BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Barat menjadi empat zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West-Java) 2. Zona Bogor (Bogor Anticlinorium) 3. Zona Bandung (Central Depression of West Java) 4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountains of West Java) LOKASI PENELITIAN Gambar 2.1 Peta fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Van Bemmelen (1949) telah mendeskripsikan masing-masing zona fisiografi tersebut sebagai berikut : • Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West-Java) Daerah ini mulai dari ujung barat Pulau Jawa, memanjang ke timur mengikuti pantai utara Jawa Barat ke kota Cirebon, umumnya mempunyai morfologi yang datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar gunungapi muda. • Zona Bogor (Bogor Anticlinorium) Zona Bogor terletak di sebelah selatan dari Dataran Pantai Jakarta, memanjang barat-timur melalui Kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa Tengah 8 Tinjauan Pustaka 9 dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya memiliki morfologi berbukit-bukit. Perbukitan disini umumnya memanjang barat-timur di sekitar Kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar wilayah Kadipaten. Selain perbukitan, beberapa intrusi telah membentuk morfologi lain berupa tinggian yang terjal. • Zona Bandung (Central Depression of West Java) Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa Zona Bandung merupakan depresi di antara gunung-gunung (intermontagne depression). Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui Kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara Sungai Citanduy, dengan lebar antara 20-40 km. Dalam Zona Bandung, terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang menyembul di antara endapan volkanik. • Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountains of West Java) Batas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung di beberapa tempat sangat mudah dilihat, misalnya di Lembah Cimandiri. Di lembah ini batas tersebut merupakan perbedaan morfologi yang mencolok dari perbukitan bergelombang yang langsung berbatasan dengan Dataran Tinggi Pegunungan Selatan. Daerah penelitian, dalam tatanan fisiografi tersebut berada pada Zona Bandung. Perkembangan geologi daerah ini terkait dengan volkanisme pada Kala Miosen Akhir – Pliosen (Dam, 1994). Bronto dkk. (2006) dalam penelitiannya tentang stratigrafi gunungapi daerah Bandung Selatan menyatakan bahwa secara umum dari utara ke selatan, bentang alam daerah Bandung Selatan berupa Dataran Tinggi Bandung, perbukitan, dan pegunungan (Gambar 2.2). Kawasan pegunungan mempunyai sebaran paling luas dengan puncak-puncak gunungapi di daerah ini antara lain Gunung Malabar (2321 m), Gunung Tilu (2042 m), Gunung Tanjaknangsi (1514 m), Gunung Bubut (1333) m, tinggian di sebelah utara Gunung Tanjaknangsi, Gunung Wayang (2182 m), dan Gunung Windu (2054 m). Jauh di tepi barat terdapat puncak Gunung Kuda (2002 m), sedangkan di sebelah timur Gunungapi Malabar terdapat deretan puncak Gunung Kendang (2817 m), Gunung Guha (2397 m), Gunung Kamasan (1815 m), dan Tinjauan Pustaka 10 Gunung Dogdog (1868 m). Daerah pegunungan ini tersusun oleh batuan gunungapi Kuarter (Alzwar dkk., 1992). Bandung bagian utara dibentuk oleh Gunung Tangkuban Perahu dan bentang alam yang terkait dengannya. Produk gunungapinya