BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma serviks adalah keganasan dari leher rahim yang disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Karsinoma serviks menempati peringkat ke2 tersering yang menginfeksi wanita di dunia dan ke-2 tersering yang ditemukan pada wanita antara usia 15 - 44 tahun (World Health Organization, 2007). Pada tahun 2007, 265.884 wanita di dunia didiagnosis menderita karsinoma serviks dan 142.735 meninggal karena penyakit ini. Setiap tahun diestimasikan 493.243 wanita yang berusia diatas 15 tahun terdiagnosa karsinoma serviks dan 273.505 meninggal. Di Asia, sekitar 8.3% populasi wanita mengidap penyakit HPV serviks pada waktu tertentu dalam hidupnya, dan 66.7% karsinoma serviks di Asia diakibatkan oleh HPV tipe 16 atau tipe 18. Indonesia memiliki populasi wanita sebanyak 80,57 juta jiwa dan memiliki risiko yang tinggi untuk terkena karsinoma serviks pada usia 15 tahun. Pada perkiraaan insidensi setiap tahun sekitar 15.050 wanita didiagnosis karsinoma serviks dan 7.566 orang diantaranya meninggal (World Health Organization, 2007). Seiring dengan meningkatnya populasi, maka insidensi karsinoma serviks juga meningkat, padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi pra kanker yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi karsinoma serviks. Dalam beberapa dekade, angka penderita karsinoma serviks di negara-negara maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir insidensi karsinoma serviks menurun sekitar 70%. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik. Sebaliknya, di negara-negara berkembang, angka penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan justru meningkat akibat populasi yang meningkat (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita karsinoma serviks akibat bergesernya gaya hidup manusia, contohnya makanan - makanan 1 2 siap saji, berganti- ganti pasangan, pil KB, merokok, kehamilan yang terlalu banyak, dan seks terlalu dini (What are the risk factors for cervical cancer, 2013). Karsinoma serviks dapat dicegah perkembangannya bila terdeteksi lebih dini. Di Indonesia karsinoma serviks banyak ditemukan sesudah stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat, serta belum adanya sistim pelayanan yang terorganisasi, baik mulai dari deteksi dini sampai penanganan karsinoma serviks stadium lanjut. Selain itu terbatasnya sarana dan prasana termasuk tenaga ahli yang kompeten menangani penyakit ini secara merata menjadi tantangan tersendiri (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). Deteksi dini bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti tes Papanicolau (PAP Smear test), liquid base cytology, kolposkopi, dan tes IVA (inspeksi visual asam asetat). Pemeriksaan serviks dengan metode tes IVA sudah sangat marak dan popular. Tes IVA merupakan suatu metode skrining yang murah, sederhana, dan mampu mendeteksi kelainan lebih tinggi dari pap smear. Selain itu metode tes IVA ini dapat dilakukan di Puskesmas – puskesmas sehingga diharapkan karsinoma serviks dapat dicegah lebih dini dengan menjadi pemeriksaan secara teratur (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). 1.2 Identifikasi masalah Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. Bagaimana sikap masyarakat tentang program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. Bagaimana perilaku masyarakat tentang program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. 3 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. 1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah Manfaat akademik dari karya tulis ilmiah ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan mengenai program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. Manfaat praktis dari karya tulis ilmiah ini adalah menanamkan kesadaran kepada masyarakat mengenai program pencegahan karsinoma serviks melalui skrining dini dengan metode tes IVA. 1.5 Landasan Teori Program efektif yang mengalamatkan promosi kesehatan atau manajemen penyakit kronis cenderung didasarkan pada pemahaman yang kuat tentang perilaku kesehatan yang diubah dan konteks lingkungan di mana perilaku kesehatan terjadi. Teori Perilaku Kesehatan menyediakan cara yang sistematis dari mencoba memahami mengapa orang melakukan hal-hal yang mereka lakukan dan bagaimana lingkungan mereka menyediakan konteks untuk perilaku mereka (Theory At A Glace: A Guide For Health Promotion Practice). Ada banyak teori perilaku kesehatan yang diambil dari berbagai teori termasuk : psikologi, sosiologi, antropologi dan pemasaran. Teori-teori ini menyediakan perencana kerangka untuk merancang, menerapkan dan mengevaluasi program kesehatan, dan menyikapi perilaku kesehatan yang terkait. Menggunakan teori perilaku kesehatan dalam pengembangan program kesehatan yang terkait membantu membangun dasar bukti di mana kesehatan terkait pemograman dibangun. Teori panduan mencari alasan mengapa orang mempraktekkan 4 kesehatan berkaitan perilaku mereka lakukan. The National Cancer Institute menerbitkan sebuah panduan untuk praktek promosi kesehatan yang memberikan informasi rinci tentang teori perilaku kesehatan dan bagaimana menggunakan teori -teori untuk mengembangkan program kesehatan yang terkait (Theory At A Glace: A Guide For Health Promotion Practice). Hal ini penting bagi orang-orang yang ingin mengatasi kesehatan masyarakat mereka untuk memahami lima tingkat dampak yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Hal ini penting untuk mengatasi semua lima tingkat penyebaran untuk membawa perubahan yang efektif untuk perbaikan kesehatan. Lima tingkat kesehatan tersebut digambarkan dalam model sosial – ekologi, dimulai dari tingkat individual, grup kerabat, organisasi, komunitas sampai masyarakat luas (Theory At A Glace: A Guide For Health Promotion Practice). Salah satu strategi pemerintah yang digunakan untuk mengurangi penyakit kronis, dalam hal ini karsinoma serviks, adalah skrining dini dengan cara tes IVA. Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) merupakan pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3- 5%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite) (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan 5 cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya (DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, 2008). 1.6 Metodologi Penelitian Jenis penelitian : survei deskriptif observasional Teknik pengumpulan data : survei melalui wawancara langsung terhadap responden Instrument pokok penelitian : kuisioner 1.7 Rancangan penelitian : cross sectional Sample penelitian : whole sampling Lokasi dan Waktu Penelitian Tempat penelitian : Puskesmas X Kota Cimahi dan Universitas Kristen Maranatha Waktu penelitian : Januari 2013 – Desember 2013