PRESENTASI KASUS TRAUMA GINJAL DISUSUN OLEH: Ali Haidar S 0906554232 Deriyan Sukma W 0906554270 Narasumber: dr.Gerhard Reinaldi Situmorang, SpU MODUL PRAKTIK KLINIK BEDAH DAN ATLS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA FEBRUARI 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama : Tn. S Usia : 44 tahun Alamat : Kampung Jembatan, Cipinang, Jatinegara Agama : Islam Pekerjaan : Pegawai Swasta Pendidikan : SMA No. RM : 388-76-50 Masuk tgl/pk : 15 Januari 2014 1.2 Anamnesis (autoanamnesis, 23 Januari 2014) Keluhan Utama Buang air kecil (BAK) berdarah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 7 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengatakan ia terjatuh dari motor. Pasien mengatakan bahwa saat itu, pasien sedang mengeluarkan motor dari rumahnya, tetapi terpeleset dan terjatuh ke dalam parit. Pasien mengatakan ia terbentur pada bagian punggung kiri bawah dan bahu. Saat itu, pasien mengatakan bahwa ia tidak pergi ke dokter, hanya pergi ke tukang urut. Pasien mengeluhkan nyeri pada pinggang kiri yang tidak menjalar dan bersifat tumpul, serta BAK menjadi berdarah sejak saat itu, tetapi tidak terdapat nyeri berkemih. BAK berdarah dikatakan pasien terlihat mulai dari awal pasien berkemih hingga selesai. Kemudian satu hari setelah kecelakaan pasien pergi ke dokter umum dan diberi obat, tetapi BAK yang dialami pasien tetap berwarna merah, serta dirasakan terdapat gumpalan. Kemudian pasien datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) 7 hari setelah kecelakaan dan sempat dirawat di RSCM selama 3 minggu. Saat itu pasien dikatakan mengalami cedera pada ginjal kirinya. Selama perawatan pasien mengatakan tidak pernah dioperasi. Setelah rawat dari RSCM, pasien mengatakan keluhan BAK berdarah dan nyeri yang dialaminya hilang. Namun, 1 minggu SMRS pasien mengatakan BAK yang dialaminya kembali berdarah sehingga pasien kembali dirawat di RSCM. Saat pemeriksaan pasien sedang dalam perawatan hari ke 9, dan BAK pasien masih berdarah, tetapi warnanya sudah lebih pudar. Pasien telah menjalani prosedur embolisasi selama perawatan di RSCM. Riwayat keluarnya batu dari saluran kemih, BAK berpasir, BAK keruh, nyeri berkemih, nyeri pinggang, mual, muntah, dan demam sebelumnya tidak ada. Riwayat tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat pengencer darah, dan alergi dikatakan pasien tidak ada. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat BAK berdarah sebelumnya dikatakan pasien tidak ada. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung, dan keluhan serupa pada keluarga pasien tidak ada. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan Pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Sehari-hari pasien bekerja di lingkungan yang panas sehingga banyak berkeringat. Pasien sehari-hari minum air ledeng berjumlah sekitar 20002500ml. Riwayat merokok maupun minum alkohol dikatakan pasien tidak ada. 1.3 Pemeriksaan Fisik (23 Januari 2014) Status Generalis Tinggi badan : 161 cm Berat badan : 66 kg Kesadaran : kompos mentis Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit, reguler, isi cukup Suhu : 36,7oC Napas : 20x/menit Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas Kulit : sawo matang Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Hidung : Lubang hidung lapang, tidak ada sekret Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba Paru Inspeksi : simetris statis dan dinamis Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, vocal fremitus kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada Jantung Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga 5, 1 jari medial linea midclavicula kiri Perkusi : Batas jantung kiri di linea midclavicula kiri, 1 jari medial. Batas jantung kanan di linea sternalis kanan, pinggang jantung di sela iga 3. Auskultasi Perut : BJ I dan II normal, reguler, murmur dan gallop tidak ada : Datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok ginjal tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time<2 detik 1.