisi kehidupan. Penelitian ini menggunakan metode membandingkan, bahwa mereka yang mengikuti pelatihan kebersyukuran akan mendapatkan kualitas hidup yang baik dibandingkan mereka yang tidak mengikuti pelatihan kebersyukuran yaitu orang dengan diabetes mellitus II. 36 2. Aspek-aspek kebersyukuran Syukur terbentuk dari keterpaduan tiga aspek, yaitu pengetahuan, suasana hati, dan perbuatan. Pertama, pengetahuan terhadap nikmat yaitu bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat memberi nikmat selain Allah SWT. Kemudian, pengetahuan terhadap perincian-perincian nikmat Allah SWT, atas seluruh anggota tubuh, jiwa, serta segala kebutuhan demi kelangsungan hidup. Pengetahuan itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi suasana hati sehingga mendorong kesadaran untuk memiliki kewajiban dalam melaksanakan apa yang dikehendaki dan disukai oleh pemberi nikmat. Syukur dapat diterapkan di dalam hati, ucapan dan seluruh anggota tubuh (Al-Ghazali,2010),. Al-Ghazali (2013) juga menjelaskan bahwa syukur itu tersusun dari ilmu, hal ihwal dan amal perbuatan. Berikut ini aspek-aspek syukur menurt Al-Ghazali adalah sebagai berikut: a. Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat atau karunia berasal dari Allah SWT dan perantaranya untuk mendapatkan nikmat dan karunianya juga merupakan bagian dari rencana Allah swt. Apabila telah mengenal Dzat pemberi nikmat Allah SWT, maka mengerti bahwa yang diciptakan bersumber dari Yang Maha Esa, dan seluruh ciptaan merupakan nikmat dari-Nya. b. Hal ihwal adalah kesenangan yang diperoleh dari pemberian nikmatNya. Al-Ghazali (2013) menjelaskan hal ihwal ini dengan perumpaan pada seseorang yang diberi hadiah seekor kuda oleh sang raja. Ada 3 rasa 37 senang atau perasaan gembira yang muncul dari pemberian nikmat. Pertama, hanya sekedar rasa senang atas pemberian nikmat, bukan rasa syukur atas pemberian nikmat, dan ini bukanlah makna syukur yang dimaksud. Kedua, munculnya perasaan senang karena mendapatkan nikmat dan tahu cara mensyukuri nikmat dan ini sudah dapat dikatakan bersyukur misalnya mengucapakn pujian kepada pemberi nikmat dengan ucapan “alhamdulillah”. Ketiga, merupakan syukur yang sempurna. Syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah, bukan hanya rasa syukur berupa kegembiraan terhadap nikmat dan perspektif nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah SWT, tetapi nikmat itu merupakan perantara kepadaNya, sebab dengan nikmat itulah kebaikan-kebaikan menjadi sempurna. Tanda-tandanya adalah tidak bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa kesibukan dengan urusan dunia dan segala bentuk kenikmatan. Bisa dikatakan syukur yang ketiga ini atau syukur yang sempurna ini telah mendapat cahaya dari Allah SWT, sehingga mampu memandang segala yang ada, yang di lihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah kepada makhlukNya. c. Amal perbuatan adalah melaksanakan apa yang diperintahkan pemberi kenikmatan dan yang dicintainya dengan amal berbuatan. Amal perbuatan itu berkaitan dengan syukur dengan hati (kalbu), lisan dan anggota badan. Berikut akan dijelaskan bagian syukur dari segi amal perbuatan, yaitu sebagai berikut: 38 a) Syukur dengan Hati Syukur dengan hati itu adalah berbuat kebaikan dan menyembuyikannya bagi seluruh makhluk-Nya. Al-Ghazali (2013), juga menambahkan bahwa sesungguhnya hati itu tidak merasa lezat (tentram) pada waktu-waktu sehat, kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT dan sesungguhnya hati itu akan sakit apabila dengan kebiasaan-kebiasan buruk atau perilaku yang tidak baik. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: ”Barangsiapa membaca Subhanallah, maka ia akan memperoleh sepuluh kebaikan, siapa yang membaca Lailahaillah, maka ia akan memperoleh dua puluh kebaikan dan siapa yang membaca Alhamdulillah, maka ia akan memperoleh tiga puluh kebaikan. Subhanallah adalah kalimat yang menunjukkan kepada taqdis (pensucian), Lailahaillah adalah kalimat yang menunjukkan kepada tauhid, dan Alhamdulillah adalah kalimat yang menunjukkan kepada mengenal kenikmatan dari Allah SWT. Al-Ghazali (2013), menjelaskan bahwa saat berdzikir itu bukan hanya sebatas menggerakkan lisan tetapi sebaiknya mengetahui arti dari kalimat dzikir tersebut. Itulah makna syukur melalui anggota tubuh yaitu syukur melalui hati (kalbu). b) Syukur dengan Ucapan (Lisan) Menurut Al-Ghazali (2013), syukur dengan lisan adalah untuk melahirkan rasa senang kepada Allah SWT, syukur dengan lisan itu 39 juga termasuk sejumlah bentuk (wujud) syukur dan pengakuan akan nikmat yang diberikan dengan cara tunduk serta syukur dengan lisan itu juga dapat dilakukan dengan melakukan pujian dan menyebutkan perbuatan kebajikan kepada yang memberi kenikmatan. c) Syukur dengan seluruh anggota badan Menurut Al-Ghazali (2013), syukur dengan anggota badan yaitu menggunakan kenikmatan-kenikmatan dari Allah SWT dalam proses menaatiNya dan menjaga diri dari meminta pertolongan dengan kenikmatan itu untuk menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Syukur dengan seluruh anggota tubuh berarti bersyukur dengan melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan ridho Allah SWT seperti menjauhi laranganNya dan mengikuti segala perintahNya. Al-Ghazali (Mujieb, Ismail, & Syafi’ah, 2009), menjelaskan bahwa syukur dengan anggota badan dapat dilakukan dengan tujuh anggota tubuh, yaitu: 1) Mata, mensyukuri nikmat dengan tidak menggunakannya untuk melihat hal-hal yang maksiat 2) Telinga, digunakan hanya untuk mendengarkan hal-hal yang baik dan tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak boleh di dengar 3) Lidah, dengan banyak mengucapkan zikir, mengucapkan pujian-pujian kepada Allah SWT, dan mengungkapkan nikmat-nikmat yang diberikan Allah SWT, sesuai dengan firman Allah Adh- Dhuha ayat 11 40 yang artinya “dan terhadap nikmat Tuhan maka hendaknya kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. 4) Tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dan tidak menggunakannya untuk melakukan hal-hal yang haram 5) Perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal atau baik dan tidak berlebih-lebihan (mubazir). Makanan itu dimakan untuk anggota tubuh terutama untuk beribadah kepada Allah SWT 6) Kemaluan (seksual), untuk digunakan di jalan yang diridai Allah SWT (hanya bagi suami istri) dan disertai dengan niat memelihara diri dari perbuatan yang haram 7) Kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang baik, seperti mesjid, berhaji ke Baitullah, mencari rezeki yang halal dan menolong sesama umat manusia. Aspek syukur menurut Al-Munajjid (2006) terbagi tiga yaitu mengenal nikmat, menerima nikmat dan memuji Allah atas pemberian nikmat. Pujian yang berkaitan dengan nikmat terbagi dua yaitu bersifat khusus yang berarti mengungkapkan bentuk-bentuk nikmat secara lisan yang ditujukan kepada Allah swt, sedangkan bersifat umum berarti memuji sifat kebaikan seseorang karena memiliki sifat murah hati dan dermawan. Aspek syukur menurut Al-Jauziyyah terdiri dari tiga aspek yaitu pengakuan diri seorang hamba atas nikmat yang berasal dari Allah swt, memuji Allah swt atas pemberian nikmatNya, dan menjadikan nikmat sebagai sarana meraih ridhaNya. Berbeda dengan pendapat Al-Fauzan 41 (2007), aspek syukur terbagi tiga yaitu syukur dengan hati, syukur dengan lisan dan syukur dengan anggota badan. Pelatihan kebersyukuran disusun berdasarkan aspek Al-Ghazali (2013) seperti pada pertemuan pertama diberikan materi ilmu tentang bersyukur kemudian di pertemuan kedua diberikan materi tentang hal ihwal dan amal perbuatan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kenersyukuran pada orang dengan diabetes terkait penyakit yang dialaminya selama ini. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kebersyukuran yang dirujuk untuk penelitian ini mempergunakan aspek yang dikemukakan oleh Al-Ghazali (2013) yaitu ilmu, hal ihwal dan amal perbuatan (syukur dengan hati, syukur dengan ucapan, dan syukur dengan seluruh anggora tubuh). 