ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN HARIAN THE WALL STREET JOURNAL TERHADAP PEMBENTUKAN REPUTASI INDONESIA SECARA GLOBAL Debora Irene Christine Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email : [email protected] Abstrak Kompetisi global menuntut negara untuk melakukan manajemen reputasi dengan strategis. Guna melakukannya, diperlukan kajian yang komprehensif mengenai potensi internal negara dan posisinya saat ini (current condition) dalam percaturan global. Audit reputasi negara dengan menganalisa bingkai pemberitaan terhadap negara dalam media massa global mampu memberikan pemahaman mengenai persepsi publik global tentang negara dan membantu proses identifikasi aspek-aspek reputasi Indonesia yang sudah baik dan yang harus diperbaiki. Dengan melakukan analisis framing, penelitian ini hendak melihat bagaimana pemberitaan mengenai Indonesia yang diangkat oleh harian The Wall Street Journal memengaruhi konstruksi reputasi Indonesia secara global. Hasil yang didapatkan bahwa Indonesia mendapatkan penekanan positif pada potensi ekonominya dan penekanan negatif pada kinerja pemerintah yang merupakan penghambat kemajuan negara. Framing Analysis on News of The Wall Street Journal Daily in Constructing Indonesia’s Reputation Globally Abstract Global competition endorses a country to strategically manage its reputation. In order to do it, one needs to make a comprehensive study of a country's internal potential and its current condition in global world. Conducting country's reputation audit by analysing global mass media's news frames can result in an understanding of global public's perception of the country and thus, becoming an adequate base to create a nation brand. By conducting framing analyses, this research will see how the news presented by The Wall Street Journal daily affect the construction of Indonesia's reputation globally. The result obtained shows that Indonesia gets the positive emphasis on its potential economy and negative emphasis on its government's performance which is considered to be the obstacle of nation development effort. Keywords : nation brand, country's reputation, global mass media, framing analyses 1. informasi utama dan pertama bagi publik untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Berbagai penelitian komunikasi sampai saat ini telah menunjukkan bahwa media dapat memengaruhi masyarakat, budaya dan identitas (Peart, 2007). Media merupakan "jembatan" antara publik dengan realita, terutama karena individu dalam publik tidak mungkin merasakan secara langsung semua kejadian yang terjadi di dunia. Dengan demikian, media menjadi sumber Perkembangan ekonomi global dan teknologi komunikasi menciptakan komunikasi global yang ditandai dengan kemunculan information superhighway mengukuhkan kekuatan media massa dalam memengaruhi publik dalam skala global. Dengan demikian, informasi yang diangkat di media massa global mampu memengaruhi persepsi, sikap dan perilaku publik dunia dalam melihat suatu isu atau topik tertentu. Media massa global pun melalui intensitas Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 pemberitaan dan pengemasan beritanya, dengan demikian, memiliki peranan dalam pembentukan reputasi suatu negara di benak publik global. Reputasi secara umum didefinisikan sebagai evaluasi akumulatif mengenai suatu objek yang pembentukannya dipengaruhi oleh berbagai gambaran yang dimiliki mengenai objek tersebut, emosi dan asosiasi-asosiasi lainnya yang berkaitan dengan objek tersebut yang diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun opini dari sumber lain. Reputasi terbentuk melalui proses yang panjang dengan mengakumulasikan berbagai citra dari aspek-aspek berbeda tentang objek tersebut. Reputasi negara (country reputation), dengan demikian, adalah evaluasi akumulatif terhadap suatu negara yang terbentuk dalam periode waktu yang panjang, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti historis (sejarah), budaya, ekonomi, politik dan pariwisata (Cha, 2005) dan diperoleh melalui pengalaman pribadi individu maupun informasi yang didapatkan dari sumber eksternal, seperti individu lain, pemerintah, maupun media (Kang, 2010). Pada masa global ini, di mana masing-masing negara berlomba-lomba menciptakan comparative advantagesnya masing-masing guna memenangkan persaingan global, menjadi sangat penting untuk melakukan pengelolaan reputasi negara. Sebuah studi yang dilakukan untuk melihat relasi antara perkembangan ekonomi, sosial dan politik suatu negara dengan reputasi suatu negara menunjukkan bahwa produk yang diproduksi dan dijual oleh negara berkembang mendapatkan evaluasi lebih negatif dibandingkan dengan produk yang diproduksi dan dijual oleh negara maju yang namanya telah banyak dikenal publik dunia (Wang & Lamb, 1983) atau dengan kata lain, reputasi suatu negara memengaruhi persepsi publik dunia terhadap berbagai aspek dalam negara tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep halo effect yang secara umum didefinisikan sebagai pengaruh evaluasi global terhadap evaluasi individual (Nisbett & Wilson, 1977), dan secara lebih khusus dalam konteks pemasaran didefinisikan sebagai keadaan di mana ketika konsumen memiliki favorable attitude terhadap reputasi suatu produk, ia cenderung akan memiliki favorable attitude terhadap bagian spesifik dari produk tersebut (Harrell, 1986), dan dalam konteks keputusan pembelian, didefinisikan sebagai efek dari merek suatu produk terhadap perilaku konsumen (Hawskin et al, 1992). Secara sadar maupun tidak, bagaimana persepsi yang dimiliki seseorang mengenai suatu negara memengaruhi sikap seseorang terhadap negara tersebut dan pembuatan keputusan terkait dengan negara tersebut, misalnya dalam melakukan pemilihan untuk berwisata, melakukan investasi, melanjutkan studi, mengkonsumsi produk atau menggunakan jasa. Melihat tuntutan zaman ini, berbagai negara di dunia telah melihat bahwa selain memperkuat dan memaksimalkan seluruh potensi yang dimilikinya, diperlukan perhatian khusus dalam menjalankan praktik diplomasi publik guna membentuk reputasi negara yang favorable di mata publik global. Diplomasi publik merupakan instrumen yang dimanfaatkan pemerintah suatu negara untuk berkomunikasi dan menarik atensi dari publik global terhadap negaranya (Gilboa, 2008). Salah satu instrumen diplomasi publik adalah nation brand, yang menurut Anholt (2008) merupakan soft power sebuah negara yang mampu memperkuat posisinya dalam diplomasi publik internasional. Nation brand merupakan identitas suatu negara yang dikemas secara terintegrasi dengan mengedepankan keunggulan komparatif suatu negara sehingga menjadi lebih mudah untuk dikomunikasikan kepada publik yang luas (Mor, 2006). Nation brand yang dikomunikasikan pada publik membentuk gagasan atau persepsi mengenai suatu negara (Ham, 2001). Kesuksesan pembentukan dan pengelolaan reputasi negara melalui strategi nation branding akan menarik investasi, kunjungan wisatawan, ekspansi perusahaan ke dalam negeri serta kesempatan untuk meningkatkan ekspor serta relasi internasional yang pada akhirnya dapat meningkatkan standar kehidupan suatu negara (Ham, 2002). Nation brand yang kuat dan positif tidak dibentuk dengan hanya menciptakan logo dan slogan yang atraktif (Anholt, 2008), melainkan membutuhkan usaha yang efektif dan sinergis serta membutuhkan komitmen bersama seluruh stakeholders dalam negara, yaitu pemerintah, sektor swasta, LSM, masyarakat sipil, dll. (Teslik, 2007) karena nation brand tidak diciptakan dari sesuatu yang 'tidak ada', melainkan mengkomunikasikan secara efektif identitas terintegrasi dari negara tersebut sehingga mengundang ketertarikan publik global. Guna menyasar publik global, pengelolaan komunikasi melalui media massa global menjadi hal yang sangat signifikan pengaruhnya bagi penyebaran nation brand suatu negara. Berbagai negara di Asia tengah dalam proses menggencarkan nation branding. Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Cina sampai India dan Oman telah terlebih dahulu menyadari pentingnya membangun membangun citra dan reputasi yang positif secara internasional guna menjaga kestabilan dan mengembangkan kondisi ekonomi dan politik negara. Korea Selatan merupakan salah satu contoh terbaik dalam mengimplementasikan nation branding guna menciptakan citra positif negara sekaligus meningkatkan manfaat dari reputasi yang favorable. Di saat negara-negara lain tengah gencar melancarkan strateginya memenangkan kompetisi global, Indonesia sebagai negara dengan berbagai potensi alam dan budaya yang menakjubkan, situasi ekonomi dan politik yang terbilang stabil, sumber daya manusia yang menjanjikan baik secara kuantitas maupun kualitas belum melakukan usaha yang signifikan dalam Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 mengelola nation brand. Saat ini, Indonesia berada pada urutan 78 menurut Country Brand Index 2012-2013 yang dirilis oleh Future Brand dan pada urutan 32 menurut Nation Brand 100 yang dirilis oleh The Finance Brand. Kondisi ini seharusnya dapat dijadikan pijakan yang baik untuk meningkatkan performa Indonesia baik ke dalam maupun ke luar negara karena sesungguhnya, dibandingkan dengan kemajuan yang hanya menjadikan indikator kuantitatif sebagai tolak ukur macam ini, Indonesia dengan berbagai potensinya memiliki kesempatan untuk mencapai perkembangan yang menyeluruh dan menekankan pada kualitas, namun belum ada pengelolaan reputasi (reputation management) Indonesia sebagai suatu negara yang disusun secara strategis dan diimplementasikan secara efektif. Dengan strategi perencanaan dan pengelolaan reputasi yang tepat, Indonesia mampu terus berkembang dalam jangka panjang dan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya dengan melakukan pembangunan yang merata. Pengelolaan reputasi, dengan individu, perusahaan maupun negara sebagai objeknya, merupakan tanggung jawab praktisi PR (public relations officer) karena untuk melakukannya diperlukan pemahaman mendalam mengenai seluk beluk objek, potensi relasi dengan seluruh stakeholders, maupun esensi dari tiap nilai, visi, misi yang melekat pada objek. Selain pemahaman mendalam mengenai objek (individu, perusahaan maupun negara) dan lingkungan yang melingkupinya (internal maupun eksternal), studi dan praktik yang didalami oleh praktisi PR membuatnya memiliki kapabilitas untuk melakukan fungsi manajemen secara strategis dan efektif. maupun untuk mendapatkan gambaran tentang persepsi publik global. Mengetahui bagaimana persepsi publik global tentang suatu negara dengan melihat bagaimana pemberitaan media massa global dikonsumsi oleh publik global menjadi sangat penting untuk dilakukan, selain dalam proses pengelolaan dan pengontrolan reputasi negara, juga dalam mendapatkan gambaran eksplanatif yang komprehensif guna menyusun rancangan strategis pembentukan nation brand