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan 21/1/2014 22/1/2014 23/1/2014 Nilai Rujukan Hemoglobin 11.3 11.3 Hematokrit 33.1 32 – 42 % Eritrosit 3.96 x 106 3.7 – 5.3 x 106 /µL MCV 83.6.1 72 – 88 fL MCH 28.5 24 – 30 pg MCHC 34.1 32 – 36 g/dL Leukosit 9.74 x 103 6 – 14 x 103/µL 10.5 – 14.0 g/dL Basofil 0–1% Eosinofil 1–3% Neutrofil 52 – 76 % Limfosit 20 – 40 % Monosit 2–8% Trombosit 150 – 400 x 103/µL 418 x 103 PT 9.8 – 12.6 s APTT 31 – 47 s SGOT <56 U/L SGPT <39 U/L Albumin 3.8 – 5.4 g/dL Kreatinin darah 1.6 Ureum darah 1.5 0.8 – 1.3 mg/dL 37 <50 mg/dL Glukosa sewaktu <140 mg/dL 132 – 147 mEq/L Natrium darah 133 134 Kalium darah 3.89 3.3 – 5.4 mEq/L Klorida darah 97.6 94 – 111 mEq/L HIV Non reaktif Non reaktif Anti HCV Non reaktif Non reaktif HbsAg Non reaktif Non reaktif Urinalisis (14 Januari 2014) Makroskopis: Mikroskopis: - Warna:merah - sel epitel +1 - Kejernihan: keruh - leukosit 4-5 - Berat jenis: 1,015 - eritrosit penuh - pH 6,5 - silinder s. eritrosit 1-2 - protein +3 - kristal, bakteri negatif - glukosa negatif - keton negatif - darah +3 - bilirubin negatif - urobilinogen 3,2 - nitrit negatif - leukosit esterase trace Foto Abdomen (3 Januari 2014) Nefrolitiasis kiri multiple dan batu cetak ginjal kiri Terpasang DJ stent kanan-kiri dan kateter nefrostomi kanan Gambar 1. Hasil foto abdomen Foto Toraks (3 Januari 2014) Tak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo Gambar 2. Hasil foto toraks CT Scan (15 Desember 2013) Contusio pole bawah ginjal kiri grade IV Suspek lesi kistik hepar multiple Hidronefrosis dan hidroureter kanan ec urolithiasis Hidronefrosis kiri dengan hidroureter kiri 1.5 Prosedur Prosedur Embolisasi (24 Januari 2014) Hasil: - Pasien dalam posisi terlentang - Dilakukan desinfektan jugular kiri pada daerah operasi dan drapping - Dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2% di daerah femoralis kanan - Puncture arteri femoralis komunis kanan, insersi introducer sheath 5 FR - Arterial pressure awal 96/59 mmHg - Aff introducer sheath - Kontrol perdarahan - Operasi selesai Komplikasi : Tidak ada Perdarahan : Minimal daerah puncture Kesimpulan : Ekstravasasi kontras cabang arteri renalis pool bawah sinistra 1.6 Daftar Masalah 1. Hematuria ec trauma ginjal kiri grade IV 2. Hidronefrosis dan hidroureter kanan ec urolithiasis dengan DJ stent 3. Hidronefrosis kiri dengan hidroureter kiri dengan DJ stent 1.6 Rencana Diagnosis 1. Belum ada 1.7 Tatalaksana 1. NaCl 0,9% 500cc/6 jam 2. Cefoperazone 2x1gr IV 3. Farmadol 3x1 gr IV 4. Omeprazole 1x40 mg IV 1.8 Prognosis Ad vitam : bonam Ad sanctionam: dubia ad bonam Ad functionam : bonam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Trauma Saluran Kemih Atas Cedera traumatik merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Di United States of America (USA), 1 dari 14 kematian disebabkan oleh trauma. Pada kelompok usia muda (1-37 tahun), trauma merupakan penyebab kematian yang lebih tinggi dibanding penyebab kematian lainnya.1 A.1 Trauma Ginjal Ginjal merupakan organ genitourinari yang paling umum mengalami cedera akibat trauma eksternal. Dalam 2 dekade terakhir, evaluasi dan manajemen dari cedera renal telah mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan staging radiografi yang berkembang, peningkatan monitoring hemodinamik, sistem skoring cedera ginjal yang tervalidasi, dan detail penting tentang mekanisme cedera yang menyebabkan dapat terlaksananya strategi manajemen non-operatif.1 Insidens cedera traktus urinarius setelah terjadi trauma abdomen adalah sekitar 10%. Trauma ginjal terjadi pada 1-5% dari semua kasus trauma. Ginjal merupakan organ genitourinari yang paling sering terjadi pada semua umur, dengan rasio laki-laki banding perempuan 3:1. Meskipun trauma ginjal dapat mengancam ginjal secara akut, sebagian besar cedera dapat diatasi secara