siauw giok tjhan

advertisement
SIAUW GIOK TJHAN
DALAM MEMBANGUN
NASION INDONESIA
LEMBAGA KAJIAN SINERGI INDONESIA
2010
Judul
Siauw Giok Tjhan
Dalam Membangun Nasion Indonesia
Penerbit: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia
Pengantar: Joesoef Isak
Desain Cover: Chan Chung Tak
ISBN:
Memperbanyak dengan fotokopi atau bentuk reproduksi lain
Apapun tidak dibenarkan, kecuali dengan izin Penerbit
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Untuk ibuku yang tercinta
Tan Gien Hwa
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini berbentuk biografi politik Siauw Giok Tjhan.
Go Gien Tjwan, dan Lev dan Herb Feith adalah orang-orang
yang mendorong saya untuk menulis buku ini pada tahun
1988. Saya sangat berterima kasih atas semua dorongan dan
dukungan ketiga pakar ini.
Siauw Giok Tjhan adalah ayah kandung saya. Menulis
tentang ayah sendiri tentu merupakan tugas yang sulit. Sulit
untuk bisa sepenuhnya objektif dan menempatkan berbagai
permasalahan dengan perspektif yang independen.
Oleh karena itu saya memutuskan untuk melakukan
penelitian tentang kegiatan politik ayah saya melalui program
PhD dalam bidang Political Science di Monash University di
bawah bimbingan dua orang pakar ternama, Herbert Feith
dan Barbara Hatley.
Merekalah yang membimbing saya untuk melakukan
penelitian objektif dan menulis secara akademis. Disertasi
ini akhirnya rampung pada bulan November 1998 dan saya
memperoleh gelar PhD pada bulan Mei 1999. Saya ucapkan
terima kasih kepada Herbert Feith dan Barbara Hatley atas
semua bimbingannya.
Ucapan terima kasih saya haturkan pula kepada Kedua
pakar lain yang telah banyak membantu, Charles Coppel dan
Mary Somers-Heidhues, yang sebagai pemeriksa disertasi,
telah memberi banyak kritikan-kritikan yang membangun.
Buku ini adalah revisi buku yang diterbitkan oleh Hasta
Mitra pada tahun 1999, yang berjudul: Siauw Giok Tjhan,
Perjuangan Seorang Patriot membangun Nasion Indonesia
dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika.
Saya putuskan
untuk menerbitkannya kembali dengan berbagai revisi dan
tambahan data. Judul buku-pun diubah menjadi: Siauw Giok
Tjhan Dalam Pembangunan Nasion Indonesia.
Keputusan untuk me-revisi buku ini berkaitan dengan
diterbitkannya buku Siauw yang saya sunting pada bulan
Maret 2010, berjudul: Rebungan Seorang Patriot Indonesia,
Siauw Giok Tjhan. Saya menganggap perlu ada sebuah buku
pendamping yang memberi penguraian yang lebih terperinci
tentang kegiatan politik Siauw, yang jaeang menuturkannya
secara terang dalam banyak tulisannya.
Dasar buku ini adalah disertasi PhD yang disinggung di
atas, dengan berbagai perubahan yang disesuaikan dengan
penuturan hati nurani saya. Penampilan data dan bahan tidak
lagi bersifat akademis, seperti yang terkandung dalam disertasi
akademis. Tidak ada pretensi menerbitkannya sebagai sebuah
karya yang bersifat akademis.
Membangun Nasion Indonesia seperti yang dituturkan
dalam buku ini adalah perjuangan yang memerlukan komitmen
tinggi dan keuletan politik. Siauw Giok Tjhan tercatat dalam
sejarah sebagai seorang tokoh politik yang telah mencurahkan
seluruh jiwa raganya, hingga penghembusan napas terakhir,
untuk perwujudan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika.
Saya beruntung bisa mewawancarai banyak orang yang
secara langsung dan tidak langsung berhubungan dan
bekerja sama dengan Siauw Giok Tjhan. Mereka ini tersebar
di beberapa negara, termasuk Indonesia, Australia, Belanda,
Jerman, Perancis, RRT dan Hongkong. Untuk bahan-bahan,
informasi, komentar dan kritikan yang saya peroleh, saya
sangat berterima kasih.
Saya sangat berterima kasih kepada ibu saya, Tan Gien Hwa,
Siauw Giok Bie, Go Gien Tjwan, Lee Nyan Hoo, Yap Thiam Hien,
Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian, Oey Hay Djoen, Tan Hwie Kiat,
Tan Tjin Siang, Professor Wertheim, Charles Coppel, Mary
Somers-Heidhues, Jusuf Adjitorop, Joesoef Isak, Ibrahim Isa,
Sidik Kertapati, Soemarsono, Ernst Utrecht, Dan Lev, Oei Hiem
Hwie, Tan Kiep Nio, Ong Hok Ham, Andrew Gunawan, Tan
Soen Houw, Lie Xie Thian, Tjang Tjing Kuo, Utami Suryadarma,
Setiadi, Sutomo, Bambang Soemardjo, Fransisca Fanggidaj,
Arief Budiman, Karlina Supelli dan banyak yang lain yang
tidak bisa disebut di sini.
Jasa ibu saya dalam mengumpulkan secara rapih dan teliti
semua karya, pidato dan tulisan ayah yang telah saya gunakan
sebagai bahan dasar utama buku ini harus ditonjolkan.
Kesemua itu dilakukan di zaman pengejaran dan penumpasan
bahan-bahan yang dianggap berhaluan kiri. Keberaniannya
dalam menyelamatkan data-data bersejarah ini patut dipuji
dan dihargai.
Saya juga memperoleh bantuan semua saudara kandung
dan sepupu saya, terutama Siauw Tiong Tjing, anak-anak dan
keponakan, terutama Meilanie Rosalina dan Adelene Foo.
Untuk itu saya haturkan banyak terima kasih.
Ucapan terima kasih saya haturkan pula untuk Lembaga
Kajian Sinergi yang bersedia menerbitkan revisi buku yang
meriwayatkan perjuangan seorang patriot Indonesia dalam
membangun Nasion Indonesia.
Bantuan dan dukungan istri saya, Leony Siauw
memungkinkan buku ini rampung di tengah berbagai
kesibukan lain, akan selalu saya ingat dan hargai. Rasa terima
kasih khusus saya haturkan untuknya.
Saya-lah yang bertanggung jawab atas semua kesalahan
dan kekurangan yang terkandung di dalam buku ini.
Siauw Tiong Djin
2 Mei 2010
KATA PENGANTAR
Dengan gembira kita sambut kehadiran karya biografis
ini bukan saja karena isinya penting, bukan karena topiknya
dulu actual dan sekarang pun masih actual, juga bukan karena
topiknya masih akan tetap relevan di masa mendatang yang
lama, tetapi karena kita bangga berkesempatan lewat cara
ini menghormati orang yang patut kita hormati: Siauw Giok
Tjhan.
Kita dengan sadar menolak menjadi bagian orang-orang
yang tidak tahu sejarah, apalagi mengingkari sejarah; tidak
tahu menghargai jasa orang yang sepanjang umur dalam
hidupnya mengabdikan diri bagi kemerdekaan Indonesia,
bagi pembangunan Nasion Indonesia – nation building – dan
bagi keadilan dan kesejahteraan Rakyat.
Siauw Giok Tjhan adalah salah seorang yang mengalami
ketidak adilan sejarah. Belasan tahun dia dibungkam dalam
penjara rezim Orde Baru, kemudian hidup dalam sisa umurnya
sebagai refugee politik dan meninggal di rantau orang, semua
itu dialaminya setelah dia terlibat aktif membela kemerdekaan
dan sibuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan
Indonesia sebagai tanah air yang dia cintai.
Dari namanya saja sudah jelas bahwa dia keturunan
Tionghoa, oleh rezim Orde Baru sengaja diganti menjadi
Cina, pakai dalih pembenaran bahwa bahasa Inggris-pun
menggunakan kata “China”. Dalam konteks Inggris hal itu
sepenuhnya benar, tidak ada konotasi negatif apa-pun, tetapi
kita semua tahu latar belakang mengapa Orde Baru mendadak
membakukan penggunaan kata Cina dalam bahasa Indonesia.
Dari saat munculnya saja sudah jelas kata Cina dilepas
di tengah kampanye witch hunt terhadap PKI dan warga
keturunan Tionghoa yang diassosiasikan sebagai agen-agen
RRT, agen-agen Cina komunis yang harus ditumpas. Memang
di situlah titik awal tegaknya kekuasaan represif Orde Baru:
menanam benih rasisme dan eksplosi kebencian terhadap
keturunan Tionghoa yang latent bisa meledak atau diledakkan
sewaktu-waktu sesuai keperluan.
Yang dikatai-katai Cina ini, kadar kepatriotannya mungkin
lebih kental daripada rata-rata orang yang mengaku “pribumi
asli”. Kenyataan itu Siauw nyatakan dalam perbuatan dan
pekerjaan, bukan sekedar verbal hampa. Orde Baru dengan
gampang saja mencampakkan dan menghapus segala
sumbangsih Siauw yang sebagai parlementerier ulung telah
menghasilkan berbagai undang-undang, peraturan maupun
wawasan politik, ekonomi dan budaya guna membina
kesatuan dan persatuan nasion Indonesia dalam masyarakat
plural, etnik, agama, budaya maupun paham politik.
Selain itu besar sahamnya dalam melahirkan sarjana
dan kaum intelektual muda Indonesia lewat program
pendidikannya dengan pendirian sekolah-sekolah berbagai
tingkat sampai pada perguruan tinggi. Mercu suar bagi
golongan Tionghoa peranakan maupun totok, Siauw tidak
henti-hentinya tanpa pamrih menanamkan kesadaran pada
mereka yang lahir dan hidup di Nusantara ini bahwa tanah air
mereka adalah Indonesia.
Rasisme terhadap golongan etnis Tionghoa memang punya
sejarah panjang. Kolonialisme Belanda sengaja menggunakan
rasisme sebagai instrumen devide et impera untuk secara
ekonomis menguasai koloni yang kawiulannya beragama
etnik dan budaya ini. Tetapi sejak Indonesia merdeka,
apalagi akan memasuki millennium berikutnya, problema
rasial itu sepenuhnya sudah menjadi permasalahan bangsa
Indonesia sendiri, dia menjadi tanggung jawab di pundak elit
politik berikut kaum cendikianya. Kita seret di sini cendikia
Indonesia, para akademi, terutama pakar ilmu sosial, karena
sangat disayangkan bahwa mereka sampai detik ini belum
menghasilkan satu kajian mendalam dan
menyeluruh
mengenai apa yang disebut “domestic Chinese” ini, belum
ada class analysis yang membedah suatu segment bangsa
Indonesia yang justru patut menjadi bahan penelitian serius.
Apa yang ada baru kajian fragmentaris menyoroti satu
dua aspek dari suatu entity yang kompleks. Cukup banyak
tulisan malah ikut menyumbang kepada penyebaran persepsi
rancu terhadap golongan keturunan Tionghoa, kelompok
yang inheren sudah menjadi bagian masyarakat Indonesia.
Berbagai persepsi stereotip menjamur dalam masyarakat
kita, seperti: semua Cina kaya-raya. Semua konglomerat ya
Cina. Yang kolusi dengan pejabat menguras kekayaan bumi
Indonesia, ya Cina. Mana ada Cina melarat? Cina petani yang
miskin?
Gebyah-uyah dan main pukul rata ini jelas menyuburkan
kecemburuan sosial destruktif. Elit politik kanan dan kiri,
reaksioner maupun progresif dengan cara satu dan lain hal,
ikut bertanggung jawab atas kerancuan persepsi seperti itu.
Siauw Giok Tjhan dengan keuletan luar biasa berusaha
mendudukan persoalan secara benar. Untuk ini dia harus
tembus rimba belukar kebodohan dan kekerdilan: “pemimpinpemimpin asli”, peranakan Tionghoa maupun totok yang picik
pandangannya. Dengan konsep-konsepnya dia meyakinkan
bahwa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial
bukanlah caranya mencari apalagi menciptakan kambing
hitam: si Cina kaya, si Cina pedagang. Itu sama saja dengan
mengamputasi kaki dan tangan yang sangat diperlukan untuk
bekerja, hanya gara-gara telinga gatal.
Begitulah ciri berbagai kebijakan penguasa yang lantang
menentang rasisme, mereka juga keras berkoar tentang
pembauran dan assimilasi – ternyata assimilasi mereka kipaskipas rasisme untuk tetap melestarikan kedudukan politik
golongannya. Massa Rakyat kecil lantas dijadikan subyek dan
obyek sekaligus.
Siauw Giok Tjhan membuka mata kita tentang betapa besar
potensi yang dikandung oleh manusia dan bumi Indonesia,
asal segala kerancuan persepsi dibenahi, membikin produktif
segala yang kontra-produktif. Dengan karya biografis ini kita
dapat mengikuti perspektif wawasan Siauw tentang potensi
besar konsep integrasi dan ke-bhinneka-tunggalan warga
yang sebenarnya dimiliki Nasion Indonesia.
Berhasilkah Siauw Giok Tjhan? Ada saat-saat yang rasanya
seakan berhasil, tetapi kemudian mentah kembali. Penulis
buku ini – walaupun anak kandungnya sendiri – menguraikan
dengan jelas wawasan berpikir ayahnya secara objektif
tanpa pretensi menyodorkan suatu kebenaran yang mutlak
harus diikuti. Tetapi sekurang-kurangnya lewat penulisan
yang menarik dan lancar, buku ini mengajak orang berpikir
merefleksikan segala pengalaman positif dan negatif di masa
lampau guna menempuh jalan terbaik dan paling tepat dalam
masalah Rasisme yang kunjung tak selesai sampai hari ini.
Kita menekankan sekali lagi di sini pentingnya analisis kelas
yang mendasar dan menyeluruh mengenai warga keturunan
Tionghoa ini, bagian integral Nasion Indonesia kita. Tak akan
rampung menyelesaikan masalah rasisme selama persepsi
stereotip masih meraja-lela, selama inventarisasi masalah
dengan lengkap dan tuntas belum dilakukan.
Joesoef Isak
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Hubungan Antara Siauw dan Penulis
Sejarah Singkat Golongan Tionghoa
Timbulnya Totok dan Peranakan
Tiga Aliran Politik dalam Komunitas Tionghoa
Perjalanan Politik Siauw
BAB 2 MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan Sekolah Dasar dan Keluarga
Pendidikan Sekolah Mednengah dan Berorganisasi
Dunia Liem Koen Hian dan Nasionalisme Indonesia
Jurnalisme dan Kancah Politik
Pola Pandangan Politik Siauw Giok Tjhan
1
5
11
12
15
22
27
30
33
41
45
54
BAB 3 ZAMAN JEPANG DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 63
Reaksi terhadap Pendudukan Jepang
63
Pembentukan Badab-Badan Para Militer
73
Proklamasi Kemerdekaan
BAB 4 PARTAI SOSIALIS, BADAN PEKERJA & YOGYAKARTA 88
Masuk Partai Sosialis
89
KNIP dan Badan Pekerja
96
Kabinet Amir Sjarifuddin
06
Berada di Oposisi
117
BAB 5 JURNALISTIK &FRAKSI NASIONAL PROGRESIF
Dunia Jurnalistik
Siauw Di Parlemen
Fraksi Nasional Progresif
Razia Sukiman
29
130
149
157
163
BAB 6 LAHIRNYA BAPERKI
Perkembangan Politik Setelah Juli 1953
Masalah Kewarganegaraan
Organisasi-organisasi Tionghoa pada tahun 50-an
Lahirnya Baperki
Peranan Tan Gien Hwa
172
172
177
182
187
197
BAB 7 BAPERKI DALAM PEMILU 1955
Perjanjian Vote-Pooling
Kampanye Baperki
Hasil Pemilu
202
211
213
220
BAB 8 PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL
Politik Asli
Politik Benteng dan Importir Nasional
Transportasi Bis dan Truk
Penggilingan Pasi
Ekonomi Nasional
Gerakan Assaat
227
229
233
237
239
240
241
BAB 9 KEWARGANEGARAAN DAN DWI-KEWARGANEGARAAN
RUU Kewarganegaraan
246
Surat Bukti Kewarganegaraan
251
Masalah Dwi-Kewarganegaraan
254
UU Kewarganegaraan 263
BAB 10 TRANSISI KE DEMOKRASI TERPIMPIN
Masa Pergantian Politik
Masa Permusyawarahan
Hancurnya Demokrasi Parlementer dan kembali ke UUD-45
Konflik dalam Baperki tentang Demokrasi Terpimpin
267
267
275
279
286
BAB 11 DEMOKRASI TERPIMPIN
Struktur Baru dan Ideologi Bari
Reaksi Siauw terhadap Demokrasi Terpimpin
Masalah Kewarganegaraan
PP-10 Ekonomi Terpimpin dan Kegagalannya
Kerusuhan Anti-Tionghoa 1963
Posisi Politik Baperki
290
290
294
300
305
308
313
316
BAB 12 PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BAPERKI
Terjunnya Baperki dalam Dunia Pendidikan
Berdirinya sekolah-sekolah Baperki Berdirinya Universitas Baperki
Pendidikan Politik
323
324
326
330
324
BAB 13 NATION BUILDING, INTEGRASI DAN ASSIMILASI
Lahirnya Gerakan Assimilasi
Formulasi Siauw: Nation Building dan Integrasi
Nasion Indonesia
Baperki Vs LPKB
BAB 14 AKHIR HIDUP BAPERKI
Situasi dan Lingkungan Politik Soekarno dan Siauw
PKI dan Siauw
Peristiwa G-30-S
BAB 15 ZAMAN ORDE BARU
Tahanan Politik
Menjadi Pelarian Politik di Belanda
342
350
350
358
362
363
368
371
376
385
385
410
BAB 16 KESIMPULAN 425
AMANAT BUNG KARNO - KONGRES BAPERKI KE 8 - 1963
437
INDEX
457
Pendahuluan
BAB 1
PENDAHULUAN
Buku ini berbentuk biografi dari seorang tokoh yang
pernah memainkan peranan penting dalam kancah politik dan
pembangunan bangsa Indonesia dari tahun 1932 sampai tahun
1965, Siauw Giok Tjhan.
Dari namanya orang segera mengetahui bahwa Siauw Giok
Tjhan adalah seorang peranakan Tionghoa. Memang benar, ia
adalah seorang peranakan Tionghoa dari generasi ke tiga di
Indonesia. Walaupun demikian, di dalam sejarah perjuangan
mencapai dan mengkonsolidasi kemerdekaan Indonesia, banyak
tokohnya mengingat Siauw sebagai seorang patriot yang gigih
dalam memperjuangkan perwujudan Nasion Indonesia dan
berbagai perbaikan yang menguntungkan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Ia duduk dalam berbagai badan legislatif, dimulai dengan Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1946, kemudian
Badan Pekerja-nya pada tahun 1947, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS) pada tahun 1949, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari tahun 1950
sampai 1959, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dari tahun 1960 sampai 1966, dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dari 1960 sampai 1966. Disamping
kegiatannya dalam bidang legislatif, ia juga duduk di dalam Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dari tahun 1959 sampai 1966, dan
berbagai lembaga penting lainnya, di antaranya sebagai anggota
Dewan Harian Angkatan 45.
Di dalam zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959), Siauw
mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh di parlemen,
Fraksi Nasional Progresif yang beranggotakan beberapa partai
politik seperti Murba, Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat
1
Siauw Giok Tjhan
Nasional (PRN), Serikat kebangsaan Indonesia (SKI), Persatuan
Marhaen Indonesia (Permai), AKOMA, Baperki dan beberapa tokoh
tidak berpartai seperti Mohamad Yamin.
Sebagai seorang politikus, Siauw mempunyai pembawaan yang
memungkinkannya untuk berhubungan intim dengan banyak
tokoh dari berbagai aliran politik, diantaranya Presiden Soekarno,
Sartono (PNI), Ali Sastroamidjojo (PNI), Aruji Kartawinata (PSII),
Sudibjo (PSII), Tambunan (Parkindo), Kasimo (Partai Katolik),
Sukarni (Murba), Adam Malik (Murba), Zainul Arifin (NU), Djodi
Gondokusumo (PRN) dan Mohamad Yamin (Non Partai). Keintiman
dengan para tokoh ini banyak membantu Siauw dalam kegiatankegiatan politiknya.
Walaupun keaktifannya di dalam kancah politik Nasional dan
dikenalnya Siauw di dalam kalangan gerakan politik Nasional
sebagai “bung Siauw”, karena ia memimpin Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebuah organisasi
massa yang sebagian besar anggotanya adalah warga negara
keturunan Tionghoa dari tahun 1954 sampai tahun 1966, Siauw
lebih banyak dikenal masyarakat Indonesia sebagai pemimpin
komunitas Tionghoa.
Melalui organisasi massa Baperki, Siauw menyebar-luaskan
konsepsi pembangunan Nasion Indonesia. Ia berpendapat bahwa
Indonesia, sejak pembentukannya, tidak mengenal Ras Indonesia.
Ini tidak memungkinkan dibenarkannya kebijakan yang bersandar
atas Indonesia “asli” dan “non-asli”. Indonesia merupakan sebuah
bangsa, sebuah Nasion yang terdiri dari berbagai suku. Siauw
berpendapat bahwa komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi
menetap di Indonesia, hendaknya menganggap dirinya dan diterima
oleh masyarakat sebagai salah satu suku yang tidak terpisahkan
dari Nasion Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, Siauw
menganjurkan diterapkannya paham integrasi, di mana setiap suku
meng-integrasikan dirinya ke dalam tubuh Nasion Indonesia, tanpa
menanggalkan ciri-ciri kesukuan-nya. Keberadaan hukum setiap
orang Indonesia yang berada di dalam tubuh Nasion Indonesia ini
2
Pendahuluan
adalah kewarganegaraan Indonesia.
Dasar perjuangan Siauw adalah apa yang dicanangkan oleh
Indische Partij sejak tahun 1912, yang dilanjutkan oleh Gerindo, dan
kemudian menjadi dasar jiwa proklamasi 1945 yang dicantumkan
dalam Manifesto Politik November 1945, yaitu menjadikan
semua keturunan asing warga negara Indonesia dan patriot sejati
Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin. Ini, menurut Siauw,
azas penting pembangunan Nasion Indonesia, sebuah nasion yang
terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa, Nasion yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Buku ini menuturkan perjuangan Siauw dalam mewujudkan
formulasi pembangunan Nasion Indonesia yang digambarkan ini.
Siauw mendukung paham sosialisme. Ia berpendapat bahwa
sosialisme merupakan penyelesaian dan jalan keluar untuk berbagai
masalah politik dan sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Dengan direalisasinya masyarakat sosialis ala Indonesia yang
didengungkan dalam zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965),
menurut Siauw, masalah minoritas Tionghoa dan pengintegrasian
komunitas Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia akan dapat
diselesaikan.
Dekatnya Siauw dengan Soekarno di dalam zaman Demokrasi
Terpimpin menolong berbagai usahanya.
Banyak pidato
Soekarno menurut-sertakan berbagai pandangan Siauw yang
telah didengungkan sejak tahun 50-an. Bahkan beberapa GBHN
(Garis Besar Haluan Negara) yang disahkan oleh MPRS pada tahun
1963 yang berhubungan dengan pengembangan modal ekonomi
domestik mengandung formulasi ekonomi yang disebar-luaskan
oleh Siauw sejak tahun 50-an.
Dalam zaman yang kini lebih dikenal sebagai zaman Orde
Lama ini, Siauw dan Baperki-nya berhasil meraih hasil-hasil yang
gemilang. Akan tetapi keberadaan Siauw dan Baperki di dalam
barisan Soekarno yang sejak tahun 1963 merangkul PKI dan para
organisasi kiri lainnya, membawanya ke malapetaka ketika kekuatan
politik jatuh ke tangan barisan yang menentangnya, kekuatan
3
Siauw Giok Tjhan
politik sayap kanan yang dipimpin oleh para tokoh Angkatan Darat
dan partai-partai Islam, pada akhir bulan Oktober 1965.
Pembasmian politik kiri dan para penganutnya yang dipimpin
oleh Jendral Soeharto, menjatuhkan lebih dari satu juta korban
dan menyebabkan puluhan ribu orang meringkuk dalam tahanan
berbelasan tahun tanpa proses pengadilan. Siauw berusaha sekuat
tenaga untuk mempertahankan posisi Baperki dan melindungi
para anggota serta komunitas Tionghoa dari hantaman sistematis
yang dilakukan oleh pihak penguasa militer. Tetapi usahanya gagal
total. Universitas Baperki di Jakarta, Universitas Respublica (kini
Universitas Trisakti) dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965. Siauw
sendiri ditangkap oleh penguasa militer pada tanggal 4 November
dan setelah itu beberapa tokoh Baperki lainnya juga ditangkap.
Baperki dibubarkan secara resmi pada bulan Maret 1966.
Selama 10 tahun setelah itu, Siauw meringkuk dalam berbagai
penjara sebagai tahanan politik. Pada bulan September 1975, ia
diizinkan pulang ke rumahnya, tetapi dengan status tahanan rumah.
Dalam masa tahanan rumah ini, ia merampungkan tiga manuscript,
Sebuah Renungan, Lima Zaman dan For A Brighter Future. Pada
tanggal 1 May 1978, ia dibebaskan secara resmi oleh penguasa
militer. Pada waktu itu, kesehatannya jauh mundur. Selama di
penjara, ia beberapa kali mendapat serangan jantung. Penglihatan
mata kirinya tinggal 10%. Atas bantuan kawan karibnya, Adam
Malik, yang pada waktu itu Wakil Presiden, ia diizinkan untuk pergi
ke negeri Belanda untuk berobat. Bersama istrinya, Tan Gien Hwa,
ia mendarat di Amsterdam pada tanggal 18 September 1978.
Tetapi Siauw tidak memperhatikan nasehat para dokternya
untuk beristirahat. Ia segera aktif dalam berbagai kegiatan. Ia
terjun dalam usaha mengumpulkan dana untuk para eks tahanan
politik (tapol) dan para keluarganya. Disamping itu ia juga sering
memberi ceramah tentang keadaan politik Indonesia dan jalan
keluarnya di berbagai kota di Eropa.
Pada tanggal 20 November 1981, beberapa menit sebelum ia
memberi ceramah tentang kegagalan Indonesia dalam mencapai
4
Pendahuluan
demokrasi di hadapan para akhli Belanda tentang Indonesia di
Universitas Leiden, ia mendadak meninggal karena serangan
jantung. Catatan yang seyogyanya menjadi dasar ceramah tersebut
menunjukkan bahwa Siauw tetap optimis bahwa perjuangan
untuk menciptakan Indonesia yang demokratis akan berhasil dan
kecintaannya terhadap Indonesia yang dianggap sebagai tanah
airnya jelas terkandung di dalam catatan tersebut. Pada hari itu,
Siauw telah meninggal sebagai seorang patriot Indonesia di negara
asing.
Banyak pengarang buku tentang politik Indonesia menulis
Siauw sebagai seorang komunis atau simpatisan komunis. Buku ini
akan menunjukkan bahwa walaupun Siauw adalah seorang Marxist
dan mendukung paham-paham sosialisme, ia tidak pernah masuk
PKI. Bahkan pandangannya tentang Marxisme-pun tidak dogmatis.
Bilamana pelaksanaan paham Marxisme itu bertentangan dengan
usahanya dalam melindungi hak dan posisi komunitas Tionghoa,
ia senantiasa siap untuk menentangnya. Formulasi ekonomi yang
Siauw pegang sampai akhir hayatnya mendukung dikembangkannya
domestic-capital dalam membangun Ekonomi Nasional. Dalam
batas-batas tertentu, ia menginginkan dipertahankannya sistem
kapitalisme yang bersandar pada pengembangan modal kapital
para pedagang nasional untuk membangun kemakmuran Indonesia
yang merata.
Hidup Siauw dipenuhi dengan pekerjaan dan tugas politik. Jadi
penghidupan sosial dan kekeluargaannya juga senantiasa tercampur
kegiatan politik. Buku ini dengan sendirinya lebih banyak menyorot
penghidupan Siauw sebagai tokoh politik ketimbang penghidupan
pribadi dan keluarganya.
Hubungan antara Siauw dan Penulis
Siauw Giok Tjhan adalah ayah kandung saya. Keputusan saya
untuk menulis buku ini terdorong oleh kekaguman saya akan
5
Siauw Giok Tjhan
kualitas Siauw sebagai seorang tokoh politik dan keteguhannya
dalam mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip politiknya.
Sebenarnya, saya tidak begitu mengenalnya. Ketika ia ditahan
pada bulan November 1965, saya baru berumur 9 tahun. Sejak
saat itu, saya tidak pernah hidup bersamanya. Saya meninggalkan
Indonesia untuk melanjutkan studi saya di Australia pada tahun
1973, dua tahun sebelum statusnya diubah menjadi tahanan
rumah. Sebelum saya meninggalkan Indonesia, pertemuan saya
dengannya dilakukan di beberapa rumah tahanan di Jakarta. Tetapi
justru pertemuan-pertemuan singkat di penjara-penjara inilah
yang membangkitkan kebanggaan saya terhadapnya dan yang
mendorong saya untuk mengetahui secara mendetail siapa sosok
Siauw Giok Tjhan itu.
Sebagai tapol, Siauw meringkuk dalam beberapa penjara di
Jakarta. Sebagian besar dari 6 tahun pertama menjadi penghuni
penjara Salemba, penjara terbesar di Jakarta. Pertemuan dengan
keluarga di penjara ini sangat terbatas. Pada umumnya keluarga
hanya bisa bertemu dengan tapol sekali dalam dua bulan dan
itupun dibatasi untuk jangka waktu 10-15 menit. Pertemuanpertemuan keluarga saya dengan Siauw sering dilakukan dalam
sebuah ruangan kecil di mana dua atau tiga petugas penjara hadir
dan mendengarkan semua pembicaraan dan tindak tanduk kami.
Pada bulan Juni 1970 Siauw mendadak dipindah ke sebuah
kamp di Kebayoran Lama. Di sana ia diberitahu bahwa ia akan
diadili dan persiapan untuk pengadilan di kamp yang dinamakan
SATGAS (Satuan Tugas) Kebayoran Lama itu dimulai. Beberapa
bulan kemudian, ia dipindah ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di
Lapangan Banteng. Di dua tempat ini, Siauw diinterogasi secara
sistematis. Kadang-kadang ia diperiksa berjam-jam non-stop dan
pemeriksaan sering dimulai pada pukul 12 malam hingga pagi hari.
Proses pemeriksaan ini berlangsung secara terputus-putus selama 2
tahun. Ia diperiksa secara berturut-turut selama 1 bulan, kemudian
didiamkan selama 4 bulan. Setelah itu pemeriksaan diulang untuk
2 bulan sebelum dihentikannya lagi. Tim pemeriksanya sering
6
Pendahuluan
berganti walaupun pertanyaan-pertanyaannya berkisar pada hal
yang sama, yaitu keterlibatan Siauw dalam Gerakan 30 September
(G-30-S) dan hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pemeriksaan berhenti total pada bulan Agustus 1972 dan ia
dipindah ke penjara Nirbaya (Interniran dalam Keadaan Bahaya),
sebuah tahanan yang dipakai khusus untuk memenjarakan tokohtokoh dan pimpinan Angkatan Bersenjata di zaman Orde Lama.
Pada bulan Juli 1973, Siauw dikembalikan ke Salemba.
Walaupun Siauw tidak pernah disiksa dan perlakuan terhadapnya
relatif baik, dalam pengertian para petugas penjara dan tim
pemeriksa memperlakukannya dengan keramahan dan sopan
santun, tekanan batin yang dialaminya dalam proses pemeriksaan
yang berlangsung selama 2 tahun di luar Salemba itu cukup
berat. Tekanan psikologis dalam bentuk pertanyaan berulang
dan kehadiran calon-calon saksi dalam ruang pemeriksaan dalam
keadaan yang jauh lebih parah darinya, bahkan jelas disiksa,
sangat mengganggu kewajarannya dalam berpikir. Dalam hal ini, ia
sangat memerlukan teman berdiskusi, teman yang ia bisa percayai
tidak akan menyalah gunakan penyampaian jalan pikiran yang
sesungguhnya. Pada saat inilah, saya yang baru berumur belasan
tahun memainkan sebuah peranan yang berguna dan yang rupanya
mengandung “psychological therapy” untuknya. Bagaimana hal ini
bisa terjadi?
Kebijakan penguasa tahanan SATGAS Kebayoran Lama, RTM
dan Nirbaya berbeda dengan Salemba. Pertemuan keluarga
bisa dilakukan seminggu sekali untuk jangka waktu satu jam.
Pertemuannya juga bisa dilakukan secara santai dan tidak diawasi
secara ketat. Kebijakan inilah yang memungkinkan keluarga kami
untuk menemui Siauw secara teratur dan kesempatan ini saya
gunakan semaksimal mungkin.
Pada mulanya saya hanya terdorong oleh rasa penasaran dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Penasaran, karena di sekolah
saya sering mendengar bahwa Baperki adalah organisasi komunis
yang harus diganyang dan orang-orang komunis seharusnya
7
Siauw Giok Tjhan
dipenjarakan selama-lamanya karena mereka adalah penghianat
bangsa. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan padanya di
pertemuan mingguan ini ternyata “seirama” dengan pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh tim pemeriksanya. Perbedaannya
adalah, pada saya, ia bisa jauh lebih relax karena ia bisa memberi
jawaban dengan penjelasan panjang lebar tanpa khawatir akan
konsekwensi jawabannya terhadap para tokoh politik dan dirinya
sendiri. Demikianlah, pertemuan mingguan ini lalu berubah
menjadi suasana tanya jawab di mana Siauw menceritakan
pengalaman perjuangannya dan kesan-kesannya tentang berbagai
sosok politik yang berinteraksi dengannya. Tanpa disadari, proses
pengumpulan bahan tentang riwayatnya dimulai sejak saat itu,
walaupun tidak ada yang dicatat.
Saya lebih terdorong lagi untuk mengetahui lebih banyak
tentangnya. Biasanya, begitu pulang dari penjara, saya segera
membaca pidato-pidato serta tulisan-tulisannya. Disamping itu,
saya sering menemui teman- teman sebayanya dan bertanya tentang
apa yang ia kerjakan dan ia ingin capai dalam perjuangan politiknya.
Kekaguman saya terhadap dirinya berubah menjadi kebanggaan
karena setiap orang yang saya ajak berdiskusi memujinya.
Saya selalu menantikan tibanya hari Sabtu, hari pertemuan
mingguan itu, untuk mendengar cerita-ceritanya dan untuk
menunjukkan kemampuan saya dalam menunaikan tugas-tugas yang
ia berikan pada saya. Ia “menugaskan” saya untuk mendengarkan
berita-berita yang disiarkan oleh Radio Peking, Radio Moscow,
BBC dan ABC dan menghapalkannya untuk kemudian disampaikan
padanya. Saya juga dimintanya untuk mengumpulkan guntingan
surat-surat kabar dan berbagai majalah asing untuk diselundupkan
ke dalam penjara. Atas kebaikan beberapa temannya yang tidak
ditahan, saya berhasil mengumpulkan beberapa surat kabar dan
majalah-majalah asing seperti Time, NewsWeek dan Far Eastern
Economic Review, untuk kemudian saya jadikan news clippings.
Gumpalan guntingan surat kabar dan majalah itu harus saya
sampaikan padanya ketika kami bersalaman tangan dan saya ingat
8
Pendahuluan
bahwa episode itu selalu membuat hati berdebar-debar, karena
takut kami tertangkap basah oleh para penjaga penjara. Tapol
dilarang menerima bahan bacaan yang mengandung berita atau
politik.
Pertemuan mingguan ini diadakan dalam sebuah ruangan yang
cukup besar di mana beberapa keluarga Tapol duduk bersamaan.
Kadang-kadang sayapun dimintanya untuk duduk di sebelah tapol
lainnya untuk mengulang penyampaian berita yang saya hapalkan.
Kesempatan dalam berhubungan dengan para tapol lainnya ini
juga saya gunakan untuk mendengar pendapat mereka tentang
sosok Siauw Giok Tjhan. Lagi-lagi, saya gembira mendengar pujian
tentang Siauw dari mereka.
Pertemuan yang reguler ini terhenti ketika Siauw dikembalikan
ke Salemba pada bulan Juli 1973. Pertemuan jarang dengan
waktu singkat dan pengawasan yang ketat di Salemba, tidak
lagi memungkinkan apa yang saya lakukan selama dua tahun
sebelumnya. Pada tanggal 28 Desember 1973, satu hari sebelum
saya berangkat ke Australia, ibu dan saya diberi kesempatan untuk
menemuinya di sebuah ruangan kecil untuk beberapa menit. Pada
waktu berpisahan, ia dengan lantang mengatakan:” Ingat selalu,
Djin adalah orang Indonesia dan jangan hidup untuk diri sendiri...”.
Kata-kata yang sering mendengung di telinga saya sampai sekarang.
Setelah itu saya hanya berkesempatan berkumpul dengannya
selama dua minggu pada awal tahun 1978 di Jakarta dan dua minggu
pada awal 1980. Walaupun demikian hubungan kami tetap dekat
karena sejak ia dijadikan tahanan rumah pada bulan September
1975, kami saling surat menyurat seminggu sekali. Surat-suratnya
berisikan pendidikan politik, bagaikan editorial surat kabar di mana
perkembangan politik dunia, khususnya Indonesia dianalisanya.
Sekali-kali, pengalaman perjuangannya dituangkan kembali dalam
surat-suratnya ini dan dalam beberapa cassette rekaman suaranya.
Setelah Siauw meninggal dunia pada bulan November 1981, saya
tergerak untuk menulis riwayat hidupnya.
Tetapi usaha ini tidak dimulai sampai saya bertemu dengan
9
Siauw Giok Tjhan
Professor Dan Lev di rumah Dr. Herbert Feith di Melbourne
pada pertengahan tahun 1988. Dan Lev pada waktu itu sedang
merampungkan karangan tentang riwayat hidup Yap Thiam Hien.
Pembicaraan dengan kedua akhli Indonesia inilah yang mendorong
saya untuk mendisiplinkan diri untuk menulis biografi Siauw Giok
Tjhan melalui proses riset PhD secara part-time yang dibimbing
oleh Dr. Herbert Feith dan Dr. Barbara Hatley di Monash University.
Dengan bantuan Herb dan Barbara thesis ini saya selesaikan pada
tanggal 10 November 1998. Dilakukan secara part-time, karena
saya bekerja di bidang lain, yaitu di dalam bidang teknik komunikasi
dan saya-pun mengajar part-time sebagai dosen management di
universitas lain.
Thesis tersebut didasarkan research bertahun-tahun yang
menurut sertakan semua tulisan Siauw Giok Tjhan baik yang
diterbitkan maupun yang tidak, interview saya dengan Siauw
sendiri dan berbagai orang yang pernah berhubungan dengan
Siauw dan kebijakan politiknya yang kini menetap di Indonesia,
Australia, Belanda, Jerman, Hongkong dan Tiongkok. Surat-surat
kabar, majalah dan penerbitan berkala lainnya yang terbit dari
tahun 30-an sampai tahun 65, risalah-risalah DPR, DPA, MPRS dan
Baperki juga digunakan sebagai bahan dasar utama. Buku-buku
yang ditulis oleh para akhli seperti George Kahin, Herbert Feith,
Daniel Lev, Rex Mortimer, Mary Sommers Heidhues, Charles Coppel,
Jamie Mackie, Go Gien Tjwan dan Leo Suryadinata juga digunakan
dalam membantu penganalisaan tentang berbagai perkembangan
sejarah yang bersangkutan dengan perjalanan politik Siauw. Buku
ini secara garis besar berdasarkan thesis tersebut walaupun
penuturannya diubah sesuai dengan naluri saya dalam menuturkan
riwayat Siauw Giok Tjhan.
Hubungan yang digambarkan di atas itu menurut saya memberi
kesempatan yang unik bagi seorang biographer, karena banyak
hal yang orang lain tidak ketahui dan tidak mungkin ketahui,
berada dalam benak saya. Akan tetapi, hubungan semacam ini
juga menimbulkan sebuah masalah pelik dalam menyusun sebuah
10
Pendahuluan
karya yang bersifat netral dan objektif. Pada waktu penulisan
thesis, Herb dan Barbara banyak membantu dalam mengurangi
penuturan yang cenderung berat sebelah. Akan tetapi, karena buku
ini tidak berbentuk thesis lagi, saya memutuskan untuk tidak terlalu
banyak mengekang diri saya dalam menguraikan kekaguman saya
terhadap sosok Siauw Giok Tjhan dan kebanggaan saya sebagai
anak kandung ke-enam-nya.
Sejarah Singkat Golongan Tionghoa di Indonesia
Untuk bisa mengikuti dan menyelami perjuangan politik Siauw
Giok Tjhan, perlu kiranya dituturkan sedikit sejarah perkembangan
komunitas Tionghoa di Indonesia yang diwakilinya dan dipimpinnya.
Perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa sudah
berlangsung di Indonesia sejak abad ke 7. Ada beberapa laporan
yang menunjukkan bahwa kedatangan orang Tionghoa dalam
gelombang besar dimulai sejak abad ke 15 dan pada waktu orang
Belanda mendarat di Indonesia pada awal abad ke 17, pedagang
Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar telah beroperasi di kotakota pulau Jawa. Pada umumnya mereka ini berasal dari golongan
Hokkian1.
Di pertengahan abad ke 19, migrasi orang Tionghoa ke Hindia
Belanda meningkat dengan hebat. Mereka pada umumnya berasal
dari Tiongkok Selatan dan meninggalkan daerahnya karena
keadaan ekonomi yang parah dan kekacauan yang disebabkan oleh
pemberontakan Tai Ping. Mereka juga tertarik untuk ke Hindia
Belanda karena perkembangan ekonomi di sana, apalagi setelah
tahun 1870 di mana investasi Belanda dalam bidang perkebunan
dan pertambangan di Sumatra dan Kalimantan melonjak ke atas.
Pendatang baru di akhir abad ke 19 ini pada umumnya berasal dari
1
Marilyn W. Clark, Overseas Chinese Education In Indonesia, US Government Printing Office, 1965, p.2
11
Siauw Giok Tjhan
kelompok Hakka dan Tio Chiu2. Migrasi dari Tiongkok setelah
tahun 1930 menurun, apalagi setelah pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan Undang-Undang yang melarang di-importnya buruh
dari luar negeri, dengan tujuan mengurangi dampak resesi ekonomi
dunia.
Timbulnya Golongan Totok dan Peranakan
Sebagian besar orang Tionghoa yang datang pada gelombanggelombang migrasi pertama berasal dari golongan Hokkian dan
menetap di pulau Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki
yang kemudian menikah dengan para wanita penduduk setempat
yang dikategorikan “asli”.
Kelompok ini lalu berkembang dan di dalamnya berlangsung
perkawinan di antara sesamanya sehingga timbullah sebuah
komunitas besar dalam masyarakat Indonesia dan ia dinamakan
golongan peranakan Tionghoa. Orang dari golongan ini pada
umumnya fasih berbicara dalam bahasa setempat, termasuk
Indonesia dan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan serta kebiasaan
setempat.
Pada awal abad ke 20, banyak pendatang Tionghoa yang sampai
di Hindia Belanda membawa isterinya dari Tiongkok. Mereka pada
umumnya berasal dari golongan Hakka dan Kong Fu (Cantonese).
Mereka ini sering disebut sebagai “Sin-Keh” (pendatang baru) dan
pada umumnya kokoh dalam mempertahankan kebudayaan dan
tradisi kebiasaan yang dibawanya dari Tiongkok. Pada umumnya,
mereka juga enggan untuk mengintegrasikan atau mengassimilasi
dirinya dengan masyarakat setempat. Anak-anak mereka juga
dididik dan dibesarkan berdasarkan pengertian ini. Bahasa yang
digunakan sehari-hari adalah bahasa dialek dari mana mereka
berasal dan bahasa Tionghoa-mandarin. Golongan ini dinamakan
2
Victor Purcell, The Chinese In South East Asia, Oxford, Singa
pore, 1980, pp 411-412
12
Pendahuluan
golongan totok Tionghoa.
Definisi totok dan peranakan agak kompleks dan sering
menimbulkan kekaburan. Charles Coppel membedakan kedua
golongan ini berdasarkan tiga aspek masyarakat. Pertama, sandaran
utamanya adalah ras. Orang totok adalah orang Tionghoa asli.
Orang peranakan adalah produk kawin campuran. Kedua, tempat
kelahiran. Orang totok pada umumnya dilahirkan di Tiongkok
sedangkan orang peranakan dilahirkan di Indonesia. Aspek ketiga
yang membedakan kedua golongan ini berhubungan dengan
perkembangan sosial dan kultural di mana masyarakat Tionghoa ini
berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Golongan peranakan
pada umumnya berbahasa Indonesia atau fasih berbicara dalam
bahasa lokal di mana mereka dibesarkan, seperti bahasa Jawa bagi
mereka yang tinggal di pulau Jawa. Jadi mereka tidak lagi fasih
berbicara dalam bahasa-bahasa dialek Tionghoa seperti Hokkian,
Hakka, Teochiu dan Kongfu bahkan Mandarin3.
Mary Somers mengeluarkan definisi yang lebih sederhana.
Baginya, peranakan adalah seorang keturunan Tionghoa yang telah
berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli dan sudah tidak lagi
berkultur Tionghoa. Yang penting baginya adalah bahasa Indonesia
sudah menjadi bahasa-ibunya4.
Skinner memberi tekanan yang agak berbeda. Ia mengutarakan
bahwa terdapat perbedaan yang mencolok dari berbagai komunitas
Tionghoa yang tersebar di Indonesia. Masyarakat Tionghoa di
pulau Jawa terasa lebih banyak dipengaruhi oleh masyarakat
lokal bila dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa luar pulau
Jawa, walaupun mereka sudah hidup di tempat tempat tinggalnya
bergenerasi. Bagi Skinner mereka yang berhaluan ke Tiongkok
walaupun sudah lahir di Indonesia adalah totok sedangkan yang
berhaluan ke Indonesia, peranakan. Menurutnya, di pulau Jawa,
3
4
Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford Univer
sity Press, Kuala Lumpur, 1983, pp 9-10
Mary Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, PhD Thesis, Cornell University, 1965, p 4
13
Siauw Giok Tjhan
jumlah peranakan jauh lebih besar dari jumlah totok dan keadaan
ini terbalik di luar pulau Jawa. Menurut perkiraan Skinner,
berdasarkan census tahun 1930, dari 1,25 juta orang Tionghoa,
750.000 berasal dari golongan yang dikategorikannya sebagai
peranakan. 420.000 dari peranakan ini, tingal di Pulau Jawa dan
Madura5. Tentunya jumlah ini jauh lebih besar sekarang, tetapi
belum ada indikasi baru yang bisa digunakan.
Siauw Giok Tjhan sendiri, berdasarkan pengamatannya dan
pengalamannya selama menjadi anggota DPR dan ketua Baperki,
berkeyakinan bahwa jumlah orang Tionghoa peranakan, yang
berasal dari perkawinan campuran antara mereka yang totok dan
mereka yang dinamakan “asli”, jauh lebih besar dari apa yang tercatat.
Banyak yang berada dalam kategori “asli”, karena penampilan
fisiknya, bahasa yang dipergunakan dan kebudayaan yang
dianutnya, sebenarnya adalah keturunan Tionghoa. Berdasarkan
pengertian inilah Siauw selalu menolak logika orang dalam
menekankan ke “aslian” seseorang, apalagi mengaitkan ke “aslian”
seseorang dengan kesetiaannya terhadap Indonesia. Menurutnya,
tidak ada seorang-pun yang bisa menyatakan bahwa dirinya adalah
“asli” Indonesia. Assimilasi yang berlangsung selamat ber-abadabad di Indonesia yang melibatkan orang-orang yang berasal dari
India, Arab, Eropa dan terutama Tiongkok, tidak pernah tercatat
dengan benar di zaman penjajahan Belanda. Bilamana orang hanya
menggunakan penampilan dan nama sebagai satu-satunya ukuran,
ke-“aslian”nya pasti tidak bisa dipastikan.
Banyak orang, menurut Siauw, yang terlihat sebagai Tionghoa,
karena tempat kelahiran dan asal usul keluarganya, bisa
menamakan dirinya “asli”. Sedangkan orang Tionghoa, keturunan
keluarga Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di sebuah lokasi
seperti Tanggerang dan hidup bercocok tanam sebagai petani,
bisa memiliki penampilan yang lebih “asli” dari mereka yang
menamakan dirinya “asli”.
5
G. William Skinner, “The Chinese in Indonesia”, in Ruth McVey (ed.), Indonesia, New Haven, Conn, 1963, pp 105-106
14
Pendahuluan
Argumentasi ini sebenarnya bisa diterapkan di kalangan
pimpinan Indonesia. Soeharto, yang menganggap dirinya “asli”,
jelas terlihat seperti seorang keturunan Tionghoa. Sedangkan Bob
Hasan, mantan menteri perindustrian di kabinet terakhir Soeharto,
yang dianggap “keturunan” Tionghoa, memiliki penampilan sebagai
orang “asli” atau “pribumi”.
Menurut Siauw, komunitas orang yang tidak terdaftar sebagai
peranakan Tionghoa ini jumlahnya jauh lebih besar dari mereka
yang terdaftar sebagai Tionghoa. Jadi, banyak yang merasa dirinya
“asli”, menurut Siauw, sebenarnya adalah peranakan Tionghoa. Ini
tidak mungkin secara ilmiah dibantah, tidak ada catatan sipil dari
abad ke 16 hingga awal abad ke 20.
Siauw Giok Tjhan sebenarnya merupakan produk perkawinan
campuran, antara totok dan peranakan. Ayahnya, lahir di Surabaya
pada tahun 1880, adalah seorang peranakan dari asal Hokkian. Dia
tidak bisa berbahasa Hokkian atau Mandarin. Sedangkan ibunya
berasal dari keluarga totok yang berbahasa Hakka. Ia juga fasih
berbicara dalam bahasa Mandarin. Walaupun demikian, seperti
diungkapkan nanti, ibunya ini hidup sebagai seorang peranakan
bahkan dalam banyak hal, lebih beralkulturisasi ke Indonesia dari
ayahnya, karena menjalankan banyak adat istiadat yang dijalankan
oleh wanita-wanita “asli”.
Posisi Golongan Tionghoa di dalam Zaman Penjajahan Belanda
dan Munculnya Tiga Aliran Politik dalam Masyarakat Tionghoa
Penjajah Belanda sangat membutuhkan kehadiran pedagang
Tionghoa di Hindia Belanda. Ketika mereka tiba di kepulauan
Nusantara pada abad ke 16, mereka mendapati sudah terbentuknya
jaringan dagang Tionghoa yang efektif di pulau Jawa. Jaringan inilah
yang memungkinkan para pedagang Tionghoa memperdagangkan
barang- barang yang diimport dari Tiongkok dan tempattempat lainnya. Kehadiran VOC di Nusantara memang dengan
15
Siauw Giok Tjhan
cepat menggantikan posisi pedagang Tionghoa dalam kancah
perdagangan internasional, tetapi mereka melihat adanya faedah
yang besar bilamana jaringan dagang Tionghoa di kepulauan
Nusantara itu dipertahankan.
Oleh karena itu, JP Coen, Gubernur Jendral yang pertama
dari VOC mengeluarkan undang- undang yang menyebabkan
berkembangnya jaringan dagang Tionghoa yang didominasi
oleh pedagang-pedagang peranakan di dalam bidang distribusi
barang, retail dan industri ringan, terutama di sekitar Batavia pada
abad ke 176. Untuk memperkuat jaringan ini, yang sebenarnya
menguntungkan posisi penjajah, VOC mengeluarkan beberapa
peratutan yang meringankan pedagang-pedagang Tionghoa dalam
mendapatkan hutang tak berbunga dan tarif-tarif import7
Situasi seperti inilah yang menyebabkan munculnya sebuah
kelompok pedagang kaya peranakan Tionghoa di pulau Jawa.
Sebagian dari mereka diberi pangkat Militer oleh penjajah Belanda,
Letnan, Kapten dan Mayor. Mereka menjadi perantara antara
pemerintah penjajahan Belanda dengan masyarakat Tionghoa.
Mereka harus menterjemahkan dan menginterpretasikan
berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh VOC untuk kemudian
disampaikan pada masyarakat Tionghoa. Kadang-kadang, nasehat
dan pandangan mereka bisa juga mempengaruhi jalan pikiran dan
keputusan-keputusan yang diambil oleh VOC.
Walaupun mereka tidak memperoleh penghasilan resmi,
tetapi posisi mereka sangat menguntungkan usaha dagangnya,
karena mereka mendapatkan berbagai macam izin dagang, bisa
bermonopoli dalam berbagai bidang perdagangan, mendapatkan
potongan-potongan pajak dan anak anaknya diizinkan belajar di
sekolah-sekolah yang didirikan khusus untuk orang Belanda. Oleh
karenanya, bisa dimengerti bahwa pada umumnya mereka sangat
6
7
WL Castor, The Economic Position of the Chinese in the Neth
erlands Indies, The University of Chicago Press, 1936, pp 7-9
Ibid. Pp 18-20
16
Pendahuluan
setia pada sistem penjajahan dan seperti kelompok pedagang
dan administrasi “asli” yang dinamakan Regents dan Priyai,
mereka jarang memperjuangkan perbaikan nasib golongan yang
diwakilinya. Kelompok pedagang yang berpangkat Letnan, Kapten
dan Mayor ini merupakan sumber kekuatan kelompok Tionghoa
yang mendukung penjajahan Belanda sampai pada waktu sistem
“officer” ini dihapuskan pada tahun 30-an.
Walaupun ada pedagang Tionghoa yang masuk ke dalam
sistem “officer” ini, sebagian besar penduduk Tionghoa di Hindia
Belanda adalah buruh, pedagang kecil dan tukang-tukang. Mereka
sebenarnya hidup harmonis dengan penduduk setempat dan ini
memungkinkan adanya proses akulturisasi dan assimilasi, terutama
di Pulau Jawa8.
Pada tahun 1830, setelah Culture System dijalankan, keberadaan
pedagang-pedagang peranakan di dalam bidang opium, gula,
perjudian, peminjaman uang dan transportasi mulai mengancam
posisi ekonomi pedagang Belanda, terutama di pesisiran utara dan
timur Pulau Jawa. Untuk mempertahankan dominasi ekonomi
mereka di kawasan Nusantara, pemerintah penjajahan Belanda
mengeluarkan berbagai macam peraturan dan kebijakan yang
ditujukan untuk membatasi ruang gerak para pedagang Tionghoa,
bahkan menekan semua penduduk Tionghoa di Hindia Belanda.
Pada tahun 1863 dikeluarkan peraturan yang dinamakan Pass
dan Zoning Systems yang memaksa semua penduduk Tionghoa
untuk menetap di daerah-daerah pemukiman yang didirikan
khusus untuk orang Tionghoa (yang kemudian lebih dikenal sebagai
Pecinan). Penduduk Tionghoa diharuskan memperoleh Surat Jalan
bilamana bepergian dari Pecinan-nya. Juga dikeluarkan peraturan
yang melarang orang Tionghoa mengenakan pakaian-pakaian barat
dan memaksa pria Tionghoa untuk memelihara kuncir rambut.
Ethical Policy yang dikeluarkan pada tahun 1901 juga
mengandung unsur-unsur anti Tionghoa di dalamnya. Kebijakan
8
Ibid. Pp 18-20
17
Siauw Giok Tjhan
yang dikeluarkan untuk meringankan beban terhadap penduduk
“asli” memerlukan biaya. Biaya ini ditampung oleh pajak-pajak
terhadap pedagang Tionghoa yang sengaja ditinggikan jumlahnya.
Peraturan-peraturan dan tekanan-tekanan terhadap golongan
Tionghoa ini akhirnya mengundang perlawanan dari pihaknya.
Perlawanan ini bisa timbul karena berkembangnya Nasionalisme
Tionghoa di Hindia Belanda sebagai reaksi terhadap revolusi
Tiongkok yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan berdirinya sebuah
organisasi sosial Tionghoa pada tahun 1900, yang dinamakan
Tiong Hoa Hwee Kwan - THHK (Perkumpulan Tionghoa). Sejak
berdirinya THHK, istilah “Tionghoa” untuk bangsa Tionghoa
dan “Tiongkok” untuk negara Tiongkok dipergunakan di Hindia
Belanda, mengganti istilah “Cina” yang mengandung penghinaan,
terutama di Pulau Jawa.
THHK didirikan untuk membangkitkan rasa ke-Tionghoaan
melalui norma-norma agama Kong Hu Cu. Para pemimpinnya, yang
sebagian besar adalah para peranakan yang berpendidikan juga
membuka sekolah-sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa
Kuo Yu (Mandarin) dan mendasarkan program pendidikannya atas
bahan- bahan yang diambil dari pendidikan modern Jepang. Dalam
waktu beberapa tahun saja, THHK berhasil membuka cabang di kotakota besar di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Karena bahasa
pengantar yang digunakan adalah Mandarin, sekolah-sekolah
THHK telah membuka kemungkinan bagi para penduduk Tionghoa
dari berbagai macam aliran (Hokkian, Hakka dan Teo Chiu) untuk
bisa saling berkomunikasi. Juga karena kualitas pendidikannya
dianggap baik, banyak peranakan mengirim anak-anaknya untuk
belajar di sekolah-sekolah THHK. Melalui sekolah-sekolah inilah,
Nasionalisme Tionghoa disebarkan di Hindia Belanda9.
Nasionalisme Tionghoa juga terwujud melalui terbentuknya
Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) pada tahun 1906
dan Soe Poe Sia (Klub Pembaca Tionghoa) pada tahun 1909. Soe
9
Lea Williams, Overseas Chinese Nationalism, The Free Press, 1961, pp 83-93
18
Pendahuluan
Poe Sia sangat aktif dalam menerbitkan dan menyebarkan bahanbahan bacaan tentang Nasionalisme Tionghoa. Walaupun kedua
organisasi ini didominasi oleh totok, banyak pula peranakan yang
aktif di dalamnya.
Perkembangan di atas menyebabkan munculnya beberapa
penerbitan surat kabar baru dalam bahasa Tionghoa-Melayu
yang ditujukan untuk penduduk Tionghoa pada tahun-tahun
1909 dan 1910, termasuk Hoak Tok Po di Batavia, Djawa Kong
Po di Semarang, Han Boen Sin Po di Deli-Sumatra dan Sin Po di
Batavia10. Dari kesemuanya ini, Sin Po muncul sebagai sumber
berita yang sangat berpengaruh. Bahkan, kelompok yang dikenal
sebagai kelompok yang ber-orientasi ke Tiongkok disebut sebagai
kelompok Sin Po. Tujuan kelompok ini adalah membangkitkan
Nasionalisme Tionghoa di dalam kalangan komunitas Tionghoa,
terutama peranakannya, mengembangkan penggunaan Mandarin
sebagai bahasa sehari-hari, membangkitkan persatuan antara
kelompok peranakan dan totok, mengaktifkan kelompok Tionghoa
dalam berbagai kegiatan politik dan pengumpulan dana untuk
berbagai kegiatan politik di Tiongkok.
Berkurangnya pengaruh para pedagang besar yang diberi predikat
Letnan, Kapten dan mayor pada awal abad ke 20 memungkinkan
kelompok Sin Po memainkan peranan besar dalam mempengaruhi
jalan pikiran komunitas Tionghoa peranakan, terutama di pulau
Jawa. Kelompok ini berhasil meyakinkan sebagian besar penduduk
Tionghoa untuk memilih kewarganegaraan Tiongkok dan
menolak untuk menjadi Kaula Belanda. Pada tahun 1917, mereka
mengadakan sebuah konperensi besar di Semarang yang dihadiri
oleh 700 orang. Dalam konperensi ini mereka berhasil meyakinkan
para pendatangnya untuk menolak ikut sertanya golongan Tionghoa
dalam perwakilan Volksraad (Parlemen penjajahan Belanda). Bagi
Kelompok Sin Po, menerima perwakilan Tionghoa di Volksraad
menandakan bahwa penduduk Tionghoa menerima menjadi Kaula
10
Leo Suryadinata, Peranakan Chinese Politics in Java, Singa
pore University Press, Singapore, 1981, pp 12-20
19
Siauw Giok Tjhan
Belanda.
Bertambah
besarnya
pengaruh
kelompok
Sin
Po
mengkhawatirkan penjajah Belanda, apalagi setelah terlihat
dukungan golongan Tionghoa terhadap penjajahan Belanda kian
mengurang dan semakin meningkatnya kritik-kritik golongan
Tionghoa terhadapnya. Karena ini, pemerintah Belanda mulai
mengeluarkan berbagai kebijakan yang bisa diandalkan oleh untuk
menarik hati golongan Tionghoa.
Pada tahun 1908, sekolah-sekolah khusus untuk golongan
Tionghoa dibuka, dinamakan HCS (Sekolah untuk Anak Tionghoa).
Standard pendidikan HCS hampir sama dengan standard pendidikan
sekolah-sekolah yang dijalankan khusus untuk orang Belanda. Pada
tahun 1909, larangan untuk murid Tionghoa memasuki sekolahsekolah berbahasa Melayu dicabut. Pada tahun 1910, untuk
mempermudah proses pengakuan kewarga negaraan Belanda,
setiap orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda dianggap Kaula
Belanda. Pada tahun 1918, golongan Tionghoa berhak mendapat
perwakilan di Volksraad. 5 dari 61 keanggotaan di Volksraad harus
diisi oleh wakil-wakil Tionghoa. Pada tahun 1919, larangan untuk
orang Tionghoa bepergian dengan bebas dicabut.
Pada waktu Siauw Giok Tjhan lahir pada tahun 1914, Nasionalisme
Tionghoa memainkan peranan yang dominan di dalam masyarakat
Tionghoa di Pulau Jawa. Akan tetapi setelah keadaan membuktikan
bahwa pemerintah Tiongkok gagal menjadikan negaranya sebuah
kekuatan yang bisa diandalkan oleh orang Tionghoa dalam
memperbaiki nasibnya di Hindia Belanda, berdirinya Chung Hua
Hui (Persatuan Tionghoa) pada tahun 1927 disambut dengan baik
oleh komunitas Tionghoa yang berpendidikan Belanda. Chung Hua
Hui dipimpin oleh tokoh-tokoh peranakan yang berpendidikan
Belanda dan pada tahun 30-an mulai berhasil mendorong banyak
peranakan untuk meninggalkan kelompok Sin Po dan mendukung
pemerintah Belanda. Chung Hua Hui berfungsi sebagai partai
politik dan tokoh-tokohnya menjadi wakil-wakil Tionghoa di
Volksraad. Kehadiran Chung Hua Hui merupakan tumbuhnya aliran
20
Pendahuluan
politik baru di dalam tubuh komunitas Tionghoa peranakan, aliran
yang berkiblat ke Belanda. Pada awal tahun 30-an, kelompok baru
ini mulai memainkan peranan yang lebih besar bila dibandingkan
dengan kelompok Sin Po yang berkiblat ke Tiongkok.
Ketika Siauw berumur 18 tahun pada tahun 1932, aliran ketiga
muncul. Aliran ini dipimpin oleh Liem Koen Hian yang dalam tahun
yang sama mendirikan sebuah Partai Politik yang dinamakan Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) yang menganjurkan para pendukungnya
untuk bekerja sama dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia
untuk mendirikan negara Indonesia yang merdeka. Partai ini
juga mendorong orang Tionghoa, terutama peranakannya, untuk
menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. PTI jelas berkiblat ke
Indonesia. Aliran yang ketiga ini walaupun memainkan peranan
yang cukup penting di pulau Jawa, terutama dalam menjalin
hubungan perjuangan yang baik antara sekelompok pemuda
Tionghoa dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang
dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo, Sutomo dan Soekarno, tetap
merupakan kekuatan yang terkecil dalam gerakan Tionghoa yang
berpolitik sampai kemerdekaan dicapai pada tahun 1945. Gerakan
ini juga menghasilkan beberapa tokoh peranakan Tionghoa yang
aktif dalam membentuk Republik Indonesia dan perjuangan
mengkonsolidasi kemerdekaannya. Diantaranya, Liem Koen Hian,
Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan.
Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan
Tujuan utama perjuangan Siauw Giok Tjhan yang berlangsung
lebih dari 40 tahun ini adalah terbentuknya Nasion Indonesia yang
ber Bhinneka Tunggal Ika dalam dunia sosialistis yang berhukum
dan terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur. Di dalam
masyarakat idaman Siauw ini, setiap warga negara Indonesia hidup
di dalam negaranya secara harmonis dan tidak merasakan adanya
diskriminasi rasial.
21
Siauw Giok Tjhan
Perjalanan politik Siauw yang panjang ini bisa dibagi dalam
4 bagian utama. Bagian pertama adalah fase di mana Siauw
memperoleh pendidikan politiknya (1932-1946). Dalam fase
ini, Siauw memperoleh pendidikan politiknya dari guru-guru
peranakannya, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat dan Tan Ling
Djie dan guru-guru “asli”nya, Sutomo, Tjipto Mangunkusumo dan
Soekarno.
Di dalam fase kedua (1946-1954), Siauw menggunakan
pengetahuan dan pengalaman politiknya sebagai seorang anggota
parlemen dan pemimpin (editor-in-chief) berbagai surat kabar di
pulau Jawa. Dalam fase ini, Siauw muncul sebagai seorang pejuang
ternama yang gigih melawan arus anti Tionghoa yang berkembang
dengan dalih Ekonomi Nasional.
Di dalam fase ke tiga (1954 - 1965), Siauw berhasil mendirikan
dan memimpin sebuah organisasi massa yang sebagian besar
anggotanya adalah peranakan Tionghoa, bernama Baperki
(Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Dalam
fase ini, terutama setelah tahun 1963, banyak formulasi politik
yang dituangkan dalam kedua fase sebelumnya disalurkan dalam
berbagai undang-undang maupun formulasi politik Presiden
Soekarno. Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi
massa peranakan Tionghoa yang terbesar dalam sejarah Indonesia
dan merupakan satu-satunya organisasi yang berhasil dalam
mengaktifkan massa Tionghoa untuk berpolitik demi perbaikanperbaikan di dalam zaman Demokrasi Terpimpin yang berakhir
pada bulan Oktober 1965.
Sebagian besar dari Fase ke empat (1965-1981) dilalui oleh
Siauw (1965-1981) sebagai seorang Tahanan Politik di Indonesia.
Di dalam fase ini, ia tetap mempertahankan sikap dan pandangan
politiknya. Ia hanya mengecapi dunia bebas ketika tiba di Belanda
pada tahun 1978. Tiga tahun sebelum ia meninggal pada bulan
November 1981 dilaluinya dengan berbagai kegiatan di negeri
Belanda sebagai seorang pelarian politik (political Refugee) di mana
ia banyak memberikan ceramah-ceramah kepada para mahasiswa
22
Pendahuluan
Indonesia dan penduduk Indonesia yang menetap di Eropa.
Bab ke 2 menggambarkan bagaimana Siauw yang lahir dalam
keluarga peranakan yang kaya raya memperoleh pendidikan
Belanda-nya dan bagaimana ia tumbuh dalam keluarga yang
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan barat, peranakan dan
totok. Bab ini juga menggambarkan bagaimana Siauw memperoleh
pendidikan politiknya dari para gurunya, dimulai dengan Liem
Koen Hian dan Soetomo, kemudian Kwee Hing Tjiat, Tjipto
Mangunkusumo dan Soekarno, lalu dari Tan Ling Djie dan Amir
Sjarifuddin. Karier politiknya dimulai dengan pekerjaannya sebagai
seorang wartawan.
Bab ke 3 menggambarkan pengalaman yang diperoleh oleh
Siauw dalam zaman penjajahan Jepang dan bagaimana ia tumbuh
sebagai seorang pemimpin masyarakat di kota Malang. Kegiatan
politik di Malang inilah yang menyebabkannya dikenal oleh para
pemimpin Nasionalis dan yang memungkinkannya terpilih sebagai
wakil golongan Tionghoa di KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) dan Badan Pekerjanya.
Bab ke 4 menggambarkan peranan yang dimainkan Siauw di
dalam Partai Sosialis, KNIP serta Badan Pekerjanya dan kabinet
Amir Sjarifuddin. Di dalam bab ini dijelaskan bagaimana Siauw
tumbuh sebagai seorang tokoh politik yang mampu bekerja sama
dengan berbagai tokoh yang memiliki pandangan-pandangan
politik yang sangat berbeda. Periode yang dicakup dalam bab ini,
1946-1949 menyangkut kegiatan Siauw sebagai seorang politikus
di Malang dan Jogjakarta.
Bab ke 5 menggambarkan pengalaman Siauw sebagai seorang
parlementer ulung dalam periode 1950-1954. Tekanan penuturan
berkisar pada kemampuannya dalam membina kekuatan yang
efektif di parlemen dalam melawan usaha pihak pemerintah
dan partai- partai politik mengeluarkan undang-undang serta
peraturan-peraturan anti Tionghoa. Juga ditekankan dalam bab ini
bagaimana Siauw berhasil membentuk dan menjadi ketua Fraksi
Nasional Progresif yang beranggotakan tokoh-tokoh politik yang
23
Siauw Giok Tjhan
sangat berpengaruh seperti Mohamad Yamin, Ferdinand Lumban
Tobing dan Iwa Kusumasumantri.
Bab ke 6 menuturkan peranan yang dimainkan Siauw dalam
menentang dikeluarkannya Undang-Undang yang ditujukan untuk
memperkecil jumlah orang Tionghoa yang bisa menjadi warga
negara Indonesia. Juga dituturkan bagaimana usaha ini lalu
melahirkan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia) pada bulan Maret 1954, yang diketuainya sampai akhir
1965.
Bab ke 7 menggambarkan bagaimana Baperki berkembang
dengan pesat dan peranananya dalam Pemilu pertama pada tahun
1955 dan Pemilu daerah pada tahun 1957. Juga digambarkan
dalam bab ini bagaimana Siauw menghadapi perpecahan yang
timbul dalam tubuh Baperki, beberapa bulan sebelum Pemilu tahu
1955 diselenggarakan.
Bab ke 8 menggambarkan masalah kewarganegaraan Indonesia
yang dijadikan senjata politik berbagai kekuatan politik di
Indonesia. Peranan Siauw dalam perdebatan sengit di parlemen
dan pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun
1958 juga digambarkan secara terperinci.
Bab ke 9 menggambarkan bagaimana Siauw memformulasi
program ekonominya dan bagaimana program ini lalu dijadikan
landasan perjuangan Baperki. Dijelaskan juga bagaimana Siauw
berhadapan dengan arus kuat yang menggunakan pembangunan
ekonomi Nasional sebagai dasar program-program ekonomi
yang memojokkan golongan Tionghoa dan membahayakan usaha
mengkonsolidasi kemerdekaan RI.
Bab ke 10 menggambarkan reaksi Siauw terhadap kekacauan
politik yang disebabkan oleh mundurnya sistem demokrasi
parlementer dan munculnya sistem demokrasi terpimpin yang
menggantikannya.
Peranan Siauw dalam Konstituante dan
perdebatan Undang-Undang Dasar juga dituturkan dalam bab ini.
Bab ke 11 menggambarkan bagaimana Siauw berhasil
menggunakan kedekatannya dengan Soekarno dan para tokoh
24
Pendahuluan
politik lainnya dalam meng”goal”kan berbagai program politiknya
di dalam zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Di dalam
periode ini, banyak formulasi politik dan ekonomi Siauw masuk
ke dalam berbagai pidato Soekarno dan berbagai undang-undang
pemerintah, termasuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) MPRS.
Keputusannya untuk berdiri dalam barisan Soekarno menyebabkan
Siauw dan Baperki berhadapan langsung dengan kekuatan kanan
yang dipimpin oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai
politik anti komunis lainnya.
Bab ke 12 menggambarkan kegiatan Baperki dalam bidang
pendidikan dan bagaimana Baperki berhasil mengumpulkan dana
besar untuk mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikan
yang mencakup pendidikan tingkat universitas. Baperki juga
berhasil menjadikan sekolah-sekolahnya sebagai sumber
pendidikan politik yang meng-Indonesia-kan beratus ribu siswa
Tionghoa.
Bab ke 13 menuturkan timbulnya perdebatan sengit antara
Baperki dan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Baperki
menganjurkan dikembangkannya paham integrasi yang mendorong
orang Tionghoa menganggap dirinya sebagai salah satu suku yang
perlu mengintegrasikan dirinya dalam tubuh bangsa Indonesia
tanpa menghilangkan ciri-ciri keTionghoaannya. LPKB yang
didukung oleh Angkatan Darat menganjurkan paham assimilasi,
yang menghendaki golongan Tionghoa menanggalkan segala
bentuk keTionghoaannya sehingga golongan yang berciri Tionghoa
lenyap dari permukaan Indonesia.
Bab ke 14 menggambarkan bagaimana Baperki berkembang
dalam bulan-bulan terakhir zaman Demokrasi Terpimpin dan
bagaimana Siauw mempertahankannya sebagai organisasi yang
tetap terpisah dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Bab ini juga
menuturkan bagaimana Baperki diserang oleh kekuatan anti
Komunis dan dihancurkan pada akhir tahun 1965.
Bab ke 15 menggambarkan pengalaman Siauw sebagai seorang
Tahanan Politik dan bagaimana ia setelah bebas pada tahun 1978
25
Siauw Giok Tjhan
melangsungkan kegiatan politiknya di Eropa sebagai
Pelarian Politik.
26
seorang
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
BAB 2
MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN
POLITIK
Siauw Giok Tjhan lahir di Surabaya pada tanggal 23 Maret
1914. Ia adalah anak pertama Siauw Gwan Swie yang juga lahir
di Surabaya pada tahun 1880. Baik Giok Tjhan maupun ayahnya,
Gwan Swie, besar di daerah Kapasan di Surabaya, sebuah daerah
yang dulunya pernah menjadi daerah Pecinan, yang dibentuk oleh
pemerintah penjajahan Belanda untuk menampung orang-orang
Tionghoa di Surabaya. Sebagian besar penduduk di Pecinan sudah
tinggal di Surabaya bergenerasi, jadi peranakan yang berasal dari
golongan Hokkian1.
Siauw Gwan Swie berasal dari keluarga yang miskin dan tinggal
di daerah miskin Kapasan -- dalam salah satu gang kecil di daerah
itu. Kedua orang tuanya meninggal dunia pada waktu ia berumur
12 tahun dan sebagai anak yang tertua di keluarganya, ia harus
berhenti belajar dan segera dibebani kewajiban untuk bekerja
menghidupi dirinya sendiri dan ke empat adik-adiknya. Ia bekerja
sebagai penjaja kueh di pasar Kapasan dari jam 4 sampai jam 8
pagi dan siangnya bekerja sebagai pembantu di sebuah toko yang
terletak tidak jauh dari Kapasan.
Tidak jelas pendidikan apa yang ia peroleh sejak ia berumur
12 tahun, tetapi ketika ia berumur 20-an, Gwan Sie berhasil
memperoleh ijazah guru bahasa Inggris yang memungkinkannya
untuk bekerja sebagai seorang guru di Yale Institute dan memberi
pelajaran bahasa Inggris privat ke anak-anak peranakan kaya di
daerah Kapasan.
Kemampuannya
berbicara
dalam
bahasa
Inggris
memungkinkannya untuk berhubungan dengan beberapa pedagang
1
Informasi tentang masa kanak-kanak Siauw Giok Tjhan diperoleh darinya sendiri dan bukunya Lima Jaman, pp 11-33 dan Renungan, pp 6-21
27
Siauw Giok Tjhan
Belanda dan kemudian pada sekitar tahun 1910, memungkinkannya
untuk menjadi seorang partner dalam sebuah perusahaan yang
dipimpin oleh seorang Belanda, Schmidt & Co. Perusahaan ini
berkecimpung dalam perdagangan hasil bumi, terutama gula.
Posisinya ini menyebabkan Gwan Sie menjadi salah seorang
terkaya di Kapasan. Ia pindah dari daerah miskin di Kapasan ke
daerah elite-nya, di rumah besar yang terletak di jalan raya Kapasan.
Gwan Swie cukup bangga dengan keberhasilannya ini dan sering
mengingatkan kedua anaknya untuk mengikuti jejaknya, bekerja
keras sehingga bisa mencapai tingkat yang setaraf dengan orangorang Belanda. Baginya mencapai tingkat ini merupakan jaminan
untuk tidak diinjak-injak dan dihina oleh kaum penjajah.
Akan tetapi, walaupun Gwan Swie sering bergaul dengan para
pedagang Belanda dan mengagumi adat istiadat Barat, ia tetap
merasa dirinya sebagai seorang Tionghoa dan sangat dipengaruhi
oleh nasionalisme Tionghoa yang sedang berkembang pada waktu
itu. Ia ternyata menjadi pengagum Sun Yat Sen, Kang Yu Wei dan Liang
Chi Chao, para pemimpin revolusi Tiongkok yang banyak berjasa
dalam mengembangkan nasionalisme Tionghoa di kawasan Asia.
Ia juga banyak berhubungan dengan beberapa tokoh peranakan
yang berkiblat ke nasionalisme Tionghoa, diantaranya dengan The
Ping Oen, direktur dari surat kabar harian yang cukup ternama
di Surabaya, Pewarta Soerabia, yang dimulai pada tahun 1902.
Pewarta Soerabia termasuk surat kabar yang getol menyebarkan
berita tentang revolusi Tiongkok dan mendorong pembacanya
untuk menjunjung tinggi norma-norma keTionghoaan.
Gwan Swie sering sekali berkunjung ke kantor The Ping Oen
ini untuk berbincang-bincang mengenai masalah politik. Kantor
Pewarta Soerabia bersebelahan dengan sebuah toko serba-ada
yang dimiliki oleh seorang pedagang totok Hakka yang bernama
Kwan Sie Liep. The dan Kwan sama-sama menjunjung tinggi
nasionalisme Tionghoa dan oleh karena itu mereka menjadi kawan
baik.
Seringnya Gwan Swie berkunjung ke kantor The menyebabkannya
28
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
berkenalan juga dengan Kwan dan puteri pertamanya yang cantik,
Kwan Tjian Nio, yang pada tahun 1910 baru berumur 19 tahun.
Gwan Swie jatuh cinta dan mulai membujuk Kwan Sie Liep untuk
mengizinkannya untuk mengawini Tjian Nio.
Kwan ternyata adalah seorang totok yang kolot. Ia datang
ke Indonesia pada akhir abad ke 19 sebagai seorang pedagang.
Ia datang bersama dengan isterinya dari Tiongkok. Tjian Nio,
walaupun lahir di Indonesia, besar dalam suasana totok. Ia dididik
untuk berbahasa Hakka dan disekolahkan di THHK sehingga ia juga
fasih berbicara dalam bahasa Mandarin. Kwan ternyata aktif dalam
Tionghoa Siang Hwee di Surabaya dan menjadi salah seorang
pemimpinnya. Ia juga aktif dalam memimpin sekolah THHK di
dekat Kapasan.
Dengan sendirinya Kwan menginginkan puterinya untuk
menikah dengan orang totok dari golongan Hakka. Gwan Swie yang
diketahuinya sebagai seorang peranakan yang tidak bisa berbahasa
baik Hakka maupun Mandarin, sudah tentu tidak memenuhi syarat
ini. Lamaran Gwan Swie segera ditolaknya.
Tetapi Gwan Swie menolak untuk menyerah. Ia membujuk The
Ping Oen untuk terus menerus meyakinkan Kwan untuk menerima
lamarannya. The akhirnya berhasil meyakinkan Kwan bahwa
Gwan Swie, walaupun seorang peranakan, tetapi menjunjung tinggi
nasionalisme Tionghoa dan Gwan Swie-pun berjanji pada Kwan
bahwa putra-putrinya akan disekolahkan di THHK sehingga akan
tumbuh menjadi orang-orang Tionghoa yang baik. Akhirnya Kwan
menerima juga dan mengizinkan perkawinan ini dengan syarat,
anak pertama mereka harus disekolahkan di THHK.
Perkawinan Gwan Swie dan Tjian Nio pada tahun 1913 ini
menghasilkan putra pertama mereka pada tanggal 23 Maret 1914,
Siauw Giok Tjhan yang kemudian besar dalam keluarga yang
menggabungkan norma-norma Barat, peranakan dan totok.
29
Siauw Giok Tjhan
Pendidikan Sekolah Dasar dan Pendidikan Keluarga
Ketika Siauw berumur 4 tahun pada tahun 1918 dan siap untuk
masuk sekolah, sesuai dengan syarat perkawinan kedua orang
tuanya, Kwan mengajaknya sendiri untuk ke sekolah THHK yang
turut dipimpinnya. Gwan Swie sebenarnya berkeberatan anaknya
disekolahkan di THHK, karena ia tetap percaya bahwa masa depan
anaknya akan lebih baik kalau ia masuk sekolah Belanda, dan karena
ia menjadi pengusaha yang berhubungan baik dengan banyak
pedagang Belanda, Siauw Giok Tjhan bisa masuk ke ELS (Sekolah
dasar Belanda) yang terkenal di Surabaya. Tetapi Gwan Swie
memutuskan untuk menghormati mertuanya dan membiarkan
anaknya ini masuk ke THHK.
Pada waktu itu, anak-anak Tionghoa belajar di sekolahsekolah THHK kalau orang tuanya menginginkan anak-anaknya
berpendidikan Tionghoa.
Bagi yang ingin anak-anaknya
berpendidikan Barat, mereka mengirimnya ke HCS (Sekolah dasar
Belanda khusus untuk orang Tionghoa). Bagi orang Tionghoa dan
“asli” yang kaya raya – mereka yang berposisi Mayor, Kapten, Letnan
atau Regent dan Priyai, anak-anaknya bisa masuk ke ELS (Sekolah
dasar Belanda khusus untuk orang Eropa).
Sebenarnya dibukanya HCS untuk anak-anak Tionghoa
memperuncing perbedaan antara kelompok yang berkiblat ke
Belanda dan yang berkiblat ke Tiongkok. Banyak peranakan yang
khawatir dengan pendidikan yang dijalankan oleh THHK yang
dianggapnya terlalu memusatkan perhatian pada perkembangan di
luar Hindia Belanda sehingga lulusan dari sekolahnya diperkirakan
tidak akan bisa bekerja di Hindia Belanda dengan baik. Pendidikan
yang diselenggarakan oleh HCS dianggap lebih baik dalam
mempersiapkan siswanya untuk bisa bekerja di Hindia Belanda.
Inilah yang menyebabkan rasio antara jumlah siswa Tionghoa
yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa dan jumlah siswa yang
belajar di sekolah-sekolah HCS meningkat dari 50% pada tahun
1915 (8.060 di sekolah Belanda dan 16.499 di sekolah Tionghoa)
menjadi 80% (27.802 di sekolah Belanda dan 32.688 di sekolah
30
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Tionghoa) pada tahun 19262.
Gwan Swie tetap sabar dan menunggu kesempatan untuk
mengubah posisi pendidikan anaknya. Kesempatan yang dinantinantikan ini akhirnya tiba pada tahun 1920. Pada tahun itu,
Kwan memutuskan untuk pulang ke Tiongkok untuk mengecapi
keberhasilannya di Hindia Belanda. Ia membeli rumah dan tanah
yang besar di tempat kelahirannya. Ia menyerahkan tokonya ke
mantu totoknya. Walaupun Gwan Swie jelas lebih berpengalaman
dalam berdagang dan sudah berhasil, tetapi Kwan tetap lebih
mempercayai mantu totoknya untuk mengambil alih usaha
dagangnya. Pada tahun yang sama, berangkatlah Kwan dan isterinya
ke Tiongkok untuk pensiun di sana,
Gwan Swie menganggap kepergian mertuanya ini sebagai tanda
bahwa janjinya untuk menyekolahkan anaknya di THHK tidak
lagi perlu dipegang. Begitu Kwan berangkat, Gwan Swie segera
memindahkan Siauw Giok Tjhan ke Buys Institut untuk belajar
bahasa Belanda beberapa bulan, untuk kemudian dipindahkan
lagi ke ELS di Surabaya. Pada waktu Siauw memasuki ELS pada
tahun 1920, jumlah anak non Belanda di sekolah itu sedikit sekali.
Dengan tidak adanya Kwan di Surabaya, anak kedua Gwan Swie,
Giok Bie bisa segera masuk ke ELS pada tahun 1924.
Walaupun kedua anak Siauw ini dididik di sekolah Belanda,
di rumah mereka tetap dididik dengan cara-cara mendidik yang
dilakukan di keluarga-keluarga peranakan di Surabaya. Ibu mereka
fasih berbicara dalam bahasa Hakka dan Mandarin, tetapi tidak
pernah menggunakannya dalam berbicara dengan kedua anaknya.
Di rumah, bahasa yang digunakan adalah bahasa TionghoaMelayu. Di luar rumah, di antara teman-teman sebayanya, mereka
menggunakan bahasa Jawa. Gwan Swie ternyata lebih menyenangi
masakan-masakan Jawa. Oleh karena itu, makanan yang disajikan
sehari-hari oleh Tjian Nio adalah masakan-masakan Jawa.
Walaupun Tjian Nio dibesarkan dalam keluarga totok yang
2
Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, Seven
Papers, Chopmen, 1978, p 10
31
Siauw Giok Tjhan
kolot, jadi mengenal dengan baik tradisi Kong Hu Cu dan Tionghoa,
ia ternyata lebih tertarik dengan tradisi Jawa yang dijalankan oleh
para wanita setempat. Walaupun rumahnya terletak didepan
Boen Bio (Kelenteng Kong Hu Cu) yang terbesar di Surabaya, ia
lebih sering mengunjungi kuburan Cungkup (kuburan Islam) yang
juga terletak di depan rumahnya untuk membakar kemenyan. Ia
juga sering mengajak kedua anaknya untuk mengunjungi tempattempat sembahyang yang dikunjungi oleh penduduk “asli” di
Gunung Kawi dan Gunung Giri, untuk bersembahyang dengan caracara yang digunakan oleh para pengunjung “asli”.
Di rumah, yang sering dijadikan bahan pembicaraan adalah
masalah sembahyang di tempat-tempat suci Islam. Akan tetapi,
walaupun Tjian Nio sangat tertarik pada agama Islam, ia tidak
pernah menjadi Islam. Ia tetap mempertahankan kepercayaannya
pada Kong Hu Cu. Ketika Siauw Giok Tjhan sakit keras pada waktu
ia berumur lima, ia cenderung mendengar pendapat dan anjuran
ayahnya, seorang yang juga terkenal sebagai akhli nujum Tionghoa,
untuk membawa Siauw ke Toapekong dan menyerahkannya
sebagai anak Toapekong, sehingga sejak saat itu, Siauw tidak lagi
memanggil kedua orang tuanya sebagai papa dan mama, melainkan
sebagai empek dan engku (paman dan bibik).
Yang menarik adalah perbedaan antara ibu dan ayah Siauw.
Kalau ibunya yang berasal dari keluarga totok lebih tertarik pada
kebudayaan Jawa dan Islam, ayahnya, Gwan Swie yang peranakan,
ternyata lebih tertarik pada kebudayaan Tionghoa. Ia sering pergi
menonton opera-opera Tionghoa, walaupun ia tidak mengerti
bahasa Tionghoa dan juga sangat berdisplin dalam merayakan tahun
baru Imlek dan Cap Go Meh. Yang menarik juga adalah kenyataan
bahwa pada hari-hari besar Tionghoa ini, ia merayakannya dengan
memanggil tim wayang kulit untuk memainkannya di halaman
rumahnya yang menjadi tempat berkumpulnya para penduduk
“asli” di sekitar Kapasan.
Semua anggota keluarga Gwan Swie tinggal di Kapasan. Tidak
ada diantaranya yang pernah mendapat pendidikan Tionghoa. Para
32
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
wanitanya hidup dengan norma-norma peranakan -- mengenakan
kebaya batik ala peranakan dan banyak yang mengunyah sirih.
Saudara-saudaranya pada umumnya memiliki nama-nama
Indonesia, seperti Datang, Tambah dan Talen.
Pengaruh pendidikan keluarga ini besar sekali dalam
perkembangan jiwa Siauw Giok Tjhan. Sampai ia berumur belasan
tahun, Siauw lebih banyak dididik untuk berpikir sebagai seorang
peranakan. Pengaruh totok yang seyogyanya ia terima melalui
pendidikan THHK cepat sekali luntur dan mulai menghilang darinya.
Tetapi perubahan yang datang pada tahun 1926-an mempengaruhi
proses yang mem”peranakan” Siauw Giok Tjhan ini.
Pendidikan Sekolah Menengah dan Pengalaman Berorganisasi
Pada tahun 1926, ipar Kwan Tjian Nio (ibu Siauw Giok Tjhan)
yang menjalankan toko Kwan Sie Liep mendadak meninggal dunia.
Tidak ada orang yang bisa menggantikannya dan ini mendorong
Kwan Sie Liep untuk membatalkan rencananya untuk berpensiun
di Tiongkok. Pada tahun yang sama, ia harus kembali ke Hindia
Belanda. Pada tahun itu, Siauw Giok Tjhan duduk di kelas terakhir
ELS-nya.
Ketika Kwan bertemu dengan Siauw yang sudah berumur 12
tahun, ia terperanjat mendapati Siauw yang tidak bisa berbahasa
Mandarin. Tentunya menurut perkiraannya, Siauw sudah 8 tahun
belajar di sekolah Tionghoa dan seharusnya sudah fasih dalam
berbahasa Mandarin. Ketika ayah Siauw Giok Tjhan menjelaskan
duduk persoalannya, Kwan menjadi marah dan kecewa.
Tapi Gwan Swie segera mengajukan kompromi yang rupanya
bisa diterima oleh Kwan Sie Liep. Komprominya: Siauw Giok
Tjhan harus pergi membantu Kwan di tokonya setiap hari, dari
pukul 2 sampai pukul 5 siang, sehabis sekolah di HBS (sekolah
menengah Belanda). Gwan Swie menyatakan bahwa kompromi ini
akan memenuhi persyaratan Kwan yang menginginkan cucunya
mempunyai kepribadian Tionghoa dan mengerti cara-cara hidup
33
Siauw Giok Tjhan
totok. Dan inilah yang terjadi.
Pada tahun 1927, Siauw masuk ke HBS di Surabaya, di sekolah
mana Soekarno menyelesaikan studi HBS-nya. Kesempatan untuk
masuk ke HBS untuk orang non-Belanda memang kecil sekali.
Disamping harus memiliki status dan kekayaan, angka ujian ELS
dan HCS-nya harus tinggi. Di antara teman sebaya Siauw yang nonBelanda di sekolah itu adalah Roeslan Abdulgani dan Tjoa Sie Hwie.
Kedua-duanya berkecimpung dalam dunia politik dalam zaman
kemerdekaan.
Hidup Siauw pada waktu ia belajar di HBS boleh dikatakan
lux. Karena ia selalu menjadi juara kelas, ayahnya sangat
memanjakannya. Oleh ayahnya, ia dibelikan sepeda motor. Pada
waktu itu jarang orang memiliki sepeda motor, tetapi Siauw sudah
bisa bepergian ke mana-mana dengan sepeda motornya, ke sekolah,
ke toko kakeknya dan ke rumah teman-temannya. Ia juga diberi
kesempatan oleh ayahnya untuk membeli berbagai macam buku
yang ia senangi, sehingga kamar tidurnya dipenuhi oleh buku-buku
mahal. Disamping ini, hobby fotografi yang mahal, lengkap dengan
peralatan mencetak potret-pun dimilikinya.
Tetapi keluarga Siauw terkenal di Kapasan bukan hanya karena
kekayaannya, melainkan karena kecantikan dan kemurahan
hati ibunya, Tjian Nio. Ia terkenal sebagai seorang yang selalu
siap membantu orang yang berada dalam kesusahan. Ia sering
mengundang teman-teman di Kapasan dan sering membagikan
barang-barang yang bisa digunakan mereka. Pengaruh Tjian Nio
pada kedua anaknya juga besar sekali. Baik Giok Tjhan maupun
Giok Bie ternyata lebih senang bergaul dengan teman-teman sebaya
yang berasal dari keluarga yang kurang mampu di gang-gang
Kapasan daripada teman-teman sebaya kaya yang berpendidikan
Belanda di jalan raya Kapasan.
Tetapi pengaruh yang paling besar datang dari kakeknya,
yang setiap hari Siauw ketemui semasa ia belajar di HBS. Siauw
harus belajar berdagang dari kakeknya. Setiap siang, kakek-nya
menugaskannya menjaga toko dan begitu Siauw datang di tokonya,
34
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
ia tidur siang.
Kwan sering mengadakan pertemuan di tokonya dengan tokohtokoh totok yang berkecimpung di Tiong Hoa Siang Hwee. Pada
tahun 1931, Tiongkok berperang dengan Jepang dan kelompok
Tionghoa di Hindia Belanda dikoordinasi untuk membantu
Tiongkok dalam menghadapi Jepang. Kwan menjadi pelopor yang
menganjurkan para pedagang Tionghoa untuk memboikot barangbarang buatan Jepang. Kwan ternyata berprinsip dan rela rugi
daripada menghianati prinsip anti- Jepangnya. pedagang-pedagang
yang berani menjajakan barang-barang Jepang ke tokonya segera
diusirnya. Sikap berprinsip ini sangat mengesankan Siauw dan
mempengaruhi kepribadiannya.
Kwan juga seorang yang mahir dalam Kung Fu dan meramal.
Banyak pemuda Tionghoa yang datang ke tokonya untuk belajar
Kung Fu darinya. Mereka semuanya belajar di sekolah-sekolah
THHK atau sekolah Tionghoa lainnya. Banyak juga orang Tionghoa
yang datang ke tempatnya untuk mendapat petunjuk darinya
tentang masa depannya. Siauw turut dilatih Kung Fu dan sering
mendemonstrasikan keakhliannya di dalam berbagai pertunjukan
yang diadakan di Surabaya. Pada waktu Siauw berumur 18 tahun,
ia sempat memperoleh penghasilan extra sebagai pelatih Kung Fu
di Kapasan.
Kwan juga mendidik cucunya untuk siap melawan orang yang
menghinanya, terutama orang-orang Belanda. Sikap membela diri
inilah dan latihan Kung Fu yang ia peroleh menyebabkan Siauw
sering berkelahi dengan murid-murid Belanda di HBS Surabaya.
Kalau ia memerlukan bantuan, ia selalu dibantu oleh teman-teman
latihan Kung Fu-nya yang pada umumnya belajar di sekolah THHK.
Sikap membela teman juga diperolehnya dari sang kakek. Siauw
Giok Tjhan dan adiknya Giok Bie cukup dikenal di Kapasan sebagai
anak-anak yang selalu siap membela teman-temannya terutama
dalam berhadapan dengan kaum penjajah.
Cara hidup Kwan yang sederhana juga sangat mempengaruhi
Siauw. Siauw mengingat bagaimana kakeknya itu dikenal sebagai
35
Siauw Giok Tjhan
seorang pedagang yang ramah tamah, murah hati dan sederhana.
Berbeda dengan cara hidup ayahnya, yang menikmati kemewahan
dan suka mengenakan pakaian Barat, Kwan lebih suka hidup
sederhana dan mengenakan pakaian se-ala kadarnya. Kakeknya
juga lebih senang berorganisasi dan berpolitik daripada berdagang.
Teman-temannya pada umumnya datang ke tokonya untuk berapat
dan berdiskusi mengenai masalah politik. Perkembangan inilah
yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian Siauw Giok
Tjhan. Siauw di kemudian hari, dikenal dan dihargai sebagai seorang
pemimpin yang mempunyai kesungguhan dalam memperjuangkan
cita-cita politiknya dan pemimpin yang sangat sederhana.
Atas dorongan kakeknya, Siauw juga lebih senang bergaul
dengan teman-teman sebaya yang belajar di sekolah-sekolah
Tionghoa. Kesukaannya dalam kegiatan organisasi mendorongnya
untuk masuk Hua Chiao Tsing Nien Hui - HCTNH (Perkumpulan
Pemuda Tionghoa) dan menjadi pemimpin bagian kepanduannya.
Ia memilih masuk ke HCTNH daripada masuk ke Chung Hsio
Hsing Hui - CHHH (Perkumpulan Siswa Sekolah Menengah) yang
diselenggarakan oleh siswa-siswa sekolah menengah Belanda.
Siauw teringat bahwa para anggota HCTNH menggunakan bahasa
Tionghoa-Melayu sebagai bahasa sehari-hari sedangkan para
anggota CHHH menggunakan bahasa Belanda. Yang menjadi garis
pemisah dari kedua organisasi ini adalah posisi sosial ekonomi
dari para anggotanya. Para anggota CHHH berasal dari keluarga
kaya raya di Surabaya, sedangkan para anggota HCTNH berasal dari
keluarga yang kelas menengah dan kurang berada. Sikap untuk
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Tionghoa inilah yang
mendorong Siauw untuk tidak menggunakan nama Belanda yang ia
peroleh di sekolahnya, Freddy. Ia lebih suka dipanggil oleh temantemannya dengan nama Giok Tjhan.
Walaupun Siauw cukup sehat dan akhli dalam Kung Fu, ia lebih
dikenal oleh teman-temannya sebagai seorang yang kutu buku. Ia
jauh lebih senang membaca buku daripada mengikuti kegiatankegiatan yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya. Kalau main
36
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
sepak bola, ia memilih untuk menjadi penjaga gawang dan sering
terlihat membaca buku ketika bola berada di tempat tim lawannya.
Berbeda dengan adiknya Giok Bie, yang tumbuh menjadi pemuda
kuat yang menyukai berbagai sport dan yang suka berkelahi, Siauw
lebih dikenal sebagai seorang pemuda yang matang dan bijaksana.
Kalau ada perkelahian di jalan, ia sering bertindak sebagai pelerai
dan menasehati pihak-pihak yang berkelahi untuk menghentikan
permusuhannya. Tetapi kalau yang dilawan adalah pemudapemuda Belanda, ia turut dalam menentukan strategi perlawanan
dan kadang-kadang juga turut dalam perkelahiannya3.
Pendidikan HBS menyebabkan Siauw mahir dalam empat
bahasa asing, Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman. Ia banyak
membaca buku-buku dalam ke-empat bahasa asing ini. Buku-buku
yang dibaca pada umumnya buku-buku detective dan romantika.
Disamping itu, ia juga belajar membaca surat-surat kabar yang
ayahnya pesan secara teratur, Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po,
yang dipimpin oleh wartawan ternama, Liem Koen Hian. Keduaduanya mencanangkan nasionalisme Tionghoa, walaupun pada
akhir tahun 31-an, Sin Tit Po mulai menganjurkan para pembacanya
untuk menganggap Hindia Belanda sebagai tanah airnya. Siauw
juga banyak membaca buku-buku Tionghoa yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Tionghoa-Melayu dan juga tertarik dengan bukubuku yang diterjemahkan dari bahasa India seperti Mahabrata dan
Ramayana.
Tetapi rasa tertariknya dengan perkembangan politik masih
sangat terbatas. Perkenalannya dengan teman-teman kakeknya
hanya mendorongnya untuk mengikuti perkembangan perang
antara Jepang dan Tiongkok. Masalah nasib rakyat di Hindia
Belanda dan perjuangan para tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo
dan Soekarno masih belum ia perhatikan. Penghidupannya yang
mewah di rumah masih belum membuka matanya.
Tetapi situasi ini mendadak berubah pada tahun 1932, ketika
3
Wawancara dengan Njoo Soen Hian di Amsterdam, Novem-
ber 1981 dan Siauw Giok Bie, di Melbourne, Juli 1990
37
Siauw Giok Tjhan
Siauw duduk di tingkat terakhir HBS-nya. Pada waktu itu, keadaan
ekonomi dunia merosot banyak dan dunia mulai merasakan resesi
ekonomi yang hebat. Banyak perusahaan di Hindia Belanda yang
bangkrut, termasuk perusahaan yang dipimpin oleh ayah Siauw
Giok Tjhan. Pada waktu seluruh simpanan uangnya amblas dengan
bangkrutnya Inco Bank di Surabaya, ayahnya praktis berada dalam
posisi bangkrut. Pada waktu yang bersamaan, ibunya mendadak
meninggal dunia karena pendarahan di dalam tubuhnya.
Meninggalnya sang isteri dan tidak bisa bertahannya perusahaan
yang ia pimpin menyebabkan Gwan Swie yang menderita penyakit
tekanan darah tinggi dan diabetis, juga meninggal, 6 bulan setelah
isterinya meninggal dunia pada tahun 1932. Siauw Giok Tjhan dan
adiknya Giok Bie yang baru berumur 14, menjadi yatim piatu dalam
waktu yang sangat singkat.
Meninggalnya kedua orang tua dalam keadaan seperti ini
tentunya menjadi dilema hidup yang sulit untuk diatasi. Siauw
Giok Tjhan beruntung karena beberapa guru HBS menyayanginya.
Mereka berhasil mengupayakan Siauw memperoleh beasiswa
untuk menyelesaikan studi-nya di HBS. Teman-teman dekat orang
tuanya ternyata tidak bisa membantu banyak. Kakeknya, Kwan Sie
Liep, juga merasa tidak ada gunanya untuk tetap menetap di Hindia
Belanda. Sebelum Gwan Swie meninggal, Kwan sudah menutup
tokonya dan mengajak isterinya untuk pulang ke Tiongkok. Adikadik Tjian Nio yang masih tinggal di Surabaya-pun mengalami
kesulitan ekonomi.
Akhirnya Siauw Giok Tjhan hanya bisa berpaling ke temanteman yang ia gauli, yang berasal dari keluarga yang kurang berada.
Atas nasehat mereka, ia menjual semua barang- barang berharga
di rumahnya dan uang yang terkumpul dijadikan modal untuk
menjalankan usaha taksi. Ia juga bekerja sebagai pelatih Kung
Fu sambil belajar keras untuk menyelesaikan HBS-nya. Dengan
demikian, ia bisa terus hidup dan membayar uang sekolah adiknya,
yang baru duduk di kelas tiga di MULO.
Dalam keadaan seperti inilah, Siauw berkenalan dengan Liem
38
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Koen Hian, yang berumur 30-an pemimpin, harian Sin Tit Po. Atas
anjuran Liem, Siauw juga berkenalan dengan Soetomo yang telah
mendirikan Indonesian Study Club di Surabaya. Melalui Liem Koen
Hian dan Soetomo inilah, Siauw mulai mempelajari nasionalisme
Indonesia dan mulai menyadari bahwa Indonesia adalah tanah
airnya. Di dalam study club ini, Siauw mempelajari Revolusi
Tiongkok yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasionalis
Indonesia termasuk Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan Hatta.
Pengalaman hidupnya memperkuat pengertian ini. Kepergiannya
kakeknya dari Hindia Belanda menyadarkannya bahwa sebagai
seorang totok yang masih memiliki “emotional ties” dengan
Tiongkok, sang kakek bisa berangkat kembali ke tanah leluhurnya.
Tetapi, bagi sebagian besar peranakan Tionghoa yang tidak lagi
mempunyai hubungan emosionil dan kekeluargaan dengan siapasiapa di Tiongkok, masalahnya sangat berbeda. Kemelaratan di
Hindia Belanda tidak bisa mendorongnya untuk meninggalkan
Hindia Belanda dan berangkat ke Tiongkok.
Berdasarkan
pengamatan ini ia menerima anjuran Liem Koen Hian untuk
menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, di mana ia dilahirkan,
besar dan hidup dan di kubur nantinya. Inilah titik tolak perjalanan
politik Siauw sebagai salah seorang pembangun Nasion Indonesia.
Pengertian ini mendorong Siauw untuk mengikuti berbagai
kegiatan politik di Surabaya. Bersama Liem Koen Hian, ia turut
memboikot pertunjukan sepak bola yang diselenggarakan oleh
penjajah Belanda dan menghimbau para penonton untuk tidak
menonton pertandingan sepak bola itu. Karena kegiatan ini, ia
bersama beberapa pemuda lainnya termasuk Liem Koen Hian
ditahan oleh polisi Belanda. Mereka ditahan selama sehari dan
dibebaskan dengan peringatan untuk tidak melakukan hal yang
serupa. Kegiatan Siauw ini dilaporkan juga ke kepala sekolah HBS
yang kemudian melarang Siauw mengikuti sekolah selama sebulan.
Sebuah hukuman yang cukup berat mengingat ujian akhir HBS akan
dilangsungkan beberapa minggu setelah itu.
39
Siauw Giok Tjhan
Siauw juga sangat terkesan dengan program Partai Bangsa
Indonesia (PBI) yang dipimpin oleh Soetomo. PBI pada waktu
itu menganjurkan setiap golongan minoritas untuk bekerja keras
menyelesaikan masalahnya masing-masing. Ia juga tertarik dan
mendukung pendapat Soetomo tentang gerakan politik. Soetomo
menganggap program politik yang baik adalah program yang
tidak semata-mata mementingkan pidato-pidato yang berapi-api,
melainkan program yang berdasarkan perumusan politik dan
ekonomi yang benar-benar bisa dipergunakan untuk memperbaiki
penghidupan rakyat.
Bersandar pada anjuran Soetomo ini, Siauw mengajak kawankawan kepanduan HCTNH-nya untuk melakukan berbagai kegiatan
sosial di daerah Kapasan. Mereka mengumpulkan dana dan
barang-barang tua dari keluarga kaya di Kapasan untuk kemudian
dibagikan pada yang miskin di daerah itu. Ia juga mengambil inisiatif
untuk mendirikan sekolah malam untuk menampung para pemuda
Kapasan yang tidak mampu untuk pergi ke sekolah. Ia mengajak
teman-teman yang baru lulus dari MULO untuk menjadi guru-guru
di sekolah ini. Sebagai tempat yang dipergunakan adalah gedung
sekolah THHK di malam hari. Sekitar 50 murid terdaftar dalam
sekolah gratis ini dan Siauw berfungsi sebagai kepala sekolah-nya.
Program pendidikan ini dianggap liar oleh pemerintah penjajah
Belanda yang menutupnya pada tahun 19344.
Kegiatan politik ini diteruskan dengan masuknya Siauw ke dalam
partai baru yang didirikan oleh Liem Koen Hian di Surabaya, Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Siauw menjadi salah
seorang pendiri partai ini yang termuda. Ia berumur 18 tahun.
Pada waktu Siauw menyelesaikan HBS-nya pada awal 1933,
Siauw memutuskan untuk berhenti sekolah. Keadaan ekonomi
keluarganya tidak memungkinkannya untuk meneruskan rencana
semulanya untuk belajar di fakultas kedokteran di negeri Belanda.
Sebenarnya, sebagai lulusan HBS, Siauw bisa dengan mudah
4
Wawancara dengan Tjoa Sik Ien di Amsterdam, bulan No-
vember 1981
40
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan Belanda dalam
bidang administrasi dan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
ini cukup baik. Tetapi karena ia tertarik dengan dunia Liem Koen
Hian, ia memutuskan untuk memulai karier-nya sebagai seorang
wartawan. Padahal, penghasilannya sebagai seorang wartawan
jelas jauh lebih rendah daripada penghasilan yang ia bisa peroleh
dari perusahaan-perusahaan Belanda. Atas bantuan Liem Koen
Hian, pada tahun 1933, Siauw dipekerjakan sebagai pembantu The
Boen Liang, salah seorang pemimpin PTI, di harian Sin Tit Po, di
Surabaya.
Masuk ke dalam dunia Liem Koen Hian dan Nasionalisme Indonesia
Masuknya Siauw ke dalam PTI pada tahun 1932 menunjukkan
bahwa Siauw siap meninggalkan komunitasnya yang sebagian
besar pada waktu itu berkiblat ke Belanda atau ke Tiongkok.
Seperti pernah dituturkan sebelumnya, berdirinya PTI pada
tahun 1932 juga merupakan tanda bahwa dalam dunia peranakan
Tionghoa telah lahir aliran yang ketiga, aliran yang berkiblat ke
Indonesia merdeka. Aliran yang terbaru ini lahir ketika aliran
yang berkiblat ke Tiongkok -- yang dipimpin oleh kelompok Sin Po
sedang menurun pengaruhnya dan aliran yang berkiblat ke Belanda
yang diwakili oleh partai Chung Hua Hui sedang naik pamornya.
Pengaruh kelompok Sin Po sangat besar dalam komunitas
Tionghoa di Hindia Belanda dalam periode 1911-1920. Dalam
periode ini, sebagian besar Tionghoa mendukung nasionalisme
Tionghoa bahkan menolak untuk menjadi Kaula Belanda. Daya
menentang penjajahan Belanda yang ditunjukkan oleh golongan
Tionghoa melalui kelompok Sin Po inilah yang mendorong
pemerintah Belanda untuk mengeluarkan berbagai kebijakan
untuk mengambil hati golongan Tionghoa termasuk didirikannya
sekolah-sekolah HCS dan dicabutnya peraturan-peraturan yang
sebelumnya menekan golongan Tionghoa, serta diterimanya
41
Siauw Giok Tjhan
perwakilan-perwakilan Tionghoa di dalam Volksraad.
Menjelang akhir tahun 20-an, posisi Tiongkok melemah dan
tidak mampu bertahan melawan Jepang. Ia tidak mampu membela
kepentingan orang-orang Tionghoa di kawasan Asia dan gagal
menjadi negara yang bisa dibanggakan oleh penduduk Tionghoa
di negara-negara Asia. Ini menyebabkan hilangnya kepercayaan
orang Tionghoa di Hindia Belanda bahwa Tiongkok mampu untuk
memperbaiki nasib hidupnya.
Pada waktu yang bersamaan, jumlah pemuda Tionghoa yang
memperoleh pendidikan Belanda meningkat dalam jumlah yang
besar. Yang memperoleh kesempatan untuk belajar di Belanda juga
meningkat jumlahnya. Mereka yang belajar di Belanda mendirikan
organisasi yang dinamakan Chung Hua Hui Nederland-CHHN
(Perkumpulan Tionghoa di Nederland) pada tahun 1911. Walaupun
mereka menentang nasionalisme Tionghoa, tetapi mereka ternyata
menamakan organisasinya dengan nama Tionghoa. Pada waktu
pimpinannya kembali ke Indonesia, Han Tiauw Tjong (Ketua CHHN
pada tahun 1921), Be Tiat Tjong (Ketua CHHN 1923) dan Oei Tjong
Houw (anak Oei Tiong Ham - orang terkaya di Semarang), mereka
mendirikan partai Chung Hua Hui - CHH pada tahun 1927. Tujuan
utama partai yang didominasi oleh peranakan yang berpendidikan
Belanda ini adalah mencapai persamaan orang Tionghoa dengan
penduduk Belanda dan mewakili orang Tionghoa di Volksraad.
Ketua pertama partai CHH ini adalah Kan Hok Hoei, seorang
pedagang kaya yang sudah menjadi anggota Volksraad pada waktu
partai ini didirikan. Ia juga seorang ketua Siang Hwee di Batavia
yang mempunyai hubungan baik dengan para pedagang totok di
sana. Ketika Federasi Tionghoa Siang Hwee dibentuk pada tahun
1934, Kan diangkat menjadi ketuanya. Dibawah pimpinan Kan,
partai CHH memilih garis kanan -- anti Marxisme, jadi duduk
bertentangan dengan aliran yang mendukung kemerdekaan
Indonesia yang pada saat itu sangat dipengaruhi oleh Marxisme.
Kebijakan yang diambil oleh partai CHH yang mendukung
pemerintah penjajahan Belanda ini tentu saja ditentang oleh
42
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
para nasionalis Tionghoa dan Indonesia. Beberapa mahasiswa
Tionghoa yang belajar di Belanda mulai kecewa dengannya dan
mulai memisahkan diri dari organisasi CHH yang sangat pro
Belanda ini. Proses ini malah mempercepat terbentuknya paham
yang mendukung Indonesia merdeka di dalam tubuh masyarakat
peranakan Tionghoa di Hindia Belanda.
Di dalam 20 tahun pertama dari abad ke 20 ini, sebagian besar
komunitas Tionghoa tidak tertarik dengan nasionalisme Indonesia.
Dari berbagai organisasi nasionalis Indonesia yang berdiri pada
masa itu, hanya Partai Indische Partij yang dipimpin oleh Tjipto
Mangun Kusumo, Douwes Dekker dan Dewantara yang menerima
orang Tionghoa sebagai anggotanya. Partai-partai lainnya menolak
keanggotaan orang Tionghoa di dalamnya. Bahkan, banyak
diantaranya seperti Serikat Dagang Islam yang didirikan pada
tahun 1911 mempunyai program politik yang mengandung elemen
anti-Tionghoa. Penggantinya, Serikat Islam yang didirikan pada
tahun 1912 tidak mempunyai elemen anti-Tionghoa, tetapi tidak
giat menarik anggota-anggota Tionghoa ke dalamnya5.
Indische Partij mempunyai sikap yang berbeda. Pada tahun
1913, Douwes Dekker telah menyatakan keinginannya akan
persatuan golongan Tionghoa dengan semua golongan etnis yang
ada di Hindia Belanda dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Tjipto Mangunkusumo berpandangan lebih jauh lagi.
Pada tahun 1917, ia mengeluarkan formulasinya tentang bangsa
Indonesia. Dalam formulasinya, Bangsa Indonesia mencakup
setiap orang yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya,
dengan demikian menurut sertakan setiap orang Tionghoa yang
menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Pendapat semacam
ini diterima dengan hangat oleh beberapa tokoh peranakan seperti
Liem Koen Hian yang segera masuk dan aktif dalam Indische Partij.
Liem Koen Hian dilahirkan pada tahun 1896 di Banjarmasin,
5
Van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague-Bandung, 1960, p 20
43
Siauw Giok Tjhan
Kalimantan. Ia mulai karier-nya sebagai seorang wartawan yang
sangat mendukung nasionalisme Tionghoa. Pada tahun 1921, ia
menjadi seorang aktivis yang menentang penjajahan Belanda. Ia
sering menantang dan mencela orang-orang yang mendukung
penjajahan Belanda. Ia pindah ke Surabaya pada tahun 1925 dan
segera menjadi pendukung Soetomo di dalam Study Club yang
dipimpinnya.
Dari tahun 1925 sampai tahun 1929, Liem, bersama seorang
wartawan kawakan lainnya, Kwee Thiam Tjing, mempimpin harian
Soeara Publiek. Melalui harian ini ia mencanangkan ide-ide yang
diperkenalkan oleh Tjipto Mangunkusumo tentang Bangsa dan
Kewarganegaraan Indonesia. Pada tahun 1929, ketika istilah
Indonesia sudah dipergunakan oleh para pejuang nasionalis
Indonesia, ia mulai menggunakan istilah Indonesia dalam
karangan-karangannya. Dalam konteks ini, ia menganjurkan para
pembacanya untuk mendukung gerakan Indonesia merdeka. Pada
tahun 1930, ia menjadi pimpinan harian Sin Tit Po di Surabaya.
Formulasinya tentang apa artinya Indonesia dijelaskannya secara
gamblang dalam artikel-nya yang dimuat dalam harian Sin Tit Po
pada bulan April 1930. Ia menyatakan bahwa golongan peranakan
seharusnya menjadikan aspirasi rakyat Indonesia aspirasi
golongannya dan untuk itu, ia perjelas, orang Tionghoa tidak perlu
menanggalkan ke-Tionghoaannya. Bangsa Indonesia yang akan
terbentuk dalam waktu mendatang ini, menurutnya, mempunyai
ruang yang besar untuk menampung kebudayaan Tionghoa yang
dibawa oleh golongan Tionghoa yang masuk ke dalamnya6.
Dalam menentang kelompok Sin Po, Liem memperjelas bahwa
adalah sangat tidak bijaksana bagi golongan Tionghoa yang berada di
Hindia Belanda untuk menganggap Tiongkok sebagai tanah airnya.
Nasionalisme Tionghoa, menurut Liem, tidak akan memperbaiki
nasib golongan Tionghoa di Hindia Belanda. Menurutnya, orang
Tionghoa yang berada di Hindia Belanda tidak akan bisa menerima
Tiongkok sebagai tanah airnya lagi, karena mereka pada umumnya
6
Suryadinata, The Chinese Minority, pp 85-86
44
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
lahir dan dibesarkan di sana. Pendapat Lem tidak bisa diterima
oleh sebagian besar orang Tionghoa pada waktu itu.
Kalau Indische Partij mengajak partisipasi orang Tionghoa,
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada
tahun 1927 membatasi keanggotaannya pada orang-orang “asli”.
Keturunan Tionghoa, Arab dan Eurasians (Indo-Belanda) hanya
boleh menjadi anggota tidak resminya. Walaupun demikian, karena
sikap pimpinannya yang progresif, cukup banyak orang Tionghoa
yang aktif di dalamnya. Dr. Kwa Tjoan Sioe yang ternama, seorang
kenalan pribadi dari Soekarno, memainkan peranan penting dalam
mengongkosi penerbitan PNI, Soeloeh Indonesia pada tahun 1932.
Kwee Tjing Hong, mengambil inisiatif dalam mendirikan cabang
PNI di Palembang pada tahun 19347.
Masuk ke dalam Kancah Jurnalisme dan Politik
Marilah kita kembali ke masuknya Siauw ke dalam dunia
jurnalisme dan politik. Tidak lama setelah Siauw masuk ke Sin Tit
Po membantu The Boen Liang seperti yang dituturkan di atas, Kwee
Hing Tjiat menariknya untuk masuk ke dalam staf harian Mata Hari
yang baru dibentuknya di Semarang, pada tahun 1934.
Kwee Hing Tjiat adalah seorang peranakan yang ternama,
kelahiran Kapasan pada tahun 18918. Ia mendukung pahampaham PTI dan sebelum kembali ke Hindia Belanda, menetap lama
di Tiongkok. Setelah menjadi editor beberapa harian peranakan
di Surabaya dan Yogyakarta, ia menjadi pimpinan harian Sin Po
dari tahun 1916 sampai tahun 1918. Dari tahun 1918 sampai
1923 ia menetap di Eropa, tetapi tetap menyumbangkan karangankarangan ke Sin Po. Di dalam masa hidupnya di Eropa, terutama di
Berlin, ia menulis buku yang dinamakan Doea Kepala Batoe yang
7
8
Ibid. P 94
Bahan-bahan mengenai Kwee Hing Tjiat diperoleh dari Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional, Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien, LP3ES, Jakarta, 1990
45
Siauw Giok Tjhan
menceritakan perkembangan nasionalisme Tionghoa di Hindia
Belanda. Pada tahun 1923 ia kembali ke Indonesia, tetapi dilarang
masuk oleh penguasa Belanda karena tulisan-tulisannya yang
mendukung nasionalisme Tionghoa dan mengecam penjajahan
Belanda. Oleh karena itu, ia lalu tinggal di Tiongkok selama 10
tahun, sebagai seorang pedagang. Di Tiongkok, ia dipengaruhi
oleh pendapat-pendapat Barat tentang Kong Hu Cu-isme, yang
dianggapnya sebagai dasar kemunduran di Tiongkok. Mulailah
ia pada tahun 1926 menulis karangan-karangan yang mencela
Kong Hu Cu-isme dan menganjurkan penduduk Tionghoa untuk
menanggalkan Kong Hu Cu-isme. Tulisan-tulisan Kwee yang terbit
di majalah Hua Kiao ini ternyata cukup berpengaruh. Pada tahun
1928, program pendidikan THHK mengurangi penekanan pada
Kong Hu Cu-isme, yang tadinya menjadi inti pendidikannya.
Pada tahun 30-an, Kwee mulai merasa resah. Ia tidak betah di
Tiongkok dan yakin bahwa sebagai seorang peranakan ia tidak akan
bisa hidup di Tiongkok. Ia tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak
mampu mengubah adat istiadat peranakannya, sehingga tidak bisa
menerima kebudayaan asli Tiongkok. Akhirnya ia berkeyakinan
bahwa Hindia Belanda adalah tempat tinggalnya dan oleh karena
itu ia ingin kembali hidup di sana. Atas bantuan kawan baiknya, Oei
Tjong Houw, anak Oei Tiong Ham, ia bisa masuk kembali ke Hindia
Belanda. Dan atas bantuan modal Oei Tjong Houw, ia berhasil
mendirikan harian Mata Hari di Semarang pada tahun 1934.
Tadinya ia ingin menamakan harian ini harian Merdika dan pintu
kantornya dicat merah tua. Tetapi nama ini ditolak oleh pihak
penguasa Belanda. Sebagai kompromi, Kwee menamakannya Mata
Hari dan warna pintu kantornya diubah menjadi merah gelap.
Ketika ia kembali ke Hindia Belanda, PTI sudah berdiri dan ia
segera mendukungnya. Olehnya, Mata Hari dijadikan terompet PTI.
Ia mengajak orang-orang PTI untuk turut memimpin harian baru
ini. Ditariklah orang-orang yang direkomendasi oleh Liem Koen
Hian untuk pindah ke Semarang dari Surabaya, diantaranya The
Boen Liang, Wakil Ketua PTI, Tjoa Tjie Liang, sekretaris PTI dan
46
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Siauw Giok Tjhan. Di samping mereka, kawan baik Liem Koen Hian,
Sudarjo Tjokrosisworo juga direkruit-nya. Dan Baswedan, seorang
peranakan Arab, yang pernah dibantu oleh Liem Koen Hian untuk
mendirikan Partai Arab Indonesia, juga ditariknya ke Semarang.
