Sustainable Design: Penggunaan Material Bekas pada Ruang Interior

advertisement
Sustainable Design: Penggunaan Material Bekas pada Ruang Interior
Diandra Tarcia Nada; Dalhar Susanto
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Saat ini sudah mulai banyak desain ramah lingkungan yang merupakan bagian dari konsep sustainable
design. Di Indonesia sudah banyak bangunan yang memakai konsep green building; bentuk masif penerapan
sustainable design. Namun, konsep ini juga dapat dilakukan dalam bentuk sederhana, salah satunya adalah
penggunaan material bekas sebagai elemen ruang interior. Selain bertujuan untuk lebih ramah lingkungan,
material bekas juga digunakan dengan alasan visualnya. Semakin banyak restoran, kafe atau bar yang
menggunakan desain tematik untuk menarik pengunjung. Material bekas menjadi cara baru untuk membentuk
suasana ruang yang berbeda. Pada skripsi ini, penulis akan meninjau variasi penerapan material bekas pada
elemen ruang interior, dampaknya secara estetis dan pengalaman ruang yang dirasakan pengunjung. Untuk
mengetahui poin-poin tersebut, telah dilakukan pengumpulan data dengan observasi langsung pada studi kasus,
wawancara dengan pihak menajemen tempat dan pengunjung.
Kata Kunci: penggunaan material bekas, ruang interior, sustainable design
Sustainable Design: Applying Used Materials on Interior Space
Abstract
Nowadays, there’s already a lot of eco-friendly design which is a part of sustainable design concept. In
Indonesia itself, many buildings has been using green building concept; a way of applying sustainable design.
However, this concept can also be done through simplistic way, one of them is applying used materials as
interior elements. Apart from aiming for an eco-friendly design, used materials are also used for its visual
purpose. There’s an increase in the number of restaurants, cafes, or bars that are applying thematic design to
attract visitors. Used materials has become a new way to build a different spatial experience. In this final report,
writer will look into the variation in applying used materials as interior elements, the aesthetic impact and the
spatial experience felt by visitors. To find out about these points, data collection has been done through direct
observation at the study cases, interview with the management side of those places and visitors.
Keywords: applying used materials; interior space; sustainable design
1. Pendahuluan
“Architecture is a reflection of our society in attitude, customs, desires, needs, and
technology. In our society it is an expectation that runs counter to ecologic coherence and
sustainability” (Crowther, 1992, p. 1)
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Arsitektur merupakan bagian penting dari kehidupan manusia, karena hampir semua
kegiatan yang dilakukan manusia bersifat indoor (dalam ruang atau bangunan). Selama ini
konsep suatu arsitektur dianggap bertentangan dengan alam. Pembangunan membutuhkan
lahan, serta proses dan pengelolaan bangunan tersebut pasti akan menghasilkan limbah. Pada
skala besar contohnya pabrik yang menghasilkan limbah dalam bentuk polusi udara, dalam
skala kecil rumah yang menghasilkan limbah dapur. Namun seiring perkembangan zaman,
mulai ada penemuan baru dari bidang teknologi yang dapat menjembatani isu arsitektur dan
lingkungan.
Sustainable design menjadi isu yang cukup mencolok saat ini dan semakin banyak
direalisasikan dalam membangun suatu bangunan. Sustainable design itu sendiri merupakan
sebuah konsep yang sudah berkembang, yang berawal dari suatu gerakan untuk hemat energi.
Terdapat beragam elemen dan faktor yang mendasari suatu bangunan untuk dapat
dikategorikan sebagai sustainable design. Beberapa faktor ini dapat dilihat dari segi
perencanaan, proses pembangunannya, limbah yang dihasilkan, material yang digunakan, dsb.
Pada dasarnya berbagai faktor tersebut terikat dengan bidang ekonomi, sosial dan ekologi.
Topik yang akan saya bahas berkisar seputar sustainable design, yang akan lebih
difokuskan pada pemanfaatan material bekas sebagai elemen interior pada ruang. Sebagai
mahasiswi arsitektur interior saya mempersempit topik pada unsur pembentuk interior. Isu ini
berangkat dari mulai bermunculannya ruang interior publik yang menggunakan material
bekas sebagai pembentuk ruang, seperti restoran, bar, toko, dsb. Pada umumnya bangunan
tersebut lebih mengacu pada pendekatan estetis dari pemilihan material, karena hal ini
berpengaruh langsung terhadap pengalaman ruang bagi pengunjung.
Pemanfaatan material bekas merupakan salah satu tindakan menuju sustainable design,
sehingga akan ditinjau lebih jauh apakah dibalik interior yang menarik ini terdapat makna
lebih terhadap pengaruhnya sebagai suatu desain berkualitas. Sehingga sampai pada
pertanyaan, apa itu sustainable design? Bagaimana penerapan konsep tersebut pada ruang
interior dan pengaruhnya terhadap pengunjung? Serta sejauh mana penggunaan material
bekas tersebut ditinjau dari segi estetika terhadap kualitas desain sebuah ruang?
