Penilaian dampak kenaikan muka air laut terhadap

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kenaikan muka air laut merupakan salah
satu isu global yang sedang mengemuka saat ini.
Banyak penelitian yang dilakukan mengenai
kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut
dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu mencairnya
es di kutub, kejadian iklim ekstrim dan turunnya
permukaan tanah akibat adanya kompaksi lahan.
Pengukuran terhadap kenaikan muka air laut
telah dilakukan sejak lama. Pada awalnya
pengukuran dilakukan dengan memanfaatkan
pasang surut air laut. Saat ini pengukuran
dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya adalah dengan menggunakan satelit
altimetri. Perubahan tinggi muka air laut dicatat
secara berkala dan kemudian disajikan dalam
bentuk citra.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang
sangat potensial untuk perkembngan ekonomi,
namun sangat rentan terhadap kenaikan muka
air laut. Banyak industri besar yang didirikan di
wilayah pesisir karena kemudahan akses
transportasi. Industri-industri inlah yang
kemudian mendorong tumbuhnya perekonomian
di wilayah tersebut.
Nilai kerugian ekonomi akan sangat berbeda
untuk setiap penggunaan lahan. Besarnya nilai
kerugian ekonomi akan bergantung pada tingkat
produktivitas lahan yang tergenang. Hilangnya
lahan akibat kenaikan muka air laut, tidak hanya
menimbulkan kerugian ekonomi tetapi juga
hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah
tersebut.
Masalah pengungsi, timbulnya wabah
penyakit dan menurunnya kualitas air tanah
merupakan masalah-masalah lain yang akan
timbul selain kerugian ekonomi. Penanganan
pasca bencana yang tepat dan cepat sangat
diperlukan guna mengurangi korban jiwa.
Adaptasi dan mitigasi akibat adanya
perubahan pada lingkungan akan sangat
membantu mengurangi kerugian. Adaptasi dan
mitigasi dapat dilakukan dengan berbagai
cara,baik secara fisik atau non fisik. Secara
fisik adaptasi dapat dilakukan dengan cara
merubah bentuk bangunan atau dengan
mebangun bendungan. Adaptasi non-fisik dapat
dilakukan dengan relokasi dan regulasi pada
wilayah pesisir.
1. 2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memprediksi kenaikan muka air laut
2. Memetakan wilayah yang terkena dampak
dari kenaikan muka air laut
3. Menghitung kerugian ekonomi dan jumlah
pengungsi akibat adanya kenaikan muka air
laut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Kenaikan Muka Laut
Peningkatan
aktivitas
manusia
mengakibatkan terjadinya kenaikan kualitas dan
kuantitas gas rumah kaca di atmosfer.
Peningkatan ini memicu terjadinya peningkatan
suhu global. Rata-rata suhu permukaan global
telah meningkat sebesar 0,6 ± 0,2°C sejak akhir
abad ke-19. Akibat terjadinya pemanasan global
yang disebabkan oleh manusia, muka air laut
mengalami peningkatan secara perlahan.
Peningkatan muka laut global akan mencapai
ketinggian 9-88 cm pada tahun 2100
dibandingkan tahun 1990 (Church et al. 2001).
Global warming menyebabkan kenaikan
tinggi muka air laut, baik akibat ekspansi
volume air laut karena naiknya suhu air laut,
maupun mencairnya es glasier dan es di kutub
utara dan selatan. Meskipun dampak kenaikan
tinggi muka air laut hanya menjadi wacana di
kalangan ilmuwan, tetapi setiap penduduk
terutama yang tinggal di daerah pantai harus
tanggap akan risiko terhadap penurunan kualitas
kehidupan di lingkungan pantai akibat naiknya
tinggi muka air laut. Sementara itu, berbagai
hasil studi perubahan iklim menunjukkan bahwa
potensi kenaikan tinggi muka air laut akan
bervariasi dari 60cm sampai 100cm, sampai
dengan tahun 2100 (BAPPENAS 2010).