Beberapa artikel perdana Mata Hari memuat karangan Kwee
mengenai konsep yang telah didengungkan oleh PTI. Kwee
mengajak pembacanya untuk tidak hanya berdiri berdampingan
dengan penduduk “asli” tetapi juga menjadi orang-orang Indonesia
tulen dan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Tulisantulisan ini mengundang perdebatan sengit. Pimpinan kelompok
Sin Po dan Chung Hua Hui bersatu dalam mencela Kwee yang
dianggapnya sebagai orang yang ingin memperendah status
Tionghoa ke status golongan “asli”. Siauw Giok Tjhan selalu
mengingatkan pendukungnya bahwa yang dimaksud oleh Kwee
Hing Tjiat dalam tulisan-tulisan yang diterbitkan pada tahun 1934
ini bukanlah assimilasi total. Kwee tidak menganjurkan orang
Tionghoa untuk menggantikan nama dan mengawini orang-orang
“asli”. Yang dianjurkan oleh Kwee, menurut Siauw, tidak berbeda
dengan anjuran PTI, yaitu menjadikan aspirasi rakyat Indonesia
aspirasi golongan Tionghoa, tanpa membuang ke-Tionghoaannya.
Kwee juga menganjurkan para wartawannya untuk merangkum
kegiatan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menugaskan
Siauw Giok Tjhan untuk menjadi penghubung para tokoh yang
dibuang dan diasingkan oleh penguasa Belanda, di antaranya
Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno. Tugas ini menyebabkan
Siauw mengenal kedua pemimpin ini dengan baik dan memuat
tulisan-tulisan mereka dalam berbagai penerbitan Mata Hari. Ia
sangat menghargai kedua tokoh itu dan menganggapnya sebagai
gurunya. Pada tahun 1976, Siauw menulis:”...Saya beruntung bisa
berhubungan dan mengenal Dr. Tjipto dan Soekarno dengan baik
pada waktu mereka diasingkan oleh pihak penguasa Belanda.
Melalui surat-suratnya, mereka mendorong dan memberi inspirasi
pada saya. Merekalah yang menyakinkan saya bahwa saya berada
di pihak yang benar. Saya paling terkesan dengan kebesaran Dr.
47
Siauw Giok Tjhan
Tjipto. Dia lah yang menjelaskan pada saya apa artinya kebangsaan
Indonesia dan bagaimana Indonesia itu nantinya harus dibangun.
Di mata Dr. Tjipto, semua warga negara Indonesia, termasuk
golongan Tionghoa-nya, harus mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Tidak ada perbedaan dan pengecualian. Tidak boleh ada
perbedaan rasial. Yah, bagi saya, Dr. Tjipto adalah guru besar yang
akan saya hormati selamanya...”9.
Jadi pada tahun 30-an, Siauw telah benar-benar masuk ke dalam
dunia Liem Koen Hian dan menjadi salah seorang pendukungnya
yang setia. Ia masuk ke dalam aliran politik yang terkecil di dalam
masyarakat Tionghoa. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa
pada waktu itu menganggap aliran Liem Koen Hian sebagai aliran
yang berbahaya dan tidak boleh didukung. Tetapi Siauw tetap
penuh dengan kesungguhan dan tidak memperdulikan bahwa
kesungguhannya ini dikecam oleh sebagian besar golongannya,
termasuk teman-teman dekat dan saudara-saudaranya.
Kwee ternyata terkesan dengan kemampuan Siauw dan dalam
waktu singkat menganggapnya sebagai salah satu pembantu
utamanya dan mempromosikannya sebagai salah satu editornya10.
Pada tahun 1937, setelah prang Pacific meletus, gerakan Tjin Tjay
Hwee di Hindia Belanda dikembangkan untuk mengkoordinasi
sumbangan dan bantuan golongan Tionghoa di sana ke pemerintah
Tiongkok dalam melawan Jepang. Kwee sangat mendukung gerakan
Tjin Tjay Hwee ini dan ingin memperbesar pengaruh Mata Hari di
Surabaya. Oleh karena itu, ia mengirim Siauw, ketika itu berumur
23, ke kota itu untuk memimpin cabang Surabaya dan membantu
perkembangan gerakan Tjin Tjay Hwee.
Ketika Siauw tiba di Surabaya pada tahun 1937, kedua tokoh
peranakan radikal yang pernah belajar di negeri Belanda sudah
kembali dari Belanda dan telah mengambil alih tampuk pimpinan
PTI dan Sin Tit Po dari tangan Liem Koen Hian. Tjoa Sik Ien, 32, dari
9
10
Surat Siauw Giok Tjhan pada penulis, 7 July 1976.
Wawancara dengan Oey Hoo Tong, Kepala bagian administrasi Mata Hari, di Hongkong, pada tahun 1989
48
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Kapasan diangkat menjadi ketua PTI menggantikan Liem Koen Hian
yang pindah ke Batavia untuk meneruskan kuliahnya di Fakultas
Hukum. Tan Ling Djie, 36, juga dari Kapasan, menjadi pimpinan
baru harian Sin Tit Po. Siauw segera menjadi dekat dengan mereka
dan sangat dipengaruhi oleh mereka.
Tan dan Tjoa pernah menjadi pemimpin Chung Hua Hui
Nederland (CHHN) pada tahun 20-an. Mereka tertarik dengan
Marxisme dan menjadi dekat dengan para pemimpin Perhimpunan
Indonesia (PI), termasuk Hatta, Singgih, Subardjo dan Abdulmadjid.
Tertariknya mereka dengan Marxisme adalah hal yang jamak bagi
para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda pada waktu
itu. Hatta, yang kemudian menjadi wakil Presiden RI yang anti
Komunis, pada tahun 30-an pernah menjadi anggota League
Against Imperialism yang berhubungan erat dengan Comintern
dan sebagian besar anggotanya adalah pendukung Marxisme11.
Pada tahun 1929, Tan, Tjoa dan Tio Oen Bik, yang juga berasal
dari Surabaya mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia
(SPTI). Tjoa Sik Ien diangkat sebagai ketuanya. Dibawah pimpinan
ketiga tokoh ini, SPTI sering mengadakan hubungan dengan PI dan
kedua organisasi ini sering bekerja sama dalam berbagai macam
kegiatan. Dasar kedua organisasi ini adalah pengembangan
nasionalisme Indonesia12.
Di Belanda, Tan, Tjoa dan Tio bekerja erat dengan Musso, Alimin,
Sardjono dan Roestam Efendi, semua menjadi anggota penting Partai
Komunis Belanda bahkan pernah menjadi calon anggota parlemen
Belanda mewakili Partai Komunis Belanda. Hanya Roestam yang
terpilih13. Hubungan kerja seperti ini merupakan faktor penting
yang menghubungkan golongan peranakan Tionghoa dengan
11
12
13
Ruth McVey, The Development of Indonesian Communist Party, Center For International Studies, MIT, 1954, pp 15-16
Somers, Peranakan Chinese Politics, p 96 ; Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, Jakarta, 1970.
McVey, The Development of Indonesian Communist Party. P 17
49
Siauw Giok Tjhan
gerakan PKI bawah tanah yang dipimpin oleh Musso dan Tan Ling
Djie setelah tahun 1935 di Hindia Belanda.
Para pemimpin SPTI tetap aktif dalam CHHN sampai tahun
1932. Ketika mereka gagal untuk meyakinkan para anggota
CHHN mendukung program pro-Indonesia merdeka-nya, mereka
meninggalkan CHHN. Akan tetapi dukungan terhadap SPTI tetap
kecil dan sebagian besar mahasiswa peranakan masih tetap
berkiblat ke CHHN. Pada waktu Tan dan Tjoa meninggalkan
Belanda ke Surabaya pada tahun 1935, SPTI dibubarkan.
Setelah kembali di Surabaya, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien
dengan cepat menyatukan dirinya dengan kekuatan Liem Koen
Hian. Tan dan Liem saling mempengaruhi. Tidak jelas siapa yang
lebih banyak mempengaruhi, tetapi mereka berdua adalah ayahayah gerakan peranakan Tionghoa yang mendukung gerakan
kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya gabungan mereka berdua serupa dengan gabungan
kerja Soekarno dan Hatta. Liem, seperti Soekarno, tidak pernah
belajar di luar negeri. Ia, seperti Soekarno pandai berpidato dan
menitik beratkan aktifitasnya pada agitasi massa yang berapi-api.
Tan, seperti Hatta, terdidik di negara Belanda dan mementingkan
pendidikan politik ketimbang gerakan politik massa.
Tan,
tidak pandai berpidato dan menyandarkan kepemimpinannya
sepenuhnya atas tulisan-tulisan dan pendidikan kader dalam ruang
tertutup. Pada tahun 1930, Tan masuk partai Komunis Belanda dan
pernah menetap di Moscow sampai tahun 35-an. Karena kegiatan
politiknya, ia tidak pernah menyelesaikan studi-nya (dalam bidang
hukum). Bangku kuliah ditinggalkannya untuk pulang ke Indonesia
pada awal tahun 1936 untuk mengembangkan PKI illegal yang
dibangun oleh Musso pada tahun 1935 di Surabaya. Walaupun
Liem dan Tan bekerja erat, Liem ternyata tidak tertarik dengan
Marxisme.
Tjoa Sik Ien juga merupakan figur politik yang penting dalam
hidup Siauw. Ia lahir di Surabaya dan keluarganya adalah tetangga
keluarga Siauw di jalan raya Kapasan. Ia belajar kedokteran dan
50
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
menyelesaikan studi-nya pada tahun 1930. Ia bekerja erat dengan
Tan Ling Djie dan banyak mendukung pikiran-pikirannya. Seperti
Tan, iapun aktif dalam gerakan politik dan menjadi pendukung
program politik yang mendukung Indonesia merdeka. Sebagai
ketua SPTI, ia mendukung program politik Liem Koen Hian di
Hindia Belanda.
Sekembalinya Tan di Surabaya, ia segera menjadi pimpinan dari
illegal PKI dan bekerja keras untuk mengembangkannya. Tokohtokoh seperti Amir Sjarifuddin dan Oei Gee Hwat direkruit-nya dan
menjadi asisten pentingnya. Tan juga memainkan peranan penting
dalam memformulasi program anti Jepang dan pro Komunis
Tiongkok dari gerakan di bawah tanah di Surabaya ini. Sesuai
dengan garis Dimitrov yang dikeluarkan pada pertengahan tahun
30-an, ia mendorong banyak anggota illegal PKI untuk masuk dan
menjadi pemimpin Gerindo (Gerakan Indonesia), seperti Amir
Sjarifuddin dan Oei Gee Hwat.
Dibawah pimpinan Tan dan Tjoa, PTI dan Sin Tit Po menjadi
lebih radikal dan terang-terangan mendukung revolusi di Tiongkok
yang dipimpin oleh Mao Tse Tung. Banyak karangan diterbitkan
di Sin Tit Po yang menceritakan kemajuan-kemajuan yang dicapai
oleh Mao Tse Tung.
Dipengaruhi oleh kedua tokoh ini, Siauw-pun menjadi pendukung
Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung. Buku yang ditulis oleh
Edgar Snow, berjudul Red Star Over China, yang menceritakan
keberhasilan kelompok Mao Tse Tung dalam melawan Jepang,
diterjemahkan oleh Siauw. Terjemahan ini lalu diterbitkan secara
berkala dalam harian Sin Tit Po.
Atas dorongan Tan, Siauw aktif dalam gerakan Tjin Tjay Hwee di
Surabaya. Pengetahuannya tentang cara berpikir kelompok totok
menyebabkannya ia mampu bergerak secara efektif. Ia menjadi
perantara antara PTI dengan organisasi-organisasi Tionghoa yang
didominasi oleh kelompok totok seperti Siang Hwee dan Soe Poe
Sia. Inisiatif PTI untuk mempersatukan semua kekuatan Tionghoa
berhasil dipertahankan sampai tahun 39-an. Pada tahun 1942,
51
Siauw Giok Tjhan
ketika Jepang masuk, persatuan informal ini dengan sendirinya
terhenti.
Kalau gerakan Tjin Tjay Hwee di Batavia dan Semarang terbatas
pada pengumpulan dana dan obat-obatan, Gerakan Tjin Tjay Hwee
yang didominasi oleh PTI di Surabaya berkembang lebih jauh dari
itu. Gerakan di Surabaya ini lebih berpolitik sifatnya. Ia berhasil
mengirim sebuah tim medis, lengkap dengan fasilitas ambulans
yang dipimpin oleh seorang dokter, Dr. Go In Tjhan ke Tiongkok,
pada tahun 1937. Pada tahun yang sama, ada juga beberapa
pemuda peranakan yang pergi ke Tiongkok untuk turut berperang
melawan Jepang. Diantaranya, adik kandung Siauw, Siauw Giok Bie.
Walaupun kegiatan Tjin Tjay Hwee merupakan persatuan
politik di antara semua kekuatan Tionghoa di Hindia Belanda, ia
tidak mengikut sertakan aktifitas untuk memboikot barang- barang
buatan Jepang. Ini disebabkan banyak pendukung gerakan Tjin
Tjay Hwee ini adalah pedagang-pedagang yang bersandar pada
keuntungan yang diperoleh dari perdagangan barang-barang
Jepang. Demikian juga surat-surat kabar harian peranakan yang
mendukung gerakan Tjin Tjay Hwee. Iklan untuk barang-barang
Jepang tetap diterbitkan oleh sebagian surat kabar seperti Mata
Hari. Hanya sebagian kecil menghentikannya, diantaranya Sin Po
dan Sin Tit Po14.
Pada tahun 1939, momentum Tjin Tjay Hwee mulai berkurang
karena kekecewaan orang terhadap kemampuan Kuo Min Tang
dalam memimpin perlawanan terhadap Jepang. Disamping itu
timbul pula keraguan bahwa sumbangan yang disampaikan ke
Tiongkok tidak seluruhnya digunakan untuk melawan Jepang
melainkan masuk ke kantong-kantong Jendral yang korupsi.
Kwee Hing Tjiat termasuk orang yang menjadi skeptikal dengan
usaha pengumpulan dana ini dan menginginkan Siauw kembali
ke Semarang untuk membantunya di sana. Ia memutuskan untuk
menutup kantor Mata Hari di Surabaya dan memerintahkan Siauw
untuk kembali ke Semarang. Pada tahun 1939, Siauw kembali ke
14
Suryadinata, Peranakan Chinese Politics, p 118
52
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Semarang.
Sekembalinya di Semarang Siauw tinggal di rumah besar yang
dimiliki oleh Khouw Bian Tjeng, kakak Khouw Bian Tie, kawan
baik Hatta yang kemudian menjadi seorang akhli ekonomi ternama
di Semarang. Di rumah ini ia bertemu dengan beberapa pemuda
peranakan yang juga indekost di sana, diantaranya, Oei Tjoe Tat dan
Lie Tjwan Hie. Kedua-duanya kemudian menjadi pendukung politik
Siauw pada tahun 50-an dan 60-an. Dengan mereka yang indekost
di rumah ini, Siauw sering mengadakan pembicaraan politik. Dan
ia-pun menulis artikel-artikel yang harus diterbitkan di rumah itu
dengan mesin tik yang selalu dijinjingya, tergantung pada di tempat
mana ia duduk mengetik15.
Salah satu pemudi yang indekost di rumah itu adalah seorang
siswa HBS yang bernama Tan Gien Hwa, yang ketika itu berumur
18 tahun. Tan Gien Hwa, yang lahir pada tanggal 22 Juni 1921,
adalah anak kedua Tan Peng Hoat, seorang pedagang yang sukses
di Pemalang. Siauw dan Tan menjalin hubungan khusus dan mereka
menikah pada tahun 1940 dan setelah menikah, mereka pindah ke
rumah yang tidak jauh dari kantor Mata Hari.
Tidak lama setelah Siauw kembali ke Semarang, Kwee Hing
Tjiat mendadak meninggal dunia. Pimpinan editorial Mata Hari
lalu diambil alih oleh Siauw. Di bawah pimpinan Siauw, Mata Hari
menjadi lebih radikal dalam mendukung gerakan revolusi Tiongkok
dan menjadi lebih anti Jepang. Tulisan-tulisan Siauw pun menjadi
lebih banyak mendukung gerakan Indonesia merdeka. Tulisantulisan anti Jepang-nya lah yang menyebabkan Mata hari menjadi
salah satu sasaran utama pada waktu Jepang tiba di Semarang.
Tidak lama setelah Siauw menikah, ayah dan ibu Tan Gien Hwa
meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan. Walaupun baru
menikah, mereka berdua segera berkewajiban membesarkan empat
adik-adik Tan Gien Hwa yang berumur dari 2 tahun sampai 14
tahun. Untungnya penghasilan Siauw sebagai pimpinan Mata Hari
cukup besar sehingga walaupun hidup sederhana, segala kebutuhan
15
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat di Jakarta, Juli 1994
53
Siauw Giok Tjhan
keluarga yang mendadak menjadi besar ini bisa dipenuhi.
Pada waktu Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, semua
surat kabar yang bernada anti Jepang ditutup dan semua wartawan
dan pimpinannya ditangkap. Ketika mereka masuk ke Semarang,
kantor Mata Hari segera ditutup dan semua pegawainya ditahan.
Siauw Giok Tjhan kebetulan berada di luar kantor dan berhasil
menghindari penangkapannya. Ia kembali ke Pemalang dan dari
sana pindah ke Surabaya untuk kemudian pindah lagi ke Malang, di
mana ia menetap selama penjajahan Jepang.
Pola Pandangan Politik Siauw Giok Tjhan
Pendidikan politik yang dituturkan di atas tercampur dengan
latar belakang penghidupan Siauw yang diwarnai dengan normanorma Barat, Indonesia, peranakan dan totok. Latar belakang
inilah yang mencetak kepribadian Siauw sebagai politikus dan
pemimpin yang mampu melayani kebutuhan berbagai pihak di
dalam golongan yang diwakilinya.
Walaupun ia berasal dari keluarga yang kaya raya dan juga
memperoleh pendidikan Belanda yang bisa dinikmati oleh segelintir
orang Tionghoa, ia bergaul dan menyelami jalan pikiran dan hidup
kelompok-kelompok peranakan dan totok dari keluarga kelas
menengah dan yang kurang berada. Kerapnya ia bergaul dengan
para pedagang totok yang sering berhubungan dengan kakeknya
menyebabkan Siauw mengerti akan dunia totok. Ia bahkan
berpakaian dan hidup sederhana bagaikan banyak pedagang totok,
seperti kakeknya. Pengertiannya tentang kelompok-kelompok
yang di kemudian hari diwakilinya ini dikonsolidasinya setelah ia
masuk ke dalam organisasi pemuda yang terdiri dari pelajar-pelajar
sekolah-sekolah Tionghoa. Pengertiannya ini ternyata berguna
dalam berbagai kegiatan politiknya, terutama pada waktu ia aktif
di dalam kegiatan Tjin Tjay Hwee dari tahun 1937 sampai tahun
1939 di Surabaya.
Yang menyebabkan Siauw berbeda dengan banyak pemimpin
54
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Tionghoa di zaman penjajahan Belanda adalah masuknya ke dalam
dunia Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie. Dengan masuk ke dalam
aliran yang menganggap Indonesia sebagai tanah air, ia menantang
sebagian besar anggota masyarakat Tionghoa yang pada umumnya
berkiblat ke Tiongkok atau ke penjajahan Belanda.
Pada umumnya orang Tionghoa di Indonesia kurang bersedia
untuk mengorbankan waktu dan jiwanya untuk pekerjaan politik,
apalagi kalau garis politik yang dipilihnya itu membahayakan
keselamatannya. Dengan mendukung garis Indonesia merdeka,
Siauw masuk dalam kegiatan yang dianggap oleh sebagian besar
anggota masyarakat, “Ong Hiam”, berbahaya.
Akan tetapi dengan masuk ke dalam aliran ini, Siauw bisa
berhubungan dengan banyak pejuang nasionalis yang ternama,
termasuk Soetomo, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Amir
Sjarifuddin, yang di kemudian hari membuka jalan baginya untuk
menjadi pemimpin berkaliber nasional.
Setelah Siauw dipengaruhi oleh Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien
pada tahun 37-an, komitment-nya untuk mencapai Indonesia
merdeka diwarnai oleh Marxisme. Oleh karenanya, ia melihat
perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka ini harus disertai
dengan gerakan bersenjata seperti yang dilakukan oleh Mao Tse
Tung di Tiongkok dan konsolidasi kemerdekaan harus disertai
dengan program yang bertujuan menciptakan Indonesia yang
sosialistis16.
Dari Liem Koen Hian ia belajar berorganisasi dan bagaimana
memimpin organisasi massa yang memerlukan keakhlian dalam
menyatukan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Akan tetapi
Siauw menganggap Liem terlalu kaku dan terlalu emosionil.
Kwee Hing Tjiat melatih Siauw dalam memimpin surat kabar
harian. Kwee menyukai dan mempercayai Siauw. Tanggung jawab
sehari-hari dalam memimpin Mata Hari diserahkannya ke Siauw.
Dan ia mempercayakan Siauw untuk berhubungan dengan para
pemimpin nasional yang diasingkan, seperti Tjipto Mangunkusumo
16
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, 1970
55
Siauw Giok Tjhan
dan Soekarno. Siauw mendapatkan Kwee terlalu kontroversial
sehingga walaupun banyak berpengalaman dan berpengetahuan
luas, tidak mendapat dukungan yang luas dari masyarakat Tionghoa.
Tjoa Sik Ien juga memainkan peranan penting dalam mencetak
jalan pikiran Siauw. Tjoa, menurut Siauw adalah seorang tokoh
yang kaku dan keras kepala. Ia kurang mampu bekerja sama dengan
orang-orang yang tidak bisa menerima pendapatnya. Ko Kwat
Tiong, seorang tokoh PTI di Semarang merupakan salah seorang
yang tidak bisa diajaknya bekerja sama, sehingga walaupun banyak
berjasa untuk PTI, tetapi diisolasikannya, sehingga mengundurkan
diri dari PTI pada tahun 38-an. Pada tahun 50-an, Tjoa dan Siauw
berbeda pendapat dalam melaksanakan program Baperki. Ini
menyebabkan Tjoa meninggalkan Baperki di awal perkembangan
Baperki, baru setelah tahun 60-an ia kembali aktif. Walaupun
demikian, secara pribadi, hubungan mereka berdua tidak pernah
putus dan Tjoa menyatakan pada hari pemakaman Siauw pada
bulan November 1981 bahwa persahabatan yang demikian
rapatnya itu hanya terputus dengan wafatnya Siauw.
Figur yang paling mempengaruhi Siauw adalah Tan Ling
Djie. Darinya Siauw belajar menganalisa keadaan politik dan
mengeluarkan formulasi-formulasi yang sesuai dengan kebutuhan
situasi. Siauw menghargai disiplin Tan dalam mempelajari semua
faktor yang berhubungan dengan masyarakat secara mendetail.
Siauw teringat bagaimana Tan selalu mendorong para pembantunya
untuk memperhatikan harga-harga telur dan ikan asin di pasarpasar sebelum mengeluarkan analisa mendetail tentang kebijakan
ekonomi. Di bawah bimbingan Tan selama ia berada di Surabaya
dari tahun 37 sampai 39, Siauw mempelajari berbagai kebijakan
politik dan ekonomi di masyarakat-masyarakat yang mengendap
liberalisme, kapitalisme dan sosialisme. Siauw tetap dekat dengan
Tan sampai ia ditahan pada tahun 1965. Sejak tahun 1951, Tan
tinggal di rumah Siauw dan anak- anak Siauw memanggilnya
“empek” (kakak ayah).
Yang menjadi dasar keterlibatan Siauw dalam kancah perjuangan
56
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
politik sejak zaman ini adalah komitmen untuk mewujudkan
Indonesia yang bebas dari penjajahan dan membangun Nasion
Indonesia yang tidak mengenal perbedaan berdasarkan
keturunan ras. Bentuk negara apa yang ingin dibentuk dan
peraturan kewarganegaraan apa yang ingin dicapai mungkin
belum jelas diformulasi pada saat itu. Akan tetapi, Siauw yang
sangat dipengaruhi Dr Tjipto Mangunkusumo, mungkin sudah
menginginkan diterapkannya prinsip kewarganegaraan yang
berkaitan dengan jus soli – setiap orang yang lahir di Indonesia
menjadi warga negara Indonesia.
Pendidikan dan training politik yang digambarkan dalam bab
ini menyiapkan Siauw untuk berkembang menjadi pemimpin
masyarakat yang efektif. Kesempatan ini diperolehnya di Malang,
dalam zaman pendudukan Jepang.
57
Siauw Giok Tjhan
Gedung Boen Bio di Kapasan, tidak jauh dari rumah Siauw
Kuburan Cungkup Islam yang kerap dikunjungi ibu Siauw,
juga tidak jauh dari rumah Siauw di Kapasan
58
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Ibu Siauw Giok Tjhan, Kwan Tjian Nio,
59
Siauw Giok Tjhan
Siauw, di tengah berkaca mata, pemimpin kepanduan HCNTH
Siauw, siswa HBS tingkat terakhir 1932
60
Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik
Tan Gien Hwa, Semarang,
1940
Siauw, Kepala Redaksi
Harian Mata Hari, 1941
Perkawinan Siauw dengan Tan Gien Hwa, Pemalang, 1941
61
Siauw Giok Tjhan
Dari kiri ke kanan, Siauw, Oey Hoo Tong dan Tjoa Tjie Liang
Di kantor Mata Hari, Semarang, 1941
Siauw, Tan Gien Hwa, dengan adik-adik Tan, Tan Gien Hwie (2
thn), Tan Soen Houw (5 thn) dan Tan Soen Eng, (8 thn), 1940
62
Zaman Jepang dan Proklamasi
BAB 3
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Pasukan Jepang mengalahkan penguasa Belanda di Indonesia
dengan kecepatan yang menakjubkan. Dalam waktu delapan hari
setelah Jepang menyerang Indonesia pada tanggal 24 Februari
1942, pasukan Belanda telah menyerah.
Begitu mereka masuk ke Indonesia, mereka segera
menghancurkan jaringan anti-Jepang seperti yang dituturkan
dalam Bab 2. Surat-surat kabar peranakan yang menunjukkan
sikap anti-Jepang menjadi sasaran utamanya. Pimpinan dan para
wartawannya ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp tahanan. Siauw
Giok Tjhan berhasil menghindari penangkapan ini dan tinggal di
Malang selama masa pendudukan Jepang.
Reaksi terhadap serangan Jepang dan Masa Pendudukannya
Pemerintah Jepang sejak tahun 30-an telah berkampanye untuk
memperoleh dukungan Rakyat Indonesia. Beberapa pemimpin
nasionalis Indonesia berhasil dipengaruhinya.
Tokoh-tokoh
seperti Soetomo dan Thamrin cukup mendukung kehadiran Jepang
di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa kehadiran Jepang di
Indonesia akan mempercepat proses kemerdekaan. Pendapat
mereka pada mulanya mendapat dukungan yang cukup luas.
Tentangan Tjipto Mangunkusumo yang menganggap Jepang tidak
bisa dipercaya dan kehadirannya malah akan memperburuk situasi
Indonesia, tidak mendapat dukungan luas. Cukup banyak pemimpin
nasionalis Indonesia menaruh harapan yang tinggi pada Jepang.
Golongan Tionghoa mempunyai sikap yang lebih jelas. Adanya
gerakan Tjin Tjay Hwee lebih menyatukan sikap anti-Jepang
mereka. Mereka pada umumnya tidak percaya akan motivasi Jepang
dalam membela Indonesia. Mereka yang sering mendengar tentang
kekejaman Jepang di Tiongkok, menganggap kedatangannya akan
63
Siauw Giok Tjhan
memperburuk keadaan di Indonesia, seperti yang dialami di
Tiongkok.
Siauw Giok Tjhan yang aktif dalam gerakan Tjin Tjay Hwee selalu
mendukung pendapat Tjipto Mangunkusumo. Ia yakin bahwa
kehadirannya di Indonesia adalah bagian dari politik expansionisme
Jepang dan mereka akan mengganti Belanda sebagai penjajah
baru di Indonesia. Tulisan-tulisannya di Mata Hari menunjukkan
keyakinan ini, sehingga Mata Hari jelas mengambil posisi antiJepang dan menolak kedatangannya di Indonesia.
Akan tetapi tersebarnya ramalan Djojobojo yang populer
tentang akan datangnya “penyelamat” yang berasal dari bangsa
berkulit kuning, menyebabkan para pendukung Jepang di Indonesia
mendapatkan angin dalam meyakinkan banyak orang. Inilah yang
menyebabkan banyaknya sambutan hangat masyarakat luas ketika
pasukan Jepang memasuki Indonesia. Memang, dalam mingguminggu pertama setelah kedatangan Jepang, harapan akan adanya
perbaikan sangat dirasakan dan dukungan terhadapnya meningkat.
Mereka mengizinkan bendera merah putih untuk dikibarkan.
Penduduk Belanda dan Indo-Belanda pada umumnya ditahan dalam
kamp-kamp militer dan posisi-posisi mereka di berbagai perusahaan
dan administrasi penguasa diisi oleh orang-orang Indonesia. Tetapi
posisi-posisi tertinggi di dalam badan administrasi pemerintahan
(Hodohan), administrasi militer (Kenetsu-Han) dan satu-satunya
badan koordinasi surat kabar (Djawa Shin Bun) diisi oleh orangorang Jepang. Walaupun demikian, pekerjaan operasional seharihari tetap dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang dipilih oleh
penguasa Jepang1.
Mereka membebaskan banyak pemimpin nasionalis yang sudah
lama diasingkan oleh penguasa Belanda, diantaranya Soekarno,
Hatta dan Sjahrir. Mereka mempopulerkan Gerakan Tiga A (Jepang
adalah pemimpin, pembela dan penerang Asia) sebagai usaha
untuk men-justifikasikan kehadiran kekuasaan militer Jepang dan
1
J.K. Ray, Transfer of Power In Indonesia (1942-1949), Manaktals, Bombay, 1967, pp 31-32
64
Zaman Jepang dan Proklamasi
exploitasi materi yang dilakukannya2.
Akan tetapi harapan tinggi ini segera hilang ketika Jepang
memperlihatkan motivasi sesungguhnya, yaitu menjadi penjajah
baru di Indonesia. Begitu kekuasaan militer-nya terkonsolidasi,
mereka segera melarang pertemuan-pertemuan umum dan segala
bentuk demonstrasi. Pengibaran merah putih-pun dilarangnya.
Segala bentuk diskusi dan propaganda politik dilarang juga3.
Pada akhir tahun 1942, dimulailah fase kedua masa pendudukan
di mana peraturan dikeluarkan yang melarang secara drastis semua
kegiatan nasionalis yang pernah dijalankan secara resmi dan
dimulainya tekanan terhadap penduduk Indonesia secara kejam.
Rakyat Indonesia diharuskan untuk menunduk ke arah kerajaan
Jepang di Tokyo. Untuk orang beragama Islam ini merupakan
penghinaan karena posisinya bertolak belakang dengan posisi
Mekah. Tuntutan-tuntutan untuk menerima sumbangan dana,
baik dalam bentuk uang maupun hasil bumi dikeluarkan tanpa
memperdulikan akibat yang diderita oleh Rakyat setempat.
Tuntutan untuk menghasilkan hasil bumi kebutuhan militer Jepang
menyebabkan famine yang hebat di banyak daerah pedalaman.
Tuntutan ini harus dipenuhi tanpa kompensasi apapun dan
menimbulkan penderitaan yang menimbulkan kebencian terhadap
Jepang4.
Tekanan terhadap golongan Tionghoa yang pernah menunjukkan
sikap anti-Jepang juga sangat kejam. Sekitar 500 orang Tionghoa,
totok dan peranakan, termasuk para wartawan dan pimpinan
organisasi-organisasi Tionghoa lainnya ditahan bersama-sama
orang-orang Belanda di Cimahi, Jawa Barat. Mereka mendapatkan
perlakuan yang kejam dan mengalami siksaan-siksaan berat5.
Akan tetapi banyak peranakan yang berhasil melarikan diri
dan menghindari penangkapan bisa hidup bebas selama zaman
2
3
4
5
Ibid. p. 32
Dahm, History of Indonesia, p. 82
Ibid. p 83; Ray, Transfer of Power, pp 32-33
Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, p 105
65
Siauw Giok Tjhan
pendudukan Jepang. Tjoa Sik Ien bisa menetap di Surabaya dan
berpraktek sebagai dokter secara bebas. Tan Ling Djie berhasil
melarikan diri dan hidup di Tanggerang. Liem Koen Hian
tertangkap tapi berhasil dibebaskan setelah Soekarno membelanya
dan mengusahakan pembebasannya langsung dengan memohon
pada penguasa Jepang untuk membebaskannya6.
Beberapa hari sebelum Jepang masuk ke Semarang, Siauw
mengatur perpindahan isteri dan keluarganya dari Semarang
ke Pemalang. Ia menganggap Pemalang akan lebih aman untuk
mengungsi daripada menetap di Semarang. Ia sendiri tetap menjaga
kantor Mata Hari dan tetap menerbitkan surat kabar hariannya,
walaupun ia sadar bahwa Mata Hari pasti akan menjadi inceran
Jepang, karena sikap anti-Jepangnya yang mencolok. Ketika Jepang
masuk ke Semarang, ia mengambil keputusan untuk menutup
kantor Mata Hari dan segera berangkat melalui daerah pedalaman
dengan sepeda menuju ke Pemalang. Beberapa wartawan yang
tidak meninggalkan kota Semarang akhirnya ditangkap Jepang,
diantaranya Tjioe Kim Swie dan Tjoa Tjie Liang. Juga beberapa
anggota staf administrasinya, Han Tjiong Djien dan Yap Ping Tjie
ditahan. Mereka berempat dikirim ke kamp tahanan di Cimahi7.
Beberapa hari kemudian, ia sampai dengan selamat di Pemalang,
tetapi mendapati rumah yang seyogyanya ditinggali oleh keluarganya
telah hancur dan isinya dirampok oleh penduduk setempat. Ia
akhirnya berhasil menemui keluarganya yang ditampung oleh
seorang kawannya. Pemalang juga diduduki Jepang. Karena
merasa tidak bisa bekerja di Pemalang, ia memutuskan untuk pergi
ke Surabaya, di mana pamannya, Siauw Gwan Hok menetap dan
mempunyai toko serba ada.
Atas bantuan adiknya, Giok Bie, keluarga Siauw pindah ke
Surabaya dan tinggal di rumah pamannya yang dengan senang
hati menerima Siauw Giok Tjhan, yang segera ia kerjakan sebagai
6
7
Siauw, Lima Jaman, p 70
Surat Tjoa Tjie Liang pada penulis, Oktober 1991.
66
Zaman Jepang dan Proklamasi
pembantunya di toko serba adanya. Pamannya ini tidak mempunyai
anak dan mengharap Siauw bisa mengambil alih tokonya di hari
tuanya. Bekerjalah Siauw sebagai pedagang toko di Surabaya.
Penguasa Jepang ternyata tidak mencarinya di Surabaya, walaupun
Siauw tinggal di depan markas militer Jepang dan pernah beberapa
kali dipukuli tentara Jepang karena lupa memberi hormat ketika
melewati pasukan penjaga markas militer itu.
Akan tetapi nasib Siauw buruk. Tidak lama setelah ia menetap
di Surabaya, pamannya mendadak meninggal dunia. Keluarga isteri
pamannya segera bersikap harta pamannya harus jatuh kekeluarga
mereka walaupun sang paman jelas bermaksud mewariskannya
pada Siauw. Untuk menghindari pertikaian harta, Siauw mengambil
keputusan untuk meninggalkan Surabaya dan memulai hidup
barunya di kota Malang, tidak jauh dari Surabaya. Pada tahun 1943,
ia dengan seluruh keluarganya yang cukup besar (suami isteri dan
lima anak kecil - empat adik iparnya dan satu anak kandungnya
yang baru berumur satu tahun) pindah ke Malang.
Dengan modal yang pernah dikumpulinya ketika ia bekerja di
Mata Hari dan atas bantuan adiknya, ia membuka toko serba ada
kecil yang dinamakannya Tjwan-Tjwan-an (usaha beruntung) di
Malang. Toko ini menjual berbagai macam barang, dari permen
dan makanan kecil seperti manisan belimbing (yang Siauw sering
bercerita mempunyai rasa lebih enak dari korma) sampai pada
barang-barang cadangan sepeda. Siauw sejak kecil dilatih untuk
menjaga toko serba ada. Jadi ia cukup berpengalaman. Akan tetapi,
kali ini, untuk pertama kalinya, ia berfungsi sebagai pemilik toko.
Ternyata ia tidak berjiwa dagang.
Ia terlalu lunak menghadapi para pedagang yang men-supply
barang dagangan ke tokonya. Bilamana mereka terlambat
mengantarkan barang-barang yang sangat diperlukan, ia tidak
memberi sanksi atau mengganti mereka dengan pedagangpedagang lainnya yang lebih mampu. Bilamana kualitas barang
yang diterima kurang baik, ia tidak sampai hati untuk menolaknya
atau mengembalikannya tanpa membayar. Akibatnya, ia sering
67
Siauw Giok Tjhan
menanggung kerugiannya sendiri dan sering berhadapan dengan
pembeli yang tidak puas. Bila ini terjadi, ia selalu siap untuk
menerima barang kembali dan mengembalikan uang si pembeli.
Atau, kalau sedang bernasib buruk, seperti yang ia alami pada
waktu penjahitnya gagal mengantarkan baju yang dipesan oleh
seorang perwira Jepang pada waktu yang dijanjikan, ia harus
menerima siksaan berupa pukulan-pukulan yang keras. Si perwira
ternyata hanya berhenti memukulnya setelah ipar Siauw, Tan
Soen Eng, yang pada waktu itu baru berumur 11-an, menangis
karena ketakutan. Kadang-kadang ia juga terlalu lunak dalam
menangani pembelinya. Kalau mereka menyatakan tidak mampu,
ia menurunkan harga barang sampai di bawah ongkos. Terkadang,
ia memberikan barang-barang dagangannya dengan menghutangi
si pembeli, tetapi sering lupa atau tidak tega untuk menagihnya8.
Disamping sikapnya yang terlalu lunak terhadap para penjual
dan pembeli barang-barang dagangannya, Siauw, seperti kakeknya,
jauh lebih tertarik dalam berdiskusi politik dengan para teman
dekat yang sering berkumpul di tokonya. Ia sering menyuruh iparipar ciliknya, Tan Soen Eng dan Tan Soen Houw yang pada tahun
1943-an baru berumur 11 dan 7 tahun, untuk menjaga tokonya,
sehingga ia bisa berdiskusi dan melakukan berbagai kegiatan politik.
Hal seperti ini menyebabkan tokonya itu tidak menghasilkan
keuntungan yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya.
Tetapi mereka masih beruntung karena isteri Giok Bie, Tan Kiep
Nio, mempunyai kemampuan dalam mencari uang. Ia membuka
kapsalon rambut dan juga semacam coffee house di tempat tinggal
mereka di jalan Kayu Tangan, Malang. Keuntungannya cukup untuk
menghidupi dua keluarga yang besar itu. Dalam dua keluarga itu
terdapat empat orang dewasa dan sembilan anak-anak kecil.
Teman-teman yang sering datang untuk ngobrol di tokonya
termasuk Han Kang Hoen, seorang pemimpin masyarakat
Tionghoa Malang yang sangat dihormati orang, berumur 40-an,
8
Wawancara dengan Tan Soen Eng, Jakarta, Juli 1995; Wawan-
cara dengan Siauw Giok Bie, Juli 1990.
68
Zaman Jepang dan Proklamasi
Han Tik Djien, kawan baik sebaya Siauw dan Go Gien Tjwan, kawan
barunya dari Malang yang berumur 25-an. Dengan ketiga teman
ini, Siauw sering mengadakan diskusi-diskusi politik yang serius.
Teman-teman lamanya, seperti Liem Koen Hian yang pada waktu
itu menetap di Jakarta, Tjoa Sik Ien dari Surabaya dan Tan Ling
Djie yang menetap di Tanggerang, juga terkadang muncul untuk
berdiskusi. Di samping mereka, juga sering datang kawan-kawan
lain yang turut menjadi pendengar diskusi-diskusi politik itu,
termasuk adiknya, Giok Bie, Tan Hoo Lam dan Tan Hoo Kiet, Njoo
Soen Hian, Tan Kiek Liep dan Ong Hong Tiek. Dari kelompok yang
jauh lebih muda, Kho Thian Po, Tan Hwie Kiat dan Oey Hay Djoen
juga cukup sering datang berkunjung.
Go Gien Tjwan teringat bahwa dalam diskusi-diskusi ini,
Siauw sering menyatakan bahwa penduduk Tionghoa harus
siap menghadapi kekalahan Jepang dan juga harus bersiap siaga
bekerja sama dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk
mencapai kemerdekaan. Pemuda Tionghoa, menurut Siauw, tidak
boleh hanya menjadi penonton saja. Mereka harus berpartisipasi
dalam gerakan merebut kemerdekaan. Dalam diskusi-diskusi itu
Siauw berulang kali meyakinkan teman-temannya bahwa Indonesia
adalah tanah air penduduk Tionghoa di Indonesia dan harapan
untuk memperbaiki nasib hidupnya hanya bisa ditumpukan
di atas kemerdekaan dan berhasilnya pemerintah Indonesia
memakmurkan negara Indonesia yang baru9.
Kemampuan Siauw untuk mempengaruhi orang dan menarik
dukungan para teman dekatnya jelas nampak sejak zaman
penjajahan Belanda di Semarang. Di rumah kost-nya, ia berhasil
menarik beberapa pemuda, Oei Tjoe Tat dan Lie Tjwan Hie, sehingga
mereka menjadi pendukung setia-nya. Di Malang, waktu untuk
berdiskusi politik di toko Tjawn-Tjwan-an lebih banyak. Hampir
semua teman yang di sebut di atas kemudian menjadi pendukung
setia-nya di zaman kemerdekaan dan dalam mengembangkan
9
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1994
69
Siauw Giok Tjhan
Baperki.
Menjelang akhir tahun 1943, Penguasa Jepang membentuk
beberapa organisasi yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Yang
terpenting dari sekian banyaknya organisasi itu adalah PUTERA Pusat Tenaga Rakyat yang langsung dipimpin oleh Soekarno.
Pada tahun 1943, setelah parlemen Jepang mengumumkan
bahwa orang-orang Indonesia akan diajak untuk berpartisipasi
dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, dibentuklah
sebuah Komite Pusat (Tjuo Sangi-In) dan cabang-cabangnya di
daerah-daerah (Sangi-Kai). Komite Pusat ini juga diketuai oleh
Soekarno dan beranggotakan banyak pemimpin nasionalis. Tugas
utamanya adalah memberi pendapat-pendapat dan pertimbangan
kepada penguasa Jepang10.
Jepang mengakui bahwa penduduk Tionghoa bisa memainkan
peranan penting di Indonesia. Oleh karenanya, mereka bekerja
keras untuk mengurangi dukungan masyarakat Tionghoa terhadap
pemerintah Tiongkok yang pada waktu itu dipimpin oleh Chiang
Kai Shek dan mencoba menghimbau penduduk Tionghoa untuk
mendukung pemerintah Tiongkok yang dibentuk oleh Jepang di
Manchuria, yang dipimpin oleh Wang Chi Wei11.
Untuk memperkuat dukungan masyarakat Tionghoa terhadap
Jepang, pada bulan Juli 1942, mereka membentuk Hua Chiao Tsung
Hui (Federasi Persatuan Tionghoa atau Kakyo Shokai). Dalam waktu
beberapa bulan, organisasi ini dibentuk di semua kota-kota besar di
seluruh Indonesia. Hanya organisasi ini yang boleh dibentuk untuk
orang Tionghoa dan untuk pertama kalinya penduduk totok dan
peranakan dipaksakan untuk berkumpul dalam satu organisasi.
Pimpinan Kakyo Shokai dipilih oleh masyarakat Tionghoa
sendiri tetapi harus disetujui oleh penguasa militer Jepang.
Berbeda dengan organisasi-organisasi Tionghoa sebelum Jepang
masuk, pemimpin-pemimpin yang terpilih untuk Kakyo Shokai
bukan pedagang-pedagang yang kaya raya. Pada umumnya mereka
10
11
Ray, Transfer of Power, pp 89-91
Somers, Peranakan Chinese Politics, pp 104-105
70
Zaman Jepang dan Proklamasi
terpilih karena dianggap mampu untuk mewakili masyarakatnya.
Perhitungannya pada zaman ini bukan hanya karena kekayaannya.
Di Solo, yang dipilih adalah Ong Siang Tjoen, pemilik pabrik rokok
kretek yang ternama. Di Bandung, Yap Tjwan Bing, seorang apoteker
yang terpilih. Di Malang, yang diangkat menjadi ketua Kakyo Shokai
adalah Han Kang Hoen, pedagang kelas menengah yang terkenal
mahir dalam bernegosiasi dengan berbagai kelompok nonTionghoa12. Pada umumnya, yang diangkat menjadi ketua adalah
orang-orang peranakan, karena biasanya pada waktu itu, mereka
lebih berpendidikan tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang
totok.
Kakyo Shokai memang cukup berguna dalam mempersatukan
kedua kelompok dalam masyarakat Tionghoa -- peranakan dan
totok. Tetapi secara langsung, ia telah mengisolasi masyarakat
Tionghoa dari masyarakat Indonesia umumnya. Memang rupanya,
inilah tujuan utama dari penguasa Jepang, untuk menghindari
kesatuan dalam tubuh perlawanan terhadap dirinya di Indonesia.
Usaha memecahkan persatuan antara masyarakat Tionghoa dan
masyarakat Indonesia diteruskan juga dalam program sosial dan
pendidikannya. Penguasa Jepang memaksa orang Tionghoa untuk
mempelajari kebudayaan Tionghoa dan menanggalkan segala
sesuatu yang bersifat Belanda. Mereka dipaksa untuk belajar
bahasa Tionghoa. Semua toko-toko harus mempunyai nama-nama
Tionghoa dengan huruf-huruf Tionghoa pula. Sekolah-sekolah
Belanda ditutup dan mereka dilarang untuk menggunakan bahasa
Belanda. Nama-nama Belanda yang pada umumnya digunakan
oleh para pemuda-pemudi yang berpendidikan Belanda tidak
boleh lagi digunakan. Semua anak Tionghoa diharuskan belajar di
sekolah-sekolah Tionghoa. Untuk itu, sekolah-sekolah THHK yang
tadinya ditutup, dibuka kembali dan pengawasannya ditugaskan
pada Kakyo Shokai-Kakyo Shokai13.
Walaupun Kakyo Shokai dilarang bergerak dalam bidang politik,
12
13
Siauw, Lima Jaman, p 72
Ibid. pp 71-72; Somers, Peranakan Chinese Politics, p 108
71
Siauw Giok Tjhan
organisasi ini bisa menjadi sebuah kekuatan yang berguna dalam
membantu penguasa militer Jepang untuk memperkuat barisan
militernya. Seperti rekan-rekannya di PUTERA, para ketua Kakyo
Shokai ditugaskan untuk mengumpulkan dana dari masyarakatnya
untuk menunjang operasi militer Jepang. Mereka sering dipaksa
untuk mengumpulkan perhiasan dan barang berharga lainnya dari
masyarakat Tionghoa. Untungnya, mereka tidak ditugaskan untuk
mencari tenaga yang kemudian dijadikan budak-budak Jepang
dalam program yang mereka namakan Romusha program14.
Akan tetapi, seperti yang dicapai oleh rekan-rekan PUTERA, para
ketua Kakyo Shokai ini bisa juga mengusahakan berbagai perbaikan
nasib untuk masyarakat yang diwakilinya. Yap Tjwan Bing, ketua
Kakyo Shokai di Bandung misalnya, berhasil memperbaiki kondisi
dari para tahanan Tionghoa yang ditahan di kamp Cimahi15.
Ketika Tjoo Sangi Kai (Dewan Penasehat) dibentuk pada
tahun 1943 yang dipimpin oleh Soekarno dan beranggotakan
para pemimpin nasionalis yang ternama, beberapa pemimpin
masyarakat Tionghoa yang ternama juga dipilih sebagai anggotanya.
Yang terpilih adalah Oei Tjong Houw (pemilik dari perusahaan
raksasa Oei Tiong Ham), Oei Tiong Tjioe (seorang wartawan yang
diizinkan untuk menerbitkan harian Hong Po di Jakarta dalam
zaman pendudukan Jepang), Yap Tjwan Bing ( ketua Kakyo Shokai
Bandung) and Liem Koen Hian bekas ketua PTI yang menetap
di Jakarta. Dua dari mereka ini kemudian dipilih untuk menjadi
anggota-anggota dari Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia
pada bulan April 1945 (Yap Tjwan Bing and Liem Koen Hian)16.
Di Malang, seperti dituturkan di atas, ketua Kakyo Shokai
adalah Han Kang Hoen. Akan tetapi, yang memainkan peranan dan
mengisi kepemimpinan organisasi ini sebenarnya adalah Siauw
Giok Tjhan, yang pada waktu itu telah berumur 30-an. Siauwlah yang menentukan strategi perundingan dengan penguasa
Jepang dan permintaan-permintaan apa yang harus ditonjolkan
14
15
16
Ibid. p 73
Ibid. p 72
Ibid. p 73; Somers, Peranakan Chinese Politics, p 109
72
Zaman Jepang dan Proklamasi
untuk memperbaiki nasib masyarakat Tionghoa di Malang. Siauw,
walaupun lebih muda dari Han, jauh lebih berpengalaman dalam
menghadapi masalah masyarakat, karena pengalamannya di
zaman gerakan Tjin Tjay Hwee. Ia juga lebih berpengalaman dan
mahir dalam memimpin rapat-rapat dan meyakinkan orang untuk
menerima pendapat-pendapatnya. Pada akhirnya, penduduk
Tionghoa di Malang mengakui dan menganggap Siauw sebagai
wakil dan pimpinannya17.
Pembentukan Badan-Badan para-militer
Pada tahun 1943, penguasa Jepang menganggap perlunya
dibentuk badan-badan yang terlatih untuk membantu kekuatan
militernya dalam menghadapi kekuatan militer musuh. Dibentuklah
barisan Seinendan (Barisan Pemuda) dan Keibodan (Barisan
Pertahanan). Untuk Seinendan, anggotanya berumur dari 14 tahun
sampai 25 tahun dan untuk Keibodan dari 20 tahun sampai 35
tahun. Tugas utama kedua barisan ini adalah membantu penguasa
Jepang untuk mempropagandakan program militer mereka dan
membantu penguasa militer untuk mengamankan kota-kota dan
daerah pedalaman. Pemuda Tionghoa dilarang untuk masuk ke
Seinendan, tetapi diizinkan masuk ke Keibodan. Tidak jelas apa
yang menyebabkan perbedaan ini18.
Pada tahun 1944, beberapa bulan setelah PETA (Pembela Tanah
Air) dibentuk sebagai angkatan tambahan yang beranggotakan
para pemuda Indonesia, para ketua Kakyo Shokai diperintahkan
untuk membentuk Kebotai (Barisan Pengaman Tionghoa) di kota
masing-masing. Senjata juga disediakan untuk para Kebotai ini.
Kebijakan ini disambut dengan hangat oleh masyarakat Tionghoa
yang menganggap kehadiran Kebotai yang beranggotakan pemuda17
18
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989, Go Gien Tjwan , December 1991 dan Oey Hay Djoen, November 1997
Benedict Anderson, Java, In Time Of Revolution, Cornell Uni
versity Press, 1972, pp 26-27
73
Siauw Giok Tjhan
pemuda Tionghoa ini pada akhirnya akan membantu masyarakat
Tionghoa untuk menghadapi kelompok-kelompok seperti
Hizbullah, Seinendan dan Keibodan yang sering merampok dan
mengganggu keamanan mereka.
Di Malang, Han Kang Hoen mengangkat Thio Kong An sebagai
Kebotai-Choo (Kepala Kebotai) dan Siauw Giok Tjhan sebagai
wakilnya (Fu Kebotai-Choo). Thio, beberapa tahun lebih tua
dari Siauw, adalah kepala kepanduan Tionghoa di Malang, yang
berpengalaman dalam berbagai latihan lapangan. Thio dan
Siauw dikirim ke Tanggerang untuk memperoleh latihan militer
yang intensif. Tetapi beberapa bulan kemudian, Thio meletakkan
jabatannya karena merasa khawatir dengan tekanan yang ia akan
alami dalam menghadapi kebutuhan masyarakat Tionghoa dan
melawan kekuatan-kekuatan pemuda lainnya. Han Kang Hoen
segera meminta Siauw untuk menggantikannya sebagai KebotaiChoo19. Anehnya, pihak Jepang tidak khawatir dengan pengaruh
Siauw yang di zaman sebelum Jepang masuk pernah aktif dalam
gerakan anti-Jepang dan bahkan sering menulis karangan yang
mengajak pembaca surat kabar Mata Hari untuk melawan Jepang.
Ada kemungkinan, kawan baik isteri Siauw yang bersuamikan
orang Jepang, Jendral Matsuda yang juga bertugas di Malang pada
waktu itu, memainkan peranan penting dalam melindungi Siauw.
Setiap pemuda Tionghoa yang berumur dari 20 tahun sampai 35
tahun diharuskan masuk Kebotai dan dilatih untuk siap bertempur
dan mengamankan kotanya. Setiap orang harus melalui latihan
militer selama dua atau tiga minggu. Setelah latihan intensif
selesai, mereka setiap hari harus tetap berkumpul untuk latihan
selama dua sampai tiga jam. Setelah berlatih, mereka juga sering
ditempa dengan indoktrinasi politik dan militer Jepang yang
mempropagandakan kekuasaan militernya.
Sambil memimpin Kebotai, Siauw juga banyak berhubungan
dengan pimpinan barisan-barisan pemuda lainnya, Seinendan,
19
Siauw, Lima Jaman, p ; Wawancara dengan Oey Hay Djoen , Jakarta, November 1997
74
Zaman Jepang dan Proklamasi
Keibodan dan juga beberapa organisasi anti Jepang dibawah tanah
lainnya. Tujuan utama kontak-kontak ini adalah menjamin adanya
kerja sama yang baik dan mencegah diadu dombanya kekuatankekuatan pemuda yang sudah dilatih dan dipersenjatai. Siauw
menekankan bahwa musuh utama adalah Jepang dan seharusnya
semua kekuatan bersatu melawan dan melucuti senjata pasukan
Jepang ketika waktunya sudah tiba. Pada saat itu, Siauw sudah yakin
bahwa Jepang akan kalah dan kesempatan untuk memerdekaan
Indonesia akan datang dengan takluknya Jepang menghadapi the
Allied Forces.
Kontak-kontak dengan gerakan Tionghoa totok di bawah tanah
yang beroperasi di Jawa Timur tetap diadakan oleh Siauw. Kegiatan
Siauw di Tjin Tjay Hwee menyebabkannya ia mempunyai hubungan
baik dengan kelompok totok dan memperoleh kepercayaan. Kontak
ini membawa Siauw ke Tan Kah Kee, seorang tokoh gerakan antiJepang Singapura yang sedang bersembunyi di Batu, kota kecil di
daerah pegunungan tidak jauh dari Malang.
Tan, berumur 55 pada tahun 1943, memang ternama di Asia
Tenggara sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa di Malaya dalam
melawan Jepang. Ia mempunyai hubungan baik dengan pimpinan
Partai Komunis Tiongkok dan kehadirannya di Jawa Timur
merupakan tanda bahwa kegiatan anti Jepang di bawah tanah
cukup aktif di Jawa Timur20.
Siauw memperoleh banyak informasi dari Tan Kah Kee tentang
kepemimpinan Mao Tse Tung dan darinya juga memperoleh banyak
petunjuk dalam menghadapi penguasa Jepang. Tan mendukung
pandangan Siauw bahwa Jepang akan menyerah dalam waktu dekat
dan upaya harus dibuat untuk mencegah timbulnya pertumpahan
darah antar kelompok-kelompok yang telah dilatih dan disenjatai.
Inilah yang mendorong Siauw untuk menghubungi pimpinan
Seinendan dan Keibodan di Jawa Timur21. Pertemuan-pertemuan
20
21
Untuk mengetahui secara mendetail tentang Tan Kah Kee di Indonesia, baca C.F.Young , Tan Kah Kee, The Making of An Overseas Chinese Legend, Singapore Oxford University Press, 1987, pp 280-291
Siauw, Lima Jaman, p 75
75
Siauw Giok Tjhan
ini yang diselenggarakan dengan tokoh-tokoh seperti Mustopo,
Soedisman, Soemarsono dan Roeslan Abdulgani menghasilkan
pengertian dan persetujuan bahwa kelompok-kelompok muda
yang telah terbentuk akan saling bekerja sama dan tidak berperang.
Siauw memperoleh jaminan bahwa kelompok-kelompok bersenjata
yang dipimpin oleh para pemimpin ini tidak akan mengganggu atau
menyerang masyarakat Tionghoa22.
Siauw tetap menganjurkan pengikutnya untuk senantiasa
bekerja bahu membahu dengan pihak yang berjuang untuk
memerdekakan Indonesia. Pada waktu yang bersamaan ia mulai
melakukan diskusi-diskusi dengan para temannya membicarakan
bentuk negara apa Indonesia harus dibentuk dan Undang-Undang
apa yang harus diperjuangkan untuk menjamin penyelesaian yang
bijaksana untuk golongan minoritas Tionghoa.
Pada waktu yang bersamaan, pasukan Allied Forces semakin
kuat dan memenangkan pertempuran-pertempurannya melawan
pasukan Jepang di berbagai negara. Untuk memperoleh dukungan
yang lebih luas di Indonesia, pihak penguasa Jepang terlihat
mempercepat proses persiapan untuk mencapai kemerdekaan.
Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menyatakan
bahwa pemerintah Jepang serius untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada bulan Mei 1945, pemerintah Jepang membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini yang
dipimpin oleh Soekarno beranggotakan 63 orang, diantaranya Liem
Koen Hian dan Yap Tjwan Bing.
Liem Koen Hian bergerak cepat menghubungi teman-teman
seperjuangannya untuk memformulasi pernyataan-pernyataan
yang ia harus buat dalam panitia ini. Ia menghubungi pimpinan
PTI dan sebelum kongres pertama dari PPKI (28 Mei - 1 Juni 1945),
22
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, December 1991 dan Soemarsono, Januari 1992
76
Zaman Jepang dan Proklamasi
Liem Koen Hian berkali-kali pergi ke Surabaya untuk bertemu
dengan Tan Ling Djie yang datang dari Tanggerang, Tjoa Sik Ien
yang memang tinggal di Surabaya dan Siauw Giok Tjhan yang datang
dari Malang. Pertemuan-pertemuan yang diadakan di rumah Tjoa
Sik Ien ini menghasilkan beberapa butir pikiran yang menjadi dasar
pidato Liem dalam rapat PPKI pertama itu. Keputusan ke empat
tokoh peranakan Tionghoa itu dapat disimpulkan sebagai berikut
23
:
a.
Nasionalisme Indonesia tidak boleh berkembang
menjadi Chauvinisme.
b.
Hanya boleh ada satu macam kewarganegaraan
Indonesia dan harus dijamin bahwa setiap warga negara
mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Diskriminasi Rasial
harus ditumpas habis.
c.
Undang-Undang yang dibuat harus menjamin bahwa
pemerintah menaruh kepentingan Rakyat di atas segalanya.
d.
Masyarakat Tionghoa tidak mendirikan organisasi
politik yang didasari atas kelompok etnis. Orang-orang Tionghoa
harus didorong untuk berpartisipasi dalam gerakan-gerakan
politik sebagai anggota-anggota dari berbagai organisasi
nasional.
e.
Partisipasi dalam bidang politik dan sosial harus
dilakukan tanpa menanggalkan ke-Tionghoaan dan tradisi
serta kebudayaan Tionghoa. Bahasa yang harus dikembangkan
dalam masyarakat Tionghoa adalah bahasa Indonesia.
Pada waktu Liem Koen Hian berpidato pada tanggal 1 Juni 1945,
butir-butir di atas itulah yang diungkapkan sebagai dasar formulasi
permintaannya untuk dimasukkan ke dalam jiwa dan isi UndangUndang Dasar negara Indonesia. Dalam pidato Soekarno pada
tanggal yang sama, yang kemudian lebih dikenal sebagai pidato
kelahiran Pancasila, ia menjawab beberapa pertanyaan Liem Koen
Hian dan menegaskan bahwa Kebangsaan Indonesia tidak akan
berkembang menjadi Chauvinisme.
23
Siauw, Lima Jaman, pp 81-88
77
Siauw Giok Tjhan
Proklamasi Kemerdekaan
Ketika kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta
pada tanggal 17 Agustus 1945, Han Kang Hoen dan Siauw Giok
Tjhan segera bergerak untuk memobilisasi dukungan masyarakat
Tionghoa terhadap berdirinya negara Republik Indonesia. Akan
tetapi mereka mendapati upaya memobilisasi masyarakat Tionghoa
itu sebagai hal yang sulit untuk dilaksanakan. Mengapa demikian?
Pendudukan Jepang telah menghasilkan kemiskinan yang
parah. Seperti yang dituturkan sebelumnya di berbagai daerah,
famine dialami oleh penduduk Indonesia, yang menimbulkan
kelaparan yang merusak kesehatan. Juga seperti yang dituturkan
sebelumnya, pihak penguasa Jepang telah mengkotak-kotak
masyarakat Indonesia berdasarkan latar belakang etnisnya.
Golongan Tionghoa terutama, telah dipisahkan secara sistimatis
dari masyarakat Indonesia.
Hancurnya kekuatan militer Jepang diikuti dengan jatuhnya
kekuasaan militer di semua daerah ke tangan para pemuda yang
berada dalam barisan-barisan yang dibentuk Jepang, seperti PETA,
Seinendan, Keboidan. Disamping itu, para pemuda Indonesia juga
dengan cepat membentuk barisan-barisannya sendiri. Banyak dari
mereka ini merampas senjata dari pasukan Jepang yang menyerah.
Akibatnya, para barisan pemuda ini memiliki persenjataan yang
ditinggalkan atau dirampas dari Jepang. Sayangnya, banyak dari
barisan pemuda ini tidak disiplin dan terdorong untuk melakukan
perampokan-perampokan dan penganiayaan terhadap golongan
yang dianggap berkhianat terhadap Rakyat Indonesia. Masyarakat
Tionghoa menjadi sasaran mereka. Banyak yang dirampok,
diananiaya bahkan dibunuh dengan kejam oleh pasukan-pasukan
bersenjata pemuda ini.
Dalam beberapa bulan pertama setelah proklamasi, para
pemimpin masyarakat Tionghoa juga harus menghadapi gerakan
yang dinamakan San Min Chu I Ching Nien Thoan (Pemuda San Min
Chu I). Mereka mencari para pemimpin Tionghoa yang dianggapnya
78
Zaman Jepang dan Proklamasi
pernah berkolaborasi dengan penguasa Jepang dan menculiknya
untuk kemudian disiksa, bahkan dibunuh. Para ketua Kakyo Shokai
dan Kebotai juga dimasukkan ke dalam daftar orang yang harus
ditangkap. Organisasi ini dipimpin oleh pemuda-pemuda totok
radikal yang di zaman pendudukan bekerja di bawah tanah dalam
gerakan melawan Jepang. Hubungan baik yang dimiliki oleh Siauw
dengan kelompok totok di Jawa timur memungkinkan Siauw untuk
menyelamatkan para pimpinan Kakyo Shokai dan Kebotai di Jawa
Timur, terutama Surabaya dan Malang, sehingga tidak ada korban
yang jatuh di sana24.
Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Kakyo ShokaiKakyo Shokai dibubarkan. Di Malang, Han Kang Hoen dan Siauw
Giok Tjhan membentuk Hua Chiao Tse An Hui (Badan Pengaman
Tionghoa) pada bulan September untuk mengkonsolidasi
pengaruhnya di dalam masyarakat Tionghoa di kota itu dan
menjamin adanya wadah yang bisa mewakili dan membela
kepentingan masyarakat Tionghoa dalam menghadapi berbagai
macam kekacauan.
Menjelang Oktober 1945, pasukan Belanda mulai masuk kembali
ke Indonesia dan banyak orang Tionghoa mengharapkan bahwa
negara RI yang dibentuk setelah proklamasi Soekarno-Hatta itu
akan berakhir dan kekuasaan penjajahan Belanda kembali. Setelah
mengalami berbagai macam kekacauan dan kejahatan-kejahatan,
sebagian besar dari masyarakat Tionghoa tidak memiliki keyakinan
bahwa negara RI akan melindungi mereka. Siauw sangat khawatir
melihat perkembangan ini. Yang ia khawatirkan tentunya adalah
berkembangnya persepsi di kalangan pemuda Indonesia bahwa
masyarakat Tionghoa tidak mendukung kemerdekaan bahkan
mendukung usaha mengembalikan sistim penjajahan Belanda.
Untuk mengurangi dampak negatif ini, Siauw membentuk
Angkatan Muda Tionghoa (AMT) di Malang untuk menunjukkan
masyarakat umum bahwa penduduk Tionghoa tidak hanya
24
Siauw, Lima Jaman, pp 76-77; Wawancara dengan Oey Hay Djoen, Desember 1997
79
Siauw Giok Tjhan
menonton tetapi aktif dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai ketua dipilih Siauw Giok Bie, yang memilki figur yang
sangat dibutuhkan, yaitu berpengalaman dalam gerakan lapangan
dan mampu berhubungan dengan pimpinan-pimpinan laskar
pemuda yang bersenjata. Siauw sendiri tetap berada di belakang
layar mengisi kepemimpinan organisasi dengan memberi petunjukpetunjuk dan menentukan strategi organisasi25.
Pembentukan AMT menimbulkan sebuah dilema, yaitu apakah
AMT dan para anggotanya juga harus dipersenjatai supaya bisa
dengan efektif melawan tindakan-tindakan yang tidak tepat
dari laskar-laskar pemuda. Siauw Giok Bie cenderung untuk
mempersenjatai AMT. Ia sendiri sudah berhasil merampas pistol
dan senapan dari Jepang. Sikap Giok Bie ini didukung oleh sebagian
besar anggota AMT.
Siauw tetapi berbeda pendapat. Baginya AMT akan lebih efektif
kalau bekerja sama dengan para laskar pemuda dan meyakinkan
para pemimpinnya untuk tidak mengganggu masyarakat Tionghoa,
bahkan membela kepentingannya. Menurutnya, kalau AMT
bersenjata, ia bisa saja terlibat dalam pertempuran-pertempuran
yang malah merugikan AMT dan golongan Tionghoa secara
keseluruhan. Ia menyatakan bahwa tugas utama AMT bukan
untuk bertempur, karena ini pasti tidak akan bisa dipenuhi dengan
baik karena jumlah anggotanya terbatas. Baginya, tugas utama
AMT adalah mendidik masyarakat Tionghoa untuk mendukung
kemerdekaan RI dan mendidik para pimpinan Laskar pemuda
bahwa musuh utama mereka bukan golongan Tionghoa. Akhirnya,
pendapat Siauw diterima oleh para pendukungnya26.
Dengan bantuan BKR (Badan Keamanan Rakyat), badan yang
dibentuk sebelum Angkatan Darat dengan resmi dibentuk, AMT
berhasil menjamin lancarnya keluar masuknya pelarian-pelarian
25
26
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1992 dan Siauw Giok Bie, Mei 1989
Siauw, Lima Jaman, pp 77-78; Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989
80
Zaman Jepang dan Proklamasi
Tionghoa dari Surabaya ke Malang. AMT juga berhasil meyakinkan
banyak pimpinan laskar pemuda di Jawa Timur untuk membebaskan
para tahanan Tionghoa yang ditahan karena dianggap berhianat dan
juga menghentikan berbagai tindakan merampok dan menganiaya
golongan Tionghoa.
Pada bulan Oktober 1945, Sutomo, yang lebih dikenal sebagai
Bung Tomo, berumur 27 tahun, dan kepala BPRI (Barisan
Pembrontak Rakyat Indonesia) muncul sebagai tokoh yang sangat
berpengaruh di Jawa Timur. Pidato-pidatonya membakar semangat
pemuda untuk melawan pasukan-pasukan Inggris dan Belanda.
Karena pidato-pidatonya yang didengungkan melalui radio itu
ternyata berhasil mempertinggi daya juang kaum pemuda, Bung
Tomo juga mendapat julukan jendral radio. Sayangnya, pidatopidato Bung Tomo mengandung pernyataan-pernyataan antiTionghoa.
Tema-tema anti-Tionghoa ini tentunya mempersulit posisi
Siauw dan kelompoknya dalam upaya meyakinkan golongan
Tionghoa untuk tetap mendukung Republik Indonesia. Bagaimana
ia bisa meyakinkan mereka untuk mendukung gerakan yang
mengkonsolidasi kemerdekaan kalau gerakan-gerakan itu justru
mengandung sikap anti-Tionghoa yang bermanifestasi kekejaman
terhadap golongan Tionghoa? Untuk mengurangi dampak negatif
dari pidato-pidato Bung Tomo, Siauw mendorong Go Gien Tjwan,
juru bicara AMT untuk menyiarkan pidato-pidatonya pada waktu
yang hampir bersamaan. Atas bantuan Radio Malang, Go Gien
Tjwan bisa menyiarkan suaranya 15 menit sebelum Bung Tomo
mendengungkan agitasi-nya. Di dalam siarannya, Go menegaskan
bahwa musuh utama Rakyat Indonesia adalah Belanda, bukan
golongan Tionghoa. Go juga menyatakan bahwa masyarakat
Tionghoa di Indonesia juga menjadi korban dari penjajahan Belanda
dan tidak menghendaki penjajahan Belanda itu kembali. Siauw
dan kawan-kawannya pergi menemui Bung Tomo untuk mengubah
sikapnya terhadap golongan Tionghoa. Tetapi bung Tomo tidak bisa
diyakinkan. Walaupun ia menyatakan bahwa ia selalu siap untuk
81
Siauw Giok Tjhan
bekerja sama dengan Siauw dan AMT, karena menganggap mereka
sebagai sumbangan positif dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, ia masih menganggap bahwa sebagian besar masyarakat
Tionghoa mempunyai sikap yang berbeda27.
Menjelang akhir bulan Oktober 1945, Siauw memimpin delegasi
pemuda Tionghoa untuk menemui Bung Tomo dan tokoh-tokoh
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman
di Nangka Jajar, sebuah kota kecil yang terletak di antara Surabaya
dan Malang. Di dalam pertemuan ini, Siauw menegaskan betapa
pentingnya kerja sama antara AMT dan kelompok-kelompok
pemuda Indonesia diteruskan untuk mengamankan keadaan di
Jawa Timur dan menghilangkan kesan bahwa laskar-laskar pemuda
itu perampok. Siauw menyatakan bahwa bantuan materi para
pedagang Tionghoa sangat dibutuhkan pemerintah baru dan untuk
menjamin bantuan itu terus datang, perampokan-perampokan yang
dilakukan oleh para laskar pemuda harus segera dihentikan. Siauw
juga menyatakan bahwa ia menganjurkan para pemuda Tionghoa
untuk masuk ke BPRI dan Pesindo untuk turut berpartisipasi
secara aktif di dalamnya28. Atas inisiatif ini, ada beberapa pemuda
Tionghoa yang aktif dalam BPRI dan Pesindo, yang paling terkenal
adalah Gam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Yang belakangan
ini ternyata menjadi orang yang tampil di garis depan sambil
memegang bendera Kuo Min Tang dalam foto-foto bersejarah yang
menggambarkan pertempuran pada hari Pahlawan 10 November
194529.
Kemahiran Siauw sebagai seorang mediator memungkinkannya
menyelamatkan jiwa para wanita dan anak-anak Belanda yang
ditahan dalam sebuah kamp di Malang. Siauw mendengar bahwa
27
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, May 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1992
28
29
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989
Siauw, Lima Jaman, pp 79-80; Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei1989
82
Zaman Jepang dan Proklamasi
kepala BPRI setempat memutuskan untuk memblokir supply
makanan ke kamp tersebut untuk menghukum para tahanan
Belanda. Siauw segera menemui kepala BPRI setempat itu dan
meyakinkan mereka bahwa tindakan demikian tidak bijaksana
bahkan merusak martabat RI di mata internasional. Atas bantuan
Mayor Malang, Sunarko, Siauw malah berhasil mendapatkan
tambahan makanan dan obat-obatan untuk para tahanan wanita
dan anak-anaknya itu30.
Dalam waktu yang bersamaan, Siauw membentuk Palang Biru
di Malang, yang beranggotakan bekas anggota-anggota Kebotai.
Sebagai ketua, Siauw memilih Tan Sie Liep. Tugas utama Palang
Biru ini adalah membantu para korban pertempuran di garis
depan. Mereka juga ditugaskan untuk mengumpulkan obat-obatan
dan mengirimkannya ke garis depan. Palang Biru berhasil memilki
beberapa kendaraan yang dilengkapi dengan alat-alat para medis.
Siauw Giok Bie juga aktif di dalamnya dan jasanya diakui oleh
Soekarno yang memberinya bintang penghargaan atas jasa-jasanya
pada akhir 1945 di Jakarta dalam mengumpulkan obat-obatan dan
pengirimannya ke garis depan31.
Setelah Jendral Mallaby mati tertembak di Surabaya pada tanggal
29 Oktober 1945, keadaan menjadi genting. Ultimatum Mayor
Jendral Mansergh pada tanggal 9 November 1945 menyebabkan
kekuatan pihak Indonesia bersiap-siap untuk melawan kekuatan
Inggris yang didukung oleh allied Forces di Surabaya. Laskarlaskar pemuda Indonesia tidak bersedia untuk menyerah. Siauw
memobilisasi para pengikutnya dari AMT dan Palang Biru di
Malang untuk berangkat ke Surabaya, untuk turut bertempur dan
membantu para korban pertempuran di sana pada tanggal 10
November. Siauw dan adiknya Giok Bie bersama beberapa rekan
lainnya, termasuk Go Gien Tjwan dan Tan Hoo Kiet berada di medan
pertempuran pada tanggal 10 November, yang kemudian di kenal
30
31
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1992
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989
83
Siauw Giok Tjhan
sebagai hari pahlawan32.
Siauw tetap merasakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama
pemuda-nya harus terus didorong untuk tidak menjadi penonton
upaya mengkonsolidasi kemerdekaan. Pada bulan Januari 1946,
Siauw dibantu oleh The Tjing Djien, Go Gien Tjwan dan Tjoa Kian Bo
menyelenggarakan kongres pemuda Tionghoa seluruh jawa Timur
di Selecta, dekat Malang. Kongres ini dihadiri oleh 74 peserta dari
23 kota di Jawa Timur. Siauw berhasil pula mengundang beberapa
tokoh peranakan yang terkenal untuk memberi sambutan, di
antaranya Oey Yong Tjioe, seorang pengacara terkenal dari Malang,
Yap Hong Po, ketua Chung Hua Hui di Yogyakarta, Kwa Tjwan Sioe,
tokoh peranakan yang dihormati pejuang kemerdekaan dari Jakarta
dan seorang wakil konsul jendral Tiongkok, Lin Chi Ming.
Di dalam kongres ini Siauw menyerukan perlunya komunitas
Tionghoa mendukung RI dan turut berpartisipasi dalam upaya
mengkonsolidasinya. Keluhan dan kecaman terhadap laskar-laskar
bersenjata yang merugikan komunitas Tionghoa disambut dengan
berbagai penjelasan positif dan membangun. Akhirnya kehendak
Siauw untuk mengeluarkan sebuah pernyataan yang tegas
mendukung RI dan menerima Indonesia sebagai tanah air berhasil
dikeluarkan sebagai sebuah keputusan bulat kongres tersebut.
Kongres tersebut juga mendirikan Federasi Hua Chiao Tsing
Nien Hui Jawa Timur, yang diketuai oleh Siauw dan Liem Chong An.
Federasi pemuda yang menyatukan kelompok totok dan peranakan
ini menginginkan dibentuknya sekolah-sekolah untuk mereka yang
tidak mampu membayar uang sekolah, pembentukan study clubs
yang diselenggarakan untuk memberi pendidikan politik kepada
generasi muda Tionghoa dan pengumpulan dana dan tenaga
pemuda Tionghoa yang bisa dilatih untuk berkecimpung dalam
pertolongan pertama di medan-medan pertempuran.
Rupanya, Federasi ini sangat tergantung atas keterlibatan dan
pimpinan langsung Siauw. Kegiatan politik Siauw dalam kancah
32
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1992
84
Zaman Jepang dan Proklamasi
nasional, dimulai dari keanggotaan KNIP dan Badan Pekerja-nya dan
juga keaktifannya sebagai pimpinan Partai Sosialis, menyebabkan
Federasi yang telah dibentuk ini tidak bisa berkembang. Setelah
Siauw pindah dari Malang ke Yogyakarta pada awal 1947, Federasi
ini tidak lagi aktif.
Pada bulan Januari 1946, Siauw mulai berkecimpung dalam
bidang yang ia tekuni, yaitu jurnalistik. Ia berpendapat, perlu
diselenggarakan publikasi untuk masyarakat Tionghoa untuk
mendorongnya mendukung RI. Dengan bantuan Go Gien Tjwan,
Han Tik Djien dan The Siauw Giap, ia memimpin majalah mingguan
yang dinamakan Pemoeda. Ini disebar luaskan di Jawa Timur,
dengan Malang dan Surabaya sebagai target utama.
Pada waktu yang bersamaan, bersama dengan Tan Sien Giok,
anggota keluarga pemilik Paragon Press di Malang, Siauw mulai
menerbitkan majalah mingguan lain yang dinamakan Liberty.
Kalau Pemoeda ditujukan untuk masyarakat pemuda Tionghoa,
Liberty ditujukan ke masyarakat umum Tionghoa. Kedua Majalah
ini diterbitkan oleh Paragon Press.
Siauw banyak menulis di kedua majalah ini. Di samping
himbauan untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan
mendukung kemerdekaan RI, Ia banyak melaporkan berbagai
upaya pengkonsolidasian kemerdekaan RI dan perkembangan
politik pemerintahan RI dengan berbagai kebijakan politiknya.
Kecaman-kecaman terhadap upaya Belanda kembali menjajah
kerap ditulisnya. Ia-pun kerap menulis tentang perkembangan
revolusi di Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung. Secara
berkala, karangan Edgar Snow: Red Star Over China, yang telah
diterjemahkan oleh Siauw diterbitkan di dalam Pemoeda.
Setelah Siauw pindah ke Yogyakarta pada awal 1947, penerbitan
kedua majalah ini dihentikan.
Kegiatan-kegiatan
Siauw
tentunya
menyebabkannya
berhubungan banyak dengan para pimpinan pemuda Indonesia
yang memainkan peranan penting dalam kancah politik. Siauw juga
merasakan bahwa untuk bisa lebih efektif dalam mempengaruhi
85
Siauw Giok Tjhan
jalan pikiran para pemuda, ia harus turut memimpin partai-partai
politik yang menjadi otak laskar-laskar pemuda ini. Atas anjuran
Tan Ling Djie, yang sudah menjadi pemimpin Partai Sosialis, pada
bulan Desember 1945, Siauw masuk dan aktif dalam Partai Sosialis.
Dimulailah langkah perjalanan politik yang panjang dalam kancah
nasional.
86
Zaman Jepang dan Proklamasi
Tan Gien Hwa di Malang - 1944
87
Siauw Giok Tjhan
BAB 4
PARTAI SOSIALIS, BADAN PEKERJA DAN
YOGYAKARTA
Seperti yang dituturkan dalam bab sebelumnya, di tahun-tahun
pertama setelah kemerdekaan diproklamasikan, telah terjadi
berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa yang
sangat merugikan proses pembangunan ekonomi negara, merusak
image negara RI di dunia internasional dan tentunya menghambat
persatuan bangsa.
Kekerasan-kekerasan ini dilakukan oleh berbagai laskar
pemuda yang bersenjata. Dan pada umumnya kekerasan terhadap
masyarakat Tionghoa itu terjadi karena adanya pengertian dan
kesalah pahaman yang memang ditanam sejak zaman penjajahan
Belanda, yaitu golongan Tionghoa berkiblat ke Belanda dan
senantiasa menginginkan kembalinya penjajahan Belanda di
Indonesia.
Masih ada pula pengertian bahwa masyarakat Tionghoa itu
kaya raya dan kekayaannya itu adalah hasil penghisapan Rakyat
Indonesia. Disamping itu, masyarakat Tionghoa berada di pihak
yang lemah, tidak ada golongan kuat yang bersedia melindungi
keamanannya dan mereka sendiri tidak berdaya untuk melakukan
perlawanan yang berarti. Mereka merupakan umpan yang empuk.
Celakanya, pemerintah RI yang baru berdiri tidak mampu memberi
perlindungan yang dinantikan. Situasi seperti ini kian mendorong
masyarakat Tionghoa untuk tidak mendukung pemerintah RI.
Yang berpendidikan Belanda merasa lebih aman untuk mengungsi
ke daerah-daerah yang dikuasai oleh kekuatan militer Belanda
sambil menantikan kembalinya kekuasaan penjajahan. Yang
berpendidikan Tionghoa-pun banyak yang mengungsi ke daerahdaerah yang dikuasai Belanda, tetapi pada umumnya mereka lebih
88
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
cenderung menantikan kekuatan pemerintah Tiongkok untuk
memberi perlindungan yang dibutuhkan.
Akan tetapi, ada juga segelintir orang Tionghoa yang tetap kokoh
dalam pendiriannya untuk mendukung pemerintah RI. Mereka ini,
terutama yang pernah aktif dalam PTI dan perjuangan mencapai
kemerdekaan, tetap memiliki kesungguhan dan kesadaran politik
yang berkiblat ke RI. Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien,
Oey Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan termasuk dalam golongan
kecil Tionghoa yang bersikap demikian.
Siauw memilih masuk ke dalam Partai Sosialis pada bulan
Desember 1945, dengan harapan, ia bisa mempengaruhi programprogram partai dan laskar-laskar pemuda yang berada di dalam
naungannya, sehingga sikap mereka terhadap golongan Tionghoa
berubah dan ekses-ekses revolusi ini tidak lagi menjatuhkan korban
di dalam kalangan Tionghoa.
Aktifnya Siauw dalam kancah politik nasional, dekatnya ia dengan
banyak pemimpin nasional dan kemahirannya dalam berorganisasi
menyebabkannya dengan cepat naik ke dalam posisi-posisi yang
menentukan dalam Partai Sosialis. Ia juga diangkat ke dalam KNIP,
Badan pekerja-nya dan kemudian sebagai menteri dalam kabinetkabinet Amir Sjarifuddin.
Masuk ke Partai Sosialis
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 segera diikuti dengan pembentukan Kabinet Presidensiel
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kabinet ini terdiri dari
para pemimpin nasionalis yang pernah bekerja sama dengan
kekuasaan Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Para penentangnya dengan sendiri mengejek Kabinet ini sebagai
Kabinet Bucho yang meniru sistem pemerintahan yang dipakai oleh
kekuasaan militer Jepang semasa pendudukannya di Indonesia.
Yang penting untuk diperhatikan adalah dibentuknya Partai
Nasional Indonesia sebagai satu-satunya partai politik dan para
89
Siauw Giok Tjhan
pimpinannya adalah para pemimpin dan pengurus Djawa Hokkai,
satu-satunya aparat politik yang diizinkan berfungsi semasa
pendudukan Jepang.
Struktur pemerintahan dan partai politik seperti ini dikritik dan
dikecam oleh para tokoh yang di zaman pendudukan Jepang tidak
berpartisipasi dalam pemerintahan dan organisasi-organisasi
resmi yang dibentuk oleh Jepang. Para tokoh ini, terutama Sjahrir
dan Amir Sjarifuddin menginginkan sistem pemerintahan baru
yang lebih demokratis dan yang tidak merupakan kelanjutan apa
yang dibentuk kekuasaan Jepang.
KNIP yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945 terdiri
dari orang-orang yang mendukung pandangan Sjahrir dan Amir
Sjarifuddin. Akhirnya mereka berhasil meyakinkan pimpinan
pemerintahan RI untuk menerima KNIP sebagai badan legislatif
yang sah. Pada tanggal 17 Oktober 1945, Badan Pekerja KNIP
dibentuk dan badan ini didominasi oleh para anggota yang
mendukung Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Badan Pekerja diterima
sebagai parlemen sedangkan KNIP dianggap sebagai badan
permusyawaratan Rakyat.
Kelompok Sjahrir menginginkan dilangsungkan sistem yang
berazas multi-partai. Dengan bantuan wakil presiden Hatta,
mereka berhasil mengubah sistem satu partai yang ada di mana
hanya PNI diakui sebagai partai yang sah. Pada tanggal 3 November
1945, Hatta mengeluarkan sebuah Dekrit yang mengakhiri sistem
satu partai dan mengizinkan berdirinya partai-partai politik baru.
Setelah Dekrit itu dikeluarkan, muncullah berbagai partai politik
baru, akan tetapi hanya tiga partai besar yang mampu mendominasi
Badan Pekerja, yaitu Partai Sosialis, PNI dan Masjumi.
Mereka tidak berhenti di situ. Timbullah gagasan untuk
mengubah sistem pemerintahan kabinet presidensiel ke kabinet
parlementer – di mana kabinet bertanggung jawab pada parlemen.
Gagasan ini diterima Soekarno. Pada tanggal 11 November 1945,
Soekarno menunjuk Sjahrir dan Amir Sjarifuddin untuk membentuk
Kabinet Parlementer pertama. Pada tanggal 14 November, Kabinet
90
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
ini terbentuk, dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan Amir
Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan dan Penerangan. Beberapa
partai politik yang baru terbentuk dalam bulan November itu
diwakili dalam kabinet parlementer pertama ini.
Dekrit pembentukan partai-partai politik mendorong berdirinya
puluhan partai politik. Di antaranya Partai Komunis Indonesia
(PKI) dipimpin oleh Mohamad Yusuf, Partai Buruh Indonesia
(PBI), dipimpin oleh Njono, Masjumi, dipimpin oleh Sukiman
Wirjosandjojo, Partai Rakyat Djelata, dipimpin oleh Sutan Dewanis,
Partai Rakyat Sosialis (Paras), dipimpin oleh Sjahrir dan partai
Sosialis Indonesia (Parsi), dipimpin oleh Amir Sjarifuddin.
Parsi yang dipimpin oleh Amir dibentuk di Yogyakarta pada
tanggal 12 November 1945. Partai ini menampung para anggota
Gerindo dan programnya berdasarkan program-program
sosialisme1.
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 19 November 1945, para
pendukung Sjahrir membentuk Partai Rakjat Sosialis (Paras) di
Cirebon. Para anggotanya adalah orang-orang yang memimpin
Pendidikan Nasional Indonesia, yang di zaman penjajahan dipimpin
oleh Hatta dan Sjahrir2.
Kedua partai ini melihat adanya keuntungan bagi mereka untuk
bersatu. Rapat antara para pemimpin kedua partai di Cirebon
pada tanggal 16 dan 17 Desember 1945 memutuskan pendirian
Partai Sosialis3 yang kemudian tumbuh sebagai partai yang paling
berpengaruh dalam pemerintahan dan badan-badan legislatif
dalam dua tahun mendatang.
Partai ini terbagi dalam tiga kelompok besar4. Kelompok Amir
1
2
3
4
Benedict R. O’G Anderson: Java In a Time of Revolution, p 202
Ibid. p202
Ibid. p 203
Sebenarnya saya lebih cenderung membagi partai ini dalam tiga kelompok besar, tidak dalam lima kelompok seperti yang dituturkan oleh Anderson. Kelima kelompok yang 91
Siauw Giok Tjhan
didominasi oleh para pemimpin yang berasal dari Surabaya dan
beberapa diantaranya seperti Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat
adalah orang-orang yang masuk ke dalam PKI Illegal yang dibentuk
oleh Musso di Surabaya pada tahun 1935. Pada umumnya orang
dari kelompok ini tidak berpendidikan tinggi, tetapi mempunyai
pengalaman bekerja di bawah tanah. Banyak dari mereka ditahan
oleh Jepang dan mengalami siksaan luar biasa. Marxisme yang
mereka anut dipahaminya berdasarkan pengalaman politik dalam
perjuangan serta pengarahan pimpinannya. Jadi Marxisme mereka
tidak berdasarkan bacaan atau analisa yang bersifat akademis.
Di dalam kelompok Amir ini, Tan Ling Djie adalah pemimpin
di belakang layar. Walaupun Tan tidak mempunyai kemampuan
dalam berpidato secara berapi-api dan dalam berbagai forum
tidak mempunyai pembawaan sebagai pemimpin yang berkarisma,
tetapi ia sangat dihormati oleh tokoh-tokoh di dalam kelompok
ini, termasuk oleh Amir sendiri. Pengetahuannya tentang politik,
hukum dan sejarah perjuangan internasional diakui dan selalu
dijadikan dasar bahan-bahan pertimbangan pimpinan kelompok
ini. Terkadang Amir dan pimpinan lainnya dimarahi bagaikan
murid-murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya di
hadapan banyak orang oleh Tan Ling Djie5.
Kelompok kedua dipimpin oleh Sjahrir. Ia didominasi oleh orangorang yang memperoleh pendidikan barat tinggi, baik di Indonesia
maupun di negeri Belanda. Mereka berasal dari keluarga elite yang
berada yang memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Banyak
5
disebut oleh Anderson adalah kelompok Surabaya, Yogya, Ci
rebon, Jakarta dan orang-orang yang baru kembali dari negeri Belanda
Wawancara dengan Soemarsono yang pada waktu itu pe
mimpin dari Pesindo dan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), Sydney 1995; Z. Yasni: Bung Hatta Men
jawab, Gunung Agung, 1978, pp14-15. Frederiek Djara Wellem: Amir Sjarifoeddin, pp 224.
92
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
mahasiswa yang mendukung Sjahrir di zaman pendudukan Jepang
bernaung di kelompok ini.
Kelompok Sjahrir lebih mementingkan pendidikan politik kader
dan oleh karenanya lebih cenderung mengadakan diskusi-diskusi
politik yang bersifat ilmiah. Tidak banyak dari mereka yang
langsung terjun ke dalam perjuangan politik di bawah tanah dan
pernah ditahan oleh Jepang.
Dua kelompok ini mencerminkan karakteristik kedua pemimpin
utamanya, Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Amir, seperti Soekarno,
mementingkan gerakan massa, sedangkan Sjahrir, seperti Hatta,
lebih mementingkan pendidikan politik dalam memperluas
pengaruh politiknya dalam pemerintahan. Oleh karenanya di dalam
Partai Sosialis, orang-orang Amir lebih banyak berkecimpung dalam
pimpinan sekretariat dan hubungan massa sedangkan orang-orang
Sjahrir menjadi pimpinan seksi-seksi penerangan dan pendidikan6.
Kelompok ketiga sebenarnya berjumlah kecil tetapi mempunyai
pengaruh penting di dalam Partai Sosialis.
Kelompok ini
beranggotakan orang-orang yang baru kembali dari Belanda yang
sangat dipengaruhi oleh paham-paham komunisme, bahkan masuk
ke dalam partai Komunis Belanda. Kelompok yang dipimpin oleh
Abdulmadjid ini banyak mempengaruhi sikap Partai Sosialis dalam
menghadapi pergolakan politik Internasional dan yang menyebabkan
Partai Sosialis menerima sikap perjuangan internasional dalam
menghadapi fasisme. Karena tujuan utamanya adalah bekerja sama
dengan semua kekuatan anti fasis, mereka menganjurkan jalan
berunding dengan pihak Belanda dalam menyelesaikan masalah
kemerdekaan Indonesia, ketimbang melanjutkan permusuhan
dengannya. Sebagian besar dari kelompok ini menganggap Tan
Ling Djie sebagai pemimpin Partai Sosialis sesungguhnya7.
Tan Ling Djie yang kemudian menjadi Sekretaris Jendral Partai
Sosialis ini menghubungi Siauw yang pada waktu itu masih berada
6
7
Ibid. p208
Ibid. p209; wawancara dengan Soemarsono, Sydney, Desem-
ber 1990.
93
Siauw Giok Tjhan
di Malang untuk masuk ke dalam Partai Sosialis pada akhir bulan
Desember 1945. Siauw tentunya banyak mengenal tokoh-tokoh
partai baru ini, karena kegiatannya semasa pendudukan Jepang
dan hubungannya dengan banyak pemimpin pemuda sebelum
pertempuran berdarah di Surabaya pada tanggal 10 November
1945. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw siap untuk
masuk ke dalam Partai Sosialis karena menginginkan adanya
perubahan sikap para laskar pemuda terhadap golongan Tionghoa
dan juga ingin menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa turut
berpartisipasi dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Siauw segera masuk ke dalam kelompok Amir Sjarifuddin.
Dalam waktu singkat setelah masuk ke dalam partai ini,
pengetahuan politik, pengalamannya dalam memimpin gerakan
serta kepribadiannya yang luwes menyebabkan ia diorbitkan ke
dalam grup pemimpin. Ia selalu hadir dalam rapat-rapat pimpinan
termasuk rapat-rapat polit-biro.
Walaupun tidak pernah kuliah sebagai mahasiswa, tetapi
kemampuan Siauw dalam menganalisa keadaan politik dan
pengetahuannya tentang teori-teori politik, diakui oleh banyak
tokoh dalam partai ini. Oleh karena ini, dalam kelompok Amir, Tan
dan Siauw dianggap sebagai jagoan inteleknya, karena mereka
mampu melakukan perdebatan-perdebatan dengan pimpinan
kelompok Sjahrir yang intelektuil8.
Tidak jelas kapan Siauw pertama kali bertemu dengan Amir.
Kemungkinan besar hubungannya mulai terjalin ketika Amir masuk
ke dalam kelompok gerakan bawah tanah yang didirikan oleh
Musso di Surabaya pada tahun 1935. Amir pada waktu itu sering
berada di Surabaya dan sangat dekat dengan pimpinan PTI dan
para wartawan Tionghoa di Surabaya. Yang jelas, setelah Desember
1945, Siauw dekat sekali dengan Amir. Oleh Amir dan Tan, Siauw
8
Soemarsono teringat bahwa Siauw sering berada bersama Amir dan Amir selalu mendengarkan pendapat-pendapat yang diajukan oleh Tan Ling Djie dan Siauw.
94
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
diminta aktif dalam seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi
oleh orang-orang Sjahrir9.
Walaupun Siauw jelas berada di dalam kelompok Amir, ia
mempunyai hubungan baik dengan Sjahrir dan ternyata juga dekat
dengan orang-orang kepercayaan Sjahrir, terutama dengan Djohan
Sjahroesah. Kedekatannya dengan Djohan sering menyebabkan
banyak orang mengira bahwa Siauw juga berada di dalam kelompok
Sjahrir10.
Perkembangan politik di awal 1946 mendorong diadakannya
koordinasi baik antara aparat partai dan laskar pemuda yang
mendukung partai, yaitu Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
Pesindo yang dibentuk pada tanggal 10 November 1945, merupakan
gabungan berbagai kelompok pemuda seperti API dari Jakarta,
Gerpri dari Yogyakarta, AMRI dari Semarang, PRI dari Surabaya,
Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik and
Angkatan Muda Pos, Telegrap dan Telepon.
Karena Siauw mempunyai hubungan baik dengan para
pimpinan pemuda Jawa Timur, terutama yang berasal dari
Surabaya seperti Soemarsono, ketua Badan Kongres Pemuda
Republik Indonesia (federasi antara Pesindo dan 21 organisasi
pemuda) dan Setiadi, ketua Pesindo, Amir mengangkat Siauw
sebagai penasehat politik kedua organisasi ini dan menjadikannya
9
10
Wawancara dengan Jaques Leclerc, January 1995. Banyak in
formasi tentang Amir yang dimiliki oleh Leclerc diperoleh dari Siauw Giok Tjhan dan ini dituturkannya dalam tulisan
nya, Amir Sjarifuddin, Between The State and The revolution, in In Search Of cross-cultural Understanding, edited by Angus McIntyre, Monash Papers on South East Asia, No. 28; Wawan
cara dengan Soemarsono, Gondo Pratomo dan Go Gien Tjwan
Wawancara dengan Siauw, penjara RTM, 1970; Wawancara dengan Soemarsono, yang di zaman revolusi tinggal bersama dalam satu rumah dengan Djohan Sjaroezah.
95
Siauw Giok Tjhan
koordinator kelompok pemuda11.
Fungsi inilah yang nantinya menyebabkan Siauw bisa melakukan
berbagai tindakan yang efektif dalam menyelamatkan jiwa dan
harta masyarakat Tionghoa pada tahun-tahun 1947 dan 1948.
KNIP DAN BADAN PEKERJA
Terbentuknya
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)
pada tanggal 22 Agustus 1945 di Jakarta segera diikuti dengan
pembentukan Komite Nasional Daerah di kota-kota besar. Siauw
Giok Tjhan dipilih untuk menjadi anggota Komite Nasional Daerah
Malang pada bulan Oktober 1945. Masuknya Siauw ke dalam
KNIP pada tahun 1946 dan Badan Pekerja pada awal tahun 1947
berhubungan dengan perkembangan politik di dalam zaman
revolusi yang juga berhubungan dengan semakin besarnya
kemauan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Di dalam tubuh pemerintahan Indonesia dan infra struktur
politiknya, terdapat dua aliran besar. Aliran pertama menghendaki
diselesaikannya masalah kemerdekaan dengan jalan damai, jalan
berdiplomasi. Aliran kedua menghendaki kemerdekaan tuntas dan
ini perlu ditempuh tanpa mengadakan perundingan dengan Belanda
yang menghasilkan berbagai macam persyaratan yang mereka
anggap merugikan posisi Indonesia. Mereka siap bertempur dalam
mempertahankan dan mengkonsolidasi kemerdekaan.
Kabinet Sjahrir yang dibentuk pada bulan November 1945
itu didominasi oleh Partai Sosialis yang pada waktu itu justru
menghendaki jalan damai. Seperti yang dituturkan sebelumnya,
partai ini dipengaruhi oleh garis Comintern yang mengajak semua
kekuatan kiri di dunia untuk bersatu padu dalam mengalahkan
fasisme. Belanda yang masuk ke dalam blok anti fasis, dalam
konteks ini, merupakan kawan, bukan lawan. Oleh karenanya,
Sjahrir dan Amir, didukung oleh Partainya dan Soekarno dan
Hatta, mengambil jalan berdiplomasi. Mereka yang tidak berada
11
Wawancara dengan Soemarsono, Desember 1990
96
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
dalam barisan kiri, seperti Soekarno dan Hatta mendukung jalan
damai ini karena mereka juga menerima ajakan Amerika Serikat
yang mendukung jalan damai dengan Belanda. Ada juga dari para
pimpinan pemerintah yang menganggap kekuatan RI tidak bisa
mengalahkan Belanda bilamana mereka langsung berkonfrontasi
dengan kekuatan militer Belanda.
Aliran kedua, yang menentang jalan damai ini dipimpin oleh
Tan Malaka, yang didukung oleh beberapa tokoh segenerasinya,
seperti Iwa Kusumasumantri, Buntaran dan Yamin. Banyak juga
para pimpinan pemuda yang mendukung Tan Malaka, diantaranya
Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik. Program mereka adalah
merdeka 100% dan menasionalisasi semua perusahaan yang
dimiliki oleh Belanda. Mereka berpegang pada pedoman bahwa
perundingan dengan Belanda hanya bisa dilakukan setelah
kemerdekaan mutlak berada di tangan RI.
Tan Malaka adalah seorang pemimpin komunis di Indonesia
pada tahun 1920-an. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1942
setelah tinggal di Belanda dan beberapa negara Asia lainnya untuk
jangka waktu puluhan tahun. Ia menjadi perwakilan Comintern di
Asia Tenggara, posisi yang dipegangnya sampai ia meninggalkan
Comintern. Posisinya sebagai perwakilan Comintern kemudian
diambil oleh Ho Chi Minh, pemimpin revolusi Vietnam. Setelah
kemerdekaan diproklamasikan, ia muncul sebagai pemimpin yang
sangat kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh Soekarno, Hatta,
Sjahrir dan Amir.
Visi dan kepemimpinan Tan Malaka menarik dukungan luas dari
kalangan pejuang yang militant. Pada bulan Januari 1946, para
pendukungnya berhasil mengumpulkan 133 partai-partai politik
dan organisasi-organisi pemuda di Surakarta. Juga berhasil diajak
ke situ beberapa tokoh Angkatan Perang, diantaranya Jendral
Sudirman. Pertemuan besar ini melahirkan sebuah kekuatan baru
yang dinamakan Persatuan Perjuangan
Banyak anggota Partai Sosialis dan Pesindo, termasuk Siauw
Giok Tjhan dan Soemarsono yang siap mendukung garis yang
97
Siauw Giok Tjhan
dianjurkan oleh Persatuan Perjuangan. Akan tetapi setelah
mereka mengetahui bahwa program Persatuan Perjuangan
pada akhirnya ingin menggantikan Soekarno dengan Tan Malaka
dan ingin menjatuhkan kabinet Sjahrir, mereka segera menarik
dukungannya12.
Kekuatan Persatuan Perjuangan dalam kancah politik
pemerintahan yang didominasi oleh PNI, Partai Sosialis dan
Masjumi itu tentunya sangat terbatas. Mereka segera mendorong
pemerintah untuk mengubah komposisi KNIP dan Badan Pekerjanya
supaya mereka menjadi lebih efektif dalam menentukan berbagai
kebijakan pemerintah. Akibat dari tekanan ini, KNIP diperbesar
pada bulan Januari 1946 dan ini menyebabkan Siauw juga terpilih
sebagai anggotanya, menjadi wakil ke lima dari golongan minoritas
Tionghoa, tetapi tetap berada dalam barisan Partai Sosialis.
Keempat posisi wakil minoritas lainnya diisi oleh Liem Koen Hian,
Tan Ling Djie, Yap Tjwan Bing dan Injo Beng Goat.
Pada awal tahun 1946, kekuatan Inggris dan Belanda semakin
giat mengembangkan daerah kekuasaannya di Indonesia. Dan
pengembangan kekuatan ini juga dikut-sertai berbagai kerusuhan
yang merugikan masyarakat Tionghoa, terutama di pulau Jawa.
Keadaan yang menggawat ini mendorong pemerintah RI untuk
memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal
4 Januari 1946. Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan wakil utama
RI dalam semua perundingan dengan pihak Belanda bersama
beberapa menteri lainnya tetap berada di Jakarta. Soekarno, Hatta
dan semua pimpinan pemerintahan lainnya pindah ke Yogyakarta.
Dengan adanya dua pusat seperti itu, Yogyakarta yang dekat
dengan kekuatan-kekuatan pemuda yang bersenjata, terutama
yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, berangsur berubah
menjadi pusat kekuatan para tokoh politik yang menentang garis
diplomasi, sedangkan Jakarta menjadi pusat kekuatan para tokoh
yang mendukung garis diplomasi--mencari jalan keluar dengan
12
Wawancara dengan Soemarsono, Juli 1992
98
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
berunding dengan Belanda13.
Sjahrir terus menerus mendapat tekanan dan celaan dari
kelompok Persatuan Perjuangan karena terlihat berada di
posisi yang lemah dalam perundingan dengan Belanda dan telah
bersedia mengambil posisi kompromi yang terasa merugikan
pihak Indonesia. Atas tekanan hebat Persatuan Perjuangan dan
juga PNI, Sjahrir meletakkan jabatannya pada tanggal 28 Februari
1946. Persatuan Perjuangan untuk sejenak diangap telah berada di
atas angin dan tuntutan untuk tidak berunding dan berkompromi
dengan pihak Belanda diharapkan akan dipenuhi.
Akan tetapi ketika Soekarno memberi mandat pada Persatuan
Perjuangan untuk membentuk kabinet baru, mereka tidak berhasil
mengebawahkan pertikaian yang ada di dalam kalangannya sendiri.
Kelompok-kelompok Islam yang anti Marxisme, birokrat yang
konservatif dan Komunis Nasionalis terus menerus bertentangan.
Keadaan diperburuk dengan adanya kepentingan pribadi beberapa
tokoh yang tidak bisa dikendalikan dan dibendung. Akhirnya,
Soekarno mengembalikan mandatnya ke Sjahrir untuk membentuk
kabinet-nya yang kedua. Kabinet Sjahrir ke dua ini terbentuk pada
bulan Maret 1946 dan walaupun menampung beberapa elemen
Persatuan Perjuangan, kabinet ini masih tetap didominasi oleh
para pendukung Sjahrir dan Amir Sjarifuddin14.
Setelah gagal merebut kekuasaan dari tangan Sjahrir dan Amir,
dan juga gagal mencapai perubahan yang strukturil dalam kabinet
dan Badan Pekerja, kelompok Persatuan Perjuangan pada bulan
Maret mengeluarkan pernyataan di Madiun yang mengancam
untuk menggulingkan pemerintah dengan kekuatan bersenjata.
Pada tanggal 3 Juli 1946, beberapa pemimpin Persatuan Perjuangan
menculik Sjahrir untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi kejadian
yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli ini gagal mengganti pemerintah
dan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan yang terlibat di antaranya,
Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin ditahan.
13
14
Anderson, Java in a Time of Revolution, pp 300-301
Kahin, Nationalism and Revolution, pp176-177
99
Siauw Giok Tjhan
Sejak saat itu, Persatuan Perjuangan secara resmi dilarang untuk
berfungsi. Tetapi yang ditahan hanyalah para tokoh yang langsung
terlibat di dalam upaya kudeta. Sebagian besar pemimpin
Persatuan Perjuangan dan para anggotanya tetap bisa aktif dalam
berbagai gerakan politik.
Selain memperdebatkan masalah strategi politik dalam
berhadapan dengan Belanda, Badan Pekerja juga memasalahkan
kewarganegaraan Indonesia. Persoalan ini didebatkan dengan
sengit pada bulan April 1946. Tan Ling Djie, didukung oleh Partai
Sosialis berpendapat bahwa semua orang yang lahir di Indonesia
sebelum kemerdekaan diproklamasikan sebaiknya dijadikan
warganegara Indonesia. Menurutnya inilah jalan yang terbaik
dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Jalur yang dianjurkan
oleh Tan Ling Djie adalah jalur Pasif, dengan pengertian, setiap
orang yang lahir di Indonesia menjadi warga negara Indonesia tanpa
mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara. Mereka
tentunya bisa menjadi orang asing asal mereka menyatakan ke
pengadilan bahwa mereka menolak Kewarganegaraan Indonesia.
Tan Ling Djie berpedoman pada Manifesto Politik November
1945 yang ditanda tangani oleh Hatta, di mana jelas tercantum
esensi jiwa proklamasi 1945, yaitu keinginan pemerintah
menjadikan semua orang keturunan asing di Indonesia patriot dan
warga negara Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin.
Akan tetapi Lukman Hakim dari PNI menentang pendapat Tan
Ling Djie. Ia menginginkan jalur aktif dengan menyatakan bahwa
orang-orang keturunan Arab, Tionghoa dan Eropa sebaiknya
dianggap sebagai orang asing sampai pada waktu mereka dengan
aktif mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara, sambil
melampirkan berbagai surat yang dibutuhkan untuk membuktikan
bahwa mereka itu lahir di Indonesia.
Perdebatan ini akhirnya dimenangkan oleh Tan Ling Djie.
Undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada tanggal
10 April 1946 menyatakan bahwa semua orang yang lahir di
Indonesia menjadi warga negara Indonesia, kecuali bilamana
100
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
ia menolak untuk menjadi warga negara Indonesia. Waktu
mempertimbangkan untuk menolak diberikan selama 12 bulan,
yaitu sampai 10 April 1947. Ini kemudian diperpanjang hingga
tahun 1949 dan setelah KMB, diperpanjang lagi hingga Desember
1951.
Pemerintah menganggap Undang-Undang Kewarganegaraan ini
sebagai alat yang penting dalam meyakinkan masyarakat Tionghoa
untuk mendukung pemerintah RI. Untuk memberi penjelasan
tentang arti dan isi dari UU baru ini ke masyarakat Tionghoa yang
sering menjadi korban dari keganasan berbagai laskar pemuda
bersenjata, pemerintah mengirim Siauw Giok Tjhan dan Tan Po
Goan, seorang pengacara dari Jakarta untuk mengunjungi semua
kota di Jawa Timur pada bulan April dan Mei 1946. Kunjungankunjungan itu juga dilakukan untuk mendorong masyarakat
Tionghoa untuk mendukung pemerintah RI.
Akan tetapi Siauw dan Tan Po Goan mendapati reaksi yang dingin
dari masyarakat Tionghoa. Pada umumnya mereka menganggap
tidak ada gunanya menjadi warga negara Indonesia selama mereka
masih dijadikan sasaran kemarahan Rakyat dan menjadi korban
setiap kerusuhan yang terjadi. Mereka berpendapat bahwa menjadi
warga negara Indonesia tidak menjamin keselamatan mereka.
Banyak dari mereka juga khawatir bahwa dengan menjadi warga
negara Indonesia, mereka akan dipaksa untuk menikah dengan
orang-orang Indonesia “asli” dan tanah-tanah milik mereka akan
dirampas oleh negara. Walaupun kunjungan ini mengecewakan
Siauw dan Tan, tetapi hubungan kerja mereka tetap baik dan ini
disusul dengan masuknya Tan Po Goan ke dalam Partai Sosialis
untuk kemudian mewakili golongan minoritas di dalam KNIP15.
Kegagalan pemerintah dalam meyakinkan masyarakat Tionghoa
untuk mendukungnya dan masih sering terjadinya kerusuhankerusuhan yang bersifat rasialistis di daerah-daerah yang dikontrol
15
Siauw, Lima Jaman, pp 92-93; wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990
101
Siauw Giok Tjhan
oleh pemerintah RI, mendorong pimpinan Partai Sosialis untuk
membentuk sebuah kementerian di dalam kabinet yang khusus
ditugaskan untuk menangani masalah minoritas. Tan Ling Djie
menekankan pentingnya pemerintah konsekwen memenuhi janji
yang tercantum di dalam Manifesto Politik November 1945. Hal ini
dilaksanakan pada waktu Sjahrir dipaksa untuk mengubah struktur
kabinetnya untuk kedua kalinya pada bulan Oktober 1946.
Timbullah masalah, siapa yang harus duduk menjadi menteri
menangani masalah minoritas. Calon utamanya adalah Siauw Giok
Tjhan. Tetapi Tan Ling Djie mengubah pendirian Sjahrir dan Amir.
Untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat
Tionghoa di Jawa Barat, ia menganjurkan pemerintah mengangkat
Tan Po Goan, pengacara dari Jakarta untuk menjabat posisi menteri
ini. Maka diangkatlah Tan pada bulan Oktober sebagai menteri
dengan tugas khusus, menyelesaikan masalah minoritas16.
Perundingan antara RI dengan pemerintah Belanda yang
berkepanjangan itu akhirnya menghasilkan Persetujuan Linggajati
pada bulan November 1946. Di dalam persetujuan itu, Belanda
mengakui kedaulatan RI di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua belah
pihak juga setuju untuk membentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada tanggal 1 Januari 1949, yang mengikut sertakan RI
dan beberapa negara bagian lainnya. Juga disetujui pembentukan
persatuan Indonesia-Belanda, yang terdiri dari RIS dan Kerajaan
Belanda. Persatuan ini akan dipimpin secara resmi oleh Ratu
Belanda.
Didalam RI, Persetujuan Linggajati ini didukung oleh partaipartai yang duduk dalam pemerintahan, tetapi ditentang habishabisan oleh kelompok-kelompok yang tadinya berada dalam
naungan Persatuan Perjuangan. Untuk meresmikan penerimaan
Persetujuan ini, KNIP harus bersidang.
Untuk menjamin diterimanya Persetujuan Linggajati dalam
KNIP, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 29
16
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990
102
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Desember 1946 yang mempertinggi jumlah anggota KNIP dari
200 menjadi 515. Ketika dekrit ini diperdebatkan, KNIP tadinya
menolaknya, tetapi setelah Hatta mengancam bahwa Soekarno dan
Hatta akan meletakkan jabatan kalau dekrit ini ditolak, akhirnya
dekrit tersebut diterima.
Dengan demikian, KNIP yang diperbesar diresmikan pada
tanggal 2 Maret 1947. Dua anggota baru mewakili minoritas
Tionghoa, Oei Hway Kiem dan Tan Boen An. Ada juga dua anggota
baru yang terpilih, tetapi mereka tidak mewakili golongan minoritas
melainkan mewakili Partai Sosialis (Oei Gee Hwat) dan PKI (Lauw
King Ho).
Pada tanggal 3 Maret 1947, Badan Pekerja dibubarkan oleh KNIP
dan yang baru dibentuk pada hari yang sama dengan 47 anggota.
Siauw Giok Tjhan diangkat sebagai satu-satunya wakil golongan
Tionghoa di dalam Badan Pekerja. Tan Ling Djie tetap menjadi
anggota Badan Pekerja, tetapi sebagai wakil resmi Partai Sosialis.
Walaupun KNIP dan Badan Pekerjanya di perbesar dan
banyak anggota-anggota baru diangkat di dalamnya, pengaruh
Partai Sosialis dan pendukungnya masih tetap kuat. Posisi ini
menguntungkan kedudukan pemerintah yang harus berhadapan
dengan oposisi yang berasal dari PNI, Masjumi dan para pendukung
Persatuan Perjuangan. Ketika pemungutan suara diambil, kekuatan
suara yang mendukung kebijakan pemerintah masih lebih besar
dari suara pihak oposisi. Dengan demikian, Persetujuan Linggajati
diterima pada tanggal 5 Maret 1947 dan ditanda tangani oleh kedua
belah pihak (RI dan Belanda) pada tanggal 25 Maret 194717.
Tidak lama setelah menjadi anggota Badan Pekerja, Sjahrir
mengajak Siauw untuk ikut dalam rombongan Indonesia ke Inter
Asian Conference yang pertama, yang diselenggarakan di New
Delhi. Delegasi Indonesia cukup besar, termasuk Perdana Menteri
Sjahrir, Agus Salim, Ali Sastroamidjojo dari PNI, Abu Hanifah dari
Masjumi, Tambunan dari Parkindo, Djohan Sjahroesah dari Partai
Sosialis, Maruto Darusman dari PKI. Siauw diangkat sebagai
17
Ibid. p206
103
Siauw Giok Tjhan
sekretaris delegasi ini18.
Salah satu peranan penting yang dimainkan oleh Siauw dalam
delegasi ini adalah pengumpulan dana untuk perjalanan pulang
pergi delegasi yang jumlah anggotanya cukup besar. Mereka
meninggalkan Indonesia dengan uang asing pas-pasan dan pada
waktu itu mata uang Rupiah tidak diakui di luar Indonesia. Ketika
mereka tiba di Singapura, mereka seketika kehabisan uang.
Keadaan menjadi serius ketika mereka ternyata harus menunggu
untuk beberapa hari sebelum bisa meneruskan perjalanan ke India.
Untunglah Siauw berhasil menghubungi kawan lamanya, Tan Kah
Kee, yang ketika itu sudah kembali ke Singapura dan menjadi
salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di sana. Dana
segera disediakan oleh Tan Kah Kee dan ini menyelamatkan posisi
delegasi Indonesia sehingga mereka bisa tiba di India beberapa
hari kemudian tanpa kekurangan apa-apa19.
Siauw teringat bahwa delegasi Indonesia disambut dengan
hangat oleh Rakyat dan para pemimpin India. Keberanian Indonesia
dalam memproklamasikan kemerdekaannya dihargai dan
dihormati oleh para delegasi lainnya. Nehru yang dalam beberapa
bulan mendatang menjadi Perdana Menteri India, dengan hangat
menyambut kedatangan delegasi Indonesia. Sambutan pemerintah
India juga baik. Setiap anggota delegasi Indonesia diberi mobil
dan seorang guide. Yang menjadi guide Siauw adalah putri Nehru,
Indira Gandhi yang di jauh hari kemudian menjadi Perdana Menteri
India20.
Konperensi itu juga dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah
Kuo Min Tang Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menteri Luar
Negerinya, George Yeh. Nama Indonesia sempat dirusak oleh pidato
George Yeh yang mengecam Indonesia sebagai sebuah negara yang
melakukan tindakan-tindakan kejam terhadap golongan Tionghoa18
19
20
Siauw, Lima Jaman, p110
Ibid. p113
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di Penjara RTM, 1970.
104
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
nya. Ali Sastroamidjojo sebagai menteri luar negeri dan Siauw
berbicara dalam konperensi itu membela posisi RI.
Siauw menegaskan bahwa ia sangat kecewa dengan sikap
pemerintah Tiongkok yang mengecam pemerintah RI yang baru saja
berdiri. Baginya sikap ini bertentangan dengan prinsip San Min Chu
I yang semestinya menjunjung tinggi rasa solidaritas antar sesama
negara baru. Adanya kerusuhan-kerusuhan rasial, menurut Siauw
memang sangat disayangkan, tetapi itu diluar kontrol pemerintah
RI yang sedang menghadapi berbagai upaya pihak Belanda untuk
memperlemahnya. Dipertegas oleh Siauw, bahwa pemerintah RI
tetap menentang rasisme dan akan melakukan berbagai kebijakan
dalam mempercepat proses Nation-Building. Perdebatan Siauw
dibela oleh KH Pannikar dari India yang kemudian menjadi Duta
Besar India yang pertama di Tiongkok21.
Para anggota delegasi yang berangkat dari Yogyakarta tidak sudi
terbang kembali ke Indonesia melalui Jakarta, karena harus melalui
protokol Belanda. Mereka ingin kembali langsung ke Yogyakarta.
Oleh karenanya mereka harus kembali melalui Singapura lagi. Kali
ini mereka tersangkut di Singapura selama hampir sebulan, karena
tidak mendapatkan pesawat yang berani menerbangkan mereka ke
Yogyakarta, setelah pihak Belanda mengancam untuk menembak
setiap kapal terbang yang terbang langsung ke Yogyakarta.
Keadaan ini menyebabkan Siauw kembali memainkan peranan
dalam mengumpulkan dana untuk membayar ongkos tinggal
dan makanan selama di Singapura. Akhirnya mereka berhasil
mendapatkan sebuah perusahaan kapal terbang kecil dari India
yang memberanikan diri untuk terbang langsung ke Yogyakarta
dengan resiko akan ditembak jatuh oleh Belanda22. Episode ini
ternyata sangat penting untuk karier Siauw yang telah menjalin
hubungan erat dengan para tokoh nasionalis yang di kemudian hari
memainkan peranan penting dalam percaturan politik Indonesia,
21
22
Ibid. pp113-114
Ibid. pp115-116
105
Siauw Giok Tjhan
terutama dengan Ali Sastroamidjojo dan Agus Salim.
Kabinet Amir Sjarifuddin
Tidak lama setelah Persetujuan Linggajati ditanda tangani oleh
RI dan Belanda, kedua belah pihak mulai menuduh satu sama lain
atas berbagai pelanggarannya. Pihak Belanda telah mengartikan
Persetujuan itu sebagai persetujuan yang memberikannya hak untuk
berlaku sebagai pemimpin dalam proses pembentukan RIS. Pihak
Indonesia di lain pihak menganggap Persetujuan Linggajati sebagai
tanda bahwa kedua belah pihak berada dalam posisi yang sama
tingginya dan diwajibkan bekerja sama dalam usaha membentuk
RIS. Ketidak cocokan kedua belah pihak ini terus meningkat dan
pada akhirnya menimbulkan adanya kebencian terhadap satu sama
lain, sehingga sikap berkooperasi tidak lagi bisa diwujudkan.
Pada tanggal 27 May 1947, pemerintah Belanda mengeluarkan
ultimatum. Isinya adalah menyatakan bahwa Belanda akan
berdaulat di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1949 dan sampai
tanggal itu Indonesia akan diatur oleh pemerintah sementara yang
dipimpin oleh Belanda. Pemerintah sementara inilah yang nantinya
akan menentukan struktur dan undang-undang RIS. Gubernur
Jendral Van Mook menyatakan bahwa bilamana pihak Indonesia
menentang kehendak Belanda ini, perang antara Indonesia dan
Belanda tidak akan bisa dicegah23.
Sjahrir yang penuh dengan kesungguhan untuk menghindari
perperangan dengan Belanda, di dalam berbagai perundingan
menunjukkan kesediaannya untuk menerima tuntutan Belanda
untuk menjadi pemimpin dari pemerintahan sementara yang akan
dibentuk Tentunya persetujuan baru ini sangat merugikan posisi
RI. Akan tetapi wakil-wakil partai di Jakarta, menurut Sjahrir, telah
memberi persetujuannya atas rencana yang diajukan oleh Sjahrir
ke pihak Belanda pada tanggal 20 Juni 1947 ini, yaitu membentuk
23
Kahin, Nationalism and Revolution, pp206-207
106
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
pemerintahan sementara yang akan didominasi oleh Belanda.
