BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Obyek Penelitian Bila dikaji lebih lanjut pasar modal di Indonesia bukan merupakan hal baru. Sejarah pasar modal di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan bursa efek di Batavia pada tanggal 14 Desember 1912 yang diselenggarakan oleh Vereneging Voor de Effectenhandel. Dengan berkembangnya bursa efek di Batavia, pada tanggal 11 Januari 1925 Bursa Efek Surabaya, kemudian disusul dengan pembukaan bursa efek di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Karena pecahnya Perang Dunia II, maka Pemerintah Hindia Belanda menutup bursa efek di Batavia pada tanggal 10 Mei 1940. Pada jaman Republik Indonesia Serikat (RIS), bursa efek diaktifkan kembali. Diawali dengan diterbitkannya Obligasi Pemerintah Republik Indonesia tahun 1950, kemudian disusul dengan diterbitkannya Undang-Undang Darurat tentang bursa Nomor 13 tanggal 01 September 1951. Undang-Undang Darurat itu kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 tahun 1952. Pada saat itu penyelenggaraan bursa diserahkan pada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) dan Bank Indonesia (BI) ditunjuk sebagai penasihat. Kegiatan bursa kembali terhenti ketika pemerintah Belanda meluncurkan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah Belanda pada tahun 1956. 58 Program nasionalisasi ini disebabkan adanya sengketa antara pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat, dan sekarang bernama Papua, yang mengakibatkan larinya modal usaha ke luar negeri. Pada tanggal 10 Agustus 1977, Presiden Soeharto secara resmi membuka pasar modal di Indonesia yang ditandai dengan Go Public-nya PT. Semen Cibinong. Pada tahun itu juga pemerintah memperkenalkan Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM) sebagai usaha untuk menghidupkan pasar modal. Kegiatan perdagangan dan kapitalisasi pasar saham pun mulai meningkat seiring dengan perkembangan pasar finansial dan sektor swasta yang mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1990. Perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat dan masyarakat diberi kesempatan membeli saham-saham tersebut. Dengan cara ini, kita mulai melangkah maju dalam usaha kita membangun ekonomi kekeluargaan seperti yang disyaratkan Pasal 33 UUD 1945.” Sambutan itu disampaikan Presiden Soeharto saat mengaktifkan kembali Pasar Modal Indonesia, 10 Agustus 1977. Isinya menyiratkan bahwa pasar modal Indonesia diaktifkan kembali dengan mengedepankan asas pemerataan kepemilikan saham (baca: kekayaan). Adapun kata ”diaktifkannya” menunjukkan bahwa pasar modal telah ada sebelumnya. Namun, adanya patahan sejarah mengesankan perdagangan saham di negeri ini baru dimulai 32 tahun lalu. Patahan sejarah itu adalah terbaginya kisah pasar modal dalam tiga periode yang tak saling terkait. Periode pertama, yaitu sejarah berdirinya pasar modal di Indonesia, yang dimulai dari kegiatan jual-beli 59 efek tahun 1880. Saat itu saham perusahaan ataupun obligasi Pemerintah Belanda telah diperjualbelikan kepada investor di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Dalam buku Pasar Modal Indonesia: Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ diceritakan, untuk mengatur aktivitas jual beli surat berharga, Amsterdamse Effectenbueurs, yang merupakan bursa efek tertua di dunia (didirikan di Dam Square, Belanda, tahun 1611), akhirnya membuka cabangnya di Batavia 14 Desember 1912. Cabang ini kemudian dikenal sebagai Bursa Batavia yang tercatat sebagai bursa tertua keempat di Asia setelah Bursa Bombay (tahun 1830), Bursa Hongkong (1871), dan Bursa Tokyo (1878). Pendirian Bursa Batavia ini bertujuan mendukung keuangan kolonial. Penghimpunan dana memang bukan dari orang Indonesia yang saat itu masih susah, tetapi dari pemodal Belanda, Arab, dan China. Namun, perputaran uang dari pasar saham inilah yang menopang Belanda mengeksploitasi hasil bumi Indonesia sebesar-besarnya. Sampai pada periode ini jelas tidak ada tujuan pemerataan kekayaan melalui pasar modal di Indonesia. Karena memiliki emiten-emiten cukup menjanjikan, Bursa Batavia berkembang menjadi bursa internasional. Saham American Motors, Anaconda Copper, dan Bethlehem Steel—yang saat itu merupakan saham unggulan di New York Stock Exchange juga diperdagangkan di Bursa Batavia. Perkembangan ini mendorong Pemerintah Hindia Belanda membuka bursa efek di Surabaya dan Semarang