Kenaikan tinggi muka laut (TML) secara
gradual akibat pemanasan global merupakan
salah satu aspek yang paling kompleks dari efek
pemanasan global, dengan akselerasi tingkat
kenaikannya seiring dengan semakin intensifnya
progres pemanasan global. Kenaikan TML
mempertinggi risiko terjadinya erosi, perubahan
garis pantai dan mereduksi daerah wetland di
sepanjang pantai. Sebagai tambahan, tingginya
gelombang laut pada fase El Nino dan dan La
Nina akan mempertinggi intensitas erosi dan
abrasi, dengan tingkat kerusakan yang tinggi.
Pada akhirnya, dengan intensitas El Nino dan La
Nina yang semakin tinggi, dapat mengakibatkan
2
tingkat perubahan garis pantai yang semakin
tinggi pula, meskipun tingkat kenaikan TML
hanya 1 cm/tahun (KLH 2007).
Wilayah yang paling merasakan dampak dari
kenaikan muka air laut adalah wilayah pesisir.
Di wilayah ini setidaknya 60% manusia
melakukan aktivitasnya. Manusia melakukan
aktivitas diwilayah pesisir dikarenakan berbagai
hal, diantaranya yaitu kesuburan daerah delta,
ketersedian bahan makanan, dan akses
transportasi (Vellingga dan Leatherman 1989).
2. 2 DEM (Digital Elevation Model)
Permukaan bumi merupakan suatu bidang
lengkung yang tidak beraturan, sehingga
hubungan geometris antara titik satu dengan
titik lainnya di permukaan tersebut sulit untuk
ditentukan. Hubungan geometris tersebut secara
praktis dapat dinyatakan dalam bentuk peta
topografi, merupakan informasi penting bagi
berbagai keperluan baik untuk pembangunan
fisik maupun penelitian ilmiah (Sagala 1994).
DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic
Mission) adalah representasi digital dari
topografi permukaan atau terrain. (Ustun 2006).
DEM
merupakan
suatu
sistem
yang
menampilkan kondisi geografi dalam bentuk
tiga dimensi. DEM akan diterjemahkan dalam
bentuk data spasial beserta data-data tekstual
dan data grafis (Qomariyah 2007).
Susunan
nilai-nilai
digital
mewakili
distribusi spasial dari karakteristik medan.
Distribusi spasial itu sendiri dinyatakan dalam
sistem koordinat horisontal X dan Y, sedangkan
ketinggian medan dinyatakan dalam Z.
Gambaran model relief rupabumi tiga dimensi
yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia
nyata dapat divisualisaikan dengan bantuan
teknologi komputer grafis atau teknologi virtual
reality. Sumber data DEM dapat diperoleh dari
Foto udara stereo, Citra satelit stereo, data
pengukuran lapangan GPS dan Total Station,
Echosounder, Peta topografi, maupun dari citra
RADAR.
2. 3 Data Citra AVISO
Data citra AVISO merupakan gabungan dari
citra Jason-1, Jason-2, Topex dan Envisat. Datadata tersebut telah mengalami koreksi
sebelumnya. Koreksi yang dilakukan adalah
koreksi kombinsi atmosfer dan koreksi spesifik
untuk masing-masing satelit.
Tabel 1 Koreksi data citra
Combined
Satelit
atmospheric
correction
Jason-2
Jason-1
Topex/
Poseid
on
Envisat
High
Resolution
Mog2D Model
[Carrère and
Lyard, 2003] +
inverse
barometer
computed from
ECMWF model
(rectangular
grids)
Specific
corrections
Jason-2 / T/P
global MSL bias
Jason-1 / T/P
global MSL bias
Doris/Altimeter
ionospheric bias,
TOPEXA/TOPEX-B
bias
and
TOPEX/Poseido
n bias
-USO correction
from auxiliary
files + bias for
side-B
-SLA corrected
from jump cy8586 transition
Citra Jason-1, Jason-2, dan Topex/ Poseidon
memiliki time series sepuluh harian (dasarian)
dan mempunyai ukuran grid 2ox2o. Citra
ENVISAT memiliki time series 35 harian.
