analisis framing pemberitaan harian the wall street journal terhadap

advertisement
ANALISIS FRAMING
PEMBERITAAN HARIAN THE WALL STREET JOURNAL
TERHADAP PEMBENTUKAN REPUTASI INDONESIA SECARA GLOBAL
Debora Irene Christine
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Kompetisi global menuntut negara untuk melakukan manajemen reputasi dengan strategis. Guna melakukannya,
diperlukan kajian yang komprehensif mengenai potensi internal negara dan posisinya saat ini (current condition) dalam
percaturan global. Audit reputasi negara dengan menganalisa bingkai pemberitaan terhadap negara dalam media massa
global mampu memberikan pemahaman mengenai persepsi publik global tentang negara dan membantu proses
identifikasi aspek-aspek reputasi Indonesia yang sudah baik dan yang harus diperbaiki. Dengan melakukan analisis
framing, penelitian ini hendak melihat bagaimana pemberitaan mengenai Indonesia yang diangkat oleh harian The Wall
Street Journal memengaruhi konstruksi reputasi Indonesia secara global. Hasil yang didapatkan bahwa Indonesia
mendapatkan penekanan positif pada potensi ekonominya dan penekanan negatif pada kinerja pemerintah yang
merupakan penghambat kemajuan negara.
Framing Analysis on News of The Wall Street Journal Daily in Constructing Indonesia’s
Reputation Globally
Abstract
Global competition endorses a country to strategically manage its reputation. In order to do it, one needs to make a
comprehensive study of a country's internal potential and its current condition in global world. Conducting country's
reputation audit by analysing global mass media's news frames can result in an understanding of global public's
perception of the country and thus, becoming an adequate base to create a nation brand. By conducting framing
analyses, this research will see how the news presented by The Wall Street Journal daily affect the construction of
Indonesia's reputation globally. The result obtained shows that Indonesia gets the positive emphasis on its potential
economy and negative emphasis on its government's performance which is considered to be the obstacle of nation
development effort.
Keywords : nation brand, country's reputation, global mass media, framing analyses
1.
informasi utama dan pertama bagi publik untuk
mendapatkan informasi mengenai berbagai hal.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Berbagai penelitian komunikasi sampai saat ini telah
menunjukkan bahwa media dapat memengaruhi
masyarakat, budaya dan identitas (Peart, 2007). Media
merupakan "jembatan" antara publik dengan realita,
terutama karena individu dalam publik tidak mungkin
merasakan secara langsung semua kejadian yang terjadi
di dunia. Dengan demikian, media menjadi sumber
Perkembangan ekonomi global dan teknologi
komunikasi menciptakan komunikasi global yang
ditandai dengan kemunculan information superhighway
mengukuhkan
kekuatan
media
massa
dalam
memengaruhi publik dalam skala global. Dengan
demikian, informasi yang diangkat di media massa
global mampu memengaruhi persepsi, sikap dan
perilaku publik dunia dalam melihat suatu isu atau topik
tertentu. Media massa global pun melalui intensitas
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
pemberitaan dan pengemasan beritanya, dengan
demikian, memiliki peranan dalam pembentukan
reputasi suatu negara di benak publik global.
Reputasi secara umum didefinisikan sebagai evaluasi
akumulatif mengenai suatu objek yang pembentukannya
dipengaruhi oleh berbagai gambaran yang dimiliki
mengenai objek tersebut, emosi dan asosiasi-asosiasi
lainnya yang berkaitan dengan objek tersebut yang
diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun opini
dari sumber lain. Reputasi terbentuk melalui proses
yang panjang dengan mengakumulasikan berbagai citra
dari aspek-aspek berbeda tentang objek tersebut.
Reputasi negara (country reputation), dengan demikian,
adalah evaluasi akumulatif terhadap suatu negara yang
terbentuk dalam periode waktu yang panjang,
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti historis
(sejarah), budaya, ekonomi, politik dan pariwisata (Cha,
2005) dan diperoleh melalui pengalaman pribadi
individu maupun informasi yang didapatkan dari
sumber eksternal, seperti individu lain, pemerintah,
maupun media (Kang, 2010).
Pada masa global ini, di mana masing-masing negara
berlomba-lomba menciptakan comparative advantagesnya masing-masing guna memenangkan persaingan
global, menjadi sangat penting untuk melakukan
pengelolaan reputasi negara. Sebuah studi yang
dilakukan untuk melihat relasi antara perkembangan
ekonomi, sosial dan politik suatu negara dengan reputasi
suatu negara menunjukkan bahwa produk yang
diproduksi dan dijual oleh negara berkembang
mendapatkan evaluasi lebih negatif dibandingkan
dengan produk yang diproduksi dan dijual oleh negara
maju yang namanya telah banyak dikenal publik dunia
(Wang & Lamb, 1983) atau dengan kata lain, reputasi
suatu negara memengaruhi persepsi publik dunia
terhadap berbagai aspek dalam negara tersebut. Hal ini
sejalan dengan konsep halo effect yang secara umum
didefinisikan sebagai pengaruh evaluasi global terhadap
evaluasi individual (Nisbett & Wilson, 1977), dan
secara lebih khusus dalam konteks pemasaran
didefinisikan sebagai keadaan di mana ketika konsumen
memiliki favorable attitude terhadap reputasi suatu
produk, ia cenderung akan memiliki favorable attitude
terhadap bagian spesifik dari produk tersebut (Harrell,
1986), dan dalam konteks keputusan pembelian,
didefinisikan sebagai efek dari merek suatu produk
terhadap perilaku konsumen (Hawskin et al, 1992).
Secara sadar maupun tidak, bagaimana persepsi yang
dimiliki seseorang mengenai suatu negara memengaruhi
sikap seseorang terhadap negara tersebut dan pembuatan
keputusan terkait dengan negara tersebut, misalnya
dalam melakukan pemilihan untuk berwisata,
melakukan investasi, melanjutkan studi, mengkonsumsi
produk atau menggunakan jasa.
Melihat tuntutan zaman ini, berbagai negara di dunia
telah melihat bahwa selain memperkuat dan
memaksimalkan seluruh potensi yang dimilikinya,
diperlukan perhatian khusus dalam menjalankan praktik
diplomasi publik guna membentuk reputasi negara yang
favorable di mata publik global. Diplomasi publik
merupakan instrumen yang dimanfaatkan pemerintah
suatu negara untuk berkomunikasi dan menarik atensi
dari publik global terhadap negaranya (Gilboa, 2008).
Salah satu instrumen diplomasi publik adalah nation
brand, yang menurut Anholt (2008) merupakan soft
power sebuah negara yang mampu memperkuat
posisinya dalam diplomasi publik internasional. Nation
brand merupakan identitas suatu negara yang dikemas
secara terintegrasi dengan mengedepankan keunggulan
komparatif suatu negara sehingga menjadi lebih mudah
untuk dikomunikasikan kepada publik yang luas (Mor,
2006). Nation brand yang dikomunikasikan pada publik
membentuk gagasan atau persepsi mengenai suatu
negara (Ham, 2001). Kesuksesan pembentukan dan
pengelolaan reputasi negara melalui strategi nation
branding akan menarik investasi, kunjungan wisatawan,
ekspansi perusahaan ke dalam negeri serta kesempatan
untuk meningkatkan ekspor serta relasi internasional
yang pada akhirnya dapat meningkatkan standar
kehidupan suatu negara (Ham, 2002).
Nation brand yang kuat dan positif tidak dibentuk
dengan hanya menciptakan logo dan slogan yang
atraktif (Anholt, 2008), melainkan membutuhkan usaha
yang efektif dan sinergis serta membutuhkan komitmen
bersama seluruh stakeholders dalam negara, yaitu
pemerintah, sektor swasta, LSM, masyarakat sipil, dll.
(Teslik, 2007) karena nation brand tidak diciptakan dari
sesuatu yang 'tidak ada', melainkan mengkomunikasikan
secara efektif identitas terintegrasi dari negara tersebut
sehingga mengundang ketertarikan publik global. Guna
menyasar publik global, pengelolaan komunikasi
melalui media massa global menjadi hal yang sangat
signifikan pengaruhnya bagi penyebaran nation brand
suatu negara.
Berbagai negara di Asia tengah dalam proses
menggencarkan nation branding. Singapura, Malaysia,
Korea Selatan, Jepang, Cina sampai India dan Oman
telah terlebih dahulu menyadari pentingnya membangun
membangun citra dan reputasi yang positif secara
internasional
guna
menjaga
kestabilan
dan
mengembangkan kondisi ekonomi dan politik negara.
Korea Selatan merupakan salah satu contoh terbaik
dalam mengimplementasikan nation branding guna
menciptakan
citra
positif
negara
sekaligus
meningkatkan manfaat dari reputasi yang favorable.
Di saat negara-negara lain tengah gencar melancarkan
strateginya memenangkan kompetisi global, Indonesia
sebagai negara dengan berbagai potensi alam dan
budaya yang menakjubkan, situasi ekonomi dan politik
yang terbilang stabil, sumber daya manusia yang
menjanjikan baik secara kuantitas maupun kualitas
belum melakukan usaha yang signifikan dalam
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
mengelola nation brand. Saat ini, Indonesia berada pada
urutan 78 menurut Country Brand Index 2012-2013
yang dirilis oleh Future Brand dan pada urutan 32
menurut Nation Brand 100 yang dirilis oleh The
Finance Brand. Kondisi ini seharusnya dapat dijadikan
pijakan yang baik untuk meningkatkan performa
Indonesia baik ke dalam maupun ke luar negara karena
sesungguhnya, dibandingkan dengan kemajuan yang
hanya menjadikan indikator kuantitatif sebagai tolak
ukur macam ini, Indonesia dengan berbagai potensinya
memiliki kesempatan untuk mencapai perkembangan
yang menyeluruh dan menekankan pada kualitas,
namun belum ada pengelolaan reputasi (reputation
management) Indonesia sebagai suatu negara yang
disusun secara strategis dan diimplementasikan secara
efektif. Dengan strategi perencanaan dan pengelolaan
reputasi yang tepat, Indonesia mampu terus berkembang
dalam jangka panjang dan meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya dengan melakukan pembangunan yang
merata.
Pengelolaan reputasi, dengan individu, perusahaan
maupun negara sebagai objeknya, merupakan tanggung
jawab praktisi PR (public relations officer) karena untuk
melakukannya diperlukan pemahaman mendalam
mengenai seluk beluk objek, potensi relasi dengan
seluruh stakeholders, maupun esensi dari tiap nilai, visi,
misi yang melekat pada objek. Selain pemahaman
mendalam mengenai objek (individu, perusahaan
maupun negara) dan lingkungan yang melingkupinya
(internal maupun eksternal), studi dan praktik yang
didalami oleh praktisi PR membuatnya memiliki
kapabilitas untuk melakukan fungsi manajemen secara
strategis dan efektif.
maupun untuk mendapatkan gambaran tentang persepsi
publik global.
Mengetahui bagaimana persepsi publik global tentang
suatu negara dengan melihat bagaimana pemberitaan
media massa global dikonsumsi oleh publik global
menjadi sangat penting untuk dilakukan, selain dalam
proses pengelolaan dan pengontrolan reputasi negara,
juga dalam mendapatkan gambaran eksplanatif yang
komprehensif guna menyusun rancangan strategis
pembentukan nation brand bagi negara yang baru ingin
memulainya, seperti Indonesia. Guna mengkreasikan
sebuah nation brand yang mampu membuat reputasi
Indonesia di mata dunia menjadi semakin favorable
sekaligus mampu mengubah persepsi negatif publik
dunia mengenai Indonesia, diperlukan suatu kajian yang
memadai untuk dijadikan landasan.
Audit reputasi dengan memerhatikan bagaimana
reputasi Indonesia saat ini (current condition) di benak
publik dunia sebagaimana diberitakan di media menjadi
hal yang sangat signifikan dan urgen untuk dilakukan.
