Pola Asuh Otoriter dan Konsep Diri sebagai Prediktor terhadap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku agresif cenderung ingin menyerang kepada sesuatu yang
dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat.
Ada aspek-aspek serta faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi perilaku
agresif seseorang khususnya di kalangan siswa. Bab ini akan memberikan
penjelasan mengenai perilaku agresif serta bagaimana hubungan perilaku
agresif dengan pola asuh otoriter orang tua dan konsep diri.
2.1 PERILAKU AGRESIF
2.1.1 Definisi Perilaku Agresif
Kata agresi berasal dari kata latin agredi yang berarti menyerang.
Kata ini menyiratkan bahwa individu siap untuk memaksakan kehendak atas
individu yang lain, walaupun ini berarti bahwa kerusakan fisik atas
psikologis mungkin ditimbulkan sebagai akibatnya (Pearce, 1989). Menurut
kamus besar bahasa Indonesia kata agresi diartikan sebagai suatu perilaku
menyerang kepada sesuatu hal yang mengecewakan, menghalangi, atau
menghambat (Tim penyusun kamus, 1996).
Myers (1989) mengemukakan bahwa agresif sebagai suatu perilaku
fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk melukai atau menghancurkan.
Baron dan Aronson (dalam Koeswara, 1989) mendefinisikan agresi sebagai
perilaku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau tanpa
tujuan tertentu.
Breakwell (1998) mendefinisikan agresi sebagai setiap
bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan
seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang lain secara fisik
maupun psikologis dimana si korban tidak mengharapkannya.
Buss dan Perry (1992) memberikan definisi perilaku agresif sebagai
perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang
lain, baik secara fisik maupun non fisik. Pernyataan yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Barbara Krahe (2005) yang menyatakan bahwa agresi
disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat yang
merugikan/menyakiti, niat dan harapan untuk merugikan, dan keinginan
orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang
merugikan itu. Tokoh lain yang juga memberikan definisi agresi yaitu
Berkowitz (dalam Krahe, 2005) yang mendefinisikan agresi dalam
hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial.
Perilaku agresif merupakan salah satu tindakan yang merupakan antisosial. Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan perilaku
agresif sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal
terhadap individu lain atau obyek-obyek. Perilaku agresif merupakan salah
satu perilaku yang perlu dimodifikasi untuk dapat beradaptasi dengan dunia
luar sekolah. Dimana perilaku agresif ini mengganggu individu yang ada di
sekitarnya, juga akan berdampak terhadap dirinya sendiri. Bahaya perilaku
agresif terhadap pelaku adalah orang lain akan menjauhi pelaku yang hanya
akan menyakiti orang lain. Perilaku tersebut tentu saja juga berdampak
negatif terhadap penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan
beberapa definisi yang sudah diutarakan, maka peneliti menggunakan
definisi agresi yang dikembangkan oleh Buss & Perry untuk penelitian ini.
2.1.2 Teori Perilaku Agresif
Teori perilaku agresif mempunyai beberapa pendekatan yang
dijelaskan oleh beberapa ahli. Namun ada dua pendekatan utama yaitu,
pendekatan biologis dan pendekatan belajar (koeswara, 1988). Pendekatan
biologis merupakan pendekatan yang memiliki akar sejarah yang panjang
dan melibatkan beberapa tokoh yang memiliki latar belakang keilmuan yang
berbeda, meliputi psikologi, biologi, dan antropologi. Tokoh yang mewakili
kelompok pendekatan biologis diantaranya adalah Sigmund Freud, Konrad
Lorenz, dan Robert Ardrey (dalam Koeswara, 1988). Inti dari pendekatan
biologis adalah mengansumsikan bahwa perilaku individu, termasuk perilaku
agresif, bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya
biologis. Dalam pendekatan biologis, konsep naluri merupakan faktor
bawaan yang menjadi sumber agresi.
Pendekatan lain yang bertentangan dengan pendekatan biologis adalah
pendekatan belajar. Tokoh utama dalam pendekatan belajar adalah Ivan
Pavlov kemudian dilanjutkan oleh tokoh behaviorisme lainnya seperti
Edward Thorndike, Edward Tolman, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller,
dan B.F. Skinner. Dalam pendekatan belajar menentukan bahwa perilaku
agresif dihasilkan melalui proses belajar, baik dengan pengondisian
instrumental, yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru
yaitu belajar melalui pengamatan terhadap model (Krahe, 2005).
Di samping para teoris behavioris terdapat para teoris yang juga
meyakini agresi sebagai hasil belajar, yang berlangsung dalam lingkup lebih
luas melibatkan faktor sosial atau situasional (pendekatan belajar sosial).
Teori pendekatan belajar sosial adalah Albert Bandura, Ricard Walters,
Robert Baron, dan Leonard Eron (dalam Koeswara, 1988). Teori perilaku
agresif menggunakan teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan
Skinner, karena instrumen yang dipakai dalam mengukur perilaku agresif
adalah kuesioner agresi (aggression questionnire) yang dikembangkan oleh
Buss dan Perry (1992) mengacu pad teori pendekatan belajar behavioral
Thorndike dan Skinner. Dalam teori pendekatan behavioral, belajar
merupakan proses perubahan perilaku sebagai akibat adanya interaksi antara
stimulus
dengan
respons
yang
menyebabkan
individu
mempunyai
pengalaman baru. Individu dapat dikatakan belajar jika dapat menunjukan
adanya perubahan dalam perilakunya.
