BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku agresif cenderung ingin menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Ada aspek-aspek serta faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi perilaku agresif seseorang khususnya di kalangan siswa. Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai perilaku agresif serta bagaimana hubungan perilaku agresif dengan pola asuh otoriter orang tua dan konsep diri. 2.1 PERILAKU AGRESIF 2.1.1 Definisi Perilaku Agresif Kata agresi berasal dari kata latin agredi yang berarti menyerang. Kata ini menyiratkan bahwa individu siap untuk memaksakan kehendak atas individu yang lain, walaupun ini berarti bahwa kerusakan fisik atas psikologis mungkin ditimbulkan sebagai akibatnya (Pearce, 1989). Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata agresi diartikan sebagai suatu perilaku menyerang kepada sesuatu hal yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat (Tim penyusun kamus, 1996). Myers (1989) mengemukakan bahwa agresif sebagai suatu perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk melukai atau menghancurkan. Baron dan Aronson (dalam Koeswara, 1989) mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau tanpa tujuan tertentu. Breakwell (1998) mendefinisikan agresi sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang lain secara fisik maupun psikologis dimana si korban tidak mengharapkannya. Buss dan Perry (1992) memberikan definisi perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun non fisik. Pernyataan yang hampir sama juga dikemukakan oleh Barbara Krahe (2005) yang menyatakan bahwa agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat yang merugikan/menyakiti, niat dan harapan untuk merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu. Tokoh lain yang juga memberikan definisi agresi yaitu Berkowitz (dalam Krahe, 2005) yang mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial. Perilaku agresif merupakan salah satu tindakan yang merupakan antisosial. Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan perilaku agresif sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau obyek-obyek. Perilaku agresif merupakan salah satu perilaku yang perlu dimodifikasi untuk dapat beradaptasi dengan dunia luar sekolah. Dimana perilaku agresif ini mengganggu individu yang ada di sekitarnya, juga akan berdampak terhadap dirinya sendiri. Bahaya perilaku agresif terhadap pelaku adalah orang lain akan menjauhi pelaku yang hanya akan menyakiti orang lain. Perilaku tersebut tentu saja juga berdampak negatif terhadap penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan beberapa definisi yang sudah diutarakan, maka peneliti menggunakan definisi agresi yang dikembangkan oleh Buss & Perry untuk penelitian ini. 2.1.2 Teori Perilaku Agresif Teori perilaku agresif mempunyai beberapa pendekatan yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Namun ada dua pendekatan utama yaitu, pendekatan biologis dan pendekatan belajar (koeswara, 1988). Pendekatan biologis merupakan pendekatan yang memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan beberapa tokoh yang memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, meliputi psikologi, biologi, dan antropologi. Tokoh yang mewakili kelompok pendekatan biologis diantaranya adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz, dan Robert Ardrey (dalam Koeswara, 1988). Inti dari pendekatan biologis adalah mengansumsikan bahwa perilaku individu, termasuk perilaku agresif, bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis. Dalam pendekatan biologis, konsep naluri merupakan faktor bawaan yang menjadi sumber agresi. Pendekatan lain yang bertentangan dengan pendekatan biologis adalah pendekatan belajar. Tokoh utama dalam pendekatan belajar adalah Ivan Pavlov kemudian dilanjutkan oleh tokoh behaviorisme lainnya seperti Edward Thorndike, Edward Tolman, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, dan B.F. Skinner. Dalam pendekatan belajar menentukan bahwa perilaku agresif dihasilkan melalui proses belajar, baik dengan pengondisian instrumental, yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru yaitu belajar melalui pengamatan terhadap model (Krahe, 2005). Di samping para teoris behavioris terdapat para teoris yang juga meyakini agresi sebagai hasil belajar, yang berlangsung dalam lingkup lebih luas melibatkan faktor sosial atau situasional (pendekatan belajar sosial). Teori pendekatan belajar sosial adalah Albert Bandura, Ricard Walters, Robert Baron, dan Leonard Eron (dalam Koeswara, 1988). Teori perilaku agresif menggunakan teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner, karena instrumen yang dipakai dalam mengukur perilaku agresif adalah kuesioner agresi (aggression questionnire) yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) mengacu pad teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner. Dalam teori pendekatan behavioral, belajar merupakan proses perubahan perilaku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan individu mempunyai pengalaman baru. Individu dapat dikatakan belajar jika dapat menunjukan adanya perubahan dalam perilakunya. Thorndike (dalam Koeswara, 1988) mengembangkan teori belajar koneksionisme. Dalam teori belajar koneksionisme, belajar merupakan proses pembentukan koneksi (hubungan) antara stimulus dan respon. Stimulus apa saja yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalu alat indera. Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan individu ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau gerakan /tindakan. Agar tercipta hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang dapat serta melalui percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Thorndike (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok belajar : 1. Law of readiness (hukum kesiapan) Konsekuensi dari law of readiness adalah: a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila melakukannya akan memuaskan. b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila tidak melakukannya akan menjengkelkan. c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan tetapi dipaksa melakukan maka melakukannya akan menjengkelkan. 2. Law of exercise (hukum latihan) Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu: a. Law of use (hukum penggunaan), yaitu semakin asing suatu koneksi (hubungan) stimulus dan respon dipraktekkan maka koneksi itu makin erat atau dengan kata lain koneksi antara stimulus dan respons akan mengaut saat keduanya dipakai. b. Law of disuse (hukum ketidakgunaan), yaitu bila koneksi (hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah lagi dipraktekkan, maka koneksi itu akan melemah dan akhirnya menghilang. 3. Law of effect (hukum akibat) Law of effect (hukum akibat) adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respon. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang memuaskan (satisfying state of affairs), kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat. Jika respons diikut dengan keadaan yang tidak memuaskan (annoying state of affairs), maka kekuatan koneksi itu menjadi menurun. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu cenderung akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan atau memuskan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan atau tidak memuaskan bagi dirinya. Penerapan teori belajar koneksionisme Thorndike dalam menjelaskan pengertian perilaku agresif yaitu bahwa perilaku agresif diperoleh dari hasil belajar dari proses pembentukan koneksi / hubungan antara stimulus dan respon. Dari hukum kesiapan (law of readness), hukum latihan (law of exarcise) dan hukum akibat (law of effect) dari teori belajar koneksionisme Thorndike untuk menjelaskan pembentukan perilaku agresif dapat disimpulkan bahwa : 1. Ketika individu telah siap untuk melakukan tindakan agresif, maka tindakan agresif akan memuaskan. Ketika individu siap untuk melakukan tindakan agresif, maka tidak melakukan tindakan agresif akan menjengkelkan. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan agresif maka akan menjengkelkan. 2. Semakin sering individu berperilaku agresif, maka perilaku agresif pada individu akan semakin kuat dan sebaliknya apabila individu jarang atau tidak pernah lagi mempraktikkan perilaku agresif maka perilaku agresif pada individu akan melemah dan akhirnya hilang. 3. Perilaku agresif terbentuk dan diulang oleh individu karena dengan perilaku agresif itu individu memperoleh efek atau hasil yang menyenangkan. Apabila dengan perilaku agresif itu individu memperoleh efek atau hasil yang tidak menyenagkan, maka perilaku agresif itu tidak akan diulang (Koeswara, 1988). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) mengembangkan teori belajar operant conditioning atau pengkondisian operan. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku (reinforcement) baik penguatan positif atau penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan (Prasetyan, 2007). Menurut Skinner setiap suatu tindakan yang telah diperbuat ada konsekuensinya, dan konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) operant conditioning terdiri dari dua konsep utama, yaitu : 1. Penguatan (reinforcemnt) Penguatan (reinforcemnt) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian: a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah, perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (juara 1 dsb). b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan atau tidak menyenangkan. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa). 2. Hukuman (punishment) Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan suatu respon atau perilku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan, atau memberi sesuatu yang tidak diinginkannya. Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya: a. Law of operant conditioning yaitu timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. b. Law of operant extinction yaitu timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Penerapan teori belajar operant conditioning Skinner mejelaskan pengertian perilaku agresif. Hal ini berarti perilaku agresif terbentuk karena diikuti oleh penguatan positif dan perilaku tersebut akan diulang oleh individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya individu yang melakukan perilaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif, maka perilaku agresif tersebut akan berkurang dan semakin lama akan terhapus. Berdasarkan teori behavioral Thorndike dan Skinner, Buss dan Perry mendefinisikan perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992). Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku menjadi agresi ketika individu menyalurkan stimulus yang berbahaya kepada orang lain. Kecenderungan perilaku agresif merupakan hasrat atau keinginan yang selalu timbul berulang-ulang untuk menyakiti, merusak dan memengaruhi individu lain baik secara fisik maupun psikologis. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya. Menurut Buss & Perry (1992) perilaku agresif dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan punishment. Perilaku agresif akan terbentuk dan diulangi oleh individu karena dengan melakukan perilaku agresif individu memperoleh efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang perilaku agresif apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Koeswara, 1988). Berdasarkan teori-teori yang telah diutarakan, menggunakan defenisi Buss dan Perry dalam penelitian ini. maka peneliti 2.1.3 Aspek-aspek Perilaku Agresif Buss dan Perry (1992) membagi empat aspek perilaku agresif, yaitu: a. Agresi fisik merupakan tindakan agresi yang menyakiti individu lain secara fisik seperti memukul, menendang, merugikan orang lain secara fisik dan lain-lain. b. Agresi verbal, yaitu respon vokal yang menyampaikan stimulus yang menyakkiti mental dalam bentuk penolakan dan ancaman seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak dan berdebat. c. Kemarahan, yakni emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Kemarahan merupakan pendahuluan untuk agresi. Orang cenderung untuk agresi saat marah daripada ketika tidak marah. d. Permusuhan adalah sikap negatif terhadap orang lain yang muncul karena munculnya perasaan tertentu seperti cemburu dan dengki. Permusuhan mengekspresikan kebencian ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain. Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) menyimpulkan bahwa aspekaspek perilaku agresif adalah: a. Agresi fisik Yaitu tingkah laku kekerasan secara fisik, seperti mencubit, memukul, menendang, mendorong, menyerang dengan senjata dan sebagainya. b. Agresi verbal Yaitu tingkah laku kekerasan secara verbal, seperti menghina, mengumpat, memaki, memfitnak, mengancam, dan sebagainya. Untuk mengukur perilaku agresif dalam penelitian ini, penulis menggunakan 4 (empat) aspek perilaku agresif menurut Buss dan Perry, yaitu agresi fisik, agresi verbal, amarah dan permusuhan. 2.1.4 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Agresif Menurut Santrock (2003), faktor-faktor yang memengaruhi perilaku agresif adalah sebagai berikut: a. Identitas remaja Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan kepada mereka, kemungkinan besar mereka terlibat dalam tindakan agresif karena tindakan agresif tersebut merupakan suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif. b. Kontrol diri rendah Beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. c. Usia Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku delinkuensi yang lebih serius nantinya di masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuensi. d. Jenis kelamin (laki-laki) Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al., 2000), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak. Namun, demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan. e. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah. f. Kehidupan dalam keluarga Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika berada di luar rumah. g. Pengaruh teman sebaya Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan. h. Status ekonomi sosial Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah. i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal Tempat dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa dunia di sekitar maupun didalam diri anak sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif anak sendiri. Salah satu faktor yang paling memengaruhi terbentuknya perilaku agresif yaitu faktor keluarga. Hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku di luar rumah. Keluarga merupakan pembentuk perilaku dan kepribadian anak. Keluarga yang kurang kasih sayang, dukungan dan perselisihan dalam keluarga dapat memicu timbulnya perilaku agresif, karena apa yang terjadi pada anak didalam keluarga sangat berpengaruh pada diri anak tersebut. Jika pola asuh yang diterapkan orangtua adalah demokrasi maka anak akan memiliki konsep diri yang positif dengan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, mandiri. Namun jika orang tua menerapkan pola asuh otoriter maka anak akan menjadi penakut, pendiam, tertutup sehingga memiliki konsep diri yang negatif. Begitu juga dengan pola asuh yang permisif membuat anak memiliki konsep diri yang negatif karena anak akan menunjukkan sikap yang agresif, manja, tidak patuh, kurang mandiri dan kurang percaya diri. Perilaku agresif sangat mudah terbentuk dan menetap pada anak yang mengalami kekerasan didalam keluarganya. 