Audit reputasi dengan melihat bagaimana media massa
global memberikan gambaran mengenai Indonesia
melalui paparan beritanya dapat membantu proses
identifikasi aspek-aspek pembentuk reputasi Indonesia
yang sudah baik dan perlu dimaksimalkan serta aspekaspek yang harus diperbaiki. Selain itu, hasil audit
reputasi Indonesia pada media massa global akan dapat
menjadi landasan pembuatan stakeholders mapping
serta key performance indicators yang menjadi modal
awal penyusunan strategi nation brand yang
komprehensif.
Selain
itu,
melihat
perkembangan
hubungan
internasional saat ini dari perspektif komunikasi,
diplomasi publik pun sesungguhnya merupakan bidang
kajian dan praktik PR. Hal ini sejalan dengan argumen
yang dikemukakan Signitzer dan Coombs (1992) yang
mengatakan dengan asumsi bahwa diplomasi publik
adalah cara yang ditempuh pemerintah suatu negara,
kelompok maupun individu untuk memengaruhi
persepsi dan sikap tertentu dari suatu kelompok baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui
pemberlakuan kebijakan publik, maka PR dan diplomasi
publik memiliki tujuan yang sama dan dalam praktiknya
menggunakan cara-cara (tools) yang serupa.
The Wall Street Journal merupakan harian internasional
terbitan Amerika Serikat yang dimiliki oleh salah satu
dari korporasi media terbesar di Amerika Serikat, yaitu
News Corporation (divisi Dow Jones & Company),
dengan jumlah sirkulasi terbesar di dunia dan angka
readership yang tinggi (Audit Bureau of Circulations,
2011). Harian yang salah satu fokus pemberitaannya
adalah isu ekonomi ini bahkan memiliki edisinya sendiri
yang disegmentasikan bagi pembaca di Asia dan Eropa.
Sebagai bagian dari korporasi media global, The Wall
Street Journal berperan signifikan dalam menjadi
referensi bagi publik dunia, khususnya para pembuat
kebijakan (policy maker), dalam mengambil berbagai
keputusan.
Dalam praktik diplomasi publik, pemanfaatan media
massa sebagai saluran komunikasi sangat penting
karena melalui media massa, gagasan yang akan
disampaikan mengenai suatu negara dan seluruh
atributnya dapat disampaikan secara luas. Dengan
demikian, media massa global, sebagai media massa
yang dikonsumsi secara luas oleh publik dunia,
merupakan saluran komunikasi yang sangat penting
digunakan, baik dalam melakukan diplomasi publik
untuk menanamkan gagasan-gagasan mengenai negara
Selain itu, The Wall Street Journal juga menjadi rujukan
bagi berbagai media nasional maupun lokal meskipun ia
bukanlah sebuah kantor berita. Salah satu alasannya
adalah karena meskipun The Wall Street Journal
merupakan media terbitan Amerika Serikat, harian ini
termasuk yang dinilai sebagai media dengan bias
kepentingan yang minim dalam pemberitaannya
sehingga kredibilitasnya dipercaya. Edisi cetak harian
The Wall Street Journal dipilih karena sampai saat ini,
media cetak masih dianggap sebagai sumber informasi
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
yang lebih kredibel, terutama karena proses gatekeeping
yang dilaluinya yang berbeda dan prinsip-prinsip
jurnalistik yang lebih ditegakkan, dibandingkan pada
bentuk media lainnya (Wright, 2001). Bagaimana The
Wall Street Journal mengemas dan menyajikan
pemberitaannya terhadap suatu isu atau peristiwa
memengaruhi persepsi pembacanya. Dengan demikian,
untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi dan
sikap publik global terhadap suatu isu atau topik, kajian
terhadap pemberitaan The Wall Street Journal mengenai
isu atau topik tersebut menjadi penting.
Guna meneliti isi media, dalam hal ini harian The Wall
Street Journal, perlu diadopsi suatu teknik analisis
tertentu. Framing pada hakikatnya merupakan sebuah
konsep atau paradigma dan sebuah teknik analisis.
Sebagai sebuah konsep, merupakan cara bercerita (story
telling) yang digunakan awak media untuk
mengkonstruksi realita dalam benak publik dengan
melakukan pembingkaian berita. Sebagai paradigm,
framing digunakan praktisi PR dalam melakukan
pengemasan pesan secara strategis yang ditujukan untuk
mendapatkan respons tertentu dari audiens (Hallahan,
1999). Sebagai sebuah teknik analisis, framing
digunakan untuk mengetahui bagaimana realita
dikonstruksi
oleh
media
dan
memengaruhi
pembentukan realita pada benak publik (Eriyanto,
1999). Analisis framing mengantarkan kita pada
pemahaman yang lebih dalam dari sekedar penelitian
analisis kuantatif, yaitu pada pemahaman mengenai
bagaimana sumber berita, baik praktisi PR maupun
media, memahami dan memaknai realita dan
menyajikannya kepada publik untuk mencapai suatu
tujuan tertentu serta melihat bagaimana publik yang
mengkonsumsi berita tersebut mencernanya sehingga
memengaruhi kognisi, afeksi maupun konasinya.
1. 2. Penelitian Sejenis yang Telah
Dilakukan
Dalam "The Korean Wave : The Seoul of Asia", Lee
Sue Jin menganalisis fenomena Korean wave (hallyu)
dan implikasinya pada pengaruh kultural Korea Selatan
terhadap negara-negara tetangga serta mengeksplorasi
bagaimana identitas nasional memengaruhi proses
framing mengenai Korea Selatan di media dan respons
publik terhadapnya. Lee mengangkat bagaimana hallyu
yang sebelumnya merujuk pada penyebaran budaya
populer Korea (Korean pop-culture) menjadi salah satu
landasan bagi pemerintah Korea Selatan untuk
mendukung industri media negara tersebut sehingga
dapat difungsikan secara optimal sebagai ‘kendaraan’
yang menyebarkan hallyu lebih luas lagi ke dunia
internasional.
Ekspansi
global
ini
kemudian
berkontribusi pada peningkatan citra Korea Selatan
secara lebih luas dan dilihat sebagai alat diplomasi
publik.
Lee melihat bahwa popularitas hallyu secara regional di
negara-negara tetangga Korea Selatan seperti Cina,
Taiwan, HongKong, Jepang sampai Vietnam mengawali
penyebarannya ke skala global. Hallyu mencapai level
penetrasi aktifnya pada tahun 2002 (Hyejung, 2007).
Citra negatif mengenai Korea Selatan yang tertanam
dalam benak publik akibat pemberitaan mengenai
Perang Korea, lingkaran kemiskinan dan instabilitas
politik (Lee, 2007) perlahan terhapus akibat gambaran
yang disajikan dalam produk-produk hallyu dan Korea
Selatan pun muncul sebagai negara dengan citra gaya
hidup yang modern, trendi dan kontemporer serta
menjadi contoh positif bagi negara-negara tetangganya
(Doobo, 2006). Citra positif ini pun berkontribusi
menciptakan peningkatan dalam berbagai aspek
kehidupan negara, termasuk ekonomi dan politik.
Pemberitaan di media massa, sebagaimana dipahami
Lee, merupakan salah satu faktor penentu yang
membuat perkembangan sedemikian rupa dapat dicapai
oleh Korea Selatan. Fokus utama Lee adalah bagaimana
media massa membingkai hallyu dalam pemberitaannya
memengaruhi penerimaan masyarakat terhadapnya.
Dalam melakukan penelitiannya, Lee menggunakan
analisis framing komparatif (comparative framing
analysis) terhadap pemberitaan mengenai hallyu pada
harian nasional yang terbit dalam 4 edisi, yaitu Korea
Herald edisi Korea Selatan, Singapura, Thailand dan
Jepang dengan "Korean Wave" sebagai kata kunci yang
digunakan untuk mengumpulkan artikel yang diteliti.
Untuk triangulasi data, ia melakukan wawancara
langsung dan via telepon.
Hasil penelitian Lee menunjukkan bahwa frame
dominan yang digunakan keempat harian tersebut
adalah bahwa hallyu merupakan fenomena yang
dikembangkan karena alasan komersial dan fenonema
tersebut dideskripsikan sebagai kemenangan nation
branding Korea Selatan yang dilihat dari perspektif
nasionalis. Berdasarkan frame dominan dan tiga
subframe, Lee mengambil tiga kesimpulan.
Pertama, frame yang dibentuk adalah adanya relasi atau
hubungan cinta dan benci (love/hate relationship) antara
Korea, Jepang dan Cina. Lee memahami bahwa media
melihat adanya ikatan historis yang menciptakan
sentimen tersendiri di antara ketiga negara tersebut
sehingga menjadi menarik untuk membahas fenomena
hallyu di masing-masing negara dengan mengambil
perbedaan latar belakang politis, historis dan ekonomi di
antara ketiga tersebut dan menyajikannya ke dalam
berita. Frame kedua yang dibentuk adalah bahwa
pemerintah Korea Selatan memanfaatkan fenomena
hallyu dan menggunakannya sebagai "kendaraan" untuk
melakukan nation branding melalui budaya. Frame
ketiga adalah hallyu dilihat sebagai bentuk imperialisme
budaya dan negara-negara yang menimbulkan sentimen
tersendiri terhadap produk budaya dan segala sesuatu
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
yang berasal dari Korea Selatan. Sentimen ini
diwujudkan dalam bentuk proteksi negara-negara
seperti Jepang dan Cina terhadap drama dan masuknya
perusahaan Korean ke dalam negeri dan kritik dari
pemerintah beberapa negara seperti Taiwan dan
Singapura terhadap upaya pemerintah Korea Selatan
menyebarkan budayanya. Tindakan-tindakan demikian
didasarkan pada kecurigaan bahwa pemerintah Korea
Selatan bertujuan untuk menggantikan budaya Asia
dengan budaya Korea Selatan dan bahwa proliferasi
budaya Korea menyebabkan ketimpangan pada industri
budaya di Asia.
Penelitian Lee ini berhasil memotret bagaimana harian
yang sama dengan edisi berbeda memotret suatu isu
secara berbeda dipengaruhi oleh latar belakang negara
serta pandangan politiknya (analisis framing
komparatif). Namun, penelitian ini belum berhasil
menceritakan sekaligus memperkuat pendapatnya di
awal bahwa pemberitaan media mengenai fenomena
hallyu di berbagai negara yang dipilih kemudian
memengaruhi pembentukan persepsi Korea Selatan
secara utuh. Penelitian ini akan lebih signifikan dan
menarik jika dapat mengaitkan framing di media massa
mengenai sebuah aspek dari Korea Selatan dengan
pembentukan reputasinya secara global yang dengan
demikian dapat memberikan pemahaman bahwa citra
positif dari sebuah faktor atau aspek dari sebuah negara
(mikro) dapat dijadikan pijakan untuk membentuk
reputasi yang positif dari negara tersebut (makro).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana The Wall Street Journal membingkai
Indonesia dalam pemberitaannya dan bagaimana
reputasi Indonesia secara global yang terbentuk melalui
bingkai pemberitaan tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memperkaya pemahaman tentang pengelolaan reputasi
negara melalui pengelolaan pemberitaan di media massa
global serta tentang keluasan bidang kerja dan peran
public relations officer dalam rangka pembangunan
nasional (nation building).
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu
pemerintah Indonesia dalam :
1. Mengidentifikasi komponen reputasi negara
Indonesia yang sudah baik untuk dimaksimalkan
dan yang belum baik untuk diperbaiki serta
memaksimalkan pengelolaan media massa global
dalam mengkomunikasikannya.
2. Menjadi dasar pembuatan key performance
3.
indicators untuk melakukan pengukuran performa
negara Indonesia, terutama dari aspek ekonomi
dan politik.
Menjadi landasan pembuatan stakeholders
mapping (internal dan eksternal) negara Indonesia
yang akan memengaruhi penyusunan strategi
kampanye nation branding.
2.