Thorndike (dalam Koeswara, 1988) mengembangkan teori belajar
koneksionisme. Dalam teori belajar koneksionisme, belajar merupakan
proses pembentukan koneksi (hubungan) antara stimulus dan respon.
Stimulus apa saja yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalu alat indera.
Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan individu ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau gerakan /tindakan. Agar
tercipta hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respon yang dapat serta melalui percobaan-percobaan (trial)
dan kegagalan-kegagalan
(error) terlebih dahulu. Thorndike (dalam
Hergenhahn & Olson, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok belajar :
1. Law of readiness (hukum kesiapan)
Konsekuensi dari law of readiness adalah:
a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila
melakukannya akan memuaskan.
b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila
tidak melakukannya akan menjengkelkan.
c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu
tindakan tetapi dipaksa melakukan maka melakukannya akan
menjengkelkan.
2.
Law of exercise (hukum latihan)
Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Law of use (hukum penggunaan), yaitu semakin asing suatu
koneksi (hubungan) stimulus dan respon dipraktekkan maka
koneksi itu makin erat atau dengan kata lain koneksi antara
stimulus dan respons akan mengaut saat keduanya dipakai.
b. Law of disuse (hukum ketidakgunaan), yaitu bila koneksi
(hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak
pernah lagi dipraktekkan, maka koneksi itu akan melemah
dan akhirnya menghilang.
3.
Law of effect (hukum akibat)
Law of effect (hukum akibat) adalah penguatan atau
pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respon. Jika
suatu respon diikuti dengan keadaan yang memuaskan (satisfying
state of affairs), kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat. Jika
respons diikut dengan keadaan yang tidak memuaskan (annoying
state of affairs), maka kekuatan koneksi itu menjadi menurun.
Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan
penting. Individu cenderung akan mengulang suatu perilaku
apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan
atau memuskan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang
suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang
tidak menyenangkan atau tidak memuaskan bagi dirinya.
Penerapan teori belajar koneksionisme Thorndike dalam menjelaskan
pengertian perilaku agresif yaitu bahwa perilaku agresif diperoleh dari hasil
belajar dari proses pembentukan koneksi / hubungan antara stimulus dan
respon. Dari hukum kesiapan (law of readness), hukum latihan (law of
exarcise) dan hukum akibat (law of effect) dari teori belajar koneksionisme
Thorndike untuk
menjelaskan pembentukan
perilaku agresif dapat
disimpulkan bahwa :
1. Ketika individu telah siap untuk melakukan tindakan agresif,
maka tindakan agresif akan memuaskan. Ketika individu siap
untuk melakukan tindakan agresif, maka tidak melakukan
tindakan agresif akan menjengkelkan. Ketika seseorang belum
siap untuk melakukan agresif maka akan menjengkelkan.
2. Semakin sering individu berperilaku agresif, maka perilaku
agresif pada individu akan semakin kuat dan sebaliknya apabila
individu jarang atau tidak pernah lagi mempraktikkan perilaku
agresif maka perilaku agresif pada individu akan melemah dan
akhirnya hilang.
3. Perilaku agresif terbentuk dan diulang oleh individu karena
dengan perilaku agresif itu individu memperoleh efek atau hasil
yang menyenangkan. Apabila dengan perilaku agresif itu individu
memperoleh efek atau hasil yang tidak menyenagkan, maka
perilaku agresif itu tidak akan diulang (Koeswara, 1988).
Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) mengembangkan teori
belajar
operant
conditioning
atau
pengkondisian
operan.
Operant
conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku (reinforcement) baik
penguatan positif atau penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku
tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan
(Prasetyan, 2007). Menurut Skinner setiap suatu tindakan yang telah
diperbuat ada konsekuensinya, dan konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Skinner (dalam
Hergenhahn & Olson, 2008) operant conditioning terdiri dari dua konsep
utama, yaitu :
1. Penguatan (reinforcemnt)
Penguatan (reinforcemnt) adalah konsekuensi yang meningkatkan
probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Skinner membagi
penguatan ini menjadi dua bagian:
a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa
frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus
yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan
positif
adalah
berupa
hadiah,
perilaku
(senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan,
mengacungkan jempol), atau penghargaan (juara 1 dsb).
b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip
bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan
penghilangan
stimulus
yang
merugikan
atau
tidak
menyenangkan. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain:
menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan
atau
menunjukkan
perilaku
tidak
senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa).
2. Hukuman (punishment)
Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan
probabilitas terjadinya suatu
perilaku atau apa saja yang
menyebabkan suatu respon atau perilku menjadi berkurang atau
bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa
sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah
mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan, atau memberi
sesuatu yang tidak diinginkannya.
Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya:
a. Law of operant conditioning yaitu timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Penerapan teori belajar operant conditioning Skinner mejelaskan
pengertian perilaku agresif. Hal ini berarti perilaku agresif terbentuk karena
diikuti oleh penguatan positif dan perilaku tersebut akan diulang oleh
individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya individu yang
melakukan perilaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif, maka
perilaku agresif tersebut akan berkurang dan semakin lama akan terhapus.