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
2. Tinjauan Teoritis
2.1 Sustainable Design
“Sustainability is not environmentalism dressed in new clothes. It’s essentially a new
way of seeing the world” (Sustainability: A Lens for Design, n.d.). Sustainable design yang
juga sering disebut sebagai environmentally-concious design, merupakan suatu konsep
perancangan desain yang mengacu pada produk yang ramah lingkungan, dilihat dari proses
pembuatan dan saat penggunaannya. Produk biasanya diproduksi menggunakan sumber daya
yang dapat diperbaharui atau bahan daur ulang.
Menurut The World Commission on Environment and Development, “Sustainability is
meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to
meet their own needs” (Our Common Future, 1987). Sehingga dalam pencapaian menuju
sustainibilitas, kebutuhan masyarakat dalam pembangunan tetap terpenuhi tanpa merusak atau
mengganggu kebutuhan bagi generasi selanjutnya di masa depan. Gerakan ini membantu
pelestarian sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia lebih lama.
Terdapat tiga prinsip Sustainable Design yang dapat diterapkan dalam Arsitektur dan
merupakan langkah dalam pencapaian keberlanjutan dalam pembangunan berdasarkan buku
Sustainable Architecture Module: Introduction to Sustainable Design yang ditulis oleh JongJin Kim (Asisten Dosen Arsitektur) dan Brenda Rigton dari College of Architecture and
Urban Planning, The University of Michigan. Ketiga prinsip tersebut adalah Keekonomisan
Sumber Daya, Daur Hidup Desain dan Desain Manusiawi. Dua dari prinsip yang terkait
dengan pembahasan topik saya adalah sebagai berikut,
A. Keekonomisan Sumber Daya
Penggunaan sumber daya secara ekonomis akan menghasilkan pengurangan
dalam jumlah sumber daya tidak terbarukan yang digunakan dalam pembangunan
maupun operasional suatu bangunan. Terdapat alur yang berkelanjutan pada
pemanfaatan sumber daya, alami maupun buatan. Alur ini dimulai saat proses produksi
bahan bangunan, lalu dilanjutkan selama bangunan terbangun dan beroperasi untuk
memenuhi kebutuhan dan menaungi kegiatan manusia. Setelah bangunan tersebut telah
digunakan dengan baik, untuk memenuhi alur proses yang ideal, sebaiknya menjadi
bahan mentah untuk pembangunan baru.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Dalam mengatur keekonomisan sumber daya, salah satu cara yang dapat
digunakan adalah dengan mengolah kembali limbah dari bahan bangunan maupun nonbangunan. Terdapat tiga cara dalam pengolahan material bekas (Eisenberg, 2009),
antara lain:
a. Pengurangan (Reduce)
Reduce merupakan tahap pertama dengan maksud agar kita lebih mengurangi
konsumsi atau penggunaan barang yang terlalu eksesif (berhemat).
Pengurangan yang terjadi disini adalah turunnya jumlah penggunaan material
baru, sehingga ektraksi dari alam juga terminimalisasi.
b. Penggunaan kembali (Reuse)
Reuse adalah tahap kedua dalam gerakan ‘green’. Penggunaan kembali suatu
material tidak melalui proses yang panjang pada pengolahan limbahnya itu
sendiri. Material masih digunakan dalam bentuk asli, dan dimanfaatkan
kembali menjadi lebih baru (diperbaiki) atau diberi fungsi baru. Material
tidak ditransformasi sehingga proses menjadi lebih hemat energi, tidak
menghabiskan waktu banyak, biaya lebih rendah dan tidak membutuhkan
sumber daya ekstra dalam proses pengolahan.
c. Bahan Daur Ulang (Recycle)
Recycle adalah tahap akhir yang dapat dilakukan karena membutuhkan usaha
lebih. Proses daur ulang memiliki alur yang lebih panjang dari pemanfaatan
kembali. Pada proses ini, limbah diproses menjadi bahan mentah baru. Oleh
karena itu, proses pengolahannya membutuhkan energi tambahan, lebih lama
dan biaya lebih tinggi. Namun, karena hasil akhirnya adalah bahan mentah,
maka pemanfaatannya lebih luas karena bisa digunakan untuk membangun
produk baru. . Tahap ini merupakan tindakan terbaik, sekaligus paling rumit
karena melibatkan aturan-aturan tertentu. Tidak semua limbah dapat di daur
ulang.
B. Daur Hidup Desain
Alur konvensional pada daur hidup bangunan bersifat linear. Alur membawa
konsep cradle-to-grave, yaitu pemanfaatan dimulai dengan kelahiran ide desain dan
diakhiri dengan kematian produk desain. Saat ini sedang coba dibawa konsep cradle-tocradle, dimana kegunaan produk tersebut akan selalu dilahirkan kembali untuk
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
kegunaan baru dalam proses yang berkelanjutan. Hal ini merupakan dasar prinsip Daur
Hidup Desain.
Gambar 2.1 Alur Daur Hidup Desain Cradle-to-Grave
Sumber: Buku Sustainable Architecture Module: Introduction to Sustainable Design
Daur hidup desain terbagi menjadi tiga fase yaitu sebelum terbangun, selama
terbangun dan setelah terbangun.