tahun 1925. Namun, akibat Perang Dunia II, seluruh kegiatan pasar modal di Indonesia terhenti pada 10 Mei 1940. Saat ditutup, Bursa Batavia, Surabaya, dan Semarang telah memperdagangkan 250 60 jenis saham yang jika dihitung berdasarkan harga beras tahun 1982 memiliki total kapitalisasi pasar Rp 7 triliun. Pemerintah Belanda akhirnya membuka kembali bursa efek di Jakarta pada 23 Desember 1940. Namun, aktivitas jual-beli saham tidak kunjung pulih hingga Indonesia merdeka. Untuk menggalang dana dengan surat utang, tahun 1947 pemerintah berencana mengaktifkan kembali pasar modal, tetapi tertunda karena labilnya perekonomian. Baru tahun 1952 Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo membuka kembali bursa efek di gedung De Javasche Bank atau Bank Indonesia di Jakarta Kota. Namun, carut-marutnya situasi politik-ekonomi saat itu, konfrontasi Irian Barat, serta nasionalisasi perusahaan asing mengakibatkan aktivitas perdagangan saham tak bergairah. Semangat itu baru disampaikan Presiden Soeharto saat meresmikan ”Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia” tahun 1977, yang bisa disebut sebagai awal periode ketiga dari sejarah bursa saham Indonesia. Untuk mengembangkan pasar modal, sejak itu pemerintah memberikan fasilitas berupa keringanan pajak perseroan, pendapatan, dividen, dan kesempatan bagi investor asing memiliki saham sampai 49 persen. Fasilitas itu spontan mendorong perusahaan swasta ataupun BUMN untuk go public. Era itu dikenang sebagai masa ”kasmaran” pasar modal Indonesia. Di tengah kentalnya spekulasi itu, perkembangan pasar modal luar biasa. Kini Bursa Efek Indonesia memiliki 406 emiten dengan kapitalisasi pasar Rp 1.850 triliun dan rata-rata nilai transaksi Rp 4-5 triliun per hari. 61 Namun, apakah cita-cita diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia telah tercapai, yaitu terjadinya pemerataan kekayaan melalui bursa saham? Saat ini jumlah investor domestik 300.000 orang, 0,1 persen dari populasi. Betapa rendahnya daya jangkau pasar modal Indonesia sebagai wadah pemerataan kekayaan. Tertinggal dibanding Malaysia dengan 3 juta investor (12,8 persen populasi) atau Singapura 1,26 juta investor (30 persen populasi). Minimnya jumlah investor lokal ini juga berdampak pada mudahnya bursa dikendalikan investor asing. Pergerakan harga saham di BEI ditentukan keluar-masuknya modal asing sekalipun nilai transaksi mereka hanya 20-25 persen dari nilai transaksi keseluruhan. Sebagian hal ini dipengaruhi minimnya pengetahuan investor lokal tentang dunia investasi dan keuangan sehingga kerap berperilaku ikut-ikutan. Selain melalui proses edukasi dan sosialiasi, upaya peningkatan jumlah investor domestik juga sangat terkait dengan perlindungan investor. 5.1.2 Uji Asumsi Klasik Maksud dilakukan pengujian asumsi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan model regresi yang baik dan benar-benar mampu memberikan estimasi yang handal dan tidak bias. Analisis regresi juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Teknik estimasi variabel dependen yang melandasi independen analisis tersebut disebut Ordinary Least Squares (OLS). Model regresi yang menggunakan teknik OLS, sering disebut sebagai model regresi linear klasik. Untuk dapat dianalisis hasilnya, model tersebut harus 62 menggunakan asumsi OLS. Terdapat 10 asumsi OLS yang harus dipenuhi, tetapi pada umumnya hanya 4 uji yang harus dilakukan yaitu Uji Normalitas, Uji Heteroskedastisitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Multikolinieritas. Pengujian ini dilakukan untuk meyakini bahwa model regresi yang diperoleh mempunyai kemampuan untuk memprediksi dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan. 5.1.2.1 Uji Multikolinieritas Multikolinieritas adalah suatu keadaan di mana salah satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel independen lainnya. Cara yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya Multikolinieritas adalah dengan melakukan regresi antar variabel penjelas. Jika signifikan berarti terdapat Multikolinieritas. Untuk menguji Multikolinieritas dengan vasilitas yang disediakan SPSS yaitu dengan melihat nilai VIF dari masing-masing variabel. Jika nilai VIF lebih rendah dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada Multikolinieritas yang serius antara variabel independen dalam model. Dengan melihat nilai VIF dalam model regresi dapat diketahui bahwa masing-masing variabel tidak mengandung adanya gejala Multikolinieritas karena mempunyai nilai VIF yang lebih rendah dari 10. Hal ini menunjukkan model regresi tersebut lolos uji Multikolinieritas. 