42 C. Pelatihan kebersyukuran sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pada orang dengan diabetes mellitus tipe II Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit kronis yang dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya pada diri pasien bahkan menganggap vonis sebagai pasien Diabetes Mellitus suatu ancaman karena tidak dapat mengembalikan dirinya pada kehidupan sebelumnya ketika mereka masih dalam keadaan sehat. Reaksi-reaksi yang ditimbulkan pada pasien Diabetes Mellitus cukup beragam baik mencakup gangguan fisik, psikologis maupun sosial. Reaksi berlawanan terhadap vonis yang dialami pasien berupa gangguan psikologis seperti kekecewaan, ketakutan, kekhawatiran dan emosi negatif akan memperburuk keadaan disamping itu, pasien juga mengalami stres yang berasal dari kehidupan sehari-hari. Pasien yang mengalami stres dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian yang dilakukan Denton, Prus, & Watter (2004), menjelaskan bahwa stres dapat juga disebabkan oleh masalah kehidupan seharihari seperti masalah sosial, keuangan, hubungan, lingkungan, keluarga, pengasuhan dan masalah kerja. Penelitian Hamid & Manan (2013), menyebutkan bahwa stres merupakan faktor yang berpotensial untuk meningkatkan kadar gula darah pada pasien Diabetes Mellitus. Menurut Sutherland dan Cooper (Smet, 1994) stres dimaknai sebagai respon terhadap situasi. Seseorang yang mengalami stres cenderung tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan sehingga menimbulkan suatu ketegangan atau tekanan. Tekanan ini akan menimbulkan dampak negatif dari segi fisik dan segi psikologis. Ketegangan atau tekanan yang terjadi disebabkan karena menanggapi suatu keadaan dilihat dari perspektif negatif. Keadaan ini disebut dengan stres sebagai 43 stimulus yaitu berupa pengalaman atau kejadian yang menimbulkan perasaan tegang atau stressor (Sutherland dan Cooper; Smet, 1994). Oleh karena itu, diperlukan suatu penanganan agar stres yang dimiliki tidak berdampak negatif sehingga dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Burroughs, Desikan, Waterman, Gilin & McGill (2004) mengatakan kualitas hidup terdiri beberapa aspek yang terdiri dari aspek kepuasan terapi berkaitan tentang proses pasien selama menjalani perawatan atau pengobatan, seperti waktu yang dibutuhkan untuk berobat dan harapan individu terhadap pengobatan yang akan datang. Aspek dampak terapi berkaitan dengan kemampuan pasien dalam melakukan beberapa hal selama pengobatan seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat penyakit dan kondisi kesakitan. Aspek kekhawatiran terkait diabetes berkaitan dengan kondisi psikologis pasien yang disebabkan penyakitnya, seperti perasaan cemas, ketakutan, perasaan sedih, rendah hati dan perasaan bahagia atau damai. Aspek kekhawatiran terhadap sosial dan pekerjaan berkaitan dengan kondisi kesehatan mempengaruhi hubungan sosial pasien dengan lingkungannya dan kemampuan pasien menjalankan aktivitas pekerjaannya. Adanya keterbatasan serta tuntutan dalam melakukan perubahan pola hidup tersebut dapat memunculkan perasaan tertekan bagi penderita seperti adanya perasaan cemas, marah, dan rasa bersalah. Marah karena harus menanggung beban dalam menjalani kehidupan bersama diabetes yang penuh dengan aturan dan keterbatasan, serta munculnya rasa bersalah dan putus asa ketika penderita melanggar aturan yang seharusnya dipatuhi sehingga timbul perasaan cemas yang berlebihan terhadap munculnya komplikasi yang menyertainya. Kondisi ini apabila 44 tidak ditangani secara serius menghambat aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes. Individu yang mengalami masalah berat dan menimbulkan stres mengaktivasi dua sistem pada tubuh. Sistem pertama, yaitu sistem saraf autonom yang mempersiapkan tubuh untuk aktivasi darurat yang singkat. Sistem kedua, yaitu sumbu hipotalamus hipofisiadrenal , kelenjar pituitari, dan korteks adrenal. Aktivasi hipotalamus akan memivu kelenjar pituitari anterior untuk menyereksi hormon adrenokortikotropik (ACTH). Hormon (ATCH) akan menstimulasi korteks adrenal manusia untuk menyekresikan kortisol yang akan meningkatkan metabolisme serta meningkatkan kadar gula dan nutrien lain di dalam darah (Pinel, 2009). Semakin meningkat metabolisme tubuh pada orang dengan diabetes akan meningkatkan kadar gula berlebih yang dapat mempengaruhi kesehatannya. Keadaan ini dapat mempengaruhi sistem imunitas melalui beberapa cara, sebagai bentuk respon terhadap pengalaman yang memicu masalah pada individu se[erti stres atau cemas, bahkan ketakutan