Gambar 2.2 Fase pada Daur Hidup Desain Cradle-to-Cradle
Sumber: Buku Sustainable Architecture Module: Introduction to Sustainable Design
a. Fase Sebelum Terbangun
Proses yang termasuk dalam tahap ini adalah pemilihan tapak, desain
bangunan, dan pengolahan bahan. Peninjauan konsekuensi terhadap
lingkungan, transportasi bahan dan pengolahan bahan yang membutuhkan
energi besar dan menghasilkan polusi serta limbah.
b. Fase Terbangun
Tahap ini adalah dimana pembangunan fisik dimulai hingga bangunan sudah
beroperasi. Strategi yang dilakukan pada tahap ini adalah pengontrolan
konsumsi sumber daya untuk mengurangi dampak pada lingkungan.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
c. Fase Setelah Terbangun
Fase ini dimulai saat kegunaan bangunan telah berakhir. Tahap ini mencakupi
pemanfaatan bangunan sebagai material bagi bangunan baru atau
pengembalian limbah bangunan kembali ke alam.
2.2 Green Features dari Material Sustainable
Berdasarkan NJ Green Building Manual, material yang sustainable dapat bersifat alami
ataupun sintetis. Pada kedua jenis material ini dibutuhkan biaya dari ekstraksi sumber daya
proses pengolahan, produksi, penggunaan, perawatan hingga pembuangan. Pemilihan material
yang sustainable dapat berpengaruh positif pada lingkungan dan pengguna ruang, diiringi
dengan biaya yang lebih sedikit.
Menurut Kim Jong-jin, pada artikel Sustainable Architecture Module: Qualities, Use,
and Examples of Sustainable Building Materials, terdapat beberapa kriteria pada material
sustainable yang mengacu pada green building code. Kriteria tersebut dapat dijadikan acuan
dalam mengevaluasi sustainabilitas lingkungan suatu material. Adanya pemenuhan satu fitur
atau lebih dari fitur dibawah ini, menjadikan material tersebut dapat dianggap sustainable.
Proses Pembuatan (Manufacturing Process):
a. Pengurangan Limbah (Waste Reduction)
Pengurangan limbah dilakukan dengan langkah-langkah untuk mencapai proses
yang lebih efisien sehingga mengurangi jumlah material sisa yang dihasilkan.
b. Penghindaran Polusi (Pollution Prevention)
Tindakan ini dapat berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan dengan lebih
memperhatikan minimalisasi polusi pada pengolahan material mentah.
c. Daur Ulang (Recycled Content)
Produk yang mengandung sebagian atau seluruhnya bahan daur ulang, mengarah
pada pengurangan jumlah limbah terbuang dan permintaan akan bahan baru.
d. Pengurangan Konsumsi Energi (Embodied Energy Reduction)
Hal ini mengacu pada total energi yang dibutuhkan dalam produksi suatu material,
termasuk saat pengumpulan bahan mentah.
e. Material Alami (Natural Materials)
Material alami pada dasarnya lebih rendah dalam konsumsi energi dan kadar racun
daripada bahan buatan manusia.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Pengoperasian Bangunan (Building Operations):
a. Efisiensi Energi (Energi Efficiency)
Fitur ini adalah salah satu yang penting dalam sustainabilitas lingkungan karena
menyangkut keberlangsungan pengoperasian bangunan.
b. Perawatan dan Konservasi Air (Water Treatment and Conservation)
Adanya fitur ini berpengaruh pada peningkatan kualitas air atau pengurangan
jumlah air yang digunakan.
c. Tidak Beracun (Non-Toxic)
Material dapat mempengaruhi kualitas udara dalam ruang dan mengekspos
pengguna pada aspek kesehatan.
d. Sumber Daya Terbarui (Renewable Energy Resource)
Sumber daya terbarui ini antara lain adalah tenaga angin, solar, ataupun panas
geothermal. Jenis sumber daya ini tidak mudah habis seperti batu bara, minyak, dll.
e. Tahan Lama (Longer Life)
Material yang tahan lama akan mengacu pada pengurangan penggunaan bahan baru
dan menghasilkan limbah yang lebih sedikit selama berdirinya bangunan tersebut.
Manajemen Limbah (Waste Management):
a. Biodegradable
Potensi dekomposisi material limbah. Material organik dapat mengurai di tanah,
sementara material lainnya ditinjau dari produksi bahan berbahaya saat diuraikan.
b. Recyclable
Kapasitas suatu material untuk digunakan sebagai sumber bagi pembentukan
produk baru.
c. Reusable
Kualitas ketahanan dan kekuatan suatu material. Material yang tahan lama, dapat
digunakan dalam waktu yang lama pula dalam bentuk atau fungsi baru.
2.3 Desain Interior
“But design is simply a process that describes how the human mind identifies and
solves problems in a way that satisfies us functionally, psychologically, and aesthetically.”
(Caan, 2011, p. 30). Desain bermula dari naluri manusia untuk berlindung dari cuaca maupun
serangan binatang buas. Setelah menemukan tempatnya berlindung, seperti gua, manusia
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
memiliki dorongan untuk menandakan area atau teritorinya. Perilaku ini yang akan
berkembang menjadi personalisasi pada ruang atau dapat kita sebut sebagai proses mendesain.
Menurut John F. Pile, “Istilah desain mendeskripsikan segala keputusan yang menentukan
form, form disini berarti seluruh aspek dari kualitas ukuran, bentuk, material, struktur, tekstur,
dan warna, yang menghasilkan suatu bentukan fisik yang berbeda dari lainnya.” (Pile, 1995,
p. 33). Sehingga hal ini yang membedakan desain ruang yang sejenis, misalnya dua ruang
yang memiliki komponen yang sama tapi dikomposisikan secara berbeda. Proses mendesain
pada akhirnya terbentuk dari upaya untuk memenuhi kebutuhan (fungsi), memuaskan
psikologi (terdapat makna) dan memiliki nilai estetika (menarik).