menyebar ke sebelah selatan dan timur dari puncak gunungapi tersebut. Berdasarkan klasifikasi morfogenetik (Dam, 1994), sebagian besar daerah ini diklasifikasikan sebagai satuan produk letusan gunungapi (volcanic extrusives). Bagian lereng kaki Gunung Tangkuban Perahu yang menuju ke Cekungan Bandung ditutupi oleh satuan kipas aluvial (aluvial fan) dan kipas delta (delta fan) membatasi satuan kipas aluvial dengan zona tepi danau (lake shore zona). Gambar 2.2 Peta fisiografi daerah Bandung Selatan (Bronto dkk., 2006). Kawasan perbukitan terletak di bagian tengah di antara pegunungan di sebelah selatan dan dataran tinggi Bandung di sebelah utara. Morfologi perbukitan ini menempati daerah sempit di Soreang (723 m), area di wilayah Baleendah - Arjasari yang terletak di timur Kota Banjaran - Pameungpeuk hingga di sebelah barat Tinjauan Pustaka 11 Majalaya - Ciparay. Puncak-puncak perbukitan ini antara lain Gunung Kromong (908 m), Gunung Geulis (1151 m), Gunung Pipisan (1071 m), dan Gunung Bukitcula (1013 m). Pada umumnya, bentang alam perbukitan ini tersusun oleh batuan gunungapi tua (Tersier). Aliran sungai utama di daerah Bandung Selatan ini adalah Sungai Citarum yang berhulu di sebelah barat Gunungapi Kendang dan Gunungapi Dogdog, mengalir ke utara hingga Majalaya kemudian ke barat masuk ke Waduk Saguling. Cabang sungai besar Citarum di daerah penelitian bagian timur adalah Sungai Cihejo yang berhulu di lereng timur Gunung Malabar. Di bagian tengah adalah Sungai Cisangkuy yang berhulu di Situ Cileunca dan mengalir ke utara di sebelah barat Gunung Malabar. Cabang sungai besar paling barat adalah Sungai Ciwidey yang berhulu di Kawah Putih Gunung Patuha dan mengalir di tepi barat Kota Soreang. 2.2 Stratigrafi Regional Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) dan Lembar Garut (Alzwar dkk., 1992) stratigrafi regional daerah penelitian dapat diketahui. Satuan batuan tertua adalah Formasi Beser dan batuan terobosan. Formasi Beser (Tmb) tersebar di pojok baratlaut Peta Lembar Garut, di daerah Soreang, dan di wilayah Kecamatan Arjasari, Baleendah, dan Ciparay di sebelah timur kota Banjaran. Satuan batuan ini berupa batuan gunungapi yang terdiri atas breksi tufan dan lava bersusunan andesit basal. Bersama-sama dengan batuan terobosan, kelompok batuan gunungapi ini menyebar ke utara (Peta Geologi Lembar Bandung, Silitonga, 1973) dan ke barat laut (Peta Geologi Lembar Cianjur; Sujatmiko, 1972). Keduanya tidak menyebutkan sebagai Formasi Beser, tetapi hanya menyatakan sebagai breksi tufan, lava, batupasir, dan konglomerat (Pb). Sekalipun Alzwar dkk. (1992) memperkirakan Formasi Beser di sini berumur Miosen Akhir, Sujatmiko (1972) dan Silitonga (1973) memberikan umur Pliosen. Mengacu pada analisis K-Ar (Sunardi dan Koesoemadinata, 1997 op cit. Brahmantyo, 2005) batuan gunungapi ini di daerah Cipicung berumur 3,32 ± 0,06 juta tahun, di Kromong Timur 3,07 ± 0,15 juta tahun, dan di Kromong Barat 2,87 ± 0,16 juta tahun. Data ini lebih mendukung pendapat Sujatmiko (1972) dan Silitonga (1973) bahwa kelompok batuan gunungapi di daerah Soreang dan Banjaran berumur Pliosen. Tinjauan Pustaka Lokasi penelitian 12 termasuk dalam satuan batuan terobosan yang tersebar hingga ke sebelah selatan Cimahi (Silitonga, 1973) dan tenggara Waduk Saguling (Sujatmiko, 1972) (Gambar 2.3). Satuan batuan ini bersusunan