63 Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Pengujian Multikolinieritas Dengan Menggunakan Variance InflationFactor (VIF) Mode Collinearity Statistics l Tolerance VIF 1 (Constant) Nilai_Tukar .993 1.008 Tingkat_Suku_Bunga .993 1.008 a Dependent Variable: IHSG Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa hasil perhitungan nilai tolerance menunjukkan tidak ada variabel independen yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0,10 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95%. Hasil perhitungan Variance Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang sama, tidak ada satu variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada Multikolonieritas antar variabel independen dalam model regresi. 5.1.2.2 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji DurbinWatson (DW Test). Uji Durbin Watson hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi di antara variabel indepeden. Selanjutnya uji autokerelasi Durbin-Watson (DW Test) dilakukan dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data terlihat seperti Tabel 5.2. berikut: 64 Tabel 5.2 Hasil Uji Autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW Test) Std. Error Adjusted of the DurbinModel R R Square R Square Estimate Watson 1 .562(a) .316 .292 544.26754 1.982 a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar b Dependent Variable: IHSG Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa nilai DW sebesar 1.982. Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, dengan jumlah sampel sebanyak 60 (n) dan jumlah variabel independen 2 (k=2) sebagai berikut: Tabel 5.3 Tabel Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi Kesimpulan Keputusan Jika Ada autokorelasi Tolak Kurang dari 1,08 Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada korelasi Sumber: Ghozali (2006:96) No desicision 1,08 s/d 1,66 Tdk Tolak 1,66 s/d 2,34 No desicision 2,34 s/d 2,92 Ditolak Lebih dari 2,92 Nilai DW 1,982 lebih besar dari batas atas (du) 1.66 dan kurang dari 2,34 (4-du), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif atau negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi. 5.1.2.3 Uji Heterokedastisitas 65 Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Selanjutnya uji heterokedastisitas dengan menggunakan Glejser dilakukan dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data terlihat seperti tabel 5.4 berikut: Model 1 Tabel 5.4 Hasil Uji Heterokedastisitas dengan Glejser Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Error Beta (Constant) 1097.90 680.617 1 Nilai_Tukar -.151 .069 -.275 Tingkat_Su 3550.15 1912.59 .234 ku_Bunga 8 9 t Sig. 1.613 .112 -2.187 .063 1.856 .069 a Dependent Variable: COMPUTE res_2 = LAG(RES_1) Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolut Y atau | Y |. Hal ini terlihat dari probabilitas signifikansinya di atas 0,05 atau di atas tingkat kepercayaan 5%, jadi dapat disimpulkan model regresi tidak mengandung adanya heterokedastisitas. 5.1.2.4 Uji Normalitas 66 Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel, pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Untuk menguji normalitas dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji statistik dengan parametrik Kolmogrorov-Smirnow test (K-S) dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data terlihat seperti Tabel 5.5. berikut: Tabel 5.5 Hasil Normalitas dengan Kolmogrorov-Smirnow Test (K-S) Unstandardized Residual N 60 Normal Mean .0000000 Parameters(a,b) Std. Deviation 534.96313260 Most Extreme Absolute .085 Differences Positive .085 Negative -.083 Kolmogorov-Smirnov Z .661 Asymp. Sig. (2-tailed) .775 a Test distribution is Normal. b Calculated from data. Besarnya nilai Kolmogorov-Smimov adalah 0.661 dan menunjukkan keadaan yang tidak signifikan dengan nilai derajat probabilitas signifikansi atau p value > 0,05 atau 5%. Hal ini berarti Ho diterima, yang artinya bahwa data residual berdistribusi normal atau dapat dikatakan telah lolos uji normalitas. 