konservatif.2 Jenis cedera ginjal Cedera ginjal diklasifikasikan berdasarkan mekanismenya, yaitu tumpul atau penetratif. Pada rural setting, trauma tumpul merupakan penyebab terbesar (90-95%), sementara pada urban setting, persentasi cedera penetratif dapat meningkat hingga 20%.1 Cedera tumpul ginjal Mayoritas cedera tumpul dan penetratif terhadap ginjal tidak lagi memerlukan intervensi bedah secara absolut, meskipun adanya cedera visceral lainnya. Kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, perkelahian, dan olah raga merupakan penyebab paling sering dalam trauma renal tumpul.1,2 Transmisi langsung dari energi kinetik dan gaya yang mengalami deselerasi cepat merupakan penyebab ginjal mengalami gangguan. Informasi paling penting yang harus diperoleh dalam riwayat penyakit pasien adalah seberapa besar deselerasi yang terjadi dalam trauma kecepatan tinggi. Mayoritas cedera renovaskular (meskipun jarang) terjadi pada titik fiksasi retroperitoneal seperti hilus ginjal atau uretropelvic junction. Cedera yang terjadi dapat berupa trombosis arteri renalis, gangguan vena renalis, dan avulsi pedikel renal.1 Trombosis terjadi karena tergesernya ginjal menyebabkan traksi arteri renalis, akibatnya terjadi robekan pada tunika intima yang tidak elastis dan kemudian terjadi perdarahan ke dalam dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan trombosis.2 Cedera penetratif ginjal Cedera ginjal penetratif seringkali disebabkan oleh luka tembak dan luka tusuk. Di USA, luka tembak merupakan mayoritas penyebab trauma penetratif dan kemudian disusul oleh luka tusuk (86% vs 14%). Setiap cedera yang terjadi pada abdomen atas atau bagian bawah dada harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya cedera ginjal. Initial assessment luka tembak meliputi pengumpulan informasi penting terkait karakteristik senjata, termasuk kaliber dan tipe. Ukuran peluru dan kecepatan memiliki efek terbesar terhadap kerusakan soft tissue. Akibat dari kerusakan ekstensif soft tissue memerlukan debridement yang dipandu dengan observasi klinis. Luka tusuk dari perkelahian atau self-inflicted dapat menyebabkan cedera renovaskular dan parenkim. Common entry sites meliputi abdomen bagian atas, pinggang, dan dada bagian bawah. Jika senjatanya diketahui, dimensinya harus dicatat karena panjang dan lebarnya memberikan informasi penting terkait karakteristik luka yang terjadi.2 Klasifikasi Cedera Terdapat 26 klasifikasi untuk cedera ginjal yang telah ada dalam 60 tahun terakhir, tetapi yang saat ini secara luas digunakan adalah skala cedera American Association for the Surgery of Trauma (AAST). Cedera ginjal diklasifikasikan dalam grade 1 hingga 5. Computed Tomography (CT) scan abdomen atau eksplorasi langsung ginjal digunakan untuk mengklasifikasikan cedera.2 Sistem AAST merupakan variabel terpenting dalam memprediksi keperluan untuk memperbaiki atau mengangkat ginjal, dan sistem ini juga memprediksi morbiditas setelah cedera tumpul atau penetratif serta mortalitas setelah cedera tumpul.2 Tabel 1. Klasifikasi cedera ginjal menurut AAST1 Gambar 1. Klasifikasi cedera ginjal1 Pemeriksaan fisik terhadap semua sistem tubuh harus detail dan lengkap. Riwayat perjalanan penyakit harus diperoleh secara lengkap selama pemeriksaan. Resusitasi cepat harus dilakukan pada politrauma yang severe. Trauma tumpul harus selalu dilakukan imobilisasi cervical spine hingga dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologi. Indikator terbaik adanya keterlibatan cedera sistem urinari yang signifikan salah satunya ditandai dengan adanya hematuria mikroskopik atau gross dan hipotensi.EUA Diagnosis Ketika cedera ginjal dicurigai dalam pemeriksaan klinis, pemeriksaan selanjutnya (CT Scan, laparotomi) diperlukan untuk menegakkan diagnosis.