Pada penerapannya saat ini, desain memiliki dua faktor penting yang mempengaruhi
bagaimana suatu desain dihasilkan yaitu teknologi dan manusia. Walaupun jaman sudah
berkembang, manusia masih menjadi pengaruh utama dalam mendesain. Hal yang berbeda
adalah adanya peran teknologi yang menjadikan desain lebih berani dan out of the box.
Teknologi ini memiliki pengaruh terhadap proses pembangunan dan utilitas bangunan yang
semakin canggih, serta adanya variasi dalam jenis material yang dapat digunakan. Namun,
seringkali dampak negatif muncul karena kecanggihan teknologi yaitu hasil ruang yang
tercipta menjadi kurang bersahabat dengan manusia dan terlalu fokus pada penampakan ruang
tersebut. Menurut Shashi Caan, “ruang interior harus berperan sebagai jembatan yang
menghubungkan antara dunia yang terbangun dan kondisi ideal yang dicari manusia” (Caan,
2011). Adanya desain interior pada ruang, dapat memberi sentuhan manusiawi yang dapat
menjadikan ruang lebih nyaman untuk dipergunakan oleh manusia; baik secara fungsi,
psikologis maupun estetis.
2.4 Estetika Ruang
Konsep estetika berawal dari adanya rasa (rasa disini mengacu pada taste). Filsuf-filsuf
dari Inggris mengembangkan teori mengenai rasa. Hal ini didasari ide bahwa dalam menilai
suatu keindahan, tidak menggunakan prinsip atau konsep sebagai acuan pokok, tetapi
menggunakan seluruh penilaian dari penginderaan yang bersifat spontan dan langsung.
Sehingga dalam menilai keindahan, kita tidak memikirkan atau mempertimbangkan suatu
objek itu indah, tapi merasakan bahwa objek tersebut indah. Menurut Hutcheson dan Hume,
walaupun penilaian keindahan adalah penilaian berdasarkan rasa bukan pemikiran, tapi rasa
tersebut juga tercipta dari adanya prinsip dasar, yang dapat ditelaah melalui investigasi
empiris. (Hutcheson, 1725, p. 28–35; Hume, 1757, p. 231–233). Sampai saat ini, penilaian
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
keindahan masih diperdebatkan, karena pada dasarnya bersifat subjektif. Suatu objek yang
dianggap buruk, dapat terasa indah bagi orang lain, begitu pula sebaliknya.
Sibley, dalam bukunya “General reasons and Criteria in Aesthetics”, mengobservasi
bahwa manusia memiliki ketertarikan terhadap properti suatu karya yang cenderung positif.
Bukan berarti karya tersebut memiliki kualitas yang sangat baik, hal ini menunjukkan karya
tersebut memiliki nilai.....Sibley mengatakan bahwa tidak ada peraturan teknis atau prosedur
untuk menentukan kualitas nilai suatu karya; manusia harus menilainya sendiri. (Sibley, 2001,
p. 107-108). Dengan begitu, aplikasi suatu konsep bukan dinilai dengan memastikan kondisi
deskriptif aplikasi tersebut telah terpenuhi, tetapi lebih kepada rasa. Jadi, penilaian estetika
bersifat segera atau spontan seperti saat manusia bereaksi terhadap warna, rasa (taste), dsb.
Misalnya, bisa saja kamar tidur yang lengkap ternyata tidak nyaman untuk beristirahat, dan
ruang yang sangat sederhana justru memberi ketenangan dalam ruang. Dalam merasakan
ruang ini, manusia harus mengalami ruang tersebut secara langsung.
2.5 Pengalaman Ruang
“Good design can help create lively places with a distinctive character; streets and
public spaces that are safe, accessible, pleasant to use and human scale; and places that
inspire because of the imagination and sensitivity of their designers” (DETR/CABE, 2000, p.
8). Beberapa pendapat mengatakan bahwa desain yang baik adalah desain yang dapat
mempengaruhi penggunanya baik secara fisik maupun mental. Pengaruh tersebut dapat terjadi
melalui adanya pemicu yang menstimulasi pikiran dan perasaan penggguna. Hal ini dapat
dilakukan dengan adanya karakteristik yang menonjol dari rancangan suatu desain, keamanan
dan kemudahan dalam beraktivitas didalamnya.
Dalam suatu pengalaman ruang ada dua aspek yang memegang peran penting
bagaimana manusia menginterpretasi keadaan sekitarnya, yaitu sensasi dan persepsi. Menurut,
Hardeep Khaur Shergill dalam bukunya “Experimental Psychology”, sensasi merupakan
suatu proses pasif pengambilan informasi dari dunia luar kedalam tubuh dan otak kita.
Disebut sebagai kegiatan pasif, karena manusia tidak perlu mengontrol dan menyadari saat
proses penginderaan terjadi. Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses aktif dimana manusia
memilih, menyortir dan menginterpretasi informasi yang didapat panca indera tersebut.
