BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman kakao

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
Asal Tanaman Kakao
Kakao merupakan tanaman perkebunan penghasil biji coklat yang berasal
dari hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan.
Secara umum tanaman kakao dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu Forastero,
Criollo, dan Trinitario yang merupakan hasil persilangan antara Forastero dengan
Criollo (Moramayor 2008). Sebagian besar klon-klon kakao yang dikembangkan
sekarang merupakan pengembangan dari tipe Forastero.
Tanaman ini mulai masuk dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa
Spanyol pada tahun 1560 di Manado, dan beberapa tempat di Sulawesi. Di Jawa
kakao mulai ditanam pada tahun 1880 di perkebunan Djati Runggo, sehingga
kemudian dikenal dengan klom DR yang merupakan kakao mulia, dan hingga kini
masih tetap ditanam (Prawoto 2008). Selanjutnya dihasilkan klon-klon lain seiring
dengan berkembangnya perkebunan kakao di berbagai wilayah di Indonesia, baik
klon-klon yang tergolong mulia maupun lindak. Saat ini lahan pe nanaman kakao
di Indonsia menempati peringkat ke tiga setelah Pantai Gading da n Ghana.
Botani Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupaka n tanaman be rbe ntuk po hon,
bercabang dengan tinggi berkisar antara 6 – 7.5 m.
Daun tunggal bentuk
memanjang (oblongus), dengan tulang daun menyirip. Bunga tunggal dengan
tangkai panjang yang menempel pada batang (cauliflor), berwarna putih.
Buah
kakao mempunyai panjang 20-27 cm dengan diameter 5–10 cm dengan warna
yang bervariasi sesuai varietasnya (Gambar 2). Dalam klasifikasi tanaman kakao
termasuk ke dalam divisi Spermatophyta/Magnoliophyta; Classis Magnoliopsida/
Dicotyledoneae; Ordo Malvales; dan Family Sterculiaceae (Concruist, 1984).
Tanaman kakao dimanfaatkan bijinya, meskipun buahnya juga dapat
dimakan. Biji kakao mengandung alkaloid Theobromin yang merupakan stimulan
ringan.
Biji kakao merupakan
bahan dasar pembuatan coklat yang
10
diperoleh dengan memanggang dan menggilingnya menjadi bubuk coklat, dan
diolah menjadi berbagai jenis makanan maupun minuman yang banyak digemari.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di Asia Tenggara, dan
sentra produksinya tersebar di berbagai wilayah.
Kakao merupakan tanaman
yang cocok ditanam di daerah tropis dengan suhu optimal 27 o C dan kelembaban
yang cukup tinggi yaitu antara 80 – 90%.
Akan tetapi iklim tersebut juga
mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan patogen P. palmivora (Wood
dan Lass, 1989).
Gambar 2. Tanaman kakao dengan buahnya yang menempel pada batang
(cauliflor).
Tanaman kakao dapat hidup di daerah yang mempunyai kelembaban dan
curah hujan rendah, tetapi peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban,
sehingga tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki iklim
tetap. Selain itu, pohon kakao juga tidak tahan terhadap angin kencang, karena
percabangannya kurang kuat sehingga mudah patah. Angin yang kencang akan
mudah merusak pertanaman kakao, mematahkan batang dan merusak buahnya.
Untuk menghindari hal ini, biasanya pertanaman kakao dilindungi oleh tanaman
pelindung sehingga dapat terhindar dari kerusakan.
Di antara tiga jenis kakao, Criolo merupakan jenis kakao tertua yang mulai
ditanam oleh suku Maya sekitar 3000 tahun yang lalu di Amerika Tengah. Kakao
jenis ini menghasilkan bubuk coklat dengan kualitas terbaik, tetapi tidak tahan
terhadap berbagai penyakit (Argout et al. 2010). Kakao jenis criolo mempunyai
11
buah berwarna merah atau kuning, dengan kulit yang tebal dan berujung runcing.
Kakao jenis ini memiliki biji berbentuk bulat, warna kotiledon putih berkualitas
tinggi tetapi kurang tahan terhadap penyakit (Prawoto 2008).
Jenis Forastero berasal dari wilayah Amazon, yang kemudian tersebar luas
ke berbagai belahan dunia termasuk Afrika. Saat ini penghasil biji kakao terbesar
adalah Pantai Gading dan Ghana, dimana Forastero telah dikembangkan sejak
awal. Berdasarkan hal tersebut, dan karena ketahanannya terhadap penyakit,
sepuluh produsen kakao terbesar dunia terutama mengembangkan jenis ini.
Sebagian besar coklat yang diproduksi di seluruh dunia, dibuat dari biji Forastero.