Kahin menyatakan bahwa sikap Sjahrir ini telah disetujui dan
didukung oleh para menteri yang menetap di Jakarta, termasuk Gani
(PNI), Natsir (Masjumi) and Abdulmadjid (Partai Sosialis). Kahin
juga menyatakan bahwa Amir Sjarifuddin yang mengunjungi Jakarta
pada tanggal 20 Juni juga menyuarakan persetujuannya. Akan
tetapi ketika Abdulmadjid pergi ke Yogyakarta untuk melaporkan
hasil dari perundingan ini ke Partai Sosialis, Tan Ling Djie dan
Wikana mengecam isi persetujuan ini dan mereka mengkritik Amir
dan Abdulmadjid. Ketika Sjahrir tiba di Yogyakarta pada tanggal
26 Juni, ia juga diserang oleh Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Amir.
Pada waktu yang bersamaan, semua partai besar kecuali Masjumi
telah menarik dukungannya terhadap Sjahrir. Pada tanggal 27 Juni,
Sjahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri24.
Amerika Serikat tidak mendukung posisi para kelompok yang
mengecam kebijakan Sjahrir. Pihak Amerika Serikat dengan keras
menekan pemerintah Indonesia untuk menerima perjanjian baru
itu. Soekarno mendesak Masjumi untuk membentuk kabinet baru
yang berbentuk koalisi PNI, Partai Sosialis dan Masjumi, tetapi
mereka gagal. Akhirnya, Amir Sjarifuddin diberi mandat untuk
membentuk kabinet baru dan ini berhasil dilakukannya pada
tanggal 3 Juli 1947.
Kabinet yang dibentuk Amir menurut sertakan PNI, Partai
Sosialis dan PSII. Masjumi tidak diikut sertakannya. Sjahrir juga
menolak untuk ikut di dalamnya25. Ini merupakan tanda pertama
akan adanya perpecahan yang pahit dalam tubuh Partai Sosialis,
antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir. Kelompok Sjahrir
merasa dihianati dan menjadi dendam terhadap kelompok Amir.
Amir sebagai Perdana Menteri yang baru mengangkat Siauw
Giok Tjhan sebagai Menteri untuk urusan Minoritas, menggantikan
Tan Po Goan. Tadinya Siauw menolak untuk menjadi menteri, tetapi
24
25
Ibid. pp207-208
Ibid. pp209-210
107
Siauw Giok Tjhan
Amir dan Tan Ling Djie mendesaknya26. Amir mengenal Siauw
jauh lebih baik dari Tan Po Goan dan merasa lebih enak bekerja
sama dengannya. Tan Po Goan selama dalam kabinet Sjahrir
menunjukkan bahwa ia lebih cenderung bekerja erat dengan
Sjahrir. Dengan demikian, pada awal bulan Juli, Siauw pindah ke
Yogyakarta, meninggalkan keluarganya di Malang.
Setibanya Siauw di Yogyakarta, ia tinggal di kantor
kementeriannya. Tidak ada rumah yang disediakan untuknya dan
untuk mengirit ongkos negara, ia tidur di atas meja kantornya pada
malam hari. Ketika keluarganya datang di Yogyakarta tiga bulan
kemudian, seorang teman baiknya, Liem Ting Tjay, Kepala hakim di
kota itu, memberikan tempat tinggalnya yang cukup besar. Siauw
mengajak dr. Tjokronegoro, dari Partai Sosialis yang menjabat
Menteri Muda Sosial serta keluarganya untuk tinggal dalam rumah
itu bersamanya. Kedua keluarga ini tinggal dalam rumah ini
sampai tahun 1950, di waktu mana Siauw dan keluarganya pindah
ke Jakarta.
Salah satu inisiatif pertama yang diambil oleh Siauw adalah
memulai siaran radio dalam bahasa Tionghoa untuk kemudian
dipancarkan ke daerah-daerah di mana penduduk Tionghoanya
banyak, seperti Bagan Siapi-api27. Akan tetapi pekerjaan Siauw
sebagai menteri dipersulit dengan perkembangan politik di dalam
negara dan tekanan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.
Kabinet Amir mengalami tekanan yang lebih berat dari apa
yang pernah dialami oleh Kabinet Sjahrir. Amir kian ditekan
untuk memenuhi segala permintaan Belanda untuk menghindari
pertempuran yang diperkirakan akan merugikan pihak Indonesia.
Akhirnya, Amir bersedia untuk mengadakan kompromi yang
sifatnya malah lebih merugikan posisi Indonesia bilamana
dibandingkan dengan apa yang Sjahrir tawarkan pada Belanda
pada tanggal 20 Juni 1947. Pada saat ini, Belanda mengeluarkan
26
27
Siauw, Lima Jaman, p117
Ibid p119
108
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
tuntutan baru, yakni turut memerintah dan mengontrol semua
daerah yang pada saat itu berada dalam naungan pemerintah RI.
Karena persetujuan ini tidak bisa dicapai, pada tanggal 21
Juli, Belanda menyerang daerah-daerah yang dikuasai RI dengan
menggunakan alasan mereka mengadakan aksi polisi untuk
mengamankan daerah-daerah yang diganggu oleh kekacauan yang
tidak bisa dipadamkan oleh pemerintah RI. Yang dimaksud dengan
kekacauan tidak terkontrol ini adalah perampokan dan pengrusakan
yang dilakukan oleh Rakyat setempat terhadap milik masyarakat
Tionghoa. Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa kekacauankekacauan ini justru dilakukan oleh antek-antek Belanda. Banyak
daerah di pulau Jawa dan Sumatra diserang dari darat, laut dan
udara. Dalam waktu dua minggu, hampir semua kota besar di Jawa
dan Sumatra jatuh ke tangan Belanda dan komunikasi antar kota
dikuasai Belanda. Di Sumatra, Belanda menguasai hampir semua
daerah yang menghasilkan minyak28.
Pemerintah mendorong para laskar pemuda di daerah-daerah
untuk mengambil inisiatif dalam melawan serangan-serangan
Belanda. Para pemimpin laskar-laskar bersenjata ini menjadi
komandan yang mempunyai wewenang penuh dalam melaksanakan
kebijakan perangnya. Ini berarti nasib masyarakat di daerahdaerah sepenuhnya berada di tangan para pemimpin kekuatan
bersenjata yang ada di daerah-daerah itu. Celakanya, banyak
dari para pemimpin kekuatan bersenjata ini memiliki kebencian
terhadap masyarakat Tionghoa.
Ada yang menjalankan program “ethnic cleansing” - pembersihan
golongan etnis.
Dengan menggunakan alasan kepentingan
keamanan setempat, banyak pimpinan kekuatan militer di
daerah-daerah memaksa orang-orang Tionghoa yang menetap
di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan pemerintah RI
untuk meninggalkan rumah kediamannya dan banyak pula dari
mereka yang kemudian digusur ke kamp-kamp tahanan yang
28
Kahin, Nationalism and Revolution, pp211-213
109
Siauw Giok Tjhan
terletak di gunung-gunung. Setelah mereka meninggalkan rumah
kediamannya, barang-barangnya dirampok dan dirusak. Banyak
juga kamar-kamar dalam rumah yang digali untuk mencari harta
karun yang dikabarkan terpendam di dalamnya. Perlakuan di
kamp-kamp pun sangat buruk. Banyak yang dirampok, disiksa
bahkan dibunuh.
Di dalam buku Lima Jaman, Siauw menuturkan dua kasus yang
meliputi pengusiran massal dari rumah-rumah kediamannya. Di
Sala Tiga, seluruh penduduk Tionghoa di kota itu dipaksa untuk
meninggalkan rumah kediamannya. Setelah itu isi rumahnya
dirampok oleh Rakyat setempat. Siapa yang tidak bersedia untuk
meninggalkan tempat tinggalnya dibunuh dengan kejam. Para
pengungsi ini tidak mendapat tempat penampungan yang baik dan
harus bersandar pada bantuan pemerintah untuk hidup. Siauw
sebagai menteri yang memang ditugaskan untuk menyelesaikan
masalah minoritas ini, bergerak cepat dalam menangani
masalahnya. Atas bantuan Chung Hua Tsung Hui di Solo, para
pengungsi dari daerah-daerah sekitarnya berhasil ditampung di
sekolah-sekolah Tionghoa.
Di kota Kebumen, penduduk Tionghoanya mengalami nasib
yang sama. Seluruh penduduk Tionghoa di kota itu dipaksa untuk
meninggalkan tempat kediamannya. Tapi mereka lebih sial, karena
mereka digiring dengan paksa untuk pergi ke sebuah kamp yang
dengan darurat didirikan untuk menampung mereka. Fasilitas
penampungan sangat buruk dan di kamp itu, banyak orang Tionghoa
yang mendapat perlakuan sangat kejam. Banyak juga diantaranya
dipaksa untuk mengganti agamanya ke Islam.
Atas bantuan Chung Hua Tsung Hui dan beberapa pemuda
Tionghoa yang aktif dalam berbagai kesatuan pemuda bersenjata,
Siauw berhasil menemukan kamp-kamp darurat yang tersebar
di daerah-daerah pedalaman.
Juga atas bantuan Mustopo
dan Soemarsono yang sangat berpengaruh di daerah-daerah
pertempuran, para tahanan Tionghoa tersebut dibebaskan29.
29
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1990 dan Soemar-
sono, Desember 1992
110
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Siauw tetap menganggap bahwa banyak kerusuhan anti Tionghoa
itu disebabkan oleh kegiatan-kegiatan Belanda dalam mendorong
berkembang biaknya kebencian rasial. Ia menerima banyak laporan
yang menggambarkan taktik-taktik yang digunakan Belanda dalam
menimbulkan kebencian rasial terhadap golongan Tionghoa, yang
seolah-olah dilindungi oleh Belanda. Sering terjadi, menurut Siauw,
keadaan di mana Belanda membebaskan para tahanan kriminal
dari berbagai penjara untuk didorong merampok rumah-rumah
penduduk Tionghoa. Ketika perampokan itu berlangsung, tentaratentara Belanda datang dan menembak para pelaku perampokan.
Ini menimbulkan persepsi bahwa Belanda membela penduduk
Tionghoa dan siap sedia membunuh Rakyat miskin30.
Pada tanggal 22 Juli 1947, Siauw berpidato di radio pemerintah
yang disiarkan ke seluruh daerah RI. Dalam pidatonya ini, Siauw
mengutuk Belanda yang telah menimbulkan kekacauan yang
menjatuhkan banyak korban. Ia menghimbau Rakyat untuk tidak
mudah diprovokasi Belanda. Kemarahan Rakyat, menurut Siauw
harus sepenuhnya dipusatkan ke kekuatan militer Belanda.
Di dalam siaran yang sama, pidato-pidato Amir Sjarifuddin selaku
Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan berjanji untuk melindungi
jiwa dan harta penduduk Tionghoa. Soekarno-pun mengeluarkan
pernyataan dalam siaran yang sama dan isinya mengutuk tindakantindakan yang bersifat rasis. Siauw juga berhasil mendorong Jendral
Sudirman untuk mengeluarkan instruksi tegas ke seluruh daerah
perang untuk melindungi penduduk Tionghoa dan menembak di
tempat orang-orang yang tertangkap melakukan perampokan31.
Untuk mengurangi penderitaan para pengungsi Tionghoa
dan menjamin kekuatan militer untuk tetap melindungi nasib
para pengungsi Tionghoa itu, Siauw menghimbau mereka untuk
berdikari. Ia menganjurkan mereka untuk menghasilkan tahu
tempe sendiri untuk mempertinggi kualitas makanan mereka dan
mengurangi ketergantungan mereka pada pemerintah. Usul seperti
30
31
Wawancara dengan Siauw di penjara RTM, 1971
Siauw, Lima Jaman, pp 120-121
111
Siauw Giok Tjhan
ini dikecam oleh berbagai surat kabar Tionghoa. Harian Sin Po dan
Keng Po menjuluki Siauw menteri tahu-tempe.
Kesulitan yang dihadapi oleh Siauw dalam menghimbau
masyarakat Tionghoa untuk tetap percaya pada RI menjadi
lebih besar pada saat itu. Serangan Belanda telah menyebabkan
masyarakat Tionghoa mengalami penderitaan dan tekanan yang
jauh lebih berat di daerah-daerah yang dikuasai oleh RI. Beritaberita juga disiarkan bahwa keadaan di daerah-daerah yang sudah
jatuh ke tangan Belanda lebih aman bagi penduduk Tionghoa. Ini
lalu menyebabkan terjadinya exodus penduduk Tionghoa dari
daerah-daerah RI ke daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda.
Walaupun Siauw telah memberi berbagai jaminan yang juga
didukung oleh Soekarno dan Jendral Sudirman, penduduk Tionghoa
tetap tidak mempunyai kepercayaan akan keamanan di daerahdaerah RI. Celakanya, banyak laskar pemuda tetap melakukan
perbuatan-perbuatan yang mempersulit penduduk Tionghoa dan
ini dengan sendirinya mempersulit posisi Siauw sebagai menteri.
Akibat kekacauan yang dialami oleh penduduk Tionghoa
dan kurang mampunya pemerintah RI melindungi harta dan
jiwa penduduk Tionghoa ini menyebabkan Siauw diinterpleasi
oleh pihak oposisi di dalam Badan Pekerja. Siauw adalah satusatunya menteri yang diinterplasi semasa kekuasaan kabinet Amir.
Dalam jawabannya di dalam Badan Pekerja, Siauw menekankan
bahwa keadaan buruk yang dialami oleh penduduk Tionghoa ini
merupakan warisan kolonialisme dan kurang disiplinnya laskarlaskar pemuda. Ia juga menegaskan bahwa taktik memecah belah
yang digunakan oleh Belanda pada masa penyerangannya ini
membuat daya upaya pemerintah untuk menangani kerusuhan
menjadi sangat terganggu.
Karena penduduk Tionghoa sering menjadi sasaran dari
kesatuan-kesatuan pemuda yang bersenjata, Amir meminta
Siauw untuk turut menghadiri semua rapat-rapat departemen
pertahanan yang menyiapkan strategi pertahanan dan perlawanan
terhadap pasukan Belanda. Rapat-rapat yang sering diikuti oleh
112
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
jendral-jendral Urip, Sutomo, Soemarsono dan Sakirman, sering
memformulasikan taktik “bumi hangus” di mana rumah-rumah
di jalan-jalan raya di hancurkan dan dibakar sebelum pasukan
Belanda datang menyerang atau masuk ke kota-kota. Siauw
mengetahui bahwa banyak rumah-rumah di jalan-jalan besar ini
dihuni oleh penduduk Tionghoa dan ia menentang taktik demikian.
Ia menyatakan dalam rapat-rapat tersebut bahwa menghancurkan
gedung-gedung di kota-kota besar malah melemahkan pertahanan
karena gedung-gedung itu berguna untuk dijadikan bentengbenteng perlawanan. Ia berhasil meyakinkan para pemimpin
pertahanan untuk tidak menghancurkan gedung-gedung di kotakota besar, tetapi tetap ada saja gedung-gedung yang dihancurkan
dan dibakar32.
Walaupun Siauw gagal meyakinkan sebagian besar masyarakat
Tionghoa untuk mendukung RI, tindakan-tindakan Siauw telah
mempersulit Belanda dalam mempropagandakan persepsi bahwa
pemerintah RI bukan saja tidak berminat untuk melindungi
penduduk Tionghoa melainkan menjadikannya sasaran empuk
dari pasukan-pasukan liarnya.
Pada bulan Oktober 1947, PBB mengirim delegasinya, yang
terdiri dari wakil-wakil dari Australia, Belgia dan Amerika
Serikat, untuk memeriksa kemampuan pemerintah RI dalam
menjaga keamanan di negaranya sendiri, setelah propagandapropaganda pihak Belanda. Berhasilnya Siauw dalam menemukan
kamp-kamp liar yang menahan banyak penduduk Tionghoa dan
membebaskannya sebelum kunjungan itu, telah memperkuat posisi
RI di mata dunia internasional, karena walaupun ada tanda-tanda
kerusuhan rasial, tapi pemerintah RI ternyata bisa bekerja cepat
dalam menanganinya33.
Sebuah hal lain yang menjadi tugas Siauw sebagai menteri
berkaitan dengan urusan kewarga- negaraan Indonesia. Chia Tsia
32
33
Ibid. pp125-126
Ibid. pp122-123
113
Siauw Giok Tjhan
Tung, wakil pemerintah Kuo Min Tang, mendapat dorongan dari
sementara golongan Tionghoa yang merasa menjadi warga negara
Indonesia merugikannya untuk mengunjungi Yogyakarta menuntut
perubahan hukum kewarga negaraan. Pada waktu itu dirasakan
oleh sementara penduduk Tionghoa bahwa lebih aman menjadi
orang asing di Indonesia. Pada akhir 1947, Chia mengunjungi
Yogyakarta untuk mendesak Siauw supaya mengganti sistem
kewarganegaraan dari Pasif menjadi Aktif. Siauw menemuinya dan
menjelaskan alasan-alasan pemerintah Indonesia dalam memilih
sistem Pasif, yaitu di mana semua orang yang lahir di Indonesia
sebelum kemerdekaan diterima oleh pemerintah Indonesia sebagai
warga negara Indonesia, sampai ia menolaknya. Chia Tsia Tung
meninggalkan Yogyakarta dengan tangan kosong34.
Selain tugas kementeriannya, Siauw tetap aktif di dalam Partai
Sosialis, terutama di dalam seksi penerangannya. Oleh Partai
Sosialis, ia diminta untuk memimpin terompet Partai Sosialis yang
dinamakan harian Suara Ibu Kota. Dalam tugas ini, Siauw dibantu
oleh dua tokoh PKI muda, DN. Aidit dan Njoto, kedua-duanya tinggal
di Yogyakarta pada masa itu. Njoto, yang pada waktu itu baru
berumur 20-an, dikatakan menerima pendidikan jurnalistiknya dari
Siauw35. Siauw tetap memimpin harian ini sampai ia meninggalkan
Yogyakarta pada tahun 1950.
Perlu juga dituturkan bahwa kepribadian Siauw dan
kesungguhannya dalam memperjuangkan perbaikan posisi RI
membuatnya diterima oleh berbagai kelompok politik di Yogyakarta,
baik kanan maupun kiri. Dalam waktu singkat, ia diterima oleh
berbagai tokoh di Yogyakarta sebagai salah satu “bung” dan keTionghoaannya tidak menghalangi terjalinnya hubungan baik
dengan para pejuang yang berdomisili di Yogyakarta.
Pada tanggal 11 November 1947, Amir mengubah struktur
kabinetnya untuk mengakomodasi beberapa anggota Masjumi di
dalamnya. Siauw tetap menjabat menteri.
34
35
Ibid. p124
Wawancara dengan Soemarsono, Juli 1992
114
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Karena tekanan internasional, pertempuran antara kedua
negara ini akhirnya dihentikan dan perletakan senjata ini dicapai
pada tanggal 4 Agustus 1947. Akan tetapi pada saat itu, daerah
yang dikuasai RI menjadi jauh lebih kecil. RI hanya menguasai
Jawa Barat, sebagian dari Jawa Timur dan Sumatra. Peranan
PBB diperluas dan ditugaskan untuk menjadi koordinator dan
pengawas perundingan baru antara Belanda dan RI. Perundingan
yang diadakan di kapal Amerika Serikat bernama Renville, dimulai
pada tanggal 8 Desember 1947.
Setelah beberapa minggu berunding, perjanjian baru akhirnya
diterima oleh kedua belah pihak dan ini ditanda tangani pada
tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian ini memberi konfirmasi bahwa
Belanda tetap menguasai semua daerah yang ia duduki setelah aksi
polisi yang dijalankannya pada bulan-bulan Juli dan Agustus 1947.
Dengan demikian disetujui bahwa RI akan menarik semua kekuatan
militernya dari daerah-daerah tersebut sampai terbentuknya RIS.
Seperti Sjahrir, Amir menghadapi posisi politik yang sulit untuk
dipecahkan. Kekuatan militer RI sangat lemah. Ia juga menerima
banyak laporan yang menunjukkan kekuatan RI dalam bertahan
semakin lemah, karena kurangnya senjata dan amunisi. Disamping
itu, Amerika Serikat dan Inggris kian mendesak pemerintah RI
untuk mencapai persetujuan melalui jalan berunding.
Akhirnya, Amir mengalami apa yang Sjahrir alami 6 bulan
sebelumnya. Sebelum ia menanda tangani persetujuan Renville
tersebut, ia sudah mendapat persetujuan wakil-wakil berbagai partai
politik yang duduk di dalam kabinetnya, terutama Masjumi, Partai
Sosialis dan PNI. Siauw teringat bahwa walaupun dalam tubuh Partai
Sosialis terdapat aliran yang ingin meneruskan perjuangan melalui
pertempuran di lapangan, untuk mempertahankan persatuan
di dalam tubuh partai ini, para pimpinannya memutuskan untuk
sepenuhnya mendukung Amir36. Akan tetapi, setelah persetujuan
Renville itu siap untuk ditanda tangani, PNI dan Masjumi
36
Ibid. p132
115
Siauw Giok Tjhan
menyatakan bahwa mereka tidak mendukung persetujuan itu dan
mengecam Amir. Mereka juga mengumumkan bahwa mereka akan
keluar dari kabinet Amir.
Pada tanggal 22 January 1948 Amir mengadakan pertemuan
dengan para anggota kabinet yang berasal dari sayap kiri termasuk
Abdulmadjid, Tjokronegoro, Hendromartono, Soyas, Setiadi, Siauw
Giok Tjhan, Tamzil, Wikana and Maruto Darusman37. Di dalam
pertemuan itu Amir menyatakan kekecewaannya dan merasa telah
dihiananati oleh PNI dan Masjumi. Tanpa berkonsultasi dengan
pimpinan Partai Sosialis lainnya, ia menyatakan akan meletakkan
jabatannya sebagai Perdana Menteri38. Pada tanggal 23 January
1948 ia secara resmi mengumumkan bahwa ia meletakkan
jabatannya.
Menurut Siauw, Soekarno segera mengembalikan mandat pada
Amir untuk membentuk kabinet baru. Tetapi Amir, lagi-lagi tanpa
berkonsultasi dengan pimpinan Partai Sosialis lainnya menolak.
Akhirnya, seminggu kemudian, Hatta diminta oleh Soekarno untuk
membentuk kabinet baru. Hatta menawarkan posisi Menteri
Pertahanan pada Amir. Inipun ditolaknya39. Kabinet Hatta tidak
lagi mempunyai kementerian yang khusus menangani masalah
minoritas. Dengan mundurnya Amir, Siauw tidak lagi berada dalam
kabinet.
Keputusan Amir untuk tidak masuk ke dalam kabinet Hatta
mungkin terdorong oleh kekecewaannya terhadap para pimpinan
Masjumi seperti Sukiman yang terlihat dekat dengan Frank
Graham, wakil dari Amerika Serikat yang menjadi anggota dari
delegasi PBB. Frank Graham telah memainkan peranan penting
dalam mendorong RI untuk menerima persetujuan Renville dan
Amir merasa bahwa pihaknya menginginkan jatuhnya ia sebagai
Perdana Menteri. Pihak Soviet Uni di kemudian hari menyatakan
37
38
39
I.N. Soebagijo: SK Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa, p159
Siauw, Lima Jaman, pp132-133
Ibid. p133
116
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
bahwa dekatnya pimpinan Masjumi dengan Graham menandakan
bahwa pihak Amerika Serikat memainkan peranan penting dalam
menjatuhkan pemerintahan Amir yang beraliran kiri40.
Berada di Oposisi
Kabinet Hatta yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1948
didominasi oleh Masjumi dan PNI. Untuk pertama kalinya sejak
sistem kabinet parlementer dimulai pada tahun 1945, kelompok
sayap Kiri yang dipimpin oleh Partai Sosialis tidak duduk dalam
pemerintahan.
Kabinet Hatta didominasi oleh Masjumi dan PNI yang tadinya
menolak program perundingan yang dicapai oleh Amir Sjarifuddin
beberapa minggu sebelumnya sehingga kabinet Amir jatuh,
program politik kabinet ini ternyata mendukung dan menandatangani persetujuan Renville.
Di dalam Partai Sosialis, ketegangan antara kelompok kiri yang
terdiri dari orang-orang yang mendukung Amir dan kelompok
kanan yang mendukung Sjahrir, semakin memuncak. Ketegangan
ini dimulai dengan jatuhnya Sjahrir dari posisi Perdana Menteri
pada bulan Juni 1947. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika
Sjahrir kembali dari luar negeri pada akhir bulan Januari 1948.
Walaupun Sjahrir mengecam Amir yang mendukung persetujuan
Renville, ia juga tidak bisa menerima sikap Amir yang tidak mau
bekerja sama dengan kabinet Hatta. Perlu diingat bahwa Sjahrir
memang mempunyai hubungan erat dengan Hatta.
Akhirnya, konflik ini memecahkan Partai Sosialis. Pada tanggal
13 Februari 1948, para pemimpin yang mendukung Sjahrir seperti
Supeno, Subadio, Djohan Sjahroezah and Tan Po Goan meninggalkan
Partai Sosialis dan mendirikan partai baru yang dinamakan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Cabang-cabang Partai Sosialis yang tadinya
didominasi oleh para pendukung Sjahrir, terutama yang berada di
Jawa Barat, Sumatra dan beberapa tempat di Jawa Timur, segera
40
Ibid. p 18
117
Siauw Giok Tjhan
mendukung pembentukan PSI baru ini.
Akan tetapi, sebagian besar anggota Partai Sosialis dan para
pemimpinnya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Tan Ling Djie masih
tetap setia pada Amir dan tetap mendukungnya dalam partai Sosialis.
Perpecahan ini ternyata tidak terlalu mempengaruhi struktur Sayap
Kiri, karena Partai Sosialis dengan 30.000 anggotanya, PBI dengan
1.000 anggota, Pesindo dengan 100.000 anggota, PKI dengan 3.000
anggota, SOBSI dengan 1 juta anggota dan BTI ternyata masih
mendukung kepemimpinan Amir Sjarifuddin41.
Pada tanggal 21 Februari 1948, Sayap Kiri ini mengadakan
konperensi di Solo. Di situ, mereka bersepakat untuk mengganti
nama mereka menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam
konperensi yang sama, mereka mengecam Masjumi dan PNI yang
telah menghianati Amir dan menyatakan bahwa mereka menentang
kebijakan politik kabinet Hatta42.
Gerakan politik di dalam RI ketika itu berporos pada kegiatan di
tiga kota, Yogyakarta, Solo dan Madiun. Yogyakarta sebagai ibu kota,
sudah sendirinya merupakan tempat domisili semua pemimpin
partai politik. Kekuatan militer di kota itu berada di tangan Sultan
Hamengku Buwono IX.
Solo adalah pusat tiga kekuatan bersenjata, Pesindo, Barisan
Banteng yang mendukung Tan Malaka dan kekuatan Hizbullah yang
berkiblat ke Masjumi. Wikana, pemimpin Pesindo, diangkat oleh
Amir untuk menjadi gubernur militer Solo dan tetap memegang
posisi ini walaupun Amir telah jatuh pada bulan Januari 1948.
Akan tetapi, ia tidak berdaya dalam menguasai keadaan Solo yang
penuh dengan ketegangan akibat kehadiran kekuatan-kekuatan
bersenjata yang tidak bersatu43.
Madiun adalah pusat kekuatan Sayap Kiri. Di kota ini Sayap
Kiri mendirikan Marx House di mana pendidikan politik dan
41
42
43
Ann Swift, The Road to Madiun, p 6
Ibid. p22
Ibid. p 15
118
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
berbagai macam pertemuan penting di adakan. Kader-kader Sayap
Kiri dibina di sana. Pimpinan Sayap Kiri di kota ini diwakili oleh
Soemarsono dan Oei Gee Hwat. Tan Ling Djie adalah pemimpin
yang paling dominan dalam menentukan dasar-dasar pendidikan
di Marx House. Siauw Giok Tjhan tetap memainkan peranannya
sebagai perantara antara pimpinan Partai Sosialis dengan kelompok
Pesindo44.
Di bulan-bulan pertama setelah kabinet Hatta dibentuk, FDR
melakukan oposisinya dengan cara-cara konvensional. Mereka
mencoba menjatuhkan Hatta melalui Badan Pekerja dan pertemuanpertemuan umum lainnya. Amir dan para pimpinan FDR lainnya
sering keliling di kota-kota besar di Jawa tengah untuk mendapatkan
dukungan luas dalam menentang Hatta. Soekarno yang selalu
menginginkan adanya persatuan berusaha keras untuk tidak
memilih golongan, walaupun sering terlihat kecenderungannya
untuk mendukung kelompok Amir. Pada pertengahan bulan Mei,
terasa adanya kemungkinan untuk mengikut sertakan orangorang FDR di dalam kabinet Hatta. Dan semua partai politik pada
saat itu bersedia mengeluarkan pernyataan yang mendukung
adanya persatuan nasional. Akan tetapi perkembangan politik
di akhir bulan Mei 1948 mengubah situasi secara dramatis, yang
menyebabkan jurang pemisah kiri dan kanan menjadi semakin
lebar. Ini disebabkan oleh garis politik yang diambil oleh FDR45.
Seorang wakil FDR, Suripno berhasil mengadakan pembicaraan
dengan pimpinan Soviet Uni di Praha pada tanggal 22 Mei 1948.
Dalam pertemuan itu dinyatakan bahwa Soviet Uni bersedia untuk
menjalin hubungan diplomatik dengan RI. Atas tekanan Amerika
Serikat, Hatta menunjukkan ketidak bersediaannya untuk menjalin
hubungan diplomatik dengan Soviet Uni.
Para pemimpin FDR pada saat ini mulai frustrasi dengan sikap
Amerika Serikat yang menurutnya terlalu mendukung Belanda.
44
45
Wawancara dengan Soemarsono
Ibid. p31
119
Siauw Giok Tjhan
FDR mengeluarkan beberapa pernyataan yang mengecam sikap
pemerintah Hatta yang selalu siap menerima petunjuk-petunjuk
Amerika Serikat dan secara terang-terangan menyatakan sikap
FDR yang cenderung berkiblat ke Soviet Uni. Sikap ini tentunya
melenyapkan kemungkinan untuk menciptakan rekonsiliasi
nasional dan menyebabkan FDR tetap berada di pihak oposisi.
Peristiwa Madiun
Dengan adanya konflik Soviet Uni dan Amerika Serikat seperti
yang dituturkan di atas, pada awal bulan Juni 1948, FDR mulai
mengkoordinasi pemogokan-pemogokan
dan demonstrasidemonstrasi di berbagai kota besar. Agitasi militer dijalankan pula di
berbagai kalangan militer. Sampai saat ini yang ditekankan oleh FDR
tetap melaksanakan perjanjian Renville. Tidak banyak penekanan
yang berhubungan dengan pengaruh politik internasional yang
pada saat itu diwarnai oleh Amerika Serikat dan Soviet Uni. Tetapi
dalam tuntutan-tuntutan FDR, ditekankan harapan agar hubungan
diplomatik dengan Soviet Uni bisa segera terjalin46.
Situasi ini berubah secara dramatis setelah Musso datang
ke Yogyakarta pada tanggal 11 Agustus 1948. Musso, seorang
pemimpin Komunis yang berpengalamn dan dihormati oleh banyak
pejuang di Indonesia, dianggap membawa mandat dari pimpinan
Soviet Uni untuk memimpin sebuah gerakan yang efektif. Dalam
beberapa hari setelah kedatangannya, ia mempengaruhi PKI dan
setelah itu FDR secara keseluruhan.
Musso membawa sebuah rencana yang ia namakan Jalan Baru.
Rencana ini semestinya disiapkan sebelum ia datang di Indonesia.
Di dalamnya ia mengecam kaum komunis Indonesia dan caracara yang selama ini telah dipergunakan dalam memimpin
FDR. Ia mengecam pimpinan komunis yang menurutnya telah
menyerahkan kepemimpinan nasional ke kelompok burjuis. Juga
dikecam peranan PKI di dalam FDR, yang baginya sangat kecil.
46
Ibid. p50
120
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Amir dikritiknya sebagai pemimpin yang tidak bijaksana karena
telah menyerahkan palu pemerintahan ke pihak kanan sehingga
mereka berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya.
Ia juga menyatakan bahwa Partai Sosialis dan partai-partai yang
tergabung di dalam FDR harus dilebur dalam PKI dan pembentukan
front nasional yang akan datang harus dipimpin oleh PKI. Kehadiran
Musso yang juga menuntut dibatalkannya persetujuan Renville
dan dihentikannya politik berdiplomasi ternyata menggairahkan
banyak anggota FDR yang sudah lama frustrasi dengan posisi lemah
mereka. Oleh karena itu, dalam waktu singkat Musso diterima
sebagai pemimpin baru yang berwibawa.
Pada tanggal 31 Agustus 1948, PKI mengumumkan peleburan
Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI. Pada waktu
yang bersamaan mereka juga mengumumkan dibubarkannya FDR.
Setelah itu Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, Abdulmadjid, Setiadjit
and Wikana menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota
PKI sejak tahun 1935. Banyak yang terkejut dengan pernyataan
Amir Sjarifuddin ini. Juga dibuka ke umum bahwa Tan Ling Djie,
Abdulmadjid dan Setiadjit sudah masuk ke dalam Partai Komunis
Belanda sebelum mereka kembali ke Indonesia.
Pada tanggal 1 September 1948 PKI mengumumkan Polit Biro
barunya, yang beranggotakan Musso sebagai Sekretaris Jendral,
Tan Ling Djie sebagai wakil Sekretaris Jendral dan Amir Sjarifuddin
sebagai ketua seksi pertahanan. Jelas, peranan Amir diperkecil dan
Musso-lah yang tampil sebagai pemimpin baru.
Tan Ling Djie sebenarnya tidak 100% mendukung program kerja
Musso, karena ia selalu lebih cenderung dengan cara kerja yang
hati-hati dan efektif. Ia mendukung konsep bekerja di mana Partai
Sosialis dengan FDR-nya tetap berkembang sebagai kekuatan
nasional yang mengikut sertakan semua aliran politik dan PKI tetap
merupakan partai kecil yang bekerja di belakang layar. Rencana
kerja yang diajukan oleh Musso menurutnya berbahaya dan bisa
menghancurkan organisasi. Tetapi ia mengambil keputusan
untuk mengikuti arus untuk sementara waktu, karena memang
121
Siauw Giok Tjhan
momentum kehadiran Musso sulit untuk dibendung pada waktu
itu.
Peleburan ini tidak 100% diterima oleh setiap anggota FDR. Para
anggota yang berada dalam pihak yang moderat di Partai Sosialis,
PBI dan SOBSI menolak untuk masuk ke PKI. Di antaranya Siauw
Giok Tjhan. Ia melihat fungsinya sebagai wakil golongan minoritas
lebih baik dilakukannya di luar PKI, karena program-program partai
politik, menurutnya sering berkontradiksi dengan kepentingan
golongan minoritas. Dengan dibubarkannya Partai Sosialis dan
FDR, Siauw memilih untuk tetap berada di Badan Pekerja sebagai
wakil golongan minoritas tidak ber-partai. Pandangannya ini
diterima oleh Tan Ling Djie, yang tidak mendesaknya untuk masuk
ke PKI. Walaupun Siauw tidak masuk ke PKI, hubungannya dengan
para pimpinan PKI baru tetap baik47.
Pada awal bulan September 1948, Musso, Amir, Setiadjit dan
Wikana mulai berkeliling di daerah-daerah yang dikuasai RI
(dikenal sebagai daerah Republiken). Tujuan utamanya adalah
memperkenalkan program-program kerja PKI dan memperluas
dukungan Rakyat untuk PKI. Di dalam pertemuan-pertemuan
umum itu, Musso menyerukan agar persetujuan Renville dibatalkan.
Seruan Musso disambut oleh hangat oleh Rakyat banyak. Dan
keadaan ini mulai mengkhawatirkan pihak pemerintah yang
sedang mengadakan perundingan dengan pihak Belanda untuk
menghindari pertempuran.
Pada waktu yang bersamaan, para pendukung Tan Malaka yang
tadinya berada dalam barisan Persatuan Perjuangan mencoba
untuk mengimbangi kepopuleran Musso. Timbullah konflik
bersenjata antara Pesindo dan Barisan Banteng, diikuti dengan
penculikan-penculikan atas para pemimpin PKI dan kelompok Tan
Malaka di Solo. Kejadian ini mendorong Soemarsono, pemimpin
Pesindo yang mengontrol Madiun untuk melucuti Barisan Banteng
dari semua persenjatannya.
47
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, 1970
122
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Tanpa diketahui oleh Soemarsono, tindakan dalam melucuti
persenjataan Barisan Banteng digambarkan di luar Madiun
sebagai tindakan kudeta. Walaupun ia tidak pernah mengeluarkan
pernyataan apa-apa dan juga tidak mengambil alih kantorkantor pemerintahan, diumumkan oleh pemerintah RI bahwa
Soemarsono telah menguasai kantor-kantor pemerintahan dan
telah mengeluarkan pernyataan di radio Madiun bahwa di kota itu
pada tanggal 18 September telah didirikan pemerintah Soviet. Ia
dikatakan juga telah menyerukan pembentukan pemerintah Soviet
di kota- kota lainnya. Juga dikabarkan bahwa Soemarsono telah
menahan semua perwira yang mendukung pemerintah RI48.
Ketika Musso, Amir, Setiadjit dan Wikana tiba di Madiun pada
tanggal 19 September, mereka menghadapi situasi yang sulit.
Kelompok-kelompok bersenjata yang menentang mereka telah
berhasil didorong oleh pemerintah untuk menyerangnya di Madiun.
Akhirnya mereka tidak mempunyai jalan lain, dan mulai melakukan
perlawanan.
Pada waktu bersamaan, Soemarsono dihubungi oleh Kolonel
Soeharto (yang kemudian menjadi presiden RI kedua) dari
Yogyakarta yang ditugaskan Jendral Sudirman untuk memastikan
sampai di mana kebenaran berita bahwa di Madiun telah berdiri
pemerintah Soviet. Ketika Soeharto sampai di Madiun, ia terkejut
karena ternyata pemberitaan yang diumumkan di siaran-siaran
radio serta surat-surat kabar tidak benar. Soemarsono mengajak
Soeharto keliling kota Madiun membuktikan bahwa bendera merah
putih-lah yang masih berkibar di seluruh pelosok kota. Penjarapenjara juga tidak penuh dengan tahanan-tahanan politik seperti
yang diberitakan. Juga, tidak ada pengontrolan kantor-kantor
pemerintah. Soeharto dikabarkan kembali ke Yogyakarta dengan
laporan kunjungannya ini. Tetapi sikap pemerintah tidak berubah49.
Perkembangan selanjutnya memburuk. Soekarno dan Musso
48
49
Wawancara dengan Soemarsono in Juli 1992
Ibid.
123
Siauw Giok Tjhan
saling mengecam melalui siaran-siaran radio. Ini memperkuat
tuduhan pemerintah RI bahwa Musso telah melakukan kudeta dan
ingin menggantikan Soekarno dengan kekerasan.
Dalam waktu dua bulan. Kekuatan PKI dihancurkan oleh
kekuatan militer pemerintah yang didukung oleh Barisan Banteng
dan Hizbullah. Kader-kader PKI dan pimpinannya terpaksa
melarikan diri dan menjadi buronan. Musso sendiri terbunuh
dalam salah satu pertempuran. Pertahanan PKI akhirnya berhenti
dengan tertangkapnya Amir Sjarifuddin di Purwodadi pada tanggal
1 Desember 1948.
Tidak sadar akan perkembangan di Madiun dan sekitarnya,
banyak pimpinan PKI yang berada di Yogyakarta terkejut ketika
mereka ditangkap oleh Angkatan Perang RI. Tan Ling Djie, Abdul
Madjid dan banyak pemimpin lainnya ditangkap di Yogyakarta
sekitar tanggal 19 September 1948. Siauw Giok Tjhan yang pernah
menjadi tokoh FDR dan banyak tokoh kiri lainnya juga tidak lolos
dari penangkapan pemerintah. Ia ditahan bersama Tan Ling Djie
dan banyak tahanan lain di penjara Wirogunan di Yogyakarta.
Peristiwa Madiun ini menghancurkan kekuatan PKI dan
kekuatan kiri yang pernah mendominasi politik pemerintahan
Indonesia. Hampir semua pemimpin utamanya ditangkap dan
dibunuh. Musso, Amir Sjarifuddin, Suripno, Oei Gee Hwat dan
banyak pemimpin lainnya diekesekusi tanpa proses pengadilan
apapun, sebagai pelaksanaan kebijakan pemerintahan Hatta yang
ingin memperoleh dukungan Amerika Serikat.
Serangan Belanda ke dua dan Kelanjutannya
Pada waktu yang bersamaan perundingan dengan Belanda gagal
mencapai hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Pada tanggal
19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang daerah-daerah RI.
Yogyakarta jatuh ditangannya pada tanggal 20 Desember. Soekarno,
Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan beberapa tokoh lainnya ditangkap
dan dikirim ke Sumatra.
124
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
Ketika mengetahui akan adanya serangan Belanda, para
komandan militer RI khawatir akan adanya tindakan balas
dendam dari para tokoh PKI yang ditahan. Oleh karenanya mereka
memerintahkan agar semua tahanan politik PKI dibunuh. Para
penjaga penjara diperintahkan untuk melempar granat-granat
ke dalam kamar-kamar penjara. Ini terjadi di berbagai penjara.
Di Wirogunan, para penjaga penjara ternyata tidak sampai hati
untuk melakukannya. Bukannya melempar granat, mereka malah
membuka kunci-kunci kamar tahanan dan mendorong para
tahanan untuk melarikan diri. Siauw Giok Tjhan dan Tan Ling
Djie turut beruntung, karena bisa melarikan diri dari Wirogunan.
Mereka kembali ke rumah masing-masing di Yogyakarta. Yang
mempunyai latar belakang militer ternyata tidak melakukan
tindakan balas dendam, melainkan menyatukan dirinya dengan
gerakan bergerilya yang dipimpin oleh Jendral Sudirman. Banyak
diantaranya menjadi pemimpin gerakan bergerilya ini dan diakui
jasanya oleh Jendral Sudirman.
Tidak lama setelah Siauw sampai di rumah, ia ditangkap lagi
oleh pasukan Belanda yang menduduki Yogyakarta dan yang telah
mempunyai daftar nama-nama tokoh yang harus ditahan. Jadi ia
masuk kembali ke dalam penjara Wirogunan. Kali ini ia meringkuk
di dalam penjara itu bersama para tokoh politik yang pernah
menjadi musuh-musuh politik kelompok FDR, seperti Anwar
Tjokroaminoto, Abikusno Tjokrosisworo dan Arudji Kartawinata
dari PSII, Wilopo dan Sajuti Melik dari PNI dan Adam Malik dan
Ibnu Parna dari partai Murba.
Sikap Siauw yang supel dan ramah ternyata menyebabkan
ia mampu bergaul dengan baik dengan semua tahanan politik.
Bersama dengan Sajuti Melik dan Anwar Tjokroaminoto, Siauw
menerbitkan harian yang mereka namakan Suara Tapa. Harian
yang menuturkan berita-berita nasional dan internasional berserta
analisa politik itu ditulis oleh Siauw sendiri. Ia disebar luaskan di
dalam Wirogunan melalui pembagian kopi. Siauw memperoleh
bahan-bahannya dari berbagai surat kabar yang bisa diselundupkan
125
Siauw Giok Tjhan
ke dalam penjara dan juga siaran-siaran radio.
Kemampuan Siauw dalam menyatukan pendapat di dalam
kelompok politikus dari berbagai aliran jelas nampak di dalam
penjara. Ia mengambil inisiatif untuk mengadakan diskusi-diskusi
politik di dalam penjara. Salah satu hasil dari diskusi politik itu
adalah Piagam Wirogunan yang diselundupkan ke luar penjara
untuk dikirim ke PBB. Tidak jelas apa nasib Piagam yang juga
ditulis oleh Siauw itu. Tetapi isinya mencerminkan keinginan para
tahanan politik di sana untuk mendirikan Indonesia yang merdeka
penuh dan yang bersifat sosialistis.
Pada bulan Agustus 1949 penguasa penjara Belanda
memindahkan Siauw dan lima tahanan lainnya, Achmad Subardjo,
Anwar Tjokroaminoto, Aruji Kartawinata, Adam Malik dan S.
Parman ke Ambarawa di Jawa tengah. Rupanya mereka dianggap
kelas berat dan berbahaya oleh Belanda. Mereka adalah tahanantahanan yang terakhir dibebaskan oleh Belanda.
Mereka
dibebaskan dari Ambarawa pada bulan November 1949 setelah
kedua pemerintah, RI dan Belanda mencapai kesepakatan dalam
perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Meja Bundar
(Round Table Conference).
Dipenjarakannya Siauw dalam Wirogunan dan kemudian
Ambarawa menyebabkan hubungan pribadinya dengan banyak
tokoh nasional, terutama yang tidak berasal dari FDR, menjadi
lebih dekat. Siauw menjadi sahabat kental tokoh-tokoh Murba,
PNI dan PSII. Hubungan dekat ini nantinya sangat berguna bagi
Siauw dalam perjuangannya di parlemen pada tahun 1950-an
dan juga menyebabkan Siauw menjadi salah satu tokoh yang bisa
diterima sebagai perantara dari berbagai aliran politik yang tidak
bisa mencapai persetujuan dengan cara yang baik50.
Begitu Siauw dibebaskan dari penjara, ia segera menghadiri
rapat-rapat Badan Pekerja. Di situ ia mengecam Perjanjian
Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference Agreement)
50
Wawancara dengan Oey Hay Djoen, November 1997 dan Soemarsono, Juli 1992
126
Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP
yang menjadi dasar pembentukan RIS. Menurut Siauw Perjanjian
KMB ini mengandung beberapa hal yang sangat merugikan posisi
RI. Ia menguraikan tentangannya terhadap pasal yang akan
menyebabkan Indonesia berada di posisi lemah karena pasal itu
mendorong berkembangnya kapital perusahaan-perusahaan asing.
Ia juga menentang pasal yang mengizinkan orang Belanda menjadi
warga negara Indonesia hanya setelah ia tinggal di Indonesia
selama 6 bulan. Akan tetapi ia mendukung keputusan KMB yang
mempertahankan sistem kewarga negaraan Pasif.
Satu hal yang ia kecam dengan keras adalah kesediaan pemerintah
RI dalam menerima tanggung jawab atas hutang-hutang Belanda
dan membayar kerusakan-kerusakan yang diderita oleh warga
negara Belanda serta perusahaannya semasa zaman revolusi.
Menurut Siauw, ini akan menghancurkan ekonomi Indonesia. Ia
kecam pula kesediaan pemerintah RI untuk menunda penyelesaian
Irian Barat. Menurutnya ini memberi kesempatan kepada Belanda
untuk mempertahankan sistem penjajahannya di tanah Indonesia,
yang bisa membahayakan kemerdekaan Indonesia51.
Akan tetapi posisi Hatta yang cenderung meratifikasi perjanjian
ini sudah terlalu kuat. Tentangan di Badan Pekerja dan KNIP tidak
cukup untuk mengubah posisinya. Akhirnya Perjanjian ini diterima
secara resmi oleh pemerintah RI. Pada bulan Desember 1949, RIS
secara resmi dibentuk. Siauw sebagai anggota Badan Pekerja
otomatis menjadi anggota DPR RIS, mewakili pihak RI. Dengan
demikian, ia harus pindah ke Jakarta, yang dijadikan ibu kota RIS,
pada bulan Januari 1950.
Pengalaman Siauw sebagai salah seorang pemimpin Partai
Sosialis dan kehadirannya di Yogyakarta telah membawa Siauw ke
kancah politik nasional. Walaupun ia tetap berfungsi sebagai wakil
masyarakat Tionghoa di Badan Pekerja dan kemudian menjadi
Menteri untuk urusan minoritas dalam kabinet Amir Sjarifuddin,
ia tetap memperhatikan dan bekerja untuk berbagai kepentingan
nasional. Hubungan baiknya dengan banyak tokoh dari berbagai
51
Pidato Siauw di Badan Pekerja, Desember 1949
127
Siauw Giok Tjhan
aliran politik juga menyebabkan ia menjadi seorang figur yang
diterima baik oleh berbagai golongan politik, kanan maupun kiri.
Dibubarkannya Partai Sosialis dan FDR mendorongnya untuk tidak
lagi melibatkan dirinya dalam partai politik apapun, termasuk PKI.
Pengalamannya sebagai tokoh Partai Sosialis meyakinkannya
bahwa program-program partai politik sering bertentangan dengan
kepentingan golongan minoritas. Untuk bisa berfungsi sebagai
wakil minoritas di dalam badan legislatif, Siauw berkesimpulan
bahwa ia harus meneruskan tugasnya sebagai anggota parlemen
yang tidak berpartai. Inilah yang ia lakukan dalam menempuh
karier politiknya dalam 16 tahun mendatang.
128
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
BAB 5
JURNALISTIK DAN FRAKSI PROGRESIF
Karier politik Siauw Giok Tjhan sangat erat berhubungan dengan
jurnalistik dan keanggotaannya di parlemen. Begitu sampai di
Jakarta pada awal tahun 1950, Siauw segera memulai kembali
kegiatannya dalam bidang jurnalistik yang ia tekuni dan kerjakan
selama ia di Surabaya, Semarang, Malang dan Yogyakarta. Demikian
juga kegiatannya di dalam parlemen baru, parlemen RIS.
Dalam periode selanjutnya, walaupun Siauw menjadi pemimpin
berbagai publikasi surat kabar dan majalah-majalah politik, dan
juga aktif dalam dunia jurnalistik sehingga sering terlihat dalam
dunia para wartawan yang terkenal, tetapi karier-nya sebagai
seorang wartawan tidak begitu banyak diketahui oleh umum. Ia
ternyata lebih dikenal umum sebagai seorang pemilik perusahaan
surat kabar dan keaktifannya di dalam SPS (Serikat Perusahaan
Surat Kabar) memperkuat kepercayaan orang bahwa ia adalah
pemilik atau direktur surat kabar ketimbang wartawan yang setiap
harinya menulis berbagai macam artikel.
Akan tetapi, keberhasilan Siauw yang paling penting dalam
periode ini memang bukan dalam bidang jurnalistik, melainkan di
parlemen. Di Jakarta, berkat hubungan baik yang ia jalin dengan
para tokoh nasional yang menjadi pemimpin berbagai partai politik
yang berpengaruh, ia menjadi seorang anggota parlemen yang
ulung dan sering berhasil mencapai tujuan-tujuan politiknya atas
dasar dukungan luas di parlemen.
Dalam konteks ini, walaupun Siauw tetap memusatkan
perhatiannya pada persoalan-persoalan minoritas, tetapi ia mulai
mengembangkan pengetahuan politik dan ekonomi yang ia tekuni
dalam periode sebelumnya untuk diterapkan dalam berbagai
formulasi yang diperdebatkan di parlemen. Dan formulasinya
129
Siauw Giok Tjhan
tentang pembangunan Nasion Indonesia-pun berkembang di
zaman ini.
Dunia Jurnalistik Siauw Giok Tjhan
Setelah perang dunia ke dua berakhir, pers di Indonesia, seperti
sebelum Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, terdapat tiga
aliran besar, yang berbahasa Indonesia, Tionghoa dan Belanda.
Jakarta sebagai ibu kota RIS yang kemudian berubah menjadi
negara kesatuan RI, menjadi pusat penerbitan surat-surat kabar
yang berbobot dan besar sirkulasi-nya. Pada tahun 1950, jumlah
total surat kabar yang beredar di Jakarta berjumlah 499.150.
Darinya, jumlah peredaran surat kabar berbahasa Indonesia-lah
yang terbanyak (338.300), diikuti dengan yang berbahasa Belanda
(87.200) lalu yang berbahasa Tionghoa (73.650)1.
Jumlah penduduk Belanda meningkat banyak dalam periode
1945-1948 karena kembalinya para pedagang, pegawai
administrasi dan tentara Belanda ke Indonesia. Walaupun surat
kabar berbahasa Belanda dibaca juga oleh orang-orang Indonesia
dan Tionghoa yang berpendidikan Belanda, sebagian besar yang
membacanya adalah orang-orang Belanda sendiri.
Surat kabar berbahasa Tionghoa tentunya dibaca oleh
masyarakat Tionghoa totok yang pada waktu itu terbagi dalam
dua kelompok besar, kelompok yang mendukung Kuo Min Tang
(Partai nasionalis Tiongkok yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek)
dan kelompok yang mendukung Kun Chan Tang (Partai Komunis
Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung). Dalam waktu singkat,
jumlah yang mendukung Mao Tse Tung menjadi jauh lebih besar
daripada kelompok yang mendukung Chiang Kai Shek, yang
mendirikan Republik Tiongkok di Taiwan pada akhir tahun 1949.
1
Oey Hong Lee, Indonesian Government and Press During Guided Democracy, Hull Monographs on South East Asia, p 49.
130
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Surat kabar berbahasa Indonesia tentunya dibaca oleh orangorang Indonesia dan Tionghoa yang berpendidikan dan yang
tinggal di kota-kota besar, terutama di pulau Jawa. Tidak jelas
berapa besarnya penduduk Indonesia yang tinggal di luar Jakarta
yang membaca surat kabar, akan tetapi menurut statistik, jumlah
pembaca surat kabar berbahasa Indonesia yang menetap di
Jakarta merupakan 50% dari jumlah seluruh pembaca surat kabar
berbahasa Indonesia di Indonesia2. Banyak dari para pembaca
surat kabar berbahasa Indonesia ini adalah peranakan Tionghoa.
Akan tetapi, pada umumnya, para pembaca peranakan ini lebih
menyukai surat kabar atau majalah yang diterbitkan oleh penerbitpenerbit yang dimiliki oleh peranakan Tionghoa juga. Publikasi
surat kabar Tionghoa pada waktu itu didominasi oleh Sin Po yang
dipimpin oleh Ang Jan Goan, yang pada waktu itu masih cenderung
berkiblat ke Tiongkok dan Keng Po, yang dipimpin oleh Injo Beng
Goat, beraliran politik kanan dan cenderung mendukung garis
politik yang dianut oleh PSI.
Adanya kenyataan bahwa jumlah pembaca dari kalangan
masyarakat Tionghoa bertambah besar dan Sin Po maupun Keng
Po tidak kuat berkiblat ke pemerintah RI, yang didominasi oleh
tokoh-tokoh Yogyakarta, mendorong Siauw untuk mendirikan
sebuah publikasi yang dengan tegas mendukung posisi pemerintah
RI dan mengajak para pembacanya, terutama penduduk Tionghoa
untuk berorientasi ke Indonesia. Oleh karenanya, begitu tiba di
Jakarta pada akhir 1949, Siauw segera mencari kemungkinan
untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang bisa menandingi
Sin Po dan Keng Po, tapi berorientasi sepenuhnya ke Indonesia.
Tentunya, yang menjadi masalah adalah pencarian dana untuk bisa
menerbitkannya.
Selama ia menjadi menteri urusan minoritas, Siauw berhubungan
dengan banyak organisasi Tionghoa dan para pimpinannya.
Diantaranya adalah para tokoh totok yang berdomisili di Jakarta.
2
Ibid. p 50
131
Siauw Giok Tjhan
Banyak dari para tokoh yang dikenalnya dengan baik ini adalah
pedagang-pedagang kelas menengah dan pendukung revolusi
Mao Tse Tung di Tiongkok. Para tokoh totok Jakarta yang sering
berhubungan dengan Siauw termasuk Then Djin Sen, Ang Hok Lim
dan Lay Dje Hoa. Dengan ketiga tokoh inilah Siauw membicarakan
kemungkinan penerbitan surat kabar berbahasa Indonesia di
Jakarta.
Ketika rencana untuk menerbitkan surat kabar ini matang,
Lay Dje Hoa dan adiknya Lay Siauw Hoa, mengajak Siauw untuk
menemui Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan yang menerbitkan
harian Hong Po. Mereka mendengar bahwa Oei ingin menjual
percetakannya dan ingin mendiskusikan kemungkinan Siauw untuk
mengambil alih percetakan dan majalah berkala yang ia cetak3.
Oei Tiang Tjoe yang pada waktu itu berumur sekitar 56 tahunan,
adalah seorang tokoh Tionghoa yang ternama di Jakarta. Ia adalah
pemimpin Hoo Hap, sebuah organisasi sosial Tionghoa yang
ternama di Jakarta yang mengurus pemakaman dan memberikan
berbagai macam perlayanan sosial lainnya kepada masyarakat
Tionghoa. Hong Po yang dipimpinnya juga mengerjakan beberapa
tokoh nasionalis Indonesia termasuk M. Gani dan Tjipto4. Seperti
Mata Hari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat di zaman penjajahan
Belanda dan Sin Tit Po yang dipimpin Tan Ling Djie, Hong Po juga
berorientasi ke Indonesia5. Akan tetapi berbeda dengan Mata Hari
dan Sin Tit Po yang jelas anti Jepang, Hong Po sangat mendukung
Jepang. Itulah sebabnya, Oei pernah ditahan oleh Belanda pada
tahun 1941, karena dianggap membahayakan posisi penjajahan
Belanda di Indonesia6.
3
4
5
6
Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, adik Lay Dje Hoa, Okto
ber 1994.
M. Gani, Surat kabar Indonesia pada Tiga Zaman, Departe
men Penerangan, 1978, p 103
Ibid, p 103
Ibid, p 109; Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, Gunung Agung Singapore, 1981, p 93
132
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Hong Po
adalah satu-satunya harian yang diizinkan untuk beredar di Jakarta
dan kota-kota lainnya. Oei sendiri pernah diangkat oleh Jepang
untuk duduk dalam Badan Penasehat yang dipimpin oleh Soekarno.
Pada akhirnya, Hong Po pun dilarang beredar oleh Jepang, tetapi
para wartawannya diizinkan untuk meneruskan pekerjaannya
dalam surat kabar yang diterbitkan di bawah pengawasan Jepang.
Walaupun Hong Po tidak pernah terbit kembali setelah proklamasi
kemerdekaan, perusahaan percetakannya terus berjalan,
menerbitkan beberapa majalah berkala, diantaranya majalah
mingguan Sadar.
Oei tidak menyukai Injo Beng Goat, direktur Keng Po. Konfliknya
berdasarkan perbedaan pendapat dan haluan politik, tetapi juga
merupakan konflik pribadi. Selain memimpin Keng Po, Injo Beng
Goat juga menerbitkan Star Weekly, majalah mingguan yang populer
pada saat itu. Permusuhan pribadi antara Oei dan Injo diketahui
oleh umum. Oei pernah dituduh sebagai orang yang bertanggung
jawab atas kejadian yang menyebabkan muka Injo Beng Goat
tergores oleh pisau dalam salah satu perkelahian di pasar malam.
Tidak jelas apakah percetakan Hong Po beruntung pada waktu
Siauw datang mengunjunginya. Tetapi begitu ia mendengar bahwa
Siauw siap untuk mengambil alihnya dan berencana menerbitkan
surat kabar dan majalah mingguan, ia bersedia menjualnya dengan
harga murah kepada kelompok usaha yang dipimpin oleh Siauw
itu. Akan tetapi ia mengajukan satu permintaan, yaitu Siauw harus
bekerja keras untuk bisa menandingi Injo Beng Goat, bahkan
melebihi jumlah peredaran Keng Po dan Star Weekly. Dalam
pertemuan itu, Siauw meyakinkan Oei bahwa ia mampu untuk
menandingi Injo Beng Goat7.
Demikianlah, bersandar pada dana yang dikumpulkan oleh
para pedagang totok yang Siauw kenal baik, percetakan Oei Tiang
Tjoei, yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara, di daerah kota 7
Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, Oktober 1994
133
Siauw Giok Tjhan
China Town Jakarta, diambil alihnya. Percetakan yang diambil alih
ini dinamakan Percetakan Persatuan. Siauw menjadi direktur
percetakan itu sampai Oktober 1953.
Para pedagang yang cenderung beraliran kiri itu mendukung
Siauw bukan karena motivasi komersial. Mereka mengenal Siauw
sebagai seorang yang mempunyai motivasi politik tinggi dan
keuntungan usaha bukanlah tujuan utama kegiatan Siauw dalam
bidang jurnalistik. Kerja sama dengan kelompok pedagang totok
ini merupakan jalinan hubungan kerja politik yang pertama dalam
karier Siauw, tetapi sekaligus merupakan sandaran penting bagi
Siauw dalam menempuh langkah-langkah politiknya di masa
mendatang.
Seperti dituturkan di atas, sebelum Siauw mengambil alih
percetakan Hong Po, majalah mingguan Sadar telah diterbitkannya.
Mingguan Sadar ini dipimpin oleh Tio Ien Lok dan lebih banyak
memusatkan pemberitaannya pada bidang kebudayaan dan olah
raga. Kedatangan Siauw dan akan dihentikannya Mingguan Sadar
diumumkan dalam penerbitan Sadar yang terakhir, pada bulan
Desember 1949.
Pada bulan Januari 1950, Siauw mulai mencetak dan
menerbitkan majalah mingguan yang ia namakan Sunday Courier.
Ia menggunakan nama Inggris untuk menyaingi Mingguan
Star Weekly yang sudah berjalan beberapa tahun sebelumnya.
Walaupun mingguan baru ini memuat banyak pemberitaan tentang
Tiongkok dan perkembangan ekonomi-nya, banyak bahan-bahan
mengenai Indonesia ditayangkan di sana. Siauw sendiri banyak
menulis dalam penerbitan-penerbitan permulaannya. Ia banyak
menganalisa keadaan ekonomi dan politik Indonesia dan secara
teratur, ia menulis sebuah bagian yang ia namakan Serba Serbi
Parlemen, di mana ia menuturkan kegiatan dan perdebatan di
parlemen.
Siauw banyak menggunakan waktunya untuk meng-edit artikelartikel yang dimuat dalam mingguan baru ini. Disamping itu, ia
langsung terlibat dalam memimpin perusahaan baru yang belum
134
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
menghasilkan keuntungan apa-apa ini. Peranan utamanya adalah
menghubungi para wartawannya dengan berbagai sumber berita
yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi, baik dari parlemen,
maupun dari dunia jurnalistik. Tugas paling pentingnya tentunya
berhubungan dengan pengumpulan dana sehingga penerbitannya
bisa berjalan lancar. Dalam hal ini, kelihatannya Siauw tidak pernah
mengalami kesulitan. Dalam waktu singkat, Sunday Courier dikenal
masyarakat, bahkan pada sebuah saat, jumlah peredarannya
diperkirakan melebih peredaran Star Weekly8.
Sebuah hal yang membuat para pendukungnya rela memberikan
sumbangan besar pada usaha Siauw adalah kesederhanaannya.
Karena Siauw pernah dididik oleh kakeknya, seorang pedagang
totok yang juga sederhana, Siauw mempunyai kemampuan
untuk mengebawahkan berbagai kepentingan materi. Bersama
keluarganya, ia tinggal di kantor percetakan itu. Siangnya, kantor
percetakan kecil di atas itu dijadikan kantor yang menampung tiga
atau empat wartawan. Malamnya, kantor itu manjadi kamar tidur
keluarganya yang terdiri dari Siauw dan istrinya, Tan Gien Hwa serta
5 anak-anak kecil dari umur 1 tahun hingga 9 tahun. Mereka tidur
di atas meja-meja kantor. Anak-anaknya teringat kalau terkadang
mereka jatuh dari “tempat tidur”-nya itu9.
Untung bagi keluarganya, episode tidur di atas meja itu hanya
berlangsung selama satu tahun, karena sebagai anggota parlemen
yang duduk dalam Panitia Rumah Tangga Parlemen, yang harus
berada di Jakarta terus menerus, Siauw mendapat prioritas
mendapatkan tempat tinggal. Pada pertengahan tahun 1951, ia
dan keluarganya pindah ke Jalan Tosari 70, di daerah elite Menteng,
rumah yang dimiliki oleh BR. Moetik, pedagang kaya raya yang
aktif dalam PSI. Rumah itu disewa oleh Siauw sampai keluarganya
dikeluarkan oleh penguasa militer Jakarta pada tahun 1966. Setelah
Siauw dan keluarganya pindah ke Tosari, kantor di Pintu Besar8
9
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Januari 1989
Wawancara dengan Ny. Tan Gien Hwa, Januari 1990
135
Siauw Giok Tjhan
nya dipakai sebagai tempat tinggal oleh para wartawan yang pada
waktu itu masih bujangan, diantaranya Njoto dan Tan Hwie Kiat.
Ternyata Siauw tidak pernah mengambil kesempatan untuk
membeli rumah di jalan Tosari itu dari B.R. Moetik, walaupun
sebagai anggota parlemen, ia bisa mendapatkan potongan harga
yang lumayan. Bilamana ia bersedia meminjam uang dari para relasi
totok-nya yang selalu bersedia membantu, rumah itu dapat dengan
mudah terbelinya. Tapi ia bersikap tidak mau meminjam uang
untuk membeli rumah. Pinjaman uang sepenuhnya dipergunakan
untuk usaha penerbitan.
Memang orang mengenal kesederhanaan Siauw itu. Di
rumahnya, ia biasa menggunakan kaos oblong dan celana pendek.
Karena kantor dan rumah menjadi satu, ia berpakaian begitu
sehari-harinya, kecuali kalau ia harus keluar ke parlemen. Liem
Koen Seng, saudara sepupu Liem Koen Hian, yang kemudian aktif
di Baperki tadinya tidak kenal dengannnya. Ia hanya tahu nama
Siauw Giok Tjhan. Pada waktu ia berkunjung ke kantor Siauw di
Jalan Pintu Besar, yang membukakan pintu adalah Siauw. Oleh
Liem, Siauw dikira pembantu kantor dan dengan lagak memerintah,
ia menyuruhnya untuk memanggil “tuan” Siauw. Ia menjadi kaget
dan malu ketika mengetahui bahwa sang “jongos” itu adalah Siauw
Giok Tjhan.
Memang cara berpakaian Siauw lebih mirip cara berpakaian
pedagang-pedagang totok Pintu Kecil di daerah Kota. Banyak orang
menganggapnya sebagai seorang totok dan tidak mengetahuinya
sebagai seorang peranakan yang berpendidikan Belanda. Dan iapun bisa bergaul dengan wajar dan luwes dengan para pedagang
totok di daerah Kota itu. Kesukaannya adalah makan di restoranrestoran kecil di daerah Kota. Karena ia sudah dikenal oleh banyak
orang dan diketahui sebagai seorang yang tidak memiliki uang
banyak, seringkali kunjungannya itu gratis10.
10
Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, Oktober 1995
136
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Ternyata cara berpakaian Siauw cukup sering menjadi bahan
pembicaraan diantara rekan-rekan parlemennya11. Presiden
Soekarno yang terkenal dengan keapikannya dalam berpakaian
sering bergurau dengan para politikus di sekitarnya tentang
cara Siauw berpakaian. Siauw keluar masuk istana dengan
pakaian sederhananya dan kadang-kadang hanya mengenakan
sandal saja. Kalau ia berpakaian resmi, dasinya sering terpakai
“mencong”, sehingga Soekarno sering mengomentarinya. Pernah
pada tahun 1947, Siauw ke istana di Yogyakarta dengan baju yang
ada sobekannya. Presiden Soekarno kebetulan melihatnya dan
segera masuk ke kamarnya untuk mengambil tiga baju baru untuk
diberikan pada Siauw, yang menerimanya dengan tersipu-sipu12.
Memang, kesederhanaannya sebagai seorang dari kelas
menengah ini menjadi aset politiknya. Paling tidak ini membuatnya
berbeda dengan banyak orang Tionghoa yang menjadi pedagang atau
profesional yang kaya raya. “Trade-Mark” kesederhanaannya inilah
yang mendorong banyak orang, seperti dituturkan sebelumnya,
untuk selalu bersedia memberinya sumbangan-sumbangan yang
diperlukan untuk melakukan berbagai kegiatan politik. Dan juga
membuat orang yakin akan kesungguhannya sehingga dukungan
moral-pun mudah untuk diperolehnya.
Pada bulan Januari 1950, Siauw mulai meng-edit journal
bulanan yang dinamakan Republik. Majalah ini dicetak oleh
percetakan Tjoa Sik Ien di Surabaya, Percetakan Sin Tit Po. Majalah
ini merupakan penerbitan politik dan berisi berbagai karangan
yang mendiskusikan masalah politik nasional. Siauw juga memuat
karangannya tentang perkembangan dan perdebatan parlemen
di dalamnya. Disamping karangan-karangan Siauw sendiri, juga
banyak sumbangan tulisan dari rekan-rekan Siauw di parlemen,
11
12
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Francisca Fanggidaj, Desember 1988
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1994 dan Go Gien Tjwan, Januari 1990
137
Siauw Giok Tjhan
diantaranya I.J. Kasimo, pemimpin Partai Katolik, D.S. Diapari,
pemimpin SKI (Serikat Kebangsaan Indonesia), Aruji Kartawinata,
pemimpin PSII dan Ong Eng Die, dari PNI. Go Gien Tjwan, kawan
Siauw dari zaman Malang yang pada waktu itu berada di Belanda,
menjadi wakil-nya di Eropa. Dari segi komersial, Majalah Republik
ini tidak menghasilkan keuntungan.
Penerbitannya hanya
berlangsung dua tahun, karena peminatnya kecil.
Memang publikasi yang dipimpin oleh Siauw pada umumnya
mengandung analisa-analisa politik dan pada saat itu, peminat
untuk mengikuti bahan-bahan yang disajikan masih sangat terbatas.
Disamping itu, gaya Siauw dalam menulis masih sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan menulis para wartawan di zaman
penjajahan Belanda. Walaupun bahasa-nya sudah berubah dan
tidak lagi berupa bahasa Tionghoa-Melayu, tetapi gaya menulisnya
tidak banyak berubah. Pada umumnya, karangan-karangan
Siauw panjang dan mengandung penuturan bahan yang diulangulang. Para pembantunya sering harus memotong karangankarangannya supaya bisa dimuat dalam penerbitan-penerbitan
yang tentunya terbatas ruang karangannya. Tetapi Siauw tidak
pernah memasalahkannya. Kalau dianggap perlu untuk dipotong,
menurutnya tidak apa-apa, asal makna dari karangannya tidak
hilang13.
Kalau dikritik, Siauw dengan tersenyum menjelaskan bahwa
tidak ada salahnya mengulang-ulang analisa politiknya supaya si
pembaca atau pendengar pidatonya itu benar-benar mengerti apa
yang ia maksud dan ini penting karena kalau penuturan bahannya
itu disalah mengerti, dampaknya bisa merugikan pergerakan.
Menurut Go Gien Tjwan, bagi orang yang dekat dengan Siauw,
cara penguraian Siauw baik secara tertulis maupun lisan dalam
pidato-pidatonya, membosankan.
Akan tetapi, ia mengakui
bahwa cara yang digunakan Siauw dan style pembawaannya itu
13
Wawancara dengan Dr. Oey Hong Lee dan Tan Hwie Kiat, Januari 1989
138
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
sangat disenangi oleh massa Tionghoa-nya. Kalau Siauw pergi ke
daerah-daerah, massa Tionghoa, baik peranakan dan totok, datang
berbondong-bondong datang mendengarkan uraian Siauw dan
mereka terlihat bisa mengikuti dan mengerti uraian Siauw yang
memang menggunakan bahasa sederhana14.
Pada bulan Januari 1951, Siauw mulai menerbitkan majalah
mingguan yang ia namakan Suara Rakyat. Penerbitan ini ditujukan
untuk massa “asli” Indonesia, tidak hanya untuk masyarakat
Tionghoa. Pada bulan Juli tahun itu, setelah dana penerbitannya
terkumpul, Siauw mengubah penerbitan ini menjadi sebuah harian,
yang ia namakan Harian Rakyat.
Kebanyakan dari wartawan yang Siauw kerjakan di Sunday
Courier juga bekerja untuk Harian Rakyat. Staff-nya juga terdiri
dari para wartawan “asli”, diantaranya Njoto, yang sudah menjadi
pimpinan penting PKI, setelah dengan Aidit dan Lukman mengambil
alih kekuasaan PKI dari tangan Tan Ling Djie secara bertahap. Selain
Njoto, Siauw juga mengerjakan Surjono, Supeno dan Fransisca
Fanggidaj, tokoh-tokoh Pesindo. Harian Rakyat memang menjadi
surat kabar nasional pertama di tahun 1950-an yang dipimpin oleh
seorang peranakan.
Peranan Njoto sebagai pembantu Siauw di Harian Rakyat
memang penting. Seperti dituturkan dalam bab sebelumnya,
Njoto pernah bekerja sebagai pembantu Siauw dalam menerbitkan
Suara Ibu Kota di Yogyakarta. Sebelum masuk ke Harian Rakyat,
Njoto pernah memimpin redaksi penerbitan PKI yang dinamakan
Bintang Merah. Bersama Aidit dan Lukman, Njoto diangkat masuk
ke dalam Politbiro PKI menjelang tahun 1948. Njoto duduk juga
dalam Badan Pekerja sebagai wakil PKI. Ketiga pemimpin muda ini
menggunakan Bintang Merah sebagai sarananya untuk mengecam
Tan Ling Djie dan Alimin. Mereka menyatakan dalam tulisan-tulisan
di Bintang Merah bahwa Tan Ling Djie dan Alimin menyimpang dari
Jalan Baru yang diformulasikan Musso.
14
Lima Jaman menunjukkan cara menulis-nya.
139
Siauw Giok Tjhan
Dalam waktu singkat, Aidit, Lukman dan Njoto, ketika itu
berumur 27, 30 dan 25 berhasil mendapat dukungan luas dari para
pemimpin PKI. Akhirnya, pada tanggal 7 Januari 1951, mereka
berhasil menggeser Tan Ling Djie dan Alimin. Aidit menggantikan
Tan Ling Djie sebagai ketua Politbiro, yang kemudian beranggotakan
orang-orang yang mendukung Aidit. Setelah itu, Tan Ling Djie dan
Alimin tetap menjadi anggota Central Committee (CC) PKI, tetapi
tidak lagi mempunyai pengaruh yang berarti dalam PKI.
Kelompok Aidit tahu bahwa Siauw sangat dekat dengan Tan
Ling Djie. Mereka pun mengetahui bahwa Tan Ling Djie tinggal di
rumah Siauw Giok Tjhan. Akan tetapi mereka cukup yakin bahwa
Siauw tidak dapat dipengaruhi oleh Tan. Oleh karenanya, mereka,
terutama Njoto, tetap menganggap Siauw sebagai figur yang mereka
hormati15.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Aidit, Lukman dan
Njoto dalam menggeser Tan Ling Djie pada tahun 1951 dan
meneruskan kampanye anti Tan Ling Djie-nya hingga tahun 1953
yang mengakibatkan digesernya Tan Ling Djie dari CC PKI, tidak
menyenangkan Siauw.
Sebagai seorang anggota parlemen yang ulung dan sebagai
figur yang pernah merasakan kepahitan peristiwa Madiun, Siauw
bersependirian dengan Tan Ling Djie bahwa PKI seharusnya
berkembang menjadi partai kader yang bermutu dan yang
kemudian mampu memimpin sebuah front nasional. Dengan
jalan demikian, Siauw menganggap bahwa PKI bisa lebih efektif
dalam mengumpulkan kekuatan yang mendukungnya di parlemen
sehingga tujuan utamanya bisa dengan lebih cepat dicapai.
Akan tetapi karena Siauw tidak menjadi anggota PKI, ia tidak
bisa mempengaruhi jalannya perdebatan di dalam tubuhnya
yang pada akhirnya menyimpang dari kebijakan strategi politik
yang baginya lebih efektif. Oleh karena ia berada di luar partai,
ketidak setujuannya tidak menghasilkan permusuhan dengan para
15
Wawancara dengan Jusuf Adjitorop, Oktober 1994.
140
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
pimpinan PKI. Ia tetap bisa bekerja sama dalam banyak bidang,
terutama di parlemen dan Njoto tetap menjadi pembantu setianya
di Harian Rakyat.
Walaupun kehadiran Njoto di Harian Rakyat menyebabkan
banyak pemberitaan tentang PKI dimuat di dalamnya, semua
kebijakan pemberitaan dan garis yang dianut oleh Harian Rakyat
sepenuhnya dikontrol oleh Siauw. Siauw tetap bisa menjamin
bahwa Harian Rakyat tidak dikuasai oleh PKI16.
Siauw memang langsung terjun dalam usaha penerbitan ini. Ia
banyak menulis artikel-artikel yang dimuat dan menulis semua
editorial untuk Sunday Courier dan Harian Rakyat. Dan ia pun
turut serta dalam menentukan dan mengawasi peng-editan semua
karangan-karangan yang masuk untuk diterbitkan17.
Sebuah hal yang menonjol adalah cara bekerja Siauw. Ia adalah
pekerja yang cepat. Karangan-karangan panjangnya dapat ia
selesaikan dalam waktu singkat--pada umumnya kurang dari dua
jam. Rutinnya di pagi hari adalah menulis editorial. Pengambil
karangan itu biasanya datang pada pukul 6:30 pagi dan menunggu
sekitar 10 sampai 15 menit untuk membawa editorial-nya itu ke
kantor untuk kemudian dipersiapkan percetakannya. Di samping
menulis untuk Sunday Courier dan Harian Rakyat, ia pun sering
menulis untuk berbagai surat kabar, diantaranya Harian Sin Min
yang terbit di Semarang. Ia juga sering menggunakan nama pena.
Pada tahun 50-an, nama pena yang sering ia gunakan adalah namanama putranya, Tiong Ho dan Tiong Djin.
Sebagai sebuah usaha komersial, Harian Rakyat rupanya tidak
terlalu berhasil. Tan Hwie Kiat, Surjono dan Fransisca Fanggidaj
teringat bahwa usahanya tidak terlalu menguntungkan, bahkan
kemungkinan merugikan. Peredarannya cukup luas, mencakup
kota-kota besar di Jawa dan Sumatra, akan tetapi pemasukannya
16
17
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, Penjara RTM, 1970; Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Desember 1993
Wawancara dengan Francisca Fanggidai, November 1988
141
Siauw Giok Tjhan
tidak setinggi yang diharapkan. Memang, bagi Siauw, peredaran dan
terbacanya surat kabar itu lebih penting daripada pemasukannya18.
Yang jelas, Siauw harus tetap bersandar pada sumbangan
para pedagang totok untuk terus menerbitkan Harian Rakyat
dalam jumlah yang telah ditentukannya. Dalam mengumpulkan
dana untuk berbagai kegiatan politiknya, Siauw memang selalu
berhasil. Kesungguhannya untuk bekerja keras demi tujuan politik
yang dianggapnya tepat, ditambah dengan cara hidupnya yang
sederhana mendorong para pedagang totok yang dikenal baiknya
untuk selalu bersedia menyumbang – apapun konsekwensi usaha
dagang yang memerlukan sumbangan tersebut. Inilah keunggulan
Siauw yang menyebabkan ia tidak pernah kekurangan dana dalam
menjalankan gerakan politiknya, baik dalam bidang jurnalisme,
maupun kemudian dalam mengembangkan Baperki dan lembaga
pendidikannya.
Akan tetapi, rupanya Siauw menganggap usaha menerbitkan
surat kabar untuk peredaran besar seperti Harian Rakyat itu
memerlukan waktu dan dana yang lebih besar. Kesibukannya di
parlemen tidak memungkinkan ini. Inilah yang mendorongnya
untuk membicarakan kemungkinan menjual usaha percetakannya
itu ke PKI yang memang sedang mempertimbangkan kemungkinan
untuk memiliki trompet utamanya.
Karena Njoto sudah lama bekerja di Harian Rakyat, keputusan
untuk mengambil alih usaha ini dari Siauw dibuat dengan cepat.
Akhirnya, pada bulan Oktober 1953, pengambil-alihan ini
berlangsung. Dengan sendirinya, karena memang usaha itu tidak
menguntungkan, Siauw tidak menerima apa-apa seperti lazimnya
kalau pedagang menjual usahanya. Mulai tanggal 31 Oktober
1953, Siauw tidak lagi memimpin Harian Rakyat dan Percetakan
Persatuan. Sejak saat itu, Njoto-lah yang menjadi pemimpin Harian
Rakyat. Walaupun demikian, Siauw tetap banyak menulis karangan
untuk dimuat dalam Harian Rakyat.
18
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Januari 1990
142
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Memang, tidak banyak orang mengetahui latar belakang
Harian Rakyat dan bagaimana surat kabar itu di kontrol sebelum
Oktober 1953. Pengambil-alihannya dari tangan Siauw-pun tidak
diumumkan secara resmi. Yang nyata hanyalah nama pemimpin
yang tertera di dalam surat kabar itu, yaitu sejak tanggal 31 Oktober,
nama pemimpin dan penanggung jawabnya diubah dari Siauw Giok
Tjhan menjadi Njoto.
Karena Harian Rakyat setelah tanggal 31 Oktober 1953 itu
resmi menjadi trompet PKI, banyak orang yang menganggap Siauw
adalah anggota PKI. Pergantian pemimpin Harian Rakyat itu juga
hampir berbarengan dengan dikeluarkannya Tan Ling Djie dari CC
PKI. Tan Ling Djie dikeluarkan dari CC PKI pada pertengahan tahun
1953 setelah Aidit mendorong arus dalam partai yang mengecam
apa yang ia namakan Tan Ling Djie-isme. Karena waktunya itu
bersamaan, banyak orang lalu menganggap bahwa Siauw yang
dikenal dekat dengan Tan Ling Djie itu juga telah dipecat oleh Aidit
dari posisinya sebagai pemimpin Harian Rakyat.
Akan tetapi ini tidak benar dan Siauw-pun dapat membuktikannya
melalui kegiatannya di parlemen. Seperti yang dijelaskan di bagian
lain, Siauw ternyata bekerja erat dengan kelompok Murba, yang
bisa dikatakan musuh PKI. Walaupun Siauw tetap mempunyai
hubungan baik dengan kelompok Aidit, terutama dengan Njoto,
tetapi ia-pun cukup sering berbeda pendapat dan melakukan
perdebatan terhadap mereka di dalam parlemen.
Setelah keluar dari Harian Rakyat, Siauw tetap memimpin dan
menerbitkan Sunday Courier sampai pertengahan tahun 1955.
Pada waktu itu, Baperki sudah berdiri dan posisinya sebagai ketua
dan juga persiapan dalam menghadapi Pemilihan Umum yang
pertama menyebabkan ia tidak lagi mampu membagi waktunya
untuk penerbitan Sunday Courier, walaupun secara komersial,
Sunday Courier cukup menguntungkan dan mampu bersaing
dengan Star Weekly19.
19
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Desember, 1993
143
Siauw Giok Tjhan
Setelah Percetakan Persatuan dan Harian Rakyat dijual ke PKI,
Siauw merasa bahwa komunitas totok tetap kurang menerima
Indonesia. Ia ingin mengubah situasi ini. Oleh karenanya, pada tahun
1953, ia mendirikan sebuah yayasan penerbitan, khusus untuk
komunitas Totok. Yayasan ini ia namakan Yayasan Kebudayaan
Sadar. Lagi-lagi yayasan yang ia pimpin ini bersandar pada dana
para pedagang totok yang ia kenal dengan baik, diantaranya Go
Gak Cho dan Kho Nai Chong. Mereka ini juga pemimpin-pemimpin
organisasi Tionghoa yang berkiblat ke Republik Rakyat Tiongkok
(RRT), Chiao Chung. Tujuan utamanya adalah menerbitkan berbagai
publikasi termasuk majalah dan buku-buku yang bisa mempercepat
proses diterimanya Indonesia sebagai tanah air oleh masyarakat
Tionghoa totok. Majalah mingguan yang ia terbitkan dinamakan
Chiao Xing (Sadar). Diterbitkan dalam bahasa Tionghoa - Mandarin.
Peredarannya cukup luas dan ternyata cukup populer di komunitas
Tionghoa totok. Penerbitan ini terus berlangsung sampai awal
tahun 1960. Ia ditutup oleh pemerintah, karena memuat karangan
tentang peristiwa Madiun yang dianggap bertentangan dengan
versi resmi pemerintah20.
Chiao Xing banyak memuat karangan-karangan Siauw dan
banyak artikel yang dimuat dalam Sunday Courier diterjemahkan
dan dimuat di dalamnya. Melalui majalah ini, Siauw menjangkau
komunitas totok untuk menerima dorongan-dorongan yang sudah
didengungkannya sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu untuk
sebagian besar penduduk Tionghoa di Indonesia, peranakan
maupun totok, Indonesia adalah tanah airnya. Untuk itu, penduduk
Tionghoa harus siap sedia mengintegrasikan dirinya ke dalam
tubuh bangsa Indonesia dan menaruh perhatian besar akan
perkembangan politik dan ekonomi Indonesia.
20
Wawancara dengan Lie Xie Thian dan Go Gak Cho, Januari 1988
144
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Yang dikerjakan oleh Siauw sebagai wartawan-wartawan adalah
beberapa pemuda Tionghoa totok yang fasih dalam berbahasa
Indonesia dan mandarin. Pada umumnya mereka ini berasal dari
Sumatra. Siauw memimpin langsung pengolahan beritanya. Setiap
minggu, sebelum majalah diterbitkan, para wartawan Chiao Xing,
diantaranya Lie Xie Thian dan Tjang Tjing Kuok, pergi ke rumah
Siauw untuk menerima petunjuk dan instruksi tentang pokokpokok pemberitaan dan isi majalah tersebut21.
Untuk memperluas pengaruh Indonesia di dalam Yayasan
Kebudayaan Sadar, Siauw mengajak beberapa rekan parlemennya
untuk turut membina perkembangannya. Yang ia ajak aktif untuk
turut dalam kegiatan Yayasan ini adalah Werdojo, yang pada
waktu itu menjadi ketua Persatuan Marhaen Indonesia dan juga
menjadi anggota dari Fraksi Nasional Progresif yang Siauw pimpin
di parlemen. Pada tahun 60-an, Werdojo menjadi salah seorang
pimpinan Partindo (Partai Indonesia). Oleh Siauw, Werdojo
kemudian dijadikan ketua Yayasan Kebudayaan Sadar, sedangkan
Siauw tetap memegang posisi Penanggung Jawab. Walaupun
komposisi-nya demikian, Siauw-lah yang tetap memegang puncak
pimpinannya22.
Selain penerbitan Chaio Xing, Yayasan Kebudayaan Sadar juga
menerbitkan buku-buku yang diterjemahkan dari Bahasa Tionghoa
ke Indonesia dan sebaliknya. Juga diterbitkan kamus-kamus bahasa
Tionghoa-Indonesia dan Indonesia-Tionghoa. Peredarannya cukup
luas, melalui toko-toko buku di kota-kota besar. Sebagai sebuah
usaha penerbitan, Yayasan ini cukup berhasil, dalam pengertian
ongkos percetakan, penghasilan para wartawan dan pekerjanya
bisa sepenuhnya dibiayai oleh penghasilan yang diterima dari
penjualan buku-buku dan langganan majalahnya.
Di samping kegiatan dalam penerbitan majalah-majalah dan
surat kabar, Siauw-pun aktif dalam SPS (Serikat Perusahaan Surat
21
22
Wawancara dengan Lie Xie Thian, Januari 1988
Wawancara dengan Lie Xie Thian, Januari 1988
145
Siauw Giok Tjhan
Kabar). Badan ini dibentuk oleh para anggota PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia) pada bulan Juni 1946. Akan tetapi, badan
ini baru memiliki struktur organisasi yang resmi pada tahun
1949, dengan 33 perusahaan surat kabar dari seluruh Indonesia
terdaftar sebagai anggotanya. Tujuan utamanya adalah menjamin
kebutuhan perusahaan-perusahaan surat kabar itu dapat dipenuhi
dengan baik dan masalah-masalah nasional yang penting turut
diperhatikan oleh semua surat kabar yang beredar di Indonesia.
Badan ini juga mengembangkan pendapat bahwa 60% pemilik
surat-surat kabar di Indonesia adalah warga-warga negara
Indonesia dan para pemimpinnya adalah warga-warga negara
Indonesia23. Sampai bulan Januari 1951, SPS dan PWI secara
organisasi dipimpin oleh orang-orang yang sama. Rapat-rapat
mereka sering disebut rapat-rapat PWI/SPS. Akan tetapi setelah
itu, ada keputusan untuk memisahkan kedua organisasi ini dan
masing-masing dihendaki memiliki organisasi pimpinan yang
berbeda. Pada akhirnya, berdirilah SPS yang lepas dari organisasi
PWI dan sebagai Sekretaris Jendral pertamanya dipilih Sudarjo
Tjokrosisworo, teman lama Siauw dari zaman Mata Hari24.
Sebagai direktur Harian Rakyat dan Sunday Courier dan juga
percetakan Persatuan, Siauw masuk ke dalam SPS secara resmi
pada tahun 1951. Ia ternyata juga aktif dalam organisasi ini dan
turut menentukan posisi SPS tentang berbagai aspek penerbitan
surat kabar, terutama yang berhubungan dengan undang-undang
penerbitan surat kabar. Ia turut duduk dan memimpin beberapa
panitia di SPS yang dibentuk untuk menentukan masukan SPS ke
parlemen tentang pembatasan peredaran dan penjualan majalahmalajah asing, etika periklanan dan pelarangan dimuatnya bahanbahan pornografi.
23
24
Sudarjo Tjokrosisworo, Sejarah Pers Sebangsa, SPS, 1958, p69
Ibid, pp75-76
146
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Siauw duduk di dalam Panitia Susila Pers yang beranggotakan
tiga orang, pernah mengeluarkan sebuah rekomendasi untuk
mengeluarkan atau memecat anggota-anggota SPS yang mengizinkan
dimuatnya bahan-bahan cabul di dalam penerbitannya25.
Memang, dalam memimpin penerbitan-penerbitannya, Siauw
memegang standard moral yang cukup tinggi. Ia melarang para
wartawannya memuat karangan-karangan yang bersifat porno.
Kadang-kadang, ia terasa kaku dalam mempertahankan prinsip
ini. Peredaran Sunday Courier pernah dikatakan lebih besar dari
peredaran Star Weekly, karena di dalamnya termuat beberapa
karangan bersambung yang disukai masyarakat. Salah satu
karangan bersambung romantika ini oleh Siauw dianggap berisikan
cerita-cerita cabul dan segera dilarangnya untuk diteruskan.
Sebagai akibat larangan itu, peredaran Sunday Courier sejak
pertengahan tahun 1954 berkurang dan jumlah pelanggannya juga
turut berkurang. Anjuran dari bawahannya untuk memuat cerita
bersambung romantika itu tidak diturutinya26.
Aktifnya Siauw dalam SPS membuka pintu baginya untuk
berkenalan dan dekat dengan banyak wartawan terkemuka dan para
editor surat-surat kabar. Ia juga sering bertemu dan berhubungan
dengan kawan-kawan yang sejak dari dulu ia kenalnya, seperti
ketua PWI, Djawoto yang pernah bersama-samanya duduk dalam
seksi penerangan di Partai Sosialis, Adam Malik yang pernah
sama-sama meringkuk di penjara Wirogunan pada tahun 1949
dan kemudian menjadi anggota fraksi Nasional Progresif-nya di
parlemen, M.Tabrani yang pernah menjadi staf-nya di kementerian
minoritas dalam kabinet Amir Sjarifuddin dan kemudian menjadi
pemuka Harian Pemandangan dan Joesoef Isak dari Harian
Merdeka. Kontak-kontak seperti inilah yang memungkinkan Siauw
memuat banyak karangan-karangannya, baik yang ia muat sebagai
25
26
Ibid, pp 92-93
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat yang teringat bahwa banyak karangan harus ditulis ulang karena tidak memenuhi standard yang diminta oleh Siauw.
147
Siauw Giok Tjhan
tulisannya sendiri atau sebagai tulisan beberapa nama penanya,
dalam berbagai surat kabar yang peredarannya luas di seluruh
Indonesia.
Karena tulisan-tulisannya serta pidato-pidatonya sering dimuat
dalam berbagai surat kabar, nama Siauw mulai dikenal oleh
masyarakat Indonesia, terutama komunitas Tionghoanya. Jalan
pikirannya yang berhubungan dengan aktifitas anti rasisme dan
program-program ekonomi yang ia canangkan mulai tersiar luas
pada awal tahun 50-an. Secara tidak langsung, ini memberinya
sebuah kewibawaan yang penting dalam menjalankan tugasnya
sebagai wakil rakyat di parlemen.
Upayanya melawan arus Rasisme di parlemen mendorongnya
untuk menguasai ilmu ekonomi. Sejak tahun 50-an inilah, Siauw
banyak mempelajari teori-teori ekonomi dari banyak text books
asing dan majalah-majalah asing. Salah satu hobby-nya adalah
mengumpulkan banyak buku-buku ekonomi terbitan luar
negeri, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan menyusun
banyak karangan yang berhubungan dengan pembangunan
ekonomi nasional. Salah seorang teman karib Siauw yang banyak
membantunya dalam men-supply buku-buku ini adalah S Parman,
yang pada tahun 50-an bertugas di Inggris. S Parman, pada waktu
itu berpangkat Kolonel, ini pernah bersamanya meringkuk di
penjara Wirogunan, adalah adik Sakirman, salah satu pimpinan
PKI. Seperti diketahui, S Parman kemudian menjadi salah satu
Jendral Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh oleh gerakan
yang dinamakan G-30-S pada tahun 1965.
Selain S Parman, ada beberapa Duta Besar asing, terutama
Amerika, Inggris, Perancis dan Soviet Union, yang sering
memberinya buku-buku berbahasa asing kepada Siauw. Ini
memungkinkan Siauw, yang tidak memiliki penghasilan tinggi,
mengumpulkan ribuan buku asing dalam berbagai bahasa, Inggris,
Belanda, Perancis dan Jerman. Rumahnya penuh dengan buku, surat
kabar dan majalah. Ia memerlukan waktu untuk menekuni teori
ekonomi sehingga oleh para rekan DPR-nya, ia diterima sebagai
148
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
seorang akhli ekonomi. Karangan-karangan, banyak pidatonya baik
di dalam maupun luar DPR, dan kemudian bahan-bahan kuliahnya pada zaman Demokrasi Terpimpin, menunjukkan keuletan dan
disiplin Siauw dalam menekuni banyak-nya buku-buku asing yang
ia peroleh dari berbagai sumber itu.
Keberadaannya di dalam dunia jurnalistik ini menyebabkan ia
pernah ditawarkan jabatan Duta Besar di Perancis oleh Soekarno
pada tahun 1953. Memang pada tahun 50-an, banyak tokoh
wartawan yang mengisi posisi-posisi Duta Besar. Rupanya,
kebijakan pemerintah pada wajtu itu adalah menaruh tokohtokoh intelektual sebagai wakil-wakil RI di luar negeri. Tawaran ini
ditolak oleh Siauw, yang menganggap kehadirannya di parlemen
merupakan tugas yang lebih penting27.
Siauw di Parlemen
Karier Siauw sebagai anggota parlemen dalam zaman Demokrasi
Berparlementer dimulainya pada bulan Januari 1950, ketika ia
menjadi anggota DPR-RIS, sebagai wakil negara bagian RI, di
Jakarta.
Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibentuk pada
tanggal 27 Desember 1949. Ia terdiri dari Republik Indonesia (RI)
dan 15 negara bagian yang telah dibentuk oleh Belanda antara
tahun 1946 dan 1949. Ke 15 negara bagian ini bekerja sama dalam
sebuah badan yang dinamakan BFO (Badan Permusyawaratan
Federasi).
Ketika RIS dibentuk, dominasi RI di dalamnya sudah dapat
diperkirakan. Dari 16 menteri di kabinet RIS yang dipimpin oleh
Hatta sebagai Perdana Menteri, hanya 5 berasal dari negara-negara
BFO. Dari 5 menteri ini, hanya dua yang dianggap betul-betul
mendukung bentuk federasi dan mereka tidak memegang portfolio
27
Wawancara dengan Siauw, RTM, Jakarta, 1970
149
Siauw Giok Tjhan
yang penting28.
Di dalam parlemen RIS, ada beberapa anggota Tionghoa yang
mewakili golongannya. Selain Siauw, ada tiga anggota lain yang
mewakili daerah bagian RI, yaitu Yap Tjwan Bing dari PNI, Tan
Boen An dari PSI dan Tjoa Sie Hwie dari PNI (bekas kawan sekolah
Siauw di HBS Surabaya). Ada dua anggota Tionghoa lainnya yang
mewakili BFO, yaitu Teng Tjin Leng dari negara bagian Indonesia
Timur dan Tjoeng Lin Seng dari negara bagian Borneo29.
Perdebatan-perdebatan di parlemen ini pada umumnya
berpusat pada pilihan antara bentuk negara kesatuan dan federasi.
Hampir semua partai politik yang ada pada waktu itu sebenarnya
mendukung bentuk negara kesatuan, walaupun ada beberapa
tokoh yang mendukung bentuk federasi.
Yang paling gigih menentang bentuk federasi di parlemen
adalah Mohamad Yamin. Walaupun ia tidak berpartai, tetapi ialah yang memimpin perdebatan di parlemen dalam menentang
pandangan-pandangan yang diajukan oleh wakil-wakil BFO yang ia
katakan sebagai negara-negara boneka Belanda. Yang paling gigih
mendukung Yamin adalah partai Murba. PKI pada waktu itu masih
lemah dan kacau, sebagai akibat pemberantasan pemerintah yang
dijalankan sehubungan dengan peristiwa Madiun. Oleh karenanya
PKI tidak begitu menonjol dalam mendukung gerakan kembali ke
negara Kesatuan30.
Masjumi, pada waktu itu juga tidak terlalu gigih dalam
memperjuangkan bentuk negara kesatuan. Dalam hal ini yang
menjadi persoalan adalah motivasi politik. Walaupun kebanyakan
anggota Masjumi mendukung bentuk negara kesatuan, tetapi
mereka lebih cenderung memilih bentuk negara melalui jalur
28
29
30
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, pp 47-48
Kepartaian dan Parlementaria Indonesia, Departemen Penerangan, 1954, pp 629-630
Ibid, p.75
150
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
referendum atau pemilihan umum. Karena mereka yakin bahwa
untuk kembali mendominasi dunia politik Indonesia, jalur pemilihan
umum-lah yang terbaik, maka mereka tidak begitu antusias
turut memperdebatkan bentuk negara di parlemen. Kembalinya
Indonesia menjadi negara kesatuan tanpa proses pemilihan umum
dikhawatirkannya akan memperlemah posisi politiknya31.
Siauw yang memang mengagumi Yamin, sudah tentu
mendukungnya sepenuh hati. Dalam proses ini, ia terlihat lebih
tertarik untuk bekerja sama dengan para wakil Murba dan partaipartai nasionalis lainnya di parlemen daripada bekerja sama
dengan para wakil PKI. Kedekatannya dengan Murba dan partaipartai nasionalis kecil inilah yang menjadi dasar kegiatannya di
parlemen dalam zaman Demokrasi Berparlementer (1950-1959).
Dalam waktu kurang dari 2 bulan, berbagai resolusi untuk
meleburkan negara-negara BFO ke dalam RI bisa dicapai. Semua
negara BFO, kecuali Negara Indonesia Timur pada akhirnya
dileburkan ke dalam negara bagian RI. Ini terjadi karena tentangan
dari wakil-wakil Indonesia Timur atas usaha peleburan itu cukup
kuat.
Pada awal bulan Mei 1950, perkembangan politik di dalam
dan luar parlemen telah memaksa Hatta untuk memulai proses
membentuk kembali negara kesatuan. Pada tanggal 19 Mei, Hatta
mewakili RIS dan Abdul Halim mewakili RI membentuk panitia
yang ditugaskan untuk mempersiapkan struktur negara kesatuan.
Disamping panitia ini, sebuah panitia lainnya yang beranggotakan
14 orang dibentuk untuk mempersiapkan Undang-Undang negara
kesatuan yang baru. Siauw Giok Tjhan adalah salah satu anggota di
dalamnya.
Panitia ini akhirnya berhasil menghasilkan Undang-Undang
Sementara yang akan dipakai sebagai landasan negara kesatuan
baru. Pada garis besarnya, UU Sementara ini mirip dengan UUD yang
dikeluarkan pada bulan November 1945, yaitu negara kesatuan
dengan bentuk kabinet parlementer. Yang dianggap penting oleh
31
Ibid, p 75
151
Siauw Giok Tjhan
para anggota panitia ini adalah dimasukkan kembalinya pasal 33
dari UUD-45 yang telah dihapus dari UUD RIS. Pasal ini menjamin
bahwa semua kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh negara dan
kemakmuran yang dituju adalah kemakmuran yang bersifat
sosialistis.
UUD sementara ini diselesaikan pada bulan Juli dan setelah
perdebatan sengit di parlemen, akhirnya diterima oleh parlemen
RIS pada tanggal 14 Agustus 1950. Dengan demikian, pada tanggal
17 Agustus 1950, Republik Indonesia yang baru secara resmi
didirikan kembali.
Komposisi DPR negara kesatuan pada garis besarnya sama
dengan komposisi DPR-RIS. Jumlah anggotanya 236 terdiri dari
148 bekas anggota DPR-RIS, 46 bekas anggota Badan Pekerja, 29
bekas anggota Senat RIS dan 13 bekas anggota DPA RI. Parlemen
baru yang dinamakan DPR-Sementara ini secara resmi dibentuk
pada tanggal 16 Agustus 195032.
Pada tanggal 19 Agustus 1950, Sartono dipilih kembali sebagai
ketua DPR, dengan Tambunan, Aruji Kartawinata and Tadjuddin
Noor masing-masing dari Parkindo, PSII and PIR (Partai Indonesia
Raya) sebagai para wakil ketuanya33. Parlemen ini terdiri dari 10
seksi utama, termasuk seksi-seksi Ekonomi, Keuangan, Masalah
Luar Negeri, Pertahanan, Buruh dan Tenaga Kerja. Siauw masuk
ke dalam seksi ekonomi yang beranggotakan 39 orang34. Ia juga
diangkat sebagai anggota dua panitia penting di dalam DPR, Panitia
Permusyawaratan dan Panitia Rumah Tangga.
Panitia Permusyawaratan ditugaskan untuk memberi nasehat
kepada ketua DPR dan menentukan program kerja DPR. Panitia
inilah yang menjadi jembatan antara parlemen dan kabinet. Panitia
yang beranggotakan 21 orang ini dipilih langsung oleh ketua DPR,
32
33
34
Departemen Penerangan, Kepartaian dan parlementaria di Indonesia, pp 626-630
Ibid, pp619-620
Ibid, pp643-644
152
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Sartono35.
Panitia Rumah Tangga ditugaskan untuk mengawasi dan
mengatur jalannya parlemen. Panitia ini juga diberi wewenang
untuk mengerjakan dan memecat semua staf pekerja di DPR. Salah
satu tugas utamanya adalah memperhatikan kesejahteraan semua
anggota DPR. Seperti Panitia Permusyawaratan, para anggota
Panitia Rumah Tangga yang beranggotakan 13 orang ini dipilih
langsung oleh ketua DPR36. Keanggotaan Siauw dalam panitia
Rumah Tangga inilah yang menyebabkan Siauw memperoleh
fasilitas rumah sewa di jalan Tosari 70, di daerah elite Menteng.
Sartono juga mengangkat Siauw untuk duduk dalam berbagai
panitia lainnya, diantaranya panitia Angket. Memang, Sartono
diketahui sangat menghargai kehadiran Siauw disekitarnya. Ia
ternyata banyak bersandar pada Siauw yang diketahuinya telah
menguasai segala macam peraturan parlemen dengan selak beluk
kewajiban serta hak yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota
parlemen. Sartono sering terlihat duduk dengan Siauw di waktuwaktu istirahat dan sering memalingkan pertanyaan-pertanyaan
para anggota ke Siauw untuk dijawabnya.
Kalau Sartono keluar negeri dan keliling Indonesia, ia selalu
mengikut sertakan Siauw sebagai salah satu anggota delegasinya.
Ini yang menyebabkan Siauw mempunyai sarana untuk
mengunjungi hampir semua ibu kota propinsi di seluruh Indonesia
dan melihat dari dekat perkembangan politik dan ekonomi
di daerah-daerah dengan mata kepala sendiri. Kesempatan
keliling ini juga sering digunakannya untuk berhubungan dengan
masyarakat Tionghoa di daerah-daerah. Sebuah interaksi yang
menguntungkan posisinya sebagai wakil golongan Tionghoa dan
sekaligus menyebabkannya dikenal oleh masyarakat Tionghoa di
banyak lokasi. Kunjungan-kunjungan berkali-kali keluar negeri
parlemen ini memungkinkannya untuk berhubungan dekat
dengan banyak politikus di Vietnam, Jepang, Amerika Serikat dan
35
36
Ibid, p589
Ibid, p 590
153
Siauw Giok Tjhan
Tiongkok. Sikap Sartono ini ternyata menimbulkan keluhan banyak
anggota parlemen yang tidak pernah kebagian diikut sertakan
di dalam delegasi kelilingnya, apalagi mengingat bahwa Siauw
adalah anggota yang tidak berpartai37. Sartono ternyata menangkis
keluhan-keluhan ini dengan menjawab: “...Saya membutuhkan
Siauw untuk memberi berbagai nasehat dan pendapat penting dan
berguna dalam semua perjalanan saya...”38. Hubungan baik dengan
Sartono ini memang telah terjalin sejak zaman Yogyakarta, ketika
keduanya sama-sama duduk di dalam Badan Pekerja.
Hubungan baik Siauw dengan tokoh-tokoh penting tidak terbatas
pada Sartono dan Soekarno saja. Ia juga mempunyai hubungan
khusus dengan banyak tokoh penting lainnya. Ia diketahui dekat
sekali dengan Yamin, Aruji Kartawiniata (PSII), Tambunan
(Parkindo), Ali Sastroamidjojo (PNI), D.S Diapari (SKI), Djodi
Gondokusumo (PRN), Sukarni dan Adam Malik (Murba). Dalam
hal ini, Siauw bisa dikatakan telah masuk ke dalam kelompok elite
politik Indonesia, sebuah kelompok di mana para keluarganya saling
mengenal dan sering saling mengunjungi. Pada waktu itu (tahun
50-an) hubungan pribadi ternyata lebih penting daripada disiplin
partai-partai politik. Banyak hubungan kerja dan perjanjian politik
dicapai melulu berdasarkan hubungan pribadi yang baik, lepas dari
garis politik yang dimilikinya.
Pada tahun 1950-an, Siauw mungkin merupakan satu-satunya
politikus peranakan yang mempunyai hubungan dengan tokoh
nasional sebanyak dan seluas itu. Tan Ling Djie yang tinggal
di rumah Siauw, masih diliputi stigma peristiwa Madiun. Oleh
karenanya secara politis cukup terisolasi39. Tjoa Sik Ien setelah
dibebaskan dari penjara Wirogunan di Yogyakarta kembali ke
37
38
39
Pada tahun 1950-an, biasanya hanya orang-orang berpartai yang mendapat jatah keliling keluar negeri.
Siauw, Lima Jaman, p 302; Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Sidik Kertapati , Desember 1988
walaupun ia tinggal di rumah Siauw, tetapi ia jarang mengikuti acara-acara sosial Siauw
154
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Surabaya dan tidak aktif dalam kegiatan politik. Liem Koen Hian
juga sejak kemerdekaan 45 tidak pernah menonjol dalam gerakan
politik. Walaupun mengenal banyak tokoh nasional, tetapi ia tidak
lagi berada dalam kelompok elite politik Jakarta. Tan Po Goan dari
PSI dan Yap Tjwan Bing dari PNI memang menjadi anggota-anggota
parlemen. Tetapi mereka terlihat lebih banyak berhubungan
dengan para tokoh dari partainya masing-masing. Kedua-duanya
juga selain anggota parlemen adalah pengusaha. Tan di bidang bus
sedangkan Yap memiliki apotek di Bandung.
Menganalisa aliran politik Siauw dan paham politik yang
dianutnya pada periode ini tidak mudah. Dalam berbagai tulisan
dan pidatonya, Siauw tetap mencanangkan Marxisme dan ia
jelas kagum dengan kemajuan yang dicapai oleh Soviet Uni dan
RRT. Jalan keluar ekonomi yang ia sering ajukan bersandar pada
pelaksanaan pembangunan ekonomi negara-negara sosialis. Dalam
hal ini, ia menentang adanya monopoli-monopoli yang berada di
tangan perusahaan-perusahaan asing raksasa dan menginginkan
dilaksanakannya pasal 33 UUD secara tuntas. Tuntutan politiknya
adalah menjamin adanya kemakmuran di kalangan masyarakat
miskin dan mengurangi pengaruh perusahaan-perusahaan raksasa
milik swasta, terutama asing. Walaupun ia jarang menggunakan
kata-kata Marx atau Lenin dalam tulisan-tulisan dan pidatopidatonya, ia jelas mendukung paham-paham yang bisa digunakan
untuk mempercepat proses menjadikan Indonesia negara sosialis.
Dalam hal ini, Siauw terlihat memang seirama dengan para tokoh
Murba pada waktu itu. Ia jelas lebih nasionalistis dan sosialistis
daripada komunistis.
Bagi Siauw, salah satu syarat bisa diwujudkannya kemakmuran
adalah adanya Sistem yang demokratis. Oleh karenanya ia dengan
gigih menentang Sistem yang bersifat diktatorial. Juga penting
baginya menghilangkan sikap-sikap yang tidak demokratis dalam
Sistem pemerintahan, dimulai dari persepsi bahwa pemerintah itu
lebih berkuasa dan penting dari rakyat. Oleh karenanya, ia pernah
mengusulkan dalam DPR agar istilah “pemerintah” diubah menjadi
155
Siauw Giok Tjhan
“Abdi Rakyat”. “Pemerintah”, baginya memberi konotasi bahwa ia
adalah majikan sang rakyat.
Siauw menentang landasan politik yang dicanangkan oleh
PSI yang cenderung menggunakan Sistem-sitim yang ada di
negara-negara barat sebagai model dan solusi yang harus dianut
oleh Indonesia. Akan tetapi, Siauw tetap dekat dengan Djohan
Sjahroezah dan Tan Po Goan di parlemen. Dengan Djohan, ia sering
terlihat berdiskusi dan bertukar pikiran. Jalan pikiran dari kedua
orang ini tampak mempunyai banyak persamaan, tetapi Djohan
terbatas akan disiplin partainya. Dengan Tan, Siauw tidak banyak
mempunyai persamaan pandangan, tetapi mereka berdua tetap
menjadi sahabat kental.
Dengan Masjumi yang mempunyai sikap anti komunis, anti
sosialis, Siauw terlihat mempunyai banyak perbedaan pendapat.
Dalam banyak perdebatan di parlemen, Siauw jelas menentang
garis politik yang dianut oleh Masjumi. Hubungan dengan para
tokohnya juga tidak pernah dekat, walaupun tidak pernah terlihat
adanya “hostilities”.
Kalau dengan Masjumi Siauw terlihat susah bekerja sama, ia
ternyata bisa mempunyai hubungan yang baik dengan banyak tokoh
NU, terutama dengan ketuanya, Zainul Arifin. Banyak pandangan
Siauw didukung oleh tokoh-tokoh NU dalam berbagai perdebatan.
Demikian juga hubungannya dengan pimpinan Parkindo
(Tambunan) dan Partai Katolik (I.J Kasimo). Walaupun pandangan
politiknya sering berbeda, tetapi dalam banyak hal, Siauw sering
mendapat dukungan dari mereka di Parlemen.
Karena sikap Siauw yang demikian “flexible” dan kepribadiannya
yang ramah tamah, ia praktis tidak memiliki musuh pribadi.
Walaupun Siauw merasa dirinya sebagai seorang politikus
berhaluan kiri, ia tidak pernah merasa kikuk bergaul dengan
banyak tokoh yang berhaluan kanan dan yang sering bertentangan
pendapat dengannya. Kepribadian inilah yang menyebabkannya
berhasil mencapai banyak tujuan politiknya di parlemen.
156
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Sebagai politikus, Siauw bergerak bagaikan seorang “free
agent”. Ia lebih bersedia bekerja sama dengan orang-orang yang
menghormati pandangan politiknya dan bisa menerima argumentasiargumentasi yang ia ajukan, tanpa memperdulikan latar belakang
politiknya. Siauw juga seorang politikus yang kelihatannya tidak
senang diikat dengan berbagai peraturan dan disiplin, apalagi
kalau ikatan atau batasan itu pada akhirnya mencelakakan tujuan
politiknya. Ia sering menyatakan bahwa kepentingan partai-partai
politik sering berbeda bahkan berlawanan dengan kepentingan
golongan minoritas. Dalam konteks ini, bilamana ada partai yang ia
rasa akan mengganggu posisi golongan yang ia wakili, ia senantiasa
siap untuk menentangnya. Inilah yang menyebabkan ia tidak lagi
bersedia untuk masuk ke dalam partai-partai politik, walaupun
Sartono dikatakan pernah menghimbaunya untuk masuk PNI40.
Fraksi Nasional Progresif
Perkembangan dan komposisi politik di tahun 1950-an sangat
kompleks. Seperti yang dituturkan sebelumnya, banyak diskusi
dan persetujuan politik diadakan antara beberapa tokoh politik
dari berbagai partai berdasarkan hubungan pribadi dan ambisiambisi pribadi ketimbang ideologi politik dari partai-partai yang
dipimpinnya. Sampai dimana keberhasilan tokoh politik dalam
mencapai tujuannya di dalam zaman demokrasi berparlementer
itu sering tergantung dari berapa besar dukungan terhadap
kepribadian dan kemampuannya dalam mengembalikan suara
itu dengan berbagai macam perlayanan, baik yang bersifat politik
maupun komersial.
Pada waktu itu, disiplin partai-partai politik lemah. Hanya PKIlah yang mungkin memiliki sebuah disiplin yang diikuti dengan
tertib oleh para anggotanya yang duduk di parlemen. Anggotaanggota dari partai-partai politik lainnya, terutama partai-partai
40
Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Oei Tjoe Tat, Desem-
ber 1991
157
Siauw Giok Tjhan
kecil, sering menghianati tujuan dan garis partai-partainya, untuk
kepentingan pribadinya.
Pada umumnya politikus dan partai-partai politik saling
bertentangan bukan karena perbedaan ideologi politik, melainkan
karena adanya pengelompokan. Bila seorang berada dalam
kelompok tertentu dan kelompok itu adalah pihak oposisi, orang
itu dengan sendirinya menjadi musuhnya. Pada masa demokrasi
berparlementer, ada dua kelompok politik besar yang saling
bertentangan. Kelompok pertama didominasi oleh PNI dan
Masjumi, didukung oleh PSI dan beberapa partai kecil lainnya,
seperti Parkindo dan Partai Katolik. Kelompok lainnya terdiri
dari partai-partai nasionalis kecil, Murba dan dibelakangnya, PKI.
Terkadang, NU berada juga dalam barisan ini.
Di dalam parlemen baru setelah DPR -RI dibentuk pada tahun
1950, Siauw tadinya terdaftar sebagai anggota fraksi SKI (Serikat
Kerakyatan Indonesia). Fraksi ini dipimpin oleh DS Diapari,
seorang dokter yang berasal dari Batak. Tokoh-tokoh SKI memang
orang-orang Batak.
Sebenarnya SKI adalah sebuah partai politik. Tetapi pada waktu
itu, seorang yang tidak berpartai seperti Siauw Giok Tjhan, bisa
menjadi anggota fraksi partai politik tanpa menjadi anggota partai
itu. Keputusan Siauw untuk bergabung dengan SKI berdasarkan
sikap para pemimpinnya. Sebagai orang-orang Batak, para
pemimpin SKI menganggap mereka-pun mengalami diskriminasi,
karena bukan berasal dari golongan mayoritas. Dengan demikian,
mereka sering kali membela posisi Siauw di dalam parlemen dalam
melawan peraturan-peraturan yang mendiskriminasikan golongan
Tionghoa.
Partai SKI didirikan di Banjarmasin pada bulan Januari 1946
oleh D.S Diapari, A. Sinaga dan A. Rivai. Ketiga-tiganya adalah
keturunan Batak yang kebetulan berada di Banjarmasin pada waktu
yang bersamaan. Seperti banyak partai politik yang berdiri pada
zaman itu, SKI tidak mempunyai haluan atau ideologi politik yang
jelas. Para pemimpinnya berpendidikan Belanda nasionalistis dan
158
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
mempunyai pandangan politik yang serupa dengan Murba. Diapari
yang menjadi ketuanya adalah seorang dokter. Setelah Diapari
pindah ke Jakarta dalam rangka tugas parlemennya, Ferdinand
Lumban Tobing, yang juga seorang dokter, turut memperkuat
barisan SKI di parlemen.
Pada awal 1951, Siauw mengambil inisiatif untuk mengumpulkan
para wakil partai-partai nasionalis kecil yang ada di parlemen
untuk mendirikan sebuah fraksi yang mempunyai sebuah kekuatan
yang berarti dalam menghadapi partai-partai besar, Masjumi dan
PNI. Akhirnya dibentuklah sebuah fraksi yang dinamakan Fraksi
nasional Progresif yang terdiri dari SKI, Murba, Fraksi Persatuan
Progresif, PRN (Partai Rakyat Nasional), PIR (Partai Indonesia Raya)
Front Buruh, Golongan Tani, Fraksi Kedaulatan Rakyat, Persatuan
Marhaen Indonesia dan beberapa anggota tidak berpartai seperti
Mohamad Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri. Jadi fraksi baru ini
lebih banyak merupakan sebuah koalisi beberapa partai dan fraksi
yang sudah berdiri. Karena Siauw yang mengambil inisiatif dan bisa
diterima oleh semua pihak, Siauw-lah yang diangkat menjadi ketua
fraksi baru ini. Yang menarik adalah sebagian besar dari anggota
fraksi ini adalah orang-orang yang berasal dari luar Pulau Jawa.
Dasar persatuannya adalah nasionalisme dengan kecenderungan
ke arah sosialisme41.
Dipilihnya Siauw sebagai ketua fraksi merupakan sebuah hal
yang menarik. Ke-Tionghoa-an Siauw tidak dimasalahkan. Yang
diutamakan adalah kemampuannya sebagai pemimpin yang mahir
dalam mencapai kesatuan berbagai pendapat yang berbeda. Siauw
diterima para tokoh politik yang bernaung di dalam fraksi ini sebagai
tokoh politik yang penuh dengan komitmen untuk Indonesia secara
keseluruhan, walaupun kehadirannya di parlemen sebagai wakil
golongan minoritas.
Partai yang terbesar dan yang paling konservatif dalam fraksi ini
adalah PIR yang dipimpin oleh Wongsonegoro. Oleh banyak orang,
41
Wawancara dengan Sidik Kertapati, Januari 1989
159
Siauw Giok Tjhan
partai ini dianggap partai dari orang-orang Ningrat yang didukung
oleh Pamong Praja di dalam dan luar Pulau Jawa42. Partai ini
mempunyai 20 wakil dalam parlemen dan salah satu diantaranya
adalah seorang peranakan Tionghoa, Tio Kiang Sun yang berasal
dari Kalimantan Barat.
PRN (Partai Rakyat Nasional) yang dipimpin oleh Djody
Gondokusumo mempunyai 9 anggota di dalam DPR. Para pemimpin
partai ini tadinya berasal dari PNI dan meninggalkan PNI sebagai
protes terhadap Sidik Djojosukarto yang ditentangnya dan yang
berhasil mendapat dukungan besar dalam PNI untuk menjadi
ketuanya pada akhir tahun 1950. Walaupun menentang PNI,
mereka tetap mendasarkan program partainya atas nasionalisme
dan secara garis besar, program kerjanya searah dengan PNI. Oleh
banyak orang, para pemimpin PRN dikategorikan sebagai orangorang burjuis yang berhaluan politik kanan. Djodi Gondokusumo
sempat menghebohkan masyarakat, karena terbukti korupsi pada
akhir masa kejayaannya sebagai menteri kehakiman pada tahun
1956. Siauw sangat dekat dengan Djody yang selalu menganggapnya
sebagai teman baiknya.
Partai yang paling berpengaruh dalam fraksi Nasional Progresif
ini adalah partai Murba, yang dipimpin oleh Sukarni. Partai
ini tumbuh pada zaman beradanya Persatuan Perjuangan yang
dipimpin oleh Tan Malaka. Partai ini secara resmi didirikan
pada tanggal 7 November 1948 oleh pengikut-pengikut setia Tan
Malaka. Tujuan utamanya adalah mencapai Indonesia Merdeka
100%, dengan pengertian terbentuknya negara Indonesia yang
berlandaskan sosialisme. Karena arah politiknya berlandaskan
kepemimpinan Tan Malaka yang pernah didukung oleh banyak
pejuang nasionalis berkaliber tinggi, seperti Mohamad Yamin, Iwa
Kusumasumantri dan Jendral Sudirman, cukup banyak nasionalis
yang berkiblat ke Murba. Jumlah anggotanya di DPR hanya 4 orang,
42
Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, pp 143-144
160
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
tetapi banyak tokoh partai lain mengidentifikasikan dirinya sebagai
pendukung Partai Murba (Partai “wong cilik”). Siauw sendiri
sangat dekat dengan para pemimpin Murba, diantaranya Sukarni,
Adam Malik dan Pandu Kartawiguna.