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Indikator yang mungkin untuk cedera ginjal mayor meliputi kejadian dengan deselerasi cepat (jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor), atau pukulan langsung ke pinggang. Dalam menilai pasien trauma setelah kecelakaan kendaraan bermotor, perlu diketahui kecepatan kendaraannya dan apakah pasien merupakan penumpang atau pejalan kaki. Pada awal resusitasi, harus dipikirkan adanya penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya. Pasien dengan kelainan ginjal sebelumnya membuat cedera ginjal pasca trauma lebih mungkin terjadi. Patologi ginjal yang telah ada sebelumnya harus diketahui. Hidronefrosis akibat kelainan ureteropelvic junction, batu ginjal, kista, atau tumor adalah penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan yang dapat menimbulkan komplikasi cedera ginjal minor. Stabilitas hemodinamik adalah kriteria primer untuk manajemen semua cedera ginjal. Oleh karena itu, tanda vital harus selalu diukur selama proses diagnostik. Melalui pemeriksaan fisik dapat diperoleh trauma penetratif yang jelas pada thorax bawah bagian belakang, pinggang, dan abdomen atas, atau jejas peluru pada area ini. Trauma tumpul pada punggung, pinggang, thorax bagian bawah atau abdomen bagian atas dapat menyebabkan cedera ginjal. Berikut ini adalah temuan yang meningkatkan kecurigaan keterlibatan ginjal: Hematuria Nyeri pinggang Ecchymoses di pinggang Abrasi pinggang Fraktur iga Distensi abdomen Massa abdomen Nyeri tekan abdomen Pemeriksaan Laboratorium Urinalisis, hematokrit, dan kreatinin baseline merupakan test paling penting dalam mengevaluasi trauma ginjal. Hematuria, baik mikroskopik atau gross seringkali ditemui dalam cedera ginjal (meski belum tentu berkorelasi dengan derajat cedera). Hematuria yang tidak sesuai proporsi dengan riwayat trauma dapat disebabkan oleh adanya patologi ginjal yang sebelumnya telah ada. Pemeriksaan hematokrit serial ditambah tanda vital digunakan untuk evaluasi kontinu pasien dengan trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan transfusi darah merupakan tanda tidak langsung dari perdarahan. Meskipun demikian, hingga evaluasi selesai, tidak jelas apakah penurunan hematokrit akibat trauma ginjal dan/atau cedera yang menyertainya. Pemeriksaan kreatinin serum dalam 1 jam pasca trama mencerminkan fungsi ginjal sebelum terjadinya cedera. Jika terdapat peningkatan, hal ini biasanya mencerminkan adanya kelainan patologi ginjal sebelumnya. Pemeriksaan radiologi Keputusan untuk melakukan pemeriksaan penunjang pada kecurigaan trauma ginjal didasarkan pada temuan klinik dan mekanisme cedera. Karena mayoritas trauma ginjal tidak signifikan dan dapat hilang tanpa invertensi, beberapa upaya telah dibuat untuk mengidentifikasi pasien tidak memerlukan pemeriksaan radiologi.EUA Kriteria pemeriksaan radiologi ginjal adalah sebagai berikut:Campbell - Semua pasien dengan trauma penetratif dengan kemungkinan cedera ginjal (abdomen, pinggang, atau bagian bawah dada) yang stabil secara hemodinamik - Semua trauma tumpul dengan mekanisme cedera yang jelas, terutama cedera dengan deselerasi cepat seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian - Semua trauma tumpul dengan hematuria gross - Semua trauma tumpul dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90mmHg) - Semua pasien anak dengan 5 sel darah merah/high power field dalam urinnya USG Dapat mendeteksi laserasi ginjal tetapi tidak dapat secara akurat menilai kedalaman dan luasnya. Tidak dapat memberikan informasi fungsional mengenai ekskresi ginjal atau kebocoran urin. USG berguna untuk follow-up lesi parenkim atau hematoma. Intravenous pyelography (IVP) Sensitif, tetapi bukan merupakan pilihan dan telah secara luas digantikan oleh CT Scan. IVP direkomendasikan pada tempat dimana IVP hanya merupakan modalitas satu-satunya. IVP dapat menunjukkan parenkin dan outline dari collecting system. Temuan yang paling signifikan dari IVP adalah non-function (tanda trauma ekstensif terhadap ginjal atau cedera pedikel) dan ekstravasasi kontras (tanda