BAB IV - pps unud

advertisement
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1
Deskripsi Obyek Penelitian
Bila dikaji lebih lanjut pasar modal di Indonesia bukan merupakan hal
baru. Sejarah pasar modal di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak
Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan bursa efek di Batavia pada tanggal 14
Desember 1912 yang diselenggarakan oleh Vereneging Voor de Effectenhandel.
Dengan berkembangnya bursa efek di Batavia, pada tanggal 11 Januari 1925
Bursa Efek Surabaya, kemudian disusul dengan pembukaan bursa efek di
Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Karena pecahnya Perang Dunia II, maka
Pemerintah Hindia Belanda menutup bursa efek di Batavia pada tanggal 10 Mei
1940. Pada jaman Republik Indonesia Serikat (RIS), bursa efek diaktifkan
kembali. Diawali dengan diterbitkannya Obligasi Pemerintah Republik Indonesia
tahun 1950, kemudian disusul dengan diterbitkannya Undang-Undang Darurat
tentang bursa Nomor 13 tanggal 01 September 1951. Undang-Undang Darurat itu
kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 tahun 1952. Pada saat
itu penyelenggaraan bursa diserahkan pada Perserikatan Perdagangan Uang dan
Efek-efek (PPUE) dan Bank Indonesia (BI) ditunjuk sebagai penasihat. Kegiatan
bursa kembali terhenti ketika pemerintah Belanda meluncurkan program
nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah Belanda pada tahun 1956.
58
Program nasionalisasi ini disebabkan adanya sengketa antara pemerintah
Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat, dan sekarang bernama Papua,
yang mengakibatkan larinya modal usaha ke luar negeri. Pada tanggal 10 Agustus
1977, Presiden Soeharto secara resmi membuka pasar modal di Indonesia yang
ditandai dengan Go Public-nya PT. Semen Cibinong. Pada tahun itu juga
pemerintah memperkenalkan Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM) sebagai
usaha untuk menghidupkan pasar modal. Kegiatan perdagangan dan kapitalisasi
pasar saham pun mulai meningkat seiring dengan perkembangan pasar finansial
dan sektor swasta yang mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1990.
Perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sahamnya
kepada masyarakat dan masyarakat diberi kesempatan membeli saham-saham
tersebut. Dengan cara ini, kita mulai melangkah maju dalam usaha kita
membangun ekonomi kekeluargaan seperti yang disyaratkan Pasal 33 UUD
1945.”
Sambutan itu disampaikan Presiden Soeharto saat mengaktifkan
kembali Pasar Modal Indonesia, 10 Agustus 1977. Isinya menyiratkan bahwa
pasar modal Indonesia diaktifkan kembali dengan mengedepankan asas
pemerataan kepemilikan saham (baca: kekayaan). Adapun kata ”diaktifkannya”
menunjukkan bahwa pasar modal telah ada sebelumnya.
Namun, adanya patahan sejarah mengesankan perdagangan saham di
negeri ini baru dimulai 32 tahun lalu. Patahan sejarah itu adalah terbaginya kisah
pasar modal dalam tiga periode yang tak saling terkait. Periode pertama, yaitu
sejarah berdirinya pasar modal di Indonesia, yang dimulai dari kegiatan jual-beli
59
efek tahun 1880. Saat itu saham perusahaan ataupun obligasi Pemerintah Belanda
telah diperjualbelikan kepada investor di Batavia, Surabaya, dan Semarang.
Dalam buku Pasar Modal Indonesia: Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ
diceritakan, untuk mengatur aktivitas jual beli surat berharga, Amsterdamse
Effectenbueurs, yang merupakan bursa efek tertua di dunia (didirikan di Dam
Square, Belanda, tahun 1611), akhirnya membuka cabangnya di Batavia 14
Desember 1912. Cabang ini kemudian dikenal sebagai Bursa Batavia yang
tercatat sebagai bursa tertua keempat di Asia setelah Bursa Bombay (tahun 1830),
Bursa Hongkong (1871), dan Bursa Tokyo (1878). Pendirian Bursa Batavia ini
bertujuan mendukung keuangan kolonial. Penghimpunan dana memang bukan
dari orang Indonesia yang saat itu masih susah, tetapi dari pemodal Belanda,
Arab, dan China. Namun, perputaran uang dari pasar saham inilah yang
menopang Belanda mengeksploitasi hasil bumi Indonesia sebesar-besarnya.
