Aspek Teknis Pembatasan Wilayah Laut Dalam Undang Undang No

advertisement
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT
DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999
Danar Guruh Pratomo
Program Studi Teknik Geodesi, FTSP-ITS
[email protected]
Abstrak
Lahirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daeah telah membawa harapan baru bagi daerah
dalam pembangunan ekonomi. Sumberdaya kelautan menjadi andalan utama dalam melakukan
pemulihan ekonomi yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998. Optimalisasi pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut akan mengakibatkan konflik penggunaan ruang karena belum adanya
aturan yang jelas tentang penataan ruang di kawasan pesisir. Mengingat nilai penting dari suatu
wilayah bagi suatu pemerintah daerah (propinsi, kabupaten maupun kota), maka tata nilai batas
menjadi hal yang sangat penting tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan tetapi juga bagi daerahdaerah yang berbatasan. Oleh sebab itu diperlukan suatu pendefinisian batas yang jelas dan tepat
mengenai batas suatu daerah, agar tidak menimbulkan konflik di masa mendatang.
Kata kunci: batas laut, Undang-Undang 22 tahun 99,Aspek Teknis
1. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang No.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, wilayah
daerah propinsi terdiri dari wilayah darat
dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut
yang diukur dari garis pantai kearah laut
lepas dan/atau kearah perairan kepulauan
(Pasal 3 UU No.22/1999), dan kewenangan
daerah di wilayah laut meliputi; eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut,
pengaturan
kepentingan
administratif,
pengaturan tata ruang, penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 2 UU
No.22/1999).
Kewenangan Pemerintah Daerah menurut
UU No.22 tahun 1999 mencakup seluruh
bidang pemerintah kecuali dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain. Kewenangan di bidang lain
meliputi kebijaksanaan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian secara makro,
dana
perimbangan
keuangan,
sistem
administrasi
negara
dan
lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi
standarisasi nasional (Pasal 7 UU No. 22
tahun 1999). Sedangkan kewenangan
propinsi sebagai daerah otonomi mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas kabupaten dan kota,
kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya seperti :
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
145
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
‰ Perencanaan
dan
pengendalian
pembangunan regional secara makro.
‰ Pelatihan bidang tertentu, alokasi
sumber daya manusia potensial dan
penelitian yang mencakup wilayah
propinsi.
‰ Pengelolaan pelabuhan regional.
‰ Pengendalian lingkungan hidup
‰ Promosi dagang, pariwisata/budaya.
‰ Penanganan penyakit menular hama
tanaman.
‰ Perencanaan tata ruang propinsi
(Kumpulan Makalah Integrated Coastal
Zone Planning and Management, PKSPLIPB. 2001).
2. Pendefinisian Batas Laut Menurut
Undang-Undang No.22/1999
Lahirnya UU No.22/1999 telah membawa
harapan
baru
bagi
daerah
dalam
pembangunan
ekonomi.
Sumberdaya
kelautan menjadi andalan utama dalam
melakukan pemulihan ekonomi yang
diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998.
Optimalisasi
pengelolaan
sumberdaya
pesisir dan laut akan mengakibatkan konflik
penggunaan ruang karena belum adanya
aturan yang jelas tentang penataan ruang di
kawasan pesisir. Sumber Daya Alam (SDA)
yang ada di setiap daerah akan menjadi
sasaran
untuk
berbagai
kepentingan
terutama untuk kepentingan bisnis. Konflik
antara nelayan tradisional dengan nelayan
modern sering terjadi. Dalam penjelasan
Pasal 10 ayat 2 No.22 tahun 1999
dikemukakan
bahwa
khusus
untuk
penangkapan ikan tradisional tidak dibatasi
wilayah laut. Pengembangan perikanan
propinsi dan daerah kota/kabupaten sulit
dibatasi oleh wilayah 12 mil laut dari garis
pantai. Penggunaan tipe dan jenis teknologi
penangkapan ikan yang berlaku di beberapa
daerah sudah melampaui 12 mil tersebut,
bahkan nelayan lokal sudah mampu untuk
menangkap ikan di perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, seperti, nelayan dari
Pantai Utara Jawa Tengah yang menangkap
ikan hingga zona ekonomi eksklusif Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan.