trauma yang parah, mengenai kapsul, parenkim, dan collecting system). One-shot intraoperative IVP Pada pasien yang tidak stabil yang memerlukan intervensi segera, pemeriksaan ini dapat memberikan informasi yang penting mengenai ginjal yang cedera dan fungsi ginjal kontralateral yang normal. Injeksi kontras melalui IV bolus sebanyak 2 mL/kg dan kemudian diikuti dengan pemeriksaan foto polos setelah 10 menit. Pemeriksaan ini aman, efisien, dan memiliki kualitas baik pada sebagian besar kasus. CT Scan CT Scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard untuk pasien stabil dengan trauma ginjal. Dapat secara akurat mendeteksi lokasi cedera, kontusio, dan segmen yang mengalami devitalisasi, memvisualisasikan keseluruhan retroperitoneum dan hematoma, serta secara bersamaan dapat memberikan gambaran abdomen dan pelvis. Magnetic resonance imaging (MRI) Meskipun MRI tidak digunakan dalam mayoritas trauma ginjal karena pemeriksaannya yang lama dan membatasi akses terhadap pasien selama diperiksa, MRI sensitif dalam evaluasi trauma ginjal tumpul. Oleh karena itu, MRI berguna dalam trauma ginjal hanya jika CT tidak ada, pasien dengan alergi iodin, atau pada beberapa kasus dimana hasil pemeriksaan CT kurang tegas. Angiografi Angiografi diindikasikan untuk pasien stabil yang merupakan kandidat untuk kontrol radiologis perdarahan yang terlihat pada CT. Angiografi kurang spesifik, lebih memakan waktu lama, dan lebih invasif daripada CT tetapi lebih spesifik untuk menentukan lokasi pasti dan derajat cedera vaskular. Angiografi dapat juga digunakan untuk menentukan laserasi ginjal, ekstravasasi, dan cedera pedikel Radionuclide scans Secara umum hanya digunakan pada pasien dengan alergi terhadap kontras iodin. Tatalaksana Indikasi eksplorasi ginjal Keperluan untuk eksplorasi ginjal dapat diprediksikan berdasarkan jenis cedera, kebutuhan transfusi, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin, dan derajat cedera. Namun, manajemen cedera ginjal juga dapat dipengaruhi oleh keputusan untuk mengeksplorasi atau observasi cedera abdominal lain yang menyertai. Indikasi absolut untuk eksplorasi ginjal adalah instabilitas hemodinamik akibat perdarahan ginjal, tidak terpengaruh oleh mekanisme cederanya. Cedera vaskular ginjal grade 5 juga merupakan indikasi absolut. Indikasi lainnya meliputi hematoma perirenal yang meluas atau pulsatil, yang diketahui melalui laparotomi eksploratif yang dilakukan untuk cedera abdomen lainnya. Faktor-faktor lainnya yang meningkatkan risiko intervensi pembedahan adalah perirenal hematoma dengan ukuran >3,5 cm, adanya ekstravasasi kontras intravaskular, dan adanya cedera grade 4-5.2 Radiologi intervensi Dalam dekade terakhir, radiologi intervensi telah memberikan kemajuan yang sangat penting dalam manajemen trauma ginjal. Tatalaksana endovaskular merupakan pilihan yang penting dan less invasive untuk menatalaksana trauma renovaskular yang memungkinkan untuk mempertahankan jaringan/organ semaksimal mungkin. Angiografi dengan embolisasi ginjal selektif merupakan alternatif laparotomi saat tidak ada indikasi untuk pembedahan terbuka. Pasien cedera grade 3 atau lebih dengan hemodinamik stabil dapat dipikirkan untuk menjalani angiografi yang diikuti embolisasi jika terdapat perdarahan aktif. Temuan positif radiologis seperti ekstravasasi masif, adanya segmen devaskularisasi yang besar atau adanya lesi grade 4 atau 5, laserasi arterial, avulsi, hipoperfusi global atau segmental, robekan intimal atau false aneurysm, perdarahan arteri segmental atau subsegmental, dan trombosis merupakan indikasi untuk dilakukan angiografi. Angio-embolisasi juga memiliki peran pada pasien dengan hematuria post-traumatik persisten. Angio-embolisasi untuk cedera derajat 4-5 harus dilakukan dengan hati-hati karena tingkat keberhasilan awal rendah dan biasanya memerlukan prosedur lanjutan. Namun, prosedurnya itu sendiri aman. Penambahan kontras yang