andesit, basal, dan dasit. Analisis K-Ar oleh Sunardi dan Koesoemadinata (1997 op cit. Brahmantyo, 2005) terhadap batuan ini di Selacau dan Paseban, masing-masing memberikan umur 4,0 ± 0,21 juta tahun dan 4,08 ± 0,21 juta tahun. Penyelidikan oleh Soeria-Atmadja dkk. (1991 op cit. Brahmantyo, 2005) menyebutkan bahwa endapan volkanik Malabar-Papandayan berumur antara 4,32 ± 0,004 sampai dengan 2,62 ± 0,03 juta tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa di daerah Bandung Selatan ini pernah terjadi kegiatan volkanisme Tersier paling tidak dua kali, yaitu pada Kala Miosen (±12 jtl.) dan Pliosen (4 – 2,6 jtl.). Secara stratigrafis batuan gunungapi Tersier itu ditindih oleh batuan gunungapi Kuarter. Di selatan, Alzwar dkk. (1992) membagi tiga satuan batuan gunungapi Kuarter, yaitu Andesit Waringin - Bedil, Malabar (Qwb), Malabar - Tilu (Qmt), Guntur - Pangkalan dan Kendang (Qgpk). Di utara satuan batuan gunungapi berupa Tuf berbatuapung Gunung Sunda (Qyt; Silitonga, 1973). Batuan kompleks Gunung Sunda diketahui berumur 0,21 – 1,72 juta tahun (Sunardi dan Koesoemadinata, 1999 op cit. Bronto, 2006) dan disimpulkan adanya kesinambungan kegiatan gunungapi dari Kala Pliosen ke Jaman Kuarter (Bronto dkk., 2006). Satuan batuan termuda adalah endapan danau (Ql) yang mengisi Cekungan Bandung, terdiri atas bahan lepas berukuran lempung, lanau, pasir, dan kerikil yang bersifat tufan, setempat mengandung sisipan breksi. Silitonga melaporkan bahwa endapan danau ini mencapai ketebalan 125 m, di dalamnya mengandung konkresi gamping, sisa tumbuhan, moluska air tawar, dan tulang binatang bertulang belakang. Gambar 2.3 Sebagian dari Peta Geologi Lembar Bandung oleh Silitonga (1973). Tinjauan Pustaka 13 2.3 Struktur Geologi Regional Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), struktur geologi daerah Jawa Barat memiliki tiga pola arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2.4). Ketiga arah kelurusan tersebut terjadi karena adanya perubahan tektonik di Jawa selama kurun waktu Paleogen dan Neogen. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya, diwakili oleh sesar Cimandiri, sesar naik Rajamandala dan sesar-sesar lain di daerah Purwakarta. Sesar-sesar pada pola Meratus diketahui berumur mulai Kapur sampai Paleosen. Pola ini terjadi akibat proses tektonik kompresi yaitu penunjaman Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan penunjaman lempeng yang menyudut menjadi penyebab utama sifat sinistral dari sesar-sesar mendatar pola Meratus. Di Pulau Jawa, sesar-sesar ini teraktifkan kembali pada umur-umur yang lebih muda. Pola Sunda direpresentasikan oleh sesar-sesar yang berarah utara-selatan, umumnya terdapat di bagian utara wilayah Jawa Barat dan di Laut Jawa. Gerak sesar pola Sunda ini umumnya berpola regangan yang disebabkan oleh penurunan kecepatan akibat tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligosen Akhir. Pola Jawa berarah barat-timur akibat tektonik kompresi yang ditimbulkan oleh penunjaman di selatan Jawa yang menerus hingga Sumatera. Di Jawa Barat, pola Jawa ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar di dalam Zona Bogor. Pola Jawa ini merupakan pola termuda yang memotong dan merelokasi pola struktur sebelumnya. Gambar 2.4 Pola struktur Jawa (Pulonggono dan Martodjojo, 1994). Tinjauan Pustaka 14 Secara regional daerah Bandung selatan