Kondisi suatu wilayah terutama wilayah
pesisir dari Kabupaten/Kota tidak sama, ada
daerah yang mempunyai potensi sumber
daya alam yang melimpah, sebaliknya ada
daerah yang mempunyai sumber daya alam
yang terbatas. Adanya sifat nelayan yang
suka berpindah-pindah dari suatu daerah ke
daerah yang lain, dan sifat sumber daya ikan
yang berpindah melintasi batas-batas
wilayah, serta sifat penangkapan ikan yang
mengejar atau berburu, maka pengembangan
perikanan didalam batas-batas laut yang
menjadi wewenang daerah akan sulit
dilaksanakan sebab hal ini membutuhkan
perencanaan
dan
pengawasan
untuk
menghindari penggunaan wilayah oleh
nelayan.
Mengingat nilai penting dari suatu wilayah
bagi suatu pemerintah daerah (propinsi,
kabupaten maupun kota), maka tata nilai
batas menjadi hal yang sangat penting tidak
hanya bagi daerah yang bersangkutan tetapi
juga bagi daerah-daerah yang berbatasan.
Oleh
sebab
itu
diperlukan
suatu
pendefinisian batas yang jelas dan tepat,
agar tidak menimbulkan konflik di masa
mendatang.
Penentuan batas daerah di darat maupun laut
akan melibatkan aspek-aspek teknis dan nonteknis. Penentuan batas pada prinsipnya adalah
suatu aplikasi dari penentuan posisi. Penentuan
batas ini akan melibatkan aspek-aspek teknis
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
146
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
dan non-teknis. Disamping itu implikasinya
juga bersifat multi-dimensi, tidak hanya
administratif tapi juga ekonomis, yuridis, sosial
budaya, serta pertahanan dan keamanan. Secara
teknis, penentuan batas suatu wilayah pada
prinsipnya terdiri atas dua kegiatan utama yaitu
pendefinisian batas dan perekonstruksiannya di
lapangan. Perlu dicatat di sini bahwa karena
kurangnya obyek-obyek alam yang dapat
dijadikan sebagai acuan dan penampakan
bentang alam yang relatif serupa, penentuan
batas wilayah di laut akan relatif lebih sulit
dibandingkan dengan penetapan batas di darat.
[Hadwi Soendjojo, 2001]
Menurut pasal 3 UU No. 22 Th. 1999, bahwa
wilayah laut suatu propinsi adalah sejauh dua
belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan. Dengan demikian garis pantai yang
diacu harus didefinisikan dan dispesifikasikan
secara jelas. Disamping itu perlu diperjelas
apakah bentuk garis batas luar di laut akan
persis sama dengan bentuk garis pantai, atau
apakah bentuk garis pantai akan didekati
dengan rangkaian sejumlah garis baseline
sepanjang pantai.
Garis Pangkal (Garis Air Rendah)
Muka Laut Rata-rata
Lautan
Garis Pantai (Garis AirTinggi)
Daratan
Gambar 1 : Kedudukan Garis Pantai dan Garis
Pangkal
3. Aspek Teknis Pembatasan Wilayah Laut
Dalam Undang Undang No. 22 Tahun
1999
a. Garis Pantai
Dalam UU no. 22 tahun 1999 Pasal 3, jo. Pasal
10 ( 3 ) dinyatakan :
‰ Wilayah Daerah Propinsi terdiri atas
wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12
mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan / atau ke arah perairan
kepulauan.
‰ Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota
adalah sejauh sepertiga dari batas wilayah
laut Daerah Propinsi.
Sehingga penting sekali arti fisis garis pantai
bagi pendefinisian suatu batas di laut Indonesia
Garis pantai berdasarkan IHO Hydrographic
Dictionary (1970) adalah garis pertemuan
antara pantai (daratan) dan air (lautan).