diperlukan untuk angiografi tidak meningkatkan insidens nefropati.2 Temuan operatif dan rekonstruksi Tujuan eksplorasi ginjal setelah trauma ginjal adalah mengontrol perdarahan dan menyelamatkan ginjal. Sebagian besar merekomendasikan pembedahan melalui pendekatan transperitoneal. Akses terhadap vaskular pedikel ginjal diperoleh melalui peritoneum parietal posterior, yang diinsisi di atas aorta, sebelah medial dari vena mesenterika inferior. Oklusi vaskular sementara sebelum membuka Gerota’s fascia merupakan cara yang aman dan efektif selama eksplorasi dan rekonstruksi ginjal. Hal tersebut cenderung menurunkan kehilangan darah dan nefrektomi yang dilakukan tidak meningkatkan kejadian postoperative azotemia atau mortalitas. Pada cedera akibat luka tembak dengan kecepatan tinggi, rekonstruksi sulit dilakukan dan nefrektomi seringkali diperlukan. Teknik rekonstruktif yang sering dilakukan adalah renorrhaphy. Nefrektomi parsial diperlukan ketika terdapat jaringan yang mati.2 Manajemen non-operatif cedera ginjal Cedera ginjal tumpul2 Pada pasien stabil, terapi suportif dengan tirah baring dan observasi dapat dilakukan. Beberapa penulis juga merekomendasikan penggunaan antibiotik profilaksis. - Cedera ginjal derajat 1 dan 2 dapat ditatalaksana secara non-operatif, baik trauma tumpul atau pun tajam. - Cedera ginjal derajat 3 masih kontroversial, tetapi studi terbaru mendukung prinsip expectant treatment. - Sebagian besar pasien dengan derajat 4 dan 5 datang dengan cedera mayor lainnya sehingga kemungkinan menjalani eksplorasi dan nefrektomi tinggi. Meskipun demikian, data-data terbaru yang mengindikasikan bahwa sebenarnya banyak dari kasus tersebut dapat ditatalaksana melalui pendekatan expectant secara aman. Pendekatan konservatif dapat dilakukan pada pasien stabil dengan fragmen terdevitalisasi. Manajemen non-operatif untuk cedera arteri renalis segmental memiliki hasil yang baik. Pembedahan dilakukan pada cedera arteri renalis pada kedua ginjal atau ginjal soliter. Cedera ginjal penetratif2 Sebagian besar pasien dengan trauma ginjal penetratif seringkali ditatalaksana dengan pembedahan. Namun, pasien stabil harus menjalani proses penilaian derajat cedera secara lengkap untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan ginjal telah terjadi. - Cedera akibat luka tembak harus dieksplorasi hanya jika melibatkan hilus atau disertai dengan tanda perdarahan kontinu, cedera ureter, atau laserasi pelvis ginjal - Luka tembak low-velocity dan luka tusuk minor dapat ditatalaksana konservatif dan dapat memberikan hasil yang baik - Jika lokasi penetrasi oleh luka tusuk berada pada posterior dari linea aksilaris anterior, 88% cedera ginjal tersebut dapat ditatalaksana non-operatif. - Semua pasien luka tembak yang dapat dievaluasi, stabil dan tanpa nyeri abdomen difus atau peritonitis merupakan kandidat tatalaksana non-operatif Postoperative care and follow-up2 Pemeriksaan CT Scan ulang harus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan komplikasi, demam, nyeri pinggang, atau penurunan hematokrit. Sementara itu, pencitraan nuklir ginjal dapat dilakukan untuk mendokumentasikan dan menilai pemulihan fungsional pada pasien setelah dilakukan rekonstruksi ginjal. Follow-up: - Follow-up pertama sekitar 3 bulan setelah cedera ginjal mayor dengan riwayat hospitalisasi - Setiap follow-up meliputi: pemeriksaan fisik, urinalisis, pemeriksaan radiologis sesuai kebutuhan individu, pemeriksaan tekanan darah, dan penentuan fungsi ginjal. - Follow-up harus dilanjutkan hingga penyembuhan terjadi dan hasil laboratorium stabil (meskipun pemeriksaan untuk hipertensi renovaskular laten dapat terus dilakukan untuk beberapa tahun) Komplikasi Komplikasi dini (terjadi dalam kurang dari 1 bulan setelah cedera) dapat berupa perdarahan, infeksi, abses perinephric, sepsis, fistula urinari, hipertensi, ekstravasasi urin dan urinoma. Komplikasi lanjut meliputi perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus, pyelonefritis kronik, hipertensi (<5%), fistula arteriovena, dan pseudoaneurisma. Hipertensi yang terjadi akibat kompresi eksternal (perirenal hematoma) atau kronik (akibat pembentukan scar kompresif). Hipertensi yang terjadi biasanya bergantung pada sistem renin. Penyebab lain meliputi trombosis arteri renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, fragmen terdevitalisasi, dan fistula arteriovena.2 Algoritma Tatalaksana Trauma Ginjal2 B. Hematuria Hematuria/ urin yang mengandung darah adalah tanda bahaya dalam urologi yang perlu diperhatikan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya hematuria adalah karsinoma pada ginjal maupun buli, trauma, inflamasi, batu, dan infeksi. Salah satu hal penting pada hematuria yang perlu ditanyakan pada anamnesis adalah nyeri pada berkemih dan apakah darah terlihat di seluruh pancaran urin atau hanya sebagian.1,3 Pendekatan Etiologis Hematuria yang dirasakan dengan nyeri kolik mengarahkan ke batu ureter walaupun bekuan darah dari tumor renal dapat menyebabkan gejala yang sama. 3 Hematuria juga sering disebabkan oleh infeksi nonspesifik, tuberkulosa, atau skisostoma pada buli. Perdarahan biasanya terjadi pada akhir berkemih (leher buli atau prostat) walaupun terkadang sepanjang berkemih (vesika atau saluran atas). 3 Batu di buli juga sering menyebabkan hematuria, tetapi biasanya bersama infeksi dan terdapat gejala obstruksi leher buli, neurogenic bladder, atau sistokel. Vena yang dilatasi dapat tebentuk di leher buli disebabkan pembesaran prostat. Vena tersebut dapat ruptur saat pasien mengejan untuk berkemih. 3 Hematuria tanpa gejala lain perlu dipikirkan sebagai gejala tumor buli atau ginjal sampai tidak terbukti. Hematuria jenis ini biasanya intermiten dan dapat tidak muncul selama beberapa bulan. Beberapa penyebab lain dari hematuria tanpa gejala ini adalah batu staghorn, ginjal polikistik, BPH, kista renal soliter, penyakit sel sabit, dan hidronefrosis. Perdarahan tanpa nyeri biasa dihubungkan dengan glomerulonefritis akut. Perdarahan berulang biasa dilihat pada anak dengan glomerulitis fokal. Olahragawan juga terkadang mengalami proeinuria dan hematuria transien. 3 Membedakan antara hematuria parsial (pancaran awal/akhir) atau total (sepanjang berkemih) biasa memebantu lokasi perdarahan. Hematuria pada awal menyebabkan kecurigaan perdarahan uretra (uretritis, striktur, stenosis meatus). Hematuria pada akhir biasa terjadi akibat perdarahan pada uretra posterior, leher buli, atau trigonum (posterior uretritis, polip, tumor pada leher buli). Hematuria total biasa terjadi apabila penyebab terdapat pada tingkat di atas buli. 3,4,5 Hematuria adalah indikator utama trauma terhadap sistem kemih. Hematuria mikroskopik (>5 sel darah merah per HPF), heme positif pada dipstick urin, dan hematuria makroskopik adalah indikator utamanya. Cedera ginjal berat akibat trauma biasa ditunjukkan dari adanya shock sistemik dan adanya hematuria mikroskopik. Pada pasien trauma, hematuria yang paling utama adalah sampel dari urin pancaran pertama, baik dari kateter ataupun langsung.4,5 BAB III DISKUSI Pasien mengalami hematuria sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sebenarnya sudah dirasakan pasien 7 minggu sebelum masuk RSCM (yang kedua kalinya). Penyebab dari hematuria dapat berbagai macam, dari neoplasma hingga penyakit autoimun seperti glomerulonefritis. Pada pasien ini perlu dulakukan beberapa anamnesis yang penting untuk dilakukan pada pasien dengan keluhan utama hematuria. Pertanyaan pertama penting yang perlu ditanyakan pada pasien yang mengalami hematuria adalah karakteristik dari hematuria itu sendiri, apakah hematuria terjadi di sepanjang berkemih atau tidak (apabila tidak, apakah hanya awal atau akhir) dan apakah ada gejala penyerta dari hematuria tersebut, seperti nyeri kolik ataukan pernah kencing yang mengeluarkan batu/serpihan. Pada pasien