merupakan bagian dari kelompok gunungapi Kuarter yang dibatasi oleh segi tiga sesar besar (Katili dan Sudradjat, 1984 op cit. Brahmantyo, 2005). Di bagian baratlaut terdapat zona sesar geser mengiri Sukabumi-Padalarang, di sebelah timurlaut zona sesar geser menganan CilacapKuningan, dan di sebelah selatan adalah sesar turun yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan (Gambar 2.5). Gambar 2.5 Pola struktur daerah Bandung dan sekitarnya (Katili dan Sudradjat, 1984 op cit. Brahmantyo, 2005). Dari Peta Geologi Lembar Garut (Alzwar dkk., 1992) terlihat bahwa pola sesar di kawasan Gunung Malabar, Wayang, Windu, dan Tilu berarah timurlaut-baratdaya dan sedikit baratlaut-tenggara. Sesar tersebut ada yang berupa sesar naik dan sesar Tinjauan Pustaka 15 turun. Pada batas antara batuan gunungapi Kuarter dengan batuan gunungapi Tersier di utaranya terdapat sesar turun berarah barat-timur. 2.4 Landasan Teori Pelapukan Batuan 2.4.1 Karakteristik Andesit Andesit adalah batuan volkanik yang paling umum ditemukan setelah basalt, bertekstur porfiritik yang terdiri dari kristal kasar sebagai fenokris yang mengambang dalam matriks butir atau gelas. Andesit umumnya memiliki kandungan silika sebesar 57% dan termasuk kategori intermedier (kandungan silika 52-66%) dalam skala silicic-mafic. Penamaan andesit berasal dari Pegunungan Andes yang merupakan bagian dari rantai pegunungan Amerika Utara dan Amerika Selatan yang tesusun sebagian besar oleh andesit. Selain itu batuan andesit umum ditemukan pada zona pembentukan pegunungan pada tepian Samudera Pasifik. Transisi dari kerak samudera pada cekungan utama Pasifik menjadi batuan andesit di sekitar batas tepinya kemudian disebut jalur andesit. Kerak pada sisi laut dalam (deep sea) pada jalur andesit adalah produk dari pemekaran tengah samudera (sea floor spreading), dan pegunungan andesit pada sisi lainnya adalah produk dari volkanisme orogenik. Komposisi utama dari andesit umumnya adalah andesin, salah satu seri dari felspar atau plagioklas. Jumlah yang lebih kecil dari kuarsa atau mineral yang kaya unsur besi dan magnesium seperti olivin, biotit, atau hornblenda juga hadir. Andesit dibagi menjadi tiga kelas menurut komponen felsparnya yang teridentifikasi, mulai dari paling silicic hingga paling mafic adalah (1) andesit kuarsa (quartz-bearing andesites, (2) andesit biotit dan hornblenda, dan (3) andesite piroksen (pyroxene andesites). Andesit yang memiliki kandungan kuarsa yang tinggi -dasit- kemudian digolongkan dalam kelompok yang berbeda. Semua kelas tersebut memiliki komposisi intermedier antara diorit (batuan beku intrusif yang sebagian besar terdiri dari plagioklas felspar) dan riolit (batuan volkanik yang memiliki komposisi sama dengan granit), atau dengan kata lain andesit memiliki kandungan felspar lebih tinggi daripada riolit, tetapi kandungan felsparnya lebih rendah daripada diorit. Karakter andesit biasanya dihasilkan dari pelelehan dan asimilasi fragmen batuan oleh magma yang muncul ke permukaan. Batuan yang lebih dekat ke permukaan cenderung lebih tinggi kandungan silikanya, karena silika memiliki Tinjauan Pustaka 16 densitas yang lebih rendah daripada besi dan magnesium, dengan komponenkomponen yang jumlahnya meningkat sebanding dengan meningkatnya kedalaman. Struktur yang dapat dijumpai pada andesit antara lain berupa lelehan lava, batuan terobosan (dyke/sill), kekar kolom akibat pendinginan magma dan massa batuan yang berkaitan dengan vokanisme. Tekstur yang sering menyertai andesit berupa vesikuler, amigdaloid, trakhitik, dan ofitik atau subofitik. 