BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development) Menurut Warren dan Cottrell (1990) dalam Budimanta (2003), komuniti adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peranan status yang jelas, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap anggota-anggotanya. Komuniti biasanya dikuatkan oleh hubungan kerabat, hubungan kerja, hubungan profesi. Secara hakekat, community development merupakan suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan komuniti-komuniti lokal. Sebagai salah satu elemen, berarti industri masuk dalam struktur sosial masyarakat setempat dan berfungsi terhadap elemen lainnya yang ada. Dengan kesadarannya, industri harus dapat membawa komuniti-komuniti lokal bergerak menuju kemandiriannya tanpa merusak tatanan sosial budaya yang sudah ada. Dengan kata lain masyarakat terdiri dari komuniti lokal, komuniti pendatang dan komuniti industri yang kesemua komuniti tersebut saling mempengaruhi, berinteraksi dan beradaptasi sebagai anggota masyarakat. Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta, 2003). Definisi lain mengenai community development adalah sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Terkait dengan community development, pemberdayaan pada dasarnya memiliki unsur pokok, yaitu partisipasi. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi perhatian dan tidak dapat dipisahkan. Dalam organisasi, proses pemberdayaan akan berlangsung baik jika didukung partisipasi baik dari pihak manajemen maupun masyarakat. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Menurut Ife (1995), pemberdayaan memiliki dua pengertian kunci yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: 1. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan. 2. Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya. 3. Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4. Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan. 5. Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. 6. Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. 7. Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Kunci pengembangan masyarakat (community development) adalah selalu bersumber pada keswadayaan lokal. Pengembangan masyarakat mengandung unsur partisipasi sebagai konsep utama dari kemandirian dari para warga. Berkaitan dengan proses pelaksanaan pengembangan masyarakat, terdapat beberapa asas dalam pengembangan masyarakat, yaitu: (1) komunitas dilibatkan (partisipasi) dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensinergikan strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas. 2.1.2 Ruang Lingkup Community Development Secara umum ruang lingkup program-program community development dapat dibagi berdasarkan kategori sebagai berikut (Budimanta,2003): 1. Community Service : merupakan pelayanan korporat untuk memenuhi kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, peningkatan perbaikan sanitasi lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga paramedis, obat-obatan, penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan permukiman), keagamaan dan lain sebagainya. 2. Community Empowering : adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, komuniti lokal, organisasi profesi serta peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumber daya setempat. 3. Community Relation : yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya. 2.1.3 Pendekatan Community Development Sebagai suatu model alternatif pembangunan yang berpusat pada rakyat, community development memiliki beberapa pendekatan yang harus diterapkan. Pendekatan dalam pengembangan masyarakat menurut Long (1970) dalam Nasdian (2003) dibagi menjadi enam pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan Komunitas Dalam pendekatan ini, komunitas diartikan sebagai kumpulan individu yang masih memiliki tingkat kepedulian dan interaksi antar anggota masyarakat yang menempati suatu wilayah yang relatif kecil dengan batas yang jelas. Asumsi yang digunakan adalah perhatian warga komunitas pada upaya perubahan, keberhasilan pengembangan masyarakat berkorelasi dengan peluang warga untuk berpartisipasi, masalah dapat dipecahkan sesuai dengan kebutuhan warga, dan pendekatan holistik adalah penting. 2. Pendekatan Kemandirian Informasi Komunitas dipandang sebagai suatu sistem dan arus. Sebagai suatu sistem, komunitas terdiri dari berbagai sub sistem yang saling berhubungan dan bergantung. Komunitas digambarkan sebagai suatu proses perubahan yang konstan dengan masa lalu. 3. Pendekatan Pemecahan Masalah Asumsi yang digunakan dalam pendekatan ini adalah pendekatan pemecahan masalah memandang manusia sebagai makhluk rasional, manusia dan komunitasnya mampu menggabungkan masalah-masalah dan mencari solusi, keberhasilan tergantung ketersediaan dan kemampuan peneliti. 