Disamping partai-partai tersebut di atas ada juga partai-partai
kecil yang tidak terlalu aktif di dalam DPR tetapi mempunyai jumlah
suara yang dapat menentukan perimbangan kekuatan politik.
Ada juga tokoh-tokoh yang tidak berpartai seperti Mohamad
Yamin. Ia adalah tokoh yang disegani di dalam kancah politik
Indonesia. Seperti Siauw, ia juga tidak mau terikat dengan disiplin
partai politik dan memilih untuk tetap tidak berpartai. Untuk
orang-orang Masjumi dan PSI, Yamin dianggap sebagai orang
kiri, karena memang visi politiknya serupa dengan aliran politik
yang dianut oleh Murba. Ia dekat sekali dengan Siauw dan sering
terlihat berada di tempat yang sama di gedung parlemen. Ia juga
sering mengunjungi rumah Siauw untuk berbincang-bincang
mengenai masalah politik. Hobby-nya dengan Siauw serupa, yaitu
senang mengumpulkan dan membaca buku. Mereka saling tukar
menukar buku43. Dukungan Yamin terhadap Siauw oleh banyak
orang dianggap luar biasa. Ia pernah mengecam partai-partai yang
bersikap anti Tionghoa di parlemen. Dalam salah satu pidatonya, ia
pernah menyatakan dukungan penuhnya terhadap apa yang Siauw
perdebatkan. Ia berkata:”...kalau saudara Siauw dianggap sebagai
Hoakiao, maka saya harus disebut Minangkiao. Saya sepenuhnya
mendukung apa yang diperjuangkan oleh saudara Siauw...”44. Dalam
salah satu pertemuan antara Yamin dan Oei Tjoe Tat di tempat
kediaman Siauw pada tahun 1950-an, Yamin menyatakan pada
Oei:”...Siauw itu orangnya aneh. Sayangnya, Ia bukan asli Indonesia.
Seandainya pandangan kita sudah lebih maju, pastilah Siauw sudah
43
44
Kekaguman Siauw terhadap Yamin ditunjukkan dalam buku Lima Jaman, p 299
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di Penjara RTM, 1970
161
Siauw Giok Tjhan
menjabat perdana menteri berkali-kali...”45.
Kemahiran Siauw dalam memimpin sebuah organisasi yang
beraneka ragam anggotanya tampak dalam zaman demokrasi
berparlementer ini. Fraksi Nasional Progresif bisa dikatakan fraksi
gado-gado. Aliran politik yang terkandung di dalamnya bercampur
aduk. Para anggotanya juga orang-orang berbobot yang dikenal
susah untuk diatur diantaranya Yamin, Iwa Kusumasumantri,
Djody Gondokusumo dan F.L Tobing. Akan tetapi Siauw teringat
bahwa setiap resolusi fraksinya selalu mendapat dukungan bulat
dari para anggotanya dan perbedaan-perbedaan pendapat selalu
bisa diatasinya dengan baik46.
Banyak anggotanya memainkan peranan penting dalam berbagai
panitia parlemen dan kabinet. Walaupun sebagian besar anggota
fraksi ini adalah orang-orang yang bergelar, banyak yang lulus di
negeri Belanda, tetapi mereka lebih cenderung pada gerakan politik
yang berdasarkan program-program yang bisa diterima oleh orang
banyak. Inilah yang mungkin menyebabkan mereka bisa menerima
Siauw, seorang peranakan Tionghoa, yang tidak bergelar, sebagai
ketua fraksi tersebut.
Karena karakter fraksi ini lebih condong ke kiri, para anggotanya,
kecuali dari PRN, tidak begitu cocok dengan kabinet-kabinet
Natsir (September 1950 - April 1951) yang didominasi oleh orangorang Masjumi dan PSI. Juga oleh Sukiman, mereka tidak diikut
sertakan dalam kabinetnya (April 1951 - Februari 1952). Dengan
demikian, Fraksi Nasional Progresif dalam masa beberapa kabinet
yang bersilih ganti ini, berada di dalam pihak oposisi sampai
dibentuknya kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, yang
mengubah haluan politik pemerintah Indonesia.
Setelah Pemilihan Umum 1955, komposisi Fraksi Nasional
Progresif berubah. Ia lebih kekiri dan elemen-elemen kanannya,
45
46
Oei Tjoe Tat, Memoar, p. 84
Wawancara dengan Sidik Kertapati; Siauw, Lima Jaman, p 241
162
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
yang diwakili oleh tokoh-tokoh PIR dan PRN, menghilang. Partindo
dan Acoma (Angkatan Komunis Muda) masuk ke dalam fraksi
Nasional Progresif. Siauw tetap diangkat sebagai ketuanya.
Posisi Siauw sebagai ketua fraksi ini memperluas ruang lingkup
perjuangannya dan sekaligus pengalaman politiknya. Kewibawaan
politiknya baik di dalam maupun di luar DPR-pun meningkat.
Dengan semakin giatnya dan efektifnya Siauw menentang peraturanperaturan serta Undang-Undang yang bersifat rasis, semakin
mudah masyarakat Tionghoa di Indonesia menganggapnya sebagai
pelindung dan pembela golongannya. Akan tetapi sampai saat ini,
Siauw tetap tidak mempunyai massa sendiri. Ia tetap “terpisah”
dari masyarakat yang ia bela dan wakili.
Razia Sukiman
Jatuhnya kabinet Natsir pada bulan April 1951 menimbulkan
harapan kalangan PNI dan juga partai-partai nasionalis kecil
dan Murba (yang berada dalam naungan Fraksi Nasional
Progresif) bahwa mereka akan mempunyai banyak peluang untuk
berpartisipasi dalam kabinet yang akan menggantikan kabinet
Natsir. Akan tetapi, kelompok ini ternyata gagal membentuk
kabinet. Pada akhirnya, kabinet Sukiman yang lagi-lagi didominasi
oleh Masjumi dan PSI-lah yang menggantikannya.
Garis politik yang dianut oleh Sukiman ternyata lebih tidak
menguntungkan posisi kelompok oposisi. Karena pemerintah
menghadapi kekacauan ekonomi yang kian parah keadaannya,
Sukiman membawa kabinetnya ke arah yang bersifat anti komunis
supaya bisa meyakinkan Amerika Serikat untuk lebih bermurah
hati dalam membantunya. Disamping bantuan ekonomi, Sukimanpun mengharap Amerika Serikat akan membantu pemerintahannya
untuk menekan Belanda untuk mempercepat penyelesaian masalah
Irian Barat.
Menjelang tahun 1951, prestasi RRT kian meningkat. Dalam
waktu yang bersamaan, Amerika Serikat menjadi lebih giat dalam
163
Siauw Giok Tjhan
melaksanakan apa yang dinamakan the China Containment Policy.
Perang Korea yang dimulai pada bulan Juni 1950 memberi sarana
militer ke pada Amerika Serikat untuk memperluas kehadiran
kekuatan militernya di kawasan Asia. Polarisasi politik antara yang
pro komunis dan anti komunis semakin tajam di berbagai negara
Asia, termasuk Indonesia.
Pemerintah RRT di Indonesia ternyata berhasil memobilisasi
dukungan yang luas dari masyarakat Tionghoa totok. Seperti yang
dituturkan sebelumnya, jumlah Tionghoa totok yang mendukung
RRT pada tahun 1950-an jauh lebih tinggi dari mereka yang
mendukung Taiwan. Kelompok yang kedua ini semakin kecil dan
terpojok posisinya di Indonesia. Disamping itu, program yang
dilaksanakan oleh kelompok Aidit setelah menggantikan Tan
Ling Djie dan Alimin dari tampuk pimpinan, terlihat membawa
hasil-hasil positif bagi PKI. Jumlah anggotanya meningkat secara
dramatis dan dukungan massa di daerah-daerah untuk PKI kian
meningkat.
Disamping itu, antara bulan Juni dan Agustus 1951, sering terjadi
pemogokan buruh-buruh dan demonstrasi-demonstrasi massa di
Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Gerakan massa ini tentunya
dihubungkan dengan kegiatan PKI. Walaupun PKI menyatakan
tidak terlibat dalam mengorganisasi pemogokan-pemogokan dan
demonstrasi-demonstrasi yang menimbulkan kekacauan politik
ini, Sukiman terlihat yakin bahwa PKI-lah yang bermain di belakang
layar.
Untuk menunjukkan sikap anti komunis-nya kepada dunia luar,
Sukiman mengambil keputusan untuk menahan para pimpinan
PKI dan pendukungnya pada bulan Agustus 1951. Banyak orang
Tionghoa yang menjadi anggota berbagai organisasi yang berkiblat
ke RRT juga ditahan. Jumlah orang yang ditahan di kota-kota besar
dalam gebrakan yang dikenal sebagai Razia Bulan Agustus Sukiman
ini adalah 15.00047.
47
Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, p 189
164
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Diantara orang-orang yang ditahan secara mendadak ini,
terdapat 16 anggota DPR. Sebagian besar dari mereka adalah
anggota-anggota yang mewakili PKI, kelompok Buruh dan Tani.
sebelum mereka ditahan, daftarnya diserahkan pada Sartono yang
tidak berdaya untuk mencegahya.
Siauw Giok Tjhan yang juga ditahan pada tanggal 16 Agustus
1951 itu, ternyata tidak berada dalam daftar anggota DPR yang
harus ditahan. Pada waktu istri Siauw pergi menemui Sartono, ia
terkejut mengetahui bahwa Siauw ditahan juga. Siauw belakangan
mengetahui bahwa namanya dicantumkan dalam daftar yang
disiapkan oleh para aktivis Kuo Min Tang, yang memang aktif dalam
membantu pemerintah Sukiman dalam menyiapkan daftar orangorang Tionghoa yang harus ditahan. Selain Siauw, Liem Koen Hian
dan Ang Jan Goan, direktur Sin Po juga ditahan karena daftar Kuo
Min Tang tersebut. Di Jakarta, sebagian besar para tahanan ditahan
di Penjara Cipinang48.
Akan tetapi, cara penangkapan yang dilakukan tidak efisien.
Beberapa tokoh penting malah lolos dan gagal untuk ditahan. DN
Aidit tidak tertangkap. Yang ditangkap malah ayahnya, Abdullah
Aidit, yang pada waktu itu menjadi anggota DPR mewakili Masjumi.
Lukman juga tidak tertangkap. Demikian juga dengan Njoto, yang
pada waktu itu tinggal di kantor Harian Rakyat, berhasil lolos. Tan
Ling Djie yang tidak berada dalam daftar, tidak beruntung, karena
ia tinggal di rumah Siauw, ia turut ditangkap dengan Siauw.
Tindakan Sukiman ditentang habis-habisan di parlemen.
Kecaman terhadap tindakannya ini justru datang dari Tan Po Goan
dari PSI dan Tambunan dari Parkindo. Mereka didukung oleh Iwa
Kusumasumantri dan Yamin. Pidato-pidato mereka menyinggung
masalah ditahannya Siauw Giok Tjhan dan menuntut agar semua
yang ditahan segera dibebaskan. Akan tetapi Sukiman berhasil
mengumpulkan suara di parlemen untuk mendukung tindakannya.
Mosi Tan Po Goan dikalahkan. Ini berarti PKI dijadikan partai yang
harus bergerak di bawah tanah semasa kabinet Sukiman yang
48
Siauw, Lima Jaman, p 168
165
Siauw Giok Tjhan
berakhir pada bulan Februari 1952.
Kalau masa tahanan di Wirogunan dan Ambarawa di tahun
1948-1949 menyebabkan Siauw menjadi dekat dengan banyak
tokoh nasionalis, baik yang berasal dari partai-partai Islam maupun
partai-partai nasionalis, masa tahanan di Cipinang membawanya ke
dunia kiri kelompok totok. Di penjara Cipinang, Siauw memperkuat
hubungannya dengan banyak aktivis totok yang nantinya akan lebih
banyak membantu usaha-usaha politiknya.
Tindakan Sukiman dalam memenjarakan begitu banyaknya
penduduk Tionghoa totok membawa dampak yang negatif
bagi usaha Siauw. Mereka yang ditahan semakin yakin bahwa
pemerintah Indonesia tidak bisa dipercaya dan tidak bisa didukung.
Sebagai akibat dari penahanan masal ini, jumlah orang Tionghoa
yang menolak kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember
1951 sangat tinggi -- diperkirakan melebihi 300.000 orang.
Salah satu akibat tragis penahanan masal ini adalah keputusan
Liem Koen Hian untuk menolak kewarga negaraan Indonesianya dari penjara. Liem merasa kecewa ditahan oleh pemerintah
Indonesia. Ia menjadi lebih kecewa lagi ketika ia mengirim anaknya
untuk menemui Achmad Subardjo, yang pada waktu itu menjadi
Menteri Luar negeri, anaknya tidak ditemui dengan baik. Subardjo
pernah menjadi kawan baik Liem Koen Hian dan pada waktu ia di
Jepang pada tahun 40-an, Liem Koen Hian-lah yang mengongkosi
hidupnya. Siauw mencoba meyakinkan Liem untuk tidak emosionil
dan mengingatkannya bahwa tindakannya itu bisa merusak apa
yang ia telah rintis berpuluhan tahun. Dengan air mata berlinang,
Liem menyatakan bahwa ia selalu lolos dari penangkapan penjajah,
tetapi malah meringkuk di penjara oleh pemerintah RI yang ia
selamanya dukung. Baginya, Indonesia bukanlah tanah airnya lagi.
Siauw gagal meyakinkannya. Jadilah Liem Koen Hian, yang sering
dianggap sebagai bapak politik meng”Indonesiakan” masyarakat
Tionghoa, seorang warga negara asing49.
Masa penahanan Siauw terpotong pendek karena penyakit
49
Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, Penjara RTM. 1970
166
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
matanya yang memerlukan operasi. Atas bantuan Sartono, ia
diizinkan meninggalkan tahanan untuk dioperasi. Begitu pulang
dari operasi matanya pada awal bulan Januari 1952, ia tidak kembali
ke tahanan, melainkan segera pergi ke gedung DPR untuk bekerja.
Sukiman yang ia temui di depan kantor DPR, ternyata minta maaf
atas ditahannya Siauw dan menyatakan bahwa ia bisa bebas pada
waktu itu juga50.
Dengan jatuhnya Sukiman pada bulan Februari 1952 dan
dibentuknya kabinet Wilopo pada bulan April 1952, semua tahanan
politik dibebaskan. Kabinet Wilopo ini memberi kemungkinan bagi
PKI untuk keluar kembali sebagai partai politik sah dan memulai
kegiatan-kegiatan politiknya di atas permukaan.
Pengalaman-pengalaman yang Siauw peroleh dalam periode
ini membuat Siauw lebih dikenal dalam masyarakat Indonesia,
terutama oleh masayarakat Tionghoa-nya. Kegiatannya dalam
berbagai penerbitan surat kabar yang bersifat nasional telah banyak
membantu usahanya dalam menjembatani golongan Tionghoa dan
masyarakat Indonesia luas. Berhasilnya Siauw dalam membentuk
Fraksi Nasional Progresif dan menjadi ketuanya mengkonsolidasi
posisi Siauw sebagai seorang politikus berkaliber nasional. Dengan
demikian, Siauw tampil sebagai satu-satunya calon ketua organisasi
massa Tionghoa yang ingin didirikan di Jakarta pada tahun 1954,
karena ia jelas mempunyai pengaruh dalam masyarakat pers, di
dalam parlemen dan masyarakat Tionghoa, baik totok maupun
peranakan.
Dalam zaman ini, pengertian Siauw tentang pembangunan
ekonomi nasional, sebagai bagian dari proses Nation Building
terkonsolidasi. Pada waktu yang bersamaan, arus anti-Tionghoa
yang bersandar atas politik ”asli” bangkit dan dikembangkan oleh
para politikus yang berkepentingan.
Upaya Siauw untuk melawannya di DPR memperoleh banyak
dukungan para anggota parlemen yang dekat dengannya. Celakanya,
50
Ibid.
167
Siauw Giok Tjhan
keberhasilan Siauw dalam mengurangi dampak arus Tionghoa ini,
mendorong para politikus berpengaruh untuk menggunakan dalih
pembangunan ekonomi nasional dengan meng-asing-kan sebanyak
mungkin orang Tionghoa yang berdagang. Pasalnya, bilamana para
pedagang Tionghoa ini menjadi warga negara asing, berdasarkan
berbagai peraturan yang melarang orang asing untuk memperoleh
berbagai macam lisensi dagang, mereka tidak lagi bisa ber-operasi.
Ini, menurut banyak politikus, membuka kesempatan untuk para
pedagang “asli” mengambil alih posisi dagang mereka. Hal ini akan
dibicarakan di lain bagian.
168
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Siauw dengan Sartono dan rombongan DPR -1957
Sunito, Siauw dan Sartono di Vietnam Utara, 1958
169
Siauw Giok Tjhan
Sartono dan Siauw dalam perjalanan ke Luar Negeri, 1956
Dengan seorang menteri negara Vietnam Utara - Hanoi, 1958
170
Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif
Dengan Sartono, Tambunan dan Chou En Lai, Beijing - 1956
171
Siauw Giok Tjhan
BAB 6
LAHIRNYA BAPERKI
Lahirnya BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia) pada tahun 1954 dan terpilihnya Siauw sebagai Ketua
Umumnya merupakan lembaran baru dalam sejarah perjuangan
Siauw Giok Tjhan. Sebelum itu, kegiatan Siauw terbatas pada
keaktifannya di Parlemen dan dunia pers.
Sebagai pemimpin sebuah organisasi suara Siauw di parlemen
dan media secara langsung merupakan suara organisasi yang
dipimpinnya. Pada waktu yang bersamaan, ia mempunyai sarana
untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasan dan pandanganpandangan politiknya. Ia pun dapat memobilisasi organisasinya
untuk melaksanakan program-program politiknya.
Perkembangan Politik setelah Juli 1953
Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dibentuk pada bulan Juli 1953,
mengakhiri sebuah masa ketidak pastian di mana 3 kabinet bersilih
ganti dalam waktu-waktu yang singkat-- masa hidupnya kurang
dari setahun. Kabinet Ali yang didominasi oleh orang-orang PNI,
PIR dan NU ini bertahan selama dua tahun. Jadi merupakan kabinet
yang masa hidupnya terpanjang setelah kemerdekaan dicapai pada
tahun 1945.
Selain menjadi kabinet yang umurnya terpanjang, ia juga telah
membuahkan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental
dalam kancah politik Indonesia. Sebagian dari perubahanperubahan ini langsung berdampak atas komunitas Tionghoa.
Keadaan inilah yang mendorong Siauw untuk lebih meningkatkan
kegiatannya dalam kancah politik dalam membela golongan
Tionghoa dan melawan arus rasisme.
Kabinet Ali juga merupakan kabinet yang pertama sejak kabinet
172
Lahirnya Baperki
Hatta yang tidak menurut sertakan Masjumi dan PSI di dalamnya.
Walaupun hal ini tidak terjadi karena tekanan atau usaha PKI,
komposisi kabinet ini merupakan sebuah tanda akan adanya
keberhasilan kelompok kiri dalam memojokkan kelompok kanan1.
Orientasi politik kabinet ini dan juga para menteri yang duduk
di dalamnya dianggap lebih bisa diterima oleh para politikus kiri.
Walalupun di dalam kabinet ini tidak ada anggota-anggota PKI,
tetapi dua menteri di dalamnya dapat dikatakan pendukung
PKI, Sadjarwo dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Iwa
Kusumasumantri dari Fraksi Nasional Progressive.
Semasa kabinet Ali, stigma peristiwa Madiun jauh berkurang dan
PKI mulai bisa secara terbuka menyebar-luaskan ideologi politiknya
di berbagai pelosok Indonesia. Dengan bekerja sama dengan BTI,
pengaruh PKI di daerah perdesaan juga kian meningkat. Jumlah
anggota PKI meningkat pesat dalam masa kabinet Ali, dari 165.200
ke 500.0002. Dengan demikian, menjelang akhir masa kabinet
Ali pada tahun 1955, PKI telah tumbuh menjadi salah satu partai
politik yang besar.
Karena garis politik dan cara bekerjanya, dukungan partai-partai
politik yang tadinya berada di pihak oposisi meningkat. Inilah yang
menyebabkan Kabinet Ali berhasil meng-goalkan banyak undangundang di parlemen. Banyak undang-undang yang macet di masa
kabinet-kabinet sebelumnya, bisa disahkan oleh Kabinet Ali ini3.
Kabinet Ali banyak mengubah politik luar negeri yang dianut
oleh kabinet-kabinet sebelumnya. Kabinet-kabinet sebelumnya
jelas menunjukkan sikap anti komunisme dan cenderung
mendukung hampir semua kebijakan Amerika Serikat. Ali yang
pernah menjadi seorang diplomat memberi prioritas tinggi untuk
1
2
3
Untuk daftar lengkap kabinet Ali, lihat Feith: The Decline of Constitutional Democracy, pp 330-339 dan Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, pp 228-237
Ibid. p 407
Ibid. p 412
173
Siauw Giok Tjhan
kebijakan-kebijakan politik luar negeri kabinetnya. Ia ternyata
berani menolak sikap Amerika Serikat dalam memusuhi RRT,
bahkan bertekad untuk membangun hubungan yang baik dengan
RRT. Dalam garis besarnya, Ali ingin membawa Indonesia ke posisi
netral di mana ia berhubungan baik dengan negara-negara Komunis
maupun negara-negara kapitalis.
Di bawah pimpinan Ali, perjanjian perdagangan antar RI dan
RRT ditanda tangani pada bulan Desember 1953 dan ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut sampai tahun 1955. Ketika Konperensi
Asia Afrika pertama diadakan di Bandung pada tahun 1955, Ali
mendukung usul Nehru untuk mengundang Perdana Menteri Chou
En Lai menghadiri konperensi ini. Juga, dalam masa kabinet Ali,
beberapa tokoh Kuo Min Tang diusir keluar pada bulan Desember
1954 dan Februari 19554.
Sikap pemerintah Ali terhadap RRT ini dengan sendirinya
didukung oleh masyarakat totok yang berkiblat ke RRT. Sikap politik
pemerintah yang demikian juga menyebabkan pengaruh golongan
totok yang pro RRT menjadi lebih besar dan berhasil memojokkan
pihak yang pro Taiwan.
Perkembangan politik yang demikian mempermudah hubungan
langsung antara pemerintah RRT dengan penduduk Tionghoa totok
di Indonesia. Salah satu masalah yang banyak dibicarakan antara
perwakilan pemerintah Tiongkok di Indonesia dengan penduduk
totok adalah masalah kewarganegaraan.
Ini merupakan sebuah masalah yang pelik. Undang-undang
kewarganegaraan RRT mengakui setiap orang Tionghoa itu sebagai
warga negaranya, kecuali bilamana ia menolak kewarga negaraan
Tiongkok. Sedangkan undang-undang Indonesia menentukan setiap
orang yang lahir di Indonesia dan tidak menolak kewarganegaraan
Indonesia pada bulan Desember 1951 adalah warganegara
Indonesia. Yang menjadi masalah, undang-undang Indonesia juga
menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia tidak bisa
4
Ibid. p 389
174
Lahirnya Baperki
memiliki kewarganegaraan negara lain.
Selama belum ada persetujuan antara kedua negara tentang
penyelesaiannya, semua orang Tionghoa yang berada di Indonesia
yang tidak secara aktif menolak kewarganegaraan RRT dan
kewarganegaraan RI, secara hukum, memiliki Dwi Kewarganegaraan -- kewarga-negaraan Tiongkok dan kewarga-negaraan
Indonesia.
Kemampuan RRT dalam membangun negaranya dan
memperbesar pengaruhnya dalam dunia internasional telah
membesarkan hati banyak orang Tionghoa di Indonesia, terutama
penduduk totoknya. Keyakinan mereka mulai pulih bahwa RRT
akan berkembang menjadi sebuah negara yang kuat yang bisa
diandalkan oleh mereka. Banyak pedagang totok mulai terdorong
untuk memulihkan angan-angannya, untuk pulang kembali ke
Tiongkok pada hari tuanya, mengecapi keuntungan yang mereka
peroleh dari usahanya di Indonesia.
Sebagian besar penduduk totok masih dipengaruhi oleh trauma
yang mereka alami dalam masa revolusi (1945-1949) dan masa
pemerintahan Sukiman yang menahan banyak orang Tionghoa
pada tahun 1951. Mereka tetap berpendapat bahwa menjadi
warga negara Indonesia tidak menguntungkan posisi mereka.
Mereka khawatir kalau mereka menjadi warga negara Indonesia,
pemerintah Tiongkok tidak akan bisa membela kepentingan
mereka lagi. Mereka-pun khawatir kalau sudah menjadi warga
negara Indonesia, mereka tidak akan bisa menetap di RRT pada
hari tuanya.
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mendorong sebagian
tokoh masyarakat totok mendesak pemerintah RRT untuk
membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia agar sebagian
besar penduduk Tionghoa totok di Indonesia pada akhirnya tetap
menjadi warga negara Tiongkok5. Hal ini akan dibicarakan lebih
lanjut di lain bagian.
Penduduk Tionghoa juga merasa gembira melihat di dalam
5
Wawancara dengan Zhu Yi, Beijing, Oktober 1994
175
Siauw Giok Tjhan
kabinet Ali terdapat dua menteri Tionghoa. Dr. Ong Eng Die, seorang
akhli ekonomi PNI, duduk sebagai menteri keuangan. Dr. Lie Kiat
Teng (juga dikenal sebagai Mohamad Ali), seorang dokter dari PSII,
duduk sebagai menteri kesehatan. Sejak Siauw Giok Tjhan duduk
sebagai menteri di dalam kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948),
pengangkatan kedua menteri Tionghoa ini adalah yang pertama
kalinya.
Dekatnya pemerintahan Ali dengan RRT dan adanya dua menteri
Tionghoa yang memegang peranan penting dalam pemerintahan
menimbulkan harapan besar bahwa posisi golongan Tionghoa, baik
dalam dunia perdagangan maupun politik akan lebih baik.
Sebagai ketua Fraksi Nasional Progresif, Siauw-pun merasa
gembira, karena di dalam kabinet Ali ini terdapat empat menteri
penting dari fraksinya. Iwa Kusumasumantri duduk sebagai
Menteri Pertahanan. Djody Gondokusumo duduk sebagai Menteri
Kehakiman. Muhamad Yamin sebagai Menteri pendidikan dan
Ferdinand Lumban Tobing sebagai Menteri Penerangan. Disamping
itu, Siauw sangat dekat dengan Perdana Menteri Ali dan wakilnya,
Zainul Arifin, dari NU. Juga dengan beberapa menteri lainnya, Aruji
Kartawinata dan Sudibjo yang mewakili PSII6, hubungan intim yang
terjalin sejak penjara Wirogunan di Yogyakarta.
Tidaklah heran kalau Siauw-pun mempunyai harapan besar
bahwa perjuangannya melawan rasisme dan usahanya untuk
mempengaruhi parlemen dalam mengeluarkan berbagai macam
undang-undang yang sesuai dengan pandangan politiknya, akan
memperoleh hasil yang memuaskan pada masa kabinet Ali. Akan
tetapi dugaan Siauw meleset. Justru dalam masa kabinet Ali yang
haluan politiknya seirama dengan prinsip politiknya, ia harus
menghadapi berbagai masalah pelik yang mengecewakannya. Di
6
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Tan Hwie Kiat, Desember, 1991. Ong Eng Die, seperti Siauw, pernah menjadi menteri dalam
kabinet Amir Sjarifuddin pada tahun 1947, sebagai menteri muda
keuangan. Pada waktu itu Ong adalah anggota Partai Sosialis
176
Lahirnya Baperki
dalam kabinet Ali ini ternyata ada beberapa menteri yang ingin
mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang bertolak
belakang dengan formulasi politik dan ekonomi Siauw dalam
berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan formulasi
pembangunan Nasion Indonesia.
Masalah Kewarganegaraan
Salah satu kebijakan politik kabinet Ali yang mengecewakan
Siauw berhubungan langsung dengan masalah Kewarganegaraan.
Menteri luar negeri Sunario, seorang tokoh PNI, menjelang akhir
tahun 1953, mempelopori usaha pemerintah untuk mengeluarkan
undang-undang kewarganegaraan baru yang berdasarkan prinsip
aktif. Undang-undang ini dengan sendirinya bertolak belakang
dengan undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada
tahun 1946, yang berdasarkan prinsip pasif.
Untuk memperjelas implikasi undang-undang baru yang
diprakarsai oleh Sunario, perlu dibahas bagaimana perkembangan
undang-undang kewarganegaraan Indonesia sejak kemerdekaan
diproklamasikan pada tahun 1945.
Pada tahun 1946, masalah kewarganegaraan Indonesia,
terutama yang berhubungan dengan penduduk keturunan
asing, diperdebatkan di dalam Badan Pekerja. Karena sebagian
besar dari penduduk keturunan asing adalah orang Tionghoa,
perdebatannya berfokus kepada golongan Tionghoa. Tan Ling Djie
didukung oleh Siauw Giok Tjhan, seperti yang pernah dituturkan
sebelumnya mendukung sistem pasif yang berdasarkan prinsip Jus
Soli. Sistem ini menentukan bahwa semua orang Tionghoa yang
lahir di Indonesia dan menetap di Indonesia adalah warga negara
Indonesia, kecuali bilamana mereka menolak kewarganegaraan
Indonesia. Tan dan Siauw berpendapat bahwa sebagian besar
penduduk Tionghoa sudah bergenerasi menetap di Indonesia dan
merupakan bagian penting dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
menurut mereka, bilamana sebagian besar penduduk Tionghoa
177
Siauw Giok Tjhan
menjadi warga negara Indonesia, mereka akan lebih bersedia
mendukung pemerintah RI dalam menghadapi Belanda. Pendapat
ini didukung oleh sebagian besar anggota Partai Sosialis.
Pihak yang menentang prinsip ini dipimpin oleh Sunario dan
Lukman Hakim dari PNI. Mereka menganjurkan sistem Aktif.
Berdasarkan sistem ini, setiap orang Tionghoa yang lahir di Indonesia
harus secara aktif mengajukan permohonan untuk menjadi warga
negara Indonesia dan pada waktu bersamaan menyatakan bahwa ia
tidak lagi ingin menjadi warga negara Tiongkok. Menurut Sunario,
dengan menempuh jalan ini, hanya orang-orang yang setia dengan
RI-lah yang menjadi warga negara Indonesia.
Perdebatan ini, seperti yang dituturkan sebelumnya, diakhiri
dengan keluarnya undang-undang kewarganegaraan tahun 1946
yang berdasarkan sistem Pasif. Setiap keturunan asing diberi waktu
sampai tahun 1947 untuk menolak kewarganegaraan Indonesia.
Yang tidak menolak otomatis menjadi warga negara Indonesia.
Waktu memilih ini diperpanjang hingga tahun 1949.
Di dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan pada
tahun 1949, perdebatan ini diulang lagi. Akan tetapi, kelompok
yang mendukung sistem pasif lebih besar dan pada akhirnya
perjanjian KMB itu juga mengesahkan UU kewarganegaraan yang
bersandar pada sistem pasif. Waktu memilih diperpanjang hingga
27 Desember 1951.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, pada tanggal 27 Desember
1951, lebih dari 300 ribu orang Tionghoa ternyata menolak
kewarganegaraan Indonesia. Sebagian besar dari yang menolak
berasal dari golongan totok.
Dengan demikian, sejak tanggal 27 Desember 1951, secara
hukum, setiap orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan tidak
menolak kewarganegaraan Indonesia adalah warga negara
Indonesia.
Demokrasi parlementer yang dianut oleh pemerintah RI pada
tahun 50-an ternyata tidak berhasil menciptakan kestabilan politik.
Keadaan ini menyebabkan bersarnya ketergantungan pemerintah
178
Lahirnya Baperki
atas dukungan partai-partai politik dan para pemimpinnya. Partaipartai politik ini dengan sendirinya memerlukan dana untuk
kegiatan politiknya. Dana ini mereka peroleh dari para pemimpin
partai dan para pendukung politiknya. Usaha mendapatkan
dana ini kemudian bermanifestasi dalam bentuk praktek-praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang berkuasa dalam mengeluarkan
berbagai izin dagang dan kredit, memberikannya ke para kawan dan
krabatnya. Keuntungan yang diperoleh kemudian dibagi, sebagian
untuk kepentingan kegiatan partai politik yang didukungnya,
sebagian untuk kepentingan mereka sendiri.
Seringnya pergantian kabinet dan menteri menyebabkan
jumlah tokoh yang berkepentingan dan para krabatnya menjadi
besar. Timbullah sebuah kelas baru, kelas pedagang “asli” yang
keberhasilannya tergantung atas kekuasaan yang bisa memberikan
berbagai izin, fasilitas, kredit dan yang paling penting, perlindungan
khusus, sehingga semua persaingan yang ada bisa dikurangi bahkan
dilenyapkan.
Di antara bidang usaha yang banyak menghasilkan keuntungan
adalah export-import, transportasi, distribusi dan penggilingan
beras. Bidang-bidang ini pada umumnya dikuasai oleh para
pedagang Tionghoa, totok maupun peranakan, yang sudah
melakukannya sejak zaman penjajahan Belanda. Timbullah
keinginan para pedagang “asli” baru untuk mengambil alih
semua usaha dagang yang menguntungkan ini dari tangan para
pedagang Tionghoa. Mekanisme yang termudah bagi mereka
adalah mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan
yang melarang orang asing untuk berkecimpung dalam bidangbidang usaha tersebut. Selanjutnya, mendesak pemerintah untuk
menjadikan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia warga
negara asing. Penjelasan yang lebih mendetail mengenai implikasi
dari strategi kaum pedagang “asli” baru ini akan dituturkan di
bagian lain.
Karena Kabinet Ali tergantung atas dukungan partai-partai
politik, desakan para pemimpin partai dan para pendukungnya yang
179
Siauw Giok Tjhan
berkecimpung atau ingin berkecimpung dalam beberapa sektor
dagang tersebut di atas, telah mendorong Menteri Luar Negeri
Sunario untuk mengeluarkan sebuah rancangan undang-undang
kewarganegaraan baru yang selain membatalkan undang-undang
kewarganegaraan 1946, juga membatalkan kewarganegaraan
Indonesia yang seyogyanya dimiliki oleh setiap penduduk Tionghoa
yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia pada tanggal 27
Desember 1951.
Rancangan undang-undang ini dipersembahkan ke kabinet pada
bulan Agustus 1953. Pasal-pasal yang terkandung di dalamnya
antara lain:
a.
Hanya penduduk keturunan asing yang sudah
menetap di Indonesia selama tiga generasi diizinkan mengajukan
permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia
b.
Yang memohon harus membuktikan bahwa orang
tuanya lahir di Indonesia dan telah tinggal di Indonesia selama
10 tahun berturut-turut.
Bagi banyak orang Tionghoa, persyaratan semacam ini tidak
mungkin dipenuhi. Sebagian besar penduduk Tionghoa tidak
memiliki surat-surat bukti yang diperlukan. Banyak dari mereka
yang tidak pernah mendaftarkan kelahiran, perkawinan dan
kematiannya. Disamping itu kantor-kantor catatan sipil juga tidak
memiliki sistem arsip yang baik. Lagi pula, banyak dokumentasi
yang rusak atau hilang sebagai akibat perang dalam zaman
pendudukan Jepang dan revolusi.
Rancangan undang-undang ini mendapat tentangan keras dari
masyarakat Tionghoa. Bilamana rancangan ini diterima sebagai
undang-undang kewarganegaraan baru dan dilaksanakan, banyak
sekali orang Tionghoa akan menjadi warga negara asing, bukan
karena mereka mau menjadi asing, tetapi karena tidak memiliki
bukti yang diinginakan untuk mempertahankan kewarganegaraan
Indonesia-nya. Tokoh politik yang paling gigih menentang
rancangan undang-undang ini adalah Siauw Giok Tjhan. Ia banyak
berpidato di parlemen dan menulis berbagai karangan di berbagai
180
Lahirnya Baperki
surat kabar untuk menentangnya.
Menurut Siauw, rancangan undang-undang ini akan
mementahkan apa yang secara hukum telah dilaksanakan dan
disahkan oleh pemerintah RI. Kewarganegaraan seseorang tidak bisa
begitu saja dibatalkan. pelaksanaannya juga akan membingungkan
banyak orang akan siapa dan kapan seorang penduduk Indonesia
itu menjadi warga negara Indonesia. Siauw menekankan bahwa
tindakan semacam itu melanggar hukum internasional dan tidak
boleh diterima oleh parlemen dan masyarakat Indonesia7.
Kegigihan Siauw dalam menentang rancangan undang-undang
ini dan dalam mendesak pemerintah untuk mencabut atau
membatalkan berbagai peraturan ekonomi yang memojokkan
posisi golongan Tionghoa, membuat Siauw menjadi lebih terkenal
di kalangan komunitas Tionghoa.
Pada waktu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI)
membentuk sebuah panitia untuk membahas implikasi
rancangan undang-undang ini, mereka mengundang Siauw untuk
memimpinnya. Juga pada waktu PDTI, yang merasakan dirinya
sebagai organisasi yang tidak efektif, ingin mendirikan sebuah
organisasi massa yang mampu melawan rasisme pada awal bulan
Maret 1954, mereka juga mengundang Siauw untuk diangkat
sebagai pemimpin barunya.
Panitia yang dipimpin Siauw ini mengeluarkan berberapa
pernyataan menentang Rancangan UU yang disinggung di atas.
Atas bantuan para menteri yang menjadi anggota Fraksi Nasional
Progresif dan kedua menteri Tionghoa di dalam Kabinet Ali, dan
dukungan Perdana Menteri Ali sendiri, rancangan undang-undang
kewarganegaraan ini dicabut oleh kabinet. Pencabutan dilakukan
secara diam-diam. Sunario, untuk sementara harus menerima
kekalahan ini. Akan tetapi, ia ternyata tidak menyerah begitu saja.
Ia tetap menantikan kesempatan uang baik untuk meng-goal-kan
sistem aktif yang sejak zaman revolusi ia perjuangkan.
7
Wilmott, National Status, p39
181
Siauw Giok Tjhan
Yang menarik adalah hubungan pribadi antara Siauw dan
Sunario. Walaupun pandangan mereka tentang kewarganegaraan
Indonesia bertolak belakang, mereka ternyata cukup sering saling
berkunjung ke rumah masing-masing. Go Gien Tjwan teringat
bagaimana ke dua tokoh ini melanjutkan perdebatan di parlemen
di rumah Siauw.
Sampai saat itu, walaupun Siauw mempunyai banyak hubungan
dengan berbagai organisasi politik Tionghoa seperti PDTI, ia tidak
pernah menjadi anggota darinya. Ia tetap berfungsi sebagai seorang
non-partai.
Organisasi-organisasi Tionghoa pada tahun 50-an
PDTI adalah kelanjutan sebuah organisasi politik yang lahir
setelah kemerdekaan. Organisasi-organisasi Tionghoa memang
bermunculan setelah Kemerdekaan diproklamasikan, karena di
zaman Jepang, hanya ada satu organisasi yang boleh berdiri dan
berfungsi, Kakyo Sho Kai. Pada tanggal 15 Oktober 1945, para
pemimpin kakyo Sho Kai membentuk Chung Hua Tsung Hui (CHTH
– Perkumpulan Tionghoa). Persatuan ini menurut sertakan para
tokoh yang di zaman penjajahan Belanda berorientasi ke Belanda,
para tokoh dan anggota Chung Hua Hui.
CHTH pada awalnya didominasi oleh orang-orang Tionghoa
yang berpendidikan Belanda. Akan tetapi menjelang tahun 1948,
organisasi ini didominasi oleh orang-orang totok yang pada waktu
itu cenderung mendukung Kuo Min Tang.
Pada tahun 1948, Thio Thiam Tjong, yang pernah duduk
sebagai pemimpin CHTH keluar dari CHTH dan mendirikan Partai
Persatuan Tionghoa, yang disingkat PT. Thio memang sudah lama
berkecimpung dalam berbagai organisasi Tionghoa. Di zaman
penjajahan Belanda, ia adalah salah satu pemimpin Chung Hua Hui.
Semasa pendudukan Jepang, ia ditahan di kamp militer Jepang di
Cimahi. Dalam zaman revolusi, karena Thio dianggap mempunyai
182
Lahirnya Baperki
banyak pengalaman dan pengaruh, oleh Van Mook, ia diangkat
sebagai salah satu penasehatnya. Ang Jan Goan, direktur Sin Po
dan Injo Beng Goat, direktur Keng Po, juga diangkat oleh Van Mook
sebagai penasehatnya.
PT didominasi oleh beberapa tokoh peranakan yang juga
memimpin Sin Ming Hui (Persatuan Sinar Baru) yang dibentuk
pada tahun 1946 di Jakarta. Sin Ming Hui juga tadinya berada
dalam naungan CHTH. Sin Ming Hui adalah sebuah organisasi
sosial yang memberi perlayanan untuk masyarakat Tionghoa
di Jakarta. Banyak pemimpinnya adalah pengacara-pengacara
ternama di Jakarta, sehingga salah satu perlayanan masyarakatnya
berbentuk bantuan/nasehat hukum. Disamping itu, organisasi
ini juga berkecimpung dalam bidang pencarian tenaga kerja dan
pendidikan praktis, seperti akademi asisten apoteker. Pada waktu
PT terbentuk pada tahun 1948, Sin Ming Hui juga keluar dari
naungan CHTH dan berkembang menjadi organisasi yang lebih
berkiblat ke RI.
Pemimpin-pemimpin PT termasuk Khoe Woen Sioe (Direktur
KengPo), Injo Beng Goat (pemimpin redaksi Keng Po) dan Tan
Po Goan, seorang pengacara yang pernah menjadi menteri dalam
kabinet ketiga Sjahrir pada tahun 1946 dan anggota DPR mewakili
PSI. Ketiga tokoh ini dekat dengan Sjahrir dan mendukung PSI.
Disamping ketiga tokoh ini, ada juga Ang Jan Goan (direktur Sin
Po) dan Yap Tjwan Bing, seorang apoteker di Bandung yang juga
mewakili PNI di parlemen.
Pada tahun 1950, tidak lama setelah RIS (Republik Indonesia
Serikat) dibentuk, Para pemimpin PT mengganti nama organisasinya
menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Thio Thiam
Tjong tetap menjabat sebagai ketua dan para pemimpin PT tetap
memimpin organisasi yang bernama baru ini. Beberapa anggota
parlemen Tionghoa yang juga menjadi anggota partai-partai politik
lainnya seperti Tjung Tin Yan (Partai Katolik), Tan Boen An (PSI),
Tjoa Sie Hwie (PNI) dan Yap Tjwan Bing (PNI) didaftar sebagai
anggota-anggota PDTI. Walaupun mereka didaftar sebagai anggota
183
Siauw Giok Tjhan
partai ini, sumbangsih mereka dalam pengembangannya tidak
nampak. Bahkan mereka tidak pernah aktif di dalamnya. PDTI
memang menganggap perwakilan di parlemen sebagai salah satu
hal yang terpenting dari kehadirannya.
Tidak jelas berapa jumlah anggota partai ini tetapi sambutan
masyarakat Tionghoa akan kehadirannya terbatas. Dan mereka
ternyata juga gagal mengajak banyak tokoh-tokoh peranakan
Tionghoa yang pernah aktif dalam perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. Tokoh-tokoh eks PTI seperti
Tan Ling Djie, Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan
menolak untuk masuk ke PDTI karena mereka pada waktu itu
berprinsip tidak mau masuk ke dalam partai yang berlandaskan
program yang melulu mementingkan masalah Tionghoa.
Salah satu kelemahan PDTI adalah persepsi orang akan
kesungguhan para pemimpinnya dalam mendukung RI. Thio
Thiam Tjong pernah dekat dengan Van Mook pada zaman revolusi.
Para anggota parlemen Tionghoa yang bergabung dengan PDTI
juga mewakili negara-negara bagian yang dikuasai oleh Belanda.
Para pemimpin lainnya, seperti Injo Beng Goat di dalam zaman
revolusi tidak pernah jelas sepenuhnya mendukung RI. Inilah yang
menyebabkan PDTI tidak pernah bisa dekat dengan partai-partai
politik yang berpengaruh pada waktu itu.
Menjelang akhir tahun 1953, anggota-anggota parlemen yang
terdaftar sebagai anggota PDTI tidak lagi menyatakan bahwa mereka
mewakili PDTI. Keadaan ini mengecewakan Thio Thiam Tjong yang
di dalam salah satu Berita PDTI yang terakhir menyatakan bahwa
PDTI tidak lagi efektif sebagai organisasi dan yang tinggal adalah
namanya saja.
Di luar Jakarta, beberapa organisasi semacam PDTI juga dibentuk.
Pada umumnya mereka didirikan oleh orang-orang peranakan
Tionghoa yang merasa kecewa atau tidak bisa menyesuaikan dirinya
dengan para pemimpin Chung Hua Tsung Hui yang semakin lama
semakin didominasi oleh tokoh-tokoh totok. Para pemimpin totok
ini lebih banyak berkecimpung dalam menjalankan sekolah-sekolah
184
Lahirnya Baperki
berbahasa Tionghoa dan cenderung lebih banyak memperhatikan
perkembangan politik di Tiongkok daripada Indonesia.
Di Surabaya dibentuk PERWANIT (Persatuan Warganegara
Indonesian Tionghoa). Di Kediri dibentuk PERWITT (Persatuan
Warga Indonesia Turunan Tionghoa) dan di Makasar, PERTIP
(Perserikatan Tionghoa Peranakan).
Walaupun organisasiorganisasi ini memiliki kesadaran politik, tetapi mereka tidak
pernah aktif dalam kegiatan-kegiatan politik dan tidak memiliki
kehadiran dalam kancah politik nasional8.
Pada akhir tahun 1953, para pemimpin PDTI mengambil
keputusan untuk membentuk sebuah panitia untuk membahas
masalah rancangan undang-undang kewarganegaraan Indonesia.
PDTI mengundang semua pengacara Tionghoa yang aktif baik
di PDTI maupun di Sin Ming Hui untuk membentuk panitia
ini, diantaranya Yap Thiam Hien, pengacara Kristen yang tidak
berpartai, Auwyang Peng Koen, pengacara Katolik, Liem Koen Seng,
tidak berpartai -- saudara sepupu Liem Koen Hian dan Gouw Giok
Siong, seorang guru besar hukum yang ternama di Jakarta. Oei Tjoe
Tat, wakil ketua PDTI, yang juga sarjana hukum, berfungsi sebagai
pembentuk panitia.
Di samping para akhli hukum ini, Oei Tjoe Tat juga ditugaskan
untuk mengundang semua anggota parlemen Tionghoa,
diantaranya Siauw Giok Tjhan, Tjung Tin Yan (partai Katolik), Tan
Po Goan (PSI), Lie Poe Yoe (PNI). Panitia yang dinamakan Panitia
Kerja Kewarganegaraan Indonesia ini memilih Siauw Giok Tjhan
sebagai ketuanya.
Oei Tjoe Tat teringat bahwa rapat-rapat panitia ini sepenuhnya
didominasi oleh Siauw. Walaupun Siauw bukan sarjana hukum,
tetapi ia mampu mengeluarkan argumentasi-argumentasi hukum
yang tidak bisa dibantah oleh para akhli hukum yang hadir di dalam
rapat-rapat panitia kerja itu.
8
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1992
185
Siauw Giok Tjhan
Kesimpulan yang dicapai oleh panitia kerja itu antara lain9:
A. Adalah sangat tidak bijaksana dan illegal memutar
balik apa yang sudah dilaksanakan secara hukum.
Penduduk Tionghoa yang tidak menolak kewarganegaraan
Indonesia pada tahun 1951 sudah secara hukum disahkan
sebagai warga negara Indonesia. Kalau rancangan undangundang ini diterima, mereka yang sudah menjadi warga
negara Indonesia mempunyai status asing lagi. Ini akan
menghilangkan kepercayaan orang akan hukum di Indonesia.
B. Catatan sipil untuk penduduk Tionghoa di mulai
pada tahun 1918 di pulau Jawa dan pada tahun 1926 di luar
pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Tionghoa juga terlalu
miskin untuk membayar ongkos-ongkos yang diperlukan
untuk mendapatkan dokumentasi kelahiran, perkawinan
dan kematian. Disamping itu, banyak juga dari mereka
yang tidak mengetahui prosedur yang harus ditempuh
untuk memperoleh dokumen-dokumen ini. Oleh karena
itu, bilamana rancangan undang-undang ini diterima, maka
banyak orang Tionghoa akan menjadi orang asing bukan
karena mereka mau menjadi asing, melainkan karena
mereka tidak memiliki semua dokumen yang dibutuhkan
untuk menjadi warga negara Indonesia.
Kesimpulan panitia ini dikirim langsung ke Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dengan permintaan untuk mencabut Rancangan
Undang-Undang kewarganegaraan itu. Karena Siauw dekat dengan
Ali dan beberapa menteri lainnya, ditambah tekanan Ong Eng Die
dan Lie Kiat Teng yang juga duduk di dalam kabinet, ia berhasil
mendesak kabinet untuk membatalkan Rancangan Undang-Undang
ini, sebelum ia diajukan ke dalam DPR untuk diperdebatkan10.
Para anggota Panitia Kerja Kewarganegaraan Indonesia dengan
sendirinya gembira melihat hasil usaha yang dicapai oleh Siauw.
9
10
Siauw, Lima Jaman, pp 230-233
Wilmott, National Status, p 34
186
Lahirnya Baperki
Kemampuan Siauw untuk mempengaruhi keputusan kabinet dan
mengajak para tokoh nasional untuk mendukung posisi politiknya
menimbulkan kesimpulan di antara para pemimpin PDTI bahwa
organisasinya memerlukan pemimpin berkaliber Siauw untuk bisa
efektif dalam melawan arus rasisme di Indonesia11.
Lahirnya Baperki
Adanya Rancangan Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia
pada akhir tahun 1953 menciptakan kekhawatiran di dalam
masyarakat peranakan Tionghoa. Pada bulan Februari 1954, dalam
sebuah rapat, PDTI menyimpulkan bahwa organisasinya tidak lagi
berdaya dalam melawan arus rasisme dan memutuskan untuk
membentuk sebuah organisasi massa yang didukung oleh seluruh
masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Mereka kemudian menghubungi organisasi-organisasi Tionghoa
yang mirip dengan PDTI, diantaranya PERWITT, PERWANIT dan
PERTIP. Tujuannya adalah membentuk semacam federasi yang
menggalang kesatuan kekuatan Tionghoa di seluruh Indonesia.
Pimpinan PDTI yang menggodok pembentukan organisasi baru
ini terdiri dari Thio Thiam Tjong, Khoe Woen Sioe, Injo Beng Goat,
Auwyang Peng Koen, Tan Eng Tie, Yap Thiam Hien dan Oei Tjoe Tat.
Semuanya adalah peranakan yang berpendidikan Belanda.
Khoe Woen Sioe, pada waktu itu berumur 49, turut mendirikan
Sin Ming Hui pada tahun 1946 dan diangkat sebagai ketua
pertamanya. Ia adalah seorang wartawan kawakan. Pertama
dengan Sin Po pada tahun 1923, kemudian pindah ke Keng Po yang
ia pimpin terus sampai penerbitannya ditutup pada tahun 1958.
Ia lebih banyak dikenal sebagai pemimpin Sin Ming Hui. Karena
umur dan kewibawaannya di Sin Ming Hui, oleh para aktivis muda
Sin Ming Hui seperti Oei Tjoe Tat dan Auwyang Peng Koen, ia
dianggap sebagai guru. Oleh karena itu, walaupun ia tidak menjadi
ketua dari PDTI, ia kelihatannya lebih dihormati dan disegani oleh
11
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1992
187
Siauw Giok Tjhan
para anggotanya daripada Thio Thiam Tjong. Secara politik, ia
cenderung mendukung PSI12.
Injo Beng Goat, 50, juga seorang wartawan yang kawakan.
Sebagai kepala redaksi harian Keng Po, ia dianggap dekat dengan
Khoe Woen Sioe. Tidak jelas apakah ia masuk PSI, tetapi aliran
politiknya cenderung mendukung PSI. Karena kepribadiannya,
ia tidak sepopuler Khoe dalam kalangan PDTI dan Sin Ming Hui.
Tetapi, ia tetap berpengaruh di dalamnya13.
Auwyang Peng Koen, 34, adalah seorang pengacara muda yang
lulus dari Universitas Indonesia pada tahun 1950. Ia seorang
katolik dan mungkin juga anggota Partai Katolik pada waktu itu. Ia
anti komunis dan bekerja dalam satu kantor pengacara di Jakarta
bersama dengan Tan Po Goan, Oei Tjoe Tat and Yap Thiam Hien14.
Tan Eng Tie, 47, adalah seorang dokter specialis kulit yang
belajar di Belanda. Tadinya ia aktif di Chung Hua Tsung Hui and Sin
Ming Hui. Seperti Thio Thiam Tjong ia tidak mempunyai hubungan
resmi dengan partai politik lainnya15.
Yap Thiam Hien, 41, adalah seorang pengacara yang lulus dari
Belanda pada tahun 1947. Walaupun ia seorang yang beragama
Kristen, tetapi ia tidak masuk ke dalam Parkindo. Seperti Auwyang
Peng Koen, ia-pun anti komunis, tetapi bisa dengan baik bekerja
dengan orang-orang yang berhaluan politik kiri
Oei Tjoe Tat, 32, juga seorang pengacara. Seperti yang digambarkan
di atas, ia memainkan peranan penting dalam membentuk Panitia
Kerja Kewarganegaraan Indonesia yang dipimpin oleh Siauw Giok
Tjhan. Walaupun ia dekat dengan Khoe Woen Sioe dan mungkin
12
13
14
15
Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, p 45;Wawan
cara dengan Oei Tjoe Tat
Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, p 34; Wawan
cara dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan
Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, pp99-100; Wawan
cara dengan Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan dan Yap Thiam Hien.
Ibid, p 127; Wawancara dengan Oei Tjoe Tat
188
Lahirnya Baperki
juga mendukung program-program PSI, ia tidak pernah masuk ke
PSI. Karena masih muda dan penuh dengan antusiasme, ia sering
diminta oleh Thio Thiam Tjong untuk merancangkan berbagai
dokumen hukum. Dari semua pimpinan PDTI, Oei-lah yang paling
mengenal Siauw, karena mereka berdua pernah tinggal bersama
dalam satu kost di kota Semarang pada tahun-tahun 1938-39. Pada
waktu itu Oei masih duduk di sekolah menengah (HBS) sedangkan
Siauw sudah bekerja di Mata Hari.
Di dalam rapat bulan Februari 1954 itu, Thio Thiam Tjong
menunjuk Oei Tjoe Tat untuk mengkoordinasikan rapat
pembentukan sebuah organisasi baru itu. Keputusan mereka adalah
membentuk sebuah organisasi massa, bukan partai politik. Mereka
berpendapat bahwa dengan bentuk organisasi massa, mereka
akan lebih mudah mendapatkan dukungan para tokoh peranakan
yang berbobot tetapi yang menjadi anggota-anggota partai politik
lain. Menurut mereka, organisasi massa memungkinkan orang
dari berbagai aliran dan partai politik untuk masuk dan aktif di
dalamnya16.
Dalam rapat yang sama, mereka mengusulkan untuk menamakan
organisasi baru ini BAPERWATT (Badan Permusyawaratan
Warga Negara Turunan Tionghoa). Pada waktu itu perkataan
permusyawaratan yang mengandung sikap demokratis memang
populer di Indonesia. Oei juga ditugaskan untuk menyusun
anggaran dasar organisasi baru ini.
Oei teringat dengan diskusi tentang siapa yang harus menjadi
ketua dari organisasi baru ini. Kriteria ketua yang disetujui adalah
seorang yang mempunyai kaliber nasional, yang mempunyai
pengaruh di dalam DPR sehingga posisi golongan Tionghoa
bisa dilindungi dari segi hukum dan undang-undang. Menurut
Oei, semua yang hadir pada waktu itu setuju bahwa calon ketua
yang paling cocok untuk Baperwatt adalah Siauw Giok Tjhan.
Keberhasilan Siauw di dalam parlemen dalam membatalkan atau
16
Ibid
189
Siauw Giok Tjhan
mengubah berbagai macam undang-undang yang merugikan posisi
golongan Tionghoa memperkuat keyakinan mereka bahwa Siauwlah yang harus diangkat menjadi ketua.
Timbullah pertanyaan. Bagaimana para tokoh PDTI yang lebih
banyak berkiblat ke PSI dan dekat dengan Sjahrir, bahkan anti
komunis, bisa mendukung dipilihnya Siauw Giok Tjhan sebagai
pemimpin mereka? Latar belakang Siauw, sebagai seorang yang
aktif di Partai Sosialis, dekat dengan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling
Djie, dan memiliki aliran politik yang bertentangan dengan PSI,
tentunya diketahui oleh mereka.
Alasan utamanya adalah mereka menganggap reputasi Siauw
dan diterimanya Siauw oleh berbagai partai politik lebih penting
dari adanya perbedaan pendapat politik. Disamping itu, kehadiran
kabinet Ali telah sedikit banyaknya mendorong masyarakat untuk
lebih menerima paham-paham politik kiri. Ditambah dengan
kenyataan bahwa RRT telah maju pesat dan mulai diterima dalam
dunia internasional. Kesemuanya mendorong orang untuk lebih
bisa menerima aliran politik kiri, jauh lebih banyak daripada tahuntahun sebelumnya.
Satu aspek kepemimpinan Siauw yang mereka harapkan adalah
koneksi dengan masyarakat totok yang tidak dimiliki oleh orangorang PDTI. Gigihnya Siauw membela kepentingan kaum pedagang
totok telah menjadikannya pembela yang disegani oleh masyarakat
totok. Dalam hal pengumpulan dana, mereka menyadari bahwa
koneksi dengan masyarakat totok ini penting dan perlu digalang.
Masyarakat totok memang pada waktu itu tidak tertarik dengan
perdebatan masalah undang-undang kewarganegaraan Indonesia.
Yang mereka lebih khawatirkan adalah adanya berbagai macam
peraturan atau undang-undang yang membatasi ruang lingkup
perdagangan mereka. Adanya organisasi massa yang mampu
melawan arus rasisme dalam bidang perdagangan dan pendidikan
diharapkan akan menciptakan dukungan masyarakat totok.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw tidak pernah masuk
ke dalam PDTI, walaupun publikasi PDTI sering menerbitkan
190
Lahirnya Baperki
pidato-pidatonya serta melaporkan kegiatannya di parlemen17.
Hubungannya dengan PDTI terbatas pada hubungan pribadi dengan
beberapa pimpinan PDTI, seperti Oei Tjoe Tat dan Ang Jan Goan.
Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh PDTI untuk menghubungi Siauw
Giok Tjhan dan mendorongnya untuk menerima pencalonannya
sebagai ketua Baperwatt. Siauw menyatakan bahwa ia tidak
bersedia menjadi ketua Baperwatt, tetapi tidak keberatan untuk
datang ke rapat pembentukannya yang akan diadakan pada tanggal
13 Maret 1954 di gedung Sin Ming Hui. Memang bagi Siauw yang
pernah bersepakat dengan Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa
Sik Ien pada tahun 1945 untuk tidak membentuk kembali PTI
karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip terbentuknya bangsa
Indonesia, membentuk organisasi semacam Baperwatt tidak tepat.
Dengan sendirinya ia menolak pencalonan para pemimpin PDTI
untuk menjadi ketuanya.
Memang banyak kawan dekat Siauw dan para pendukungnya
sudah cukup lama mendorong Siauw untuk membentuk sebuah
organisasi atau bergabung dengan organisasi yang sudah ada.
Beberapa kawan dekatnya menjuluki Siauw sebagai seorang
“panglima tanpa barisan”. Jadi datangnya Oei Tjoe Tat dengan
tawaran menjadi ketua sebuah organisasi massa memang
merupakan sebuah hal yang kebetulan.
Dalam hal ini Siauw menghadapi sebuah dilema. Ia tentunya
sadar bahwa ia tidak bisa selamanya terpisah dengan masyarakat
yang ia bela di parlemen. Tetapi ia sadar bahwa membentuk
organisasi semacam PTI atau PDTI juga bukan jalan yang tepat.
Bergabung dengan partai politik-pun kurang ia dukung, karena ia
melihat bahwa program-program partai politik sering bertentangan
dengan kepentingan masyarakat Tionghoa.
Tetapi rupanya Siauw secara diam-diam menganggap organisasi
massa semacam Baperwatt, dengan perubahan strukturil, bisa
dijadikan sarana yang baik untuk membantu perjuangannya di
17
Mary Somers, Peranakan Politics, p 144
191
Siauw Giok Tjhan
arena parlemen.
Yang diundang untuk acara pembentukan itu adalah para
pemimpin organisasi-organisasi seperti PERWANIT, PERTIP dan
PERWITT. PDTI juga mengundang banyak tokoh Tionghoa dari
berbagai aliran masyarakat lainnya.
Diantara orang yang diundang adalah Go Gien Tjwan. Go Gien
Tjwan, 35, adalah kawan dekat Siauw dari Malang. Hubungannya
dengan Siauw sejak zaman Angkatan Muda Tionghoa di Malang
pada zaman pendudukan Jepang. Ia juga menjadi anggota Partai
Sosialis dan turut memimpin Antara. Ia menjadi terkenal ketika
ia bersama Sunito diusir dari negeri Belanda pada tahun 1953.
Ketika itu, Go menjadi kepala kantor Antara di Belanda. Oleh para
pemimpin PDTI, ia dikenal sebagai seorang kiri.
Yang tidak diundang oleh PDTI adalah Tjoa Sik Ien dan Tan Ling
Djie. Kemungkinan besar, nama mereka tidak berada dalam daftar
karena mereka dianggap komunis.
Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang18. Semuanya adalah
peranakan Tionghoa dan pada umumnya berpendidikan Belanda.
Sebagian besar berasal dari pulau Jawa, tetapi ada juga beberapa
yang datang dari Padang, Palembang dan Banjarmasin19. Beberapa
diantaranya juga pernah aktif dalam Chung Hua Hui, seperti
Thio Thiam Tjong, Dr. Thung Sin Nio dan Tan Siang Lian. Yang
tadinya berkiblat ke Tiongkok, hanya beberapa gelintir orang saja,
diantaranya Ang Jan Goan.
Ke 44 orang yang datang ini bisa dibagi dalam tiga golongan
besar. Golongan pertama adalah golongan kanan. Mereka diwakili
oleh orang-orang yang dekat dengan PSI dan Partai Katolik seperti
18
Risalah rapat menunjukkan ada 44 nama partisipan. Akan
tetapi ada kemungkinan yang hadir lebih banyak dari 44, karena ada
nama-nama orang yang disebut hadir oleh Siauw Giok Tjhan dan Oei
Tjoe Tat yang tidak ada dalam daftar risalah rapat pembentukan ini.
19
Sebagian besar dari bagian ini ditulis berdasarkan risalah rapat
pembentukan dan wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, di penjara
RTM, 1972.
192
Lahirnya Baperki
Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyang Peng Koen dan Tan Siang
Lian, teman baik Thio Thiam Tjong dari zaman penjajahan Belanda.
Sebagian dari mereka yang berada dalam golongan ini mungkin
juga mendukung Kuo Min Tang.
Di pihak yang lain berada golongan kedua, golongan kiri. Ini
diwakili oleh orang-orang yang memiliki pandangan politik yang
pada waktu itu dianggap radikal. Mereka mendukung RRT dan
menghargai hasil-hasil perjuangan Mao Tse Tung di RRT. Tokohtokoh dari golongan kiri ini adalah Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan
dan Ang Jan Goan.
Diantara kedua golongan ini, terdapat golongan ketiga yang
bergaris netral. Mereka tidak mempunyai komitmen dalam
mendukung ideologi politik manapun. Diantaranya Thio Thiam
Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian
(seorang pengacara dari Palembang) dan Liem Koen Seng, seorang
anggota PDTI.
Kebanyakan dari yang datang adalah orang-orang profesional
dan pedagang-pedagang kecil-menengah. Beberapa diantaranya
adalah pedagang besar yang sukses Thio Thiam Tjong dan Tan
Siang Lian.
Dalam rapat itu, Thio Thiam Tjong menggambarkan kegagalan
PDTI menjadi organisasi yang efektif dan menunjukkan harapannya
untuk membentuk sebuah organisasi baru di mana banyak
organisasi semacam PDTI bersatu di dalamnya. Ia menyatakan
bahwa kesatuan ini akan lebih efektif dalam melawan arus rasisme
yang pada waktu itu kian meningkat.
Oei Tjoe Tat menyusul pidato Thio dengan penjelasan bahwa
yang ingin dibentuk adalah organisasi massa, bukan partai politik
dengan nama Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Turunan
Tionghoa). Dengan demikian, menurut Oei, anggota-anggota
berbagai partai politik lainnya bisa turut masuk ke dalamnya.
Pada waktu istirahat, Siauw mengadakan pembicaraan dengan
beberapa orang yang datang dalam rapat itu dan menyatakan bahwa
sebaiknya Baperwatt menggunakan organisasi semacam National
193
Siauw Giok Tjhan
Association for the Advancement of Colored People (NAACP) yang
didirikan di Amerika sebagai model. Siauw menganggap NAACP
sebagai sebuah organisasi yang militan dalam melawan rasisme
dan bebas dari aliran/ideologi politik20.
Nama Baperwatt didukung oleh para pemimpin PDTI. Pembicara
yang dengan gigih mendukungnya adalah Yap Thiam Hien dan Kwik
Hay Gwan. Mereka menyatakan bahwa istilah Tionghoa harus tampil
dalam nama organisasi ini karena ini mempertegas golongan mana
yang dibela dan dengan demikian dukungan komunitas Tionghoa
bisa diharapkan.
Pada waktu Siauw diberi kesempatan untuk berbicara, Siauw
mengusulkan untuk mengubah formulasi organisasi yang akan
dibentuk secara strukturil. Pertama, tujuan organisasi ini harus
berhubungan dengan masalah kewarganegaraan karena baginya
masalah membangun bangsa Indonesia -- nation building tidak bisa
dipisahkan dari pengertian tentang arti politik kewarganegaraan
dan pembrantasan rasisme tidak bisa dipisahkan dari usaha
mencapai persamaan diantara sesama warga negara.
Persoalan nama juga dijadikan hal yang prinsipil oleh Siauw. Ia
menentang adanya istilah Tionghoa dalam nama organisasi baru
ini, karena menurutnya, Baperwatt dengan sendirinya membatasi
keanggotaannya pada golongan Tionghoa. Baginya ini adalah
tindakan yang bersifat eksklusif dan mengandung rasisme. Juga
dikhawatirkan olehnya, bilamana organisasi ini mempertahankan
nama Baperwatt, dukungan tokoh-tokoh nasional yang sangat
diharapkan dalam mencapai tujuan organisasi yang akan dibentuk
ini, tidak kunjung datang, karena ruang lingkupnya sempit dan
rasistis.
Oleh karena itu, ia menganjurkan nama Baperwatt diubah
menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.
Ia percaya bahwa nama ini tetap menjunjung tinggi harapan para
pendiri organisasi baru, tetapi dengan mempertegas bahwa misinya
adalah mendidik masyarakat akan apa arti kewarganegaraan itu
20
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990
194
Lahirnya Baperki
yang menjadi dasar perjuangan melawan rasisme.
Uraian Siauw menggugah para partisipan rapat. Dalam
waktu setengah jam, mereka mendukung formulasi Siauw dan
mengusulkan nama Baperwatt diubah menjadi BAPERKI (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Pada saat ini,
Siauw mungkin mulai bersiap siaga untuk menjadi ketua organisasi
baru ini, karena dengan bentuk Baperki yang ia formulasikan, ia
tidak menghianati kesepakatan yang ia capai dengan para pemimpin
PTI di Surabaya pada tahun 1945, yaitu tidak lagi menghidupkan
organisasi politik yang berdasarkan ke-Tionghoaan.
Untuk menekankan bahwa Baperki adalah organisasi nasional,
Siauw juga menganjurkan agar salah satu tujuan utama organisasi
ini adalah: “Melaksanakan aspirasi nasional yang menjamin semua
warga negara menjadi warga negara Indonesia sejati”. Ini berkaitan
dengan janji yang tercantum dalam Manifesto Politik November
1945. Kedua tujuan utama lainnya adalah: “Menjamin dicapainya
hak dan kewajiban dan kesempatan yang sama untuk semua
warga negara tanpa membedakan latar belakang ras, kebudayaan
maupun agamanya” dan “Menjunjung tinggi dilaksanakannya hakhak demokrasi dan hak-hak azazi manusia”.
Pada waktu Siauw dicalonkan sebagai satu-satunya calon ketua,
ia menerimanya. Terpilihlah Siauw, pada waktu itu berumur 40
tahun, secara bulat sebagai ketua umum organisasi baru ini.
Pemilihan wakil ketuanya lebih kompleks. Ada 13 calon,
termasuk Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, Yap
Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Tjong Hian, Tan Siang Lan dan
The Pek Siong (Ketua PERWANIT - Surabaya). Dari ke tiga belas
ini, terpilih empat wakil ketua. Oei Tjoe Tat mengumpulkan suara
terbanyak (83 suara), diikuti oleh Khoe Woen Sioe (58 suara), The
Pek Siong (57 suara) dan Thio Thiam Tjong (48 suara)21.
21
Walaupun hanya ada 44 partisipan, tetapi wakil-wakil dari
kota besar diberi 6 suara per wakil. Dari kota kecil, 4 suara sedangkan
yang datang sebagai perorangan, 1 suara.
195
Siauw Giok Tjhan
Pemilihan sekretaris dan bendahara dilakukan tanpa pemilihan
suara. Tan Siang Lian menganjurkan agar Go Gien Tjwan dan Ang
Jan Goan diangkat sebagai sekretaris dan bendahara. Usul ini
diterima oleh rapat.
Dengan demikian lahirlah Baperki dan mulailah Siauw memasuki
lembaran baru dalam kegiatan politiknya. Para partisipan ternyata
merasa yakin bahwa kepemimpinan Siauw akan menjadikan
organisasi sebuah badan yang mampu melawan arus rasisme22.
Dalam dua hari setelah pembentukannya, berbagai artikel dalam
surat-surat kabar bermunculan. Sambutan masyarakat positif.
Beberapa minggu setelah itu, laporan-laporan tentang kegiatan
Baperki dan Siauw dimuat dalam banyak surat kabar, sehingga
masyarakat Tionghoa di seluruh Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
dengan cepat mengetahui bahwa Baperki telah berdiri.
Siauw sejak dari permulaan khawatir kalau Baperki yang
dipimpin oleh orang-orang Tionghoa saja, dicap sebagai organisasi
Tionghoa. Untuk mengubah persepsi ini, Siauw mengundang
beberapa kawan “asli”nya untuk turut memperkuat barisan
Baperki pada tingkat pimpinan. Pada waktu cabang Baperki
Jakarta dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954, Siauw mendorong
pencalonan Sudarjo Tjokrosisworo sebagai ketuanya. Sudarjo
sudah dekat dengan Siauw sejak zaman Mata Hari di Semarang. Ia,
seperti yang dituturkan sebelumnya menjadi ketua pertama PERDI
(Persatuan Djurnalis Indonesia), yang kemudian menjelma menjadi
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Ia juga menjadi ketua SPS
(Serikat Perusahaan Surat Kabar).
Seorang kawan baik Siauw yang lain, D.S. Diapari, anggota
parlemen yang duduk di dalam fraksi Nasional Progresif, dicalonkan
dan diangkat sebagai wakil ketua Baperki cabang Jakarta.
Di Surakarta Slamet Harto Prodjohartono menjadi ketua
pertamanya. Di Menado B. Richter, seorang Indo Belanda menjadi
salah satu pemimpinnya. Di Bandung, seorang Indo-Belanda lainnya,
22
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Go Gien Tjwan
196
Lahirnya Baperki
J.F.G. Steyn dipilih sebagai sekretaris. Dukungan masyarakat Jawa di
Sumatra juga bisa diandalkan oleh Baperki, karena mereka merasa
dirinya sebagai golongan minoritas di sana.
Akan tetapi, usaha Siauw ini kemudian terbukti gagal mengubah
persepsi bahwa Baperki bukan semata-mata organisasi Tionghoa.
Sebagian besar pemimpin dan anggotanya dalam tahun- tahun
mendatang tetap orang-orang Tionghoa. Dan perjuangannya,
walaupun banyak menyinggung masalah nasional, tetap berada
disekitar usaha membela golongan Tionghoa.
Untuk memobilisasi dukungan pihak pemerintah, Siauw segera
menghubungi Perdana Menteri Ali untuk melaporkan berdirinya
Baperki. Pada tanggal 26 Maret 1954, ia memimpin delegasi Baperki
untuk mengunjungi kantor Ali untuk menjelaskan alasan hidup
Baperki dan tujuannya. Ali ternyata dengan tegas menyatakan
dukungannya23.
Masyarakat Tionghoa menantikan tindak lanjut organisasi
baru ini. Pimpinan Baperki tidak mengecewakannya. Dalam
waktu beberapa minggu saja, puluhan cabang Baperki terbentuk
di berbagai kota di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Salah
satu program yang kemudian disebar luaskan dan yang menolong
perkembangan pesat dari Baperki adalah turut sertanya Baperki
dalam Pemilihan Umum (untuk DPR dan Konstituante) dan
kegiatan kampanye Baperki menjelang Pemilihan umum ini pada
tahun 1955.
Peranan Tan Gien Hwa
Orang yang dekat dengan Siauw mengetahui bahwa
keberhasilannya di dalam kancah politik semasa hidupnya juga
tergantung atas dukungan ia peroleh dari isterinya, Tan Gien Hwa.
Tan-lah yang memungkinkan Siauw mencurahkan hampir seluruh
jiwa raga-nya untuk kegiatan politik. Hampir semua tanggung
jawab keluarga dan pendidikan anak-anaknya dilakukan oleh
23
Sin Min, 27 Maret 1954
197
Siauw Giok Tjhan
Tan Gien Hwa, yang melakukannya tanpa memberi tekanan yang
menyulitkan posisi Siauw sebagai seorang politikus.
Tan bertemu dengan Siauw di rumah kost yang dimiliki oleh
pamannya, Khouw Bian Tjeng, kakak Khouw Bian Tie yang pernah
menjadi seorang akhli ekonomi ternama di Indonesia, di kota
Semarang, pada tahun 1939. Siauw baru saja kembali dari Surabaya,
setelah Kwee Hing Tjiat menutup kantor cabang Mata Hari yang
dipimpin oleh Siauw dan memanggilnya kembali ke Semarang.
Pada waktu itu Tan Gien Hwa, bersama kakanya, Tan Soen Hok,
belajar di HBS Semarang.
Seperti yang diceritakan sebelumnya, tidak lama setelah itu
Kwee Hing Tjiat meninggal dan kepemimpinan Mata Hari jatuh ke
tangan Siauw.
Tan, lahir pada 22 Juni 1921, adalah anak kedua Tan Peng Hoat
dan Yop Sin Lan yang menetap di kota Pemalang. Keberadaan Ta
Gien Hwa di HBS Semarang menunjukkan bahwa kedua orang
tuanya bukan saja berada tetapi juga termasuk maju. Pada zaman
itu tidak banyak perempuan yang bersekolah hingga tingkat HBS.
Pada tahun 1940, Siauw dan Tan menikah. Mereka pindah ke
sebuah rumah kecil, tidak jauh dari kantor Mata Hari. Kedua orang
tua Tan kerap mengunjungi mereka dari Pemalang. Pada waktu itu
ibunya, Yo Sin Lan sedang mengandung anak ke 8. Beberapa bulan
setelah mereka menikah, dalam perjalanan pulang ke Pemalang
dari kunjungannya di Semarang, sang ibu mengalami keguguran di
kereta api dan meninggal dunia di tengah perjalanan. Enam bulan
setelah ibunya meninggal, ayahnya pun meninggal karena serangan
jantung. Mereka berdua relatif muda, baru berusia 40-an.
Ayah Tan Gien Hwa adalah seorang self-made man. Ia-pun
ditinggali kedua orang tuanya ketika ia baru berumur 12 tahun.
Sejak itu, dia harus bekerja mencari pencaharian, sebagai pedagang
kueh di pasar di Pekalongan. Ketika dewasa ia pindah ke Pemalang
dan mulai berkembang. Sebelum ia meninggal, ia berhasil menjadi
pedagang yang lumayan. Rumahnya terletak di jalan raya. Ia menjadi
pedagang yang mendistribusikan hasil bumi rakyat setempat
198
Lahirnya Baperki
di Pemalang dan kota sekitarnya. Ia memiliki tempat penjualan
bensin, satu-satunya di Pemalang dan memonopoli perdagangan
arang di kota itu. Walaupun tidak sekolah tinggi, tetapi ia cukup
fasih berbahasa Belanda.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Enam adik Tan Gien
Hwa, yang berumur 2 tahun hingga 16 tahun dibawa Siauw dan
Tan untuk tinggal di Semarang. Kedua pasangan muda ini segara
dibebani kewajiban menyekolahkan dan menghidupi enam anak.
Akan tetapi tidak lama setelah itu, adik tertua, Tan Soen An, pada
waktu itu berumur 17 tahun, memutuskan untuk berhenti sekolah
dan kembali ke Pemalang meneruskan usaha ayahnya. Ke lima adik
lainnya tetap tinggal dengan Siauw dan Tan di Semarang.
Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, Siauw dan keluarga
mengungsi ke Pemalang. Akan tetapi keadaan di kota itu juga
tidak aman. Oleh karena itu Siauw memutuskan untuk membawa
keluarganya ke Surabaya, kemudian, seperti yang diceritakan
sebelumnya, ke Malang. Upaya pengungsian keluarga ini memang
berat, karena mereka mengikut sertakan anak-anak kecil. Yang
menampung-pun sulit karena sekali menerima, harus menyediakan
tempat untuk banyak orang.
Walaupun demikian Tan Gien Hwa tetap tabah dan penuh
dengan tekad membesarkan semua adik dan anaknya. Di Semarang,
ia melahirkan anak pertamanya, anak kedua hingga ke 4 lahir di
Malang. Di Yogyakarta, lahir anak ke 5. Dan setelah di Jakarta pada
tahun 50-an, lahir anak ke 6 dan ke 7.
Setiap kali mereka pindah, harus berboyong karena jumlah anak
yang turut serta besar.
Akan tetapi, walaupun demikian, Siauw tetap bisa melakukan
kegiatan politiknya – seperti yang digambarkan dalam buku ini. Ini
bisa dilakukan karena dukungan penuh Tan Gien Hwa.
Siauw, seperti yang digambarkan dalam buku ini, tidak berdagang.
Penghasilan utamanya datang dari DPR. Kegiatannya di dalam
dunia percetakan dan surat kabar tidak membuahkan pendapatan
yang besar, karena memang motivasi utamanya bukan untuk
199
Siauw Giok Tjhan
menciptakan kekayaan pribadi. Upaya beberapa teman dekatnya
agar Baperki membayar gaji untuknya telah ditolak oleh Siauw
mentah-mentah. Bahkan ketika ada desakan untuk menerimanya,
Siauw pernah mengancam untuk berhenti memimpin Baperki.
Ia menyatakan bahwa Baperki sebagai organisasi memerlukan
semua dana yang diperoleh untuk perjuangan24 . Ia-pun menolak
mengikuti jejak banyak sesama anggota parlemen yang menjadi
kaya raya karena menjadi penyalur berbagai fasilitas perdagangan.
Baginya ini merupakan tindakan korupsi jabatan, yang ia tentang
keras.
Akibatnya, keluarga Siauw hidup pas-pas-an. Tan Gien Hwa
teringat bahwa gaji parlemen-nya dalam waktu 2 minggu habis
dipakai untuk menghidupi dan menyekolahkan semua adik dan
anak-anaknya. Ia harus bersandar atas sumbangan keluarga dan
para teman yang bergilir membantu menyediakan beras dan
keperluan lain.
Akan tetapi walaupun penghidupan yang terbatas itu, di rumah
Siauw, di jalan Tosari 70, yang selalu penuh dengan kunjungan orang,
baik rekan-rekan DPR, rekan-rekan Baperki maupun teman dan
anggota keluarganya, selalu tersedia nasi dan lauk pauk sederhana
untuk disantap bersama. Tan Gien Hwa-lah yang memungkinkan
ini semua.
Tan Gien Hwa adalah seorang yang trampil di berbagai hal. Ia
pandai masak. Semua hidangan, walaupun sederhana tetapi lezat,
dimasak olehnya sendiri. Ia-pun pandai membuat pakaian. Hampir
semua pakaian Siauw, kecuali pakaian lengkap-nya dibuat oleh Tan
sendiri. Siauw cukup dikenal dengan “seragam”nya – baju putih atau
krem dengan celana khaki-coklat. Anak-anak-nya pun demikian.
Mereka mengenakan pakaian yang dibuat oleh Tan sendiri.
Kebiasaan hidup sederhana dan hemat inilah yang juga
memungkinkan Tan Gien Hwa memenuhi kebutuhan hidup keluarga
dengan budget yang sangat kecil.
24
Catatan Go Sien Ay, Majalah Sinergi, Desember 2004
200
Lahirnya Baperki
Setelah Siauw ditahan oleh rezim Soeharto pada 4 November
1965, semua penghasilan yang biasa diterima oleh Siauw hilang.
Teman-teman yang biasanya berdatangan ke rumah Siauw pun
menghilang, baik ditahan, lari menghilangkan penangkapan maupun
takut untuk berkunjung. Di saat itu, teman-teman Tionghoa totoklah yang menurunkan tangan membantu. Mereka, walaupun bukan
pedagang besar, bergotong royong mengumpulkan dana untuk
disampaikan ke Tan Gien Hwa. Dana ini tentu tidak berlebihan.,
tetapi dengan kesederhanaan Tan Gien Hwa di tambah bantuan
keluarganya, ia berhasil mencukupi kebutuhan keluarga. Ia tetap
bisa mengirim makanan ke penjara ber-tahun-tahun, kiriman
mana yang oleh Siauw dibagi ke 6 hingga 8 sesama tahanan politik
lainnya. Inilah, yang menurut Siauw, memperpanjang hidupnya di
penjara. Sebab, bilamana hanya 100% tergantung atas makanan
yang disediakan pihak tahanan, ia pasti kekurangan gizi dan tidak
akan memiliki kemampuan bertahan sehingga ia keluar penjara.
Tanpa pengorbanan dan komitmen Tan Gien Hwa yang berbakti
tanpa pamrih ini, Siauw Giok Tjhan tidak akan mungkin tumbuh
dan bertahan sebagai seorang tokoh politik berbobot di dalam
kancah politik nasional.
201
Siauw Giok Tjhan
BAB 7
BAPERKI DALAM PEMILIHAN UMUM 1955
Rencana untuk menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu)
di Indonesia sebenarnya diumumkan pada bulan Oktober 1945.
Tetapi karena berbagai macam gangguan, termasuk terjadinya
persengketaan bersenjata antara Belanda dan RI, penyelenggaraan
pemilu ini dibatalkan dan ditunda tanpa ketetapan waktu.
Setelah negara kesatuan RI dikonsolidasi pada tahun 1950,
beberapa kabinet yang memerintah Indonesia selama tiga
tahun berikutnya mengeluarkan banyak janji untuk segera
menyelenggarakan pemilu. Akan tetapi banyak pemimpin partaipartai politik pada waktu itu juga mendesak pemerintah untuk
tidak menyelenggarakan pemilu, karena mereka khawatir bahwa
pemilu akan menyebabkan kekuasaannya berkurang karena banyak
anggotanya kehilangan kursi di parlemen. Disamping itu, banyak
pemimpin partai-partai nasionalis yang khawatir bilamana pemilu
diadakan pada waktu itu, Masjumi dan NU akan mendominasi
parlemen dan ini memungkinkan diubahnya RI menjadi negara
Islam. Komposisi di parlemen pada waktu itu juga didominasi
oleh tokoh-tokoh Jawa. Pemilu dikhawatirkan akan mengubah
komposisi ini yang menyebabkan kekuatan non Jawa bertambah di
parlemen. Adanya desakan partai-partai politik ini dan berbagai
macam krisis, baik ekonomi maupun politik, menyebabkan pemilu
tetap ditunda tanpa ketetapan kapan ia akan dilaksanakan.
Masalah pemilu menjadi hal yang penting setelah krisis politik
yang timbul dengan adanya demonstrasi pihak Angkatan Darat pada
tanggal 17 Oktober 1952. Pada hari itu, beberapa perwira Angkatan
Darat mengepung istana dan parlemen, menuntut diadakannya
perubahan sistim pemerintahan yang strukturil. Walaupun para
perwira tersebut gagal dalam mencapai perubahan-perubahan
yang dituntutnya, tetapi tindakan mereka secara tidak langsung
202
Baperki dan Pemilihan Umum
telah mendesak pemerintah untuk mempercepat persiapan pemilu.
Rancangan Undang-Undang pemilu dipersembahkan ke
parlemen pada tanggal 25 November 1952 dan pada tanggal 4 April
1953, Undang-Undang (UU) pemilu diratifikasi oleh parlemen. UU
ini mencakup pemilu untuk DPR dan Konstituante, badan yang
dibentuk untuk merancangkan UU- Dasar baru.
Penduduk berwarganegara Indonesia bisa diwakili oleh partaipartai politik atau anggota-anggota tidak berpartai yang ditunjuk
oleh paling sedikitnya 200 pemilih yang sah1. Selain itu, kelompok
minoritas Tionghoa, Eropa dan Arab mempunyai masing-masing 9,
6 dan 3 wakil di dalam parlemen. Jika jumlah yang ditentukan ini
tidak bisa dicapai dalam pemilu, maka pemerintah akan memilih
para wakilnya untuk mengisi kursi-kursi yang disediakan untuk
golongan-golongan minoritas2.
Siauw menentang kebijakan yang memungkinkan pemerintah
untuk menunjuk wakil-wakil golongan minoritas. Ia berpendapat
bahwa kebijakan ini akan mendorong pemerintah untuk
memilih orang-orang yang mendukung garis politiknya sehingga
penunjukkan mereka bukan semata-mata atas dasar kepentingan
golongan minoritas. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa
golongan minoritas akan diwakili secara “fair”. Atas desakan Siauw
di parlemen, pemerintah mengakui bahwa penunjukkan para wakil
minoritas itu harus berdasarkan keinginan golongan minoritas.
Akan tetapi bagaimana ini dilaksanakan tidak pernah dijelaskan
dan Siauw tidak mendesaknya di parlemen. Ternyata, kelalaian
ini di kemudian hari menyebabkan tokoh-tokoh Baperki yang
seyogyanya berhak menjadi wakil-wakil golongan minoritas, tidak
ditunjuk oleh pemerintah pada tahun 1956.
Walaupun UU pemilu diratifikasi pada tahun 1953,
pelaksanaannya tetap ditunda sampai September 1955, setelah dua
1
2
Feith, Elections of 1955, p. 3; Siauw, Lima Jaman, p. 181; Harmaili Ibrahim: Pemilihan Umum di Indonesia 1955, 1971 dan 1977, CV Alhidayah, Jakarta, pp 16-17.
Ibrahim, Pemilihan Umum, p 18.
203
Siauw Giok Tjhan
kabinet, yaitu kabinet Wilopo dan kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh,
masing-masing pada tahun 1953 dan 1955. Pelaksanaan Pemilu
dijalankan oleh kabinet Burhanudin Harahap yang didominasi oleh
Masjumi.
Posisi Baperki dalam menghadapi Pemilu
Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dari berbagai lapisan
dan aliran masayarakat Tionghoa di Indonesia, Baperki seketika
harus menghadapi berbagai masalah politik yang pelik. Dua hal
yang paling penting untuk segera ditangani oleh para pemimpin
baru Baperki pada awal tahun 1954 adalah masalah pemilu dan
masalah kewarganegaraan.
Walaupun masalah pemilu tidak dibicarakan secara panjang
lebar dalam rapat pembentukan Baperki pada tanggal 13 Maret
1954, para peserta rapat bersepakat akan turut sertanya Baperki
dalam pemilu. Bahkan pada akhir rapat pembentukan Baperki,
Kwee Hwat Djien yang kemudian diangkat menjadi ketua
panitia pemilu Baperki, menganjurkan agar para peserta segera
mengumpulkan uang untuk dana pemilu Baperki. Pada akhir rapat
itu, Panitia pemilu Baperki menurut sertakan Yap Thiam Hien dan
Auwyang Peng Koen.
Di dalam Berita Baperki pertama yang diterbitkan pada bulan
April 1954, Baperki memastikan bahwa ia akan turut berpartisipasi
dalam pemilu dengan mengajukan calon-calon yang akan mewakili
golongan minoritas baik di DPR maupun Konstituante.
Siauw menjelaskan keputusan ini dengan menyatakan:”...Kalau
kebijakan dalam memilih wakil-wakil minoritas ini diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah dan partai-partai politik yang
besar, dapat dipastikan bahwa kehadiran mereka di DPR dan
Konstituante bukan untuk kepentingan golongan yang diwakilinya,
melainkan untuk melindungi kepentingan partai-partai politik.
Dengan demikian, dikhawatirkan kepentingan golongan minoritas
akan dicatut....Baperki sebagai organisasi yang sebagian besar
204
Baperki dan Pemilihan Umum
anggotanya adalah orang-orang yang berasal dari golongan
minoritas harus menunjuk calon-calon Baperki untuk mewakili
golongan minoritas dengan efektif di dalam DPR dan Konstituante...”.
Siauw menambahkan:”... Baperki bukan partai politik. Oleh
karenanya Baperki tidak akan bersaing dengan partai politik
manapun. Baperki juga tidak bermotivasi untuk mendapatkan
suara terbanyak di dalam parlemen untuk bisa memerintah.
Wakil-wakil Baperki di dalam parlemen diberi kebebasan untuk
mengajukan pandangan-pandangan politik dan ideologi politiknya.
Akan tetapi, mereka harus senantiasa saling berunding diantara
sesamanya di dalam bidang kewarganegaraan.…”3.
Deklarasi Baperki untuk turut dalam pemilu ternyata
mengundang reaksi PNI, PSI dan Partai Katolik. Keberhasilan
Baperki dalam membuka banyak cabang di berbagai kota di
seluruh Indonesia dalam waktu singkat, mengkhawatirkan mereka
yang juga mengharapkan dukungan masyarakat Tionghoa. Dalam
waktu 3 bulan, Baperki telah membentuk 48 cabang dan mendaftar
ribuan anggota4.
Sarino Mangunpranoto dari PNI di dalam rapat yang diadakan
pada tanggal 16 Juni 1954 menyatakan bahwa adanya keinginan
golongan minoritas untuk mencalonkan wakil-wakilnya di DPR dan
Konstituante merupakan sikap yang tidak bijaksana. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa sebaiknya golongan minoritas tetap bersandar
pada partai-partai politik besar dan memilih calon-calon yang
diajukan oleh mereka5. Di dalam parlemen pada waktu itu PNI
diwakili oleh Lie Po Yoe, Yap Tjwan Bing, Tjoa Sie Hwie dan Tony
Wen.
Keberatan Partai Katolik terhadap turut sertanya Baperki di
dalam pemilu dituangkan di dalam sebuah artikel yang dimuat
di dalam majalah Penabur, tertanggal 30 Mei 1954. Artikel itu
3
4
5
Berita Baperki, 26 May 1954.
Ibid.
Sin Po, 19 June 1954
205
Siauw Giok Tjhan
memperingati para peranakan Katolik akan bahayanya mendukung
Baperki yang dianggapnya sebagai organisasi Komunis. Baperki,
diuraikan sebagai organisasi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh
komunis yang melulu berorientasi ke RRT. Selanjutnya artikel itu
mempertegas bahwa bilamana masyarakat peranakan Tionghoa
mendukung Baperki dan para wakil Baperki mengisi semua kursi
minoritas di parlemen, kepentingan masyarakat Katolik akan
dilalaikannya.6. Pada waktu itu, Partai Katolik diwakili oleh Tjung
Tin Yan.
Di lain pihak, Keng Po yang diketahui berkiblat ke PSI,
menganjurkan masyarakat Tionghoa untuk tidak mendukung
Baperki. Bagi mereka, bilamana Baperki berhasil mengisi kursikursi minoritas, Baperki akan mengisolasi masyarakat Tionghoa
dari bangsa Indonesia7. Tan Po Goan yang pernah menjadi meneteri
negara di dalam kabinet Sjahrir, mewakili PSI di parlemen pada
waktu itu. Akan tetapi beberapa pemimpin Keng Po yang jelas
mendukung aliran PSI, ternyata masuk ke dalam Baperki dan
kelihatannya sampai pada bulan Oktober 1954, tidak ada tekanan
dari PSI terhadap para pengikutnya atau pendukungnya untuk
meninggalkan Baperki.
Siauw dengan tegas membantah pernyataan-pernyataan PNI
dan Partai Katolik. Ia tegaskan bahwa usul PNI agar golongan
minoritas tidak mengajukan calon-calonnya sebagai sikap yang
menentang demokrasi. Siauw mengutarakan kekecewaan sikap
beberapa partai politik yang dianggapnya ingin menggunakan
perwakilan golongan minoritas di parlemen untuk kepentingan
partainya.
Dengan demikian, ungkapnya, mereka khawatir
dengan kemungkinan berhasilnya Baperki dalam mengisi kursikursi perwakilan minoritas yang akan menjamin perwakilan yang
sesungguhnya8.
Akan tetapi, tentangan yang paling berat untuk dihadapi Baperki
6
7
8
Penabur, 30 May 1954
Sunday Courier, 27 June 1954
Ibid.
206
Baperki dan Pemilihan Umum
dan terutama Siauw, justru datang dari dalam Baperki sendiri.
Pimpinan Baperki Surabaya yang didominasi oleh Tjoa Sik Ien
ternyata menentang keras keputusan Baperki untuk turut serta di
dalam pemilu.
Tjoa yang pernah memimpin PTI ini berhasil meyakinkan para
pemimpin Baperki Surabaya untuk bersatu dalam menentang
keputusan Baperki pusat. Kritik mereka semula diajukan melalui
surat menyurat dan pembicaraan-pembicaraan biasa. Tetapi,
pimpinan di Jakarta selalu menolak pandangan mereka
Tjoa mendasari posisinya atas perjanjian yang dibuat oleh Tan
Ling Djie, Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan dengan dirinya sendiri
di Surabaya pada bulan Agustus 1945. Seperti apa yang pernah
dituturkan, ke empat tokoh ini bersepakat untuk tidak meneruskan
PTI yang hanya beranggotakan orang-orang Tionghoa, melainkan
untuk aktif dalam partai-partai politik nasional yang tidak khusus
didirikan untuk sebuah golongan minoritas saja.
Tjoa ternyata tidak keberatan dengan berdirinya Baperki, bahkan
menyambutnya. Akan tetapi keputusannya untuk turut dalam
pemilu dengan tujuan mewakili golongan minoritas Tionghoa di
parlemen dan Konstituante, menyimpang dari perjanjian yang
dibuat pada tahun 1945 itu. Baperki, menurutnya menjalankan
apa yang PTI pernah jalankan di zaman penjajahan Belanda.
Karena Siauw mengetahui posisi Tjoa, antara bulan April dan
Agustus 1954, ia mengirim Go Gien Tjwan ke Surabaya untuk
meyakinkan para pemimpin di Surabaya bahwa pandangan mereka
tidak menguntungkan posisi Baperki, bahkan merugikan golongan
Tionghoa secara keseluruhan. Dalam satu rapat pimpinan Surabaya
yang dihadiri oleh Go, ia berhasil meyakinkan para pesertanya
bahwa Baperki harus turut serta dalam pemilu. Akan tetapi, ia gagal
dalam mengubah pandangan yang dianut oleh Tjoa dan beberapa
pemimpin9.
Isu pemilu ternyata menjadi hal utama di dalam Kongres
Baperki yang diselenggarakan di Jakarta pada awal bulan Agustus
9
Wawancara dengan Go Gien Tjwan.
207
Siauw Giok Tjhan
1954. Kongres ini dihadiri oleh para wakil dari 58 cabang. Pada
saat isu pemilu diperdebatkan, wakil-wakil Surabaya membagikan
selebaran yang berisikan pernyataan yang dipersiapkan oleh Tjoa
Sik Ien. Walaupun selebaran tersebut tidak langsung menyerang
Siauw, akan tetapi di dalamnya terkandung kritikan pedas terhadap
pimpinan Baperki pusat. Argumentasi mereka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pertama, mereka menganggap Baperki sebagai organisasi
massa yang berbeda dengan PDTI dan Perwitt karena ia memiliki
identitas nasional. Oleh karena itu, Baperki tidak semata-mata
didirikan untuk golongan Tionghoa. Dengan mengajukan caloncalon Tionghoa sebagai wakil-wakil golongan minoritas Tionghoa,
Baperki telah menyimpang dari prinsip-prinsip utamanya dan
berubah menjadi organisasi semacam PDTI dan organisasiorganisasi Tionghoa lainnya.
Kedua, karena Baperki adalah sebuah organisasi massa, maka ia
tidak memiliki ideologi politik. Bilamana ia berhasil mendapatkan
beberapa calon di dalam parlemen, wakil-wakil Baperki akan
memiliki pandangan dan ideologi politik yang berbeda-beda. Ini
dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan yang akan merusak
Baperki.
Ketiga, dengan mencalonkan wakil-wakilnya, Baperki akan
secara langsung berhadapan dengan partai-partai politik yang
seyogyanya diajak untuk mendukung perjuangan Baperki. Mereka
berpendapat bahwa sebaiknya Baperki mendorong para anggotanya
untuk mendukung partai-partai politik yang mendukung garis
Baperki daripada menjadi saingan politiknya di dalam kancah
politik nasional10.
Posisi Surabaya dengan sendirinya mengundang reaksi para
anggota delegasi yang hadir. Pada umumnya, posisi Surabaya
ditentang. Hanya wakil-wakil dari Pasuruan yang mendukungnya.
Pada umumnya, para anggota delegasi menganggap sikap Surabaya
10
Wawancara dengan Go Gien Tjwan
208
Baperki dan Pemilihan Umum
itu tidak menguntungkan posisi Baperki.
Di dalam perdebatan ini, Siauw memilih untuk menjadi pembicara
terakhir yang memberinya kesempatan untuk merangkum semua
pendapat yang diajukan di dalam kongres. Ia menyatakan bahwa
sebagai organisasi massa, Baperki akan selalu beranggotakan
orang-orang yang memiliki berbagai macam pandangan politik,
baik di parlemen maupun di luar parlemen. Menurutnya, dengan
program kerja yang baik, perbedaan-perbedaan ini malah
memperkuat posisi Baperki. Ia berpendapat, bilamana para anggota
Baperki dianjurkan untuk mendukung partai-partai politik yang
berpartisipasi di dalam pemilu, perpecahan, bukannya persatuanlah yang akan terwujud. Oleh Siauw, lagi-lagi ditegaskan bahwa
bilamana Baperki tidak turut serta di dalam pemilu, usaha Baperki
untuk melawan rasisme dan membela kepentingan golongan
minoritas akan sulit untuk dilaksanakan. Baginya, kepentingan
partai politik sering bertentangan dengan kepentingan golongan
minoritas11.
Perdebatan tentang pemilu ini merupakan ujian politik yang
pertama bagi Siauw di dalam mempersatukan berbagai golongan
di Baperki. Di dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat,
sikap Siauw tetap konsisten. Ia cenderung membiarkan bahkan
mendorong perdebatan di dalam berbagai pertemuan. Baru
setelah semua pihak mengajukan pendapatnya, ia menyimpulkan
perbedaan-perbedaan pendapat yang ada dan lalu menyajikan
pendapatnya yang ia selalu formulasikan sebagai kompromi
yang bisa diterima oleh banyak orang. Cara ini ternyata berhasil
membuatnya seorang pemimpin yang disegani di Baperki. Hampir
semua pendapat yang ia formulasikan pada akhirnya diterima
sebagai dasar dari program-program kerja Baperki.
Ketika diambil pemungutan suara, wakil Surabaya kalah total.
Surabaya mendapat dukungan dari 14 suara, sedangkan yang
11
Kongres Baperki kedua - Risalah Rapat; Berita Baperki, 26 August 1954.
209
Siauw Giok Tjhan
menentangnya 15512. Tjoa Sik Ien ternyata kecewa dengan hasil
kongres ini. Walaupun ia tidak secara resmi mengundurkan diri
dari Baperki, tetapi ia memutuskan untuk tidak lagi mengambil
bagian dalam kegiatan-kegiatan Baperki. Akan tetapi, ia tetap
dekat dengan Siauw dan pada tahun 1964, atas desakan Siauw, ia
kembali aktif di dalam Baperki sebagai ketua Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan Baperki Jawa Timur13.
Daftar calon-calon Baperki disusun setelah diskusi dan
perundingan berbulan-bulan baik di Jakarta maupun di berbagai
kantor cabang. Pada mulanya, didaftar juga beberapa calon non
Tionghoa seperti Sidik Kertapati (ketua Acoma) dan S. Brata
(Murba) yang juga dekat dengan Siauw di parlemen. Akan
tetapi, pada akhirnya diputuskan hanya anggota-anggota Baperki
saja yang bisa didaftar sebagai calon-calon Baperki. Walaupun
demikian, ada juga seorang calon yang diajukan oleh Siauw, Teng
Tjin Leng, seorang pengacara Katolik yang terkenal di Makasar.
Ketika ia dicalonkan, cabang Makasar belum dibentuk dan Teng
belum menjadi anggota14.
Daftar calon untuk DPR yang disusun berdasarkan ranking yang
disetujui adalah sebagai berikut15:
1.
2.
3.
4.
5.
Siauw Giok Tjhan
7.
Oei Tjoe Tat
Go Gien Tjwan
8.
Yap Thiam Hien
Lim Tjong Hian
9.
Tan Hwat Tiang
Teng Tjin Leng
10. Tan Eng Oen
Auwyang Peng Koen
11. Tan Po Goan
6. Tan Kian Lok
12. Tan Siang Lian
Seperti dewan pimpinan Baperki, daftar calon ini mencerminkan
12
13
14
15
Ibid.
Wawancara dengan Siauw Giok Bie, April 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1993
Risalah Rapat, Baperki 1954.
Berita Baperki, 26 August 1954
210
Baperki dan Pemilihan Umum
spektrum politik Baperki. Yang kiri diwakili oleh Siauw dan Go.
Kelompok Katolik diwakili oleh Teng Tjin Leng dan Auwyang Peng
Koen. Kelompok “tengah” diwakili oleh Oei Tjoe Tat, Yap Thiam
Hien dan Lim Tjong Hian. Kelompok PSI diwakili oleh Tan Po Goan.
Untuk Konstituante, daftar calon yang berjumlah 24 ini dimulai
dengan Siauw sebagai calon utama, diikuti oleh Auwyang Peng
Koen, Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan dan Yap Thiam Hien. Daftar
calon ini juga mencerminkan adanya spektrum politik yang besar
di dalam tubuh Baperki16.
Perjanjian Vote-Pooling
Undang-undang pemilu memungkinkan adanya kerja sama
antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang turut
dalam pemilu. Ini memungkinkan surplus suara yang diperoleh
oleh satu partai politik untuk dibagi dengan partai lainnya sehingga
memungkinkan gabungan dari surplus suara itu menghasilkan
tambahan kursi perwakilan di DPR dan Konstituante17.
Hal ini mendorong Baperki untuk mempertimbangkan beberapa
kemungkinan. Diantaranya memilih partai-partai politik yang
dianggap sealiran dengan Baperki untuk diajak bekerja sama dalam
membagi surplus suara-suara.
Partai pertama yang menghubungi Baperki untuk berkooperasi
dalam hal ini adalah PSI. Pada tanggal 29 Juni 1954, Subadio
Sastrosatomo dan Major Polak dari PSI bertemu dengan Siauw Giok
Tjhan, Khoe Woen Sioe, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Auwyang
Peng Koen. Soebadio menyatakan bahwa PSI ingin bekerja sama
dengan Baperki asal Baperki bersedia untuk masuk ke dalam fraksi
PSI di DPR. Sebagai timbal baliknya, PSI akan memberi calon-calon
kuat Tionghoa yang berada dalam barisan PSI untuk masuk dalam
daftar calon Baperki18.
16
17
18
Ibid.
Feith, The Indonesian Elections, p 63.
Risalah Rapat Baperki, 29 June 1954
211
Siauw Giok Tjhan
PKI juga tertarik untuk bekerja sama dengan Baperki. Seperti PSI,
PKI-pun bersedia menyediakan calon-calon kuat untuk dimasukkan
ke dalam daftar Baperki, akan tetapi PKI tidak menekan Baperki
untuk masuk ke dalam fraksinya di DPR. Yang diminta dari Baperki
hanyalah dukungannya terhadap program-program utama PKI di
DPR.
Yang paling menonjol dalam menunjukkan keinginan untuk
bekerja sama dengan Baperki adalah PRN (Partai Rakyat Nasional).
Pada bulan Juli 1954, ketua PRN, Djodi Gondokusumo yang
dekat dengan Siauw, bertemu dengan pimpinan Baperki. Dalam
pertemuan itu, ia menyatakan bahwa PRN hanya bersedia bekerja
sama dengan Baperki dalam vote-pooling19.
Pada waktu vote-pooling itu dimasalahkan dalam Baperki, politik
di Indonesia mengalami polarisasi yang mencolok. Koalisi MasjumiPSI-Katolik yang tidak diwakili dalam kabinet Ali berfungsi sebagai
pihak oposisi terhadap pemerintah yang didominasi oleh PNI
dan yang memperoleh dukungan PKI. . Perdebatan antara kedua
kelompok yang bertentangan di tingkat atas sangat tegang dan
Angkatan Darat terlihat memihak pada kelompok oposisi karena
kabinet Ali dianggap berhaluan kiri. Disamping itu, pihak oposisi
juga berhasil memojokkan pemerintah yang ternyata beberapa
menterinya terlibat dalam berbagai kasus korupsi.
Adanya ketegangan politik seperti itu juga mempengaruhi
Baperki yang juga beranggotakan orang-orang yang berkiblat
ke PSI, Partai Katolik, PNI dan PKI. Oleh karenanya, timbullah
perdebatan yang cukup sengit tentang dengan siapa Baperki harus
bekerja sama.
Tadinya Siauw mendukung ide vote-pooling dengan beberapa
partai politik yang ia percaya akan mendukung dan memperkuat
posisi politik Baperki. Akan tetapi setelah melihat adanya
ketegangan di dalam tubuh Baperki, ia memutuskan untuk
menganjurkan Baperki berdiri sendiri dan tidak bekerja sama
dengan siapa-pun. Dengan demikian, ketika dipungut suara, para
19
Risalah Rapat Baperki, 23 Juli 1954.
212
Baperki dan Pemilihan Umum
pendukung vote-pooling dikalahkan20.
Kampanye Baperki
Setelah Baperki mengkonsolidasi posisinya untuk turut serta
dalam pemilu, ia dengan cepat membentuk badan yang ditugaskan
untuk menyiapkan Baperki berkampanye. Panitia Pemilu yang
dibentuk ini diketuai oleh Kwee Hwat Djien, seorang apoteker dan
pemimpin dari Sin Ming Hui. Anggota-anggota panitia ini termasuk
Auwyang Peng Koen dan Yap Thiam Hien.
Walaupun Yap Thiam Hien tidak berhasil dipilih sebagai wakil
ketua Baperki dalam rapat pembentukan Baperki, ia tetap menjadi
salah seorang anggota dewan pimpinan yang berpengaruh. Ia
memainkan peranan penting dalam menentukan program-program
kerja Baperki. Sumbangannya jelas diakui oleh Siauw dan para
pemimpin lainnya sehingga pada waktu The Pek Siong meletakkan
jabatannya sebagai wakil ketua pada bulan Agustus 1954, Yap segera
diangkat sebagai penggantinya21. Risalah-risalah rapat panitia
pemilu juga menunjukkan bahwa Yap-lah yang memainkan peranan
terpenting di dalamnya. Ketika Kwee Hwat Djien mengundurkan
diri dari Baperki pada bulan September 1955, Yap ditunjuk oleh
Siauw untuk menggantikannya sebagai ketua panitia pemilu22.
Pada bulan April 1955, Siauw mengeluarkan pedoman pemilu
yang disebar luaskan ke seluruh cabang Baperki. Pedoman ini
mencakup beberapa hal yang Siauw sering tegaskan dalam berbagai
pidato dan artikel pada bulan-bulan menjelang persiapan Baperki
berkampanye, diantaranya:
Diulang oleh Siauw bahwa Baperki tidak memiliki ideologi
politik dan sebagai organisasi massa, ia beranggotakan orang-orang
dari berbagai macam aliran politik. Dijelaskan oleh Siauw bahwa
20
21
22
Risalah Rapat Kongres Baperki, August 1954.
Risalah Kongres menyatakan bahwa The Pek Siong mengun
durkan diri karena alasan kesehatan.
Risalah Rapat Baperki, Oktober 1955
213
Siauw Giok Tjhan
perjuangan Baperki berhubungan erat dengan nation Building dan
terciptanya masyarakat yang tidak mengenal rasisme. Disamping
itu, tujuan utama Baperki adalah turut menciptakan negara yang
demokratis yang bersih dari elemen-elemen kolonialisme.
Ditekankan oleh Siauw bahwa Baperki akan memperjuangkan
adanya UU kewarganegaraan yang memungkinkan sebanyak
mungkin anggota masayarakat Indonesia keturunan asing menjadi
warga negara Indonesia.
Juga ditekankan oleh Siauw bahwa Baperki akan memperjuangkan
dikeluarkannya undang-undang yang menjunjung tinggi motto
negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Baperki, menurut Siauw,
akan memperjuangkan dijunjung tingginya Deklarasi PBB tentang
Hak Azazi Manusia (United Nations’ Universal Declaration of
Human Rights) yang menentang diskriminasi rasial.
Sehubungan dengan isu-isu politik dan ekonomi umum, Siauw
menekankan bahwa Baperki akan memperjuangkan dikeluarkan
dan dilaksanakannya Undang-Undang yang menjamin semua usaha
mengexploitasi kekayaan alam negara Indonesia ditujukan untuk
memakmurkan rakyat terbanyak. Baperki akan memperjuangkan
adanya Undang-Undang yang melindungi hak-hak perempuan dan
adanya sistim pendidikan yang bisa dinikmati oleh semua warga
negara tanpa pertimbangan latar belakang etnis-nya.
Akhirnya, Siauw menegaskan bahwa Baperki akan berfungsi
sebagai wakil golongan minoritas dan perwakilannya di DPR dan
Konstituante akan bebas dari pengaruh partai-partai politik yang
sering memiliki program yang rasistis.
Dengan pedoman pemilu ini, pimpinan Baperki mulai berkeliling
di seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Yang paling
banyak keliling adalah Siauw, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Oei
Tjoe Tat dan Auwyang Peng Koen. Perhatian utama diberikan pada
pulau Jawa dan Madura, di mana terdapat lebih dari 600.000 orang
Tionghoa23.
Siauw dan Go Gien Tjwan yang berkeliling bersama sering
23
Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, p 147
214
Baperki dan Pemilihan Umum
terperanjat dengan antusiasme masyarakat peranakan Tionghoa
dalam menerima dan mendukung Baperki di daerah-daerah
pedalaman.
Reputasi Siauw sebagai politikus yang membela kepentingan
golongan Tionghoa di dalam berbagai bidang dan kemampuannya
untuk berbicara dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh orang
banyak ternyata telah mendorong banyak orang Tionghoa di kotakota kecil untuk datang mendengar kampanye Siauw. Go Gien Tjwan
teringat bahwa walaupun kebanyakan dari mereka yang datang itu
tidak mengerti dan tidak tertarik dengan politik, tetapi mereka,
termasuk para perempuan tua datang berbondong-bondong
mendengar uraian Siauw di berbagai kampanye Baperki24.
Penekanan program Baperki di dalam kampanyenya tentu
berbeda dengan partai-partai politik. Baperki mencanangkan
program yang berjanji untuk memperbaiki penghidupan golongan
Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, program Baperki dapat
lebih mudah di”jual” ke masyarakat Tionghoa daripada program
para partai politik lainnya. Disamping itu, banyak program yang
diuraikan oleh tokoh-tokoh partai politik pusat sering tidak
dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Tionghoa di daerahdaerah pedalaman25.
Adanya jumlah pendengar yang besar dari kampanye-kampanye
para partai politik tidak bisa dijadikan ukuran akan berapa besar
dukungan yang ada untuk para partai tersebut pada hari pemilu.
Banyak dari mereka yang datang ke acara-acara kampanye politik
itu karena tertarik dengan keramaian dan acara entertainment
yang disajikan26. Baperki memiliki kekhususan dalam hal ini.
Karena penjelasannya diarahkan ke masyarakat Tionghoa dengan
janji-janji perlindungan politik bagi masyarakat Tionghoa, jumlah
orang yang datang ke acara-acara Baperki bisa merupakan sebuah
24
25
26
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan Siauw Giok Bie.
Feith, The Indonesian Elections of 1955, p 18
Ibid, p 22
215
Siauw Giok Tjhan
ukuran atas jumlah orang yang akan memilih wakil-wakil Baperki
pada hari pemilu.
Di dalam kampanye-kampanye itu, Siauw menekankan bahwa
banyak partai politik yang ingin mendapat dukungan komunitas
Tionghoa justru menjalankan politik rasisme dan menekan
golongan Tionghoa. Dalam hal ini Siauw menggunakan kesempatan
untuk menonjolkan praktek-praktek politik diskriminasi yang
dilaksanakan oleh beberapa partai politik. Diantaranya praktek
politik “asli” yang menimbulkan pelaksanaan sistim Ali-Baba
dan yang menyebabkan kekacauan ekonomi Indonesia. Contohcontoh yang diungkapkan oleh Siauw termasuk Pedoman Baru
yang membatasi orang Tionghoa berkecimpung dalam dunia
transportasi dan dibatasinya orang-orang Tionghoa dalam usaha
menggiling padi. Program-program ekonomi yang memojokkan
golongan Tionghoa itu oleh Siauw dikaitkan dengan PSI dan PNI.
Berdasarkan inilah, Siauw menganjurkan komunitas Tionghoa
untuk mendukung Baperki dan memilih calon-calonnya.
Baperki ternyata berhasil menciptakan antusiasme dalam
kalangan Tionghoa untuk mendukungnya. Dukungan komunitas
Tionghoa di Jawa dan beberapa daerah di Sumatra jelas ada. Di
Kalimantan Selatan, di mana penduduk Tionghoa-nya beragama
katolik, dukungan terhadap Baperki tidak besar. Ini mungkin
disebabkan adanya kekecewaan terhadap Siauw yang turut aktif
dalam mengusahakan diusirnya Pastor Taiwan yang bekerja di
sana, bernama Wang, dari Kalimantan27.
Akan tetapi, antusiasme komunitas Tionghoa yang diwujudkan
oleh kampanye-kampanye Baperki menciptakan ketegangan
antara Baperki dengan PSI dan Partai Katolik yang selamanya juga
mengandalkan dukungan komunitas Tionghoa. Pada akhirnya,
ini juga menimbulkan perpecahan dalam tubuh Baperki sebulan
sebelum pemilu yang diadakan pada tanggal 29 September 1955.
PSI mulai mendorong para anggota dan simpatisannya untuk
27
Siauw, Lima Jaman, p 250
216
Baperki dan Pemilihan Umum
meninggalkan barisan Baperki. Tan Po Goan, seorang tokoh PSI
yang namanya terdaftar dalam daftar Baperki, merupakan tokoh
pertama yang meninggalkan Baperki. Tan meninggalkan Baperki
tanpa mengeluarkan keluhan atau kecaman terhadap Baperki atau
pimpinannya. Alasan yang digunakannya adalah ia hanya ingin
mewakili PSI di DPR. Walaupun keluar dari Baperki, ia tidak pernah
mengecam Siauw dan ia tetap dekat dengan Siauw.28. Tidak lama
setelah Tan Po Goan meninggalkan Baperki, Khoe Woen Sioe, juga
seorang simpatisan PSI mengundurkan diri dari posisi wakil ketua
Baperki. Seperti Tan Po Goan, Khoe meninggalkan Baperki dengan
baik-baik dan tidak pernah mengecam Baperki di depan umum29.
Kalau Tan dan Khoe meninggalkan Baperki tanpa ramai-ramai,
Injo Beng Goat, juga seorang simpatisan PSI, editor dari Keng Po,
meninggalkan Baperki dengan penuh kecaman dan serangan pedas.
Artikel-artikel yang ditulis oleh Injo Beng Goat dan dimuat
dalam Keng Po tertanggal 9, 13 dan 24 September, menyerang
Siauw Giok Tjhan dan Go Gien Tjwan yang dituduhnya tokoh-tokoh
komunis. Menurut Injo, Siauw dekat dengan Amir Sjarifuddin
dan Tan Ling Djie dan juga terlibat dalam peristiwa Madiun. Injo
juga menyatakan bahwa setelah Tan Po Goan dan Khoe Woen Sioe
berpijak dari Baperki, organisasi itu didominasi oleh Komunis.
Dan tanpa Tan dan Khoe, menurut Injo, Baperki akan hancur
dalam waktu singkat. Oleh karena itu, Injo menganjurkan para
pembacanya untuk mendukung PSI.30.
Sebagai reaksi tuduhan Injo Beng Goat, Baperki mengeluarkan
beberapa artikel dalam berbagai surat kabar dan Berita Baperkinya. Artikel-artikel ini menyatakan bahwa dekatnya Siauw dengan
Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie tidak otomatis membuatnya
seorang Komunis. Artikel-artikel ini juga menyerang Injo Beng
Goat sebagai seorang yang oportunistis, karena di zaman revolusi,
28
29
30
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, July 1993; Berita Baperki, 7 October 1955
Keng Po, 9, 13, 24 September 1955
217
Siauw Giok Tjhan
ia dikatakan mendukung penjajah Belanda. Baperki menuntut PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) untuk mencabut keanggotaan Injo
dari organisasi ini dan menghukum Keng Po yang telah memfitnah
Baperki31.
Sampai tahap ini, kampanye-kampanye Baperki tidak mengikut
sertakan serangan-serangan terhadap partai-partai politik lainnya.
Akan tetapi serangan Injo Beng Goat terhadap Baperki dan Siauw
ternyata mendorong pimpinan Baperki untuk mulai menyerang
PSI. Baperki menyatakan bahwa PSI tidak pernah membela posisi
Tionghoa dan tidak berbuat apa-apa ketika politik “asli” yang sangat
rasis itu dilaksanakan.
Selain pertikaian yang terjadi antara Baperki dan para pendukung
PSI, terdapat juga ketegangan antara kelompok kiri dan kanan di
dalam tubuh Baperki, terutama ketika adanya perdebatan tentang
daftar calon anggota DPR dan ranking yang telah disepakati. Dua
Minggu sebelum pemilu, Auwyang Peng Koen yang didaftar sebagai
calon ke lima menghubungi Oei Tjoe Tat dan Yap Thiam Hien. Ia
menunjukkan ketidak puasannya terhadap ranking yang telah
disepakati itu32. Menurut Auwyang, bilamana Baperki diwakili oleh
Siauw dan Go (calon nomor satu dan dua) yang ia kenal sebagai
tokoh-tokoh kiri, Baperki tidak menyuarakan semua aliran politik
yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, ia menganjurkan
agar Go Gien Tjwan, sebagai calon ke dua diganti dengan orang
seperti dia untuk mengimbangi paham kiri yang dianut oleh Siauw.
Ketika Oei dan Yap menghubungi Siauw tentang ini, ia menyetujui
adanya perubahan dalam ranking. Dalam pembicaraannya dengan
Go Gien Tjwan, Go setuju untuk menarik namanya dari posisi ke
dua. Akan tetapi, ia berkeberatan bilamana posisi kedua ini diisi
oleh Auwyang Peng Koen. Ia menyatakan bahwa posisi ini bisa saja
31
32
Berita Baperki 7 October 1955; Antara, 26 September 1955.
Sebelum ini, Auwyang juga pernah meninggalkan Baperki karena adanya perdebatan tentang masalah sekolah Tionghoa. Akan tetapi, ia masuk ke Baperki lagi.
218
Baperki dan Pemilihan Umum
diisi oleh Yap Thiam Hien atau Teng Tjin Leng33.
Didalam pertemuan tanggal 16 September 1955 yang dihadiri
oleh Siauw, Oei, Yap , Go dan Auwyang, Auwyang diberitahu
bahwa Go telah bersedia untuk mundur dari posisi kedua supaya
posisi ini bisa diisi oleh calon lain. Go menyatakan bahwa ia akan
mengumumkan keputusannya itu pada kongres Baperki yang akan
diadakan pada tanggal 19 September 1955. Di dalam rapat itu
Auwyang tidak dijanjikan untuk bisa segera mengisi posisi kedua
itu, tetapi ia ternyata menganggap rapat itu telah menyetujuinya
sebagai calon kedua34.