Walaupun secara periodik permukaan laut
selalu berubah, suatu tinggi muka laut tertentu
yang tetap dan dapat ditentukan, harus dipilih
untuk menjelaskan posisi garis pantai. Pada
peta laut biasanya digunakan garis air tinggi
(high water line) sebagai garis pantai. Hal ini
berbeda sekali dengan garis pangkal dimana
yang digunakan adalah garis air rendah (low
water line).
Walaupun secara teoritis, garis pantai diambil
dari kedudukan garis air tinggi, pada
kenyataannya, penentuan garis pantai di
lapangan akan menghadapi berbagai kendala,
baik yang berkaitan dengan karakteristik pantai
maupun teknik-teknik penentuannya. Contoh
dari karakteristik pantai berdasarkan unsur
pembentuknya, antara lain :
‰ Pantai Lumpur
‰ Pantai Pasir
‰ Pantai Batu/Batu Kersik/Batu Besar
‰ Pantai Karang/Karang Terjal
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
147
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
‰
‰
‰
‰
Pantai Curam
Pantai Pepohonan
Pantai Rerumputan
Pantai Buatan
Jika garis pantai yang dimaksud dalam UU No.
22 Tahun 1999 merupakan garis air rendah,
maka secara teknis harus dijelaskan juga garis
air rendah (low water line) mana yang dipilih.
Apakah garis air rendah yang akan dipakai
sama dengan muka surutan (chart datum) yang
digunakan pada peta-peta navigasi laut yang
selama ini dipublikasikan oleh Dinas
Hidrografi-Oseanografi (Dishidros) TNI-AL,
hingga saat ini belum ada penjelasan tentang
hal tersebut. Di tingkat internasional saat ini
telah banyak digunakan LAT (Lowest
Astronomical Chart) sebagai garis air rendah
untuk penarikan batas wilayah laut (garis
pangkal). LAT diartikan sebagai permukaan
laut terendah yang dapat diprediksi terjadi di
bawah kondisi meteorologis rata-rata dan di
bawah kondisi berbagai kombinasi astronomis
(AHO, 2000). Untuk keperluan ini diperlukan
data pasut paling tidak selama satu tahun.
Dalam kaitannya dengan penentuan garis
pantai, terlepas dari datum pasut mana yang
akan dipakai, kegiatan-kegiatan berikut harus
dilakukan di lapangan, yaitu :
‰ Pemasangan pilar referensi
‰ Pengukuran titik kerangka dasar
‰ Survei batimetrik dan topografi pantai
‰ Pengamatan pasut
Kegiatan selanjutnya berupa penggambaran
garis pantai yang dilakukan di atas suatu bidang
peta, dimana hal-hal yang berkaitan dengan
sistem proyeksi peta, skala, serta datum yang
akan digunakan, merupakan pertimbangan awal
yang harus diputuskan. Untuk wilayah sekitar
ekuator, sistem proyeksi Mercator dianggap
paling tepat, juga dapat digunakan TM
(Transverse Mercator) untuk peta-peta skala
besar (IHO, 1993). Skala peta disarankan sama
dengan yang dipakai untuk penataan ruang,
yaitu 1 : 250.000 untuk wilayah laut propinsi
serta 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 untuk wilayah
laut kabupaten atau kota. Untuk datum
horisontal sebaiknya digunakan World Geodetic
System 1984 (WGS-84) sesuai rekomendasi
konferensi GALOS (Geodetic Aspects of the
Law Of the Sea). [Son Diamar, 2000]
Di samping itu, beberapa hal berikut perlu
dipertimbangkan dalam penentuan garis pantai:
‰ Persyaratan teknis penarikan garis pantai
dari titik-titik pantai terluar, untuk kasus
propinsi laut yang terdiri dari banyak
pulau-pulau kecil.
‰ Panjang garis pantai lurus maksimal untuk
penarikan batas wilayah laut.
‰ Cara penarikan garis pantai agar tidak
menyimpang jauh dari konfigurasi umum
topografi pantai.
‰ Cara penarikan garis pantai pada suatu
instalasi yang secara permanen berada di
atas permukaan laut (contoh : mercu suar)
atau apabila elevasi surut terletak dalam
wilayah laut.