4. Pendekatan Demonstrasi Asumsi yang digunakan adalah manusia itu rasional, manusia mampu belajar, tanpa kerjasama dan partisipasi, demonstrasi tidak akan berjalan, metode berdasar fakta ilmiah dapat didemonstrasikan, perilaku penting dipelajari melalui interaksi, warga komunitas mampu berinteraksi dan membentuk lingkungannya. 5. Pendekatan Eksperimen Asumsi yang digunakan pengembangan masyarakat membutuhkan percobaan dan gagasan akan bernilai jika gagasan tersebut dapat dilaksanakan. 6. Pendekatan Konflik Kekuatan Pendekatan ini menganggap komunitas sebagai suatu interaksi komponen yang kompleks dan antar komponen saling mempengaruhi dari sektor privat dan publik yang pada waktu dan situasi yang berbeda memiliki perbedaan kapasitas dalam kekuasaan. Pendekatan lain dalam pengembangan masyarakat yang lebih sederhana dikemukakan oleh Batten (1967) dalam Adi (2003), yaitu pendekatan direktif (instruktif) dan non-direktif (partisipatif). Pendekatan direktif didasarkan pada asumsi bahwa community worker tahu apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh masyarakat. Prakarsa dan pengambilan keputusan pada pendekatan ini dipegang oleh pihak luar (community worker). Dalam prakteknya mungkin pihak luar menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi jawaban yang muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi „baik‟ dan „buruk‟ menurut pihak luar (community worker). Pendekatan non-direktif didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pendekatan ini menekankan bahwa pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberikan kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. 2.1.4 Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menurut Webster dalam Siregar (2004) pemberdayaan mengandung dua pengertian yaitu: 1. To give ability or enable to, yakni upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan. 2. To give power or authority to, yang berarti memberi kewenangan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungan secara mandiri. Intinya pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya dengan mendorong (encourage), (awareness) akan memotivasi, potensi yang dan membangkitkan dimilikinya, serta kesadaran berupaya untuk mengembangkannya. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan „keharusan‟ untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Bertolak dari definisi di atas, menurut Kartasasmita (1996), pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok yaitu : 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Dalam hal ini perlu mengenali bahwa setiap manusia, baik individu, kelompok maupun organisasi kemasyarakatan memiliki potensi yang dapat dikembangkan. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran dan pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah (protecting). Berdasarkan uraian di atas, pemberdayaan masyarakat sebagai suatu alternatif strategi pengelolaan pembangunan mensyaratkan adanya keterlibatan langsung masyarakat (community based development) baik secara perorangan maupun dalam bentuk kelompok dan lembaga, dalam seluruh proses pengelolaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian sampai tahap evaluasi hasil-hasil pembangunan. Pemberdayaan masyarakat sendiri bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualistas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal dan non-formal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mau mendidik diri mereka sendiri. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, dan mampu mengadopsi inovasi. Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri, untuk itu perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya. Dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses terhadap sumber daya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan lingkungannya. 2.1.5 Proses Pemberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Menurut Oakley dan Marsden (1984) dalam Pranarka dan Moeljarto (1996), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (1) proses primer, yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, agar menjadi lebih berdaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka; dan (2) proses sekunder, dengan menekankan pada menstimuli, mendorong, memotivasi masyarakat, agar mempunyai kemampuan/keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Kedua proses ini bukan klasifikasi kaku, tetapi saling terkait. Agar kecenderungan primer terwujud, seringkali harus melalui proses sekunder terlebih dahulu. Berdasarkan pemikiran di atas maka secara