Berdasarkan teori behavioral Thorndike dan Skinner, Buss dan Perry
mendefinisikan perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan
perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun
psikologis (Buss & Perry, 1992). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson,
2008) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku menjadi agresi ketika
individu menyalurkan stimulus yang berbahaya kepada orang lain.
Kecenderungan perilaku agresif merupakan hasrat atau keinginan yang selalu
timbul berulang-ulang untuk menyakiti, merusak dan memengaruhi individu
lain baik secara fisik maupun psikologis. Agar perilaku seseorang memenuhi
kualifikasi agresi, perilaku harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat
negatif terhadap targetnya. Menurut Buss & Perry (1992) perilaku agresif
dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan
punishment. Perilaku agresif akan terbentuk dan diulangi oleh individu
karena dengan melakukan perilaku agresif individu memperoleh efek yang
menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang perilaku
agresif
apabila
perilaku
tersebut
menimbulkan
efek
yang
tidak
menyenangkan bagi dirinya (Koeswara, 1988).
Berdasarkan
teori-teori
yang
telah
diutarakan,
menggunakan defenisi Buss dan Perry dalam penelitian ini.
maka
peneliti
2.1.3 Aspek-aspek Perilaku Agresif
Buss dan Perry (1992) membagi empat aspek perilaku agresif, yaitu:
a. Agresi fisik merupakan tindakan agresi yang menyakiti individu
lain secara fisik seperti memukul, menendang, merugikan orang
lain secara fisik dan lain-lain.
b. Agresi verbal, yaitu respon vokal yang menyampaikan stimulus
yang menyakkiti mental dalam bentuk penolakan dan ancaman
seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan
tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek,
membentak dan berdebat.
c. Kemarahan, yakni emosi negatif yang disebabkan oleh harapan
yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang
lain serta dirinya sendiri. Kemarahan merupakan pendahuluan
untuk agresi. Orang cenderung untuk agresi saat marah daripada
ketika tidak marah.
d. Permusuhan adalah sikap negatif terhadap orang lain yang muncul
karena munculnya perasaan tertentu seperti cemburu dan dengki.
Permusuhan mengekspresikan kebencian ataupun kemarahan yang
sangat kepada pihak lain.
Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) menyimpulkan bahwa aspekaspek perilaku agresif adalah:
a.
Agresi fisik
Yaitu tingkah laku kekerasan secara fisik, seperti mencubit, memukul,
menendang, mendorong, menyerang dengan senjata dan sebagainya.
b.
Agresi verbal
Yaitu tingkah laku kekerasan secara verbal, seperti menghina,
mengumpat, memaki, memfitnak, mengancam, dan sebagainya.
Untuk mengukur perilaku agresif dalam penelitian ini, penulis
menggunakan 4 (empat) aspek perilaku agresif menurut Buss dan Perry,
yaitu agresi fisik, agresi verbal, amarah dan permusuhan.
2.1.4 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Agresif
Menurut Santrock (2003), faktor-faktor yang memengaruhi perilaku
agresif adalah sebagai berikut:
a. Identitas remaja
Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa
remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang
membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang
dibebankan kepada mereka, kemungkinan besar mereka terlibat
dalam tindakan agresif karena tindakan agresif tersebut merupakan
suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas
tersebut negatif.
b. Kontrol diri rendah
Beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial
yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.
c. Usia
Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak)
berhubungan dengan perilaku delinkuensi yang lebih serius nantinya
di masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku
seperti ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuensi.
d. Jenis kelamin (laki-laki)
Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial
daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al.,
2000), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar
untuk munculnya perilaku merusak. Namun, demikian perilaku
pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak
dilakukan oleh remaja perempuan.
e. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan
Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki
harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang
rendah di sekolah.
f. Kehidupan dalam keluarga
Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana
orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan
mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya
sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota
keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak
saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah
akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial
ketika berada di luar rumah.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki
teman-teman
sebaya
yang
melakukan
kenakalan
meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.
h. Status ekonomi sosial
Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh anak-anak yang
berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Tempat dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu
tersebut,
masyarakat
dan
lingkungan
yang
membentuk
kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa
dunia di sekitar maupun didalam diri anak sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif anak sendiri. Salah satu faktor yang paling memengaruhi
terbentuknya perilaku agresif yaitu faktor keluarga. Hubungan antar anggota
keluarga yang tidak harmonis akan memberikan kesempatan pada anak
untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara
kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku
di luar rumah. Keluarga merupakan pembentuk perilaku dan kepribadian
anak. Keluarga yang kurang kasih sayang, dukungan dan perselisihan dalam
keluarga dapat memicu timbulnya perilaku agresif, karena apa yang terjadi
pada anak didalam keluarga sangat berpengaruh pada diri anak tersebut.