dan amarah dapat menurunkan imunitas (Kalat,2007). Situasi yang bisa mengakibatkan stres yang bnerlangsung lama dapat mengganggu hipokampus. Pelepasan kortisol terjadi ketika kita stres, dan kritisol meningkatkan aktivitas metabolisme di seluruh tubuh. Apabila aktivitas metabolisme di hipokampus meningkat, maka sel-sel hipokampus menjadi rentan, zat-zat beracun atau stimulasi berlebih dapat merusak atau membunuh neuronneuron hipokampus Sapolsky, 1992 ( dalam Kalat, 2007) Penelitian Solli, dkk (2010) juga mengungkapkan penderita diabetes baik tipe 1 maupun 2 mengalami penurunan kualitas hidup terkait dengan ketakutan 45 yang dialami atas komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Pratiwi (2007) dalam Aini, Fatmaningrum dan Yusuf (2011) menyatakan pengobatan DM memerlukan waktu yang lama karena DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, dan sangat kompleks karena tidak hanya membutuhkan pengobatan tetapi juga perubahan gaya hidup sehingga seringkali pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi. Keadaan yang demikian dapat memengaruhi kapasitas fungsional fisik, psikologis dan kesehatan sosial serta kesejahteraan penderita diabetes mellitus yang didefinisikan sebagai kualitas hidup (Quality of Life/QOL). Penurunan kualitas hidup pada pasien diabetes mellitus bisa dikarenakan sifat penyakit yang kronik sehingga dapat berdampak pada pengobatan dan terapi yang sedang dijalani (Rahmat, 2010). Kualitas hidup pasien diabetes mellitus dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu faktor demografi yang terdiri dari usia dan status pernikahan, kemudian faktor medis yang meliputi dari lama menderita dan komplikasi yang dialami dan faktor psikologis yang terdiri dari kecemasan (Raudatussalamah & Fitri, 2012). Lazarus (Taylor, 2006) menjelaskan coping merupakan suatu proses untuk menangani dan menguasi situasi yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapi dengan cara perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam diri. Mu’tadin (Romdhon, 2011) mengungkapkan bahwa strategi coping merujuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku untuk menguasai, mentolerir, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Strategi coping dapat dijadikan sebagai suatu usaha 46 untuk menangani dan menguasi situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapi dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku untuk memperoleh kondisi aman dalam diri. Romdhon (2011) mengungkapkan bahwa kebersyukuran bisa menjadi strategi coping yang dapat membantu individu untuk menghadapi atau melepaskan situasi yang menekan (stressfull) yang dialami. Fredrickson (Kashdan, Uswatte, Julian, 2006) menjelaskan bahwa emosi positif seperti rasa syukur dapat menghilangkan efek fisiologis yang negatif dan dapat meningkatkan kemampuan strategi coping kognitif dan perilaku seseorang. Bagi individu yang bersyukur, maka ia akan mampu melihat segala pengalaman dan peristiwa dalam kehidupan sehar-hari dengan acara yang positif dan menyenangkan. Al-Ghazali (2013) menjelaskan bahwa syukur itu terdiri dari 3 bagian yaitu ilmu (pengetahuan), hal ihwal dan amal perbuatan. Amal perbuatan terdiri dari tiga bagian syukur yaitu syukur dengan hati (kalbu), syukur dengan lisan (ucapan) dan syukur dengan anggota badan. Berdasarkan penjelasan syukur dari Al-Ghazali (2013), maka dapat dimpulkan bahwa ilmu pengetahuan berkaitan dengan aspek kognitif, hal ihwal berkaitan dengan aspek afektif dan amal perbuatan berkaitan dengan aspek psikomotorik. Syukur dalam arti ilmu (pengetahuan) berarti mengerti bahwa yang diciptakan bersumber dari Allah SWT dan seluruh ciptaan merupakan nikmat dariNya (Al-Ghazali, 2013). Apabila telah menyadari begitu banyak nikmat yang diberikan, maka menanggapi suatu keadaan atau pemberian itu dengan rasa syukur maka seseorang akan terhindar dari suatu tekanan atau permasalahan. 47 Penemuan yang dilakukan oleh McCraty & Childre (dalam Emmons & McCullough, 2004) menjelaskan bahwa terjadi sinkronisasi antara kerja otak, emosi dan tubuh. Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang merefleksikan kerja susunan saraf otonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas saraf parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang. Adanya kondisi tubuh terasa tenang menjadikan seseorang terhindar dari situasi yang menekan (stressfull). Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang merefleksikan kerja susunan saraf otonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang (Emmons & McCullogh, 2004). Emosi-emosi positif yang muncul di saat bersyukur terjadi kemurahan hati kepada orang lain (McCullough, Kimeldof & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland, Whalley &Geraghty, 2007) dan memiliki suasana hati yang baik (Sheldhon & Lyubomirsky, 2006)Orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan pada parietal, oksipital dan lobus frontal medial di hemisper kanan dan di cuneus dan pracuneus di hemisper kiri, keadaan ini dapat meningkatkan ketahanan terhadap kondisi psikopatologis (Miller, et al, 2013). Sikap bersyukur, menjadikan seseorang itu bersyukur dengan anggota tubuhnya yaitu melalui hati (kalbu), lisan dan anggota badan, sehingga dapat menjadikan seseorang itu selalu berpikir positif dan menanggapi suatu keadaan dengan cara yang positif yaitu dengan cara syukur yang sempurna. Al-Ghazali (2013), orang yang bersyukur akan menjadikan seseorang itu memiliki sikap tunduk, taat dan tawadhu’, sehingga menjadikan dekat dengan si pemberi nikmat yaitu Allah SWT. 48 Linley & Joseph (2004), menjelaskan bahwa syukur bisa menimbulkan ketenangan batin, hubungan interpersonal yang lebih baik dan kebahagiaan. Seseorang yang bersyukur setiap harinya memiliki emosi positif yang lebih besar dibandingkan dengan emosi negatif dan semakin banyak hal yang disyukuri dan melimpahkannya kepada orang lain akan meningkatkan rasa syukur (Froh, Kashdan, Ozimkowski, & Miller, 2009). Keadaan ini secara tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis pasien juga erat kaitannya dengan aspek kognitif, dan emosional dari strategi pertahanan terhadap penyakit (illness-coping strategis), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kebiasaan mencari obat. Penilaian atau kesadaran subjektif dari pasien bahwa kesehatan terkait dengan kebiasaan yang dilakukan dan keyakinannya bahwa dia mampu melakukan sikap hidup tersebut, merupakan tanda pasien akan patuh terhadap pengobatan yang diberikan dan akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya (Rose et al, 2002). Dampak psikologis tersebut muncul karena adanya pikiran negative yang menimbulkan munculnya emosi-emosi negative. Emosi-emosi negative tersebut akan mempengaruhi penderita yang cenderung maladaptive. Perilaku maladaptive akan memperburuk kesehatan penderita diabetes mellitus (Snoek, 2000). Oleh karena itu diperlukan treatmen yang dapat merubah perilaku maladaptive penderita. Karena perilaku maladaptive tersebut muncul disebabkan oleh pikiran irasional tersebut menjadi rasional. Dengan harapan dapat merubah emosi negative dan merubah perilaku maladaptive menjadi adaptif (Ellis, 2001). Emosi negatif yang dirasakan penderita diabetes mellitus seperti rasa marah akan dirinya sendiri dan 49 lingkungannya, rasa sedih yang menyelimuti penderita selama menderita diabetes mellitus, rasa takut akan dampak penyakit diabetes itu sendiri hingga rasa takut akan kematian, dan rasa bersalah pada dirinya sendiri karena menderita diabetes. Goleman (2002) mengatakan emosi dasar negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan yang dapat membuat individu bertindak dengan sangat tidak rasional atau diluar kontrol sehingga mempengaruhi psikologis. Kepuasan terapi berkaitan dengan pengobatan atau terapi, seperti kondisi perawatan atau pengobatan, waktu yang dibutuhkan untuk berobat, harapan individu terhadap pengobatan yang akan datang. Selama menjalani pengobatan ada konsekuensi-konsekuensi yang muncul dalam penyakit kronis pada individu memunculkan reaksi seperti shock yang ditunjukkan dengan karakteristik seolah olah akan pingsan atau merasa bingung, adanya reaksi otomatis yang ditunjukkan, adanya perasaan ingin melepaskan diri dari situasi yang terjadi, hal ini dipengaruhi oleh dari lamanya pengobatan yang dibutuhkan, sehingga mempengaruhi harapan individu