Koreksi dilakukan dengan pembobotan pada
setiap grid, bergantung pada zona wilayah
tersebut (Aviso 2011).
2. 4 Pesisir
Wilayah
pesisir
merupakan
daerah
pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut
meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti pengggundulan hutan dan pencemaran
(Soegiarto 1976).
2. 4.1 Panjang Garis Pantai
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang
terdiri dari pasir, dan terdapat di pesisir laut.
Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan
perairan laut. Garis pantai adalah batas
pertemuan antara bagian laut dan daratan pada
saat terjadi laut pasang tertinggi. Garis laut
dapat berubah karena adanya abrasi, yang
3
menyebabkan berkurangnya areal daratan.
Panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh
pantai yang merupakan daerah territorial suatu
negara (Triatmodjo 1999).
2. 4.2 Kemiringan Pantai
Kemiringan
lahan
pantai
akan
mempengaruhi besarnya kerusakan akibat
adanya abrasi oleh air laut. Selain itu,
kemiringan lahan akan mempengaruhi pula
jumlah sedimen yang terbawa ke wilayah
daratan akibat kenaikan muka air laut.
Penggunaan lahan pada suatu wilayah juga akan
sangat bergantung pada kemiringan lahan.
Tabel 2 Kelas kemiringan lahan yang berlaku di
Indonesia (Muhdi 2001)
Kelas
Kemiringan
Keterangan
1
0–8
Datar
2
8 – 15
Landai
3
15 – 25
Sedang
4
25 – 40
Curam
5
>40
Sangat Curam
2. 5 Gambaran Umum Kota Semarang
Kota Semarang merupakan salah satu kota
perdagangan di Indonesia. Wilayah kota ini
yang strategis menjadikannya sebagai pintu
masuk menuju wilayah pulau jawa bagian
tengah. Kota Semarang memiliki posisi
astronomi di antara garis 6o50’-7o10’ Lintang
Selatan dan garis 109o35’-110o50’ Bujur Timur.
Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi
Jawa Tengah dan merupakan satu-satunya kota
metropolitan yang ada di Jawa Tengah. Kota
Semarang pada tahun 2009 berpenduduk 1.506.
924 jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1,4
% per tahun. Penggunaan lahan di Kota
Semarang mengalami
perubahan
setiap
tahunnya. Perubahan ini merupakan perubahan
dari lahan pertanian ke lahan pertanian, hal ini
merupakan
gejala
yang
wajar
dari
perkembangan kota
Penduduk Kota Semarang sebagian besar
bekerja sebagai buruh industri, hanya sebagian
kecil saja yang merupakan buruh tani dan
nelayan. Gross Domestic Product (GDP)
masyarakat Semarang mencapai 23 juta rupiah
per kapita per tahun. Wilayah Semarang
merupakan suatu kota yang mempunyai ciri
khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran
rendah dan daerah pantai. Dengan demikian
topografi Kota Semarang menunjukkan adanya
berbagai kemiringan tanah berkisar antara 0 %
sampai 40% (curam) dan ketinggian antara 0,75348 mdpl. Dengan karakteristik wilayah tersebut
berpotensi terhadap terjadinya bencana alam
dengan dominasi bencana banjir, rob dan tanah
longsor (BAPPEDA 2000).
2.6 Nilai Ekonomi Lahan dan Biaya
Lingkungan
Meningkatnya permukaan air laut membawa
berbagai dampak dalam kehidupan manusia,
salah satu dampak yang paling terasa adalah
dampak ekonomi. Dampak ekonomi dari
meningkatnya permukaan air laut pertama kali
dilakukan oleh Scheneider dan Chen (1980),
semenjak itu banyak penelitian mengenai
dampak kenaikan muka air laut dilakukan.
Beberapa isu yang diangkat antara lain
meningkatnya resiko kerugian akibat genangan,
wetland dan dryland loss, kerusakan pada
produksi beras (karena menigkatnya genangan,
salinitas, dan drainase yang buruk), dan
meningkatnya biaya untuk perlindungan
(Sugiyama 2007).