Metode Penelitian
2.1. Kerangka Pemikiran
Reputasi.
Reputasi, dalam konteksnya pada perusahaan, dilihat
dari paradigma akuntansi, merupakan intangible asset
yang berharga (Grant, 1995) yang memengaruhi
bagaimana stakeholders perusahaan bersikap dan
bertindak. Dilihat dari paradigma pemasaran, reputasi
merupakan akumulasi dari impresi seluruh stakeholders
perusahaan yang terbentuk sebagai hasil dari
interaksinya dengan perusahaan dan informasi
mengenai perusahaan yang diterimanya melalui
kegiatan komunikasi yang dilakukan perusahaan,
sehingga menumbuhkan bentuk ikatan emosional antara
stakeholders dengan perusahaan yang memperlihatkan
kekuatan perusahaan serta membedakannya dari
kompetitor (Fombrun & Shanley, 1990) atau yang
disebut sebagai keuntungan komparatif (Hall, 1992).
Sedangkan menurut Chun (2011) reputasi adalah
resultan dari berbagai image perusahaan yang terbentuk
pada periode waktu yang panjang.
Reputasi perusahaan merupakan cerminan dari
keseluruhan daya tarik (overall attractiveness)
perusahan pada seluruh stakeholders-nya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Rindova & Fombrun (1998)
yang kemudian mengaitkan reputasi dengan performa
perusahaan secara utuh. Reputasi yang baik atau positif
dihasilkan melalui proses panjang ‘pemenuhan
ekspektasi’
stakeholders
terhadap
perusahaan.
Pembangunan dan pengelolaan reputasi, dengan
demikian, tergantung pada pengelolaan relasi dengan
seluruh stakeholders perusahaan, baik internal maupun
eksternal.
Reputasi memiliki peran yang signifikan dengan
menjadi rujukan bagi stakeholders dalam menentukan
sikap dan tindakannya terkait perusahaan. Hawkins et
al. (1992) menekankan pada signifikansi dari reputasi
perusahaan dengan menyatakan bahwa perilaku
konsumen, khususnya keputusan membeli (consumer's
behavior, purchase decision) dipengaruhi oleh reputasi
perusahaan dan brand image. Oleh sebab itu, reputasi
yang positif merupakan modal awal yang sangat berarti
bagi perusahaan.
Dewasa ini, pengelolaan reputasi tidaklah hanya
terbatas pada individu, organisasi atau perusahaan
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
sebagai objeknya. Faktanya, kota, negara maupun
wilayah regional di dunia saat ini menjadi objek
pengelolaan reputasi yang banyak dibicarakan dan
sebagai konsekuensinya, kajian mengenai citra dan
reputasi saat ini mengalami perkembangan signifikan
agar mampu diadopsi secara lebih fleksibel. Berbagai
kota, negara dan wilayah regional mulai berkompetisi
membangun reputasi yang positif dan secara aktif
melakukan pengelolaan dan pengukuran reputasi
(Passow et al., 2005).
Reputasi negara didefinisikan sebagai keseluruhan
reputasi yang dibangun oleh publik global terhadap
suatu negara dalam jangka waktu yang panjang dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor (Cha, 2005).
Standarisasi untuk mengukur reputasi dikembangkan
oleh Fombrun (1996), yang utamanya digunakan untuk
melihat reputasi perusahaan, namun dapat pula
diaplikasikan pada negara. Dimensi yang digagas dalam
Reputation Quotient (RQ) adalah :
1. Emotional
appeal
:
seberapa
besar
perusahaan/negara
disukai,
dipercaya
dan
dihormati stakeholders-nya.
2. Products and services : reputasi berjalan paralel
dengan kualitas dari produk dan jasa yang
dihasilkan.
3. Vision and leadership : visi yang jelas dan
kepemimpinan yang baik oleh pemerintah,
diperkokoh oleh etika berperilaku yang baik.
4. Workplace environment : lingkungan kerja yang
baik dan menjanjikan di mana terdapat berbagai
program bagi kesejahteraan publik, sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang memadai.
5. Social responsibility : memberikan sumbangan
atau kontribusi sosial yang konkret bagi publiknya.
6. Financial performance : memiliki track record
profitabilitas yang baik, prospek yang cerah dan
risiko finansial yang rendah.
Fleksibilitas RQ milik Fombrun dimanfaatkan oleh
Passow untuk membuat indikator pengukuran reputasi
dalam melakukan audit reputasi negara seperti berikut
(Passow et al., 2005) :
.
Gambar 1. Country Reputation Index
Dengan melakukan audit reputasi menggunakan
indikator-indikator di atas, akan didapatkan pemahaman
mendalam mengenai performa dan posisi negara secara
global sampai dengan saat ini. Dengan demikian, akan
dapat diidentifikasi faktor-faktor pembentuk reputasi
yang harus domodifikasi guna mencapai reputasi positif
yang favorable seperti yang ditargetkan.
Framing.
Frame merujuk pada skema pemahaman individu
sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi,
mengidentifikasi dan memberi label suatu isu atau
peristiwa dalam pemahaman tertentu. Frame berperan
dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk
tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Media
mengkomunikasikan suatu isu atau peristiwa dalam
berita dengan membentuk citra atau simbol tertentu
yang oleh Bennet (1995) dan Lawrence (1996) disebut
sebagai ikon berita (news icon). Pembentukan ikon ini
dimaksudkan agar citra atau simbol yang ingin
dilekatkan pada suatu isu atau peristiwa lebih mudah
untuk melekat dan tertanam kuat dalam benak publik.
Ikon membantu publik mengingat kejadian yang sudah
lalu dan dikontekstualisasikan kembali dalam kehidupan
sekarang. Sebuah ikon merupakan simplifikasi dari
realita yang kompleks.
Konsep
framing
sering
digunakan
untuk
menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek
tertentu dari realita oleh media. Framing dapat
dipandang sebagai penempatan informasi-informasi
dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu
mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari
berbagai aspek realita yang diterima dan membuat
peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks
komunikasi, dalam banyak hal berarti menyajikan
secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi
sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian
sebagaimana masalah itu digambarkan (Eriyanto, 1999).
Dengan demikian, framing pada dasarnya merujuk pada
pemberian definisi,
penjelasan,
evaluasi
dan
rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan
kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang
diwacanakan.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar :
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek
realita/isu tersebut. Penonjolan adalah proses membuat
informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih
berarti dan lebih diingat oleh khalayak. Realita yang
disajikan secara menonjol mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk diperhatikan dan memengaruhi
khalayak dalam memahami suatu realita. Dalam
penelitian ini, peneliti hendak melihat bagaimana The
Wall Street Journal membingkai Indonesia dalam
artikel-artikelnya sehingga memengaruhi pembentukan
reputasi Indonesia secara global di benak publik dunia.
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
2.2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, terkait dengan metode penelitian
yang peneliti gunakan, data yang digunakan adalah data
sekunder, yaitu berupa artikel dari harian The Wall
Street Journal yang diperoleh dari bursa data pada
Divisi Penelitian Kedutaan Amerika Serikat di
Indonesia. Artikel dipilih dengan menggunakan kata
kunci (keyword) "Indonesia" dan "Indonesian" yang
kemudian disortir kembali dengan melihat substansi dari
artikel tersebut berdasarkan relevansinya dengan tujuan
penelitian.
2.3. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis framing. Pada dasarnya, framing
merupakan teknik analisis untuk melihat cara bercerita
(story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita ini
tergambar dari "cara melihat" realita yang dijadikan
berita yang berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi
realita. Framing adalah metode analisis yang digunakan
untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realita,
bagaimana realita itu dibingkai dan disajikan oleh
media.
awak media membangun dan mengkonstruksi realita
yang disajikan dalam berita. Dengan demikian, wacana
media merupakan salah satu bagian dari wacana publik
dan media merupakan bagian dari proses produksi
budaya.
Dalam formulasi Gamson dan Modigliani, frame
dipandang sebagai gugusan ide-ide yang tersusun
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna
dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.
Analisis framing merupakan pendekatan untuk
mengetahui perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu atau
menulis berita. Wacana media, khususnya berita, yang
terdiri atas sejumlah kemasan (package), dibayangkan
sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisasi
sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau
kecenderungan
dan
membantu
komunikator
menjelaskan muatan-muatan di balik suatu isu.
Keberadaan suatu kemasan terlihat dari adanya gagasan
sentral yang didukung oleh perangkat-perangkat wacana
sehingga terbentuk kohesivitas antarbagian. Semua
elemen dan struktur wacana mengarah pada ide tertentu
dan mendukung ide sentral dari suatu berita. Perangkat
framing yang dikemukakan oleh Gamson dan
Modigliani digambarkan sebagai berikut (Eriyanto,
1999 : 225) :
Tabel 1. Perangkat Framing Gamson dan Modigliani
Terdapat dua aspek dalam framing. Pertama, memilih
fakta atau realita. Dalam pemilihan ini selalu
terkandung dua kemungkinan : apa yang dipilih
(included) dan apa yang dibuang (excluded) : bagian
mana dari realita yang akan ditekankan, angle apa yang
akan dipilih, fakta mana yang akan diangkat dan
dilupakan. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini
berhubungan dengan bagaimana realita yang dipilih
disajikan kepada khalayak melalui penggunaan kata,
kalimat, proposisi, aksentuasi foto, penempatan
headline, repetisi, label tertentu, generalisasi,
simplifikasi, asosiasi terhadap simbol-simbol tertentu
dan sebagainya.
Teknik analisis framing yang digunakan adalah yang
digagas oleh William A. Gamson dan Andre
Modigliani, yang menekankan pada hubungan antara
wacana media dengan pendapat publik umum. Menurut
mereka, wacana media merupakan elemen penting
untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang
berkembang mengenai suatu isu atau peristiwa.
Pendapat umum tidak cukup jika hanya didasarkan pada
data survei khalayak, melainkan perlu dihubungkan dan
diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas
dan menyajikan suatu isu. Bagaimana media
menyajikan isu memengaruhi bagaimana khalayak
memahami dan mengerti isu tersebut karena terdapat
hubungan yang paralel antara keduanya. Wacana media
adalah saluran individu mengkonstruksi makna dan
pendapat umum adalah bagian dari proses melalui mana
Frame
Central organizing idea for making sense of relevant
events, suggesting what is at issues
Framing Devices
Reasoning Devices
(Perangkat Framing)
(Perangkat Penalaran)
Metaphors
Roots
Perumpamaan atau
Analisis sebab akibat
pengandaian
yang bertujuan
membenarkan fakta
yang diangkat
Catchphrases
Appeals to Principles
Frase yang menarik,
Premis dasar, klaim
kontras, menonjol dalam
moral sebagai
suatu wacana, biasanya
argumentasi pembenar
berupa slogan atau jargon
untuk membangun cerita
Depictions
Consequences
Penggambaran fakta
Efek atau kesimpulan
menggunakan kata, istilah,
dari logika penalaran
kalimat konotatif untuk
merujuk pada citra tertentu
Exemplaars
Pengaitan bingkai dengan
contoh, teori, uraian atau
pengalaman masa lampau
untuk memperjelas bingkai
Visual Images
Gambar, grafik yang
mendukung citra bingkai
secara keseluruhan
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
Framing devices (perangkat framing) berkaitan
langsung dengan ide sentral atau bingkai yang
ditekankan dalam teks berita, ditandai dengan
penggunaan kata, kalimat, grafis/gambar dan metafora
tertentu. Reasoning devices (perangkat penalaran)
berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks
tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu. Sebuah
gagasan tidak hanya berisi kata atau kalimat, melainkan
ditandai oleh dasar pembenar tertentu yang tidak hanya
meneguhkan gagasan atau pandangan, tapi juga
membuat gagasan tersebut tampak benar, absah, tidak
mengada-ada dan demikian adanya. Melalui aspek
penalaran tersebut, publik akan menerima pesan
tersebut sebagai gagasan yang utuh, alamiah dan wajar.