2.4.2 Proses Pelapukan Pelapukan adalah proses dekomposisi dan disintegrasi batuan dan mineral pada permukaan bumi akibat pengaruh langsung dari atmosfer dan hidrosfer (Sanders dan Fookes, 1970 op cit. Fookes dkk., 1971). Proses pelapukan menghasilkan pembentukan sedimen yang terbawa oleh proses erosi yang akan terakumulasi membentuk batuan sedimen, dan regolith yang tidak tertranspor membentuk tanah. Proses pelapukan menyebabkan beberapa perubahan pada batuan dan mineral, yaitu: a. Hilangnya atom atau senyawa tertentu pada bagian yang lapuk b. Bertambahnya atom atau senyawa tertentu pada bagian yang lapuk c. Terurainya satu massa menjadi dua massa atau lebih, tanpa perubahan dalam mineral atau batuan secara kimia. Pelapukan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pelapukan fisika dan kimia. 2.4.2.1 Pelapukan Fisika Pelapukan fisika merepresentasikan disintegrasi dari batuan dan mineral ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Lebih jauh pelapukan fisika dapat dibagi menjadi pressure release, pelapukan garam (salt weathering) dan wetting and drying. a. Pressure Release Batuan di bawah permukaan bumi mendapatkan beban dari kolom-kolom batuan di atasnya. Ketika proses erosi mengupas batuan ini maka tekanan yang dibebankan pada batuan di bawahnya akan berkurang. Semua batuan memiliki sifat agak elastis (slightly elastic), sehingga batuan yang terpendam akan merespon terhadap pengurangan tekanan dengan berekspansi ke atas. Proses ini akan Tinjauan Pustaka 17 mengakibatkan rekahan-rekahan akibat pelepasan beban (pressure release fractures) yang orientasinya paralel terhadap permukaan. Pressure release dapat juga menyebabkan terjadinya eksfoliasi pada batuan. b. Pelapukan Garam (Salt Crystallization) Pelapukan garam terjadi akibat pertumbuhan kristal-kristal garam hasil penguapan airtanah yang mengandung garam (saline groundwater) dalam rekahan batuan yang menyebabkan disintegrasi butiran batuan tersebut. Kristal-kristal garam ini terbawa dari air laut, pelapukan kimia dari sedimen laut atau evaporit, dan hujan yang meresap sebagai airtanah. Pelapukan garam paling efektif pada lingkungan yang kering dengan muka airtanah dangkal. c. Wetting and Drying Jenis pelapukan ini disebabkan oleh ekspansi dan kontraksi ketika batuan mengalami siklus kondisi basah dan kering (wetting and drying). Pelapukan ini sangat efektif pada batuan yang mengandung mineral lempung. Lempung akan mengembang dalam kondisi basah dan menyusut dalam kondisi kering. Perubahan yang konstan antara dua kondisi tersebut menyebabkan batuan dapat terdisintegrasi. Pelapukan fisika mengurai batuan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.6, sehingga meningkatkan luas area permukaan yang mengakibatkan pelapukan kimia dapat terjadi. Semua bentuk pelapukan kimia cenderung mempercepat dekomposisi mineral dalam batuan ke bentuk yang kurang resistan. Secara bersama-sama, pelapukan fisika dan kimia dapat mengurangi resistensi batuan atau dengan mudah mengikis material yang lebih lemah (lempung). Tinjauan Pustaka 18 Gambar 2.6 Proses pelapukan fisika. 