terhadapap pengobatan yang akan datang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keadaan ini adalah bentuk reaksi lainnya yang muncul karena terjadinya ketidak selarasan antara pikiran dan perasaan kehilangan, tidak berdaya, sedih, putus asa, merasa kewalahan terhadap situasi yang terjadi, serta retreat sebagai keadaan dari adanya strategi pengalihan yang cenderung dilakukan oleh individu yang didiagnosa penyakit kronis (Sarafino, 1997). Individu dengan rasa syukur yang baik dapat memaknai semua yang sudah terjadi, seperti keadaan fisik yang melemah selama menderita diabetes mellitus, 50 lamanya perawatan atau pengobatan selama proses perawatan diabetes mellitus. Jika individu berpikiran keadaan yang dialami pasien merupakan rencana yang sudah diataur oleh yang maha kuasa, sehingga penderita diabetes mellitus dapat mengerti untuk memaksimalkan karunia yang sudah diberikan Allah SWT. Nikmat yang dimaksud adalah semua yang sudah terjadi, baik dan buruk yang sudah terjadi selama menderita diabetes mellitus adalah bagian dari rencana Allah SWT. Jika individu dapat memahaminya hal tersebut, maka dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes mellitus menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal serupa juga disampaikan oleh Puspitasari (2005) menyatakan kebersyukuran dapat membuat orang merasa bahagia dan hal ini lah yang nenyebabkan mengapa banyak orang-orang tidak merasa kesulitan dengan beberapa kondisi yang dialami tidak sesuai dengan harapan, terkadang hal tersebut cenderung menjadi sebuah kesenangan. Dampak dari terapi yang dijalani oleh penderita diabetes mellitus selama ini diharapkan bisa memunculkan perubahan pada pasien diabetes mellitus seperti seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat penyakitnya dan kondisi kesakitan. Penderita diabetes mulai bisa mengontrol pola serta mengkonsumsi makan yang benar sesuai petunjuk dokter, aktivitas fisik meningkat baik aktivitas sehari-hari seperti tidak mudah lelah, dengan rasa syukur kepada allah SWT dapat memahami dan menerima apapun yang terjadi pada dirinya, semua itu sudah takdir atau rencana Allah SWT kepada umatnya. Saat individu berpikiran keadaan yang dialami pasien merupakan rencana yang sudah diataur oleh yang maha kuasa, sehingga penderita diabetes mellitus dapat mengerti untuk 51 memaksimalkan karunia yang sudah diberikan Allah SWT, dengan rasa syukur atas nikmatnya dan mengetahui cara bersyukur seperti mengucapkan alhamdulillah dan terus mengingat Allah SWT dalam setiap keseharri-harianya. Saat individu dapat memahaminya hal tersebut, maka dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes mellitus menjadi lebih baik dari sebelumnya. Froh & Synder (2008) menggungkapkan bahwa bersyukur menjadikan seseorang merasa bahagia, optimis dan merasakan kepuasan hidup. Hal ini menandakan bahwa kebersyukuran merupakan salah satu faktor penting dalam mendapatkan kepuasan dan kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan Emmons dan McCollough (2003) menghasilkan orang yang bersyukur dengan mencatat kebaikan yang diterima menunjukan peningkatan hubungan sosial, kesehatan, merasa bahagia serta merasakan kepuasan hidup. Jika pederita diabetes dapat mengerti rasa syukur dengan menerima semua nikmat yang diberikan Allah SWT dan dapat memahami semua yang sudah dialami merupakan nikmat dari Allah SWT dengan mengucapkan kata syukur seperti alhamdullillah dan terus mengingat nama Allah SWT dalam setiap keadaan dan kesehariannya, hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes mellitus. Adanya sikap bersyukur, menjadikan seseorang itu bersyukur dengan anggota tubuhnya yaitu melalui hati (kalbu), lisan dan anggota badan, sehingga dapat menjadikan seseorang itu selalu berpikir positif dan menanggapi suatu keadaan dengan cara yang positif yaitu dengan cara syukur yang sempurna. AlGhazali (2013) menjelaskan bahwa orang yang bersyukur akan menjadikann 52 seseorang itu memiliki sikap tunduk, taat dan tawadhu’, sehingga menjadikan dekat dengan si pemberi nikmat yaitu Allah SWT. Penelitian yang dilakukan oleh Miller, Bansal, Wickramaratne, Hao, Tenke, Weissman, & Patterson (2013) menemukan