Akan tetapi kongres tersebut memutuskan untuk tidak mengganti
Go Gien Tjwan sebagai calon kedua. Auwyang ternyata memutuskan
untuk tidak menentang keputusan itu di dalam kongres35.
Ia menunggu sampai tiga hari sebelum pemilu diadakan. Pada
tanggal 26 September, ia mengeluarkan artikel yang diterbitkan oleh
Keng Po. Di dalamnya ia menyatakan bahwa ia keluar dari Baperki
dan menuduh Siauw dan Go sebagai tokoh-tokoh Komunis yang
dengan curang telah mengelabuinya dalam menentukan rankingnya di dalam daftar calon anggota DPR Baperki. Ia memperingati
para pembaca Keng Po untuk waspada akan motivasi pimpinan
Baperki yang garis politiknya akan mengundang kemarahan dan
serangan dari kelompok-kelompok Islam. Ini, menurutnya, akan
membahayakan posisi komunitas Tionghoa di Indonesia36.
Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat semuanya
menulis surat ke Keng Po pada tanggal 26 September mengutuk
tindakan Auwyang Peng Koen yang digambarkannya sebagai
seorang penipu. Dari ketiga surat ini, hanya surat Oei Tjoe Tat yang
33
1
34
35
36
Wawancara dengan Go Gien Tjwan. Berita Baperki 7 October
955.
Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat. Surat Yap Thiam Hien dimuat dalam Berita Baperki, 7 October 1955.
Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat
Keng Po, 26 September 1955.
219
Siauw Giok Tjhan
dimuat oleh Keng Po. Akan tetapi surat-surat Yap Thiam Hien dan
Go Gien Tjwan dimuat dalam Berita Baperki yang diterbitkan pada
tanggal 7 Oktober 1955.
Seperti biasa, Siauw sendiri tidak mengambil bagian dalam
mencaci maki Auwyang Peng Koen. Surat terbukanya dimuat juga
dalam Berita Baperki tertanggal 7 Oktober 1955. Di suratnya,
sama sekali tidak mengacu pada artikel Auwyang. Yang ia tegaskan
adalah, Baperki akan tetap mewakili berbagai aliran politik37.
Kampanye politik berakhir pada tanggal 24 September 1955.
Pada tanggal 29 September, 39 juta penduduk Indonesia yang
berhak memilih, memilih di seluruh Indonesia untuk DPR. Pada
tanggal 15 Oktober, pemilu diulangi untuk Konstituante.
Hasil Pemilu
10 hari setelah pemilu, hasilnya mulai diketahui. Hasil ini
mengejutkan banyak orang karena telah mengubah struktur politik
yang ada. NU merupakan partai yang paling banyak kenaikan jumlah
anggotanya, diikuti oleh PKI. Yang paling banyak kehilangan kursi
adalah Murba, PRN, PSI, PIR dan SKI .
Walaupun terjadi exodus pimpinan dari Baperki dalam
beberapa minggu sebelum pemilu, Baperki cukup banyak dalam
mengumpulkan suara. Total suara yang dikumpulkan oleh Baperki
adalah 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante. Table
7.1 memperlihatkan jumlah suara yang terkumpul untuk Baperki38.
Dari table ini jelas bahwa sekitar 80% dari suara yang diperoleh
oleh Baperki berasal dari Jawa dan Baperki ternyata berhasil
mengumpulkan 70% suara komunitas Tionghoa di Jawa. Baperki
jelas berhasil meraih jauh lebih banyak suara Tionghoa dari semua
organisasi yang berpartisipasi dalam pemilu39.
37
38
39
Berita Baperki 7 October 1955.
Feith, The Indonesian Elections of 1955, p. 65; Somers, Pera
nakan Chinese Politics In Indonesia, p 146
Somers, peranakan Chinese Politics In Indonesia, pp 147-148
220
Baperki dan Pemilihan Umum
Propinsi
Parlemen
Konstituante
Jawa Timur
35,489
33,369
Jawa Tengah
44,743
44,908
Jawa Barat
38,376
33,595
Jakarta
26,944
23,384
Sumatra Selatan
10,178
8,496
Sumatra Tengah
4,495
3,918
Sumatra Utara
4,674
4,044
Kalimantan Selatan
2,132
1,981
Kalimantan Timur
536
441
Sulawesi Utara
2,195
2,100
Sulawesi Selatan
1,462
1,165
Nusatenggara Timur
3,784
1,111
Nusatenggara Barat
3,859
1,981
Table 7.1 - Suara yang dikumpulkan Baperki
Di berbagai tempat pemilu, jumlah suara Baperki melebihi jumlah
suara yang terkumpul oleh partai-partai politik. Di beberapa kota
seperti Semarang, Bandung dan Cirebon, jumlah suaranya termasuk
yang paling tinggi40. Juga terdapat beberapa hal yang mengejutkan.
Di desa Bobotsari dekat Purbolinggo, Jawa Tengah, yang tidak
memiliki penduduk Tionghoa, Baperki memperoleh semua suara
pemilihan. Ternyata penduduk daerah itu yang beragama Kejawen
menganggap Baperki yang mempunyai lambang bunga teratai,
sebagai organisasi yang akan melindunginya -- karena simbol
Baperki juga merupakan simbol agama Kejawen41.
178.887 suara yang berhasil dikumpulkan oleh Baperki
menyebabkannya berhak untuk mendapat satu kursi di DPR.
Sebagai calon pertama, Siauw Giok Tjhan lah yang mengisi kursi
40
41
Ibid, p 148; Antara 6 October 1955; Berita Baperki, 7 October 1955
Siauw, Lima Jaman, p 265
221
Siauw Giok Tjhan
di DPR ini. Karena Baperki tidak memiliki vote-pooling dengan
organisasi lainnya, surplus suara yang melebih 43 ribu itu tidak
membuahkan kursi tambahan untuk Baperki. Selain Siauw, ada
juga calon Tionghoa yang terpilih, Tjoo Tik Tjoen, 34 dari Surabaya.
Tjoo terpilih dengan ticket PKI. Pada waktu ia dipilih, ia menjabat
sekretaris PKI di Surabaya
Karena UU pemilu menyatakan bahwa golongan minoritas
Tionghoa dapat memiliki 9 orang wakil di DPR, Siauw mengharap
bahwa ke 8 perwakilan orang Tionghoa di DPR ini sebagian besar
akan diisi oleh Baperki. Di dalam pernyataannya yang dikeluarkan
pada bulan Februari 1956, Siauw mengungkapkan bahwa hak-hak
golongan minoritas hanya bisa diperjuangkan oleh wakil-wakil
yang dipilih oleh golongan itu sendiri. Menurut Siauw, daftar calon
Baperki merupakan daftar yang seharusnya dijadikan pegangan
pemerintah dalam menunjuk wakil-wakil minoritas Tionghoa,
bukan daftar yang dikeluarkan oleh partai-partai politik42.
Dalam bulan yang sama, Baperki dan GIKI (Gabungan Indo
untuk Kesatuan Indonesia) mengeluarkan pernyataan bersama
yang menuntut turut sertanya Presiden Soekarno dalam menunjuk
wakil-wakil minoritas di DPR dan Konstituante43.
Baperki berkampanye untuk menjadi satu-satunya organisasi
yang sah dalam mewakili golongan Tionghoa. Dalam bulan-bulan
pertama di tahun 1956, Baperki berhasil mengumpulkan puluhan
ribu tanda tangan dari masyarakat Tionghoa sebagai tanda adanya
dukungan luas terhadapnya. Di Semarang, wakil Baperki Tan Hong
Hie berhasil mengumpulkan 22.000 tanda tangan. Di Jakarta, Yap
Thiam Hien-pun berhasil mengumpulkan 17.000 tanda tangan.
Dan Teng Tjin Leng di Makasar, berhasil mengumpulkan 16.000
tanda tangan44.
Akan tetapi daya upaya Siauw tidak mendapat sambutan positif
dari pemerintah. Pada bulan Agustus 1956, nama-nama dari para
42
43
44
Berita Baperki, 15 March 1956
Berita Baperki, 15 March 1956.
Berita Baperki 15 November 1955
222
Baperki dan Pemilihan Umum
calon anggota minoritas Tionghoa di DPR dimuat dalam berbagai
surat kabar. 6 dari ke 7 calon ini adalah anggota dari partai-partai
politik. Satu dari Parkindo, satu dari Partai Katolik, dua dari NU dan
dua dari PNI. Partai-partai ini juga diwakili di dalam kabinet Ali
yang ke dua45.
Siauw bertindak cepat di dalam DPR untuk menentang rencana
ini. Sikap Siauw didukung sepenuhnya oleh pihak oposisi, PKI dan
Mohamad Yamin. Sakirman dari PKI menyatakan bahwa daftar
Baperki-lah yang seharusnya dipergunakan dalam memilih caloncalon wakil minoritas di DPR, karena Baperki memiliki surplus
suara yang cukup besar46.
Atas desakan Siauw, pemerintah menghasilkan kompromi.
Pengangkatan Ko Kwat Oen, sebagai wakil NU dibatalkan. Ia diganti
oleh Ang Tjiang Liat , seorang hakim yang ternama di Banjar Masin.
Pilihan Siauw mengejutkan banyak orang, karena nama Ang tidak
pernah berada di dalam daftar calon yang diperjuangkan oleh
Baperki. Tetapi kebijakan ini diambil Siauw untuk mengurangi
ketegangan di dalam Baperki. Bilamana ia memilih Go Gien Tjwan,
pihak kanan tentu berkeberatan. Bilamana ia memilih Yap Thiam
Hien yang protestan, pihak Katolik akan protes. Demikian juga,
bilamana ia memilih Teng Tjin Leng yang katolik, pihak Kristen
protestan yang akan protes47.
Untuk Konstituante, kompromi pihak pemerintah menyebabkan
Baperki bisa memperoleh banyak tambahan kursi perwakilannya.
Hasil pemilu untuk Baperki diisi oleh Siauw dan Oei Tjoe Tat. Ada
tiga wakil Tionghoa lain yang terpilih dalam proses pemilu, yaitu
Tan Ling Djie dan Oey Hay Djoen dari PKI dan Tony Wen dari PNI.
Hasil kompromi ini adalah tambahan kursi untuk Baperki yang diisi
oleh Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng , Oen Poen
Djiang, Jan Ave and C.S Richter. Dua yang terakhir adalah wakil45
46
47
Berita Baperki, 15 September 1956
Republik, 6 September 1956
Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat
223
Siauw Giok Tjhan
wakil Baperki untuk golongan Indo48.
Dengan adanya wakil-wakil Baperki baik di DPR maupun di
Konstituante, Siauw lebih giat lagi dalam melawan rasisme.
Siauw berkampanye di Banda Aceh 1955
48
Bersama dengan pimpinan Baperki Aceh, 1955
Republik, 21 November 1957
224
Baperki dan Pemilihan Umum
Berkampanye di Solo, 1955
Kunjungan ke Den Pasar, Bali, 1955
225
Siauw Giok Tjhan
Berkampanye di Makasar
226
Pembangunan Ekonomi Nasional
BAB 8
PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL
Salah satu tema penting kebijakan politik pemerintah Indonesia
pada tahun 1950-an adalah Indonesianisasi ekonomi. Setiap
kabinet di masa ini menyatakan bahwa dasar ekonomi Indonesia
harus bersih dari elemen-elemen kolonialisme. Program ekonomi
masa itu juga dikenal sebagai program ekonomi nasional.
Akan tetapi, oleh banyak tokoh politik, ekonomi nasional berarti
dikuranginya bahkan dihapuskannya peranan pedagang-pedagang
Tionghoa dalam ekonomi dan digantikannya mereka dengan
pedagang-pedagang “asli”. Motivasi politik ini jelas berkaitan
dengan kepentingan ekonomi pribadi para pejabat dan tokoh politik
yang mencanangkan program yang dinamakan ekonomi nasional.
Di lain pihak, kapital monopoli raksasa Belanda yang mendapat
perlindungan dari ketetapan-ketetapan KMB 1949, tidak dikutikkutik. Siauw merupakan salah seorang anggota DPR yang paling
gigih dalam menentang dilindunginya kekuatan ekonomi raksasa
Belanda. Ia selalu menuntut pemerintah untuk bertindak tegas
dalam mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang
menurutnya telah menguras kekayaan Indonesia. Argumentasi
Siauw tentunya mendapat dukungan berbagai kekuatan politik.
Tetapi ketika ia membela kepentingan golongan Tionghoa, ia harus
melawan arus nasionalisme yang pada waktu itu dimanifestasikan
dalam bentuk pengambil alihan usaha dari tangan Tionghoa ke
tangan pedagang “asli.
Bagi Siauw, pembangunan ekonomi nasional tidak bisa
tidak berarti menghancurkan struktur ekonomi kolonial dan
menggantinya dengan sistem ekonomi yang mempercepat
kemakmuran Rakyat. Siauw kerap berargumentasi bahwa
kebijakan ekonomi pemerintah, sejak zaman RIS tidak mengarah
ke pembangunan ekonomi nasional yang dikehendaki Rakyat.
227
Siauw Giok Tjhan
Yang dijalankan, menurut Siauw, justru mempertahankan struktur
ekonomi kolonial, di mana penindasan terhadap Rakyat tetap
dilaksanakan demi kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan
besar milik asing.
Pelaksanaan UUD 45 pasal 33 yang menjamin kekayaan alam
dimiliki dan dikuasai oleh negara merupakan salah satu dasar
pembangunan ekonomi nasional, yang menurut Siauw, tidak
pernah dengan konsekwen dilakukan.
Siauw menghadapi kenyataan di mana bukan perusahaanperusahaan asing yang menghisap kekayaan alam Indonesia
yang diambil alih dan kepemilikan dan kontrol-nya dikuasai
negara, tetapi fokus perjuangan para politikus adalah pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Tionghoa yang merupakan
modal domestik yang sudah berjalan lancar dan terbukti turut
berjasa dalam melancarkan roda ekonomi Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda.
Salah satu alasan kenapa Siauw menghadapi perlawanan dalam
usahanya membela kepentingan golongan Tionghoa adalah dari segi
ideologi politik. Orang-orang Tionghoa distereotipe-kan sebagai
orang-orang kaya yang cenderung eksklusif dan mementingkan
dirinya sendiri, yang mencapai keberhasilannya dengan korupsi,
yang berjiwa oportunistis dan yang tidak loyal pada RI. Dengan
demikian, usaha Siauw dalam membela kepentingan golongan
Tionghoa, walaupun dilakukan dalam konteks membangun
ekonomi nasional, sering ditentang keras oleh banyak tokoh politik,
baik yang berada dipihak pemerintah maupun oposisi.
Alasan lain yang menyebabkan perjuangan Siauw menjadi
lebih berat adalah adanya pengertian di dalam arus politik utama
ketika itu bahwa perwujudan ekonomi nasional berarti pedagangpedagang “asli” harus mendapatkan prioritas dan perlindungan
dalam menghadapi persaingan terhadap pedagang-pedagang asing,
terutama Tionghoa.
Juga terdapat tekanan keras dari pihak PNI dan Masjumi yang
mendesak pemerintah untuk memberi berbagai fasilitas dagang
228
Pembangunan Ekonomi Nasional
pada para tokohnya sehingga mereka bisa berkompetisi dengan
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa.
Politik “Asli”
Beberapa saat sebelum Konperensi Meja Bundar (KMB) 1949,
tokoh-tokoh nasional sudah mulai berbicara tentang Ekonomi
Nasional yang didasari atas pengertian diambil alihnya investment
dan kapital perusahaan-perusahaan asing oleh perusahaanperusahaan nasional Indonesia.
Bagaimana program ekonomi ini dilaksanakan ternyata
menimbulkan adanya program yang dikenal sebagai politik “asli”.
Politik “asli” berdasarkan keinginan para tokoh yang berkecimpung
dalam bidang ekonomi untuk membatasi bahkan menghilangkan
pengaruh pedagang Tionghoa dalam bidang ekonomi dan
mengembangkan kelas pedagang “asli”.
Siauw sangat menentang dipergunakannya istilah “asli” dalam
formulasi ekonomi dan kebangsaan. Di dalam semua pidato dan
tulisannya, ia selalu menulis perkataan “asli” dengan tanda kutib.
Tiada ada seorang Indonesia-pun yang bisa mengatakan bahwa
ia memiliki darah Indonesia “asli”, demikian ujar Siauw. Istilah
“asli” yang digunakan oleh para tokoh politik, menurutnya, tidak
mempunyai dasar hukum dan harus dilenyapkan.
Siauw selalu menegaskan bahwa Nasion Indonesia bukanlah
Nasion yang terdiri dari satu ras Indonesia. Ras Indonesia,
menurutnya tidak ada. Yang ada adalah Nasion yang terdiri atas
berbagai suku. Berdasarkan pengertian ini, menurut Siauw,
terminologi “asli” tidak masuk diakal dan tidak memiliki landasan
hukum.
Politik “asli” menurut Siauw diperkenalkan dan dimulai oleh
Djuanda, pada waktu ia menjadi menteri keuangan di dalam
kabinet RIS pada bulan Desember 1949. Program politik “asli” ini
diperbincangkan di dalam Konperensi Ekonomi Indonesia yang
229
Siauw Giok Tjhan
diselenggarakan di Yogyakarta pada bulan Desember 19491.
Kebijakan “asli” ini ditujukan untuk melindungi posisi golongan
ekonomi lemah. Menurut Djuanda, golongan ekonomi lemah ini
terdiri dari orang-orang Indonesia “asli”, sedangkan orang-orang
Tionghoa dimasukkan ke dalam kategori golongan ekonomi kuat.
Berdasarkan definisi ini, Djuanda berpendapat bahwa berbagai
peraturan harus dibuat sehingga orang-orang dari golongan
ekonomi lemah ini bisa memperoleh keringanan beban pinjaman
dan memperoleh perlayanan khusus yang memudahkan proses
untuk mendapatkan berbagai macam izin dagang. Ditambahkan
oleh Djuanda, untuk memperkecil pengaruh golongan ekonomi kuat,
orang-orang dari golongan ini harus dilarang untuk mendapatkan
kredit dan izin-izin dagang di dalam bidang-bidang tertentu.
Sejak politik “asli” ini dimulai, Siauw telah mengutuknya sebagai
sebuah sistem yang diskriminatif dan yang akan membuat orangorang Tionghoa diperlakukan sebagai “anak-tiri”. Siauw menyatakan
bahwa ia sepenuhnya mendukung program yang dilaksanakan
untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Tapi bilamana definisi
yang dipakai itu berdasarkan ras, ia menentangnya. Orang-orang
Tionghoa banyak yang miskin dan mereka yang miskin ini, menurut
Siauw, berada di dalam golongan ekonomi lemah yang juga patut
mendapat perlindungan dan bantuan pemerintah. Di lain pihak,
ujarnya, banyak pula pedagang-pedagang “asli” yang jelas berada
dalam kategori golongan ekonomi kuat. Siauw menganggap politik
“asli” ini sebagai politik rasis yang harus dikutuk.
Di dalam pidatonya di DPR-RIS pada bulan Agustus 1950,
Siauw menuntut penjelasan pemerintah tentang definisi golongan
ekonomi lemah. Posisi Siauw pada waktu itu didukung oleh Hamid
Algadrie, wakil minoritas Arab di DPR, anggota PSI. Perdana
Menteri Hatta ternyata memastikan bahwa tidak semua penduduk
1
John Sutter, Indonesianisasi: Politics In A Changing Economy, 1940-1955, Cornell University, April 1959, p 1125; Berita Baperki, Nomor Istimewa, December 1954, p 11
230
Pembangunan Ekonomi Nasional
“asli” bisa dikategorikan golongan ekonomi lemah. Akan tetapi
Hatta tidak menjamin bahwa ukuran posisi ekonomi seseorang
tidak akan dilakukan berdasarkan ras semata-mata2.
Pergantian pemerintah pada tahun 1950 ternyata tidak
mengganti konsep politik “asli”. Siauw tetap menentangnya. Sebagai
reaksi protes dan kritikan Siauw tentang adanya politik “asli” ini,
Perdana Menteri Natsir berjanji pada bulan Oktober 1950 bahwa
pemerintahnya akan mengadakan perubahan-perubahan yang
di dalam program ekonomi pemerintah sehingga pelaksanannya
bersih dari diskriminasi rasial3. Belum ada perubahan yang nyata,
Natisr-pun jatuh dan diganti oleh Sukiman.
Semasa kekuasaan Sukiman, Siauw tetap konsisten dalam
mengutuk program politik “asli” dan menuntut agar politik ini
dicabut. Siauw mulai mendorong pemerintah untuk membedakan
antara perusahaan-perusahaan besar asing yang dimiliki oleh
Belanda, Inggris dan Amerika dengan perusahaan-perusahaan
kecil-menengah yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa.
Siauw berargumentasi bahwa perusahaan-perusahaan raksasa
asing yang dimiliki oleh Belanda, Inggris dan Amerika menguras
kekayaan alam Indonesia dan keuntungan yang mereka peroleh
tidak diputar di Indonesia, melainkan dibawanya ke luar negeri.
Perusahaan-perusahaan inilah yang menurut Siauw harus diambil
alih oleh pemerintah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950, karena mereka langsung menguasai kekayaan
alam yang seharusnya dimiliki oleh negara.
Di lain pihak, ia mendorong pemerintah untuk melindungi
dan membantu perusahaan-perusahaan kecil-menengah yang
sudah berjalan lama, walaupun mereka dimiliki oleh orangorang Tionghoa yang berstatus asing. Menurut Siauw, modal
perusahaan-perusahaan ini adalah modal domestik. Keuntungan
yang diperolehnya akan tetap dipertahankan di Indonesia untuk
kemajuan perusahaan-perusahaan lokal ini, yang secara langsung
2
3
Ichtisar Parlemen, 1950, pp 353-474
Risalah Parlemen, 1950, pp 2205-2207
231
Siauw Giok Tjhan
membantu perkembangan ekonomi nasional.
Bagi Siauw, membangun ekonomi nasional berarti menciptakan
sektor industri yang dimiliki oleh negara dengan mengambil alih
perusahaan-perusahaan raksasa asing dan diperkuatnya sektor
industri swasta yang dijalankan oleh modal domestik untuk
kemakmuran Rakyat.
Siauw mengkritik sikap sementara tokoh politik yang
menganggap sebaiknya pemerintah memusatkan perhatian ke
perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa karena dianggap
mereka lebih mudah untuk dikelola dibandingkan perusahaanperusahaan besar yang dimiliki oleh Belanda. Jalan pikiran ini,
menurut Siauw sesat dan harus diubah.
Sambutan Sukiman terhadap kritikan dan protes Siauw sama
dengan para pendahulunya, yaitu, ia berjanji bahwa pemerintahnya
tidak akan membeda-bedakan para warga negara Indonesia4.
Kritikan Siauw terhadap politik “asli” ini didukung oleh para
anggota Fraksi Nasional Progresif-nya. Iwa Kusumasumantri,
Mohamad Yamin dan DS Diapari sering berpidato di DPR
mendukung argumentasi Siauw. Disamping mereka, tokoh-tokoh
seperti Sakirman dari PKI, Kasimo dari Partai Katolik, Tambunan
dari Parkindo, Subadio Sastrosatomo dari PSI dan Snel, wakil
golongan minoritas Eropa, juga sering mendukungnya.
Kementerian ekonomi dari tahun 1950 sampai 1953 dipimpin
oleh Hatta, Djuanda, Sjarifuddin Prawiranegera dan Sumitro.
Walaupun mereka tidak menghapus program politik “asli”, mereka
tetap membantah adanya diskriminasi rasial. Akan tetapi ketika
Iskaq, dari PNI menjadi menteri Ekonomi di dalam kabinet
Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, program politik “asli” ini
dikembangkan secara lebih terang-terangan. Ini akan diuraikan
dengan lebih mendetail di bagian lain.
Contoh-contoh dari politik “asli” ini diuraikan di bawah ini.
4
Risalah Parlemen, 1951, pp 4426 - 4778
232
Pembangunan Ekonomi Nasional
Politik “benteng” dan Importir Nasional
Pada tahun 1949, Djuanda sebagai menteri ekonomi
mengeluarkan peraturan yang didesain untuk melindungi golongan
ekonomi lemah. Pada bulan April 1950, Djuanda mengeluarkan
peraturan baru untuk melindungi posisi para importir “asli”.
Peraturan ini menyatakan bahwa barang-barang yang
didefinisikan sebagai barang-barang benteng, hanya boleh
diimport oleh importir “asli”. Importir asing (Tionghoa) tidak
diizinkan mengimportnya. Perusahaan-perusahaan yang 70% dari
kapitalnya dimiliki oleh pedagang “asli” bisa mengimport barangbarang benteng ini. Disamping itu, pemerintah juga memberi
keringanan khusus dalam bentuk kredit dan pemberian berbagai
izin kepada para perusahaan “asli” ini5.
Politik benteng dijalankan oleh keempat kabinet yang
menggantikan kabinet RIS ini. Menjelang akhir tahun 1950,
Indonesia memiliki 250 impotir “asli”. Pada April 1952, ketika Wilopo
menjadi Perdana Menteri, jumlah importir “asli” yang terdaftar
naik menjadi 741. Akan tetapi ini masih merupakan sebagian kecil
dari seluruh importir di Indonesia yang berjumlah 3119. Sebagian
besar darinya adalah pedagang-pedagang Tionghoa6.
Karena pedagang-pedagang Tionghoa, baik yang WNI maupun
yang masih berstatus asing, lebih berpengalaman dan lebih
banyak memiliki kontak di dalam dunia internasional, mereka
tetap mendominasi bidang export dan import di Indonesia. Hal
ini lalu menciptakan pola perdagangan yang tidak sehat. Banyak
pedagang-pedagang “asli” yang tidak memiliki modal, pengalaman
maupun koneksi internasional, menjual” ke “asli”annya ke
pedagang-pedagang Tionghoa yang berpengalaman, bermodal
dan mempunyai koneksi internasional. Timbullah sistem kerja
sama yang dikenal sebagai “Ali-Baba”. Si Ali, pedagang “asli”
5
6
Sutter, Indonesianisasi, p 1018
Ibid.
233
Siauw Giok Tjhan
terdaftar sebagai pemilik perusahaan, tetapi yang memodali dan
menjalankan perusahaan adalah si Baba, pedagang Tionghoa.
Pidato-pidato Siauw di dalam DPR menegaskan bahwa pola
perdagangan seperti ini sangat merugikan negara dan Rakyat
Indonesia, karena merupakan sistem korupsi yang merusak.
Akarnya, menurut Siauw, adalah kebijakan pemerintah yang salah
dan rasis.
Pada waktu Iskaq Tjokroadisurjo menjadi menteri ekonomi
pada tahun 1953, proses Indonesianisasi dalam bidang ekonomi
dipercepat. Indonesianisasi menurut Siauw berarti berkurangnya
ketergantungan Indonesia atas penghasilan export bahan-bahan
mentah dan dengan diperkuatnya industri lokal. Akan tetapi, fokus
Iskaq adalah mengambil alih kontrol usaha dagang dari tangan
pedagang-pedagang Tionghoa ke tangan pedagang-pedagang asli.
Juga usaha untuk membentuk kelas menengah pedagang “asli”
dijadikan salah satu fokus utamanya7.
Iskaq tidak saja melanjutkan politik “benteng”, tetapi juga
mengeluarkan sebuah peraturan baru di dalam bidang import.
Hanya perusahaan-perusahaan yang terdaftar sebagai importir
nasional diizinkan mengimport barang dari luar negeri. Perusahaanperusahaan yang terdaftar sebagai importir nasional ini harus
terdiri dari para pemegang saham yang sebagian besar darinya
adalah pedagang-pedagang “asli”. Disamping itu semua pemegang
saham dari perusahaan-perusahaan ini harus membuktikan bahwa
mereka adalah WNI8.
Sebelum Iskaq menjadi menteri, para importir nasional
menguasai 40% dari kegiatan dalam bidang import. Pada akhir
masa Iskaq sebagai menteri, persentasi-nya naik sampai 80-90%.
Jumlah importir nasional yang terdaftar juga meloncat menjadi
paling sedikitnya 2211, tetapi mungkin 4000 - 50009.
7
8
9
Feith, The Decline of the Constitutional Democracy in Indone
sia, p 374
Sutter, Indonesianisasi, p 1022
Feith, The Decline of Constitutional democracy in Indonesia, pp 374-375
234
Pembangunan Ekonomi Nasional
Siauw mengecam kebijakan Iskaq ini, yang menurutnya ingin
memaksakan para importir untuk bekerja sama dengan para
pedagang “asli” dalam bentuk partnership atau persereoan. Siauw
menyatakan bahwa kerja sama dagang di antara saudara saja sering
tidak bisa jalan, bagaimana para pedagang Tionghoa dipaksakan
untuk ber-partner dengan orang-orang yang ia tidak kenal dengan
baik10. Ia mendesak Iskaq untuk mengubah peraturan itu sehingga
para perusahaan yang berkecimpung dalam bidang import tidak
diharuskan terdiri dari para pemegang saham “asli”.
Dengan bantuan Tjung Tin Yan dari Partai Katolik, Siauw
berhasil memaksa Iskaq untuk mengeluarkan pernyataan pada
tanggal 2 December 1953 bahwa diskriminasi rasial di dalam
bidang perdagangan akan dihentikan dan perusahaan-perusahaan
yang berkecimpung dalam bidang import akan dinyatakan sebagai
importir nasional bilamana para pemegang sahamnya WNI. Jumlah
pemegang saham “asli” tidak lagi dipentingkan dalam revisi
peraturan ini11.
Dengan adanya peraturan semacam ini, pedagang-pedagang
Tionghoa yang berstatus asing harus mencari koneksi “asli”
untuk secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai pemilik
perusahaan. Dengan koneksi “asli” ini, mereka bisa melanjutkan
usahanya dalam bidang import. Timbullah istilah “perusahaan
Aktentas”, di mana pedagang-pedagang “asli” keluar masuk
berbagai instansi pemerintah dengan membawa tas yang berisikan
dokumen-dokumen pendaftaran perusahaan. Pemilik perusahaan
sesungguhnya adalah pedagang-pedagang Tionghoa yang berstatus
asing. Dari beberapa ribu importir nasional yang terdaftar,
diperkirakan hanya 50 yang benar-benar memenuhi persyaratan
sebagai importir nasional12.
10
11
12
Pidato Siauw April 1953
Ichtisar Parlemen, 1953, pp 1172-1173
Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, p 375
235
Siauw Giok Tjhan
Berdasarkan perkembangan ini, Siauw lagi-lagi mengecam
kebijakan pemerintah. Menurutnya, peraturan ini telah
mengembang-biakkan korupsi. Untuk mendapatkan izin-izin
import, para pegawai kantor urusan import harus disogok. Komisi
yang berjalan pada waktu itu sekitar 200%. Ini menimbulkan
situasi di mana banyak orang yang seyogyanya berhak untuk
mendapatkan izin, tidak bisa memperolehnya. Banyak dari izinizin yang menguntungkan usaha dagang ini jatuh ke tangan orangorang PNI yang menyokong keberlangsungannya pemerintah13.
Karena yang diimport hanyalah barang-barang yang
menghasilkan keuntungan besar, kebutuhan suku cadang dan
bahan mentah untuk kebutuhan produksi diabaikan. Akibatnya
banyak produksi macet dan kapasitas produksi negara menurun
pesat.
Situasi ini menyebabkan hutang pemerintah meningkat berkali
lipat dari Rp 1051 juta pada bulan Juni 1953 sampai Rp 3,410 juta
pada bulan September 1954. Dalam periode yang sama, persediaan
uang asing jatuh Rp 1,145 juta sampai ke minus Rp 20 juta. Inflasi
juga melonjak hebat pada tahun 1954. Harga-harga dari 44 barang
yang diimport lompat hampir 60%14.
Disamping kemerosotan ekonomi seperti yang tergambar di
atas, Iskaq juga dituduh korupsi. Perkembangan ini mendorong
pihak oposisi untuk mendesak Perdana Menteri Ali untuk memecat
Iskaq. Tjikwan dari partai oposisi Masjumi memimpin usaha di
DPR untuk memecat Iskaq. Usaha ini didukung oleh Siauw. Pada
bulan November 1954, Iskaq dipaksa untuk meletakkan jabatannya
dan ia diganti oleh Rooseeno dari PIR.
Beberapa bulan setelah Iskaq meletakkan jabatannya, Margono
Djojohadikoesoemo, anggota DPR yang tidak berpartai mendesak
dibentuknya sebuah panitia DPR untuk memeriksa kasus korupsi
13
14
Sutter, Indonesianisasi, p 1082
Feith, The Decline of Constitutional democracy in Indonesia, P 376
236
Pembangunan Ekonomi Nasional
Iskaq, terutama dalam bidang perdagangan dan import. Pada
tanggal 28 Januari 1955, Panitia Pemeriksa ini dibentuk, terdiri
Tjikwan, Margono, Jusuf Muda Dalam dan Siauw.
Walaupun panitia ini tidak berhasil menyimpulkan
pemeriksaannya, ia menyelesaikan sebuah laporan yang
merekomendasi agar Iskaq mempertanggung-jawabkan kasuskasus korupsi di kementeriannya. Sebelum Iskaq dipanggil untuk
memberi kesaksian, ia sudah meninggalkan Indonesia dengan
alasan perawatan kesehatan salah satu anggota keluarganya 15.
Transportasi Bis dan Truk
Orang-orang Tionghoa di Indonesia sudah sejak zaman
penjajahan Belanda mendominasi bidang transportasi bis dan truk.
Walaupun pada tahun 50-an terdapat pengusaha-pengusaha “asli”
di dalam bidang ini, sebagian besar dari para pengusaha adalah
orang-orang Tionghoa, baik WNI maupun yang berstatus asing.
Pada awal tahun 50-an, Djuanda menjadi menteri. Transportasi
bis dan truk berada dalam naungan kementeriannya.
Pada akhir Januari 1951, sebuah panitia DPR yang ditugaskan
untuk mempelajari tentang keadaan transportasi bis dan truk di
Jawa dan Sumatra menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan
bis dan truk yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa lebih canggih
dari pada yang dimiliki oleh pengusaha “asli”. Disamping itu,
panitia ini juga melaporkan bahwa pengusaha-pengusaha
Tionghoa berhasil dalam meraih keuntungan yang besar. Oleh
karenanya, panitia ini mengusulkan agar dikeluarkan peraturan
yang membatasi keterlibatan pengusaha Tionghoa di dalam bidang
transportasi dan melindungi para pengusaha “asli”16.
Berdasarkan rekomendasi ini, Djuanda mengeluarkan RUU
(Rancangan Undang-Undang) yang dinamakan Pedoman Baru, di
15
16
Sutter, Indonesianisasi, p 1089
Ibid p 907-908
237
Siauw Giok Tjhan
mana ditentukan17:
1.
Separoh dari pemilikan usaha bis diberikan pada WNI
yang sudah sejak zaman Belanda berkecimpung di dalam bidang
transportasi bis. Sisahnya harus dimiliki oleh para pengusaha
yang berada dalam kategori golongan ekonomi lemah.
1.
Sebuah perusahaan baru bisa dikatakan perusahaan
Indonesia kalau 75% dari sahamnya dimiliki oleh WNI.
Perdebatan tentang RUU ini dimulai pada tanggal 19 Juni 1951.
Siauw segera menentangnya. Menurutnya, Indonesia seharusnya
menggunakan pengalaman, keakhlian dan modal yang sudah lama
dipupuk oleh para pengusaha Tionghoa, baik WNI maupun asing,
untuk memajukan dunia distribusi. Walaupun Siauw mendukung
usaha pemerintah untuk melindungi golongan ekonomi lemah,
tetapiia, secara konsisten, menentang pengkategorian pengusaha
“asli” sebagai golongan ekonomi lemah.
Dalam perdebatan ini, Siauw menghadapi tentangan keras,
termasuk dari Sakirman yang mewakili PKI. Oleh karenanya, usaha
Siauw untuk membatalkan RUU ini gagal dan ia disahkan sebagai
UU pada bulan Juni 1951. Pelaksanaannya menyebabkan adanya
reduksi pengusaha bis asing dari 64% pada awal tahun 1951
menjadi 6.4% pada akhir tahun yang sama18.
Tetapi Siauw tetap menggunakan berbagai kesempatan di DPR
untuk menentangnya. Dalam hal ini, ia didukung oleh Diapari, Iwa
Kusumasumantri dan Tan Po Goan.
Atas desakan Siauw yang dilakukan berulang kali, Djuanda
akhirnya menyatakan kesediaannya pada bulan Februari 1953 untuk
melakukan perubahan dalam Pedoman Baru yang menghilangkan
perbedaan antara pengusaha WNI dengan pengusaha “asli”. Tidak
jelas berapa jumlah pengusaha yang mengalami kesulitan ekonomi
karena adanya peraturan semacam ini, karena Pedoman Baru telah
mendorong adanya partnership antara pengusaha Tionghoa dan
17
18
Ibid, p 911
Risalah Parlemen 1951
238
Pembangunan Ekonomi Nasional
“asli”. Para pemilik perusahaan yang sesungguhnya tetap para
pengusaha Tionghoa, baik WNI maupun19.
Penggilingan Padi
Seperti halnya bidang transportasi, usaha penggilingan padi
juga didominasi oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa, baik WNI
maupun asing.
Iskaq mengeluarkan peraturan yang di sebut Peraturan no. 42
pada tahun 1954 yang pada pokoknya melarang orang asing untuk
memiliki usaha penggilingan padi.
Siauw dengan tegas menentang peraturan ini. Lagi-lagi ia
mengecam tindakan yang ingin mengurangi jumlah pengusaha yang
telah bergenerasi berkecimpung dalam bidang penggilingan padi
sehingga memiliki pengalaman dan kapital yang bisa diandalkan.
Walaupun yang ditonjolkan oleh peraturan ini adalah WNI, tetapi
pada akhirnya para pengusaha Tionghoa didesak untuk melakukan
korupsi supaya bisa terus bertahan. Siauw juga menyatakan
bahwa peraturan ini melanggar UU yang berlaku karena tidak ada
satu barang penduduk-pun yang bisa begitu saja dirampas dan
diambil alih20. Disamping itu Siauw menyatakan bahwa banyak
dari pengusaha yang dikatakan asing itu sebenarnya adalah WNI,
karena mereka memiliki dwi-kewarganegaraan.
Protes Siauw mendesak Iskaq untuk menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan asing adalah orang-orang asing, bukan orangorang yang memiliki dwi-kewarganegaraan. Pada Bulan November
1954, Peraturan ini diubah sesuai dengan penegasan Iskaq di DPR.
Karena perubahan ini, banyak pengusaha Tionghoa yang
tadinya terancam untuk kehilangan usahanya bisa meneruskan
usaha penggilingan paddi. Izin penggilingan padi ini kemudian
diperpanjang sampai akhir tahun 1956.
Keberhasilan Siauw dalam menekan pemerintah untuk
19
20
Sutter, Indonesianisasi, p 922.
Ichtisar Parlemen 1954
239
Siauw Giok Tjhan
mengubah peraturan ini menggembirakan para pengusaha
Tionghoa. Untuk menyatakan rasa terima kasih mereka, para
pengusaha penggilingan padi Tionghoa di Jawa Barat bersepakat
untuk mengumpulkan dana yang ingin disampaikan pada Siauw
pribadi. Seorang wakil dari mereka datang ke rumah Siauw pada
awal tahun 1955 untuk memberikan padanya dana yang terkumpul
itu. Oleh Siauw, pemberian itu ditolak dan ia meminta si pembawa
untuk mengantarkan dana itu ke kantor Baperki. Di kantor
Baperki, Yap Thiam Hien-lah yang menerima dana yang oleh Siauw
seluruhnya dimasukkan ke dalam kas Baperki21.
Formulasi Ekonomi Nasional
Pembentukan Ekonomi Nasional menurut Siauw adalah sebuah
upaya dalam menjamin penggunaan kekayaan alam dan sumber
daya manusia Indonesia untuk kepentingan Rakyat Indonesia.
Ekonomi Nasional, ujar Siauw, mengenal adanya tiga macam
perusahaan:
1. Perusahaan-perusahaan
negara
yang
harus
berkewajiban dalam menjamin kemakmuran Rakyat.
2. Perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh
koperasi Rakyat
3. Perusahaan-perusahaan swasta kecil - menengah
Semua perusahaan yang langsung berhubungan dengan
kemakmuran Rakyat seperti pertambangan, perkebunan gula dan
karet dan transportasi harus dimiliki oleh negara. Jadi perusahaanperusahaan asing yang pada waktu itu memonopoli banyak usaha
dalam bidang pertambangan dan perkebunan, harus diambil alih.
Prioritas dari program ekonomi pemerintah, menurut Siauw harus
dikerahkan ke arah ini.
Siauw berpendapat bahwa pemerintah telah dengan sengaja
menunda usaha untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan
21
Wawancara dengan Yap Thiam Hien, Melbourne, 1988
240
Pembangunan Ekonomi Nasional
yang berhubungan dengan kekayaan negara dari tangan monopoli
raksasa asing. Usaha dikerahkan pada pengambil alihan usaha
yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa. Perusahaanperusahaan kecil-menengah, baik yang dimiliki oleh WNI maupun
Tionghoa asing, menurut Siauw, perlu dikembangkan untuk
membantu mempercepat kemakmuran merata. Pengusahapengusaha Tionghoa ini tidak mengalihkan keuntungan yang mereka
peroleh ke luar negeri, melainkan diputarkan di Indonesia untuk
pengembangan usahanya, yang secara langsung menguntungkan
perkembangan ekonomi Indonesia.
Kalau pemerintah tidak merubah strategi-nya, Siauw
berargumentasi, Indonesia akan tetap dikontrol oleh kekuatan
asing dan tidak akan bisa mencapai kemerdekaan penuh. Oleh
karenanya ia menganjurkan adanya kesungguhan dari pihak
pemerintah untuk menjalankan program ekonomi yang benarbenar ditujukan untuk membangun ekonomi nasional.
Konsep Ekonomi yang dituturkan di atas ini lalu diterima oleh
Baperki pada bulan November 1954 sebagai dasar formulasi
program ekonominya.
Gerakan Assaat
Pada bulan Maret 1956, di dalam salah satu pertemuan yang
dihadiri oleh para importir, Assaat, anggota parlemen yang dekat
dengan Masjumi, mendesak pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan yang menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa,
baik WNI maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap
menguntungkan.
Assaat lebih radikal lagi dari Iskaq. Tanpa tedeng aling-aling, ia
menunjukkan bahwa ia siap melaksanakan program anti Tionghoa.
Ia-pun mengeluarkan seruan-seruan yang jelas bersifat rasis.
Baginya, orang-orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak
bisa dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Yang ganjil, kalau ia
menyerang golongan Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal
241
Siauw Giok Tjhan
terhadap RI, ia mengkategorikan golongan keturunan Arab sebagai
“asli” dan tidak memasalahkan kesetiaannya.
Assaat memang seorang tokoh yang berkaliber. Ia pernah
menjadi pejabat Presiden RI ketika Soekarno dan Hatta ditahan oleh
Belanda dari tahun 1949 - 1950. Jadi pernyataan anti-Tionghoa-nya
mengejutkan banyak orang. Tetapi, yang mendukung pendapatnya
juga banyak, terutama dari Masjumi dan PSI. Dalam beberapa
minggu setelah ia meluncurkan program anti Tionghoanya,
dukungan di mana-mana segera terlihat. Lahirlah sebuah gerakan
yang lalu dinamakan Gerakan Assaat.
Baperki segera menentang kehadiran gerakan yang
menghidupkan rasisme di bidang ekonomi ini. Argumentasi Siauw
adalah gerakan ini berbahaya dan merusak persatuan bangsa. Ia
juga menentang pendapat yang disebar luaskan oleh Gerakan Assaat
ini bahwa golongan Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia.
Gerakan Assaat mencapai puncaknya pada waktu Konperensi
Ekonomi Seluruh Indonesia (KENSI) diadakan. Para pengusaha
“asli” yang hadir dalam konperensi itu mendukung Assaat dan
gerakannya. KENSI menghendaki dipercepatnya proses pegambil
alihan usaha-usaha ke pengusaha-pengusaha asing dari tangan
orang-orang Tionghoa.
Siauw berhasil mengumpulkan dukungan di DPR untuk melawan
arus Gerakan “Assaat” ini. Partai-partai nasionalis termasuk NU,
Partai Katolik, Parkindo, Murba dan PKI juga mengecam gerakan
Assaat yang dilihatnya sebagai bagian gerakan Masjumi dan PSI22.
PNI akhirnya menentang Gerakan Assaat. Pada bulan September
1956, Kongres PNI menentangnya. Pada bagian terakhir tahun
1956, gerakan Assaat mulai kehilangan dukungan dan pengaruhnya,
karena Masjumi dan PSI terlibat dalam gerakan yang menentang
RI. Pada waktu tokoh-tokoh Masjumi, PSI dan Assat sendiri terlibat
gerakan PRRI/Permesta pada tahun 1958 yang kemudian berhasil
ditumpas oleh Angkatan Darat dan menjadi pelarian politik.
Gerakan Assaat juga terpengaruh dengan kejadian ini dan
22
Berita Baperki 15 October 1956, Republik, 23 October 1956
242
Pembangunan Ekonomi Nasional
Assaatisme kehilangan dukungannya. Dukungan terhadapnya
semakin berkurang dengan perkembangan politik yang
memungkinkan proses pengambil-alihan perusahaan-perusahaan
asing yang dimulai pada akhir tahun 1957. Ini memungkinkan
para pengusaha “asli” untuk mengalihkan usahanya untuk menjadi
eksekutif perusahaan-perusahaan asing yang diambil alih.
Kegiatan Siauw di parlemen memang berhasil mengurangi
dampak negatif berbagai peraturan yang ingin membatasi ruang
gerak pengusaha Tionghoa di Indonesia. Dalam perdebatan ini,
Siauw berhasil mendesak pemerintah untuk mengakui bahwa
sebagian besar pengusaha Tionghoa adalah WNI. Konsekwensi
dari keberhasilan ini adalah semakin besarnya keinginan para
tokoh politik yang ingin menciptakan kelas menengah baru - kelas
pedagang “asli” untuk membatalkan kewarganegaraan sebagian
besar pengusaha Tionghoa yang telah menjadi WNI berdasarkan UU
Kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB 1946. Ini memerlukan
perjuangan Siauw dalam melawan arus ini.
243
Siauw Giok Tjhan
Tan Ling Djie bersama putra putri Siauw, Jakarta, 1955
Siauw bermain catur dengan putra-putra-nya, 1956
244
Pembangunan Ekonomi Nasional
Dengan Sunito dan putri, Siauw May Lan di Shang Hai, 1958
245
Siauw Giok Tjhan
BAB 9
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DAN
DWI-KEWARGANEGARAAN
Seperti yang diuraikan dalam bab ke 6, para pendiri Baperki
sangat khawatir dengan adanya usaha beberapa tokoh pemerintah
untuk mengurangi jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan
mengeluarkan UU kewarganegaraan baru.
Keberhasilan Siauw di dalam DPR untuk menghentikan usaha
mengubah UU Kewarganegaraan 1946 dan ketetapan KMB
(Konperensi Meja Bundar) tentang kewarganegaraan RI, ternyata
tidak bertahan lama. Tidak lama setelah Baperki berdiri, Rancangan
UU (RUU) Kewarganegaraan baru yang tadinya dicabut dari
program kabinet Ali pada awal tahun 1954, dibicarakan kembali
bahkan disampaikan pada parlemen untuk diperdebatkan.
Beberapa bulan setelah itu, pemerintah-pemerintah RI dan RRT
juga memulai pembicaraan tentang penyelesaian masalah dwikewarganegaraan. Pembicaraan tentang penyelesaian masalah
kewarganegaraan berganda ini didominasi oleh pihak Indonesia yang
terdiri dari para tokoh yang ingin mengubah UU Kewarganegaraan
1946. Dengan demikian, baik RUU Kewarganegaraan maupun
perjanjian dwi-kewarganegaraan yang dipersiapkan mengandung
prinsip-prinsip yang bertentangan dengan UU Kewarganegaraan
1946.
Kalau UU Kewarganegaraan 1946 ini menetapkan kebijakan
pasif di mana semua orang yang lahir di Indonesia otomatis menjadi
WNI kecuali bilamana ia menolaknya, RUU kewarganegaraan dan
perjanjian dwi-kewarganegaraan menetapkan kebijakan di mana
setiap keturunan asing untuk mengajukan lamaran untuk menjadi
WNI dengan melampirkan bukti-bukti kelahirannya dan kelahiran
orang tuanya. Bilamana ia gagal dalam membuktikan tempat
kelahirannya dan kelahiran orang tuanya, ia akan menjadi orang
246
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
asing.
Siauw gigih melawan arus kuat yang ingin mengubah sistem
dan UU kewarganegaraan Indonesia. Ia akhirnya menerima sebuah
kompromi yang dimanifestasikan dalam UU Kewarganegaraan
Indonesia tahun 1958.
RUU Kewarganegaraan
Seperti yang diuraikan sebelumnya, atas desakan Siauw, Ong
Eng Die dan Tan Kiem Liong, RUU ini tidak jadi diperdebatkan di
dalam parlemen pada bulan Maret 1954. Akan tetapi dengan alasan
RI dan RRT akan menetapkan sebuah perjanjian tentang DwiKewarganegaraan, RUU ini diubah dan diajukan lagi oleh kabinet
untuk diperdebatkan di dalam parlemen pada tanggal 15 Oktober
1954. Perubahan utama berhubungan dengan masalah dwikewarganegaraan. Pada waktu RUU ini diperdebatkan di parlemen,
perundingan antara RI dan RRT tentang dwi-kewarganegaraan
dimulai.
Yang menjadi perdebatan sengit adalah pasal RUU yang
berhubungan dengan syarat yang diperlukan oleh penduduk
keturunan asing untuk menjadi WNI. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah:
1.
Ia harus lahir di Indonesia dan harus menetap di
Indonesia.
2.
Ayahnya harus lahir di Indonesia dan telah menetap
di Indonesia selama 10 tahun berturut-turut.
3.
Dalam waktu setahun setelah ia mencapai umur
18 tahun, ia harus menghadap ke kantor kehakiman untuk
menyatakan bahwa ia ingin menjadi WNI.
Syarat-syarat ini berarti hanya penduduk yang sudah menetap
di Indonesia selama tiga generasi-lah yang bisa menjadi WNI.
Dengan demikian, RUU ini hendak membatalkan kewarganegaraan
247
Siauw Giok Tjhan
Indonesia sebagian besar penduduk Tionghoa yang menurut
UU Kewarganegaraan 1946 dan ketetapan KMB tentang
Kewarganegaraan 1949, telah menjadi WNI setelah Desember
1951. Pelaksanaan RUU ini berarti setiap penduduk yang telah
menjadi WNI karena UU dan ketetapan KMB tersebut, kehilangan
kewarganegaraan Indonesia-nya.
Pemerintah menjustifikasikan RUU ini dengan menyatakan
bahwa bilamana setiap penduduk Indonesia keturunan asing dari
generasi pertama diizinkan menjadi WNI, tidak akan ada jaminan
bahwa mereka itu loyal terhadap RI dan menganggap Indonesia
sebagai tanah airnya. Sedangkan orang-orang yang telah menetap
di Indonesia lebih dari tiga generasi dianggap telah menghilangkan
hubungan emosionil-nya dengan tanah leluhurnya sehingga bisa
dipercaya akan menganggap Indonesia sebagai negaranya sendiri1.
Di dalam pidato-pidato dan pernyataan-pernyataan tertulis
yang dikeluarkan dalam bulan-bulan Oktober dan November 1954,
Siauw menyatakan bahwa pada umumnya penduduk Indonesia
akan mengalami kesulitan dalam membuktikan tempat kelahiran
sendiri, apalagi tempat kelahiran ayahnya. Juga sulit untuk
penduduk biasa membuktikan bahwa ayahnya telah menetap di
Indonesia selama 10 tahun berturut-turut.
Siauw berargumentasi bahwa catatan sipil untuk penduduk
Tionghoa dilakukan pada tahun 1919 di Jawa dan 1929 di luar Jawa.
Pada umumnya dokumentasi yang terdapat dalam kantor-kantor
catatan sipil ini telah hilang atau rusak dalam zaman pertempuran
dan revolusi. Oleh karena itu, Siauw bersikeras bahwa RUU ini
merusak jerih payah yang telah dilakukan untuk membangun
bangsa Indonesia dan menciptakan rasa cinta tanah air sebagai
WNI dari penduduk keturunan asing.
Selanjutnya
Siauw
menyatakan
bahwa
merampas
kewarganegaraan penduduk sebuah negara adalah tindakan yang
1
Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 36.
248
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
menentang prinsip kebangsaan yang dicanangkan di Den Haag pada
tahun 1930 yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang
tidak bisa secara sewenang-wenang dibatalkan. Setiap penduduk
Indonesia yang dianggap memiliki dwi-kewarganegaraan, menurut
Siauw, harus tetap diperlakukan sebagai WNI sampai adanya
penyelesaian yang disetujui oleh RI dan RRT. Oleh karenanya,
Siauw bersikeras bahwa setiap penduduk yang sudah menjadi WNI
karena hukum-hukum yang berlaku, harus tetap dianggap sebagai
WNI. Status-nya tidak bisa diubah secara sewenang-wenang.
Pada tanggal 10 November 1954, Baperki menuntut pemerintah
untuk mengubah RUU ini. Ia juga menuntut syarat-syarat yang
mengharuskan penduduk yang ingin menjadi WNI untuk pergi ke
kantor kehakiman dengan membawa bukti-bukti tempat kelahiran
ayahnya, dicabut sama sekali. Disamping itu, Baperki juga menuntut
pemerintah untuk memberi kesempatan pada orang-orang yang
pada tanggal 27 Desember 1951 telah menolak kewarganegaraan
Indonesia, untuk mempertimbangkan kembali keputusannya itu,
sehingga mereka bisa menjadi WNI2.
Perkembangan politik ketika itu memang ganjil dan
membingungkan. Siauw yang dekat dengan Perdana Menteri Ali,
dengan sendirinya mendukung berbagai kebijakan politik kabinet
Ali. Di dalam kabinet, seperti yang dituturkan sebelumnya terdapat
beberapa anggota fraksi Nasional progresif yang ia pimpin. Juga di
dalamnya terdapat dua menteri Tionghoa, Ong Eng Die - Menteri
Keuangan dan Lie Kiat Teng - Menteri Kesehatan.
Yang menjadi Menteri Kehakiman pada waktu itu adalah
Djody Gondokusumo, dari PRN yang selain menjadi anggota dari
Fraksi Nasional Progresif, juga kawan dekat Siauw yang sering
mengunjungi rumahnya. Menteri Luar Negeri pada waktu itu
adalah Sunario dari PNI, yang menjadi otak dan motor RUU
kewarganegaraan ini. Walaupun jelas bahwa Sunario dan Siauw
bertentangan pendapat tentang masalah kewarganegaraan dan
2
Berita Baperki, October-November 1954
249
Siauw Giok Tjhan
perdebatan yang dilakukan di parlemen diantaranya sangat sengit,
Sunario ternyata juga sering berada di rumah Siauw3.
Yang mengherankan, walaupun Djody mengetahui posisi Siauw
tentang RUU ini, ia-lah yang menandatangani RUU ini dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Kehakiman. Akan tetapi, Siauw tidak
pernah menyatakan RUU ini sebagai dokumen yang dikelola oleh
Djody. Tekanan PNI , yang diwakili oleh Iskaq dan Sunario di dalam
kabinet mungkin terlalu besar untuk ditentang oleh Djody, sehingga
ia terpaksa meresmikan RUU ini.
Di dalam perdebatan di parlemen tentang RUU ini, Siauw
memainkan peranan yang paling dominant. Ia beruntung karena
mendapat dukungan dari fraksi-nya, Fraksi Nasional Progresif dan
PKI. Argumentasi-nya juga didukung oleh Masjumi, PSI, Partai
Katolik dan Parkindo, yang menjadi partai-partai oposisi. Tentunya
dukungan mereka tidak semata-mata membela posisi Siauw,
melainkan untuk memperlemah posisi kabinet Ali.
Atas desakan dan pertanyaan-pertanyaan Siauw di DPR, Djody
pada akhirnya menyatakan bahwa ia bersedia mempertimbangkan
perubahan-perubahan yang diajukan oleh Siauw dan para oposan
lainnya, terutama yang berhubungan dengan diperlukannya buktibukti tempat kelahiran. Ia juga menyatakan bahwa RUU ini bisa saja
diubah isinya untuk kemudian diperdebatkan kembali4.
Karena tentangan terhadap RUU ini besar, akhirnya pada
bulan November 1954, pemerintah memutuskan untuk menarik
RUU ini dari perdebatan di parlemen dan menyatakan bahwa isu
kewarganegaraan akan dibicarakan pada lain kesempatan.
Setelah perdebatan ini dihentikan di parlemen, Djody yang
jelas dipengaruhi oleh Siauw, mengubah pandangannya. Mulai
awal 1955, Djody mulai sering berbicara di berbagai pertemuan
yang diselenggarakan oleh Baperki di Semarang, Surabaya,
3
4
Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Tan Hwie Kiat, De-
sember 1993
Sin Po, 1 November 1954
250
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
Malang, Yogyakarta and beberapa kota lainnya di luar Jawa.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, Djody menyatakan bahwa ia
mendukung pandangan Baperki tentang kewarganegaraan. Oleh
karenanya ia menyatakan bahwa semua penduduk Indonesia
yang lahir di Indonesia dan yang tidak menolak kewarganegaraan
Indonesia adalah WNI. Walaupun ia tidak berjanji bahwa UU
kewarganegaraan yang baru akan tetap mengandung prinsip pasif
seperti yang terkandung di dalam UU Kewarganegaraan 1946 dan
Ketetapan KMB, ia menyatakan bahwa ia mendukung prinsip pasif5.
Ini merupakan kemenangan politik yang berarti bagi Siauw.
Surat Bukti Kewarganegaraan
Ketika RUU kewarganegaraan ini diperdebatkan, masyarakat
Tionghoa juga menghadapi tekanan birokrasi dalam bentuk
peraturan yang menuntut masyarakat Tionghoa yang seharusnya
sudah menjadi WNI untuk membuktikan kewarganegaraannya.
Dokumen yang diperlukan oleh peraturan yang dikeluarkan
pada pertengahan tahun 1954 ini dinamakan STKI (Surat Tanda
Kewarganegaraan Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Kartu
Kuning.
Peraturan tentang pembuktian kewarganegaraan ini dikeluarkan
oleh UPBA (Urusan Peranakan dan Bangsa Asing) yang dibentuk
pada awal 1954 dan merupakan bagian Kementerian Dalam Negeri.
Pada bulan Mei 1954, UPBA mengeluarkan peraturan yang
mengharuskan semua WNI keturunan asing untuk memiliki STKI.
Kepala UPBA, Oetojo, juga menulis pada semua kantor cabang
Departemen Dalam Negeri untuk menyatakan bahwa semua WNI
keturunan asing hanya bisa memilih di pemilu bilamana mereka
memiliki STKI6.
5
6
Berita Baperki, 26 February 1955. Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan Tan Hwie Kiat
Berita Baperki, 26 June 1954
251
Siauw Giok Tjhan
Siauw segera menentang peraturan ini. Ia menyatakan bahwa
UPBA tidak memiliki kekuasaan sah untuk mengeluarkan peraturan
yang berhubungan dengan kewarganegaraan. Kehadiran UPBA dan
STKI-nya, menurut Siauw merupakan pelanggaran UU yang berlaku.
Atas desakan Siauw, Djody sebagai menteri kehakiman juga menulis
surat resmi ke Menteri Dalam Negeri untuk menyatakan bahwa
tindakan UPBA melanggar hukum. Ia-pun menyatakan dengan tegas
di dalam DPR bahwa WNI keturunan asing tidak diwajibkan untuk
memiliki STKI untuk membuktikan kewarganegaraan Indonesianya7.
Akan tetapi sistem STKI tetap dilaksanakan di berbagai kantor
pemerintah. Walaupun Oetojo, akhirnya menyatakan bahwa
STKI bukan merupakan surat yang harus dimiliki oleh setiap WNI
keturunan asing, akan tetapi ia tetap menganjurkan agar setiap
WNI untuk memiliki STKI8.
Pernyataan ini ternyata mendorong berbagai instansi pemerintah
untuk menggunakan STKI sebagai sarana untuk menambah
penghasilan melalui proses pemerasan, korupsi dan ongkos-ongkos
administrasi lainnya. Orang-orang Tionghoa diharuskan memiliki
STKI sebelum ia memperoleh passport, untuk mendaftarkan anakanaknya di sekolah, untuk memperoleh berbagai izin kerja dan
dagang dan meminjam uang dari Bank. Bilamana mereka tidak
memiliki STKI, mereka akan diperlakukan sebagai orang asing9.
Perkembangan ini mendorong Siauw menuntut pemerintah
untuk menyatakan bahwa tidak ada orang yang perlu memperoleh
STKI untuk kehidupan sehari-hari. Siauw berpendapat bahwa
sekali orang menjadi WNI, ia tetap WNI sampai ia menanggalkan
kewarganegaraannya. Oleh karena itu, SKTI tidak diperlukan.
Siauw juga menuntut dibubarkannya UPBA dan dibentuknya sebuah
badan yang terdiri dari wakil-wakil minoritas serta wakil-wakil
7
8
9
Risalah Parlemen 1954
Keng Po, 5 July 1954
Berita Baperki, 26 July 1954
252
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
kementerian kehakiman, keuangan dan dalam negeri. Panitia ini,
menurut Siauw harus ditugaskan bukan untuk mempertanyakan
kewarganegaraan penduduk yang sudah menjadi WNI, melainkan
untuk menangani dan mencari jalan keluar berbagai masalah
minoritas.
Protes-protes Siauw tentang STKI memperoleh beberapa reaksi
positif berbagai tokoh politik. Pada bulan Juli 1954, Menteri
Dalam Negeri, Hazairin dari PIR, menyatakan di dalam parlemen
bahwa penduduk yang sudah menjadi WNI tidak diwajibkan untuk
memperoleh STKI. Ia juga menegaskan bahwa STKI bukanlah syarat
kewarganegaraan Indonesia10.
Banyak penyalah-gunaan STKI dibatasi setelah protes keras dari
Baperki. Pemerintah pusat mengeluarkan instruksi-instruksi ke
pemerintah daerah yang melarang adanya pendaftaran penduduk
sebagai warga negara asing bilamana mereka tidak memiliki
STKI atau tidak bersedia melamar untuk mendapatkan STKI.
Juga ditegaskan dalam berbagai instruksi itu bahwa STKI tidak
diperlukan untuk membuktikan kewarganegaraan seseorang.
Akhirnya Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Dekrit Menteri
yang menyatakan bahwa mulai tanggal 1 Maret 1956, STKI tidak
lagi dikeluarkan oleh pemerintah11. Akan tetapi, banyak instansi
pemerintah tidak menghiraukan instruksi menteri ini dan tetap
memaksakan penduduk Tionghoa untuk memiliki STKI sebelum
mereka memperoleh berbagai macam izin.
Setelah STKI tidak lagi bisa diperoleh, orang-orang Tionghoa
yang berusaha untuk mendapatkan berbagai macam izin mengalami
kesulitan. Keadaan ini menyuburkan praktek-praktek korupsi.
Keberhasilan Baperki dalam menghapuskan STKI ternyata
disusul dengan keluarnya peraturan dari pihak ABRI yang mulai
berkuasa di Indonesia setelah keadaan darurat disahkan pada tahun
1957. Peraturan yang berhubungan dengan kewarganegaraan
10
11
Berita Baperki, Oktober-November 1954
Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 81
253
Siauw Giok Tjhan
ini dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada
tanggal 4 Juni 1957. Menurut peraturan baru ini, setiap orang yang
memerlukan bukti atas kewarganegaraannya harus memperoleh
bukti itu dari pengadilan12.
Tarif untuk mendapatkan surat keterangan pengadilan ini
ternyata relatif tinggi dan memberatkan banyak orang Tionghoa.
Siauw dengan keras mengkritik tindakan pemerintah dan menuntut
diturunkannya tarif ini. Di dalam pertemuan Perdana Menteri
Djuanda dan Siauw yang dilaporkan oleh Sin Po dan Keng Po pada
bulan Juli 1957, Djuanda berjanji untuk meninjau tarif yang telah
ditentukan13.
Siauw juga menuntut agar surat keterangan kewarganegaraan
ini hanya diperlukan bilamana memang ada keperluan yang
tertentu. Jadi penduduk Tionghoa tidak dipaksa memperolehnya
untuk kehidupan dan perdagangan sehari-hari.
Pada bulan Oktober 1957, peraturan ini diubah isinya dan
perubahannya memang seirama dengan tuntutan Siauw Giok Tjhan.
Dinyatakan dalam peraturan baru ini bahwa surat keterangan
ini hanya dibutuhkan pada waktu instansi pemerintah harus
menentukan apakah seseorang itu WNI atau WNA (Warga Negara
Asing) dalam memberikan izin-izin yang hanya berlaku untuk WNI.
Jadi tidak diperlukan untuk masuk sekolah atau mendapatkan
surat pengemudi mobil14.
Pada bulan Maret 1958, tarif untuk surat keterangan
kewarganegaraan diturunkan dari Rp 100.000 ke Rp. 600015.
Masalah Dwi-Kewarganegaraan
UU Kewarganegaraan RRT berdasarkan Jus Sanguinis, yang
berarti setiap anak warga negara Tiongkok, di manapun ia lahir,
12
Ibid, p 82
13
Ibid, p 83
14
Ibid, p 84
15
Ibid, p 84
254
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
adalah warga negara Tiongkok.
Munculnya RRT sebagai sebuah kekuatan yang berarti di dalam
dunia internasional telah membuat para negara di kawasan Asia
Tenggara yang memiliki banyak penduduk Tionghoa khawatir
akan pengaruh Tiongkok dalam perkembangan politik di dalam
negerinya. Di Indonesia, kekhawatiran ini digabungkan dengan
masalah kekuatan ekonomi golongan Tionghoa.
Oleh karena ini, negara-negara Asia Tenggara mulai mengajukan
usul untuk menyelesaikan perjanjian antara negaranya dengan RRT
untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan. Pemerintah
Indonesia pada tahun 1954 berpendapat bahwa mereka tidak
menginginkan adanya dwi-kewarganegaraan di Indonesia. Jadi,
orang Tionghoa di Indonesia harus memilih, menjadi WNI atau
menjadi warga negara Tiongkok. Dalam hal ini, Siauw mendukung
posisi pemerintah Indonesia. Posisi demikian ternyata juga
mendapat dukungan kuat dari para partai politik di parlemen.
Pada bulan September 1954, Chou En Lai menyatakan di
hadapan Kongres Rakyat Tiongkok bahwa pemerintah RRT siap
untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan masyarakat
Tionghoa yang menetap di negara-negara Asia Tenggara.
Dinyatakan juga bahwa pemerintah RRT akan menghormati UU
kewarganegaraan yang berlaku di negara-negara itu16.
Rupanya Perdana Menteri India, Nehru memainkan peranan
penting dalam mendorong RRT untuk bersikap demikian. Dalam
tahun yang sama, pemerintah India telah menyatakan bahwa para
keturunan India yang menetap di luar India tidak lagi memiliki
dwi-kewarganegaraan17.
Pembicaraan awal antar RI dan RRT dimulai pada tanggal 2
November 1954 di Beijing. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Sukardjo Wirjopranoto, dari kementerian luar negeri. Di dalamnya
terdapat Duta Besar Arnold Mononutu, Tajib Napis dari Kementerian
16
17
Willmott, The National Status of The Chinese In Indonesia, pp 44-45
Ibid p 45
255
Siauw Giok Tjhan
Kehakiman dan Suhardjo, seorang pengacara. Delegasi Tiongkok
dipimpin oleh Chang Han Fu, Wakil Menteri Luar Negeri, Duta
Besar Huang Chen, dan Konsul Jendral Chao Chung Shi18.
Pembicaraan ini berakhir pada tanggal 23 Desember 1954.
Walaupun isi pembicaraan tidak pernah diumumkan, tetapi pada
umumnya orang berkesimpulan bahwa pemerintah RRT telah
menyatakan kesediaannya untuk menerima sebanyak mungkin
penduduk Tionghoa di Indonesia sebagai warga negaranya. Sikap
ini diambil oleh pihak Tiongkok karena penduduk Tionghoa di
Indonesia, terutama yang totok, memang merasa lebih baik untuk
menjadi warga negara Tiongkok.
Dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan antara Huang
Chen dengan pimpinan Chung Hua Chiao Chung Hui Tuan (Federasi
Perkumpulan-Perkumpulan Tionghoa), organisasi totok yang
berkiblat ke RRT, Huang Chen didesak untuk melindungi posisi
penduduk Tionghoa di Indonesia dengan menjadikan sebanyak
mungkin dari mereka warga negara Tiongkok. Sikap demikian
timbul karena penduduk totok berpendapat bahwa sebagai
warga negara Tiongkok di Indonesia, mereka akan memperoleh
perlindungan yang berarti bilamana pemerintah RI melakukan
tindakan-tindakan yang menekan mereka19.
Pada waktu kedua delegasi ini bertemu kembali pada awal 1955,
yang disetujui adalah penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan
dengan prinsip aktif, jadi penduduk Tionghoa diharuskan memilih
kembali kewarganegaraannya dan mengeluarkan bukti-bukti
sesuai dengan UU kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia20.
Perundingan ini menghasilkan dokumen yang dinamakan
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan yang dipercepat penyelesaiannya
supaya ia bisa ditanda tangani oleh Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo
18
19
20
Berita Baperki, 26 February 1955.
Wawancara dengan Go Gak Cho, Hongkong, Januari 1989.
Willmott, The National Status of The Chinese in Indonesia, pp 46-47
256
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
pada waktu konperensi Asia Afrika pertama diselenggarakan pada
bulan April 1955 di Bandung.
Perjanjian ini ternyata mirip dengan RUU kewarganegaraan
yang telah berulang kali diperdebatkan di parlemen dan yang telah
ditarik oleh Kabinet Ali karena protes yang diluncurkan oleh Siauw
Giok Tjhan. Jadi Perjanjian ini membatalkan kewarganegaraan
Indonesia dari hampir semua penduduk Tionghoa yang telah
menjadi WNI berdasarkan UU Kewarganegaraan 1946 dan
Ketetapan KMB 1949. Juga ditetapkan bahwa semua orang yang
telah menolak kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1951, akan
tetap diperlakukan sebagai warga negara Tiongkok. Setiap orang
yang lahir di Tiongkok dan tidak pernah menjadi kaula Belanda
juga diperlakukan sebagai warga negara Tiongkok.
Beberapa butir penting yang terkandung di dalam Perjanjian ini
adalah:
1.
Setiap orang dewasa yang memiliki dwikewarganegaraan diberi waktu dua tahun untuk
memilih kewarganegaraannya. Mereka diharuskan untuk
menghadap kantor yang berkepentingan untuk menyatakan
kewarganegaraan apa yang ia pilih.
2.
Mereka yang tidak memenuhi persyaratan di atas,
otomatis memiliki kewarganegaraan ayahnya.
3.
Setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun
memiliki kewarganegaraan ayahnya.
4.
Setiap anak yang ayahnya warga negara asing dengan
sendirinya menjadi warga negara asing pada waktu ia berumur
18 tahun.
Perjanjian ini merupakan sebuah kemenangan yang gemilang
bagi tokoh-tokoh yang menginginkan diperkecilnya jumlah
penduduk Tionghoa yang menjadi WNI.
PNI dengan cepat mendukung Perjanjian ini. Berita Minggu yang
diterbitkan oleh orang-orang PNI mendukung isi Perjanjian ini
karena menurutnya, kewarganegaraan Indonesia seyogyanya tidak
diobral ke penduduk Tionghoa dan Perjanjian ini bisa dijadikan alat
257
Siauw Giok Tjhan
untuk mengubah struktur ekonomi di perdesaan, yang menurut
PNI, dikuasai oleh orang-orang Tionghoa21.
PKI juga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 17 Mei 1955,
mendukung isi Perjanjian ini. Walaupun partai ini mendukung
prinsip pasif, kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah
dwi-kewarganegaraan telah mendorongnya untuk membenarkan
prinsip aktif yang terkandung di dalam Perjanjian yang telah
ditanda tangani oleh Chou En Lai dan Sunario22.
Untuk Siauw, Perjanjian ini merupakan tamparan di mukanya.
Memang dengan para pemimpin Chiao Chung, Siauw telah berulang
kali mengadakan pembicaraan. Dalam pembicaraan-pembicaraan
itu, Siauw selalu menekankan bahwa penduduk Tionghoa yang
sudah bergenerasi di Indonesia seharusnya menjadi WNI dan
menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Pihak Chiao Chung
pecah. Ada yang menyetujui dan ada yang menentang pendapat
Siauw. Walaupun pada umumnya mereka selalu menghargai
Siauw sebagai tokoh yang telah banyak membela kepentingan
mereka, sebagian besar pimpinan Chiao Chung bersikeras untuk
mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok-nya.
Akan tetapi Siauw tetap bertekad untuk menentang arus ini.
Ia segera menyuarakan kekecewaan dan kritikan terhadap isi
Perjanjian ini. Menurut Siauw23:”...Masalah Dwi-Kewarganegaraan
di Indonesia dijadikan masalah besar karena ia dikaitkan
dengan ukuran loyalitas seseorang terhadap RI. Memiliki DwiKewarganegaraan otomatis diartikan memiliki loyalitas ganda. Jadi
orang-orang yang berada di dalam kategori ini dianggap sebagai
orang-orang yang bersifat oportunistis. Persepsi ini jelas salah.
Baperki kecewa dengan isi Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan
karena:
1. Didalam Perjanjian ini terkandung pasal-pasal RUU
Kewarganegaraan yang menciptakan kebingungan dan kekacauan
21
22
23
Berita Baperki, 26 May 1955
Harian Rakyat, 17 may 1955
Pidato Siauw, May 1955.
258
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
tentang definisi siapa sebenarnya golongan yang telah menjadi
WNI dan siapa yang memiliki dwi-kewarganegaraan. Disamping
itu, syarat-syarat yang terkandung di dalam Perjanjian ini belum
diterima oleh parlemen yang telah berulang kali menentang
disahkannya RUU Kewarganegaraan.
2. Perjanjian ini tidak menyelesaikan masalah DwiKewarganegaraan, karena seorang wanita yang WNI bisa tetap
mempertahankan kewarganegaraannya, walaupun ia menikah
dengan seorang lelaki yang berkewarganegaraan asing. Jadi di
dalam keluarga tetap terdapat kewarganegaraan ganda. Dengan
demikian, Indonesia akan selamanya memiliki masalah dwikewarganegaraan.
3. Perjanjian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah
WNI keturunan Tionghoa. Jadi, ia menggantikan prinsip Jus
Soli dengan Jus Sanguinis. Dengan demikian di Indonesia akan
terdapat sebuah golongan besar yang senantiasa menjadi warga
negara asing walaupun mereka sudah menetap di Indonesia
bergenerasi.
4. Perjanjian ini membatalkan status hukum banyak
orang yang telah menjadi WNI di dalam periode 1946-1948 dan
1949-1951”.
Untuk memperjelas siapa yang berada dalam kategori kelompok
yang memiliki dwi-kewarganegaraan, Siauw menyuarakan
definisinya:
1.
Mereka yang menyatakan bahwa mereka memiliki
Dwi-Kewarganegaraan.
2.
Mereka yang memiliki dua passport dalam bepergian
ke luar negeri, passport Indonesia dan passport Tiongkok.
3.
Mereka yang belum mencapai umur 18 sebelum
periode 27 Desember 1949-27 Desember 1951 dan yang orang
tuanya telah menolak kewarganegaraan Indonesia dalam
periode yang sama.
Siauw mendorong pemerintah untuk menganggap orang yang
tidak di dalam definisinya sebagai WNI. Siauw juga menuntut
259
Siauw Giok Tjhan
pemerintah untuk menganggap semua prang yang pernah memilih
dalam pemilu, pegawai negeri, bekas menteri-menteri, anggota
parlemen dan pegawai negeri sebagai WNI.
Ternyata Siauw tidak sendirian. Selain didukung oleh para
anggota Fraksi Nasional Progresif, ia juga didukung oleh berbagai
tokoh politik lainnya baik di dalam parlemen maupun berbagai surat
kabar. Partai-partai oposisi seperti Masjumi, PSI, Partai Katolik dan
Parkindo juga menyatakan tentangannya terhadap Perjanjian ini24.
Chou En Lai ternyata terkejut mendengar Siauw Giok Tjhan. Zhu
Yi, staf kementerian luar negeri Tiongkok menyatakan ke Chou
bahwa bilamana perjanjian ini ditolak oleh Siauw, ia tidak akan
diratifikasi di parlemen. Zhu Yi, yang akhli tentang politik Indonesia,
sudah cukup lama memperhatikan gerak-gerik politik Siauw.
Chou meminta Huang Chen untuk mengundang Siauw untuk
membicarakan aspek-aspek Perjanjian yang ditentang oleh Siauw.
Pertemuan ini diadakan di kantor Kedutaan Besar Tiongkok di
Jakarta pada akhir April 1955. Chou dan Siauw berbicara dari pukul
11 malam sampai pukul 4 pagi25. Pertemuan yang juga disetujui
oleh Perdana Menteri Ali ini ternyata mengubah pandangan Chou
En Lai dan membuatnya menyesal atas tindakannya dalam menanda
tangani Perjanjian itu.
Siauw berhasil meyakinkan Chou bahwa staff-nya dan Menteri
Luar Negeri Sunario telah memberi informasi yang salah padanya.
Perjanjian ini, menurut Siauw akan merugikan ratusan ribu
orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, karena mereka akan
kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya. Menurut Siauw, ini
akan menyulitkan mereka dalam berdagang, mendapat pendidikan
dan berbagai fase kehidupan sehari-hari. Siauw juga menuturkan
latar belakang politik kelompok yang dipimpin oleh Sunario dan
Iskaq dalam mempersiapkan naskah Perjanjian yang sudah ditanda
24
25
Ibid, pp 49-50
Wawancara dengan Go Gak Cho, pada waktu itu Sek Jen dari Chung Hoa Chiao Chung Hui Tuan, yang berfungsi sebagai penterjemah dalam pertemuan Chou-Siauw itu.
260
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
tangani itu, yaitu mengganti pedagang-pedagang Tionghoa dengan
pedagang-pedagang “asli” tanpa memperdulikan dampak terhadap
kemakmuran dan kelancaran ekonomi nasional.
Juga berhasil diyakinkan Siauw bahwa jalan keluar jangka
panjang bagi penduduk Tionghoa di Indonesia adalah menjadi WNI
karena mereka lahir, dibesarkan dan akan dikubur di Indonesia.
Tiongkok bukanlah tempat mereka, demikian ujar Siauw pada
Chou.
Berdasarkan penguraian ini, Siauw juga berhasil meyakinkan
Chou untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam
Perjanjian dengan mengeluarkan Exchange of Notes, sehingga
dampak Perjanjian ini bisa dibatasi26.
Chou ternyata menerima semua uraian Siauw dan memarahi
Duta Besar Huang Chen dan staf-nya yang selama itu terlibat
dalam berbagai pembicaraan dengan pihak pemerintah Indonesia.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa untuk selanjutnya, mereka
harus berkonsultasi dengan Siauw sebelum menyimpulkan posisi
RRT tentang kewarganegaraan27.
Siauw dengan cepat menyiapkan dokumen yang akan dinamakan
Exchange of Notes dan menyerahkan draft-nya ke Perdana Menteri
Ali, yang mendukung isinya. Akan tetapi, di kabinet, perubahan ini
tidak begitu saja diterima oleh tokoh-tokoh PNI, terutama Sunario.
Perdana Menteri Ali mengunjungi RRT pada awal bulan Juni
1955. Di dalam pertemuannya dengan Chou, dibicarakan juga
masalah Dwi-Kewarganegaraan. Kedua belah pihak menyetujui
untuk mengubah isi Perjanjian yang sudah ditanda tangani ini
dengan mengeluarkan Exchange of Notes28. Pada tanggal 3 Juni
1955, Chou En Lai mengirim surat resmi ke Ali. Surat itu yang
kemudian menjadi dasar dari Exchange of Notes mengikut sertakan
pandangan-pandangan Siauw, termasuk:29.
26
27
28
29
Wawancara dengan Go Gak Cho, Go Gien Tjwan dan Zhu Yi, pada waktu itu staf kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Wawancara dengan Zhu Yi
Wawancara dengan Zhu Yi, Oktober 1994
Wawancara dengan Zhu Yi.
261
Siauw Giok Tjhan
1.
Kedua pemerintah menyetujui adanya sebagian
penduduk Tionghoa di Indonesia yang telah diakui secara sah
sebagai WNI. Kelompok ini akan tetap diperlakukan sebagai
WNI dan tidak berada dalam kategori kelompok orang yang
memiliki Dwi-Kewarganegaraan. Oleh karenanya mereka tidak
perlu melalui proses yang terkandung di dalam Perjanjian Dwi
Kewarganegaraan.
2.
Setelah orang-orang yang bersangkutan memilih
kewarganegaraannya, mereka tidak perlu lagi
memilih
kewarganegaraannya di lain waktu, walaupun Perjanjian ini
habis waktunya.
3.
Status hukum orang-orang yang bersangkutan
selama periode dua tahun tetap diakui, yaitu memiliki dwikewarganegaraan. Pilihan harus diambil sebelum periode dua
tahun ini habis.
Ali menjawab bahwa syarat-syarat yang diajukan oleh Chou
bisa diterimanya. Berdasarkan jawaban ini, dokumen Exchange of
Notes dipersiapkan. Pada tanggal 7 Juni 1955, Perdana Menteri Ali
melaporkan hasil pembicaraannya dengan Chou di parlemen30.
Siauw tentunya gembira dengan hasil yang dicapai. Tetapi ia
menyayangkan kurangnya dipertegas definisi siapa yang dianggap
telah menjadi WNI. Di dalam wawancara pers yang ia berikan,
Siauw menyatakan bahwa semua penduduk Tionghoa yang bekerja
sebagai pedagang kecil, buruh dan petani harus dianggap sebagai
WNI dan tidak harus melalui proses penentuan kewarganegaraan
lagi.
Menurut Siauw, semua anggota parlemen, kabinet dan para
anggota berbagai partai politik dan organisasi massa adalah WNI31.
Pada waktu Siauw siap untuk mendorong diratifikasi-nya
30
31
Mary Somers, Questions Concerning The Chinese In Indonesia Since The Chou-Sunario Treaty, April 4, 1960
Willmott, The National Status of The Chinese in Indonesia, p56
262
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dengan Exchange of Notes-nya
ini, kabinet Ali jatuh pada bulan Juli 1955. Perjanjian ini tidak
pernah diganggu gugat oleh kabinet Burhanuddin Harahap yang
menggantikannya. Juga ketika kabinet Ali yang ke dua terbentuk,
masalah ini tidak diselesaikan.
Pada tanggal 5 Desember 1957, Siauw Giok Tjhan dan 13
anggota parlemen yang mewakili PNI, PKI, Baperki, NU, Masyumi
and Partai Katolik, mengajukan petisi pada pemerintah sambil
menuntut semua orang yang telah ikut dalam pemilu dibebaskan
dari pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. Menteri luar
negeri Subandrio dalam kabinet Djuanda dalam menjawab petisi
itu memastikan bahwa usul Siauw itu diterima. Pada tanggal 17
Desember 1957, Perjanjian itu akhirnya diratifikasi32. Pada tanggal
30 December 1957, Kongres RRT-pun meratifikasi Perjanjian ini.
Akan tetapi, Siauw mengalami masalah lagi. Perdana Menteri
Djuanda ternyata menolak definisi yang dianjurkan oleh Siauw,
yang sebelumnya sudah diterima oleh Meneteri Luar Negeri
Subandrio yaitu semua orang yang pernah ikut pemilu tidak perlu
melalui proses memilih kewarganegaraannya lagi.
Atas desakan Siauw, pada bulan Januari 1958, Djuanda akhirnya
menyatakan bahwa ia akan mempertimbangkan permintaan Siauw.
Pada tanggal 20 Januari 1960, dua tahun setelah Perjanjian DwiKewarganegaraan dengan Exchange of Notes-nya itu diratifikasi,
semua orang yang ikut memilih dalam pemilu dinyatakan bebas
dari kewajiban memilih kewarganegaraan. Walaupun demikian,
pelaksanaannya tetap tertunda sampai tahun 1962.
UU Kewarganegaraan 1958
Seperti yang diuraikan sebelumnya, ratifikasi Perjanjian DwiKewarganegaraan tertunda karena pergantian kabinet-kabinet.
Juga ditunda karena ada arus di parlemen yang menghendaki
dikeluarkannya UU Kewarganegaraan baru terlebih dahulu.
32
Sin Po, 17 December 1957
263
Siauw Giok Tjhan
Pada bulan November 1957, Kabinet Djuanda mengeluarkan
RUU kewarganegaraan, yang isinya sama dengan apa yang pernah
dirancangkan oleh kabinet Ali dengan perubahan-perubahan yang
diajukan oleh Siauw Giok Tjhan.
Siauw dengan gigih memperdebatkan RUU ini. Pada akhirnya
dicapailah sebuah kompromi, antara mereka yang menginginkan
sebuah UU Kewarganegaraan yang membatasi jumlah orang
Tionghoa menjadi warga negara dan mereka yang diwakili oleh
Siauw. Kompromi ini menmbuahkan sebuah RUU yang bisa diterima
oleh Siauw dan para pendukungnya di parlemen.
RUU ini secara garis besar menyatakan:
Semua orang yang sudah menjadi WNI berdasarkan UU
dan peraturan yang disahkan sejak 17 Agustus 1945 akan
tetap diperlakukan sebagai WNI. Kebutuhan untuk memilih
kewarganegaraan secara aktif hanya berlaku untuk orang-orang
yang berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dikategorikan
sebagai orang-orang yang memiliki dwi-kewarganegaraan.
1. Semua
Peranakan yang telah menjadi WNI
berdasarkan UU kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB
1949, tetap diperlakukan sebagai WNI.
2. Berlaku prinsip Jus-soli dengan dua generasi. Seorang
asing yang lahir dan menetap di Indonesia bisa memohon untuk
menjadi WNI bilamana ayahnya juga lahir di Indonesia dan telah
menanggalkan kewarganegaraan lamanya.
UU Kewarganegaraan ini akhirnya dikeluarkan pada tanggal 1
Juli 1958. Walaupun Siauw tetap menyesalkan dirubahnya prinsip
pasif menjadi prinsip aktif, ia terpaksa menerimanya. Kemenangan
yang paling penting untuk-nya adalah adanya ketentuan yang
mempertegas bahwa mereka yang sudah menjadi warga negara
Indonesia berdasarkan UU yang berlaku sebelum UU baru ini, tetapi
diperlakukan sebagai WNI.
264
Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan
Perjuangan Siauw untuk menjamin posisi hukum penduduk
Tionghoa di Indonesia memang kurang dirasakan kebergunaannya
pada tahun 50-an. Akan tetapi, ini menjadi hal yang penting bagi
penduduk Tionghoa di Indonesia setelah tahun 60-an.
265
Siauw Giok Tjhan
Dengan Go Gak Cho, tokoh Chiao Chung, Jakarta, 1956
Dalam sebuah acara Baperki - 1956
266
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
BAB 10
TRANSISI KE DEMOKRASI TERPIMPIN
Sebagai seorang yang menjunjung tinggi demokrasi, Siauw
sebenarnya mengharap bahwa pemilu 1955 akan membawa
Indonesia ke fase demokrasi yang baru, di mana kestabilan politik
bisa dicapai dan undang-undang dasar baru bisa diwujudkan. Ia
juga berharap UU yang berhubungan dengan kewarganegaraan
dan pelaksanaan ekonomi nasional dapat diratifikasi dengan cepat,
sehingga posisi hukum orang-orang Tionghoa di Indonesia lebih
terjamin.
Akan tetapi, seperti banyak politikus lainnya, Siauw menjadi
kecewa dengan perkembangan politik setelah pemilu. Pada
tahun 1957, Keadaan Darurat diumumkan dan penguasa militer
memainkan peranan penting dalam kancah politik, bahkan
dalam banyak hal, mereka lebih dominan dari pemerintah sipil
yang dipimpin oleh Djuanda. Perkembangan situasi ini akhirnya
mematikan sistem demokrasi parlementer pada tahun 1959.
Antara tahun 1956 dan 1959, Siauw, seperti banyak anggota
parlemen dan Konstituante lainnya, giat memperdebatkan bentuk
demokrasi yang harus dianut oleh RI. Karena Siauw menjadi
frustrasi dengan ketidak stabilan politik yang menyebabkan
seringnya kabinet berjatuhan yang berakibat terundurnya
penyelesaian UU, Siauw menjadi salah satu politikus pertama yang
mendukung gagasan Presiden Soekarno untuk mengubah sistem
demokrasi Indonesia.
Siauw mainkan dalam masa transisi ke Demokrasi Terpimpin,
terutama dalam perdebatan berbagai pasal yang seharusnya
dimasukkan ke dalam UUD baru.
Masa Pergantian Politik (1956-1958)
Banyak orang berharapan besar bahwa pemilu 1955 akan
menyelesaikan banyak persoalan. Mereka mengira bahwa stabilitas
267
Siauw Giok Tjhan
politik bisa direalisasi dan sistem pemerintahan akan berjalan
dengan lebih baik.
Akan tetapi perkembangan politik setelah pemilu mengecewakan
banyak orang. Keempat partai besar, PNI, Masjumi, NU dan PKI
tetap mempunyai program politik yang berbeda-beda sehingga
sulit untuk dipersatukan. Ini menyebabkan kabinet Ali yang ke dua,
yang terdiri dari orang-orang PNI, Masjumi dan NU, tetap tidak
efektif dalam menjalankan pemerintahannya.
Disamping itu, berbagai peristiwa politik yang terjadi tidak
lama setelah pemilu turut mengganggu kestabilan politik. Dimulai
percobaan kudeta yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis pada
tahun 1956. Kemudian terjadinya penyelundupan besar-besaran
yang dilakukan oleh para komandan militer yang berkuasa di
Sulawesi Utara dan Sumatra yang lalu menyebabkan digantinya
komandan-komandan militer dari Jawa itu dengan komandankomandan yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Persitiwaperistiwa ini lalu mendesak jatuhnya kabinet Ali pada bulan Maret
1957.
Jurang pemisah antara Masjumi yang didukung oleh PSI,
Parkindo dan Partai Katolik dengan PNI yang didukung oleh
PKI dan NU semakin besar setelah pemilu. Secara kebetulan,
perbedaan kedua blok politik ini juga berhubungan dengan dari
mana para pimpinannya dan pendukungnya berasal. Pimpinan
dan pendukung blok Masjumi pada umumnya berasal dari luar
Jawa, sedangkan blok PNI berasal dari Jawa. Hasil pemilihan umum
memperkuat analisa ini. PNI, NU dan PKI mempunyai hasil yang
besar di pulau Jawa. Disamping itu, kedua blok ini juga memiliki
pelindung-pelindung utama yang berbeda. Blok Masjumi menjagoi
Hatta sedangkan blok PNI menjagoi Soekarno.
Jurang pemisah ini juga didasari atas faktor ekonomi. Pulaupulau di luar Jawa memiliki sarana besar untuk menghasilkan
bahan-bahan mentah dan pertambangan yang menjadi sumber
dari penghasilan negara. Sedangkan Pulau Jawa yang tidak banyak
menghasilkan hasil bumi, menjadi tempat kekuasaan negara yang
268
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
mengontrol hasil jerih payah penduduk pulau-pulau luar Jawa.
Menjelang akhir tahun 1956, ada tiga kekuatan yang menguasai
politik Indonesia. Kelompok pertama diwakili oleh Masjumi, PSI dan
para komandan militer dari luar Jawa. Mereka inilah yang mendesak
mundurnya Perdana Menteri Ali dan menuntut pemerintah untuk
memberi kekuasaan yang lebih besar pada pemerintah-pemerintah
daerah. Mereka juga menuntut kembalinya Hatta sebagai Perdana
Menteri. Tuntutan-tuntutan yang tidak dihiraukan oleh pemerintah
pusat ini akhirnya menyebabkan dimulainya pemberontakan di
Jawa dan Sumatra pada tahun-tahun 1957 dan 1958.
Kelompok kedua dipimpin oleh Soekarno sendiri. Soekarno
sudah sejak November 1945 tidak langsung memegang peranan
eksekutif dalam pemerintahan. Karena menginginkan keterlibatan
dalam memerintah dan frustrasi melihat tidak berdayanya kabinetkabinet dalam menjalankan tugasnya, Soekarno mengeluarkan
gagasan tentang sistem pemerintahan yang harus dianut oleh RI.
Antara akhir tahun 1956 dan permulaan tahun 1957 Soekarno
sering berbicara tentang kegagalan demokrasi parlementer
dan mulai menganjurkan sistem demokrasi yang ia namakan
Demokrasi Terpimpin. Salah satu aspek penting gagasannya
adalah dibentuknya kabinet yang terdiri dari PNI, Masjumi, NU dan
PKI. PNI dan PKI serta partai-partai nasionalis kecil dan Baperki
mendukung gagasan Soekarno ini.
Kelompok ketiga diwakili oleh Angkatan Darat yang dipimpin
oleh Jendral Nasution. Tuntutan utama kelompok ini adalah
diperbesarnya kekuasaan militer dalam dunia politik. Dengan
tumbuhnya kekuatan kelompok pertama yang didukung oleh
beberapa kekuatan militer daerah, pemerintah dan Soekarno
menjadi lebih tergantung pada keberadaan dan dukungan Nasution.
Apalagi setelah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
- Indonesian Revolutionary Government) didirikan pada bulan
Februari 1958. Pimpinan Angkatan Darat menjadi pengimbang
kekuatan antara Soekarno dan kelompok luar Jawa.
Setelah DPR yang baru ini dilantik pada tahun 1956, Siauw
269
Siauw Giok Tjhan
membentuk kembali Fraksi Nasional Progresif-nya. Kali ini, fraksi
itu terdiri Baperki, Murba, PRN, Permai, Garindo, SKI, Acoma,
Partindo, Mohamad Yamin and Sudjono. Siauw terpilih kembali
sebagai ketua fraksi.
Soekarno membicarakan masalah bentuk pemerintahan yang
baru untuk pertama kalinya pada bulan Oktober 1956, ketika ia baru
kembali dari Tiongkok dan Uni Soviet. Perjalanan ke dua negara
ini, menurutnya telah membuka matanya dan mendorongnya
untuk mengeluarkan gagasan tentang bentuk pemerintahan yang
menurutnya ideal untuk Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 1956, pada hari perayaan Sumpah
Pemuda, ia mengatakan bahwa Demokrasi Parlementer telah
gagal karena di Indonesia terdapat terlalu banyak partai politik
yang tidak bersedia untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan
politik utama. Ia juga menyatakan bahwa impiannya adalah para
pemuda berbagai organisasi itu bermusyawarah untuk mengubur
semua partai politik. Dua hari kemudian, pada acara Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), ia mengulangi seruannya untuk
mengubur partai-partai politik dan di situ ia memperkenalkan
gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin yang ia katakan lebih
tepat untuk Indonesia ketimbang Demokrasi Barat1.
Di dalam pidatonya di Konstituante pada tanggal 10 November
1956, ia berbicara tentang bagaimana pentingnya Indonesia untuk
memiliki UUD yang tepat untuk Indonesia dan memperingatkan
Konstituante bahwa UUD itu tidak boleh dijiplak dari negara lain. Ia
pun berbicara tentang perlunya UUD itu diciptakan sesuai dengan
karakter dan identitas Indonesia2.
Siauw sudah lama frustrasi karena kelambanan proses
merealisasi UU yang ia berhasil perjuangkan di dalam DPR,
terutama yang berhubungan dengan masalah kewarganegaraan.
Sebagai seorang yang mengagumi berbagai keberhasilan RRT dan
1
2
Siauw, Lima Jaman, p 270; Legge, Soekarno, p271, p 279
Legge, Soekarno, p 280
270
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
Uni Soviet -- Siauw sering menulis tentang berbagai keberhasilan
ke dua negara ini di dalam mengembangkan ekonomi sosialisme
dan perindustrian-- ia penuh berharap bahwa sistem pemerintahan
yang Soekarno ingin trapkan di Indonesia, yang ia dasari atas
pengamatannya selama berkunjung di kedua negara itu, akan
mempercepat proses pengesahan UU yang memperbaiki posisi
Indonesia umumnya dan golongan Tionghoa khususnya.
Dalam hal ini, Siauw kelihatannya mulai merasa bahwa lebih
baik Indonesia dipimpin oleh seorang yang populer dan kuat
seperti Soekarno, yang mendukung sosialisme daripada bersandar
pada proses Demokrasi Parlementer yang selama ini gagal dalam
menjamin kestabilan politik. Inilah yang menyebabkan Siauw
menjadi antusias dalam mendukung gagasan Soekarno. Iapun secara langsung diminta oleh Soekarno untuk memberikan
pandangan-pandangannya tentang bentuk Demokrasi yang bisa
dikembangkan di Indonesia3.
Siauw mendukung analisa Soekarno tentang sistem
pemerintahan yang ia amati di Uni Soviet. Di dalam salah satu
pidatonya pada tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa di
dalam negara-negara yang mengenal satu partai politik, proses
perubahan dapat dicapai dengan mudah. Sekali partai tersebut
sudah sepakat untuk melaksanakan perubahan, proses perubahan
bisa segera dimulai. Ia pun tertarik dengan sistem pemerintahan
Uni Soviet yang terdiri dari pemerintah yang dipilih oleh Presidium
yang dipilih oleh Supreme Soviet yang juga dipilih oleh rakyat. Jadi
pemerintah adalah sambungan masyarakatnya4.
Posisi Siauw dalam mendukung gagasan Soekarno ini didukung
oleh Fraksi-nya, Fraksi Nasional Progresif. Akan tetapi, keinginan
untuk menciptakan satu partai ini tentunya ditentang oleh partaipartai besar, termasuk PKI.
Gagasan Soekarno ternyata tidak diformulasikan secara
3
4
Wawancara dengan Oey Hay Djoen dan Oei Tjoe Tat
Ghoshal, Indonesian Politics 1955-59, p96
271
Siauw Giok Tjhan
mendetail, sehingga pada akhir 1956, masyarakat masih belum bisa
membayangkan apa Demokrasi Terpimpin dan bentuk negara apa
yang akan diperkenalkan oleh gagasan Soekarno itu. Konsepnya
baru mulai jelas pada bulan Februari 1957. Pada waktu itu, Soekarno
tidak lagi berbicara tentang penguburan partai-partai politik. Ia
lebih banyak memusatkan pembicaraannya pada pembentukan
kabinet gotong royong di mana semua partai besar, termasuk PKI
diwakili. Disamping itu, ia mencanangkan konsep pembentukan
Dewan Nasional yang berfungsi sebagai badan penasehat dalam
memformulasi berbagai kebijakan negara. Dewan ini, menurut
Soekarno, harus terdiri dari para pemimpin partai-partai politik
dan organisasi massa, serta perwakilan daerah.
Siauw memimpin delegasi Fraksi Nasional Progresif untuk
mengunjungi Soekarno pada tanggal 20 Februari 1957. Di dalam
pertemuan itu, Siauw meyakinkan Soekarno bahwa fraksinya
mendukung gagasan Soekarno dan menganjurkannya untuk
mempercepat perubahan strukturil yang diusulkannya itu5.
Pimpinan PKI ternyata juga menunjukkan dukungan serupa sehari
sebelum Siauw dan delegasinya mengunjungi Soekarno6.
Akhirnya pada tangal 21 Februari 1957, Soekarno
membentangkan konsepnya. Dalam pidato yang dibacakan di
hadapan parlemen, Soekarno menyalahkan demokrasi parlementer
sebagai dasar adanya ketidak stabilan politik dan perpecahan
yang berlangsung selama 11 tahun setelah kemerdekaan. Ia
menekankan bahwa demokrasi barat tidak cocok untuk Indonesia,
yang sangat mementingkan konsep gotong royong dan yang lebih
cenderung menyandarkan kedemokrasia-annya pada proses
permusyawarahan dan permufakatan, dari pada pengambilan
suara. Oleh karenanya, pihak oposisi tidak perlu lagi berada
di dalam sistem demokrasi ala Indonesia. Setiap partai harus
bekerja sama dan mencapai keputusan bersama melalui proses
5
6
Republik, 21 February 1957
Ibid.
272
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
permusyawaratan. Ia lalu memberi partai-partai politik 7 hari
untuk mempertimbangkan gagasannya dan memberi jawaban
resmi ke pemerintah 7.
Dalam beberapa hari saja, partai-partai besar menunjukkan
sikapnya. PNI dan PKI mendukung Konsepsi Soekarno ini. Masjumi
dan NU menentangnya.
Pada tanggal 25 Februari 1957, Baperki juga mengeluarkan
pernyataan mendukung konsep Soekarno. Di dalam pernyataan
yang jelas disiapkan oleh Siauw, Baperki mengemukakan bahwa
demokrasi parlementer membawa empat kegagalan utama:
Pertama, sistem demokrasi parlementer ini gagal mengubah
berbagai undang-undang kolonialisme yang mengandung
rasisme dengan Undang-Undang baru yang menjamin hapusnya
diskriminasi rasial di setiap bidang.
Kedua, sistem demokrasi parlementer gagal melikwidasi
ekonomi kolonial dan gagal mewujudkan ekonomi nasional yang
seharusnya menggunakan dan mengembangkan modal domestik,
baik yang dimiliki oleh WNI atau WNA yang sudah lama menetap
di Indonesia.
Ketiga, sistem ini menimbulkan seringnya terjadi pergantian
kabinet sehingga stabilitas politik tidak pernah tercapai. Setiap
pergantian kabinet diikuti dengan munculnya kelompok-kelompok
pedagang baru disekitar para menteri yang terpaksa mengeluarkan
banyak peraturan-peraturan baru yang menjamin diperkayanya
mereka dan para menteri itu. Keadaan ini, menurut Baperki telah
merusak ekonomi dan kapasitas produksi negara.
Keempat, sistem ini gagal menciptakan UU kewarganegaraan
baru yang baik yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan
masalah kewarganegaraan.
Berdasarkan adanya kegagalan tersebut, Baperki menyatakan
harapannya bahwa sistem yang digagaskan Soekarno bisa menjamin
adanya stabilitas politik yang memperbaik penghidupan golongan
7
Republik, 22 February 1957; Ghoshal, Indonesian Politics 1955-59, pp 80-81
273
Siauw Giok Tjhan
minoritas di Indonesia8.
Akan tetapi perdebatan tentang kabinet Gotong Royong terhenti
dalam waktu singkat. Pada awal bulan Maret 1957, Komandan
Daerah Indonesia Timur mengambil alih pemerintahan sipil di
kawasan itu dengan mendeklarasikan situasi perang. Pada tanggal
14 Maret kabinet Ali jatuh dan atas desakan jendral Nasution,
Soekarno juga menyatakan Indonesia berada dalam keadaan
perang dan darurat, keadaan yang memberi kekuasaan penuh pada
ABRI untuk mengambil tindakan-tindakan militer yang dianggap
perlu untuk mengamankan negara.
Dengan demikian, pengaruh politik Angkatan Darat meningkat
dan dalam batas-batas tertentu, ia menandingi kekuasaan
pemerintah sipil yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda
yang membentuk kabinetnya pada bulan April 1957. Pada tahun
yang sama, misalnya, pihak Angkatan Darat mengeluarkan larangan
untuk mogok. Ia pun membatasi kebebasan pers.
Perkembangan ini melemahkan pengaruh partai-partai politik
dan juga parlemen dalam bidang politik. Ini merupakan permulaan
luluhnya sistem demokrasi parlementer. Pada bulan Mei 1957,
Dewan Nasional dibentuk. Badan ini dipimpin oleh Presiden
Soekarno sendiri dan terdiri dari semua pimpinan ABRI dan partaipartai politik. Tadinya badan ini dibentuk untuk memusyawarahkan
berbagai masalah penting dan juga berfungsi sebagai penasehat
Presiden. Akan tetapi lama-kelamaan, badan ini berkembang
menjadi lembaga yang lebih penting dari DPR. Bahkan sejak awal
tahun 1958 sampai diakhirinya sistem demokrasi parlementer,
banyak kebijakan pemerintah diperbincangkan dan diperdebatkan
di dalam Dewan Nasional. DPR terpaksa menerima hasil-hasilnya
dan meresmikannya sebagai undang-undang, yang kemudian
dilaksanakan oleh kabinet Djuanda.
Pada bulan Desember 1957, pengambilan alih perusahaanperusahaan milik Belanda mulai dilaksanakan. Para perwira
tinggi Angkatan Darat memainkan peranan penting dalam
8
Republik, 25 February 1957
274
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
proses pengambilan alihnya. Walaupun para buruh perusahaanperusahaan asing yang memulai gerakan perebutan kantor-kantor
dan administrasi, lowongan yang ditinggalkan oleh para pengusaha
Belanda segera diisi oleh para perwira tinggi Angkatan Darat.
Perusahaan-perusahaan yang dijadikan sasaran adalah kantorkantor perdagangan, pertambangan, perkebunan dan perkapalan.
Proses inilah yang menimbulkan exodus penduduk Belanda dari
Indonesia. Sekitar 46.000 warga Belanda meninggalkan Indonesia
pada tahun 1958.
Jatuhnya management perusahaan-perusahaan asing yang
diambil alih itu ke tangan para perwira tinggi Angkatan Darat
memperbesar pengaruh mereka dalam dunia ekonomi dan politik.
Kekuatan mereka dikonsolidasi dengan adanya pemberontakan
PRRI/Permesta yang didukung oleh Masjumi dan PSI. Soekarno
dan pemerintah Djuanda tidak bisa tidak bersandar pada
kekuatan Angkatan Darat untuk memadamkan pemberontakan ini.
Demikianlah, mulai pertengahan 1958, Angkatan Darat menjadi
sebuah kekuatan yang paling berpengaruh dalam bidang politik,
ekonomi dan militer di Indonesia, sebuah posisi yang tidak pernah
dimilikinya sebelum itu.
Masa Permusyawarahan (Pertengahan 1958 - Awal 1959)
Pada waktu yang bersamaan, Konstituante mulai dengan
permusyawaratannya untuk menciptakan UUD yang baru. Di
dalam proses ini, Siauw juga turut memainkan peranan terutama
dalam menentukan formulasi dasar negara dan pasal-pasal yang
berhubungan dengan Hak Azazi Manusia (HAM).
Di dalam Konstituante Siauw membentuk dua fraksi, fraksi
Baperki yang diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Jan Ave dan C.S
Richter dan Fraksi Lima Orang yang terdiri dari Go Gien Tjwan, Yap
Thiam Hien, Liem Koen Seng, Ang Pin Hian dan Oen Poe Djiang.
Kedua fraksi ini lalu digabung dalam Fraksi Bhinneka Tunggal
Ika, yang dipimpin oleh Siauw. Pembentukan fraksi ini didasari
275
Siauw Giok Tjhan
keinginan Siauw untuk mendapatkan dukungan seluas mungkin di
dalam Konstituante, sehingga posisi Baperki di dalamnya menjadi
lebih kuat9.
Pengetahuan Siauw tentang pola kerja parlemen dan berbagai
macam prosedur legislatif menyebabkannya diangkat sebagai
anggota sebuah panitia yang ditugaskan untuk menentukan
peraturan-peraturan Konstituante dan cara pemilihan ketuanya10.
Wilopo dari PNI akhirnya terpilih sebagai ketua. Pada waktu
pemilihan wakil ketua diadakan, Siauw memperjuangkan Nyonya
Ratu Aminah Hidayat dari IPKI, yang akhirnya berhasil menduduki
salah satu posisi wakil ketua11.
Tetapi karena kesibukannya di Jakarta dengan tugas-tugas
Baperki, penerbitan harian Republik dan tugas-tugas parlemennya,
Siauw menunjuk Oei Tjoe Tat, Liem Koen Seng, Yap Thiam Hien
dan Jan Ave untuk mewakili Baperki di dalam Panitia Persiapan
Konstitusi. Para anggota panitia ini harus berada di Bandung
hampir setiap hari selama masa permusyawaratan Konstituante
(November 1956 sampai Juli 1959)12.
Di dalam Konstituante terdapat tiga kelompok utama. Yang
terbesar, dinamakan kelompok Pancasila terdiri dari PNI, PKI, PRN,
Parkindo, Partai Katolik dan beberapa partai kecil lainnya. Baperki
berada di dalam kelompok ini. Kelompok ini menginginkan
Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara. Kelompok kedua
terdiri Masjumi, NU, PSII, Perti dan partai-partai Islam kecil lainnya.
Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kelompok
yang terkecil terdiri dari Partai Buruh, Murba dan Acoma. Mereka
menginginkan Indonesia menganut jalur sosialisme13.
9
10
11
12
13
Wawancara Dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan
Republik, 13 November 1956. Panitia ini juga terdiri dari Mohamad Yamin, Zainul Arifin dari NU, Leimena dari Parkindo dan Kasimo dari Partai Katolik
Wawancara Dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan
Oei, Meomar, p 87
Nasution, The Aspiration for Constitutional Government In 276
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
Walaupun perdebatan di Konstituante ini tidak melahirkan
Undang-Undang Dasar baru, dan proses permusyawaratannya
tidak memainkan peranan di dalam kancah politik di masa transisi
menuju ke periode Demokrasi Terpimpin, pidato-pidato Siauw di
Konstituante mencerminkan prinsip-prinsip dan harapan-harapan
politiknya pada waktu itu.
Dalam banyak perdebatan di Konstituante, Siauw dengan tegas
menyatakan bahwa pihak Baperki menginginkan dicantumkannya
pasal 33 dari UUD-45 di dalam UUD yang baru. Menurutnya, pasal
ini sangat penting karena menjamin kekayaaan alam Indonesia
tetap dikuasai oleh negara untuk rakyat Indonesia. Di dalam pidato
yang ia bawakan di Konstituante pada tanggal 25 Agustus 1958
ia mengatakan:”...Bilamana pemerintah memiliki dan menguasai
tanah, air dan semua kekayaan alam dan mengexploitasikannya
untuk kepentingan rakyat, perwujudan masyarakat yang adil dan
makmur dapat dijamin. Masyarakat yang demikian menjamin
tidak adanya pengangguran dan setiap krisis ekonomi dapat
ditanggulangi...”14.
Siauw mendorong Konstituante untuk mengeluarkan UndangUndang yang bisa menjamin perbaikan standard hidup para pegawai
negeri. Bilamana negara memiliki dan mengontrol semua kekayaan
alam, jumlah pegawai negeri, menurut Siauw, besar. Bilamana
penghasilan mereka rendah, menurut Siauw, mereka tidak akan
melakukan tugasnya dengan baik dan hasilnya akan merugikan
negara. Siauw juga berpendapat:”...Sangat penting merubah
cara berpikir semua pegawai negeri. Mereka harus disadarkan
bahwa mereka bekerja untuk memperbaiki standard hidup rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, saya usulkan agar
istilah pegawai negeri diubah menjadi Abdi-Negara...”15.
Salah satu masalah yang cukup lama diperdebatkan berhubungan
dengan HAM. Banyak anggota Konstituante menganggap masalah
14
15
Indonesia, pp 32-34
Risalah Perundingan, 1958, Volume V, pp 2329-2331
Ibid, pp 2935-2936
277
Siauw Giok Tjhan
HAM tidak kalah pentingnya dengan dasar negara. Bahkan, banyak
yang menginginkan masalah HAM dikumpulkan dalam satu bagian
tersendiri di dalam kerangka Undang-Undang Dasar yang baru16.
Di dalam perdebatan-perdebatan tentang HAM, Siauw
merupakan salah satu pembicara utama. Pada tanggal 11 Februari
1958, Siauw mengajukan argumentasi utamanya.
Ia menyatakan salah satu prinsip yang harus dijadikan sebagai
dasar UU yang berhubungan dengan HAM adalah prinsip yang
terkandung di dalam UUD Jerman yang menyatakan: “Tidak ada
orang yang bisa didiskriminasi hanya karena sex, latar belakang
ras, agama, kepercayaan dan pandangan politiknya”. Siauw juga
tertarik dengan Undang-Undang yang tercantum di dalam UUD
RRT: “Setiap suku bangsa berhak untuk secara bebas menggunakan
dan mengembangkan bahasanya masing-masing dan juga
mempertahankan kebiasaan tradisional-nya dan kebudayaannya”.
Menurut Siauw, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa
harus memiliki UUD yang melindungi hak setiap suku bangsa untuk
hadir di dalam masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi
apapun. Setiap suku bangsa harus bisa secara bebas menggunakan
bahasanya masing-masing dan mempertahankan adat istiadat dan
kebiasaan tradisional-nya.
Pada waktu itu, Siauw sudah ber-teori bahwa komunitas
Tionghoa di Indonesia bisa dikategorikan sebagai suku Tionghoa.
Alasannya adalah, di berbagai pelosok Indonesia, seperti Bagan
Si Api-api, terdapat penduduk Tionghoa yang sudah menetap di
daerah tersebut lebih dari 10 generasi. Bahasa yang dipergunakan
berbeda dengan bahasa dialek yang kini dikenal di daerah asal
leluhur mereka. Cara berpakaian dan makan mereka-pun sudah
disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Berdasarkan
pengertian ini, suku Tionghoa merupakan bagian tidak terpisahkan
dari tubuh Nasion Indonesia.
16
Nasution, The Aspirations for Constitutional Democracy in Indonesia, p 131
278
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
Siauw juga aktif dalam perdebatan tentang masalah
perkembangan dan pengontrolan ekonomi Indonesia.
Ia
menyatakan bahwa penggunaan dana dan budget negara harus
selalu dipertanggung-jawabkan dan harus ada mekanisme kontrol
yang ampuh. Oleh karenanya, UU harus menjamin DPR untuk
memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak budget
yang dipersiapkan pemerintah. Ia-pun mengusulkan agar Dewan
Pengawas Keuangan diberi wewenang penuh untuk memeriksa
dan memperhitungkan penggunaan budget negara17.
Masalah Demokrasi Terpimpin tidak menjadi bahan perdebatan
yang utama di dalam Konstituante. Ini malah dimusyawarahkan di
dalam Dewan Nasional. Bahkan di dalam Dewan Nasional inilah
lebih banyak dibicarakan bagaimana struktur negara dan sistem
Undang-Undangnya harus diubah bilamana Indonesia memasuki
era Demokrasi Terpimpin. Diskusi tentangnya di Konstituante
hanya merupakan gema dari apa yang dimusyawarahkan di Dewan
Nasional.
Hancurnya Demokrasi Parlementer dan Kembali ke UUD-45
(1959)
Pada waktu Konstituante bersidang dan dalam batas-batas
tertentu mencapai hasil-hasil yang bisa diandalkan, perubahan
politik di luar Konstituante dan DPR berjalan dengan pesat.
Perubahan-perubahan ini akhirnya meremehkan hasil-hasil yang
dicapai oleh Konstituante.
Situasi politik di dalam periode ini sangat tergantung atas sikap
dan permainan politik antara Soekarno dan pimpinan Angkatan
Darat. Mereka terkadang bekerja sama, tetapi sering juga saling
bersaing dalam meraih pengaruh politik.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, munculnya Angkatan Darat
sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi sangat mengurangi
17
Risalah Perundingan Konstituante, Volume VI, pp2932-2934
279
Siauw Giok Tjhan
pengaruh DPR dan kabinet Djuanda. Disamping kekuatan Angkatan
Darat, membesarnya pengaruh Soekarno dengan Dewan Nasionalnya juga memperkecil peranan DPR dan kabinet Djuanda.
Pada dasarnya, pimpinan Angkatan Darat menyetujui
dipergunakannya Demokrasi Terpimpin sebagai kerangka
politik negara yang baru. Akan tetapi, mereka tidak mendukung
gagasan-gagasan Soekarno tentang undang-undang yang harus
dipergunakan. Pimpinan Angkatan Darat menginginkan adanya
peranan besar pihaknya dalam bidang politik melalui Golongan
Karya.
Sebuah panitia dibentuk pada bulan Agustus 1958 oleh Soekarno
untuk merencanakan bagaimana Demokrasi Terpimpin itu akan
dilaksanakan. Panitia ini dipimpin oleh Tumakaka, seorang
kawan Siauw yang juga menjadi anggota penasehat Baperki.
Beberapa kawan dekat Siauw juga menjadi anggota dari panitia ini,
diantaranya Iwa Kusumasumantri, Nja Diwan and Tjan Tjoe Som.
Yang kedua terakhir ini juga berhubungan erat dengan Baperki.
Panitia ini ternyata gagal dalam menyimpulkan bagaimana
Demokrasi Terpimpin itu dilaksanakan. Yang menjadi permasalahan
adalah berapa besar perwakilan Golongan Karya itu di DPR.
Golongan Karya terdiri dari orang-orang tidak berpartai yang
mewakili berbagai golongan, ABRI, karyawan, wanita, pemuda,
dll. Orang-orang yang anti partai politik menginginkan Golongan
Karya mempunyai 50% kursi di DPR. Para wakil partai politik
menolak tuntutan ini dan hanya bersedia menerima tidak lebih
dari 30%. Akhirnya pada bulan Oktober 1958, para anggota Dewan
Nasional mengambil suara dan dengan dukungan ABRI, pihak yang
menghendaki Golongan Karya memiliki 50% dari total kursi di DPR,
menang dengan suara mayoritas yang besar. Rekomendasi Dewan
Nasional kepada Kabinet adalah sbb18:
18
a.
Setengah dari jumlah kursi di DPR akan diisi oleh
Golongan Karya
Ibid. pp 221-222
280
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
b.
Calon-calon Golongan Karya dipilih melalui Front
Nasional yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
c.
Cara memilih dilakukan dua kali. Yaitu pertama kali
untuk pemilihan wakil dari partai-partai politik. Kedua kalinya
khusus untuk wakil-wakil Golongan Karya.
Kejadian yang diuraikan di atas merupakan permulaan dari
berakhirnya sistem politik yang tergantung pada kegiatan partaipartai politik. Juga menjadi jelas di kalangan masyarakat bahwa
Golongan Karya yang terdiri dari orang-orang yang tidak berpartai,
jadi yang tidak bisa dikontrol oleh partai-partai politik akan
memainkan peranan yang lebih besar dari partai-partai politik di
DPR.
Pimpinan ABRI tidak berhenti di situ saja. Pada bulan November
1958, Nasution mendesak agar perwakilan ABRI di Golongan Karya
berjumlah paling sedikit 50%. Nasution juga menginginkan agar
para anggota ABRI dipilih oleh Presiden menjadi anggota-anggota
DPR, jadi tidak dengan cara pemilihan umum19.
Tuntutan Nasution untuk memainkan peranan lebih penting
dalam DPR ditentang keras oleh PKI dan Baperki. Dalam berbagai
artikel yang dimuat di dalam Harian Rakyat dan Republik, Siauw
menekankan bahwa anggota-anggota ABRI sebaiknya memusatkan
perhatiannya pada masalah pertahanan negara dan tidak terlalu
banyak terlibat dalam bidang politik, terutama dalam bidang
legislatif. Walaupun Siauw tidak berkeberatan akan adanya
beberapa anggota ABRI di dalam pemerintahan, ia menganggap
tidak pantas kalau ABRI memainkan peranan besar dalam bidang
legislatif20.
Akan tetapi partai-partai politik lainnya ternyata pecah dalam
menghadapi tuntutan Nasution. PNI dan NU tidak begitu keras
menentangnya. Masjumi yang baru saja mengalami berbagai
19
20
Ibid., p 225
Harian Rakjat, 14 November 1958; Republik, 14 November 1958
281
Siauw Giok Tjhan
serangan baik militer maupun politk, telah lumpuh dan tidak
menunjukkan dukungan atau tentangannya. Setelah berbulanbulan berdebat dan mengadakan pertemuan-pertemuan umum,
Kabinet masih belum bisa menyimpulkan bagaimana ABRI itu
diwakili di DPR dan berapa jumlah kursi yang disediakan untuknya.
Akhirnya, pada bulan Februari 1959, sebuah kompromi
dilahirkan. Kompromi ini berupa diterima kembalinya UUD45 sebagai UUD negara yang baru. Penerimaan kembali UUD45 tadinya diusulkan oleh Nasution pada tahun 1957. Menurut
Dan Lev, gagasan Nasution itu didasari atas keinginannya untuk
membatasi pengaruh partai-partai politik. Menurut UUD-45,
kekuasaan Presiden besar sekali, melampaui pengaruh partai-partai
politik. Yang lebih penting lagi bagi Nasution, UUD-45 memberi
peluang munculnya Golongan Karya di dalam kancah legislatif
dan eksekutif. Kembali ke UUD-45 juga berarti pemerintah tidak
lagi perlu menunggu hasil Konstituante yang ketika itu tidak bisa
menyelesaikan perdebatan yang berlarut-larut tentang diterima
tidaknya Islam sebagai dasar negara Indonesia21.