Jika pola asuh yang diterapkan orangtua adalah demokrasi maka
anak akan memiliki konsep diri yang positif dengan menunjukkan sikap yang
bertanggung jawab, mandiri. Namun jika orang tua menerapkan pola asuh
otoriter maka anak akan menjadi penakut, pendiam, tertutup sehingga
memiliki konsep diri yang negatif. Begitu juga dengan pola asuh yang
permisif membuat anak memiliki konsep diri yang negatif karena anak akan
menunjukkan sikap yang agresif, manja, tidak patuh, kurang mandiri dan
kurang percaya diri. Perilaku agresif sangat mudah terbentuk dan menetap
pada anak yang mengalami kekerasan didalam keluarganya.
2.2
POLA ASUH OTORITER
2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orang tua
Secara epistimologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata
asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing
(membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, atau
dalam bahasa populernya adalah cara mendidik. Secara terminologi pola
asuh orang tua adalah cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam
mendidik anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab kepada anak.
Menurut Gunarsa Singgih dalam bukunya Psikologi Remaja, Pola
asuh orang tua adalah sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan
anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil
keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari
keadaan bergantung kepada orang tua menjadi berdiri sendiri dan
bertanggung jawab sendiri.
Menurut Kohn yang dikutip Chabib Thoha bahwa pola asuh
merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya. Sikap ini
dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberi
peraturan pada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua
menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian dan
tanggapan terhadap keinginan anak.
Menurut Baumrind (1991) ada tiga macam bentuk pola asuh adalah
sebagai berikut:
a. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut
agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat
oleh orangtua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan
pendapat sendiri. Anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian
misi hidupnya.
b. Pola asuh otoritatif atau demokrasi
Pada pola asuh ini orangtua yang mendorong anak-anaknya agar
mandiri namun masih memberikan batas-batas dan pengendalian atas
tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal dimungkinkan dengan
kehangatan-kehangatan dan kasih sayang yang diperlihatkan. Anak-anak
yang hidup dalam keluarga demokratis ini memiliki kepercayaan diri, harga
diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang terpuji
c.
Pola asuh permisif
Orangtua permisif berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik
mungkin tapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan
batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Orangtua permisif tidak begitu
menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena
yakin
bahwa
anak-anak
seharusnya
berkembang
sesusai
dengan
kecenderungan alamiahnya.
Cara mendidik secara langsung artinya bentuk asuhan orang tua yang
berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan ketrampilan
yang dilakukan secara sengaja, baik berupa perintah, larangan, hukuman,
penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan.
Sedangkan mendidik secara tidak langsung adalah merupakan contoh
kehidupan sehari-hari mulai dari tutur kata sampai kepada adat kebiasaan
dan pola hidup, hubungan orang tua, keluarga, masyarakat dan hubungan
suami istri.
Setiap orang tua mempunyai cara yang berbeda-beda dalam
mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pola asuh orang tua yang sebatas
menjadi ibu rumah tangga akan lebih maksimal untuk mengurus dan
mendidik anak-anaknya di rumah. Beda dengan pola asuh ibu yang
mempunyai peran ganda, selain menjadi ibu rumah tangga ia juga disibukkan
dengan mencari kebutuhan ekonomi untuk mengais rezeki dan waktu untuk
keluargapun berkurang dengan kesibukan yang ada di luar rumah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua
mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan
perkembangan anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku.
Dalam penelitian ini pola asuh yang menjadi fokus penulis adalah pola asuh
otoriter.
2.2.2 Definisi Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) menurut Baumrind
(1991) adalah pola asuh yang gagasan pengasuhan yang membatasi dan
bersikap menghukum dan mendikte remaja untuk mengikuti petunjuk orang
tua dan menghormati pekerjaan dan usaha orang tuanya. Orang tua otoriter
menggunakan ketegasan fisik seperti hukuman fisik dan mencabut hak anak.
Menurut Berkowitz (1995) orang tua otoriter cenderung memaksa
anaknya mengikuti aturan mereka secara kaku, tetapi mereka tidak
menjelaskan aturan itu secara jelas. Mereka keras dan suka menghukum
dalam menerapkan disiplin, dan mereka mudah marah jika anak-anak
menentangnya. Pola asuh otoriter ditandai dengan cara pengasuhan yang
menuntut kepatuhan yang tinggi pada anak. Pola asuh otoriter ditandai
dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat seringkali
memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan
untuk bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Anak jarang diajak
berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua
menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu
dipertimbangkan dengan anak.
Pola asuh otoriter merupakan sikap orang tua yang keras, biasanya
memberikan batasan yang jelas antara tingkah laku yang diperbolehkan
dengan tingkah laku yang dilarang. Namun dalam mempertahankannya
mereka sering mengabaikan kehangatan dan moral memberikan dukungan
serta semangat diperlukan oleh seorang anak.