2.2 POLA ASUH OTORITER 2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orang tua Secara epistimologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, atau dalam bahasa populernya adalah cara mendidik. Secara terminologi pola asuh orang tua adalah cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab kepada anak. Menurut Gunarsa Singgih dalam bukunya Psikologi Remaja, Pola asuh orang tua adalah sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Menurut Kohn yang dikutip Chabib Thoha bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberi peraturan pada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian dan tanggapan terhadap keinginan anak. Menurut Baumrind (1991) ada tiga macam bentuk pola asuh adalah sebagai berikut: a. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orangtua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri. Anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya. b. Pola asuh otoritatif atau demokrasi Pada pola asuh ini orangtua yang mendorong anak-anaknya agar mandiri namun masih memberikan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal dimungkinkan dengan kehangatan-kehangatan dan kasih sayang yang diperlihatkan. Anak-anak yang hidup dalam keluarga demokratis ini memiliki kepercayaan diri, harga diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang terpuji c. Pola asuh permisif Orangtua permisif berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin tapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Orangtua permisif tidak begitu menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesusai dengan kecenderungan alamiahnya. Cara mendidik secara langsung artinya bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan ketrampilan yang dilakukan secara sengaja, baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Sedangkan mendidik secara tidak langsung adalah merupakan contoh kehidupan sehari-hari mulai dari tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan orang tua, keluarga, masyarakat dan hubungan suami istri. Setiap orang tua mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pola asuh orang tua yang sebatas menjadi ibu rumah tangga akan lebih maksimal untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya di rumah. Beda dengan pola asuh ibu yang mempunyai peran ganda, selain menjadi ibu rumah tangga ia juga disibukkan dengan mencari kebutuhan ekonomi untuk mengais rezeki dan waktu untuk keluargapun berkurang dengan kesibukan yang ada di luar rumah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan perkembangan anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku. Dalam penelitian ini pola asuh yang menjadi fokus penulis adalah pola asuh otoriter. 2.2.2 Definisi Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) menurut Baumrind (1991) adalah pola asuh yang gagasan pengasuhan yang membatasi dan bersikap menghukum dan mendikte remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha orang tuanya. Orang tua otoriter menggunakan ketegasan fisik seperti hukuman fisik dan mencabut hak anak. Menurut Berkowitz (1995) orang tua otoriter cenderung memaksa anaknya mengikuti aturan mereka secara kaku, tetapi mereka tidak menjelaskan aturan itu secara jelas. Mereka keras dan suka menghukum dalam menerapkan disiplin, dan mereka mudah marah jika anak-anak menentangnya. Pola asuh otoriter ditandai dengan cara pengasuhan yang menuntut kepatuhan yang tinggi pada anak. Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh otoriter merupakan sikap orang tua yang keras, biasanya memberikan batasan yang jelas antara tingkah laku yang diperbolehkan dengan tingkah laku yang dilarang. Namun dalam mempertahankannya mereka sering mengabaikan kehangatan dan moral memberikan dukungan serta semangat diperlukan oleh seorang anak. Pola asuh “otoriter” adalah suatu sikap mau menang sendiri, main bentak, main pukul, anak serba salah, orang tua serba benar. Dengan kata lain orang tua menerapkan pola asuh otoriter membatasi anak, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal) mendesak anak untuk bertanya mengapa ia harus melakukan hal-hal tersebut meskipun sesungguhnya tidak ingin melakukan sesuatu kegiatan yang diperintah oleh orang tuanya, ia harus tetap melakukan kegiatan tersebut di sisi lain ia tidak ingin melakukannya. Di sisi lain orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu kegiatan meskipun kegiatan tersebut mungkin sangat disenangi atau diinginkan oleh sang anak, maka anak harus tetap rela untuk tidak melakukannya. Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Mudah tersinggung b. Penakut c. Pemurung tidak bahagia d. Mudah terpengaruh dan mudah stres e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas f. Tidak bersahabat g. Gagap, serta rendah diri Balsom (dalam Arifin) mengatakan orangtua ingin mengubah perilaku remaja dengan memaksakan keyakinan, tata nilai, perilaku dan standar perilaku pada remaja. Jadi dapat dikatakan bahwa pada pola asuh otoriter, orang tua cenderung memperlakukan anaknya dengan kaku dan ketat dengan tujuan sebagai pengontrol tingkah laku anak-anaknya, aturan serta batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, begitupun dalam berperilaku sehari-hari orangtua juga memaksa anak untuk patuh, tunduk terhadap apa yang diperintahkan atau apa yang dikatakan oleh orang tua. Anak tidak mempunyai pilihan lain sesuai dengan kemauanya atau pendapatnya sendiri dalam hal ini orang tua tidak mempertimbangkan dan mendengarkan pendapat anak, sehingga orang tua tetap mengambil dan menentukan keputusan, tidak berkomunikasi timbal balik dan hukuman yang diberikan tanpa alasan dan anak jarang untuk diberikan hadiah. Dari apa yang diuraikan di atas dapat penulis simpulkan bahwa dengan cara otoriter ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam anak menjadikan anak patuh di hadapan orang tua, tetapi di belakangnya ia memperlihatkan reaksi-reaksi, misalnya menentang atau melawan, bisa ditampilkan dalam bentuk tingkah laku yang melanggar norma-norma dan menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya, lingkungan rumah, sekolah maupun pergaulannya. 2.2.3 Aspek-aspek Pola Asuh Otoriter Menurut Baumrind (1991), ada tiga aspek-aspek pola asuh otoriter, yaitu: a. Aspek batasan perilaku (behavioral guidelines) Pada aspek ini, orangtua sangat kaku dan memaksa. Anak – anak sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka tidak mempunyai ruang untuk berdiskusi atau meminta keterangan. Cara yang digunakan untuk memaksakan petunjuk – petunjuk perilaku tersebut melalui cara – cara diktator, seringkali memakai hukuman yang berlebihan atau keras dan di luar kemampuan si anak untuk menjalankan hukuman tersebut. Keseluruhan tujuan dari gaya ini adalah untuk melakukan kontrol anak dan bukannya mengajari anak atau membantu anak untuk mengembangkan otonominya. b. Aspek kualitas hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of parent-child relationship) Gaya pengasuhan ini mempersulit perkembangan kedekatan antara orangtua dan anak. Kedekatan yang sebenarnya didasari oleh saling menghormati dan satu keyakinan pada diri orangtua bahwa anak mempunyai kapasitas untuk belajar mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui petunjuk – petunjuk perilaku dan kapasitas kognitif yang mereka miliki. Gaya pengasuhan ini tidak mengakui proses individuasi pada anak dan pertumbuhan otonomi pada diri anak. Kedekatan yang dapat berkembang dengan gaya pengasuhan seperti ini adalah kedekatan semu karena kedekatan tersebut muncul dari rasa takut anak untuk tidak menyenangkan orangtua dari pada keinginan untuk tumbuh dan berkembang. c. Aspek perilaku mendukung (behavioral encouraged) Pada aspek ini perilaku orangtua ditunjukkan dengan mengontrol anaknya daripada mendukung anaknya agar mereka mampu berfikir memecahkan masalah. Orangtua sering melarang anaknya dan berperilaku negatif dan memberi hukuman. Jadi orangtua lebih memberi perintah daripada menjelaskan untuk melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah. 2.2.4 Peran Pola Asuh Otoriter Ada beberapa peran pola asuh otoriter orang tua yang diutarakan oleh Edwards (2006): 1. Memberi contoh. Cara utama untuk mengajari remaja adalah melalui contoh . Remaja sering kali mudah menyerap apa yang kita lakukan dibanding dengan apa yang kita katakana. Jika kita mengatakan untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain, tetapi kita masih berbicara kasar kepada mereka, kita telah menyangkal diri kita sendiri. Perbuatan lebih berpengaruh dibandingkan dengan kata-kata. 2. Respon positif. Cara kedua untuk mengajari remaja adalah melalui respon positif mengenai sikap mereka. Jika kita mengatakan kepada remaja betapa orang tua menghargai mereka karena telah mengikuti nasehat orang tua, mereka akan mengulangi sikap tersebut. 3. Tidak ada respons. Orang tua juga mengajari remaja dengan cara mengabaikan sikap. Sikap-sikap yang tidak direspon pada akhirnya cenderung tidak diulangi. Dengan kata lain, mengabaikan perilaku tertentu bisa jadi mengulani perilaku tersebut, khususnya jika perilaku-perilaku tersebut bersifat mengganggu. 4. Hukuman. Menggunakan hukuman yang relative ringan secara konsisten, seperti menghilangkan hak istimewa atau melarang kegiatan yang sedang dilakukan, bisa jadi cukup efektif dalam menghadapi sikap yang sulit dikendalikan. Namun bahkan hukuman ringan tidak boleh mengalahkan penggunaan pendekatan pengajaran yang lebih positif. 