bahwa orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan pada pariental, oksipital dan lobus frontal medical di hemisper kanan dan juga di cuneus dan precuneus di hemipar kiri. Penebalan pada bagian kortex ini meningkatkan ketahanan terhadap psikopatologis. Rasa syukur yang besar dalam diri seseorang maka akan terhindar dari perilaku seperti menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh terhadap lingkungan. Beberapa penelitian membuktikan keterkaitan antara rasa syukur dan emosi positif. Forh, Kashdan & Ozimkowski (2009) melakukan penelitian tentang syukur yang melibatkan 89 subjek yang diminta untuk menuliskan terimakasih kepada seseorang secara pribadi. Hasilnya subjek menuliskan surat terimakasih memiliki perasaan positif dan rasa syukur yang lebih besar. Penelitian McCullough, Kimmeldorf, & Cohen (2008), emosi-emsoi positif yang muncul karena rasa syukur diantaranya adalah kemurahan hati kepada orang lain. Hyland, Whalley & Gerahty (2007), juga menemukan bahwa rasa syukur dapat meningkatkan perasaan optimis dalam menjalani kehidupan. Penelitian Froh, Yurkewich & Kashdan (2009) dengan subjek 154 orang yang diminta mengisi lembar kebersyukuran, kepuasaan hidup global, sikap optimis dukungan sosial dan perilaku sosial membuktikan bahwa rasa syukur memiliki hubungan yang kuat dengan penghargaan terhadap diri, pandangan hidup positif, 53 dan inisiatif. Penelitian Wood, Stephen & Linley (2007) juga menemukan bahwa syukur berkorelasi dengan reinterpretasi positif, koping aktif, perencanaan hidup dan berkorelasi negatif dengan perilaku menyalahkan. Penelitian Froh, Emmons, Card, Bono, dan Wilson (2011) yang melibatkan 1035 subjek menemukan bahwa subjek yang memiliki rasa syukur yang tinggi ternyata memiliki iri hati dan depresi yang rendah. Menurut Wood, Froh, Geraghty (2010), syukur terbukti memiliki hubungan dengan faktor klinis seperti psikopatologi, karakteristik kepribadian, kesehatan, subjective well-being, stres, depresi, gangguan tidur, gangguan kecemasan umum, fobia, kecanduan nikotin, ketergantungan alcohol, penyalahgunaan obat-obatan, bulimia nervosa dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Menurut Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011), syukur juga berdampak positif terhadap kesejahteraan, vitalitas, kebahagiaan, kepuasan hidup, perilaku prososial, hubungan interpersonal, penyakit mental seperti stres dan depresi, dan berdampak positif terhadap emosi. Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011), menjelaskan bahwa syukur memiliki hubungan erat dengan faktor religius, seperti berkorelasi positif terhadap kegiatan ibadah, keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan, doa, dan juga mampu berdampak positif terhadap moral. Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011), juga menjelaskan bahwa faktor agama menyumbang sekitar 50% bagi kesyukuran, bahkan ajaran agama telah menekankan pentingnya bersyukur dalam kitab suci yang telah diterangkan sejak zaman dahulu. 54 Pendapat penelitian diatas, sesuai dengan Firman Allah dalam Qs. AlBaqarah: 152 “Maka ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu supaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah menjadi orang yang tidak berterimakasih” (Al-Ghazali, 2013). Ayat ini merupakan salah satu perintah Allah SWT bagi umatNya untuk bersyukur. Wood, Joseph, & Malby (2008), bahwa kebersyukuran dapat menurunkan tingkat depresi. Penelitian Froh, Emmons, Card, Bono, & Wilson (2011) menemukan bahwa subjek yang memiliki rasa syukur yang tinggi ternyata memiliki iri hati dan depresi yang rendah. Emosi-emosi positif yang muncul karena rasa syukur diantaranya adalah kemurahan hati kepada orang lain (McCullough, Kimeldorf, & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland, Whalley, & Geraghty, 2007), dan memiliki suasana hati yang lebih baik (McCullough, Tsang & Emmons, 2004; Sheldon & Lyubomirsky, 2006). Penelitian Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, & Krumei (2011) membuktikan bahwa religiusitas secara konsisten mempengaruhi kebersyukuran. Orang yang memiliki keyakinan tentang Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang dipeluk