‰ Cara penarikan garis pantai sedemikian
rupa sehingga tidak memotong wilayah
laut propinsi lain.
b. Titik Pangkal
Titik dasar/titik pangkal merupakan titik
koordinat geodetik yang berada pada bagian
terluar dari garis air rendah yang akan
digunakan sebagai acuan dalam menentukan
batas daerah di laut [Djunarsjah, 2000]. Dalam
pengukuran jarak ke arah laut dari garis pantai
untuk mendefinisikan batas daerah di laut, bila
mengikuti alur garis pantai maka semakin
banyak titik yang diukur koordinatnya sebagai
acuan pengukuran. Oleh karena itu untuk
efisiensi penentuan batas di wilayah laut, maka
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
148
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
dipilih titik-titik menonjol pada garis pantai
sebagai titik dasar atau titik pangkal.
Pada bentukan geografis yang dianggap
mewakili bentuk geografis pada daerah wilayah
perairan akan didapat tiga bentukan yang paling
memungkinkan untuk didapatkan letak titiktitik dasar, yaitu :
‰ Pantai landai.
‰ Elevasi surut.
‰ Pantai Curam/terjal. [Badrun, 1999]
Posisi titik pangkal ditentukan setelah peta
batimetri suatu daerah diperoleh. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan dalam penentuan posisi
titik-titik pangkal tersebut adalah :
a. Titik-titik pangkal harus terletak di bagian
terluar dari daerah survei dengan
memperhatikan letak daerah survei
tersebut terhadap konfigurasi umum
gugus kepulauan.
b. Titik-titik pangkal harus dipilih pada garis
air rendah atau garis nol kedalaman yang
dipetakan. Bila kondisi pantai terjal dan
dalam, dimana garis nol kedalaman tidak
diperoleh, titik-titik pangkal dipilih pada
garis pantai atau bibir tebing/garis air
permukaan yang bersinggungan dengan
daratan, atau dapat juga dipilih pada titiktitik referensi.
c. Posisi titik-titik pangkal diinterpolasi
dengan ketelitian koordinat sesuai
ketelitian yang tergambar pada skala peta.
d. Posisi titik-titik pangkal dapat dinyatakan
dengan koordinat proyeksi (X,Y) atau
koordinat
geografi/geodetik
(L,B).
[Simbolon, 1997].
c. Garis Pangkal
Konsep yang digunakan untuk penetapan batas
laut di wilayah propinsi/kabupaten di Indonesia
pada dasarnya sederhana, yaitu ketentuanketentuan yang ada dalam Konvensi Hukum
Laut PBB Tahun 1982 yang berlaku untuk
negara pantai diterapkan untuk keperluan
penetapan batas laut nasional. Ketentuan ini
dapat digunakan karena sejak tahun 1985,
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hukum Laut PBB, melalui UU No.
17 serta diperkuat dengan UU No. 6 tahun 1996
tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian,
ketentuan yang dibuat berkaitan dengan
penetapan batas laut nasional, dipastikan tidak
akan melanggar atau bertentangan dengan
ketentuan PBB tersebut.
Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang dapat
dijadikan pedoman penarikan batas laut
wilayah
kabupaten
(dengan
beberapa
modifikasi) adalah :
‰ Penentuan batas laut pada dasarnya
mengacu pada garis pangkal (dalam UU
No. 22 Tahun 1999, disebut sebagai garis
pantai).
‰ Penggunaan prinsip sama jarak dan
keadilan untuk penarikan batas dengan
daerah lain, baik dalam satu propinsi
maupun berbeda propinsi.
‰ Garis pangkal untuk mengukur lebar laut
wilayah kabupaten sejauh empat mil laut,
harus dicantumkan dalam peta dengan
skala yang memadai atau dalam bentuk
koordinat geografis.
‰ Garis pangkal terdiri dari garis pangkal
normal dan garis pangkal lurus.
‰ Garis pangkal normal (lihat Gambar 1)
terlihat sebagai adalah garis air rendah
sepanjang pantai sebagaimana terlihat
pada peta skala terbesar yang diakui resmi
oleh negara.