(Shergill, 2012). Sehingga dapat dikatakan bahwa sensasi merupakan fakta dasar yang
manusia alami, dan persepsi adalah proses kelanjutan dalam mengolah informasi tersebut
dengan melibatkan beberapa aspek pengalaman kognitif (memori, kebiasaan, tradisi, dll) yang
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
dimiliki tiap individu. Hal ini didukung pendapat dari Desiderato, Howieson dan Jackson
(1976), “Persepsi merupakan suatu bentuk pengalaman terhadap objek, kejadian atau
hubungan di sekitar kita yang didapatkan dengan mengekstraksi informasi dengan
menginterpretasi sensasi”. Maka dari itu, setiap individu dapat memiliki persepsi yang
berbeda terhadap sesuatu yang pada dasarnya sama.
Pengalaman ruang didapatkan saat mengalami ruang tersebut secara fisik maupun
mental. Secara fisik maksudnya adalah dengan berada langsung di ruang tersebut (tidak
melalui foto, atau media lainnya), sehingga kita dapat merasakan ruang tersebut secara mental
(senang, sedih, nyaman, kaku, dsb). Pengalaman fisik ini dapat dirasakan melalui panca
indera kita.
Sehingga apa bila dilihat melalui diagram proses yang terbentuk adalah sebagai berikut,
DATA ORGAN PANCA INDERA SENSASI PERSEPSI Gambar 2.4 Diagram proses sensasi menjadi persepsi
Data diterima melalui panca indera, kemudian diolah sehingga menjadi stimuli yang
membentuk sensasi tertentu. Kemudian informasi dari sensasi ini diinterpretasi menjadi
persepsi yang didukung adanya pengalaman individu dan menghasilkan output yang berbeda
pada tiap orang. “Saat ini, sensasi dan persepsi seringkali digunakan sebagai dua proses yang
serupa. Sebenarnya kedua proses ini memiliki faktor dan cara pengolahan yang berbeda,
namun komplementer terhadap satu sama lain dan tidak berketergantungan.” (Shergill, 2012)
3. Metode Penelitian
Langkah pertama yang dilakukan adalah studi literatur dengan mencari teori yang
mendukung topik skripsi. Teori tersebut menjadi landasan dalam penyusunan skripsi serta
menjadi dasar pencarian dan pemilihan studi kasus yang sesuai. Langkah kedua adalah
pengambilan data yang dilakukan dengan survey tapak. Tindakan yang dilakukan adalah
menganalisis studi kasus dengan observasi langsung, pengambilan foto, wawancara
manajemen tempat dan pengunjung. Hal ini dilakukan pada kedua tempat studi kasus. Data
yang dikumpulkan dari dua studi kasus, dianalisis secara terpisah dengan mengintegerasikan
landasan teori untuk mendapatkan hasil yang mengacu pada jawaban untuk rumusan masalah.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Lalu, kedua hasil studi kasus saling dibandingkan, sehingga diketahui perbedaan dan
persamaan pada kedua studi kasus mengenai penggunaan material bekas.
4. Hasil Penelitian
4.1 Three Bags Full
Three Bags Full adalah sebuah kafe di Abbotsford, Melbourne, Australia. Kafe ini
dibuka pada awal tahun 2010 di lantai dasar sebuah pabrik tua. Bangunan tua ini mendukung
gaya semi-industrial yang kental pada interior kafe. Kafe ini sudah menjadi populer di
lingkungannya. Selain menjual interiornya yang menarik, kafe ini juga memiliki makanan dan
kopi yang berkualitas.
Di bagian dalam kafe, pengunjung disambut ruang dengan pencahayaan yang cukup,
hawa sejuk serta ruang berkonsep gudang dengan jendela tinggi dan nuansa kayu. Sang
desainer, Nathan, adalah seorang kolektor dan pengumpul produk gaya industrial. Beberapa
elemen dalam ruang merupakan hasil pengolahan material bekas dalam bentuk kursi, meja,
pelapis dinding dan armatur lampu. Produk-produk ini terlihat eklektik dan hangat, sehingga
membawa nuansa kasual bagi pengunjung yang datang untuk bersantai.
Gambar 4.1.1 Suasana Ruang Interior Three Bags Full
Sumber: http://www.rustix.com.au/blogs/news/6005280-reuse-recycle-reclaim-2012-interior-design-trend Pada kafe ini, material bekas tidak digunakan secara menyeluruh. Produk dari material
bekas dimanfaatkan sebagai aksen ruang dan pada pelapis dinding. Hasil dari pembatasan
jumlah penggunaan material bekas adalah kualitas ruang yang dapat lebih fleksibel diatur
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
karena penggunaan material bekas yang berlebih cenderung mengarah pada nuansa yang
bebas dan kumuh. Pada kafe ini, pemolesan terhadap material bekas lebih rapih sehingga citra
yang ditunjukkan terlihat seperti produk baru.
4.2 365 Eco Bar
Tempat
berkumpul
ini
terletak
di
Jalan
Kemang
Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, DKI Jakarta.
Raya
No
8B,
Seperti layaknya tempat
berkumpul di daerah Kemang, kafe & bar ini juga memiliki keunikan tersendiri untuk dapat
bersaing dengan tempat sejenis di daerah yang terkenal akan banyaknya tempat makan ini.