Gambar 1 Ilustrasi kenaikan muka air laut.
(Sumber: Sugiyama 2007)
Estimasi Direct–Cost (DC) sering digunakan
ntuk menghitung kerugian ekonomi akibat
kenaikan muka air laut. Ada tiga batasan dalam
mengestimasi kerugian ekonomi: (i) nilai
lingkungan yang rusak tidak diketahui secara
pasti; (ii) kerusakan lingkungan tidak dihitung
sebagai biaya konsumen; (iii) perdagangan
internasional diabaikan (Darwin and Toll 2001).
2. 6.1 Analisis Biaya Lingkungan
Sugiyama (2007) menyebutkan bahwa biaya
lingkungan akan bernilai nol ketika biaya
proteksi pantai sama dengan biaya kehilangan
lahan. Minimalisasi biaya lingkungan diperoleh
dari persamaan:
π‘šπ‘–π‘›πΏ,β„Ž 𝑍 = 𝑝 𝑝𝑣 𝐿, β„Ž + 𝑑 𝑝𝑣 𝐿, 𝑆 + 𝑀 𝑝𝑣
− 𝑔 𝑝𝑣 (𝐿, 𝑆)
4
dimana:
dimana:
𝑝 𝑝𝑣 𝐿, β„Ž = Biaya proteksi pantai
𝑑 𝑝𝑣 𝐿, 𝑆 = Biaya kehilangan lahan kering
𝑀 𝑝𝑣 = Biaya Kehilangan lahan basah
𝑔 𝑝𝑣 (𝐿, 𝑆) = Growth land cost
𝑑0 𝑑
𝛿 𝑑
𝑆(𝑑)
πœ“
Λ
Θ(𝑆 𝑑
Dimana biaya ekonomi yang keluar berasal
dari hilanganya lahan kering yang merupakan
wilayah yang biasa digunakan untuk kegiatan
ekonomi, kemudian dari kehilangan wilayah
lahan basah dimana wilayah ini merupakan
wilayah dengan keanekaragaman hayati dan
wilayah konservasi. Biaya lainnya yaitu biaya
proteksi, yaitu biaya perlindungan pantai dari
abrasi dengan cara membangun pemecah ombak
dan bendungan. Selain biaya-biaya tersebut
terdapat penambahan lahan akibat adanya uplift,
yaitu wilayah yang terbentuk karena adanya
tekanan dari bawah.
a. Biaya Proteksi Pantai
Biaya Proteksi Pantai merupakan biaya yang
digunakan untuk melindungi pantai dari
kenaikan muka air laut, abrasi, Tsunami, dan
berbagai gangguan lainnya. Perumusan biaya
proteksi pantai menurut Sugiyama (2007)
adalah:
𝑑𝑆
𝑝1 = πœ‹.
𝑑 . Λ. Θ(𝑆 𝑑 )
𝑑𝑑
dimana:
𝑝1
𝑑𝑆
𝑑𝑑
𝑑
Λ
πœ‹
Θ(𝑆 𝑑
: Biaya proteksi pantai
: kenaikan muka laut terhadap waktu
: Panjang pantai
: SDKE cost
: Heaviside step function
: Biaya kehilangan lahan kering
: Economic output
: Kenaikan muka laut
: Kemiringan lahan
: Panjang pantai
: Heaviside step function
Dalam perhitungan biaya ini digunakan
output ekonomi 𝛿 𝑑 , nilai output ekonomi
diperoleh dari pengganda output ekonomi.
Semakin besar nilai pengganda output maka
semakin besar keuntungan yang diperoleh.