bagi negara yang baru ingin memulainya, seperti Indonesia. Guna mengkreasikan sebuah nation brand yang mampu membuat reputasi Indonesia di mata dunia menjadi semakin favorable sekaligus mampu mengubah persepsi negatif publik dunia mengenai Indonesia, diperlukan suatu kajian yang memadai untuk dijadikan landasan. Audit reputasi dengan memerhatikan bagaimana reputasi Indonesia saat ini (current condition) di benak publik dunia sebagaimana diberitakan di media menjadi hal yang sangat signifikan dan urgen untuk dilakukan. Audit reputasi dengan melihat bagaimana media massa global memberikan gambaran mengenai Indonesia melalui paparan beritanya dapat membantu proses identifikasi aspek-aspek pembentuk reputasi Indonesia yang sudah baik dan perlu dimaksimalkan serta aspekaspek yang harus diperbaiki. Selain itu, hasil audit reputasi Indonesia pada media massa global akan dapat menjadi landasan pembuatan stakeholders mapping serta key performance indicators yang menjadi modal awal penyusunan strategi nation brand yang komprehensif. Selain itu, melihat perkembangan hubungan internasional saat ini dari perspektif komunikasi, diplomasi publik pun sesungguhnya merupakan bidang kajian dan praktik PR. Hal ini sejalan dengan argumen yang dikemukakan Signitzer dan Coombs (1992) yang mengatakan dengan asumsi bahwa diplomasi publik adalah cara yang ditempuh pemerintah suatu negara, kelompok maupun individu untuk memengaruhi persepsi dan sikap tertentu dari suatu kelompok baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemberlakuan kebijakan publik, maka PR dan diplomasi publik memiliki tujuan yang sama dan dalam praktiknya menggunakan cara-cara (tools) yang serupa. The Wall Street Journal merupakan harian internasional terbitan Amerika Serikat yang dimiliki oleh salah satu dari korporasi media terbesar di Amerika Serikat, yaitu News Corporation (divisi Dow Jones & Company), dengan jumlah sirkulasi terbesar di dunia dan angka readership yang tinggi (Audit Bureau of Circulations, 2011). Harian yang salah satu fokus pemberitaannya adalah isu ekonomi ini bahkan memiliki edisinya sendiri yang disegmentasikan bagi pembaca di Asia dan Eropa. Sebagai bagian dari korporasi media global, The Wall Street Journal berperan signifikan dalam menjadi referensi bagi publik dunia, khususnya para pembuat kebijakan (policy maker), dalam mengambil berbagai keputusan. Dalam praktik diplomasi publik, pemanfaatan media massa sebagai saluran komunikasi sangat penting karena melalui media massa, gagasan yang akan disampaikan mengenai suatu negara dan seluruh atributnya dapat disampaikan secara luas. Dengan demikian, media massa global, sebagai media massa yang dikonsumsi secara luas oleh publik dunia, merupakan saluran komunikasi yang sangat penting digunakan, baik dalam melakukan diplomasi publik untuk menanamkan gagasan-gagasan mengenai negara Selain itu, The Wall Street Journal juga menjadi rujukan bagi berbagai media nasional maupun lokal meskipun ia bukanlah sebuah kantor berita. Salah satu alasannya adalah karena meskipun The Wall Street Journal merupakan media terbitan Amerika Serikat, harian ini termasuk yang dinilai sebagai media dengan bias kepentingan yang minim dalam pemberitaannya sehingga kredibilitasnya dipercaya. Edisi cetak harian The Wall Street Journal dipilih karena sampai saat ini, media cetak masih dianggap sebagai sumber informasi Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 yang lebih kredibel, terutama karena proses gatekeeping yang dilaluinya yang berbeda dan prinsip-prinsip jurnalistik yang lebih ditegakkan, dibandingkan pada bentuk media lainnya (Wright, 2001). Bagaimana The Wall Street Journal mengemas dan menyajikan pemberitaannya terhadap suatu isu atau peristiwa memengaruhi persepsi pembacanya. Dengan demikian, untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi dan sikap publik global terhadap suatu isu atau topik, kajian terhadap pemberitaan The Wall Street Journal mengenai isu atau topik tersebut menjadi penting. Guna meneliti isi media, dalam hal ini harian The Wall Street Journal, perlu diadopsi suatu teknik analisis tertentu. Framing pada hakikatnya merupakan sebuah konsep atau paradigma dan sebuah teknik analisis. Sebagai sebuah konsep, merupakan cara bercerita (story telling) yang digunakan awak media untuk mengkonstruksi realita dalam benak publik dengan melakukan pembingkaian berita. Sebagai paradigm, framing digunakan praktisi PR dalam melakukan pengemasan pesan secara strategis yang ditujukan untuk mendapatkan respons tertentu dari audiens (Hallahan, 1999). Sebagai sebuah teknik analisis, framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realita dikonstruksi oleh media dan memengaruhi pembentukan realita pada benak publik (Eriyanto, 1999). Analisis framing mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih dalam dari sekedar penelitian analisis kuantatif, yaitu pada pemahaman mengenai bagaimana sumber berita, baik praktisi PR maupun media, memahami dan memaknai realita dan menyajikannya kepada publik untuk mencapai suatu tujuan tertentu serta melihat bagaimana publik yang mengkonsumsi berita tersebut mencernanya sehingga memengaruhi kognisi, afeksi maupun konasinya. 1. 2. Penelitian Sejenis yang Telah Dilakukan Dalam "The Korean Wave : The Seoul of Asia", Lee Sue Jin menganalisis fenomena Korean wave (hallyu) dan implikasinya pada pengaruh kultural Korea Selatan terhadap negara-negara tetangga serta mengeksplorasi bagaimana identitas nasional memengaruhi proses framing mengenai Korea Selatan di media dan respons publik terhadapnya. Lee mengangkat bagaimana hallyu yang sebelumnya merujuk pada penyebaran budaya populer Korea (Korean pop-culture) menjadi salah satu landasan bagi pemerintah Korea Selatan untuk mendukung industri media negara tersebut sehingga dapat difungsikan secara optimal sebagai ‘kendaraan’ yang menyebarkan hallyu lebih luas lagi ke dunia internasional. Ekspansi global ini kemudian berkontribusi pada peningkatan citra Korea Selatan secara lebih luas dan dilihat sebagai alat diplomasi publik. Lee melihat bahwa popularitas hallyu secara regional di negara-negara tetangga Korea Selatan seperti Cina, Taiwan, HongKong, Jepang sampai Vietnam mengawali penyebarannya ke skala global. Hallyu mencapai level penetrasi aktifnya pada tahun 2002 (Hyejung, 2007). Citra negatif mengenai Korea Selatan yang tertanam dalam benak publik akibat pemberitaan mengenai Perang Korea, lingkaran kemiskinan dan instabilitas politik (Lee, 2007) perlahan terhapus akibat gambaran yang disajikan dalam produk-produk hallyu dan Korea Selatan pun muncul sebagai negara dengan citra gaya hidup yang modern, trendi dan kontemporer serta menjadi contoh positif bagi negara-negara tetangganya (Doobo, 2006). Citra positif ini pun berkontribusi menciptakan peningkatan dalam berbagai aspek kehidupan negara, termasuk ekonomi dan politik. Pemberitaan di media massa, sebagaimana dipahami Lee, merupakan salah satu faktor penentu yang membuat perkembangan sedemikian rupa dapat dicapai oleh Korea Selatan. Fokus utama Lee adalah bagaimana media massa membingkai hallyu dalam pemberitaannya memengaruhi penerimaan masyarakat terhadapnya. Dalam melakukan penelitiannya, Lee menggunakan analisis framing komparatif (comparative framing analysis) terhadap pemberitaan mengenai hallyu pada harian nasional yang terbit dalam 4 edisi, yaitu Korea Herald edisi Korea Selatan, Singapura, Thailand dan Jepang dengan "Korean Wave" sebagai kata kunci yang digunakan untuk mengumpulkan artikel yang diteliti. Untuk triangulasi data, ia melakukan wawancara langsung dan via telepon. Hasil penelitian Lee menunjukkan bahwa frame dominan yang digunakan keempat harian tersebut adalah bahwa hallyu merupakan fenomena yang dikembangkan karena alasan komersial dan fenonema tersebut dideskripsikan sebagai kemenangan nation branding Korea Selatan yang dilihat dari perspektif nasionalis. Berdasarkan frame dominan dan tiga subframe, Lee mengambil tiga kesimpulan. Pertama, frame yang dibentuk adalah adanya relasi atau hubungan cinta dan benci (love/hate relationship) antara Korea, Jepang dan Cina. Lee memahami bahwa media melihat adanya ikatan historis yang menciptakan sentimen tersendiri di antara ketiga negara tersebut sehingga menjadi menarik untuk membahas fenomena hallyu di masing-masing negara dengan mengambil perbedaan latar belakang politis, historis dan ekonomi di antara ketiga tersebut dan menyajikannya ke dalam berita. Frame kedua yang dibentuk adalah bahwa pemerintah Korea Selatan memanfaatkan fenomena hallyu dan menggunakannya sebagai "kendaraan" untuk melakukan nation branding melalui budaya. Frame ketiga adalah hallyu dilihat sebagai bentuk imperialisme budaya dan negara-negara yang menimbulkan sentimen tersendiri terhadap produk budaya dan segala sesuatu Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 yang berasal dari Korea Selatan. Sentimen ini diwujudkan dalam bentuk proteksi negara-negara seperti Jepang dan Cina terhadap drama dan masuknya perusahaan Korean ke dalam negeri dan kritik dari pemerintah beberapa negara seperti Taiwan dan Singapura terhadap upaya pemerintah Korea Selatan menyebarkan budayanya. Tindakan-tindakan demikian didasarkan pada kecurigaan bahwa pemerintah Korea Selatan bertujuan untuk menggantikan budaya Asia dengan budaya Korea Selatan dan bahwa proliferasi budaya Korea menyebabkan ketimpangan pada industri budaya di Asia. Penelitian Lee ini berhasil memotret bagaimana harian yang sama dengan edisi berbeda memotret suatu isu secara berbeda dipengaruhi oleh latar belakang negara serta pandangan politiknya (analisis framing komparatif). Namun, penelitian ini belum berhasil menceritakan sekaligus memperkuat pendapatnya di awal bahwa pemberitaan media mengenai fenomena hallyu di berbagai negara yang dipilih kemudian memengaruhi pembentukan persepsi Korea Selatan secara utuh. Penelitian ini akan lebih signifikan dan menarik jika dapat mengaitkan framing di media massa mengenai sebuah aspek dari Korea Selatan dengan pembentukan reputasinya secara global yang dengan demikian dapat memberikan pemahaman bahwa citra positif dari sebuah faktor atau aspek dari sebuah negara (mikro) dapat dijadikan pijakan untuk membentuk reputasi yang positif dari negara tersebut (makro). 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana The Wall Street Journal membingkai Indonesia dalam pemberitaannya dan bagaimana reputasi Indonesia secara global yang terbentuk melalui bingkai pemberitaan tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya pemahaman tentang pengelolaan reputasi negara melalui pengelolaan pemberitaan di media massa global serta tentang keluasan bidang kerja dan peran public relations officer dalam rangka pembangunan nasional (nation building). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah Indonesia dalam : 1. Mengidentifikasi komponen reputasi negara Indonesia yang sudah baik untuk dimaksimalkan dan yang belum baik untuk diperbaiki serta memaksimalkan pengelolaan media massa global dalam mengkomunikasikannya. 2. Menjadi dasar pembuatan key performance 3. indicators untuk melakukan pengukuran performa negara Indonesia, terutama dari aspek ekonomi dan politik. Menjadi landasan pembuatan stakeholders mapping (internal dan eksternal) negara Indonesia yang akan memengaruhi penyusunan strategi kampanye nation branding. 2. Metode Penelitian 2.1. Kerangka Pemikiran Reputasi. Reputasi, dalam konteksnya pada perusahaan, dilihat dari paradigma akuntansi, merupakan intangible asset yang berharga (Grant, 1995) yang memengaruhi bagaimana stakeholders perusahaan bersikap dan bertindak. Dilihat dari paradigma pemasaran, reputasi merupakan akumulasi dari impresi seluruh stakeholders perusahaan yang terbentuk sebagai hasil dari interaksinya dengan perusahaan dan informasi mengenai perusahaan yang diterimanya melalui kegiatan komunikasi yang dilakukan perusahaan, sehingga menumbuhkan bentuk ikatan emosional antara stakeholders dengan perusahaan yang memperlihatkan kekuatan perusahaan serta membedakannya dari kompetitor (Fombrun & Shanley, 1990) atau yang disebut sebagai keuntungan komparatif (Hall, 1992). Sedangkan menurut Chun (2011) reputasi adalah resultan dari berbagai image perusahaan yang terbentuk pada periode waktu yang panjang. Reputasi perusahaan merupakan cerminan dari keseluruhan daya tarik (overall attractiveness) perusahan pada seluruh stakeholders-nya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rindova & Fombrun (1998) yang kemudian mengaitkan reputasi dengan performa perusahaan secara utuh. Reputasi yang baik atau positif dihasilkan melalui proses panjang ‘pemenuhan ekspektasi’ stakeholders terhadap perusahaan. Pembangunan dan pengelolaan reputasi, dengan demikian, tergantung pada pengelolaan relasi dengan seluruh stakeholders perusahaan, baik internal maupun eksternal. Reputasi memiliki peran yang signifikan dengan menjadi rujukan bagi stakeholders dalam menentukan sikap dan tindakannya terkait perusahaan. Hawkins et al. (1992) menekankan pada signifikansi dari reputasi perusahaan dengan menyatakan bahwa perilaku konsumen, khususnya keputusan membeli (consumer's behavior, purchase decision) dipengaruhi oleh reputasi perusahaan dan brand image. Oleh sebab itu, reputasi yang positif merupakan modal awal yang sangat berarti bagi perusahaan. Dewasa ini, pengelolaan reputasi tidaklah hanya terbatas pada individu, organisasi atau perusahaan Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 sebagai objeknya. Faktanya, kota, negara maupun wilayah regional di dunia saat ini menjadi objek pengelolaan reputasi yang banyak dibicarakan dan sebagai konsekuensinya, kajian mengenai citra dan reputasi saat ini mengalami perkembangan signifikan agar mampu diadopsi secara lebih fleksibel. Berbagai kota, negara dan wilayah regional mulai berkompetisi membangun reputasi yang positif dan secara aktif melakukan pengelolaan dan pengukuran reputasi (Passow et al., 2005). Reputasi negara didefinisikan sebagai keseluruhan reputasi yang dibangun oleh publik global terhadap suatu negara dalam jangka waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Cha, 2005). Standarisasi untuk mengukur reputasi dikembangkan oleh Fombrun (1996), yang utamanya digunakan untuk melihat reputasi perusahaan, namun dapat pula diaplikasikan pada negara. Dimensi yang digagas dalam Reputation Quotient (RQ) adalah : 1. Emotional appeal : seberapa besar perusahaan/negara disukai, dipercaya dan dihormati stakeholders-nya. 2. Products and services : reputasi berjalan paralel dengan kualitas dari produk dan jasa yang dihasilkan. 3. Vision and leadership : visi yang jelas dan kepemimpinan yang baik oleh pemerintah, diperkokoh oleh etika berperilaku yang baik. 4. Workplace environment : lingkungan kerja yang baik dan menjanjikan di mana terdapat berbagai program bagi kesejahteraan publik, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memadai. 5. Social responsibility : memberikan sumbangan atau kontribusi sosial yang konkret bagi publiknya. 6. Financial performance : memiliki track record profitabilitas yang baik, prospek yang cerah dan risiko finansial yang rendah. Fleksibilitas RQ milik Fombrun dimanfaatkan oleh Passow untuk membuat indikator pengukuran reputasi dalam melakukan audit reputasi negara seperti berikut (Passow et al., 2005) : . Gambar 1. Country Reputation Index Dengan melakukan audit reputasi menggunakan indikator-indikator di atas, akan didapatkan pemahaman mendalam mengenai performa dan posisi negara secara global sampai dengan saat ini. Dengan demikian, akan dapat diidentifikasi faktor-faktor pembentuk reputasi yang harus domodifikasi guna mencapai reputasi positif yang favorable seperti yang ditargetkan. Framing. Frame merujuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan memberi label suatu isu atau peristiwa dalam pemahaman tertentu. Frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Media mengkomunikasikan suatu isu atau peristiwa dalam berita dengan membentuk citra atau simbol tertentu yang oleh Bennet (1995) dan Lawrence (1996) disebut sebagai ikon berita (news icon). Pembentukan ikon ini dimaksudkan agar citra atau simbol yang ingin dilekatkan pada suatu isu atau peristiwa lebih mudah untuk melekat dan tertanam kuat dalam benak publik. Ikon membantu publik mengingat kejadian yang sudah lalu dan dikontekstualisasikan kembali dalam kehidupan sekarang. Sebuah ikon merupakan simplifikasi dari realita yang kompleks. Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realita oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realita yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi, dalam banyak hal berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan (Eriyanto, 1999). Dengan demikian, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realita/isu tersebut. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti dan lebih diingat oleh khalayak. Realita yang disajikan secara menonjol mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan memengaruhi khalayak dalam memahami suatu realita. Dalam penelitian ini, peneliti hendak melihat bagaimana The Wall Street Journal membingkai Indonesia dalam artikel-artikelnya sehingga memengaruhi pembentukan reputasi Indonesia secara global di benak publik dunia. Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 2.2. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, terkait dengan metode penelitian yang peneliti gunakan, data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu berupa artikel dari harian The Wall Street Journal yang diperoleh dari bursa data pada Divisi Penelitian Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia. Artikel dipilih dengan menggunakan kata kunci (keyword) "Indonesia" dan "Indonesian" yang kemudian disortir kembali dengan melihat substansi dari artikel tersebut berdasarkan relevansinya dengan tujuan penelitian. 2.3. Teknik Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing. Pada dasarnya, framing merupakan teknik analisis untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita ini tergambar dari "cara melihat" realita yang dijadikan berita yang berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realita. Framing adalah metode analisis yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realita, bagaimana realita itu dibingkai dan disajikan oleh media. awak media membangun dan mengkonstruksi realita yang disajikan dalam berita. Dengan demikian, wacana media merupakan salah satu bagian dari wacana publik dan media merupakan bagian dari proses produksi budaya. Dalam formulasi Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Analisis framing merupakan pendekatan untuk mengetahui perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu atau menulis berita. Wacana media, khususnya berita, yang terdiri atas sejumlah kemasan (package), dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisasi sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecenderungan dan membantu komunikator menjelaskan muatan-muatan di balik suatu isu. Keberadaan suatu kemasan terlihat dari adanya gagasan sentral yang didukung oleh perangkat-perangkat wacana sehingga terbentuk kohesivitas antarbagian. Semua elemen dan struktur wacana mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral dari suatu berita. Perangkat framing yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani digambarkan sebagai berikut (Eriyanto, 1999 : 225) : Tabel 1. Perangkat Framing Gamson dan Modigliani Terdapat dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realita. Dalam pemilihan ini selalu terkandung dua kemungkinan : apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded) : bagian mana dari realita yang akan ditekankan, angle apa yang akan dipilih, fakta mana yang akan diangkat dan dilupakan. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana realita yang dipilih disajikan kepada khalayak melalui penggunaan kata, kalimat, proposisi, aksentuasi foto, penempatan headline, repetisi, label tertentu, generalisasi, simplifikasi, asosiasi terhadap simbol-simbol tertentu dan sebagainya. Teknik analisis framing yang digunakan adalah yang digagas oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani, yang menekankan pada hubungan antara wacana media dengan pendapat publik umum. Menurut mereka, wacana media merupakan elemen penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang mengenai suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup jika hanya didasarkan pada data survei khalayak, melainkan perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Bagaimana media menyajikan isu memengaruhi bagaimana khalayak memahami dan mengerti isu tersebut karena terdapat hubungan yang paralel antara keduanya. Wacana media adalah saluran individu mengkonstruksi makna dan pendapat umum adalah bagian dari proses melalui mana Frame Central organizing idea for making sense of relevant events, suggesting what is at issues Framing Devices Reasoning Devices (Perangkat Framing) (Perangkat Penalaran) Metaphors Roots Perumpamaan atau Analisis sebab akibat pengandaian yang bertujuan membenarkan fakta yang diangkat Catchphrases Appeals to Principles Frase yang menarik, Premis dasar, klaim kontras, menonjol dalam moral sebagai suatu wacana, biasanya argumentasi pembenar berupa slogan atau jargon untuk membangun cerita Depictions Consequences Penggambaran fakta Efek atau kesimpulan menggunakan kata, istilah, dari logika penalaran kalimat konotatif untuk merujuk pada citra tertentu Exemplaars Pengaitan bingkai dengan contoh, teori, uraian atau pengalaman masa lampau untuk memperjelas bingkai Visual Images Gambar, grafik yang mendukung citra bingkai secara keseluruhan Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 Framing devices (perangkat framing) berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita, ditandai dengan penggunaan kata, kalimat, grafis/gambar dan metafora tertentu. Reasoning devices (perangkat penalaran) berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu. Sebuah gagasan tidak hanya berisi kata atau kalimat, melainkan ditandai oleh dasar pembenar tertentu yang tidak hanya meneguhkan gagasan atau pandangan, tapi juga membuat gagasan tersebut tampak benar, absah, tidak mengada-ada dan demikian adanya. Melalui aspek penalaran tersebut, publik akan menerima pesan tersebut sebagai gagasan yang utuh, alamiah dan wajar. Teks berita pada dasarnya adalah cara bercerita yang berisi gagasan atau kemasan tertentu dari suatu peristiwa. Teks didukung dengan pemakaian perangkat tertentu agar gagasan yang disajikan tampak bukan hanya wajar, melainkan juga meyakinkan. Agar gagasan atau bingkai tersebut tampak meyakinkan, teks didukung dengan perangkat framing untuk menekankan gagasan tertentu. Sedangkan agar tujuan gagasan tampak wajar atau benar (beralasan, tidak mengada-ada, alamiah), teks didukung dengan perangkat penalaran. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengaitkan sebabakibat, fakta satu sebagai dasar dari fakta lain dan sebagainya (Eriyanto, 1999). 3. Analisis Data Dalam periode 19 Oktober 2011-30 Oktober 2012, terdapat 97 artikel, yang setelah disortir menurut relevansinya, memberitakan mengenai Indonesia, dan dengan demikian memengaruhi konstruksi mengenai Indonesia di benak publik global yang membaca The Wall Street Journal. Frame The Wall Street Journal : Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya yang kaya dan merupakan pasar yang menjanjikan namun kienrja pemerintahnya kurang baik. Elemen Inti Berita (Idea Element). Dalam pandangan The Wall Street Journal, perkembangan yang dicapai Indonesia dan berbagai dinamika dalam negeri yang terjadi di dalamnya sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dan memiliki hubungan yang sangat integral dengan latar belakang sejarahnya. Hal ini, menurut pengamatan peneliti, diceritakan oleh The Wall Street Journal dengan membagi pemberitaannya atas 8 isu besar, yaitu politik, ekonomi, industri, agama, budaya dan sejarah, pariwisata, bencana dan kriminalitas. Frame besar yang berusaha dibentuk The Wall Street Journal melalui pemberitaannya secara umum ditujukan untuk mengangkat dua ide utama yang mendasari seluruh pemberitaan The Wall Street Journal mengenai Indonesia. Pertama, membentuk ide bahwa Indonesia merupakan negara yang telah berhasil muncul sebagai pemain besar dalam percaturan global saat ini. Kedua, membentuk ide bahwa Indonesia merupakan negara dengan kinerja pemerintah yang kurang baik. Berikut adalah 5 contoh artikel yang diambil sebagai representasi dari 97 artikel yang telah di-framing. Frame “U.K. Miner Challenges Indonesia – Churchill Mining Raises Possibility of International Arbitration in Dispute Over Multibillion-Dollar Deposit” : Dibawanya Indonesia dalam arbitrasi internasional membuat reputasi Indonesia dipertanyakan. Elemen Inti Berita (Idea Element). Dalam pandangan The Wall Street Journal, dibawanya Indonesia ke dalam arbitrasi internasional oleh Churchill Mining PLC merupakan awal dari terlihatnya sisi negatif Indonesia dalam percaturan global di balik berbagai sisi positif yang selama ini selalu dielu-elukan. Adapun artikel ini diangkat karena The Wall Street Journal merasa adanya banyak pihak yang akan berkepentingan dengan masalah ini dan bahwa isu ini akan banyak memengaruhi proses pembuatan keputusan di kalangan para elit negara-negara di dunia karena posisi Indonesia di dunia global saat ini. Dengan dilibatkan ke dalam arbitrasi internasional Indonesia diyakini telah melakukan hal yang sangat merugikan pihak Churchill Mining PLC dan juga merugikan dirinya sendiri karena hal ini membuat reputasi positif Indonesia saat ini menjadi dipertanyakan. Perangkat pembingkai (framing devices). Ide atau gagasan yang dikembangkan dalam teks-teks berita tersebut didukung dengan penggunaan simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks-teks tersebut. Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan. Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis atau foto dan aksentuasi gambar. Semua elemen tersebut digunakan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau mengedepankan pandangan agar lebih diterima oleh publik. Dalam artikel tersebut, guna menekankan gagasan inti pertamanya, yaitu dibawanya Indonesia dalam arbitrasi internasional membuat reputasi Indonesia dipertanyakan, The Wall Street Journal mengandaikan atau mengumpamakan berbagai persepsi negatif atau kecurigaan kepada Indonesia yang muncul sebagai konsekuensi dari dibawanya Indonesia ke dalam arbitrasi internasional sebagai cautionary tale. Hal itu terlihat dari kutipan : Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 "While the dispute goes to the core of Churchill's business, the struggle also offers a cautionary tale for any company interested in diving into Indonesia's booming commodities sector." Pada kutipan tersebut terlihat bahwa The Wall Street Journal merujuk pada adanya peringatan kepada pihakpihak yang ingin bertransaksi dengan Indonesia karena tergoda dengan kapabilitas ekonominya agar pihakpihak tersebut berhati-hati karena jika salah langkah akan mengalami kesulitan yang sama yang dihadapi Churchill Mining PLC. Peringatan berupa cerita dari mulut ke mulut di kalangan pelaku ekonomi tersebut disebutkan sebagai konsekuensi dari dibawanya Indonesia dalam arbitrasi internasional. Frase yang menarik atau menonjol sebagai catchphrases dalam artikel tersebut adalah : "If an amicable resolution cannot be achieved, ...putting Indonesia's reputation as a reliable country for foreign investment at risk." dan pernyataan bahwa masalah yang terjadi antara Churchill Mining PLC dengan Indonesia ini telah dibawa oleh Churchill Mining PLC ke pengadilan, DPR, beberapa kementerian di Indonesia dan presiden sendiri namun tidak juga ada tanggapan yang memuaskan dari pihak-pihak tersebut. Catchphrase pertama menunjukkan bahwa kejadian ini benar-benar memiliki risiko untuk membuat reputasi Indonesia sebagai negara yang dapat dipercaya dalam investasi luar negeri terancam sedangkan yang kedua meyakinkan gagasan bahwa aparat pemerintahan di Indonesia seakan mengalami disfungsi karena adanya tumpang tindih tugas dan wewenang yang ada. Depiction sebagai perangkat framing yang menekankan gagasan sentral dengan mengambil penggambaran atau pelukisan yang bersifat konotatif guna melabeli sesuatu terlihat pada kutipan berikut : "...the company had planned to build a port and otehr infrastructures to start exporting the coal but now is conserving its money for a long battle." Kutipan tersebut menyatakan secara tersirat sindiran The Wall Street Journal terkait dengan kasus ini. Dinyatakan bahwa akibat kasus yang merugikan Churchill Mining PLC secara finansial ini, perusahaan tersebut yang telah berniat menyediakan dana yang cukup membangun infrastruktur di Kalimantan yang dapat melancarkan proses produksi dan distribusi batu bara ini menjadi harus mengalihkan dana tersebut untuk "pertarungan" antara Churchill Mining PLC dan pemerintah Indonesia yang sesungguhnya dapat dihindari jika adanya sikap profesional dari pemerintah Indonesia dalam menangani masalah ini. Exemplaar pada artikel ini digunakan untuk memberikan penggambaran lebih jelas mengenai betapa besarnya investasi yang telah dilakukan oleh Churchill Mining PLC di Indonesia guna menunjukkan berapa besarnya kerugian yang diderita perusahaan tersebut akibat kasus yang terjadi. Dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah berinvestasi sebanyak $40 juta yang merupakan investasi luar negeri terbesar kedua di Indonesia sekaligus terbesar ketujuh di seluruh dunia. Perangkat penalaran (reasoning devices). Gagasan yang dikembangkan dalam artikel berita didukung dengan perangkat penalaran untuk menekankan pada publik bahwa "versi berita" yang disajikan dalam artikel adalah benar karena sebuah artikel berita tidak semata-mata berasal dari sebuah gagasan melainkan hasil olahan dari berbagai fakta dan hasil wawancara yang dikonstruksi ulang oleh awak media untuk disajikan pada publik. Guna memperlihatkan subjektivitas penulis dalam artikel berita, harus disertakan argumentasi-argumentasi yang memang logis membuat semua pernyataan dalam berita tersebut terlihat wajar dan memang begitu adanya. Dalam pemberitaan The Wall Street Journal, perangkat penalaran itu disajikan dalam beberapa bentuk. Lewat roots ditekankan bahwa reputasi Indonesia secara internasional menjadi buruk khususnya melalui kasus ini karena dunia akan melihat Indonesia sebagai negara pengaturan atau pembagian jurisdiksi yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sementara itu, klaim moral (appeals to principle) dinyatakan dengan mengatakan bahwa sebagai negara ekspotir batu bara terbesar di dunia, seharusnya pengelolaan bisnis di daerah dengan jumlah transaksi yang sangat besar seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengimplementasian proyeknya. Dengan kata lain, The Wall Street Journal mengklaim bahwa transaksi dengan Churchill Mining PLC dan transaksi luar negeri lain semacamnya harusnya ditangani langsung oleh pemerintah pusat sehingga kasus macam ini dapat diantisipasi dari awal. Adapun dengan demikian, consequence dari frame adalah bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki tugas rumah (homework) untuk membenahi masalah internalnya, dalam hal ini yang dimaksud berada pada tataran pembenahan kerangka kebijakan, mengingat posisi pentingnya di percaturan global saat ini. Frame “Cell Phone Jugglers Seek Best Deals – Companies in Markets Like Indonesia Curb ‘Freebies’ to Hang On to Subscribers Who Churn Them” : Indonesia sebagai negara berkembang dipenuhi churner. Elemen Inti Berita (Idea Element). Churner dapat diartikan sebagai mereka yang suka "berpindah-pindah". Dalam artikel ini, The Wall Street Journal membingkai Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki karakteristik-karakteristik Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 tertentu, termasuk dengan adanya banyak churner dalam negara tersebut. Adapun churner merujuk pada masyarakat Indonesia sebagai konsumen, atau yang dalam tataran kolektif dirujuk sebagai pasar. Perangkat pembingkai (framing devices). Metafora yang digunakan dalam artikel ini adalah the chronic churner yang dijadikan istilah untuk mengumpamakan betapa telah maraknya fenomena ini di Indonesia sehingga digambarkan sebagai hal yang sifatnya kronis. Fenomena churner sendiri secara khusus dibahas dalam artikel ini dengan mengangkat fenomena pada industri penyedia layanan telepon