Karakter yang ditonjolkan, seperti namanya, adalah eco yang berkaitan dengan lingkungan.
Hal ini ditunjukkan dengan menggunakan material bekas pada beberapa elemen interiornya.
365 Eco Bar memiliki sasaran pengunjung yaitu mahasiswa/i hingga orang kantoran dan juga
para ekspat yang memang banyak di kawasan Kemang.
Dalam studi kasus 365 Eco Bar, terjadi perubahan konsep dari penggunaan mayoritas
material bekas menjadi material bekas sebagai aksen. Perubahan ini dilakukan atas dasar
penggantian nuansa yang diinginkan agar lebih dewasa dan elegan. Produk dari material
bekas terkesan lebih informal, cenderung santai dan playful. Hal ini mungkin disebabkan
keragaman dalam bentuk dan warna, yang biasanya dipertahankan dari aslinya. Dampak yang
didapatkan dari aksen produk reused tersebut cukup menonjol namun tidak berdampak besar.
Pengunjung cenderung lebih fokus pada kegiatan masing-masing. Pendapat pengunjung
terhadap bar adalah suasana yang tercipta disini cukup sesuai untuk fungsinya sebagai tempat
berkumpul, didukung nuansa ruang dengan pencahyaan remang-remang dan warna
monokromatik yang menjadi kanvas baik bagi produk material bekas agar menonjol.
Gambar 4.2.1 Area Duduk Tengah
Sumber: www.flickriver.com
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Gambar 4.2.2 Ruang Kafe dengan Konsep Baru
Sumber: Dokumentasi pribadi
4.3
Junkyard Bar
Junkyard Bar terletak di Jalan Birah Raya No. 10, Senopati, Jakarta Selatan. Bar ini
tidak berada di pinggir jalan besar, dan belum memiliki signage, tapi sudah mendapatkan
publikasi baik dari media cetak maupun internet. Oleh karena itu, walaupun baru berusia
kurang dari setahun, namun tempat ini sudah cukup dikenal oleh warga jakarta terutama
kalangan anak kuliah hingga pekerja kantoran. Bar dibilangan Jakarta Selatan ini mencoba
membawa suasana baru dan berbeda dari tempat berkumpul kebanyakan yang cenderung
lebih eksklusif dan glamor. Berdasarkan wawancara dengan manajer operasionalnya, Mas
Deni, bar ini lebih bertujuan untuk membuat suatu area berkumpul yang dapat didatangi oleh
pengunjung tanpa harus berdandan khusus, sehingga lebih bersifat santai dan bebas.
Pemilik bar sengaja membawa konsep yang sama seperti namanya yaitu Junkyard
(dalam bahasa Indonesia junkyard adalah area pembuangan sampah). Konsep yang
sebenarnya kontradiktif dengan fungsinya ini, menggunakan limbah sebagai pengisi ruang
interiornya. Limbah berupa material bekas yang sudah tidak terpakai diterapkan sebagai
elemen interior yaitu furnitur dan armatur lampu. Melalui beberapa penyesuaian dan
pengolahan kembali, seperti refurnishing, cat, dsb, terbentuk produk baru yang juga menarik
dan elok secara visual. Proses pencarian barang dan material bekas inipun memakan waktu
yang cukup lama, sampai pada titik dimana pembukaan bar sedikit mengalami kemunduran.
Usaha yang dilakukan juga dapat terlihat saat memasuki bar tersebut, karena hampir
seluruhnya adalah barang bekas yang diolah kembali. Penerapan material bekas dapat dilihat
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
pada armatur lampu, furnitur dan partisi. Konsep sustainable design juga dapat dilihat dari
pemanfaatan bangunan sebagaimana adanya dan tidak direnovasi.
Gambar 4.3.1 Armatur Lampu dari Kerat Botol
Gambar 4.3.2 Armatur Lampu dari Botol Bekas
Sumber: Dokumentasi pihak Junkyard
Sumber: Dokumentasi pihak Junkyard
Gambar 4.3.3 Set Meja dan Tempat Duduk
Gambar 4.3.4 Partisi Balok Kayu
Sumber: Dokumentasi pihak Junkyard
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 4.3.5 Suasana Ruang yang tidak Direnovasi
Sumber: Dokumentasi pribadi
Pada studi kasus Junkyard Bar, dimana hampir seluruh furnitur dan elemen interior
menggunakan dan mencitrakan material bekas, pengunjung lebih mendapatkan dampak yang
besar terhadap ruang yang mereka lihat dan rasakan. Pengalaman pengunjung pada ruang ini
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
lebih variatif, baik maupun buruk. Secara visual, tempat ini lebih menstimulasi
pengunjungnya dari keberagaman warna dan bentuk furnitur, juga kekreatifannya yang
membuat pengunjung tergerak. Hal ini menarik perhatian, hingga diliput media massa dan
ditunjukkan dengan banyaknya pengunjung yang datang karena penasaran dengan interior
ruang. Walaupun beberapa pengunjung merasa ruang terlihat kumuh, namun sesuai dengan
konsep yang dimaksudkan.