Walaupun Soekarno tadinya menolak gagasan Nasution ini, tetapi
pada awal 1959, ia mendukungnya. Soekarno melihat keuntungankeuntungan untuk pihaknya bilamana UUD-45 dijadikan UUD. Dan
ia-pun berkeyakinan bahwa ia akan mempunyai kekuasaan dan
pengaruh dalam mengatur pembagian kursi di Kabinet dan DPR
antara partai-partai politik dan Golongan Karya22.
Akhirnya pada bulan Februari 1959, Kabinet Djuanda dengan
resmi mengusulkan kembali ke UUD-45 dan mencanangkan
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin sesuai dengan UUD-45. Pada
tanggal 20 Februari, Soekarno menerima keputusan Kabinet ini
dan mendukungnya secara terbuka23. Dua hari kemudian, Soekarno
dengan resmi mengusulkan pada Konstituante untuk menerima
UUD-45 sebagai UUD negara, karena menurutnya UUD ini sesuai
dengan kebudayaan Indonesia dan merupakan manifestasi dari
21
Lev, Transition to Guided Democracy, pp 207-208
22
Ibid ., pp 240-242
23
Ibid, p 311
282
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
ideologi Indonesia24.
Dengan mengacu pada UUD-45 kekuasaan kabinet diperbesar
sedangkan pengaruh DPR jauh berkurang.
Presiden yang
menjadi pimpinan badan eksekutif tidak bertanggung jawab pada
DPR melainkan pada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Disamping itu, walaupun UUD-45 tidak memberi gambaran yang
jelas tentang Golongan Karya, beberapa pasal di dalamnya dapat
diartikan bahwa Golongan Karya ini dapat memainkan peranan
tertentu dalam kancah politik.
Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyatakan bahwa ia
mendukung gagasan bahwa ABRI akan diwakili di dalam DPR, MPR
dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dengan cara pengangkatan.
Disamping ini, ia juga menganjurkan agar UUD-45 diterima oleh
Konstituante tanpa perubahan apapun25.
Seusai pidato Soekarno, Konstituante mulai dengan
permusyawaratan tentang diterima kembalinya UUD-45 sebagai
UUD. Sebagian besar partai-partai politik, termasuk Baperki
menyatakan setuju dengan kembali ke UUD-45 asal diadakan
berbagai perubahan. Hanya Murba dan IPKI yang bersedia
menerimanya tanpa perubahan. Masjumi, Partai Buruh, Partai
Katolik dan beberapa partai Islam kecil lainnya dengan tegas
menentang UUD-4526.
Di dalam pidatonya pada tanggal 11 Mei 1959, Siauw menyatakan
keberatannya dengan pasal 6 yang menentukan Presiden RI harus
seorang Indonesia asli. Siauw menyatakan bahwa perkataan
“asli” di dalam UUD bisa dijadikan landasan berbagai tindakan
diskriminatif yang prinsipnya ditentang oleh UUD itu. Siauw juga
mengingatkan bahwa perkataan “asli” itu dimuat di dalam UUD45 untuk mencegah kemungkinan orang Jepang menjadi Presiden
RI. Oleh karena itu, Siauw mengusulkan pada Konstituante untuk
24
25
26
Ibid, pp 247
Nasution, The Aspiration For Constitutional Government, p322
Ibid. p325
283
Siauw Giok Tjhan
menghilangkan perkataan asli dari pasal 627.
Karena bagi Siauw UUD-45 mengandung berbagai pasal yang
bisa dijadikan landasan usaha membangun masyarakat yang
adil dan makmur dan yang tidak mengenal diskriminasi rasial, Ia
menyatakan dukungannya, dengan syarat dihilangkannya perkataan
asli dari pasal 6. Disamping itu, ia mendesak Konstituante untuk
mengikut sertakan berbagai kesimpulan Konstituante tentang
HAM, sebagai pedoman pelaksanaan UUD-45.
Pendapat Siauw didukung oleh 29 anggota Konstituante
lainnya. Dua anggota lainnya, Mang Reng Say dari Partai Katolik
dan Chanafiah dari PKI, walaupun tidak bergabung langsung dalam
kelompok Siauw, juga mengajukan pendapat-pendapat serupa.
Atas desakan mereka, pemerintah menyatakan kesediaannya untuk
melakukan perubahan-perubahan yang diusulkannya28.
Perdebatan di Konstituante akhirnya berhubungan dengan
Piagam Jakarta yang dikeluarkan pada bulan Agustus 1945,
yang menyatakan bahwa orang Islam di Indonesia berada dalam
naungan hukum-hukum Islam (Syariah). Pemerintah mengusulkan
agar Piagam Jakarta diakui sebagai dokumen penting tetapi tidak
merupakan bagian UUD-45. Akan tetapi, ini tidak cukup untuk
partai-partai Islam. NU dan Masjumi menuntut agar Piagam ini
dimasukkan sebagai preamble UUD-45. Partai-partai Nasionalis,
Parkindo dan partai Katolik menolak tuntutan ini.
Akibatnya, karena tidak memperoleh dukungan dari partaipartai Islam, Konstituante gagal menerima UUD-45 sebagai UUD,
walaupun pemungutan suara dilakukan tiga kali berturut-turut,
pada tanggal 30 May, 1 Juni dan 2 Juni 195929.
Kegagalan ini mendorong Nasution mengeluarkan peraturan yang
melarang partai-partai politik untuk melakukan kegiatan politiknya.
Disamping itu, peraturan ini juga melarang Konstituante untuk
27
28
29
Republik, 12 May 1959
Nasution, The aspirations for Constitutional Democracy, pp386-387
Ibid. p. 397
284
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
mengadakan pertemuan-pertemuan sampai Soekarno kembali dari
kunjungannya di luar negeri. IPKI, yang mewakili Angkatan Darat,
juga menganjurkan di dalam Konstituante untuk membubarkan
Konstituante. Anjuran IPKI ternyata didukung oleh 17 partai politik
yang tergabung dalam Front Pembela Pancasila. Akhirnya, PNI dan
PKI-pun mendukung gagasan untuk membubarkan Konstituante.
Mereka menyatakan hanya akan menghadiri rapat Konstituante
yang diadakan untuk membubarkannya30.
Beberapa hari kemudian, Aidit dari PKI, Suwirjo dari PNI dan
Djodi Gondokusumo dari Front Pembela Pancasila mendesak
Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit yang membubarkan
Konstituante dan menerima UUD-45 sebagai UUD RI31. Siauwpun mendukung keputusan ini32. Pada tanggal 29 Juni, Soekarno
kembali dari perjalanannya di luar negeri dan segera ia didesak
untuk mengeluarkan dekrit33.
Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit
yang membubarkan Konstituante dan menerima UUD-45 tanpa
perubahan sebagai UUD yang baru. Era Demokrasi Parlementer
dianggap berakhir pada tanggal 5 Juli 1959.
Dalam beberapa jam setelah dekrit ini diumumkan, Siauw
mengeluarkan pernyataan yang dimuat dalam harian Republik,
mendukung kebijakan Soekarno34.
Pada tanggal 9 Juli 1959, kabinet presidensiel yang pertama
dibentuk dengan Soekarno berfungsi sebagai ketua kabinet dan
Djuanda ditentukan sebagai Menteri Pertama.
Pada tanggal 29 Juli 1959, DPA dibentuk yang terdiri dari 46
anggota. Siauw diangkat oleh Soekarno sebagai salah seorang
anggotanya. Di dalam DPA, juga diangkat Utrecht, Tumakaka dan
Adam Malik. Ketiga-tiganya sangat bersimpati pada Baperki.
30
31
32
33
34
Lev, Transition to Guided Democracy, p 275
Republik, 4 July 1959
Ibid.
Lev, Transition to Guided Democracy p 276
Republik, 6 July 1959
285
Siauw Giok Tjhan
Pada bulan Agustus 1959, sebuah panitia yang terdiri dari 5
orang dibentuk untuk menentukan prosedur-prosedur baru yang
harus ditentukan untuk DPR baru ini. Siauw diangkat sebagai salah
seorang anggotanya35.
Konflik dalam Baperki Tentang Demokrasi Terpimpin
Perdebatan tentang UUD-45 menimbulkan konflik baru di dalam
tubuh Baperki. Kali ini tentangan keras datang dari Yap Thiam Hien,
yang sejak tahun 1955 telah menjadi wakil ketua Baperki.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, Yap tidak mengikuti jejak
para tokoh anti komunis yang meninggalkan Baperki pada tahun
1955. Bahkan ia mendukung posisi Siauw dan mengecam para
tokoh yang meninggalkan Baperki dengan tuduhan bahwa Siauw
adalah seorang Komunis.
Yap mengagumi Siauw dan menghargai dedikasi dan
kesungguhannya. Ia juga sangat menghargai kejujuran Siauw.
Ia selalu terkenang dengan sikap Siauw yang menolak berbagai
sumbangan uang dalam jumlah besar yang ditujukan untuk
dirinya sendiri dan memasukkannya ke kas Baperki. Karena Yap
mengetahui penghidupan sederhana Siauw, dalam salah satu rapat
kerja Baperki pada tahun 1956, ia menganjurkan agar Baperki
menyisihkan uang organisasi untuk menggaji Siauw dan seorang
supir untuk membantu kegiatan Siauw. Siauw menolak usul
simpatik Yap dengan menyatakan bahwa kebutuhan organisasi
lebih besar dari kebutuhan pribadinya36.
Hubungan Yap dan Siauw mulai renggang pada tahun 1957, ketika
Siauw mulai menunjukkan dukungannya terhadap Demokrasi
Terpimpin. Yap menentangnya, karena baginya, Demokrasi
Terpimpin merusak demokrasi dan menimbulkan sebuah kekuatan
dikatatorial yang merugikan.
35
36
Republik, 8 August 1959.
Wawancara Dengan Yap Thiam Hien December 1989
286
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
Jawaban Siauw tentang mengapa ia mendukung Demokrasi
Terpimpin seirama dengan apa yang ia dengungkan di parlemen
dan Konstituante. Baginya, kegagalan demokrasi parlementer harus
dipertimbangkan dan perkembangan politik yang mendorong
digantinya sistem itu dengan Demokrasi Terpimpin harus ditanggapi
oleh Baperki secara bijaksana. Ia tetap berharap bahwa Demokrasi
Terpimpin bisa mempercepat proses dikeluarkannya UU yang bisa
melindungi posisi golongan minoritas di Indonesia. Disamping itu,
dijelaskan oleh Siauw bahwa melawan arus Demokrasi Terpimpin
berarti Baperki akan berada di pihak oposisi, yaitu Masjumi dan
beberapa partai Islam kecil lainnya. Ini, menurut Siauw akan
merugikan posisi Baperki.
Pada tanggal 12 Mei 1959, Yap berpidato di Konstituante
menentang kembalinya UUD-45 sebagai UUD baru dan secara tidak
langsung, ia-pun menyatakan penolakannya terhadap Demokrasi
terpimpin37. Sikap ini diterima oleh Siauw dan ia sendiri tidak
mengambil langkah-langkah negatif terhadap Yap.
Setelah ini hubungan Yap dengan para pemimpin Baperki,
terutama dengan Go Gien Tjwan, Boejoeng Saleh dan Tan Foe Kiong
memburuk. Dengan mereka sering terjadi pertikaian di dalam
rapat-rapat Baperki. Dengan Siauw sendiri tidak pernah terjadi
perdebatan pribadi. Siauw memang tidak mengajak Yap ke dalam
arena di mana mereka berdua berdebat mengenai perbedaanperbedaan pendapat yang ada. Pada rapat pimpinan Baperki
yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 1959, pimpinan Baperki
mendesak Siauw untuk menggantikan Yap sebagai wakil ketua
Baperki. Siauw menolak dan menyatakan bahwa kongres Baperkilah yang nantinya menentukan38.
Kongres Baperki ini diadakan pada bulan Desember 1959. Yap
datang sebagai wakil ketua dan mengeluarkan pernyataan bahwa
37
38
Risalah Perundingan, Konstituante, 1959, Volume II, pp 615-
619
Risalah Rapat Baperki, 27 August 1959
287
Siauw Giok Tjhan
ia tidak lagi bisa bekerja dengan para pimpinan Baperki dan
menuntut digantinya pimpinan Baperki. Usul ini segera ditolak
oleh Kongres. Yap akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi memperoleh
dukungan di dalam Baperki. Sejak saat itu, Yap tidak lagi
mengaktifkan diri, walaupun tidak pernah menyatakan keluar
dari Baperki. Akan tetapi, ia tetap menghormati Siauw dan pada
tahun 1988 ia menyatakan pada penulis bahwa baginya Siauw
adalah salah seorang dari empat orang yang paling ia hormati di
dalam hidupnya. Dengan nada yang menyesal ia mengatakan:”...
Ayahmu tidak pernah membalas serangan-serangan saya
terhadapnya. Ia selalu bijaksana. Sebenarnya serangan-serangan
saya ditujukan pada beberapa pemimpin Baperki lainnya, bukan
pada Siauw sendiri...”39
39
Wawancara dengan Yap Thiam Hien, Desember 1988
288
Transisi ke Demokrasi Terpimpin
Siauw mengucapkan Selamat Tahun baru kepada Soekarno di Istana
Merdeka, Jakarta, 1 Januari 1960
289
Siauw Giok Tjhan
BAB 11
ZAMAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Setelah kembali ke UUD-45 pada tanggal 5 Juli 1959, Indonesia
memasuki era Demokrasi Terpimpin. Di dalam era ini, Soekarno
menjadi pemimpin utama pemerintahan RI dan gerakan politik di
Indonesia, yang dinamakannya, Revolusi Indonesia.
Di dalam zaman demokrasi parlementer, Siauw berhasil
mendapatkan dukungan banyak anggota DPR dengan bersandar
pada dasar-dasar hukum dan argumentasi bahwa nama Indonesia
akan tercemar di dunia internasional bilamana pemerintahnya mendiskriminasikan penduduk Tionghoa-nya. Di dalam
zaman Demokrasi Terpimpin, keberhasilan Siauw lebih banyak
berhubungan dengan kemampuannya meyakinkan Soekarno
untuk mendukung program-program politiknya dan untuk
melindungi kedudukan Baperki dalam kancah politik yang
bergejolak pada waktu itu. Di dalam zaman ini, dasar-dasar hukum
tidak lagi memainkan peranan penting, karena yang ditekankan
oleh Soekarno adalah ideologi politik dalam mentransformasi
masyarakat Indonesia secara radikal.
Walaupun Siauw tetap menjadi anggota DPRGR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong), ia lebih banyak menyalurkan
ide-ide politiknya sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan
Agung) dan dalam berbagai acara pertemuan langsung ke Soekarno.
Dalam zaman ini, ia tetap mendapat dukungan dari teman-teman
yang berasal dari berbagai aliran politik yang berpengaruh.
Struktur Pemerintahan Baru dan Formulasi Ideologi Baru
Menurut UUD-45, kekuasaan mutlak berada di tangan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat). Presiden hanya bertanggung
jawab pada MPR, tidak pada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
290
Zaman Demokrasi Terpimpin
Ini berarti Presiden tidak tergantung pada DPR. Ia diangkat dan
dipecat hanya oleh MPR.
Di dalam menciptakan UU, Presiden harus bekerja sama dengan
DPR. Setiap UU harus disetujui oleh DPR dan budget negara harus
juga disetujui oleh DPR sebelum digunakan.
Presiden tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan DPR.
Sebaliknya, pengaruh DPR akan kekuasaan Presiden hanya bisa
disalurkan melalui MPR, karena anggota-anggota DPR otomatis
menjadi anggota-anggota MPR.
Menurut UUD-45, para menteri diangkat oleh Presiden dan
mereka bertanggung jawab pada Presiden. Dengan demikian hanya
Presidenlah yang mempunyai kekuasaan untuk membubarkan
kabinet. Jadi UUD-45 tidak lagi memungkinkan DPR menjatuhkan
kabinet seperti yang terjadi di zaman demokrasi parlementer.
Setelah tanggal 5 Juli 1959, Soekarno dengan cepat membentuk
kabinet presidensiel pertamanya, dengan menunjuk Djuanda
sebagai Menteri Pertama. Kabinet ini dinamakan Kabinet Kerja.
Soekarno juga berfungsi sebagai Perdana Menteri.
Untuk menghindari konflik di dalam kabinet seperti yang dialami
dalam zaman demokrasi parlementer, Soekarno menuntut setiap
anggota partai yang duduk di dalam kabinetnya untuk menyatakan
bahwa mereka tidak duduk di dalam kabinet sebagai wakil-wakil
para partai politiknya.
Pada bulan Agustus 1959, Soekarno membentuk DPA yang terdiri
dari 43 anggota. Soekarno berfungsi sebagai ketuanya dan sebagai
wakil ketua ia angkat Roeslan Abdulgani. Dewan ini terdiri dari
semua pimpinan partai-partai politik, kepala-kepala staf Angkatan
Bersenjata dan para wakil Golongan Karya.
Soekarno menganggap DPA sebagai politbiro negara. Banyak
peraturan-peraturan penting, isi pidato Soekarno dan kebijakankebijakan politiknya dibicarakan dan diputuskan dalam DPA.
PKI, PNI dan NU memiliki representasi yang baik di dalam DPA.
Sedangkan Masjumi dan PSI yang dinyatakan terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta tidak turut serta di dalamnya.
291
Siauw Giok Tjhan
Soekarno mengangkat Siauw Giok Tjhan sebagai anggota DPA.
Dalam bulan yang sama, Depernas (Dewan Perancang
Nasional) dibentuk dan diketuai oleh Mohamad Yamin. Badan
yang beranggotakan 77 orang ini menurut sertakan PKI, PNU, NU
dan partai-partai kecil lainnya. Program ekonomi negara tentang
pembangunan dirumuskan di dalam badan ini.
Pada awal tahun 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil
pemilihan umum dan menggantikannya dengan DPRGR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Pembubaran DPR itu dilakukan
setelah ia tidak bersedia menyetujui budget yang diajukan oleh
Kabinet presidensiel baru. DPRGR yang beranggotakan 283 orang
diresmikan pada bulan Juni 1960. Ia terdiri dari para anggota 10
partai politik yang diizinkan berdiri dan berfungsi di Indonesia,
termasuk PNI, PKI dan NU yang mendominasinya. Masjumi dan PSI
yang telah dilarang dengan sendirinya tidak diwakili dalam DPRGR.
Kali ini, seperti yang telah dirancangkan sebelumnya, DPRGR
juga mengikut sertakan anggota-anggota baru yang mewakili
Golongan Karya, termasuk ABRI, kaum pekerja, perempuan,
pemuda dan wakil-wakil minoritas. Siauw Giok Tjhan tetap duduk
dalam DPRGR, dan ia berada di dalam Golongan Karya.
Pada bulan Agustus 1960 Soekarno membentuk MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara). Dikatakan Sementara
karena ke 623 anggotanya diangkat oleh Soekarno. Badan ini terdiri
dari para anggota DPR ditambah dengan 241 anggota Golongan
Karya dan 95 perwakilan daerah. Sebagai anggota DPRGR, dengan
sedirinya Siauw juga duduk di dalam MPRS, lagi-lagi mewakili
Golongan Karya.
Dalam tahun yang sama, Soekarno mendorong dibentuknya
Front Nasional. Yang menjadi ketua adalah Soekarno. Sudibjo dari
PSII diangkat sebagai Sekretaris Jendralnya. Badan ini terdiri dari
wakil-wakil para partai politik, Golongan Karya, pemerintah dan
DPA. Tugas utamanya adalah memobilisasi massa dan menyebarluaskan ideologi Soekarno. Badan ini juga memiliki cabang-cabang
di daerah-daerah yang turut menstimulasi antusiasme massa
292
Zaman Demokrasi Terpimpin
dalam perjuangan membebaskan Irian Barat dan kampanye
Ganyang Malaysia pada tahun-tahun 62-65. Pada masa terakhir
zaman Demokrasi Terpimpin, PKI mempunyai pengaruh besar di
dalam organisasi ini. Banyak anggota Baperki juga aktif di dalam
Front Nasional.
Ideologi yang mendasari Demokrasi Terpimpin dikandung di
dalam sebuah Manifesto Politik yang dipaparkan Soekarno di dalam
pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959. Di dalamnya terdapat
lima tema utama, yaitu UUD-45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kebudayaan IndonesiaIdentitas Indonesia. Konsep ini lalu dikenal sebagai ManipolUSDEK. Setiap partai politik diharuskan menyatakan dukungannya
Manipol-USDEK dan para pemimpinnya harus mengaku dirinya
sebagai orang-orang manipolis.
Soekarno menyatakan bahwa Indonesia telah keluar dari rail
revolusi di zaman demokrasi parlementer dan hanya dengan
jalan Demokrasi Terpimpin-lah revolusi Indonesia akan mencapai
hasilnya. Tujuan revolusi ini, menurut Soekarno adalah:
1.
Terwujudnya negara kesatuan RI yang demokratis,
yang mengikut sertakan Irian Barat.
2.
Terwujudnya Sosialisme ala Indonesia, yaitu
sosialisme yang sesuai dengan karakter, psikologi dan
kebudayaan bangsa Indonesia.
3.
Terjalinnya persahabatan dengan semua negara
yang anti kolonialisme dan anti imperialisme dalam
memperjuangkan dicapainya masyarakat Internasional yang
bersih dari kolonialisme dan imperialisme.
Aspek utama Manipol adalah revolusi menuju sosialisme.
Dengan sendirinya partai-partai politik yang berhaluan kiri seperti
PKI, Murba dan sebagian besar dari PNI menerima konsep Manipol
ini dengan senang hati. Siauw juga membawa Baperki untuk
mendukungnya. Musuh-musuh politik mereka yang berada di pihak
politik kanan, seperti NU, Parkindo, Partai Katolik dan pimpinan
Angkatan Darat terpaksa menerimanya juga walaupun mereka
293
Siauw Giok Tjhan
berkeberatan menerima terminologi sosialisme.
Satu konsep penting lain yang dikembangkan di dalam zaman
ini adalah formulasi Nasakom (Nasionalis Agama Dan Komunis).
Soekarno mendorong adanya persatuan antara kelompokkelompok Nasionalis, agama dan komunis. Ini sudah dari tahun
1927 dicanangkannya.
Melalui formulasi ini, Soekarno memaksakan kerja sama antara
kelompok nasionalis yang diwakili oleh PNI, Partindo dan Murba;
kelompok agama yang diwakili oleh NU, PSII, Parkindo dan Partai
Katolik; Kelompok Komunis yang diwakili oleh PKI dan para
organisasi massa-nya.. Di masa akhir zaman Demokrasi Terpimpin,
setiap organisasi massa dan instansi pemerintah diharuskan
untuk memiliki dewan pimpinan yang terdiri dari elemen-elemen
Nasionalis, Agama dan Komunis.
Zaman ini juga merupakan zaman yang penuh dengan slogan
politik. Soekarno mengeluarkan berbagai macam slogan ideologi
yang dengan singkatan-singkatan yang dijadikan semacam rumusrumus gerakan politik. Diantaranya Berdikari, Maju Terus Pantang
Mundur, Tavip (Tahun yang berbahaya), Resopim (Revolusi,
Sosialisme dan Pimpinan) dan Trisakti (Tiga panji sakti).
Pada umumnya para pimpinan politik di zaman itu, termasuk
Siauw terpaksa mengikut sertakan slogan atau semboyansemboyan ini dalam setiap pidato-pidatonya untuk menunjukkan
dukungannya terhadap ideologi Soekarno dan kesetiaan pada
kepemimpinan Soekarno. Akan tetapi secara diam-diam, banyak
diantara mereka yang hanya melakukan lip-service belaka, tidak
memiliki kesungguhan dalam mendukung politik Soekarno.
Reaksi Siauw terhadap Demokrasi Terpimpin
Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Siauw
memang dengan antusias mendukung diwujudkannya Demokrasi
Terpimpin dan kembalinya UUD-45 sebagai UUD negara. Akan
294
Zaman Demokrasi Terpimpin
tetapi, pelaksanaan dari Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan
dari UUD-45 ini cukup mengecewakannya.
Salah satu aspek negatif
Demokrasi Terpimpin adalah
dihapuskannya perwakilan minoritas di DPRGR. Badan yang
diresmikan pada tanggal 24 Juni 1960 ini tidak lagi mengenal
perwakilan minoritas.
Komposisi-nya juga sangat berbeda dengan komposisi DPR
yang digantinya. Fraksi-fraksi, termasuk Fraksi Nasional Progresif
dibubarkan. Yang dibentuk adalah lima fraksi baru, yaitu fraksi
Nasionalis (PNI, Partindo, IPKI dan Murba); Fraksi Islam (NU,
PSII dan Perti); Fraksi Komunis (PKI); Fraksi Kristen (Parkindo
and Partai Katolik). Keempat fraksi ini memiliki 130 anggota yang
didominasi oleh partai-partai besar, 44 anggota PNI, 36 anggota
NU dan 30 anggota PKI. Fraksi ke lima terdiri dari 153 anggota
Golongan Karya yang mewakili golongan-golongan ABRI, pemuda,
perempuan, buruh dan tani.
Dengan komposisi baru ini, Ang Tjiang Liat anggota DPR yang
mewakili Baperki kehilangan kursinya di DPRGR. Siauw tetap
menjadi anggota DPRGR dan masuk dalam Golongan Karya dan
menjadi anggota seksi kooperasi.
Siauw tadinya mengajukan protes dengan halus dan hati-hati.
Ia menyatakan dihadapan kongres Baperki pada tahun 1960: “...
Sulit untuk mendefinisikan perwakilan minoritas sebagai bagian
Golongan Karya. Golongan minoritas seharusnya diperlakukan
sebagai golongan yang terpisah sendiri seperti golongan-golongan
pemuda dan perempuan di dalam Golongan Karya...”1.
Di dalam pidato yang sama, Siauw menjelaskan bahwa bilamana
dilihat dari jumlah perwakilan Baperki di dalam DPRGR, posisi
Baperki lebih lemah daripada posisinya di zaman Demokrasi
parlementer. Akan tetapi, menurutnya, Baperki harus melihat
proses pergantian komposisi DPRGR ini sebagai bagian proses
perbaikan sistem politik yang pada akhirnya mempercepat
1
Pidato Siauw, Kongres Baperki, Semarang, 25-28 Desember 1960
295
Siauw Giok Tjhan
dicapainya cita-cita Baperki.
Perombakan komposisi DPR daerah ternyata juga menyebabkan
para anggota Baperki kehilangan kursi-kursi yang diraihnya
dalam pemilu. Akan tetapi ada juga anggota-anggota Baperki
yang diangkat menjadi anggota-anggota DPRDGR untuk mewakili
profesi-nya dalam Golongan Karya, kelompok pedagang, guru dan
buruh2.
Kekecewaan Siauw dikompensasi dengan diturut sertakannya di
dalam DPA oleh Soekarno. Disamping dirinya, Dr. Ernst Utrecht,
seorang anggota Baperki yang menjadi dekan universitas Baperki,
diangkat juga sebagai anggota DPA. Professor Tjan Tjoe Som, salah
seorang anggota senior Baperki dan dekan universitas Baperki
diangkat sebagai anggota Depernas.
Sebagai anggota parlemen yang kawakan dan yang
menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, Siauw tentunya kecewa
melihat dipretelinya norma-norma demokrasi secara bertahap.
Belasan tahun kemudian, pada tahun 1981, Siauw menyatakan
kekecewaannya terhadap proses yang menghancurkan normanorma demokrasi yang dijunjung tinggi olehnya. Di dalam Lima
Jaman ia menyatakan bahwa di dalam prakteknya konsensus yang
ingin dicapai di dalam DPR tidak jalan, karena kelompok minoritas
terpaksa mengalah terhadap kelompok mayoritas. Akibatnya,
banyak anggota-anggota yang mewakili partai-partai kecil tidak lagi
menyuarakan aspirasinya, bahkan malas untuk datang menghadiri
sidang-sidang DPRGR. Permusyawaratan hanya dilakukan oleh
partai-partai besar saja3.
Ia kecewa melihat DPRGR tidak lagi berfungsi sebagai wakil
rakyat. Ia-pun kecewa melihat kekaburan dalam pelaksanaan tugastugas legislatif, eksekutif dan judikatif. Ia tidak mendukung adanya
pimpinan DPR, DPA dan MPRS sebagai anggota-anggota Kabinet.
2
3
Ibid.
Siauw, Lima Jaman, p 291
296
Zaman Demokrasi Terpimpin
Mana mungkin mereka ini kritis akan kebijakan badan eksekutif di
mana mereka merupakan bagian penting darinya sendiri, demikian
ujar Siauw. Ia pun kecewa melihat DPA berkembang menjadi badan
penasehat biasa tanpa mengeluarkan pendapat-pendapat yang
kritis terhadap jalannya pemerintahan dan MPRS yang anggotanya
semua diangkat oleh Soekarno tidak mempunyai gigi untuk
menegur penyerongan-penyerongan pemerintah. Dan, iapun kritis
dengan ditetapkannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
oleh MPRS pada tahun 1963. Akan tetapi, ia tidak berdaya, karena
kalah suara dengan para partai politik besar yang berpengaruh4.
Salah satu peraturan pemerintah yang mengecewakan Siauw
berhubungan dengan PP - 11 tahun 1963 yang memungkinkan
pemerintah menangkap orang yang dituduh melakukan tindakan
subversi. Ketika usul untuk mengeluarkan peraturan ini dibicarakan
di dalam DPA, Siauw dengan keras menentangnya. Akan tetapi, ia
didesak oleh Aidit dan Njoto untuk tidak menentangnya karena
mereka menginginkan adanya kekuatan hukum bagi Soekarno
untuk menindak lawan-lawan politiknya5.
Walaupun Siauw tidak menyetujui banyak peraturan dan undangundang yang dikeluarkan dalam Zaman Demokrasi Terpimpin ini,
Siauw tidak pernah secara langsung menantang rezim Soekarno.
Ada beberapa alasan:
Pertama Siauw menganggap Soekarno sebagai seorang sosialis.
Ia berpendapat lebih baik memilki pemimpin yang program
politiknya sesuai dengan komitment dirinya sendiri. Siauw sangat
terhibur dengan formulasi Soekarno yang diucapkannya dalam
pidato 17 Agustus 1960 di mana ia menyatakan bahwa tujuan
utama dari revolusi Indonesia adalah mewujudkan sosialisme ala
Indonesia.
Kedua ia melihat Soekarno sebagai satu-satunya kekuatan yang
mampu berhadapan dan mengontrol pimpinan Angkatan Darat
4
5
Wawancara dengan Siauw di RTM, 1972
Disampaikan oleh Hardojo, Mantan Ketua Umum CGMI, April 1998
297
Siauw Giok Tjhan
yang dianggapnya mempunyai kemampuan untuk menghancurkan
struktur pemerintahan yang favorable untuk usaha mencapai
sosialisme.
Ketiga, Siauw tidak mau mendukung golongan yang menentang
Soekarno, yaitu golongan yang didominasi oleh Masjumi dan PSI,
karena golongan ini selalu mendukung aliran yang ingin merugikan
golongan Tionghoa.
Keempat, Siauw melihat kebijakan politik Soekarno terhadap
golongan Tionghoa menguntungkannya. Jadi selama kediktatoran
Soekarno menguntungkan Baperki dan golongan Tionghoa di
Indonesia, Siauw berkesimpulan ia bersedia mendukung Soekarno
walaupun ini berarti ia harus menanggalkan beberapa prinsip
politiknya6.
Siauw menggunakan slogan menuju sosialisme ala Indonesia
sebagai landasan argumentasinya dalam hal penggunaan modal
domestik yang dimiliki oleh pedagang-pedagang Tionghoa. Dalam
salah satu pidatonya, ia mengutip seruan Soekarno yang diucapkan
di DPRGR pada tahun 1961 yang mendorong digunakannya semua
“funds and resources yang progresif” untuk membangun Indonesia.
Menurut Soekarno, “progressive Funds and Resources” ini bisa
saja dimiliki oleh orang-orang asing yang telah lama menetap di
Indonesia. Formulasi ini jelas seirama dengan formulasi Siauw
sejak tahun 50-an7. Memang kedekatan Siauw dengan Soekarno
memungkinkan masuknya berbagai kebijakan politik dan
ekonomi yang ia canangkan pada tahun 50-an, ke dalam berbagai
6
7
Wawancara dengan Yap Thiam Hien ,1989, Oei Tjoe Tat , Phoa Thoan Hian, Go Gien Tjwan, 1992 dan Utrecht, 1981.
Pidato Siauw: Baperki Berdiri Bulat Tegak atas Rel Revolusi 1945, Konperensi Baperki, Jakarta -29 July 1961. Dilihat dari isi pidato Soekarno, kemungkinan besar text-nya dipersiapkan oleh Siauw sendiri, karena terminologi yang dipakai sama dengan apa yang Siauw utarakan bertahun tahun di zaman Demokrasi Parlementer.
298
Zaman Demokrasi Terpimpin
pidato Soekarno. Soekarno jelas berpaling ke Siauw bilamana
kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan modal domestik
diformulasikan.
Formulasi yang diucapkan oleh Soekarno ini mendorong
Siauw untuk menyatakan: “... Dari formulasi Presiden Soekarno
jelas modal domestik yang dimiliki oleh setiap penduduk
Indonesia, termasuk yang berstatus asing, harus didorong untuk
berkembang sehingga mempunyai kemampuan yang maksimal
dalam membangun Indonesia dan mempercepat dicapainya tujuan
revolusi Indonesia...”8.
Siauw juga mendukung garis politik luar negeri Soekarno yang
mendekati RRT pada tahun 1963. Bagi Siauw, kebijakan ini memberi
peluang yang baik untuk mengkonsolidasi posisi golongan Tionghoa
dan mempercepat penyelesaian masalah kewarganegaraan yang
sampai tahun 1963 masih belum tuntas dilaksanakan.
Dukungan Siauw terhadap Soekarno dan diterimanya
Siauw sebagai salah satu orang yang dekat oleh Soekarno
memungkinkannya untuk mempengaruhi berbagai diskusi yang
berlangsung dalam DPA. Banyak keputusan pemerintah yang
berhubungan dengan masalah Tionghoa didasari atas formulasi
Siauw. Beberapa pidato penting Soekarno jelas menunjukkan
pengaruh pikiran Siauw9.
Sebuah contoh yang paling menyolok didapati dalam pidato
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1964, di mana ia menyatakan:”...
Penting sekali kita hapuskan semua elemen rasialisme. Saudarasaudara ketahui bahwa yang saya impikan adalah adanya
keharmonisan antar semua suku di Indonesia, termasuk suku-suku
keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa, Pakistan dan Yahudi....
Tidak mungkin kita menghilangkan rahang Batak, kesipitan mata
Tionghoa, atau kebesaran hidung Arab. Ini bukan masalahnya.
Yang penting adalah mewujudkan keharmonisan, persatuan untuk
8
9
Ibid.
Wawancara dengan Ernst Utrecht. Banyak pidato Soekarno seirama dengan apa yang Siauw tulis tentang rasialisme
299
Siauw Giok Tjhan
membangun bangsa Indonesia...”10.
Dari diskusi ini jelas bahwa walaupun Siauw kecewa dengan
berbagai perkembangan politik yang baginya merusak normanorma demokrasi, ia berhasil memasukkan formulasi-formulasi
politik yang telah diperjuangkannya selama belasan tahun sebagai
formulasi-formulasi yang dicanangkan oleh Soekarno.
Masalah Kewarganegaraan
Salah satu hasil yang Siauw perjuangkan di dalam zaman ini
berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan
dan UU Kewarganegaraan tahun 1958.
Seperti yang digambarkan sebelumnya, UU kewarganegaraan
tahun 1958 mengandung hal-hal yang telah lama diperjuangkan
oleh Siauw di parlemen. Diantaranya dimungkinkannya anakanak dari sekitar 300.000 orang Tionghoa yang telah menolak
kewarganegaraan Indonesia antara 1949 dan 1951, untuk bisa
diproses menjadi warga negara Indonesia. Walaupun instansiinstansi pemerintah lamban dalam memproses lamaran-lamaran
untuk menjadi warga negara, Baperki berhasil membantu puluhan
ribu orang yang ingin menjadi WNI.
Anggota-anggota Baperki, terutama di pulau Jawa aktif
dalam memberi penjelasan-penjelasan yang diperlukan oleh
masayarakat Tionghoa. Mereka juga tetap menganjurkan pada
masyarakat Tionghoa untuk menjadi WNI. Kali ini, usaha ini lebih
berhasil dari usaha-usaha yang pernah Siauw lakukan di zamanzaman sebelumnya. Alasan utama keberhasilan Baperki dalam
mendorong orang-orang yang berstatus asing untuk menjadi WNI
adalah penyebar-luasan berita tentang 140.000 orang yang pergi
ke RRT sebagai akibat dari pelaksanaan PP 10 (1959-1960), yang
melarang orang-orang Tionghoa berdagang dan menetap di daerah
10
Pidato Soekarno pada tanggal 17 August 1964
300
Zaman Demokrasi Terpimpin
pedalaman. Banyak dari orang-orang yang “pulang ke Tiongkok”
mendapati hidup di RRT berbeda dengan harapannya dan merasa
tidak betah. Tidak betah, karena RRT bukanlah tempat tinggal
idaman mereka.
Akan tetapi kegiatan Siauw dalam bidang kewarganegaraan
dipusatkan pada pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan
antara RRT dan RRI. Setelah penundaan bertahun-tahun, Perjanjian
dan Exchange of Notes yang didesain oleh Siauw ini akhirnya
diratifikasi di DPR pada tahun 1958. Dalam tahun yang sama,
panitia yang ditugaskan untuk merencanakan pelaksanaan dari
Perjanjian ini dibentuk, dipimpin oleh Susanto Tirtoprodjo. Akan
tetapi persetujuan akan bagaimana Perjanjian ini dilaksanakan
tidak juga dicapai. Siauw menyatakan keluhannya dan menyalahkan
pihak Indonesia yang terus menerus gagal dalam menerima usulusul pelaksanaan yang diajukan pihak11.
Pada tanggal 22 November 1960, Susanto Tirtoprodjo
mengajukan rekomendasi panitia ini ke kabinet. Di dalam
rekomendasi panitia itu terkandung permintaan Siauw yaitu
anak-anak dari orang-orang yang telah menolak kewarganegaraan
Indonesia antara tahun 1949 dan 1951 diberi kesempatan untuk
memilih kewarganegaraan Indonesia. Rekomendasi ini ditolak
oleh beberapa menteri dalam kabinet. Mereka menyatakan bahwa
rekomendasi ini memungkinkan orang-orang muda yang telah
memperoleh indoktrinasi komunisme menjadi WNI. Oleh karena
itu, panitia ini didesak untuk mengubahh rekomendasinya.
Soekarno ternyata kecewa dengan kelambanan pihak RI
dalam melaksanakan Perjanjian ini. Ia memanggil Soekarni,
Duta Besar Indonesia di Beijing dan beberapa menteri yang
memasalahkan rekomendasi Panitia yang disebut di atas. Menurut
Siauw, Soekarno berseru pada mereka:”...Penyelesaian masalah
Dwi-Kewarganegaraan adalah masalah politik dan langsung
berhubungan dengan persahabatan RI-RRT. Kita harus positif
11
Pidato Siauw, Kongres Baperki February 1960
301
Siauw Giok Tjhan
dan tegas dalam menyelesaikannya dan tidak macet hanya karena
masalah detail. Walaupun benar bahwa ada ribuan pemuda
yang sudah menerima indoktrinasi komunisme, kita tidak perlu
khawatir. Di Indonesia sudah ada 8 juta WNI yang mempunyai
orientasi komunisme”12.
Dibelakang layar, Siauw melobby untuk dicapainya penyelesaian
cepat yang memungkinkan sebanyak mungkin orang Tionghoa di
Indonesia menjadi WNI. Ia tetap menginginkan agar jumlah orang
yang diharuskan memilih kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan ini diperkecil. Siauw lagi-lagi mendorong
kedua belah pihak, RRT dan RI untuk membuat perjanjian yang
membebaskan semua orang yang ikut pemilu dan yang hidup
sebagai petani dari proses pemilihan. Ia juga menganjurkan agar
proses pemilihan dibuat semudah dan semurah mungkin13.
Kali ini, usaha Siauw yang didukung oleh Baperki juga
ditunjang oleh Huang Chen Duta Besar RRT di Indonesia. Huang
menganjurkan masayarakat Tionghoa di Indonesia untuk memilih
kewarganegaraan Indonesia14. Pada saat ini, kebanyakan orang
Tionghoa yang berstatus asing, terutama dari kalangan totok
mulai mempunyai keinginan untuk menjadi WNI. Terutama bagi
mereka yang berdagang, karena kewarganegaraan Indonesia bisa
membantu usaha mereka.
Pergantian sikap dari RRT ini didorong atas instruksi Perdana
Menteri RRT, Chou En Lai dan Menteri Luar Negerinya, Chen Yi.
Mereka ternyata mendukung pendapat yang diajukan oleh Siauw
yang merekomendasi dijadikannya sebanyak mungkin orang
Tionghoa di Indonesia WNI15.
12
13
14
15
Ibid.
Wawancara dengan Go Gak Cho, Januari 1990, Hongkong. Menurut Go, isi perjanjian yang akan ditanda tangani oleh Soekarno dan Chen Yi dirancang oleh Siauw dan Huang Chen.
Wawancara dengan Oei Hiem Hwie, yang turut mendengarkan ceramah-ceramah Huang pada tahun 1960 di Jawa Timur.
Wawancara dengan Go Gak Cho and Chu Ie
302
Zaman Demokrasi Terpimpin
Persetujuan antara RI dan RRT tentang pelaksanaan Perjanjian
ini akhirnya dicapai dalam pertemuan antara Soekarno dan Chen
Yi pada tanggal 24 Desember 1960. Disitu dijelaskan hal yang telah
lama diperjuangkan oleh Siauw yaitu bahwa semua orang yang
turut dalam pemilu dinyatakan telah menjadi WNI, jadi tidak perlu
melalui proses pemilihan kewarganegaraan lagi. Menurut Siauw,
jumlah orang yang pernah ikut pemilu ini adalah 65% dari semua
orang yang pernah dianggap memiliki kewarganegaraan berganda.
Perjanjian ini juga mengikut sertakan permintaan Siauw yang lain,
yaitu semua orang yang hidup sebagai petani dinyatakan telah
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi tidak perlu melalui proses
memilih kewarganegaraan lagi16.
Satu hal lain yang dicantumkan di dalam perjanjian ini adalah
orang-orang yang memiliki kewarganegaraan berganda bisa
menyatakan keinginannya untuk menolak kewarganegaraan
Tiongkoknya melalui pos. Mereka tidak perlu datang ke kantorkantor Kementerian Kehakiman di kota-kota besar. Waktu yang
diberikan untuk memilih adalah antara 20 Januari 1961 dan 20
Januari 1962.
Sebelum Perjanjian antara Soekarno dan Chen Yi ini dicapai,
orang-orang yang dianggap memiliki kewarganegaraan berganda
tidak bisa menjadi WNI. Untuk menjadi WNI, mereka harus
mengeluarkan dokumen-dokumen yang membuktikan tempat
kelahiran mereka dan orang tua mereka. Dokumen-dokumen pada
umumnya sulit untuk diperoleh, karena kelemahan kantor catatan
sipil di zaman Belanda dan kerusakan-kerusakan kantor catatan
sipil dalam zaman perang.
Akan tetapi pelaksanaan perjanjian yang isinya memuaskan
Siauw ini ternyata tidak sesuai dengan isi perjanjian itu sendiri.
Sampai bulan Februari 1962, masih terdapat puluhan ribu orang
yang masih belum secara resmi memilih kewarganegaraan
16
Pidato Siauw yang disampaikan di Konperensi Baperki 29 July 1961
303
Siauw Giok Tjhan
Indonesia. Jumlah yang diperkirakan oleh Siauw adalah 20.000
orang. Menurut Siauw, mereka ini tidak ingin menolak menjadi WNI,
tetapi mereka terbentur oleh birokrasi instansi-instansi pemerintah
yang menangani masalah kewarganegaraan. Walalupun menurut
perjanjian, proses pemilihan dapat dilakukan melalui pos, banyak
yang diharuskan datang ke kantor-kantor Kementerian Kehakiman
di kota-kota besar dan di sana mereka terpaksa mengeluarkan
banyak uang untuk memproses pilihannya. Banyak pula yang
dimintai dokumen-dokumen yang membuktikan tempat kelahiran
mereka dan orang tuanya17.
Atas desakan dan protes Baperki, Kementerian Kehakiman
akhirnya menyetujui adanya perubahan dalam menangani
proses orang-orang yang telah terlambat secara resmi memilih
kewarganegaraan Indonesia. Bagi mereka yang dianggap miskin,
surat keterangan tentang tempat kelahirannya dari lurah di mana
mereka menetap dianggap cukup18. Pada akhir tahun 1963, hampir
setiap orang Tionghoa di Indonesia jelas berada di dalam dua grup,
grup WNI dan grup asing. Dari jumlah orang Tionghoa yang lahir di
Indonesia , yang menjadi WNI merupakan mayoritas.
Tidak mudah memastikan berapa jumlah orang yang dipengaruhi
oleh perkembangan ini. Skinner memperkirakan pada tahun 1962
ada 2,45 juta orang Tionghoa di Indonesia. Sekitar 1 juta darinya
lahir di luar Indonesia. Sekitar 200.000 menolak kewarganegaraan
Indonesia antara 1949-1951 dan darinya ada 50.000 anak. Jadi
diperkirakan jumlah total Tionghoa asing sekitar 1,25 juta. Berarti
1,2 juta lainnya memiliki status WNI atau berkewarganegaraan
ganda. Antara 600.000 dan 800.000 darinya telah dianggap WNI19.
Berdasarkan perhitungan ini, usaha Siauw yang didukung oleh
Baperki telah berhasil memastikan menjadinya sekitar 1,4 juta
orang Tionghoa warga-warga negara Indonesia.
17
18
19
Pidato Siauw, 22 February 1962.
Pidato Siauw, Kongres Baperki, March 1963
Skinner, The Chinese Minority, pp 111-112
304
Zaman Demokrasi Terpimpin
PP-10 - Larangan Berdagang di Daerah Pedalaman
Sebuah masalah yang dihadapi oleh orang Tionghoa di permulaan
zaman Demokrasi Terpimpin berhubungan dengan dikeluarkannya
Peraturan Presiden 10 yang lebih dikenal sebagai PP-10. Peraturan
ini dikeluarkan pada bulan November 1959.
Dikeluarkannya PP-10 sebenarnya merupakan konsolidasi
Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan di
dalam Kabinet Djuanda, Rachmat Muljomiseno. Peraturan Menteri
yang dikeluarkan pada bulan Mei 1959 ini melarang orang asing
untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman20.
Ketika peraturan ini dikeluarkan, Siauw segera menentangnya
di DPR. Ia menyatakan bahwa peraturan semacam ini tidak bisa
dikeluarkan oleh seorang Menteri. Menurut Siauw, karena dampak
peraturan ini besar sekali, ia harus dimuat dalam UU yang harus
disahkan oleh DPR. Siauw menyatakan bahwa para pedagang
Tionghoa memiliki usaha yang sah di daerah-daerah pedalaman dan
dengan sendirinya usaha dagang mereka mendapat perlindungan
hukum-hukum internasional yang harus dipatuhi pemerintah RI.
Yang lebih penting lagi, menurut Siauw, bilamana mereka dipaksa
untuk berhenti berdagang dan keluar dari tempat kediamannya,
ekonomi Indonesia akan mundur banyak karena diperdesaan
keakhlian yang sudah dimiliki bergenerasi ini akan hilang dan
jaringan distribusi di daerah pedalaman akan lumpuh21.
Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Soekarno sedang berada
di luar negeri. Ketika ia kembali, Soekarno ternyata marah dengan
Rachmat Muljomiseno yang tidak diturut sertakan lagi dalam
kabinet yang dibentuk setelah 5 Juli 1959. Ketika Subandrio,
sebagai menteri luar negeri mengunjungi RRT pada bulan Oktober
1959, ia-pun ditekan oleh pihak RRT untuk menjelaskan kebijakan
yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Indonesia. Ia ditekan
20
21
Muljomiseno, tokoh NU, yang pernah aktif di KENSI.
Republik, 21 May 1959
305
Siauw Giok Tjhan
untuk menarik peraturan yang dianggap bersifat rasis itu. Sebagai
kompromi, pada bulan November 1959, Soekarno menandatangani PP-10. Sayangnya, ia tidak memahami dampak PP-10 yang
ditanda tangani ini.
Kenapa ia bersedia menanda-tangani PP-10 tetap merupakan
pertanyaan yang kontroversial. Menurut Siauw, Soekarno ditekan
oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai Islam yang
berargumentasi bahwa sosialisme memerlukan proses yang
menjamin adanya perpindahan kepemilikan usaha dari tangan
asing ke tangan orang Indonesia “asli” di daerah pedalaman. Siauw
sendiri ternyata juga berkali-kali dipanggil oleh Soekarno untuk
menjelaskan keberatan-keberatannya22.
Perdagangan eceran di daerah pedalaman memang sebagian besar
berada di tangan orang Tionghoa. Dalam hal ini, mereka bersaing
dengan pedagang-pedagang Islam yang mulai bermunculan.
Akan tetapi karena jaringan mereka lebih baik dan pengalaman
serta hubungannya lebih baik, mereka bisa mengalahkan posisi
pedagang-pedagang Islam. Jadi PP-10 ini menguntungkan posisi
para pedagang Islam, baik yang berkiblat ke NU maupun Masjumi.
Ketika PP-10 dikeluarkan, penyelesaian masalah DwiKewarganegaraan belum dilaksanakan. Dengan demikian banyak
orang Tionghoa yang tinggal dan berdagang di pedalaman bisa
dianggap sebagai orang-orang yang memilki kewarganegaraan
ganda. Baperki harus sering membela orang-orang yang
dianggapnya sudah menjadi WNI supaya toko-toko-nya tidak
dirampas oleh pihak penguasa.
PP-10 mungkin merupakan peraturan anti-Tionghoa yang paling
buruk untuk penduduk Tionghoa di Indonesia sejak berdirinya RI
pada tahun 1945. Yang terkena oleh peraturan ini diperkirakan
sekitar 25.000 pedagang. Akan tetapi walaupun peraturannya
ditujukan ke orang asing dan hanya melarang orang asing itu
22
Wawancara dengan Siauw , Amsterdam 1980; Wawancara dengan Oey Hay Djoen in April 1998
306
Zaman Demokrasi Terpimpin
untuk berdagang, pelaksanaannya di berbagai daerah, terutama di
Jawa Barat, lebih dari itu. Disamping larangan untuk berdagang,
mereka-pun diusir dari tempat tinggalnya. Dan juga tidak dibatasi
pada para pedagang. Yang tidak berdagang-pun dipaksa untuk
meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke kota-kota. Timbullah
kekacauan besar, karena tempat penampungan di kota-kota tidak
ada dan mereka dipaksa untuk mengatur tempat penampungan di
kota-kota sendiri.
Pelaksanaannya berbeda-beda, tergantung lokasinya. Yang
tercatat paling keras adalah di Jawa Barat, di mana pengaruh
golongan Islam-nya kuat. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyak
penguasa dan penduduk setempat tidak memaksa penduduk
Tionghoa untuk meninggalkan tempat tinggalnya23.
Dampak sosial pelaksanaan PP-10 ini tentunya besar sekali.
Orang Tionghoa, baik totok maupun peranakan lagi-lagi kehilangan
kepercayaan bahwa masa depannya di Indonesia terjamin, apalagi
setelah disiarkan desas desus bahwa penduduk Tionghoa di kotapun akan mengalami nasib serupa.
Ketika pemerintah RRT menyatakan bahwa ia akan menerima
orang-orang Tionghoa yang ingin kembali ke RRT dengan tangan
terbuka, sambutan komunitas Tionghoa di Indonesia berupa
besarnya hasrat untuk pergi meninggalkan Indonesia. Ketika
RRT mengirim kapal-kapal-nya menjemput mereka yang ingin
ke Tiongkok, jumlah yang meninggalkan Indonesia cukup besar,
sekitar 136.000 dalam tahun 1960 saja24.
Siauw dan para pemimpin Baperki lainnya baik di kota maupun di
daerah-daerah mencoba untuk meyakinkan masyarakat Tionghoa
untuk tidak memilih kembali ke Tiongkok. Mereka berkali-kali
menyatakan bahwa Indonesia-lah tanah airnya, bukan Tiongkok.
Oleh karena itu, mereka didorong untuk tetap menetap di Indonesia.
23
24
Mackie, Anti-Chinese Outbreaks, pp95-96 ; Somers, Pera
nakan Chinese Politics, p 198
Mackie, Anti-Chinese Outbreaks, p 95
307
Siauw Giok Tjhan
Akan tetapi pengalaman pahit mereka mendorong sebagian besar
dari mereka yang ingin ke Tiongkok tidak menghiraukan anjuran
Siauw. Salah seorang paman Siauw sendiri ternyata memutuskan
untuk “pulang ke Tiongkok”, walaupun Siauw berulang kali
mendorongnya untuk tidak meninggalkan Indonesia.
Baru setelah terdengar laporan-laporan tentang penderitaan
yang dialami oleh orang-orang yang sudah hidup menetap di
Tiongkok, animo untuk kembali ke Tiongkok berkurang menjelang
akhir tahun 1960.
PP-10 juga membuat hubungan RRT dan RI sempat renggang.
Huang Chen berkali-kali menyuarakan protes-nya. Hubungan
menjadi lebih buruk ketika terdengar kasus-kasus di mana
penduduk Tionghoa yang tidak bersedia meninggalkan tempat
tinggalnya dipaksa keluar dengan kekerasan. Di Cimahi pada
bulan Juli 1960, terjadi penembakan yang menyebabkan seorang
perempuan Tionghoa tewas tertembak, karena ia dan keluarganya
tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya. Kejadian ini ternyata
mendorong keterlibatan Soekarno yang lalu mengeluarkan instruksi
ke penguasa militer untuk tidak lagi memaksa orang Tionghoa
keluar dari tempat tinggalnya di daerah-daerah pedalaman25.
PP-10 seperti yang dinyatakan oleh Siauw di DPR, menimbulkan
kekacauan dan kerusakan ekonomi di daerah pedalaman. Kurangnya
pengalaman, jaringan distribusi dan koneksi dagang menyebabkan
para pedagang baru tidak bisa menjalankan usaha se-efektif para
pedagang Tionghoa yang diusir. Akibatnya harga barang-barang
di daerah pedalaman naik pesat dan barang-barang tidak bisa
dijajakan dan disebar luaskan di banyak tempat. Di samping
itu, pada akhirnya orang sulit untuk mendapatkan komoditi di
pedalaman. Juga banyak orang yang kehilangan kerjaan sehingga
tidak bisa hidup secara wajar di daerah-daerah yang memerlukan
bantuan ini.
Ekonomi Terpimpin dan Kegagalannya
25
Mackie, Anti-Chinese Outbursts, p 94
308
Zaman Demokrasi Terpimpin
Siauw dianggap oleh banyak pemimpin pada waktu itu sebagai
seorang akhli dalam bidang ekonomi. Ia selalu menyumbangkan
pikiran-pikirannya dalam diskusi-diskusi tentang ekonomi di DPA
dan pada tahun 1963, ia diangkat sebagai penasehat Menteri
Keuangan dan Ekonomi. Akan tetapi, seperti yang dikatakan
Utrecht, sebagian besar usul-usul yang diajukan oleh Siauw tidak
diterima atau bilamana diterima, ujar Utrecht, tidak dilaksanakan.
Utrecht yang selalu mendukung usul-usul ekonomi Siauw di DPA,
menyalahkan kelompok “Subandrio-Chaerul Saleh-Leimena” untuk
kegagalan-kegagalan ekonomi di Indonesia26.
Pada bulan Agustus 1961, Soekarno meluncurkan Rencana
Pembangunan yang mencakup masa 8 tahun, sebagai hasil
permusyawaratan di Depernas. Zaman yang dicakup adalah dari
tahun 1961 sampai tahun 1969. Rencana ini dijadikan basis apa
yang lalu dinamakan Ekonomi Terpimpin. Rencana ini mencakup
jumlah proyek yang besar dari produksi makanan, tekstil sampai
pada pembinaan mental termasuk pengembangan dunia pers
Indonesia. Modal yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyekproyek ini direncanakan akan diperoleh dari penghasilan negara
di bidang export (minyak, alumunium, karet, kopra dan kayu) dan
juga turisme.
Tetapi dalam kenyataannya, Rencana ini merupakan usaha
simbolik belaka. Ia terdiri dari 17 volume, 8 seksi dan 1945 klausa. Di
dalamnya juga terdapat proyek-proyek raksasa untuk membangun
stadium olah raga megah untuk Asian Games yang akan diadakan
di Indonesia pada tahun 1962, dan juga pembangunan hotel-hotel
mewah serta gedung pertokoan27.
Akan tetapi masalahnya tidak terbatas pada keinginan untuk
mengeluarkan rencana simbolik, melainkan juga adanya mismanagement dalam melaksanakan program-program ekonomi
26
27
Wawancara dengan Ernst Utrecht, Amsterdam, 1981
Feith, Dynamics of Guided democracy, p 384
309
Siauw Giok Tjhan
negara.
Kegagalan ekonomi mulai nampak setelah perusahaanperusahaan Belanda diambil alih dan management mereka
diserahkan ke tangan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat
pada tahun-tahun 1957-1958. Yang diambil alih termasuk
perusahaan-perusahaan dalam bidang pertanian dan perkebunan,
pertambangan, bank-bank, export-import dan berbagai pabrik
besar (tekstil, kertas, percetakan dan alat-alat listrik)28. Pengambil
alihan ini menyebabkan sekitar 46.000 penduduk Belanda
meninggalkan Indonesia29. Kurangnya pengalaman dalam bidang
management dan industri serta adanya korupsi menyebabkan
jatuhnya produksi di segala bidang dan ini mengurangi kapasitas
untuk export. Pelaksanaan PP-10 juga lebih banyak merusak
keadaan ekonomi Indonesia.
Disamping itu, kampanye untuk memerdekakan Irian Barat
memerlukan kegiatan militer yang memakan banyak ongkos negara.
Sebagai akibat dari ini semua, budget negara menjadi defisit dan
inflasi menanjak dengan hebat pada akhir tahun 196230.
Belum selesai menanggulangi masalah inflasi dan defisit negara,
Indonesia mulai dengan program “Ganyang Malaysia” pada tahun
1963. Kampanye yang juga ditujukan pada pemerintah Inggris ini,
ini ternyata menyebabkan berhentinya bantuan luar negeri yang
diperlukan untuk meringankan beban ekonomi negara pada waktu
itu -- 250 juta dollar pada tahun 1964. Disamping itu, mundurnya
export, sangat berkurangnya kapasitas produksi menyebabkan
inflasi menanjak pesat dan sangat membengkaknya defisit budget
negara yang pada tahun 1963 dan 1964 lebih besar dari penghasilan
negara31.
Siauw selalu menyatakan dukungannya pada pasal 33 UUD28
29
30
31
L. Castle: The Fate of the Private Enterpreneur, TK Tan (ed): Soekarno’s Guided Indonesia, The Jacaranda Press, 1967, p 76
Feith, Dynamics of Guided Democracy, p 321
Mackie, Problems of the Indonesian Inflation, p32
Mackie, Konfrontasi, pp 220-221
310
Zaman Demokrasi Terpimpin
45 yang menyatakan bahwa semua kekayaan alam Indonesia
dimilliki dan dikontrol oleh negara. Akan tetapi ia sangat kritis
terhadap pelaksanaan program ekonomi pemerintah. Sebagai jalan
keluarnya, ia mengajukan beberapa pertimbangan32:
Pertama, Siauw beranggapan bahwa diperlukan akhli-akhli
ekonomi yang bisa dengan kompeten mengeluarkan rencanarencana pembangunan ekonomi dan mengontrol pelaksanaannya.
Para akhli yang mengontrol perkembangan ekonomi Indonesia,
menurut Siauw dididik oleh penjajah Belanda, sehingga yang
dilaksanakan tidak banyak beda dengan program ekonomi kolonial.
Kedua Siauw menyatakan bahwa kebijakan ekonomi yang
diambil adalah bersandar pada bantuan ekonomi luar negeri.
Tetapi bantuan ini, tidak digunakan untuk mempertinggi daya
produksi dan mentransfer teknologi ke Indonesia. Bantuan, Siauw
menambahkan, lebih banyak digunakan untuk menutupi gap antara
ongkos import yang kian meningkat dan penghasilan dari export
yang kian menurun.
Ketiga, rasisme terus menerus merusak ekonomi Indonesia.
Adanya politik “asli” telah menimbulkan keganjilan-keganjilan yang
membawa Indonesia ke tahap yang lebih buruk. Ia mengetengahkan
bahwa daripada meminjam modal luar negeri, sebaiknya Indonesia
menggunakan dengan efektif modal-modal yang ada di Indonesia,
tanpa memperdulikan latar belakang ras para pemilik modal itu.
Keempat, Siauw mengkritik cara pemerintah dalam
menanggulangi inflasi. Menurutnya cara pemerintah yang
merendahkan harga-harga produksi lokal untuk merendahkan
inflasi sebagai usaha yang salah, karena ini akan menghilangkan
incentives yang sangat dibutuhkan untuk menggalakkan produksi
lokal dan kapasitasnya.
Pada tahun 1963 ada beberapa indikasi ekonomi yang
menunjukkan kegagalan dalam management ekonomi. Harga
karcis kereta api naik 300%. Tarif Bus naik 500%. Tarif listrik air
dan perangko naik 400%. Harga barang-barang import naik 100%
32
Pidato Siauw, Kongres Baperki, 12 November 1962
311
Siauw Giok Tjhan
juga33.
Untuk mengatasi masalah ini, Djuanda mengeluarkan program
ekonomi pada tanggal 26 Mei 1963. Di dalamnya terdapat 14
peraturan ekonomi yang perlu dimodali oleh pinjaman IMF.
Djuanda berharap ke 14 peraturan ini bisa menstabilkan harga
Masalah harga memang merupakan salah satu topik pembicaraan
di DPA. Mengetahui kemampuan Siauw dalam mengeluarkan
formulasi-formulasi ekonomi, Soekarno menyatakan di DPA pada
bulan Juli 1963 bahwa ia ingin mengangkat Siauw sebagai Menteri
Urusan Harga dengan tugas utama menurunkan inflasi. Oleh Siauw
tawaran ini ditolaknya. Ia mengusulkan agar Soekarno mengangkat
Oei Tjoe Tat, salah satu wakil ketua Baperki yang juga aktif sebagai
seorang pemimpin Partindo.
Alasan Siauw untuk menolak adalah ia merasa bahwa persoalan
harga berkaitan dengan program ekonomi negara. Selama
program ekonominya tidak sesuai dengan apa yang ia canangkan,
inflasi tidak akan bisa dikontrolnya. Disamping itu, ia juga tidak
bersedia memasuki kelompok eksekutif yang lebih berkeinginan
untuk mempertahankan peranannya sebagai menteri daripada
mencari jalan keluar yang baginya lebih tepat. 6 bulan kemudian,
anjuran Siauw dipenuhi oleh Soekarno. Oei Tjoe Tat, diangkat
sebagai menteri negara, membantu Subandrio, Chaerul Saleh dan
Leimena34.
Ketika Malaysia dibentuk pada bulan September 1963, Soekarno
memulai program konfrontasi-nya terhadap Malaysia. Program
politik ini lagi-lagi menguras kas negara dan memperburuk keadaan
ekonomi Indonesia. Sikap Soekarno yang tidak bersedia mengubah
politik luar negerinya menyebabkan program IMF dibatalkan.
Kejadian yang digambar ini memperburuk ekonomi Indonesia
dan sukarnya Indonesia mendapatkan bantuan luar negeri
menyebabkan Soekarno terdorong untuk mendekati RRT dan Uni
33
Oey Hong Lee’s Indonesian Government And Press During
Guided Democracy, pp 105-106
34
Wawancara dengan Siauw, Amsterdam, 1979
312
Zaman Demokrasi Terpimpin
Soviet. Terjalinlah sebuah hubungan dengan negara-negara sosialis
yang semakin mendorong Soekarno ke kiri.
Kerusuhan anti Tionghoa 1963
Beberapa hari setelah Soekarno menghadiri peringatan hari
ulang tahun Baperki ke 9 pada tanggal 13 Maret 1963 di Jakarta,
kerusuhan anti-Tionghoa meledak di Cirebon. Kerusuhan ini
dimulai dengan kasus pengadilan di mana seorang anak “asli”,
anak seorang dokter yang aktif di PSI dijatuhi hukuman karena
menabrak seorang pelajar Tionghoa sehingga ia meninggal di
jalan raya Cirebon. Beberapa jam setelah keputusan itu dibacakan,
rumah-rumah, toko-toko penduduk Tionghoa diserbu oleh massa
yang marah.
Peristiwa ini terjadi sebelum kedatangan Presiden Liu Sao
Chi dari Tiongkok, yang sebenarnya akan menunjukkan dunia
akan baiknya hubungan RI dan RRT. Kunjungan Liu merupakan
kunjungan kepala negara Tiongkok yang pertama ke Indonesia.
Para anggota Baperki dan Partindo yang dikirim ke Cirebon
untuk menolong para korban dan menginvestigasi sebab-musabab
terjadinya, menyimpulkan bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh
para aktivis PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan isi pidato
Soekarno pada upacara penyambutan Liu Sao Chi sebagai tanda
bahwa orang Tionghoa adalah musuh golongan Islam. Di dalam
pidato itu, Soekarno mengucapkan terima kasih pada RRT yang
dikatakan telah membantu RI dalam menumpas pembrontakan
PRRI/Permesta35.
Seminggu setelah kerusuhan di Cirebon, terjadi juga kerusuhankerusuhan anti Tionghoa di tempat-tempat lain di Jawa Barat36.
Akan tetapi, yang paling hebat terjadi di Bandung pada tanggal
35
36
Laporan ini ditulis oleh para anggota Baperki dan Partindo dan dipersembahkan pada Siauw dan Oei pada bulan April 1963.
Mackie, Anti-Chinese Outbreaks In Indonesia, p 98
313
Siauw Giok Tjhan
10 Mei 1963. Kerusuhan yang menghancurkan toko-toko dan
perumahan penduduk Tionghoa merupakan yang terbesar dalam
zaman kemerdekaan Indonesia. Disamping rusaknya ratusan
toko dan rumah, dikabarkan terdapat juga korban jiwa. Keesokan
harinya kerusuhan ini menyebar ke Bogor, Cianjur, Garut, Cipayung
dan Sukabumi. Kerusuhan ini tidak menjalar ke Jakarta yang telah
dijaga ketat. Mahasiswa-mahasiswa di Universitas Indonesia telah
diperingati oleh rektor-nya untuk tidak terlibat dalam gerakan antiTionghoa37.
Pada tanggal 19 Mei 1963, Soekarno mengutuk kerusuhan anti
Tionghoa ini yang ia katakan didukung oleh PSI, Masjumi and sisasisa PRRI/Permesta. Soekarno menyatakan bahwa kekacauan
ini ditujukan untuk merusak reputasi Indonesia dan ditujukan
pada dirinya sendiri. Ia juga menambahkan bahwa kekacauan
ini dilakukan untuk menghalangi kebijakan pemerintah dalam
menumpas imperialisme38.
Siauw-pun cepat menyerukan kutukannya melalui beberapa
tulisan di berbagai surat kabar.
Dalam tulisan-tulisannya ini,
ia menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan
menumpas gerakan anti-Tionghoa di Indonesia. PKI juga mengambil
sikap serupa dan mengikuti jejak Soekarno dalam menuduh PSI
dan Masjumi sebagai dalang dari kerusuhan.
Baperki menerima surat selebaran yang menyalahkan
penduduk Tionghoa yang tidak bersedia mengassimilasi dirinya ke
dalam tubuh masyarakat Indonesia. Kalau assimilasi dijalankan,
kekerasan yang mereka alami ini tidak akan terjadi. Baperki
mendapatkan bukti bahwa LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa) terlibat dalam menyebarkan surat-surat selebaran ini.
Beberapa pemimpin Baperki turut menyalahkan LPKB sebagai
organisasi yang mengipasi kemarahan massa39.
37
38
39
Ibid. p 100
Ibid.
Wawancara dengan Go Gien Tjwan and Oei Tjoe tat in 1992
314
Zaman Demokrasi Terpimpin
Golongan anti-komunis pada waktu itu memang khawatir
dengan semakin dekatnya Soekarno dengan negara-negara
sosialis, terutama RRT. Polisi dan Angkatan Darat tidak terlihat
aktif mencegah ledakan-ledakan anti Tionghoa. Jadi walaupun
kerusuhan ini dikaitkan dengan kegiatan PSI dan Masjumi, tetapi
terlihat adanya protes kekuatan anti-Komunis terhadap kebijakan
pemerintah yang kian dekat dengan RRT.
Kemarahan Siauw terhadap gerakan anti-Tionghoa ini
diikutsertai kegiatan Baperki dalam mengumpulkan bantuan
untuk para korban. Dengan bantuan PKI dan Partindo, Baperki
membentuk PPKK (Panitia Penolong Korban Kontra Revolusi).
Kesediaan Partindo untuk membantu dihargai oleh penduduk
Tionghoa dan ini lalu menyebabkan Partindo menjadi partai yang
populer di kalangan Tionghoa. Cukup banyak peranakan Tionghoa
yang masuk ke Partindo dan aktif di dalamnya setelah kerusuhan
Mei 196340.
Kerusuhan di Jawa Barat mengirim signal kuat pada masyarakat
Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat rawan di saat-saat
kesulitan ekonomi. Tidak jelas sampai di mana pengaruh kerusuhan
ini dalam membangkitkan dukungan dukungan masyarakat
Tionghoa untuk Baperki. Akan tetapi, bisa dilihat bagaimana
masyarakat Tionghoa menghargai bantuan Baperki dan kecepatan
Soekarno dalam mengambil sikap yang mengutuk gerakan antiTionghoa.
Di lain pihak, cukup banyak orang Tionghoa yang juga melihat
kerusuhan di Jawa Barat ini sebagai tanda bahwa kekuatan antikomunis mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kekacauan
berdarah dan ini sebagai peringatan bagi penduduk Tionghoa
untuk tidak terlalu berorientasi kekuatan kiri, yang nantinya harus
berhadapan dengan kekuatan kanan yang didukung oleh Angkatan
Darat.
40
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat; Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, p 47
315
Siauw Giok Tjhan
Posisi Politik Baperki
Setelah mengambil keputusan untuk mendukung Soekarno
dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya, Siauw dan Baperki-nya
tetap berpijak di atas kubu Soekarno yang setelah tahun 1963, lebih
dekat dengan PKI. Jadi berada di kubu yang berhadapan langsung
dengan Masjumi, PSI, beberapa partai politik kecil lainnya.
Walaupun Siauw tetap dekat dengan para pemimpin partai-partai
politik, keberadaannya di kubu Soekarno dan PKI menyebabkan
adanya kerenggangan dengan pihak kanan.
Pada waktu yang bersamaan PKI terus berkembang menjadi
sebuah kekuatan Komunis yang terbesar, diluar RRT dan Uni-Soviet.
Jumlah anggotanya sendiri terus meningkat dan ia didukung oleh
beberapa organisasi massanya. Jumlah total masyarakat Komunis
yang berada di bawah naungan Aidit, ketua PKI, mendekati 7 juta
anggota.
Soekarno yang sudah bekerja sama dengan pimpinan Angkatan
Darat dalam merombak struktur pemerintahan demokrasi
parlementer, memerlukan sebuah organisasi yang bermassa dan
mampu berhadapan dengan pihak militer. Untuk ini, Soekarno
membutuhkan PKI .
Sebaliknya, pihak militer menginginkan PKI dibatasi ruang
lingkupnya. Pihak Angkatan Darat berkali-kali mencoba membatasi
perkembangan PKI . Pembatasan ruang gerak ini dipatuhi di
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sumatra Selatan. Pimpinan
Angkatan Darat tadinya juga ingin melarang acara peringatan hari
ulang tahun PKI pada bulan Mei 1959. Tetapi larangan itu batal,
karena Presiden Soekarno turut datang memeriahkannya41.
Menjelang akhir tahun 1963, posisi politik PKI berubah -menjadi lebih dekat dengan Soekarno. Soekarno yang memerlukan
Partai Politik sebagai sandaran untuk menyebar-luaskan ideologi
politiknya, memilih PKI sebagai partner-nya. PNI bagi Soekarno
kurang militan dan tidak memiliki sarana untuk menjangkau massa
41
Ibid. P 339
316
Zaman Demokrasi Terpimpin
seperti PKI. Banyak orang mengira bahwa bilamana Soekarno
meninggal, PKI akan siap untuk mengambil alih kekuasaan politik.
Akan tetapi PKI tidak berhasil menguasai berbagai aparat
pemerintah. Walaupun para anggotanya bisa menduduki posisiposisi tinggi, mereka tidak berhasil menduduki posisi-posisi
yang memimpin dan memegang peranan terpenting. Demikian
juga dalam hal pembentukan kabinet Nasakom. Pimpinan PKI,
Aidit, Lukman dan Njoto berhasil masuk ke Kabinet pada tahun
1963, tetapi mereka tidak memegang portfolio yang menentukan.
Kehadirannya lebih banyak berfungsi simbolik. Pimpinan Angkatan
Darat dan partai-partai anti Komunis tetap berhasil mencegah
adanya pengaruh berarti dari kelompok PKI di Kabinet.
Keputusan Siauw untuk dekat dengan Soekarno pada akhirnya
membawanya ke kubu yang didominasi oleh Soekarno dan PKI.
Jika di zaman Demokrasi parlementer, Siauw sering mengambil
posisi yang bertentangan dengan posisi PKI, di zaman Demokrasi
Terpimpin, PKI selalu mendukung usaha dan permintaan Baperki,
terutama dalam bidang rasisme. Pimpinan PKI melalui Harian
Rakyat-nya selalu mendukung tulisan-tulisan Siauw. Pidato-pidato
mereka dalam berbagai acara umum-pun seirama dengan apa
yang Siauw dengungkan. Pimpinan Baperki dan PKI sering saling
memuji di depan umum. Ketika pihak Angkatan Darat mensponsori
pembentukan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa)
pada tahun 1962, PKI juga mendukung Baperki dalam menyerang
kehadirannya.
Banyak tokoh Baperki masuk ke PKI. Dan sebagai timbal balik,
ada juga beberapa tokoh PKI yang masuk ke Baperki dan duduk
sebagai pimpinan. Sebagian besar pimpinan Baperki cabang Jawa
Timur adalah anggota-anggota PKI. Banyak anggota organisasi
pemuda Baperki, PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia)
dan Dewan-Dewan Mahasiswa Universitas Respublica masuk
dan menjadi pimpinan Pemuda Rakyat, CGMI (Central Gerakan
Mahasiswa Indonesia) dan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
317
Siauw Giok Tjhan
yang berada di bawah naungan PKI.
Akan tetapi, Siauw sadar akan berbahayanya posisi Baperki
bilamana ia terlalu dekat dengan PKI dan tetap menginginkan
adanya jarak antara kedua organisasi ini. Walaupun ia sering
menganjurkan para anggota Baperki untuk masuk ke dalam partaipartai politik, ia tidak pernah menganjurkan mereka untuk memilih
PKI. Ketika Liem Koen Seng, salah seorang pemimpin Baperki yang
dekat dengan Siauw masuk ke PKI, Siauw agak kecewa karena Liem
menjalankannya tanpa berkonsultasi dengannya42.
Sikap Siauw terhadap Partindo berbeda. Siauw mengenal para
pemimpin Partindo karena mereka duduk di dalam Fraksi Nasional
Progresif di zaman Demokrasi Parlementer. Tokoh-tokoh Partindo
seperti Danu Asmoro,Winoto Asmara Hadi dan Armunanto sangat
dekat dengan Siauw. Winoto masuk Baperki sebagai salah seorang
anggota Dewan Harian Baperki.
Pembicaraan tentang bagaimana Partindo dan Baperki bekerja
sama sebenarnya dimulai sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959. Pembicaraan antara Siauw, Oei Tjoe Tat dan para
tokoh Partindo itu diakhiri dengan kesimpulan masuknya tokohtokoh Baperki ke Partindo. Tidak lama setelah itu, Oei Tjoe Tat
masuk Partindo dan menjadi salah seorang wakil ketuanya. Tidak
lama setelah Oei, Phoa Thoan Hian yang turut mendirikan Baperki
juga menjadi pimpinan Partindo. Di zaman Demokrasi Terpimpin,
kedua organisasi ini bekerja sama di dalam berbagai bidang43.
Ketika Baperki me-Nasakom-kan dirinya, Siauw memilih
Partindo, Murba dan PNI kiri sebagai elemen Nasional. Elemen
Agama diisi oleh tokoh-tokoh Perti dan PSII. Mereka diikutsertakan
di dalam Dewan Harian dan Penasehat Baperki.
Dengan berkurangnya pengaruh DPRGR dalam bidang politik,
Siauw tidak lagi bisa menggunakan sarana parlemen dalam
mencapai tujuan politiknya. Ia harus bersandar pada para tokoh
yang berpengaruh di dalam DPRGR, MPRS dan kabinet. Diantara
42
43
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian
318
Zaman Demokrasi Terpimpin
tokoh yang selalu siap untuk mendukungnya Chaerul Saleh (Murba)
- Ketua MPRS, Sartono (PNI) - Wakil Ketua DPA, Aruji Kartawinata
(PSII) - Ketua DPRGR, Soedibyo (PSII) - Menteri dan juga Sekretaris
J
319
Siauw Giok Tjhan
BAB 11
Kunjungan Siauw di Banda Aceh, 1964
Siauw dengan pengurus Baperki Jawa Timur, di antaranya Njoo
Soen Hian dan Siauw Giok Bie, 1965
320
Zaman Demokrasi Terpimpin
Dari kiri ke kanan, Oei Tjoe Tat, Ny. Oei Tjoe Tat, Werdojo dan
Siauw Giok Tjhan, di acara Baperki, 1965
Siauw bersama isteri mengunjungi sebuah sekolah menengah di
Beijing, 1964
321
Siauw Giok Tjhan
Siauw dan insteri bersama Chung Chin Fa, kepala urusan Hoa
Kiao Tiongkok, Beijing, 1964
322
Dunia Pendidikan Baperki
BAB 12
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BAPERKI
Setelah 1957, Baperki membuka dan menjalankan banyak
sekolah dan universitas yang memiliki beberapa kampus di
beberapa kota besar. Walaupun institusi pendidikan Baperki
ini terbuka untuk umum, tetapi sebagian besar muridnya adalah
orang-orang Tionghoa, kebanyakan dari golongan peranakan.
Baperki juga menerima anak-anak yang berstatus asing yang tidak
bisa masuk sekolah-sekolah nasional dan universitas-universitas
negara.
Karena kebijakan dalam menerima murid dan mahasiswa
dianggap baik dan kualitas pendidikannya tinggi, masyarakat
Tionghoa, baik peranakan dan totok sangat mendukung kehadiran
Baperki. Inilah sebabnya Baperki tidak pernah mengalami
kesulitan dalam pengumpulan dana untuk membangun gedunggedung sekolah dan universitas-nya. Universitas Baperki menjadi
universitas swasta yang terbesar di Indonesia dengan fasilitasfasilitas modern yang tidak kalah mutunya bila dibandingkan
dengan fasilitas-fasilitas yang tersedia di Institut Teknologi
Bandung dan Universitas Indonesia.
Menjelang akhir zaman Demokrasi Terpimpin, Baperki lebih
dikenal sebagai organisasi pendidikan. Dalam hal ini, ia memiliki
prestasi serupa dengan Tiong Hoa Hwee Kwan yang didirikan
pada tahun 1901. Perbedaan utamanya terletak pada penekanan.
Tiong Hoa Hwee Kwan menitik beratkan pendidikannya pada
nasionalisme Tionghoa dan Kong Hu Cu-isme, sedangkan Baperki
menekankan nasionalisme Indonesia, integrasi dan pendidikan
politik yang berorientasi ke Indonesia.
323
Siauw Giok Tjhan
Latar Belakang Terjunnya Baperki dalam Dunia Pendidikan
Sebelum Perang Dunia II sebagian besar pelajar Tionghoa belajar
di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya
dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada
mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda
(HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim
anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman
pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan pelajarpelajar Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah
berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua pelajar Tionghoa tidak
ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa
Tionghoa.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan
di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah
yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah yang
dinamakan Tjing Iem ini mengakomodasi ribuan pelajar yang ingin
meneruskan pelajaran-pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian
dari mereka ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda. Seperti
yang dituturkan sebelumnya, Angkatan Muda Tionghoa yang
dibentuk oleh Siauw di Malang juga mendirikan sekolah yang
menampung ratusan pelajar Tionghoa yang ingin meneruskan
pendidikan Belanda sampai tahun 1948.
Akan tetapi, setelah kemerdekaan sampai akhir tahun 50-an,
sebagian besar penduduk Tionghoa masih mengirim anak-anaknya
ke sekolah-sekolah Tionghoa. Kualitas pendidikan di sekolahsekolah ini dianggap baik dan uang sekolah-nya tidak terlalu tinggi.
Siauw Giok Tjhan-pun mengirim ke lima anaknya ke sekolahsekolah Tionghoa di Jakarta. Bukan karena ia tidak menginginkan
anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena
tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan ia merasa kualitas
pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah
Tionghoa itu memenuhi harapannya.
Adanya kenyataan bahwa banyak pelajar Tionghoa WNI
324
Dunia Pendidikan Baperki
yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an
menimbulkan kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir
Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD
Jakarta sebagai wakil PSI, mengajukan mosi di DPRD yang menuntut
dikeluarkannya 200.000 pelajar Tionghoa WNI dari sekolahsekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasiorganisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya
sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah
nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%.
Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak
cukup untuk menampung pelajar-pelajar WNI yang pada waktu
itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa
komunitas Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolahsekolah yang berkurikulum nasional untuk anak-anaknya1.
Siauw mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat
dalam Berita Baperki, Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa sampai
pemerintah menyediakan cukup tempat belajar untuk semua warga
negaranya, pelajar-pelajar Tionghoa WNI harus diberi kebebasan
memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya.
Banyaknya pelajar Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah
berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia
mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka
terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah
nasional tidak bisa menampungnya. Demikian ujar Siauw2.
Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir
Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki
lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954.
Walaupun pertemuan itu memperbaiki pengertian tentang masalah
yang dihadapi oleh golongan Tionghoa, tidak ada jalan keluar yang
bisa disimpulkan3. Untuk sementara tidak ada tindak lanjutnya.
Mosi Takdir tidak menyebabkan keluarnya peraturan-peraturan
1
2
3
Berita Baperki, 26 July 1954
Ibid.
Ibid
325
Siauw Giok Tjhan
yang melarang pelajar-pelajar Tionghoa WNI belajar di sekolahsekolah Tionghoa.
Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa
Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI..
Reaksi Baperki ternyata berbeda-beda. Ada beberapa pemimpin
Baperki seperti Auwyang Peng Koen yang mendukung konsep ini.
Lainnya, seperti Siauw menentangnya. Siauw menganggap konsep
ini akan mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang
meng kotak-kotakan masyarakat4.
Pada bulan Mei 1955, Baperki mengadakan sebuah konperensi
tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini akhirnya
sepakat untuk menentang program Sekolah Rakyat Percobaan.
Ia menuntut pemerintah untuk mempercepat pendirian sekolahsekolah yang bisa menampung semua warga negaranya dan
mempertinggi kualitas buku-buku pelajaran. Juga disimpulkan
bahwa Baperki akan mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki
kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI5.
Desakan para anggota Baperki agar Baperki mendirikan
sekolah-sekolahnya sendiri semakin gencar pada tahun 1955.
Akan tetapi kesibukan Baperki dalam menghadapi pemilu dan
dalam memperjuangkan penyelesaian masalah kewarganegaraan
Indonesia telah menghambat proses pendirian sekolah-sekolah.
Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki
Masalah kehadiran pelajar-pelajar Tionghoa WNI di sekolahsekolah Tionghoa diungkit kembali pada tahun 1957. Setelah
Keadaan darurat diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di
berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi
sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di
sekolah-sekolah Tionghoa.
4
5
Risalah Baperki , Juni 1955
Ibid.
326
Dunia Pendidikan Baperki
Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua
sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan,
penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama.
Pada bulan November 1957, kebijakan yang sama dilaksanakan
di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup,
jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturanperaturan juga dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah
nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala
sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI6.
Dalam tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala
sekolah dan guru sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian
bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus
asing juga harus dibatasi7.
Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000
sampai 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah
Tionghoa turun dari 425.000 sampai 150.000. Sebagian besar dari
250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah
pelajar-pelajar Tionghoa8.
Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk
mendirikan lebih banyak sekolah-sekolah yang bisa menampung
para pelajar yang kehilangan tempat sekolah. Beberapa cabang
Baperki sebenarnya sudah mulai menjalankan sekolah-sekolah
dasar sejak akhir tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut,
Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan
Siapi api di Sumatra9.
Untuk mempercepat usaha pengumpulan dana yang diperlukan
untuk membangun sekolah-sekolah, Baperki mendirikan Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan, yang dipimpin oleh Siauw, pada
awal tahun 1958. Yayasan ini ditugaskan untuk mengawasi dan
6
7
8
9
Somers, Peranakan Chinese Politics In Indonesia, p164
Ibid.
Ibid, pp 164-165
Ibid, p 166; Wilmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 87; Berita Baperki, 15 Oktober 1956
327
Siauw Giok Tjhan
mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki10.
Melalui koneksi Siauw dengan pimpinan Chiao Chung, terutama
Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki
dapat bekerja sama dengan erat dengan para direktur dan
pemimpin sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga dalam waktu
singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah yang
mampu untuk menampung ribuan pelajar yang kehilangan tempat
sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh
Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah
dasar dan menengah.
Kebijakan yang diambil pada waktu itu adalah Baperki
mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang
ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua.
Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah yang dijalankan oleh
Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki
lebih besar pula. Kesemuanya ini dilakukan oleh perkumpulanperkumpulan Tionghoa itu secara cuma-cuma. Siauw berhasil
meyakinkan pimpinan Chiao Chung bahwa mereka-pun harus
turut bertanggung jawab dalam membantu anggota masyarakat
Tionghoa WNI. Dari para pedagang Tionghoa, Baperki juga
mendapat sumbangan-sumbangan besar, sehingga dalam waktu
singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan lancar dan mereka
dapat pula menjamin kualitas pendidikannya11.
Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan kepemilikan
sekolah-sekolah itu pernah menjadi masalah yang diperdebatkan
dalam rapat pimpinan Baperki. Dalam rapat yang diadakan
pada tanggal 8 Februari 1958, di hari mana Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan Baperki diresmikan pendiriannya, Yap Thiam
Hien mengajukan keberatannya akan keterlibatan Baperki di
dalam bidang pendidikan. Menurutnya, Baperki lebih baik terus
10
11
Laporan Sekretariat Yayasan Pendidikan Dan Kebudayaan Baperki, 29-30 July 1961
Wawancara dengan Go Gak Cho dan Kho Nai Chong; Siauw, Lima Jaman, p 253.
328
Dunia Pendidikan Baperki
melawan tindakan penguasa militer dalam menutupi sekolahsekolah Tionghoa daripada membuka sekolah-sekolah sendiri. Yap
khawatir kalau Baperki nanti gagal dalam menjalankan sekolahsekolah ini dan tidak mampu meneruskan tugasnya dengan baik
karena masalah keuangan12.
Siauw menanggapi Yap dengan penjelasan bahwa bilamana
Baperki berhasil menjadi sebuah institusi yang bisa menampung
pelajar-pelajar Tionghoa yang tidak bisa sekolah, dukungan
masyarakat Tionghoa terhadap Baperki akan meningkat. Siauw
menyatakan juga bahwa menurut pengamatannya, Baperki tidak
akan mengalami kesulitan dalam pengumpulan dana. Akhirnya Yap
menerima penjelasan ini dan mulai mendukung kegiatan Baperki
di dalam bidang pendidikan13.
Sebagian besar dana datang dari uang sekolah. Orang tua yang
mampu dihimbau untuk memberi sumbangan-sumbangan besar
sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cumacuma. Disamping ini, Baperki berhasil mendapatkan sumbangansumbangan kaum pedagang Tionghoa untuk pembangunan
gedung-gedung dan penambahan berbagai fasilitas14.
Jumlah sekolah Baperki juga bertambah terus. Pada tahun 1961,
jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa
Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10
di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi15.
Di kota-kota besar, kualitas pendidikan sekolah Baperki dianggap
tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal.
Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal
ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki.
12
13
14
15
Risalah Baperki, 8 Februari 1958
Ibid.
Wawancara dengan Mrs. Lie Tjwan Sien, Go Gien Tjwan dan Siauw Giok Bie
Laporan Tentang Keadaan Pendididakn di Sekolah Baperki, Desember 1960 s/d Juli 1961
329
Siauw Giok Tjhan
Berdirinya Universitas Baperki
Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA),
Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap
mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitasuniversitas negara, yang pada umumnya memberi pembatasan
untuk orang Tionghoa (tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah
mahasiswa baru per tahunnya).
Pada tahun 1958, beberapa pelajar Tionghoa yang lulus SMA
dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas
Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas,
para pelajar ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk
Universitas Indonesia disebabkan mereka adalah pelajar-pelajar
Tionghoa. Situasi ini mendorong beberapa pemimpin Baperki
untuk mendesak Siauw untuk membuka universitas Baperki.
Setelah mengadakan beberapa pembicaraan, akhirnya Baperki
memutuskan untuk membuka universitas16.
Yang pertama dibuka adalah Akademi Fisika dan Matematika,
yang dijalankan untuk mendidik guru-guru sekolah menengah.
Setelah Siauw mendapatkan dana yang lebih besar, ia mendorong
dimulainya fakultas kedokteran, kedokteran gigi dan teknik.
Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi dibuka.
Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang
mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun
1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan juga.
Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak
menengok pada keberhasilan RRT yang mencapai kemajuan
pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat
itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Ia
berpendapat, dengan teknologi, pembangunan bisa dipercepat
dan ketergantungan negara pada dunia luar bisa diperkurang.
Oleh karenanya ia menganjurkan universitas Baperki untuk
16
Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Mrs. Lie Tjwan Sien
330
Dunia Pendidikan Baperki
mengutamakan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi
praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekannya
untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan
teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa
dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya di masyarakat17.
Bilamana Siauw kurang berhasil dalam mengajak banyak tokoh
politik “asli” untuk aktif dalam Baperki, ia cukup berhasil dalam
menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu
mengembangkan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo
Prakoso sebagai dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai
dekan fakultas ekonomi dan Hukum.
Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen,
Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter suku Batak
yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman
demokrasi parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai
rektor pada tahun 1959, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya
Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhineka Tunggal
Ika yang ingin dipromosikan oleh Baperki18.
Beberapa bulan setelah Universitas Baperki dibuka, Tan Kah Kee,
pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal
Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di
Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang
terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan untuk membangun
universitas Baperki, cuma-cuma. Akan tetapi setelah ditinjau, tanah
ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya
diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah
yang disediakan oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, untuk Baperki, di
Grogol19.
Pada tahun 1962 Baperki membuka kampus di Surabaya dengan
fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini
dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.
17
18
19
Pidato Siauw, 10 November 1959
Pidato Siauw, 28 October 1960
Wawancara dengan Siauw, Januari 1978.
331
Siauw Giok Tjhan
Jumlah mahasiswa di tahun ini juga meloncat tinggi. Jumlah
mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta
dan 592 di Surabaya.20.
Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1962, Siauw yang
selalu menghargai dan menghormati perempuan yang aktif di
masyarakat, menunjuk Ny. Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf
Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya21.
Dalam tahun yang sama, Siauw menganjurkan agar nama
universitas Baperki diubah menjadi Universitas Respublica, diambil
dari pidato Soekarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun
1959 berjudul: “Respublica, sekali lagi Respublica”. Sejak saat itu
universitas ini lebih dikenal sebagai URECA.
Pada tahun 1964, Kementerian Pendidikan menyamakan lulusan
sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan
hukum dari URECA dengan lulusan sarjana muda para universitas
negara22. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran
gigi URECA juga diakui sebagai sarjana penuh.
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa URECA bertambah dari
3000 menjadi 4000 dalam waktu setahun. Dari 4000 mahasiswa
ini, terdapat 300 sarjana muda23.
Atas anjuran Siauw, URECA menjalankan program orientasi yang
unik. Perploncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa
baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota
sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para
pedagang Tionghoa. Disamping itu, para mahasiswa URECA juga
dihimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung
universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para
dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas
20
21
22
23
Laporan Pendidikan Pada Konperensi Pleno Pusat Baperki di Jakarta, 10 - 12 November 1962
Siauw, Lima Jaman, p. 259
Laporan Rektor Universitas Respublica on 27 April 1964
Ibid.
332
Dunia Pendidikan Baperki
yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung
bisa diselesaikan pada waktunya dan ongkos pembangunan bisa
dibuat rendah24.
Dalam menerima mahasiswa baru, Siauw mengeluarkan
kebijakan yang tidak membedakan status kewarganegaraan para
pendaftar. Yang angkanya memadai, walaupun ia berstatus asing,
diterima juga oleh Baperki. Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw
menegaskan bahwa baginya walaupun mereka berstatus asing,
mereka tetap warga Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga
dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Disamping itu,
Siauw berpendapat bahwa di kemudian hari, bisa saja mereka yang
tadinya berstatus asing menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong
lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangansumbangan dalam jumlah besar25.
Untuk menstimulasi masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”,
Siauw mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki
memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang
berprestasi untuk belajar di URECA. Disamping itu, karena reputasi
URECA baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup
banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk masuk. Beberapa
rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak
mereka bisa diterima di URECA.26.
Menjelang Mei 1965, URECA mempunyai cabang-cabang di
beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (fakultas ekonomi
dan pendidikan), Semarang (fakultas kedokteran), Yogyakarta
(fakultas ekonomi). Sebelum peristiwa G-30S, pembangunan
gedung-gedung di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah
dimulai27.
24
25
26
27
Siauw, Lima Jaman, p 256-257
Ibid p.255
Ibid. p 256
Wawancara dengan Siauw Giok Bie dan Ny Lie Tjwan Sien
333
Siauw Giok Tjhan
Aktifitas Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan URECA
Seperti Soekarno, Siauw juga menyenangi penggunaan definisidefinisi yang sederhana dalam memperbesar gaerah orang untuk
berbuat secara positif untuk gerakan politik. Di dalam bidang
pendidikan, Siauw menganjurkan apa yang ia namakan PancaCinta:
a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia
b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian
c. Cinta Pengetahuan dan kebudayaan
d. Cinta bekerja
e. Cinta orang tua
Program pendidikan Baperki didasarkan atas Panca Cinta ini
yang dipuji oleh Menteri Pendidikan Prijono sebagai program yang
seirama dengan program politik yang didengungkan oleh Soekarno.
Siauw menekankan pendidikan politik di sekolah-sekolah
dan universitas Baperki. Mata pelajaran Civic yang dijadikan
mata pelajaran yang harus dikerjakan oleh setiap mahasiswa
URECA dipegang sendiri oleh Siauw. Di dalam menyusun bahanbahan kuliah ini, Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan
partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan.
Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke
dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik
yang ia tangani sendiri.
Ia mengeluarkan diktat-diktat kuliah yang dijadikan bahan
bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah yang juga
dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolah-sekolah
Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya.
Di sekolah-sekolah Tionghoa sebagian besar bahan
pendidikannya berasal dari Tiongkok. Kurikulum pelajarannya
didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya
bisa meneruskan pelajarannya di universitas-universitas Tiongkok.
Pendidikan kebudayaannya juga erat berhubungan dengan
kebudayaan Tiongkok. Disamping itu, bilamana ada pendidikan
334
Dunia Pendidikan Baperki
politik, yang ditekankan adalah nasionalisme Tiongkok dan
penuturan sejarah perjuangan Mao Tse Tung dalam memenangkan
revolusi Tiongkok-nya. Jadi bahan-bahan yang mendekatkan para
siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia terbatas
sekali.
Di sekolah-sekolah Baperki dan URECA, yang digunakan
adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajaran dengan sejarah,
kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Program pendidikan
di sekolah-sekolah Baperki juga menekankan pengenalan siswa
dengan kebudayaan Indonesia. Para siswa didorong untuk
mempelajari tarian-tarian Indonesia. Dari segi pendidikan politik,
seperti yang dituturkan di atas, Siauw menekankan pandangan
bahwa Indonesia adalah tanah air sebagian besar penduduk
Tionghoa, bukan Tiongkok. Jadi institusi pendidikan Baperki
melaksanakan program yang meng-Indonesia-kan semua siswanya,
baik yang peranakan maupun yang totok.
Sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di
sekolah-sekolah Baperki dan URECA berasal dari kelompok totok.
Mereka inilah yang lebih militan dan mempunyai kesungguhan
dalam keaktifannya di bidang politik. Ini tentunya disebabkan
oleh latar belakangnya. Pada umumnya siswa dari kelompok
totok berasal dari keluarga yang kurang mampu. Disamping itu,
pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa telah memperkenalkan
mereka dengan cerita-cerita revolusi Tiongkok. Jadi pada umumnya,
mereka lebih tertarik akan kegiatan politik daripada para siswa
yang berasal dari kelompok peranakan.
Pada tahun 1955, Siauw mendorong dibentuknya PPI
(Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya
mencakup pelajar dan pemuda. Dengan adanya sekolah-sekolah
Baperki dan URECA, kebanyakan anggotanya adalah siswa-siswa
sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa URECA. Organisasi ini
diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program Baperki
dan mempromosikan kebudayaan Indonesia.
335
Siauw Giok Tjhan
Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk
menguasai tarian-tarian Indonesia. Kerja sama mereka dengan
Lekra erat. Kualitas tarian dan kemampuan para penari PPI
menyebabkan Soekarno memintanya untuk sering melakukan
pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah28.
Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang
didrikan di setiap sekolah Baperki, yang dinamakan Ikatan Pelajar.
Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi,
melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalahmajalah berkalanya.
Kegiatan agrikulturil juga dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki.
Pada waktu Soekarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun
63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi
perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik URECA didorong untuk
belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program
kerja sama antara URECA dan BTI (Barisan Tani Indonesia)
disetujui. Ini sebenarnya akan dijadikan landasan usaha penilitian
URECA, yaitu menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para
petani29.
Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan URECA menjadi
lebih mencolok setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun
1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki
masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama
setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki
akan menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar
sekolah Baperki yang menjadi pimpinan IPPI.
Tadinya kegiatan politik di kampus-kampus URECA terbatas
pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun
1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi
(Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di zaman tahun 50-an
pernah menamakan dirinya Ta Hshue Hsue Seng Hui. Disamping
Perhimi, aktif juga PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Katolik
28
29
Wawancara dengan Tan Swie Ling, Juli 1994
Harian Rakyat, 14 March 1965
336
Dunia Pendidikan Baperki
Indonesia) dan CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Banyak mahasiswa URECA yang menjadi pimpinan para organisasi
ini.
Di dalam keluarga, Siauw-pun mendorong pendidikan politik.
Anak-anaknya dianjurkan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi
sekolah dan universitas. Pada waktu itu, anak tertuanya, Siauw May
Lan baru lulus dari Universitas Tian Jin di RRT, sebagai seorang
insinyur teknik kimia. Pada bulan Juli 1965, Siauw menyuruhnya
pulang ke Indonesia untuk menyumbangkan tenaga nya di tanah
air. Sambil menunggu kesempatan bekerja yang lebih kongkrit, ia
menyuruhnya menjadi guru di SMA Xing Hua, di Pasar Baru. Sayang
tidak lama setelah ia tiba di Jakarta, telah terjadi peristiwa G-30-S,
sehingga upaya untuk bekerja di bidangnya terpaksa dihentikan.
Anak Kedua-nya, Siauw May Lie, ketika itu sedang menyelesaikan
studi-nya di Universitas Beijing, di bidang Kedokteran. Ia dianjurkan
untuk aktif dalam kegiatan mahasiswa Indonesia di sana.
Anak ketiganya, Siauw Tiong Tjing, ketika di SMA Baperki di
Pasar Baru, ikut aktif dalam kegiatan Ikatan Pelajar. Ketika masuk
URECA pada bulan Juli 1965, sebagai mahasiswa teknik, ia-pun
aktif dalam kegiatan mahasiswa di kampus dan masuk dalam CGMI.
Anak ke-empatnya, Siauw Tiong Hian, ketika itu masih duduk
di SMA Baperki di Pasar Baru. Ia-pun aktif dan turut memimpin
Ikatan Pelajar di Pasar baru.
Anak ke lima, Siauw Tiong Ho baru saja lulus SMP Baperki di
Pasar Baru. Ia tidak sempat aktif, tetapi turut dalam grup drumband pelajar Baperki yang kerap memeriahkan acara-acara Baperki,
sebagai pemain terompet.
Yang ke enam, penulis dan ke 7 Siauw Lee Ming, masih kecil. Tidak
berkesempatan masuk organisasi pelajar. Akan tetapi mereka-pun
tumbuh dalam suasana rumah yang penuh dengan diskusi politik,
karena rumahnya selalu dikunjungi banyak orang untuk keperluan
berdiskusi politik.
Penulis sering duduk di ruang tamu mendengarkan pembicaraan
politik. Salah satu yang paling mengesankan adalah kunjungan
337
Siauw Giok Tjhan
berkali-kali Evie Tjoa sebelum Maret 1963, seorang komponis
terkenal, puteri Nyonya Tjoan Hien Hwie, ketua Wanita Baperki.
Kunjungan itu dilakukan dalam rangka menggubah sebuah
nyanyian yang akan dipentaskan di Kongres Baperki ke 8 di Gelora
Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1963, di mana Bung Karno hadir.
Judul nyanyiannya adalah Bung Karno, pemimpin Besar Revolusi
Indonesia. Siauw yang menyusun kata-katanya, Evie Tjoa yang
menciptakan lagunya.
Sebagai ayah, Siauw kerap menekankan betapa pentingnya orang
hidup sosial dan tidak menyalah-gunakan posisi yang dipegangnya.
Posisi dan kepopuleran Siauw memang menyebabkan adanya
kecenderungan pegawai atau guru di sekolah-sekolah Baperki
untuk memberi berbagai pengecualian, atau adanya teman-teman
yang memiliki toko-toko untuk memberi barang secara cuma-cuma.
Penulis teringat ketika ia jalan-jalan di toko Eropa, milik keluarga
Bendahara Baperki Pusat, Oei Phoei Tjiep, ia meminta kepada
salah seorang yang mengantarnya, mobil mainan. Oleh pegawai
toko, mainan tersebut diberikan ke penulis, yang pada waktu itu
berumur 8 tahun secara cuma-cuma. Ketika sampai di rumah dan
oleh Siauw diketahui bahwa penulis mendapatkan mainan itu
dengan meminta, ia marah dan esoknya meminta bantuan orang
untuk mengembalikan mainan tersebut ke toko Eropa.
Siauw selalu menolak untuk meminta perlayanan khusus.
Ia berpendapat, kalau perlayanan khusus itu diberikan tanpa
meminta dan tidak merugikan orang lain, bisa saja diterima. Tapi
janganlah kita meminta, ujarnya ke pada anak-anak-nya. Siauw
sering memperoleh undangan untuk berbagai acara kesenian dan
olah raga – artinya memperoleh karcis gratis. Dalam salah satu
acara kesenian Tiongkok pada tahun 1965, ia memperoleh empat
karcis. Akan tetapi kebetulan ada beberapa saudara dari Malang
yang ingin ikut, sehingga jumlah yang ingin menonton, termasuk
penulis, 6 orang. Ketika sampai di lokasi penjagaan karcis, yang
menjaga tidak memperkenankan ke-enam orang masuk. Hanya 4
orang diizinkan masuk. Tanpa protes, Siauw segera menarik tangan
338
Dunia Pendidikan Baperki
penulis untuk pulang, dan menyuruh ke empat tamu masuk. Akan
tetapi Siauw, yang memiliki pembawaan khusus ini segera dikenali
tim penyelenggara yang memarahi si penjaga. Olehnya, Siauw
diminta untuk masuk dan duduk di bagian VIP. Baru-lah setelah itu
Siauw mengajak penulis untuk masuk.
Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa
URECA yang masuk dalam Pemuda Rakyat dan CGMI, keduaduanya dekat bahkan berafiliasi dengan PKI. Pada acara-acara
perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi
para mahasiswa Baperki sangat diharapkan. Kejadian ini nantinya
menimbulkan konflik di dalam tubuh Baperki. Ini akan lebih banyak
didiskusikan di dalam bab 14.
Dari penuturan di atas, bisa dilihat bahwa Siauw berhasil
menstimulasi para siswa dan mahasiswa Baperki untuk memiliki
kesadaran politik. Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah
Indonesia, di mana sebuah organisasi Tionghoa menganjurkan
semua pendukungnya untuk aktif berpartisipasi dalam politik
nasional, sebagai bagian proses pembangunan Nasion Indonesia
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
339
Siauw Giok Tjhan
Siauw
bersama para anggota kesenian PPI - Pemuda
Permusyawaratan Indonesia, Pemuda Baperki
340
Dunia Pendidikan Baperki
Siauw dikelilingi para mahasiswa URECA di kampus Grogol,
Jakarta, 1964
Para dosen dan mahasiswa URECA - beristirahat dalam
pembangunan gedung URECA Surabaya, Desember 1964
341
Siauw Giok Tjhan
BAB 13
NATION BUILDING, INTEGRASI DAN ASSIMILASI
Kedekatan Siauw dengan Soekarno seperti yang dituturkan
sebelumnya telah memungkinkan Siauw untuk mengkonsolidasi
posisi politik Baperki di zaman Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi
pada awal tahun 1960, pandangan Siauw yang disebar-luaskan
oleh Baperki ditentang oleh sekelompok peranakan Tionghoa yang
mencanangkan ide assimilasi sebagai solusi masalah minoritas
Tionghoa. Di dalam kelompok ini terdapat juga orang-orang yang
ikut mendirikan Baperki, tetapi telah meninggalkannya pada tahun
1955.
Pada tahun 1962, kelompok assimilasi ini membentuk badan
yang dinamakan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa).
Lembaga ini secara resmi didukung oleh pimpinan Angkatan Darat
dan beberapa tokoh politik seperti Roeslan Abdulgani. Dibentuk
untuk melawan Baperki dan membatasi pengaruhnya di dalam
masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Walaupun sebagian besar pimpinan LPKB bersimpati pada politik
yang berhaluan kanan, jadi anti komunisme, pertentangan utama
dengan Baperki, yang berada di dalam kubu politik kiri, terletak
pada cara penyelesaian masalah minoritas. Siauw menolak konsep
assimilasi dan menganjurkan konsep integrasi, yang dijadikan
dasar perjuangan Baperki. Mulailah perdebatan antara assimilasi
dan integrasi sejak tahun 1960-an.
Lahirnya Gerakan Assimilasi
Pelaksanaan PP-10 merupakan sebuah pukulan berat untuk
masyarakat Tionghoa, terutama di pulau Jawa. Dampaknya seperti
yang telah dituturkan, tidak terbatas pada penduduk Tionghoa
342
Nation Building dan Integrasi
asing tetapi juga menimpa golongan peranakan Tionghoa. Hilangnya
kepercayaan masyarakat Tionghoa akan kebijakan pemerintah
RI menyebabkan perginya sekitar 136.000 orang Tionghoa
ke Tiongkok, dan munculnya istilah yang populer di kalangan
masyarakat Tionghoa, Hwe Kuok (Pulang kembali ke Tiongkok).
Pada waktu masyarakat Tionghoa merasakan penasaran, kecewa
dan khawatir itu, sekelompok peranakan Tionghoa meluncurkan
perdebatan tentang jalan keluar yang harus ditempuh oleh orang
Tionghoa, terutama peranakannya, di Indonesia. Pada awal 1960,
kelompok ini mengeluarkan beberapa karangan yang diterbitkan
oleh Star Weekly, majalah mingguan yang dipimpin oleh Auwyang
Peng Koen yang menjadi anggota penting kelompok peranakan ini.
Menurut mereka, salah satu alasan utama mengapa golongan
Tionghoa mengalami kepahitan di dalam hidupnya di Indonesia
adalah cara mereka hidup dalam masyarakat Indonesia.
Ong Hok Ham, seorang mahasiswa sejarah UI pada waktu itu,
mengatakan bahwa assimilasi adalah proses yang telah berhasil
menghilangkan kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat
Indonesia. Ia mengacu pada perkembangan sejarah Indonesia.
Menurutnya, banyak orang Tionghoa yang datang ke Indonesia
pada abad ke - 18 dan 19 adalah nenek moyang dari golongan yang
disebut “asli”. Ia berargumentasi, pendatang-pendatang Tionghoa
itu ber-assimilasi dengan penduduk lokal dan masuk Islam. Anakanak dan keturunannya kemudian diakui sebagai “asli”.
Ong juga menegaskan bahwa jalan terbaik untuk menghilangkan
konflik antara golongan mayoritas dan golongan minoritas
adalah adanya assimilasi antara kedua golongan ini. Golongan
Tionghoa harus menjadi orang “asli”.
Menurutnya, assimilasi
berarti hilangnya identitas golongan minoritas. Ganti nama hanya
merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Tapi ini saja tidak
cukup. Harus diikuti dengan integrasi dalam bidang ekonomi dan
politik. Jadi menurutnya, ke-eksklusifan golongan Tionghoa harus
dilenyapkan.1.
1
Star Weekly, 27 February 1960
343
Siauw Giok Tjhan
Di dalam sebuah artikel Star weekly lainnya, Ong mengatakan
bahwa kegagalan golongan minoritas dalam meleburkan dirinya
ke dalam tubuh golongan mayoritas adalah kesalahan pihaknya
sendiri, karena mereka mempertahankan identitas golongannya.
Jadi menurutnya, golongan minoritas harus sadar bahwa mereka
tidak bisa menjadi WNI tetapi berbuat seperti orang asing.
Meleburnya mereka ke dalam tubuh golongan mayoritas adalah
satu-satunya jalan keluar, demikian Ong2.
Di dalam beberapa artikel lainnya, Ong mempertegas
dukungannya terhadap assimilasi dengan mengetengahkan
keberhasilan assimilasi golongan Tionghoa di Filipina.
Di dalam artikel yang dimuat oleh Star Weekly pada tanggal
26 Maret 1960, kelompok yang mendukung konsep assimilasi ini
menyatakan bahwa lambang Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh
dipakai sebagai alasan untuk menolak teori assimilasi. Menurut
mereka, lambang ini dicanangkan untuk menjalin persatuan,
tetapi tidak pernah diciptakan untuk menghentikan proses
yang menghilangkan ciri-ciri etnisitas. Mereka menekankan
juga bahwa perkawinan campuran antar golongan etnis akan
menghilangkan tembok pemisah di antara golongan-golongan
etnis, dengan demikian, Indonesia hanya mengenal satu bangsa,
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menurut mereka, orang-orang
peranakan seharusnya bersedia untuk menikah dengan orang-orang
“asli”. Selama golongan peranakan Tionghoa mempertahankan keeksklusifannya, mereka akan selalu mengalami diskriminasi rasial3.
Pada tanggal 24 Maret 1960, sekelompok yang terdiri dari
10 orang peranakan Tionghoa mengeluarkan pernyataan yang
dinamakan Pernyataan Assimilasi. Di dalam pernyataan itu, mereka
mengecam Siauw Giok Tjhan yang dengan gigih menentang konsep
assimilasi. Dengan tegas, kesepuluh orang ini menyatakan bahwa
assimilasi adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa ditempuh
2
3
Star Weekly, 2 April 1960
Star Weekly, 26 March 1960.
344
Nation Building dan Integrasi
oleh golongan peranakan Tionghoa Indonesia. Pernyataan ini juga
menyinggung pidato Soekarno yang diucapkan pada tanggal 22
Desember 1959 di Yogyakarta, di mana ia menganjurkan adanya
perkawinan campuran antara suku-bangsa Indonesia. Kelompok
ini terdiri dari tokoh-tokoh seperti Injo Beng Goat, Kwee Hwat
Djien dan Auwyang Peng Koen yang turut mendirikan Baperki
pada tahun 1954 tetapi lalu meninggalkannya pada tahun 1955.
Kelompok ini menginginkan golongan peranakan Tionghoa untuk
memisahkan dirinya dari golongan totok Tionghoa.
Artikel-artikel Star Weekly itu menimbulkan reaksi di kalangan
pembacanya, baik peranakan maupun “asli”. Sebagian besar para
pembaca “asli” mendukung gerakan assimilasi ini, walaupun
ada beberapa diantaranya yang menunjukkan keraguan akan
kesungguhan golongan peranakan dalam ber-assimilasi. Dari
golongan peranakan, reaksinya terbagi dua, sebagian mendukung
dan sebagian menentang.
Terminologi assimilasi yang dihubungkan dengan golongan
Tionghoa di Indonesia mungkin dipergunakan untuk pertama
kalinya oleh salah seorang guru Siauw Giok Tjhan pada tahun 30an, Kwee Hing Tjiat. Kwee menulis sebuah artikel, berjudul Baba
Dewasa yang dimuat dalam nomor perdana harian Mata Hari yang
terbit pada tanggal 1 Agustus 1934. Di dalam tulisan ini, Kwee
menganjurkan agar golongan peranakan menjadi bumiputra dan
memiliki kewajiban yang sama dengan mereka yang menganggap
Indonesia sebagai tanah airnya.
Walaupun Kwee menganjurkan assimilasi, ia tidak menjelaskan
apa yang ia maksud dengan assimilasi. Ia tidak menyebut
masalah ganti nama dan ganti agama4. Istilah assimilasi dipakai
oleh Kwee untuk menyampaikan pandangannya bahwa orang
Tionghoa di Indonesia pada akhirnya akan terabsorbsi di dalam
tubuh masyarakat Indonesia, seperti orang-orang Tionghoa di
Filipina, Muangthai dan tempat-tempat lainnya5. Siauw sendiri
4
5
Mata Hari, 1 August 1934
Djawa Tengah Review, August 1934.
345
Siauw Giok Tjhan
mengintepretasikan pendapat Kwee itu sebagai dorongan untuk
orang Tionghoa ber-assimilasi dalam bidang politik, sehingga
mereka memiliki rasa beridentitas Indonesia, bukan Tiongkok6.
Akan tetapi, kelompok assimilasi cenderung menganggap Liem
Koen Hian dan PTI-nya sebagai ayah gerakan assimilasi7. Padahal
yang Liem canangkan pada tahun 30-an, adalah assimilasi politik,
di mana golongan Tionghoa berpartisipasi dalam gerakan politik
nasional. Junus Jahja (Lauw Chuan To), salah seorang pemimpin
kelompok assimilasi, ini pernah mengatakan bahwa Siauw sendiri
tadinya adalah pendukung assimilasi pada waktu ia aktif di PTI8
--Bilamana yang dimaksud assimilasi dalam bidang politik, Junus
Jahja memang tepat, karena Siauw selalu ingin menjadi bagian dari
gerakan politik nasional.
Yap Thiam Hien yang baru meletakkan jabatannya sebagai wakil
ketua Baperki pada akhir tahun 1959 juga menolak teori assimilasi.
Menurut Yap, proses Nation-Building bisa dicapai dengan adanya
kerja sama antara semua golongan etnis. Menurutnya assimilasi
hanya bisa sukses kalau golongan mayoritas sudah siap untuk
menerima golongan Tionghoa. Kalau tidak, assimilasi tidak
akan bisa berhasil. Ia mendukung konsep integrasi dengan
penekanan dijunjung tingginya pelaksanaan hukum yang melarang
diskriminasi rasial. Akan tetapi, ia memisahkan dirinya dari aliran
Siauw Giok Tjhan, yang ia katakan menganut komunisme9. Siauw
dengan cepat menanggapi tuduhan Yap bahwa ia menganut paham
komunisme. Siauw pertegas. Bahwa yang ia selalu dengungkan
adalah perwujudan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan
yang diformulasi oleh Soekarno yang didukung oleh semua partai
politik10.
6
7
8
9
10
Siauw, Lima Jaman, pp 53-54
Leo Suryadinata, Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900-1977, Institute of South East Asian Studies, 1979, p 134
Wawancara dengan Junus Jahja, Agustus 1989
Star Weekly, 16 April, 20 April and 17 May 1960
Star Weekly, 23 April 1960
346
Nation Building dan Integrasi
Editorial Star Weekly mencela “terapi” integrasi yang dicanangkan
oleh Yap Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan. Bagi mereka,
kedua “terapi” ini akan mempertahankan struktur masyarakat
yang diciptakan kaum penjajah dan golongan peranakan akan
selalu menghadapi bahaya untuk diserang oleh penduduk “asli”
bilamana mereka mempertahankan cara hidup yang eksklusif
dan mempertahankan adat istiadat mereka sebagai golongan
Tionghoa.
Mereka juga mencela konsep yang memformulasi
golongan Tionghoa sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Suku
bangsa, menurut mereka, memiliki daerah, sedangkan golongan
peranakan tidak memiliki daerah di Indonesia. Daerah nenek
moyang mereka berada di Tiongkok. Akhirnya, mereka tekankan
bahwa “terapi” integrasi menyebabkan hubungan psikologis antara
golongan peranakan dan Tiongkok akan tetap terjalin yang tidak
menguntungkan proses nation building.
Pada bulan Januari 1961, kelompok assimilasi ini
menyelenggarakan sebuah konperensi tentang kesadaran nasional
yang dihadiri oleh 30 orang. Hasil konperensi yang diadakan di
Bandungan ini adalah dikeluarkannya Piagam Assimilasi. Pokokpokok yang dicantumkan dalam Piagam ini adalah sbb11:
1.
“...Assimilasi adalah proses penyatu-gabungan
golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat
kebiasaan dan pernyataan-pernyataan kebudayaan yang
berbeda-beda menjadi sebuah kebulatan sosiologis yang
harmonis dan bermakna, yaitu yang dalam hal ini dinamakan
bangsa (nation) Indonesia.
2.
Khusus untuk WNI keturunan Tionghoa: assimilasi
dalam hal ini berarti: masuk -- dan diterimanya orang-orang
yang berasal keturunan Tionghoa ke dalam tubuh bangsa
(nation) Indonesia tunggal sedemikian rupa, sehingga akhirnya
golongan yang semula khas tidak ada lagi. Dengan demikian
assimilasi khusus inipun ditempatkan dalam rangka “nation11
Dikutip dari Lahirnya Konsepsi Asimilasi, Yayasan Tunas Bangsa, Jakarta, Cetakan ke V, 1977(?), pp 20-26
347
Siauw Giok Tjhan
building” Indonesia.
3.
Aliran assimilasi tidak menghendaki “pulau-pulau
Tionghoa maupun peranakan Tionghoa” di Indonesia dan
dengan tegas menolak aliran Baperki (aliran Integrasi) yang
apriori hendak mempertahankan golongan peranakan sebagai
golongan ras/keturunan Tionghoa.
4.
Pemberian kewarganegaraan RI semata-mata
dilakukan untuk memungkinkan dan merealisasi assimilasi
peranakan dengan rakyat Indonesia keseluruhannya, sehingga
hilanglah golongan-golongan zaman kolonial dan lebih
terjaminlah keutuhan bangsa dan lancarnya proses “nationbuilding”, demi kebahagiaan generasi-generasi yang akan
datang.
5.
Penerimaan kewarganegaraan Indonesia oleh
peranakan berarti bahwa mereka menurut logika pula
menghendaki assimilasi mereka dengan rakyat Indonesia
seluruhnya....Dengan demikian setiap peranakan yang menerima
kewarganegaraan Indonesia, telah menyatakan kesediaannya
untuk turut meniadakan golongannya yang lama, sehingga
lebih terjaminlah pembinaan bangsa Indonesia yang bersatu,
bulat dan homogeen demi kebahagiaan generasi-generasi yang
akan datang...
6.
Assimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima
bidang kehidupan (kelima-limanya harus segera dilaksanakan
secara serentak (synchroon) dengan mempertimbangkan
timing dan irama yang sebaik-baiknya
•
assimilasi politik
•
assimilasi kulturil
•
assimilasi ekonomi
•
assimilasi sosial/campur gaul
•
assimilasi kekeluargaan (pernikahan)
7.