Teks berita pada dasarnya adalah cara bercerita yang
berisi gagasan atau kemasan tertentu dari suatu
peristiwa. Teks didukung dengan pemakaian perangkat
tertentu agar gagasan yang disajikan tampak bukan
hanya wajar, melainkan juga meyakinkan. Agar gagasan
atau bingkai tersebut tampak meyakinkan, teks
didukung dengan perangkat framing untuk menekankan
gagasan tertentu. Sedangkan agar tujuan gagasan
tampak wajar atau benar (beralasan, tidak mengada-ada,
alamiah), teks didukung dengan perangkat penalaran.
Hal ini biasanya dilakukan dengan mengaitkan sebabakibat, fakta satu sebagai dasar dari fakta lain dan
sebagainya (Eriyanto, 1999).
3.
Analisis Data
Dalam periode 19 Oktober 2011-30 Oktober 2012,
terdapat 97 artikel, yang setelah disortir menurut
relevansinya, memberitakan mengenai Indonesia, dan
dengan demikian memengaruhi konstruksi mengenai
Indonesia di benak publik global yang membaca The
Wall Street Journal.
Frame The Wall Street Journal : Indonesia adalah
negara dengan potensi sumber daya yang kaya dan
merupakan pasar yang menjanjikan namun kienrja
pemerintahnya kurang baik.
Elemen Inti Berita (Idea Element).
Dalam pandangan The Wall Street Journal,
perkembangan yang dicapai Indonesia dan berbagai
dinamika dalam negeri yang terjadi di dalamnya sampai
saat ini tidak bisa dilepaskan dan memiliki hubungan
yang sangat integral dengan latar belakang sejarahnya.
Hal ini, menurut pengamatan peneliti, diceritakan oleh
The Wall Street Journal dengan membagi
pemberitaannya atas 8 isu besar, yaitu politik, ekonomi,
industri, agama, budaya dan sejarah, pariwisata,
bencana dan kriminalitas.
Frame besar yang berusaha dibentuk The Wall Street
Journal melalui pemberitaannya secara umum ditujukan
untuk mengangkat dua ide utama yang mendasari
seluruh pemberitaan The Wall Street Journal mengenai
Indonesia.
Pertama, membentuk ide bahwa Indonesia merupakan
negara yang telah berhasil muncul sebagai pemain besar
dalam percaturan global saat ini. Kedua, membentuk ide
bahwa Indonesia merupakan negara dengan kinerja
pemerintah yang kurang baik.
Berikut adalah 5 contoh artikel yang diambil sebagai
representasi dari 97 artikel yang telah di-framing.
Frame “U.K. Miner Challenges Indonesia – Churchill
Mining Raises Possibility of International Arbitration
in Dispute Over Multibillion-Dollar Deposit” :
Dibawanya Indonesia dalam arbitrasi internasional
membuat reputasi Indonesia dipertanyakan.
Elemen Inti Berita (Idea Element).
Dalam pandangan The Wall Street Journal, dibawanya
Indonesia ke dalam arbitrasi internasional oleh
Churchill Mining PLC merupakan awal dari terlihatnya
sisi negatif Indonesia dalam percaturan global di balik
berbagai sisi positif yang selama ini selalu dielu-elukan.
Adapun artikel ini diangkat karena The Wall Street
Journal merasa adanya banyak pihak yang akan
berkepentingan dengan masalah ini dan bahwa isu ini
akan banyak memengaruhi proses pembuatan keputusan
di kalangan para elit negara-negara di dunia karena
posisi Indonesia di dunia global saat ini. Dengan
dilibatkan ke dalam arbitrasi internasional Indonesia
diyakini telah melakukan hal yang sangat merugikan
pihak Churchill Mining PLC dan juga merugikan
dirinya sendiri karena hal ini membuat reputasi positif
Indonesia saat ini menjadi dipertanyakan.
Perangkat pembingkai (framing devices).
Ide atau gagasan yang dikembangkan dalam teks-teks
berita tersebut didukung dengan penggunaan simbol
tertentu untuk menekankan arti yang hendak
dikembangkan dalam teks-teks tersebut. Simbol itu
dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan
makna yang disajikan. Simbol itu dapat diamati dari
pemakaian kata, kalimat, grafis atau foto dan aksentuasi
gambar. Semua elemen tersebut digunakan sebagai
suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau
mengedepankan pandangan agar lebih diterima oleh
publik.
Dalam artikel tersebut, guna menekankan gagasan inti
pertamanya, yaitu dibawanya Indonesia dalam
arbitrasi internasional membuat reputasi Indonesia
dipertanyakan, The Wall Street Journal mengandaikan
atau mengumpamakan berbagai persepsi negatif atau
kecurigaan kepada Indonesia yang muncul sebagai
konsekuensi dari dibawanya Indonesia ke dalam
arbitrasi internasional sebagai cautionary tale. Hal itu
terlihat dari kutipan :
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
"While the dispute goes to the core of Churchill's
business, the struggle also offers a cautionary tale for
any company interested in diving into Indonesia's
booming commodities sector."
Pada kutipan tersebut terlihat bahwa The Wall Street
Journal merujuk pada adanya peringatan kepada pihakpihak yang ingin bertransaksi dengan Indonesia karena
tergoda dengan kapabilitas ekonominya agar pihakpihak tersebut berhati-hati karena jika salah langkah
akan mengalami kesulitan yang sama yang dihadapi
Churchill Mining PLC. Peringatan berupa cerita dari
mulut ke mulut di kalangan pelaku ekonomi tersebut
disebutkan sebagai konsekuensi dari dibawanya
Indonesia dalam arbitrasi internasional.
Frase yang menarik atau menonjol sebagai catchphrases
dalam artikel tersebut adalah :
"If an amicable resolution cannot be achieved, ...putting
Indonesia's reputation as a reliable country for foreign
investment at risk."
dan pernyataan bahwa masalah yang terjadi antara
Churchill Mining PLC dengan Indonesia ini telah
dibawa oleh Churchill Mining PLC ke pengadilan,
DPR, beberapa kementerian di Indonesia dan presiden
sendiri namun tidak juga ada tanggapan yang
memuaskan dari pihak-pihak tersebut.
Catchphrase pertama menunjukkan bahwa kejadian ini
benar-benar memiliki risiko untuk membuat reputasi
Indonesia sebagai negara yang dapat dipercaya dalam
investasi luar negeri terancam sedangkan yang kedua
meyakinkan gagasan bahwa aparat pemerintahan di
Indonesia seakan mengalami disfungsi karena adanya
tumpang tindih tugas dan wewenang yang ada.
Depiction sebagai perangkat framing yang menekankan
gagasan sentral dengan mengambil penggambaran atau
pelukisan yang bersifat konotatif guna melabeli sesuatu
terlihat pada kutipan berikut :
"...the company had planned to build a port and otehr
infrastructures to start exporting the coal but now is
conserving its money for a long battle."
Kutipan tersebut menyatakan secara tersirat sindiran
The Wall Street Journal terkait dengan kasus ini.
Dinyatakan bahwa akibat kasus yang merugikan
Churchill Mining PLC secara finansial ini, perusahaan
tersebut yang telah berniat menyediakan dana yang
cukup membangun infrastruktur di Kalimantan yang
dapat melancarkan proses produksi dan distribusi batu
bara ini menjadi harus mengalihkan dana tersebut untuk
"pertarungan" antara Churchill Mining PLC dan
pemerintah Indonesia yang sesungguhnya dapat
dihindari jika adanya sikap profesional dari pemerintah
Indonesia dalam menangani masalah ini.
Exemplaar pada artikel ini digunakan untuk
memberikan penggambaran lebih jelas mengenai betapa
besarnya investasi yang telah dilakukan oleh Churchill
Mining PLC di Indonesia guna menunjukkan berapa
besarnya kerugian yang diderita perusahaan tersebut
akibat kasus yang terjadi. Dikatakan bahwa perusahaan
tersebut telah berinvestasi sebanyak $40 juta yang
merupakan investasi luar negeri terbesar kedua di
Indonesia sekaligus terbesar ketujuh di seluruh dunia.
Perangkat penalaran (reasoning devices).
Gagasan yang dikembangkan dalam artikel berita
didukung dengan perangkat penalaran untuk
menekankan pada publik bahwa "versi berita" yang
disajikan dalam artikel adalah benar karena sebuah
artikel berita tidak semata-mata berasal dari sebuah
gagasan melainkan hasil olahan dari berbagai fakta dan
hasil wawancara yang dikonstruksi ulang oleh awak
media
untuk disajikan
pada
publik.
Guna
memperlihatkan subjektivitas penulis dalam artikel
berita, harus disertakan argumentasi-argumentasi yang
memang logis membuat semua pernyataan dalam berita
tersebut terlihat wajar dan memang begitu adanya.
Dalam pemberitaan The Wall Street Journal, perangkat
penalaran itu disajikan dalam beberapa bentuk. Lewat
roots ditekankan bahwa reputasi Indonesia secara
internasional menjadi buruk khususnya melalui kasus
ini karena dunia akan melihat Indonesia sebagai negara
pengaturan atau pembagian jurisdiksi yang tumpang
tindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Sementara itu, klaim moral (appeals to
principle) dinyatakan dengan mengatakan bahwa
sebagai negara ekspotir batu bara terbesar di dunia,
seharusnya pengelolaan bisnis di daerah dengan jumlah
transaksi yang sangat besar seharusnya tidak lagi
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk
dalam pengimplementasian proyeknya. Dengan kata
lain, The Wall Street Journal mengklaim bahwa
transaksi dengan Churchill Mining PLC dan transaksi
luar negeri lain semacamnya harusnya ditangani
langsung oleh pemerintah pusat sehingga kasus macam
ini dapat diantisipasi dari awal.
Adapun dengan demikian, consequence dari frame
adalah bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki
tugas rumah (homework) untuk membenahi masalah
internalnya, dalam hal ini yang dimaksud berada pada
tataran pembenahan kerangka kebijakan, mengingat
posisi pentingnya di percaturan global saat ini.
Frame “Cell Phone Jugglers Seek Best Deals –
Companies in Markets Like Indonesia Curb ‘Freebies’
to Hang On to Subscribers Who Churn Them” :
Indonesia sebagai negara berkembang dipenuhi churner.
Elemen Inti Berita (Idea Element).
Churner dapat diartikan sebagai mereka yang suka
"berpindah-pindah". Dalam artikel ini, The Wall Street
Journal membingkai Indonesia sebagai negara
berkembang yang memiliki karakteristik-karakteristik
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
tertentu, termasuk dengan adanya banyak churner
dalam negara tersebut. Adapun churner merujuk pada
masyarakat Indonesia sebagai konsumen, atau yang
dalam tataran kolektif dirujuk sebagai pasar.
Perangkat pembingkai (framing devices).
Metafora yang digunakan dalam artikel ini adalah the
chronic churner yang dijadikan istilah untuk
mengumpamakan betapa telah maraknya fenomena ini
di Indonesia sehingga digambarkan sebagai hal yang
sifatnya kronis. Fenomena churner sendiri secara
khusus dibahas dalam artikel ini dengan mengangkat
fenomena pada industri penyedia layanan telepon
selular (cellphone provider). Selain itu, digunakan pula
istilah freebies yang mengacu pada berbagai bentuk
customer service yang diberikan oleh perusahaan
cellphone provider di Indonesia dalam persaingan
meraih profit terbesar. Freebies yang dimaksud adalah
layanan berupa talk time gratis, SMS gratis, internet
gratis dan lain-lain guna memanjakan konsumen.
Catchphrase yang digunakan ada di awal artikel yang
digunakan untuk menarik pembaca dengan memberikan
ilustrasi perbedaan konsumen alat telekomunikasi di
Indonesia dan Amerika. Dikatakan bahwa penduduk
Amerika dapat menggunakan nomor telepon selular
yang sama untuk waktu sepuluh tahun atau lebih
sedangkan seorang penduduk Indonesia dapat
menggunakan lebih dari sepuluh nomor telepon seluler
dalam satu tahun. Jargon tersebut ditampilkan untuk
mendukung betapa maraknya fenomena churner di
Indonesia.