Besarnya nilai output ekonomi diperoleh dari
persamaan:
𝛿 𝑑 = π‘’π‘π‘œπ‘›π‘œπ‘šπ‘–π‘ π‘œπ‘’π‘‘π‘π‘’π‘‘ π‘šπ‘’π‘™π‘‘π‘–π‘π‘™π‘–π‘’π‘Ÿ ∗ 𝐺𝐷𝑃
Nilai pengganda output akan berbeda untuk
setiap jenis komoditas. Nilainya dihitung
berdasarkan nilai produktivitas per segment
area.
c. Wetland Loss Cost
Biaya Kehilangan Lahan Basah merupakan
biaya atau kerugian yang harus ditanggung
apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk
kegiatan non-profit. Lahan-lahan ini biasanya
digunakan
untuk
kegiatan
pelestarian
lingkungan. Hutan bakau merupakan salah satu
lahan yang dihtiung kerugiannya, karena banyak
terdapat ekosistem hewan dan tumbuhan air.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
𝑆(𝑑)
𝑀 𝑑 = 𝛾.
. Ω. Θ(𝑆 𝑑 )
tan πœ“
dimana:
Salah satu contoh penggunaan biaya ini
adalah biaya pembangunan tembok laut atau
pemecah ombak.
b. Dryland Loss Cost
Biaya Kehilangan Lahan kering merupakan
biaya yang harus ditanggung oleh pemilik lahan
apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk
melakukan kegiatan ekonomi dan merupakan
kapital atau modal. Persamaan yang digunakan
adalah:
𝑆(𝑑)
𝑑0 𝑑 = 𝛿 𝑑 .
. Λ. Θ(𝑆 𝑑 )
π‘‘π‘Žπ‘›πœ“
𝑀 𝑑
𝛾
𝑆(𝑑)
πœ“
Ω
Θ(𝑆 𝑑
: Biaya kehilangan lahan basah
: Persamaan Toll
: Kenaikan muka air laut
: Kemiringan pantai
: Luas total lahan basah
: Heaviside step function
Persamaan Toll (2001) digunakan dalam
persamaan ini. Dalam persamaan ini, nilai dari
setiap km2 lahan yang tergenang adalah 20 juta
US$, sehingga untuk setiap hektarnya bernilai
20 ribu US$. Nilai tersebut sama untuk seluruh
dunia,
sehingga
dengan
menggunakan
perbandingan GDP nasional dan regional maka
5
akan diperosleh besarnya nilai kehilangan lahan
per hektar dengan menggunakan persamaan:
𝛾=
πΊπ·π‘ƒπ‘Ÿ 20. 000
𝐺𝐷𝑃𝑛 20. 000
1 + (πΊπ·π‘ƒπ‘Ÿ 20. 000) 1 + (𝐺𝐷𝑃𝑛 20. 000)
dimana:
GDP
= Gross Domestic Product
GDPn = Gross Domestic Product National
d. Growth Land Cost
Biaya ini bukan merupakan kerugian, karena
biaya ini menghasilkan lahan baru. Apabila
terjadi subsidensi maka akan terjadi uplift di sisi
yang lain.
𝑆 𝑑
𝑔0 𝑑 = 𝛾. min 𝛼𝑑,
. Ω. Θ(𝑆 𝑑 )
tan πœ“
Dimana:
𝑔0 𝑑
𝛼
𝛾
πœ“
𝑆(𝑑)
Ω
Θ(𝑆 𝑑
: Growth land cost
: Laju pertumbuhan (50 cm per tahun)
: Persamaan Toll
: Kemiringan pantai
: Kenaikan muka air laut
: Luas total lahan basah
: Heaviside step function
2. 7 Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Daya adaptasi terhadap perubahan iklim
adalah kemampuan suatu sistem untuk
menyesuaikan diri dari perubahan iklim
(termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan
variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan, mengambil
manfaat atau mengatasi perubahan dengan
segala akibatnya. Menurut Murdiyarso (2001),
adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah
satu cara penyesuaian yang dilakukan secara
spontan maupun terencana untuk memberikan
reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan
demikian adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan strategi yang diperlukan pada semua
skala untuk meringankan usaha mitigasi
dampak.
Mitigasi adalah usaha menekan penyebab
perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan
lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim
dapat diminimalisir atau dicegah. Upaya
mitigasi dalam bidang energi di Indonesia,
misalnya dapat dilakukan dengan cara
melakukan efisiensi dan konservasi energi serta
mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan.