Pola asuh “otoriter” adalah suatu sikap mau menang sendiri, main
bentak, main pukul, anak serba salah, orang tua serba benar. Dengan kata
lain orang tua menerapkan pola asuh otoriter membatasi anak, berorientasi
pada hukuman (fisik maupun verbal) mendesak anak untuk bertanya
mengapa ia harus melakukan hal-hal tersebut meskipun sesungguhnya tidak
ingin melakukan sesuatu kegiatan yang diperintah oleh orang tuanya, ia
harus tetap melakukan kegiatan tersebut di sisi lain ia tidak ingin
melakukannya. Di sisi lain orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu
kegiatan meskipun kegiatan tersebut mungkin sangat disenangi atau
diinginkan oleh sang anak, maka anak harus tetap rela untuk tidak
melakukannya. Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan cenderung
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mudah tersinggung
b. Penakut
c. Pemurung tidak bahagia
d. Mudah terpengaruh dan mudah stres
e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas
f. Tidak bersahabat
g. Gagap, serta rendah diri
Balsom (dalam Arifin) mengatakan orangtua ingin mengubah
perilaku remaja dengan memaksakan keyakinan, tata nilai, perilaku dan
standar perilaku pada remaja. Jadi dapat dikatakan bahwa pada pola asuh
otoriter, orang tua cenderung memperlakukan anaknya dengan kaku dan
ketat dengan tujuan sebagai pengontrol tingkah laku anak-anaknya, aturan
serta batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, begitupun dalam
berperilaku sehari-hari orangtua juga memaksa anak untuk patuh, tunduk
terhadap apa yang diperintahkan atau apa yang dikatakan oleh orang tua.
Anak tidak mempunyai pilihan lain sesuai dengan kemauanya atau
pendapatnya sendiri dalam hal ini orang tua tidak mempertimbangkan dan
mendengarkan pendapat anak, sehingga orang tua tetap mengambil dan
menentukan keputusan, tidak berkomunikasi timbal balik dan hukuman yang
diberikan tanpa alasan dan anak jarang untuk diberikan hadiah.
Dari apa yang diuraikan di atas dapat penulis simpulkan bahwa
dengan cara otoriter ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam
anak menjadikan anak patuh di hadapan orang tua, tetapi di belakangnya ia
memperlihatkan reaksi-reaksi, misalnya menentang atau melawan, bisa
ditampilkan dalam bentuk tingkah laku yang melanggar norma-norma dan
menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya, lingkungan rumah,
sekolah maupun pergaulannya.
2.2.3 Aspek-aspek Pola Asuh Otoriter
Menurut Baumrind (1991), ada tiga aspek-aspek pola asuh otoriter,
yaitu:
a. Aspek batasan perilaku (behavioral guidelines)
Pada aspek ini, orangtua sangat kaku dan memaksa. Anak – anak
sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka tidak mempunyai ruang untuk
berdiskusi atau meminta keterangan. Cara yang digunakan untuk
memaksakan petunjuk – petunjuk perilaku tersebut melalui cara – cara
diktator, seringkali memakai hukuman yang berlebihan atau keras dan di luar
kemampuan si anak untuk menjalankan hukuman tersebut. Keseluruhan
tujuan dari gaya ini adalah untuk melakukan kontrol anak dan bukannya
mengajari anak atau membantu anak untuk mengembangkan otonominya.
b. Aspek kualitas hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of
parent-child relationship)
Gaya pengasuhan ini mempersulit perkembangan kedekatan antara
orangtua dan anak. Kedekatan yang sebenarnya didasari oleh saling
menghormati dan satu keyakinan pada diri orangtua bahwa anak mempunyai
kapasitas untuk belajar mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui
petunjuk – petunjuk perilaku dan kapasitas kognitif yang mereka miliki.
Gaya pengasuhan ini tidak mengakui proses individuasi pada anak
dan pertumbuhan otonomi pada diri anak. Kedekatan yang dapat
berkembang dengan gaya pengasuhan seperti ini adalah kedekatan semu
karena kedekatan tersebut muncul dari rasa takut anak untuk tidak
menyenangkan orangtua dari pada keinginan untuk tumbuh dan berkembang.
c. Aspek perilaku mendukung (behavioral encouraged)
Pada aspek ini perilaku orangtua ditunjukkan dengan mengontrol
anaknya daripada mendukung anaknya agar mereka mampu berfikir
memecahkan masalah. Orangtua sering melarang anaknya dan berperilaku
negatif dan memberi hukuman. Jadi orangtua lebih memberi perintah
daripada menjelaskan untuk melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah.
2.2.4 Peran Pola Asuh Otoriter
Ada beberapa peran pola asuh otoriter orang tua yang diutarakan oleh
Edwards (2006):
1. Memberi contoh. Cara utama untuk mengajari remaja adalah melalui
contoh . Remaja sering kali mudah menyerap apa yang kita lakukan
dibanding dengan apa yang kita katakana. Jika kita mengatakan untuk
berbicara dengan sopan kepada orang lain, tetapi kita masih berbicara
kasar kepada mereka, kita telah menyangkal diri kita sendiri.
Perbuatan lebih berpengaruh dibandingkan dengan kata-kata.
2. Respon positif. Cara kedua untuk mengajari remaja adalah melalui
respon positif mengenai sikap mereka. Jika kita mengatakan kepada
remaja betapa orang tua menghargai mereka karena telah mengikuti
nasehat orang tua, mereka akan mengulangi sikap tersebut.
3. Tidak ada respons. Orang tua juga mengajari remaja dengan cara
mengabaikan sikap. Sikap-sikap yang tidak direspon pada akhirnya
cenderung tidak diulangi. Dengan kata lain, mengabaikan perilaku
tertentu bisa jadi mengulani perilaku tersebut, khususnya jika
perilaku-perilaku tersebut bersifat mengganggu.