dengan konsistensi memiliki rasa syukur yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bersyukur tanpa ada keyakinan terhadap Tuhan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syukur dari konteks agama memberikan suatu ketenangan batin dalam diri seseorang dan hal ini juga tercantum dalam Al-Quran. Sejalan dengan konteks agama penelitian-penelitian ilmiah juga membuktikan bahwa kebersyukuran memiliki manfaat yang luar biasa bagi kesehatan psikologis sehinga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien 55 diabetes mellitus. Hal ini dikarenakan dengan bersyukur merupakan suatu cara yang tepat dalam menangani pengalaman hidup yang menyakitkan dengan cara berpikir positif. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menggunakan pelatihan kebersyukuran berdasarkan konsep Islam dalam menangani keluhan psikologis berupa penurunan kualitas hidup yang terjadi pada pasien Diabetes mellitus. 56 Stressor pada Penderita Diabetes Mellitus Kekhawatiran dan ketakutan terhadap penyakit yang di derita yang dapat menyebabkan komplikasi penyakit berat bahkan kematian, masalah kehidupan sehari-hari, perubahan pola hidup dan pola makan, sulit mengelola emosi, rasa cemas, marah, dan rasa bersalah. • • • Menurunnya Kualitas Hidup Lamanya waktu pengobatan membuat pasien putus asa Kemampuas pasien melakukan beberapa hal menurun seperti aktivitas fisik, aktivitas harian. Rasa khawatir atau komplikasi penyakit yang dialami memunculkan rasa cemas. Ketakutan,sedih, rendah hati dan putus asa akan kesehatannya. Individu yang mengalami masalah berat dan menimbulkan stres mengaktivasi dua sistem pada tubuh. Sistem pertama, yaitu sistem saraf autonom yang mempersiapkan tubuh untuk aktivasi darurat yang singkat. Sistem kedua, yaitu sumbu hipotalamus hipofisiadrenal , kelenjar pituitari, dan korteks adrenal. Aktivasi hipotalamus akan memivu kelenjar pituitari anterior untuk menyereksi hormon adrenokortikotropik (ACTH). Hormon (ATCH) akan menstimulasi korteks adrenal manusia untuk menyekresikan kortisol yang akan meningkatkan metabolisme serta meningkatkan kadar gula dan nutrien lain di dalam darah (Pinel, 2009) Keadaan ini dapat mempengaruhi sistem imunitas melalui beberapa cara, sebagai bentuk respon terhadap pengalaman yang memicu masalah pada individu se[erti stres atau cemas, bahkan ketakutan dan amarah dapat menurunkan imunitas (Kalat,2007). Situasi yang bisa mengakibatkan stres yang bnerlangsung lama dapat mengganggu hipokampus. Pelepasan kortisol terjadi ketika kita stres, dan kritisol meningkatkan aktivitas metabolisme di seluruh tubuh. Apabila aktivitas metabolisme di hipokampus meningkat, maka sel-sel hipokampus menjadi rentan, zat-zat beracun atau stimulasi berlebih dapat merusak atau membunuh neuron-neuron hipokampus Sapolsky, 1992 ( dalam Intervensi Kebersyukuran 1. Pertemuan pertama: Tafakur Memaknai rasa syukur 2. Tugas harian selama 1 minggu menuliskan bentukbentuk rasa syukur di jurnal kebersyukuran 3. Pertemuan kedua: Sharing pengalaman (home work selama 1 minggu) Syukur dengan hati dan lisan Shalat sebagai wujud syukur yang sempurna Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang merefleksikan kerja susunan saraf otonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas parasimpatik sehingga tubuh menjadi tenang (Emmons & McCullogh, 2004). Emosi-emosi positif yang muncul di saat bersyukur terjadi kemurahan hati kepada orang lain (McCullough, Kimeldof & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland, Whalley &Geraghty, 2007) dan memiliki suasana hati yang baik (Sheldhon & Lyubomirsky, 2006) Orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan pada parietal, oksipital dan lobus frontal medial di hemisper kanan dan di cuneus dan pracuneus di hemisper kiri, keadaan ini dapat meningkatkan ketahanan terhadap kondisi psikopatologis (Miller, et al, 2013). Kualitas hidup menjadi lebih baik 57 Keterangan : Menyebabkan : Ranah Intervensi : Diharapkan : Intervensi Keberyukuran : Intervensi : Setelah Intervensi E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, ada peningkatan kualitas hidup penderita diabetes melitus setelah mengikuti pelatihan kebersyukuran.