Gambar 4.3.6 dan 4.3.7 menunjukkan perbandingan cara dan jumlah penggunaan
material bekas pada kedua studi kasus. Dapat dilihat bahwa pada Junkyard Bar material bekas
digunakan dalam jumlah besar. Sementara pada 365 Eco Bar, material bekas hanya sebagai
aksen. Dampak pada nuansa yang tercipta pun berbeda. Kedua studi kasus mendesain ruang
sesuai dengan konsep dan target masing-masing.
Gambar 4.3.6 Ilustrasi Penggunan Material Bekas di 365 Eco Bar
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Gambar 4.3.7 Ilustrasi Penggunan Material Bekas di Junkyard Bar
5. Pembahasan
Three Bags Full merupakan acuan studi preseden, untuk mengetahui cara pemanfaatan
material bekas dengan pendekatan berbeda yang menghasilkan suasana ruang yang lebih
tenang dan tidak terlalu mencolok. Pada interior Three Bags Full, dapat terlihat variasi
penggunaan material bekas dan fleksibilitasnya dalam membentuk kualitas ruang. Dua studi
kasus yang saya datangi memiliki pembahasan dan masalah yang berbeda. Sehingga kedua
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
studi kasus ini
memberikan hasil tinjauan yang berbeda, tidak saya jadikan sebagai
perbandingan satu sama lain. Dari tiap studi kasus, saya dapat melihat secara nyata penerapan
material bekas dalam ruang interior, serta menemukan keunggulan dan kerugian dalam
menggunakan material bekas pada ruang interior. Pada kedua tempat tersebut dapat terlihat
material bekas yang digunakan baik dari bahan bangunan maupun non-bangunan (limbah atau
sampah produk sehari-hari). Penggunaan kedua bahan bangunan ini memiliki kecenderungan
sendiri. Bahan bekas dari bangunan seperti kayu bekas, lebih digunakan pada elemen
pembentuk ruang (sebagai pelapis dinding dan pelapis lantai). Sedangkan bahan dari limbah
non-bangunan, lebih digunakan sebagai elemen desain seperti furnitur, armatur lampu, hiasan,
dsb.
Pada studi kasus ini, walaupun dari pihak pemilik bar lebih cenderung pada fungsi
estetika, namun penggunaan material bekas merupakan salah satu fitur dalam pencapaian
desain yang sustainable, seperti tertera pada bab kajian teori. Produk furnitur yang digunakan
mengandung bahan yang berasal dari limbah dan beberapa merupakan bahan alami. Produkproduk tersebut juga dapat diolah kembali selanjutnya. Hal ini memenuhi fitur Recycled
Content, Embodied Energy Reduction, Natural Materials, Longer Life, Recyclable, dan
Reuseable.
6. Kesimpulan
Dewasa ini sudah mulai ada kepedulian terhadap desain yang bersahabat dengan
lingkungan. Hal ini dipicu kebutuhan untuk melestarikan lingkungan yang semakin terancam
dengan adanya pemanasan global dan teknologi manusia lainnya. Manusia sudah menemukan
salah satu cara untuk menanggulangi dengan membentuk sustainable design. Sustainable
design bukanlah suatu gerakan individual ataupun singular, melainkan melalui suatu proses
berkelanjutan agar menjadi efektif. Konsep desain ini dapat dilakukan dalam bentuk
sederhana maupun masif. Sederhana contohnya adalah aksesoris seperti tas, hingga masif
dalam bentuk bangunan high-rise. Dalam penulisan saya, sustainable design ditinjau dari
desain interior dengan fokus pada material bekas yang diterapkan sebagai elemen ruang
interiornya.
Berdasarkan studi kasus, saya melihat bahwa ada dua jenis tipe material bekas yang
digunakan yaitu material bekas dari bangunan dan non-bangungan. Material bangunan
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
contohnya adalah kayu bekas, bata, kaca, dsb. Sementara material non-bangunan adalah
limbah dari kegiatan sehari-hari seperti botol, plastik, tong besi, dsb. Dapat terlihat beragam
penerapan material bekas pada kedua studi kasus dan studi preseden dalam bentuk pelapis
dinding, pelapis lantai, partisi, furnitur, kusen dan armatur lampu. Sebenarnya bentuk
penerapan ini juga dapat dilakukan pada elemen struktural seperti plafon atau dinding, namun
pada studi kasus belom ada yang melakukannya. Dari peninjauan yang saya lakukan,
mayoritas dari produk material bekas tersebut menggunakan proses reuse karena prosesnya
lebih praktis dan ekonomis dibandingkan dengan recycle.
Penggunaan material bekas memiliki poin positif dan negatif. Dampak nyatanya adalah
pengurangan dalam menggunakan sumber daya baru dan pengurangan dalam jumlah limbah
atau sampah karena diolah kembali. Hal ini walaupun tidak berefek langsung, namun
merupakan salah satu langkah yang lebih mudah diaplikasikan. Ruang dengan penggunaan
material bekas yang menyeluruh, cenderung menimbulkan suasana yang informal, santai dan
muda. Hal ini sebenernya tidak bermasalah, namun dalam beberapa kasus dapat menjadi
kekurangan bagi konsep yang bertujuan lebih elegan dan dewasa; dapat dilihat pada kasus
365 Eco Bar. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemakaian material bekas bersifat terbatas
sesuai konsep ruang.
Material bekas memiliki karakteristik tersendiri sehingga menciptakan suasana ruang
dan pengalaman estetis yang berbeda dibandingkan material baru. Dari hasil wawancara,
pengalaman yang dialami pengunjung bervariasi sesuai dengan persepsi masing-masing.