2.4.2.2 Pelapukan Kimia Pelapukan kimia adalah proses dimana batuan terdekomposisi, terlarutkan, atau menjadi lepas-lepas karena proses kimia membentuk material residu. Tiga reaksi kimia yang umum berasosiasi dengan pelapukan kimia adalah pelarutan, hidrolisis, dan oksidasi. a. Pelarutan (Dissolution) Pelarutan terjadi ketika batuan dan atau mineral terlarutkan oleh air. Material yang terlarut dapat berupa garam (NaCl), sodium karbonat (Na2CO3), sodium sulfat (Na2SO4), magnesium sulfat (MgSO4), gipsum (Ca2SO4), dan sodium nitrat (Na2SO4) yang kemudian tertranspor keluar dari ruang dalam batuan. Material-material ini umumnya tercuci oleh air hujan dan hilang dari tanah atau batuan melalui sungai, tetapi pada iklim gurun (arid) dapat tertinggal dan mengakibatkan salt crystallization. b. Hidrolisis (Hydrolisis) Asam karbonat terurai menjadi dua ion, ion hidrogen (H+) dan bikarbonat (HCO3-). H2CO3 Æ H+ + HCO3 Ion hidrogen bebas dapat merubah komposisi kimia dengan menggantikan ion-ion lain dalam struktur atom mineral, dan reaksi ini disebut hidrolisis. Hidrolisis terjadi ketika mineral bereaksi dengan air membentuk produk lain. Feldspar, mineral paling umum yang dijumpai pada batuan di permukaan bumi, bereaksi dengan air membentuk mineral sekunder seperti kaolinite (salah satu jenis mineral lempung) dan Tinjauan Pustaka 19 ion-ion tambahan yang terlarutkan dalam air. Reaksi antara mineral felspar dan air ini dapat dituliskan dalam persamaan kimia sebagai berikut: 4KAlSi3O8 + 4H+ + 2H2O Æ Al4Si4O10(OH)8 + 4K+ + 8SiO2 c. Oksidasi (Oxidation) Oksigen, elemen paling umum yang terdapat di udara, bereaksi dengan besi dalam mineral membentuk mineral oksida, contohnya hematit (karat). Oksidasi pada batuan umumnya dicirikan dengan warna kemerahan pada permukaan batuan. 2.4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pelapukan Pada umumnya tingkat pelapukan pada berbagai proses pelapukan dipengaruhi oleh tiga faktor (Zhao dkk., 1994), yaitu : a. Lingkungan, yang didominasi oleh pengaruh iklim, selain faktor topografi, kondisi hidrogeologi, dan sistem biologi yang juga memegang peranan penting. Iklim mempengaruhi proses pelapukan baik secara langsung maupun tidak langsung (Peltier, 1950 op cit. Irfan dan Dearman, 1978). Rentang temperatur yang bervariasi antara kondisi beku dan cair dan suplai air yang melimpah adalah faktor yang penting dalam pelapukan fisika. Dalam proses pelapukan kimia, faktor penting yang mempengaruhi derajat pelapukan adalah temperatur yang hangat dan suplai air yang melimpah. Tingkat pelapukan kimia relatif lebih lambat pada wilayah yang kurang suplai air atau memiliki temperatur rendah. b. Properti dari massa batuan, khususnya homogenitas dan kondisi alami, pola, dan jarak diskontinuitas. Struktur batuan seperti rekahan merepresentasikan permukaan alamiah untuk proses pelapukan fisika dan kimia. Sebagai konsekuensinya, batuan yang memiliki lebih banyak rekahan biasanya akan lebih cepat mengalami pelapukan daripada batuan sama yang tidak memiliki rekahan. c. Properti dari material batuan, termasuk komposisi, kemas, dan permeabilitas. Batuan yang tersusun dari mineral-mineral yang relatif tidak terpengaruh oleh pelapukan kimia akan lebih tahan terhadap pelapukan. Sebagai contoh, kuarsa tidak terpengaruh oleh pelarutan, hidrolisis, dan oksidasi, oleh karena itu batuan Tinjauan Pustaka 20 yang memiliki komposisi kuarsa lebih banyak akan lebih tahan terhadap pelapukan daripada jenis batuan lain pada umumnya. 