Sampai pada periode ini jelas tidak ada tujuan pemerataan kekayaan melalui pasar
modal di Indonesia.
Karena memiliki emiten-emiten cukup menjanjikan, Bursa Batavia
berkembang menjadi bursa internasional. Saham American Motors, Anaconda
Copper, dan Bethlehem Steel—yang saat itu merupakan saham unggulan di New
York Stock Exchange juga diperdagangkan di Bursa Batavia.
Perkembangan ini mendorong Pemerintah Hindia Belanda membuka
bursa efek di Surabaya dan Semarang tahun 1925. Namun, akibat Perang Dunia
II, seluruh kegiatan pasar modal di Indonesia terhenti pada 10 Mei 1940. Saat
ditutup, Bursa Batavia, Surabaya, dan Semarang telah memperdagangkan 250
60
jenis saham yang jika dihitung berdasarkan harga beras tahun 1982 memiliki total
kapitalisasi pasar Rp 7 triliun.
Pemerintah Belanda akhirnya membuka kembali bursa efek di Jakarta
pada 23 Desember 1940. Namun, aktivitas jual-beli saham tidak kunjung pulih
hingga Indonesia merdeka. Untuk menggalang dana dengan surat utang, tahun
1947 pemerintah berencana mengaktifkan kembali pasar modal, tetapi tertunda
karena labilnya perekonomian. Baru tahun 1952 Menteri Keuangan Sumitro
Djojohadikusumo membuka kembali bursa efek di gedung De Javasche Bank atau
Bank Indonesia di Jakarta Kota.
Namun, carut-marutnya situasi politik-ekonomi saat itu, konfrontasi
Irian Barat, serta nasionalisasi perusahaan asing mengakibatkan aktivitas
perdagangan saham tak bergairah. Semangat itu baru disampaikan Presiden
Soeharto saat meresmikan ”Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia” tahun
1977, yang bisa disebut sebagai awal periode ketiga dari sejarah bursa saham
Indonesia.
Untuk mengembangkan pasar modal, sejak itu pemerintah memberikan
fasilitas berupa keringanan pajak perseroan, pendapatan, dividen, dan kesempatan
bagi investor asing memiliki saham sampai 49 persen. Fasilitas itu spontan
mendorong perusahaan swasta ataupun BUMN untuk go public. Era itu dikenang
sebagai masa ”kasmaran” pasar modal Indonesia.
Di tengah kentalnya spekulasi itu, perkembangan pasar modal luar
biasa. Kini Bursa Efek Indonesia memiliki 406 emiten dengan kapitalisasi pasar
Rp 1.850 triliun dan rata-rata nilai transaksi Rp 4-5 triliun per hari.
61
Namun, apakah cita-cita diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia telah
tercapai, yaitu terjadinya pemerataan kekayaan melalui bursa saham? Saat ini
jumlah investor domestik 300.000 orang, 0,1 persen dari populasi. Betapa
rendahnya daya jangkau pasar modal Indonesia sebagai wadah pemerataan
kekayaan. Tertinggal dibanding Malaysia dengan 3 juta investor (12,8 persen
populasi) atau Singapura 1,26 juta investor (30 persen populasi). Minimnya
jumlah investor lokal ini juga berdampak pada mudahnya bursa dikendalikan
investor asing. Pergerakan harga saham di BEI ditentukan keluar-masuknya
modal asing sekalipun nilai transaksi mereka hanya 20-25 persen dari nilai
transaksi keseluruhan. Sebagian hal ini dipengaruhi minimnya pengetahuan
investor lokal tentang dunia investasi dan keuangan sehingga kerap berperilaku
ikut-ikutan. Selain melalui proses edukasi dan sosialiasi, upaya peningkatan
jumlah investor domestik juga sangat terkait dengan perlindungan investor.
5.1.2
Uji Asumsi Klasik
Maksud dilakukan pengujian asumsi dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan model regresi yang baik dan benar-benar mampu memberikan
estimasi yang handal dan tidak bias.