Depiction yang digunakan merujuk pada konsumen di
Indonesia sebagai rupiah-pinching subscribers yang
secara sinis mengatakan bahwa mereka memiliki tabiat
menyimpan tiap Rupiah yang mereka miliki sedemikian
rupa dalam upaya penghematan agar mereka senantiasa
mendapatkan keuntungan maksimal dari berbagai
penawaran dan diskon yang diberikan perusahaan
cellphone provider.
Exemplaar yang diajukan untuk menggambarkan
fenomena ini dengan lebih jelas lagi adalah dengan
mengangkat hal ekstrem yang dilakukan oleh para
konsumen cellphone provider di seorang churner dapat
menggunakan satu SIM card untuk ber-SMS, satu untuk
bertelepon jarak jauh dan satu untuk mengakses media
sosial. Penggantian SIM card juga dilakukan tergantung
jika sinyal provider di satu lokasi kurang kuat dan
nyaman untuk melakukan aktivitas komunikasi atau
sekedar untuk menyesuaikan provider kita dengan orang
yang hendak dihubungi.
Selain itu, exemplaar juga digunakan untuk
memberikan gambaran lebih jelas dari akibat fenomena
ini. PT Indosat sebagai perusahaan seluler terbesar
kedua di Indonesia dikatakan sampai membuat database
untuk mendeteksi penggunaan seluler yang dilakukan
tiap konsumennya sekalipun konsumen tersebut
menggunakan layanan dari lebih dari satu provider.
Adapun
database
tersebut
digunakan
untuk
menyesuaikan konten informasi yang diberikan dan
waktu yang tepat untuk melakukannya guna menjaga
loyalitas konsumen.
Perangkat penalaran (reasoning devices).
Roots dinyatakan dengan mengatakan bahwa keadaan di
mana teknologi komunikasi tengah berkembang pesat
dan fakta bahwa negara berkembang seperti Indonesia
memiliki pasar yang hiperkompetitif (hypercompetitive)
membuat tiap perusahaan cellphone provider harus
mampu beradaptasi dengan cepat dengan tren yang
berlaku di kalangan konsumen. Dengan demikian,
perusahaan baru akan dapat bertahan dalam kompetisi
tersebut. Klaim moral yang diajukan adalah bahwa pada
dasarnya konsumen memang selalu mencari dan
menginginkan penawaran terbaik yang menguntungkan
untuknya. Dengan demikian, consequence dari bingkai
tersebut, seperti yang dikemukakan oleh para analis
ekonomi dan pelaku bisnis, adalah bahwa fenomena
churning baru akan bisa dihentikan jika perusahaanperusahaan telekomunikasi melakukan merger sehingga
hanya ada kurang dari lima perusahaan yang beroperasi
dan berkompetisi.
Frame "Indonesia Blocks Gaga After Islamists
Protest" : Islam dan Barat sulit bersatu.
Penolakan terhadap konser Lady Gaga di Indonesia
merupakan sebuah bentuk representasi dari sikap dan
perilaku Indonesia sebagai negara dengan penduduk
Islam terbanyak di dunia dan selama ini memiliki citra
sebagai negara Islam moderat. Kasus ini menjadi
menarik karena memperlihatkan betapa ternyata
persepsi global selama ini mengenai Indonesia tidak
sepenuhnya benar, terbukti dari tentangan keras dan
cenderung mengarah pada radikalisme dalam
mengusahakan dibatalkannya konser Lady Gaga karena
dianggap tidak sesuai dengan kultur Indonesia sebagai
negara Islam.
Perangkat pembingkai (framing devices).
Metafora yang digunakan adalah "wreak havoc" yang
merujuk pada ancaman akan tindakan kekerasan yang
akan dilakkan FPI jika konser Lady Gaga tetap
dilaksanakan.
Istilah
tersebut
dipilih
karena
mengandung unsur teror tersendiri. Adapun catchphrase
pada artikel tersebut dinyatakan dengan mengatakan
bahwa kalangan fundamentalis tidak menyukai artis
yang berpakaian seksi. Kalimat ini terasa menonjol
karena tidak digunakan untuk merujuk langsung pada
FPI dan Lady Gaga namun memberikan pemahaman
sebaliknya, bahwa subjek dan objek yang dirujuk adalah
FPI dan Lady Gaga.
Depictions pada artikel tersebut dinyatakan dengan
mengutip beberapa pernyataan pemimpin dalam FPI
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
yang dipaparkan secara retoris, seperti :
"...Lady Gaga did more to galvanize Muslim hatred of
the West than all Israeli setllements combined."
dan
"And FPI leader brings "the faith of Satan to our
country and thus will destroy the nation's morals".
Keduanya sebenarnya merupakan ungkapan sinis
sebagai argumentasi yang secara tidak langsung
diangkat untuk mnengukuhkan pendapat mengenai
keadaan di mana FPI sebagai representasi Islam di
Indonesia kerap menaruh kecurigaan dan pertentangan
terhadap konten yang berbau Barat dengan berbagai
alasan, seperti dengan menyebutnya simbol dari
satanisme. Hal ini diperkuat lagi dengan depiction :
"Islamists won't be satisfied until the First Amendment
itself is revoked."
Kutipan itu meyakinkan bahwa sesungguhnya
penolakan FPI terhadap Lady Gaga merupakan
representasi kecil saja dari masalah yang lebih makro,
yaitu kebencian kultural yang dimiliki kaum Muslim
terhadap budaya Barat. Poin penting yang membedakan
kultur Islam dengan Barat adalah kebebasan berekspresi
yang tertuang dengan jelas sebagai kebijakan
internasional dalam konstitusi Amerika Serikat sebagai
salah satu negara Barat dengan kekuatan terbesar.
Exemplaars yang digunakan untuk memperjelas bingkai
adalah kasus penolakan yang sama oleh Indonesia
terhadap Irshad Manji yang merupakan tokoh
intelektual yang menyuarakan kebebasan berekspresi
dan mengaitkannya dengan ajaran agama Islam. Dalam
sebuah diskusi komunitas di Indonesia, Manji diundang
sebagai pembicara guna membahas bukunya yang
terbaru. Adapun Manji merupakan seorang lesbian.
Acara diskusi tersebut dibatalkan di tengah-tengah
dengan polisi yang secara tiba-tiba datang menggerebek
menyatakan bahwa Manji tidak memiliki bukti
pemberian izin untuk menjadi narasumber asing dalam
diskusi. Adapun hal ini dilakukan oleh aparat polisi
karena mendapat tekanan dari FPI yang merupakan
kelompok Muslim radikal di Indonesia dengan sumber
daya politik yang kuat. Penggunaan kasus Manji sebagai
exemplaar ditujukan untuk memberikan gambaran
adanya kesamaan antara Lady Gaga dan Manji dan
kesamaan tersebut lebih terletak pada tataran ideologi
yang tidak sesuai dengan ideologi yang dianut FPI
sebagai kelompok fundamentalis di Indonesia.
Perangkat penalaran (reasoning devices).
Dalam artikel tersebut, roots dinyatakan dengan
mengatakan bahwa Lady Gaga dinilai berpakaian
provokatif, memiliki gerakan dan lirik lagu yang
sugestif sehingga tidak seharusnya dipromosikan di
negara Indonesia yang merupakan negara Muslim.
Klaim moral dinyatakan dengan mengatakan bahwa
sesungguhnya negara-negara Barat sudah berusaha
memerangi radikalisme Islam dengan berbagai strategi
dan bahwa untuk memerangi jihadisme radikal
diperlukan lebih dari kekuatan militer (hard power).
Dengan demikian, consequence dari bingkai tersebut
adalah bahwa di negara seperti Indonesia yang
merupakan negara dengan penduduk Islam dalam
jumlah banyak, diperlukan keyakinan moral yang
diperjuangkan bersama-sama untuk mewujudkan
kedamaian antara Islam dengan Barat. Jika hal tersebut
gagal dilaksanakan, pertentangan antara keduanya
niscaya akan terus berlangsung.
Frame "Indonesian Economy Grows at Top Clip
Since ‘90s” : Indonesia akan mampu bertahan dalam
persaingan ekonomi global.
Dalam artikel tersebut lagi-lagi The Wall Street Journal
mengangkat isu mengenai geliat perekonomian
Indonesia dan estimasi perkembangannya dalam
percaturan global. Dalam artikel tersebut The Wall
Street Journal memperlihatkan kekuatan Indonesia
tersebut dalam wacana komparatif dengan negaranegara lainnya dalam situasi yang sama.
Perangkat pembingkai (framing devices).
Metafora yang digunakan dalam mengandaikan posisi
Indonesia saat ini dalam percaturan global adalah
dengan mengangkat pendapat perusahaan dan investor
dunia terkiait prediksi mereka mengenai prospek
Indonesia ke depannya yang diestimasikan sebagai next
India or China. Ilustrasi tersebut diambil untuk
mendukung gagasan sentral bahwa Indonesia memiliki
sektor ekonomi yang potensial untuk terus mengalami
perkembangan. Cina dan India diambil sebagai bahan
perumpamaan mengingat keduanya merupakan dua
negara Asia dengan potensi ekonomi terbesar saat ini.
Memprediksikan Indonesia akan mengikuti jejak
keduanya berarti menyepakati bahwa Indonesia
memiliki semua modal yang dimiliki untuk menjadi
negara terkuat di Asia pula.
Metafora lainnya untuk menegaskan bingkai tampak
dari bagaimana Indonesia dibandingkan dengan negaranegara lainnya (selain Cina dan India). Dikatakan
bahwa pada masa krisis ekonomi global, negara-negara
lainnya di dunia, terutama negara-negara Barat
“slumped into recession”, sementara Indonesia yang
merupakan Southeast Asia’s largest economy
mengalami pertumbuhan GDP di atas 5% dan kondisi
tersebut bertahan dalam kruun waktu tujuh sampai
delapan tahun.
Catchphrase yang digunakan artikel ini tampak pada
kutipan yang menyatakan bahwa, sesuai dengan
ekspektasi pasar, perekonomian dunia mengalami
ekspansi sebanyak 6.5% karena perkembangan di sektor
konsumsi rumah tangga dan investasi. Hal ini kemudian
menghadirkan ekspektasi pasar kepada Bank Indonesia
sebagai regulator perbankan di Indonesia untuk
mempertahankan kemudahan kebijakan perbankan.
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
Frase ini menjadi menarik karena terlihat bahwa dalam
menyikapi segala bentuk dinamika perekonomian
global, keadaan Indonesia kerap memengaruhi
pembentukan sikap, perilaku dan keputusan para elit
negara-negara dunia.
Depiction pada artikel ini disampaikan melalui
pelekatan citra Southeast Asia’s largest economy pada
Indonesia. Adapun citra ini dilekatkan tidak hanya
untuk menyampaikan fakta sebagaimana secara harafiah
dapat langsung diterjemahkan dari diksi yang
digunakan, namun juga untuk secara implisit
menegaskan kembali kepada publik bahwa Indonesia
memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa dan bahkan
merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Exemplaar yang digunakan untuk memperjelas gagasan
pada bingkai adalah dengan menyebutkan besaran
ekspansi GDP Indonesia pada tahun 2011, yaitu 6.5%,
yang memperjelas posisi Indonesia sebagai salah satu
negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Perangkat penalaran (reasoning devices).
Dalam menggambarkan hubungan kausalitas (roots)
dalam artikel ini, The Wall Street Journal
menyebutkannya dengan mengatakan bahwa Indonesia
muncul sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang
besar di dunia saat ini disebabkan karena Indonesia
memiliki keunikan tersendiri, yaitu pasar domestik yang
sangat besar, yang mampu membuat Indonesia bertahan
dalam krisis ekonomi global, sementara negara-negara
lainnya yang menggantungkan perekonomian pada
sektor ekspor terombang-ambing dalam krisis tersebut.