Material bekas saat digunakan secara masif dapat menstimulasi pengunjungnya baik maupun
buruk. Beberapa pengunjung merasa bahwa desain tersebut sangat inovatif dan kreatif
sehingga mereka tertarik pada interior ruang yang unik. Namun, terdapat juga pengunjung
yang merasa ruang tersebut terasa kumuh dan kurang higienis. Pada akhirnya, penerapan
material bekas ini dapat disesuaikan tergantung konsep yang dituju. Penilaian estetis pada
ruang tersebut akan berbeda pada tiap individu, sehingga lebih baik desain tetap mengacu
pada konsep yang diinginkan. Dengan begini, pengunjung dapat mengekspektasi bentuk
ruang dan keputusan dikembalikan pada mereka, apa akan datang lagi atau tidak.
Beberapa saran yang dapat saya ajukan apabila ingin menggunakan material bekas pada
ruang yang lebih elegan, classy atau lembut adalah penerapan yang lebih bijaksana dan
terbatas. Salah satu contohnya adalah pada studi preseden dimana penerapan tidak secara
menyeluruh tetapi bersifat sebagai aksen ruang sehingga tidak langsung menyerang
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
visualisasi pengunjung secara langsung. Cara lainnya adalah dengan menerapkannya pada
elemen pembentuk ruang seperti lantai, dinding atau plafon yang menjadi latar bagi ruang.
Dalam hal ini, elemen-elemen tersebut berperan sebagai kanvas sehingga tidak menjadi poin
yang langsung menonjol. Saran lainnya adalah dengan mencoba menggunakan produk hasil
recycle, karena tampilannya dapat terlihat seperti baru. Salah satu contoh produk recycle yang
sering digunakan dalam interior adalah MDF (Medium Density Fiber) yang terbuat dari
pemadatan serbuk kayu.
Daftar Referensi
Buku:
Augustin, S. (2009). Place Advantage: Applied Psychology for Interior Architecture.
Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Birkeland, Janis. (2002). Design for Sustainability. UK: Earthscan Publication Ltd.
Caan, Shashi. (2011). Rethinking Design and Interiors. Human Beings in the Built
Environment. London: Laurence King Publishing Ltd.
Crowe, Norman. (1995). Nature and the Idea of a Man-made World. USA: The MIT Press.
Crowther, Richard L. (1992). Ecologic Architecture. USA: Butterworth-Heinemann.
Degen, Monica Montserrat and Rose, Gillian. (2012). The sensory experiencing of urban
design: the role of walking and perceptual memory. Urban Studies, 49(15), pp. 3269–3285.
Goldstein, E. B. (2006). Sensation and Perception. United States of America: Brooks/Cole
Publishing Company.
Kim, Jong-Jin and Rigdon, Brenda. (1998). Sustainable Architecture Module. Michigan:
National Pollution Prevention Center for Higher Education.
Mangunwijaya, Y.B. (1980). Pengantar Fisika Bangunan. Indonesia: Djambatan.
McDonough, William and Braungart, Michael. (2002). Cradle to Cradle: Remaking the Way
We Make Things. New York: North Point Press.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
McGowan, MaryRose. (2009). Specifying Interiors: A Guide to Construction and FF&E for
Residential and Commercial Interiors Projects. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muller, Dominique Gauzin. (2002). Sustainable Architecture and Urbanism: Concepts,
Technologies, Examples. Springer.
Pile, John F. (1995). Interior Design (2nd ed). New York: Harry N. Abrams, Inc.
Sassi, Paola. (2006). Strategies for Sustainable Architecture. New York: Taylor & Francis
Inc.
Tuan, Yi-Fu. (1977). Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis, United
States of America: University of Minnesota Press.
Yudelson, Jerry. (2007). Green Building A to Z. Understanding the Language of Green
Building. Canada: New Society Publishers.
Yudelson, Jerry. (2008). The Green Building Revolution. USA: Island Press.
Publikasi Elektronik:
Taylor, Cynthia. (1994). In the Interest of Art: The Aesthetics of Space. 20 Mei, 2013.
National Art Education Association. http://www.jstor.org/stable/3193454
Lockwood, Charles. (2006). Building the Green Way. 15 Maret, 2013. USA: Harvard
Bussiness School Publishing Corporation. www.hbr.org Putri,
Dini.
(2011).
Elemen-Elemen
Pembentuk
Ruang.
30
Maret,
2013.
http://diniputri15yahoocom.blogspot.com/2011/10/interior.html
Shelley,
James.
(2009).
The
Concept
of
the
Aesthetic.
20
Mei,
2013.
Commercial.
27
Juni,
2013.
http://plato.stanford.edu/entries/aesthetic-concept/ NJ
Green
Building
Manual.
(2011).
Existing
http://greenmanual.rutgers.edu/existingcommercial/strategies/sustainablematerials.pdf
Wawancara:
Deni. Manajer Operasional Junkyard Bar. 22 April 2013.
Hani. Hubungan Masyarakat 365 Eco Bar. 9 Mei 2013.
Para Responden yang merupakan pengunjung dari kedua tempat studi kasus.
Sustainable Design ..., Diandra Tarcia Nada, FT UI, 2013
Download