Analisis regresi juga menunjukkan arah hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen. Teknik estimasi variabel dependen yang
melandasi independen analisis tersebut disebut Ordinary Least Squares (OLS).
Model regresi yang menggunakan teknik OLS, sering disebut sebagai
model regresi linear klasik. Untuk dapat dianalisis hasilnya, model tersebut harus
62
menggunakan asumsi OLS. Terdapat 10 asumsi OLS yang harus dipenuhi, tetapi
pada umumnya hanya 4 uji yang harus dilakukan yaitu Uji Normalitas, Uji
Heteroskedastisitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Multikolinieritas. Pengujian ini
dilakukan untuk meyakini bahwa model regresi yang diperoleh mempunyai
kemampuan untuk memprediksi dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan.
5.1.2.1 Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah suatu keadaan di mana salah satu atau lebih
variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel
independen lainnya. Cara yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
Multikolinieritas adalah dengan melakukan regresi antar variabel penjelas. Jika
signifikan berarti terdapat Multikolinieritas. Untuk menguji Multikolinieritas
dengan vasilitas yang disediakan SPSS yaitu dengan melihat nilai VIF dari
masing-masing variabel. Jika nilai VIF lebih rendah dari 10, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada Multikolinieritas yang serius antara variabel
independen dalam model. Dengan melihat nilai VIF dalam model regresi dapat
diketahui bahwa masing-masing variabel tidak mengandung adanya gejala
Multikolinieritas karena mempunyai nilai VIF yang lebih rendah dari 10. Hal ini
menunjukkan model regresi tersebut lolos uji Multikolinieritas.
63
Tabel 5.1
Ringkasan Hasil Pengujian Multikolinieritas
Dengan Menggunakan Variance InflationFactor (VIF)
Mode
Collinearity Statistics
l
Tolerance
VIF
1
(Constant)
Nilai_Tukar
.993
1.008
Tingkat_Suku_Bunga
.993
1.008
a Dependent Variable: IHSG
Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa hasil perhitungan nilai tolerance
menunjukkan tidak ada variabel independen yang memiliki nilai tolerance kurang
dari 0,10 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya
lebih dari 95%. Hasil perhitungan Variance Inflation Factor (VIF) juga
menunjukkan hal yang sama, tidak ada satu variabel independen yang memiliki
nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada Multikolonieritas
antar variabel independen dalam model regresi.
5.1.2.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji DurbinWatson (DW Test). Uji Durbin Watson hanya digunakan untuk autokorelasi
tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept
(konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi di antara variabel
indepeden. Selanjutnya uji autokerelasi Durbin-Watson (DW Test) dilakukan
dengan menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data
terlihat seperti Tabel 5.2. berikut:
64
Tabel 5.2
Hasil Uji Autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW Test)
Std. Error
Adjusted
of the
DurbinModel
R
R Square R Square
Estimate
Watson
1
.562(a)
.316
.292 544.26754
1.982
a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar
b Dependent Variable: IHSG
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa nilai DW sebesar 1.982. Nilai ini akan
dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%,
dengan jumlah sampel sebanyak 60 (n) dan jumlah variabel independen 2 (k=2)
sebagai berikut:
Tabel 5.3
Tabel Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi
Kesimpulan
Keputusan
Jika
Ada autokorelasi
Tolak
Kurang dari 1,08
Tanpa kesimpulan
Tidak ada autokorelasi
Tanpa kesimpulan
Ada korelasi
Sumber: Ghozali (2006:96)
No desicision
1,08 s/d 1,66
Tdk Tolak
1,66 s/d 2,34
No desicision
2,34 s/d 2,92
Ditolak
Lebih dari 2,92
Nilai DW 1,982 lebih besar dari batas atas (du) 1.66 dan kurang dari 2,34
(4-du), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif atau negatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi.
5.1.2.3 Uji Heterokedastisitas
65
Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas.
Selanjutnya uji heterokedastisitas dengan menggunakan Glejser dilakukan dengan
menggunakan bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data terlihat
seperti tabel 5.4 berikut:
Model
1
Tabel 5.4
Hasil Uji Heterokedastisitas dengan Glejser
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std.