Appeals to principle yang diangkat untuk menguatkan
kohesivitas bingkai adalah dengan memberikan
gambaran mengenai sebuah keadaan yang pernah terjadi
sebelumnya di mana para investor asing Indonesia
menyampaikan keluhan mereka mengenai kerangka dan
implementasi kebijakan di Indonesia serta keadaan
infrastruktur yang kurang mendukung proses produksi
dan
distribusi,
Indonesia
tetap
mengalami
perkembangan ekonomi yang stabil dan terus menanjak.
Klaim ini seakan ingin mengatakan bahwa meskipun
ada begitu banyak hal yang berpotensi menghambat
kemajuan Indonesia, fakta menunjukkan bahwa
perkembangan ekonomi Indonesia tidak terganggu
dengan hal tersebut.
Dengan demikian, consequence dari bingkai tersebut
adalah Indonesia dengan potensi ekonomi dan berbagai
kekurangannya di bidang kebijakan ekonomi dan
infrastrukturnya yang minim akan tetap mampu
mempertahankan kekuatan ekonominya dan bahkan
meningkatkan daya saingnya dalam percaturan global.
Frame "Multinationals Market to the Poor – In
Nations such as Indonesia, Companies Find People at
Poverty Line Are Steady Costumers for Inexpensive
Basics” : Krisis global tidak berpengaruh pada
Indonesia.
Pada artikel ini, The Wall Street Journal mengangkat
cerita mengenai bagaimana keadaan di Indonesia dalam
keadaan krisis global. Jika biasanya kekuatan ekonomi
Indonesia ini lebih banyak diceritakan dengan
menyertakan pandangan-pandangan para analis
ekonomi dan pelaku ekonomi, artikel ini memberikan
gambaran dari perspektif penduduk Indonesia sebagai
konsumen dan dalam tataran kolektif sebagai pasar.
Perangkat pembingkai (framing devices).
Metafora yang digunakan dalam artikel ini dinyatakan
dengan menyertakan pengumpamaan atau pengandaian
bahwa beberapa perusahaan besar di Indonesia,
khususnya yang bergeral di bidang consumer goods
menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar “contoh”
atau model bagi cabang perusahaan di negara lainnya.
Hal ini misalnya dilakukan dengan meluncurkan produk
tertentu di Indonesia, yang jika sukses akan pula
dilakukan di negara dengan pasar berkembang lainnya.
Pengumpamaan ini memperlihatkan bahwa perusahaan
multinasional telah melihat Indonesia mampu menjadi
contoh bagi success story bisnis mereka sehingga dapat
dijadikan benchmark untuk kebijakan dan inovasi
perusahaan di negara lainnya.
Catchphrase yang digunakan untuk menegaskan
bingkai ada tidaknya pengaruh krisis ekonomi global
pada Indonesia diangkat dengan menampilkan kutipan
dari salah seorang penduduk Indonesia bernama Rohani
yang berasal dari masyarakat kelas ekonomi bawah,
yaitu :
“Life hasn’t become any tougher for me and I continue
to spend the same amount every month.”
Kutipan tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa
masyarakat dari kelas ekonomi bawah di Indonesia yang
merupakan negara berkembang yang dikenal merupakan
kalangan yang rentan dengan dinamika sosial ekonomi
negara saja sama sekali tidak merasakan dampak dari
krisis ekonomi global yang tengah melanda dunia dan
mengombang-ambingkan negara-negara maju di dunia.
Hal ini memperlihatkan fakta yang ironis.
Adapun depiction yang diambil merupakan ilustrasi
konotatif yang digambarkan dalam bentuk cukup
ekstrem guna mendukung bingkai. Berikut kutipannya :
“While her income puts her on the edge of poverty, her
spending habits weren’t affected by the global
slowdown in 2008 and 2009, and she has no worries or
even knowledge about latest economic troubles.”
Dari kutipan tersebut bahwa depiction ini digunakan
untuk menegaskan kembali ironi pada bingkai dengan
menyertakan keadaan paling ekstrem di mana penduduk
Indonesia bahkan tidak mengetahui bahwa krisis
ekonomi sedang berlangsung karena mereka sama sekali
tidak merasakan dampak dari krisis tersebut dalam
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
kehidupan sehari-hari, sekalipun mereka termasuk
masyarakat miskin di Indonesia.
Exemplaar yang digunakan adalah perusahaan produsen
bahan makanan Nestle yang di Indonesia penjualannya
tidak mengalami penurunan atau stagnansi melainkan
pertumbuhan yang stabil. Hal ini merupakan bukti
konkret bahwa daya ekonomi masyarakat Indonesia
tidak mengalami perubahan meskipun krisis ekonomi
global tengah berlangsung. Produk Milo yang
merupakan minuman penambah energi pun tetap
diproduksi dalam jumlah yang stabil karena adanya
permintaan pasar yang juga stabil. Milo sendiri
dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah
juga.
Exemplaar lainnya yang digunakan adalah dengan
menyertakan ilustrasi mengenai penjualan sepeda motor
di Indonesia yang meningkat tajam meskipun pada saat
yang bersamaan angka penjualan mobil agak menurun.
Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun krisis ekonomi
global tengah berlangsung, kemampuan masyarakat
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersier mereka
masing terjaga.
Perangkat penalaran (reasoning devices).
Roots yang digunakan dalam artikel ini disampaikan
dengan mengatakan bahwa secara makro, Indonesia
memang tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global
akibat daya serap pasar yang besar dan minimnya
ketergantungan Indonesia pada sektor ekspor. Dengan
demikian, keberhasilan pemerintah menjaga dinamika
pasar
domestik
sebenarnya
telah
mampu
mempertahankan stabilitas ekonomi dalam negeri,
demikian pula dalam skala mikro.
Klaim moral yang diajukan untuk membenarkan
argumen pada bingkai dinyatakan dengan mengatakan
bahwa masyarakat kelas ekonomi lemah sekalipun akan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka akan
produk dan jasa yang mendasar sehingga mereka tidak
kekurangan. Adapun pada saat yang bersamaan,
perusahaan-perusahaan di Indonesia memang termasuk
cepat beradaptasi dengan keadaan pasar ekonomi
Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut misalnya
menyediakan berbagai produknya dalam kemasan yang
lebih kecil sehingga dapat dijual dengan harga yang
lebih murah. Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut
juga mengusahakan relasi yang baik dengan konsumen
guna menjaga loyalitas mereka.
Dengan demikian, consequence dari bingkai ini adalah
mekanisme pasar yang berlaku di Indonesia (minim
dependensi pada sektor ekspor dan menggarap
sepenuhnya pasar domestik) membuat Indonesia
mampu bertahan dalam krisis ekonomi global sehingga
dampak negatif krisis yang dialami berbagai negara
lainnya tidak dirasakan oleh penduduk Indonesia.
Kelima artikel di atas dipilih untuk dipaparkan lebih
jauh karena peneliti melihat kelimanya yang paling
representatif
untuk
menggambarkan
bingkai
pemberitaan The Wall Street Journal mengenai
Indonesia, khususnya dalam menguatkan dua
subgagasan sentral yang merujuk pada kekuatan
ekonomi Indonesia di tingkat global dan kinerja
pemerintah Indonesia yang kurang memuaskan.
Kelima artikel tersebut pun cukup representatif dalam
memperlihakan bagaimana The Wall Street Journal
memberikan porsi-porsi tersendiri pada pembingkaian
Indonesia secara utuh maupun ketika dikomparasikan
dengan negara lainnya. Dalam menentukan frame besar
The Wall Street Journal sendiri, pertama-tama peneliti
membaca seluruh artikel yang ada dan membuat frame
dari masing-masing artikel sehingga didapatkanlah
frame besar The Wall Street Journal yang digunakan
sebagai batasan dalam membingkai Indonesia dalam
artikel.
Seperti yang telah disebutkan di atas, artikel-artikel The
Wall Street Journal yang mengangkat kekuatan ekonomi
Indonesia di tingkat global biasanya menggunakan
ilustrasi-ilustrasi berupa gaya hidup penduduk Indonesia
saat ini atau menggunakan negara lain sebagai bahan
komparasi agar publik dapat mempersepsikan sendiri
secara aktif besarnya kekuatan ekonomi Indonesia yang
dimaksud. Pada beberapa artikel, The Wall Street
Journal mengangkatnya dengan memperlihatkan geliat
Indonesia dalam forum-forum global dengan
memperlihatkan betapa Indonesia memiliki daya
tawarnya sendiri.
Adapun kurang baiknya kinerja pemerintah Indonesia
lebih banyak diangkat dengan memperlihatkan
bagaimana pihak-pihak yang melakukan transaksi luar
negeri dengan Indonesia merasa kecewa dengan adanya
birokrasi yang menyulitkan dan tumpang tindih di
Indonesia, kerangka kebijakan yang membingungkan
maupun ketidakterbukaan pemerintah Indonesia dalam
memberikan transparansi mengenai informasi terkini
keadaan ekonomi Indonesia.
4.
Diskusi dan Interpretasi
4.1. Diskusi
Dari hasil analisis di atas, tampak bahwa gagasan
sentral dari bingkai pemberitaan mengenai Indonesia
dalam The Wall Street Journal adalah "Indonesia adalah
negara dengan potensi sumber daya yang kaya dan
merupakan pasar yang menjanjikan namun kinerja
pemerintahnya kurang baik" dengan dua subgagasan
yang mendukung gagasan sentral adalah "Indonesia
merupakan negara yang telah berhasil muncul sebagai
pemain besar dalam percaturan global saat ini" dan
"Indonesia merupakan negara dengan sistem
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
pemerintahan yang tidak berjalan efektif." Penulis
memecah gagasan sentral menjadi dua subgagasan guna
mempertajam kekontrasan keduanya yang sebenarnya
berada dalam satu bingkai gagasan besar.
Pada subgagasan pertama disampaikan bahwa sejak
Indonesia keluar dari pemerintahan Presiden Soekarno
yang memiliki kecenderungan politik kekiri-kirian,
Indonesia mampu melakukan pembangunan ke dalam,
khususnya pembangunan ekonomi, dengan dibantu oleh
Amerika Serikat. Bagaimana Indonesia dapat mencapai
perkembangan signifikan sampai saat ini meskipun
dahulu ia sama kondisinya dengan negara-negara miskin
di Afrika digambarkan sebagai contoh konkret dari
bagaimana intervensi Amerika Serikat, yang lebih
sering dirujuk sebagai "bantuan", pada akhirnya
membawa pada kemajuan. Sehingga sesungguhnya
Indonesia dapat mencapai posisinya saat ini salah
satunya karena kontribusi Amerika Serikat.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber
daya alam yang melimpah namun masih memiliki
kekurangan dari segi sumber daya modal dan kualitas
sumber daya manusia sehingga investasi asing ke
Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar
terhadap kemajuan perekonomian Indonesia. Sebagai
negara dengan jumlah sumber daya manusia yang
banyak namun belum mahir mengeksploitasi dan
mengelola sendiri kekayaan alamnya, Indonesia menjadi
pasar yang sangat potensial menyerap hasil produksi
dalam negeri maupun hasil impor. Sedangkan sebagai
komoditi ekspor, Indonesia lebih banyak menjual
barang mentah. Hal ini sangat menarik bagi para
investor asing maupun perusahaan yang ingin
melakukan ekspansi. Pendapat bahwa Indonesia
termasuk negara yang memiliki stabilitas politik, upah
tenaga kerja yang rendah serta pemerintah yang korup
dan tidak melaksanakan pengawasan yang optimal
terhadap pemenuhan hak-hak tenaga kerja menjadi daya
tarik tersendiri bagi para pemilik usaha.