4. Hukuman. Menggunakan hukuman yang relative ringan secara
konsisten, seperti menghilangkan hak istimewa atau melarang
kegiatan yang sedang dilakukan, bisa jadi cukup efektif dalam
menghadapi sikap yang sulit dikendalikan. Namun bahkan hukuman
ringan tidak boleh mengalahkan penggunaan pendekatan pengajaran
yang lebih positif.
2.3
KONSEP DIRI
2.3.1 Definisi Konsep Diri
Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni dan Hudiniah, 2003) konsep diri
adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri, sifat) yang
dimilikinya. Sementara Calhoun & Cocella (1990) mengatakan bahwa
konsep diri adalah pandangan, pengharapan, dan penilaian tentang diri
sendiri.
Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar
gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsifungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal
yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapak dirinya, seberapa baik
mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi-fungsi yang yang
mereka buat untuk orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep
diri dalam Kamus psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini
benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono, 1990).
Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri adalah diri sebagai
sesuatu yang dilihat, dipahami, dan dialami oleh individu. Inilah yang
diterima dan ditangkap diri atau konsep diri dari seorang individu. Fitts
meninjau konsep diri secara fenomenologis. Fitts mengatakan bahwa konsep
diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri
seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Fitts juga mengemukakan bahwa konsep
diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Oleh
karena itu, dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akan lebih
memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya.
Fitts (1971) mengungkapkan bahwa konsep diri mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap perilaku seseorang. Dengan mengetahui konsep
diri seseorang akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami
perilakunya. Jika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap
dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada
dirinya, maka hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan
kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya
sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada dalam
kehidupannya.
Konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang. Dengan
mengetahui konsep diri seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan
memahami perilaku seseorang. Pada umumnya perilaku individu berkaitan
dengan gagasan tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan pandangan,
asumsi serta kesan siswa tentang karakteristik yang dimilikinya baik secara
fisik maupun psikis, penerimaan, penilaian, penghargaan dan keyakinan
yang terdapat dalam diri siswa yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.
Berdasarkan beberapa definisi yang sudah diutarakan, maka peneliti
menggunakan definisi konsep diri yang dikembangkan oleh William. H. Fitts
untuk penelitian ini.
2.3.2 Teori Konsep Diri
Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan
terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Rogers kemudian
menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai terapis selama bertahuntahun. Teori Rogers mirip dengan pendekatan Freud, namun pada hakikatnya
Rogers berbeda dengan Freud karena Rogers menganggap bahwa manusia
pada dasarnya baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang
kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara
penyakit jiwa, kejahatan, dan persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai
penyimpangan dari kecendrungan alamiah. Rogers terkenal sebagai seorang
tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikologi klinis
dan terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam
pengalaman-pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori - teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan
dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani
masalah-masalah psikisnya asalkan konselor menciptakn kondisi yang dapat
mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers motivasi orang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi
manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanakkanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning,
penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya. Rogers lebiih melihat
pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan
mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang
akan mempengaruhi juga kepribadannya. Namun ia tetap berfokus pada apa
yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat
menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang
akan berbeda-beda tergantung pada pengalaman-pengalaman perseptualnya.
Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima
istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal terebut.
Konsep diri (self concept) menurut Rogers adalah bagian sadar dari
ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana "aku" menurut
pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari
pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan daan disimbolisasikan
sebagai bayangan tentang diri yang menyatakan "apa dan siapa aku
sebenarnya" dan "apa yang sebenarnya harus saya perbuat". jadi, self concept
adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan
dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep
diri ideal. untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau
tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi yaitu:
1. Incongruence
Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan
dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan
batin.
2. Congruence
Congruence berarti situasi dimana pengalaman diri diungkapkan
dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral,
dan sejati.
Menurut Rogers, para orang tua akan mengacu adanya incongruence
ini ketika mereka memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anakanakanya. Orang tua akan menerima anaknya hanya jika anak tersebut
berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan
yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua akan bisa
mengembangkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan
bisa mengembangkan
congruence-nya. Remaja yang orang tuanya
memberikan rasa kasih sayangnya kondisional akan meneruskan kebiasaanya
ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima
di lingkungan.
Dampak dari incongruence adalah Rogers berfikir bahwa manusia
akan merasa gelisah ketikan konsep diri mereka terancam. untuk melindungi
diri mereka dari kegelisahan tersebut, manusia akan mengubah perbuatannya
sehingga mereka mampu berpegang pada konsep diri mereka. Manusia
dengan tingkat incongruence yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah
karena realitas selalu mengancam konsep diri mereka secara terus menerus.
Setiap Manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan,
penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain.
Perkembangan diri berpengaruh oleh cinta yang diterima saat kecil dari
seorang ibu. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi
menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional
positive (tak bersyarat).
a. Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan
mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya (unconditional
positive regard) dimana anak akan dapat mengembangkan potensinya
untuk dapat berfungsi sepenuhnya.
b. Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan
positif bersyarat (conditional positive regard). Dimana ia akan
mencela diri menghindari tingkah laku yang dicela, merasa bersalah
dan tidak berharga.