2.4.4 Efek Pelapukan Pelapukan memberikan efek yang dapat dikenali dengan mudah pada batuan dari berbagai gejala yang ditimbulkannya. Efek pelapukan tersebut dapat berupa rinds weathering, eksfoliasi, dan pelapukan membola (spheroidal weathering). Rinds weathering diindikasikan dari bagian terluar massa batuan yang mengalami perubahan warna (discoloration) akibat pelapukan yang akan berkembang ke bagian dalam hingga akhirnya semua massa batuan terubah. Eksfoliasi (exfoliation) adalah lapisan tipis yang berkembang pada bagian terluar tubuh batuan yang kemudian terlepas dari tubuh batuan tersebut. Pengelupasan terjadi akibat tekanan yang dihasilkan dari perubahan volume mineral yang baru terbentuk. Pelapukan membola (spheroidal weathering) adalah pelapukan yang disebabkan adanya fluida yang masuk melalui rekahan atau bidang kekar pada batuan yang umumnya berbentuk balok atau kubus. Fluida ini akan mengalterasi mineralmineral batuan yang prosesnya dimulai dari bagian sudut bidang kekar atau rekahan yang akan mengalami tingkat pelapukan paling intensif, berangsur-angsur berubah ke arah sisi dan akhirnya ke bagian muka balok atau kubus. Hasilnya, bidang kekar yang berbentuk kubus akan membundar seperti bola dengan bagian inti yang tidak lapuk dan semakin lapuk ke arah luar. 2.4.5 Klasifikasi Pelapukan Pelapukan, seperti yang telah dideskripsikan oleh Sanders dan Fookes (1970 op cit. Fookes dkk., 1971), dideskripsikan sebagai sebuah proses dan bukan sebuah metode untuk mendeskripsikan sifat teknik (engineering properties) dari massa batuan. Proses pelapukan tidak memberi pengaruh yang besar pada suatu struktur bangunan jika dilihat dari usia pakai (lifetime) bangunan tersebut, namun pelapukan memberi efek yang signifikan terhadap sifat-sifat keteknikan massa dan material batuan. Tinjauan Pustaka 21 Terdapat banyak metode dan skala untuk mendeskripsikan pelapukan massa batuan. Metode-metode yang digunakan biasanya mendeskripsikan pelapukan kimia pada massa batuan yang memiliki rekahan, memfokuskan pada perubahan warna, kekuatan, dan kemas (fabric) serta tekstur batuan, seperti klasifikasi untuk tujuan geologi teknik yang telah disusun oleh Moye (1955 op cit Dearman dkk., 1978) dan Ruxton dan Berry (1957 op cit Dearman dkk., 1978). Klasifikasi Moye digunakan untuk keperluan rekayasa sipil di Pegunungan Snowy, Autralia, sedangkan klasifikasi Ruxton dan Berry dikembangkan dari penyelidikan granit di Hongkong. Beberapa klasifikasi secara spesifik meliputi efek pelapukan fisika, sedangkan yang lain telah dikembangkan untuk jenis batuan tertentu, seperti Knil dan Jones (1965, op cit. Karpuz dan Pasamehmetoglu, 1997) yang telah mengembangkan sistem klasifikasi pelapukan yang hanya berlaku untuk batuan metamorf dan sedimen. Karena penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan massa batuan secara menyeluruh, maka lebih diutamakan deskripsi pelapukan yang mengacu pada perubahan baik pada material maupun diskontinuitas batuan. Semua efek pelapukan akan dideskripsikan menggunakan terminologi standar deskripsi tanah dan batuan yang meliputi: • Warna dan perubahan warna • Kekuatan dan penurunan kekuatan • Kondisi dari diskontinuitas dan pengisiannya, dan • Produk pelapukan Berdasarkan deskripsi dari efek