B
Error
Beta
(Constant)
1097.90
680.617
1
Nilai_Tukar
-.151
.069
-.275
Tingkat_Su
3550.15 1912.59
.234
ku_Bunga
8
9
t
Sig.
1.613
.112
-2.187
.063
1.856
.069
a Dependent Variable: COMPUTE res_2 = LAG(RES_1)
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen
yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolut Y
atau | Y |. Hal ini terlihat dari probabilitas signifikansinya di atas 0,05 atau di atas
tingkat kepercayaan 5%, jadi dapat disimpulkan model regresi tidak mengandung
adanya heterokedastisitas.
5.1.2.4 Uji Normalitas
66
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel, pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Untuk menguji
normalitas dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji statistik dengan
parametrik Kolmogrorov-Smirnow test (K-S) dengan menggunakan bantuan
Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data terlihat seperti Tabel 5.5.
berikut:
Tabel 5.5
Hasil Normalitas dengan Kolmogrorov-Smirnow Test (K-S)
Unstandardized
Residual
N
60
Normal
Mean
.0000000
Parameters(a,b)
Std. Deviation
534.96313260
Most Extreme
Absolute
.085
Differences
Positive
.085
Negative
-.083
Kolmogorov-Smirnov Z
.661
Asymp. Sig. (2-tailed)
.775
a Test distribution is Normal.
b Calculated from data.
Besarnya nilai Kolmogorov-Smimov adalah 0.661 dan menunjukkan
keadaan yang tidak signifikan dengan nilai derajat probabilitas signifikansi atau p
value > 0,05 atau 5%. Hal ini berarti Ho diterima, yang artinya bahwa data
residual berdistribusi normal atau dapat dikatakan telah lolos uji normalitas.
5.1.3
Analisis Regresi
67
Dalam penelitian ini terdapat 1 (satu) variabel dependen, yaitu Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG), dan dua variabel independen yaitu Nilai Tukar Riil dan
Tingkat Suku Bunga Riil. Berdasarkan hal tersebut maka metode analisis yang
digunakan adalah regresi berganda.
5.1.3.1 Analisis Regresi Sebelum Krisis
Dari analisa regresi yang dilakukan dengan menggunakan bantuan
Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data dapat terlihat seperti Tabel
5.6 berikut:
Tabel 5.6
Analisa Regresi
Unstandardized
Coefficients
Model
1
(Constant)
Nilai_Tukar
Tingkat_Suku_
Bunga
B
Std. Error
1545.249 1094.873
11.127
.106
19325.054
Standardized
Coefficients
t
Beta
5194.919
.384
1.811
1.903
.041
.039
.570
3.720
.001
a Dependent Variable: IHSG
Berdasarkan Tabel 5.6, maka persamaan regresi yang di dapat adalah
sebagai berikut:
Y1 = 1545,249 + 11,127 X11 + 19325,054 X21
Keterangan :
Y1
= Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebelum krisis global
X11
= Nilai Tukar Riil sebelum krisis global
X21
= Tingkat Suku Bunga Riil sebelum krisis global
68
Sig.
Dari model regresi tersebut diperoleh konstanta sebesar 1545,249. Hal ini
berarti bahwa tanpa adanya Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil akan
terjadi perubahan IHSG sebesar 1545,249. Selanjutnya koefisien regresi Nilai
Tukar Riil sebesar 11,127 dan bertanda positif, hal ini berarti bahwa setiap
perubahan Nilai Tukar Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka
perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 11,127% dengan arah yang
sama. Sedangkan Tingkat Suku Bunga Riil mempunyai koefisien regresi sebesar
19325,054 dan bertanda positif, berarti setiap perubahan Tingkat Suku Bunga Riil
satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan
mengalami perubahan sebesar 19325,054% dengan arah yang sama.
Persamaan model matematis di atas menunjukkan bahwa pengaruh tingkat
suku bunga riil lebih dominan daripada nilai tukar riil terhadap indeks harga
saham gabungan (IHSG). Hal itu ditunjukkan dari koefisien regresi tingkat suku
bunga riil yaitu 19325,054 lebih besar dari koefisien regresi nilai tukar riil yang
bernilai 11,127.