5.1.3 Analisis Regresi 67 Dalam penelitian ini terdapat 1 (satu) variabel dependen, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan dua variabel independen yaitu Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil. Berdasarkan hal tersebut maka metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda. 5.1.3.1 Analisis Regresi Sebelum Krisis Dari analisa regresi yang dilakukan dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data dapat terlihat seperti Tabel 5.6 berikut: Tabel 5.6 Analisa Regresi Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) Nilai_Tukar Tingkat_Suku_ Bunga B Std. Error 1545.249 1094.873 11.127 .106 19325.054 Standardized Coefficients t Beta 5194.919 .384 1.811 1.903 .041 .039 .570 3.720 .001 a Dependent Variable: IHSG Berdasarkan Tabel 5.6, maka persamaan regresi yang di dapat adalah sebagai berikut: Y1 = 1545,249 + 11,127 X11 + 19325,054 X21 Keterangan : Y1 = Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebelum krisis global X11 = Nilai Tukar Riil sebelum krisis global X21 = Tingkat Suku Bunga Riil sebelum krisis global 68 Sig. Dari model regresi tersebut diperoleh konstanta sebesar 1545,249. Hal ini berarti bahwa tanpa adanya Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil akan terjadi perubahan IHSG sebesar 1545,249. Selanjutnya koefisien regresi Nilai Tukar Riil sebesar 11,127 dan bertanda positif, hal ini berarti bahwa setiap perubahan Nilai Tukar Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 11,127% dengan arah yang sama. Sedangkan Tingkat Suku Bunga Riil mempunyai koefisien regresi sebesar 19325,054 dan bertanda positif, berarti setiap perubahan Tingkat Suku Bunga Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 19325,054% dengan arah yang sama. Persamaan model matematis di atas menunjukkan bahwa pengaruh tingkat suku bunga riil lebih dominan daripada nilai tukar riil terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Hal itu ditunjukkan dari koefisien regresi tingkat suku bunga riil yaitu 19325,054 lebih besar dari koefisien regresi nilai tukar riil yang bernilai 11,127. 5.1.3.2 Analisis Regresi Sesudah Krisis Berdasarkan analisa regresi yang dilakukan dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data dapat terlihat seperti Tabel 5.7 berikut: 69 Tabel 5.7 Analisa Regresi Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) Nilai_Tukar Tingkat_Su ku_Bunga B 5824.449 5.391 Std. Error 1047.760 .097 3708.335 2550.907 Standardized Coefficients t Beta .593 5.559 4.042 .000 .000 .413 3.454 .008 a Dependent Variable: IHSG Berdasarkan Tabel 5.7, maka persamaan regresi yang di dapat adalah sebagai berikut: Y2 = 5824,449 + 5,391 X12 + 3708,335 X22 Keterangan : Y2 = Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesudah krisis global X12 = Nilai Tukar Riil sesudah krisis global X22 = Tingkat Suku Bunga Riil sesudah krisis global Berdasarkan model regresi tersebut diperoleh konstanta sebesar 5824,449. Hal ini berarti bahwa tanpa adanya Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil akan terjadi perubahan IHSG sebesar 5824,449. Selanjutnya koefisien regresi Nilai Tukar Riil sebesar 5,391 dan bertanda positif, hal ini berarti bahwa setiap perubahan Nilai Tukar Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 5,391% dengan arah yang sama. Sedangkan Tingkat Suku Bunga Riil mempunyai koefisien regresi sebesar 3708,335 dan bertanda positif, berarti setiap perubahan Tingkat Suku Bunga Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 3708,335% dengan arah yang sama. 70 Sig. Persamaan model matematis di atas menunjukkan bahwa pengaruh tingkat suku bunga riil lebih dominan daripada nilai tukar riil terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Hal itu ditunjukkan dari koefisien regresi tingkat suku bunga riil yaitu 3708,335 lebih besar dari koefisien regresi nilai tukar riil yang bernilai 5,391. 5.1.4 Pengujian Hipotesis 5.1.4.1 Pengujian Hipotesis Sebelum Krisis Global Hasil uji signifikansi individual (uji-t) dengan menggunakan Program SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Tabel 5.8 Uji Signifikansi Individual (Uji-t) Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) Nilai_Tukar Tingkat_Suku_ Bunga B Std. Error 1545.249 1094.873 11.127 .106 19325.054 5194.919 Standardized Coefficients t Beta .384 1.811 1.903 .041 .039 .570 3.720 .001 Sumber: Data diolah SPSS ver. 15 for windows Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0.039 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien regresi-nya adalah positif 11,127 yang artinya hipotesis pertama dapat diterima dimana menyatakan nilai tukar riil mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). 