2.3.3 Aspek-aspek Konsep Diri
Aspek- aspek konsep diri menurut Fitts (1971) adalah sebagai berikut :
1. Konsep Diri Fisik
Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan
penilaian terhadap keadaan dirinya secara fisik.
2. Konsep Diri Pribadi
Konsep diri pribadi berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan
penilaian terhadap keadaan pribadinya.
3. Konsep Diri Sosial
Konsep diri sosial berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan
penilaian terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan
lingkungan skitarnya.
4. Konsep Diri Moral Etik
Konsep diri moral etik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan
penilaian terhadap dirinya sendiri yang dilihat dari standar
perimbangan nilai-moral dan etika.
5. Konsep diri keluarga berarti perasaan dan harga diri seorang
individu terhadap kedudukannya sebagai anggota keluarga.
6. Konsep Diri Akademik
Konsep diri akademik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan
penilaian terhadap dirinya berdasarkan akademik
Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri
meliputi:
a. Aspek fisik yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan
sebagainya.
b. Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh
individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap performannya.
c. Aspek moral meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberi
arti dan ara bagi kehidupan individu.
d. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu
terhadap dirinya sendiri.
Untuk mengukur konsep diri dalam penelitian ini, penulis menggunakan
6 (enam) aspek konsep diri menurut Fitts.
2.3.4 Peran Konsep Diri
Sebagai inti kepribadian, konsep diri akan menentukan keberhasilan
seseorang
dalam
menghadapi
permasalahan
yang
timbul
dalam
kehidupannya. Konsep diri merupakan frame of reference (Fitts, 1971).
1. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam mempertahankan
keselarasan batin. Pada dasarnya setiap individu selalu berusaha
untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila timbul
perasaan atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan,
maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan
sehingga ia akan mengubah perilakunya.
2. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya (Lynch
dalam Partosuwido, dkk, 1979).
3. Konsep diri menentukan pengharapan individu
4. Untuk dapat memahami kepribadian, seorang individu tidak perlu
untuk mengetahui secara tepat perincian gambaran dirinya, karena
pasti akan sangat bervariasi. Akan lebih penting dan bermanfaat jika
lebih
memfokuskan pada "emotional tone" dari gambaran diri
seorang individu tersebut (Fitts, 1971).
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat pentingnya peran konsep diri
dalam kehidupan sebagai individu yang berinteraksi dengan orang lain.
Konsep diri menjadi penting, karena dengan konsep diri individu akan
mampu menentukan perilakunya, mempertahankan keselarasan batin,
memengaruhi cara seseorang menginterpretasikan pengalamannya serta
memengaruhi harapan seseorang terhadap dirinya.
2.4
Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Wringhtan & Deaux dalam Sears dkk (1994), konsep
diri berkolerasi positif dengan perilaku agresif. Frustrasi-agresi menjelaskan
keadaan frustrasi akan menimbulkan agresi. Frustrasi adalah situasi individu
terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkan.
Pengalaman perilaku tindak agresi dan taraf halangan yang berlebihan yang
tidak diharapkan akan menimbulkan perilaku agresi.
Hasil penelitian Stuart dan Sundeen (1998), menunjukkan bahwa
konsep
diri
berkolerasi
positif
dengan
perilaku
kemungkinan hubungan positif konsep diri yang tidak
agresif.
Analisis
realistis dengan
kenakalan remaja sesuai dengan respon konsep diri dalam kontinum respon
adaptif sampai respon maladaptif dari Stuart dan Sundeen (1998) dihasilkan
oleh konsep diri bisa saja salah. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan atau
ketidaksesuaian dalam mempersepsi segala kelebihan dan kelemahan dari
keadaan yang sesungguhnya dimiliki. Individu menilai potensi diri yang
dimiliki terlalu tinggi atau terlalu rendah dari keadaan yang sesungguhnya.
Akibatnya konsep diri yang terbentuk dapat negatif atau terlalu positif.
Konsekuensi selanjutnya adalah muncul rasa mampu yang tidak realistis,
sehingga standar atau patokan keberhasilan (prestasi) menjadi tidak realistis
pula (White dalam Purwanti, 1996).
Konsep diri juga berkolerasi negatif dengan perilaku agresif (Prasetya,
2008). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsep diri siswa kelas X
SMK Al Huda Kota Kediri tergolong sedang, yaitu sekitar 62 siswa dari 100
siswa. Sedangkan pada perilaku agresi siswa kelas X SMK Al Huda Kota
Kediri tergolong sedang yang cenderung mengarah cukup tinggi, yaitu
sekitar 69 siswa dari 100 siswa. Hipotesis dalam penelitian ini diterima, yaitu
ada korelasi negatif antara konsep diri (sebagai variabel bebas) dan perilaku
agresi (sebagai variabel terikat) pada siswa kelas X SMK Al Huda. Adanya
korelasi negatif antara kedua variabel yang menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara kedua variabel. Hal ini bahwa semakin tinggi
konsep diri pada siswa kelas X SMK Al Huda maka semakin rendah perilaku
agresinya, dan begitu juga sebaliknya semakin rendah konsep diri pada siswa
kelas X SMK Al Huda maka semakin tinggi perilaku agresi.