2.3 KONSEP DIRI 2.3.1 Definisi Konsep Diri Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni dan Hudiniah, 2003) konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri, sifat) yang dimilikinya. Sementara Calhoun & Cocella (1990) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan, pengharapan, dan penilaian tentang diri sendiri. Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsifungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapak dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi-fungsi yang yang mereka buat untuk orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep diri dalam Kamus psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono, 1990). Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri adalah diri sebagai sesuatu yang dilihat, dipahami, dan dialami oleh individu. Inilah yang diterima dan ditangkap diri atau konsep diri dari seorang individu. Fitts meninjau konsep diri secara fenomenologis. Fitts mengatakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya. Fitts juga mengemukakan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Oleh karena itu, dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Fitts (1971) mengungkapkan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami perilakunya. Jika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, maka hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada dalam kehidupannya. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami perilaku seseorang. Pada umumnya perilaku individu berkaitan dengan gagasan tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan pandangan, asumsi serta kesan siswa tentang karakteristik yang dimilikinya baik secara fisik maupun psikis, penerimaan, penilaian, penghargaan dan keyakinan yang terdapat dalam diri siswa yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Berdasarkan beberapa definisi yang sudah diutarakan, maka peneliti menggunakan definisi konsep diri yang dikembangkan oleh William. H. Fitts untuk penelitian ini. 2.3.2 Teori Konsep Diri Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Rogers kemudian menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai terapis selama bertahuntahun. Teori Rogers mirip dengan pendekatan Freud, namun pada hakikatnya Rogers berbeda dengan Freud karena Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan, dan persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari kecendrungan alamiah. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikologi klinis dan terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya. Ide pokok dari teori - teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor menciptakn kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. Menurut Rogers motivasi orang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanakkanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya. Rogers lebiih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu. Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda-beda tergantung pada pengalaman-pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal terebut. Konsep diri (self concept) menurut Rogers adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana "aku" menurut pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan daan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang menyatakan "apa dan siapa aku sebenarnya" dan "apa yang sebenarnya harus saya perbuat". jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi yaitu: 1. Incongruence Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. 2. Congruence Congruence berarti situasi dimana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Menurut Rogers, para orang tua akan mengacu adanya incongruence ini ketika mereka memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anakanakanya. Orang tua akan menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua akan bisa mengembangkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa mengembangkan congruence-nya. Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih sayangnya kondisional akan meneruskan kebiasaanya ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan. Dampak dari incongruence adalah Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah ketikan konsep diri mereka terancam. untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan tersebut, manusia akan mengubah perbuatannya sehingga mereka mampu berpegang pada konsep diri mereka. Manusia dengan tingkat incongruence yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam konsep diri mereka secara terus menerus. Setiap Manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Perkembangan diri berpengaruh oleh cinta yang diterima saat kecil dari seorang ibu. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive (tak bersyarat). a. Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya (unconditional positive regard) dimana anak akan dapat mengembangkan potensinya untuk dapat berfungsi sepenuhnya. b. Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan positif bersyarat (conditional positive regard). Dimana ia akan mencela diri menghindari tingkah laku yang dicela, merasa bersalah dan tidak berharga. 