5.1.3.2 Analisis Regresi Sesudah Krisis
Berdasarkan analisa regresi yang dilakukan dengan menggunakan
bantuan Program SPSS ver 15 for windows, hasil olah data dapat terlihat
seperti Tabel 5.7 berikut:
69
Tabel 5.7
Analisa Regresi
Unstandardized
Coefficients
Model
1
(Constant)
Nilai_Tukar
Tingkat_Su
ku_Bunga
B
5824.449
5.391
Std. Error
1047.760
.097
3708.335
2550.907
Standardized
Coefficients
t
Beta
.593
5.559
4.042
.000
.000
.413
3.454
.008
a Dependent Variable: IHSG
Berdasarkan Tabel 5.7, maka persamaan regresi yang di dapat adalah
sebagai berikut:
Y2 = 5824,449 + 5,391 X12 + 3708,335 X22
Keterangan :
Y2
= Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesudah krisis global
X12
= Nilai Tukar Riil sesudah krisis global
X22
= Tingkat Suku Bunga Riil sesudah krisis global
Berdasarkan model regresi tersebut diperoleh konstanta sebesar 5824,449.
Hal ini berarti bahwa tanpa adanya Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga Riil
akan terjadi perubahan IHSG sebesar 5824,449. Selanjutnya koefisien regresi
Nilai Tukar Riil sebesar 5,391 dan bertanda positif, hal ini berarti bahwa setiap
perubahan Nilai Tukar Riil satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka
perubahan IHSG akan mengalami perubahan sebesar 5,391% dengan arah yang
sama. Sedangkan Tingkat Suku Bunga Riil mempunyai koefisien regresi sebesar
3708,335 dan bertanda positif, berarti setiap perubahan Tingkat Suku Bunga Riil
satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap maka perubahan IHSG akan
mengalami perubahan sebesar 3708,335% dengan arah yang sama.
70
Sig.
Persamaan model matematis di atas menunjukkan bahwa pengaruh tingkat
suku bunga riil lebih dominan daripada nilai tukar riil terhadap indeks harga
saham gabungan (IHSG). Hal itu ditunjukkan dari koefisien regresi tingkat suku
bunga riil yaitu 3708,335 lebih besar dari koefisien regresi nilai tukar riil yang
bernilai 5,391.
5.1.4
Pengujian Hipotesis
5.1.4.1 Pengujian Hipotesis Sebelum Krisis Global
Hasil uji signifikansi individual (uji-t) dengan menggunakan Program
SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut:
1.
Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Tabel 5.8
Uji Signifikansi Individual (Uji-t)
Unstandardized
Coefficients
Model
1
(Constant)
Nilai_Tukar
Tingkat_Suku_
Bunga
B
Std. Error
1545.249 1094.873
11.127
.106
19325.054
5194.919
Standardized
Coefficients
t
Beta
.384
1.811
1.903
.041
.039
.570
3.720
.001
Sumber: Data diolah SPSS ver. 15 for windows
Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p
value-nya adalah 0.039 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien
regresi-nya adalah positif 11,127 yang artinya hipotesis pertama dapat
diterima dimana menyatakan nilai tukar riil mempunyai pengaruh signifikan
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia
(BEI).
71
Sig.
2.
Pengaruh Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG)
Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau p
value-nya adalah 0.001 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien
regresi-nya adalah positif 19325,054, yang artinya hipotesis kedua dapat
diterima dimana menyatakan tingkat suku bunga riil mempunyai pengaruh
signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
3.
Pengaruh Nilai Tukar Riil dan Tingkat Suku Bunga
Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Hasil uji signifikansi simultan (uji-F) dengan menggunakan Program
SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut:
Tabel 5.9
Hasil Uji Silmutan (Uji-F)
Model
1
Sum of
Squares
Regressi
on
Residual
Total
df
Mean Square
F
Sig.
7.828
.002(a)
2701877.647
2
1350938.824
4659535.828
7361413.475
27
29
172575.401
a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar
b Dependent Variable: IHSG
Berdasarkan Tabel 5.9 dapat ketahui bahwa nilai probabilitas
signifikansi atau p value-nya adalah 0,002 yang berarti lebih kecil dari 0.05
atau 5%, dengan demikian secara bersama-sama Nilai Tukar Riil dan Tingkat
Suku Bunga Riil berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG). Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis ketiga yang
72
menyatakan Nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama
(secara simultan) mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dibuktikan.