Contoh upaya mitigasi yang lain dalam upaya
mengurangi dampak perubahan iklim terhadap
sumber daya air antara lain; Teknologi
Modifikasi Cuaca (TMC) dan usaha rehabilitasi
waduk dan embung.
Upaya adaptasi terhadap kenaikan muka air
laut menurut Subandono (2007) dapat dilakukan
dengan dua hal yaitu upaya fisik dan non fisik.
Upaya fisik dapat berupa perlindungan alami
dan buatan. Sementara upaya non fisik dapat
dilakukan dengan membuat peta rawan bencana,
informasi public dan penyuluhan, serta pelatihan
serta simulasi mitigasi bencana.
Upaya fisik merupakan upaya perlindungan
dengan membangun infrastruktur untuk
melindungi dari kenaikan muka laut, baik itu
banjir rob maupun pasang surut air laut. Upaya
fisik dengan metoda perlindungan alami dapat
dilakukan dengan membuat mangrove, terumbu
karang, atau hutan. Sedangkan upaya fisik
dengan metodal alami dapat dilakukan dengan
membangun pemecah arus, tembok laut,
tanggul, konstruksi perlindungan dan rumah
panggung.
Gambar 2 Berbagai bentuk upaya adaptasi
Rumah
panggung,
Reklamasi,
Relokasi, dan Tanggul) dalam
menghadapi kenaikan muka air laut.
(Sumber: Diposaptono 2007)
Upaya non fisik yang dilakukan pemerintah
berupa tiga hal. Pertama yaitu pembuatan peta
rawan bencana, peta ini digunkanan untuk
mengetahui wilayah-wilayah yang rentan
terhadap bencana kenaikan muka air laut. Peta
ini juga dijadikan sebagai acuan untuk
mementukan tempat relokasi dan juga
penentuan tata ruang dan tata guna lahan pesisir.
Selain itu, peta juga digunakan sebagai zonasi
6
penetapan sempadan pantai dan sungai. Kedua
penetapan sempa, pantai dan sungai. Kedua
pemerintah harus melakukan penyuluhan dan
penyampaian informasi ke publik. Ketiga
pemerintah harus mengadakan pelatihan dan
simulasi mitigasi bencana.
Kenaikan muka air laut tidak hanya merusak
bangunan fisik tetapi juga lahan pertanian akibat
adanya intrusi air laut. Intrusi air laut
mengakibatkan menigkatnya kadar garam dalam
tanah. Perlu adanya upaya rehabilitasi untuk
mengurangi kadar salinitas lahan. Selain itu,
juga untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah.
III.METODOLOGI
3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama 9 bulan
sejak bulan April 2010 hingga Desember 2010,
di laboratorium Klimatologi terhadap wilayah
Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
3. 2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seperangkat PC dengan perangkat lunak
Microsoft Excel 2007,
ο‚· Visual Basic 6. 0,
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ArcView 3. 2,
Global Mapper 8. 0,
Wordpad,
ferret, dan
Microsoft Word 2007.
Dalam memprediksi kenaikan muka air laut
digunakan citra satelit altimetri. Citra tersebut
merupakan gabungan dari 4 citra satelit yaitu
Topex / Poseidon, Envisat, Jason 1, dan Jason 2.
Citra tersebut merupakan rataan kenaikan muka
air laut selama 2002 – 2010.
Data yang digunakan merupakan data
sekunder yaitu Peta DEM SRTM 30x30m yang
mempunyai format ASCII. Peta ini dipilih
karena berbentuk matriks dua dimensi. Hal ini
akan memudahkan dalam pembuatan logika
model.
Kerugian ekonomi dihitung berdasarkan luas
lahan yang tergenang. Untuk mengestimasi
kerugian ekonomi digunakan data GDP per
kapita. Sedangkan, dalam penentuan jumlah
pengungsi digunakan data jumlah penduduk
rata-rata.
3. 3 Metode Penelitian
Metode yang dalam penelitian ini dilakukan
berdasarkan diagram alir berikut
Gambar 3 Diagram alir metodologi
Download