‰ Untuk pulau yang mempunyai karangkarang di sekitarnya, maka garis pangkal
terletak pada garis air rendah pada sisi
karang ke arah laut yang ditunjukkan
secara jelas pada peta laut yang resmi.
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
149
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
‰ Garis pangkal lurus digunakan dimana
garis pantai menjorok jauh ke dalam dan
menikung ke dalam atau jika terdapat
suatu deretan pulau sepanjang pantai di
dekatnya (lihat Gambar 2).
Garis Pangkal Lurus
Lautan
garis yang melintasi berbagai mulut
tersebut.
Lautan
Luasan Setengah
Lingkaran
Teluk
Garis Air Rendah
Daratan
Daratan
Garis Air Rendah
Gambar 2 : Garis Pangkal Lurus
‰ Garis pangkal yang melintasi sungai
adalah suatu garis lurus antara titik-titik
pada garis air rendah kedua tepi sungai
(lihat Gambar 3).
Gambar 4 : Pengertian Teluk
‰ Garis pangkal yang melintasi teluk adalah
suatu garis lurus antara titik-titik pada
garis air rendah pada pintu masuk alamiah
suatu teluk yang panjangnya tidak
melebihi 12 mil laut (lihat Gambar 5).
Garis Penutup Teluk
Lautan
Lautan
Garis Air Rendah
Garis Air Rendah
Garis Penutup
Sungai
Daratan
Sungai
Teluk
Daratan
Daratan
Gambar 3 : Garis Penutup Sungai
‰ Suatu lengkungan pantai dianggap
sebagai teluk, apabila luas teluk sama atau
lebih luas dari luas setengah lingkaran
yang mempunyai garis tengah melintasi
mulut lekukan tersebut (lihat Gambar 4).
‰ Apabila lekukan mempunyai lebih dari
satu mulut, maka setengah lingkaran
dibuat pada suatu garis yang panjangnya
sama dengan jumlah keseluruhan panjang
Gambar 5 : Garis Penutup Teluk
‰ Apabila jarak antara garis air rendah
melebihi 12 mil laut, maka suatu garis
lurus yang panjangnya 12 mil laut ditarik
dalam teluk tersebut, sehingga menutup
suatu daerah perairan yang maksimum.
‰ Untuk garis pangkal yang melewati
pelabuhan laut permanen, maka bagian
terluar dari pelabuhan dianggap sebagai
bagian integral dari pantai.
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
150
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
______________________________________________________________________________________________________________
4. Penutup
Otonomi daerah telah memberikan dampak
yang positif pada suatu pemerintah daerah.
Dengan adanya otonomi daerah ini pemerintah
daerah memiliki kewenangan penuh untuk
melaksanakan pembangunan daerahnya serta
pemanfaatan sumber dayanya terutama sumber
daya kelautan. Untuk itu pendefinisian batas
laut yang jelas dan tepat sangat diperlukan.
Dalam penentuan batas di laut melibatkan
aspek teknis dan non teknis. Secara teknis,
penentuan batas suatu wilayah terdiri atas dua
kegiatan utama yaitu pendefinisian batas dan
perekonstruksiannya di lapangan. Sebelum
memberikan definisi dan merekonstruksi
batas-batas tersebut terlebih dahulu harus
didefinisikan titik atau pun garis dalam
penarikan batas wilayah daerah dalam hal
ini adalah batas wilayah laut.
Daftar Pustaka
Dahuri R, Rais J,Ginting SP, Sitepu MJ. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Parenrengi S. 2001. United Nation Covention
on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) dan
Undang-Undang No.22 tahun 1999.
Kumpulan Makalah Integrated Coastal Zone
Planning and Management. 2001. PKSPLIPB.
Soendjojo H. 2001. Penentuan Batas Daerah
dan Beberapa Aspek Permasalahannya :
Makalah.
Diamar S. 2001. Kadaster Kelautan : Makalah
disampaikan pada Forum URDI.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah
“Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah”
151
Download