operasional, pemberdayaan pada tahap ini bergerak dari pemahaman sisi dimensi generatif, yang merupakan suatu proses perubahan yang menekankan kreativitas dan prakarsa warga komunitas yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Dengan pengertian tersebut pemberdayaan mengandung dua pengertian, yakni kemandirian dan partisipasi. Pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Harper (1994) dalam Adi (2003) ada beberapa strategi yang dapat dipakai untuk melakukan pemberdayaan: 1. Strategi Fasilitasi Strategi ini dipergunakan bila kelompok yang dijadikan target mengetahui ada masalah dan membutuhkan perubahan dan ada keterbukaan terhadap pihak luar dan keinginan pribadi untuk terlibat. Melalui strategi ini para agen perubah dapat bertindak sebagai fasilitator. Oleh karena itu, tugas dari fasilitator ini seringkali membuat kelompok target menjadi sadar terhadap pilihan-pilihan dan keberadaan sumber-sumber. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen peubah bersama-sama kliennya mencari penyelesaian. 2. Strategi Edukatif Strategi ini membutuhkan waktu, khususnya dalam membentuk pengetahuan dan keahlian. Pendekatan ini memberikan suatu pemahaman atau pengetahuan baru dalam mengadopsi suatu perubahan. Segmentasi menjadi faktor penting untuk membuat pesan mudah dimengerti atau diterima oleh kelompok yang berbeda. Karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, kondisi sosial, dan ekonomi) merupakan pengkategorian yang umum digunakan. 3. Strategi Persuasif Strategi ini berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku, dimana pesan disusun dan dipresentasikan. Jadi pendekatan ini mengacu kepada tingkatan reduksi dimana agen perubah mempergunakan emosi dan hal-hal yang tidak rasional untuk melakukan perubahan. Persuasi lebih sering dipergunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 4. Strategi Kekuasaan Praktek strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan agen yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses. Strategi kekuasaan ini menjadi efektif ketika komitmen terhadap perubahan rendah, waktu yang singkat dan perubahan yang dikehendaki lebih kepada perilaku dibandingkan dengan sikap (attitude). 2.1.6 Ruang Lingkup Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan simultan sampai ambang tercapainya keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan yang diperintah. Menurut Ndraha dalam Adi (2003) diperlukan berbagai program pemberdayaan, antara lain : 1. Pemberdayaan Politik Pemberdayaan politik bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap pemerintah. Melalui bargaining tersebut, yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan orang lain. 2. Pemberdayaan Ekonomi Pemberdayaan ekonomi dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang diperintah sebagai konsumen untuk berfungsi sebagai penanggung dampak negatif pertumbuhan, pemikul beban pembangunan, dan penderita kerusakan lingkungan. 3. Pemberdayaan Sosial Budaya Pemberdayaan sosial budaya bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia dan perilaku seadil-adilnya terhadap manusia. 4. Pemberdayaan Lingkungan Pemberdayaan lingkungan dimaksudkan sebagai program perawatan dan pelestarian lingkungan, supaya antara yang diperintah dan lingkungannya terdapat hubungan saling menguntungkan. 2.1.7 Evaluasi Menurut Raudabough dalam Fauziah (2007), evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penentuan nilai atau jumlah keberhasilan yang dicapai dari suatu tujuan program yang telah ditetapkan. Evaluasi mencakup beberapa tahapan, yaitu: formulasi tujuan, identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan dalam mengukur keberhasilan. Kunci elemen konseptual dalam evaluasi adalah “nilai atau jumlah dari derajat keberhasilan”. Dengan demikian, dalam evaluasi terkandung didalamnya proses pemberian nilai kepada pencapaian tujuan program, dan kemudian menetapkan derajat keberhasilan pencapaian tujuan yang dinilai tersebut. Departemen Pertanian (1990) mengemukakan jenis evaluasi lain untuk mengevaluasi program, yaitu: 1. Evaluasi Input Evaluasi input adalah penilaian terhadap kesesuaian antara input-input program dengan tujuan program. Input adalah semua jenis barang, jasa, dana, tenaga manusia, teknologi dan sumberdaya lainnya, yang perlu tersedia untuk terlaksananya suatu kegiatan dalam rangka menghasilkan Output dan tujuan suatu proyek atau program. 