5.1.4.2 Koefisien Determinasi
Pengukuran seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam menerangkan
variabel yang terikat digunakan uji koefisien determinasi dari harga R2.
Perhitungan regresi hasil olah data SPSS ditunjukkan pada Tabel 5.10 berikut ini:
Tabel 5.10
Koefisien Determinasi
Model
1
Adjusted
R
R Square R Square
.706(a)
.667
.620
Std. Error
of the
Estimate
415.42196
a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar
Berdasarkan output SPSS model summary, besarnya adjusted R2 adalah
0,620, hal ini berarti 62% variabel dependen IHSG dapat dijelaskan atau
dipengaruhi oleh variabel independen nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil,
sedangkan sisanya 38% (100%-62%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di
luar model.
5.1.4.3 Pengujian Hipotesis Sesuadah Krisis Global
Hasil uji signifikansi individual (uji-t) dengan menggunakan Program
SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut:
1.
Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
73
Model
1
Tabel 5.11
Uji Signifikansi Individual (Uji-t)
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
(Constant)
Nilai_Tukar
Tingkat_Su
ku_Bunga
B
5824.449
5.391
Std. Error
1047.760
.097
3708.335
2550.907
t
.593
5.559
4.042
.000
.000
.413
3.454
.008
Sumber: Data diolah SPSS ver. 15 for windows
Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau
p value-nya adalah 0.000 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien
regresi-nya adalah positif 5,391 yang artinya hipotesis yang menyatakan Nilai
tukar riil mempunyai pengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat diterima. Dengan
demikian dikatakan bahwa nilai tukar riil mempunyai hubungan yang positif
dan signifikan terhadap IHSG.
2.
Pengaruh Tingkat Suku Bunga Riil
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa nilai probabilitas signifikansi atau
p value-nya adalah 0.008 atau lebih kecil dari 0.05 atau 5% dan koefisien
regresi-nya adalah positif 3708,335, yang artinya hipotesis yang menyatakan
Tingkat suku bunga riil mempunyai pengaruh positif terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat diterima.
Dengan demikian dikatakan bahwa tingkat suku bunga riil mempunyai
hubungan yang positif dan signifikan terhadap IHSG.
74
Sig.
Beta
3.
Pengaruh
Nilai
Tukar
Riil
dan
Tingkat Suku Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG)
Hasil uji signifikansi simultan (uji-F) dengan menggunakan Program
SPSS ver 15 for windows adalah sebagai berikut:
Tabel 5.12
Hasil Uji Silmutan (Uji-F)
ANOVA(b)
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
6300611.529
8476196.634
14776808.163
df Mean Square
2 3150305.765
27
313933.209
29
F
10.035
Sig.
.001(a)
a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar
b Dependent Variable: IHSG
Berdasarkan Tabel 5.12 dapat ketahui bahwa nilai probabilitas
signifikansi atau p value-nya adalah 0,001 yang berarti lebih kecil dari 0.05
atau 5%, dengan demikian secara bersama-sama Nilai Tukar Riil dan Tingkat
Suku Bunga Riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis yang
menyatakan Nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama
(secara simultan) mempunyai pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dibuktikan.
5.1.4.4 Koefisien Determinasi
Untuk mengukur seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam
menerangkan variabel yang terikat digunakan uji koefisien determinasi dari harga
75
R2. Perhitungan regresi hasil olah data SPSS ditunjukkan pada Tabel 5.13. berikut
ini:
Tabel 5.13
Koefisien Determinasi
Model
1
Adjusted
R
R Square R Square
.853(a)
.726
.784
Std. Error
of the
Estimate
560.29743
a Predictors: (Constant), Tingkat_Suku_Bunga, Nilai_Tukar
Berdasarkan output SPSS model summary, besarnya adjusted R2 adalah
0,784, hal ini berarti 78,4% variabel dependen IHSG dapat dijelaskan atau
dipengaruhi oleh variabel independen nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil,
sedangkan sisanya 21,6% (100%-78,4%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di
luar model.
5.2
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data penelitian periode
Januari 2006 sampai dengan Desember 2010 terlihat bahwa Nilai Tukar Riil
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG dikedua periode
baik sebelum dan sesudah krisis global, pergerakan yang terjadi menunjukkan
bahwa penguatan nilai tukar rupiah diikuti oleh penguatan indeks harga saham.
Penguatan nilai tukar rupiah dalam hal ini memiliki artian bahwa nilai tukar
rupiah menjadi lebih tinggi terhadap dollar (secara angka dapat di ilustrasikan
bahwa nilai rupiah menjadi lebih kecil dari nilai sebelumnya terhadap dollar).
Penguatan nilai tukar rupiah mampu meningkatkan kepercayaan dan memberikan
kepastian bagi pelaku ekonomi yang selanjutnya mampu meningkatkan
76
pertumbuhan konsumsi dan investasi. Temuan ini memperkuat penelitian
sebelumnya yang menyatakan pergerakan yang terjadi secara grafis menunjukkan
pergerakan yang simetris, di mana penguatan nilai tukar akan diikuti oleh
penguatan indeks harga saham. Demikian pula sebaliknya, pelemahan indeks
harga saham akan diikuti dengan melemahnya nilai tukar rupiah (Untoro dan
Widodo, 2008).
Tingkat Suku Bunga Riil yang memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap IHSG di kedua periode penelitian yaitu sebelum dan sesudah krisis
global. Hal ini bertentangan dengan teori keuangan yang secara normatif
mengutarakan sebaliknya, yaitu peningkatan suku bunga akan menyebabkan
penurunan investasi di bursa saham dan meningkatkan investasi di bursa
perbankan. Ketidaksesuaian hubungan ini terjadi dimungkinkan karena pada saat
periode penelitian:
1. Terjadi pergeseran dana investor secara fundamental dari negara maju
(Amerika dan Eropa) ke negara berkembang. Derasnya aliran modal investor
dari Amerika dan Eropa tersebut terjadi karena saat itu suku bunga USD dan
EURO masih sangat rendah padahal kondisi ekonomi dunia perlahan sudah
mulai pulih sehingga investor tersebut mengalihkan investasi mereka ke pasar
financial di negara yang pertumbuhan ekonominya pesat dengan tingkat suku
bunga yang tinggi, dan Indonesia mencerminkan kondisi negara tujuan investor
tersebut. Kondisi tersebut pada akhirnya memicu kenaikan yang signifikan
terhadap IHSG dan menjadikan bursa Indonesia sebagai bursa dengan imbal
77
hasil tertinggi di Asia. (Sumber: detikFinance, Ulasan Sepekan IHSG dan Imbal
Tertinggi di Asia, 18 Oktober 2010)
2. Investor tidak hanya melihat suku bunga dalam melakukan investasi di pasar
modal Indonesia tetapi lebih melihat prospek bursa efek di Indonesia.
Pengaruh suku bunga riil terhadap IHSG sebelum dan sesudah krisis global dalam
penelitian ditemukan sama yaitu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan.
Kondisi ini terjadi karena adanya krisis global tidak mengurungkan niat investor
berinvestasi di pasar modal baik sebelum dan sesudah krisis terjadi.
Cagan (1969) menunjukkan bahwa gerakan tingkat suku bunga lebih
terlihat pada saat perekonomian bergerak dari resesi ke recovery. Pada akhirnya
akan mendorong kenaikan harga saham. Kombinasi pengaruh faktor ini
menyebabkan harga saham naik secara relatif lebih cepat, walaupun
perekonomian mungkin hanya menunjukkan tanda perbaikan marginal.
5.3
Implikasi Penelitian
Bagi investor yang berkeinginan untuk berinvestasi dalam pasar modal
dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Temuan penelitian yang menyatakan bahwa nilai tukar riil
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap IHSG. Kenaikan dan
penurunan nilai tukar riil perlu dijadikan pertimbangan dalam memutuskan
saat berinvestasi
2.
Temuan penelitian yang menyatakan bahwa suku bunga riil
memiliki
pengaruh
positif
dan
78
signifikan
terhadap
IHSG,
telah
mengesampingkan teori yang ada dimana suku bunga bukan satu-satunya
yang menjadi perhatian investor dalam memutuskan untuk berinvestasi.
79
Download