Yang pokok adalah mengakhiri gejala eksklusivisme
dalam bentuk apapun juga di kelima bidang kehidupan di atas:
•
Dibidang
kegiatan
politik:
janganlah
348
Nation Building dan Integrasi
dimungkinkan adanya organisasi massa yang tujuannya
bertentangan dengan konsepsi assimilasi negara....
harus berpedoman bahwa persoalan-persoalan yang
dihadapi peranakan adalah persoalan-persoalan
umum-nasional dan oleh karenanya harus disalurkan
melalui partai-partai/organisasi-organisasi politik
yang umum nasional pula.
•
Organisasi peranakan di bidang sosial/campur
gaul (sekolah, olah-raga, pemuda, mahasiswa, pelajar,
pramuka dan lain-lain) harus segera ditiadakan untuk
menstimulir terutama angkatan pemuda peranakan
memasuki organisasi-organisasi nasional...”
Pada tahun 1962, kelompok assimilasi berhasil meyakinkan
beberapa pemimpin Angkatan Darat seperti Jendral Nasution
dan kolonel Soetjipto untuk mendukungnya. Mereka juga
berhasil mengajak beberapa tokoh politik yang berhaluan kanan
untuk mendukung gerakannya. Sebagai hasil dari usaha ini,
mereka mendirikan organisasi yang mereka namakan Organisasi
Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang beroperasi di bawah naungan
Angkatan Darat12.
Pada tahun 1963, kelompok assimilasi ini mendirikan lembaga
yang resmi berada di bawah naungan Angkatan Darat, dengan
nama LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Pada bulan Juli
1963, mereka memperoleh dukungan Roeslan Abdulgani, pada
waktu itu, Menteri Penerangan, sehingga lembaga ini menjadi
bagian kementerian Penerangan dan namanya diganti menjadi
LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Ketua LPKB adalah
Letnan Sindhunatha yang tadinya bernama Ong Tjong Hay13.
12
13
Somers, Peranakans Chinese Politics In Indonesia, pp260-261; Copple’s Indonesian Chinese in Crisis, p 45
Coppel, Indonesian Chinese In Crisis, pp 46-47
349
Siauw Giok Tjhan
Formulasi Siauw: Nation-Building dan Integrasi
Bagi Siauw, proses Nation-Building adalah bagian terpenting
perjuangannya.
Kegiatannya di bidang kewarganegaraan,
penghapusan diskriminasi rasial dan penyelesaian masalah
minoritas mencerminkan pengertiannya tentang Nation Building.
Dalam berbagai pidato dan kuliah yang ia sampaikan pada
Baperki, kader-kader Baperki serta murid-murid dan mahasiswamahasiswa Baperki, Siauw berulang kali menjelaskan pengertian
Nation-Building. Presiden Soekarno pernah mengatakan pada
Oei Tjoe Tat bahwa orang yang yang paling berbobot dalam
Nation-Building di Indonesia adalah Siauw Giok Tjhan14. Ucapan
serupa sebelumnya diutarakan di hadapan delegasi Baperki yang
mengunjungi Soekarno pada bulan Juli 1954, di mana Soekarno
menyatakan kegembiraannya akan kehadiran Baperki dalam
dunia politik Indonesia, karena ia yakin Baperki akan membantu
meluruskan pengertian dan makna Nation-Building15.
Pembangunan Nasion Indonesia, menurut Siauw, mencakup
lima bidang. Dan paham-paham inilah, seperti yang dituturkan
sebelumnya, menjadi dasar perjuangan Siauw dalam kancah politik
nasional.
Nasion Indonesia
Bagi Siauw, yang terpenting adalah menjiwai apa yang para
pejuang kemerdekaan kehendaki pada waktu memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Apa yang diartikan
dengan Bangsa-Nasion Indonesia harus jelas.
Siauw sering menyayangkan penggunaan kata “bangsa” dalam
menterjemahkan kata-kata “race” dan “nation”. Menurut Siauw,
digunakannya kata “bangsa” untuk kedua hal yang memiliki
perbedaan arti dan makna ini telah menimbulkan kekaburan dan
kesalah pahaman yang merusak usaha perwujudan “Nasion” yang
14
15
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Juli, 1994
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990
350
Nation Building dan Integrasi
sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan.
Menurut Siauw, “race” adalah definisi biologis yang
mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan
karena ciri-ciri biologis yang sama. Sedangkan “nation” adalah
istilah politik yang mendefinisikan satu kelompok manusia yang
merupakan kesatuan karena ciri-ciri politik. Karena adanya
kekaburan ini, Siauw menganjurkan agar perkataan “bangsa”
hanya dikaitkan dengan pengertian “nation”, sedangkan kata “race”
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “keturunan” atau
“golongan etnis”16. Dalam pidato-pidatonya, untuk mempertegas
apa yang ia maksud dengan Nasion, Siauw ternyata cenderung
menggunakan perkataan “Nasion” daripada “Bangsa”.
Siauw berargumentasi bahwa “Indonesian Race” tidak ada dan
tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, ia menanentang adanya
definisi Indonesia “asli”. Menurutnya, tidak ada seorang Indonesiapun yang bisa menganggap dirinya “asli”. Dengan demikian, definisi
“asli” tidak bisa hadir dalam negara yang mengenal hukum. Dan
ini tidak bisa dijadikan dasar kebijakan berbagai kebijakan yang
mendiskriminasikan komunitas Tionghoa.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw beranggapan
bahwa banyak dari mereka yang menamakan dirinya “asli” justru
keturunan orang asing, termasuk Tionghoa.
Yang lebih penting lagi, Siauw menentang dikaitkannya loyalitas
seseorang dengan ke “aslian” –nya. Kesetiaan seseorang terhadap
Indonesia, menurut Siauw, tergantung atas kesadaran politiknya.
Mengenai terbentuknya “Nasion” Indonesia, Siauw ternyata
menggunakan 4 kriteria, yang ia simpulkan dari pendapat-pendapat
berbagai pemikir terkenal, seperti John Stuart Mill, Otto Bauer,
Renan dan Stalin. Terwujudnya nasion Indonesia berdasarkan
keempat kriteria ini17:
16
17
Kuliah Siauw Giok Tjhan Tentang Pancasila, Seminar Organi-
sasi Pusat Baperki, 22-28 Desember 1962
Siauw Giok Tjhan, Kuliah Ideologi Negara - Universitas Res-
publica, 17 Oktober 1962
351
Siauw Giok Tjhan
1.
Adanya kesamaan wilayah yang ada karena
penjajahan Belanda mempersatukan kepulauan Indonesia
dengan menggunakan kekerasan bersenjata.
2.
Adanya kesamaan kehidupan ekonomi, yang
diciptakan oleh imperialisme Belanda dengan membangun
infrastruktur transportasi di seluruh Indonesia sehingga timbul
kesatuan ekonomi
3.
Adanya kesamaan bahasa yang terwujud dengan
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, di mana bahasa Indonesia
diakui sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia.
4.
Adanya kesamaan susunan kejiwaan yang
menampakkan diri dalam kesamaan ciri-ciri khas kebudayaan
nasional. Inipun terjadi pada waktu Sumpah Pemuda dibacakan
pada tahun 1928.
Dengan demikian, Siauw berkesimpulan bahwa “Nasion”
Indonesia telah terbentuk pada tahun 1928.
Karena di Indonesia itu terdapat banyak suku bangsa, Siauw
menyatakan “Nasion” Indonesia adalah “multi-race nation”. Jadi
Siauw menolak konsep perlu dibentuknya “Nasion” yang homogeen
-- “single-race nation” karena menurutnya, ini tidak mungkin
diwujudkan di Indonesia. Di dunia ini, ia tegaskan, hanya di negaranegara kapitalis Eropa Barat saja yang memungkinkan adanya
“single-race nation”, seperti Jerman Barat dan Belanda. Semua
“Nasion” yang tumbuh karena perjuangan kemerdekaan, terutama
di kawasan Asia dan Afrika, terdiri dari banyak suku-bangsa.
Atas dasar ini, Siauw menjunjung tinggi semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, yang menurutnya diambil dari kalimat yang ditulis
oleh empu Tantular dalam bahasa Jawa kuno: Bhinneka Tunggal
Ika Tan Hana Dharma Mandrawa : Berbeda-beda, tetapi tetap
satu - tak ada peraturan yang mendua. Mendua, bagi Siauw berarti
diskriminasi. Dengan demikian, bagi Siauw, masyarakat Bhinneka
Tunggal Ika dengan akurat mencerminkan “Nasion” Indonesia
352
Nation Building dan Integrasi
yang sesungguhnya, yang sesuai dengan jiwa proklamasi 45, yaitu
“Nasion” yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang bertekad
untuk bersatu dan menjadi isi wilayah Indonesia dan “Nasion”
yang menentang adanya diskriminasi18. “Nasion” yang berjiwa
proklamasi-45 dirumuskan oleh Soekarno sebagai terwujudnya
masyarakat Panca Sila yang mewujudkan pelaksanaan Bhinneka
Tunggal Ika.
Sejak akhir tahun 50-an, Siauw telah mencanangkan konsep
bahwa golongan Tionghoa di Indonesia, khususnya golongan
peranakannya, bisa dikategorikan sebagai suku Tionghoa.
Berdasarkan konsep ini, Siauw mengatakan bahwa suku Tionghoa
adalah bagian dari masyarakat yang ber- Bhinneka Tunggal Ika.
Integrasi ke dalam Tubuh Bangsa Indonesia
Pada tahun 1958, Siauw berulang kali menekankan bahwa UUD
Indonesia tidak pernah memasalahkan hilangnya identitas etnis
yang dicerminkan oleh nama, tradisi dan kebudayaannya. Di tahun
yang sama, protes dari luar pulau Jawa meningkat sehingga masalah
perlakukan berbeda terhadap suku bangsa menjadi penting dalam
perdebatan-perdebatan politik di parlemen. Siauw menggunakan
kesempatan ini untuk mengeluarkan dan mempopulerkan konsep
yang menggambarkan bahwa golongan Tionghoa, khususnya
peranakannya, sebagai salah satu suku
bangsa Indonesia.
Diterimanya ide bahwa golongan Tionghoa adalah salah satu suku
Indonesia, menurut Siauw akan mempercepat proses penghapusan
diskriminasi rasial.
Desakan Siauw agar kategori suku Tionghoa diterima oleh
pimpinan politik nasional Indonesia akhirnya diterima oleh
Soekarno. Soekarno menggunakannya di dalam pidatonya di
peringatan hari ulang tahun Baperki yang ke 9, 13 Maret 1963: “...
Sebetulnya di Indonesia, kita tidak mengenal minority. Di Indonesia
18
Siauw Giok Tjhan: Kuliah Ideologi Negara, Universitas Res-
publica. 1964
353
Siauw Giok Tjhan
kita hanya mengenal suku-suku. Saya tidak akan berkata suku
itu adalah minority, suku itu adalah minority, suku Dayak adalah
minority, suku Irian adalah minority, suku Tionghoa adalah minority,
tidak!. Tidak ada minority. Yang ada hanyalah suku-suku...Suku itu
artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya, seperti
luwing, saudara-saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra,
kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa. Kaki
dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia...”.
Dalam konteks suku Tionghoa dan Nation Building ini, kebijakan
Siauw tetap konsisten. Ketika Baperki berdiri pada tahun 1954,
Nation-Building dikaitkan dengan usaha mewujudkan “Nasion”
yang sesuai dengan jiwa proklamasi 45. Pada tahun 1958, rumusan
Nation-Building dikaitkan dengan perwujudan masyarakat adil dan
makmur yang menghapuskan sifat-sifat “under-developed” dan
mencapai “full-employment”. Setelah dikeluarkan dekrit Presiden
pada tahun 1959 dan era Demokrasi Terpimpin dimulai, program
Nation-Building Baperki dikaitkan dengan masyarakat sosialis
yang bersih dari penindasan manusia atas manusia.
Akan tetapi Siauw selalu hati-hati dalam mencanangkan program
ini. Ia selalu mempertahankan bahwa formulasi ini bukanlah
formulasi komunis, melainkan sejalan dengan yang apa Soekarno
selalu dengungkan dan yang didukung oleh setiap partai politik
yang aktif pada masa itu.
Dalam Nation Building ini, Siauw selalu bersandar pada konsep
yang ia kembangkan dengan lebih giat lagi setelah istilah assimilasi
total muncul dalam perdebatan-perdebatan politik, yaitu konsep
integrasi, sebagai lawan konsep assimilasi. Walaupun istilah
integrasi baru dipergunakan setelah tahun 1959, konsep yang
mendasari istilah itu sudah dikembangkan sejak Baperki didirikan
pada tahun 1954.
Siauw selalu yakin bahwa memiliki nama Indonesia atau agama
tertentu, bahkan memiliki bentuk dan ciri “asli” bukanlah ukuran
yang bisa digunakan untuk menentukan setia atau tidak setianya
seseorang terhadap Indonesia. Yang penting, menurut Siauw adalah
354
Nation Building dan Integrasi
suasana dan kondisi yang mendorong orang-orang yang memiliki
nama-nama Tionghoa dan yang masih menjalankan adat istiadat
serta kebudayaan Tionghoanya untuk berbakti pada Indonesia.
Dalam hal ini, Siauw bisa menggunakan konsep yang bersandar
pada “mental-retooling” yang dipopulerkan oleh Soekarno setelah
1959. Soekarno menganjurkan mental-retooling untuk setiap
warga negara, tanpa memperdulikan latar belakang ras, agama,
untuk membangun masyarakat sosialis. Ini, menurut Siauw,
hanya bisa dicapai bilamana setiap suku, termasuk suku Tionghoa
mengintegrasikan dirinya di dalam masyarakat dan segala kegiatan
politik dan sosial sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi
aspirasi suku-suku ini.
Dengan integrasi, Siauw maksudkan golongan Tionghoa tetap
mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya tetapi bekerja
sama dengan suku-suku lainnya membangun “Nasion” Indonesia.
Jadi konsep integrasi-nya sangat erat berkaitan dengan NationBuilding dan kesukuan.
Menurutnya assimilasi telah gagal di beberapa negara lainnya,
termasuk Amerika Serikat. Amerika yang mengenal konsep
“melting-pot” atau peleburan total, ternyata, menurut Siauw, tidak
berhasil menyelesaikan masalah “negro”.
Ia menentang assimilasi karena walaupun yang dianjurkan
itu bersifat sukarela, tetapi program LPKB mengandung sebuah
paksaan yang bisa meluncur ke proses penghilangan identitas
biologis dari sebuah suku-bangsa. Ini, menurutnya melanggar
HAM, bahkan bisa dikategorikan usaha genocide yang terkutuk.
Disamping itu, urusan nama, perkawinan bahkan agama adalah
urusan pribadi setiap orang. Ia juga mengungkapkan bahwa
pengaturan yang diadakan untuk mengganti nama, agama dan
calon istri maupun suami., merupakan pelanggaran HAM.
Siauw lebih lanjut mencanangkan harapannya bahwa komunitas
Tionghoa meng-integrasikan dirinya dalam semua kegiatan
pembangunan “Nasion” Indonesia, terutama dalam pembangunan
ekonomi nasional, dalam kegiatan politik yang menjamin
355
Siauw Giok Tjhan
keberadaan hukum yang melarang rasisme, dalam kegiatan
politik mewujudkan demokrasi dan keadilan, dalam pendidikan
masyarakat sehingga aspirasi Rakyat dijadikan aspirasi semua
suku yang ada.
Kewarganegaraan Indonesia
Siauw mengetengahkan bahwa posisi hukum keberadaan
komunitas Tionghoa sebagai bagian Nasion Indonesia adalah
Kewarganegaraan Indonesia. Ia mendambakan terwujudnya
Citizenship-Based Nation, Nasion yang hanya mengenal satu macam
Kewargangeraan, sehingga latar belakang etnisitasnya, dalam mata
hukum, tidak memainkan peranan apapun. Seetiap warga negara
memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dalam hal ini, Siauw, senantiasa mengingatkan para politikus
yang ingin mempersulit orang Tionghoa menjadi WNI, bahwa
Manifesto Politik November 1945 mencantumkan salah satu jiwa
proklamasi 45, yaitu ingin menjadikan semua keturunan asing di
Indonesia, warga negara Indonesia dan patriot sejati Indonesia
dalam waktu sesingkat mungkin.
Menurut Siauw, janji yang terkandung dalam Manifesto Politik
itu dipenuhi dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan
Indonesia pada tahun 1946, sebuah UU yang menjadikan semua
orang yang lahir di Indonesia, baik asing maupun tidak, warga
negara Indonesia, dengan sistem pasif.
Oleh karenanya, Siauw sangat menentang arus yang ingin
mengubah UU kewarganegaraan ini, apalagi bilamana alasan
yang dipergunakan adalah keinginan untuk membatasi kegiatan
pedagang Tionghoa yang sudah lama beroperasi di Indonesia
dan yang memiliki kemampuan untuk membantu pembangunan
ekonomi nasional.
Di samping itu, Siauw-pun berkeyakinan bahwa Indonesia adalah
tanah air komunitas Tionghoa yang sudah bergenerasi menetap di
Indonesia. Sudah wajar bilamana mereka ini menjadi warga negara
356
Nation Building dan Integrasi
Indonesia, sehingga bisa didorong untuk membantu pembangunan
ekonomi dan Nasion Indonesia.
Oleh karena ini, seperti yang dituturkan dalam bagian
sebelumnya, Siauw didukung oleh Baperki sangat giat dan gigih
memperjuangkan sebanyak mungkin penduduk Tionghoa menjadi
WNI.
Memang pada tahun 50-an dan 60-an, argumentasi Siauw
tentang kewarganegaraan Indonesia kurang mendapat perhatian
komunitas Tionghoa, terutama yang berada di luar Jawa. Baru sejak
tahun 70-an, pentingnya menjadi WNI dirasakan oleh sebagian
besar penduduk Tionghoa di Indonesia.
Pengembangan Modal Domestik
Seperti yang dituturkan sebelumnya, bagi Siauw, modal
yang dimiliki dan dikembangkan oleh para pedagang Tionghoa,
baik yang sudah menjadi WNI maupun asing, bukan saja harus
dilindungi, tetapi juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga
mampu mempercepat pembangunan ekonomi nasional menuju ke
masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh karena ini, Siauw sangat gigih menentang berbagai
kebijakan rasis yang didesain untuk mengambil alih peranan yang
dimainkan oleh pedagang Tionghoa dan menggantikannya dengan
pedagang-pedagang “asli” . melulu karena keserakahan pribadi
tanpa mengindahkan dampak tindakannya.
Siauw berpendapat, bahwa yang harus diutamakan adalah
pengambilan alih perusahaan-perusahaan asing yang jelas
menguras kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan negaranegara maju yang menindas perkembangan negara-negara yang
berkembang. Fokus nasionalisasi harus ditujukan untuk merealisasi
UUD pasal 33, bukan untuk menghancurkan modal domestik yang
sudah jelas memiliki andil besar dalam pembangunan ekonomi
Indonesia.
Dalam hal ini, Siauw secara gamblang memperjuangkan
357
Siauw Giok Tjhan
dipertahankannya sistem kapitalisme yang menjamin tumbuhnya
modal domestik, yang pada umumnya berada dikelola oleh para
pengusaha Tionghoa. Banyak pengusaha yang terlibat dalam
pengelolaan modal domestik ini kemudian menjadi pendukung
Baperki. Bahkan sebagian besar anggota Baperki terdiri dari
para pengusaha kecil menengah. Prinsip ini dengan sendirinya
bertentangan dengan paham komunisme dan di dalam berbagai
perdebatan di parlemen, Siauw kerap bertentangan dengan para
politikus PKI.
Pendidikan Politik
Siauw berpendapat bahwa sebagai akibat sistem penjajahan
yang berkepanjangan, prinsip-prinsip yang dicanangkannya
itu tidak mudah untuk diterima begitu saja, baik oleh mereka
yang “asli” maupun oleh komunitas Tionghoa. Oleh karenanya
pendidikan politik yang bersifat menyeluruh dan jangka panjang
harus dilakukan.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, inilah yang mendorong
Siauw untuk mengerahkan para tokoh Baperki untuk terjun
langsung memberi pendidikan politik ke massa-nya, mengajak
massa-nya untuk terjun dalam kegiatan politik nasional. Ia-pun
mengerahkan institusi pendidikan Baperki untuk menyebar luaskan
paham-paham yang ia canangkan sejak tahun 30-an. Penekanan
Nation Building dan kewarganegaraan Indonesia merupakan hal
yang terpenting dalam pendidikan massa ini.
BAPERKI VS LPKB
Perdebatan antara assimilasi dan integrasi mencapai puncaknya
pada tahun 1963. Pihak LPKB mengetahui bahwa Siauw kian dekat
dengan Soekarno dan semakin sering mendapatkan perlindungan
358
Nation Building dan Integrasi
darinya. Mereka-pun khawatir kalau keadaan perang/ darurat
yang akan berakhir pada tahun 1963, sehingga kekuatan politik
Angkatan Darat menurun, akan melemahkan posisi mereka.
Untuk memperbaiki posisinya, LPKB mengadakan sebuah
konperensi pada tanggal 10-12 Maret 1963 di Jakarta di mana
beberapa tokoh pemerintah diundang. Sebagian dari mereka turut
hadir. Diantaranya Roeslan Abdulgani, Menteri Penerangan, Chaerul
Saleh, Ketua MPRS, Muljadi Djojomartono, Menteri Sosial, Ipik
Gandamana, Menteri Pekerjaan Umum, Jendral Nasution, KASAD.
Sebagian besar dari tamu-tamu penting yang diundang ini mengirim
teks pidato-pidatonya. Juga diterima pidato tertulis Sunario, lawan
Siauw dalam bidang kewarganegaraan. Yang menarik adalah waktu
pengadaan konperensi ini, yaitu sekitar perayaan hari ulang tahun
ke 9 Baperki, di mana Soekarno hadir dan memberikan amanatnya.
Konperensi ini menonjolkan klarifikasi tentang semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Menurut mereka, Soekarno telah menjelaskan
padanya bahwa arti Bhinneka itu keadaan sekarang sedangkan
Tunggal Ika adalah tujuan yang ingin dicapai. Juga ditekankan oleh
mereka bahwa Soekarno menyatakan bahwa sebuah bangsa yang
memiliki minority bukanlah bangsa.
Kelompok assimilasi mengintepretasikan ini sebagai tanda
bahwa Soekarno seirama dengan mereka dalam membentuk
“Nasion” yang homogeen, yang tidak mengenal suku bangsa.
Akan tetapi banyak pidato tertulis yang dibacakan dalam
konperensi itu tidak secara gamblang mendukung konsep assimilasi.
Sebagian, seperti Chaerul Saleh dan Ipik Gandamana menganjurkan
solusi yang malah mendekati apa yang Siauw canangkan19.
Dua hari setelah LPKB dibentuk, pada tanggal 14 Maret 1963,
Baperki menyelenggarakan peringatan hari ulang tahun ke 9 -nya.
Soekarno turut menghadiri acara ini dan memberi sambutan. Pada
waktu itu, kedatangan Soekarno dalam acara-acara organisasi
19
Pidato-pidato ini dikumpulkan oleh LPKB di Assimilasi, Jajasan Pembinaan Kesatuan Bangsa,diterbitkan oleh Department Penerangan,1964.
359
Siauw Giok Tjhan
menunjukkan dekatnya Soekarno dengan pemimpin organisasi
yang mengundangnya.
Dalam pidatonya Soekarno menunjukkan bahwa ia mendukung
konsep-konsep yang dicanangkan Siauw, terutama yang
berhubungan dengan suku Tionghoa dan assimilasi.
Tentang assimilasi, ia berkata: “...Cak Siauw tadi berkata,
janganlah mengutik-ngutik assimilasi...Baik Bung Siauw, saya tidak
akan mengutik-ngutik....Nama saya sendiri itu Soekarno. Apa itu
nama Indonesia asli? Tidak. Itu asalnya sanskrit. ....Cak Ruslan
namanya asal Arab, jadi campuran...what is in a name? Kalau
saudara ingin menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama...
Tidak, itu urusan pribadi. Agama-pun pribadi...”.
Pidato ini menunjukkan dukungan Soekarno terhadap konsepkonsep Siauw Giok Tjhan. Akan tetapi, sebagai pemimpin yang
ingin menjaga kesetimbangan, ia ternyata harus memenuhi
permintaan LPKB untuk meresmikan pendiriannya sebagai salah
satu departemen kementerian Penerangan.
Oleh karena itu, pada bulan Juli 1963, ia merestui pembentukan
LPKB di departemen Penerangan yang dipimpin oleh Roeslan
Abdulgani. Walaupun demikian, dalam pidatonya di hadapan LPKB,
ia tidak berbicara tentang pergantian nama dan agama. Siauw tidak
banyak menanggapi peresmian LPKB itu, kecuali menuntut LPKB
untuk me-Nasakom-kan organisasinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1963, Soekarno memenuhi permintaan
Siauw dan menekankan perlunya LPKB di-Nasakom-kan. Akan
tetapi LPKB tidak melayani permintaan Soekarno. Mereka tetap
terdiri dari orang-orang yang anti komunis20.
Pada bulan November 1963, LPKB mulai menyerang Baperki
melalui pemerintah. Ketuanya, Sindhunatha, mengirim surat
ke beberapa anggota kabinet menuntut agar Baperki yang
20
Coppel, Patterns of Chinese Political Activity In Indonesia, p 58
360
Nation Building dan Integrasi
digambarkannya sebagai organisasi eksklusif, dibubarkan21. Akan
tetapi posisi Baperki terlalu kuat untuk dipengaruhi. Seperti yang
dituturkan sebelumnya, sebelum surat LPKB diterima, Soekarno
sudah merencanakan pengangkatan Siauw sebagai menteri.
Tawaran ini ditolak dan sebagai gantinya, Oei Tjoe Tat diangkat
sebagai menteri tidak lama setelah surat Sindhunata diedarkan.
Hal ini merupakan pukulan bagi LPKB.
Dukungan Soekarno terhadap Baperki terlihat dari pidatonya
pada tanggal 17 Agustus 1964. Di dalam pidato ini Soekarno
mengulang dukungannya pada konsep golongan Tionghoa dianggap
sebagai suku. Walaupun tidak secara langsung mengecam konsep
assimilasi, tetapi ia jelas terlihat berat sebelah terhadap Baperki.
Yang paling keras memukul LPKB adalah desakan Soekarno yang
diucapkan dalam pidato kenegaraan itu untuk membersihkan LPKB
dari komunis-phobia dan untuk me-Nasakomkan organisasinya.
Sejak itu, Soekarno jelas memihak pada Baperki. Untuk
sementara, posisi Baperki lebih kuat bila dibandingkan dengan
posisi LPKB. Adanya polarisasi politik yang tajam menyebabkan
perdebatan antara Baperki dan LPKB pada akhir zaman Demokrasi
Terpimpin lebih berpusat pada garis politiknya daripada perbedaan
konsep assimilasi dan integrasi.
Ini menyebabkan LPKB menjadi organisasi yang didukung orangorang yang takut dengan berkembang pesatnya komunisme. Ia
juga mendapat dukungan dari orang-orang yang khawatir dengan
perkembangan Baperki yang semakin kiri haluannya.
21
Ibid p59. Siauw, Lima Jaman, p 311
361
Siauw Giok Tjhan
BAB 14
AKHIR HIDUP BAPERKI
Sebagai akibat kedekatan Siauw dengan Presiden Soekarno
dan kekuatan politik yang mengelilinginya di zaman Demokrasi
Terpimpin, yang kini dikenal sebagai zaman Orde Baru, Siauw
berhasil memasukkan berbagai objektif penting Baperki ke
dalam pidato-pidato penting Soekarno dan berbagai kebijakan
pemerintah. Secara hukum dan di atas kertas, posisi Baperki dan
golongan Tionghoa di Indonesia terlindungi, lebih daripada yang
pernah dialami pada zaman-zaman sebelumnya.
Menjelang tahun 1965, Siauw telah membangun Baperki sebagai
organisasi massa golongan Tionghoa terbesar dalam sejarah
Indonesia. Baperki berhasil menjadi sebuah kekuatan politik
yang sering diandalkan oleh beberapa partai politik besar, karena
selain jumlah anggota yang cukup besar, melebih 600.000 orang, ia
memiliki banyak pendukung dan simpatisan di seluruh Indonesia.
Hasil yang terpenting yang dicapai Siauw dalam karier
politiknya adalah terbinanya massa Baperki untuk memiliki
kesadaran politik. Organisasi-organisasi Tionghoa sebelumnya,
seperti Tiong Hoa Hwee Kwan, Chung Hua Chung Hui, PDTI tidak
memiliki kesungguhan dalam melaksanakan pendidikan politik
untuk para anggotanya. Siauw, melalui sarana organisasi dan
institusi pendidikannya, berhasil menyebar luaskan konsep-konsep
politiknya, terutama yang berhubungan dengan Nation Building,
integrasi dan makna politik kewarganegaraan Indonesia.
Pada zaman ini, banyak anggota Baperki yang aktif dalam
kegiatan politik dan masuk partai-partai politik atau organisasiorganisasi massa lainnya. Sebagian besar yang aktif masuk ke
dalam PKI dan Partindo, sedangkan pemuda dan pelajar Baperki
masuk bahkan memegang peranan pimpinan di dalam Pemuda
Rakyat, Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan CGMI
(Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).
362
Akhir Hidup Baperki
Akan tetapi, Siauw agak kecewa dengan perkembangan
politik yang mendorong para kader dan pemuda Baperki di saatsaat terakhir zaman Demokrasi Terpimpin, yang meletakkan
kepentingan Baperki di bawah kepentingan PKI dan para organisasi
yang berafiliasi dengannya. Usaha Siauw untuk membatasi sikap
militan yang dianggap olehnya merugikan posisi Baperki ini, tidak
begitu berhasil.
Situasi dan Lingkungan Politik
Pada awal tahun 1965, polarisasi politik antara kiri dan kanan
berkembang secara ekstrim. Soekarno dan PKI menjadi lebih dekat
dan saling tergantung satu sama lainnya. Karena kepopuleran
Soekarno dan kemampuannya mendominasi kancah politik,
kekuatan politik kiri terlihat menang di atas angin. Pimpinan
Angkatan Darat dan kekuatan politik kanan lainnya yang sebagian
besar diwakili oleh NU, Parkindo dan partai Katolik, terpaksa untuk
sementara menerima keadaan ini dan mengikuti arus politik
Walaupun Soekarno tidak menerima semua tuntutan PKI, tetapi
ia tidak menyembunyikan keberat-sebelahannya terhadap partai
ini. Setiap kali ada konflik antara PKI dengan musuh-musuhnya, ia
mendukung posisi PKI.
Murba membentuk dan memimpin BPS (Badan Pendukung
Soekarnoisme) dengan tujuan untuk kembali memainkan peranan
penting dalam kancah politik yang kian didominasi oleh PKI.
Gerakan yang didukung oleh sebagian pimpinan Angkatan Darat
dan berbagai surat kabar itu ditentang oleh PKI. Atas desakannya,
Soekarno mengeluarkan larangan yang membatasi ruang gerak
Murba dan menutup surat-surat kabar yang mendukung BPS. Tidak
lama setelah ini, Adam Malik, pada waktu itu Meneteri Perdagangan
dan Chaerul Saleh, ketua MPRS, kedua-duanya diassosiasikan
dengan Murba, diserang oleh PKI sebagai anti-Soekarnois. Pada
bulan Maret 1965, kedua-duanya didemosi dalam sebuah kabinet
363
Siauw Giok Tjhan
reshuffle1.
Pada bulan September 1965, Murba secara resmi
dilarang dan beberapa pemimpinnya termasuk ketuanya, Sukarni
dipenjarakan.
Setelah menyerang Murba dan berhasil melemahkan posisi
politiknya, PKI mulai menyerang kekuatan Islam yang diwakili
oleh NU dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Pada bulan Maret
1965, terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan kota-kota
Jawa Timur yang diorganisasi oleh CGMI dan Pemuda Rakyat
menuntut dibubarkannya HMI. Walaupun Soekarno berkali-kali
memperingati kekuatan Islam untuk menghilangkan komunisphobia-nya, ia memutuskan untuk tidak membubarkan HMI. Akan
tetapi keadaan menunjukkan bahwa HMI dan dalam hal ini, NU
berada di pihak yang defensif -- tidak bisa mengerahkan kekuatan
massa-nya untuk secara terang-terangan melawan dorongandorongan pihak PKI dan para organisasi massanya.
PKI juga mendemonstrasikan kemampuannya dalam
mengumpulkan dan mengontrol massa. Pada bulan Mei 1965, ketika
merayakan hari ulang tahun ke 45-nya, PKI menyatakan bahwa ia
memiliki 3 juta anggota dan para organisasi massa yang berafiliasi
dengannya memiliki 20 juta anggota, yang menjadikannya kekuatan
komunis terbesar ke tiga di dunia.
Akan tetapi, tantangan paling berat bagi PKI adalah
menggoyahkan kekuatan Angkatan Darat. Pada awal tahun 1965,
PKI meningkatkan serangannya terhadap apa yang mereka
namakan koruptor dan kapitalis-birokrat (Kapbir). Ini ditujukan
pada para perwira Angkatan Darat yang sejak tahun 1957-1958
menjadi pemimpin berbagai perusahaan-perusahaan yang tadinya
dimiliki oleh Belanda. PKI menuduh mereka sebagai kekuatan yang
selalu terlibat dalam menyebar-luaskan propaganda anti-komunis
dan menghalangi program Soekarno dalam menciptakan kesatuan
Nasakom. Seruan-seruan PKI ini akhirnya mendorong Soekarno
untuk turut mengecam sikap para perwira tinggi Angkatan Darat
yang dianggapnya memiliki sikap reaksioner dan hidup dalam
1
Harian Rakyat, 1 April 1965
364
Akhir Hidup Baperki
kemewahan2.
Pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat menjadi lebih sengit
ketika PKI menuntut agar Front Nasional dijadikan Angkatan ke 5
dan dipersenjatai. Konsep PKI adalah Angkatan ke 5 ini terdiri dari
para buruh dan petani yang dipersenjatai sehingga bisa membantu
ABRI dalam mempertahankan keamanan dan menghalau serangan
luar. Lagi-lagi, Soekarno mendukung gagasan ini dan mendorong
pimpinan ABRI untuk mempertimbangkannya dan merencanakan
pembentukannya. Dorongan Soekarno ternyata juga didukung oleh
Kepala Staf Angkatan Udara dan Kepala Staf Angkatan laut. Akan
tetapi, Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Yani menentangnya. Pada
tanggal 27 September 1965, Yani mempertegas penolakannya3.
Walaupun kekuatan kanan terlihat berada di bawah angin,
secara kongkrit, kekuatan PKI terbatas. Jendral Nasution dan Yani
berhasil mencegah Soekarno dalam mengangkat tokoh-tokoh PKI
menjadi menteri-menteri dengan portfolio yang menentukan.
Seperti dituturkan sebelumnya, Aidit, Lukman dan Njoto diangkat
menjadi menteri-menteri negara tanpa tugas eksekutif yang
menentukan. Di pemerintahan daerah, kekuatan PKI juga terbatas.
Dari 24 gubernur, 12 adalah perwira tinggi Angkatan darat. Tidak
terdapat satupun gubernur dari PKI.
Situasi politik menjelang akhir zaman Demokrasi Terpimpin
memang berubah. Pada bulan Mei 1965, Setiadi Reksoprodjo, bekas
pemimpin Pesindo diangkat sebagai menteri Listrik dan Energi.
Njoto juga semakin besar pengaruhnya di dalam kabinet. Bahkan ia
menjadi salah seorang kepercayaan Soekarno yang sering menulis
banyak pidato-pidato pentingnya.
Mismanagement dalam bidang ekonomi terus mencekam
pelaksanaan program pemerintah di saat-saat terakhir zaman ini.
Pada tahun 1962, defisit negara berjumlah 12.8 miliard Rupiah.
Dalam tahun-tahun 1963 dan 1964, walaupun pemasukan menurun,
2
3
Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno, pp 383-384
Ibid. p 385
365
Siauw Giok Tjhan
defisit terus menanjak, bahkan lebih besar dari pemasukan (103%
dari pemasukan pada tahun 1963 dan 113% pada tahun 1964) 4.
Menjelang akhir tahun 1965, defisit membengkak menjadi 3000%
dari jumlah pemasukan5.
Besarnya defisit ini sebagian disebabkan oleh ketidak mampuan
pemerintah dalam mengontrol inflasi. Menurunnya export dan
menanjaknya import menyebabkan terkurasnya devisa uang
asing. Dan karena ketergantungan atas barang-barang import
kian membesar, sedang daya produksi di dalam negeri tidak
dikembangkan, inflasi terus menanjak. Keadaan menyedihkan ini
menyebabkan hanya 50% dari bis dan truk yang beroperasi di jalanjalan karena kekurangan spare-parts dan kapasitas produksi yang
berjalan hanya 25-30% dari kapasitas totalnya6. Keadaan ekonomi
menjadi lebih parah dengan dimulainya kampanye “Ganyang
Malaysia” yang menelan biaya besar.
Di kwartal terakhir tahun 1964, harga hampir semua barang
naik dua kali lipat. Nilai Rupiah jatuh dari Rp. 3.000 per US dollar di
bulan September hingga Rp 8.000 di bulan Desember 19657. Pada
tahun 1965, harga banyak barang naik sampai 500% dan harga
beras naik 900%8.
Tekanan untuk mencari bantuan negara-negara yang lebih
mampu semakin besar setelah tahun 1963. Dengan sikap Soekarno
yang bermusuhan dengan negara-negara Amerika Serikat dan
Inggris, bantuan dari kedua negara ini tidak kunjung datang.
Akhirnya, Soekarno terdorong untuk berpaling ke negara-negara
Sosialis-komunis, terutama Uni Soviet dan RRT.
4
5
6
7
8
J.A.C. Mackie, Problems of The Indonesian Inflation, Mono
graph Series, Cornell University, 1967, p. 8
Bruce Grant, Indonesia, Melbourne University Press, Second Edition, 1966, p. 97
Ibid. p. 90
Mackie, Problems of The Indonesian Inflation, p 42
Grant, Indonesia, p 97
366
Akhir Hidup Baperki
Di dalam pidato 17 Agustus 1965, Soekarno berbicara tentang
terbentuknya poros Jakarta-Phnom Penh - Hanoi - Peking Pyongyang yang dikatakannya sebagai anti imperialis. Indonesia
tetap aktif dalam mengupayakan diselenggarakannya Conference
of the New Emerging Forces (CONEFO) di Jakarta pada awal tahun
1966. Dengan demikian Soekarno mengajak Indonesia ke dalam
kubu kiri di dalam kancah internasional, berhadapan dengan
kekuatan kapitalis Barat.
Pimpinan Angkatan Darat di bawah Yani bersikap hatihati dalam menentang kebijakan politik Soekarno baik dalam
maupun luar negeri. Mereka tidak terang-terangan menentang
keputusan Soekarno untuk dekat dengan RRT dan kebijakan
politik konfrontasinya dengan Malaysia dan dunia Barat. Secara
diam-diam dan rahasia mereka melakukan tindakan-tindakan
yang mensabotase berbagai kebijakan Soekarno. Para pendukung
Soekarno, terutama yang berada di kalangan Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sering frustrasi karena sikap Angkatan Darat
yang mengabaikan instruksi pelaksanaan kebijakan konfrontasi.
Di antara tahun 1964 dan 1965, sekolompok perwira Angkatan
Darat malahan menjalin hubungan rahasia dengan pihak Malaysia.
Tujuannya adalah meyakinkan Malaysia bahwa pihak Angkatan
Darat sedang mencari jalan untuk membatalkan kebijakan politik
konfrontasi sehingga perang anta ke dua negara ini bisa dihindari9.
Akan tetapi kekuatan Angkatan Darat sendiri juga pecah.
Walaupun pimpinannya didominasi oleh kelompok anti-komunis,
ada juga beberapa perwira tinggi yang memiliki kesungguhan
mendukung Soekarno dan bersimpati pada PKI Pada bulanbulan Agustus dan September, mereka inilah yang mengambil
inisiatif untuk menyingkirkan jendral-jendral anti komunis dengan
kekerasan. Manifestasi rencana ini adalah gerakan yang dikenal
sebagai Gerakan 30 September.
9
Crouch, The Army And Politics In Indonesia, pp 74-76
367
Siauw Giok Tjhan
Soekarno dan Siauw
Berpalingnya Indonesia ke kubu negara-negara berhaluan
kiri dan semakin dekatnya Soekarno dengan RRT menolong
posisi Siauw dan Baperki. Dengan situasi politik demikian, Siauw
berhasil mendorong dihilangkannya berbagai peraturan yang
mendiskriminasikan golongan Tionghoa. Dan perjuangannya
didukung secara terang-terangan oleh Soekarno dan PKI.
hubungan Siauw dengan Soekarno juga menjadi lebih intim.
Siauw sering diundang ke pertemuan-pertemuan makan-pagi di
istana di mana berbagai hal penting dibicarakan dan diputuskan.
Akses Siauw ke Soekarno mudah dan ia bisa setiap saat mengunjungi
tempat kediaman pribadi Soekarno untuk membicarakan hal-hal
yang dianggap mendesak. Seringnya ia mengunjungi Soekarno
menyebabkan ia diberi izin oleh protokol istana untuk keluar
masuk istana dengan pakaian sederhana dan dengan mengenakan
sandal10.
Secara politis, Siauw selalu mendukung kebijakan politik
Soekarno. Sebagai timbal balik, Soekarno-pun selalu mendukung
program-program Baperki dan memberi perlindungan politik yang
diperlukan. Ia-pun menerima hampir semua usul-usul Siauw di
DPA dan berbagai tempat pertemuan lainnya dan memasukkan
konsep-konsep Siauw ke dalam pidato-pidatonya.
Salah satu konsep Siauw yang dimasukkan ke dalam pidatopidato penting Soekarno berhubungan dengan penggunaan
modal domestik, yang dimiliki oleh baik pedagang Tionghoa WNI
maupun asing, untuk pembangunan Indonesia. Konsep ini sudah
didengungkan oleh Siauw sejak tahun 50-an. Dalam pidato Soekarno
yang dijuduli Banting Stir Untuk Berdikari, yang dibacakan dalam
sidang MPRS pada tanggal 11 April 1965, konsep Siauw yang
dibicarakan dalam salah satu rapat di DPA didengungkan oleh
10
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat in July 1994 and Fransisca Fanggidaj , November 1987
368
Akhir Hidup Baperki
Soekarno11.
Soekarno menyerukan:”... Kenapa kita mesti banting stir? Seperti
kuperingatkan di dalam revolusi selalu ada dua macam kesalahan,
yaitu reformisme dan phasensprong. Yang penyakit reformisme,
terutama menghalang-halangi ekonomi sektor negara memegang
dominasi dan menghalang-halangi landreform dijalankan secara
konsekwen, dus menghalang-halangi revolusi nasional-demokratis.
Yang phasensprong terutama tidak mau mengikut sertakan modal
swasta dan modal domestik, mau me-negarakan segala sesebuah
dan dengan demikian mau langsung ke sosialisme...”.
Dalam pidato yang sama, Soekarno menegaskan:”...Kepada
sekalian pembantuku, kepada MPRS dan DPRGR dan instansiinstansi kuserukan supaya benar-benar memeras otak untuk
mengatasi gejala inflasi dan membuang peraturan-peraturan
kolonial dan semi kolonial -- umpamanya peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh menteri perdagangan dan menteri perindustrian
yang mengandung diskriminasi rasial dan praktis menutup pintu
bagi modal domestik untuk menanam modal di bidang produksi -yang masih mengikat kaki-tangan kita dan menciptakan peraturanperaturan yang benar-benar nasional, yang bukan mempersulit
kita sendiri, melainkan memudahkan usaha-usaha kita...”12.
Konsep yang tertuang di dalam pidato Soekarno ini kemudian
dimasukkan ke dalam Ketetapan MPRS No. VI/1965, pasal 13 yang
mengharuskan:
1.
Penggunaan
funds
and
resources
swasta
termasuk modal nasional dan domestik yang progresif untuk
pembangunan di bidang produksi
2.
Diciptakannya iklim ekonomi yang favourable
untuk menghilangkan semua peraturan yang menghambat
dikeluarkannya berbagai izin dan fasilitas untuk produksi.
11
12
Wawancara dengan Utrecht in 1981
Soekarno, Banting Stir Untuk Berdikari , 11 April 1965
369
Siauw Giok Tjhan
Siauw sangat mendukung kebijakan politik luar negeri
Soekarno. Ia memuji Soekarno yang dikatakannya memiliki visi
dan kesungguhan dalam melawan imperialisme. Dengan demikian,
ia juga mendukung keputusan Soekarno untuk keluar dari PBB
dan cenderung meletakkan lebih banyak harapan pada hasil-hasil
CONEFO.
Dengan sendirinya, Siauw sangat mendukung keputusan
Soekarno untuk lebih dekat dengan RRT. Dalam hal ini, Siauw
memainkan peranan yang cukup penting. Banyak pembicaraan
antara pimpinan RRT dengan Soekarno dibicarakan melalui
Siauw13. Siauw berharap hubungan baik ini juga akan mempercepat
penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan. Ia mengeluh walaupun
Perjanjian untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan itu
telah ditanda tangani selama 6 tahun, pihak pemerintah Indonesia
masih mengabaikan apa yang tertera di dalam Perjanjian itu.
Siauw menyatakan bahwa masih banyak orang yang mengalami
kesulitan dalam mendapati kewarganegaraan Indonesia walaupun
status mereka sudah WNI: “ Banyak pengadilan-pengadilan
daerah menolak lamaran untuk menjadi WNI berdasarkan alasan
kurangnya dokumentasi yang membuktikan tempat kelahiran
mereka yang melamar dan orang tuanya. Bilamana dokumentasinya
ada, tapi ada kesalahan ejaan, permohonan mereka dihambat.
Banyak pula permohonan untuk menjadi WNI ditolak karena
mereka yang memohon pernah mendaftarkan diri sebagai orangorang yang ingin meninggalkan Indonesia sebagai akibat PP-10
pada tahun 1959. Di Sumbawa terdapat 270 orang, 200 di Bali dan
700 di Jakarta14.
Siauw tetap mendesak pemerintah RI dan RRT untuk mengadakan
pertemuan membicarakan penyelesaiannya sehingga masalah
kewarganegaraan ini bisa segera diselesaikan. Sebenarnya pihak
Duta Besar RRT, Yao Chung Ming sudah memberikan komitmen
pada Siauw untuk mempercepat penyelesaiannya, akan tetapi
13
14
Wawancara dengan Go Gak Cho, Desember, 1989
Ibid.
370
Akhir Hidup Baperki
usaha ini harus dihentikan dengan terjadinya G-30-S15.
Siauw tidak pernah menghargai di-korupnya kekuasaan
untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, ia secara diamdiam menentang tingkah laku Soekarno yang seperti Sultan
ketimbang pemimpin besar revolusi. Ia terutama kecewa dengan
penghamburan uang untuk proyek-proyek prestige di Jakarta.
Ia juga kecewa dengan sikap para pemimpin yang mengelilingi
Soekarno, termasuk Subandrio dan Chaerul Saleh16. Akan tetapi
selama mereka mengisi kekuasaan dengan garis-garis politik yang
menolong dicapainya tujuan politiknya, Siauw bersedia menerima
kelemahan-kelemahan yang dihadapinya itu.
PKI dan Siauw
Seperti pimpinan PKI dan partai-partai politik lainnya, untuk
mencapai tujuan politiknya, terutama yang berhubungan dengan
mekanisme yang melindungi golongan Tionghoa, Siauw terpaksa
harus dekat dengan Soekarno dan bersandar pada kebijakan dan
kebijakan politiknya. Akan tetapi dengan demikian, Siauw mau
tidak mau harus membawa Baperki dan dirinya sendiri ke dalam
kubu politik yang didominasi oleh Soekarno dan PKI.
PKI memang mendukung Baperki dalam berbagai bidang.
Melalui Harian Rakyat-nya, kegiatan-kegiatan Baperki dan juga
pidato-pidato Siauw Giok Tjhan dipuji dan didukung. Aidit sendiri
sering menyatakan bahwa dalam hal golongan Tionghoa ia selalu
mendukung pandangan-pandangan Siauw17. Dalam pidatonya yang
dibacakan pada Kongres Baperki di Malang pada tanggal 12 Mei
1965, ia menyatakan bahwa ia menganggap Baperki sebagai alat
revolusi yang baik dan oleh karenanya kawan seperjuangan PKI
yang bisa selalu diandalkan. PKI, akan selalu membantu Baperki
15
Wawancara dengan Go Gak Cho
16
Yang dimaksud oleh Siauw adalah Subandrio dan Chaerul Saleh
17
Wawancara dengan Njoo King Ming, anggota CDB PKI Jawa Timur, Melbourne, Juni 1990
371
Siauw Giok Tjhan
dalam melawan rasisme.
Akan tetapi, dekat dengan PKI tidak berarti Siauw selalu
menyetujui tindak tanduk PKI. Di dalam saat-saat terakhir zaman
Demokrasi Terpimpin, telah terjadi beberapa konflik antara Siauw
dan pimpinan PKI, terutama dengan Aidit sendiri.
Pada tahun 1965, PKI aktif memobilisasi massa untuk
menunjukkan kekuatannya di jalan-jalan. Demonstrasidemonstrasi di jalan-jalan ini memerlukan massa, transportasi dan
dana. Massa yang diandalkan biasanya adalah pemuda-pemudi
terutama pelajar-pelajar. Untuk inilah PKI berpaling ke Baperki
untuk bantuan, terutama untuk berbagai kegiatan di Jakarta.
Baperki memiliki banyak sekolah dan jumlah pelajar yang
ditampung di sekolah-sekolah Baperki, berjumlah puluhan ribu.
Tentunya ini merupakan massa yang oleh PKI dapat diandalkan
turun ke jalan-jalan. Di samping itu, banyak anggota dan pendukung
Baperki adalah pedagang-pedagang yang siap untuk memberikan
sumbangan-sumbangan yang dianggap berguna untuk kepentingan
mereka sendiri. Diantara pendukung Baperki, ada pula yang
memiliki perusahaan bis yang cukup besar di Jakarta. Datanglah
PKI kepada mereka untuk meminta bantuannya, melalui tokohtokoh Baperki. Kalau ada jumlah demonstran dibutuhkan dari luar
kota untuk memeriahkan acara-acara PKI, orang-orang Baperki
yang juga dimintai bantuan untuk memberikan tempat dan biaya
penampungan.
Ketika PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya
mengadakan latihan militer, banyak pemuda-pelajar Baperki turut
berpartisipasi. Diantara ratusan pemuda yang dilatih di Lubang
Buaya di mana 6 Jendral Angkatan Darat dibunuh dan ditanam,
pada waktu peristiwa G-30-S terjadi, terdapat juga beberapa
pelajar-mahasiswa Baperki.
Banyak pengaturan yang digambarkan di atas dibuat oleh
pimpinan Baperki yang juga menjadi anggota PKI dan organisasiorganisasi-nya, seperti LEKRA dan CGMI. Siauw-pun sering tidak
mengetahuinya. Ia sering kecewa dengan pernyataan-pernyataan
372
Akhir Hidup Baperki
PKI yang mengklaim massa Baperki sebagai massa-nya sendiri. Ia
selalu menyatakan bahwa Baperki bukan organisasi yang berafiliasi
dengan PKI. Massa Baperki bukanlah massa PKI. Oleh karenanya
ia sering menegur kader-kader Baperki yang bertindak dengan
pengertian penggunaan massa Baperki untuk acara-acara PKI
adalah lumrah dan harus dijalankan.
Dorongan untuk mendekatkan Baperki dengan PKI sering timbul
dari dalam Baperki sendiri. Pada bulan Maret 1965 misalnya,
beberapa pemimpin dewan Mahasiswa URECA (Universitas
Respublica) berencana untuk memobilisasi para mahasiswa URECA
untuk membantu PKI dan CGMI yang mau mengadakan demonstrasi
pada tanggal 13 Maret untuk menentang diputarnya film-film
Amerika. Program demonstrasi ini berbarengan dengan acara ulang
tahun Baperki yang dengan sendirinya memerlukan kehadiran
massa Baperki. Melalui Go Gien Tjwan, Siauw menginstruksikan
semua mahasiswa Baperki untuk turut menghadiri acara perayaan
Baperki dan tidak memeriahkan acara yang diatur oleh PKI.18.
Kritik-kritik Siauw terhadap pimpinan PKI ternyata disampaikan
pada Aidit sendiri. Pada bulan September, Aidit menyatakan pada
Go Gien Tjwan bahwa kader-kader Baperki yang belajar di URECA
telah didisiplin untuk memberi prioritas pada kepentingan Baperki
dan PKI berjanji untuk tidak menggunakan fasilitas-fasilitas-nya
tanpa berkonsultasi dengan pimpinan Baperki19.
Akan tetapi arus di kalangan pemuda Baperki untuk menjadi
anggota dari CGMI dan Pemuda Rakyat cukup kuat. Bagi mereka,
sikap Siauw dianggap kurang militan, bahkan konservatif.
Walaupun demikian, dominasi Siauw dalam Baperki masih cukup
kuat dan pada umumnya apa yang ia instrusikan dijalankan dengan
penuh kepatuhan20.
Walaupun Siauw tidak pernah mengkritik pimpinan PKI di
18
19
20
Wawancara dengan Go Gien Tjwan in December 1990
Wawancara dengan Go Gien Tjwan in December 1990
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, Tan Tjin Siang and a number of former Baperki’s activists
373
Siauw Giok Tjhan
depan umum, ia sering berbicara tentang kelemahan-kelemahan
mereka dengan beberapa teman dekatnya. Menurutnya, PKI sudah
berubah menjadi partai yang lebih mementingkan posisi daripada
perjuangan pokoknya. Tokoh-tokoh dan kader-kader tinggi PKI
ternyata lebih tertarik untuk memegang posisi-posisi di DPRGR,
MPRS, kabinet dan di berbagai instansi dan institusi pemerintah.
Kalau sementara anggota Baperki yang telah masuk PKI dan para
organisasi politik yang bernaung di bawah PKI menganggap Siauw
sebagai seorang yang konservatif, Siauw bersikap bahwa para
tokoh yang bersikap demikian sudah tidak lagi mewakili partai dan
organisasinya.
Banyak anggota PKI yang menjadi anggota badan-badan legislatif
dan eksekutif, menurut Siauw cenderung lebih senang menjalankan
tugas-tugas kantornya yang memberikan berbagai fasilitas. Pada
hari ulang tahun PKI yang ke 45, Siauw mengkritik Aidit yang datang
ke acara itu dengan pakaian menteri. Siauw berkata padanya:”... Kau
datang ke sini sebagai ketua PKI bukan sebagai menteri negara.
Seharusnya kau tidak mengenakan pakaian menteri...”. Aidit cukup
marah dengan teguran Siauw itu, tetapi tidak menjawabnya21.
Untuk mempertahankan image bahwa Baperki tidak berada
di bawah naungan PKI, Siauw lebih sering menginstruksikan
kader-kadernya untuk tidak mencampuri-baur kegiatan-kegiatan
organisasi dan penggunaan massa dan fasilitas Baperki untuk
kegiatan PKI. Lama-kelamaan, ini menimbulkan konflik antara
mereka yang mendukung Siauw dengan mereka yang sudah masuk
PKI dan ingin lebih banyak mendorong Baperki untuk mendukung
PKI dalam acara-acara umum ini. Tetapi bilamana konflik ini sampai
ke tangan Siauw, keputusannya selalu didasari atas pertimbangan
politik. Siauw menyatakan bahwa yang Baperki dukung adalah
program politik Soekarno. Bilamana ada konflik antara program
21
Wawancara dengan Siauw and verified by Oei Tjoe Tat July 1990.
374
Akhir Hidup Baperki
PKI dan Soekarno, Baperki akan mendukung program Soekarno22.
Beberapa minggu sebelum terjadinya peristiwa G-30-S
tersebar desas-desus di kalangan Baperki terbatas bahwa Aidit
menginginkan Liem Koen Seng untuk mengambil alih pimpinan
Baperki dari tangan Siauw Giok Tjhan. Liem, pada waktu itu sudah
menjadi anggota PKI. Akan tetapi Liem sangat menghargai Siauw
dan usaha semacam itu dapat dipastikan ditolak oleh sebagian
besar pimpinan Baperki lainnya. Yang jelas, para kader tinggi
Baperki tetap menginginkan Siauw memegang tampuk pimpinan
tertinggi Baperki23.
Walaupun ada tanda-tanda bahwa hubungan Siauw dan Aidit
ada kerenggangan sebelum peristiwa G-30-S, hubungan Siauw
dengan Njoto dan Lukman tetap dekat. Njoto masih cukup sering
berkunjung ke rumah Siauw.
Selain berhubungan baik dengan PKI, Baperki juga berhubungan
erat dengan berbagai partai politik lainnya, terutama dengan
Partindo. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Oei Tjoe Tat dan
Phoa Thoan Hian menjadi pimpinan Partindo.
Hubungan baik juga digalang dengan Perti dan PSII. Nja Diwan,
ketua Perti duduk di dalam Dewan Penasehat Baperki dan kerap
mengunjungi rumah Siauw. Sudibjo, pemimpin PSII dan sekretaris
Jendral Front Nasional sering datang ke acara-acara Baperki dan
selalu menyatakan dukungannya.
Satu aspek penting dari sikap politik Siauw di saat-saat terakhir
zaman Demokrasi Terpimpin adalah dipertahankan prinsipnya
untuk tetap berhubungan baik dengan para tokoh yang di”retooled”
oleh Soekarno dan PKI. Walaupun tokoh-tokoh Murba diserang dan
dipojokkan oleh PKI, Siauw tetap berhubungan baik dengan Adam
Malik, Sukarni dan Pandu. Siauw-pun menolak untuk mengikuti
jejak PKI dalam mengutuk Murba dan mengecam para tokohnya.
22
23
Wawancara dengan Tan Tjin Siang, July 1989 dan Phoa Thoan Hian, December 1993
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Tan Tjin Siang, Ny. Lie Tjwan Sien dan Oei Tjoe Tat
375
Siauw Giok Tjhan
Adam Malik tetap duduk sebagai anggota Dewan Penasehat Baperki
pada waktu Murba secara resmi dibubarkan. Keputusannya untuk
tidak meninggalkan Adam Malik ketika ia dan kelompoknya sedang
dalam kesusahan ternyata membantu Siauw dalam mengurangi
penderitaannya sebagai tahanan politik setelah November 1965.
Adam Malik kerap, secara diam-diam, membantu Siauw di tahanan,
terutama dalam melakukan pemeriksaan kesehatan di RSPAD.
Peristiwa G-30-S
Pada bulan September 1965, PKI masih belum berhasil
menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Kekuatannya masih
terbatas pada kemampuan dalam memobilisasi massa di jalanjalan. Walaupun demikian, keseganan terhadap PKI ada karena
Soekarno selalu mendukungnya. Belakangan, pimpinan Angkatan
Udara, beberapa perwira tinggi Angkatan Laut dan Angkatan
Darat juga menujukkan simpati mereka terhadapnya. Akan tetapi,
dukungan ini tidak cukup untuk mewujudkan keinginan PKI untuk
membentuk Angkatan ke 5.
Pada pertengahan tahun 1965, desas-desus beredar bahwa
sebuah Dewan Jendral sedang mempersiapkan diri untuk
mendongkel Soekarno. Desas-desus semacam ini ditambah dengan
memburuknya kesehatan Soekarno menyebabkan pimpinan PKI
panik. Pada awal bulan September terdengar juga desas-desus
bahwa pihak Angkatan Darat akan menjalankan kudeta pada hari
Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Pasukan-pasukan dalam
jumlah yang besar memang sedang berdatangan ke Jakarta dalam
rangka perayaan hari Angkatan Bersenjata itu.
Khawatir dengan perkembangan situasi ini, Aidit dibantu
oleh Syam, kepala Biro Khusus PKI, mengambil keputusan untuk
mendahului “rencana” Angkatan Darat itu dengan menculik jendraljendral Angkatan Darat yang dianggap anti-komunis. Lahirlah
gerakan yang dinamakan Gerakan 30 September yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Untung, anggota Cakra Birawa, pasukan
376
Akhir Hidup Baperki
pengawal Presiden Soekarno.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 - di pagi hari, pasukan-pasukan
yang dikoordinasi oleh G-30-S ini menyerang rumah-rumah 7
jendral-jendral. Mereka berhasil menculik semua jendral kecuali
jendral Nasution yang berhasil meloloskan diri. Tiga diantaranya,
termasuk Jendral Yani tewas dalam proses penculikan. Mereka
semua dibawa ke daerah Halim, Markas Angkatan Udara dan yang
masih hidup kemudian dibunuh. Semua mayat korban dimasukkan
ke dalam sumur di daerah yang dikenal sebagai Lubang Buaya.
Pasukan-pasukan G-30-S berhasil menguasai RRI dan pusat
telekomunikasi di Jakarta. Mereka juga mengepung Istana Merdeka.
Pada pukul 7:15 pagi - 1 Oktober, Gerakan itu mengumumkan di
radio bahwa G-30-S telah berhasil menangkap para anggota Dewan
Jendral yang berencana untuk menggulingkan Presiden Soekarno.
Dinyatakan juga bahwa Presiden Soekarno berada dalam keadaan
aman dan dilindungi oleh G-30-S.
Pada pukul 11 pagi pada hari yang sama, siaran radio yang
lain diumumkan oleh G-30-S. Mereka mengumumkan telah
dibentuknya Dewan Revolusi yang mengambil alih pemerintahan
sampai dilaksanakannya pemilu. Pada pukul 2 siang, nama-nama
para anggota Dewan Revolusi, yang terdiri dari 45 anggota ini
diumumkan. Di dalamnya terdapat Wakil-Wakil Perdana Menteri
Subandrio dan Leimena. Juga terdaftar sekitar 20 perwira tinggi
Angkatan Bersenjata. Siauw Giok Tjhan juga dicantumkan sebagai
satu-satunya anggota peranakan Tionghoa. Di kemudian hari
diketahui bahwa banyak anggota yang didaftar dalam Dewan
Revolusi, termasuk Siauw, tidak pernah dikonsultasi atau diberi
tahu tentang keanggotaannya.
Siauw mendengar tentang adanya G-30-S pada pukul 7:30 pagi
dari Sunito, anggota DPRGR dari Partindo yang mengunjungi
rumahnya dalam perjalanan menuju ke kantor. Siauw pergi ke
kantor DPRGR seperti biasa, tetapi tidak mendapatkan berita apaapa. Siangnya, ia memberi ceramah di KOTOE (Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi) yang selesai sekitar pukul 7 malam. Pada pukul
377
Siauw Giok Tjhan
9 malam, ia diberitahu oleh para informan-nya bahwa Jendral
Suharto, Komandan KOSTRAD telah mematahkan kekuatan G-30-S
dan pimpinan G-30-S sudah melarikan diri.
Siauw melihat keterlibatan pimpinan PKI di dalam gerakan ini
sebagai sebuah kesalahan besar yang fatal. Ia beranggapan bahwa
pimpinan PKI tidak perlu mengambil inisiatif menyerang pimpinan
Angkatan Darat, karena iklim politik baik di dalam negeri maupun
di luar negeri cukup favourable bagi aliansi Soekarno-PKI. Secara
politis, pihak Angkatan Darat sudah berada dalam posisi defensif.
Siauw juga menyesalkan adanya gerakan yang tidak memperoleh
persiapan dan petunjuk yang baik. Yang paling ia kecam adalah
sikap pimpinan PKI yang memulai gerakan dan segera melarikan
diri ketika berhadapan dengan krisis24.
Dalam beberapa minggu setelah G-30-S dihancurkan, Soeharto
berhasil mengkonsolidasi kekuatan militernya. Pertikaian antara
PKI dan Angkatan Darat dalam waktu singkat dimenangkan oleh
Angkatan Darat dan Soeharto dengan cekatan mengambil alih
kekuasaan politik dari tangan Soekarno. Walaupun Soekarno tetap
menjadi Presiden sampai tahun 1967, kekuasaannya sedikit demi
sedikit direnggut oleh Soeharto.
Tidak tahunya Siauw tentang adanya G-30-S ini jelas terlihat
dari terlambatnya ia dalam mengeluarkan pernyataan. Pimpinan
PKI yang langsung terlibat telah mengeluarkan pernyataan
dalam mendukung G-30-S pada tanggal 2 Oktober, melalui Harian
Rakyatnya.
Siauw menunggu sampai Soekarno mengeluarkan pernyataan
pertamanya pada tanggal 3 Oktober. Esoknya, Baperki menyatakan
bahwa Siauw tidak terlibat dalam G-30-S dan tidak tahu menahu
tentang dicantumkan namanya di dalam Dewan Revolusi. Siauw
mengikuti sikap Soekarno dalam menyatakan bahwa peristiwa
G-30-S ini merupakan urusan intern Angkatan Darat.
24
Wawancara dengan Siauw, RTM, 1972
378
Akhir Hidup Baperki
Akibat Peristiwa G-30-S
Pada tanggal 4 Oktober, jenazah 6 jendral diketemukan di Lubang
Buaya. Penemuannya di pancarkan melalui TV dan disebar luaskan
dengan cerita tentang bagaimana mereka disiksa dan dimutilasi
sebelum jenazahnya dikubur dalam sumur tua di Lubang Buaya.
Yang ditekankan adalah kekejaman para anggota Pemuda Rakyat
dan Gerwani yang terlibat dalam G-30-S. Pada tanggal 5 Oktober,
mereka dikubur di Taman Pahlawan Kali Bata dengan upacara
resmi negara. Dengan latar belakang ini Soeharto, didukung oleh
Nasution bergerak cepat menghancurkan PKI dan semua organisasi
massa yang berafiliasi dengannya.
Yani dan orang-orang yang dekat dengannya sebelum peristiwa
G-30-S cenderung menghindari konfrontasi dengan Soekarno.
Hilangnya mereka dari pimpinan Angkatan Darat berarti Soekarno
harus berhadapan dengan kelompok pimpinan baru. Pada tanggal
2 Oktober, Soeharto dan kelompoknya menolak menerima
penunjukkan Jendral Pranoto oleh Soekarno sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat menggantikan Yani.
Pembangkangan Soeharto terhadap Soekarno yang paling
jelas berkaitan dengan pembubaran PKI. Soeharto memobilisasi
pasukannya di seluruh Indonesia untuk menangkapi para anggota
PKI dan simpatisannya. Gedung-gedung PKI dan organisasiorganisasi kiri lainnya diserang, di bakar dan dirusak. Pimpinan
Angkatan Darat juga mendorong para anggota NU, HMI dan Partai
Katolik untuk membersihkan masyarakat dari elemen-elemen
komunisme. Dorongan ini lalu berubah menjadi gerakan yang
dengan Sistematis membunuh ratusan ribu orang yang dituduh
anggota PKI dan simpatisannya Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan
Aceh. PKI dan para organisasi massanya, tanpa pemimpinnya harus
menerima nasib dibantai, ditangkap dan disiksa tanpa mampu
memberi perlawanan.
Organisasi anti komunis yang menuntut dibubarkannya PKI dan
para organisasi massanya, juga menuntut dibubarkannya Baperki
379
Siauw Giok Tjhan
yang mereka tuduh sebagai cukong PKI. Tidak sulit bagi mereka
untuk menunjukkan bahwa Baperki telah memberi banyak bantuan
pada PKI dalam menyelanggarakan berbagai demonstrasi PKI dan
oleh karenanya, bagi mereka Baperki tidak berbeda dengan Pemuda
Rakyat, CGMI dan BTI.
Disamping itu, Baperki juga dianggap sebagai organisasi pro
RRT yang dituduh terlibat dalam G30S.
LPKB menggunakan kesempatan ini untuk aktif berkampanye
membubarkan Baperki. Mereka menyatakan bahwa Baperki tidak
mengutuk G-30-S dan tidak berduka cita atas tewasnya para Jendral
Angkatan Darat. Mereka mendorong semua orang Tionghoa untuk
meninggalkan Baperki yang dinyatakan sebagai aliansi PKI dan RRT.
Sebagai akibat dari seruan LPKB, sampai pada tanggal 3 Desember,
25 cabang Baperki telah dibubarkan atau membubarkan diri di
seluruh Indonesia25.
Pada tanggal 15 Oktober, gedung URECA diserang oleh ribuan
mahasiswa dan pemuda. Gedung-gedungnya dibakar dan dirusak.
Mahasiswa-mahasiswa URECA mencoba melindungi gedunggedung dari serangan, tetapi jumlah mereka terlampau sedikit.
Setelah bertahan selama 1 jam, sebagian besar gedung-gedung
URECA dibakar. Siauw sendiri mendorong Soekarno untuk bertindak
menghentikan pengrusakan ini. Ia berhasil menemui Soekarno di
istana dan dengan helicopter, Soekarno dan Siauw menyaksikan
pembakaran gedung-gedung URECA. Soekarno tidak berdaya
mencegahnya. Akan tetapi ia masih sempat menginstruksikan
pengawalan tempat kediaman Siauw supaya tidak dibakar pula.
Jalan di mana rumah Siauw terletak di tutup dan pengawalan
disekitarnya cukup ketat26.
Pembakaran URECA sangat memukul Siauw. Berdiri di atas
puing-puing bangunan yang dibangun atas jerih payah para
mahasiswanya, dan dikelilingi oleh ratusan mahasiswa yang
25
26
Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, pp 56-57
Wawancara dengan Siauw, RTM, 1972
380
Akhir Hidup Baperki
dengan penuh kesungguhan dan keberanian mencoba melindungi
universitasnya, Siauw mengucurkan air matanya. Ia berjanji untuk
membangun lagi universitas ini. Akan tetapi, gerakan anti-Baperki
tidak berhenti di situ saja.
Di luar Jakarta, banyak anggota Baperki dikejar dan ditangkap.
Yang menjadi anggota PKI, Pemuda Rakyat dan CGMI ditangkap
terlebih dahulu. Sebagian besar dari para anggota Baperki dan
simpatisannya tidak ditangkap, tetapi dijadikan korban pemerasan
oleh penguasa militer.
Pimpinan Baperki mengadakan beberapa pertemuan untuk
menganalisa sitiuasi dan mencari jalan keluar. Beberapa orang
menganjurkan Siauw dan para pemimpin lainnya untuk mengikuti
jejak para pemimpin PKI, Pemuda Rakyat dan lain-lainnya, melarikan
diri. Siauw dengan tegas menolak usul ini. Sebagai seorang legalist,
ia beranggapan, Baperki tidak bersalah, oleh karena itu, ia sebagai
ketuanya tidak boleh melarikan diri. Melarikan diri, menurutnya
memperkuat prasangka bahwa Baperki bersalah. Selain itu, Ia
menyatakan bahwa ia siap mempertanggung jawabkan semua
kebijakan dan keputusan politik Baperki, sehingga para anggota
dan pendukung Baperki lepas dari pengejaran dan penangkapan
massal. Ia mengirim adiknya, Giok Bie, ketua Baperki Jawa Timur,
yang kebetulan berada di Jakarta pada waktu itu, untuk pulang ke
Jawa Timur membereskan organisasinya. Ia-pun mendorong para
pimpinan Baperki bersikap demikian, tidak melarikan diri dan siap
membela para anak buahnya.
Akan tetapi, ia menganjurkan pada semua anggota Baperki
untuk mencoba sekuat tenaga menghindari penangkapan27. Go
Gien Tjwan ingat ada beberapa pemimpin Baperki yang tidak setuju
dengan Siauw dan tetap melarikan diri.
Siauw juga menolak tawaran para mahasiswa Baperki yang
memiliki senjata dan pernah dilatih untuk mengawalnya. Di dalam
dua minggu pertama di bulan Oktober, ia tetap menjalankan
27
Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Siauw Giok Bie and Tan Tjin Siang, Desember 1988
381
Siauw Giok Tjhan
tugasnya baik di DPRGR maupun di KOTOE.
Rumah Siauw berkali-kali diserang oleh KAMI dan KAPPI. Tetapi,
ia beruntung, karena rumahnya tidak dibakar. Hanya digeledah
dan ratusan buku-bukunya dirampas. Tembok rumahnya dipenuhi
oleh coretan-coretan yang menggambarkannya sebagai cukong PKI
yang harus diganyang.
Pada pertengahan bulan Oktober 1965, bersama Go Gien
Tjwan, Siauw mengunjungi Subandrio, Chaerul Saleh, Adam Malik
dan beberapa menteri senior lainnya untuk melindungi posisi
Baperki. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mengambil
tindakan-tindakan melindungi Baperki. Siauw juga mendorong
pemerintah untuk mengadilinya, sehingga ia bisa membersihkan
nama Baperki. Akan tetapi, Indonesia sedang dalam keadaan kacau
balau. Subandrio dan para menteri lainnya tidak lagi mempunyai
pengaruh politik. Mereka sendiri-pun berada dalam keadaan yang
sangat lemah28.
Siauw tidak berdaya melindungi masyarakat Tionghoa yang juga
dijadikan target serangan massa dan penguasa militer. Walaupun
jumlah orang Tionghoa yang dibunuh secara relatif rendah, tetapi
mereka tetap mengalami serangan-serangan berupa dirusaknya
toko-toko serta rumah-rumah milik mereka. Terkadang, mereka
juga mengalami siksaan-siksaan fisik.
Kerusuhan yang paling berat dialami oleh penduduk Tionghoa
di Makasar dan Medan. Di Makasar toko-toko, dan rumah-rumah
2000 keluarga dirusak dan rampok. Di Medan selain kerusakan
benda, 200 orang Tionghoa tewas di dalam kerusuhan rasial29.
Pada tanggal 4 November 1965, sekelompok tentara datang ke
rumah Siauw dan setelah menggeledah rumahnya, mereka menahan
Siauw. Pada bulan Januari 1966, ia dipecat dengan hormat dari
DPRGR, MPRS and DPA.
Soekarno berusaha keras untuk mengembalikan sisitim yang
sedang dihancurkan Soeharto. Akan tetapi, dengan tidak adanya
28
29
Wawancara dengan Go Gien Tjwan
Coppe,l Indonesian Chinese in Crisis, pp60-61
382
Akhir Hidup Baperki
PKI, ia sangat terisolasi dan tidak mempunyai kekuatan maupun
pengaruh politik lagi. Walaupun demikian, ia tetap tidak mau
mengutuk PKI dan tetap mempertahankan prinsip Nasakom-nya.
Menjelang Januari 1966, jalan-jalan di Jakarta dan Bandung
dikontrol oleh para mahasiswa-pelajar dan pemuda yang
dipengaruhi oleh golongan kanan. Mereka tetap menginginkan PKI
dibubarkan dan Subandrio serta para menteri yang berhaluan kiri
dipecat. Akan tetapi Soekarno tetap melindungi PKI dan para tokoh
kiri. Jendral Supardjo yang terlibat G-30-S dilindunginya di istana
Bogor. Omar Dhani, Kepala Staf Angkatan Udara juga dilindungi
dengan cara yang sama. Di dalam sebuah pertemuan kabinet yang
diadakan pada bulan Desember 1965, Soekarno memerintahkan
Soeharto untuk membebaskan Siauw Giok Tjhan dari tahanan.
Sebuah perintah yang tidak pernah ditanggapi oleh Soeharto30.
Pada tanggal 21 Februari 1966, Soekarno me-reshuffle
kabinetnya. Nasution digeser, demikian juga beberapa menteri yang
anti-komunis. Para menteri kiri ternyata tetap dipertahankan oleh
Soekarno, termasuk, Subandrio, Omar Dhani, Setiadi Reksoprodjo
dan Oei Tjoe Tat. Soekarno juga memasukkan menteri-menteri
baru, terdiri dari orang-orang yang dianggap bisa mendukungnya,
termasuk Jendral Mursid, Jendral Hartono, Laksamana Udara
Herlambang and Komodor Mulyadi. Kabinet baru ini jelas
menunjukkan bahwa Soekarno bermaksud melawan pimpinan
Angkatan Darat. Akan tetapi, ia berada di pihak yang lemah.
Pada tanggal 11 Maret 1966, pimpinan Angkatan Darat berhasil
memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif
ke Jendral Soeharto. Penyerah-terimaan kekuasaan eksekutif
ini dikandung dalam apa yang dikenal sebagai Supersemar
(Surat Perintah Sebelas Maret). Pada tanggal 12 Maret, Soeharto
mengeluarkan instruksi yang meresmikan pembubaran PKI dan
para organisasi massa lainnya, termasuk Baperki. Beberapa hari
kemudian Subandrio, Omar Dhani, Chaerul Saleh, Setiadi, Sumardjo
30
Wawancara dengan Oei Tjoe Tat. Siauw mendengar sendiri tentang ini dari Sumardjo di Nirbaya pada tahun 1972.
383
Siauw Giok Tjhan
dan Oei Tjoe Tat ditangkap. Berakhirlah eksistensi Nasakom di
dunia politik Indonesia.
Pada waktu itu, Baperki telah dibubarkan. Para pemimpin senior
organisasinya ditahan. Universitasnya telah dibangun kembali
dengan nama Trisakti dan diubah komposisinya. Tokoh-tokoh
LPKB menjadi pimpinan Yayasan Universitas Trisakti. Sekolahsekolah Baperki diambil alih oleh Departemen Pendidikan –
dijadikan sekolah-sekolah negeri. Dosen-dosen serta guru-guru
yang berhaluan kiri dipecat. Siauw sendiri harus meringkuk dalam
tahanan selama 12 tahun mendatang.
384
Zaman Orde Baru
BAB 15
ZAMAN ORDE BARU
Tahanan Politik (Tapol)
Pada tanggal 4 November 1965, sekitar pukul 2 pagi, dua truk
yang dipenuhi dengan tentara tiba di rumah kediaman Siauw.
Mereka menggedor pintu dan menyatakan ingin menggeledah
rumahnya. Isteri dan anak-anaknya, termasuk penulis, terbangun
pula. Sejak peristiwa G-30-S, rumah Siauw memang sudah berkalikali didatangi rombongan pemuda dan tentara yang melakukan
penggeledahan rumah. Pada umumnya dilakukan pada siang hari
bolong. Dalam salah satu penyerangan, dinding rumah Siauw
dipenuhi corat-coret yang berbunyi: Baperki cukong PKI, Ganyang
Baperki, Ganyang Siauw Giok Tjhan. Jadi kejadian malam itu bukanlah hal yang mengejutkan lagi.
Bahkan, seminggu sebelum kejadian ini, ada-pula serombongan
tentara yang datang untuk mencari salah seorang putera Siauw,
Siauw Tiong Tjing yang sebulan sebelumnya sudah berangkat ke
RRT untuk meneruskan studi-nya di Universitas Qing Hua di Beijing.
Siauw Tiong Tjing pernah sebentar belajar di fakultas teknik URECA
dan aktif di CGMI di kampus URECA. Dari teman-teman Tiong Tjing
yang kemudian ditahan bersama Siauw di Salemba, Siauw ketahui
bahwa ketika teman-teman CGMI ini diinterogasi di penjara,
mereka memang sengaja melimpahkan banyak hal ke Tiong Tjing
yang diketahui sudah keluar negeri. Dicari-lah Siauw Tiong Tjing
oleh pihak penguasa militer. Akan tetapi ketika Siauw menyatakan
bahwa Tiong Tjing sudah pergi ke Tiongkok, rombongan tentara
yang ditugaskan untuk menahan Tiong Tjing tersebut, tidak
menggeledah rumah. Mereka menerima penjelasan Siauw dan
pergi tanpa ribut-ribut.
Memang salah satu kemahiran Siauw adalah menenangkan
para demonstran yang siap menyerbu rumahnya. Corat coret yang
385
Siauw Giok Tjhan
disinggung terjadi karena Siauw tidak ada di rumah. Dalam serbuanserbuan lain, Siauw di rumah. Dengan tenang dan berwibawa, ia
selalu bisa meyakinkan para demonstran untuk tidak melakukan
pengrusakan apa-apa. Yang dilakukan adalah penggeledahan dan
pengambilan buku-buku.
Kali ini, mereka masuk dan membongkar berbagai lemari,
ranjang dan menarik keluar semua buku dari rak-rak buku di
seluruh rumah. Ternyata mereka-pun datang dengan beberapa
gerobak yang disiapkan untuk membawa buku-buku. Ratusan
buku Siauw diambil oleh mereka. Setelah menggeledah sekitar
2 jam, kepala rombongan tersebut menyatakan ke Siauw untuk
ganti pakaian dan bersiap diri untuk dibawa ke sebuah markas
militer untuk memberi berbagai penjelasan. Permintaan dilakukan
dengan sopan. Dengan tenang Siauw-pun bertanya apakah mereka
memiliki surat perintah penahanan yang ia bisa lihat. Jawabannya
tidak ada. Ketika ia bertanya mau dibawa ke mana, tidak ada
jawaban yang diberikan.
Dengan tenang Siauw-pun bersiap. Setelah bersalaman dengan
istri dan anak-anak-nya sambil berkata:” ... Tidak usah khawatir,
tidak apa-apa...”, ia masuk ke dalam pick-up yang sudah menantikan
di halaman rumah. Sekitar pukul 4 pagi, berangkatlah rombongan
tentara tersebut.
Isteri dan anak-anaknya tentu khawatir karena sudah sering
didengar cerita tentang tokoh politik yang dibawa oleh serombongan
tentara dan kemudian hilang, tidak diketahui nasibnya. Apalagi
tentara yang membawa-nya tidak mau memberi tahu di mana
Siauw akan dibawa.
Putera Siauw, Siauw Tiong Hian bergegas mengikuti rombongan
tersebut dengan sepeda motor. Pada waktu itu sebenarnya
berlaku jam malam, tetapi ia tidak memperdulikannya. Ia berhasil
mengetahui kemana Siauw dibawa, yaitu ke daerah lapangan
Banteng, yang kemudian oleh keluarga diketahui sebagai tempat
yang dinamakan LIDIKUS (Penyelidikan Khusus lapangan Banteng.
Tempat itu berdampingan dengan sebuah markas KODAM, tetapi
386
Zaman Orde Baru
gedungnya terlihat tua dan tidak terurus.
Pada pukul 7 pagi, isteri Siauw, Tan Gien Hwa berhasil menemui
komandan yang mengepalai tempat itu dan diizinkan menemui
Siauw sebentar. Tan, yang sudah mengalami hidup dengan
Siauw yang ditahan di berbagai zaman, sudah berpengalaman. Ia
membawa pakaian dan makanan untuk disampaikan ke Siauw.
Tempat itu tampak padat – mungkin menampung seratus tahanan.
Siauw ditaruh di sebuah kamar besar, di mana terdapat belasan
tahanan. Semua tidur di atas lantai – hanya dengan tikar. Penulis
yang waktu itu baru berusia 9, diperkenankan masuk melihat
kamarnya.
Siauw di sana selama sebulan. Pertemuan dengannya
diperkenankan seminggu sekali dan ia diperkenankan menulis
surat ke keluarga dan menerima surat dari keluarga seminggu
sekali. Makanan boleh dikirim setiap hari.
Tempat yang bisa dikatakan “run down” – tak terurus ini, penuh
sesak dengan tahanan. Tempat meneduh-pun terbatas, sehingga
para tahanan, di siang hari digilir berteduh. Mereka yang tidak
dapat berteduh harus berdiri di tengah hari bolong di bawah terik
matahari atau hujan.
Tidak lama setelah Siauw ditahan, beberapa tokoh Baperki
lainnya juga ditahan, termasuk Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng
dan Lie Tjwan Sien. Mereka ditahan di tempat yang sama. Isteri Lie
Tjwan Sien, Go Tjoe Nio, yang menjadi sekretaris Jendral Baperki
pusat-pun ditahan, di tempat penahanan yang berbeda.
Pada minggu-minggu pertama, dilakukanlah pemeriksaan.
Oleh tim pemeriksa, Siauw diberi tahu bahwa ia berada di tempat
itu dalam rangka “di-aman-kan” dari kemarahan Rakyat. Bukan
ditahan. Pemeriksaan-pemeriksaan sering dilakukan di tempat
lain, bukan di tempat tahanan tersebut.
Dalam salah satu pemeriksaan, Go Tjoe Nio dan Siauw diperiksa
bersama. Go Tjoe Nio teringat bagaimana Siauw dengan tenang
menjawab semua pertanyaan dan memperlihatkan kewibawaan
di atas angin. Ia-pun teringat bagaimana dengan tenang Siauw
387
Siauw Giok Tjhan
menyatakan ke tim pemeriksa bahwa semua kebijakan dan
pelaksanaan garis politik Baperki datang dari dirinya, sehingga
sebaiknya semua pertanyaan yang berkaitan dengan Baperki
ditujukan ke dirinya saja dan semua tokoh Baperki lainnya
dibebaskan1. Ternyata, permintaan yang ia lakukan di berbagai
pemeriksaan ini tidak digubris. Cukup banyak tokoh Baperki yang
tetap meringkuk di penjara untuk jangka waktu lama.
Setelah di LIDIKUS sebulan, Siauw dan banyak tokoh politik
lainnya dipindah ke tempat penahanan yang dulunya adalah
gedung sebuah universitas yang dinamakan Universitas Rakyat –
UNRA, di daerah Kramat. Entah mengapa, keluarga tidak diizinkan
mengirim makanan langsung ke UNRA. Pengiriman makanan tetap
dibawa ke LIDIKUS-Lapangan Banteng, untuk kemudian dibawa
ke UNRA. Pertemuan keluarga juga tetap dilakukan di LIDIKUS.
Para tahanan di bawa dengan pick-up atau bis ke LIDIKUS untuk
bertemu dengan keluarganya. Sampai saat itu, pertemuan lebih
jarang, hanya sebulan sekali. Tetapi surat menyurat dengan Siauw
masih diizinkan.
Pada bulan Maret 1966, Siauw dengan beberapa tokoh Baperki
lainnya, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng dan Lie Tjwan Sien dipindah
ke penjara terbesar di Jakarta, Salemba, di mana sudah tertampung
ribuan tahanan politik. Setiap tapol yang berada di Salemba diberi
nomor tahanan. Nomor tahanan Siauw adalah 2371, kemungkinan
berarti ia adalah tahanan yang ke 2371 ketika memasuki penjara
Salemba. Seorang tokoh PKI yang juga ditahan di sana, Tjoo Tik
Tjoen memiliki nomor tahanan 2373, masuk ke Salemba pada
waktu yang bersamaan.
Pada waktu bertemu untuk pertama kalinya dengan Siauw
di Salemba, Siauw memperingati Tan Gien Hwa, masuknya ia
ke Salemba berarti ia masuk dalam kategori tahanan tetap dan
akan meringkuk di sana untuk jangka waktu lama. Rupanya, para
tahanan yang masih dalam proses disaring, berkeliaran di luar
penjara-penjara besar seperti Salemba, Tanggerang dan Cipinang.
1
Wawancara dengan Go Tjoe Nio, Amsterdam, Desember 1989
388
Zaman Orde Baru
Setelah dipastikan akan ditahan untuk jangka waktu lama, mereka
dipindah.
Yang dianggap tokoh dan cendekiawan, cenderung dikirim
ke Salemba. Yang muda dengan fisik kuat, cenderung dikirim ke
Tanggerang. Yang harus diadili dipindah ke RTM – Rumah Tahanan
Militer di Lapangan Banteng. Para mantan menteri yang ditahan
setelah SUPERSEMAR 1966, ditahan di sebuah tempat tahanan
elite, di Nirbaya, dekat bandara udara Halim.
Rumah-rumah penjara yang disinggung semua penuh sesak.
Salemba adalah penjara yang dibangun oleh Belanda di awal
abad ke 20. Ia dibangun untuk menampung sekitar 1000 tahanan.
Ketika Siauw masuk pada bulan Maret 1966, jumlah tahanan yang
ditampung sekitar 3000-an. Dalam waktu singkat, ini meningkat
melebihi 4000-an tahanan. Penjara-penjara yang lain-pun demikian.
Hal ini terjadi karena penguasa militer yang dipimpin oleh
Soeharto selain membantai sejuta orang, juga menangkapi ratusan
ribu orang yang dituduh PKI dan simpatisannya. Dalam 12 bulan
pertama, penguasa menahan 600.000 sampai 750.000 tahanan
politik2. Keadaan buruk yang tergambar di atas itu berlangsung
selama 12 bulanan dan baru membaik setelah jumlah tahanan
berkurang menjelang akhir tahun 1966.
Keadaan demikian menyebabkan para tapol yang ditahan di
Salemba harus hidup dengan kondisi yang parah. Kamar-kamar
penjara kecil yang dibangun untuk menampung seorang tahanan
diisi oleh 4 sampai 5 tahanan. Begitu sesaknya kamar-kamar itu,
di malam hari, para tahanan harus bergilir untuk tidur terlentang.
Bilamana seorang tapol ingin ke belakang, semua yang ada di kamar
harus berdiri memberi jalan.
Kemampuan Tapol untuk bisa hidup di awal zaman Orde
Baru sangat tergantung atas makanan yang ia bisa peroleh dari
keluarganya. Bilamana ia hanya tergantung atas makanan yang
disediakan penguasa tahanan, dalam beberapa bulan saja ia
2
Amnesty International Report, Indonesia, sebuah laporan Amnesty International, pp 47-48
389
Siauw Giok Tjhan
akan meninggal. Kualitas dan kuantitas makanan sangat rendah
dan tidak bergizi. Tan Ling Djie, mentor Siauw yang ditahan di
Surabaya pada tahun 1966, tidak memperoleh kiriman keluarga.
Pada usia 65, ia menderita penyakit beri-beri karena kekurangan
makanan dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
Kuburannya-pun tidak diketahui di mana. Padahal, ia sangat berjasa
dalam perjuangan mencapai kemerdekaan dan mengkonsolidasi
kemerdekaan Indonesia.
Siauw lebih beruntung dari Tan Ling Djie. Karena kesetiaan Tan
Gien Hwa, ia tetap memperoleh kiriman makanan secara teratur.
Akan tetapi makanan yang diterima oleh Siauw harus dibagi dengan
6 sampai 8 sesama tapol yang tidak menerima makanan dari luar.
Dalam hal ini sikap Siauw terpuji. Ia tidak pernah memilih
makanan-makanan yang ia sukai dulu baru kemudian membaginya.
Sebaliknya. Ia menunjuk salah seorang yang berada di kelompok
pembagian makanan itu untuk membagi secara adil dan tidak
pernah meminta porsi lebih besar untuk dirinya sendiri. Ternyata
tidak semua tapol yang menerima makanan bersikap demikian. Ada
yang membagi makanan setelah yang ia sukai diambilnya terlebih
dahulu. Ada pula yang menyimpan Kesukaannya itu sampai busuk
karena terlalu lama disimpan sebelum sempat dibagi3.
“Menu” makanan yang disiapkan Tan Gien Hwa terdiri dari
makanan yang bisa disimpan paling sedikit dua hari. Di dalamnya
selalu ada dendeng sapi, abon, ikan asin dan telur asin. Diselingi
dengan kerupuk udang, empal, rendang, gulai dan berbagai macam
sayur-sayuran yang dimaksaknya sendiri. Yang dipentingkan
tentunya adalah isi perut, sehingga Siauw dan para tapol-lainnya
tidak kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin Tan
Gien Hwa berpikir untuk menyiapkan makanan segar dan sehat.
Mudahlah dimengerti mengapa kesehatan Siauw, dengan gizi dan
tekanan hidup di penjara bertahun-tahun itu, rusak. Tekanan darah
tinggi tidak dapat dikontrol dengan baik dan dengan cara makan
3
Wawancara dengan Tan Lok Djoen, tapol yang ditugaskan oleh Siauw untuk membagi makanan di Salemba
390
Zaman Orde Baru
seperti yang digambarkan, kolesterol tubuh yang mempercepat
penyumbatan pembuluh darah meningkat. Tidaklah heran ketika
Siauw di penjara, ia mendapat serangan jantung, paling sedikit dua
kali dan setelah keluar dari penjara, ia menderita berbagai penyakit
kronis, termasuk penyakit jantung.
Untuk menambah persediaan makanan, para tapol mengambil
inisiatif menanam singkong dan bayam di semua lahan tanah yang
tidak dipakai di kompleks penjara-penjara. Ketika “proyek” ini
berhasil membantu penguasa tahanan untuk menambah makanan
tapol, porsi makanan yang disediakan penguasa dikurangi.
Komandan Tahanan juga lalu memberi izin kepada sekelompok
tapol untuk bercocok tanam di tanah-tanah sekitar penjara
yang tidak terpakai. Tidak ada yang menyangka bahwa inisiatif
untuk mempertinggi kualitas makanan ini ternyata mendorong
pemerintah mengurangi supply makanan untuk tapol dan mereka
dipaksa untuk menyediakan makanan sendiri.
Anggaran makanan untuk tapol ternyata lebih rendah dari apa
yang disediakan untuk para tahanan kriminal, yang juga meringkuk
di salah satu blok di Salemba. Kualitas dan kuantitas makanan
tahanan kriminal ternyata jauh lebih baik dan oleh karenanya
mereka memiliki kondisi fisik yang jauh lebih baik.
Untuk mengurangi anggaran makanan tapol, sejak tahun 1967
penguasa militer mengganti beras dengan bulgur. Ini menyebabkan
gizi makanan turun drastik. Antara tahun 1968 dan 1969, di penjara
Salemba, ratusan tapol meninggal dunia karena kelaparan, penyakit
yang tidak memperoleh perawatan layak dan siksaan-siksaan keji.
Perlakuan terhadap tapol tidak layak dan tidak berprikemanusiaan.
Hampir setiap tapol mengalami interogasi yang disertai dengan
siksaan sadistik. Cukup banyak tapol yang menjadi cacat seumur
hidup akibat siksaan fisik yang dilakukan oleh para algojo terlatih
di saat-saat interogasi. Para tapol yang disiksa harus bersandar
kepada bantuan sesama tapol untuk menyembuhkan luka-luka
akibat siksaan keji.
Di tahun-tahun pertama di Salemba, Siauw cukup sering
391
Siauw Giok Tjhan
diperiksa. Tetapi ia termasuk untung, karena ia tidak pernah
disiksa. Pemeriksaan-pemeriksaan ini jelas membuat Siauw marah
dan tertekan, apalagi bilamana dilakukan di dalam ruangan yang
berdekatan dengan tempat-tempat penyiksaan, di mana rintihan
para tapol yang disiksa bisa terdengarnya.
Para pemeriksa ternyata bersikap hormat pada Siauw. Banyak
orang mengatakan ini terjadi karena pembawaan Siauw sendiri. Ia
selalu tersenyum dan menjawab semua pertanyaan dengan tenang
dan berwibawa. Siauw tidak pernah memanggil para pemeriksanya
dengan perkataan “bapak”, melainkan cenderung memanggil
mereka sebagai “dik”. Dalam salah satu pemeriksaan, seorang tapol
menyaksikan bagaimana Siauw ternyata memberi “kuliah” pada
orang yang melakukan interogasi terhadap dirinya.
Obat-obatan sangat terbatas. Bilamana seorang tapol sakit
dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia di penjara, ia harus
berusaha mendapatkannya sendiri. Beruntunglah ia kalau memiliki
keluarga yang mampu membelinya di luar. Kalau tidak, ia harus
menerima nasibnya. Dalam keadaan seperti ini, teknik pengobatan
akupunktur sangat membantu. Beberapa tapol yang juga dokter
dan mahir dalam mempraktekkan akupunktur dikerahkan untuk
menurunkan ilmunya ke sesama tapol untuk membantu sesamanya
yang menderita berbagai macam penyakit. Dr Lie Tjwan Sien,
salah seorang tokoh Baperki yang meringkuk lama di Salemba
adalah salah satu dokter yang banyak berjasa dalam menurunkan
ilmu akupuntur-nya ke banyak tapol muda. Sebagian tapol yang
menguasai teknik akupunktur ini membuka klinik-klinik akupuntur
di Jakarta setelah mereka dibebaskan.
Siauw termasuk tapol yang sering menderita sakit. Tekanan darah
tingginya sering meloncat tinggi. Penglihatan mata kirinya kian
memburuk dipenjara. Ia-pun diganggu penyakit sinisitus kronik,
Beruntunglah ia mendapat perawatan cukup baik dari para tapol
yang menguasai teknik akupuntur dan menerima kiriman obat dari
isterinya. Kawan baiknya Adam Malik yang pada waktu itu menteri
luar negeri, ternyata cukup sering memperhatikan kesehatannya.
392
Zaman Orde Baru
Beberapa kali ia, melalui koneksi-nya, memerintahkan kepala
penjara untuk mengirim Siauw ke RSPAD untuk diperiksa dan di
beri obat-obatan. Siauw yang suka makan enak, setiap kali dikirim
ke RSPAD, membujuk para pengawalnya untuk mampir di restoranrestoran para temannya untuk makan enak. Salah satu restoran
yang sering dikunjunginya dalam perjalanan ke RSPAD ini adalah
Restoran Jawa, yang dimiliki salah satu teman baiknya sejak zaman
Kapasan di Surabaya.
Tapol dilarang membaca buku, surat kabar dan mendengar
radio atau melihat TV. Buku-buku yang diperbolehkan masuk dan
beredar di dalam penjara hanyalah buku-buku agama.
Siauw yang senang memberi kuliah mencoba menggunakan
kesempatan di penjara untuk memberi pelajaran bahasa asing ke
sesama tapol, terutama bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis
yang ia kuasai dengan baik. Dalam kesempatan ini, ia sering
memberi kuliah tentang mekanisme ekonomi dan demokrasi di
negara-negara maju. Tentunya diskusi ini sering pula diselingi
diskusi politik yang dilarang.
Siauw pernah beberapa kali dihukum karena membangkang
larangan melakukan diskusi politik. Hukumannya: ia dikirim ke
blok tahanan kriminal selama dua atau tiga bulan dan selama
ini tidak boleh menerima kiriman makanan dan tidak boleh
bertemu dengan keluarga. Sikap dan kepribadian Siauw ternyata
menyelamatkan dirinya. Ia tidak pernah mengalami siksaan karena
berkawan dengan banyak tahanan yang lain. Bahkan menurut
ceritanya sendiri, ia bisa “menikmati’ makanan yang lebih bergizi
selama masa hukuman itu.
Banyak kesempatan waktu luang digunakan para tapol untuk
bertukar pikiran dan menerima pelajaran-pelajaran yang berguna
dari para tapol yang memiliki pengetahuan luas. Ketika peraturan
penjara diperlunak, setelah tahun 70-an, para tapol diizinkan
berkumpul di blok masing-masing antara pukul 5 pagi hingga 7
malam. Siauw ternyata sering mendapat giliran untuk memberi
393
Siauw Giok Tjhan
ceramah-ceramah, terutama tentang teori-teori ekonomi4.
Pertemuan dengan keluarga dibatasi sebulan sekali. Ini-pun
sering dipersulit. Biasanya dilakukan dalam sebuah ruangan besar
yang dipisahkan dengan dinding kawat. Para tapol di satu bagian
dan keluarganya di bagian yang lain. Pembicaraan dilakukan
melalui dinding kawat itu. Akan tetapi, pertemuan Siauw dengan
keluarganya sering dilakukan dalam sebuah ruangan kecil terpisah
di mana beberapa petugas turut duduk mendengarkan semua
pembicaraan. Ini menyebabkan pembicaraan keluarga-pun tidak
bisa dilakukan dengan bebas dan terbuka.
Pada hari-hari raya tertentu, seperti Lebaran dan 17 Agustus,
di awal masa penahanan ini, anak-anak di bawah umur 12
diperkenankan masuk ke dalam halaman penjara di dalam untuk
bertemu dengan para ayah-nya selama satu jam. Penulis dan
adik, Siauw Lee Ming yang baru berumur 9 tahun pada waktu itu,
berkesempatan untuk mengikuti pertemuan-pertemuan ini dan
melihat dari dekat bagaimana pembagian penjara itu dilakukan.
Dalam pertemuan itu pembicaraan bisa dilakukan dengan cukup
bebas. Terkadang kami dengan Siauw duduk di bawah pohon-pohon
untuk berbicara, sambil bersalaman dengan para tapol lainnya.
Sikap pihak penjara berubah keras setelah pemberontakan
Blitar pada tahun 1968. Pertemuan anak –anak di halaman dalam
penjara tidak lagi diperkenankan.
Di dalam penjara Salemba, Siauw dikumpulkan dengan para
tapol yang di zaman Demokrasi Terpimpin mempunyai posisi
di lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif. Juga dikumpulkan
mereka yang tadinya aktif dalam berbagai kegiatan politik dan pers
sebagai intelektuil. Salemba terdiri dari berbagai blok, dari A hingga
R. Siauw lama menghuni blok R, yang ia juluki sebagai blok Raden.
Terkadang ia ditaruh di blok Q. Para tapol yang dikumpulkan di blok
Q dan R ini pada umumnya tidak diberi tugas-tugas fisik yang berat.
Para tapol yang langsung terlibat dalam G-30-S, seperti Kolonel
Latief dan Kapten Heru, ditahan dalam blok N, yang setiap kamarnya
4
Wawancara dengan Joesoef Isak, Jakarta, Juli 1997
394
Zaman Orde Baru
dikunci dan penghuninya dilarang bertemu dengan sesama tapol
lainnya.
Siauw ternyata mempertahankan sikap dan kepribadiannya
di dalam penjara. Ia tidak pernah mau masuk ke dalam klik atau
kelompok apapun yang bermunculan di penjara. Ia selalu bisa
bergaul dan berhubungan dengan setiap kelompok yang ada. Dalam
hal ini, cukup banyak tapol yang menganggap Siauw sebagai “tetua”.
Seperti di zaman-zaman sebelumnya, ke Tionghoa-annya tidak
menimbulkan masalah baginya dalam menjalin hubungan dengan
banyak tapol dari berbagai aliran dan suku di penjara5
Siauw sering menceritakan pengalamannya. Menurutnya,
di dalam penjara, semua kepribadian dan sikap tapol yang
sesungguhnya terbuka. Mereka yang tadinya menjadi tokoh dan
menjadi pimpinan PKI atau berbagai organisasi massa, sering
menjadi sorotan para anak buahnya. Cukup banyak yang tidak tahan
uji dan menjadi pengkhianat. Ada yang karena sebatang rokok saja
siap untuk “menjual” teman-teman yang pernah menolongnya. Ada
yang di zaman Demokrasi Terpimpin terlihat sangat gagah berani,
tetapi satu gebrakan meja di saat pemeriksaan cukup untuknya
membongkar berbagai hal yang mengorbankan banyak rekan
seorganisasinya. Ada juga seperti yang dituturkan di atas yang
tidak memiliki rasa sosial untuk membagi makanan dengan sesama
tapol.
Walaupun Siauw mengakui bahwa ia tidak pernah disiksa dan
tidak bisa menjamin bahwa bila ia disika, ia bisa tahan siksaansiksaan fisik yang kejam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin
yang bertanggung jawab dan tidak pernah membocorkan rahasia
organisasi atau mengorbankan rekan-rekan perjuangannya. Dalam
semua pemeriksaan ia tegas bahwa hanya dia-lah yang bertanggung
jawab atas semua kebijakan politik Baperki dan pelaksanaannya.
Berdasarkan ini, ia meminta semua aktivis Baperki dibebaskan dari
tahanan.
5
Wawancara dengan Joesoef Isak, Oey Hay Djoen, Tan Tjin Siang dan beberapa eks tapol lainnya
395
Siauw Giok Tjhan
Ia kecewa melihat kualitas banyak tokoh dalam penjara. Ia
lebih menghargai para tapol yang berasal dari kalangan bawah
– grass roots level. Mereka, menurutnya, tahan uji dan tidak
mudah dipatahkan semangatnya. Ia-pun cukup bangga dengan
para mahasiswa URECA dan para anggota PPI yang turut ditahan.
Menurutnya, hampir tidak ada dari mereka ini yang berkhianat,
walaupun mengalami siksaan-siksaan kejam. Banyak dari mereka
ini sangat dipengaruhi cerita-cerita perjuangan revolusi Tiongkok.
Bertahan menghadapi berbagai siksaan keji dianggap sebagai
tantangan dan kemampuan melalui siksaan tanpa membocorkan
atau mencelakakan teman seperjuangan dianggap sebagai sikap
pahlawan yang terpuji.
Penderitaan para keluarga tapol juga tidak kalah beratnya.
Pada umumnya mereka kehilangan sumber penghasilan dan harus
tergantung sepenuhnya atas kebaikan sanak saudara dan handai
taulannya. Sebagian besar dari mereka juga tidak bisa memperoleh
pekerjaan karena masuknya para suami, isteri, ayah, ibu, anak,
kakak atau adiknya dalam penjara berarti mereka tidak akan
memperoleh surat bebas G-30-S. Pengaitan hubungan keluarga juga
sering menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, karena tidak
bebas dari kebijakan “bersih lingkungan” yang kerap diadakan di
perusahaan-perusahaan negara atau ABRI. Cukup banyak pegawai
yang seyogyanya naik pangkat ketika dilakukan penyelidikan malah
dipecat karena ketahuan memiliki hubungan persaudaraan dengan
tapol.
Mereka yang tidak memiliki sanak saudara atau teman yang
bersedia membantu, penghidupan sangat sulit.
Jangankan
mengirim makanan ke penjara, untuk hidup sendiri saja sulit.
Keluarga Siauw termasuk beruntung. Disamping bantuan
saudara-saudara istrinya, keluarga ini juga mendapat bantuan
sekelompok pedagang Tionghoa yang mengagumi Siauw. Mereka
bersepakat mengumpulkan dana secara teratur yang menunjang
kehidupan keluarga Siauw dan menyekolahkan anak-anaknya. Ini
menyebabkan Tan Gien Hwa bisa mengirim makanan secara teratur
396
Zaman Orde Baru
ke penjara selama berbelas tahun. Setelah Siauw dijadikan tahanan
rumah, Tan Gien Hwa masih tetap mengirim makanan ke beberapa
tapol yang masih meringkuk dalam penjara Salemba. Sumbangan
uang ini tetap mengalir sampai Siauw dan Tan Gien Hwa pergi ke
Belanda pada tahun 1978.
Puluhan ribu tapol yang meringkuk dalam penjara untuk jangka
panjang tanpa pengadilan ini dibagi dalam 3 kategori. Mereka yang
langsung terlibat dalam peristiwa G-30-S dan yang dianggap perlu
diadili masuk dalam grup A. Jumlahnya kecil, tidak melebihi ratusan
orang. Dan tidak semua yang berada dalam kategori ini sempat
diadili. Grup B terdiri dari tapol yang tidak langsung terlibat, tetapi
pernah menjadi anggota PKI dan para organisasi massanya. Mereka
dianggap berbahaya tetapi tidak memiliki bahan untuk diadili.
Sebagian besar tapol berada dalam grup C. Mereka tidak terbukti
sebagai anggota PKI, tetapi dianggap bersimpati pada paham
komunisme.
Pembagian ini tidak terlalu tegas dan sistematis. Para tapol sendiri
sering tidak mengetahui dalam kategori apa mereka sebenarnya
berada. Pengkategorian juga sering berganti-ganti. Seorang tapol
yang tadinya berada dalam grup C, bisa saja dipindah ke Grup A
bilamana ada data-data baru yang memungkinkannya diadili.
Data-data ini biasanya diperoleh bilamana ada yang membocorkan
peranan yang mereka lakukan di dalam PKI. Biasanya datang dari
para tokoh PKI yang menjadi informan di dalam tahanan, seperti
Sjam.
Ada pula tapol yang pindah dari grup C ke grup B, atau sebaliknya.
Cukup banyak pemuda yang pada waktu ditahan berumur 15 tahun.
Tetapi karena mereka kebetulan berada di Lubang Buaya ketika
ditahan, mereka ternyata dimasukkan dalam kategori grup B.
Kemungkinan pengkategorian ini dilakukan pula untuk mencapai
keseimbangan jumlah pemuda yang ber-fisik kuat untuk bekerja
keras demi mempertahankan hidup para tapol. Jadi tidak berkaitan
dengan data politik atau peranan yang dimainkan para tapol muda
sebelum mereka ditahan.
397
Siauw Giok Tjhan
Sering juga terjadi kekacauan informasi. Seorang bernama Tjia
Koen Hwa, bisa ditahan 12 tahun karena ia dianggap Tan Hwie Kiat,
salah satu tokoh Baperki yang menjadi pimpinan harian WartaBhakti. Tan Hwie Kiat berhasil menghindari penangkapan dan
tinggal di luar negeri. Sedangkan Tjia Koen Hwa yang jelas bukan
Tan Hwie Kiat dan walaupun kemudian diketahui pihak penguasa
bahwa mereka salah menangkap orang, tetap ditahan berbelas
tahun di Salemba, walaupun sebelum peristiwa G-30-S ia tidak
pernah aktif dalam kegiatan politik. Nama dan raut muka-nya saja
berbeda. Tetapi tidak mengubah nasibnya. Banyak hal seperti ini
terjadi.
Memang ada kebijakan pihak militer: Lebih baik salah
menangkap 100 orang daripada meloloskan seorang anggota PKI.
Pengkategorian ini menjadi lebih jelas antara tahun 1969 dan
1971. Mereka yang masuk dalam grup B dibuang ke pulau Buru,
di kepulauan Maluku. Jumlah yang diasingkan di Pulau Buru untuk
jangka waktu 10 tahunan itu besar, sekitar 10.000 orang. Pada
gelombang-gelombang pengiriman pertama, para tapol hanya
diberi waktu satu jam untuk menyiapkan dirinya. Para anggota
keluarganya tidak diberi tahu sebelum mereka diberangkatkan ke
pulau Buru. Harus dengan kecewa dan sedih mengetahuinya ketika
mengirim makanan ke penjara dan diberitahu bahwa sang suami,
anak, kakak, adik telah dikirim ke Pulau Buru. Pada waktu mereka
dikirim ke pulau Buru, tidak ada kejelasan untuk berapa lama
mereka dibuang ke sana.
Pulau Buru adalah pulau gersang yang tidak dipersiapkan untuk
menampung tahanan. Para tapol dipaksa untuk membangun
perumahan dan menciptakan ladang-ladang yang sanggup
menghasilkan makanan untuk para tapol. Kamp besar ini
kemudian berubah menjadi tempat yang berhasil menampung
dan menghidupi ribuan tapol yang diasingkan pemerintah Orde
Baru. Siauw kerap mengecam kebijakan pemerintah untuk itu. Ia
teringat, penjajah Belanda saja, yang mengirim banyak tahanan
ke Boven Digul sebagai tempat pembuangan, memberi persiapan
398
Zaman Orde Baru
akomodasi dan makanan yang cukup layak. Di zaman kemerdekaan,
pemerintah malah memaksa para tapol yang dibuang ke pulau
Buru dipaksa untuk membangun tempat tinggal dan menyediakan
makanan untuk Penghidupannya semasa pembuangan.
Siauw sendiri tidak pernah mengetahui dengan jelas dalam
grup apa ia berada. Pada bulan November 1969, Tan Gien Hwa
memperoleh berita bahwa Siauw masuk dalam daftar tapol yang akan
diberangkatkan ke pulau Buru. Tan Gien Hwa segera mengunjungi
Adam Malik, ketika itu menteri luar negeri, untuk meminta
bantuan agar keberangkatannya dibatalkan, mengingat kesehatan
Siauw. Ia juga menemui Mursalin, ketika itu menteri perhubungan,
salah satu sahabat lama Siauw, sejak zaman revolusi di Malang.
Kedua teman baik Siauw ini berjanji untuk berupaya mencegah
keberangkatan Siauw. Tidak jelas apa yang diupayakan oleh kedua
tokoh ini. Yang jelas, Siauw tidak diberangkatkan dan seperti yang
dituturkan sebelumnya, Siauw kemudian kerap dibawa ke RSPAD
untuk memperoleh pemeriksaan dan perawatan kesehatan. Salah
seorang dokter yang memeriksanya menyampaikan ke Siauw
bahwa ia diperintahkan Adam Malik untuk memberi perawatan
sebaik mungkin untuknya. Dari perkembangan ini bisa disimpulkan
bahwa pihak penguasa, pada tahun 1969, memasukkan Siauw ke
dalam Grup B.
Perkembangan selanjutnya juga menarik perhatian. Pada
bulan Juni 1970, Siauw dipindah ke sebuah tempat tahanan,
yang dinamakan SATGAS (Satuan Tugas) di Kebayoran Lama. Di
situ ia diberitahu bahwa ia akan diadili dan untuk itu ia harus
“dipersiapkan”. Jadi kategori-nya diubah dari grup B menjadi grup
A. Ada yang memberi tahu Siauw bahwa pemerintah menginginkan
seorang tokoh peranakan Tionghoa masuk dalam daftar tokohtokoh yang diadili. Siauw disiapkan sebagai seorang Tionghoa
pertama yang diadili dalam hubungan dengan G-30-S.
SATGAS Kebayoran Lama adalah tempat pemeriksaan tapol.
Tempat ini merupakan salah satu pusat pemeriksaan yang
tentunya sering dilakukan dengan berbagai penyiksaan fisik untuk
399
Siauw Giok Tjhan
membongkar jaringan PKI dan ormas-nya. Di tempat inilah, para
tapol yang berkhianat mengkonfrontasi para tapol yang ingin
dipaksa untuk memberi berbagai pengakuan. Dan cukup banyak
pula para tapol yang kurang waspada terkicuh oleh pengkhianatan
terselubung. Dalam pengertian, para tapol yang sudah berkhianat
diselundupi di kalangan para tapol untuk menarik berbagai
informasi secara halus.
Tekanan terhadap Siauw berat sekali di tempat ini. Karena,
menurutnya, di tempat itu, sulit untuk mengetahui siapa yang
telah berkhianat dan siapa yang tidak. Menurut Siauw, yang lebih
menekan adalah mengetahui di antara para pengkhianat itu ada
beberapa teman karib-nya sendiri.
Siauw bercerita bahwa Hancurnya PKI dipercepat dengan
penghianatan yang dilakukan oleh para tokoh PKI, yang bukan saja
membongkar jaringan organisasi, tetapi juga berfungsi sebagai
interrogator, bahkan terkadang, algojo penyiksaan.
Pada bulan Agustus 1970, Siauw dipindah ke RTM - Rumah
Tahanan Militer di Lapangan Banteng, Jakarta. Proses pemeriksaan
dilanjutkan di penjara ini.
Siauw menyambut persiapan untuk masuk pengadilan ini
dengan baik. Baginya, pengadilan merupakan sarana yang
baik untuk membela diri dan merehabilitasi nama Baperki dari
keterlibatan dalam peristiwa G-30-S. Ia siap untuk membela diri
dan mengeluarkan kritikan keras terhadap pelanggaran UndangUndang dan HAM.
Mulailah proses interogasi yang berlangsung selama 18 bulan.
Pemeriksaan ini dilakukan secara tidak teratur. Terkadang ia
diperiksa berturut-turut selama 1 bulan, lalu pemeriksaan
dihentikan selama 4 bulan. Lalu dimulai lagi untuk 2 bulan,
sebelum dihentikan lagi berbulan-bulan. Walaupun Siauw tidak
pernah disiksa dan pemeriksaan dilakukan secara sopan, ia diteror.
Pemeriksaan sering dilakukan pada malam hari, selama berjamjam sampai pagi hari. Terkadang ia hanya diberi kesempatan 1-2
jam beristirahat untuk kemudian diperiksa lagi sampai malam
400
Zaman Orde Baru
hari. Terkadang calon saksinya diperiksa dalam satu ruangan dan
keterangan yang diberikannya dikonfrontasikan. Dalam sebuah
pemeriksaan berganda ini, salah seorang saksinya disiksa di
hadapan Siauw.
Rupanya ini-lah strategi tim pemeriksa, untuk melelahkan dan
membuat yang diperiksa lengah. Disamping itu, mungkin tim
pemeriksa mengumpulkan data-data dari para tapol yang diperiksa
dalam rangka memberatkan kasus Siauw. Karena dalam waktu
bersamaan, banyak calon saksi diperiksa untuk memberatkan
Siauw.
Pemeriksaan ini difokuskan untuk membuktikan bahwa Siauw
adalah seorang anggota senior PKI. Ingin dibuktikan bahwa ia adalah
pimpinan PKI yang dirahasiakan. Juga ingin dibuktikan bahwa
Baperki berada dalam naungan PKI sebagai salah satu organisasi
massanya. Pimpinan PKI yang berada di RTM juga diperiksa dalam
rangka ini. Sjam, ketua Biro Khusus, yang dikatakan mendalangi
G-30-S –pun diperiksa untuk mengaitkan Siauw dengan PKI. Sjam
banyak membuka kasus tokoh-tokoh yang memiliki kaitan dengan
PKI secara tertutup.
Siauw tidak bisa memastikan peranan Sjam dalam pemeriksaan
terhadap dirinya sendiri. Ia tidak kenal Sjam sebelum masuk
penjara. Pembicaraan dengan Sjam di penjara ia batasi, karena ia
mengetahui bahwa Sjam telah menjebloskan banyak kawannya
dalam penjara. Bilamana ada kesempatan bicara, Siauw hanya
menyampaikan kritikan halusnya.
Akan tetapi tim pemeriksa ternyata gagal menemukan
bukti-bukti yang diperlukan. Siauw tidak dapat dibuktikan
keanggotaannya dalam PKI, karena tidak ada satu orang-pun yang
bisa membuktikan bahwa ia pernah disumpah sebagai seorang
anggota PKI. Ada beberapa anggota PKI yang menjadi informant,
memang menyatakan bahwa Siauw cukup sering diundang oleh
pimpinan PKI untuk hadir dalam berbagai rapat tingkat tinggi. Ini,
menurut mereka, membuktikan bahwa Siauw adalah anggota PKI
tingkat tinggi. Ada pula yang melaporkan bahwa Siauw terlihat
401
Siauw Giok Tjhan
memberi kuliah di Akademi Ali Archam, lembaga pendidikan politik
PKI di mana para kader PKI memperoleh gelar Sarjana Marxis.
Siauw bisa menjelaskan bahwa pimpinan PKI tingkat CC dan
Politbiro memang kerap mengundangnya untuk menghadiri
beberapa rapat partai, bukan sebagai anggota penting, melainkan
sebagai seorang akhli dalam bidang ekonomi. Kehadirannya di
lembaga Ali Archam-pun dalam kapasitas sebagai seorang dosen
dalam bidang ekonomi.
Siauw tetap menantikan kesempatan diadili. Pada waktu itu, ia
berpendapat lebih baik diadili, sehingga ia bisa mengetahui secara
lebih definitif berapa lama ia akan ditahan. Menurutnya, walaupun
pengadilan merupakan sandiwara politik pihak penguasa militer, ia
ingin menjadikannya mimbar perdebatan di mana ia bisa membela
secara terbuka posisi hukum dirinya dan Baperki dalam sejarah
Indonesia.
Tetapi rupanya tim pemeriksa berkesimpulan bahwa mereka
tidak bisa membawa Siauw ke pengadilan. Mungkin juga ada
kekhawatiran bahwa Siauw yang di saat-saat pemeriksaan di
penjara tidak pernah tunduk dan bersedia untuk “bekerja sama”,
akan menggunakan kesempatan ini untuk memperbesar simpati
orang terhadap dirinya dan Baperki.
Perubahan yang mencolok dengan keberadaan Siauw di
RTM adalah kondisi tahanan dan frekwensi pertemuan dengan
keluarga. Tan Gien Hwa diizinkan mengirim makanan setiap hari
dan keluarga bisa menemui Siauw seminggu sekali – sejam setiap
pertemuan. Pertemuan diadakan di sebuah ruangan yang cukup
besar, sekitar 15 tapol dan keluarganya duduk bersama di dalam
ruangan ini. Hanya ada seorang penjaga duduk di ujung ruangan.
Dengan demikian pembicaraan bisa dilakukan bebas.
Seperti yang dituturkan sebelumnya, penulis yang ketika itu
berumur belasan tahun, berkesempatan untuk mengenal Siauw,
baik dari dirinya sendiri, maupun dari para tapol yang sering
ditemuinya di ruangan pertemuan tersebut. Penulis diminta oleh
Siauw untuk mendengar berbagai siaran radio, untuk kemudian
402
Zaman Orde Baru
dihapal, sehingga bisa disampaikan dalam pertemuan mingguan
ini. Penulis-pun diminta untuk mengumpulkan berbagai guntingan
surat kabar dan majalah asing yang digemarinya, termasuk Far
Eastern Economic Review, Time, News Week, untuk diselundupkan
masuk. Setiap minggu, ketika penulis berjabatan tangan dengan
Siauw, guntingan-guntingan, dalam bentuk gumpalan kertas,
disampaikan ke Siauw.
Karena Siauw dalam proses pemeriksaan, ia ternyata banyak
berpikir bagaimana karier politiknya yang panjang itu diceritakan
ke tim pemeriksa. Pengkonsolidasian bahan ini juga disampaikan
kepada penulis dalam pertemuan mingguan ini. Dengan demikian,
pertemuan mingguan ini berubah menjadi kesempatan untuk
menuturkan sejarah perjuangan Siauw.
Setelah pemeriksaan Siauw dihentikan, fokus upaya pengadilan
dialihkan ke Oei Tjoe Tat. Beberapa tahun kemudian, pada tahun
1975, Oei Tjoe Tat-lah, yang diadili, bukan Siauw Giok Tjhan.
