I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempermudah dan mempercepat penyampaian informasi. Begitu pula dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang mana saat ini telah berkembang sesuai dengan kebutuhan informasi para pemakai jasa tersebut. Pengolahan dan interpretasi secara digital dengan menggunakan komputer banyak dilakukan di unit pengolahan data penginderaan jauh. Unit terakhir dari sistem penginderaan jauh adalah unit pengguna, yang memanfaatkan hasil pengolahan dan interpretasi data penginderaan jauh untuk suatu target disiplin ilmu tertentu seperti pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, dan banyak lagi bidang lainnya. Perikanan menggunakan Sistim Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh dapat digunakan untuk tujuan spesifik. Data satelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter oseanografi yang berhubungan erat dengan kumpulan ikan atau habitat ikan. Antara parameter oseanografi yang berhubungan dengan kehidupan ikan pelagis adalah suhu air laut dan kesuburan perairan. Peta dari data satelit suhu dan klorofil dapat digunakan sebagai informasi tentang fenonema spesifik oseanografi dan upwelling sebagai daerah berkumpulnya ikan. Perairan Cilacap secara geografis berada di selatan Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia. Daerah pesisir Kabupaten Cilacap merupakan kawasan yang mempunyai suatu ekosistem sangat unik yang ada di bagian selatan Pulau Jawa. Kawasan perairan pesisir yang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan eksternal dari aktivitas daratan, pengaruh massa air sungai dan muatan sedimen melalui proses hidro-oseanografis yang terjadi hingga ke tengah laut pada radius 5 mil, sehingga terjadi proses pengkayaan unsur hara seperti Nitrat dan Posfat yang penting bagi fotosintesis biomasa fitoplankton perairan. Perairan Cilacap memiliki luas sebaran penangkapan sebesar 52.000 km2, sehingga peluang untuk pengembangan dalam perikanan tangkap cukup besar. Wilayah perairan cilacap juga memiliki sumberdaya ikan yang cukup besar antara lain terdapat jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, ikan karang, dsb. Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Sumber makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah perairan yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti orthoposphat, nitrat, nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi dan 1 konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula. Selain itu, dengan mengamati pola sebaran suhu permukaan laut dapat dilihat fenomena oseanografi seperti upwelling atau front. Fenomena oseanografi tersebut berhubungan erat dengan keberadaan ikan, dimana daerah yang mempunyai fenomena-fenomena seperti itu umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya lokasi-lokasi yang merupakan daerah perairan yang subur maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui, disebabkan migrasi ikan yang cenderung ke wilayah perairan yang subur. Berbagai penelitian mengenai kajian suhu permukaan laut, klorofil-a, dan hasil tangkapan ikan pernah dilakukan sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian yang pernah dilakukan. (1) Syohraeni (2005), menjelaskan tentang estimasi daerah penangkapan ikan pelagis besar di selatan pulau Jawa berdasarkan dari citra klorofil-a yang didapat dari satelit Aqua MODIS dan SeaWiFS selama empat tahun dari tahun 1998 - 2004. Dalam penelitian tersebut dilakukan hanya saat terjadinya musim Timur dan musim Peralihan II. Konsentrasi klorofil-a pada perairan selatan Jawa nilainya lebih besar pada saat terjadinya musim Timur dibanding saat terjadinya musim Peralihan II, yaitu sebesar 0,380 mg/m³ saat musim Timur dan 0,345 mg/m³ saat musim Peralihan II. Tingginya nilai konsentrasi klorofil-a saat musim timur berlangsung