ini, dikatakan pasien pernah mengalami nyeri pinggang yang tumpul yang tidak hilang timbul dan darah keluar pada sepanjang berkemih. Kemudian, perlu ditanyakan juga apakah pasien mengalami riwayat faktor risiko lain yang dapat menyebabkan hematuria, seperti apakah pernah mengalami batu ginjal, riwayat trauma, riwayat penurunan berat badan, kanker ginjal, gejala saluran kemih bawah, dan riwayat kencing berdarah sebelumnya. Keluhan yang dialami pasien didahului adanya riwayat trauma tumpul di bagian pinggang kiri akibat terpeleset saat mengeluarkan motor. Berdasarkan anamnesis, dipikirkan penyebab hematuria yang terjadi pada pasien dicetuskan oleh trauma tumpul yang dialaminya mengenai saluran kemih. Diperkirakan trauma yang terjadi mengenai organ ginjal karena kencing berdarah sepanjang berkemih menunjukkan bahwa trauma menyebabkan cedera pada organ di atas buli. Karena pasien dicurigai mengalami trauma ginjal, maka dilakukanlah pemeriksaan penunjang yang berupa CT scan, seperti pada guidelines EAU 2013. Saat mengalami hematuria untuk pertama kalinya (7 minggu SMRS), pasien tidak segera datang ke rumah sakit, tetapi baru datang 7 hari kemudian. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanda vital pasien stabil. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan kontras di RSCM. Hal ini sudah tepat, bila merujuk pada guidelines EAU 2013 dimana setelah menentukan kondisi pasien stabil, dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan kontras. Pemeriksaan CT Scan ini penting untuk menentukan tatalaksana selanjutnya. Berdasarkan CT Scan, diketahui bahwa pasien mengalami trauma ginjal grade IV dengan A/V renalis masih baik, hidronefrosis dan hidroureter kanan ec ureterolithiasis, dan hidronefrosis kiri dengan hidroureter kiri. Trauma yang dialami pasien cenderung memiliki energi yang tidak besar karena kecepatan tumbukan yang dialami pasien tidak tinggi. Meskipun demikian, ternyata cedera ginjal yang dialaminya mencapai grade IV. Hal ini diperkirakan akibat adanya kelainan ginjal sebelumnya, yakni adanya batu di pelvis renis, pole atas, dan pole bawah ginjal kiri yang menyebabkan cedera ginjal yang dialami pasien mencapai grade IV. Pada saat pasien dirawat di RSCM untuk pertama kali, tatalaksana yang diperoleh pasien bersifat non-operatif. Pasien diistirahatkan total (bedrest) dan observasi tanda vital hingga hematuria makroskopik yang dialaminya hilang. Kemudian setelah itu pasien dipulangkan. Tatalaksana non-operatif merupakan pilihan yang tepat karena tidak terdapat indikasi untuk eksplorasi ginjal (hemodinamik pasien stabil, tidak terdapat cedera lain yang memerlukan eksplorasi, atau cedera vaskular grade V). Pasien mengalami hematuria untuk kedua kalinya saat 2 hari SMRS. Oleh karena itu, dipikirkan pasien mengalami komplikasi lanjut (>1 bulan) yaitu perdarahan. Idealnya, EAU menyarankan dilakukan pemeriksaan radiologi ulang, tetapi pemeriksaan tidak dilakukan pada pasien ini. Pasien kemudian menjalani terapi medikamentosa dan radiologi intervensi (embolisasi) untuk mengatasi perdarahannya. Hal ini sudah tepat berdasarkan guidelines EAU 2013, yang merekomendasikan penatalaksanaan komplikasi trauma ginjal terlebih dahulu dengan medikamentosa dan minimally invasive. Daftar Pustaka 1. Santucci RA, Doumanian LR. Upper Urinary Tract Trauma. In: Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. 2. Summertom DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E. Guidelines on Urological Trauma. European Association of Urology; 2013. 3. Tanagho EA, McAninch JW. Kidney Trauma. In: Smith’s General Urology. 17th ed. San Fransisco; 2008. 4. Sjamjuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R (ed). Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. In: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 2010. 5. Oxford University Press. Trauma to the genitourinary tract. In: Oxford Textbook of Surgery [e-book]. 2002.