Meskipun menjadi ‘rumah’ bagi para investor asing,
keadaan birokrasi Indonesia yang carut marut, di mana
pasal-pasal karet dalam kerangka regulasi Indonesia dan
ketidakpedulian pemerintah dalam mengakomodasi
kepentingan investor asing di Indonesia ‘memukul
mundur’ para investor tersebut. Tak hanya itu,
penetapan kebijakan keuangan yang menjadi tanggung
jawab Bank Indonesia pun tidak kunjung disampaikan
secara terbuka kepada publik global. Hal ini
menimbulkan persepsi bahwa pemerintah Indonesia
tidak memiliki keseriusan dalam melayani pasar global
dan membuat mereka pun akhirnya mencari alternatif
negara lain dengan potensi pasar seperti Indonesia, baik
pada skala Asia maupun di luar Asia.
Pertumbuhan penduduk kelas menengah di Indonesia
mendapat sorotan yang tajam dan dianggap sebagai
salah satu kontributor terhadap status Indonesia sebagai
pasar yang menjanjikan. Gaya hidup kelas menengah
yang konsumtif dilihat sebagai aspek yang menunjang
stabilitas penyerapan hasil produksi, baik barang
maupun jasa, di Indonesia. Tidak puas dengan hanya
yang tersaji di Indonesia, kalangan ini pun
menghabiskan uang untuk berbelanja atau berwisata ke
luar negeri. Hal ini menimbulkan persepsi global bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang makmur
karena The Wall Street Journal memang sama sekali
tidak menyorot fakta, bahwa kontras dengan gaya hidup
kaum elit yang serba glamor tersebut, kemiskinan
melanda Indonesia, khususnya di daerah yang jauh dari
ibukota negara. Terjadi ketimpangan kekayaan akibat
distribusi sumber daya yang tidak merata.
Secara keseluruhan, The Wall Street Journal
membingkai Indonesia sebagai negara yang kaya
sumber daya alam, mendapat banyak pasokan sumebr
daya modal dari luar negeri, penduduknya hidup
makmur dan sejahtera dengan kekurangannya, yaitu
pemerintah yang korup, tidak mampu menegakkan
otoritasnya dan menjalankan fungsinya secara optimal,
birokrasi yang tidak efektif, penuh aksi terorisme dan
pada saat yang bersamaan merupakan negara Islam
moderat yang di dalamnya terdapat kelompok Islam
radikal.
4.2. Interpretasi
Sebagaimana indeks reputasi negara yang dirumuskan
oleh Passow dengan memodifikasi milik Fombrun,
pemberitaan The Wall Street Journal mengenai
Indonesia dalam bingkainya selama periode 19 Oktober
2011-31 Oktober 2012 mengkonstruksi reputasi
Indonesia secara global.
Dari segi emotional appeal, pemberitaan The Wall
Street Journal mengangkat Indonesia sebagai negara
yang memiliki berbagai potensi dan kekayaan yang
mengagumkan, baik potensi alam, sumber daya manusia
maupun kekayaan historinya. Berulang kali The Wall
Street Journal dalam artikel yang berbeda-beda
mempresentasikan kelebihan Indonesia ini. Pada artikel
yang sifatnya lebih merupakan reportase tentang
pengalaman hidup di Bali pun, diceritakan bahwa
penulis, melalui persentuhannya langsung dengan Bali
dan seluruh atributnya, menganggap bahwa Bali
merepresentasikan keramahan penduduk Indonesia serta
kekayaan potensi budaya dan pariwisata Indonesia
sehingga membuat penulis memutuskan untuk
menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di Bali.
Terlihat bahwa penulis begitu tersentuh dengan hal-hal
yang ia temukan di Bali. Penulis juga mengilustrasikan
bahwa melihat keadaaan bahwa mayoritas penduduk
Bali miskin, sisi emosionalnya tergerak sehingga ia
terdorong untuk membantu mereka. Pada dasarnya,
seluruh pemberitaan mengenai Indonesia dalam
berbagai isunya memengaruhi secara emosional publik
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
dunia melihat Indonesia yang kemudian akan
menentukan apakah mereka akan menyukai Indonesia
karena kekaguman dan rasa hormat akan kekayaannya
atau etos hidup penduduknya atau empati karena
keadaan masyarakatnya.
Melihat tulisan opini mengenai radikalisme FPI di
Indonesia yang melecehkan harga diri Lady Gaga
maupun Irshad Manji serta merendahkan Kedutaan
Besar Amerika Serikat dengan melakukan unjuk rasa
terhadapnya berpotensi menciptakan reaksi emosional
yang negatif dan persepsi bahwa Indonesia ternyata
bukanlah negara yang ramah terhadap pendatang
sehingga menghadirkan kekhawatiran dan paranoid
tersendiri pada publik dunia. Tidak seperti penelitian
terdahulu tentang hallyu yang dijadikan salah satu
referensi oleh peneliti, analisis terhadap berita The Wall
Street Journal tentang Indonesia tidak menemukan
adanya sentimen negara-negara tertentu terhadap
perkembangan pesat ekonomi Indonesia.
Dari segi physical appeal, The Wall Street Journal
menyampaikan bahwa Indonesia sangat terkenal dengan
kekayaan sumber daya alamnya yang merupakan bahan
baku berkualitas tinggi untuk berbagai jenis produksi.
Indonesia berhasil menarik perhatian publik global
terhadap potensi sumber daya energinya, seperti batu
bara, besi, timah dan barang tambang lainnya. Hal ini
ditekankan berkali-kali melalui artikel berbeda dengan
merujuk pada Indonesia sebagai surga dan pusat dari
kekayaan alam dunia yang didapatkannya sebagai
konsekuensi dari letak geografisnya yang membuat
Indonesia memiliki begitu banyak gunung api aktif dan
dikelilingi oleh lautan yang kaya akan biota laut.
Selain kekayaannya akan bahan mentah, Indonesia juga
dikenal sebagai asal dari produk perusahaan mie instan
terbesar di dunia, yaiti PT Indofood Makmur yang
memproduksi Indomie. Indomie dikenal memiliki
ekuitas merk yang sangat positif, menempatkannya
sebagai produk mie instan dengan kualitas dan pasar
global. Pada bidang jasa, jasa penerbangan atau aviasi
Indonesia terbilang memiliki reputasi yang negatif
karena beberapa maskapai penerbangan Indonesia
pernah beberapa kali mengalami kecelakaan yang
menewaskan banyak penumpang, baik karena human
error maupun kelalaian dalam pengelolaan kualitas
pesawat. Pemberitaan di The Wall Street Journal
memberikan gambaran bahwa berbagai maskapai
penerbangan Indonesia seperti Garuda Indonesia dan
LionAir tengah berusaha melakukan peningkatan
kualitas infrastruktur yang diharapkan dapat menambah
kualitas pelayanan juga nantinya. Hal ini diceritakan
dengan pembelian unit pesawat Boeing dalam jumlah
besar yang dilakukan oleh Air Asia dan Garuda
Indonesia beberapa waktu lalu.
Produk hiburan Indonesia yang masuk dalam berita di
The Wall Street Journal adalah film The Raid yang laku
di pasar film global serta berhasil menarik Sony Pictures
untuk membelinya dan mengadaptasinya ke dalam
bentuk videogame. Selain berhasil menampilkan bahwa
Indonesia memiliki potensi dalam industri hiburan
global, film tersebut juga berhasil mempromosikan pada
dunia seni bela diri asli Indonesia, yaitu silat. The Wall
Street Journal tidak banyak mengangkat pemberitaan
mengenai produk dan jasa yang diproduksi Indonesia
karena memang hasil produksi Indonesia pun memang
lebih banyak diserap oleh pasar dalam negeri.
Dari segi financial appeal, prospek investasi Indonesia
yang menguntungkan menjadi sorotan utama The Wall
Street Journal dalam pemberitaannya pada awal periode
penelitian dan dirujuk sebagai salah satu faktor penentu
mengapa Indonesia disebut-sebut sebagai negara pasar
berkembang dan merupakan tempat yang sangat sesuai
untuk melakukan ekspansi pasar. Namun, semakin ke
belakang, pemberitaan The Wall Street Journal
mengenai prospek investasi di Indonesia berubah
memiliki tone negatif, dengan secara implisit menunjuk
pada ketidakmampuan pemerintah memberikan
pelayanan yang memadai bagi para investor asing
sehingga iklim investasi semakin lama semakin dirasa
tidak lagi prospektif. Dalam merujuk pada kualitas
negatif pemerintah ini, The Wall Street Journal lebih
banyak mengangkat pendapat analis ekonomi untuk
berargumentasi menguatkan gagasannya. Iklim investasi
yang perlahan memburuk ini ditandai dengan kesulitan
mengestimasi peluang dan risiko usaha di Indonesia
karena regulasi pemerintah, khususnya Bank Indonesia
yang tidak kunjung menunjukkan kejelasan.
Jadi, meskipun menjadi "rumah" bagi para investor
asing, keadaan birokrasi Indonesia yang carut marut, di
mana pasal-pasal karet dalam regulasi Indonesia dan
ketidakpedulian pemerintah dalam mengakomodasi
kepentingan investor asing di Indonesia "memukul
mundur" para investor tersebut. Tak hanya itu,
penetapan kebijakan keuangan yang menjadi tanggung
jawab Bank Indonesia pun tidak kunjung disampaikan
secara terbuka kepada publik global.
Dari segi leadership appeal, performa pemerintah
Indonesia seperti terlihat dalam pemberitaan di The
Wall Street Journal, berkontribusi negatif pada
pembentukan reputasi negara. Pemerintah Indonesia
dinilai tidak memiliki kapabilitas yang memadai dalam
menjalankan roda pemerintahan terlihat
dari
inefektivitas kinerja pada hampir semua lini sistem
pemerintahan. Meskipun presiden Yudhoyono dirujuk
sebagai pimpinan yang telah mampu memimpin
Indonesia memasuki kemajuan yang signifikan dalam
bidang ekonomi dan menciptakan stabilitas politik,
fenomena korupsi yang merajalela serta inkompetensi
menjalankan roda pemerintahan dengan efektif sehingga
masalah-masalah
seperti
kesulitan
koordinasi
antarperangkat negara terus terjadi diikuti dengan
komunikasi publik (outward communication) yang
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
dinilai tidak memadai. Pemerintah Indonesia seakan
berjalan sendiri-sendiri dan tidak memiliki garis
koordinasi yang efisien sehingga hambatan birokratis
selalu menjadi masalah, termasuk bagi investor dan
pengusaha asing yang pada akhirnya merasa dirugikan
dalam transaksinya dengan Indonesia. The Wall Street
Journal juga menyebutkan Indonesia ke depannya
membutuhkan sosok pemimpin yang lebih tangguh.
Indonesia
di
bawah
kepemimpinan
presiden
Yudhoyono, sebagaimana gagasan yang dikonstruksi
oleh The Wall Street Journal, belum dapat
menyelenggarakan pemerintahan dengan optimal dan
menegakkan otoritasnya di tengah masyarakat.
Contohnya dapat dilihat dari serangan polisi terhadap
Irshad Manji yang sebenarnya dikendalikan oleh FPI,
aksi terorisme yang masih terus berlangsung dan bahkan
telah mengalihkan target serangannya kepada perangkat
negara seperti kepolisian dan pemerintah.
Sebagaimana sempat diulas pada emotional appeal,
Indonesia melalui pemberitaan The Wall Street Journal
digambarkan memiliki cultural appeal yang positif.
Namun, jika cultural appeal dilihat dalam kacamata
yang lebih luas sebagai daya tarik dari lingkungan kerja,
Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia dan
alam yang sangat memadai namun kesejahteraan publik
kurang mendapat perhatian dari negara. Hal ini
misalnya, ditampilkan The Wall Street Journal dalam
bingkai pemberitaan mengenai minimnya fasilitas
kesehatan publik dan infrastruktur penunjang industri di
Indonesia. Namun, secara umum, hal ini tidak
mendapatkan perhatian yang besar dalam pemberitaan
The Wall Street Journal sehingga dalam harian itu, baik
dari segi cultural mauun social appeal, Indonesia
cenderung terlihat sebagai negara yang memberikan
perhatian yang memadai bagi publik.