juga diikuti oleh hasil tangkapan ikan pelagis besar, khususnya ikan Cakalang, tetapi berbeda dengan ikan Tuna, bahwa hasil tangkapan ikan lebih merata untuk setiap musim. (2) Satibi (2008), menjelaskan tentang evaluasi fishing ground ikan tuna di selatan Jawa – Sumbawa. Data yang digunakan berupa data suhu permukaan laut dari satelit TMI, kecepatan angin dari satelit QuickScat, tinggi paras laut dari satelit Jason 1, dan data fishing ground ikan tuna PT. Perikanan Samudera Besar (PSB) Bali. PT. PSB melakukan penangkapan ikan selama 4 tahun (2003 – 2006) baik pada musim barat atau musim timur cenderung pada daerah yang sama dan hasil regresi linier antara jumlah tangkapan ikan dengan suhu permukaan laut, tinggi paras laut, dan kecepatan angina tidak ada hubungannya. Pada musim barat lebih banyak melakukan penangkapan pada nilai tinggi paras laut negative dengan perbedaan suhu 3°C kecepatan angina 2 m/sec dan mendapat hasil yang banyak, sedang pada musim timur lebih banyak melakukan penangkapan pada nilai tinggi paras laut yang positif dengan hasil sedikit. (3) Handayani (2010), menjelaskan tentang hubungan fluktuasi suhu permukaan laut dari citra satelit Aqua MODIS dengan hasil tangkapan Ikan Cakalang di perairan selatan Malang dari tahun 2005 - 2009. Hasil tangkapan ikan selama lima tahun di perairan selatan Malang mempunyai pola musiman dengan hasil tangkapan maksimum terjadi pada Bulan September (Musim Peralihan II) dan hasil tangkapan minimum terjadi pada bulan Desember (Musim Barat). Uji statistik yang diperoleh yaitu hubungan suhu 2 permukaan laut dan hasil tangkapan ikan Cakalang berbanding terbalik dengan nilai r sebesar -0,556 yang berarti jika suhu permukaan laut tinggi maka hasil tangkapan ikan Cakalang rendah, begitu pula sebaliknya. (4) Hardanto (2005), menjelaskan tentang penentuan daerah penangkapan ikan di perairan D.I. Yogyakarta berdasarkan sebaran konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Landsat –ETM+. Citra tersebut merupakan rekaman citra pada tanggal 22 Agustus 2002 untuk melihat lokasi dan persebaran fitoplankton. Daerah yang potensial untuk penangkapan ikan diindikasikan dengan nilai pixel rata-rata yang tinggi serta kemudahan lokasi tersebut untuk dicapai. Pengkajian suhu pemukaan laut (SPL) dan klorofil-a merupakan salah satu program penelitian yang sangat penting dalam bidang perikanan. Dengan teknologi penginderaan jauh satelit pengukuran secara langsung faktor-faktor oseanografi conventional secara berangsurangsur dapat dikurangi. Penginderaan jauh satelit dapat mencakup wilayah laut yang luas dalam waktu yang singkat, sementara itu pengukuran secara langsung ke lapangan memerlukan banyak biaya, tenaga dan waktu yang lama. Adanya kemudahan mendapatkan data suhu permukaan laut dan klorofil-a, memungkinkan adanya pengembangan lebih lanjut dari data tersebut. Pengembangan yang dimaksud berupa perkiraan zona potensial penangkapan ikan. Perkiraan zona potensial penangkapan ikan memudahkan nelayan dalam mencari lokasi penangkapan, sehingga nelayan lebih efisien dalam memanfaatkan bahan bakar yang digunakan, dapat mengurangi ongkos produksi, dan meningkatkan pendapatan karena berkurangnya ongkos produksi tersebut. Dibalik kelebihan teknologi perkiraan zona potensial penangkapan ikan terdapat juga kelemahan dari teknologi tersebut. Kelemahan yang dimiliki yaitu zona potensial penangkapan ikan hanya efektif saat terjadinya musim penangkapan ikan, sehingga dibutuhkan kajian terlebih dahulu tentang kondisi perairan dan musim penangkapan ikan. B. Tujuan 1. Menganalisis suhu permukaan laut berdasarkan data citra satelit MODIS di perairan Cilacap. 2. Menganalisis klorofil-a berdasarkan data citra satelit MODIS di perairan Cilacap. 3. Mengetahui hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Cilacap. 3