Buah kakao jenis ini mempunyai lekukan kulit yang lebih dalam dengan
permukaan yang halus,
bentuknya agak bulat menyerupai bulbus. Daging
buahnya lebih keras dari pada jenis Criolo, sehingga lebih sulit dibuka. Warna
buah bervariasi dari kuning, merah, orange maupun ungu, seda ngkan bijinya
berwarna ungu tua hampir sama dengan Criolo.
Karena karakter agonomisnya yang lemah dan tidak tahan terhadap
penyakit, maka kemudian jenis Criolo disilangkan dengan Forastero yang
menghasilkan produksi tinggi dan tahan penyakit, yang kemudian dikenal dengan
Trinitario. Jenis kakao
inilah yang kemudian hingga sekarang banyak
dikembangkan di berbagai pertanaman kakao dunia (Argout 2010). Sifat
morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian juga daya hasil dan
mutu bijinya. Beberapa klon dari kelompok ini disebut sebagai kakao mulia
apabila keping biji segarnya berwarna putih atau sebagai kakao lindak apabila
keping biji segarnya berwarna ungu. Klon-klon DR1, DR2, dan DR38 merupakan
contoh kelompok Trinitario yang termasuk kakao mulia (Prawoto 2008).
Penyak it busuk buah pada tanaman kakao ( Theobroma cacao L.)
Phytophthora bersifat patogenik pada semua bagian tanaman kakao, mulai
dari kecambah sampai tanaman dewasa, menyebabkan sejumlah penyakit.
Hingga kini ada delapan species Phytophthora yang telah diisolasi dari tanaman
kakao yaitu: P. palmivora, P. megakarya, P. capsici, P. tropicalis, P. katsurae, P.
arecae, P. nicotianae, da n P. megasperma (App iah et al. 2003).
12
Diantara berbagai penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora, yang
paling sering ditemukan adalah penyakit busuk buah (Phytophthora Pod
Rot/PPR).
Gejala pertama ditunjukkan dengan adanya bercak warna coklat
kehitaman pada buah kakao yang dimulai pada sisi buah tempat masuknya
patogen pertama kali.
Perkembangan gejala sangat cepat bahkan menutupi
seluruh pe rmukaan buah. Drenth dan Guest (2001) mengidentifikasi berapa faktor
yang menyebabkan organisme ini cukup efektif sebagai patogen, yaitu: 1)
kemampuannya menghasilkan berbagai jenis spora seperti sporangia dan zoospora
untuk daya tahan dan penyebaran jangka pendek dan klamidospora dan oospora
untuk jangka panjang; 2) kecepatan sporulasi pada jaringan tanaman inang yaitu
pada 3-5 hari setelah infeksi; 3) kemampuan zoospora Phytophthora untuk
menembus ujung akar melalui rangsangan kimia (kemotaksis pos itif); 4)
kemampuan bertahan hidup di dalam maupun di luar tubuh inang sebagai oospora
atau klamidospora
dalam waktu yang lama; 5) produksi sporangia, yang dapat
disebarkan melalui udara ataupun dibawa air hujan, aliran irigasi maupun angin
menuju ke pertanaman tetangga.
Sporangia ini dapat langsung menginfeksi
jaringan inang. Pada kondisi lembab dan dingin, sporangia yang sama dapat
berkecambah menjadi 4 -32 zoospora yang berbeda dan menyebabkan multiple
infeksi, tetapi penyebarannya terbatas; 6) Phytophthora memiliki lintasan
biokimia yang berbeda dari fungi lainnya, sehingga beberapa fungisida kurang
efektif terhadap patogen ini; 7) Phytophthora berkembang pada kondisi basah dan
lembab, sehingga sulit dikendalikan, dan sulit mengaplikasikan fungisida pada
kondisi ini. Pada perkebunan kakao dengan kelembaban tinggi
≥ 90%, miselium
dan spora dapat terlihat yang dibentuk pada permukaan buah yang terserang
(Drenth dan Guest 2004).
Penyakit busuk buah dapat menyerang kakao pada berbagai bagian dan
umur tanaman, tetapi kerugian paling besar terjadi jika penyakit ini menyerang
buah, terutama pada umur dua bulan menuju pematangan.
Pada saat ini P.
palmivora dapat dengan mudah menembus dari daging buah ke kulit biji.
Penyakit ini sulit dikendalikan, karena miselium banyak terdapat pada jaringan
yang terinfeksi, dan spora Phytophthora dapat bertahan hidup pada jaringan buah
selama lebih dari tiga bulan.
13
Pada pertumbuhan awal, serangan pada daun adalah yang paling
berbahaya, karena jaringan daun yang masih muda dapat mudah terinfeksi P.
palmivora. Biasanya pertulangan daun muda dan sekelilingnya yang terinfeksi
membentuk bercak nekrotik.
Nekrotik pada daun berkembang dengan cepat
seiring dengan bertambahnya umur daun (Erwin dan Ribiero 1996). Serangan
penyakit ini tentu mengakibatkan turunnya produksi kakao.