Sedangkan Pola asuh otoriter orang tua berkorelasi positif dengan
perilaku agresif anak (Ahmed & Braithwaite, 2004; Baumrind dalam
Georgiou, 2008; Miller, dkk, dalam Georgiou, 2008; Penner dan Eron (dalam
Martani dan Adiyanti, 1992). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa pola asuh orangtua yang otoriter memiliki prediksi untuk
kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku pembulian (Ahmed &
Braithwaite, 2004; Baumrind, dalam Georgiou, 2008). Dalam sebuah studi,
ditemukan bahwa pola asuh orang tua yang permisif memprediksi anak
cenderung menjadi korban pembulian. Sementara itu, pola asuh orang tua
yang otoriter memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian
(Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann, dkk., dalam Georgiou, 2008).
Namun, dalam studi yang lain, ditemukan bahwa pola asuh yang
permisif cenderung membuat anak yang kesulitan dalam membatasi perilaku
agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku
pembulian (Miller, dkk., dalam Georgiou, 2008).
Studilain (Bowers, dkk., dalam Georgiou, 2008) melaporkan bahwa
korban pembulian cenderung menerima pola asuh orangtua yang terlalu
protektif atau otoriter. Brar (2003) juga mencatat bahwa pola asuh otoriter
memiliki signifikan korelasi dengan eksternalisasi masalah perilaku. Selain
itu, Odubote (2008 ) melaporkan bahwa gaya pengasuhan otoriter sangat
berkorelasi dengan perilaku kenakalan dan gaya pengasuhan otoritatif
memiliki kaitkan dengan hasil positif. Palmer (2009) juga menemukan
bahwa orangtua otoritatif berkorelasi positif dengan penyesuaian anak, dan
orangtua yang otoriter berkorelasi negatif dengan penyesuaian anak. Dalam
penelitian lain yang dilakukan oleh McCartney, dan Taylor (2006),
hubungan yang signifikan ditemukan antara gaya pengasuhan dan depresi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua otoriter
memiliki lebih depresi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terlibat.
1.5
Dinamika Hubungan Antar Variabel
Sikap orang tua yang otoriter salah satunya adalah memaksakan
keyakinan yang ia miliki kepada diri anak. Jika hal ini terus menerus terjadi
maka anak akan merasa pendapatnya tidak didengar dan anak merasa bahwa
ia adalah anak yang bodoh karena tiap pendapat yang dikemukakan selalu
dikritik dan anak akhirnya memiliki konsep diri bahwa ia adalah anak yang
tidak pandai. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka anak akan merasa
sangat tidak berguna. Sikap orang tua yang otoriter sangat berpengaruh
buruk pada anak, terutama pada perilaku anak sendiri, dimana anak akan
cenderung berperilaku agresif. Bila remaja terbiasa di lingkungan rumah
yang mendapatkan pola asuh otoriter, maka anak sendiri akan menjadi anak
yang pembangkang, mudah putus asa, dan bertindak keras terhadap anak
yang lain. Stewart dan Koch (1983), orang tua yang menerapkan pola asuh
otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang
ada kasih sayang serta simpatik.Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh
pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai
dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak.
Barnadib (1986) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter tidak
memberikan
hak
anaknya
untuk
mengemukakan
pendapat
serta
mengutarakan perasaan-perasaannya, sehingga pola asuh otoriter berpeluang
untuk memunculkan perilaku agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter
dengan keagresifan remaja itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Baumrind bahwa keluarga yang suka melakukan hukuman terutama
hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan untuk
sementara ditekan karena norma sosial, namun suatu saat akan meluapkan
amarahnya sebagai perilaku yang agresif. Tentang hubungan pola asuh
otoriter dengan agresifitas pada anak laki-laki dan perempuan menunjukkan
adanya perbedaan. Tingkah laku agresif pada anak laki- laki tetap stabil pada
setiap masa perkembangannya, tetapi untuk anak perempuan tingkah laku
agresif ini akan semakin berkurang. Berkurangnya perilaku agresif pada anak
perempuan ini barangkali karena norma yang ada dalam masyarakat mencela
perbuatan agresif bagi anak perempuan. Di samping norma seperti
diutarakan di atas, dapat juga karena faktor budaya. Perempuan lebih sering
menampilkan perilaku yang lembut, sehingga perilaku agresif nampaknya
bukan milik perempuan. Laki-laki dianggap biasa untuk bertindak agresif
dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan secara psikologis lebih
dapat menahan emosi; artinya semakin ditekan orang tua akan semakin
menurut atau hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar (Barnadib
1986).
Dari kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter
sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang ada pada remaja dan biasanya
bersifat agresi.
2.6
Model Penelitian
Model penelitian yang dikembangkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Pola asuh otoriter
(X1)
Perilaku agresif
(Y)
Konsep diri
(X2)
1.7
Hipotesis penelitian
Berdasarkan dukungan penelitian ini maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh secara simultan antara pola asuh otoriter orang
tua dan konsep diri terhadap perilaku agresif siswa di SMA N 4
Ambon.
2. Terdapat perbedaan perilaku agresif antara siswa laki-laki dan
perempuan di SMA N 4 Ambon.
Download