pelapukan dan produknya, massa batuan kemudian dapat diklasifikasikan menurut sebuah skala pelapukan umum. Pengklasifikasian pelapukan batuan andesit pada penelitian ini mengacu pada klasifikasi derajat pelapukan yang diajukan oleh Geological Society of London (1970) dalam Geological Society Engineering Group Working Party Report on The Logging of Cores for Engineering Purposes. Kondisi pelapukan yang digunakan Dearman dkk. (1978) yaitu batuan segar (fresh), batuan yang mengalami perubahan warna (discolored), batuan lemah (weakened), dan tanah (soil), ekuivalen dengan derajat I, II, III-V, dan VI secara berurutan pada klasifikasi ini (Tabel 2.1). Tinjauan Pustaka 22 Tabel 2.1 Sistem klasifikasi derajat pelapukan batuan (Geological Society of London,1970). Istilah Deskripsi Derajat Tanah Residu Seluruh material batuan telah berubah menjadi tanah. Struktur massa dan kemas material telah hancur. Terdapat perubahan besar dalam volume, tetapi tanah belum mengalami transportasi secara signifikan. VI Lapuk Sempurna Semua material batuan telah terdekomposisi dan atau terdisintegrasi menjadi tanah. Struktur massa yang asli sebagian besar masih utuh. V Lapuk Kuat Lebih dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka diskontinu atau inti batuan. IV Lapuk Sedang Kurang dari separuh material batuan terdekomposisi dan atau terdisintegrasi menjadi tanah. Batuan segar atau yang telah berubah warna masih dapat dijumpai sebagai kerangka diskontinu atau inti batuan. III Lapuk Ringan Perubahan warna mengindikasikan pelapukan pada material batuan dan permukaan diskontinuitas. Semua material batuan dapat mengalami perubahan warna dan kemungkinan agak lebih lemah dari kondisi yang segar. II Batuan segar Tidak ada tanda-tanda pelapukan pada material batuan atau terdapat perubahan warna pada sebagian besar permukaan diskontinuitas. I 2.5 Kekuatan Batuan Beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan kekuatan batuan adalah nilai Schmidt hammer dan kuat tekan (compressive strength). Penelitian yang dilakukan oleh Kazi dan Al-Mansour (1980) terhadap berbagai jenis batuan beku menunjukkan bahwa andesit memiliki kekuatan yang sangat baik dibandingkan dengan batuan beku lainnya (Tabel 2.2). Kekuatan batuan terutama berkaitan dengan faktor pembentukan batuan asal, mineralogi, dan teksturnya, namun skala juga memiliki peran penting dalam batuan. Kekuatan batuan dapat sangat bergantung pada ukuran contoh batuan. Pada skala hand-specimen, material batuan (intact rock) yang homogen, isotropik, dan tidak memiliki diskontinutas dalam skala makro, memiliki kekuatan yang berbeda jika Tinjauan Pustaka 23 dibandingkan dengan massa batuan (rock mass) pada skala lapangan yang memiliki karakter heterogen, anisotropik, dan memiliki bidang-bidang diskontinu. Dalam desain struktur keteknikan pada batuan, skala yang dipertimbangkan ditentukan oleh ukuran massa batuan yang akan menerima tekanan yang dibebankan pada batuan tersebut. Tabel 2.2 Nilai rata-rata Schmidt hammer, berat isi, dan kuat tekan menurut jenis batuannya (Kazi dan Al-Mansour, 1980). Jenis Batuan Meta-andesit Andesit Dasit Gabbro Diorit Monzonit Tonalit Granodiorit Basalt Nilai Rata-Rata Schmidt hammer 38 51 45 26 45 25 28 26 41 Berat Isi Rata-Rata Mg/m3 2.72 2.76 2.78 2.58 2.74 2.56 2.67 2.68 2.51 Kuat Tekan Rata-Rata MN/m2 79 170 130 42 116 42 49 61 37