2.3.3 Aspek-aspek Konsep Diri Aspek- aspek konsep diri menurut Fitts (1971) adalah sebagai berikut : 1. Konsep Diri Fisik Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap keadaan dirinya secara fisik. 2. Konsep Diri Pribadi Konsep diri pribadi berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap keadaan pribadinya. 3. Konsep Diri Sosial Konsep diri sosial berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan skitarnya. 4. Konsep Diri Moral Etik Konsep diri moral etik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap dirinya sendiri yang dilihat dari standar perimbangan nilai-moral dan etika. 5. Konsep diri keluarga berarti perasaan dan harga diri seorang individu terhadap kedudukannya sebagai anggota keluarga. 6. Konsep Diri Akademik Konsep diri akademik berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap dirinya berdasarkan akademik Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi: a. Aspek fisik yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya. b. Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap performannya. c. Aspek moral meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberi arti dan ara bagi kehidupan individu. d. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri. Untuk mengukur konsep diri dalam penelitian ini, penulis menggunakan 6 (enam) aspek konsep diri menurut Fitts. 2.3.4 Peran Konsep Diri Sebagai inti kepribadian, konsep diri akan menentukan keberhasilan seseorang dalam menghadapi permasalahan yang timbul dalam kehidupannya. Konsep diri merupakan frame of reference (Fitts, 1971). 1. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam mempertahankan keselarasan batin. Pada dasarnya setiap individu selalu berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Apabila timbul perasaan atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan sehingga ia akan mengubah perilakunya. 2. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya (Lynch dalam Partosuwido, dkk, 1979). 3. Konsep diri menentukan pengharapan individu 4. Untuk dapat memahami kepribadian, seorang individu tidak perlu untuk mengetahui secara tepat perincian gambaran dirinya, karena pasti akan sangat bervariasi. Akan lebih penting dan bermanfaat jika lebih memfokuskan pada "emotional tone" dari gambaran diri seorang individu tersebut (Fitts, 1971). Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat pentingnya peran konsep diri dalam kehidupan sebagai individu yang berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri menjadi penting, karena dengan konsep diri individu akan mampu menentukan perilakunya, mempertahankan keselarasan batin, memengaruhi cara seseorang menginterpretasikan pengalamannya serta memengaruhi harapan seseorang terhadap dirinya. 2.4 Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya Hasil penelitian Wringhtan & Deaux dalam Sears dkk (1994), konsep diri berkolerasi positif dengan perilaku agresif. Frustrasi-agresi menjelaskan keadaan frustrasi akan menimbulkan agresi. Frustrasi adalah situasi individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Pengalaman perilaku tindak agresi dan taraf halangan yang berlebihan yang tidak diharapkan akan menimbulkan perilaku agresi. Hasil penelitian Stuart dan Sundeen (1998), menunjukkan bahwa konsep diri berkolerasi positif dengan perilaku kemungkinan hubungan positif konsep diri yang tidak agresif. Analisis realistis dengan kenakalan remaja sesuai dengan respon konsep diri dalam kontinum respon adaptif sampai respon maladaptif dari Stuart dan Sundeen (1998) dihasilkan oleh konsep diri bisa saja salah. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan atau ketidaksesuaian dalam mempersepsi segala kelebihan dan kelemahan dari keadaan yang sesungguhnya dimiliki. Individu menilai potensi diri yang dimiliki terlalu tinggi atau terlalu rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Akibatnya konsep diri yang terbentuk dapat negatif atau terlalu positif. Konsekuensi selanjutnya adalah muncul rasa mampu yang tidak realistis, sehingga standar atau patokan keberhasilan (prestasi) menjadi tidak realistis pula (White dalam Purwanti, 1996). Konsep diri juga berkolerasi negatif dengan perilaku agresif (Prasetya, 2008). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsep diri siswa kelas X SMK Al Huda Kota Kediri tergolong sedang, yaitu sekitar 62 siswa dari 100 siswa. Sedangkan pada perilaku agresi siswa kelas X SMK Al Huda Kota Kediri tergolong sedang yang cenderung mengarah cukup tinggi, yaitu sekitar 69 siswa dari 100 siswa. Hipotesis dalam penelitian ini diterima, yaitu ada korelasi negatif antara konsep diri (sebagai variabel bebas) dan perilaku agresi (sebagai variabel terikat) pada siswa kelas X SMK Al Huda. Adanya korelasi negatif antara kedua variabel yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel. Hal ini bahwa semakin tinggi konsep diri pada siswa kelas X SMK Al Huda maka semakin rendah perilaku agresinya, dan begitu juga sebaliknya semakin rendah konsep diri pada siswa kelas X SMK Al Huda maka semakin tinggi perilaku agresi. Sedangkan Pola asuh otoriter orang tua berkorelasi positif dengan perilaku agresif anak (Ahmed & Braithwaite, 2004; Baumrind dalam Georgiou, 2008; Miller, dkk, dalam Georgiou, 2008; Penner dan Eron (dalam Martani dan Adiyanti, 1992). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pola asuh orangtua yang otoriter memiliki prediksi untuk kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004; Baumrind, dalam Georgiou, 2008). Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa pola asuh orang tua yang permisif memprediksi anak cenderung menjadi korban pembulian. Sementara itu, pola asuh orang tua yang otoriter memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann, dkk., dalam Georgiou, 2008). Namun, dalam studi yang lain, ditemukan bahwa pola asuh yang permisif cenderung membuat anak yang kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller, dkk., dalam Georgiou, 2008). Studilain (Bowers, dkk., dalam Georgiou, 2008) melaporkan bahwa korban pembulian cenderung menerima pola asuh orangtua yang terlalu protektif atau otoriter. Brar (2003) juga mencatat bahwa pola asuh otoriter memiliki signifikan korelasi dengan eksternalisasi masalah perilaku. Selain itu, Odubote (2008 ) melaporkan bahwa gaya pengasuhan otoriter sangat berkorelasi dengan perilaku kenakalan dan gaya pengasuhan otoritatif memiliki kaitkan dengan hasil positif. Palmer (2009) juga menemukan bahwa orangtua otoritatif berkorelasi positif dengan penyesuaian anak, dan orangtua yang otoriter berkorelasi negatif dengan penyesuaian anak. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh McCartney, dan Taylor (2006), hubungan yang signifikan ditemukan antara gaya pengasuhan dan depresi. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua otoriter memiliki lebih depresi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terlibat. 1.5 Dinamika Hubungan Antar Variabel Sikap orang tua yang otoriter salah satunya adalah memaksakan keyakinan yang ia miliki kepada diri anak. Jika hal ini terus menerus terjadi maka anak akan merasa pendapatnya tidak didengar dan anak merasa bahwa ia adalah anak yang bodoh karena tiap pendapat yang dikemukakan selalu dikritik dan anak akhirnya memiliki konsep diri bahwa ia adalah anak yang tidak pandai. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka anak akan merasa sangat tidak berguna. Sikap orang tua yang otoriter sangat berpengaruh buruk pada anak, terutama pada perilaku anak sendiri, dimana anak akan cenderung berperilaku agresif. Bila remaja terbiasa di lingkungan rumah yang mendapatkan pola asuh otoriter, maka anak sendiri akan menjadi anak yang pembangkang, mudah putus asa, dan bertindak keras terhadap anak yang lain. Stewart dan Koch (1983), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik.Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Barnadib (1986) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya, sehingga pola asuh otoriter berpeluang untuk memunculkan perilaku agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan keagresifan remaja itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Baumrind bahwa keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan untuk sementara ditekan karena norma sosial, namun suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku yang agresif. Tentang hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas pada anak laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya perbedaan. Tingkah laku agresif pada anak laki- laki tetap stabil pada setiap masa perkembangannya, tetapi untuk anak perempuan tingkah laku agresif ini akan semakin berkurang. Berkurangnya perilaku agresif pada anak perempuan ini barangkali karena norma yang ada dalam masyarakat mencela perbuatan agresif bagi anak perempuan. Di samping norma seperti diutarakan di atas, dapat juga karena faktor budaya. Perempuan lebih sering menampilkan perilaku yang lembut, sehingga perilaku agresif nampaknya bukan milik perempuan. Laki-laki dianggap biasa untuk bertindak agresif dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan secara psikologis lebih dapat menahan emosi; artinya semakin ditekan orang tua akan semakin menurut atau hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar (Barnadib 1986). Dari kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang ada pada remaja dan biasanya bersifat agresi. 2.6 Model Penelitian Model penelitian yang dikembangkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Pola asuh otoriter (X1) Perilaku agresif (Y) Konsep diri (X2) 1.7 Hipotesis penelitian Berdasarkan dukungan penelitian ini maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh secara simultan antara pola asuh otoriter orang tua dan konsep diri terhadap perilaku agresif siswa di SMA N 4 Ambon. 2. Terdapat perbedaan perilaku agresif antara siswa laki-laki dan perempuan di SMA N 4 Ambon.