71 Sig. 2. Pengaruh Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0.001 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien regresi-nya adalah positif 19325,054, yang artinya hipotesis kedua dapat diterima dimana menyatakan tingkat suku bunga riil mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). 3. Pengaruh Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Hasil uji signifikansi simultan (uji-F) dengan menggunakan Program SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut: Tabel 5.9 Hasil Uji Silmutan (Uji-F) Model 1 Sum of Squares Regressi on Residual Total df Mean Square F Sig. 7.828 .002(a) 2701877.647 2 1350938.824 4659535.828 7361413.475 27 29 172575.401 a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar b Dependent Variable: IHSG Berdasarkan Tabel 5.9 dapat ketahui bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0,002 yang berarti lebih kecil dari 0.05 atau 5%, dengan demikian secara bersama-sama Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis ketiga yang 72 menyatakan Nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama (secara simultan) mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dibuktikan. 5.1.4.2 Koefisien Determinasi Pengukuran seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variabel yang terikat digunakan uji koefisien determinasi dari harga R2. Perhitungan regresi hasil olah data SPSS ditunjukkan pada Tabel 5.10 berikut ini: Tabel 5.10 Koefisien Determinasi Model 1 Adjusted R R Square R Square .706(a) .667 .620 Std. Error of the Estimate 415.42196 a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar Berdasarkan output SPSS model summary, besarnya adjusted R2 adalah 0,620, hal ini berarti 62% variabel dependen IHSG dapat dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil, sedangkan sisanya 38% (100%-62%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. 5.1.4.3 Pengujian Hipotesis Sesuadah Krisis Global Hasil uji signifikansi individual (uji-t) dengan menggunakan Program SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 73 Model 1 Tabel 5.11 Uji Signifikansi Individual (Uji-t) Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients (Constant) Nilai_Tukar Tingkat_Su ku_Bunga B 5824.449 5.391 Std. Error 1047.760 .097 3708.335 2550.907 t .593 5.559 4.042 .000 .000 .413 3.454 .008 Sumber: Data diolah SPSS ver. 15 for windows Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0.000 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien regresi-nya adalah positif 5,391 yang artinya hipotesis yang menyatakan Nilai tukar riil mempunyai pengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat diterima. Dengan demikian dikatakan bahwa nilai tukar riil mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap IHSG. 2. Pengaruh Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0.008 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien regresi-nya adalah positif 3708,335, yang artinya hipotesis yang menyatakan Tingkat suku bunga riil mempunyai pengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat diterima. Dengan demikian dikatakan bahwa tingkat suku bunga riil mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap IHSG. 74 Sig. Beta 3. Pengaruh Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Hasil uji signifikansi simultan (uji-F) dengan menggunakan Program SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut: Tabel 5.12 Hasil Uji Silmutan (Uji-F) ANOVA(b) Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 6300611.529 8476196.634 14776808.163 df Mean Square 2 3150305.765 27 313933.209 29 F 10.035 Sig. .001(a) a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar b Dependent Variable: IHSG Berdasarkan Tabel 5.12 dapat ketahui bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p value-nya adalah 0,001 yang berarti lebih kecil dari 0.05 atau 5%, dengan demikian secara bersama-sama Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis yang menyatakan Nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama (secara simultan) mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dibuktikan. 