Marka Molekuler
Analisis keragaman genetik tanaman dapat dilakukan secara morfologi
dengan pengamatan langsung terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan
marka
molekuler.
Karakter
morfologi
telah
lama
digunakan
untuk
mengidentifikasi varietas, spesies, genus, maupun famili dari suatu jenis tanaman.
Akan tetapi pengamatan langsung terhadap karakter morfologi memiliki
kelemahan karena seringkali dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Marka
molekuler memiliki kelebihan dibandingkan dengan marka fenotipe, dapat
meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi
secara tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan, tetapi terhadap marka
molekuler yang terpaut dengan kareakter tersebut. Selain itu, marka molekuler
tidak diregulasi lingkungan sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi dimana
tanaman tersebut berada, juga marka tersebut dapat terdeteksi pada semua tahap
perkembangan tanaman (Mohan et al. 1997).
Marka molekuler pada tingkat DNA memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan morfologi atau alozim, antara lain: (1) karena genotipe
suatu organisme diuji secara langsung, sehingga pengaruh lingkungan dan
perkembangan terhadap fenotipe tidak menjadi masalah; (2) karena bagian yang
berbeda dari DNA berevolusi dengan kecepatan yang berbeda, sehingga bagian
yang cocok dapat digunakan untuk studi tertentu, misalnya bagian yang
variabilitasnya tinggi untuk identifikasi kultivar atau yang variabilitasnya rendah
untuk studi filogenetik; (3) karena jumlah polimorfisme yang ada tidak terbatas;
dan (4) berbagai macam teknik telah dikembangkan yang masing- masing dapat
menyediaka n marka ya ng sesuai de ngan tujuan tertentu (Weising et al. 1995).
Keuntungan lain dari marka DNA adalah dapat mencerminkan perubahan pada
14
tingkat DNA sehingga menunjukkan jarak genetik yang sesungguhnya antara
individu secara lebih akurat dari pada dengan marka fenotipe.
Seiring dengan berkembangnya teknologi di bidang molekuler, berbagai
teknik
telah dikembangkan,
antara
lain
Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), dan
Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP), dan Simple Sequence
Repeats (SSR).
RFLP merupakan salah satu jenis analisis molekuler yang didasarkan pada
pemotongan situs DNA dengan menggunakan enzim restriksi, menghasilkan
frgmen- fragmen DNA dengan berba gai ukuran.
Perbedaan ukuran fragmen
tersebut disebabkan adanya perbedaan jumlah dan distribusi situs restriksi yang
terdapat pada DNA sehingga mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Hal ini
menyebabkan teknik RFLP dapat digunakan sebagai penduga variasi sekuen
DNA, sehingga dapat digunakan untuk menduga hubungan kekerabatan dari
beberapa individu atau untuk analisis keragaman ge netik (Mumm da n Dudley,
1994).
Akan tetapi analisis dengan RFLP membutuhkan DNA dalam jumlah
banyak dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi, juga sering menggunakan radio
isotop sehingga teknik ini menjadi tidak efisien.
RAPD merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan penelitian pada tingkat molekuler.
Analisis RAPD mempunyai
beberapa kelebihan dibanding dengan RFLP antara lain lebih murah, regenerasi
lebih cepat, membutuhkan DNA lebih sedikit, tidak menggunakan radio isotop,
dan tahapannya tidak terlalu rumit (Demeke dan Adams 1994).
Teknik AFLP merupakan kombinasi RAPD dan RFLP yang dapat
digunakan untuk menganalisis keragaman genetik melalui penggandaan fragmen
DNA yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi dengan menggunakan
primer spesifik (Maughan et al. 1996).
SSR (Simple Sequence Repeats)
SSR (Simple Sequence Repeats) yang dikenal juga sebagai mikrosatelit
adalah lokus spesifik, kodominan, merupakan marka molekuler yang didasarkan
pada sekuens DNA repetitif. SSR tersusun atas dua sampai enam DNA seperti
15
(AT)n, (AGC) n , atau (GACA) n yang tersebar pada genom mahluk hidup
eukariotik. Variasi alel pada lokus mikrosatelit dengan mudah dapat diperoleh
dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik. Mikrosatelit telah digunakan
secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi,
lokus yang spesifik, mudah diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, dan
yang terpenting adalah sifatnya yang kodominan (Pugh 2004).
Pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi keragaman genetik telah
banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun
dikotil. Freeman et al. (2004) menggunakan marka SSR untuk
menentukan
keragaman pada tanaman teh, Priolli et al. (2002) pada kedelai; Kacar et al (2005)
pada chery; Solodenko et al. (2005) pada helianthus, serta masih banyak
komoditas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai kelebihan yang
dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka
molekuler terutama untuk keperluan identifikasi dan studi keragaman genetik.
Download