Menyinggung bagaimana The Wall Street Journal
membingkai
Indonesia
dalam
pemberitaannya
memberikan kita pemahaman bahwa The Wall Street
Journal tentunya memiliki kepentingan tersendiri
dengan memilih untuk memotret Indonesia dari
perspektif kemampuan ekonominya yang luar biasa
dengan membandingkannya dengan negara-negara lain
dan pada saat yang bersamaan secara implicit maupun
eksplisit menyorot bahwa kinerja pemerintah Indonesia
yang tidak baik dan cenderung merugikan investor asing
Indonesia dapat menjadi hambatan tersendiri bagi
kemajuan negara ini. Sebagaimana yang telah
disebutkan pada bagian gambaran umum bahwa The
Wall Street Journal, sebagaimana digambarkan dalam
opini
para
konsumennya,
cenderung
tidak
memperlihatkan ideologi pemiliknya, yaitu Rupert
Murdoch, namun dapat kita lihat bahwa The Wall Street
Journal berusaha mengaitkan kemajuan ekonomi
Indonesia dengan Amerika Serikat, baik dalam konteks
hubungan bilateral antarkedua negara maupun dalam
konteks bagaimana sebuah dinamika sosial ekonomi
politik di Indonesia memengaruhi atau memicu
timbulnya hal tertentu di Amerika Serikat sebagai
negara asal media ini.
Adapun hal ini ditujukan untuk mencitrakan adanya
simbiosis mutualisme antarkedua negara dan dengan
demikian mengisyaratkan elit kedua negara untuk selalu
memantau dinamika yang terjadi dalam hubungan
keduanya dan sedapat mungkin mengeratkan hubungan
bilateral yang menguntungkan. Dengan kata lain, The
Wall Street Journal berusaha membingkai pemberitaan
mengenai Indonesia dengan tujuan membuat elit
Indonesia paham akan adanya interdependensi kedua
negara dan adanya shared concern yang dibina bersama.
Motivasi ini mempengaruhi penyampaian dan
pengemasan seluruh artikel tentang Indonesia dan
mempengaruhi pula publik yang membaca The Wall
Street Journal.
5.
Kesimpulan
Secara umum, pemberitaan yang dilakukan The Wall
Street Journal mengenai Indonesia tergolong cover both
sides,
sehingga
benar-benar
terlihat
usaha
meminimalisasi subjektivitas dan bias kepentingan
media. Peneliti berpendapat bahwa apa yang
disampaikan oleh The Wall Street Journal dan
bagaimana media tersebut mempresentasikan beritanya
cukup mengedukasi publik global dengan gambaran
representatif dari keadaan Indonesia yang sebenarnya
dan dalam relasinya dengan negara-negara lain.
Melalui pemberitaan mengenai Indonesia yang diangkat
oleh The Wall Street Journal tampak bahwa Indonesia
digambarkan sebagai negara yang kaya akan potensi
alam, memiliki sumber daya manusia yang sangat
banyak dan cukup untuk menghidupi kehidupan
perekonomian negara tersebut secara mandiri, kapasitas
pasar yang sangat menjanjikan dengan pertumbuhan
jumlah penduduk kalangan menengah, menarik banyak
investasi dari luar negeri, memiliki stabilitas politik,
dihuni oleh populasi penduduk Muslim terbesar di dunia
yang di tengah masyarakat sendiri terbagi atas
kelompok radikal dan moderat, masih dibayangi oleh
terorisme yang bahkan saat ini mengancam keamanan
aparat negara termasuk pemerintah, masih mengalami
banyak hambatan karena birokrasi berbelit-belit pada
lembaga-lembaga pemerintahan dan institusi negara
yang disebabkan oleh tumpang tindih jurisdiksi, salah
satu negara dengan tingkat korupsi terbesar serta
memiliki potensi budaya dan pariwisata yang dapat
mendorong industri kreatif dalam negeri.
Mengacu pada paradigma konstruktivis, pemberitaan
The Wall Street Journal memiliki pengaruh dalam
membentuk
persepsi
publik
global
yang
mengkonsumsinya dan nantinya akan memengaruhi
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
sikap dan perilaku mereka. Namun, yang perlu diingat
adalah bahwa paradigma ini melihat proses komunikasi
itu sendiri sebagai transaksi yang aktif sehingga
persepsi publik pembaca The Wall Street Journal
mengenai reputasi Indonesia tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh pemberitaan media tersebut. Dengan
demikian, ketika reputasi Indonesia sebagaimana
dibingkaikan dalam The Wall Street Journal dalam
pemberitaannya sebagai : "1)negara dengan kekuatan
ekonomi yang luar biasa dan memiliki potensi untuk
menjadi pemain besar dan utama dalam percaturan
global, bahkan menggantikan Cina dan India, namun
2)memiliki kekurangan tersendiri, yaitu kinerja
pemerintah yang kurang baik yang berpotensi membuat
reputasi baik Indonesia sebagai negara tujuan investasi
yang menjanjikan karena di samping memiliki stabilitas
keadaan sosial-ekonomi-politik ternyata memiliki
birokrasi dan kerangka kebijakan yang membingungkan
dan menyulitkan investor", publik pembaca The Wall
Street Journal akan menggunakan informasi tersebut
sebagai salah satu sumbernya dalam menentukan
keputusan-keputusan tertentu. Hal ini lagi-lagi
dikarenakan oleh semakin pentingnya dan semakin
dipercayanya peran dan fungsi media massa global pada
masa ini sebagai sumber informasi yang pertama dan
utama.
the Corporate Image. Boston, MA: Harvard Business
School Press.
Karena The Wall Street Journal memang lebih
merupakan harian dengan fokus isu ekonomi dan bisnis
internasional, mayoritas berita mengenai Indonesia yang
diangkat dikaitkan dengan konteks ekonomi, baik dari
segi sebab maupun dampak, membuat beberapa artikel
tidak dapat membahas tuntas isu yang diangkat
sehingga agak sulit menarik isu tersebut ke dalam
konteks yang lebih makro, terlepas dari implikasiimplikasi ekonomisnya. Hal ini sangat terlihat dari
bingkai besar yang digunakan The Wall Street Journal.
Wright, Donald K. 2001. The Magic Communication
Machine : Examining the Internet's Impact on Public
Relations, Journalism and Public. Florida : The Institute
of Public Relations.
Daftar Acuan
Acuan dari buku :
Berger, Peter L., & Thomas Luckmann. 1967. The
Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge. Anchor.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian
Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Dowling, G.R. 1994. Corporate Reputation: Strategies
for Developing the Corporate Brand. London : Kogan
Page.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi,
dan Politik Media. Jakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Fombrun, C. J. 1996. Reputation: Relaxing Value from
Grant, R. M. 1995. Contemporary Strategy Analysis:
Concepts, Techniques, Applications. Cambridge, MA :
Blackwell.
Marahimin, Ismail. 1999. Menulis secara Populer.
Pustaka Jaya.
Moleong. 2005. Metodologi Kualitatif. Edisi revisi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Neuman, William L. 2007. Social Research Methods.
Pearson Education.
Patton, Michael Quinn. 2001. Qualitative Research &
Evaluation Methods. Sage Publication.
Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif dalam
Penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian Public
Relations dan Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Acuan artikel dalam jurnal :
Anholt, S. 2002. “Nation-Branding”, dalam The Journal
of Brand Management. 9(4/5), halaman: 229–239.
Bennet, W. Lance & Lawrence, Regina G., “News Icons
and the Mainstreaming of Social Change”, dalam
Journal of Communication. 45:3, halaman: 3-39.
Chun, R. 2001. “Corporate Identity and Corporate
Marketing”, dalam Review of European Journal of
Marketing. 4:3, halaman 276–273.
Doobo, S. 2006. “Hybridity and the Rise of Korean
Popular Culture in Asia”, dalam Media, Culture &
Society. 28:1, halaman: 25-44.
Entman, R. 1993. “Framing Toward Clarification of A
Fractured Paradigm”, dalam Journal of Communication.
Halaman: 300-391.
Fombrun, C. J., and Shanley, M. 1990. “What’s In A
Name? Reputation Building and Corporate Strategy”,
dalam Academy of Management Journal. 32:2, halaman:
233-248.
Gilboa, Eytan. 2008. “Searching for A Theory of Public
Diplomacy”, dalam Annals of the American Academy of
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
Political and Social Science. 616, halaman: 55-77.
Hall, R. 1992. “The Strategic Analysis of Intangible
Resources”, dalam Strategic Management Journal. 13,
halaman: 135–144.
Hallahan, Kirk. 1999. “Seven Models of Framing :
Implications for Public Relations”, dalam Journal of
Public Relations Research. 11:3, halaman: 205–242.
Ham, Peter van. 2001. “The Rise of the Brand State”,
dalam Foreign Affairs. 80:5, halaman: 2-6.
Ham, Peter van. 2002. “Branding Territory: Inside the
Wonderful Worlds of PR and IR Theory”, dalam
Millenium. 31:2, halaman: 249-269.
Kang, H. 2010. “Korean Culture ‘Invades’ Japan, A
Century After Annexation”, dalam Korea Times.
Lee, Sue Jin. 2011. “The Korean Wave : The Soul of
Asia”, dalam The Elon Journal of Undergraduate
Research in Communication. 2:1, halaman: 85-93.
Search
Results”,
dalam
<http://abcas3.accessabc.com/ecirc/newstitlesearchus.a
sp> diakses 14 Oktober 2012.
Peart, K. (n.d.). 2009. “Reason & Respect: Civil
Discourse
in
A
Global
Context”,
dalam
<http://www.reasonandrespect.rwu.edu/journal/index.p
hp/2009/02/07/framing-the-discourse-mass-mediapublic-opinion-and-identity-in-the-arab-world/>
diakses 29 September 2012.
Teslik, Lee Hudson. 2008. “Nation Branding
Explained”,
dalam
<http://www.cfr.org/publication/14776/nation_brandin
g_explained.html> diakses 29 September 2012.
Acuan artikel dari makalah :
Hyejung, J. 2007. “The Nature of Nationalism in the
“Korean Wave”: A Framing Analysis of News
Coverage about Korean Pop Culture”, makalah dalam
Conference of National Communication Association.
Mor, Ben D. 2006. “Public Diplomacy in Grand
Strategy”, dalam Foreign Policy Analysis. 2, halaman:
157-176.
Nisbett, R. E., & Wilson, T.D. 1977. “The Halo Effect :
Evidence for Uncoscious Alterarion of Judgements”,
dalam Journal of Personality and Social Psychology.
35, halaman: 250-256.
Passow, T., Fehlmann, R. & Grhlow, H. 2005. “Country
Reputation–from Measurement to Management: The
Case of Liechtenstein”, dalam Corporate Reputation
Review. 7:4, halaman: 309-326.
Rindova, V.P., & Fombrun, C.J. 1998). “The Eye of the
Beholder: The Role of Corporate Reputation in
Defining Organizational Identity. In Whetten, D.A. &
Godfrey, P.C. (eds), Identity in Organizations: Building
Theory Through Conversations. Thousand Oaks, CA,
Sage, 62-66.
Signitizer, Benno, & Coombs, Timothy. 1992. “Public
Relations and Public Diplomacy: Conceptual
Divergence”, dalam Public Relations Review. 18:2,
halaman: 137-147.
Acuan artikel dalam website :
Anholt, Simon. 2008. “The Importance of National
Reputation. Engagement: Public Diplomacy”, dalam <
http://www.fco.gov.uk/en/about-thefco/publications/publications/pdpublication/national‐re
putation> diakses 11 Oktober 2012.
Audit Bureau of Circulations. 2011. “Audit Bureau of
Circulations FAS‐FAX Report : US Newspaper –
Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013
Download