selular (cellphone provider). Selain itu, digunakan pula istilah freebies yang mengacu pada berbagai bentuk customer service yang diberikan oleh perusahaan cellphone provider di Indonesia dalam persaingan meraih profit terbesar. Freebies yang dimaksud adalah layanan berupa talk time gratis, SMS gratis, internet gratis dan lain-lain guna memanjakan konsumen. Catchphrase yang digunakan ada di awal artikel yang digunakan untuk menarik pembaca dengan memberikan ilustrasi perbedaan konsumen alat telekomunikasi di Indonesia dan Amerika. Dikatakan bahwa penduduk Amerika dapat menggunakan nomor telepon selular yang sama untuk waktu sepuluh tahun atau lebih sedangkan seorang penduduk Indonesia dapat menggunakan lebih dari sepuluh nomor telepon seluler dalam satu tahun. Jargon tersebut ditampilkan untuk mendukung betapa maraknya fenomena churner di Indonesia. Depiction yang digunakan merujuk pada konsumen di Indonesia sebagai rupiah-pinching subscribers yang secara sinis mengatakan bahwa mereka memiliki tabiat menyimpan tiap Rupiah yang mereka miliki sedemikian rupa dalam upaya penghematan agar mereka senantiasa mendapatkan keuntungan maksimal dari berbagai penawaran dan diskon yang diberikan perusahaan cellphone provider. Exemplaar yang diajukan untuk menggambarkan fenomena ini dengan lebih jelas lagi adalah dengan mengangkat hal ekstrem yang dilakukan oleh para konsumen cellphone provider di seorang churner dapat menggunakan satu SIM card untuk ber-SMS, satu untuk bertelepon jarak jauh dan satu untuk mengakses media sosial. Penggantian SIM card juga dilakukan tergantung jika sinyal provider di satu lokasi kurang kuat dan nyaman untuk melakukan aktivitas komunikasi atau sekedar untuk menyesuaikan provider kita dengan orang yang hendak dihubungi. Selain itu, exemplaar juga digunakan untuk memberikan gambaran lebih jelas dari akibat fenomena ini. PT Indosat sebagai perusahaan seluler terbesar kedua di Indonesia dikatakan sampai membuat database untuk mendeteksi penggunaan seluler yang dilakukan tiap konsumennya sekalipun konsumen tersebut menggunakan layanan dari lebih dari satu provider. Adapun database tersebut digunakan untuk menyesuaikan konten informasi yang diberikan dan waktu yang tepat untuk melakukannya guna menjaga loyalitas konsumen. Perangkat penalaran (reasoning devices). Roots dinyatakan dengan mengatakan bahwa keadaan di mana teknologi komunikasi tengah berkembang pesat dan fakta bahwa negara berkembang seperti Indonesia memiliki pasar yang hiperkompetitif (hypercompetitive) membuat tiap perusahaan cellphone provider harus mampu beradaptasi dengan cepat dengan tren yang berlaku di kalangan konsumen. Dengan demikian, perusahaan baru akan dapat bertahan dalam kompetisi tersebut. Klaim moral yang diajukan adalah bahwa pada dasarnya konsumen memang selalu mencari dan menginginkan penawaran terbaik yang menguntungkan untuknya. Dengan demikian, consequence dari bingkai tersebut, seperti yang dikemukakan oleh para analis ekonomi dan pelaku bisnis, adalah bahwa fenomena churning baru akan bisa dihentikan jika perusahaanperusahaan telekomunikasi melakukan merger sehingga hanya ada kurang dari lima perusahaan yang beroperasi dan berkompetisi. Frame "Indonesia Blocks Gaga After Islamists Protest" : Islam dan Barat sulit bersatu. Penolakan terhadap konser Lady Gaga di Indonesia merupakan sebuah bentuk representasi dari sikap dan perilaku Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia dan selama ini memiliki citra sebagai negara Islam moderat. Kasus ini menjadi menarik karena memperlihatkan betapa ternyata persepsi global selama ini mengenai Indonesia tidak sepenuhnya benar, terbukti dari tentangan keras dan cenderung mengarah pada radikalisme dalam mengusahakan dibatalkannya konser Lady Gaga karena dianggap tidak sesuai dengan kultur Indonesia sebagai negara Islam. Perangkat pembingkai (framing devices). Metafora yang digunakan adalah "wreak havoc" yang merujuk pada ancaman akan tindakan kekerasan yang akan dilakkan FPI jika konser Lady Gaga tetap dilaksanakan. Istilah tersebut dipilih karena mengandung unsur teror tersendiri. Adapun catchphrase pada artikel tersebut dinyatakan dengan mengatakan bahwa kalangan fundamentalis tidak menyukai artis yang berpakaian seksi. Kalimat ini terasa menonjol karena tidak digunakan untuk merujuk langsung pada FPI dan Lady Gaga namun memberikan pemahaman sebaliknya, bahwa subjek dan objek yang dirujuk adalah FPI dan Lady Gaga. Depictions pada artikel tersebut dinyatakan dengan mengutip beberapa pernyataan pemimpin dalam FPI Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 yang dipaparkan secara retoris, seperti : "...Lady Gaga did more to galvanize Muslim hatred of the West than all Israeli setllements combined." dan "And FPI leader brings "the faith of Satan to our country and thus will destroy the nation's morals". Keduanya sebenarnya merupakan ungkapan sinis sebagai argumentasi yang secara tidak langsung diangkat untuk mnengukuhkan pendapat mengenai keadaan di mana FPI sebagai representasi Islam di Indonesia kerap menaruh kecurigaan dan pertentangan terhadap konten yang berbau Barat dengan berbagai alasan, seperti dengan menyebutnya simbol dari satanisme. Hal ini diperkuat lagi dengan depiction : "Islamists won't be satisfied until the First Amendment itself is revoked." Kutipan itu meyakinkan bahwa sesungguhnya penolakan FPI terhadap Lady Gaga merupakan representasi kecil saja dari masalah yang lebih makro, yaitu kebencian kultural yang dimiliki kaum Muslim terhadap budaya Barat. Poin penting yang membedakan kultur Islam dengan Barat adalah kebebasan berekspresi yang tertuang dengan jelas sebagai kebijakan internasional dalam konstitusi Amerika Serikat sebagai salah satu negara Barat dengan kekuatan terbesar. Exemplaars yang digunakan untuk memperjelas bingkai adalah kasus penolakan yang sama oleh Indonesia terhadap Irshad Manji yang merupakan tokoh intelektual yang menyuarakan kebebasan berekspresi dan mengaitkannya dengan ajaran agama Islam. Dalam sebuah diskusi komunitas di Indonesia, Manji diundang sebagai pembicara guna membahas bukunya yang terbaru. Adapun Manji merupakan seorang lesbian. Acara diskusi tersebut dibatalkan di tengah-tengah dengan polisi yang secara tiba-tiba datang menggerebek menyatakan bahwa Manji tidak memiliki bukti pemberian izin untuk menjadi narasumber asing dalam diskusi. Adapun hal ini dilakukan oleh aparat polisi karena mendapat tekanan dari FPI yang merupakan kelompok Muslim radikal di Indonesia dengan sumber daya politik yang kuat. Penggunaan kasus Manji sebagai exemplaar ditujukan untuk memberikan gambaran adanya kesamaan antara Lady Gaga dan Manji dan kesamaan tersebut lebih terletak pada tataran ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi yang dianut FPI sebagai kelompok fundamentalis di Indonesia. Perangkat penalaran (reasoning devices). Dalam artikel tersebut, roots dinyatakan dengan mengatakan bahwa Lady Gaga dinilai berpakaian provokatif, memiliki gerakan dan lirik lagu yang sugestif sehingga tidak seharusnya dipromosikan di negara Indonesia yang merupakan negara Muslim. Klaim moral dinyatakan dengan mengatakan bahwa sesungguhnya negara-negara Barat sudah berusaha memerangi radikalisme Islam dengan berbagai strategi dan bahwa untuk memerangi jihadisme radikal diperlukan lebih dari kekuatan militer (hard power). Dengan demikian, consequence dari bingkai tersebut adalah bahwa di negara seperti Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Islam dalam jumlah banyak, diperlukan keyakinan moral yang diperjuangkan bersama-sama untuk mewujudkan kedamaian antara Islam dengan Barat. Jika hal tersebut gagal dilaksanakan, pertentangan antara keduanya niscaya akan terus berlangsung. Frame "Indonesian Economy Grows at Top Clip Since ‘90s” : Indonesia akan mampu bertahan dalam persaingan ekonomi global. Dalam artikel tersebut lagi-lagi The Wall Street Journal mengangkat isu mengenai geliat perekonomian Indonesia dan estimasi perkembangannya dalam percaturan global. Dalam artikel tersebut The Wall Street Journal memperlihatkan kekuatan Indonesia tersebut dalam wacana komparatif dengan negaranegara lainnya dalam situasi yang sama. Perangkat pembingkai (framing devices). Metafora yang digunakan dalam mengandaikan posisi Indonesia saat ini dalam percaturan global adalah dengan mengangkat pendapat perusahaan dan investor dunia terkiait prediksi mereka mengenai prospek Indonesia ke depannya yang diestimasikan sebagai next India or China. Ilustrasi tersebut diambil untuk mendukung gagasan sentral bahwa Indonesia memiliki sektor ekonomi yang potensial untuk terus mengalami perkembangan. Cina dan India diambil sebagai bahan perumpamaan mengingat keduanya merupakan dua negara Asia dengan potensi ekonomi terbesar saat ini. Memprediksikan Indonesia akan mengikuti jejak keduanya berarti menyepakati bahwa Indonesia memiliki semua modal yang dimiliki untuk menjadi negara terkuat di Asia pula. Metafora lainnya untuk menegaskan bingkai tampak dari bagaimana Indonesia dibandingkan dengan negaranegara lainnya (selain Cina dan India). Dikatakan bahwa pada masa krisis ekonomi global, negara-negara lainnya di dunia, terutama negara-negara Barat “slumped into recession”, sementara Indonesia yang merupakan Southeast Asia’s largest economy mengalami pertumbuhan GDP di atas 5% dan kondisi tersebut bertahan dalam kruun waktu tujuh sampai delapan tahun. Catchphrase yang digunakan artikel ini tampak pada kutipan yang menyatakan bahwa, sesuai dengan ekspektasi pasar, perekonomian dunia mengalami ekspansi sebanyak 6.5% karena perkembangan di sektor konsumsi rumah tangga dan investasi. Hal ini kemudian menghadirkan ekspektasi pasar kepada Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia untuk mempertahankan kemudahan kebijakan perbankan. Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 Frase ini menjadi menarik karena terlihat bahwa dalam menyikapi segala bentuk dinamika perekonomian global, keadaan Indonesia kerap memengaruhi pembentukan sikap, perilaku dan keputusan para elit negara-negara dunia. Depiction pada artikel ini disampaikan melalui pelekatan citra Southeast Asia’s largest economy pada Indonesia. Adapun citra ini dilekatkan tidak hanya untuk menyampaikan fakta sebagaimana secara harafiah dapat langsung diterjemahkan dari diksi yang digunakan, namun juga untuk secara implisit menegaskan kembali kepada publik bahwa Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa dan bahkan merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Exemplaar yang digunakan untuk memperjelas gagasan pada bingkai adalah dengan menyebutkan besaran ekspansi GDP Indonesia pada tahun 2011, yaitu 6.5%, yang memperjelas posisi Indonesia sebagai salah satu negara Asia dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Perangkat penalaran (reasoning devices). Dalam menggambarkan hubungan kausalitas (roots) dalam artikel ini, The Wall Street Journal menyebutkannya dengan mengatakan bahwa Indonesia muncul sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang besar di dunia saat ini disebabkan karena Indonesia memiliki keunikan tersendiri, yaitu pasar domestik yang sangat besar, yang mampu membuat Indonesia bertahan dalam krisis ekonomi global, sementara negara-negara lainnya yang menggantungkan perekonomian pada sektor ekspor terombang-ambing dalam krisis tersebut. Appeals to principle yang diangkat untuk menguatkan kohesivitas bingkai adalah dengan memberikan gambaran mengenai sebuah keadaan yang pernah terjadi sebelumnya di mana para investor asing Indonesia menyampaikan keluhan mereka mengenai kerangka dan implementasi kebijakan di Indonesia serta keadaan infrastruktur yang kurang mendukung proses produksi dan distribusi, Indonesia tetap mengalami perkembangan ekonomi yang stabil dan terus menanjak. Klaim ini seakan ingin mengatakan bahwa meskipun ada begitu banyak hal yang berpotensi menghambat kemajuan Indonesia, fakta menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia tidak terganggu dengan hal tersebut. Dengan demikian, consequence dari bingkai tersebut adalah Indonesia dengan potensi ekonomi dan berbagai kekurangannya di bidang kebijakan ekonomi dan infrastrukturnya yang minim akan tetap mampu mempertahankan kekuatan ekonominya dan bahkan meningkatkan daya saingnya dalam percaturan global. Frame "Multinationals Market to the Poor – In Nations such as Indonesia, Companies Find People at Poverty Line Are Steady Costumers for Inexpensive Basics” : Krisis global tidak berpengaruh pada Indonesia. Pada artikel ini, The Wall Street Journal mengangkat cerita mengenai bagaimana keadaan di Indonesia dalam keadaan krisis global. Jika biasanya kekuatan ekonomi Indonesia ini lebih banyak diceritakan dengan menyertakan pandangan-pandangan para analis ekonomi dan pelaku ekonomi, artikel ini memberikan gambaran dari perspektif penduduk Indonesia sebagai konsumen dan dalam tataran kolektif sebagai pasar. Perangkat pembingkai (framing devices). Metafora yang digunakan dalam artikel ini dinyatakan dengan menyertakan pengumpamaan atau pengandaian bahwa beberapa perusahaan besar di Indonesia, khususnya yang bergeral di bidang consumer goods menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar “contoh” atau model bagi cabang perusahaan di negara lainnya. Hal ini misalnya dilakukan dengan meluncurkan produk tertentu di Indonesia, yang jika sukses akan pula dilakukan di negara dengan pasar berkembang lainnya. Pengumpamaan ini memperlihatkan bahwa perusahaan multinasional telah melihat Indonesia mampu menjadi contoh bagi success story bisnis mereka sehingga dapat dijadikan benchmark untuk kebijakan dan inovasi perusahaan di negara lainnya. Catchphrase yang digunakan untuk menegaskan bingkai ada tidaknya pengaruh krisis ekonomi global pada Indonesia diangkat dengan menampilkan kutipan dari salah seorang penduduk Indonesia bernama Rohani yang berasal dari masyarakat kelas ekonomi bawah, yaitu : “Life hasn’t become any tougher for me and I continue to spend the same amount every month.” Kutipan tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa masyarakat dari kelas ekonomi bawah di Indonesia yang merupakan negara berkembang yang dikenal merupakan kalangan yang rentan dengan dinamika sosial ekonomi negara saja sama sekali tidak merasakan dampak dari krisis ekonomi global yang tengah melanda dunia dan mengombang-ambingkan negara-negara maju di dunia. Hal ini memperlihatkan fakta yang ironis. Adapun depiction yang diambil merupakan ilustrasi konotatif yang digambarkan dalam bentuk cukup ekstrem guna mendukung bingkai. Berikut kutipannya : “While her income puts her on the edge of poverty, her spending habits weren’t affected by the global slowdown in 2008 and 2009, and she has no worries or even knowledge about latest economic troubles.” Dari kutipan tersebut bahwa depiction ini digunakan untuk menegaskan kembali ironi pada bingkai dengan menyertakan keadaan paling ekstrem di mana penduduk Indonesia bahkan tidak mengetahui bahwa krisis ekonomi sedang berlangsung karena mereka sama sekali tidak merasakan dampak dari krisis tersebut dalam Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 kehidupan sehari-hari, sekalipun mereka termasuk masyarakat miskin di Indonesia. Exemplaar yang digunakan adalah perusahaan produsen bahan makanan Nestle yang di Indonesia penjualannya tidak mengalami penurunan atau stagnansi melainkan pertumbuhan yang stabil. Hal ini merupakan bukti konkret bahwa daya ekonomi masyarakat Indonesia tidak mengalami perubahan meskipun krisis ekonomi global tengah berlangsung. Produk Milo yang merupakan minuman penambah energi pun tetap diproduksi dalam jumlah yang stabil karena adanya permintaan pasar yang juga stabil. Milo sendiri dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah juga. Exemplaar lainnya yang digunakan adalah dengan menyertakan ilustrasi mengenai penjualan sepeda motor di Indonesia yang meningkat tajam meskipun pada saat yang bersamaan angka penjualan mobil agak menurun. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun krisis ekonomi global tengah berlangsung, kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersier mereka masing terjaga. Perangkat penalaran (reasoning devices). Roots yang digunakan dalam artikel ini disampaikan dengan mengatakan bahwa secara makro, Indonesia memang tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global akibat daya serap pasar yang besar dan minimnya ketergantungan Indonesia pada sektor ekspor. Dengan demikian, keberhasilan pemerintah menjaga dinamika pasar domestik sebenarnya telah mampu mempertahankan stabilitas ekonomi dalam negeri, demikian pula dalam skala mikro. Klaim moral yang diajukan untuk membenarkan argumen pada bingkai dinyatakan dengan mengatakan bahwa masyarakat kelas ekonomi lemah sekalipun akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka akan produk dan jasa yang mendasar sehingga mereka tidak kekurangan. Adapun pada saat yang bersamaan, perusahaan-perusahaan di Indonesia memang termasuk cepat beradaptasi dengan keadaan pasar ekonomi Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut misalnya menyediakan berbagai produknya dalam kemasan yang lebih kecil sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut juga mengusahakan relasi yang baik dengan konsumen guna menjaga loyalitas mereka. Dengan demikian, consequence dari bingkai ini adalah mekanisme pasar yang berlaku di Indonesia (minim dependensi pada sektor ekspor dan menggarap sepenuhnya pasar domestik) membuat Indonesia mampu bertahan dalam krisis ekonomi global sehingga dampak negatif krisis yang dialami berbagai negara lainnya tidak dirasakan oleh penduduk Indonesia. Kelima artikel di atas dipilih untuk dipaparkan lebih jauh karena peneliti melihat kelimanya yang paling representatif untuk menggambarkan bingkai pemberitaan The Wall Street Journal mengenai Indonesia, khususnya dalam menguatkan dua subgagasan sentral yang merujuk pada kekuatan ekonomi Indonesia di tingkat global dan kinerja pemerintah Indonesia yang kurang memuaskan. Kelima artikel tersebut pun cukup representatif dalam memperlihakan bagaimana The Wall Street Journal memberikan porsi-porsi tersendiri pada pembingkaian Indonesia secara utuh maupun ketika dikomparasikan dengan negara lainnya. Dalam menentukan frame besar The Wall Street Journal sendiri, pertama-tama peneliti membaca seluruh artikel yang ada dan membuat frame dari masing-masing artikel sehingga didapatkanlah frame besar The Wall Street Journal yang digunakan sebagai batasan dalam membingkai Indonesia dalam artikel. Seperti yang telah disebutkan di atas, artikel-artikel The Wall Street Journal yang mengangkat kekuatan ekonomi Indonesia di tingkat global biasanya menggunakan ilustrasi-ilustrasi berupa gaya hidup penduduk Indonesia saat ini atau menggunakan negara lain sebagai bahan komparasi agar publik dapat mempersepsikan sendiri secara aktif besarnya kekuatan ekonomi Indonesia yang dimaksud. Pada beberapa artikel, The Wall Street Journal mengangkatnya dengan memperlihatkan geliat Indonesia dalam forum-forum global dengan memperlihatkan betapa Indonesia memiliki daya tawarnya sendiri. Adapun kurang baiknya kinerja pemerintah Indonesia lebih banyak diangkat dengan memperlihatkan bagaimana pihak-pihak yang melakukan transaksi luar negeri dengan Indonesia merasa kecewa dengan adanya birokrasi yang menyulitkan dan tumpang tindih di Indonesia, kerangka kebijakan yang membingungkan maupun ketidakterbukaan pemerintah Indonesia dalam memberikan transparansi mengenai informasi terkini keadaan ekonomi Indonesia. 4. Diskusi dan Interpretasi 4.1. Diskusi Dari hasil analisis di atas, tampak bahwa gagasan sentral dari bingkai pemberitaan mengenai Indonesia dalam The Wall Street Journal adalah "Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya yang kaya dan merupakan pasar yang menjanjikan namun kinerja pemerintahnya kurang baik" dengan dua subgagasan yang mendukung gagasan sentral adalah "Indonesia merupakan negara yang telah berhasil muncul sebagai pemain besar dalam percaturan global saat ini" dan "Indonesia merupakan negara dengan sistem Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 pemerintahan yang tidak berjalan efektif." Penulis memecah gagasan sentral menjadi dua subgagasan guna mempertajam kekontrasan keduanya yang sebenarnya berada dalam satu bingkai gagasan besar. Pada subgagasan pertama disampaikan bahwa sejak Indonesia keluar dari pemerintahan Presiden Soekarno yang memiliki kecenderungan politik kekiri-kirian, Indonesia mampu melakukan pembangunan ke dalam, khususnya pembangunan ekonomi, dengan dibantu oleh Amerika Serikat. Bagaimana Indonesia dapat mencapai perkembangan signifikan sampai saat ini meskipun dahulu ia sama kondisinya dengan negara-negara miskin di Afrika digambarkan sebagai contoh konkret dari bagaimana intervensi Amerika Serikat, yang lebih sering dirujuk sebagai "bantuan", pada akhirnya membawa pada kemajuan. Sehingga sesungguhnya Indonesia dapat mencapai posisinya saat ini salah satunya karena kontribusi Amerika Serikat. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun masih memiliki kekurangan dari segi sumber daya modal dan kualitas sumber daya manusia sehingga investasi asing ke Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap kemajuan perekonomian Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah sumber daya manusia yang banyak namun belum mahir mengeksploitasi dan mengelola sendiri kekayaan alamnya, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial menyerap hasil produksi dalam negeri maupun hasil impor. Sedangkan sebagai komoditi ekspor, Indonesia lebih banyak menjual barang mentah. Hal ini sangat menarik bagi para investor asing maupun perusahaan yang ingin melakukan ekspansi. Pendapat bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki stabilitas politik, upah tenaga kerja yang rendah serta pemerintah yang korup dan tidak melaksanakan pengawasan yang optimal terhadap pemenuhan hak-hak tenaga kerja menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilik usaha. Meskipun menjadi ‘rumah’ bagi para investor asing, keadaan birokrasi Indonesia yang carut marut, di mana pasal-pasal karet dalam kerangka regulasi Indonesia dan ketidakpedulian pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan investor asing di Indonesia ‘memukul mundur’ para investor tersebut. Tak hanya itu, penetapan kebijakan keuangan yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia pun tidak kunjung disampaikan secara terbuka kepada publik global. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki keseriusan dalam melayani pasar global dan membuat mereka pun akhirnya mencari alternatif negara lain dengan potensi pasar seperti Indonesia, baik pada skala Asia maupun di luar Asia. Pertumbuhan penduduk kelas menengah di Indonesia mendapat sorotan yang tajam dan dianggap sebagai salah satu kontributor terhadap status Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan. Gaya hidup kelas menengah yang konsumtif dilihat sebagai aspek yang menunjang stabilitas penyerapan hasil produksi, baik barang maupun jasa, di Indonesia. Tidak puas dengan hanya yang tersaji di Indonesia, kalangan ini pun menghabiskan uang untuk berbelanja atau berwisata ke luar negeri. Hal ini menimbulkan persepsi global bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang makmur karena The Wall Street Journal memang sama sekali tidak menyorot fakta, bahwa kontras dengan gaya hidup kaum elit yang serba glamor tersebut, kemiskinan melanda Indonesia, khususnya di daerah yang jauh dari ibukota negara. Terjadi ketimpangan kekayaan akibat distribusi sumber daya yang tidak merata. Secara keseluruhan, The Wall Street Journal membingkai Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam, mendapat banyak pasokan sumebr daya modal dari luar negeri, penduduknya hidup makmur dan sejahtera dengan kekurangannya, yaitu pemerintah yang korup, tidak mampu menegakkan otoritasnya dan menjalankan fungsinya secara optimal, birokrasi yang tidak efektif, penuh aksi terorisme dan pada saat yang bersamaan merupakan negara Islam moderat yang di dalamnya terdapat kelompok Islam radikal. 4.2. Interpretasi Sebagaimana indeks reputasi negara yang dirumuskan oleh Passow dengan memodifikasi milik Fombrun, pemberitaan The Wall Street Journal mengenai Indonesia dalam bingkainya selama periode 19 Oktober 2011-31 Oktober 2012 mengkonstruksi reputasi Indonesia secara global. Dari segi emotional appeal, pemberitaan The Wall Street Journal mengangkat Indonesia sebagai negara yang memiliki berbagai potensi dan kekayaan yang mengagumkan, baik potensi alam, sumber daya manusia maupun kekayaan historinya. Berulang kali The Wall Street Journal dalam artikel yang berbeda-beda mempresentasikan kelebihan Indonesia ini. Pada artikel yang sifatnya lebih merupakan reportase tentang pengalaman hidup di Bali pun, diceritakan bahwa penulis, melalui persentuhannya langsung dengan Bali dan seluruh atributnya, menganggap bahwa Bali merepresentasikan keramahan penduduk Indonesia serta kekayaan potensi budaya dan pariwisata Indonesia sehingga membuat penulis memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di Bali. Terlihat bahwa penulis begitu tersentuh dengan hal-hal yang ia temukan di Bali. Penulis juga mengilustrasikan bahwa melihat keadaaan bahwa mayoritas penduduk Bali miskin, sisi emosionalnya tergerak sehingga ia terdorong untuk membantu mereka. Pada dasarnya, seluruh pemberitaan mengenai Indonesia dalam berbagai isunya memengaruhi secara emosional publik Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 dunia melihat Indonesia yang kemudian akan menentukan apakah mereka akan menyukai Indonesia karena kekaguman dan rasa hormat akan kekayaannya atau etos hidup penduduknya atau empati karena keadaan masyarakatnya. Melihat tulisan opini mengenai radikalisme FPI di Indonesia yang melecehkan harga diri Lady Gaga maupun Irshad Manji serta merendahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan melakukan unjuk rasa terhadapnya berpotensi menciptakan reaksi emosional yang negatif dan persepsi bahwa Indonesia ternyata bukanlah negara yang ramah terhadap pendatang sehingga menghadirkan kekhawatiran dan paranoid tersendiri pada publik dunia. Tidak seperti penelitian terdahulu tentang hallyu yang dijadikan salah satu referensi oleh peneliti, analisis terhadap berita The Wall Street Journal tentang Indonesia tidak menemukan adanya sentimen negara-negara tertentu terhadap perkembangan pesat ekonomi Indonesia. Dari segi physical appeal, The Wall Street Journal menyampaikan bahwa Indonesia sangat terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya yang merupakan bahan baku berkualitas tinggi untuk berbagai jenis produksi. Indonesia berhasil menarik perhatian publik global terhadap potensi sumber daya energinya, seperti batu bara, besi, timah dan barang tambang lainnya. Hal ini ditekankan berkali-kali melalui artikel berbeda dengan merujuk pada Indonesia sebagai surga dan pusat dari kekayaan alam dunia yang didapatkannya sebagai konsekuensi dari letak geografisnya yang membuat Indonesia memiliki begitu banyak gunung api aktif dan dikelilingi oleh lautan yang kaya akan biota laut. Selain kekayaannya akan bahan mentah, Indonesia juga dikenal sebagai asal dari produk perusahaan mie instan terbesar di dunia, yaiti PT Indofood Makmur yang memproduksi Indomie. Indomie dikenal memiliki ekuitas merk yang sangat positif, menempatkannya sebagai produk mie instan dengan kualitas dan pasar global. Pada bidang jasa, jasa penerbangan atau aviasi Indonesia terbilang memiliki reputasi yang negatif karena beberapa maskapai penerbangan Indonesia pernah beberapa kali mengalami kecelakaan yang menewaskan banyak penumpang, baik karena human error maupun kelalaian dalam pengelolaan kualitas pesawat. Pemberitaan di The Wall Street Journal memberikan gambaran bahwa berbagai maskapai penerbangan Indonesia seperti Garuda Indonesia dan LionAir tengah berusaha melakukan peningkatan kualitas infrastruktur yang diharapkan dapat menambah kualitas pelayanan juga nantinya. Hal ini diceritakan dengan pembelian unit pesawat Boeing dalam jumlah besar yang dilakukan oleh Air Asia dan Garuda Indonesia beberapa waktu lalu. Produk hiburan Indonesia yang masuk dalam berita di The Wall Street Journal adalah film The Raid yang laku di pasar film global serta berhasil menarik Sony Pictures untuk membelinya dan mengadaptasinya ke dalam bentuk videogame. Selain berhasil menampilkan bahwa Indonesia memiliki potensi dalam industri hiburan global, film tersebut juga berhasil mempromosikan pada dunia seni bela diri asli Indonesia, yaitu silat. The Wall Street Journal tidak banyak mengangkat pemberitaan mengenai produk dan jasa yang diproduksi Indonesia karena memang hasil produksi Indonesia pun memang lebih banyak diserap oleh pasar dalam negeri. Dari segi financial appeal, prospek investasi Indonesia yang menguntungkan menjadi sorotan utama The Wall Street Journal dalam pemberitaannya pada awal periode penelitian dan dirujuk sebagai salah satu faktor penentu mengapa Indonesia disebut-sebut sebagai negara pasar berkembang dan merupakan tempat yang sangat sesuai untuk melakukan ekspansi pasar. Namun, semakin ke belakang, pemberitaan The Wall Street Journal mengenai prospek investasi di Indonesia berubah memiliki tone negatif, dengan secara implisit menunjuk pada ketidakmampuan pemerintah memberikan pelayanan yang memadai bagi para investor asing sehingga iklim investasi semakin lama semakin dirasa tidak lagi prospektif. Dalam merujuk pada kualitas negatif pemerintah ini, The Wall Street Journal lebih banyak mengangkat pendapat analis ekonomi untuk berargumentasi menguatkan gagasannya. Iklim investasi yang perlahan memburuk ini ditandai dengan kesulitan mengestimasi peluang dan risiko usaha di Indonesia karena regulasi pemerintah, khususnya Bank Indonesia yang tidak kunjung menunjukkan kejelasan. Jadi, meskipun menjadi "rumah" bagi para investor asing, keadaan birokrasi Indonesia yang carut marut, di mana pasal-pasal karet dalam regulasi Indonesia dan ketidakpedulian pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan investor asing di Indonesia "memukul mundur" para investor tersebut. Tak hanya itu, penetapan kebijakan keuangan yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia pun tidak kunjung disampaikan secara terbuka kepada publik global. Dari segi leadership appeal, performa pemerintah Indonesia seperti terlihat dalam pemberitaan di The Wall Street Journal, berkontribusi negatif pada pembentukan reputasi negara. Pemerintah Indonesia dinilai tidak memiliki kapabilitas yang memadai dalam menjalankan roda pemerintahan terlihat dari inefektivitas kinerja pada hampir semua lini sistem pemerintahan. Meskipun presiden Yudhoyono dirujuk sebagai pimpinan yang telah mampu memimpin Indonesia memasuki kemajuan yang signifikan dalam bidang ekonomi dan menciptakan stabilitas politik, fenomena korupsi yang merajalela serta inkompetensi menjalankan roda pemerintahan dengan efektif sehingga masalah-masalah seperti kesulitan koordinasi antarperangkat negara terus terjadi diikuti dengan komunikasi publik (outward communication) yang Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 dinilai tidak memadai. Pemerintah Indonesia seakan berjalan sendiri-sendiri dan tidak memiliki garis koordinasi yang efisien sehingga hambatan birokratis selalu menjadi masalah, termasuk bagi investor dan pengusaha asing yang pada akhirnya merasa dirugikan dalam transaksinya dengan Indonesia. The Wall Street Journal juga menyebutkan Indonesia ke depannya membutuhkan sosok pemimpin yang lebih tangguh. Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Yudhoyono, sebagaimana gagasan yang dikonstruksi oleh The Wall Street Journal, belum dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan optimal dan menegakkan otoritasnya di tengah masyarakat. Contohnya dapat dilihat dari serangan polisi terhadap Irshad Manji yang sebenarnya dikendalikan oleh FPI, aksi terorisme yang masih terus berlangsung dan bahkan telah mengalihkan target serangannya kepada perangkat negara seperti kepolisian dan pemerintah. Sebagaimana sempat diulas pada emotional appeal, Indonesia melalui pemberitaan The Wall Street Journal digambarkan memiliki cultural appeal yang positif. Namun, jika cultural appeal dilihat dalam kacamata yang lebih luas sebagai daya tarik dari lingkungan kerja, Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia dan alam yang sangat memadai namun kesejahteraan publik kurang mendapat perhatian dari negara. Hal ini misalnya, ditampilkan The Wall Street Journal dalam bingkai pemberitaan mengenai minimnya fasilitas kesehatan publik dan infrastruktur penunjang industri di Indonesia. Namun, secara umum, hal ini tidak mendapatkan perhatian yang besar dalam pemberitaan The Wall Street Journal sehingga dalam harian itu, baik dari segi cultural mauun social appeal, Indonesia cenderung terlihat sebagai negara yang memberikan perhatian yang memadai bagi publik. Menyinggung bagaimana The Wall Street Journal membingkai Indonesia dalam pemberitaannya memberikan kita pemahaman bahwa The Wall Street Journal tentunya memiliki kepentingan tersendiri dengan memilih untuk memotret Indonesia dari perspektif kemampuan ekonominya yang luar biasa dengan membandingkannya dengan negara-negara lain dan pada saat yang bersamaan secara implicit maupun eksplisit menyorot bahwa kinerja pemerintah Indonesia yang tidak baik dan cenderung merugikan investor asing Indonesia dapat menjadi hambatan tersendiri bagi kemajuan negara ini. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian gambaran umum bahwa The Wall Street Journal, sebagaimana digambarkan dalam opini para konsumennya, cenderung tidak memperlihatkan ideologi pemiliknya, yaitu Rupert Murdoch, namun dapat kita lihat bahwa The Wall Street Journal berusaha mengaitkan kemajuan ekonomi Indonesia dengan Amerika Serikat, baik dalam konteks hubungan bilateral antarkedua negara maupun dalam konteks bagaimana sebuah dinamika sosial ekonomi politik di Indonesia memengaruhi atau memicu timbulnya hal tertentu di Amerika Serikat sebagai negara asal media ini. Adapun hal ini ditujukan untuk mencitrakan adanya simbiosis mutualisme antarkedua negara dan dengan demikian mengisyaratkan elit kedua negara untuk selalu memantau dinamika yang terjadi dalam hubungan keduanya dan sedapat mungkin mengeratkan hubungan bilateral yang menguntungkan. Dengan kata lain, The Wall Street Journal berusaha membingkai pemberitaan mengenai Indonesia dengan tujuan membuat elit Indonesia paham akan adanya interdependensi kedua negara dan adanya shared concern yang dibina bersama. Motivasi ini mempengaruhi penyampaian dan pengemasan seluruh artikel tentang Indonesia dan mempengaruhi pula publik yang membaca The Wall Street Journal. 5. Kesimpulan Secara umum, pemberitaan yang dilakukan The Wall Street Journal mengenai Indonesia tergolong cover both sides, sehingga benar-benar terlihat usaha meminimalisasi subjektivitas dan bias kepentingan media. Peneliti berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh The Wall Street Journal dan bagaimana media tersebut mempresentasikan beritanya cukup mengedukasi publik global dengan gambaran representatif dari keadaan Indonesia yang sebenarnya dan dalam relasinya dengan negara-negara lain. Melalui pemberitaan mengenai Indonesia yang diangkat oleh The Wall Street Journal tampak bahwa Indonesia digambarkan sebagai negara yang kaya akan potensi alam, memiliki sumber daya manusia yang sangat banyak dan cukup untuk menghidupi kehidupan perekonomian negara tersebut secara mandiri, kapasitas pasar yang sangat menjanjikan dengan pertumbuhan jumlah penduduk kalangan menengah, menarik banyak investasi dari luar negeri, memiliki stabilitas politik, dihuni oleh populasi penduduk Muslim terbesar di dunia yang di tengah masyarakat sendiri terbagi atas kelompok radikal dan moderat, masih dibayangi oleh terorisme yang bahkan saat ini mengancam keamanan aparat negara termasuk pemerintah, masih mengalami banyak hambatan karena birokrasi berbelit-belit pada lembaga-lembaga pemerintahan dan institusi negara yang disebabkan oleh tumpang tindih jurisdiksi, salah satu negara dengan tingkat korupsi terbesar serta memiliki potensi budaya dan pariwisata yang dapat mendorong industri kreatif dalam negeri. Mengacu pada paradigma konstruktivis, pemberitaan The Wall Street Journal memiliki pengaruh dalam membentuk persepsi publik global yang mengkonsumsinya dan nantinya akan memengaruhi Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 sikap dan perilaku mereka. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa paradigma ini melihat proses komunikasi itu sendiri sebagai transaksi yang aktif sehingga persepsi publik pembaca The Wall Street Journal mengenai reputasi Indonesia tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pemberitaan media tersebut. Dengan demikian, ketika reputasi Indonesia sebagaimana dibingkaikan dalam The Wall Street Journal dalam pemberitaannya sebagai : "1)negara dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa dan memiliki potensi untuk menjadi pemain besar dan utama dalam percaturan global, bahkan menggantikan Cina dan India, namun 2)memiliki kekurangan tersendiri, yaitu kinerja pemerintah yang kurang baik yang berpotensi membuat reputasi baik Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menjanjikan karena di samping memiliki stabilitas keadaan sosial-ekonomi-politik ternyata memiliki birokrasi dan kerangka kebijakan yang membingungkan dan menyulitkan investor", publik pembaca The Wall Street Journal akan menggunakan informasi tersebut sebagai salah satu sumbernya dalam menentukan keputusan-keputusan tertentu. Hal ini lagi-lagi dikarenakan oleh semakin pentingnya dan semakin dipercayanya peran dan fungsi media massa global pada masa ini sebagai sumber informasi yang pertama dan utama. the Corporate Image. Boston, MA: Harvard Business School Press. Karena The Wall Street Journal memang lebih merupakan harian dengan fokus isu ekonomi dan bisnis internasional, mayoritas berita mengenai Indonesia yang diangkat dikaitkan dengan konteks ekonomi, baik dari segi sebab maupun dampak, membuat beberapa artikel tidak dapat membahas tuntas isu yang diangkat sehingga agak sulit menarik isu tersebut ke dalam konteks yang lebih makro, terlepas dari implikasiimplikasi ekonomisnya. Hal ini sangat terlihat dari bingkai besar yang digunakan The Wall Street Journal. Wright, Donald K. 2001. The Magic Communication Machine : Examining the Internet's Impact on Public Relations, Journalism and Public. Florida : The Institute of Public Relations. Daftar Acuan Acuan dari buku : Berger, Peter L., & Thomas Luckmann. 1967. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Dowling, G.R. 1994. Corporate Reputation: Strategies for Developing the Corporate Brand. London : Kogan Page. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Jakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Fombrun, C. J. 1996. Reputation: Relaxing Value from Grant, R. M. 1995. Contemporary Strategy Analysis: Concepts, Techniques, Applications. Cambridge, MA : Blackwell. Marahimin, Ismail. 1999. Menulis secara Populer. Pustaka Jaya. Moleong. 2005. Metodologi Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Neuman, William L. 2007. Social Research Methods. Pearson Education. Patton, Michael Quinn. 2001. Qualitative Research & Evaluation Methods. Sage Publication. Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Acuan artikel dalam jurnal : Anholt, S. 2002. “Nation-Branding”, dalam The Journal of Brand Management. 9(4/5), halaman: 229–239. Bennet, W. Lance & Lawrence, Regina G., “News Icons and the Mainstreaming of Social Change”, dalam Journal of Communication. 45:3, halaman: 3-39. Chun, R. 2001. “Corporate Identity and Corporate Marketing”, dalam Review of European Journal of Marketing. 4:3, halaman 276–273. Doobo, S. 2006. “Hybridity and the Rise of Korean Popular Culture in Asia”, dalam Media, Culture & Society. 28:1, halaman: 25-44. Entman, R. 1993. “Framing Toward Clarification of A Fractured Paradigm”, dalam Journal of Communication. Halaman: 300-391. Fombrun, C. J., and Shanley, M. 1990. “What’s In A Name? Reputation Building and Corporate Strategy”, dalam Academy of Management Journal. 32:2, halaman: 233-248. Gilboa, Eytan. 2008. “Searching for A Theory of Public Diplomacy”, dalam Annals of the American Academy of Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013 Political and Social Science. 616, halaman: 55-77. Hall, R. 1992. “The Strategic Analysis of Intangible Resources”, dalam Strategic Management Journal. 13, halaman: 135–144. Hallahan, Kirk. 1999. “Seven Models of Framing : Implications for Public Relations”, dalam Journal of Public Relations Research. 11:3, halaman: 205–242. Ham, Peter van. 2001. “The Rise of the Brand State”, dalam Foreign Affairs. 80:5, halaman: 2-6. Ham, Peter van. 2002. “Branding Territory: Inside the Wonderful Worlds of PR and IR Theory”, dalam Millenium. 31:2, halaman: 249-269. Kang, H. 2010. “Korean Culture ‘Invades’ Japan, A Century After Annexation”, dalam Korea Times. Lee, Sue Jin. 2011. “The Korean Wave : The Soul of Asia”, dalam The Elon Journal of Undergraduate Research in Communication. 2:1, halaman: 85-93. Search Results”, dalam <http://abcas3.accessabc.com/ecirc/newstitlesearchus.a sp> diakses 14 Oktober 2012. Peart, K. (n.d.). 2009. “Reason & Respect: Civil Discourse in A Global Context”, dalam <http://www.reasonandrespect.rwu.edu/journal/index.p hp/2009/02/07/framing-the-discourse-mass-mediapublic-opinion-and-identity-in-the-arab-world/> diakses 29 September 2012. Teslik, Lee Hudson. 2008. “Nation Branding Explained”, dalam <http://www.cfr.org/publication/14776/nation_brandin g_explained.html> diakses 29 September 2012. Acuan artikel dari makalah : Hyejung, J. 2007. “The Nature of Nationalism in the “Korean Wave”: A Framing Analysis of News Coverage about Korean Pop Culture”, makalah dalam Conference of National Communication Association. Mor, Ben D. 2006. “Public Diplomacy in Grand Strategy”, dalam Foreign Policy Analysis. 2, halaman: 157-176. Nisbett, R. E., & Wilson, T.D. 1977. “The Halo Effect : Evidence for Uncoscious Alterarion of Judgements”, dalam Journal of Personality and Social Psychology. 35, halaman: 250-256. Passow, T., Fehlmann, R. & Grhlow, H. 2005. “Country Reputation–from Measurement to Management: The Case of Liechtenstein”, dalam Corporate Reputation Review. 7:4, halaman: 309-326. Rindova, V.P., & Fombrun, C.J. 1998). “The Eye of the Beholder: The Role of Corporate Reputation in Defining Organizational Identity. In Whetten, D.A. & Godfrey, P.C. (eds), Identity in Organizations: Building Theory Through Conversations. Thousand Oaks, CA, Sage, 62-66. Signitizer, Benno, & Coombs, Timothy. 1992. “Public Relations and Public Diplomacy: Conceptual Divergence”, dalam Public Relations Review. 18:2, halaman: 137-147. Acuan artikel dalam website : Anholt, Simon. 2008. “The Importance of National Reputation. Engagement: Public Diplomacy”, dalam < http://www.fco.gov.uk/en/about-thefco/publications/publications/pdpublication/national‐re putation> diakses 11 Oktober 2012. Audit Bureau of Circulations. 2011. “Audit Bureau of Circulations FAS‐FAX Report : US Newspaper – Analisis Framing ..., Debora Irene Christine, FISIP UI, 2013