5.1.4.4 Koefisien Determinasi Untuk mengukur seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variabel yang terikat digunakan uji koefisien determinasi dari harga 75 R2. Perhitungan regresi hasil olah data SPSS ditunjukkan pada Tabel 5.13. berikut ini: Tabel 5.13 Koefisien Determinasi Model 1 Adjusted R R Square R Square .853(a) .726 .784 Std. Error of the Estimate 560.29743 a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar Berdasarkan output SPSS model summary, besarnya adjusted R2 adalah 0,784, hal ini berarti 78,4% variabel dependen IHSG dapat dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil, sedangkan sisanya 21,6% (100%-78,4%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. 5.2 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data penelitian periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2010 terlihat bahwa Nilai Tukar Riil mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG dikedua periode baik sebelum dan sesudah krisis global, pergerakan yang terjadi menunjukkan bahwa penguatan nilai tukar rupiah diikuti oleh penguatan indeks harga saham. Penguatan nilai tukar rupiah dalam hal ini memiliki artian bahwa nilai tukar rupiah menjadi lebih tinggi terhadap dollar (secara angka dapat di ilustrasikan bahwa nilai rupiah menjadi lebih kecil dari nilai sebelumnya terhadap dollar). Penguatan nilai tukar rupiah mampu meningkatkan kepercayaan dan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi yang selanjutnya mampu meningkatkan 76 pertumbuhan konsumsi dan investasi. Temuan ini memperkuat penelitian sebelumnya yang menyatakan pergerakan yang terjadi secara grafis menunjukkan pergerakan yang simetris, di mana penguatan nilai tukar akan diikuti oleh penguatan indeks harga saham. Demikian pula sebaliknya, pelemahan indeks harga saham akan diikuti dengan melemahnya nilai tukar rupiah (Untoro dan Widodo, 2008). Tingkat Suku Bunga Riil yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di kedua periode penelitian yaitu sebelum dan sesudah krisis global. Hal ini bertentangan dengan teori keuangan yang secara normatif mengutarakan sebaliknya, yaitu peningkatan suku bunga akan menyebabkan penurunan investasi di bursa saham dan meningkatkan investasi di bursa perbankan. Ketidaksesuaian hubungan ini terjadi dimungkinkan karena pada saat periode penelitian: 1. Terjadi pergeseran dana investor secara fundamental dari negara maju (Amerika dan Eropa) ke negara berkembang. Derasnya aliran modal investor dari Amerika dan Eropa tersebut terjadi karena saat itu suku bunga USD dan EURO masih sangat rendah padahal kondisi ekonomi dunia perlahan sudah mulai pulih sehingga investor tersebut mengalihkan investasi mereka ke pasar financial di negara yang pertumbuhan ekonominya pesat dengan tingkat suku bunga yang tinggi, dan Indonesia mencerminkan kondisi negara tujuan investor tersebut. Kondisi tersebut pada akhirnya memicu kenaikan yang signifikan terhadap IHSG dan menjadikan bursa Indonesia sebagai bursa dengan imbal 77 hasil tertinggi di Asia. (Sumber: detikFinance, Ulasan Sepekan IHSG dan Imbal Tertinggi di Asia, 18 Oktober 2010) 2. Investor tidak hanya melihat suku bunga dalam melakukan investasi di pasar modal Indonesia tetapi lebih melihat prospek bursa efek di Indonesia. Pengaruh suku bunga riil terhadap IHSG sebelum dan sesudah krisis global dalam penelitian ditemukan sama yaitu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan. Kondisi ini terjadi karena adanya krisis global tidak mengurungkan niat investor berinvestasi di pasar modal baik sebelum dan sesudah krisis terjadi. Cagan (1969) menunjukkan bahwa gerakan tingkat suku bunga lebih terlihat pada saat perekonomian bergerak dari resesi ke recovery. Pada akhirnya akan mendorong kenaikan harga saham. Kombinasi pengaruh faktor ini menyebabkan harga saham naik secara relatif lebih cepat, walaupun perekonomian mungkin hanya menunjukkan tanda perbaikan marginal. 5.3 Implikasi Penelitian Bagi investor yang berkeinginan untuk berinvestasi dalam pasar modal dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Temuan penelitian yang menyatakan bahwa nilai tukar riil memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap IHSG. Kenaikan dan penurunan nilai tukar riil perlu dijadikan pertimbangan dalam memutuskan saat berinvestasi 2. Temuan penelitian yang menyatakan bahwa suku bunga riil memiliki pengaruh positif dan 78 signifikan terhadap IHSG, telah mengesampingkan teori yang ada dimana suku bunga bukan satu-satunya yang menjadi perhatian investor dalam memutuskan untuk berinvestasi. 79