2. Evaluasi Output Evaluasi Output adalah penilaian terhadap Output-Output yang dihasilkan oleh program. Output adalah produk atau jasa tertentu yang diharapkan dapat dihasilkan oleh suatu kegiatan dari input yang tersedia, untuk mencapai tujuan proyek atau program. Contoh Output adalah perubahan pengetahuan (aras kognitif), perubahan sikap (aras afektif), kesediaan berprilaku (aras konatif) dan perubahan berprilaku (aras psikomotorik). Aras kognitif adalah tingkat pengetahuan seseorang. Aras afektif adalah kecenderungan sikap seseorang yang dipengaruhi oleh perasaanya terhadap suatu hal. Aras konatif adalah kesediaan seseorang berprilaku tertentu yang dipengaruhi oleh sikapnya terhadap suatu hal. Aras tindakan adalah perilaku seseorang yang secara nyata diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari sehingga dapat diwujudkan menjadi suatu pola. 3. Evaluasi Effect (efek) Evaluasi efek adalah penilaian terhadap hasil yang di peroleh dari penggunaan Output-Output program. Sebagai contoh adalah efek yang dihasilkan dari perubahan perilaku peserta suatu penyuluhan. Efek biasanya sudah mulai muncul pada waktu pelaksanaan program namun efek penuhnya baru tampak setelah program selesai. 4. Evaluasi Impact (dampak) Evaluasi Impact adalah penilaian terhadap hasil yang diperoleh dari efek proyek yang merupakan kenyataan sesungguhnya yang dihasilkan oleh proyek pada tingkat yang lebih luas dan menjadikan proyek jangja panjang. Evaluasi dapat dipergunakan dengan penggunaan penilaian yang kualitatif. 2.1.8 Pengertian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pengertian tentang UMKM tergantung pada konsep yang digunakan oleh setiap negara. Beberapa negara mengelompokkan UMKM berdasarkan kriteria tenaga kerja yang diserap. Misalnya, di United Kingdom mengelompokkan usaha dalan kriteria usaha kecil jika mempunyai karyawan 1 sampai dengan 200 orang; di Jepang antara 1 sampai dengan 300 orang; di USA antara 1 sampai dengan 500 orang. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah : 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang, perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur Undang-Undang ini. Di Indonesia, kriteria yang digunakan untuk usaha kecil dan menengah lebih mengacu pada besar modal dan omset usaha yang dimiliki perusahaan atau usaha kecil yang bersangkutan. Uniknya, masing-masing institusi menggunakan definisi yang berbeda. Kriteria dari UKM dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008 adalah sebagai berikut : 1. Kriteria Usaha Mikro Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Kriteria Usaha Kecil Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 3. Kriteria Usaha Menengah Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Adapun ciri-ciri dari usaha mikro, kecil, dan menengah adalah sebagai berikut : 1. Ciri-ciri usaha mikro a. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti; b. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat; c. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha; d. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai; e. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah; f. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank; g. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. 2. Ciri-ciri usaha kecil a. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah; b. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah; c. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha; d. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP; e. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwirausaha; f. Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal; g. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning. 3. Ciri-ciri usaha menengah a. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi; b. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan; c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), pemeliharaan kesehatan dll; d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll; e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan; f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik. 2.2 Kerangka Pemikiran Swisscontact sebagai salah satu organisasi internasional yang berada di Indonesia dan menitikberatkan program-programnya pada pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), telah melakukan program pemberdayaan UMKM dengan mengembangkan yang bergerak di bidang tekstil, di daerah Cipulir, Jakarta Selatan. Penelitian ini akan melihat bagaimanakah strategi pemberdayaan dan proses pemberdayaan pada tahap implementasi yang dilakukan oleh Swisscontact pada program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta. Strategi pemberdayaan menurut Harper (1994) dibagi menjadi empat, yaitu strategi fasilitasi, strategi edukatif, strategi persuasif, dan strategi kekuasaan. Peneliti akan melihat dan menganalisis strategi apa yang dipakai oleh Swisscontact dalam menjalankan