Pada bulan Agustus 1972, pemeriksaan dihentikan dan Siauw
dipindah ke penjara Nirbaya. Nirbaya, singkatan dari “Interniran
dalam Keadaan Berbahaya”, dijadikan rumah tahanan yang khusus
untuk tapol elite - para mantan menteri dan perwira tinggi ABRI.
Kondisi Nirbaya jauh lebih baik dari Salemba dan RTM. Setiap tapol
diberi satu unit yang terdiri dari kamar dan kamar mandi sendiri.
Pertemuan dengan keluarga bisa dilakukan seminggu sekali.
Karena jumlah penghuninya kecil dan sebagian besar dari mereka
memperoleh kiriman makanan, mereka memang tidak kekurangan
makanan. Di situ Siauw berkumpul dengan Omar Dhani (eks Kepala
Staf Angkatan Udara), Pranoto (eks Kepala Staf Angkatan Darat),
Komodor Purnomo, Jendral Mursyid,, Jendral Roekman, Setiadi
(eks Menteri PLN), Astrawinata (eks menteri kehakiman), Oei Tjoe
Tat (eks menteri negara) dan banyak mantan jendral, laksamana,
komodor, komisaris polisi dan kolonel lainnya.
Entah mengapa, pihak penguasa memutuskan untuk memindah
Siauw dari Nirbaya ke Salemba lagi pada bulan Juli 1973. Ada
yang mengatakan ini dilakukan untuk mempermudah proses
403
Siauw Giok Tjhan
pemindahan status menjadi tahanan rumah. Karena memang
kenyataannya, pada bulan September 1975, Siauw diizinkan
pindah dari Salemba ke rumahnya, sebagai Tahanan Rumah.
Penghuni Nirbaya tidak ada yang diizinkan pulang hingga tahun
1978. Sebelum itu dilaksanakan, Siauw sempat menuntut agar
Liem Tjwan Sien dan Phoa Thoan Hian, tokoh-tokoh Baperki yang
sama-sama meringkuk dengannya di Salemba, untuk turut diubah
statusnya pada waktu bersamaan.
Tidak jelas peranan apa yang dimainkan oleh beberapa sahabat
Siauw yang menjadi menteri dalam kabinet untuk mencapai
perubahan status ini. Siauw yakin, Adam Malik memainkan peranan
besar dalam membantunya.
Oleh karena itu, walaupun ber-status tahanan rumah
dan diharuskan melapor ke KODAM seminggu sekali, Siauw
membangkang. Seminggu setelah di rumah, ia memutuskan untuk
pergi mengunjungi para sahabat yang ia anggap telah banyak
membantunya selama di penjara. Pihak penguasa ternyata tidak
membatasi ruang gerak Siauw pula. Tidak ada yang mencegahnya
keluar dari rumah dan pada waktu melapor, tidak ada teguran.
Orang yang pertama dikunjungi adalah Adam Malik. Dengan
kesederhanaannya, ketika ia sampai di rumah kediaman Adam
Malik, ia hanya disuruh menunggu di ruang picket di luar rumah
ber-jam-jam. Rupanya kehadirannya tidak disampaikan para
penjaga ke Adam Malik. Mungkin si penjaga menganggap Siauw,
yang datang dengan pakaian sederhana, tidak ber-jas dan berdasi seperti tamu-tamu lainnya, adalah seorang yang tidak waras.
Siapa yang berani menemui Adam Malik dengan cara berpakaian
seperti itu? Kebetulan, Adam Malik keluar dalam mobil dinas-nya.
Siauw bergegas keluar mencegat mobil. Melihat Siauw, Adam Malik
keluar dari mobil dan segera merangkulnya. Adam Malik ternyata
membatalkan rencananya keluar rumah dan segera mengajak
Siauw masuk ke rumahnya. Siauw sempat menggerutu: “... wah
susah ketemu dengan Bung Adam ya. Saya harus menunggu berjam-jam di luar...”. Adam menyatakan bahwa ia tidak tahu. Sejak
404
Zaman Orde Baru
saat itu, setiap kali Siauw berkunjung ke rumahnya, ia tidak perlu
lagi menunggu di luar.
Setelah Adam, Siauw mengunjungi Mursalin, Sultan Hamengku
Buwono dan Sudibjo. Mereka dengan hangat menerimanya,
walaupun Siauw menyatakan bahwa statusnya adalah tahanan
rumah.
Setelah itu, walaupun tetap berstatus tahanan rumah, ia mulai
menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh Angkatan 45.
Ia pernah duduk sebagai pimpinan Dewan Harian Angkatan 45
sebelum ditahan. Di dalam acara-acara itu, ia mulai lagi menjalin
hubungan dengan para tokoh dari berbagai aliran. Keramahan dan
kesupelannya menyebabkan ia segera diterima dengan hangat oleh
para tokoh yang bergabung dalam Angkatan 45. Mereka ternyata
tidak memasalahkan kehadirannya di sana, walaupun ia berstatus
tahanan rumah.
Akan tetapi Siauw masih terisolasi dari dunia luar. Yang sering
datang berhubungan dengannya adalah eks tapol dan keluarganya.
Sebagian besar teman-teman dari sebelum tahun 1965 belum
berani mengunjunginya. Kenyataan bahwa ia masih tahanan rumah
yang resminya tidak boleh menerima tamu-pun, membuat orang
lebih takut mengunjunginya.
Antara tahun 1975 dan 1976, Siauw merampungkan tiga
manuscript: Suatu Renungan, Lima Jaman dan For a Brighter
Future. Keadaan tidak memungkinkan karyanya diterbitkan di
Indonesia. Ketiga-tiganya diterjemahkan dalam bahasa Tionghoa
dan diterbitkan di Hongkong pada tahun 80-an. Dua bab dari
Lima Jaman diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan
di Australia dalam bentuk monograf. Hanya Lima Jaman yang
diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1981 di Amsterdam.
Akan tetapi beberapa bulan setelah diterbitkan, pada awal tahun
1982, ia dilarang oleh pemerintah.
Walaupun sudah ditahan berbelas tahun, prinsip perjuangan
Siauw tidak berubah, malah terkonsolidasi. Buku-buku yang
disinggung di atas menunjukkan sikap ini, sikap yang masih
405
Siauw Giok Tjhan
sangat positif dan penuh keyakinan bahwa pada akhirnya, dengan
perjuangan bersama, Nasion Indonesia yang terwujud adalah
Nasion yang tidak mengenal diskriminasi dan Indonesia akan
menjadi negara yang demokratis dan makmur.
Yang menarik adalah keteguhan Siauw bahwa dasar perjuangan
Indonesia tetap tepat, yaitu UUD-45 dan Pancasila. Ini bertentangan
dengan pendapat banyak orang di dunia pelarian di luar negeri
yang berpendapat bahwa UUD-45 dan Pancasila usang dan harus
diganti dengan segala sesuatu yang lebih progresif. Banyak orang
yang menerima manuscript buku-buku Siauw mendorongnya
untuk menulis ulang para manuscript-nya dan menghentikan
penggunaan Panca Sila dan UUD-45 sebagai pedoman perjuangan.
Siauw dengan tegas menolaknya.
Argumentasi Siauw adalah: untuk apa mencari formulasi yang
berbeda dengan UUD-45 dan Panca Sila? Baginya bilamana UUD-45
dan Panca Sila dilaksanakan secara konsekwen, situasi dan kondisi
politik Indonesia sudah jauh berbeda dan Rakyat akan mengecapi
penghidupan yang jauh lebih baik.
Perkembangan Politik di zaman Orde Baru
Tulisan-tulisan Siauw menunjukkan keyakinannya bahwa
kejadian G-30-S merupakan rekayasa kekuatan luar negeri yang
mendukung kekuatan anti Soekarno di Indonesia6, terutama
pihak Amerika Serikat dan USSR. Menurutnya pihak Amerika
Serikat lebih lincah. USSR yang tadinya bermotivasi mengurangi
pengaruh Tiongkok dan menjadikan pengaruhnya lebih dominan
dari pengaruh Tiongkok, terdorong. Karena bukan saja pengaruh
Tiongkok hilang, seluruh kekuatan kiri yang tadinya mendominasi
arena politik di Indonesia dibasmi oleh kekuatan kanan yang
6
Pandangan ini dituangkan dalam berbagai manuscript dan tulisan yang digabung dalam buku yang disunting oleh penu
lis, Renungan seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan, Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, Maret 2010.
406
Zaman Orde Baru
didukung oleh Amerika Serikat.
Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa kedua supra power ini
menginginkan gerakan anti Tiongkok bangkit di Indonesia. Gerakan
anti-Tiongkok ini kemudian berkembang sebagai gerakan antiTionghoa yang ganas dalam awal zaman yang dinamakan zaman
Orde Baru, di bawah pimpinan Jendral Soeharto.
Gerakan anti Tiongkok diawali dengan penyebaran berita bahwa
G-30-S dibiayai oleh RRT. Pernyataan yang tidak pernah dibuktikan
dalam arena hukum ini, dan tidak pernah ada seorang pejabat RRT
yang dituntut di pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan
tuduhan pimpinan Orde Baru, menjadi dasar utama gerakan anti
Tionghoa.
Gerakan anti Tionghoa inti menjadi lebih hebat atas bantuan
dua lembaga yang di zaman Demokrasi Terpimpin tidak bisa
berkembang, karena kehadiran Baperki, yaitu LPKB dan KENSI.
LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat menggunakan
kesempatan ini untuk mendorong konsepsi assimilasi-nya:
pergantian nama, penanggalan kebudayaan Tionghoa dan kawin
campuran.
Akibat desakan LPKB, terjadilah pergantian nama massal di
berbagai tempat, seperti di Sukabumi pada tahun 1966. Dalam
waktu 2 tahunan, sebagian besar orang Tionghoa, terutama mereka
yang berdagang, telah mengubah namanya, dari nama Tionghoa ke
nama yang tidak lagi mengandung ke-Tionghoaan. Cukup banyak
dari mereka yang memilih nama Menado, Jawa dan Barat. Ada pula
yang kreatif, tetap mempertahankan koneksinya dengan nama
Tionghoa asalnya. Seperti salah satu saudara Siauw, Tan Soen An,
mengganti namanya menjadi Sunanta.
Gerakan ganti nama ini lalu menjurus ke gerakan yang anti segala
sesuatu yang berasal dari Tiongkok. Dimulai dengan penutupan
sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tanpa memperdulikan nasib
ratusan ribu siswa yang tidak ada tempat penampungan sekolah
– pada pertengahan tahun 1966. Sejak saat itu, sekolah-sekolah
berbahasa Tionghoa tidak boleh beroperasi di Indonesia lagi.
407
Siauw Giok Tjhan
LPKB mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden No 14/1967
yang membatasi pelaksanaan peribadahan dan kebudayaan
Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Melakukan ibadah Tionghoa
di depan umum dianggap merugikan proses assimilasi. Instruksi ini
juga mempertegas bahwa agama dan adat istiadat yang berasal dari
negeri leluhur bisa membawa dampak negatif dalam perkembangan
psikologis, mental dan moril para warga negara Indonesia. Sebagai
akibat dari adanya Instruksi Presiden ini, Indonesia, mungkin
satu-satunya negara di dunia, di mana perayaan tahun baru Imlek,
pertunjukan Barongsai dan Liang Liong, dilarang. Komunitas
Tionghoa harus bersembunyi bilamana ingin melakukan ibadah
yang mengandung ke-Tionghoa-annya.
Pemerintah-pun mengeluarkan peraturan yang melarang
penggunaan bahasa Tionghoa dan Mandarin. Penggunaan huruf
Tionghoa disamakan dengan Narkotika. Hingga tahun 90-an,
kartu imigrasi untuk para pendatang dari luar ke Indonesia
harus mendeklarasikan apakah mereka membawa materi yang
mengandung huruf Tionghoa.
Membawa materi berbahasa
Tionghoa dilarang.
KENSI juga tidak tinggal diam. Kehadiran rezim Orde Baru di
bawah pimpinan Jendral Soeharto membatalkan program yang
terkandung dalam Deklarasi Ekonomi – DEKON, di mana dengan
tegas dinyatakan bahwa pengembangan modal domestik yang
banyak dibina oleh komunitas Tionghoa, harus dijamin dalam
membangun ekonomi nasional. KENSI mendorong diperluasnya
PP-10. Pedagang Tionghoa yang berstatus asing, bukan saja dilarang
berdagang di daerah pedalaman atau kecamatan, tapi hendaknya,
demikian tuntutan KENSI, dilarang berdagang di kota-kota pula.
Akibat tuntutan ini, Panglima Jawa Timur, Jendral Sumitro, pada
tahun 1966, mengeluarkan instruksi yang melarang pedagang
Tionghoa yang berstatus asing untuk berdagang di seluruh Jawa
Timur, kecuali di ibu kota propinsi, Surabaya. Ia-pun mengeluarkan
instruksi yang melarang penggunaan bahasa Tionghoa dalam
perdagangan, baik berbentuk surat menyurat atau diskusi
408
Zaman Orde Baru
komunikasi lisan. Ini kemudian ditingkatkan pula dalam bentuk
larangan orang Tionghoa untuk pindah ke lain propinsi tanpa izin
dan dikenakannya pajak kepala.
Di Aceh, pada tahun 1967, Panglima setempat juga mengeluarkan
instruksi yang mengusir semua orang Tionghoa dari propinsi Aceh.
Ini berakibat adanya exodus besar-besaran dari Aceh ke kota-kota
lain di Sumatra Utara.
Di Kalimantan Barat, pada waktu yang hampir bersamaan telah
bangkit gerakan anti Tionghoa yang tidak kalah kejamnya. Orangorang Tionghoa diusir dari daerah pedalaman, terutama mereka
yang memiliki kebun-kebun pertanian. Yang berusaha untuk
mempertahankannya, diusir dengan kekerasan bahkan ada yang
dibunuh. Dikatakan ada sekitar 100 ribu orang Tionghoa yang
mengalami pengusiran kasar ini dan harus hidup berserakan di
kota-kota pesisir, seperti Singkawang, Mempawah dan Pontianak.
Ledakan-ledakan anti Tionghoa juga terjadi di mana-mana.
Pada bulan Oktober 1968, setelah Singapura melaksanakan
hukuman mati terhadap dua perwira Indonesia yang ditangkap,
timbul ledakan anti Tionghoa di Jakarta dan Surabaya, yang terlihat
dipimpin oleh orang-orang militer berpakaian preman.
Pada tahun 1967, istilah melalui peraturan pemerintah, istilah
“Cina” dijadikan istilah resmi menggantikan istilah “Tionghoa”
dan “Tiongkok”. Ini dilakukan untuk membangkitkan inferiority
complex dalam kalangan komunitas Tionghoa.
Pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan yang seyogyanya
menyelesaikan masalah kewarganegaraan banyak penduduk
Tionghoa dengan sendirinya terhambat. Pada tanggal 9 November
1966, Menteri Kehakiman mengeluarkan Instruksi no D/T/1/2
yang menangguhkan pelaksanaan perjanjian tersebut yang
dibekukan selama 2 tahun. Pelaksanaan baru ingin dimulai, tapi
kemudian dihentikan lagi untuk selamanya dengan pembatalan
perjanjian oleh pemerintah Indonesia secara sepihak setelah
hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan pada tahun 1968.
Tanpa organisasi semacam Baperki, yang memiliki kekuatan
409
Siauw Giok Tjhan
politik untuk melawan arus rasisme, Komunitas Tionghoa di awal
zaman Orde Baru, harus menelan dan menerima berbagai tindakan
dan kebijakan politik resmi yang meng-anak-tirikan mereka. Mereka
tidak berdaya untuk melawan. Menunjukkan simpati terhadap apa
yang Baperki telah lakukan-pun berbahaya, karena bisa berakibat
masuk penjara. Mereka harus menerima nasib.
Yang paling Siauw sesalkan adalah dilanggarnya pasal 33 UUD45, yang menjamin kekayaan alam tetap dimiliki dan dikontrol oleh
Indonesia.
Ketergantungan atas bantuan ekonomi negara-negara maju
tidak bisa tidak memaksa pemerintahan Orde Baru membuka pintu
lebar-lebar untuk disedot kekayaannya.
Pen-jendralan semua infrastruktur pemerintahan, baik pusat
maupun daerah menimbulkan aliansi tidak sehat, antara kelompok
pedagang Tionghoa yang memiliki hubungan baik di luar Indonesia,
terutama dengan Taiwan, Singapura dan Hongkong, dengan para
jendral atau relasi-nya yang berkuasa. Bangkit dan berkembanglah
sistem “cukong-isme” yang menimbulkan kesan salah bahwa
komunitas Tionghoa berdosa atas pemerasan kekayaan dan
kemelaratan yang dialami Rakyat sebagai akibatnya.
Setelah Soekarno sebagai Presiden secara perlahan dan
sistematik disingkirkan, demokrasi di Indonesia-pun dihancurkan.
Dengan demikian kekuasaan Jendral Soeharto bisa berkembang
dan terkonsolidasi tanpa oposisi yang berarti.
Menjadi Pelarian Politik di Belanda
Pada bulan Agustus 1978, Siauw dibebaskan secara resmi.
Akan tetapi kartu penduduknya mengemban kode ET (Eks Tapol).
Resminya, status ini menyebabkannya ia dicekal, berstatus tahanan
dalam negeri. Artinya tidak bisa keluar dari Indonesia, tidak bisa
memperoleh Exit Permit.
Karena kesehatannya memburuk, anaknya, Siauw May Lie, yang
berpraktek sebagai seorang dokter di Belanda, memanggilnya
410
Zaman Orde Baru
untuk pindah ke Belanda.
Atas bantuan Adam Malik, yang pada waktu itu sudah menjadi
Wakil Presiden, ia diberi izin meninggalkan Indonesia untuk
berobat ke Belanda. Berangkatlah Siauw dan istrinya, Tan Gien
Hwa, ke Belanda pada bulan September 1978.
Begitu tiba di Belanda, Siauw bagaikan burung yang lepas
dari sangkarnya, segera aktif berpolitik. Bukan beristirahat dan
berobat seperti yang dianjurkan para dokternya di Belanda, ia
malah melakukan berbagai kegiatan politik yang jelas mengandung
beban-beban emosional.
Siauw segara menjalin hubungan dengan para pelarian politik
Indonesia yang bermukim di Eropa dan Tiongkok. Sebagai seorang
yang baru bebas dari tahanan dan yang memilki nama “bersih”,
artinya tidak dianggap sebagai tapol yang berkhianat, Siauw
dihargai dan dihormati banyak pelarian politik Indonesia itu.
Para pelarian politik di luar Indonesia, terutama yang di Eropa,
terpecah belah dalam berbagai kelompok yang saling bertentangan..
Perpecahan sedemikian dalamnya sehingga ada kelompok yang
tidak sudi berbicara dengan kelompok lainnya.
Kehadiran Siauw di Belanda ternyata sejenak mengubah situasi
ini. Ia berhasil mempertemukan banyak kelompok yang tadinya
tidak bersedia bekerja sama dan mendorong mereka untuk saling
bertukar pikiran. Tempat kediaman Siauw yang kecil di Amsterdam
sering dijadikan tempat pertemuan di mana orang-orang dari
berbagai kelompok bertemu.
Salah satu kegiatan utama Siauw adalah pengumpulan dana untuk
membantu tapol yang baru dibebaskan dan keluarganya. Sebagian
dana yang terkumpul digunakan untuk memulai usaha-usaha
yang memungkinkan para eks tapol menunjang kehidupan sehariharinya. Usaha-usaha ini berupa peternakan ayam, penerbitan
sederhana, penterjemahan buku-buku, klinik akupunktur, bengkelbengkel dll. Sebagian besar dari dana digunakan untuk biaya
pengobatan, perbaikan tempat tinggal dan pembayaran uang
sekolah anak-anak eks tapol.
411
Siauw Giok Tjhan
Bersama LSM-LSM yang ada di Eropa, termasuk TAPOL –
organisasi yang didirikan oleh Carmel Budiardjo di Inggris, dan
Komite Indonesia di Belanda – yang menurut sertakan Prof Wertheim
dan Go Gien Tjwan, Siauw mendorong kampanye-kampanye untuk
membebaskan para tapol di Indonesia. Ia sering memberi bahanbahan tentang penghidupan di berbagai penjara yang ia pernah
huni di Jakarta pada para LSM yang membutuhkannya.
Disamping itu, Siauw pun cukup sering memberi ceramahceramah tentang perkembangan politik Indonesia dan pengalaman
perjuangannya. Yang tercermin dalam ceramah-ceramah ini adalah
keteguhannya atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya selama
puluhan tahun. Ia tetap teguh berpendirian bahwa sosialisme adalah
jalan keluar yang harus ditempuh Indonesia. Dalam konteks ini ia
menekankan bahwa sosialisme yang terwujud harus bersandar
kepada sistem pemerintahan yang demokratis dengan program
ekonomi yang menciptakan kemakmuran merata.
Ia turut kecewa dengan kegagalan RRT dan Uni Soviet
dalam menciptakan masyarakat yang makmur dengan sistem
pemerintahan yang demokratis. Kegagalan ini menurutnya, bukan
karena konsep politik, melainkan karena kualitas pimpinan politik
dan pelaksanaan program politik yang tidak tepat.
Dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya, Siauw tetap
tegas dengan konsep integrasi. Ia yakin bahwa jalan assimilasi yang
dicanangkan LPKB tidak akan menghilangkan rasisme. Baginya,
integrasi tetap merupakan pemecahan yang paling bijaksana
dalam menyelesaikan masalah minoritas di Indonesia. Ia tetap
menghendaki komunitas Tionghoa diakui sebagai suku Indonesia
dan peng-integrasiannya di dalam tubuh bangsa Indonesia
dilakukan tanpa pergantian nama dan penanggalan ciri-ciri
etnisitas Tionghoa.
Siauw tetap menjalankan rutinitas sebagai seorang wartawan. Ia
rajin mengikuti berbagai berita yang disiarkan TV dan radio dan
berbagai surat kabar. Setiap pagi, di kursi malasnya, ia membaca
berbagai surat kabar dan majalah dalam berbagai bahasa, kemudian
412
Zaman Orde Baru
dilanjutkan dengan mendengarkan berbagai siaran radio dan TV.
Pada malam harinya, ia merangkum semua yang ia baca dan dengar
dalam sebuah buku harian, sebagai editorial. Ia pun sering menulis
berbagai makalah panjang, mengenai kewarganegaraan Indonesia,
integrasi, ekonomi dan sejarah parlemen.
Kegiatan-kegiatan ini menyebabkan Siauw tidak bisa
memperpanjang passport Indonesia-nya di Belanda. Dengan
demikian Siauw memperoleh status “pelarian politik” di Belanda.
Pada bulan April 1980 terjadi ledakan anti Tionghoa di
UjungPandan – Makasar. Pada bulan November, terjadi pula ledakan
anti Tionghoa yang berlangsung selama beberapa minggu, dimulai
dari Purwokerto, kemudian ke kota-kota besar lainnya di Jawa
Tengah, hingga Madiun di Jawa Timur.
Siauw cepat menyatakan, dalam beberapa kesempatan bicara
dengan para pemuda di Eropa bahwa ini ledakan-ledakan
anti Tionghoa yang menurutnya direkayasa oleh penguasa
ini, menujukkan bahwa paham assimilasi gagal menciptakan
keharmonisan. Pembangunan Nasion Indonesia, menurutnya,
tidak bisa bersandar semata-mata atas upaya ganti nama dan
penanggalan ciri-ciri ke-Tionghoaan. Perlu diciptakan kondisi yang
mendukung integrasi dan kerja sama erat antara suku minoritas
dan suku mayoritas.
Siauw mengumpulkan beberapa tokoh Tionghoa yang menetap
di Belanda, Ong Eng Die, mantan menteri keuangan di kabinet Ali
Sastroamidjojo, Sie Hok Tjwan, mantan tokoh Baperki Jawa Timur
dan Tan Hwie Kiat, tokoh Baperki yang kemudian menjadi jurnalis
kawakan di Warta Bhakti, untuk menulis sebuah pernyataan yang
dikirimnya ke PBB. Surat yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh
Siauw itu dikirim ke PBB pada tanggal 2 Pebruari 1981. Isinya
mengecam berbagai kebijakan pemerintah RI yang telah menganak tirikan komunitas Tionghoa sebagai pelanggaran UUD, HAM
dan hukum internasional dan mendorong PBB untuk menekan
pemerintah RI memberi perlindungan yang mencegah jatuhnya
korban di kalangan komunitas Tionghoa. Seperti yang diharapkan,
413
Siauw Giok Tjhan
surat itu tidak memperoleh respons yang diinginkan. Pemerintah
Soeharto belum bisa digoyahkan.
Salah satu penanda tangan surat itu, Sie Hok Tjwan, sebagai
reaksi keganasan ledakan anti-Tionghoa mendorong terbentuknya
sebuah kelompok di Eropa yang dinamakan Na-Han. Kelompok
ini menginginkan didirikannya negara “Tiongkok” ke 4, yaitu
setelah RRT, Taiwan dan Singapura, untuk menampung semua
orang Tionghoa di Indonesia. Kelompok ini berkeyakinan bahwa
inilah jalan keluar yang paling baik untuk komunitas Tionghoa di
Indonesia. Mereka, memulai upaya untuk mencari sebuah pulau di
kepulauan Indonesia di mana impian ini bisa direalisasi.
Sie Hok Tjwan menguraikan pendapatnya ini dalam sebuah
harian Belanda, Trouw pada tanggal 9 Maret 1981.
Siauw menyambutnya dengan sebuah surat tertulis pendek
yang dikirim ke banyak temannya di Eropa dan kepada penulis. Ia
menyatakan bahwa pendapat Sie Hok Tjwan itu berbahaya karena:
1. Tanpa disadari anjuran Sie Hok Tjwan bisa meluncur
sebagai gerakan zionisme yang akan menimbulkan mala
petaka besar.
2. Pembentukan negara baru ini memerlukan dukungan
banyak negara yang mampu mempersenjatai gerakan ke
arah itu dan pasti menyebabkan pertumpahan darah dan
membangkitkan terorisme.
3. Rasisme tidak bisa dilawan dengan rasisme. Jalan
keluarnya adalah menunggal dengan Rakyat terbanyak dan
ikut membangun nasion Indonesia yang bersih dari Rasisme
Sie Hok Tjwan yang tadinya menginginkan dukungan dari
Siauw tentunya kecewa dengan sikap Siauw. Beberapa majalah
yang dikeluarkan oleh kelompok Na Han mengecam Siauw sebagai
antek nasionalisme Indonesia yang membiarkan dirinya sendiri
dan komunitas yang dibelanya, disiksa oleh pemerintah RI.
Dukungan terhadap kelompok ini tidak berumur panjang. Majalahmajalah berkala yang mereka keluarkan hanya terbit beberapa kali.
Memang konsep yang sedemikian radikal-nya tidak akan menerima
414
Zaman Orde Baru
dukungan luas.
Pada bulan September 1981, Siauw diundang oleh Wakil Perdana
Menteri RRT, Chi Peng Fei untuk mengunjungi Tiongkok, resminya
untuk mengikuti perayaan 1 Oktober di Tien An Men. Walaupun
Siauw tidak lagi memegang jabatan resmi dalam pemerintahan RI,
tetapi ia tetap diterima sebagai tamu agung kenegaraan di RRT dan
memperoleh perlayanan istimewa. Ia turut menghadiri perayaan
1 Oktober, yang pada tahun itu dilakukan dengan sangat terbatas,
sebagai tamu negara mewakili Tionghoa Indonesia.
Di Beijing diadakan pula sebuah reuni khusus untuk nya, di
mana semua tokoh RRT yang pernah berada di Indonesia sebagai
diplomat berkumpul. Di antaranya Huang Chen, mantan Duta Besar
RRT di Indonesia pada tahun 50-an, yang ketika itu menjadi Menteri
Sosial di RRT dan Xu Ren, mantan Konsul Jendral RRT di Indonesia
pada tahun 60-an, ketika itu menjadi direktur Bank of China.
Siauw-pun melalui berbagai macam pemeriksaan kesehatan dan
dianjurkan untuk tinggal lebih lama dari yang direncanakan untuk
berobat di Beijing. Oleh tim dokter dinyatakan bahwa jantungnya
membengkak dan fungsi liver-nya sangat berkurang.
Siauw, seperti yang terjadi pada tahun 1964, ternyata memilih
untuk menolak. Ia merasa sungkan memperoleh perlayanan tamu
agung di sana dan ingin berobat di Belanda di bawah pengawasan
putrinya sendiri.
Undangan penulis untuk pergi ke Australia dari Tiongkok atau
Hongkong ditolaknya pula. Ia berpendapat, ia tidak boleh menyalah
gunakan kebaikan pemerintah Tiongkok yang sudah membayar
semua ongkos perjalanannya dari Belanda. Dalam suratnya, ia
menyatakan bahwa ia lebih suka pergi ke Australia langsung dari
Belanda saja, sehingga tidak ada kesan ia menyalah gunakan
kebaikan pemerintah RRT.
Ia kembali di Belanda pada tanggal 25 Oktober 1981. Sekembalinya
di Belanda, ia lebih giat lagi menulis dan berceramah. Pada tanggal
12 November ia berceramah di Berlin, bersama dengan seorang
tokoh LBH, Todung Mulya Lubis, di mana ia berbicara selama 3 jam.
415
Siauw Giok Tjhan
Pada tanggal 20 November 1981, ia diundang oleh universitas
Leiden untuk memberi ceramah di hadapan para Indonesianis.
Beberapa menit sebelum Siauw berpidato di hadapan para akhli
Indonesia di universitas Leiden, Siauw meninggal dunia karena
serangan jantung. Topik pembicaraannya adalah Kegagalan
Eksperimen Demokrasi di Indonesia. Di dalam pidato ini Siauw
bermaksud menggambarkan kegagalan RI dalam menciptakan
kemakmuran dan demokrasi. Ia juga hendak membahas masalah
Orde Baru dan pelanggaran UUD 45 dan HAM.
Siauw meninggal sebagai seorang patriot di negara asing dan
sebagai seorang pelarian politik – jauh dari tanah air yang ia
cintai. Dan Nasion Indonesia, yang ia turut bangun dengan jiwa
raganya masih belum terwujud dalam bentuk yang ia impikan dan
perjuangkan. Berakhirlah karier politik Siauw dalam membangun
Nasion Indonesia.
416
Zaman Orde Baru
Siauw dengan isteri, putri bungsu dan adik ipar
di RSPAD, setelah operasi hidung sebagai tapol 1973
417
Siauw Giok Tjhan
Hadiah seorang tapol untuk Siauw ketika ia diubah statusnya
sebagai tahanan rumah dari Salemba, September 1975
418
Zaman Orde Baru
Tan Gien Hwa - mempersiapkan makanan untuk dikirim
ke tahanan, Juli 1974
419
Siauw Giok Tjhan
Siauw dan isteri semasa berstatus tahanan rumah, Januari 1976
420
Zaman Orde Baru
Siauw dan isteri di Madame Tussaud, Amsterdam, 1980
Siauw, penulis dan Siauw Giok Bie, Koln, 1980
421
Siauw Giok Tjhan
Dengan Chi Peng Fei, Wakil Perdana Menteri RRT,
Beijing, Oktober 1981
422
Zaman Orde Baru
Go Gien Tjwan, Siauw dan Tjoa Sik Ien,
Amsterdam, 1981
423
Siauw Giok Tjhan
Reuni keluarga Siauw ketika Siauw Giok Tjhan meninggal pada 20
November 1981, 7 anak Siauw Giok Tjhan, 5 anak Siauw Giok Bie,
plus Tan Soen Houw, Siauw Giok Bie dan isteri, Tan Gien Hwa, Go
Gien Tjwan dan isteri, Amsterdam, 23 November 1981
424
Kesimpulan
BAB 16
KESIMPULAN
Siauw Giok Tjhan memang lebih dikenal sebagai tokoh Tionghoa.
Akan tetapi ruang lingkup perjuangannya nasional dan didasari
atas kepentingan nasional.
Salah satu program perjuangan utama Siauw berkaitan dengan
Nation-Building, sebuah
perjuangan mewujudkan “Nasion”
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, termasuk suku
Tionghoa. Selama 40 tahun terakhir ini pengertian Bangsa dan
Kebangsaan Indonesia telah menjadi kabur.
Untuk bisa menganalisis perkembangan sejarah secara objektif,
sejarah yang pernah dikaburkan oleh rezim Orde Baru perlu
diluruskan. Penuturan sejarah perjuangan Siauw Giok Tjhan
ini diharap bisa membantu proses pengertian dan penggalian
program-program politik yang masih relevan untuk diterapkan di
masa yang akan datang.
Ketokohan Siauw Giok Tjhan
Ketokohan dan keberhasilan Siauw Giok Tjhan di dalam
zamannya, berkaitan erat dengan empat pembawaan utamanya:
Pertama, walaupun Siauw adalah seorang keturunan Tionghoa
dan duduk di berbagai lembaga legislatif dan eksekutif sebagai wakil
golongan minoritas Tionghoa, ia selalu menganggap Indonesia
sebagai tanah airnya. Dengan demikian, perjuangan politiknya
selalu berorientasi kepada kepentingan Nasional. Walaupun
kadang-kadang yang ia perjuangkan merupakan pembelaan
langsung terhadap kepentingan golongan Tionghoa, tetapi implikasi
pembelaan itu adalah perbaikan yang menguntungkan Rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, ia bisa dianggap
sebagai seorang patriot Indonesia.
Kedua, Siauw sangat gamblang dengan terwujudnya persatuan
425
Siauw Giok Tjhan
Nasional. Komitmen ini jelas tampak dari pola perjuangannya. Ia
selalu berusaha untuk bekerja sama dengan semua tokoh Nasional
dan kelompok politik yang bersedia untuk bekerja sama dengannya
dalam mencapai objektif Nasional, tanpa memperdulikan latar
belakang serta ideologi politik mereka. Inilah yang menyebabkan
ia bekerja erat dengan berbagai tokoh Nasional dari berbagai aliran
di zaman-zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Terpimpin. Kawan-kawan dekatnya termasuk Sartono dan Ali
Sastroamidjojo (PNI); I.J Kasimo (Partai Katolik); Tambunan
(Parkindo); Sukarni dan Adam Malik (Murba); Zainul Arifin (NU);
Aruji Kartawinata (PSII); Nya Diwan (Perti); dan Lukman; Njoto
(PKI).
Ketiga, Siauw adalah seorang legalist. Baginya RI harus
berkembang menjadi sebuah negara yang mengindahkan
undang-undang dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, semua
perdebatannya baik di dalam maupun luar parlemen, berkaitan
dengan UU Dasar yang berlaku. Perjuangannya dalam melawan
diskriminasi rasial bersandar pada pengertian bahwa tindakan
rasis bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional.
Berdasarkan argumentasi hukum inilah, Siauw mengembangkan
pengertian “Kewarganegaraan dan Warganegara Indonesia”.
Baginya istilah Indonesia “asli” tidak bisa dilegitimasikan.
Keempat, Siauw adalah seorang politikus yang menghayati
aspirasi ketiga golongan yang senantiasa berinteraksi dengannya:
golongan yang dinamakan Indonesia “asli”, golongan Tionghoa
totok, yang masih kokoh mempertahankan kebudayaan Tionghoa
dan golongan Tionghoa peranakan yang sudah berakulturisasi
dengan masayarakat setempat. Karakter inilah yang menyebabkan
Siauw mampu berkecimpung di dalam ketiga “dunia” tanpa
kehilangan arah dan pijakan politiknya.
Keempat pembawaan yang diuraikan memungkinkan Siauw
diterima oleh banyak pemimpin Nasional dan oleh massa Tionghoa
yang diwakilinya, baik yang peranakan maupun yang totok di dalam
berbagai zaman politik di Indonesia.
426
Kesimpulan
Aktifitas Politik
Siauw tidak bisa dikatakan sebagai seorang Tionghoa biasa,
karena pembawaannya berlawanan dengan stereotipe orang
Tionghoa. Sejak berusia 18 tahun ia berkecimpung di dalam
gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan setelah
kemerdekaan tetap aktif di dalam gerakan politik yang oleh
banyak orang Tionghoa dianggap sebagai profesi yang “onghiam”
– berbahaya.
Seperti yang digambarkan di dalam buku ini, Siauw duduk
di dalam badan legislatif (Komite Nasional Indonesia Pusat dan
Badan Pekerjanya) sejak tahun 1946 sampai ia “dengan hormat”
dihentikan oleh rezim Orde Baru dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) pada awal tahun 1966. Di dalam zaman revolusi (19451949), bersama Tan Ling Djie, Oey Gee Hwat dan Go Gien Tjwan,
Siauw turut memimpin dan mempengaruhi berbagai kebijakan
Partai Sosialis – partai utama yang memimpin pemerintahan
sampai awal tahun 1948. Ia pernah menjadi menteri di dalam
kabinet Amir Sjarifuddin antara tahun 1947 dan 1948. Di zaman
Demokrasi Terpimpin, ia juga diangkat oleh presiden Soekarno
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan di dalam
berbagai zaman ia memimpin beberapa penerbitan surat kabar
dan majalah.
Kehadiran Siauw di dalam parlemen dan keaktifannya dalam
melawan berbagai UU dan peraturan rasis berhasil mengurangi
dampak UU dan peratutan itu terhadap golongan Tionghoa. Yang
jelas, usaha sementara pimpinan pemerintah dalam menjalankan
program ekonomi yang mendiskriminasikan golongan Tionghoa
dengan dalih ekonomi Nasional atau kepentingan Nasional, seperti
Pedoman Baru untuk usaha Bis, Peraturan penggilingan padi dan
kebijakan import “benteng”, mendapat perlawanan yang gigih dari
Siauw. Kebijakan rasis ini menurut Siauw merugikan Indonesia
secara keseluruhan karena bukan saja menimbulkan pemborosan
dan brain-drain tetapi juga menghambat pengembangan industri
427
Siauw Giok Tjhan
lokal yang penting untuk pembangunan negara.
Baperki, Nation-Building dan Integrasi
Bagian terpenting karier politik Siauw berkaitan dengan
usahanya dalam mendirikan dan memimpin Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).
Di bawah
pimpinannya, Baperki berkembang menjadi organisasi massa yang
secara efektif mampu melawan diskriminasi rasial melalui kancah
politik.
Baperki mengutamakan gerakan politik dan pendidikan politik.
Orientasi politiknya sepenuhnya didasari oleh UUD yang berlaku.
Pada zaman Demokrasi parlementer, UUDS-50 menjadi dasar
perjuangannya, yang kemudian diganti dengan UUD-45 di dalam
zaman Demokrasi Terpimpin. Dan yang menjadi pokok perjuangan
Siauw dan Baperki-nya adalah pembangunan “Nasion” Indonesia.
Nation Building – istilah yang kerap dipergunakan oleh Bung Karno
-- bagi Siauw berkaitan dengan kewarganegaraan Indonesia dan
Moto negara, Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak dari mula, Siauw menginginkan sebanyak mungkin orang
Tionghoa menjadi Warga Negara Indonesia. Visi ini didasari
pandangan bahwa bagi sebagian besar penduduk Tionghoa yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya.
Mereka tidak akan bisa nikmat hidup di Tiongkok. Disamping
itu, Siauw-pun berpendapat bahwa dengan menjadi WNI, hak
dan kewajiban mereka lebih terjamin secara hukum. Dan yang
lebih penting lagi, Siauw percaya bahwa dengan menjadikan
sebanyak mungkin orang Tionghoa WNI, proses pembangunan
Indonesia akan dipercepat, karena mereka terdorong berbakti
untuk Indonesia. Oleh karena itu, Siauw selalu memperjuangkan
dipertahankannya UU Kewarganegaraan 1946 yang mengadopsi
sistim Pasif – yang memungkinkan setiap orang yang lahir di
Indonesia diakui sebagai WNI tanpa harus lebih dahulu secara aktif
memilih kewarganegaraan Indonesia.
428
Kesimpulan
Dengan gigih Siauw memperjuangkan keluarnya UU dan
Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan yang menjamin
sebagian besar penduduk Tionghoa kelahiran Indonesia menjadi
WNI. Usahanya ini berhasil menjadikan sebagian besar orang
Tionghoa kelahiran Indonesia, pada tahun 1965, WNI. Pada tahun
60-an dan 70-an, kebenaran visi Siauw bahwa sebaiknya sebagian
besar orang Tionghoa yang hidup di Indonesia itu menjadi WNI,
diakui oleh banyak orang. Kini kenyataannya lebih dari 70%
penduduk Tionghoa di Indonesia adalah WNI.
Siauw sering menyayangkan penggunaan kata “bangsa” dalam
menterjemahkan kata-kata “race’ dan “nation”. Menurutnya kata
“bangsa” dipergunakan untuk kedua hal yang memiliki perbedaan
arti dan makna yang telah menimbulkan kerancuan dan kesalah
pahaman, yang merusak usaha perwujudan “Nasion” yang sesuai
dengan jiwa proklamasi kemerdekaan. “Nasion” yang dikehendaki
para pejuang kemerdekaan terdiri dari berbagai suku bangsa yang
bertekad untuk bersatu dan menjadi isi wilayah Indonesia.
Race adalah pengertian biologis yang mendefinisikan satu
kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri
biologis yang sama. Sedangkan “nation” adalah istilah politik yang
mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan
karena ciri-ciri politik. Menurut Siauw, Indonesian Race – Ras
Indonesia – tidak ada. Yang ada adalah “Nasion” Indonesia, yang
terdiri dari banyak suku bangsa. Dan menurut Siauw, sejak tahun
50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia,
harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa
adalah bagian dari “Nasion” Indonesia.
Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep
integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan
“Nasion” Indonesia – Nasion yang ber Bhinneka Tunggal Ika
– berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku
Tionghoa, menurut Siauw, harus mengintegrasikan diri mereka ke
dalam tubuh “Nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan
ekonomi, sehingga aspirasi “Nasion” Indonesia itu menjadi aspirasi
429
Siauw Giok Tjhan
setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan
bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan
kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya
dalam membangun Indonesia.
Menurut Siauw, kecintaan seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa
diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya,
melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti
untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno
pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan
Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu
mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin
campuran untuk berbakti kepada Indonesia.
Oleh karena itu Siauw menentang konsep assimilasi yang
dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa)
pada awal 1960-an. LPKB mencanangkan assimilasi sebagai
“terapi” penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan assimilasi mereka
bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaannya
dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti
nama ke nama-nama yang tidak berbau Tionghoa dan kawin
campuran. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi
bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas.
Kalau ini dijalankan, mereka menyatakan, lenyaplah diskriminasi
rasial.
Akan tetapi, Siauw tidak menentang proses assimilasi yang
berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang adalah proses
pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan,
karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genocide, seperti
yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.
Sayangnya perdebatan tentang “terapi” penyelesaian masalah
minoritas Tionghoa ini lalu dipengaruhi oleh perkembangan politik
yang kian berpolarisasi di dalam zaman Demokrasi Terpimpin,
sehingga yang ditekankan adalah garis politik. Solusi Integrasi
dikaitkan dengan solusi “kiri” sedangkan Assimilasi, solusi “kanan”.
Karena Baperki didukung oleh Presiden Soekarno, yang
430
Kesimpulan
beraliansi dengan PKI di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, posisi
politiknya lebih kuat dan konsep integrasi-lah yang didukung oleh
Presiden Soekarno.
Baperki memang berkembang sebagai organisasi yang membela
hak-hak orang Tionghoa baik sebagai WNI maupun penduduk
di Indonesia. Yang ditampung oleh Universitas dan sekolahsekolah Baperki sebagian besar adalah orang-orang Tionghoa.
Ini lalu menimbulkan kesan bahwa Baperki berkembang menjadi
sebuah organisasi eksklusif. Tuduhan ini bisa beralasan bilamana
memang kegiatan itu semata-mata untuk golongan Tionghoa, tanpa
memperdulikan masalah Nasional.
Akan tetapi pada kenyataannya, ke”eksklusifan”-nya terbatas
pada sarana pertemuan saja. Baperki menganjurkan para siswa
dan massa-nya untuk meleburkan dirinya ke dalam kegiatan di
berbagai bidang bersama pihak mayoritas, demi kepentingan
Nasional. Para siswa-nya dianjurkan untuk masuk ke IPPI (Ikatan
Pemuda Pelajar Indonesia). Mereka didorong untuk menghayati
kebudayaan Indonesia, sebuah program yang menghasilkan
penari-penari tradisional Indonesia dari suku Tionghoa yang
terbaik. Para anggotanya yang berniat untuk aktif di dalam gerakan
politik dianjurkan untuk masuk Partindo (Partai Indonesia). Jadi
ke”eksklusifan” itu dipergunakan untuk mendidik massa Baperki
untuk berorientasi ke Indonesia – aktif bahu membahu dengan
semua komponen bangsa lainnya dalam membangun Indonesia.
Program Ekonomi
Salah satu sumbangan penting Siauw dalam memformulasikan
program ekonomi Nasional berkaitan dengan anjurannya agar
modal domestik – tanpa memperdulikan siapa dan latar belakang
ras pemiliknya – dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat
dikerahkan untuk membangun ekonomi negara dan mempercepat
kemakmuran rakyat.
431
Siauw Giok Tjhan
Menurut Siauw, pemilik modal domestik memiliki pembawaan
yang sangat berbeda dengan pemilik modal-asing, apalagi yang
bersifat multi-Nasional. Tujuan utama mereka yang memiliki modal
luar negeri adalah mengeruk keuntungan sebanyak mungkin tanpa
memperdulikan kemakmuran atau nasib Rakyat, dan keuntungan
ini ditarik keluar dari Indonesia. Sedangkan mereka yang memiliki
modal domestik, hidup di Indonesia dan akan memutarkan
keuntungan yang diperolehnya di Indonesia, bilamana memang
program politik dan ekonomi pemerintah mendorongnya.
Dengan demikian, ia berpendapat, sebaiknya pemerintah lebih
mengutamakan usaha untuk mengembangkan modal domestik
daripada bersandar pada “bantuan” luar negeri, termasuk IMF.
Kebijakan ini diadopsi oleh pemerintah RI mulai tahun 1963 dan
masuk pula dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) – MPRS.
Baperki dan Siauw Komunis?
Baperki dan Siauw oleh musuh-musuh politiknya dikatakan
komunis. Di zaman Orde Baru, semua hal yang berkaitan dengan
Baperki dan Siauw di-komuniskan. Bahkan, “terapi” integrasi yang
dicanangkan oleh Siauw-pun dikatakan sebagai “terapi” komunis.
Oleh sementara tokoh LPKB seperti Sindhunatha dan Junus Jahja,
Siauw dianggap berdosa karena telah “mengajak” massa-nya dan
golongan Tionghoa secara keseluruhan untuk berkiblat ke komunis
sehingga setelah pergantian politik pada tahun 1965, golongan
Tionghoa secara keseluruhan mengalami malapetaka. Pimpinan
LPKB-pun mengklaim bahwa mereka-lah yang “menyelamatkan”
golongan WNI keturunan Tionghoa dari malapetaka dengan
menunjukkan kedekatan mereka dengan Angkatan Darat dan
politik anti-Komunis dan anti-RRT yang dianutnya. Mereka juga
menuntut masyarakat untuk membedakan WNI Tionghoa dengan
Tionghoa totok dengan anjuran menunjukkan kemarahan dan
serangan ke RRT dan Tionghoa totok.
Sebagai akibat dari tindakan meng-komuniskan Baperki itu,
432
Kesimpulan
Baperki dibubarkan; tokoh-tokohnya, termasuk Siauw, ditangkap
dan meringkuk di dalam penjara berbelas tahun tanpa proses
pengadilan apapun – mereka yang tidak ditangkap dijadikan korban
pemerasan teror, Universitas-nya dibakar dan kemudian diambil
alih (kini dinamakan Trisakti), dan sekolah-sekolahnya dijadikan
sekolah-sekolah negeri.
Stigma yang berkaitan dengan tuduhan bahwa Baperki dan
Siauw komunis itu memang masih melekat dalam benak banyak
orang, sampai sekarang. Akan tetapi pengamatan sejarah yang
kritis akan menyimpulkan bahwa tuduhan LPKB yang kemudian
dijadikan versi resmi rezim Orde Baru itu, tidak beralasan.
Pidato-pidato, tulisan-tulisan Siauw Giok Tjhan, juga dokumendokumen Baperki tidak pernah mencanangkan komunisme sebagai
objektif perjuangan politik mereka. Yang didambakan oleh Siauw
adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia yang
diformulasikan Presiden Soekarno dan yang sesuai dengan UUD45.
Memang ada orang-orang Komunis di dalam tubuh Baperki. Akan
tetapi terdapat juga para anggota partai-partai Islam, Nasionalis,
Katolik dan Kristen di dalamnya. Perlu diingat bahwa pada zaman
Demokrasi Terpimpin, setiap organisasi politik dianjurkan untuk
mengandung elemen Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis)
dan pada waktu itu, PKI, bukan saja resmi berdiri tetapi juga
merupakan salah satu partai terbesar. Siauw sendiri tidak pernah
menjadi anggota PKI.
Program ekonomi Siauw menganjurkan dipertahankannya
sistim kapitalisme yang memungkinkan pengembangan modal
domestik untuk pembangunan ekonomi Nasional. Paham ini jelas
bertentangan dengan paham komunisme.
Massa Baperki terdiri dari orang-orang yang berasal dari kelas
menengah bawah. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang
kecil-menengah, yang jelas tidak bisa begitu saja menerima paham
komunisme.
Memang Baperki di akhir zaman Demokrasi terpimpin jelas
433
Siauw Giok Tjhan
mendukung Presiden Soekarno, jadi berpijak di dalam kamp aliansi
Soekarno dan PKI. Ia memang dekat dengan Soekarno dan tokohtokoh PKI. Akan tetapi, ia tidak kalah dekatnya dengan tokoh-tokoh
Nasional lainnya yang dikenal sebagai musuh-musuh PKI.
Dosa Baperki dan Siauw?
Dapatkah malapetaka yang dialami oleh banyak orang Tionghoa
di Indonesia setelah Oktober 1965 dikaitkan semata-mata dengan
kebijakan politik Siauw dan Baperki, seperti yang dikatakan oleh
tokoh-tokoh LPKB? Pengamatan yang jujur akan menyimpulkan
bahwa pernyataan ini tidak benar.
Perkembangan politik di akhir zaman Demokrasi Terpimpin
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno memang menimbulkan
ketegangan politik yang tidak lepas dari pengaruh politik Uni
Soviet dan Amerika Serikat. Kedekatan pemerintah RI dengan
RRT dengan sendirinya mengkhawatirkan kedua super-powers
yang ingin merealisasi politik mengisolasi RRT. Kesempatan untuk
menghantam semua yang berhubungan dengan RRT itu timbul
ketika Jendral Soeharto secara bertahap merenggut kekuasaan
pemerintah dari tangan Presiden Soekarno pada akhir tahun 1965/
awal 1966. Gerakan anti-komunis yang dipimpin oleh Soeharto ini
lalu mengikut sertakan politik anti-RRT dan anti Tionghoa yang
membuahkan pogrom anti Tionghoa yang ganas. Kiri atau tidak
kirinya Baperki dan Siauw, bahkan ada atau tidak adanya Baperki
dan Siauw dalam kancah politik sebelum gerakan anti-Komunis itu
dilangsungkan pada akhir tahun 65/awal 66, tidak akan sedikitpun
mempengaruhi keberlangsungan gerakan anti-Tionghoa itu.
Walaupun beberapa bekas tokoh LPKB menyatakan bahwa
mereka telah berhasil menyelamatkan golongan Tionghoa dari
musibah yang lebih hebat pada awal zaman Orde Baru, mungkin
tanpa mereka sadari, mereka telah melempar “bensin” ke api anti
Tionghoa yang sedang membara di masa itu. Mereka menganjurkan
berbagai kebijakan assimilasi dalam bentuk menghantam RRT
434
Kesimpulan
dan Tionghoa totok yang berkiblat ke RRT, melarang penggunaan
bahasa Tionghoa, melarang melakukan ibadah Tionghoa,
“memaksa” penggantian nama secara massal. Kesemuanya ini
malah melahirkan berbagai kebijakan rasis yang lebih mengisolasi
golongan Tionghoa yang seyogyanya diajak untuk berbakti kepada
Indonesia. Setelah assimilasi “dipaksakan” selama 32 tahun di
zaman Orde Baru, masalah Tionghoa semakin parah – klimaks-nya
dirasakan pada bulan Mei 98 – dan jelas tidak memenuhi harapan
para pencetusnya.
Ke depan
Pengalaman Baperki dan Siauw menunjukkan bahwa:
a.
Golongan Tionghoa perlu memilki sebuah organisasi
yang bisa membela kepentingannya di arena politik. Organisasi
ini, seperti Baperki, harus memiliki program Nasional yang
diterima dan didukung oleh tokoh-tokoh Nasional. Program kerja
organisasi ini harus mengikut sertakan pendidikan politik yang
bisa mendorong golongan Tionghoa untuk mengintegrasikan
dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia tanpa menghilangkan
ke Tionghoaannya dan mendorong mereka untuk berbakti
sepenuhnya demi kepentingan Indonesia, di bidang politik,
sosial dan ekonomi.
b.
Golongan Tionghoa juga perlu memiliki wakilwakilnya di dalam partai-partai politik yang berpengaruh,
sehingga bisa mempengaruhi program-program para partai
tersebut – yang menjamin hilangnya program politik yang
bersifat rasis.
c.
Dalam waktu bersamaan, golongan Tionghoa harus
memiliki wakil-wakil di badan-badan legislatif dan eksekutif
tertinggi sehingga penghapusan UU yang bersifat rasis bisa
diperjuangkan dan diubah dengan UU yang konstruktif
mengajak semua komponen bangsa untuk membangun
435
Siauw Giok Tjhan
Indonesia.
d.
Golongan Tionghoa perlu aktif dalam bergerak
di “grass-roots” level dan berjuang mempercepat proses
pembangunan Nasion Indonesia. Keinginan untuk berpihak
pada Rakyat terbanyak, Menunggal dengan Rakyat, tidak
semata-mata pada pihak penguasa, harus diperbesar.
Diharap buku Siauw Giok Tjhan ini bisa meluruskan sejarah
yang telah dipalsu selama ini, sehingga berbagai kebijakan yang
dicanangkan oleh Siauw dan Baperki dipelajari secara lebih objektif.
Bilamana kebijakan-kebijakan itu dianggap relevan, hendaknya
diterapkan dalam membangun Nasion Indonesia untuk kebaikan
Rakyat Indonesia secara keseluruhan.
436
Amanat Bung Karno - 1963
AMANAT BUNG KARNO
Pidato Presiden Soekarno pada pembukaan Kongres
Nasional ke-8 BAPERKI di Istana OIah Raga Gelora Bung
Karno pada 14 Maret 1963.
BAPERKI SUPAYA MENJADI SUMBANGAN BESAR TERHADAP
REVOLUSI INDONESIA
Saudara-Saudara dan Anak-Anakku sekalian,
Lebih dahulu saya menyatakan terima-kasih saya serta rasa
haru hati saya berhubung dengan dibuatnya dan dinyanyikanaya
lagu “Hidup lah Bung Karno” yang beberapa detik yang lalu kita
bersama telah mendengar. Terima kasih. Di samping mengucapkan
terima kasih itu saya menyatakan kekaguman saya atas kemahiran
komponis lagu itu, yang dari Saudara Siauw Giok Tjhan saya
mendengar bahwa komponisnya ialah seorang puteri, komponiste,
yaitu Saudari Evie Tjoa. Terima kasih.
Saudara-Saudara sekalian, sekarang saya diminta untuk memberi
sambutan amanat sekadarnya kepada resepsi pembukaan Kongres
Baperki yang ke-8 ini.
Tadi Bapak Roeslan Abdulgani telah berkata, bahwa beliau
bicara sebagai voorrijder dari saya. Saudara tahu, kalau saya resmi
sebagai presiden berkendaraan mobil ke sesuatu tempat, lantas
ada voorrijdernya. Orang-orang yang mendahului perjalanan mobil
saya itu untuk membuka jalan, voorrijder. Malah ada yang lebih lagi
mendahului perjalanan saya, itu bukan voorrijder, tetapi sweeper,
penyapu bersih.
Presiden harus diadakan voorrijder, harus diadakan sweeper.
Sering saya berkata, mbok ya zonder voorrijder, zonder sweeper,
tidak perlu pakai sirene mengaung-ngaung. Tetapi anggota-anggota
pemerintah dan semua staf Istana berkata: “Menurut aturan harus
demikian, Pak.” Jadi, ya, saya nurut saja. Maunya itu kadang-kadang
437
Siauw Giok Tjhan
saya mau ngluyur sendiri, Saudara-Saudara, tapi tidak boleh! Selalu
harus dengan voorrijder, harus dengan sweeper.
Nah, ini tadi Pak Roeslan bicara, kata beliau, sebagai voorrijder
saya. Pada waktu saya mendengar pidato Pak Roeslan, saya kok
ingat kepada kerbau dan gudel. Tahu gudel itu apa? Anak kerbau.
Anak kerbau itu dalam bahasa Jawa dinamakan gudel. Anak ayam
dinamakan kuthuk. Anak ikan bandeng dinamakan nener. Anak
kuda dinamakan belo. Dalam bahasa Jawa anak kerbau dinamakan
gudel. Ada peribahasa Jawa “kebo nyusu gudel”, kerbau menyusu
kepada anaknya sendiri. Kerbau menyusu kepada gudel, kepada
anaknya sendiri.
Pak Roeslan itu dulu murid bapak, murid saya. Terutama sekali
di dalam ilmu politik. Waktu belakangan ini, beberapa tahun
belakangan ini tiap kali saya mendengar Cak Roeslan Abdulgani
berpidato, saya mendapat perasaan, wah ini, gudelnya ini bukan
main! Gudel ini ngalahkan kebo! Tapi saya senang dan bergembira
atas hal yang demikian itu, moga-moga malahan Cak Roeslan
dari gudel Menjadi lah banteng iang sehebat-hebatnya! Dan juga
pemuda-pemuda, pemudi-pemudi yang duduk di situ supaya
semuanya menjadi banteng-banteng Indonesia!
Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan pembukaan
kongresnya yang ke-8, masuk tahun yang ke-10, kata Cak Siauw.
Dengan lentong Jawa Timur Cak Siauw tadi berkata, Baperki
sekarang masuk usia yang ke-10. Jawa Timur-nya Cak Siauw,
“Demokrasi Terpempin”. Malah mengeluarkan perkataan tiap- tiap
kali yang dimaksudkan itu alasan, beliau berkata “Alesan.” .....
Oo, itu dapat dari mana itu, perkataan “alesan”?!
Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan kongres yang
ke-8, saya diundang datang di sini. Jauh-jauh sebelum ada kongres
ini, dan pada waktu pertama kali ditanya kepada saya: “Sudi apa kah
kiranya PYM Presiden datang di kongres Baperki?” Saya menjawab,
mau. Insya Allah, mau. Apa sebab? Sebabnya ya, Baperki itu satu
perkumpulan yang baik. Baperki tegas berdiri di atas Pancasila.
438
Amanat Bung Karno - 1963
Baperki tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan
Rakyat. Baperki tegas berdiri di atas Manipol-Usdek dan lain-lain
sebagainya. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh
karena itu saya datang.
Ya, kita sekalian ini sebenarnya, Saudara-Saudara, untuk
menyelesaikan Revolusi. Kalau, baik Nyonya Lie maupun Cak Siauw
berkata: “Bung Karno yang tercinta”, saya mengerti itu sebenarnya
bukan tercinta kepada persoon saya, meski pun hal ini ada ceritanya
ini. Tetapi tercinta, cinta kepada Revolusi Indonesia, yang saya ini
oleh MPRS dijadikan Pemimpin Besar Revolusi. Dan saya pernah
berkata, saya tidak menganggap diri saya menjadi pemimpin. Saya
tidak lah mengangkat diri saya menjadi Pemimpin Besar Revolusi.
Tidak!
Di dalam salah satu pidato saya berkata, bahwa pemimpin itu,
pemimpin yang pemimpin, bukan karena angkatan sendiri, tidak.
Tetapi dia itu adalah perasan wartawan, perasan! Dulu ada wartawan
yang menulis perasaan, bukan, perasan, diperas..nah keluar. Satu
Rakyat berjoang, dalam perjoangan itu seperti memeras. Nah,
keluar lah pemimpinnya. Pemimpin yang benar pemimpin adalah
perasan dari perjuangan.
Saya, Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Pemimpin Besar Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah
salah satu perasan dari Revolusi itu. Maka oleh karena itu manakala
Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada
saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah
Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk
menyelesaikan Revolusi Indonesia.
Nah, Baperki itu demikian. Berulang-ulang Baperki berkata, aktif
menyelesaikan Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas segala hal
yang mengenai Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas Pancasila,
tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk menyelesaikan
Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu saya dengan gembira
dan senang hati datang di kongres-resepsi Baperki ini.
Saudara-saudara, saya ini diangkat menyadi Presiden Republik
439
Siauw Giok Tjhan
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. UndangUndang Dasar 1945 itu begini, Saudara-saudara. Pada 17 Agustus
1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan Timur yang sekarang
berdiri di sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Poa itu ada tugu,
tugu itu ditaruh persis di tempat yang dulu saya injak membacakan
Proklamasi itu. Jadi kalau Saudara-Saudara ingin mengetahui
tempat yang saya membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945, tugu
Pegangsaan Timur 56 itu lah tempatnya.
Di atas tugu itu diadakan gambarnya petir, gambar bledek,
oleh karena di tempat itu dulu dibacakan naskah proklamasi. Dan
naskah proklamasi itu memang boleh dikatakan petir, geledek,
yang didengarkan oleh lima benua dan tujuh samudera!
Tempo hari saya pernah pidato, nama Indonesia itu terkenal
dan termasyhur, pertama kali pada tahun 1883, tatkala gunung
Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah pertama kali mengorbitkan
batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau meledak, batu dan
pasirnya disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam
orbit mengelilingi dunia bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim
waktu senja, sore, langit di Amerika, langit di Eropa kelihatan
warna dari pengorbitan batu-batu dan pasir-pasir Indonesia itu.
Pada 1883 pertama kali Indonesia mengagumkan dunia.
Kemudian di dalam pidato, yaitu pidato Front Nasional 13
Februari yang lalu saya berkata, ke dua kalinya nama Indonesia
termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah, Saudara-Saudara, saya
menghendaki agar supaya nama Indonesia itu sering menjadi
sebutan orang di dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan
Indonesia yang jelek, tidak, tetapi hendaknya karena perbuatanperbuatan bangsa Indonesia, Rakyat Indonesia sebagai mercusuar,
kataku, dari umat manusia di dunia ini.
Saudara-Saudara, di dalam keadaan yang demikian itu lah kita
sekarang ini berada, kita telah dapat memasukkan Irian Barat ke
dalam wilayah kekuasaan Republik, akan nanti terlaksana pada
tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal puluhan hari lagi. Itu pun
seperti satu ledakan dari gunung Krakatau, dilihat dan disaksikan
440
Amanat Bung Karno - 1963
oleh seluruh dunia. Kita telah dapat menyelesaikan soal keamanan
dalam garis besarnya.
Tinggal satu yang belum, yaitu program ke tiga dari Tri-program
Pemerintah, Sandang-pangan. Dan di sini kita sekalian harus
mencurahkan kita punya tenaga agar supaya soal sandang-pangan
ini lekas bisa terpecahkan.
Dan tadi Pak Roeslan, Cak Roeslan, telah menggambarkan pada
Saudara-Saudara, tekad daripada Pemerintah Republik Indonesia,
bahwa Republik Indonesia, Pemerintahnya tetap memegang teguh
kepada Tri-program ini. Tetap hendak menyelesaikan Tri-program
ini. Tetap dus akan menyelesaikan program ke tiga dari Tri-program
yang berbunyi sandang-pangan. Bukan meninggalkan Tri-program
ini, tetapi tetap berpegang teguh kepada Tri-program ini sambil
meng-integrasikan segenap tenaga Rakyat, apa yang dimaksudkan
oleh Panca Program Front Nasional.
Nah ini, maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong,
bukan saya menyokong, bahkan ikut serta, ingin ikut serta, ingin
dibawa ikut serta di dalam pelaksanaan Panca Program Front
Nasional itu, maka saya merasa amat sekali berbahagia dan
memberi restu saya kepada Baperki.
Saya tadi berkata, saya berpidato di sini bukan saya sebagai Bung
Karno yang tercinta, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia,
Presiden dari Republik Indonesia, yang di dalam Undang-Undang
Dasar 45 --saya tadi belum ceritakan, dibacakan Proklamasi tanggal
17 Agustus 45. Keesokan harinya, 18 Agustus 45, diterima lah
dengan resmi oleh Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD 45. Jadi
UUD 45 itu sebetulnya resmi lahirnya pada tanggal 18 Agustus 1945.
Nah, Di dalam UUD 45 ini ada ditullis satu hal. Dan hanya sekali itu
disebut, Saudara-Saudara, perkataan “asli”, yaitu bahwa Presiden
Republik Indonesia harus seorang Indonesia “asli”. Dituliskan di
dalam UUD 45, Presiden harus orang Indonesia “asli”. Saya dianggap
orang Indonesia “asli”. Garis tiga di bawah perkataan “dianggap”
itu. Nah, taruh garis tiga di bawah perkataan “dianggap”. Dianggap,
441
Siauw Giok Tjhan
strip, strip, strip, “drie strepen onder dat woord” ‘dianggap’ orang
Indonesia asli.
Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa
kowe iki bener-bener “asli”? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia.
Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep (tidak
tahu--red.). Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa
menunjukkan “asli” atau tidak “asli” dari darahnya itu. Saya ini
tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap “asli”. Tetapi mungkin saya
itu juga 10%, 5%, 2%, ada darah Tionghoa di dalam badan saya ini!
Kalau melihat sifat saya, Saudara-Saudara, saya ini sedikitsedikit rupa Tionghoa. Nah, terang-terangan, saya ini kan rupanya
saya sudah kelihatan sedikit Tionghoa! Lain dengan Cak Roeslan,
sedikit Keling dia itu! Jadi siapa bisa menyebutkan dirinya “asli”
atau tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara.
Kalau melihat jaman dekat saya, Saudara-Saudara, jaman dekat,
saya ini adalah anak hasil perkawinan dari orang suku Jawa dengan
orang suku Bali. Ibu saya itu orang Bali, bapak saya orang Jawa. Saya
sudah belasteran antara Bali dan Jawa. Belasteran. Ya maklum, Cak
Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa Timuran, arek
Suroboyo!
Ibu saya itu orang Bali. Katanya orang Bali itu ada darah dari
Majapahit. Majapahit itu ada darah dari Hindu. Bahkan orang
Majapahit itu banyak sekali turunan dari Campa, Saudara-Saudara.
Barangkali Saudara-Saudara pernah baca di dalam kitab sejarah, di
Majapahit itu banyak sekali puteri-puteri dari Campa. Putri Cempo,
kata orang Surabaya. Jadi mungkin di dalam tubuh ibu itu sudah
mengalir darah Campa. Saya pun katanya dari suku Jawa, tapi bapak
itu siapa tahu, campuran, campuran.
Ayo, aku tanya kepada Saudara yang duduk di sini dengan dasi
yang baik itu. Apa Saudara bisa mengatakan dengan jelas, darah
apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa.
Maka itu, Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai
persoon, saya sendiri tidak tahu “asli” atau tidak “asli” itu. Saya
442
Amanat Bung Karno - 1963
sendiri tidak mengadakan perbedaan antara “asli” dengan tidak
“asli”. Tidak.
Saya mau cerita satu rahasia, tatkala saya masih muda, SaudaraSaudara, hampir-hampir saya ini kawin dengan orang Nio! Saya
cuma sebut nama, she-nya tidak saya sebutkan. Saya tidak sebutkan
she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja. Tapi,
yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial, alam pramerdeka. Orang tuanya Thiam Nio --she-nya tidak saya sebutkan-dia berkata: “Masak kawin sama orang Jawa!” Saya dikatakan orang
Jawa. Sepihak dari orang tua saya berkata: “Masak kawin sama
orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!”
Alam demikian pada waktu itu, sehingga tidak terjadilah
perkawinan antara Sukarno dengan Thiam Nio itu. He, tapi satu
rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara, saya sendiri tidak berdiri
di atas “asli” atau tidak “asli”, tidak, tidak, sama sekali tidakl
Karena itu maka saya pada tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita
mengadakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahkan
pada waktu itu di bawah ancaman bayonet Jepang, SaudaraSaudara, saya telah ucapkan “Lahirnya Pancasila”, yang tadi
diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan Abdulgani.
Lantas Cak Roeslan Abdulgani bertanya kepadamu sekalian, engkau
anggota-anggota Baperki, apa kah betul-betul engkau memegang
teguh kepada nasionalisme?! Memegang teguh kepada Pancasila?!
Sebagai diucapkan beberapa kali.
Jawab Saudara-Saudara sekalian ialah, ya, kita berpegang teguh
kepada Pancasila. Kita oleh karenanya cinta kepada tanah-air,
bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai ke Merauke.
Di dalam “Lahirnya Pancasila” memang saya terangkan hal
yang demikian itu. Saya citeer Ernest Renan. Kemudian saya
koreksi. Ernest Renan adalah terlalu sempit. Saya koreksi dengan
Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa “Eine nation ist eine aus
Schickselgemeinschaft
erwachsene
Karaktergemeinschaft”,
sebagai yang diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun
443
Siauw Giok Tjhan
saya koreksi, saya bawa lanjut kepada persatuan dari tanah-air,
hubungan antara manusia dengan buminya
Itu tahun 45, Saudara-Saudara. Sekarang bagi saya sendiri,
bahkan lebih dari itu. Saya adalah nasionalis Indonesia. Saya
adalah orang Indonesia. Saya adalah pencinta bangsa dan tanahair Indonesia ini, bukan hanya oleh karena nasionalisme-ku adalah
satu jiwa ingin bersatu, Renan, ‘le desir d’etre ensemble’ yaitu
keinginan untuk bersatu. Ingin kah kita bersatu ini, aku dengan
engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan
engkau, dengan kita sekalian dari Sabang sampai Merauke? Lebih
dari itu, kataku.
Otto Bauer berkata, bahkan sekadar ingin bersatu, bukan
sekadar satu jiwa, un ame, artinya jiwa, tidak. Bukan sekadar itu,
tetapi adalah persatuan perangai. Karaktergeimeinchaft. Kita
mempunyai kepribadian sendiri, karakter, karakter Indonesia.
Adakah engkau dari kepribadian ini?! Adakah engkau dari karakter
ini? Adakah karaktermu, karakterku, karaktermu sama? Lebih dari
itu sekarang, Saudara-Saudara.
Di dalam “Lahirnya Pancasila” sudah saya tambahkan lagi
persatuan antara manusia dengan buminya, yang bumi Indonesia
ini oleh Tuhan Yang Maha Esa telah dikumpulkan menjadi satu
antara dua benua dan dua samudra. Ini satu petunjuk. Dan bukan
saja itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di bumi ini, kita akan
mati di bumi ini. Adakah persatuan antaramu dengan bumi yang
disatukan oleh Tuhan ini dari Sabang sampai ke Merauke? Satu
pernyataan pula.
Sekarang aku tambah lagi, bagiku sendiri bukan sekadar
persatuan antaraku dengan bumiku, dengan Sabangku, dengan
Sumtateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan Baliku,
dengan Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan
Irian Baratku, tidak. Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu,
mu, mu, mu, dengan geografi yang bernama Indonesia. Tidak.
Aku sudah naik kelas yang lebih tinggi dari itu, naik kelas
444
Amanat Bung Karno - 1963
kepada apa yang saya pernah ucapkan di sini, di gedung ini, Sport
Hall Senayan, bahwa bagiku Indonesia adalah sudah lebih lagi
daripada satu geografi, bahwa bagiku Indonesia sudah lebih lagi
daripada rasa d’etre ensemble, bahwa bagiku Indoaesia sudah
lebih daripada satu Karaktergemeinschaft. Sebab apa, kataku?
Aku berkata secara poetis di dalam pidatoku itu waktu, kalau aku
mencium, Indonesia. Kalau aku berdiri di pinggir pantai selatan
dan aku menutupkan aku punya mata dan aku mendengarkan
lautan sana itu berombak, bergelora membanting di pantai itu, aku
mendengarkan Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak
di atas gunung Tangkubanprahu, aku melihat awan-awan Indonesia,
yang lain dengan awan-awan di Switzerland atau awan-awan di
Amerika. Kalau aku mendengarkan burung perkutut menyanyi
di pepohonan, aku mendengarkan Indonesia. Kalau melihat sinar
matanya anak-anak yang berdiri di pinggir jalan, sinar mata anakanak yang berteriakkan “Merdeka Pak, Merdeka, Merdeka”, aku
melihat Indonesia. Bahkan aku melihat hari depan Indonesia.
Indonesia bagiku adalah sudah satu totaliteit bukan sekedar
satu geografi, bukan sekedar satu desir d’etre ensemble, bukan
sekedar satu Gemeinschaft karakter. Nah, Indonesia sudah satu
totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi Indonesia.
Laut, laut Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia.
Suara burung, burung Indonesia. Sinar mata manusia, sinar mata
Indonesia. Segala angin yang berbisik mengelilingiku ini, angin
Indonesia. Dan itu semuanya kucintai.
Nah, aku bertanya kepada anggota-anggota Baperki, sudah kah
Saudara-Saudara sekalian demikian? Sebab kita ini semuanya
sudah seia-sekata mengabdi Revolusi, mengabdi kepada Amanat
Penderitan Rakyat yang harus dilaksanakan berdasarkan atas
Manipol, berdasarkan atas Usdek, dan lain-lain sebagainya.
Persatuan Bangsa yang saya sebutkan berulang-ulang itu
sebenarnya sekedar alat, Saudara-Saudara. Saya berkata di JAREK.
JAREK itu singkatan dari “Jalannya Revolusi Kita”, yang saya katakan
seperti malaikat, di dalam JAREK saya sudah berkata, persatuan
445
Siauw Giok Tjhan
adalah mutlak, absolut untuk mencapai tujuan kita. Jikalau kita
benar-benar hendak menyelesaikan Revolusi kita, kita harus
bersatu. Jikalau kita hendak benar-benar ingin menjadi mercusuar
didalam hidup manusia di dunia ini, kita-harus. bersatu. Dan di
dalam hal persatuan ini saya berkata, saya menghendaki supaya
di dalam persatuan segala unsur bangsa Indonesia itu disatukan.
Suku apa pun, ya suku Sumatera, ya suku Jawa, ya suku Kalimantan,
ya suku Bali, ya suku apa pun, bersatu lah. Agama apa pun yang
dipeluk oleh rakjat Indonesia ini, bersatu lah, dan jangan lah
berpecah-belah di atas perlainan-perlainan agama itu. “Asli” atau
tidak “asli”, bersatulah. Persatuan adalah mutlak, Saudara-Saudara.
Nah, maka oleh karena itu di dalam kita sekarang hendak
melanjutkan Revolusi kita ini berlandaskan Manipol dan Usdek,
dalam hal ini saya berkata, persatuan tetap mutlak, maka saya
menghendaki agar supaya seluruh warga negara, tanpa perbedaan
“asli” atau tidak “asli”, tanpa perbedaan agama, tanpa perbedaan
suku, semuanya di-Manipol-kan; semuanya kita mengerjakan
Manipol dan Usdek itu!
Sampai kepada sekolah-sekolah, jangan pun universitasuniversitas, kepada sekolah-sekolah yang sedang melatih kita
punya cindil-cindil abang (anak tikus --red.). Saudara-saudara,
harus sudah di-Manipol-kan. Cindil-cindil kita yang duduk di
bangku sekolah, Manipol-kan. Apalagi yang sudah gerang-gerang
(besar), tua bangka seperti kita ini, Manipolkan semuanya! Nah
itu lah, Saudara-Saudara, sebabnya, maka saya di sini pun minta
kepada Baperki supaja bekerja keras di lapangan ini. Sekarang ini,
sebagai tadi sudah saya katakan, Tri-program pemerintah itu satu
belum terlaksana. Sandang-pangan. Dan memang ini adalah satu
soal yang sulit, tetapi harus kita atasi. Dan sebagai dikatakan oleh
Cak Roeslan tadi, pemerintah, dan terutama sekali presidennya,
perdana menterinya, Bung Karno-nya telah berketetapan hati
untuk terutama sekali berdiri di atas pengerahan tenaga Rakyat.
Oleh karena itu maka Panca Program Front Nasional yang
sudah saya katakan harus dilaksanakan oleh Front Nasional itu
446
Amanat Bung Karno - 1963
di-integrasikan di dalam usaha kita melaksanakan Tri-program
Pemerintah ini. Baperki saya harap benar-benar membantu
terlaksananya Panca Program Front Nasional itu, oleh karena dengan
terlaksananya Panca Program Front Nasional, kita membantu juga
terlaksananya seluruh Triprogram Pemerintah.
Saudara-Saudara, Revolusi berjalan terus, dan Revolusi kita ini
sebagai yang sudah saya katakan bukan Revolusi kecil-kecilan,
Revolusi Panca-muka kataku, bahkan jikalau dipikir lebih luas,
sebetulnya kataku, pada waktu aku berpidato kemarin-kemarin
dulu---apa waktu itu ya, di Istana Negara, seminar Hukum Nasional-sebetulnya Revolusi kita ini bukan lagi Panca-muka, panca itu lima,
bukan cuma lima, yaitu Revolusi Politik, Revolusi Nasional, Revolusi
Ekonomi, Revolusi Sosial, Revolusi membentuk Manusia Baru, lima,
tidak, sebenarnya Revolusi kita itu ada lebih dari lima muka. Maka
boleh dikikatakan Revolusi Sapta-muka, sapta itu artinya tujuh.
Bisa dinamakan hasta-muka, hasta itu delapan. Boleh dinamakan
dasa-muka, dasa yaitu sepuluh.
Pendek kata Revolusi kita ini adalah benar dikatakan satu
Revolusi multi-kompleks. “A summing up of many Revolutions in
one generation”.
Revolusi Indonesia itu adalah satu “nation building” Indonesia
yang sehebat-hebatnja. Itu, nation building Indonesia yang sehebathebatnya. Dan didalam hal usaha nation building itu, segala unsurunsur daripada nation building harus dilaksanakan. Apa unsur
nation building? Bukan sekadar soal ekonomi bukan sekadar soal
politik, bukan sekadar soal kultur, bukan soal nama, tidak nation
building adalah satu pekerjaan yang multi-kompleks pula. Tujuan
dari Revolusi Indonesia adalah nation building Indonesia. Nation
building bukan didalam arti yang sempit, sekadar membentuk satu
“nation” Indonesia. Tidak lebih dari itu pula.
Nation Indonesia yang bahagia, nation Indonesia yang
berkepribadian tinggi, nation Indonesia yang hidup di dalam satu
masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par
l’homme. Nation building dalam arti yang seluas-luasnya. Nah, ini
447
Siauw Giok Tjhan
yang kita kerjakan sekarang ini, Saudara-Saudara. Oleh karena itu
saya berkata, jangan lah kita, jikalau kita hendak mendirikan nation
Indonesia dalam arti yang luas itu, jangan kita masih berdiri di atas
dasar-dasar yang usang, yang tadi disebutkan oleh Pak Roeslan
Abdulgani.
Sudah pernah saya terangkan, kekuasaan imperialisme dulu
di Indonesia apa? Negeri Belanda yang pada waktu itu Rakyatnya
hanya 6 juta, telah mengalahkan satu bangsa yang 40 juta. 6 Menjadi
7, 40 menjadi 50. 7 Menjadi 8, 50 menjadi 70. 8 juta menjadi 9 juta,
sini menjadi 80 juta. Sekarang di sana 10 juta, sini 100 juta.
Pada waktu, imperialisme Belanda mengekang, mengereh,
mengalahkan Indonesia, Rakyat kecil mengalahkan Indonesia
dengan apa? Saya sudah berkata, baca lah kitab dari Sir John Seeley.
He, mahasiswa-mahasiswi, Sir John Seeley, menulis satu kitab
yang ia beri judul ‘The Expansion of England”. Dan di situ persis
ia terangkan juga, bangsa Inggris di India itu berapa orang? Hanya
40 ribu orang Inggris di India bisa mengalahkan satu Rakyat yang
230 juta orang. 40 ribu mengalahkan 230 juta orang, dengan apa?
Dengan alat-alat terutama sekali memecah-belah bangsa India itu,
divide and rule, divide et impera.
Persis di sini pun terjadi demikian. Di sini pun berjalan
pemecah- belahan. Di sini pun berjalan divide and rule. Oleh
karena itu pernah saya beberkan segala usaha dari imperialisme
ini dengan berkata, kekuasaan imperialisme itu ada dua macam.
Dalam bahasa asingnya machtsfactor. Macht yaitu kekuasaan.
Factor kekuasaan imperialisme itu dua macam. Ada yang riil,
ada yang abstrak. Ada yang bisa dilihat, bisa diraba, ada yang tak
bisa dilihat, tidak bisa diraba. Yang riil yaitu machtsfactor, power
factor yang riil. Apa itu? Angkatan perangnya, polisinya, penjarapenjaranya, bedil-bedilnya, meriam-meriamnya, itu ada lah power
factor, machtsfactor yang riil. Tapi ini tidak besar, Saudara-Saudara;
lebih besar daripada machtsfactor yang riil ini adalah machtsfactor
yang abstrak, yang tidak bisa dilihat, yang tidak bisa diraba. Dan
machtsfactor yang abstrak ini apa kah, Saudara-Saudara? Terutama
448
Amanat Bung Karno - 1963
sekali ialah divide and rule policy, pemecah-belahan suku dihasut
benci kepada suku yang lain. Tidak ada persatuan, tidak boleh
ada persatuan antara suku-suku Indonesia. Dan tidak boleh ada
persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisah-pisahkan
mayoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci
kepada mayoritas dan dibuat mayoritas ini benci kepada minoritas.
Kalau Saudara ingin mengetahui terjadinya minoritas, yang
dinamakan minoritas Peranakan Tionghoa, minoritas Tionghoa
di Indonesia ini, pemuda-pemuda, baca lah kitabnya Prof de Haan.
Prof de Haan menulis kitab tebal, tiga jilid, titelnya yaitu “Priangan”,
ditulis oleh Prof de Haan. Dan di situ Prof de Haan menerangkan,
bahwa pihak Belanda dari jaman Jan Pieterszoon Coen membentuk
satu minoritas untuk kepentingan mereka itu. Satu minoritas yang
terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Peranakan Tionghoa.
Dengan sengaja dipisahkan dari mayoritas. Dengan sengaja
dipergunakan untuk kepentingan pihak Belanda sendiri. Dan ini
merembes terus-menerus sampai jaman yang akhir-akhir ini, rasa
tidak senang antara minoritas dan mayoritas, mayoritas terhadap
minoritas. Sampai-sampai yang Thiam Nio itu tadi tak bisa kawin
dengan Bung Karno! Ya, dari pihaknya tidak mau, tidak boleh kawin
sama orang Jawa, dari pihak saya pun tidak boleh kawin dengan
Peranakan Tionghoa.
Saudara-Saudara, bagaimana pun juga ini adalah akibat dari
kolonialisme, akibat dari imperialisme. Maka oleh karena itu,
Saudara-Saudara, kita di dalam Republik Indonesia, di dalam alam
baru ini kita harus sama sekali tinggalkan dasar yang salah ini.
Kita membentuk nation Indonesia yang baru, yaitu sebetulnya
pun kelima dari Panca-muka Revolusi Indonesia ini. Dan di dalam
hal ini Baperki bisa bekerja keras, bisa memberi sumbangan yang
sebesar-besarnya.
Terus terang saya, Saudara-saudara, saya pernah bicara dengan,
bukan saja bicara, saya pernah berada di beberapa negara sosialis.
Ya di Soviet Uni, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Vietnam Utara,
ya di Cekoslawakia, ya di Polandia. Malah saya di negara-negara itu
449
Siauw Giok Tjhan
berkata, hhh, Republik Indonesia lebih jauh dari kamu di sini.
Pernah di kota Hanoi, ibu kota negara Vietnam Utara, saya
dengan Pak Ho, Paman Ho, Ho Chi Minh. Datang lah suatu delegasi,
Saudara-Saudara, satu delegasi dari satu golongan minoritas. Dan
kelihatan, memang ini tidak sama dengan Rakyat Vietnam yang lain.
Ini kelihatannya agak kemelayu-melayuan, potongan badannya,
roman mukanya, pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, ini
adalah beda dari Rakyat Vietnam Utara yang lain-lain.
Pak Ho, Ho Chi Minh, Paman Ho dengan bangga berkata kepada
saya: “Bung Karno, ini adalah delegasi dari minoritas, ingin bertemu
muka dengan Bung Karno”. Saya berkata kepada delegasi itu, dan
kepada Pak Ho saya berkata, sebetulnya di Indonesia kita tidak
mengenal minoritas. Dan saya tidak mau mengenal minoritas di
lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal suku-suku.
Saya tidak akan berkata, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah
minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dayak adalah minoritas,
suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan
itu, suku Kubu adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas,
tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab manakala
ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada mayoritas,
dia lantas exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie
dari minoriteit oleh majoriteit.
Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa,
Peranakan Tionghoa itu di-exploitation oleh golongan yang
terbesar dari Rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah
bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah
bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa Indonesia.
Itu, yang duduk di sana, jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung
dari mana, Bung? Dari Medan? Dari mana? Coba sini! Siapa
namanya? Jawabnya, Amar Singh, katanya. Anggota Baperki. Warga
Indonesia. Haa, Indonesia! For me you are not a minority, you are
just an Indonesian. Haa, ini orang Indonesia, Saudara-saudara,
bukan minoriteit!
Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada
450
Amanat Bung Karno - 1963
suku-suku. Suku itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ya,
suku artinya kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya, seperti
luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak,
kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan.
Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.
Nah, Pak Ho, kataku, demikian lah Indonesia. “Ya, that is better”,
kata Pak Ho. Ya memang, itu lebih baik, Saudara-Saudara, karena
itu aku tadi berkata, ya kami bangga, Indonesia lebih, lebih dari di
negara-negara sosialis atau negara-negara yang kita kenal sebagai
sosialis.
Tetapi, Saudara-Saudara, segala hal itu sebagai saya katakan
di dalam pidato Front Nasional, adalah satu perjoangan. Jangan
mengharap segala sesuatu itu beres, datang dari langit seperti
embun di waktu malam, tidak! Perjoangan! Jikalau umpamanya
Saudara-Saudara atau Rakyat Indonesia semuanya ingin supaya di
dalam UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis “Presiden
Republik Indonesia harus orang Indonesia asli”, berjoang lah agar
supaya hilang perkataan ini!
Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama supaya perkataan
“asli” dari UUD 45 ini dicoret sama sekali. Begitu pula kalau saudarasaudara menghendaki sekarang ini hilangnya perasaan tidak enak
dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan dirinya
minoritas, itu pun memerlukan perjoangan. Perjoangan agar
supaya hilang rasa tidak senang kepada minoritas. Sebaliknya pun
minoritas saya minta berjoang, berjoang, sekali lagi berjoang, agar
supaya tidak ada rasa kebencian dari minoritas kepada mayoritas.
Terus terang saja, Saudara-Saudara, saya pernah di dalam Gedung
Senat Washington, Capitol Washington, saya pernah menggugat,
apakah benar Amerika itu berdiri di atas demokrasi. “Yes”, kata
orang-orang yang ada di situ, senator-senator, Saudara-Saudara,
orang-orang biasa. “Amerika berdiri di atas dasar demokrasi. Yes.”
Amerika menulis di dalam “Declaration of Independence”-nya,
yang ditulis oleh Thomas Jefferson dalam 1776, bahwa semua
manusia itu dilahirkan sama. “That all men are created equal”.
451
Siauw Giok Tjhan
Benarkah begitu?! “Yes. This is written in our Declaration of
Independence, that all men are created equal.” Sama. Tidak ada
perbedaan antara manusia dengan manusia. Bahwa manusia itu
karena samanya, tiap-tiap manusia mempunyai hak untuk life,
liberty, the pursuit of happiness.
Demikian lah tertulis di dalam “Declaration of Independence”
Amerika. Bahwa manusia created equal, bahwa manusia semuanya
itu mempunyai hak, hak yang primordial, hak yang terbawa
dari sebelum ia lahir di dunia ini, sudah membawa hak tiga: life,
liberty, kemerdekaan; the pursuit of happiness, mencari, mengejar
kebahagiaan.
Manusia tidak dilahirkan untuk tidak “life”, manusia tidak
dilahirkan di dunia ini untuk “tidak hidup”. Manusia tidak
dilahirkan untuk tidak “liberty”, untuk tidak “merdeka”. Manusia
tidak dilahirkan di dunia ini untuk dari kecilnya sudah membawa
rantai di kakinya, tidak bisa bergerak ke mana-mana oleh karena ia
orang tidak merdeka. Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk
tidak boleh pursuit of happiness, mengejar kebahagiaan. Is it true,
in your declaration of independence is written, life, liberty and the
pursuit of happiness? “Yes, it is true”, kata senator-senator itu. Jadi
diakui.
Ada pertanyaan; bahwa all men are created equal, manusia
dilahirkan sama, that all men boleh mengejar life, liberty, and the
pursuit of happiness. Boleh, semuanya sama. Waktu itu, perdebatan
antara saya dengan senator-senator itu mengenai Irian Barat,
Saudara-Saudara, sebab salah satu senator itu kulitnya agak hitam,
memang dia adalah kulitnya agak hitam, dia membantah, kenapa
kok Indonesia mau mengclaim Irian Barat? Sebab orang Irian Barat
itu kulitnya hitam, lain ras dari Indonesia yang kebanyakan, kata
senator itu.
Saya berkata, ha, Amerika mengatakan all men are created equal.
Amerika mengatakan that all men boleh mengejar life, liberty, and
the pursuit of happiness. Kenapa kok mengandalkan pernyataan
demikian, kataku. Apakah bangsa itu terdiri dari satu warna kulit?
452
Amanat Bung Karno - 1963
Sebaliknya kubertanya kepadamu, kenapa di Amerika masih ada
segregation? Segregation yaitu orang Negro di beberapa tempat
masih dianggap sebagai orang yang inferior. Restoran, only for
white men, orang hitam tidak boleh masuk restoran. Movie, only
for white men, tidak boleh orang hitam masuk di dalam movie itu.
Autobus ditulis, only for white men. Tidak boleh orang Negro naik
di autobus itu.
Saya berkata demikian. Jawabnya bagaimana? Jawabnya ialah,
ya, segala hal itu harus kami perjoangkan. Itu kan undang-undang
yang mengatakan, bahwa all men are created equal. Di dalam
“Declaration of Independence” itu dia punya mukadimah dari
pernyataan kemerdekaan ialah ditulis, tulis zwart op wit, tetapi toh
kertas, Saudara-Saudara, that all men are created equal.
Di atas kertas ditulis, bahwa tiap-tiap manusia itu mempunyai
hak atas life, 1iberty, and the pursuit of happiness, di atas kertas,
but in the reality of life masih harus diperjoangkan.
Segala itu adalah hasil dari perjoangan. Dan senator itu berkata:
“Ya, kami senator-senator --kami yang duduk di sini ini kami
memperjoangkan agar supaya di Amerika ini, tidak ada segregation.
Kami memperjoangkan agar supaya orang Amerika semuanya
suka menerima warganegara Amerika yang berkulit hitam sebagai
warganegara yang full dan sejati.”
Saya berkata, I can appreciate it. Saya bisa mengerti ini dan saya
bisa appreciate ini.
Sebaliknya pun aku berkata kepada bangsa Indonesia tempo
hari, tatkala aku mengadakan pidato Front Nasional, jangan lupa
segala sesuatu itu adalah perjoangan, harus kita perjoangkan,
perjoangkan.
Aku berkata, Panca Program itu bagiku pun satu perjoangan,
saya harus mengerahkan segenap Rakyat, mengerahkan segenap
Rakyat, mengerahkan segenap menteri, mengerahkan segenap
pegawai, mengerahkan segenap petugas Republik Indonesia ini
untuk menjalankan, melaksanakan Panca Program dari Front
Nasional. Mengerahkan perjoangan!
453
Siauw Giok Tjhan
Karena itu, Saudara-Saudara, saya berkata jikalau Rakyat
Indonesia menghendaki supaya di dalam UUD-nya jangan ditulis
“asli- aslian” sebagai Presiden, perjoangkan hal ini, kerahkan lah
segenap tenaga, agar supaya hilang dari UUD kita. Jika bangsa
Indonesia tidak mau mengenal adanya minoritas dan mayoritas,
jikalau bangsa Indonesia memang hanya mengenal satu bangsa
Indonesia yang tiada mayoritas dan tiada minoritas, perjoangkan hal
ini bersama-sama dengan saya, bersama-sama dengan pergerakanpergerakan yang ada di Indonesia ini.
Sebab itu tadi Pak Roeslan berkata, tanpa effort tidak bisa kita
mencapai sesuatu hal. Dus manakala saya di sini, Saudara-Saudara,
memeluk Baperki, saya boleh juga dikatakan, saya mengajak Baperki
untuk berjoang bersama-sama dengan saya, bersama-sama dengan
seluruh Rakyat Indonesia agar supaya Amanat Penderitaan Rakyat
bisa selesai, agar supaya semua cita-cita kita bisa terlaksana.
Ada pendirian-pendirian saya pribadi, ada, itu pribadi, SaudaraSaudara. Saya ulangi lagi, pribadi, mengenai soal assimilasi
misalnya yang tadi Cak Siauw berkata, mbok ya jangan diutik-utik
soal asimilasi. Ya, saya, tidak mau ngutik-ngutik, sebab Cak Siauw,
wah itu bisa juga cuma menyimpangkan perhatian saja. Ya, Bung
Siauw, saya tidak akan mengutik-utik.
Tapi perasaan pribadi saya, saya ini tidak kenal Saudara-Saudara,
akan perbedaan darah itu, tidak. Nama pun, nama saya sendiri itu
Sukarno, apa itu nama Indonesia “asli”? Tidak. Itu asalnya Sanskrit,
Saudara-Saudara. Sukarna. Nah, itu Abulgani, Arab. Ya, Cak Roeslan
namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Sukarna.
Pak Ali itu campuran, Ali-nya Arab, Sastraamijaja itu Sanskrit,
campuran dia itu.
Nah karena itu; Saudara-Saudara pun ini perasaan saya
persoonlijk, persoonlijk, pribadi, what is in a name? Walau Saudara
misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama.
Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga
nama Sanskrit, Saudara-Saudara. Cak Roeslan namanya nama Arab,
Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit. Buat apa saya mesti
454
Amanat Bung Karno - 1963
menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang mau menjadi
anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia,
mau ubah namanya, ini sudah bagus kok.. Thiam Nio kok mesti
dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak?
Tidak. Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campurcampur.
Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang
Indonesia, benar -benar kita menjadi warganegara Republik
Indonesia. Bahkan sebagai kukatakan tadi mbok ya seperti saya
ini, kalau boleh saya pakai contoh, bukan sekedar Renand, bukan
sekedar Otto Bauer, bukan sekedar geografi, kataku, lebih dari ini,
lebih dari ini, lebih dari geografi. Indonesia bagiku adalah satu
totalitas, ya burungnya, ya udaranya, ya suaranya, ya gelora lautnya,
segala-galanya ialah Indonesia, Indonesia, Indoneisia, dan untukmu
aku hidup di sini, kecuali di samping untuk Allah SWT.
Saudara-Saudara, kalau tidak salah, duduk di muka saya ini
penari ulung, apa betul? Dari Bandung? Apa betul dari Bandung?
Dia itu, siapa namanya, lupa lagi saya. Tan Tian Ie, nah sini Nak, sini.
Ini Tan Tian Ie misalnya kalau menari, Saudara-Saudara, menari
tari-tarian Sunda …hh, banyak wanita-wanita Sunda itu kalah sama
dia. Dan dia betul-betul merasa Indonesia, sampai yaitu, segala taritarian yang lemah-lembut dia bisa tarikan.
Apa pernah saja berkata kepadamu, Tan Tian Ie, kau mesti
ubah namamu?! Tidak. Tetap lah engkau bernama Tan Tian Ie. Ini
pendirian saya pensoonlijk, pribadi, Saudara-Saudara. Baik saya
mencurahkan rasa hatiku terhadap kepada Saudara-Saudara agar
supaya Saudara-Saudara yang berkata kepadaku, Bung Karno yang
tercinta, mengetahui betul-betul. Bung Karno ini apa!
Bung Karno ini kecuali ini, daging, darah, tulang ialah rupa
begini, isi hatinya ialah demikian. Dan saya harap agar supaya
Baperki dalam menjalankan tugasnya sebagai Baperki sebagai tadi
sudah saya harapkan, berperasaan sama-sama dengan Bung Karno
yang dikatakan dicintai oleh Saudara-saudara itu.
Demikianlah, Saudara-Saudara, moga-moga kongres Baperki
455
Siauw Giok Tjhan
yang ke-8 sukses, moga-moga Baperki selalu maju pesat, mogamoga Baperki benar-benar menjadi sumbangan yang besar
terhadap kepada Revolusi Indonesia.
Sekian. Terima kasih.
456
Index
A
Abdulmadjid 49, 93, 107, 116, 121
Acoma 163, 210, 270, 276
Adam Malik 2, 4, 97, 125, 126, 147,
154, 161, 285, 363, 375, 376,
382, 392, 399, 404, 411, 426
Agus Salim 103, 106, 124
Aidit 114, 139, 140, 143, 164, 165,
285, 297, 316, 317, 365, 371,
372, 373, 374, 375, 376
Alimin 49, 139, 140, 164
Ali Sastroamidjojo 2, 103, 105, 106,
154, 162, 172, 186, 204, 232,
256, 413, 426
Amir Sjarifuddin 23, 51, 55, 89, 90,
91, 93, 94, 95, 99, 106, 107,
111, 117, 118, 121, 124, 127,
147, 176, 190, 217, 427
AMT 79, 80, 81, 82, 83
Ang Hok Lim 132
Ang Jan Goan 131, 165, 183, 191,
192, 193, 196
Angkatan Muda Tionghoa 79, 192,
324
Ang Tjiang Liat 223, 295
Ann Swift 118
Arnold Mononutu 255
Aruji Kartawinata 2, 126, 138, 152,
176, 319, 426
Assaat 241, 242
assimilasi 9, 17, 25, 47, 314, 342,
343, 344, 345, 346, 347, 348,
349, 354, 355, 358, 359, 360,
361, 407, 408, 412, 413, 430,
434, 435, 454
Auwyang Peng Koen 185, 187, 188,
193, 204, 210, 211, 213, 214,
218, 219, 220, 326, 343, 345
B
Badan Pekerja 1, 85, 90, 96, 99, 100,
103, 112, 119, 122, 126, 127,
139, 152, 154, 177
Baperki 2, 3, 4, 7, 10, 14, 22, 24, 25,
56, 70, 136, 142, 143, 187, 195,
196, 197, 200, 203, 204, 205,
206, 207, 208, 209, 210, 211,
212, 213, 214, 215, 216, 217,
218, 219, 220, 221, 222, 223,
224, 230, 240, 241, 242, 246,
249, 250, 251, 252, 253, 256,
258, 263, 266, 269, 270, 273,
275, 276, 277, 280, 281, 283,
285, 286, 287, 288, 290, 293,
295, 296, 298, 300, 301, 302,
303, 304, 306, 307, 311, 312,
313, 314, 315, 316, 317, 318,
320, 321, 323, 324, 325, 326,
327, 328, 329, 330, 331, 332,
333, 334, 335, 336, 337, 338,
339, 340, 342, 345, 346, 348,
350, 351, 353, 354, 357, 358,
359, 360, 361, 362, 363, 368,
371, 372, 373, 374, 375, 376,
378, 379, 380, 381, 382, 383,
384, 385, 387, 388, 392, 395,
398, 400, 401, 402, 404, 407,
409, 410, 413, 428, 430, 431,
432, 433, 434, 435, 436, 437,
438, 439, 441, 443, 445, 446,
447, 449, 450, 454, 455, 456
Baperwatt 189, 191, 193, 194, 195
BAPERWATT 189
Barisan Banteng 118, 122, 123, 124
Baswedan 47
Berita Baperki 204, 205, 209, 210,
217, 218, 219, 220, 221, 222,
223, 242, 249, 251, 252, 253,
256, 258, 325, 327
Bhinneka Tunggal Ika. 5, 3, 214, 339,
353, 359, 428
Bintang Merah 139
Biro Khusus 376, 401
457
Index
Boen Bio 32, 58
BPRI 81, 82, 83
BTI 118, 173, 336, 380
Bung Tomo 81, 82
Buru 398, 399
C
Carmel Budiardjo 412
CGMI 297, 317, 337, 339, 362, 364,
372, 373, 380, 381, 385
Chaerul Saleh 97, 309, 312, 319, 359,
363, 371, 382, 383
Chiao Chung 144, 256, 258, 260, 266,
328
Chi Peng Fei 415, 422
Chou En Lai 171
Chung Hua Hui 20, 41, 42, 47, 49, 84,
182, 192
CONEFO 367, 370
Coppel 5, 10, 13, 315, 349, 360, 380
Crouch 367
Cungkup 32–31, 58
D
DEKON 408
Demokrasi Terpimpin 3, 22, 25, 149,
267, 269, 270, 272, 277, 279,
280, 282, 286, 287, 290, 293,
294, 295, 297, 305, 317, 318,
323, 342, 354, 361, 362, 363,
365, 372, 375, 394, 395, 407,
426, 427, 428, 430, 431, 433,
434
Dewan Revolusi 377, 378
Diapari 138, 154, 158, 159, 196, 232,
238
Djawoto 147
Djodi Gondokusumo 2, 154, 160,
212, 285
Djohan Sjahroesah 95, 103
Djuanda 229, 230, 232, 233, 237,
238, 254, 263, 264, 267, 274,
275, 280, 282, 285, 291, 305,
312
Dwi-Kewarganegaraan 247, 254, 256,
258, 259, 261, 262, 263, 264,
301, 302, 306, 409, 429
E
Edgar Snow 51, 85
Ekonomi Terpimpin 293, 308, 309
F
FDR 118, 119, 120, 121, 122, 124,
125, 126, 128
Fraksi Nasional Progresif 1, 23, 145,
157, 162, 163, 167, 176, 181,
232, 249, 250, 260, 270, 271,
272, 295, 318
Fransisca Fanggidaj 5, 139, 141
G
G-30-S 7, 148, 337, 371, 372, 375,
376, 377, 378, 379, 380, 383,
385, 394, 396, 397, 398, 399,
400, 401, 406, 407
Go Gak Cho 144, 256, 260, 261, 266,
302, 328, 370, 371
Go Gien Tjwan 4, 5, 10, 69, 76, 80,
81, 83, 84, 85, 95, 102, 138,
176, 182, 188, 192, 193, 194,
195, 196, 207, 208, 210, 211,
214, 215, 217, 218, 219, 223,
250, 261, 275, 276, 287, 298,
314, 318, 329, 330, 350, 373,
375, 381, 382, 387, 388, 412,
423, 424, 427
Go In Tjhan 52
Golongan Karya 280, 281, 282, 283,
291, 292, 295, 296
Go Sien Ay 200
458
Index
Go Tjoe Nio 387, 388
H
Han Kang Hoen 68, 71
Han Tik Djien 69, 85
Hardojo 297
Harian Rakyat, 139, 141, 142, 143,
165, 258, 336, 364
Hatta 39, 49, 50, 53, 64, 70, 78, 79,
90, 91, 92, 93, 96, 97, 98, 100,
103, 116, 117, 118, 119, 120,
124, 127, 149, 151, 173, 230,
231, 232, 242, 268, 269
Herbert Feith 4, 10, 150
HMI 364, 379
Ho Chi Minh 97, 450
Hong Po 72, 84, 132, 133, 134
I
I.J Kasimo 156, 426
Injo Beng Goat 98, 131, 133, 183,
184, 187, 188, 217, 218, 345
integrasi 9, 2, 25, 323, 342, 343, 346,
347, 354, 355, 358, 361, 362,
412, 413, 429, 431, 432
IPPI 336, 431
Iskaq 232, 234, 235, 236, 237, 239,
241, 250, 260
J
Jan Ave 223, 275, 276
Joesoef Isak 2, 5, 10, 147, 394, 395
John Sutter 230
Jusuf Adjitorop 5, 140
K
Kabinet Ali 172, 173, 179, 181, 257
Kahin 10, 99, 106, 109
Kakyo Shokai 70, 71, 72, 73, 79
Kapasan 49, 58
Kebotai 73, 74, 79, 83
Keibodan 73, 74, 75
Keng Po 112, 131, 133, 183, 187,
188, 206, 217, 218, 219, 252,
254
KENSI 242, 305, 407, 408
Khoe Woen Sioe 187, 193, 195, 211,
217
Kho Nai Chong 144, 328
KMB 101, 127, 178, 227, 229, 243,
246, 248, 251, 257, 264
KNIP 1, 23, 85, 89, 90, 96, 98, 101,
102, 103, 127
Ko Kwat Oen 223
KOTOE 377, 382
Kwan Tjian Nio 29, 33, 59
Kwa Tjwan Sioe 84
Kwee Hing Tjiat 22, 23, 45, 47, 52,
53, 55, 132, 198, 345
Kwee Hwat Djien 204, 213, 345
L
Lay Dje Hoa 132
Lay Siauw Hoa 132, 133, 136
Leimena 276, 309, 312, 377
LEKRA 317, 372
Leo Suryadinata 10, 19, 31, 132, 188,
346
Lev 4, 5, 10, 282, 285
Liberty 85
LIDIKUS 386, 388
Lie Kiat Teng 176, 186, 249
Liem Koen Hian 21, 22, 23, 37, 38,
39, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 49,
50, 51, 55, 66, 69, 72, 76, 77,
89, 98, 136, 155, 165, 166, 184,
185, 191, 207, 346
Liem Koen Seng 136, 185, 193, 223,
275, 276, 318, 375, 387, 388
Lie Poe Yoe 185
Lie Tjwan Hie 53, 69
459
Index
Lie Tjwan Sien 329, 387, 392
Lie Xie Thian 5, 144, 145
Lim Tjong Hian 193, 210, 211
Lin Chi Ming 84
Linggajati 102, 103, 106
LPKB 25, 314, 317, 342, 349, 355,
358, 359, 360, 361, 380, 384,
407, 408, 412, 430, 432, 433,
434
Lubang Buaya 372, 377, 379, 397
Lukman 100, 139, 140, 165, 178, 317,
365, 375, 426
M
Mackie 10, 307, 308, 310, 313, 366
Madiun 99, 118, 120, 122, 123, 124,
140, 144, 150, 154, 173, 217,
413
Manipol-USDEK 293
Mao Tse Tung 51, 55, 75, 85, 130,
132, 193, 335
Masjumi 90, 91, 98, 103, 107, 114,
115, 116, 117, 118, 150, 156,
158, 159, 161, 162, 163, 165,
173, 202, 204, 212, 228, 236,
241, 242, 250, 260, 268, 269,
273, 275, 276, 281, 283, 284,
287, 291, 292, 298, 306, 313,
314, 315, 316
Mata Hari 45, 46, 47, 48, 52, 53, 54,
55, 61, 62, 64, 66, 67, 74, 132,
146, 189, 196, 198, 345
Moetik 135, 136
Mohamad Yamin 2, 24, 99, 150, 159,
160, 161, 223, 232, 270, 276,
292
Murba 1, 2, 125, 126, 143, 150, 151,
154, 155, 158, 159, 160, 161,
163, 210, 220, 242, 270, 276,
283, 293, 294, 295, 318, 319,
363, 364, 375, 376, 426
Musso 49, 50, 92, 94, 120, 121, 122,
123, 124, 140
Mustopo 76, 110
N
Nasution 269, 281
Nation-Building 105, 346, 350, 354,
355, 425, 428
Natsir 107, 162, 163, 231
Nehru 104, 174, 255
Nirbaya 7, 383, 389, 403, 404
Njono 91
Njoto 114, 136, 139, 140, 141, 142,
143, 165, 297, 317, 365, 375,
426
NU 2, 156, 158, 172, 176, 202, 220,
222, 223, 242, 263, 268, 269,
273, 276, 281, 284, 291, 292,
293, 294, 295, 305, 306, 363,
364, 379, 426
O
Oei Gee Hwat 51, 119
Oei Phoei Tjiep 338
Oei Tiang Tjoei 132, 133
Oei Tjoe Tat 5, 53, 69, 137, 157, 161,
162, 185, 187, 188, 189, 191,
192, 193, 195, 196, 210, 211,
214, 215, 217, 218, 219, 223,
251, 271, 275, 276, 298, 312,
315, 318, 321, 350, 361, 368,
373, 374, 375, 383, 384, 403
Oey Hay Djoen 5, 69, 73, 74, 126,
223, 271, 306, 395
Oey Hong Lee 130, 138, 312
Ong Eng Die 138, 176, 186, 247, 249,
413
Ong Siang Tjoen 71
P
460
Index
Palang Biru 83
Pancasila 77, 276, 285, 351, 406, 438,
439, 443, 444
Paras 91
Parkindo 2, 103, 152, 154, 156, 158,
165, 188, 222, 232, 242, 250,
260, 268, 276, 284, 293, 294,
295, 363, 426
Parsi 91
Partai Sosialis 23, 85, 86, 89, 90, 91,
93, 94, 96, 97, 98, 100, 101,
102, 103, 107, 108, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 121, 122,
127, 128, 147, 176, 178, 190,
192, 427
Partindo 145, 163, 270, 294, 295,
312, 313, 315, 318, 362, 375,
377, 431
PBB 113, 115, 116, 126, 214, 370,
413
PBI 40, 91, 118, 122
PDTI 181, 182, 183, 184, 185, 187,
188, 189, 190, 191, 192, 193,
194, 208, 362
Pemoeda 85
Persatuan Perjuangan 97, 98, 99, 100,
102, 103, 122, 160
Persatuan Tionghoa 20, 70, 182
Perti 276, 295, 318, 375, 426
PERTIP 185, 187, 192
PERWANIT 185, 187, 192, 195
Pesindo 82, 92, 95, 97, 118, 119, 122,
139, 365
PETA 73, 78
PIR 1, 152, 159, 163, 172, 220, 236,
253
PKI 7, 3, 5, 7, 25, 50, 51, 91, 92, 103,
114, 118, 120, 121, 122, 124,
125, 128, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 148, 150, 151, 157,
158, 164, 165, 167, 173, 211,
212, 220, 222, 223, 232, 238,
242, 250, 258, 263, 268, 269,
271, 272, 273, 276, 281, 284,
285, 291, 292, 293, 294, 295,
314, 315, 316, 317, 318, 339,
358, 362, 363, 364, 365, 367,
368, 371, 372, 373, 374, 375,
376, 378, 379, 380, 381, 382,
383, 385, 388, 389, 395, 397,
398, 400, 401, 402, 426, 431,
433, 434
PMKRI 336
PNI 2, 45, 90, 98, 99, 100, 103, 107,
115, 116, 117, 118, 125, 126,
138, 150, 154, 155, 157, 158,
159, 160, 163, 172, 176, 177,
178, 183, 185, 205, 206, 212,
216, 223, 228, 232, 236, 242,
249, 250, 257, 258, 261, 263,
268, 269, 273, 276, 281, 285,
291, 292, 293, 294, 295, 316,
318, 319, 426
PP-10. 305, 306, 408
PPI 317, 335, 336, 340, 396
PRN 2, 154, 159, 160, 162, 163, 212,
220, 249, 270, 276
PRRI 242, 269, 275, 292, 313, 314
PSI 117, 118, 131, 135, 150, 155,
156, 158, 161, 162, 163, 165,
173, 183, 185, 188, 189, 190,
192, 205, 206, 211, 212, 216,
217, 218, 220, 230, 232, 242,
250, 260, 268, 269, 275, 291,
292, 298, 313, 314, 315, 316,
325
PSII 2, 107, 125, 126, 138, 152, 154,
176, 276, 292, 294, 295, 318,
319, 375, 426
PTI 21, 40, 41, 45, 46, 47, 48, 49, 51,
52, 56, 72, 76, 89, 94, 184, 191,
195, 207, 346
PWI 146, 147, 196, 217
461
Index
R
Renville 115, 116, 117, 120, 121, 122
Republik 223, 242, 272, 273, 274,
276, 281, 284, 285, 286, 305,
440
Rex Mortimer 10, 365
Richter 223
RIS 1, 102, 106, 115, 127, 129, 130,
149, 150, 151, 152, 183, 227,
229, 230, 233
Roeslan Abdulgani 34, 76, 291, 342,
349, 359, 360, 437, 438, 443,
448
Roestam Efendi 49
RTM 6, 7, 49, 55, 95, 104, 111, 122,
141, 149, 161, 166, 192, 297,
378, 380, 389, 400, 401, 402,
403
Ruth McVey 49
RUU Kewarganegaraan 246, 247,
258, 259
S
Sadjarwo 173
Sajuti Melik 125
Sakirman 113, 148, 223, 232, 238
Salemba 6, 7, 9, 385, 388, 389, 390,
391, 392, 394, 397, 398, 403,
404, 418
San Min Chu I 78, 105
Sardjono 49
Sartono 2, 152, 153, 154, 157, 165,
167, 169, 170, 171, 319, 426
SATGAS 6, 7, 399
Setiadi 5, 95, 116, 365, 383, 403
Siauw Giok Bie 5, 37, 52, 68, 73, 80,
82, 83, 84, 110, 210, 320, 329,
333, 381, 421, 424
Siauw Giok Tjhan 2, 4, 5, 7, 9, 1, 5,
6, 9, 10, 11, 14, 15, 20, 21, 27,
29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 38,
47, 48, 49, 54, 55, 59, 63, 64,
66, 72, 74, 77, 78, 79, 89, 95,
96, 97, 101, 102, 103, 104, 107,
116, 118, 119, 122, 124, 125,
129, 130, 136, 140, 141, 143,
151, 158, 161, 165, 166, 172,
176, 177, 180, 184, 185, 188,
189, 190, 191, 192, 193, 201,
207, 210, 211, 217, 221, 254,
257, 260, 263, 264, 292, 321,
324, 344, 345, 346, 347, 350,
351, 353, 360, 371, 375, 377,
383, 385, 403, 406, 424, 425,
433, 436, 437
Sidik Kertapati 5, 154, 159, 162, 210
Sie Hok Tjwan 413, 414
Sin Ming Hui 183, 185, 187, 188,
191, 213
Sin Po 19, 20, 21, 41, 44, 45, 47, 52,
112, 131, 165, 183, 187, 205,
250, 254, 263
Sin Tit Po 37, 39, 41, 44, 45, 48, 49,
51, 52, 132, 137
Sjahrir 64, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
97, 98, 99, 102, 103, 106, 107,
108, 115, 117, 124, 183, 190,
206
Sjam 397, 401
Sjarifuddin Prawiranegera 232
SKI 2, 138, 154, 158, 159, 220, 270
Skinner 13, 14, 304
Soedisman 76, 82
Soeharto 4, 15, 123, 201, 378, 379,
382, 383, 389, 407, 408, 410,
414, 434
Soekarno 2, 3, 21, 22, 23, 24, 25, 34,
37, 39, 45, 47, 50, 55, 56, 64,
66, 70, 72, 76, 77, 78, 79, 83,
89, 90, 93, 96, 97, 98, 99, 102,
103, 107, 111, 112, 116, 119,
123, 124, 133, 137, 149, 154,
222, 242, 267, 268, 269, 270,
462
Index
271, 272, 273, 274, 275, 279,
280, 281, 282, 283, 285, 289,
290, 291, 292, 293, 294, 296,
297, 298, 299, 300, 301, 302,
303, 305, 306, 308, 309, 310,
312, 313, 314, 315, 316, 317,
332, 334, 336, 342, 345, 346,
350, 353, 354, 355, 358, 359,
360, 361, 362, 363, 364, 365,
366, 367, 368, 369, 370, 371,
374, 375, 376, 377, 378, 379,
380, 382, 383, 406, 410, 427,
430, 431, 433, 434, 437
Soemarsono 5, 76, 82, 92, 93, 94, 95,
96, 97, 98, 110, 113, 114, 119,
122, 123, 126
Soetomo 23, 39, 40, 44, 55, 63
Somers 4, 5, 13, 49, 65, 70, 71, 72,
191, 214, 220, 262, 307, 327,
349
S Parman 148
SPS 129, 146, 147, 196
Star Weekly 133, 134, 135, 143, 147,
343, 344, 345, 346, 347
STKI 251, 253
Suara Tapa 125
Subandrio 305, 312, 382, 383
Subardjo 49, 126, 166
Sudarjo Tjokrosisworo 47, 146, 196
Sudibjo 2, 176, 292, 375, 405
Sudirman 97, 111, 112, 123, 125, 160
Sukarni 2, 97, 154, 160, 161, 364,
375, 426
Sukiman 91, 116, 162, 163, 164, 165,
166, 167, 175, 231, 232
Sumitro 232
Sunario 177, 178, 180, 181, 182, 249,
250, 258, 260, 261, 262, 359
Sunday Courier 134, 135, 139, 141,
143, 144, 146, 147, 206
Sunito, 169, 377
Supeno 117, 139
SUPERSEMAR 389
Surjono 139, 141
Suryadinata 10, 19, 31, 44, 45, 52,
132, 188, 346
T
Tabrani 147
Tan Boen An 103, 150, 183
Tan Eng Tie, 187, 188, 193
Tan Gien Hwa 3, 5, 4, 53, 61, 62, 87,
135, 197, 198, 199, 200, 201,
387, 388, 390, 396, 397, 399,
402, 411, 419, 424
Tan Hoo Kiet 69, 83
Tan Hwie Kiat 5, 69, 135, 136, 137,
138, 141, 142, 143, 147, 154,
157, 176, 250, 251, 398, 413
Tan Kah Kee 75, 104, 331
Tan Ling Djie 21, 22, 23, 49, 50, 51,
55, 56, 66, 69, 77, 86, 89, 92,
93, 94, 98, 100, 102, 103, 107,
108, 118, 119, 121, 122, 124,
125, 132, 139, 140, 143, 154,
164, 165, 177, 184, 190, 191,
192, 207, 217, 223, 244, 390,
427
Tan Malaka 97, 98, 99, 118, 122, 160
Tan Peng Hoat 53, 198
Tan Po Goan 101, 102, 107, 108, 117,
155, 156, 165, 183, 185, 188,
193, 206, 210, 211, 216, 217,
238
Tan Sie Liep 83
Tan Sien Giok 85
Tan Soen Houw 5, 62, 68, 424
Then Djin Sen 132
The Pek Siong 195, 213
The Siauw Giap 85
The Tjing Djien 84
THHK 18, 29, 30, 31, 33, 35, 40, 46,
71, 324
463
Index
Thio Kong An 74
Thio Thiam Tjong 182, 183, 184, 187,
188, 189, 192, 193, 195
Thung Sin Nio 192
Tio Ien Lok 134
Tio Oen Bik 49
Tjikwan 236, 237
Tjin Tjay Hwee 48, 51, 52, 54, 63, 64,
73, 75
Tjipto Mangunkusumo 21, 22, 23, 37,
39, 43, 44, 47, 55, 57, 63, 64
Tjoa Sik Ien 21, 40, 48, 49, 50, 55,
56, 66, 69, 77, 89, 137, 154,
184, 191, 192, 207, 208, 209,
423
Tjoa Tjie Liang 46, 62, 66
Tjokroaminoto 125, 126
Tjokronegoro 108, 116
Tjung Tin Yan 183, 185, 206, 235
Tobing 24, 159, 162, 176, 331, 332
Tony Wen 205, 223
U
Universitas Baperki 4, 323, 330, 331
Universitas Trisakti. 384
UNRA 388
UPBA 251, 252
URECA 332, 333, 334, 335, 336, 337,
339, 341, 373, 380, 385, 396
Utami Suryadarma 332
Utrecht 5, 285, 296, 298, 299, 309,
331, 369
UU Kewarganegaraan 243, 246, 247,
248, 251, 254, 257, 263, 264,
300, 356, 428
Werdojo 145, 321
Wilmott 181, 186, 327
Wilopo 125, 167, 204, 233, 276
Wirogunan 124, 125, 126, 147, 148,
154, 166, 176
X
Xu Ren 415
Y
Yani 365, 367, 377, 379
Yap Thiam Hien 5, 10, 45, 185, 187,
188, 193, 194, 195, 204, 210,
211, 213, 214, 218, 219, 222,
223, 240, 275, 276, 286, 288,
298, 328, 346, 347
Yap Tjwan Bing 71, 72, 76, 98, 150,
155, 183, 205
Yayasan Kebudayaan Sadar 144, 145
Z
Zainul Arifin 156
Zhu Yi 175, 260, 261
V
Van Mook 106, 183, 184
W
Wang Chi Wei 70
464
Download