programnya, apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan teori pemberdayaan Harper, serta apakah dalam pelaksanaanya penyusunan strategi dan langkah-langkah/intervensi yang akan dilaksanakan dalam program disusun secara bersama-sama dengan para pelaku usaha kecil atau tidak. Penyusunan strategi pemberdayaan program terkait dengan permasalahan yang terdapat pada para pelaku usaha kecil di Cipulir. Setelah proses ini selesai, akan berlanjut pada proses pelaksanaan program dimana di dalamnya terjadi proses pemberdayaan bagi pelaku usaha kecil di Cipulir. Pada proses pemberdayaan, peneliti ingin melihat apakah proses pemberdayaan yang dilakukan sesuai dengan proses pemberdayaan menurut Oakley dan Marsden (1984) yang menyebutkan bahwa proses pemberdayaan mempunyai dua kecenderungan yaitu kecenderungan primer dan sekunder. Proses pemberdayaan primer adalah bagaimana Swisscontact dalam menjalankan programnya telah mentransfer sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada para pelaku usaha kecil dengan bentuk pelatihan dan bantuan berupa barang, sedangkan pada proses pemberdayaan sekunder, peneliti ingin melihat bagaimana Swisscontact dalam menjalankan programnya telah mampu menstimuli, mendorong, dan memotivasi para pelaku usaha kecil dalam bentuk pertemuan rutin dengan para pelaku usaha kecil. Adapun hasil yang ingin dicapai dari program SMEP adalah berbagai manfaat yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan sasarannya sehingga mereka menjadi individu yang lebih berdaya. Pada indikator manfaat program, peneliti melihat perubahan berdasarkan jenis evaluasi yang dikemukan oleh Departemen Pertanian (1990). Dengan menggunakan teori ini manfaat SMEP sebagai sebuah program pemberdayaan dapat dianalisis pada aspek ouput yang terdiri dari perubahan pengetahuan dan keterampilan. Analisis manfaat juga dapat dilakukan terhadap variabel efek yang terdiri dari aspek peningkatan pendapatan, adanya pasar baru, dan akses bahan baku yang lebih mudah yang diharapkan berpengaruh pada meningkatnya daya kompetitif dari pelaku usaha kecil di Cipulir. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Swisscontac t Tahap Implementasi Proses Pemberdayaan : 1. Primer 2. Sekunder Strategi Pemberdayaan Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta Sekunder Menekankan pada menstimuli, mendorong, memotivasi masyarakat, agar mempunyai kemampuan /keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya Primer Pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat Manfaat Program 1. Peningkatan pengetahuan 2. Peningkatan keterampilan 1. Peningkatan pendapatan 2. Adanya pasar baru 3. Akses bahan baku lebih mudah Keterangan : : Faktor yang mempengaruhi Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Meningkatnya daya kompetitif usaha kecil di Cipulir 2.3 Hipotesa Pengarah Jika strategi program dan implementasi program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) berbasis konsep pemberdayaan, maka penerima program (UMKM) akan menjadi berdaya. 2.4 Definisi Konseptual 1. Strategi pemberdayaan adalah perencanaan dan manajemen suatu program untuk mencapai tujuan yang dipakai oleh Swisscontact pada program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) 2. Strategi Fasilitasi adalah strategi yang dipergunakan bila kelompok yang dijadikan target mengetahui ada masalah dan membutuhkan perubahan dan ada keterbukaan terhadap pihak luar dan keinginan pribadi untuk terlibat. 3. Strategi Edukatif strategi yang digunakan untuk membentuk pengetahuan dan keahlian tertentu. 4. Strategi Persuasif adalah strategi yang berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku, dimana pesan disusun dan dipresentasikan. 5. Strategi Kekuasaan adalah strategi yang akan efektif jika mempunyai agen peubah yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses. 6. Tahap implementasi adalah proses penerapan program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) oleh Swisscontact yang didalamnya terdapat proses pemberdayaan. 7. Proses pemberdayaan adalah proses dimana para penerima program mendapatkan perubahan dari program, dimana kecenderungan proses dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. 8. Proses Pemberdayaan Primer adalah proses yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, agar menjadi lebih berdaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka. 9. Proses Pemberdayaan Sekunder adalah proses yang menekankan pada menstimuli, mendorong, memotivasi masyarakat, agar kemampuan/keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. mempunyai 10. Manfaat adalah perubahan yang dialami UMKM setelah menjalani program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP).