SIAUW GIOK TJHAN DALAM MEMBANGUN NASION INDONESIA LEMBAGA KAJIAN SINERGI INDONESIA 2010 Judul Siauw Giok Tjhan Dalam Membangun Nasion Indonesia Penerbit: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia Pengantar: Joesoef Isak Desain Cover: Chan Chung Tak ISBN: Memperbanyak dengan fotokopi atau bentuk reproduksi lain Apapun tidak dibenarkan, kecuali dengan izin Penerbit Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Untuk ibuku yang tercinta Tan Gien Hwa UCAPAN TERIMA KASIH Buku ini berbentuk biografi politik Siauw Giok Tjhan. Go Gien Tjwan, dan Lev dan Herb Feith adalah orang-orang yang mendorong saya untuk menulis buku ini pada tahun 1988. Saya sangat berterima kasih atas semua dorongan dan dukungan ketiga pakar ini. Siauw Giok Tjhan adalah ayah kandung saya. Menulis tentang ayah sendiri tentu merupakan tugas yang sulit. Sulit untuk bisa sepenuhnya objektif dan menempatkan berbagai permasalahan dengan perspektif yang independen. Oleh karena itu saya memutuskan untuk melakukan penelitian tentang kegiatan politik ayah saya melalui program PhD dalam bidang Political Science di Monash University di bawah bimbingan dua orang pakar ternama, Herbert Feith dan Barbara Hatley. Merekalah yang membimbing saya untuk melakukan penelitian objektif dan menulis secara akademis. Disertasi ini akhirnya rampung pada bulan November 1998 dan saya memperoleh gelar PhD pada bulan Mei 1999. Saya ucapkan terima kasih kepada Herbert Feith dan Barbara Hatley atas semua bimbingannya. Ucapan terima kasih saya haturkan pula kepada Kedua pakar lain yang telah banyak membantu, Charles Coppel dan Mary Somers-Heidhues, yang sebagai pemeriksa disertasi, telah memberi banyak kritikan-kritikan yang membangun. Buku ini adalah revisi buku yang diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1999, yang berjudul: Siauw Giok Tjhan, Perjuangan Seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Saya putuskan untuk menerbitkannya kembali dengan berbagai revisi dan tambahan data. Judul buku-pun diubah menjadi: Siauw Giok Tjhan Dalam Pembangunan Nasion Indonesia. Keputusan untuk me-revisi buku ini berkaitan dengan diterbitkannya buku Siauw yang saya sunting pada bulan Maret 2010, berjudul: Rebungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan. Saya menganggap perlu ada sebuah buku pendamping yang memberi penguraian yang lebih terperinci tentang kegiatan politik Siauw, yang jaeang menuturkannya secara terang dalam banyak tulisannya. Dasar buku ini adalah disertasi PhD yang disinggung di atas, dengan berbagai perubahan yang disesuaikan dengan penuturan hati nurani saya. Penampilan data dan bahan tidak lagi bersifat akademis, seperti yang terkandung dalam disertasi akademis. Tidak ada pretensi menerbitkannya sebagai sebuah karya yang bersifat akademis. Membangun Nasion Indonesia seperti yang dituturkan dalam buku ini adalah perjuangan yang memerlukan komitmen tinggi dan keuletan politik. Siauw Giok Tjhan tercatat dalam sejarah sebagai seorang tokoh politik yang telah mencurahkan seluruh jiwa raganya, hingga penghembusan napas terakhir, untuk perwujudan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Saya beruntung bisa mewawancarai banyak orang yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan dan bekerja sama dengan Siauw Giok Tjhan. Mereka ini tersebar di beberapa negara, termasuk Indonesia, Australia, Belanda, Jerman, Perancis, RRT dan Hongkong. Untuk bahan-bahan, informasi, komentar dan kritikan yang saya peroleh, saya sangat berterima kasih. Saya sangat berterima kasih kepada ibu saya, Tan Gien Hwa, Siauw Giok Bie, Go Gien Tjwan, Lee Nyan Hoo, Yap Thiam Hien, Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian, Oey Hay Djoen, Tan Hwie Kiat, Tan Tjin Siang, Professor Wertheim, Charles Coppel, Mary Somers-Heidhues, Jusuf Adjitorop, Joesoef Isak, Ibrahim Isa, Sidik Kertapati, Soemarsono, Ernst Utrecht, Dan Lev, Oei Hiem Hwie, Tan Kiep Nio, Ong Hok Ham, Andrew Gunawan, Tan Soen Houw, Lie Xie Thian, Tjang Tjing Kuo, Utami Suryadarma, Setiadi, Sutomo, Bambang Soemardjo, Fransisca Fanggidaj, Arief Budiman, Karlina Supelli dan banyak yang lain yang tidak bisa disebut di sini. Jasa ibu saya dalam mengumpulkan secara rapih dan teliti semua karya, pidato dan tulisan ayah yang telah saya gunakan sebagai bahan dasar utama buku ini harus ditonjolkan. Kesemua itu dilakukan di zaman pengejaran dan penumpasan bahan-bahan yang dianggap berhaluan kiri. Keberaniannya dalam menyelamatkan data-data bersejarah ini patut dipuji dan dihargai. Saya juga memperoleh bantuan semua saudara kandung dan sepupu saya, terutama Siauw Tiong Tjing, anak-anak dan keponakan, terutama Meilanie Rosalina dan Adelene Foo. Untuk itu saya haturkan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih saya haturkan pula untuk Lembaga Kajian Sinergi yang bersedia menerbitkan revisi buku yang meriwayatkan perjuangan seorang patriot Indonesia dalam membangun Nasion Indonesia. Bantuan dan dukungan istri saya, Leony Siauw memungkinkan buku ini rampung di tengah berbagai kesibukan lain, akan selalu saya ingat dan hargai. Rasa terima kasih khusus saya haturkan untuknya. Saya-lah yang bertanggung jawab atas semua kesalahan dan kekurangan yang terkandung di dalam buku ini. Siauw Tiong Djin 2 Mei 2010 KATA PENGANTAR Dengan gembira kita sambut kehadiran karya biografis ini bukan saja karena isinya penting, bukan karena topiknya dulu actual dan sekarang pun masih actual, juga bukan karena topiknya masih akan tetap relevan di masa mendatang yang lama, tetapi karena kita bangga berkesempatan lewat cara ini menghormati orang yang patut kita hormati: Siauw Giok Tjhan. Kita dengan sadar menolak menjadi bagian orang-orang yang tidak tahu sejarah, apalagi mengingkari sejarah; tidak tahu menghargai jasa orang yang sepanjang umur dalam hidupnya mengabdikan diri bagi kemerdekaan Indonesia, bagi pembangunan Nasion Indonesia – nation building – dan bagi keadilan dan kesejahteraan Rakyat. Siauw Giok Tjhan adalah salah seorang yang mengalami ketidak adilan sejarah. Belasan tahun dia dibungkam dalam penjara rezim Orde Baru, kemudian hidup dalam sisa umurnya sebagai refugee politik dan meninggal di rantau orang, semua itu dialaminya setelah dia terlibat aktif membela kemerdekaan dan sibuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan Indonesia sebagai tanah air yang dia cintai. Dari namanya saja sudah jelas bahwa dia keturunan Tionghoa, oleh rezim Orde Baru sengaja diganti menjadi Cina, pakai dalih pembenaran bahwa bahasa Inggris-pun menggunakan kata “China”. Dalam konteks Inggris hal itu sepenuhnya benar, tidak ada konotasi negatif apa-pun, tetapi kita semua tahu latar belakang mengapa Orde Baru mendadak membakukan penggunaan kata Cina dalam bahasa Indonesia. Dari saat munculnya saja sudah jelas kata Cina dilepas di tengah kampanye witch hunt terhadap PKI dan warga keturunan Tionghoa yang diassosiasikan sebagai agen-agen RRT, agen-agen Cina komunis yang harus ditumpas. Memang di situlah titik awal tegaknya kekuasaan represif Orde Baru: menanam benih rasisme dan eksplosi kebencian terhadap keturunan Tionghoa yang latent bisa meledak atau diledakkan sewaktu-waktu sesuai keperluan. Yang dikatai-katai Cina ini, kadar kepatriotannya mungkin lebih kental daripada rata-rata orang yang mengaku “pribumi asli”. Kenyataan itu Siauw nyatakan dalam perbuatan dan pekerjaan, bukan sekedar verbal hampa. Orde Baru dengan gampang saja mencampakkan dan menghapus segala sumbangsih Siauw yang sebagai parlementerier ulung telah menghasilkan berbagai undang-undang, peraturan maupun wawasan politik, ekonomi dan budaya guna membina kesatuan dan persatuan nasion Indonesia dalam masyarakat plural, etnik, agama, budaya maupun paham politik. Selain itu besar sahamnya dalam melahirkan sarjana dan kaum intelektual muda Indonesia lewat program pendidikannya dengan pendirian sekolah-sekolah berbagai tingkat sampai pada perguruan tinggi. Mercu suar bagi golongan Tionghoa peranakan maupun totok, Siauw tidak henti-hentinya tanpa pamrih menanamkan kesadaran pada mereka yang lahir dan hidup di Nusantara ini bahwa tanah air mereka adalah Indonesia. Rasisme terhadap golongan etnis Tionghoa memang punya sejarah panjang. Kolonialisme Belanda sengaja menggunakan rasisme sebagai instrumen devide et impera untuk secara ekonomis menguasai koloni yang kawiulannya beragama etnik dan budaya ini. Tetapi sejak Indonesia merdeka, apalagi akan memasuki millennium berikutnya, problema rasial itu sepenuhnya sudah menjadi permasalahan bangsa Indonesia sendiri, dia menjadi tanggung jawab di pundak elit politik berikut kaum cendikianya. Kita seret di sini cendikia Indonesia, para akademi, terutama pakar ilmu sosial, karena sangat disayangkan bahwa mereka sampai detik ini belum menghasilkan satu kajian mendalam dan menyeluruh mengenai apa yang disebut “domestic Chinese” ini, belum ada class analysis yang membedah suatu segment bangsa Indonesia yang justru patut menjadi bahan penelitian serius. Apa yang ada baru kajian fragmentaris menyoroti satu dua aspek dari suatu entity yang kompleks. Cukup banyak tulisan malah ikut menyumbang kepada penyebaran persepsi rancu terhadap golongan keturunan Tionghoa, kelompok yang inheren sudah menjadi bagian masyarakat Indonesia. Berbagai persepsi stereotip menjamur dalam masyarakat kita, seperti: semua Cina kaya-raya. Semua konglomerat ya Cina. Yang kolusi dengan pejabat menguras kekayaan bumi Indonesia, ya Cina. Mana ada Cina melarat? Cina petani yang miskin? Gebyah-uyah dan main pukul rata ini jelas menyuburkan kecemburuan sosial destruktif. Elit politik kanan dan kiri, reaksioner maupun progresif dengan cara satu dan lain hal, ikut bertanggung jawab atas kerancuan persepsi seperti itu. Siauw Giok Tjhan dengan keuletan luar biasa berusaha mendudukan persoalan secara benar. Untuk ini dia harus tembus rimba belukar kebodohan dan kekerdilan: “pemimpinpemimpin asli”, peranakan Tionghoa maupun totok yang picik pandangannya. Dengan konsep-konsepnya dia meyakinkan bahwa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial bukanlah caranya mencari apalagi menciptakan kambing hitam: si Cina kaya, si Cina pedagang. Itu sama saja dengan mengamputasi kaki dan tangan yang sangat diperlukan untuk bekerja, hanya gara-gara telinga gatal. Begitulah ciri berbagai kebijakan penguasa yang lantang menentang rasisme, mereka juga keras berkoar tentang pembauran dan assimilasi – ternyata assimilasi mereka kipaskipas rasisme untuk tetap melestarikan kedudukan politik golongannya. Massa Rakyat kecil lantas dijadikan subyek dan obyek sekaligus. Siauw Giok Tjhan membuka mata kita tentang betapa besar potensi yang dikandung oleh manusia dan bumi Indonesia, asal segala kerancuan persepsi dibenahi, membikin produktif segala yang kontra-produktif. Dengan karya biografis ini kita dapat mengikuti perspektif wawasan Siauw tentang potensi besar konsep integrasi dan ke-bhinneka-tunggalan warga yang sebenarnya dimiliki Nasion Indonesia. Berhasilkah Siauw Giok Tjhan? Ada saat-saat yang rasanya seakan berhasil, tetapi kemudian mentah kembali. Penulis buku ini – walaupun anak kandungnya sendiri – menguraikan dengan jelas wawasan berpikir ayahnya secara objektif tanpa pretensi menyodorkan suatu kebenaran yang mutlak harus diikuti. Tetapi sekurang-kurangnya lewat penulisan yang menarik dan lancar, buku ini mengajak orang berpikir merefleksikan segala pengalaman positif dan negatif di masa lampau guna menempuh jalan terbaik dan paling tepat dalam masalah Rasisme yang kunjung tak selesai sampai hari ini. Kita menekankan sekali lagi di sini pentingnya analisis kelas yang mendasar dan menyeluruh mengenai warga keturunan Tionghoa ini, bagian integral Nasion Indonesia kita. Tak akan rampung menyelesaikan masalah rasisme selama persepsi stereotip masih meraja-lela, selama inventarisasi masalah dengan lengkap dan tuntas belum dilakukan. Joesoef Isak DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN Hubungan Antara Siauw dan Penulis Sejarah Singkat Golongan Tionghoa Timbulnya Totok dan Peranakan Tiga Aliran Politik dalam Komunitas Tionghoa Perjalanan Politik Siauw BAB 2 MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN POLITIK Pendidikan Sekolah Dasar dan Keluarga Pendidikan Sekolah Mednengah dan Berorganisasi Dunia Liem Koen Hian dan Nasionalisme Indonesia Jurnalisme dan Kancah Politik Pola Pandangan Politik Siauw Giok Tjhan 1 5 11 12 15 22 27 30 33 41 45 54 BAB 3 ZAMAN JEPANG DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 63 Reaksi terhadap Pendudukan Jepang 63 Pembentukan Badab-Badan Para Militer 73 Proklamasi Kemerdekaan BAB 4 PARTAI SOSIALIS, BADAN PEKERJA & YOGYAKARTA 88 Masuk Partai Sosialis 89 KNIP dan Badan Pekerja 96 Kabinet Amir Sjarifuddin 06 Berada di Oposisi 117 BAB 5 JURNALISTIK &FRAKSI NASIONAL PROGRESIF Dunia Jurnalistik Siauw Di Parlemen Fraksi Nasional Progresif Razia Sukiman 29 130 149 157 163 BAB 6 LAHIRNYA BAPERKI Perkembangan Politik Setelah Juli 1953 Masalah Kewarganegaraan Organisasi-organisasi Tionghoa pada tahun 50-an Lahirnya Baperki Peranan Tan Gien Hwa 172 172 177 182 187 197 BAB 7 BAPERKI DALAM PEMILU 1955 Perjanjian Vote-Pooling Kampanye Baperki Hasil Pemilu 202 211 213 220 BAB 8 PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL Politik Asli Politik Benteng dan Importir Nasional Transportasi Bis dan Truk Penggilingan Pasi Ekonomi Nasional Gerakan Assaat 227 229 233 237 239 240 241 BAB 9 KEWARGANEGARAAN DAN DWI-KEWARGANEGARAAN RUU Kewarganegaraan 246 Surat Bukti Kewarganegaraan 251 Masalah Dwi-Kewarganegaraan 254 UU Kewarganegaraan 263 BAB 10 TRANSISI KE DEMOKRASI TERPIMPIN Masa Pergantian Politik Masa Permusyawarahan Hancurnya Demokrasi Parlementer dan kembali ke UUD-45 Konflik dalam Baperki tentang Demokrasi Terpimpin 267 267 275 279 286 BAB 11 DEMOKRASI TERPIMPIN Struktur Baru dan Ideologi Bari Reaksi Siauw terhadap Demokrasi Terpimpin Masalah Kewarganegaraan PP-10 Ekonomi Terpimpin dan Kegagalannya Kerusuhan Anti-Tionghoa 1963 Posisi Politik Baperki 290 290 294 300 305 308 313 316 BAB 12 PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BAPERKI Terjunnya Baperki dalam Dunia Pendidikan Berdirinya sekolah-sekolah Baperki Berdirinya Universitas Baperki Pendidikan Politik 323 324 326 330 324 BAB 13 NATION BUILDING, INTEGRASI DAN ASSIMILASI Lahirnya Gerakan Assimilasi Formulasi Siauw: Nation Building dan Integrasi Nasion Indonesia Baperki Vs LPKB BAB 14 AKHIR HIDUP BAPERKI Situasi dan Lingkungan Politik Soekarno dan Siauw PKI dan Siauw Peristiwa G-30-S BAB 15 ZAMAN ORDE BARU Tahanan Politik Menjadi Pelarian Politik di Belanda 342 350 350 358 362 363 368 371 376 385 385 410 BAB 16 KESIMPULAN 425 AMANAT BUNG KARNO - KONGRES BAPERKI KE 8 - 1963 437 INDEX 457 Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN Buku ini berbentuk biografi dari seorang tokoh yang pernah memainkan peranan penting dalam kancah politik dan pembangunan bangsa Indonesia dari tahun 1932 sampai tahun 1965, Siauw Giok Tjhan. Dari namanya orang segera mengetahui bahwa Siauw Giok Tjhan adalah seorang peranakan Tionghoa. Memang benar, ia adalah seorang peranakan Tionghoa dari generasi ke tiga di Indonesia. Walaupun demikian, di dalam sejarah perjuangan mencapai dan mengkonsolidasi kemerdekaan Indonesia, banyak tokohnya mengingat Siauw sebagai seorang patriot yang gigih dalam memperjuangkan perwujudan Nasion Indonesia dan berbagai perbaikan yang menguntungkan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ia duduk dalam berbagai badan legislatif, dimulai dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1946, kemudian Badan Pekerja-nya pada tahun 1947, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS) pada tahun 1949, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari tahun 1950 sampai 1959, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dari tahun 1960 sampai 1966, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari 1960 sampai 1966. Disamping kegiatannya dalam bidang legislatif, ia juga duduk di dalam Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari tahun 1959 sampai 1966, dan berbagai lembaga penting lainnya, di antaranya sebagai anggota Dewan Harian Angkatan 45. Di dalam zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959), Siauw mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh di parlemen, Fraksi Nasional Progresif yang beranggotakan beberapa partai politik seperti Murba, Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat 1 Siauw Giok Tjhan Nasional (PRN), Serikat kebangsaan Indonesia (SKI), Persatuan Marhaen Indonesia (Permai), AKOMA, Baperki dan beberapa tokoh tidak berpartai seperti Mohamad Yamin. Sebagai seorang politikus, Siauw mempunyai pembawaan yang memungkinkannya untuk berhubungan intim dengan banyak tokoh dari berbagai aliran politik, diantaranya Presiden Soekarno, Sartono (PNI), Ali Sastroamidjojo (PNI), Aruji Kartawinata (PSII), Sudibjo (PSII), Tambunan (Parkindo), Kasimo (Partai Katolik), Sukarni (Murba), Adam Malik (Murba), Zainul Arifin (NU), Djodi Gondokusumo (PRN) dan Mohamad Yamin (Non Partai). Keintiman dengan para tokoh ini banyak membantu Siauw dalam kegiatankegiatan politiknya. Walaupun keaktifannya di dalam kancah politik Nasional dan dikenalnya Siauw di dalam kalangan gerakan politik Nasional sebagai “bung Siauw”, karena ia memimpin Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebuah organisasi massa yang sebagian besar anggotanya adalah warga negara keturunan Tionghoa dari tahun 1954 sampai tahun 1966, Siauw lebih banyak dikenal masyarakat Indonesia sebagai pemimpin komunitas Tionghoa. Melalui organisasi massa Baperki, Siauw menyebar-luaskan konsepsi pembangunan Nasion Indonesia. Ia berpendapat bahwa Indonesia, sejak pembentukannya, tidak mengenal Ras Indonesia. Ini tidak memungkinkan dibenarkannya kebijakan yang bersandar atas Indonesia “asli” dan “non-asli”. Indonesia merupakan sebuah bangsa, sebuah Nasion yang terdiri dari berbagai suku. Siauw berpendapat bahwa komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi menetap di Indonesia, hendaknya menganggap dirinya dan diterima oleh masyarakat sebagai salah satu suku yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, Siauw menganjurkan diterapkannya paham integrasi, di mana setiap suku meng-integrasikan dirinya ke dalam tubuh Nasion Indonesia, tanpa menanggalkan ciri-ciri kesukuan-nya. Keberadaan hukum setiap orang Indonesia yang berada di dalam tubuh Nasion Indonesia ini 2 Pendahuluan adalah kewarganegaraan Indonesia. Dasar perjuangan Siauw adalah apa yang dicanangkan oleh Indische Partij sejak tahun 1912, yang dilanjutkan oleh Gerindo, dan kemudian menjadi dasar jiwa proklamasi 1945 yang dicantumkan dalam Manifesto Politik November 1945, yaitu menjadikan semua keturunan asing warga negara Indonesia dan patriot sejati Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin. Ini, menurut Siauw, azas penting pembangunan Nasion Indonesia, sebuah nasion yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa, Nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Buku ini menuturkan perjuangan Siauw dalam mewujudkan formulasi pembangunan Nasion Indonesia yang digambarkan ini. Siauw mendukung paham sosialisme. Ia berpendapat bahwa sosialisme merupakan penyelesaian dan jalan keluar untuk berbagai masalah politik dan sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan direalisasinya masyarakat sosialis ala Indonesia yang didengungkan dalam zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), menurut Siauw, masalah minoritas Tionghoa dan pengintegrasian komunitas Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia akan dapat diselesaikan. Dekatnya Siauw dengan Soekarno di dalam zaman Demokrasi Terpimpin menolong berbagai usahanya. Banyak pidato Soekarno menurut-sertakan berbagai pandangan Siauw yang telah didengungkan sejak tahun 50-an. Bahkan beberapa GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang disahkan oleh MPRS pada tahun 1963 yang berhubungan dengan pengembangan modal ekonomi domestik mengandung formulasi ekonomi yang disebar-luaskan oleh Siauw sejak tahun 50-an. Dalam zaman yang kini lebih dikenal sebagai zaman Orde Lama ini, Siauw dan Baperki-nya berhasil meraih hasil-hasil yang gemilang. Akan tetapi keberadaan Siauw dan Baperki di dalam barisan Soekarno yang sejak tahun 1963 merangkul PKI dan para organisasi kiri lainnya, membawanya ke malapetaka ketika kekuatan politik jatuh ke tangan barisan yang menentangnya, kekuatan 3 Siauw Giok Tjhan politik sayap kanan yang dipimpin oleh para tokoh Angkatan Darat dan partai-partai Islam, pada akhir bulan Oktober 1965. Pembasmian politik kiri dan para penganutnya yang dipimpin oleh Jendral Soeharto, menjatuhkan lebih dari satu juta korban dan menyebabkan puluhan ribu orang meringkuk dalam tahanan berbelasan tahun tanpa proses pengadilan. Siauw berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan posisi Baperki dan melindungi para anggota serta komunitas Tionghoa dari hantaman sistematis yang dilakukan oleh pihak penguasa militer. Tetapi usahanya gagal total. Universitas Baperki di Jakarta, Universitas Respublica (kini Universitas Trisakti) dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965. Siauw sendiri ditangkap oleh penguasa militer pada tanggal 4 November dan setelah itu beberapa tokoh Baperki lainnya juga ditangkap. Baperki dibubarkan secara resmi pada bulan Maret 1966. Selama 10 tahun setelah itu, Siauw meringkuk dalam berbagai penjara sebagai tahanan politik. Pada bulan September 1975, ia diizinkan pulang ke rumahnya, tetapi dengan status tahanan rumah. Dalam masa tahanan rumah ini, ia merampungkan tiga manuscript, Sebuah Renungan, Lima Zaman dan For A Brighter Future. Pada tanggal 1 May 1978, ia dibebaskan secara resmi oleh penguasa militer. Pada waktu itu, kesehatannya jauh mundur. Selama di penjara, ia beberapa kali mendapat serangan jantung. Penglihatan mata kirinya tinggal 10%. Atas bantuan kawan karibnya, Adam Malik, yang pada waktu itu Wakil Presiden, ia diizinkan untuk pergi ke negeri Belanda untuk berobat. Bersama istrinya, Tan Gien Hwa, ia mendarat di Amsterdam pada tanggal 18 September 1978. Tetapi Siauw tidak memperhatikan nasehat para dokternya untuk beristirahat. Ia segera aktif dalam berbagai kegiatan. Ia terjun dalam usaha mengumpulkan dana untuk para eks tahanan politik (tapol) dan para keluarganya. Disamping itu ia juga sering memberi ceramah tentang keadaan politik Indonesia dan jalan keluarnya di berbagai kota di Eropa. Pada tanggal 20 November 1981, beberapa menit sebelum ia memberi ceramah tentang kegagalan Indonesia dalam mencapai 4 Pendahuluan demokrasi di hadapan para akhli Belanda tentang Indonesia di Universitas Leiden, ia mendadak meninggal karena serangan jantung. Catatan yang seyogyanya menjadi dasar ceramah tersebut menunjukkan bahwa Siauw tetap optimis bahwa perjuangan untuk menciptakan Indonesia yang demokratis akan berhasil dan kecintaannya terhadap Indonesia yang dianggap sebagai tanah airnya jelas terkandung di dalam catatan tersebut. Pada hari itu, Siauw telah meninggal sebagai seorang patriot Indonesia di negara asing. Banyak pengarang buku tentang politik Indonesia menulis Siauw sebagai seorang komunis atau simpatisan komunis. Buku ini akan menunjukkan bahwa walaupun Siauw adalah seorang Marxist dan mendukung paham-paham sosialisme, ia tidak pernah masuk PKI. Bahkan pandangannya tentang Marxisme-pun tidak dogmatis. Bilamana pelaksanaan paham Marxisme itu bertentangan dengan usahanya dalam melindungi hak dan posisi komunitas Tionghoa, ia senantiasa siap untuk menentangnya. Formulasi ekonomi yang Siauw pegang sampai akhir hayatnya mendukung dikembangkannya domestic-capital dalam membangun Ekonomi Nasional. Dalam batas-batas tertentu, ia menginginkan dipertahankannya sistem kapitalisme yang bersandar pada pengembangan modal kapital para pedagang nasional untuk membangun kemakmuran Indonesia yang merata. Hidup Siauw dipenuhi dengan pekerjaan dan tugas politik. Jadi penghidupan sosial dan kekeluargaannya juga senantiasa tercampur kegiatan politik. Buku ini dengan sendirinya lebih banyak menyorot penghidupan Siauw sebagai tokoh politik ketimbang penghidupan pribadi dan keluarganya. Hubungan antara Siauw dan Penulis Siauw Giok Tjhan adalah ayah kandung saya. Keputusan saya untuk menulis buku ini terdorong oleh kekaguman saya akan 5 Siauw Giok Tjhan kualitas Siauw sebagai seorang tokoh politik dan keteguhannya dalam mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip politiknya. Sebenarnya, saya tidak begitu mengenalnya. Ketika ia ditahan pada bulan November 1965, saya baru berumur 9 tahun. Sejak saat itu, saya tidak pernah hidup bersamanya. Saya meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi saya di Australia pada tahun 1973, dua tahun sebelum statusnya diubah menjadi tahanan rumah. Sebelum saya meninggalkan Indonesia, pertemuan saya dengannya dilakukan di beberapa rumah tahanan di Jakarta. Tetapi justru pertemuan-pertemuan singkat di penjara-penjara inilah yang membangkitkan kebanggaan saya terhadapnya dan yang mendorong saya untuk mengetahui secara mendetail siapa sosok Siauw Giok Tjhan itu. Sebagai tapol, Siauw meringkuk dalam beberapa penjara di Jakarta. Sebagian besar dari 6 tahun pertama menjadi penghuni penjara Salemba, penjara terbesar di Jakarta. Pertemuan dengan keluarga di penjara ini sangat terbatas. Pada umumnya keluarga hanya bisa bertemu dengan tapol sekali dalam dua bulan dan itupun dibatasi untuk jangka waktu 10-15 menit. Pertemuanpertemuan keluarga saya dengan Siauw sering dilakukan dalam sebuah ruangan kecil di mana dua atau tiga petugas penjara hadir dan mendengarkan semua pembicaraan dan tindak tanduk kami. Pada bulan Juni 1970 Siauw mendadak dipindah ke sebuah kamp di Kebayoran Lama. Di sana ia diberitahu bahwa ia akan diadili dan persiapan untuk pengadilan di kamp yang dinamakan SATGAS (Satuan Tugas) Kebayoran Lama itu dimulai. Beberapa bulan kemudian, ia dipindah ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Lapangan Banteng. Di dua tempat ini, Siauw diinterogasi secara sistematis. Kadang-kadang ia diperiksa berjam-jam non-stop dan pemeriksaan sering dimulai pada pukul 12 malam hingga pagi hari. Proses pemeriksaan ini berlangsung secara terputus-putus selama 2 tahun. Ia diperiksa secara berturut-turut selama 1 bulan, kemudian didiamkan selama 4 bulan. Setelah itu pemeriksaan diulang untuk 2 bulan sebelum dihentikannya lagi. Tim pemeriksanya sering 6 Pendahuluan berganti walaupun pertanyaan-pertanyaannya berkisar pada hal yang sama, yaitu keterlibatan Siauw dalam Gerakan 30 September (G-30-S) dan hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemeriksaan berhenti total pada bulan Agustus 1972 dan ia dipindah ke penjara Nirbaya (Interniran dalam Keadaan Bahaya), sebuah tahanan yang dipakai khusus untuk memenjarakan tokohtokoh dan pimpinan Angkatan Bersenjata di zaman Orde Lama. Pada bulan Juli 1973, Siauw dikembalikan ke Salemba. Walaupun Siauw tidak pernah disiksa dan perlakuan terhadapnya relatif baik, dalam pengertian para petugas penjara dan tim pemeriksa memperlakukannya dengan keramahan dan sopan santun, tekanan batin yang dialaminya dalam proses pemeriksaan yang berlangsung selama 2 tahun di luar Salemba itu cukup berat. Tekanan psikologis dalam bentuk pertanyaan berulang dan kehadiran calon-calon saksi dalam ruang pemeriksaan dalam keadaan yang jauh lebih parah darinya, bahkan jelas disiksa, sangat mengganggu kewajarannya dalam berpikir. Dalam hal ini, ia sangat memerlukan teman berdiskusi, teman yang ia bisa percayai tidak akan menyalah gunakan penyampaian jalan pikiran yang sesungguhnya. Pada saat inilah, saya yang baru berumur belasan tahun memainkan sebuah peranan yang berguna dan yang rupanya mengandung “psychological therapy” untuknya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kebijakan penguasa tahanan SATGAS Kebayoran Lama, RTM dan Nirbaya berbeda dengan Salemba. Pertemuan keluarga bisa dilakukan seminggu sekali untuk jangka waktu satu jam. Pertemuannya juga bisa dilakukan secara santai dan tidak diawasi secara ketat. Kebijakan inilah yang memungkinkan keluarga kami untuk menemui Siauw secara teratur dan kesempatan ini saya gunakan semaksimal mungkin. Pada mulanya saya hanya terdorong oleh rasa penasaran dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Penasaran, karena di sekolah saya sering mendengar bahwa Baperki adalah organisasi komunis yang harus diganyang dan orang-orang komunis seharusnya 7 Siauw Giok Tjhan dipenjarakan selama-lamanya karena mereka adalah penghianat bangsa. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan padanya di pertemuan mingguan ini ternyata “seirama” dengan pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh tim pemeriksanya. Perbedaannya adalah, pada saya, ia bisa jauh lebih relax karena ia bisa memberi jawaban dengan penjelasan panjang lebar tanpa khawatir akan konsekwensi jawabannya terhadap para tokoh politik dan dirinya sendiri. Demikianlah, pertemuan mingguan ini lalu berubah menjadi suasana tanya jawab di mana Siauw menceritakan pengalaman perjuangannya dan kesan-kesannya tentang berbagai sosok politik yang berinteraksi dengannya. Tanpa disadari, proses pengumpulan bahan tentang riwayatnya dimulai sejak saat itu, walaupun tidak ada yang dicatat. Saya lebih terdorong lagi untuk mengetahui lebih banyak tentangnya. Biasanya, begitu pulang dari penjara, saya segera membaca pidato-pidato serta tulisan-tulisannya. Disamping itu, saya sering menemui teman- teman sebayanya dan bertanya tentang apa yang ia kerjakan dan ia ingin capai dalam perjuangan politiknya. Kekaguman saya terhadap dirinya berubah menjadi kebanggaan karena setiap orang yang saya ajak berdiskusi memujinya. Saya selalu menantikan tibanya hari Sabtu, hari pertemuan mingguan itu, untuk mendengar cerita-ceritanya dan untuk menunjukkan kemampuan saya dalam menunaikan tugas-tugas yang ia berikan pada saya. Ia “menugaskan” saya untuk mendengarkan berita-berita yang disiarkan oleh Radio Peking, Radio Moscow, BBC dan ABC dan menghapalkannya untuk kemudian disampaikan padanya. Saya juga dimintanya untuk mengumpulkan guntingan surat-surat kabar dan berbagai majalah asing untuk diselundupkan ke dalam penjara. Atas kebaikan beberapa temannya yang tidak ditahan, saya berhasil mengumpulkan beberapa surat kabar dan majalah-majalah asing seperti Time, NewsWeek dan Far Eastern Economic Review, untuk kemudian saya jadikan news clippings. Gumpalan guntingan surat kabar dan majalah itu harus saya sampaikan padanya ketika kami bersalaman tangan dan saya ingat 8 Pendahuluan bahwa episode itu selalu membuat hati berdebar-debar, karena takut kami tertangkap basah oleh para penjaga penjara. Tapol dilarang menerima bahan bacaan yang mengandung berita atau politik. Pertemuan mingguan ini diadakan dalam sebuah ruangan yang cukup besar di mana beberapa keluarga Tapol duduk bersamaan. Kadang-kadang sayapun dimintanya untuk duduk di sebelah tapol lainnya untuk mengulang penyampaian berita yang saya hapalkan. Kesempatan dalam berhubungan dengan para tapol lainnya ini juga saya gunakan untuk mendengar pendapat mereka tentang sosok Siauw Giok Tjhan. Lagi-lagi, saya gembira mendengar pujian tentang Siauw dari mereka. Pertemuan yang reguler ini terhenti ketika Siauw dikembalikan ke Salemba pada bulan Juli 1973. Pertemuan jarang dengan waktu singkat dan pengawasan yang ketat di Salemba, tidak lagi memungkinkan apa yang saya lakukan selama dua tahun sebelumnya. Pada tanggal 28 Desember 1973, satu hari sebelum saya berangkat ke Australia, ibu dan saya diberi kesempatan untuk menemuinya di sebuah ruangan kecil untuk beberapa menit. Pada waktu berpisahan, ia dengan lantang mengatakan:” Ingat selalu, Djin adalah orang Indonesia dan jangan hidup untuk diri sendiri...”. Kata-kata yang sering mendengung di telinga saya sampai sekarang. Setelah itu saya hanya berkesempatan berkumpul dengannya selama dua minggu pada awal tahun 1978 di Jakarta dan dua minggu pada awal 1980. Walaupun demikian hubungan kami tetap dekat karena sejak ia dijadikan tahanan rumah pada bulan September 1975, kami saling surat menyurat seminggu sekali. Surat-suratnya berisikan pendidikan politik, bagaikan editorial surat kabar di mana perkembangan politik dunia, khususnya Indonesia dianalisanya. Sekali-kali, pengalaman perjuangannya dituangkan kembali dalam surat-suratnya ini dan dalam beberapa cassette rekaman suaranya. Setelah Siauw meninggal dunia pada bulan November 1981, saya tergerak untuk menulis riwayat hidupnya. Tetapi usaha ini tidak dimulai sampai saya bertemu dengan 9 Siauw Giok Tjhan Professor Dan Lev di rumah Dr. Herbert Feith di Melbourne pada pertengahan tahun 1988. Dan Lev pada waktu itu sedang merampungkan karangan tentang riwayat hidup Yap Thiam Hien. Pembicaraan dengan kedua akhli Indonesia inilah yang mendorong saya untuk mendisiplinkan diri untuk menulis biografi Siauw Giok Tjhan melalui proses riset PhD secara part-time yang dibimbing oleh Dr. Herbert Feith dan Dr. Barbara Hatley di Monash University. Dengan bantuan Herb dan Barbara thesis ini saya selesaikan pada tanggal 10 November 1998. Dilakukan secara part-time, karena saya bekerja di bidang lain, yaitu di dalam bidang teknik komunikasi dan saya-pun mengajar part-time sebagai dosen management di universitas lain. Thesis tersebut didasarkan research bertahun-tahun yang menurut sertakan semua tulisan Siauw Giok Tjhan baik yang diterbitkan maupun yang tidak, interview saya dengan Siauw sendiri dan berbagai orang yang pernah berhubungan dengan Siauw dan kebijakan politiknya yang kini menetap di Indonesia, Australia, Belanda, Jerman, Hongkong dan Tiongkok. Surat-surat kabar, majalah dan penerbitan berkala lainnya yang terbit dari tahun 30-an sampai tahun 65, risalah-risalah DPR, DPA, MPRS dan Baperki juga digunakan sebagai bahan dasar utama. Buku-buku yang ditulis oleh para akhli seperti George Kahin, Herbert Feith, Daniel Lev, Rex Mortimer, Mary Sommers Heidhues, Charles Coppel, Jamie Mackie, Go Gien Tjwan dan Leo Suryadinata juga digunakan dalam membantu penganalisaan tentang berbagai perkembangan sejarah yang bersangkutan dengan perjalanan politik Siauw. Buku ini secara garis besar berdasarkan thesis tersebut walaupun penuturannya diubah sesuai dengan naluri saya dalam menuturkan riwayat Siauw Giok Tjhan. Hubungan yang digambarkan di atas itu menurut saya memberi kesempatan yang unik bagi seorang biographer, karena banyak hal yang orang lain tidak ketahui dan tidak mungkin ketahui, berada dalam benak saya. Akan tetapi, hubungan semacam ini juga menimbulkan sebuah masalah pelik dalam menyusun sebuah 10 Pendahuluan karya yang bersifat netral dan objektif. Pada waktu penulisan thesis, Herb dan Barbara banyak membantu dalam mengurangi penuturan yang cenderung berat sebelah. Akan tetapi, karena buku ini tidak berbentuk thesis lagi, saya memutuskan untuk tidak terlalu banyak mengekang diri saya dalam menguraikan kekaguman saya terhadap sosok Siauw Giok Tjhan dan kebanggaan saya sebagai anak kandung ke-enam-nya. Sejarah Singkat Golongan Tionghoa di Indonesia Untuk bisa mengikuti dan menyelami perjuangan politik Siauw Giok Tjhan, perlu kiranya dituturkan sedikit sejarah perkembangan komunitas Tionghoa di Indonesia yang diwakilinya dan dipimpinnya. Perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa sudah berlangsung di Indonesia sejak abad ke 7. Ada beberapa laporan yang menunjukkan bahwa kedatangan orang Tionghoa dalam gelombang besar dimulai sejak abad ke 15 dan pada waktu orang Belanda mendarat di Indonesia pada awal abad ke 17, pedagang Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar telah beroperasi di kotakota pulau Jawa. Pada umumnya mereka ini berasal dari golongan Hokkian1. Di pertengahan abad ke 19, migrasi orang Tionghoa ke Hindia Belanda meningkat dengan hebat. Mereka pada umumnya berasal dari Tiongkok Selatan dan meninggalkan daerahnya karena keadaan ekonomi yang parah dan kekacauan yang disebabkan oleh pemberontakan Tai Ping. Mereka juga tertarik untuk ke Hindia Belanda karena perkembangan ekonomi di sana, apalagi setelah tahun 1870 di mana investasi Belanda dalam bidang perkebunan dan pertambangan di Sumatra dan Kalimantan melonjak ke atas. Pendatang baru di akhir abad ke 19 ini pada umumnya berasal dari 1 Marilyn W. Clark, Overseas Chinese Education In Indonesia, US Government Printing Office, 1965, p.2 11 Siauw Giok Tjhan kelompok Hakka dan Tio Chiu2. Migrasi dari Tiongkok setelah tahun 1930 menurun, apalagi setelah pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang yang melarang di-importnya buruh dari luar negeri, dengan tujuan mengurangi dampak resesi ekonomi dunia. Timbulnya Golongan Totok dan Peranakan Sebagian besar orang Tionghoa yang datang pada gelombanggelombang migrasi pertama berasal dari golongan Hokkian dan menetap di pulau Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki yang kemudian menikah dengan para wanita penduduk setempat yang dikategorikan “asli”. Kelompok ini lalu berkembang dan di dalamnya berlangsung perkawinan di antara sesamanya sehingga timbullah sebuah komunitas besar dalam masyarakat Indonesia dan ia dinamakan golongan peranakan Tionghoa. Orang dari golongan ini pada umumnya fasih berbicara dalam bahasa setempat, termasuk Indonesia dan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan serta kebiasaan setempat. Pada awal abad ke 20, banyak pendatang Tionghoa yang sampai di Hindia Belanda membawa isterinya dari Tiongkok. Mereka pada umumnya berasal dari golongan Hakka dan Kong Fu (Cantonese). Mereka ini sering disebut sebagai “Sin-Keh” (pendatang baru) dan pada umumnya kokoh dalam mempertahankan kebudayaan dan tradisi kebiasaan yang dibawanya dari Tiongkok. Pada umumnya, mereka juga enggan untuk mengintegrasikan atau mengassimilasi dirinya dengan masyarakat setempat. Anak-anak mereka juga dididik dan dibesarkan berdasarkan pengertian ini. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa dialek dari mana mereka berasal dan bahasa Tionghoa-mandarin. Golongan ini dinamakan 2 Victor Purcell, The Chinese In South East Asia, Oxford, Singa pore, 1980, pp 411-412 12 Pendahuluan golongan totok Tionghoa. Definisi totok dan peranakan agak kompleks dan sering menimbulkan kekaburan. Charles Coppel membedakan kedua golongan ini berdasarkan tiga aspek masyarakat. Pertama, sandaran utamanya adalah ras. Orang totok adalah orang Tionghoa asli. Orang peranakan adalah produk kawin campuran. Kedua, tempat kelahiran. Orang totok pada umumnya dilahirkan di Tiongkok sedangkan orang peranakan dilahirkan di Indonesia. Aspek ketiga yang membedakan kedua golongan ini berhubungan dengan perkembangan sosial dan kultural di mana masyarakat Tionghoa ini berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Golongan peranakan pada umumnya berbahasa Indonesia atau fasih berbicara dalam bahasa lokal di mana mereka dibesarkan, seperti bahasa Jawa bagi mereka yang tinggal di pulau Jawa. Jadi mereka tidak lagi fasih berbicara dalam bahasa-bahasa dialek Tionghoa seperti Hokkian, Hakka, Teochiu dan Kongfu bahkan Mandarin3. Mary Somers mengeluarkan definisi yang lebih sederhana. Baginya, peranakan adalah seorang keturunan Tionghoa yang telah berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli dan sudah tidak lagi berkultur Tionghoa. Yang penting baginya adalah bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa-ibunya4. Skinner memberi tekanan yang agak berbeda. Ia mengutarakan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok dari berbagai komunitas Tionghoa yang tersebar di Indonesia. Masyarakat Tionghoa di pulau Jawa terasa lebih banyak dipengaruhi oleh masyarakat lokal bila dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa luar pulau Jawa, walaupun mereka sudah hidup di tempat tempat tinggalnya bergenerasi. Bagi Skinner mereka yang berhaluan ke Tiongkok walaupun sudah lahir di Indonesia adalah totok sedangkan yang berhaluan ke Indonesia, peranakan. Menurutnya, di pulau Jawa, 3 4 Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford Univer sity Press, Kuala Lumpur, 1983, pp 9-10 Mary Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, PhD Thesis, Cornell University, 1965, p 4 13 Siauw Giok Tjhan jumlah peranakan jauh lebih besar dari jumlah totok dan keadaan ini terbalik di luar pulau Jawa. Menurut perkiraan Skinner, berdasarkan census tahun 1930, dari 1,25 juta orang Tionghoa, 750.000 berasal dari golongan yang dikategorikannya sebagai peranakan. 420.000 dari peranakan ini, tingal di Pulau Jawa dan Madura5. Tentunya jumlah ini jauh lebih besar sekarang, tetapi belum ada indikasi baru yang bisa digunakan. Siauw Giok Tjhan sendiri, berdasarkan pengamatannya dan pengalamannya selama menjadi anggota DPR dan ketua Baperki, berkeyakinan bahwa jumlah orang Tionghoa peranakan, yang berasal dari perkawinan campuran antara mereka yang totok dan mereka yang dinamakan “asli”, jauh lebih besar dari apa yang tercatat. Banyak yang berada dalam kategori “asli”, karena penampilan fisiknya, bahasa yang dipergunakan dan kebudayaan yang dianutnya, sebenarnya adalah keturunan Tionghoa. Berdasarkan pengertian inilah Siauw selalu menolak logika orang dalam menekankan ke “aslian” seseorang, apalagi mengaitkan ke “aslian” seseorang dengan kesetiaannya terhadap Indonesia. Menurutnya, tidak ada seorang-pun yang bisa menyatakan bahwa dirinya adalah “asli” Indonesia. Assimilasi yang berlangsung selamat ber-abadabad di Indonesia yang melibatkan orang-orang yang berasal dari India, Arab, Eropa dan terutama Tiongkok, tidak pernah tercatat dengan benar di zaman penjajahan Belanda. Bilamana orang hanya menggunakan penampilan dan nama sebagai satu-satunya ukuran, ke-“aslian”nya pasti tidak bisa dipastikan. Banyak orang, menurut Siauw, yang terlihat sebagai Tionghoa, karena tempat kelahiran dan asal usul keluarganya, bisa menamakan dirinya “asli”. Sedangkan orang Tionghoa, keturunan keluarga Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di sebuah lokasi seperti Tanggerang dan hidup bercocok tanam sebagai petani, bisa memiliki penampilan yang lebih “asli” dari mereka yang menamakan dirinya “asli”. 5 G. William Skinner, “The Chinese in Indonesia”, in Ruth McVey (ed.), Indonesia, New Haven, Conn, 1963, pp 105-106 14 Pendahuluan Argumentasi ini sebenarnya bisa diterapkan di kalangan pimpinan Indonesia. Soeharto, yang menganggap dirinya “asli”, jelas terlihat seperti seorang keturunan Tionghoa. Sedangkan Bob Hasan, mantan menteri perindustrian di kabinet terakhir Soeharto, yang dianggap “keturunan” Tionghoa, memiliki penampilan sebagai orang “asli” atau “pribumi”. Menurut Siauw, komunitas orang yang tidak terdaftar sebagai peranakan Tionghoa ini jumlahnya jauh lebih besar dari mereka yang terdaftar sebagai Tionghoa. Jadi, banyak yang merasa dirinya “asli”, menurut Siauw, sebenarnya adalah peranakan Tionghoa. Ini tidak mungkin secara ilmiah dibantah, tidak ada catatan sipil dari abad ke 16 hingga awal abad ke 20. Siauw Giok Tjhan sebenarnya merupakan produk perkawinan campuran, antara totok dan peranakan. Ayahnya, lahir di Surabaya pada tahun 1880, adalah seorang peranakan dari asal Hokkian. Dia tidak bisa berbahasa Hokkian atau Mandarin. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga totok yang berbahasa Hakka. Ia juga fasih berbicara dalam bahasa Mandarin. Walaupun demikian, seperti diungkapkan nanti, ibunya ini hidup sebagai seorang peranakan bahkan dalam banyak hal, lebih beralkulturisasi ke Indonesia dari ayahnya, karena menjalankan banyak adat istiadat yang dijalankan oleh wanita-wanita “asli”. Posisi Golongan Tionghoa di dalam Zaman Penjajahan Belanda dan Munculnya Tiga Aliran Politik dalam Masyarakat Tionghoa Penjajah Belanda sangat membutuhkan kehadiran pedagang Tionghoa di Hindia Belanda. Ketika mereka tiba di kepulauan Nusantara pada abad ke 16, mereka mendapati sudah terbentuknya jaringan dagang Tionghoa yang efektif di pulau Jawa. Jaringan inilah yang memungkinkan para pedagang Tionghoa memperdagangkan barang- barang yang diimport dari Tiongkok dan tempattempat lainnya. Kehadiran VOC di Nusantara memang dengan 15 Siauw Giok Tjhan cepat menggantikan posisi pedagang Tionghoa dalam kancah perdagangan internasional, tetapi mereka melihat adanya faedah yang besar bilamana jaringan dagang Tionghoa di kepulauan Nusantara itu dipertahankan. Oleh karena itu, JP Coen, Gubernur Jendral yang pertama dari VOC mengeluarkan undang- undang yang menyebabkan berkembangnya jaringan dagang Tionghoa yang didominasi oleh pedagang-pedagang peranakan di dalam bidang distribusi barang, retail dan industri ringan, terutama di sekitar Batavia pada abad ke 176. Untuk memperkuat jaringan ini, yang sebenarnya menguntungkan posisi penjajah, VOC mengeluarkan beberapa peratutan yang meringankan pedagang-pedagang Tionghoa dalam mendapatkan hutang tak berbunga dan tarif-tarif import7 Situasi seperti inilah yang menyebabkan munculnya sebuah kelompok pedagang kaya peranakan Tionghoa di pulau Jawa. Sebagian dari mereka diberi pangkat Militer oleh penjajah Belanda, Letnan, Kapten dan Mayor. Mereka menjadi perantara antara pemerintah penjajahan Belanda dengan masyarakat Tionghoa. Mereka harus menterjemahkan dan menginterpretasikan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh VOC untuk kemudian disampaikan pada masyarakat Tionghoa. Kadang-kadang, nasehat dan pandangan mereka bisa juga mempengaruhi jalan pikiran dan keputusan-keputusan yang diambil oleh VOC. Walaupun mereka tidak memperoleh penghasilan resmi, tetapi posisi mereka sangat menguntungkan usaha dagangnya, karena mereka mendapatkan berbagai macam izin dagang, bisa bermonopoli dalam berbagai bidang perdagangan, mendapatkan potongan-potongan pajak dan anak anaknya diizinkan belajar di sekolah-sekolah yang didirikan khusus untuk orang Belanda. Oleh karenanya, bisa dimengerti bahwa pada umumnya mereka sangat 6 7 WL Castor, The Economic Position of the Chinese in the Neth erlands Indies, The University of Chicago Press, 1936, pp 7-9 Ibid. Pp 18-20 16 Pendahuluan setia pada sistem penjajahan dan seperti kelompok pedagang dan administrasi “asli” yang dinamakan Regents dan Priyai, mereka jarang memperjuangkan perbaikan nasib golongan yang diwakilinya. Kelompok pedagang yang berpangkat Letnan, Kapten dan Mayor ini merupakan sumber kekuatan kelompok Tionghoa yang mendukung penjajahan Belanda sampai pada waktu sistem “officer” ini dihapuskan pada tahun 30-an. Walaupun ada pedagang Tionghoa yang masuk ke dalam sistem “officer” ini, sebagian besar penduduk Tionghoa di Hindia Belanda adalah buruh, pedagang kecil dan tukang-tukang. Mereka sebenarnya hidup harmonis dengan penduduk setempat dan ini memungkinkan adanya proses akulturisasi dan assimilasi, terutama di Pulau Jawa8. Pada tahun 1830, setelah Culture System dijalankan, keberadaan pedagang-pedagang peranakan di dalam bidang opium, gula, perjudian, peminjaman uang dan transportasi mulai mengancam posisi ekonomi pedagang Belanda, terutama di pesisiran utara dan timur Pulau Jawa. Untuk mempertahankan dominasi ekonomi mereka di kawasan Nusantara, pemerintah penjajahan Belanda mengeluarkan berbagai macam peraturan dan kebijakan yang ditujukan untuk membatasi ruang gerak para pedagang Tionghoa, bahkan menekan semua penduduk Tionghoa di Hindia Belanda. Pada tahun 1863 dikeluarkan peraturan yang dinamakan Pass dan Zoning Systems yang memaksa semua penduduk Tionghoa untuk menetap di daerah-daerah pemukiman yang didirikan khusus untuk orang Tionghoa (yang kemudian lebih dikenal sebagai Pecinan). Penduduk Tionghoa diharuskan memperoleh Surat Jalan bilamana bepergian dari Pecinan-nya. Juga dikeluarkan peraturan yang melarang orang Tionghoa mengenakan pakaian-pakaian barat dan memaksa pria Tionghoa untuk memelihara kuncir rambut. Ethical Policy yang dikeluarkan pada tahun 1901 juga mengandung unsur-unsur anti Tionghoa di dalamnya. Kebijakan 8 Ibid. Pp 18-20 17 Siauw Giok Tjhan yang dikeluarkan untuk meringankan beban terhadap penduduk “asli” memerlukan biaya. Biaya ini ditampung oleh pajak-pajak terhadap pedagang Tionghoa yang sengaja ditinggikan jumlahnya. Peraturan-peraturan dan tekanan-tekanan terhadap golongan Tionghoa ini akhirnya mengundang perlawanan dari pihaknya. Perlawanan ini bisa timbul karena berkembangnya Nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda sebagai reaksi terhadap revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan berdirinya sebuah organisasi sosial Tionghoa pada tahun 1900, yang dinamakan Tiong Hoa Hwee Kwan - THHK (Perkumpulan Tionghoa). Sejak berdirinya THHK, istilah “Tionghoa” untuk bangsa Tionghoa dan “Tiongkok” untuk negara Tiongkok dipergunakan di Hindia Belanda, mengganti istilah “Cina” yang mengandung penghinaan, terutama di Pulau Jawa. THHK didirikan untuk membangkitkan rasa ke-Tionghoaan melalui norma-norma agama Kong Hu Cu. Para pemimpinnya, yang sebagian besar adalah para peranakan yang berpendidikan juga membuka sekolah-sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa Kuo Yu (Mandarin) dan mendasarkan program pendidikannya atas bahan- bahan yang diambil dari pendidikan modern Jepang. Dalam waktu beberapa tahun saja, THHK berhasil membuka cabang di kotakota besar di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Karena bahasa pengantar yang digunakan adalah Mandarin, sekolah-sekolah THHK telah membuka kemungkinan bagi para penduduk Tionghoa dari berbagai macam aliran (Hokkian, Hakka dan Teo Chiu) untuk bisa saling berkomunikasi. Juga karena kualitas pendidikannya dianggap baik, banyak peranakan mengirim anak-anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah THHK. Melalui sekolah-sekolah inilah, Nasionalisme Tionghoa disebarkan di Hindia Belanda9. Nasionalisme Tionghoa juga terwujud melalui terbentuknya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) pada tahun 1906 dan Soe Poe Sia (Klub Pembaca Tionghoa) pada tahun 1909. Soe 9 Lea Williams, Overseas Chinese Nationalism, The Free Press, 1961, pp 83-93 18 Pendahuluan Poe Sia sangat aktif dalam menerbitkan dan menyebarkan bahanbahan bacaan tentang Nasionalisme Tionghoa. Walaupun kedua organisasi ini didominasi oleh totok, banyak pula peranakan yang aktif di dalamnya. Perkembangan di atas menyebabkan munculnya beberapa penerbitan surat kabar baru dalam bahasa Tionghoa-Melayu yang ditujukan untuk penduduk Tionghoa pada tahun-tahun 1909 dan 1910, termasuk Hoak Tok Po di Batavia, Djawa Kong Po di Semarang, Han Boen Sin Po di Deli-Sumatra dan Sin Po di Batavia10. Dari kesemuanya ini, Sin Po muncul sebagai sumber berita yang sangat berpengaruh. Bahkan, kelompok yang dikenal sebagai kelompok yang ber-orientasi ke Tiongkok disebut sebagai kelompok Sin Po. Tujuan kelompok ini adalah membangkitkan Nasionalisme Tionghoa di dalam kalangan komunitas Tionghoa, terutama peranakannya, mengembangkan penggunaan Mandarin sebagai bahasa sehari-hari, membangkitkan persatuan antara kelompok peranakan dan totok, mengaktifkan kelompok Tionghoa dalam berbagai kegiatan politik dan pengumpulan dana untuk berbagai kegiatan politik di Tiongkok. Berkurangnya pengaruh para pedagang besar yang diberi predikat Letnan, Kapten dan mayor pada awal abad ke 20 memungkinkan kelompok Sin Po memainkan peranan besar dalam mempengaruhi jalan pikiran komunitas Tionghoa peranakan, terutama di pulau Jawa. Kelompok ini berhasil meyakinkan sebagian besar penduduk Tionghoa untuk memilih kewarganegaraan Tiongkok dan menolak untuk menjadi Kaula Belanda. Pada tahun 1917, mereka mengadakan sebuah konperensi besar di Semarang yang dihadiri oleh 700 orang. Dalam konperensi ini mereka berhasil meyakinkan para pendatangnya untuk menolak ikut sertanya golongan Tionghoa dalam perwakilan Volksraad (Parlemen penjajahan Belanda). Bagi Kelompok Sin Po, menerima perwakilan Tionghoa di Volksraad menandakan bahwa penduduk Tionghoa menerima menjadi Kaula 10 Leo Suryadinata, Peranakan Chinese Politics in Java, Singa pore University Press, Singapore, 1981, pp 12-20 19 Siauw Giok Tjhan Belanda. Bertambah besarnya pengaruh kelompok Sin Po mengkhawatirkan penjajah Belanda, apalagi setelah terlihat dukungan golongan Tionghoa terhadap penjajahan Belanda kian mengurang dan semakin meningkatnya kritik-kritik golongan Tionghoa terhadapnya. Karena ini, pemerintah Belanda mulai mengeluarkan berbagai kebijakan yang bisa diandalkan oleh untuk menarik hati golongan Tionghoa. Pada tahun 1908, sekolah-sekolah khusus untuk golongan Tionghoa dibuka, dinamakan HCS (Sekolah untuk Anak Tionghoa). Standard pendidikan HCS hampir sama dengan standard pendidikan sekolah-sekolah yang dijalankan khusus untuk orang Belanda. Pada tahun 1909, larangan untuk murid Tionghoa memasuki sekolahsekolah berbahasa Melayu dicabut. Pada tahun 1910, untuk mempermudah proses pengakuan kewarga negaraan Belanda, setiap orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda dianggap Kaula Belanda. Pada tahun 1918, golongan Tionghoa berhak mendapat perwakilan di Volksraad. 5 dari 61 keanggotaan di Volksraad harus diisi oleh wakil-wakil Tionghoa. Pada tahun 1919, larangan untuk orang Tionghoa bepergian dengan bebas dicabut. Pada waktu Siauw Giok Tjhan lahir pada tahun 1914, Nasionalisme Tionghoa memainkan peranan yang dominan di dalam masyarakat Tionghoa di Pulau Jawa. Akan tetapi setelah keadaan membuktikan bahwa pemerintah Tiongkok gagal menjadikan negaranya sebuah kekuatan yang bisa diandalkan oleh orang Tionghoa dalam memperbaiki nasibnya di Hindia Belanda, berdirinya Chung Hua Hui (Persatuan Tionghoa) pada tahun 1927 disambut dengan baik oleh komunitas Tionghoa yang berpendidikan Belanda. Chung Hua Hui dipimpin oleh tokoh-tokoh peranakan yang berpendidikan Belanda dan pada tahun 30-an mulai berhasil mendorong banyak peranakan untuk meninggalkan kelompok Sin Po dan mendukung pemerintah Belanda. Chung Hua Hui berfungsi sebagai partai politik dan tokoh-tokohnya menjadi wakil-wakil Tionghoa di Volksraad. Kehadiran Chung Hua Hui merupakan tumbuhnya aliran 20 Pendahuluan politik baru di dalam tubuh komunitas Tionghoa peranakan, aliran yang berkiblat ke Belanda. Pada awal tahun 30-an, kelompok baru ini mulai memainkan peranan yang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok Sin Po yang berkiblat ke Tiongkok. Ketika Siauw berumur 18 tahun pada tahun 1932, aliran ketiga muncul. Aliran ini dipimpin oleh Liem Koen Hian yang dalam tahun yang sama mendirikan sebuah Partai Politik yang dinamakan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang menganjurkan para pendukungnya untuk bekerja sama dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia yang merdeka. Partai ini juga mendorong orang Tionghoa, terutama peranakannya, untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. PTI jelas berkiblat ke Indonesia. Aliran yang ketiga ini walaupun memainkan peranan yang cukup penting di pulau Jawa, terutama dalam menjalin hubungan perjuangan yang baik antara sekelompok pemuda Tionghoa dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo, Sutomo dan Soekarno, tetap merupakan kekuatan yang terkecil dalam gerakan Tionghoa yang berpolitik sampai kemerdekaan dicapai pada tahun 1945. Gerakan ini juga menghasilkan beberapa tokoh peranakan Tionghoa yang aktif dalam membentuk Republik Indonesia dan perjuangan mengkonsolidasi kemerdekaannya. Diantaranya, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan. Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan Tujuan utama perjuangan Siauw Giok Tjhan yang berlangsung lebih dari 40 tahun ini adalah terbentuknya Nasion Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika dalam dunia sosialistis yang berhukum dan terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur. Di dalam masyarakat idaman Siauw ini, setiap warga negara Indonesia hidup di dalam negaranya secara harmonis dan tidak merasakan adanya diskriminasi rasial. 21 Siauw Giok Tjhan Perjalanan politik Siauw yang panjang ini bisa dibagi dalam 4 bagian utama. Bagian pertama adalah fase di mana Siauw memperoleh pendidikan politiknya (1932-1946). Dalam fase ini, Siauw memperoleh pendidikan politiknya dari guru-guru peranakannya, Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat dan Tan Ling Djie dan guru-guru “asli”nya, Sutomo, Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno. Di dalam fase kedua (1946-1954), Siauw menggunakan pengetahuan dan pengalaman politiknya sebagai seorang anggota parlemen dan pemimpin (editor-in-chief) berbagai surat kabar di pulau Jawa. Dalam fase ini, Siauw muncul sebagai seorang pejuang ternama yang gigih melawan arus anti Tionghoa yang berkembang dengan dalih Ekonomi Nasional. Di dalam fase ke tiga (1954 - 1965), Siauw berhasil mendirikan dan memimpin sebuah organisasi massa yang sebagian besar anggotanya adalah peranakan Tionghoa, bernama Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Dalam fase ini, terutama setelah tahun 1963, banyak formulasi politik yang dituangkan dalam kedua fase sebelumnya disalurkan dalam berbagai undang-undang maupun formulasi politik Presiden Soekarno. Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa peranakan Tionghoa yang terbesar dalam sejarah Indonesia dan merupakan satu-satunya organisasi yang berhasil dalam mengaktifkan massa Tionghoa untuk berpolitik demi perbaikanperbaikan di dalam zaman Demokrasi Terpimpin yang berakhir pada bulan Oktober 1965. Sebagian besar dari Fase ke empat (1965-1981) dilalui oleh Siauw (1965-1981) sebagai seorang Tahanan Politik di Indonesia. Di dalam fase ini, ia tetap mempertahankan sikap dan pandangan politiknya. Ia hanya mengecapi dunia bebas ketika tiba di Belanda pada tahun 1978. Tiga tahun sebelum ia meninggal pada bulan November 1981 dilaluinya dengan berbagai kegiatan di negeri Belanda sebagai seorang pelarian politik (political Refugee) di mana ia banyak memberikan ceramah-ceramah kepada para mahasiswa 22 Pendahuluan Indonesia dan penduduk Indonesia yang menetap di Eropa. Bab ke 2 menggambarkan bagaimana Siauw yang lahir dalam keluarga peranakan yang kaya raya memperoleh pendidikan Belanda-nya dan bagaimana ia tumbuh dalam keluarga yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan barat, peranakan dan totok. Bab ini juga menggambarkan bagaimana Siauw memperoleh pendidikan politiknya dari para gurunya, dimulai dengan Liem Koen Hian dan Soetomo, kemudian Kwee Hing Tjiat, Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno, lalu dari Tan Ling Djie dan Amir Sjarifuddin. Karier politiknya dimulai dengan pekerjaannya sebagai seorang wartawan. Bab ke 3 menggambarkan pengalaman yang diperoleh oleh Siauw dalam zaman penjajahan Jepang dan bagaimana ia tumbuh sebagai seorang pemimpin masyarakat di kota Malang. Kegiatan politik di Malang inilah yang menyebabkannya dikenal oleh para pemimpin Nasionalis dan yang memungkinkannya terpilih sebagai wakil golongan Tionghoa di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Badan Pekerjanya. Bab ke 4 menggambarkan peranan yang dimainkan Siauw di dalam Partai Sosialis, KNIP serta Badan Pekerjanya dan kabinet Amir Sjarifuddin. Di dalam bab ini dijelaskan bagaimana Siauw tumbuh sebagai seorang tokoh politik yang mampu bekerja sama dengan berbagai tokoh yang memiliki pandangan-pandangan politik yang sangat berbeda. Periode yang dicakup dalam bab ini, 1946-1949 menyangkut kegiatan Siauw sebagai seorang politikus di Malang dan Jogjakarta. Bab ke 5 menggambarkan pengalaman Siauw sebagai seorang parlementer ulung dalam periode 1950-1954. Tekanan penuturan berkisar pada kemampuannya dalam membina kekuatan yang efektif di parlemen dalam melawan usaha pihak pemerintah dan partai- partai politik mengeluarkan undang-undang serta peraturan-peraturan anti Tionghoa. Juga ditekankan dalam bab ini bagaimana Siauw berhasil membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang beranggotakan tokoh-tokoh politik yang 23 Siauw Giok Tjhan sangat berpengaruh seperti Mohamad Yamin, Ferdinand Lumban Tobing dan Iwa Kusumasumantri. Bab ke 6 menuturkan peranan yang dimainkan Siauw dalam menentang dikeluarkannya Undang-Undang yang ditujukan untuk memperkecil jumlah orang Tionghoa yang bisa menjadi warga negara Indonesia. Juga dituturkan bagaimana usaha ini lalu melahirkan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada bulan Maret 1954, yang diketuainya sampai akhir 1965. Bab ke 7 menggambarkan bagaimana Baperki berkembang dengan pesat dan peranananya dalam Pemilu pertama pada tahun 1955 dan Pemilu daerah pada tahun 1957. Juga digambarkan dalam bab ini bagaimana Siauw menghadapi perpecahan yang timbul dalam tubuh Baperki, beberapa bulan sebelum Pemilu tahu 1955 diselenggarakan. Bab ke 8 menggambarkan masalah kewarganegaraan Indonesia yang dijadikan senjata politik berbagai kekuatan politik di Indonesia. Peranan Siauw dalam perdebatan sengit di parlemen dan pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1958 juga digambarkan secara terperinci. Bab ke 9 menggambarkan bagaimana Siauw memformulasi program ekonominya dan bagaimana program ini lalu dijadikan landasan perjuangan Baperki. Dijelaskan juga bagaimana Siauw berhadapan dengan arus kuat yang menggunakan pembangunan ekonomi Nasional sebagai dasar program-program ekonomi yang memojokkan golongan Tionghoa dan membahayakan usaha mengkonsolidasi kemerdekaan RI. Bab ke 10 menggambarkan reaksi Siauw terhadap kekacauan politik yang disebabkan oleh mundurnya sistem demokrasi parlementer dan munculnya sistem demokrasi terpimpin yang menggantikannya. Peranan Siauw dalam Konstituante dan perdebatan Undang-Undang Dasar juga dituturkan dalam bab ini. Bab ke 11 menggambarkan bagaimana Siauw berhasil menggunakan kedekatannya dengan Soekarno dan para tokoh 24 Pendahuluan politik lainnya dalam meng”goal”kan berbagai program politiknya di dalam zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Di dalam periode ini, banyak formulasi politik dan ekonomi Siauw masuk ke dalam berbagai pidato Soekarno dan berbagai undang-undang pemerintah, termasuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) MPRS. Keputusannya untuk berdiri dalam barisan Soekarno menyebabkan Siauw dan Baperki berhadapan langsung dengan kekuatan kanan yang dipimpin oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai politik anti komunis lainnya. Bab ke 12 menggambarkan kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan dan bagaimana Baperki berhasil mengumpulkan dana besar untuk mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikan yang mencakup pendidikan tingkat universitas. Baperki juga berhasil menjadikan sekolah-sekolahnya sebagai sumber pendidikan politik yang meng-Indonesia-kan beratus ribu siswa Tionghoa. Bab ke 13 menuturkan timbulnya perdebatan sengit antara Baperki dan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Baperki menganjurkan dikembangkannya paham integrasi yang mendorong orang Tionghoa menganggap dirinya sebagai salah satu suku yang perlu mengintegrasikan dirinya dalam tubuh bangsa Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri keTionghoaannya. LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat menganjurkan paham assimilasi, yang menghendaki golongan Tionghoa menanggalkan segala bentuk keTionghoaannya sehingga golongan yang berciri Tionghoa lenyap dari permukaan Indonesia. Bab ke 14 menggambarkan bagaimana Baperki berkembang dalam bulan-bulan terakhir zaman Demokrasi Terpimpin dan bagaimana Siauw mempertahankannya sebagai organisasi yang tetap terpisah dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Bab ini juga menuturkan bagaimana Baperki diserang oleh kekuatan anti Komunis dan dihancurkan pada akhir tahun 1965. Bab ke 15 menggambarkan pengalaman Siauw sebagai seorang Tahanan Politik dan bagaimana ia setelah bebas pada tahun 1978 25 Siauw Giok Tjhan melangsungkan kegiatan politiknya di Eropa sebagai Pelarian Politik. 26 seorang Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik BAB 2 MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN POLITIK Siauw Giok Tjhan lahir di Surabaya pada tanggal 23 Maret 1914. Ia adalah anak pertama Siauw Gwan Swie yang juga lahir di Surabaya pada tahun 1880. Baik Giok Tjhan maupun ayahnya, Gwan Swie, besar di daerah Kapasan di Surabaya, sebuah daerah yang dulunya pernah menjadi daerah Pecinan, yang dibentuk oleh pemerintah penjajahan Belanda untuk menampung orang-orang Tionghoa di Surabaya. Sebagian besar penduduk di Pecinan sudah tinggal di Surabaya bergenerasi, jadi peranakan yang berasal dari golongan Hokkian1. Siauw Gwan Swie berasal dari keluarga yang miskin dan tinggal di daerah miskin Kapasan -- dalam salah satu gang kecil di daerah itu. Kedua orang tuanya meninggal dunia pada waktu ia berumur 12 tahun dan sebagai anak yang tertua di keluarganya, ia harus berhenti belajar dan segera dibebani kewajiban untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri dan ke empat adik-adiknya. Ia bekerja sebagai penjaja kueh di pasar Kapasan dari jam 4 sampai jam 8 pagi dan siangnya bekerja sebagai pembantu di sebuah toko yang terletak tidak jauh dari Kapasan. Tidak jelas pendidikan apa yang ia peroleh sejak ia berumur 12 tahun, tetapi ketika ia berumur 20-an, Gwan Sie berhasil memperoleh ijazah guru bahasa Inggris yang memungkinkannya untuk bekerja sebagai seorang guru di Yale Institute dan memberi pelajaran bahasa Inggris privat ke anak-anak peranakan kaya di daerah Kapasan. Kemampuannya berbicara dalam bahasa Inggris memungkinkannya untuk berhubungan dengan beberapa pedagang 1 Informasi tentang masa kanak-kanak Siauw Giok Tjhan diperoleh darinya sendiri dan bukunya Lima Jaman, pp 11-33 dan Renungan, pp 6-21 27 Siauw Giok Tjhan Belanda dan kemudian pada sekitar tahun 1910, memungkinkannya untuk menjadi seorang partner dalam sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seorang Belanda, Schmidt & Co. Perusahaan ini berkecimpung dalam perdagangan hasil bumi, terutama gula. Posisinya ini menyebabkan Gwan Sie menjadi salah seorang terkaya di Kapasan. Ia pindah dari daerah miskin di Kapasan ke daerah elite-nya, di rumah besar yang terletak di jalan raya Kapasan. Gwan Swie cukup bangga dengan keberhasilannya ini dan sering mengingatkan kedua anaknya untuk mengikuti jejaknya, bekerja keras sehingga bisa mencapai tingkat yang setaraf dengan orangorang Belanda. Baginya mencapai tingkat ini merupakan jaminan untuk tidak diinjak-injak dan dihina oleh kaum penjajah. Akan tetapi, walaupun Gwan Swie sering bergaul dengan para pedagang Belanda dan mengagumi adat istiadat Barat, ia tetap merasa dirinya sebagai seorang Tionghoa dan sangat dipengaruhi oleh nasionalisme Tionghoa yang sedang berkembang pada waktu itu. Ia ternyata menjadi pengagum Sun Yat Sen, Kang Yu Wei dan Liang Chi Chao, para pemimpin revolusi Tiongkok yang banyak berjasa dalam mengembangkan nasionalisme Tionghoa di kawasan Asia. Ia juga banyak berhubungan dengan beberapa tokoh peranakan yang berkiblat ke nasionalisme Tionghoa, diantaranya dengan The Ping Oen, direktur dari surat kabar harian yang cukup ternama di Surabaya, Pewarta Soerabia, yang dimulai pada tahun 1902. Pewarta Soerabia termasuk surat kabar yang getol menyebarkan berita tentang revolusi Tiongkok dan mendorong pembacanya untuk menjunjung tinggi norma-norma keTionghoaan. Gwan Swie sering sekali berkunjung ke kantor The Ping Oen ini untuk berbincang-bincang mengenai masalah politik. Kantor Pewarta Soerabia bersebelahan dengan sebuah toko serba-ada yang dimiliki oleh seorang pedagang totok Hakka yang bernama Kwan Sie Liep. The dan Kwan sama-sama menjunjung tinggi nasionalisme Tionghoa dan oleh karena itu mereka menjadi kawan baik. Seringnya Gwan Swie berkunjung ke kantor The menyebabkannya 28 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik berkenalan juga dengan Kwan dan puteri pertamanya yang cantik, Kwan Tjian Nio, yang pada tahun 1910 baru berumur 19 tahun. Gwan Swie jatuh cinta dan mulai membujuk Kwan Sie Liep untuk mengizinkannya untuk mengawini Tjian Nio. Kwan ternyata adalah seorang totok yang kolot. Ia datang ke Indonesia pada akhir abad ke 19 sebagai seorang pedagang. Ia datang bersama dengan isterinya dari Tiongkok. Tjian Nio, walaupun lahir di Indonesia, besar dalam suasana totok. Ia dididik untuk berbahasa Hakka dan disekolahkan di THHK sehingga ia juga fasih berbicara dalam bahasa Mandarin. Kwan ternyata aktif dalam Tionghoa Siang Hwee di Surabaya dan menjadi salah seorang pemimpinnya. Ia juga aktif dalam memimpin sekolah THHK di dekat Kapasan. Dengan sendirinya Kwan menginginkan puterinya untuk menikah dengan orang totok dari golongan Hakka. Gwan Swie yang diketahuinya sebagai seorang peranakan yang tidak bisa berbahasa baik Hakka maupun Mandarin, sudah tentu tidak memenuhi syarat ini. Lamaran Gwan Swie segera ditolaknya. Tetapi Gwan Swie menolak untuk menyerah. Ia membujuk The Ping Oen untuk terus menerus meyakinkan Kwan untuk menerima lamarannya. The akhirnya berhasil meyakinkan Kwan bahwa Gwan Swie, walaupun seorang peranakan, tetapi menjunjung tinggi nasionalisme Tionghoa dan Gwan Swie-pun berjanji pada Kwan bahwa putra-putrinya akan disekolahkan di THHK sehingga akan tumbuh menjadi orang-orang Tionghoa yang baik. Akhirnya Kwan menerima juga dan mengizinkan perkawinan ini dengan syarat, anak pertama mereka harus disekolahkan di THHK. Perkawinan Gwan Swie dan Tjian Nio pada tahun 1913 ini menghasilkan putra pertama mereka pada tanggal 23 Maret 1914, Siauw Giok Tjhan yang kemudian besar dalam keluarga yang menggabungkan norma-norma Barat, peranakan dan totok. 29 Siauw Giok Tjhan Pendidikan Sekolah Dasar dan Pendidikan Keluarga Ketika Siauw berumur 4 tahun pada tahun 1918 dan siap untuk masuk sekolah, sesuai dengan syarat perkawinan kedua orang tuanya, Kwan mengajaknya sendiri untuk ke sekolah THHK yang turut dipimpinnya. Gwan Swie sebenarnya berkeberatan anaknya disekolahkan di THHK, karena ia tetap percaya bahwa masa depan anaknya akan lebih baik kalau ia masuk sekolah Belanda, dan karena ia menjadi pengusaha yang berhubungan baik dengan banyak pedagang Belanda, Siauw Giok Tjhan bisa masuk ke ELS (Sekolah dasar Belanda) yang terkenal di Surabaya. Tetapi Gwan Swie memutuskan untuk menghormati mertuanya dan membiarkan anaknya ini masuk ke THHK. Pada waktu itu, anak-anak Tionghoa belajar di sekolahsekolah THHK kalau orang tuanya menginginkan anak-anaknya berpendidikan Tionghoa. Bagi yang ingin anak-anaknya berpendidikan Barat, mereka mengirimnya ke HCS (Sekolah dasar Belanda khusus untuk orang Tionghoa). Bagi orang Tionghoa dan “asli” yang kaya raya – mereka yang berposisi Mayor, Kapten, Letnan atau Regent dan Priyai, anak-anaknya bisa masuk ke ELS (Sekolah dasar Belanda khusus untuk orang Eropa). Sebenarnya dibukanya HCS untuk anak-anak Tionghoa memperuncing perbedaan antara kelompok yang berkiblat ke Belanda dan yang berkiblat ke Tiongkok. Banyak peranakan yang khawatir dengan pendidikan yang dijalankan oleh THHK yang dianggapnya terlalu memusatkan perhatian pada perkembangan di luar Hindia Belanda sehingga lulusan dari sekolahnya diperkirakan tidak akan bisa bekerja di Hindia Belanda dengan baik. Pendidikan yang diselenggarakan oleh HCS dianggap lebih baik dalam mempersiapkan siswanya untuk bisa bekerja di Hindia Belanda. Inilah yang menyebabkan rasio antara jumlah siswa Tionghoa yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa dan jumlah siswa yang belajar di sekolah-sekolah HCS meningkat dari 50% pada tahun 1915 (8.060 di sekolah Belanda dan 16.499 di sekolah Tionghoa) menjadi 80% (27.802 di sekolah Belanda dan 32.688 di sekolah 30 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Tionghoa) pada tahun 19262. Gwan Swie tetap sabar dan menunggu kesempatan untuk mengubah posisi pendidikan anaknya. Kesempatan yang dinantinantikan ini akhirnya tiba pada tahun 1920. Pada tahun itu, Kwan memutuskan untuk pulang ke Tiongkok untuk mengecapi keberhasilannya di Hindia Belanda. Ia membeli rumah dan tanah yang besar di tempat kelahirannya. Ia menyerahkan tokonya ke mantu totoknya. Walaupun Gwan Swie jelas lebih berpengalaman dalam berdagang dan sudah berhasil, tetapi Kwan tetap lebih mempercayai mantu totoknya untuk mengambil alih usaha dagangnya. Pada tahun yang sama, berangkatlah Kwan dan isterinya ke Tiongkok untuk pensiun di sana, Gwan Swie menganggap kepergian mertuanya ini sebagai tanda bahwa janjinya untuk menyekolahkan anaknya di THHK tidak lagi perlu dipegang. Begitu Kwan berangkat, Gwan Swie segera memindahkan Siauw Giok Tjhan ke Buys Institut untuk belajar bahasa Belanda beberapa bulan, untuk kemudian dipindahkan lagi ke ELS di Surabaya. Pada waktu Siauw memasuki ELS pada tahun 1920, jumlah anak non Belanda di sekolah itu sedikit sekali. Dengan tidak adanya Kwan di Surabaya, anak kedua Gwan Swie, Giok Bie bisa segera masuk ke ELS pada tahun 1924. Walaupun kedua anak Siauw ini dididik di sekolah Belanda, di rumah mereka tetap dididik dengan cara-cara mendidik yang dilakukan di keluarga-keluarga peranakan di Surabaya. Ibu mereka fasih berbicara dalam bahasa Hakka dan Mandarin, tetapi tidak pernah menggunakannya dalam berbicara dengan kedua anaknya. Di rumah, bahasa yang digunakan adalah bahasa TionghoaMelayu. Di luar rumah, di antara teman-teman sebayanya, mereka menggunakan bahasa Jawa. Gwan Swie ternyata lebih menyenangi masakan-masakan Jawa. Oleh karena itu, makanan yang disajikan sehari-hari oleh Tjian Nio adalah masakan-masakan Jawa. Walaupun Tjian Nio dibesarkan dalam keluarga totok yang 2 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, Seven Papers, Chopmen, 1978, p 10 31 Siauw Giok Tjhan kolot, jadi mengenal dengan baik tradisi Kong Hu Cu dan Tionghoa, ia ternyata lebih tertarik dengan tradisi Jawa yang dijalankan oleh para wanita setempat. Walaupun rumahnya terletak didepan Boen Bio (Kelenteng Kong Hu Cu) yang terbesar di Surabaya, ia lebih sering mengunjungi kuburan Cungkup (kuburan Islam) yang juga terletak di depan rumahnya untuk membakar kemenyan. Ia juga sering mengajak kedua anaknya untuk mengunjungi tempattempat sembahyang yang dikunjungi oleh penduduk “asli” di Gunung Kawi dan Gunung Giri, untuk bersembahyang dengan caracara yang digunakan oleh para pengunjung “asli”. Di rumah, yang sering dijadikan bahan pembicaraan adalah masalah sembahyang di tempat-tempat suci Islam. Akan tetapi, walaupun Tjian Nio sangat tertarik pada agama Islam, ia tidak pernah menjadi Islam. Ia tetap mempertahankan kepercayaannya pada Kong Hu Cu. Ketika Siauw Giok Tjhan sakit keras pada waktu ia berumur lima, ia cenderung mendengar pendapat dan anjuran ayahnya, seorang yang juga terkenal sebagai akhli nujum Tionghoa, untuk membawa Siauw ke Toapekong dan menyerahkannya sebagai anak Toapekong, sehingga sejak saat itu, Siauw tidak lagi memanggil kedua orang tuanya sebagai papa dan mama, melainkan sebagai empek dan engku (paman dan bibik). Yang menarik adalah perbedaan antara ibu dan ayah Siauw. Kalau ibunya yang berasal dari keluarga totok lebih tertarik pada kebudayaan Jawa dan Islam, ayahnya, Gwan Swie yang peranakan, ternyata lebih tertarik pada kebudayaan Tionghoa. Ia sering pergi menonton opera-opera Tionghoa, walaupun ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan juga sangat berdisplin dalam merayakan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh. Yang menarik juga adalah kenyataan bahwa pada hari-hari besar Tionghoa ini, ia merayakannya dengan memanggil tim wayang kulit untuk memainkannya di halaman rumahnya yang menjadi tempat berkumpulnya para penduduk “asli” di sekitar Kapasan. Semua anggota keluarga Gwan Swie tinggal di Kapasan. Tidak ada diantaranya yang pernah mendapat pendidikan Tionghoa. Para 32 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik wanitanya hidup dengan norma-norma peranakan -- mengenakan kebaya batik ala peranakan dan banyak yang mengunyah sirih. Saudara-saudaranya pada umumnya memiliki nama-nama Indonesia, seperti Datang, Tambah dan Talen. Pengaruh pendidikan keluarga ini besar sekali dalam perkembangan jiwa Siauw Giok Tjhan. Sampai ia berumur belasan tahun, Siauw lebih banyak dididik untuk berpikir sebagai seorang peranakan. Pengaruh totok yang seyogyanya ia terima melalui pendidikan THHK cepat sekali luntur dan mulai menghilang darinya. Tetapi perubahan yang datang pada tahun 1926-an mempengaruhi proses yang mem”peranakan” Siauw Giok Tjhan ini. Pendidikan Sekolah Menengah dan Pengalaman Berorganisasi Pada tahun 1926, ipar Kwan Tjian Nio (ibu Siauw Giok Tjhan) yang menjalankan toko Kwan Sie Liep mendadak meninggal dunia. Tidak ada orang yang bisa menggantikannya dan ini mendorong Kwan Sie Liep untuk membatalkan rencananya untuk berpensiun di Tiongkok. Pada tahun yang sama, ia harus kembali ke Hindia Belanda. Pada tahun itu, Siauw Giok Tjhan duduk di kelas terakhir ELS-nya. Ketika Kwan bertemu dengan Siauw yang sudah berumur 12 tahun, ia terperanjat mendapati Siauw yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Tentunya menurut perkiraannya, Siauw sudah 8 tahun belajar di sekolah Tionghoa dan seharusnya sudah fasih dalam berbahasa Mandarin. Ketika ayah Siauw Giok Tjhan menjelaskan duduk persoalannya, Kwan menjadi marah dan kecewa. Tapi Gwan Swie segera mengajukan kompromi yang rupanya bisa diterima oleh Kwan Sie Liep. Komprominya: Siauw Giok Tjhan harus pergi membantu Kwan di tokonya setiap hari, dari pukul 2 sampai pukul 5 siang, sehabis sekolah di HBS (sekolah menengah Belanda). Gwan Swie menyatakan bahwa kompromi ini akan memenuhi persyaratan Kwan yang menginginkan cucunya mempunyai kepribadian Tionghoa dan mengerti cara-cara hidup 33 Siauw Giok Tjhan totok. Dan inilah yang terjadi. Pada tahun 1927, Siauw masuk ke HBS di Surabaya, di sekolah mana Soekarno menyelesaikan studi HBS-nya. Kesempatan untuk masuk ke HBS untuk orang non-Belanda memang kecil sekali. Disamping harus memiliki status dan kekayaan, angka ujian ELS dan HCS-nya harus tinggi. Di antara teman sebaya Siauw yang nonBelanda di sekolah itu adalah Roeslan Abdulgani dan Tjoa Sie Hwie. Kedua-duanya berkecimpung dalam dunia politik dalam zaman kemerdekaan. Hidup Siauw pada waktu ia belajar di HBS boleh dikatakan lux. Karena ia selalu menjadi juara kelas, ayahnya sangat memanjakannya. Oleh ayahnya, ia dibelikan sepeda motor. Pada waktu itu jarang orang memiliki sepeda motor, tetapi Siauw sudah bisa bepergian ke mana-mana dengan sepeda motornya, ke sekolah, ke toko kakeknya dan ke rumah teman-temannya. Ia juga diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membeli berbagai macam buku yang ia senangi, sehingga kamar tidurnya dipenuhi oleh buku-buku mahal. Disamping ini, hobby fotografi yang mahal, lengkap dengan peralatan mencetak potret-pun dimilikinya. Tetapi keluarga Siauw terkenal di Kapasan bukan hanya karena kekayaannya, melainkan karena kecantikan dan kemurahan hati ibunya, Tjian Nio. Ia terkenal sebagai seorang yang selalu siap membantu orang yang berada dalam kesusahan. Ia sering mengundang teman-teman di Kapasan dan sering membagikan barang-barang yang bisa digunakan mereka. Pengaruh Tjian Nio pada kedua anaknya juga besar sekali. Baik Giok Tjhan maupun Giok Bie ternyata lebih senang bergaul dengan teman-teman sebaya yang berasal dari keluarga yang kurang mampu di gang-gang Kapasan daripada teman-teman sebaya kaya yang berpendidikan Belanda di jalan raya Kapasan. Tetapi pengaruh yang paling besar datang dari kakeknya, yang setiap hari Siauw ketemui semasa ia belajar di HBS. Siauw harus belajar berdagang dari kakeknya. Setiap siang, kakek-nya menugaskannya menjaga toko dan begitu Siauw datang di tokonya, 34 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik ia tidur siang. Kwan sering mengadakan pertemuan di tokonya dengan tokohtokoh totok yang berkecimpung di Tiong Hoa Siang Hwee. Pada tahun 1931, Tiongkok berperang dengan Jepang dan kelompok Tionghoa di Hindia Belanda dikoordinasi untuk membantu Tiongkok dalam menghadapi Jepang. Kwan menjadi pelopor yang menganjurkan para pedagang Tionghoa untuk memboikot barangbarang buatan Jepang. Kwan ternyata berprinsip dan rela rugi daripada menghianati prinsip anti- Jepangnya. pedagang-pedagang yang berani menjajakan barang-barang Jepang ke tokonya segera diusirnya. Sikap berprinsip ini sangat mengesankan Siauw dan mempengaruhi kepribadiannya. Kwan juga seorang yang mahir dalam Kung Fu dan meramal. Banyak pemuda Tionghoa yang datang ke tokonya untuk belajar Kung Fu darinya. Mereka semuanya belajar di sekolah-sekolah THHK atau sekolah Tionghoa lainnya. Banyak juga orang Tionghoa yang datang ke tempatnya untuk mendapat petunjuk darinya tentang masa depannya. Siauw turut dilatih Kung Fu dan sering mendemonstrasikan keakhliannya di dalam berbagai pertunjukan yang diadakan di Surabaya. Pada waktu Siauw berumur 18 tahun, ia sempat memperoleh penghasilan extra sebagai pelatih Kung Fu di Kapasan. Kwan juga mendidik cucunya untuk siap melawan orang yang menghinanya, terutama orang-orang Belanda. Sikap membela diri inilah dan latihan Kung Fu yang ia peroleh menyebabkan Siauw sering berkelahi dengan murid-murid Belanda di HBS Surabaya. Kalau ia memerlukan bantuan, ia selalu dibantu oleh teman-teman latihan Kung Fu-nya yang pada umumnya belajar di sekolah THHK. Sikap membela teman juga diperolehnya dari sang kakek. Siauw Giok Tjhan dan adiknya Giok Bie cukup dikenal di Kapasan sebagai anak-anak yang selalu siap membela teman-temannya terutama dalam berhadapan dengan kaum penjajah. Cara hidup Kwan yang sederhana juga sangat mempengaruhi Siauw. Siauw mengingat bagaimana kakeknya itu dikenal sebagai 35 Siauw Giok Tjhan seorang pedagang yang ramah tamah, murah hati dan sederhana. Berbeda dengan cara hidup ayahnya, yang menikmati kemewahan dan suka mengenakan pakaian Barat, Kwan lebih suka hidup sederhana dan mengenakan pakaian se-ala kadarnya. Kakeknya juga lebih senang berorganisasi dan berpolitik daripada berdagang. Teman-temannya pada umumnya datang ke tokonya untuk berapat dan berdiskusi mengenai masalah politik. Perkembangan inilah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian Siauw Giok Tjhan. Siauw di kemudian hari, dikenal dan dihargai sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kesungguhan dalam memperjuangkan cita-cita politiknya dan pemimpin yang sangat sederhana. Atas dorongan kakeknya, Siauw juga lebih senang bergaul dengan teman-teman sebaya yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Kesukaannya dalam kegiatan organisasi mendorongnya untuk masuk Hua Chiao Tsing Nien Hui - HCTNH (Perkumpulan Pemuda Tionghoa) dan menjadi pemimpin bagian kepanduannya. Ia memilih masuk ke HCTNH daripada masuk ke Chung Hsio Hsing Hui - CHHH (Perkumpulan Siswa Sekolah Menengah) yang diselenggarakan oleh siswa-siswa sekolah menengah Belanda. Siauw teringat bahwa para anggota HCTNH menggunakan bahasa Tionghoa-Melayu sebagai bahasa sehari-hari sedangkan para anggota CHHH menggunakan bahasa Belanda. Yang menjadi garis pemisah dari kedua organisasi ini adalah posisi sosial ekonomi dari para anggotanya. Para anggota CHHH berasal dari keluarga kaya raya di Surabaya, sedangkan para anggota HCTNH berasal dari keluarga yang kelas menengah dan kurang berada. Sikap untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Tionghoa inilah yang mendorong Siauw untuk tidak menggunakan nama Belanda yang ia peroleh di sekolahnya, Freddy. Ia lebih suka dipanggil oleh temantemannya dengan nama Giok Tjhan. Walaupun Siauw cukup sehat dan akhli dalam Kung Fu, ia lebih dikenal oleh teman-temannya sebagai seorang yang kutu buku. Ia jauh lebih senang membaca buku daripada mengikuti kegiatankegiatan yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya. Kalau main 36 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik sepak bola, ia memilih untuk menjadi penjaga gawang dan sering terlihat membaca buku ketika bola berada di tempat tim lawannya. Berbeda dengan adiknya Giok Bie, yang tumbuh menjadi pemuda kuat yang menyukai berbagai sport dan yang suka berkelahi, Siauw lebih dikenal sebagai seorang pemuda yang matang dan bijaksana. Kalau ada perkelahian di jalan, ia sering bertindak sebagai pelerai dan menasehati pihak-pihak yang berkelahi untuk menghentikan permusuhannya. Tetapi kalau yang dilawan adalah pemudapemuda Belanda, ia turut dalam menentukan strategi perlawanan dan kadang-kadang juga turut dalam perkelahiannya3. Pendidikan HBS menyebabkan Siauw mahir dalam empat bahasa asing, Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman. Ia banyak membaca buku-buku dalam ke-empat bahasa asing ini. Buku-buku yang dibaca pada umumnya buku-buku detective dan romantika. Disamping itu, ia juga belajar membaca surat-surat kabar yang ayahnya pesan secara teratur, Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po, yang dipimpin oleh wartawan ternama, Liem Koen Hian. Keduaduanya mencanangkan nasionalisme Tionghoa, walaupun pada akhir tahun 31-an, Sin Tit Po mulai menganjurkan para pembacanya untuk menganggap Hindia Belanda sebagai tanah airnya. Siauw juga banyak membaca buku-buku Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa-Melayu dan juga tertarik dengan bukubuku yang diterjemahkan dari bahasa India seperti Mahabrata dan Ramayana. Tetapi rasa tertariknya dengan perkembangan politik masih sangat terbatas. Perkenalannya dengan teman-teman kakeknya hanya mendorongnya untuk mengikuti perkembangan perang antara Jepang dan Tiongkok. Masalah nasib rakyat di Hindia Belanda dan perjuangan para tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno masih belum ia perhatikan. Penghidupannya yang mewah di rumah masih belum membuka matanya. Tetapi situasi ini mendadak berubah pada tahun 1932, ketika 3 Wawancara dengan Njoo Soen Hian di Amsterdam, Novem- ber 1981 dan Siauw Giok Bie, di Melbourne, Juli 1990 37 Siauw Giok Tjhan Siauw duduk di tingkat terakhir HBS-nya. Pada waktu itu, keadaan ekonomi dunia merosot banyak dan dunia mulai merasakan resesi ekonomi yang hebat. Banyak perusahaan di Hindia Belanda yang bangkrut, termasuk perusahaan yang dipimpin oleh ayah Siauw Giok Tjhan. Pada waktu seluruh simpanan uangnya amblas dengan bangkrutnya Inco Bank di Surabaya, ayahnya praktis berada dalam posisi bangkrut. Pada waktu yang bersamaan, ibunya mendadak meninggal dunia karena pendarahan di dalam tubuhnya. Meninggalnya sang isteri dan tidak bisa bertahannya perusahaan yang ia pimpin menyebabkan Gwan Swie yang menderita penyakit tekanan darah tinggi dan diabetis, juga meninggal, 6 bulan setelah isterinya meninggal dunia pada tahun 1932. Siauw Giok Tjhan dan adiknya Giok Bie yang baru berumur 14, menjadi yatim piatu dalam waktu yang sangat singkat. Meninggalnya kedua orang tua dalam keadaan seperti ini tentunya menjadi dilema hidup yang sulit untuk diatasi. Siauw Giok Tjhan beruntung karena beberapa guru HBS menyayanginya. Mereka berhasil mengupayakan Siauw memperoleh beasiswa untuk menyelesaikan studi-nya di HBS. Teman-teman dekat orang tuanya ternyata tidak bisa membantu banyak. Kakeknya, Kwan Sie Liep, juga merasa tidak ada gunanya untuk tetap menetap di Hindia Belanda. Sebelum Gwan Swie meninggal, Kwan sudah menutup tokonya dan mengajak isterinya untuk pulang ke Tiongkok. Adikadik Tjian Nio yang masih tinggal di Surabaya-pun mengalami kesulitan ekonomi. Akhirnya Siauw Giok Tjhan hanya bisa berpaling ke temanteman yang ia gauli, yang berasal dari keluarga yang kurang berada. Atas nasehat mereka, ia menjual semua barang- barang berharga di rumahnya dan uang yang terkumpul dijadikan modal untuk menjalankan usaha taksi. Ia juga bekerja sebagai pelatih Kung Fu sambil belajar keras untuk menyelesaikan HBS-nya. Dengan demikian, ia bisa terus hidup dan membayar uang sekolah adiknya, yang baru duduk di kelas tiga di MULO. Dalam keadaan seperti inilah, Siauw berkenalan dengan Liem 38 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Koen Hian, yang berumur 30-an pemimpin, harian Sin Tit Po. Atas anjuran Liem, Siauw juga berkenalan dengan Soetomo yang telah mendirikan Indonesian Study Club di Surabaya. Melalui Liem Koen Hian dan Soetomo inilah, Siauw mulai mempelajari nasionalisme Indonesia dan mulai menyadari bahwa Indonesia adalah tanah airnya. Di dalam study club ini, Siauw mempelajari Revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasionalis Indonesia termasuk Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan Hatta. Pengalaman hidupnya memperkuat pengertian ini. Kepergiannya kakeknya dari Hindia Belanda menyadarkannya bahwa sebagai seorang totok yang masih memiliki “emotional ties” dengan Tiongkok, sang kakek bisa berangkat kembali ke tanah leluhurnya. Tetapi, bagi sebagian besar peranakan Tionghoa yang tidak lagi mempunyai hubungan emosionil dan kekeluargaan dengan siapasiapa di Tiongkok, masalahnya sangat berbeda. Kemelaratan di Hindia Belanda tidak bisa mendorongnya untuk meninggalkan Hindia Belanda dan berangkat ke Tiongkok. Berdasarkan pengamatan ini ia menerima anjuran Liem Koen Hian untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, di mana ia dilahirkan, besar dan hidup dan di kubur nantinya. Inilah titik tolak perjalanan politik Siauw sebagai salah seorang pembangun Nasion Indonesia. Pengertian ini mendorong Siauw untuk mengikuti berbagai kegiatan politik di Surabaya. Bersama Liem Koen Hian, ia turut memboikot pertunjukan sepak bola yang diselenggarakan oleh penjajah Belanda dan menghimbau para penonton untuk tidak menonton pertandingan sepak bola itu. Karena kegiatan ini, ia bersama beberapa pemuda lainnya termasuk Liem Koen Hian ditahan oleh polisi Belanda. Mereka ditahan selama sehari dan dibebaskan dengan peringatan untuk tidak melakukan hal yang serupa. Kegiatan Siauw ini dilaporkan juga ke kepala sekolah HBS yang kemudian melarang Siauw mengikuti sekolah selama sebulan. Sebuah hukuman yang cukup berat mengingat ujian akhir HBS akan dilangsungkan beberapa minggu setelah itu. 39 Siauw Giok Tjhan Siauw juga sangat terkesan dengan program Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang dipimpin oleh Soetomo. PBI pada waktu itu menganjurkan setiap golongan minoritas untuk bekerja keras menyelesaikan masalahnya masing-masing. Ia juga tertarik dan mendukung pendapat Soetomo tentang gerakan politik. Soetomo menganggap program politik yang baik adalah program yang tidak semata-mata mementingkan pidato-pidato yang berapi-api, melainkan program yang berdasarkan perumusan politik dan ekonomi yang benar-benar bisa dipergunakan untuk memperbaiki penghidupan rakyat. Bersandar pada anjuran Soetomo ini, Siauw mengajak kawankawan kepanduan HCTNH-nya untuk melakukan berbagai kegiatan sosial di daerah Kapasan. Mereka mengumpulkan dana dan barang-barang tua dari keluarga kaya di Kapasan untuk kemudian dibagikan pada yang miskin di daerah itu. Ia juga mengambil inisiatif untuk mendirikan sekolah malam untuk menampung para pemuda Kapasan yang tidak mampu untuk pergi ke sekolah. Ia mengajak teman-teman yang baru lulus dari MULO untuk menjadi guru-guru di sekolah ini. Sebagai tempat yang dipergunakan adalah gedung sekolah THHK di malam hari. Sekitar 50 murid terdaftar dalam sekolah gratis ini dan Siauw berfungsi sebagai kepala sekolah-nya. Program pendidikan ini dianggap liar oleh pemerintah penjajah Belanda yang menutupnya pada tahun 19344. Kegiatan politik ini diteruskan dengan masuknya Siauw ke dalam partai baru yang didirikan oleh Liem Koen Hian di Surabaya, Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Siauw menjadi salah seorang pendiri partai ini yang termuda. Ia berumur 18 tahun. Pada waktu Siauw menyelesaikan HBS-nya pada awal 1933, Siauw memutuskan untuk berhenti sekolah. Keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkannya untuk meneruskan rencana semulanya untuk belajar di fakultas kedokteran di negeri Belanda. Sebenarnya, sebagai lulusan HBS, Siauw bisa dengan mudah 4 Wawancara dengan Tjoa Sik Ien di Amsterdam, bulan No- vember 1981 40 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan Belanda dalam bidang administrasi dan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan ini cukup baik. Tetapi karena ia tertarik dengan dunia Liem Koen Hian, ia memutuskan untuk memulai karier-nya sebagai seorang wartawan. Padahal, penghasilannya sebagai seorang wartawan jelas jauh lebih rendah daripada penghasilan yang ia bisa peroleh dari perusahaan-perusahaan Belanda. Atas bantuan Liem Koen Hian, pada tahun 1933, Siauw dipekerjakan sebagai pembantu The Boen Liang, salah seorang pemimpin PTI, di harian Sin Tit Po, di Surabaya. Masuk ke dalam dunia Liem Koen Hian dan Nasionalisme Indonesia Masuknya Siauw ke dalam PTI pada tahun 1932 menunjukkan bahwa Siauw siap meninggalkan komunitasnya yang sebagian besar pada waktu itu berkiblat ke Belanda atau ke Tiongkok. Seperti pernah dituturkan sebelumnya, berdirinya PTI pada tahun 1932 juga merupakan tanda bahwa dalam dunia peranakan Tionghoa telah lahir aliran yang ketiga, aliran yang berkiblat ke Indonesia merdeka. Aliran yang terbaru ini lahir ketika aliran yang berkiblat ke Tiongkok -- yang dipimpin oleh kelompok Sin Po sedang menurun pengaruhnya dan aliran yang berkiblat ke Belanda yang diwakili oleh partai Chung Hua Hui sedang naik pamornya. Pengaruh kelompok Sin Po sangat besar dalam komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dalam periode 1911-1920. Dalam periode ini, sebagian besar Tionghoa mendukung nasionalisme Tionghoa bahkan menolak untuk menjadi Kaula Belanda. Daya menentang penjajahan Belanda yang ditunjukkan oleh golongan Tionghoa melalui kelompok Sin Po inilah yang mendorong pemerintah Belanda untuk mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengambil hati golongan Tionghoa termasuk didirikannya sekolah-sekolah HCS dan dicabutnya peraturan-peraturan yang sebelumnya menekan golongan Tionghoa, serta diterimanya 41 Siauw Giok Tjhan perwakilan-perwakilan Tionghoa di dalam Volksraad. Menjelang akhir tahun 20-an, posisi Tiongkok melemah dan tidak mampu bertahan melawan Jepang. Ia tidak mampu membela kepentingan orang-orang Tionghoa di kawasan Asia dan gagal menjadi negara yang bisa dibanggakan oleh penduduk Tionghoa di negara-negara Asia. Ini menyebabkan hilangnya kepercayaan orang Tionghoa di Hindia Belanda bahwa Tiongkok mampu untuk memperbaiki nasib hidupnya. Pada waktu yang bersamaan, jumlah pemuda Tionghoa yang memperoleh pendidikan Belanda meningkat dalam jumlah yang besar. Yang memperoleh kesempatan untuk belajar di Belanda juga meningkat jumlahnya. Mereka yang belajar di Belanda mendirikan organisasi yang dinamakan Chung Hua Hui Nederland-CHHN (Perkumpulan Tionghoa di Nederland) pada tahun 1911. Walaupun mereka menentang nasionalisme Tionghoa, tetapi mereka ternyata menamakan organisasinya dengan nama Tionghoa. Pada waktu pimpinannya kembali ke Indonesia, Han Tiauw Tjong (Ketua CHHN pada tahun 1921), Be Tiat Tjong (Ketua CHHN 1923) dan Oei Tjong Houw (anak Oei Tiong Ham - orang terkaya di Semarang), mereka mendirikan partai Chung Hua Hui - CHH pada tahun 1927. Tujuan utama partai yang didominasi oleh peranakan yang berpendidikan Belanda ini adalah mencapai persamaan orang Tionghoa dengan penduduk Belanda dan mewakili orang Tionghoa di Volksraad. Ketua pertama partai CHH ini adalah Kan Hok Hoei, seorang pedagang kaya yang sudah menjadi anggota Volksraad pada waktu partai ini didirikan. Ia juga seorang ketua Siang Hwee di Batavia yang mempunyai hubungan baik dengan para pedagang totok di sana. Ketika Federasi Tionghoa Siang Hwee dibentuk pada tahun 1934, Kan diangkat menjadi ketuanya. Dibawah pimpinan Kan, partai CHH memilih garis kanan -- anti Marxisme, jadi duduk bertentangan dengan aliran yang mendukung kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu sangat dipengaruhi oleh Marxisme. Kebijakan yang diambil oleh partai CHH yang mendukung pemerintah penjajahan Belanda ini tentu saja ditentang oleh 42 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik para nasionalis Tionghoa dan Indonesia. Beberapa mahasiswa Tionghoa yang belajar di Belanda mulai kecewa dengannya dan mulai memisahkan diri dari organisasi CHH yang sangat pro Belanda ini. Proses ini malah mempercepat terbentuknya paham yang mendukung Indonesia merdeka di dalam tubuh masyarakat peranakan Tionghoa di Hindia Belanda. Di dalam 20 tahun pertama dari abad ke 20 ini, sebagian besar komunitas Tionghoa tidak tertarik dengan nasionalisme Indonesia. Dari berbagai organisasi nasionalis Indonesia yang berdiri pada masa itu, hanya Partai Indische Partij yang dipimpin oleh Tjipto Mangun Kusumo, Douwes Dekker dan Dewantara yang menerima orang Tionghoa sebagai anggotanya. Partai-partai lainnya menolak keanggotaan orang Tionghoa di dalamnya. Bahkan, banyak diantaranya seperti Serikat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1911 mempunyai program politik yang mengandung elemen anti-Tionghoa. Penggantinya, Serikat Islam yang didirikan pada tahun 1912 tidak mempunyai elemen anti-Tionghoa, tetapi tidak giat menarik anggota-anggota Tionghoa ke dalamnya5. Indische Partij mempunyai sikap yang berbeda. Pada tahun 1913, Douwes Dekker telah menyatakan keinginannya akan persatuan golongan Tionghoa dengan semua golongan etnis yang ada di Hindia Belanda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tjipto Mangunkusumo berpandangan lebih jauh lagi. Pada tahun 1917, ia mengeluarkan formulasinya tentang bangsa Indonesia. Dalam formulasinya, Bangsa Indonesia mencakup setiap orang yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, dengan demikian menurut sertakan setiap orang Tionghoa yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Pendapat semacam ini diterima dengan hangat oleh beberapa tokoh peranakan seperti Liem Koen Hian yang segera masuk dan aktif dalam Indische Partij. Liem Koen Hian dilahirkan pada tahun 1896 di Banjarmasin, 5 Van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague-Bandung, 1960, p 20 43 Siauw Giok Tjhan Kalimantan. Ia mulai karier-nya sebagai seorang wartawan yang sangat mendukung nasionalisme Tionghoa. Pada tahun 1921, ia menjadi seorang aktivis yang menentang penjajahan Belanda. Ia sering menantang dan mencela orang-orang yang mendukung penjajahan Belanda. Ia pindah ke Surabaya pada tahun 1925 dan segera menjadi pendukung Soetomo di dalam Study Club yang dipimpinnya. Dari tahun 1925 sampai tahun 1929, Liem, bersama seorang wartawan kawakan lainnya, Kwee Thiam Tjing, mempimpin harian Soeara Publiek. Melalui harian ini ia mencanangkan ide-ide yang diperkenalkan oleh Tjipto Mangunkusumo tentang Bangsa dan Kewarganegaraan Indonesia. Pada tahun 1929, ketika istilah Indonesia sudah dipergunakan oleh para pejuang nasionalis Indonesia, ia mulai menggunakan istilah Indonesia dalam karangan-karangannya. Dalam konteks ini, ia menganjurkan para pembacanya untuk mendukung gerakan Indonesia merdeka. Pada tahun 1930, ia menjadi pimpinan harian Sin Tit Po di Surabaya. Formulasinya tentang apa artinya Indonesia dijelaskannya secara gamblang dalam artikel-nya yang dimuat dalam harian Sin Tit Po pada bulan April 1930. Ia menyatakan bahwa golongan peranakan seharusnya menjadikan aspirasi rakyat Indonesia aspirasi golongannya dan untuk itu, ia perjelas, orang Tionghoa tidak perlu menanggalkan ke-Tionghoaannya. Bangsa Indonesia yang akan terbentuk dalam waktu mendatang ini, menurutnya, mempunyai ruang yang besar untuk menampung kebudayaan Tionghoa yang dibawa oleh golongan Tionghoa yang masuk ke dalamnya6. Dalam menentang kelompok Sin Po, Liem memperjelas bahwa adalah sangat tidak bijaksana bagi golongan Tionghoa yang berada di Hindia Belanda untuk menganggap Tiongkok sebagai tanah airnya. Nasionalisme Tionghoa, menurut Liem, tidak akan memperbaiki nasib golongan Tionghoa di Hindia Belanda. Menurutnya, orang Tionghoa yang berada di Hindia Belanda tidak akan bisa menerima Tiongkok sebagai tanah airnya lagi, karena mereka pada umumnya 6 Suryadinata, The Chinese Minority, pp 85-86 44 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik lahir dan dibesarkan di sana. Pendapat Lem tidak bisa diterima oleh sebagian besar orang Tionghoa pada waktu itu. Kalau Indische Partij mengajak partisipasi orang Tionghoa, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 membatasi keanggotaannya pada orang-orang “asli”. Keturunan Tionghoa, Arab dan Eurasians (Indo-Belanda) hanya boleh menjadi anggota tidak resminya. Walaupun demikian, karena sikap pimpinannya yang progresif, cukup banyak orang Tionghoa yang aktif di dalamnya. Dr. Kwa Tjoan Sioe yang ternama, seorang kenalan pribadi dari Soekarno, memainkan peranan penting dalam mengongkosi penerbitan PNI, Soeloeh Indonesia pada tahun 1932. Kwee Tjing Hong, mengambil inisiatif dalam mendirikan cabang PNI di Palembang pada tahun 19347. Masuk ke dalam Kancah Jurnalisme dan Politik Marilah kita kembali ke masuknya Siauw ke dalam dunia jurnalisme dan politik. Tidak lama setelah Siauw masuk ke Sin Tit Po membantu The Boen Liang seperti yang dituturkan di atas, Kwee Hing Tjiat menariknya untuk masuk ke dalam staf harian Mata Hari yang baru dibentuknya di Semarang, pada tahun 1934. Kwee Hing Tjiat adalah seorang peranakan yang ternama, kelahiran Kapasan pada tahun 18918. Ia mendukung pahampaham PTI dan sebelum kembali ke Hindia Belanda, menetap lama di Tiongkok. Setelah menjadi editor beberapa harian peranakan di Surabaya dan Yogyakarta, ia menjadi pimpinan harian Sin Po dari tahun 1916 sampai tahun 1918. Dari tahun 1918 sampai 1923 ia menetap di Eropa, tetapi tetap menyumbangkan karangankarangan ke Sin Po. Di dalam masa hidupnya di Eropa, terutama di Berlin, ia menulis buku yang dinamakan Doea Kepala Batoe yang 7 8 Ibid. P 94 Bahan-bahan mengenai Kwee Hing Tjiat diperoleh dari Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional, Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien, LP3ES, Jakarta, 1990 45 Siauw Giok Tjhan menceritakan perkembangan nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda. Pada tahun 1923 ia kembali ke Indonesia, tetapi dilarang masuk oleh penguasa Belanda karena tulisan-tulisannya yang mendukung nasionalisme Tionghoa dan mengecam penjajahan Belanda. Oleh karena itu, ia lalu tinggal di Tiongkok selama 10 tahun, sebagai seorang pedagang. Di Tiongkok, ia dipengaruhi oleh pendapat-pendapat Barat tentang Kong Hu Cu-isme, yang dianggapnya sebagai dasar kemunduran di Tiongkok. Mulailah ia pada tahun 1926 menulis karangan-karangan yang mencela Kong Hu Cu-isme dan menganjurkan penduduk Tionghoa untuk menanggalkan Kong Hu Cu-isme. Tulisan-tulisan Kwee yang terbit di majalah Hua Kiao ini ternyata cukup berpengaruh. Pada tahun 1928, program pendidikan THHK mengurangi penekanan pada Kong Hu Cu-isme, yang tadinya menjadi inti pendidikannya. Pada tahun 30-an, Kwee mulai merasa resah. Ia tidak betah di Tiongkok dan yakin bahwa sebagai seorang peranakan ia tidak akan bisa hidup di Tiongkok. Ia tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak mampu mengubah adat istiadat peranakannya, sehingga tidak bisa menerima kebudayaan asli Tiongkok. Akhirnya ia berkeyakinan bahwa Hindia Belanda adalah tempat tinggalnya dan oleh karena itu ia ingin kembali hidup di sana. Atas bantuan kawan baiknya, Oei Tjong Houw, anak Oei Tiong Ham, ia bisa masuk kembali ke Hindia Belanda. Dan atas bantuan modal Oei Tjong Houw, ia berhasil mendirikan harian Mata Hari di Semarang pada tahun 1934. Tadinya ia ingin menamakan harian ini harian Merdika dan pintu kantornya dicat merah tua. Tetapi nama ini ditolak oleh pihak penguasa Belanda. Sebagai kompromi, Kwee menamakannya Mata Hari dan warna pintu kantornya diubah menjadi merah gelap. Ketika ia kembali ke Hindia Belanda, PTI sudah berdiri dan ia segera mendukungnya. Olehnya, Mata Hari dijadikan terompet PTI. Ia mengajak orang-orang PTI untuk turut memimpin harian baru ini. Ditariklah orang-orang yang direkomendasi oleh Liem Koen Hian untuk pindah ke Semarang dari Surabaya, diantaranya The Boen Liang, Wakil Ketua PTI, Tjoa Tjie Liang, sekretaris PTI dan 46 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Siauw Giok Tjhan. Di samping mereka, kawan baik Liem Koen Hian, Sudarjo Tjokrosisworo juga direkruit-nya. Dan Baswedan, seorang peranakan Arab, yang pernah dibantu oleh Liem Koen Hian untuk mendirikan Partai Arab Indonesia, juga ditariknya ke Semarang. Beberapa artikel perdana Mata Hari memuat karangan Kwee mengenai konsep yang telah didengungkan oleh PTI. Kwee mengajak pembacanya untuk tidak hanya berdiri berdampingan dengan penduduk “asli” tetapi juga menjadi orang-orang Indonesia tulen dan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Tulisantulisan ini mengundang perdebatan sengit. Pimpinan kelompok Sin Po dan Chung Hua Hui bersatu dalam mencela Kwee yang dianggapnya sebagai orang yang ingin memperendah status Tionghoa ke status golongan “asli”. Siauw Giok Tjhan selalu mengingatkan pendukungnya bahwa yang dimaksud oleh Kwee Hing Tjiat dalam tulisan-tulisan yang diterbitkan pada tahun 1934 ini bukanlah assimilasi total. Kwee tidak menganjurkan orang Tionghoa untuk menggantikan nama dan mengawini orang-orang “asli”. Yang dianjurkan oleh Kwee, menurut Siauw, tidak berbeda dengan anjuran PTI, yaitu menjadikan aspirasi rakyat Indonesia aspirasi golongan Tionghoa, tanpa membuang ke-Tionghoaannya. Kwee juga menganjurkan para wartawannya untuk merangkum kegiatan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menugaskan Siauw Giok Tjhan untuk menjadi penghubung para tokoh yang dibuang dan diasingkan oleh penguasa Belanda, di antaranya Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno. Tugas ini menyebabkan Siauw mengenal kedua pemimpin ini dengan baik dan memuat tulisan-tulisan mereka dalam berbagai penerbitan Mata Hari. Ia sangat menghargai kedua tokoh itu dan menganggapnya sebagai gurunya. Pada tahun 1976, Siauw menulis:”...Saya beruntung bisa berhubungan dan mengenal Dr. Tjipto dan Soekarno dengan baik pada waktu mereka diasingkan oleh pihak penguasa Belanda. Melalui surat-suratnya, mereka mendorong dan memberi inspirasi pada saya. Merekalah yang menyakinkan saya bahwa saya berada di pihak yang benar. Saya paling terkesan dengan kebesaran Dr. 47 Siauw Giok Tjhan Tjipto. Dia lah yang menjelaskan pada saya apa artinya kebangsaan Indonesia dan bagaimana Indonesia itu nantinya harus dibangun. Di mata Dr. Tjipto, semua warga negara Indonesia, termasuk golongan Tionghoa-nya, harus mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan dan pengecualian. Tidak boleh ada perbedaan rasial. Yah, bagi saya, Dr. Tjipto adalah guru besar yang akan saya hormati selamanya...”9. Jadi pada tahun 30-an, Siauw telah benar-benar masuk ke dalam dunia Liem Koen Hian dan menjadi salah seorang pendukungnya yang setia. Ia masuk ke dalam aliran politik yang terkecil di dalam masyarakat Tionghoa. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa pada waktu itu menganggap aliran Liem Koen Hian sebagai aliran yang berbahaya dan tidak boleh didukung. Tetapi Siauw tetap penuh dengan kesungguhan dan tidak memperdulikan bahwa kesungguhannya ini dikecam oleh sebagian besar golongannya, termasuk teman-teman dekat dan saudara-saudaranya. Kwee ternyata terkesan dengan kemampuan Siauw dan dalam waktu singkat menganggapnya sebagai salah satu pembantu utamanya dan mempromosikannya sebagai salah satu editornya10. Pada tahun 1937, setelah prang Pacific meletus, gerakan Tjin Tjay Hwee di Hindia Belanda dikembangkan untuk mengkoordinasi sumbangan dan bantuan golongan Tionghoa di sana ke pemerintah Tiongkok dalam melawan Jepang. Kwee sangat mendukung gerakan Tjin Tjay Hwee ini dan ingin memperbesar pengaruh Mata Hari di Surabaya. Oleh karena itu, ia mengirim Siauw, ketika itu berumur 23, ke kota itu untuk memimpin cabang Surabaya dan membantu perkembangan gerakan Tjin Tjay Hwee. Ketika Siauw tiba di Surabaya pada tahun 1937, kedua tokoh peranakan radikal yang pernah belajar di negeri Belanda sudah kembali dari Belanda dan telah mengambil alih tampuk pimpinan PTI dan Sin Tit Po dari tangan Liem Koen Hian. Tjoa Sik Ien, 32, dari 9 10 Surat Siauw Giok Tjhan pada penulis, 7 July 1976. Wawancara dengan Oey Hoo Tong, Kepala bagian administrasi Mata Hari, di Hongkong, pada tahun 1989 48 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Kapasan diangkat menjadi ketua PTI menggantikan Liem Koen Hian yang pindah ke Batavia untuk meneruskan kuliahnya di Fakultas Hukum. Tan Ling Djie, 36, juga dari Kapasan, menjadi pimpinan baru harian Sin Tit Po. Siauw segera menjadi dekat dengan mereka dan sangat dipengaruhi oleh mereka. Tan dan Tjoa pernah menjadi pemimpin Chung Hua Hui Nederland (CHHN) pada tahun 20-an. Mereka tertarik dengan Marxisme dan menjadi dekat dengan para pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI), termasuk Hatta, Singgih, Subardjo dan Abdulmadjid. Tertariknya mereka dengan Marxisme adalah hal yang jamak bagi para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda pada waktu itu. Hatta, yang kemudian menjadi wakil Presiden RI yang anti Komunis, pada tahun 30-an pernah menjadi anggota League Against Imperialism yang berhubungan erat dengan Comintern dan sebagian besar anggotanya adalah pendukung Marxisme11. Pada tahun 1929, Tan, Tjoa dan Tio Oen Bik, yang juga berasal dari Surabaya mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI). Tjoa Sik Ien diangkat sebagai ketuanya. Dibawah pimpinan ketiga tokoh ini, SPTI sering mengadakan hubungan dengan PI dan kedua organisasi ini sering bekerja sama dalam berbagai macam kegiatan. Dasar kedua organisasi ini adalah pengembangan nasionalisme Indonesia12. Di Belanda, Tan, Tjoa dan Tio bekerja erat dengan Musso, Alimin, Sardjono dan Roestam Efendi, semua menjadi anggota penting Partai Komunis Belanda bahkan pernah menjadi calon anggota parlemen Belanda mewakili Partai Komunis Belanda. Hanya Roestam yang terpilih13. Hubungan kerja seperti ini merupakan faktor penting yang menghubungkan golongan peranakan Tionghoa dengan 11 12 13 Ruth McVey, The Development of Indonesian Communist Party, Center For International Studies, MIT, 1954, pp 15-16 Somers, Peranakan Chinese Politics, p 96 ; Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, Jakarta, 1970. McVey, The Development of Indonesian Communist Party. P 17 49 Siauw Giok Tjhan gerakan PKI bawah tanah yang dipimpin oleh Musso dan Tan Ling Djie setelah tahun 1935 di Hindia Belanda. Para pemimpin SPTI tetap aktif dalam CHHN sampai tahun 1932. Ketika mereka gagal untuk meyakinkan para anggota CHHN mendukung program pro-Indonesia merdeka-nya, mereka meninggalkan CHHN. Akan tetapi dukungan terhadap SPTI tetap kecil dan sebagian besar mahasiswa peranakan masih tetap berkiblat ke CHHN. Pada waktu Tan dan Tjoa meninggalkan Belanda ke Surabaya pada tahun 1935, SPTI dibubarkan. Setelah kembali di Surabaya, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien dengan cepat menyatukan dirinya dengan kekuatan Liem Koen Hian. Tan dan Liem saling mempengaruhi. Tidak jelas siapa yang lebih banyak mempengaruhi, tetapi mereka berdua adalah ayahayah gerakan peranakan Tionghoa yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya gabungan mereka berdua serupa dengan gabungan kerja Soekarno dan Hatta. Liem, seperti Soekarno, tidak pernah belajar di luar negeri. Ia, seperti Soekarno pandai berpidato dan menitik beratkan aktifitasnya pada agitasi massa yang berapi-api. Tan, seperti Hatta, terdidik di negara Belanda dan mementingkan pendidikan politik ketimbang gerakan politik massa. Tan, tidak pandai berpidato dan menyandarkan kepemimpinannya sepenuhnya atas tulisan-tulisan dan pendidikan kader dalam ruang tertutup. Pada tahun 1930, Tan masuk partai Komunis Belanda dan pernah menetap di Moscow sampai tahun 35-an. Karena kegiatan politiknya, ia tidak pernah menyelesaikan studi-nya (dalam bidang hukum). Bangku kuliah ditinggalkannya untuk pulang ke Indonesia pada awal tahun 1936 untuk mengembangkan PKI illegal yang dibangun oleh Musso pada tahun 1935 di Surabaya. Walaupun Liem dan Tan bekerja erat, Liem ternyata tidak tertarik dengan Marxisme. Tjoa Sik Ien juga merupakan figur politik yang penting dalam hidup Siauw. Ia lahir di Surabaya dan keluarganya adalah tetangga keluarga Siauw di jalan raya Kapasan. Ia belajar kedokteran dan 50 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik menyelesaikan studi-nya pada tahun 1930. Ia bekerja erat dengan Tan Ling Djie dan banyak mendukung pikiran-pikirannya. Seperti Tan, iapun aktif dalam gerakan politik dan menjadi pendukung program politik yang mendukung Indonesia merdeka. Sebagai ketua SPTI, ia mendukung program politik Liem Koen Hian di Hindia Belanda. Sekembalinya Tan di Surabaya, ia segera menjadi pimpinan dari illegal PKI dan bekerja keras untuk mengembangkannya. Tokohtokoh seperti Amir Sjarifuddin dan Oei Gee Hwat direkruit-nya dan menjadi asisten pentingnya. Tan juga memainkan peranan penting dalam memformulasi program anti Jepang dan pro Komunis Tiongkok dari gerakan di bawah tanah di Surabaya ini. Sesuai dengan garis Dimitrov yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 30-an, ia mendorong banyak anggota illegal PKI untuk masuk dan menjadi pemimpin Gerindo (Gerakan Indonesia), seperti Amir Sjarifuddin dan Oei Gee Hwat. Dibawah pimpinan Tan dan Tjoa, PTI dan Sin Tit Po menjadi lebih radikal dan terang-terangan mendukung revolusi di Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung. Banyak karangan diterbitkan di Sin Tit Po yang menceritakan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Mao Tse Tung. Dipengaruhi oleh kedua tokoh ini, Siauw-pun menjadi pendukung Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung. Buku yang ditulis oleh Edgar Snow, berjudul Red Star Over China, yang menceritakan keberhasilan kelompok Mao Tse Tung dalam melawan Jepang, diterjemahkan oleh Siauw. Terjemahan ini lalu diterbitkan secara berkala dalam harian Sin Tit Po. Atas dorongan Tan, Siauw aktif dalam gerakan Tjin Tjay Hwee di Surabaya. Pengetahuannya tentang cara berpikir kelompok totok menyebabkannya ia mampu bergerak secara efektif. Ia menjadi perantara antara PTI dengan organisasi-organisasi Tionghoa yang didominasi oleh kelompok totok seperti Siang Hwee dan Soe Poe Sia. Inisiatif PTI untuk mempersatukan semua kekuatan Tionghoa berhasil dipertahankan sampai tahun 39-an. Pada tahun 1942, 51 Siauw Giok Tjhan ketika Jepang masuk, persatuan informal ini dengan sendirinya terhenti. Kalau gerakan Tjin Tjay Hwee di Batavia dan Semarang terbatas pada pengumpulan dana dan obat-obatan, Gerakan Tjin Tjay Hwee yang didominasi oleh PTI di Surabaya berkembang lebih jauh dari itu. Gerakan di Surabaya ini lebih berpolitik sifatnya. Ia berhasil mengirim sebuah tim medis, lengkap dengan fasilitas ambulans yang dipimpin oleh seorang dokter, Dr. Go In Tjhan ke Tiongkok, pada tahun 1937. Pada tahun yang sama, ada juga beberapa pemuda peranakan yang pergi ke Tiongkok untuk turut berperang melawan Jepang. Diantaranya, adik kandung Siauw, Siauw Giok Bie. Walaupun kegiatan Tjin Tjay Hwee merupakan persatuan politik di antara semua kekuatan Tionghoa di Hindia Belanda, ia tidak mengikut sertakan aktifitas untuk memboikot barang- barang buatan Jepang. Ini disebabkan banyak pendukung gerakan Tjin Tjay Hwee ini adalah pedagang-pedagang yang bersandar pada keuntungan yang diperoleh dari perdagangan barang-barang Jepang. Demikian juga surat-surat kabar harian peranakan yang mendukung gerakan Tjin Tjay Hwee. Iklan untuk barang-barang Jepang tetap diterbitkan oleh sebagian surat kabar seperti Mata Hari. Hanya sebagian kecil menghentikannya, diantaranya Sin Po dan Sin Tit Po14. Pada tahun 1939, momentum Tjin Tjay Hwee mulai berkurang karena kekecewaan orang terhadap kemampuan Kuo Min Tang dalam memimpin perlawanan terhadap Jepang. Disamping itu timbul pula keraguan bahwa sumbangan yang disampaikan ke Tiongkok tidak seluruhnya digunakan untuk melawan Jepang melainkan masuk ke kantong-kantong Jendral yang korupsi. Kwee Hing Tjiat termasuk orang yang menjadi skeptikal dengan usaha pengumpulan dana ini dan menginginkan Siauw kembali ke Semarang untuk membantunya di sana. Ia memutuskan untuk menutup kantor Mata Hari di Surabaya dan memerintahkan Siauw untuk kembali ke Semarang. Pada tahun 1939, Siauw kembali ke 14 Suryadinata, Peranakan Chinese Politics, p 118 52 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Semarang. Sekembalinya di Semarang Siauw tinggal di rumah besar yang dimiliki oleh Khouw Bian Tjeng, kakak Khouw Bian Tie, kawan baik Hatta yang kemudian menjadi seorang akhli ekonomi ternama di Semarang. Di rumah ini ia bertemu dengan beberapa pemuda peranakan yang juga indekost di sana, diantaranya, Oei Tjoe Tat dan Lie Tjwan Hie. Kedua-duanya kemudian menjadi pendukung politik Siauw pada tahun 50-an dan 60-an. Dengan mereka yang indekost di rumah ini, Siauw sering mengadakan pembicaraan politik. Dan ia-pun menulis artikel-artikel yang harus diterbitkan di rumah itu dengan mesin tik yang selalu dijinjingya, tergantung pada di tempat mana ia duduk mengetik15. Salah satu pemudi yang indekost di rumah itu adalah seorang siswa HBS yang bernama Tan Gien Hwa, yang ketika itu berumur 18 tahun. Tan Gien Hwa, yang lahir pada tanggal 22 Juni 1921, adalah anak kedua Tan Peng Hoat, seorang pedagang yang sukses di Pemalang. Siauw dan Tan menjalin hubungan khusus dan mereka menikah pada tahun 1940 dan setelah menikah, mereka pindah ke rumah yang tidak jauh dari kantor Mata Hari. Tidak lama setelah Siauw kembali ke Semarang, Kwee Hing Tjiat mendadak meninggal dunia. Pimpinan editorial Mata Hari lalu diambil alih oleh Siauw. Di bawah pimpinan Siauw, Mata Hari menjadi lebih radikal dalam mendukung gerakan revolusi Tiongkok dan menjadi lebih anti Jepang. Tulisan-tulisan Siauw pun menjadi lebih banyak mendukung gerakan Indonesia merdeka. Tulisantulisan anti Jepang-nya lah yang menyebabkan Mata hari menjadi salah satu sasaran utama pada waktu Jepang tiba di Semarang. Tidak lama setelah Siauw menikah, ayah dan ibu Tan Gien Hwa meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan. Walaupun baru menikah, mereka berdua segera berkewajiban membesarkan empat adik-adik Tan Gien Hwa yang berumur dari 2 tahun sampai 14 tahun. Untungnya penghasilan Siauw sebagai pimpinan Mata Hari cukup besar sehingga walaupun hidup sederhana, segala kebutuhan 15 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat di Jakarta, Juli 1994 53 Siauw Giok Tjhan keluarga yang mendadak menjadi besar ini bisa dipenuhi. Pada waktu Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, semua surat kabar yang bernada anti Jepang ditutup dan semua wartawan dan pimpinannya ditangkap. Ketika mereka masuk ke Semarang, kantor Mata Hari segera ditutup dan semua pegawainya ditahan. Siauw Giok Tjhan kebetulan berada di luar kantor dan berhasil menghindari penangkapannya. Ia kembali ke Pemalang dan dari sana pindah ke Surabaya untuk kemudian pindah lagi ke Malang, di mana ia menetap selama penjajahan Jepang. Pola Pandangan Politik Siauw Giok Tjhan Pendidikan politik yang dituturkan di atas tercampur dengan latar belakang penghidupan Siauw yang diwarnai dengan normanorma Barat, Indonesia, peranakan dan totok. Latar belakang inilah yang mencetak kepribadian Siauw sebagai politikus dan pemimpin yang mampu melayani kebutuhan berbagai pihak di dalam golongan yang diwakilinya. Walaupun ia berasal dari keluarga yang kaya raya dan juga memperoleh pendidikan Belanda yang bisa dinikmati oleh segelintir orang Tionghoa, ia bergaul dan menyelami jalan pikiran dan hidup kelompok-kelompok peranakan dan totok dari keluarga kelas menengah dan yang kurang berada. Kerapnya ia bergaul dengan para pedagang totok yang sering berhubungan dengan kakeknya menyebabkan Siauw mengerti akan dunia totok. Ia bahkan berpakaian dan hidup sederhana bagaikan banyak pedagang totok, seperti kakeknya. Pengertiannya tentang kelompok-kelompok yang di kemudian hari diwakilinya ini dikonsolidasinya setelah ia masuk ke dalam organisasi pemuda yang terdiri dari pelajar-pelajar sekolah-sekolah Tionghoa. Pengertiannya ini ternyata berguna dalam berbagai kegiatan politiknya, terutama pada waktu ia aktif di dalam kegiatan Tjin Tjay Hwee dari tahun 1937 sampai tahun 1939 di Surabaya. Yang menyebabkan Siauw berbeda dengan banyak pemimpin 54 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Tionghoa di zaman penjajahan Belanda adalah masuknya ke dalam dunia Liem Koen Hian dan Tan Ling Djie. Dengan masuk ke dalam aliran yang menganggap Indonesia sebagai tanah air, ia menantang sebagian besar anggota masyarakat Tionghoa yang pada umumnya berkiblat ke Tiongkok atau ke penjajahan Belanda. Pada umumnya orang Tionghoa di Indonesia kurang bersedia untuk mengorbankan waktu dan jiwanya untuk pekerjaan politik, apalagi kalau garis politik yang dipilihnya itu membahayakan keselamatannya. Dengan mendukung garis Indonesia merdeka, Siauw masuk dalam kegiatan yang dianggap oleh sebagian besar anggota masyarakat, “Ong Hiam”, berbahaya. Akan tetapi dengan masuk ke dalam aliran ini, Siauw bisa berhubungan dengan banyak pejuang nasionalis yang ternama, termasuk Soetomo, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Amir Sjarifuddin, yang di kemudian hari membuka jalan baginya untuk menjadi pemimpin berkaliber nasional. Setelah Siauw dipengaruhi oleh Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien pada tahun 37-an, komitment-nya untuk mencapai Indonesia merdeka diwarnai oleh Marxisme. Oleh karenanya, ia melihat perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka ini harus disertai dengan gerakan bersenjata seperti yang dilakukan oleh Mao Tse Tung di Tiongkok dan konsolidasi kemerdekaan harus disertai dengan program yang bertujuan menciptakan Indonesia yang sosialistis16. Dari Liem Koen Hian ia belajar berorganisasi dan bagaimana memimpin organisasi massa yang memerlukan keakhlian dalam menyatukan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Akan tetapi Siauw menganggap Liem terlalu kaku dan terlalu emosionil. Kwee Hing Tjiat melatih Siauw dalam memimpin surat kabar harian. Kwee menyukai dan mempercayai Siauw. Tanggung jawab sehari-hari dalam memimpin Mata Hari diserahkannya ke Siauw. Dan ia mempercayakan Siauw untuk berhubungan dengan para pemimpin nasional yang diasingkan, seperti Tjipto Mangunkusumo 16 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, 1970 55 Siauw Giok Tjhan dan Soekarno. Siauw mendapatkan Kwee terlalu kontroversial sehingga walaupun banyak berpengalaman dan berpengetahuan luas, tidak mendapat dukungan yang luas dari masyarakat Tionghoa. Tjoa Sik Ien juga memainkan peranan penting dalam mencetak jalan pikiran Siauw. Tjoa, menurut Siauw adalah seorang tokoh yang kaku dan keras kepala. Ia kurang mampu bekerja sama dengan orang-orang yang tidak bisa menerima pendapatnya. Ko Kwat Tiong, seorang tokoh PTI di Semarang merupakan salah seorang yang tidak bisa diajaknya bekerja sama, sehingga walaupun banyak berjasa untuk PTI, tetapi diisolasikannya, sehingga mengundurkan diri dari PTI pada tahun 38-an. Pada tahun 50-an, Tjoa dan Siauw berbeda pendapat dalam melaksanakan program Baperki. Ini menyebabkan Tjoa meninggalkan Baperki di awal perkembangan Baperki, baru setelah tahun 60-an ia kembali aktif. Walaupun demikian, secara pribadi, hubungan mereka berdua tidak pernah putus dan Tjoa menyatakan pada hari pemakaman Siauw pada bulan November 1981 bahwa persahabatan yang demikian rapatnya itu hanya terputus dengan wafatnya Siauw. Figur yang paling mempengaruhi Siauw adalah Tan Ling Djie. Darinya Siauw belajar menganalisa keadaan politik dan mengeluarkan formulasi-formulasi yang sesuai dengan kebutuhan situasi. Siauw menghargai disiplin Tan dalam mempelajari semua faktor yang berhubungan dengan masyarakat secara mendetail. Siauw teringat bagaimana Tan selalu mendorong para pembantunya untuk memperhatikan harga-harga telur dan ikan asin di pasarpasar sebelum mengeluarkan analisa mendetail tentang kebijakan ekonomi. Di bawah bimbingan Tan selama ia berada di Surabaya dari tahun 37 sampai 39, Siauw mempelajari berbagai kebijakan politik dan ekonomi di masyarakat-masyarakat yang mengendap liberalisme, kapitalisme dan sosialisme. Siauw tetap dekat dengan Tan sampai ia ditahan pada tahun 1965. Sejak tahun 1951, Tan tinggal di rumah Siauw dan anak- anak Siauw memanggilnya “empek” (kakak ayah). Yang menjadi dasar keterlibatan Siauw dalam kancah perjuangan 56 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik politik sejak zaman ini adalah komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari penjajahan dan membangun Nasion Indonesia yang tidak mengenal perbedaan berdasarkan keturunan ras. Bentuk negara apa yang ingin dibentuk dan peraturan kewarganegaraan apa yang ingin dicapai mungkin belum jelas diformulasi pada saat itu. Akan tetapi, Siauw yang sangat dipengaruhi Dr Tjipto Mangunkusumo, mungkin sudah menginginkan diterapkannya prinsip kewarganegaraan yang berkaitan dengan jus soli – setiap orang yang lahir di Indonesia menjadi warga negara Indonesia. Pendidikan dan training politik yang digambarkan dalam bab ini menyiapkan Siauw untuk berkembang menjadi pemimpin masyarakat yang efektif. Kesempatan ini diperolehnya di Malang, dalam zaman pendudukan Jepang. 57 Siauw Giok Tjhan Gedung Boen Bio di Kapasan, tidak jauh dari rumah Siauw Kuburan Cungkup Islam yang kerap dikunjungi ibu Siauw, juga tidak jauh dari rumah Siauw di Kapasan 58 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Ibu Siauw Giok Tjhan, Kwan Tjian Nio, 59 Siauw Giok Tjhan Siauw, di tengah berkaca mata, pemimpin kepanduan HCNTH Siauw, siswa HBS tingkat terakhir 1932 60 Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan Politik Tan Gien Hwa, Semarang, 1940 Siauw, Kepala Redaksi Harian Mata Hari, 1941 Perkawinan Siauw dengan Tan Gien Hwa, Pemalang, 1941 61 Siauw Giok Tjhan Dari kiri ke kanan, Siauw, Oey Hoo Tong dan Tjoa Tjie Liang Di kantor Mata Hari, Semarang, 1941 Siauw, Tan Gien Hwa, dengan adik-adik Tan, Tan Gien Hwie (2 thn), Tan Soen Houw (5 thn) dan Tan Soen Eng, (8 thn), 1940 62 Zaman Jepang dan Proklamasi BAB 3 ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN Pasukan Jepang mengalahkan penguasa Belanda di Indonesia dengan kecepatan yang menakjubkan. Dalam waktu delapan hari setelah Jepang menyerang Indonesia pada tanggal 24 Februari 1942, pasukan Belanda telah menyerah. Begitu mereka masuk ke Indonesia, mereka segera menghancurkan jaringan anti-Jepang seperti yang dituturkan dalam Bab 2. Surat-surat kabar peranakan yang menunjukkan sikap anti-Jepang menjadi sasaran utamanya. Pimpinan dan para wartawannya ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp tahanan. Siauw Giok Tjhan berhasil menghindari penangkapan ini dan tinggal di Malang selama masa pendudukan Jepang. Reaksi terhadap serangan Jepang dan Masa Pendudukannya Pemerintah Jepang sejak tahun 30-an telah berkampanye untuk memperoleh dukungan Rakyat Indonesia. Beberapa pemimpin nasionalis Indonesia berhasil dipengaruhinya. Tokoh-tokoh seperti Soetomo dan Thamrin cukup mendukung kehadiran Jepang di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa kehadiran Jepang di Indonesia akan mempercepat proses kemerdekaan. Pendapat mereka pada mulanya mendapat dukungan yang cukup luas. Tentangan Tjipto Mangunkusumo yang menganggap Jepang tidak bisa dipercaya dan kehadirannya malah akan memperburuk situasi Indonesia, tidak mendapat dukungan luas. Cukup banyak pemimpin nasionalis Indonesia menaruh harapan yang tinggi pada Jepang. Golongan Tionghoa mempunyai sikap yang lebih jelas. Adanya gerakan Tjin Tjay Hwee lebih menyatukan sikap anti-Jepang mereka. Mereka pada umumnya tidak percaya akan motivasi Jepang dalam membela Indonesia. Mereka yang sering mendengar tentang kekejaman Jepang di Tiongkok, menganggap kedatangannya akan 63 Siauw Giok Tjhan memperburuk keadaan di Indonesia, seperti yang dialami di Tiongkok. Siauw Giok Tjhan yang aktif dalam gerakan Tjin Tjay Hwee selalu mendukung pendapat Tjipto Mangunkusumo. Ia yakin bahwa kehadirannya di Indonesia adalah bagian dari politik expansionisme Jepang dan mereka akan mengganti Belanda sebagai penjajah baru di Indonesia. Tulisan-tulisannya di Mata Hari menunjukkan keyakinan ini, sehingga Mata Hari jelas mengambil posisi antiJepang dan menolak kedatangannya di Indonesia. Akan tetapi tersebarnya ramalan Djojobojo yang populer tentang akan datangnya “penyelamat” yang berasal dari bangsa berkulit kuning, menyebabkan para pendukung Jepang di Indonesia mendapatkan angin dalam meyakinkan banyak orang. Inilah yang menyebabkan banyaknya sambutan hangat masyarakat luas ketika pasukan Jepang memasuki Indonesia. Memang, dalam mingguminggu pertama setelah kedatangan Jepang, harapan akan adanya perbaikan sangat dirasakan dan dukungan terhadapnya meningkat. Mereka mengizinkan bendera merah putih untuk dikibarkan. Penduduk Belanda dan Indo-Belanda pada umumnya ditahan dalam kamp-kamp militer dan posisi-posisi mereka di berbagai perusahaan dan administrasi penguasa diisi oleh orang-orang Indonesia. Tetapi posisi-posisi tertinggi di dalam badan administrasi pemerintahan (Hodohan), administrasi militer (Kenetsu-Han) dan satu-satunya badan koordinasi surat kabar (Djawa Shin Bun) diisi oleh orangorang Jepang. Walaupun demikian, pekerjaan operasional seharihari tetap dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang dipilih oleh penguasa Jepang1. Mereka membebaskan banyak pemimpin nasionalis yang sudah lama diasingkan oleh penguasa Belanda, diantaranya Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Mereka mempopulerkan Gerakan Tiga A (Jepang adalah pemimpin, pembela dan penerang Asia) sebagai usaha untuk men-justifikasikan kehadiran kekuasaan militer Jepang dan 1 J.K. Ray, Transfer of Power In Indonesia (1942-1949), Manaktals, Bombay, 1967, pp 31-32 64 Zaman Jepang dan Proklamasi exploitasi materi yang dilakukannya2. Akan tetapi harapan tinggi ini segera hilang ketika Jepang memperlihatkan motivasi sesungguhnya, yaitu menjadi penjajah baru di Indonesia. Begitu kekuasaan militer-nya terkonsolidasi, mereka segera melarang pertemuan-pertemuan umum dan segala bentuk demonstrasi. Pengibaran merah putih-pun dilarangnya. Segala bentuk diskusi dan propaganda politik dilarang juga3. Pada akhir tahun 1942, dimulailah fase kedua masa pendudukan di mana peraturan dikeluarkan yang melarang secara drastis semua kegiatan nasionalis yang pernah dijalankan secara resmi dan dimulainya tekanan terhadap penduduk Indonesia secara kejam. Rakyat Indonesia diharuskan untuk menunduk ke arah kerajaan Jepang di Tokyo. Untuk orang beragama Islam ini merupakan penghinaan karena posisinya bertolak belakang dengan posisi Mekah. Tuntutan-tuntutan untuk menerima sumbangan dana, baik dalam bentuk uang maupun hasil bumi dikeluarkan tanpa memperdulikan akibat yang diderita oleh Rakyat setempat. Tuntutan untuk menghasilkan hasil bumi kebutuhan militer Jepang menyebabkan famine yang hebat di banyak daerah pedalaman. Tuntutan ini harus dipenuhi tanpa kompensasi apapun dan menimbulkan penderitaan yang menimbulkan kebencian terhadap Jepang4. Tekanan terhadap golongan Tionghoa yang pernah menunjukkan sikap anti-Jepang juga sangat kejam. Sekitar 500 orang Tionghoa, totok dan peranakan, termasuk para wartawan dan pimpinan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya ditahan bersama-sama orang-orang Belanda di Cimahi, Jawa Barat. Mereka mendapatkan perlakuan yang kejam dan mengalami siksaan-siksaan berat5. Akan tetapi banyak peranakan yang berhasil melarikan diri dan menghindari penangkapan bisa hidup bebas selama zaman 2 3 4 5 Ibid. p. 32 Dahm, History of Indonesia, p. 82 Ibid. p 83; Ray, Transfer of Power, pp 32-33 Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, p 105 65 Siauw Giok Tjhan pendudukan Jepang. Tjoa Sik Ien bisa menetap di Surabaya dan berpraktek sebagai dokter secara bebas. Tan Ling Djie berhasil melarikan diri dan hidup di Tanggerang. Liem Koen Hian tertangkap tapi berhasil dibebaskan setelah Soekarno membelanya dan mengusahakan pembebasannya langsung dengan memohon pada penguasa Jepang untuk membebaskannya6. Beberapa hari sebelum Jepang masuk ke Semarang, Siauw mengatur perpindahan isteri dan keluarganya dari Semarang ke Pemalang. Ia menganggap Pemalang akan lebih aman untuk mengungsi daripada menetap di Semarang. Ia sendiri tetap menjaga kantor Mata Hari dan tetap menerbitkan surat kabar hariannya, walaupun ia sadar bahwa Mata Hari pasti akan menjadi inceran Jepang, karena sikap anti-Jepangnya yang mencolok. Ketika Jepang masuk ke Semarang, ia mengambil keputusan untuk menutup kantor Mata Hari dan segera berangkat melalui daerah pedalaman dengan sepeda menuju ke Pemalang. Beberapa wartawan yang tidak meninggalkan kota Semarang akhirnya ditangkap Jepang, diantaranya Tjioe Kim Swie dan Tjoa Tjie Liang. Juga beberapa anggota staf administrasinya, Han Tjiong Djien dan Yap Ping Tjie ditahan. Mereka berempat dikirim ke kamp tahanan di Cimahi7. Beberapa hari kemudian, ia sampai dengan selamat di Pemalang, tetapi mendapati rumah yang seyogyanya ditinggali oleh keluarganya telah hancur dan isinya dirampok oleh penduduk setempat. Ia akhirnya berhasil menemui keluarganya yang ditampung oleh seorang kawannya. Pemalang juga diduduki Jepang. Karena merasa tidak bisa bekerja di Pemalang, ia memutuskan untuk pergi ke Surabaya, di mana pamannya, Siauw Gwan Hok menetap dan mempunyai toko serba ada. Atas bantuan adiknya, Giok Bie, keluarga Siauw pindah ke Surabaya dan tinggal di rumah pamannya yang dengan senang hati menerima Siauw Giok Tjhan, yang segera ia kerjakan sebagai 6 7 Siauw, Lima Jaman, p 70 Surat Tjoa Tjie Liang pada penulis, Oktober 1991. 66 Zaman Jepang dan Proklamasi pembantunya di toko serba adanya. Pamannya ini tidak mempunyai anak dan mengharap Siauw bisa mengambil alih tokonya di hari tuanya. Bekerjalah Siauw sebagai pedagang toko di Surabaya. Penguasa Jepang ternyata tidak mencarinya di Surabaya, walaupun Siauw tinggal di depan markas militer Jepang dan pernah beberapa kali dipukuli tentara Jepang karena lupa memberi hormat ketika melewati pasukan penjaga markas militer itu. Akan tetapi nasib Siauw buruk. Tidak lama setelah ia menetap di Surabaya, pamannya mendadak meninggal dunia. Keluarga isteri pamannya segera bersikap harta pamannya harus jatuh kekeluarga mereka walaupun sang paman jelas bermaksud mewariskannya pada Siauw. Untuk menghindari pertikaian harta, Siauw mengambil keputusan untuk meninggalkan Surabaya dan memulai hidup barunya di kota Malang, tidak jauh dari Surabaya. Pada tahun 1943, ia dengan seluruh keluarganya yang cukup besar (suami isteri dan lima anak kecil - empat adik iparnya dan satu anak kandungnya yang baru berumur satu tahun) pindah ke Malang. Dengan modal yang pernah dikumpulinya ketika ia bekerja di Mata Hari dan atas bantuan adiknya, ia membuka toko serba ada kecil yang dinamakannya Tjwan-Tjwan-an (usaha beruntung) di Malang. Toko ini menjual berbagai macam barang, dari permen dan makanan kecil seperti manisan belimbing (yang Siauw sering bercerita mempunyai rasa lebih enak dari korma) sampai pada barang-barang cadangan sepeda. Siauw sejak kecil dilatih untuk menjaga toko serba ada. Jadi ia cukup berpengalaman. Akan tetapi, kali ini, untuk pertama kalinya, ia berfungsi sebagai pemilik toko. Ternyata ia tidak berjiwa dagang. Ia terlalu lunak menghadapi para pedagang yang men-supply barang dagangan ke tokonya. Bilamana mereka terlambat mengantarkan barang-barang yang sangat diperlukan, ia tidak memberi sanksi atau mengganti mereka dengan pedagangpedagang lainnya yang lebih mampu. Bilamana kualitas barang yang diterima kurang baik, ia tidak sampai hati untuk menolaknya atau mengembalikannya tanpa membayar. Akibatnya, ia sering 67 Siauw Giok Tjhan menanggung kerugiannya sendiri dan sering berhadapan dengan pembeli yang tidak puas. Bila ini terjadi, ia selalu siap untuk menerima barang kembali dan mengembalikan uang si pembeli. Atau, kalau sedang bernasib buruk, seperti yang ia alami pada waktu penjahitnya gagal mengantarkan baju yang dipesan oleh seorang perwira Jepang pada waktu yang dijanjikan, ia harus menerima siksaan berupa pukulan-pukulan yang keras. Si perwira ternyata hanya berhenti memukulnya setelah ipar Siauw, Tan Soen Eng, yang pada waktu itu baru berumur 11-an, menangis karena ketakutan. Kadang-kadang ia juga terlalu lunak dalam menangani pembelinya. Kalau mereka menyatakan tidak mampu, ia menurunkan harga barang sampai di bawah ongkos. Terkadang, ia memberikan barang-barang dagangannya dengan menghutangi si pembeli, tetapi sering lupa atau tidak tega untuk menagihnya8. Disamping sikapnya yang terlalu lunak terhadap para penjual dan pembeli barang-barang dagangannya, Siauw, seperti kakeknya, jauh lebih tertarik dalam berdiskusi politik dengan para teman dekat yang sering berkumpul di tokonya. Ia sering menyuruh iparipar ciliknya, Tan Soen Eng dan Tan Soen Houw yang pada tahun 1943-an baru berumur 11 dan 7 tahun, untuk menjaga tokonya, sehingga ia bisa berdiskusi dan melakukan berbagai kegiatan politik. Hal seperti ini menyebabkan tokonya itu tidak menghasilkan keuntungan yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya. Tetapi mereka masih beruntung karena isteri Giok Bie, Tan Kiep Nio, mempunyai kemampuan dalam mencari uang. Ia membuka kapsalon rambut dan juga semacam coffee house di tempat tinggal mereka di jalan Kayu Tangan, Malang. Keuntungannya cukup untuk menghidupi dua keluarga yang besar itu. Dalam dua keluarga itu terdapat empat orang dewasa dan sembilan anak-anak kecil. Teman-teman yang sering datang untuk ngobrol di tokonya termasuk Han Kang Hoen, seorang pemimpin masyarakat Tionghoa Malang yang sangat dihormati orang, berumur 40-an, 8 Wawancara dengan Tan Soen Eng, Jakarta, Juli 1995; Wawan- cara dengan Siauw Giok Bie, Juli 1990. 68 Zaman Jepang dan Proklamasi Han Tik Djien, kawan baik sebaya Siauw dan Go Gien Tjwan, kawan barunya dari Malang yang berumur 25-an. Dengan ketiga teman ini, Siauw sering mengadakan diskusi-diskusi politik yang serius. Teman-teman lamanya, seperti Liem Koen Hian yang pada waktu itu menetap di Jakarta, Tjoa Sik Ien dari Surabaya dan Tan Ling Djie yang menetap di Tanggerang, juga terkadang muncul untuk berdiskusi. Di samping mereka, juga sering datang kawan-kawan lain yang turut menjadi pendengar diskusi-diskusi politik itu, termasuk adiknya, Giok Bie, Tan Hoo Lam dan Tan Hoo Kiet, Njoo Soen Hian, Tan Kiek Liep dan Ong Hong Tiek. Dari kelompok yang jauh lebih muda, Kho Thian Po, Tan Hwie Kiat dan Oey Hay Djoen juga cukup sering datang berkunjung. Go Gien Tjwan teringat bahwa dalam diskusi-diskusi ini, Siauw sering menyatakan bahwa penduduk Tionghoa harus siap menghadapi kekalahan Jepang dan juga harus bersiap siaga bekerja sama dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Pemuda Tionghoa, menurut Siauw, tidak boleh hanya menjadi penonton saja. Mereka harus berpartisipasi dalam gerakan merebut kemerdekaan. Dalam diskusi-diskusi itu Siauw berulang kali meyakinkan teman-temannya bahwa Indonesia adalah tanah air penduduk Tionghoa di Indonesia dan harapan untuk memperbaiki nasib hidupnya hanya bisa ditumpukan di atas kemerdekaan dan berhasilnya pemerintah Indonesia memakmurkan negara Indonesia yang baru9. Kemampuan Siauw untuk mempengaruhi orang dan menarik dukungan para teman dekatnya jelas nampak sejak zaman penjajahan Belanda di Semarang. Di rumah kost-nya, ia berhasil menarik beberapa pemuda, Oei Tjoe Tat dan Lie Tjwan Hie, sehingga mereka menjadi pendukung setia-nya. Di Malang, waktu untuk berdiskusi politik di toko Tjawn-Tjwan-an lebih banyak. Hampir semua teman yang di sebut di atas kemudian menjadi pendukung setia-nya di zaman kemerdekaan dan dalam mengembangkan 9 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1994 69 Siauw Giok Tjhan Baperki. Menjelang akhir tahun 1943, Penguasa Jepang membentuk beberapa organisasi yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Yang terpenting dari sekian banyaknya organisasi itu adalah PUTERA Pusat Tenaga Rakyat yang langsung dipimpin oleh Soekarno. Pada tahun 1943, setelah parlemen Jepang mengumumkan bahwa orang-orang Indonesia akan diajak untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, dibentuklah sebuah Komite Pusat (Tjuo Sangi-In) dan cabang-cabangnya di daerah-daerah (Sangi-Kai). Komite Pusat ini juga diketuai oleh Soekarno dan beranggotakan banyak pemimpin nasionalis. Tugas utamanya adalah memberi pendapat-pendapat dan pertimbangan kepada penguasa Jepang10. Jepang mengakui bahwa penduduk Tionghoa bisa memainkan peranan penting di Indonesia. Oleh karenanya, mereka bekerja keras untuk mengurangi dukungan masyarakat Tionghoa terhadap pemerintah Tiongkok yang pada waktu itu dipimpin oleh Chiang Kai Shek dan mencoba menghimbau penduduk Tionghoa untuk mendukung pemerintah Tiongkok yang dibentuk oleh Jepang di Manchuria, yang dipimpin oleh Wang Chi Wei11. Untuk memperkuat dukungan masyarakat Tionghoa terhadap Jepang, pada bulan Juli 1942, mereka membentuk Hua Chiao Tsung Hui (Federasi Persatuan Tionghoa atau Kakyo Shokai). Dalam waktu beberapa bulan, organisasi ini dibentuk di semua kota-kota besar di seluruh Indonesia. Hanya organisasi ini yang boleh dibentuk untuk orang Tionghoa dan untuk pertama kalinya penduduk totok dan peranakan dipaksakan untuk berkumpul dalam satu organisasi. Pimpinan Kakyo Shokai dipilih oleh masyarakat Tionghoa sendiri tetapi harus disetujui oleh penguasa militer Jepang. Berbeda dengan organisasi-organisasi Tionghoa sebelum Jepang masuk, pemimpin-pemimpin yang terpilih untuk Kakyo Shokai bukan pedagang-pedagang yang kaya raya. Pada umumnya mereka 10 11 Ray, Transfer of Power, pp 89-91 Somers, Peranakan Chinese Politics, pp 104-105 70 Zaman Jepang dan Proklamasi terpilih karena dianggap mampu untuk mewakili masyarakatnya. Perhitungannya pada zaman ini bukan hanya karena kekayaannya. Di Solo, yang dipilih adalah Ong Siang Tjoen, pemilik pabrik rokok kretek yang ternama. Di Bandung, Yap Tjwan Bing, seorang apoteker yang terpilih. Di Malang, yang diangkat menjadi ketua Kakyo Shokai adalah Han Kang Hoen, pedagang kelas menengah yang terkenal mahir dalam bernegosiasi dengan berbagai kelompok nonTionghoa12. Pada umumnya, yang diangkat menjadi ketua adalah orang-orang peranakan, karena biasanya pada waktu itu, mereka lebih berpendidikan tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang totok. Kakyo Shokai memang cukup berguna dalam mempersatukan kedua kelompok dalam masyarakat Tionghoa -- peranakan dan totok. Tetapi secara langsung, ia telah mengisolasi masyarakat Tionghoa dari masyarakat Indonesia umumnya. Memang rupanya, inilah tujuan utama dari penguasa Jepang, untuk menghindari kesatuan dalam tubuh perlawanan terhadap dirinya di Indonesia. Usaha memecahkan persatuan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia diteruskan juga dalam program sosial dan pendidikannya. Penguasa Jepang memaksa orang Tionghoa untuk mempelajari kebudayaan Tionghoa dan menanggalkan segala sesuatu yang bersifat Belanda. Mereka dipaksa untuk belajar bahasa Tionghoa. Semua toko-toko harus mempunyai nama-nama Tionghoa dengan huruf-huruf Tionghoa pula. Sekolah-sekolah Belanda ditutup dan mereka dilarang untuk menggunakan bahasa Belanda. Nama-nama Belanda yang pada umumnya digunakan oleh para pemuda-pemudi yang berpendidikan Belanda tidak boleh lagi digunakan. Semua anak Tionghoa diharuskan belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Untuk itu, sekolah-sekolah THHK yang tadinya ditutup, dibuka kembali dan pengawasannya ditugaskan pada Kakyo Shokai-Kakyo Shokai13. Walaupun Kakyo Shokai dilarang bergerak dalam bidang politik, 12 13 Siauw, Lima Jaman, p 72 Ibid. pp 71-72; Somers, Peranakan Chinese Politics, p 108 71 Siauw Giok Tjhan organisasi ini bisa menjadi sebuah kekuatan yang berguna dalam membantu penguasa militer Jepang untuk memperkuat barisan militernya. Seperti rekan-rekannya di PUTERA, para ketua Kakyo Shokai ditugaskan untuk mengumpulkan dana dari masyarakatnya untuk menunjang operasi militer Jepang. Mereka sering dipaksa untuk mengumpulkan perhiasan dan barang berharga lainnya dari masyarakat Tionghoa. Untungnya, mereka tidak ditugaskan untuk mencari tenaga yang kemudian dijadikan budak-budak Jepang dalam program yang mereka namakan Romusha program14. Akan tetapi, seperti yang dicapai oleh rekan-rekan PUTERA, para ketua Kakyo Shokai ini bisa juga mengusahakan berbagai perbaikan nasib untuk masyarakat yang diwakilinya. Yap Tjwan Bing, ketua Kakyo Shokai di Bandung misalnya, berhasil memperbaiki kondisi dari para tahanan Tionghoa yang ditahan di kamp Cimahi15. Ketika Tjoo Sangi Kai (Dewan Penasehat) dibentuk pada tahun 1943 yang dipimpin oleh Soekarno dan beranggotakan para pemimpin nasionalis yang ternama, beberapa pemimpin masyarakat Tionghoa yang ternama juga dipilih sebagai anggotanya. Yang terpilih adalah Oei Tjong Houw (pemilik dari perusahaan raksasa Oei Tiong Ham), Oei Tiong Tjioe (seorang wartawan yang diizinkan untuk menerbitkan harian Hong Po di Jakarta dalam zaman pendudukan Jepang), Yap Tjwan Bing ( ketua Kakyo Shokai Bandung) and Liem Koen Hian bekas ketua PTI yang menetap di Jakarta. Dua dari mereka ini kemudian dipilih untuk menjadi anggota-anggota dari Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada bulan April 1945 (Yap Tjwan Bing and Liem Koen Hian)16. Di Malang, seperti dituturkan di atas, ketua Kakyo Shokai adalah Han Kang Hoen. Akan tetapi, yang memainkan peranan dan mengisi kepemimpinan organisasi ini sebenarnya adalah Siauw Giok Tjhan, yang pada waktu itu telah berumur 30-an. Siauwlah yang menentukan strategi perundingan dengan penguasa Jepang dan permintaan-permintaan apa yang harus ditonjolkan 14 15 16 Ibid. p 73 Ibid. p 72 Ibid. p 73; Somers, Peranakan Chinese Politics, p 109 72 Zaman Jepang dan Proklamasi untuk memperbaiki nasib masyarakat Tionghoa di Malang. Siauw, walaupun lebih muda dari Han, jauh lebih berpengalaman dalam menghadapi masalah masyarakat, karena pengalamannya di zaman gerakan Tjin Tjay Hwee. Ia juga lebih berpengalaman dan mahir dalam memimpin rapat-rapat dan meyakinkan orang untuk menerima pendapat-pendapatnya. Pada akhirnya, penduduk Tionghoa di Malang mengakui dan menganggap Siauw sebagai wakil dan pimpinannya17. Pembentukan Badan-Badan para-militer Pada tahun 1943, penguasa Jepang menganggap perlunya dibentuk badan-badan yang terlatih untuk membantu kekuatan militernya dalam menghadapi kekuatan militer musuh. Dibentuklah barisan Seinendan (Barisan Pemuda) dan Keibodan (Barisan Pertahanan). Untuk Seinendan, anggotanya berumur dari 14 tahun sampai 25 tahun dan untuk Keibodan dari 20 tahun sampai 35 tahun. Tugas utama kedua barisan ini adalah membantu penguasa Jepang untuk mempropagandakan program militer mereka dan membantu penguasa militer untuk mengamankan kota-kota dan daerah pedalaman. Pemuda Tionghoa dilarang untuk masuk ke Seinendan, tetapi diizinkan masuk ke Keibodan. Tidak jelas apa yang menyebabkan perbedaan ini18. Pada tahun 1944, beberapa bulan setelah PETA (Pembela Tanah Air) dibentuk sebagai angkatan tambahan yang beranggotakan para pemuda Indonesia, para ketua Kakyo Shokai diperintahkan untuk membentuk Kebotai (Barisan Pengaman Tionghoa) di kota masing-masing. Senjata juga disediakan untuk para Kebotai ini. Kebijakan ini disambut dengan hangat oleh masyarakat Tionghoa yang menganggap kehadiran Kebotai yang beranggotakan pemuda17 18 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989, Go Gien Tjwan , December 1991 dan Oey Hay Djoen, November 1997 Benedict Anderson, Java, In Time Of Revolution, Cornell Uni versity Press, 1972, pp 26-27 73 Siauw Giok Tjhan pemuda Tionghoa ini pada akhirnya akan membantu masyarakat Tionghoa untuk menghadapi kelompok-kelompok seperti Hizbullah, Seinendan dan Keibodan yang sering merampok dan mengganggu keamanan mereka. Di Malang, Han Kang Hoen mengangkat Thio Kong An sebagai Kebotai-Choo (Kepala Kebotai) dan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya (Fu Kebotai-Choo). Thio, beberapa tahun lebih tua dari Siauw, adalah kepala kepanduan Tionghoa di Malang, yang berpengalaman dalam berbagai latihan lapangan. Thio dan Siauw dikirim ke Tanggerang untuk memperoleh latihan militer yang intensif. Tetapi beberapa bulan kemudian, Thio meletakkan jabatannya karena merasa khawatir dengan tekanan yang ia akan alami dalam menghadapi kebutuhan masyarakat Tionghoa dan melawan kekuatan-kekuatan pemuda lainnya. Han Kang Hoen segera meminta Siauw untuk menggantikannya sebagai KebotaiChoo19. Anehnya, pihak Jepang tidak khawatir dengan pengaruh Siauw yang di zaman sebelum Jepang masuk pernah aktif dalam gerakan anti-Jepang dan bahkan sering menulis karangan yang mengajak pembaca surat kabar Mata Hari untuk melawan Jepang. Ada kemungkinan, kawan baik isteri Siauw yang bersuamikan orang Jepang, Jendral Matsuda yang juga bertugas di Malang pada waktu itu, memainkan peranan penting dalam melindungi Siauw. Setiap pemuda Tionghoa yang berumur dari 20 tahun sampai 35 tahun diharuskan masuk Kebotai dan dilatih untuk siap bertempur dan mengamankan kotanya. Setiap orang harus melalui latihan militer selama dua atau tiga minggu. Setelah latihan intensif selesai, mereka setiap hari harus tetap berkumpul untuk latihan selama dua sampai tiga jam. Setelah berlatih, mereka juga sering ditempa dengan indoktrinasi politik dan militer Jepang yang mempropagandakan kekuasaan militernya. Sambil memimpin Kebotai, Siauw juga banyak berhubungan dengan pimpinan barisan-barisan pemuda lainnya, Seinendan, 19 Siauw, Lima Jaman, p ; Wawancara dengan Oey Hay Djoen , Jakarta, November 1997 74 Zaman Jepang dan Proklamasi Keibodan dan juga beberapa organisasi anti Jepang dibawah tanah lainnya. Tujuan utama kontak-kontak ini adalah menjamin adanya kerja sama yang baik dan mencegah diadu dombanya kekuatankekuatan pemuda yang sudah dilatih dan dipersenjatai. Siauw menekankan bahwa musuh utama adalah Jepang dan seharusnya semua kekuatan bersatu melawan dan melucuti senjata pasukan Jepang ketika waktunya sudah tiba. Pada saat itu, Siauw sudah yakin bahwa Jepang akan kalah dan kesempatan untuk memerdekaan Indonesia akan datang dengan takluknya Jepang menghadapi the Allied Forces. Kontak-kontak dengan gerakan Tionghoa totok di bawah tanah yang beroperasi di Jawa Timur tetap diadakan oleh Siauw. Kegiatan Siauw di Tjin Tjay Hwee menyebabkannya ia mempunyai hubungan baik dengan kelompok totok dan memperoleh kepercayaan. Kontak ini membawa Siauw ke Tan Kah Kee, seorang tokoh gerakan antiJepang Singapura yang sedang bersembunyi di Batu, kota kecil di daerah pegunungan tidak jauh dari Malang. Tan, berumur 55 pada tahun 1943, memang ternama di Asia Tenggara sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa di Malaya dalam melawan Jepang. Ia mempunyai hubungan baik dengan pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan kehadirannya di Jawa Timur merupakan tanda bahwa kegiatan anti Jepang di bawah tanah cukup aktif di Jawa Timur20. Siauw memperoleh banyak informasi dari Tan Kah Kee tentang kepemimpinan Mao Tse Tung dan darinya juga memperoleh banyak petunjuk dalam menghadapi penguasa Jepang. Tan mendukung pandangan Siauw bahwa Jepang akan menyerah dalam waktu dekat dan upaya harus dibuat untuk mencegah timbulnya pertumpahan darah antar kelompok-kelompok yang telah dilatih dan disenjatai. Inilah yang mendorong Siauw untuk menghubungi pimpinan Seinendan dan Keibodan di Jawa Timur21. Pertemuan-pertemuan 20 21 Untuk mengetahui secara mendetail tentang Tan Kah Kee di Indonesia, baca C.F.Young , Tan Kah Kee, The Making of An Overseas Chinese Legend, Singapore Oxford University Press, 1987, pp 280-291 Siauw, Lima Jaman, p 75 75 Siauw Giok Tjhan ini yang diselenggarakan dengan tokoh-tokoh seperti Mustopo, Soedisman, Soemarsono dan Roeslan Abdulgani menghasilkan pengertian dan persetujuan bahwa kelompok-kelompok muda yang telah terbentuk akan saling bekerja sama dan tidak berperang. Siauw memperoleh jaminan bahwa kelompok-kelompok bersenjata yang dipimpin oleh para pemimpin ini tidak akan mengganggu atau menyerang masyarakat Tionghoa22. Siauw tetap menganjurkan pengikutnya untuk senantiasa bekerja bahu membahu dengan pihak yang berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Pada waktu yang bersamaan ia mulai melakukan diskusi-diskusi dengan para temannya membicarakan bentuk negara apa Indonesia harus dibentuk dan Undang-Undang apa yang harus diperjuangkan untuk menjamin penyelesaian yang bijaksana untuk golongan minoritas Tionghoa. Pada waktu yang bersamaan, pasukan Allied Forces semakin kuat dan memenangkan pertempuran-pertempurannya melawan pasukan Jepang di berbagai negara. Untuk memperoleh dukungan yang lebih luas di Indonesia, pihak penguasa Jepang terlihat mempercepat proses persiapan untuk mencapai kemerdekaan. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menyatakan bahwa pemerintah Jepang serius untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Mei 1945, pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini yang dipimpin oleh Soekarno beranggotakan 63 orang, diantaranya Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian bergerak cepat menghubungi teman-teman seperjuangannya untuk memformulasi pernyataan-pernyataan yang ia harus buat dalam panitia ini. Ia menghubungi pimpinan PTI dan sebelum kongres pertama dari PPKI (28 Mei - 1 Juni 1945), 22 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, December 1991 dan Soemarsono, Januari 1992 76 Zaman Jepang dan Proklamasi Liem Koen Hian berkali-kali pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Tan Ling Djie yang datang dari Tanggerang, Tjoa Sik Ien yang memang tinggal di Surabaya dan Siauw Giok Tjhan yang datang dari Malang. Pertemuan-pertemuan yang diadakan di rumah Tjoa Sik Ien ini menghasilkan beberapa butir pikiran yang menjadi dasar pidato Liem dalam rapat PPKI pertama itu. Keputusan ke empat tokoh peranakan Tionghoa itu dapat disimpulkan sebagai berikut 23 : a. Nasionalisme Indonesia tidak boleh berkembang menjadi Chauvinisme. b. Hanya boleh ada satu macam kewarganegaraan Indonesia dan harus dijamin bahwa setiap warga negara mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Diskriminasi Rasial harus ditumpas habis. c. Undang-Undang yang dibuat harus menjamin bahwa pemerintah menaruh kepentingan Rakyat di atas segalanya. d. Masyarakat Tionghoa tidak mendirikan organisasi politik yang didasari atas kelompok etnis. Orang-orang Tionghoa harus didorong untuk berpartisipasi dalam gerakan-gerakan politik sebagai anggota-anggota dari berbagai organisasi nasional. e. Partisipasi dalam bidang politik dan sosial harus dilakukan tanpa menanggalkan ke-Tionghoaan dan tradisi serta kebudayaan Tionghoa. Bahasa yang harus dikembangkan dalam masyarakat Tionghoa adalah bahasa Indonesia. Pada waktu Liem Koen Hian berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, butir-butir di atas itulah yang diungkapkan sebagai dasar formulasi permintaannya untuk dimasukkan ke dalam jiwa dan isi UndangUndang Dasar negara Indonesia. Dalam pidato Soekarno pada tanggal yang sama, yang kemudian lebih dikenal sebagai pidato kelahiran Pancasila, ia menjawab beberapa pertanyaan Liem Koen Hian dan menegaskan bahwa Kebangsaan Indonesia tidak akan berkembang menjadi Chauvinisme. 23 Siauw, Lima Jaman, pp 81-88 77 Siauw Giok Tjhan Proklamasi Kemerdekaan Ketika kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Han Kang Hoen dan Siauw Giok Tjhan segera bergerak untuk memobilisasi dukungan masyarakat Tionghoa terhadap berdirinya negara Republik Indonesia. Akan tetapi mereka mendapati upaya memobilisasi masyarakat Tionghoa itu sebagai hal yang sulit untuk dilaksanakan. Mengapa demikian? Pendudukan Jepang telah menghasilkan kemiskinan yang parah. Seperti yang dituturkan sebelumnya di berbagai daerah, famine dialami oleh penduduk Indonesia, yang menimbulkan kelaparan yang merusak kesehatan. Juga seperti yang dituturkan sebelumnya, pihak penguasa Jepang telah mengkotak-kotak masyarakat Indonesia berdasarkan latar belakang etnisnya. Golongan Tionghoa terutama, telah dipisahkan secara sistimatis dari masyarakat Indonesia. Hancurnya kekuatan militer Jepang diikuti dengan jatuhnya kekuasaan militer di semua daerah ke tangan para pemuda yang berada dalam barisan-barisan yang dibentuk Jepang, seperti PETA, Seinendan, Keboidan. Disamping itu, para pemuda Indonesia juga dengan cepat membentuk barisan-barisannya sendiri. Banyak dari mereka ini merampas senjata dari pasukan Jepang yang menyerah. Akibatnya, para barisan pemuda ini memiliki persenjataan yang ditinggalkan atau dirampas dari Jepang. Sayangnya, banyak dari barisan pemuda ini tidak disiplin dan terdorong untuk melakukan perampokan-perampokan dan penganiayaan terhadap golongan yang dianggap berkhianat terhadap Rakyat Indonesia. Masyarakat Tionghoa menjadi sasaran mereka. Banyak yang dirampok, diananiaya bahkan dibunuh dengan kejam oleh pasukan-pasukan bersenjata pemuda ini. Dalam beberapa bulan pertama setelah proklamasi, para pemimpin masyarakat Tionghoa juga harus menghadapi gerakan yang dinamakan San Min Chu I Ching Nien Thoan (Pemuda San Min Chu I). Mereka mencari para pemimpin Tionghoa yang dianggapnya 78 Zaman Jepang dan Proklamasi pernah berkolaborasi dengan penguasa Jepang dan menculiknya untuk kemudian disiksa, bahkan dibunuh. Para ketua Kakyo Shokai dan Kebotai juga dimasukkan ke dalam daftar orang yang harus ditangkap. Organisasi ini dipimpin oleh pemuda-pemuda totok radikal yang di zaman pendudukan bekerja di bawah tanah dalam gerakan melawan Jepang. Hubungan baik yang dimiliki oleh Siauw dengan kelompok totok di Jawa timur memungkinkan Siauw untuk menyelamatkan para pimpinan Kakyo Shokai dan Kebotai di Jawa Timur, terutama Surabaya dan Malang, sehingga tidak ada korban yang jatuh di sana24. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Kakyo ShokaiKakyo Shokai dibubarkan. Di Malang, Han Kang Hoen dan Siauw Giok Tjhan membentuk Hua Chiao Tse An Hui (Badan Pengaman Tionghoa) pada bulan September untuk mengkonsolidasi pengaruhnya di dalam masyarakat Tionghoa di kota itu dan menjamin adanya wadah yang bisa mewakili dan membela kepentingan masyarakat Tionghoa dalam menghadapi berbagai macam kekacauan. Menjelang Oktober 1945, pasukan Belanda mulai masuk kembali ke Indonesia dan banyak orang Tionghoa mengharapkan bahwa negara RI yang dibentuk setelah proklamasi Soekarno-Hatta itu akan berakhir dan kekuasaan penjajahan Belanda kembali. Setelah mengalami berbagai macam kekacauan dan kejahatan-kejahatan, sebagian besar dari masyarakat Tionghoa tidak memiliki keyakinan bahwa negara RI akan melindungi mereka. Siauw sangat khawatir melihat perkembangan ini. Yang ia khawatirkan tentunya adalah berkembangnya persepsi di kalangan pemuda Indonesia bahwa masyarakat Tionghoa tidak mendukung kemerdekaan bahkan mendukung usaha mengembalikan sistim penjajahan Belanda. Untuk mengurangi dampak negatif ini, Siauw membentuk Angkatan Muda Tionghoa (AMT) di Malang untuk menunjukkan masyarakat umum bahwa penduduk Tionghoa tidak hanya 24 Siauw, Lima Jaman, pp 76-77; Wawancara dengan Oey Hay Djoen, Desember 1997 79 Siauw Giok Tjhan menonton tetapi aktif dalam mempertahankan kemerdekaan. Sebagai ketua dipilih Siauw Giok Bie, yang memilki figur yang sangat dibutuhkan, yaitu berpengalaman dalam gerakan lapangan dan mampu berhubungan dengan pimpinan-pimpinan laskar pemuda yang bersenjata. Siauw sendiri tetap berada di belakang layar mengisi kepemimpinan organisasi dengan memberi petunjukpetunjuk dan menentukan strategi organisasi25. Pembentukan AMT menimbulkan sebuah dilema, yaitu apakah AMT dan para anggotanya juga harus dipersenjatai supaya bisa dengan efektif melawan tindakan-tindakan yang tidak tepat dari laskar-laskar pemuda. Siauw Giok Bie cenderung untuk mempersenjatai AMT. Ia sendiri sudah berhasil merampas pistol dan senapan dari Jepang. Sikap Giok Bie ini didukung oleh sebagian besar anggota AMT. Siauw tetapi berbeda pendapat. Baginya AMT akan lebih efektif kalau bekerja sama dengan para laskar pemuda dan meyakinkan para pemimpinnya untuk tidak mengganggu masyarakat Tionghoa, bahkan membela kepentingannya. Menurutnya, kalau AMT bersenjata, ia bisa saja terlibat dalam pertempuran-pertempuran yang malah merugikan AMT dan golongan Tionghoa secara keseluruhan. Ia menyatakan bahwa tugas utama AMT bukan untuk bertempur, karena ini pasti tidak akan bisa dipenuhi dengan baik karena jumlah anggotanya terbatas. Baginya, tugas utama AMT adalah mendidik masyarakat Tionghoa untuk mendukung kemerdekaan RI dan mendidik para pimpinan Laskar pemuda bahwa musuh utama mereka bukan golongan Tionghoa. Akhirnya, pendapat Siauw diterima oleh para pendukungnya26. Dengan bantuan BKR (Badan Keamanan Rakyat), badan yang dibentuk sebelum Angkatan Darat dengan resmi dibentuk, AMT berhasil menjamin lancarnya keluar masuknya pelarian-pelarian 25 26 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1992 dan Siauw Giok Bie, Mei 1989 Siauw, Lima Jaman, pp 77-78; Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989 80 Zaman Jepang dan Proklamasi Tionghoa dari Surabaya ke Malang. AMT juga berhasil meyakinkan banyak pimpinan laskar pemuda di Jawa Timur untuk membebaskan para tahanan Tionghoa yang ditahan karena dianggap berhianat dan juga menghentikan berbagai tindakan merampok dan menganiaya golongan Tionghoa. Pada bulan Oktober 1945, Sutomo, yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo, berumur 27 tahun, dan kepala BPRI (Barisan Pembrontak Rakyat Indonesia) muncul sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di Jawa Timur. Pidato-pidatonya membakar semangat pemuda untuk melawan pasukan-pasukan Inggris dan Belanda. Karena pidato-pidatonya yang didengungkan melalui radio itu ternyata berhasil mempertinggi daya juang kaum pemuda, Bung Tomo juga mendapat julukan jendral radio. Sayangnya, pidatopidato Bung Tomo mengandung pernyataan-pernyataan antiTionghoa. Tema-tema anti-Tionghoa ini tentunya mempersulit posisi Siauw dan kelompoknya dalam upaya meyakinkan golongan Tionghoa untuk tetap mendukung Republik Indonesia. Bagaimana ia bisa meyakinkan mereka untuk mendukung gerakan yang mengkonsolidasi kemerdekaan kalau gerakan-gerakan itu justru mengandung sikap anti-Tionghoa yang bermanifestasi kekejaman terhadap golongan Tionghoa? Untuk mengurangi dampak negatif dari pidato-pidato Bung Tomo, Siauw mendorong Go Gien Tjwan, juru bicara AMT untuk menyiarkan pidato-pidatonya pada waktu yang hampir bersamaan. Atas bantuan Radio Malang, Go Gien Tjwan bisa menyiarkan suaranya 15 menit sebelum Bung Tomo mendengungkan agitasi-nya. Di dalam siarannya, Go menegaskan bahwa musuh utama Rakyat Indonesia adalah Belanda, bukan golongan Tionghoa. Go juga menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia juga menjadi korban dari penjajahan Belanda dan tidak menghendaki penjajahan Belanda itu kembali. Siauw dan kawan-kawannya pergi menemui Bung Tomo untuk mengubah sikapnya terhadap golongan Tionghoa. Tetapi bung Tomo tidak bisa diyakinkan. Walaupun ia menyatakan bahwa ia selalu siap untuk 81 Siauw Giok Tjhan bekerja sama dengan Siauw dan AMT, karena menganggap mereka sebagai sumbangan positif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ia masih menganggap bahwa sebagian besar masyarakat Tionghoa mempunyai sikap yang berbeda27. Menjelang akhir bulan Oktober 1945, Siauw memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk menemui Bung Tomo dan tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman di Nangka Jajar, sebuah kota kecil yang terletak di antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan ini, Siauw menegaskan betapa pentingnya kerja sama antara AMT dan kelompok-kelompok pemuda Indonesia diteruskan untuk mengamankan keadaan di Jawa Timur dan menghilangkan kesan bahwa laskar-laskar pemuda itu perampok. Siauw menyatakan bahwa bantuan materi para pedagang Tionghoa sangat dibutuhkan pemerintah baru dan untuk menjamin bantuan itu terus datang, perampokan-perampokan yang dilakukan oleh para laskar pemuda harus segera dihentikan. Siauw juga menyatakan bahwa ia menganjurkan para pemuda Tionghoa untuk masuk ke BPRI dan Pesindo untuk turut berpartisipasi secara aktif di dalamnya28. Atas inisiatif ini, ada beberapa pemuda Tionghoa yang aktif dalam BPRI dan Pesindo, yang paling terkenal adalah Gam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Yang belakangan ini ternyata menjadi orang yang tampil di garis depan sambil memegang bendera Kuo Min Tang dalam foto-foto bersejarah yang menggambarkan pertempuran pada hari Pahlawan 10 November 194529. Kemahiran Siauw sebagai seorang mediator memungkinkannya menyelamatkan jiwa para wanita dan anak-anak Belanda yang ditahan dalam sebuah kamp di Malang. Siauw mendengar bahwa 27 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, May 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1992 28 29 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989 Siauw, Lima Jaman, pp 79-80; Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei1989 82 Zaman Jepang dan Proklamasi kepala BPRI setempat memutuskan untuk memblokir supply makanan ke kamp tersebut untuk menghukum para tahanan Belanda. Siauw segera menemui kepala BPRI setempat itu dan meyakinkan mereka bahwa tindakan demikian tidak bijaksana bahkan merusak martabat RI di mata internasional. Atas bantuan Mayor Malang, Sunarko, Siauw malah berhasil mendapatkan tambahan makanan dan obat-obatan untuk para tahanan wanita dan anak-anaknya itu30. Dalam waktu yang bersamaan, Siauw membentuk Palang Biru di Malang, yang beranggotakan bekas anggota-anggota Kebotai. Sebagai ketua, Siauw memilih Tan Sie Liep. Tugas utama Palang Biru ini adalah membantu para korban pertempuran di garis depan. Mereka juga ditugaskan untuk mengumpulkan obat-obatan dan mengirimkannya ke garis depan. Palang Biru berhasil memilki beberapa kendaraan yang dilengkapi dengan alat-alat para medis. Siauw Giok Bie juga aktif di dalamnya dan jasanya diakui oleh Soekarno yang memberinya bintang penghargaan atas jasa-jasanya pada akhir 1945 di Jakarta dalam mengumpulkan obat-obatan dan pengirimannya ke garis depan31. Setelah Jendral Mallaby mati tertembak di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan menjadi genting. Ultimatum Mayor Jendral Mansergh pada tanggal 9 November 1945 menyebabkan kekuatan pihak Indonesia bersiap-siap untuk melawan kekuatan Inggris yang didukung oleh allied Forces di Surabaya. Laskarlaskar pemuda Indonesia tidak bersedia untuk menyerah. Siauw memobilisasi para pengikutnya dari AMT dan Palang Biru di Malang untuk berangkat ke Surabaya, untuk turut bertempur dan membantu para korban pertempuran di sana pada tanggal 10 November. Siauw dan adiknya Giok Bie bersama beberapa rekan lainnya, termasuk Go Gien Tjwan dan Tan Hoo Kiet berada di medan pertempuran pada tanggal 10 November, yang kemudian di kenal 30 31 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1992 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989 83 Siauw Giok Tjhan sebagai hari pahlawan32. Siauw tetap merasakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama pemuda-nya harus terus didorong untuk tidak menjadi penonton upaya mengkonsolidasi kemerdekaan. Pada bulan Januari 1946, Siauw dibantu oleh The Tjing Djien, Go Gien Tjwan dan Tjoa Kian Bo menyelenggarakan kongres pemuda Tionghoa seluruh jawa Timur di Selecta, dekat Malang. Kongres ini dihadiri oleh 74 peserta dari 23 kota di Jawa Timur. Siauw berhasil pula mengundang beberapa tokoh peranakan yang terkenal untuk memberi sambutan, di antaranya Oey Yong Tjioe, seorang pengacara terkenal dari Malang, Yap Hong Po, ketua Chung Hua Hui di Yogyakarta, Kwa Tjwan Sioe, tokoh peranakan yang dihormati pejuang kemerdekaan dari Jakarta dan seorang wakil konsul jendral Tiongkok, Lin Chi Ming. Di dalam kongres ini Siauw menyerukan perlunya komunitas Tionghoa mendukung RI dan turut berpartisipasi dalam upaya mengkonsolidasinya. Keluhan dan kecaman terhadap laskar-laskar bersenjata yang merugikan komunitas Tionghoa disambut dengan berbagai penjelasan positif dan membangun. Akhirnya kehendak Siauw untuk mengeluarkan sebuah pernyataan yang tegas mendukung RI dan menerima Indonesia sebagai tanah air berhasil dikeluarkan sebagai sebuah keputusan bulat kongres tersebut. Kongres tersebut juga mendirikan Federasi Hua Chiao Tsing Nien Hui Jawa Timur, yang diketuai oleh Siauw dan Liem Chong An. Federasi pemuda yang menyatukan kelompok totok dan peranakan ini menginginkan dibentuknya sekolah-sekolah untuk mereka yang tidak mampu membayar uang sekolah, pembentukan study clubs yang diselenggarakan untuk memberi pendidikan politik kepada generasi muda Tionghoa dan pengumpulan dana dan tenaga pemuda Tionghoa yang bisa dilatih untuk berkecimpung dalam pertolongan pertama di medan-medan pertempuran. Rupanya, Federasi ini sangat tergantung atas keterlibatan dan pimpinan langsung Siauw. Kegiatan politik Siauw dalam kancah 32 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1992 84 Zaman Jepang dan Proklamasi nasional, dimulai dari keanggotaan KNIP dan Badan Pekerja-nya dan juga keaktifannya sebagai pimpinan Partai Sosialis, menyebabkan Federasi yang telah dibentuk ini tidak bisa berkembang. Setelah Siauw pindah dari Malang ke Yogyakarta pada awal 1947, Federasi ini tidak lagi aktif. Pada bulan Januari 1946, Siauw mulai berkecimpung dalam bidang yang ia tekuni, yaitu jurnalistik. Ia berpendapat, perlu diselenggarakan publikasi untuk masyarakat Tionghoa untuk mendorongnya mendukung RI. Dengan bantuan Go Gien Tjwan, Han Tik Djien dan The Siauw Giap, ia memimpin majalah mingguan yang dinamakan Pemoeda. Ini disebar luaskan di Jawa Timur, dengan Malang dan Surabaya sebagai target utama. Pada waktu yang bersamaan, bersama dengan Tan Sien Giok, anggota keluarga pemilik Paragon Press di Malang, Siauw mulai menerbitkan majalah mingguan lain yang dinamakan Liberty. Kalau Pemoeda ditujukan untuk masyarakat pemuda Tionghoa, Liberty ditujukan ke masyarakat umum Tionghoa. Kedua Majalah ini diterbitkan oleh Paragon Press. Siauw banyak menulis di kedua majalah ini. Di samping himbauan untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan mendukung kemerdekaan RI, Ia banyak melaporkan berbagai upaya pengkonsolidasian kemerdekaan RI dan perkembangan politik pemerintahan RI dengan berbagai kebijakan politiknya. Kecaman-kecaman terhadap upaya Belanda kembali menjajah kerap ditulisnya. Ia-pun kerap menulis tentang perkembangan revolusi di Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung. Secara berkala, karangan Edgar Snow: Red Star Over China, yang telah diterjemahkan oleh Siauw diterbitkan di dalam Pemoeda. Setelah Siauw pindah ke Yogyakarta pada awal 1947, penerbitan kedua majalah ini dihentikan. Kegiatan-kegiatan Siauw tentunya menyebabkannya berhubungan banyak dengan para pimpinan pemuda Indonesia yang memainkan peranan penting dalam kancah politik. Siauw juga merasakan bahwa untuk bisa lebih efektif dalam mempengaruhi 85 Siauw Giok Tjhan jalan pikiran para pemuda, ia harus turut memimpin partai-partai politik yang menjadi otak laskar-laskar pemuda ini. Atas anjuran Tan Ling Djie, yang sudah menjadi pemimpin Partai Sosialis, pada bulan Desember 1945, Siauw masuk dan aktif dalam Partai Sosialis. Dimulailah langkah perjalanan politik yang panjang dalam kancah nasional. 86 Zaman Jepang dan Proklamasi Tan Gien Hwa di Malang - 1944 87 Siauw Giok Tjhan BAB 4 PARTAI SOSIALIS, BADAN PEKERJA DAN YOGYAKARTA Seperti yang dituturkan dalam bab sebelumnya, di tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan diproklamasikan, telah terjadi berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa yang sangat merugikan proses pembangunan ekonomi negara, merusak image negara RI di dunia internasional dan tentunya menghambat persatuan bangsa. Kekerasan-kekerasan ini dilakukan oleh berbagai laskar pemuda yang bersenjata. Dan pada umumnya kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa itu terjadi karena adanya pengertian dan kesalah pahaman yang memang ditanam sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu golongan Tionghoa berkiblat ke Belanda dan senantiasa menginginkan kembalinya penjajahan Belanda di Indonesia. Masih ada pula pengertian bahwa masyarakat Tionghoa itu kaya raya dan kekayaannya itu adalah hasil penghisapan Rakyat Indonesia. Disamping itu, masyarakat Tionghoa berada di pihak yang lemah, tidak ada golongan kuat yang bersedia melindungi keamanannya dan mereka sendiri tidak berdaya untuk melakukan perlawanan yang berarti. Mereka merupakan umpan yang empuk. Celakanya, pemerintah RI yang baru berdiri tidak mampu memberi perlindungan yang dinantikan. Situasi seperti ini kian mendorong masyarakat Tionghoa untuk tidak mendukung pemerintah RI. Yang berpendidikan Belanda merasa lebih aman untuk mengungsi ke daerah-daerah yang dikuasai oleh kekuatan militer Belanda sambil menantikan kembalinya kekuasaan penjajahan. Yang berpendidikan Tionghoa-pun banyak yang mengungsi ke daerahdaerah yang dikuasai Belanda, tetapi pada umumnya mereka lebih 88 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP cenderung menantikan kekuatan pemerintah Tiongkok untuk memberi perlindungan yang dibutuhkan. Akan tetapi, ada juga segelintir orang Tionghoa yang tetap kokoh dalam pendiriannya untuk mendukung pemerintah RI. Mereka ini, terutama yang pernah aktif dalam PTI dan perjuangan mencapai kemerdekaan, tetap memiliki kesungguhan dan kesadaran politik yang berkiblat ke RI. Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Oey Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan termasuk dalam golongan kecil Tionghoa yang bersikap demikian. Siauw memilih masuk ke dalam Partai Sosialis pada bulan Desember 1945, dengan harapan, ia bisa mempengaruhi programprogram partai dan laskar-laskar pemuda yang berada di dalam naungannya, sehingga sikap mereka terhadap golongan Tionghoa berubah dan ekses-ekses revolusi ini tidak lagi menjatuhkan korban di dalam kalangan Tionghoa. Aktifnya Siauw dalam kancah politik nasional, dekatnya ia dengan banyak pemimpin nasional dan kemahirannya dalam berorganisasi menyebabkannya dengan cepat naik ke dalam posisi-posisi yang menentukan dalam Partai Sosialis. Ia juga diangkat ke dalam KNIP, Badan pekerja-nya dan kemudian sebagai menteri dalam kabinetkabinet Amir Sjarifuddin. Masuk ke Partai Sosialis Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 segera diikuti dengan pembentukan Kabinet Presidensiel yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kabinet ini terdiri dari para pemimpin nasionalis yang pernah bekerja sama dengan kekuasaan Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Para penentangnya dengan sendiri mengejek Kabinet ini sebagai Kabinet Bucho yang meniru sistem pemerintahan yang dipakai oleh kekuasaan militer Jepang semasa pendudukannya di Indonesia. Yang penting untuk diperhatikan adalah dibentuknya Partai Nasional Indonesia sebagai satu-satunya partai politik dan para 89 Siauw Giok Tjhan pimpinannya adalah para pemimpin dan pengurus Djawa Hokkai, satu-satunya aparat politik yang diizinkan berfungsi semasa pendudukan Jepang. Struktur pemerintahan dan partai politik seperti ini dikritik dan dikecam oleh para tokoh yang di zaman pendudukan Jepang tidak berpartisipasi dalam pemerintahan dan organisasi-organisasi resmi yang dibentuk oleh Jepang. Para tokoh ini, terutama Sjahrir dan Amir Sjarifuddin menginginkan sistem pemerintahan baru yang lebih demokratis dan yang tidak merupakan kelanjutan apa yang dibentuk kekuasaan Jepang. KNIP yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945 terdiri dari orang-orang yang mendukung pandangan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Akhirnya mereka berhasil meyakinkan pimpinan pemerintahan RI untuk menerima KNIP sebagai badan legislatif yang sah. Pada tanggal 17 Oktober 1945, Badan Pekerja KNIP dibentuk dan badan ini didominasi oleh para anggota yang mendukung Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Badan Pekerja diterima sebagai parlemen sedangkan KNIP dianggap sebagai badan permusyawaratan Rakyat. Kelompok Sjahrir menginginkan dilangsungkan sistem yang berazas multi-partai. Dengan bantuan wakil presiden Hatta, mereka berhasil mengubah sistem satu partai yang ada di mana hanya PNI diakui sebagai partai yang sah. Pada tanggal 3 November 1945, Hatta mengeluarkan sebuah Dekrit yang mengakhiri sistem satu partai dan mengizinkan berdirinya partai-partai politik baru. Setelah Dekrit itu dikeluarkan, muncullah berbagai partai politik baru, akan tetapi hanya tiga partai besar yang mampu mendominasi Badan Pekerja, yaitu Partai Sosialis, PNI dan Masjumi. Mereka tidak berhenti di situ. Timbullah gagasan untuk mengubah sistem pemerintahan kabinet presidensiel ke kabinet parlementer – di mana kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Gagasan ini diterima Soekarno. Pada tanggal 11 November 1945, Soekarno menunjuk Sjahrir dan Amir Sjarifuddin untuk membentuk Kabinet Parlementer pertama. Pada tanggal 14 November, Kabinet 90 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP ini terbentuk, dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan dan Penerangan. Beberapa partai politik yang baru terbentuk dalam bulan November itu diwakili dalam kabinet parlementer pertama ini. Dekrit pembentukan partai-partai politik mendorong berdirinya puluhan partai politik. Di antaranya Partai Komunis Indonesia (PKI) dipimpin oleh Mohamad Yusuf, Partai Buruh Indonesia (PBI), dipimpin oleh Njono, Masjumi, dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo, Partai Rakyat Djelata, dipimpin oleh Sutan Dewanis, Partai Rakyat Sosialis (Paras), dipimpin oleh Sjahrir dan partai Sosialis Indonesia (Parsi), dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Parsi yang dipimpin oleh Amir dibentuk di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945. Partai ini menampung para anggota Gerindo dan programnya berdasarkan program-program sosialisme1. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 19 November 1945, para pendukung Sjahrir membentuk Partai Rakjat Sosialis (Paras) di Cirebon. Para anggotanya adalah orang-orang yang memimpin Pendidikan Nasional Indonesia, yang di zaman penjajahan dipimpin oleh Hatta dan Sjahrir2. Kedua partai ini melihat adanya keuntungan bagi mereka untuk bersatu. Rapat antara para pemimpin kedua partai di Cirebon pada tanggal 16 dan 17 Desember 1945 memutuskan pendirian Partai Sosialis3 yang kemudian tumbuh sebagai partai yang paling berpengaruh dalam pemerintahan dan badan-badan legislatif dalam dua tahun mendatang. Partai ini terbagi dalam tiga kelompok besar4. Kelompok Amir 1 2 3 4 Benedict R. O’G Anderson: Java In a Time of Revolution, p 202 Ibid. p202 Ibid. p 203 Sebenarnya saya lebih cenderung membagi partai ini dalam tiga kelompok besar, tidak dalam lima kelompok seperti yang dituturkan oleh Anderson. Kelima kelompok yang 91 Siauw Giok Tjhan didominasi oleh para pemimpin yang berasal dari Surabaya dan beberapa diantaranya seperti Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat adalah orang-orang yang masuk ke dalam PKI Illegal yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada tahun 1935. Pada umumnya orang dari kelompok ini tidak berpendidikan tinggi, tetapi mempunyai pengalaman bekerja di bawah tanah. Banyak dari mereka ditahan oleh Jepang dan mengalami siksaan luar biasa. Marxisme yang mereka anut dipahaminya berdasarkan pengalaman politik dalam perjuangan serta pengarahan pimpinannya. Jadi Marxisme mereka tidak berdasarkan bacaan atau analisa yang bersifat akademis. Di dalam kelompok Amir ini, Tan Ling Djie adalah pemimpin di belakang layar. Walaupun Tan tidak mempunyai kemampuan dalam berpidato secara berapi-api dan dalam berbagai forum tidak mempunyai pembawaan sebagai pemimpin yang berkarisma, tetapi ia sangat dihormati oleh tokoh-tokoh di dalam kelompok ini, termasuk oleh Amir sendiri. Pengetahuannya tentang politik, hukum dan sejarah perjuangan internasional diakui dan selalu dijadikan dasar bahan-bahan pertimbangan pimpinan kelompok ini. Terkadang Amir dan pimpinan lainnya dimarahi bagaikan murid-murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya di hadapan banyak orang oleh Tan Ling Djie5. Kelompok kedua dipimpin oleh Sjahrir. Ia didominasi oleh orangorang yang memperoleh pendidikan barat tinggi, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda. Mereka berasal dari keluarga elite yang berada yang memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Banyak 5 disebut oleh Anderson adalah kelompok Surabaya, Yogya, Ci rebon, Jakarta dan orang-orang yang baru kembali dari negeri Belanda Wawancara dengan Soemarsono yang pada waktu itu pe mimpin dari Pesindo dan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), Sydney 1995; Z. Yasni: Bung Hatta Men jawab, Gunung Agung, 1978, pp14-15. Frederiek Djara Wellem: Amir Sjarifoeddin, pp 224. 92 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP mahasiswa yang mendukung Sjahrir di zaman pendudukan Jepang bernaung di kelompok ini. Kelompok Sjahrir lebih mementingkan pendidikan politik kader dan oleh karenanya lebih cenderung mengadakan diskusi-diskusi politik yang bersifat ilmiah. Tidak banyak dari mereka yang langsung terjun ke dalam perjuangan politik di bawah tanah dan pernah ditahan oleh Jepang. Dua kelompok ini mencerminkan karakteristik kedua pemimpin utamanya, Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Amir, seperti Soekarno, mementingkan gerakan massa, sedangkan Sjahrir, seperti Hatta, lebih mementingkan pendidikan politik dalam memperluas pengaruh politiknya dalam pemerintahan. Oleh karenanya di dalam Partai Sosialis, orang-orang Amir lebih banyak berkecimpung dalam pimpinan sekretariat dan hubungan massa sedangkan orang-orang Sjahrir menjadi pimpinan seksi-seksi penerangan dan pendidikan6. Kelompok ketiga sebenarnya berjumlah kecil tetapi mempunyai pengaruh penting di dalam Partai Sosialis. Kelompok ini beranggotakan orang-orang yang baru kembali dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh paham-paham komunisme, bahkan masuk ke dalam partai Komunis Belanda. Kelompok yang dipimpin oleh Abdulmadjid ini banyak mempengaruhi sikap Partai Sosialis dalam menghadapi pergolakan politik Internasional dan yang menyebabkan Partai Sosialis menerima sikap perjuangan internasional dalam menghadapi fasisme. Karena tujuan utamanya adalah bekerja sama dengan semua kekuatan anti fasis, mereka menganjurkan jalan berunding dengan pihak Belanda dalam menyelesaikan masalah kemerdekaan Indonesia, ketimbang melanjutkan permusuhan dengannya. Sebagian besar dari kelompok ini menganggap Tan Ling Djie sebagai pemimpin Partai Sosialis sesungguhnya7. Tan Ling Djie yang kemudian menjadi Sekretaris Jendral Partai Sosialis ini menghubungi Siauw yang pada waktu itu masih berada 6 7 Ibid. p208 Ibid. p209; wawancara dengan Soemarsono, Sydney, Desem- ber 1990. 93 Siauw Giok Tjhan di Malang untuk masuk ke dalam Partai Sosialis pada akhir bulan Desember 1945. Siauw tentunya banyak mengenal tokoh-tokoh partai baru ini, karena kegiatannya semasa pendudukan Jepang dan hubungannya dengan banyak pemimpin pemuda sebelum pertempuran berdarah di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw siap untuk masuk ke dalam Partai Sosialis karena menginginkan adanya perubahan sikap para laskar pemuda terhadap golongan Tionghoa dan juga ingin menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa turut berpartisipasi dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia. Siauw segera masuk ke dalam kelompok Amir Sjarifuddin. Dalam waktu singkat setelah masuk ke dalam partai ini, pengetahuan politik, pengalamannya dalam memimpin gerakan serta kepribadiannya yang luwes menyebabkan ia diorbitkan ke dalam grup pemimpin. Ia selalu hadir dalam rapat-rapat pimpinan termasuk rapat-rapat polit-biro. Walaupun tidak pernah kuliah sebagai mahasiswa, tetapi kemampuan Siauw dalam menganalisa keadaan politik dan pengetahuannya tentang teori-teori politik, diakui oleh banyak tokoh dalam partai ini. Oleh karena ini, dalam kelompok Amir, Tan dan Siauw dianggap sebagai jagoan inteleknya, karena mereka mampu melakukan perdebatan-perdebatan dengan pimpinan kelompok Sjahrir yang intelektuil8. Tidak jelas kapan Siauw pertama kali bertemu dengan Amir. Kemungkinan besar hubungannya mulai terjalin ketika Amir masuk ke dalam kelompok gerakan bawah tanah yang didirikan oleh Musso di Surabaya pada tahun 1935. Amir pada waktu itu sering berada di Surabaya dan sangat dekat dengan pimpinan PTI dan para wartawan Tionghoa di Surabaya. Yang jelas, setelah Desember 1945, Siauw dekat sekali dengan Amir. Oleh Amir dan Tan, Siauw 8 Soemarsono teringat bahwa Siauw sering berada bersama Amir dan Amir selalu mendengarkan pendapat-pendapat yang diajukan oleh Tan Ling Djie dan Siauw. 94 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP diminta aktif dalam seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi oleh orang-orang Sjahrir9. Walaupun Siauw jelas berada di dalam kelompok Amir, ia mempunyai hubungan baik dengan Sjahrir dan ternyata juga dekat dengan orang-orang kepercayaan Sjahrir, terutama dengan Djohan Sjahroesah. Kedekatannya dengan Djohan sering menyebabkan banyak orang mengira bahwa Siauw juga berada di dalam kelompok Sjahrir10. Perkembangan politik di awal 1946 mendorong diadakannya koordinasi baik antara aparat partai dan laskar pemuda yang mendukung partai, yaitu Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pesindo yang dibentuk pada tanggal 10 November 1945, merupakan gabungan berbagai kelompok pemuda seperti API dari Jakarta, Gerpri dari Yogyakarta, AMRI dari Semarang, PRI dari Surabaya, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik and Angkatan Muda Pos, Telegrap dan Telepon. Karena Siauw mempunyai hubungan baik dengan para pimpinan pemuda Jawa Timur, terutama yang berasal dari Surabaya seperti Soemarsono, ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (federasi antara Pesindo dan 21 organisasi pemuda) dan Setiadi, ketua Pesindo, Amir mengangkat Siauw sebagai penasehat politik kedua organisasi ini dan menjadikannya 9 10 Wawancara dengan Jaques Leclerc, January 1995. Banyak in formasi tentang Amir yang dimiliki oleh Leclerc diperoleh dari Siauw Giok Tjhan dan ini dituturkannya dalam tulisan nya, Amir Sjarifuddin, Between The State and The revolution, in In Search Of cross-cultural Understanding, edited by Angus McIntyre, Monash Papers on South East Asia, No. 28; Wawan cara dengan Soemarsono, Gondo Pratomo dan Go Gien Tjwan Wawancara dengan Siauw, penjara RTM, 1970; Wawancara dengan Soemarsono, yang di zaman revolusi tinggal bersama dalam satu rumah dengan Djohan Sjaroezah. 95 Siauw Giok Tjhan koordinator kelompok pemuda11. Fungsi inilah yang nantinya menyebabkan Siauw bisa melakukan berbagai tindakan yang efektif dalam menyelamatkan jiwa dan harta masyarakat Tionghoa pada tahun-tahun 1947 dan 1948. KNIP DAN BADAN PEKERJA Terbentuknya KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 22 Agustus 1945 di Jakarta segera diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Daerah di kota-kota besar. Siauw Giok Tjhan dipilih untuk menjadi anggota Komite Nasional Daerah Malang pada bulan Oktober 1945. Masuknya Siauw ke dalam KNIP pada tahun 1946 dan Badan Pekerja pada awal tahun 1947 berhubungan dengan perkembangan politik di dalam zaman revolusi yang juga berhubungan dengan semakin besarnya kemauan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Di dalam tubuh pemerintahan Indonesia dan infra struktur politiknya, terdapat dua aliran besar. Aliran pertama menghendaki diselesaikannya masalah kemerdekaan dengan jalan damai, jalan berdiplomasi. Aliran kedua menghendaki kemerdekaan tuntas dan ini perlu ditempuh tanpa mengadakan perundingan dengan Belanda yang menghasilkan berbagai macam persyaratan yang mereka anggap merugikan posisi Indonesia. Mereka siap bertempur dalam mempertahankan dan mengkonsolidasi kemerdekaan. Kabinet Sjahrir yang dibentuk pada bulan November 1945 itu didominasi oleh Partai Sosialis yang pada waktu itu justru menghendaki jalan damai. Seperti yang dituturkan sebelumnya, partai ini dipengaruhi oleh garis Comintern yang mengajak semua kekuatan kiri di dunia untuk bersatu padu dalam mengalahkan fasisme. Belanda yang masuk ke dalam blok anti fasis, dalam konteks ini, merupakan kawan, bukan lawan. Oleh karenanya, Sjahrir dan Amir, didukung oleh Partainya dan Soekarno dan Hatta, mengambil jalan berdiplomasi. Mereka yang tidak berada 11 Wawancara dengan Soemarsono, Desember 1990 96 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP dalam barisan kiri, seperti Soekarno dan Hatta mendukung jalan damai ini karena mereka juga menerima ajakan Amerika Serikat yang mendukung jalan damai dengan Belanda. Ada juga dari para pimpinan pemerintah yang menganggap kekuatan RI tidak bisa mengalahkan Belanda bilamana mereka langsung berkonfrontasi dengan kekuatan militer Belanda. Aliran kedua, yang menentang jalan damai ini dipimpin oleh Tan Malaka, yang didukung oleh beberapa tokoh segenerasinya, seperti Iwa Kusumasumantri, Buntaran dan Yamin. Banyak juga para pimpinan pemuda yang mendukung Tan Malaka, diantaranya Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik. Program mereka adalah merdeka 100% dan menasionalisasi semua perusahaan yang dimiliki oleh Belanda. Mereka berpegang pada pedoman bahwa perundingan dengan Belanda hanya bisa dilakukan setelah kemerdekaan mutlak berada di tangan RI. Tan Malaka adalah seorang pemimpin komunis di Indonesia pada tahun 1920-an. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1942 setelah tinggal di Belanda dan beberapa negara Asia lainnya untuk jangka waktu puluhan tahun. Ia menjadi perwakilan Comintern di Asia Tenggara, posisi yang dipegangnya sampai ia meninggalkan Comintern. Posisinya sebagai perwakilan Comintern kemudian diambil oleh Ho Chi Minh, pemimpin revolusi Vietnam. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, ia muncul sebagai pemimpin yang sangat kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Amir. Visi dan kepemimpinan Tan Malaka menarik dukungan luas dari kalangan pejuang yang militant. Pada bulan Januari 1946, para pendukungnya berhasil mengumpulkan 133 partai-partai politik dan organisasi-organisi pemuda di Surakarta. Juga berhasil diajak ke situ beberapa tokoh Angkatan Perang, diantaranya Jendral Sudirman. Pertemuan besar ini melahirkan sebuah kekuatan baru yang dinamakan Persatuan Perjuangan Banyak anggota Partai Sosialis dan Pesindo, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Soemarsono yang siap mendukung garis yang 97 Siauw Giok Tjhan dianjurkan oleh Persatuan Perjuangan. Akan tetapi setelah mereka mengetahui bahwa program Persatuan Perjuangan pada akhirnya ingin menggantikan Soekarno dengan Tan Malaka dan ingin menjatuhkan kabinet Sjahrir, mereka segera menarik dukungannya12. Kekuatan Persatuan Perjuangan dalam kancah politik pemerintahan yang didominasi oleh PNI, Partai Sosialis dan Masjumi itu tentunya sangat terbatas. Mereka segera mendorong pemerintah untuk mengubah komposisi KNIP dan Badan Pekerjanya supaya mereka menjadi lebih efektif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintah. Akibat dari tekanan ini, KNIP diperbesar pada bulan Januari 1946 dan ini menyebabkan Siauw juga terpilih sebagai anggotanya, menjadi wakil ke lima dari golongan minoritas Tionghoa, tetapi tetap berada dalam barisan Partai Sosialis. Keempat posisi wakil minoritas lainnya diisi oleh Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Yap Tjwan Bing dan Injo Beng Goat. Pada awal tahun 1946, kekuatan Inggris dan Belanda semakin giat mengembangkan daerah kekuasaannya di Indonesia. Dan pengembangan kekuatan ini juga dikut-sertai berbagai kerusuhan yang merugikan masyarakat Tionghoa, terutama di pulau Jawa. Keadaan yang menggawat ini mendorong pemerintah RI untuk memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan wakil utama RI dalam semua perundingan dengan pihak Belanda bersama beberapa menteri lainnya tetap berada di Jakarta. Soekarno, Hatta dan semua pimpinan pemerintahan lainnya pindah ke Yogyakarta. Dengan adanya dua pusat seperti itu, Yogyakarta yang dekat dengan kekuatan-kekuatan pemuda yang bersenjata, terutama yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, berangsur berubah menjadi pusat kekuatan para tokoh politik yang menentang garis diplomasi, sedangkan Jakarta menjadi pusat kekuatan para tokoh yang mendukung garis diplomasi--mencari jalan keluar dengan 12 Wawancara dengan Soemarsono, Juli 1992 98 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP berunding dengan Belanda13. Sjahrir terus menerus mendapat tekanan dan celaan dari kelompok Persatuan Perjuangan karena terlihat berada di posisi yang lemah dalam perundingan dengan Belanda dan telah bersedia mengambil posisi kompromi yang terasa merugikan pihak Indonesia. Atas tekanan hebat Persatuan Perjuangan dan juga PNI, Sjahrir meletakkan jabatannya pada tanggal 28 Februari 1946. Persatuan Perjuangan untuk sejenak diangap telah berada di atas angin dan tuntutan untuk tidak berunding dan berkompromi dengan pihak Belanda diharapkan akan dipenuhi. Akan tetapi ketika Soekarno memberi mandat pada Persatuan Perjuangan untuk membentuk kabinet baru, mereka tidak berhasil mengebawahkan pertikaian yang ada di dalam kalangannya sendiri. Kelompok-kelompok Islam yang anti Marxisme, birokrat yang konservatif dan Komunis Nasionalis terus menerus bertentangan. Keadaan diperburuk dengan adanya kepentingan pribadi beberapa tokoh yang tidak bisa dikendalikan dan dibendung. Akhirnya, Soekarno mengembalikan mandatnya ke Sjahrir untuk membentuk kabinet-nya yang kedua. Kabinet Sjahrir ke dua ini terbentuk pada bulan Maret 1946 dan walaupun menampung beberapa elemen Persatuan Perjuangan, kabinet ini masih tetap didominasi oleh para pendukung Sjahrir dan Amir Sjarifuddin14. Setelah gagal merebut kekuasaan dari tangan Sjahrir dan Amir, dan juga gagal mencapai perubahan yang strukturil dalam kabinet dan Badan Pekerja, kelompok Persatuan Perjuangan pada bulan Maret mengeluarkan pernyataan di Madiun yang mengancam untuk menggulingkan pemerintah dengan kekuatan bersenjata. Pada tanggal 3 Juli 1946, beberapa pemimpin Persatuan Perjuangan menculik Sjahrir untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi kejadian yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli ini gagal mengganti pemerintah dan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan yang terlibat di antaranya, Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin ditahan. 13 14 Anderson, Java in a Time of Revolution, pp 300-301 Kahin, Nationalism and Revolution, pp176-177 99 Siauw Giok Tjhan Sejak saat itu, Persatuan Perjuangan secara resmi dilarang untuk berfungsi. Tetapi yang ditahan hanyalah para tokoh yang langsung terlibat di dalam upaya kudeta. Sebagian besar pemimpin Persatuan Perjuangan dan para anggotanya tetap bisa aktif dalam berbagai gerakan politik. Selain memperdebatkan masalah strategi politik dalam berhadapan dengan Belanda, Badan Pekerja juga memasalahkan kewarganegaraan Indonesia. Persoalan ini didebatkan dengan sengit pada bulan April 1946. Tan Ling Djie, didukung oleh Partai Sosialis berpendapat bahwa semua orang yang lahir di Indonesia sebelum kemerdekaan diproklamasikan sebaiknya dijadikan warganegara Indonesia. Menurutnya inilah jalan yang terbaik dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Jalur yang dianjurkan oleh Tan Ling Djie adalah jalur Pasif, dengan pengertian, setiap orang yang lahir di Indonesia menjadi warga negara Indonesia tanpa mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara. Mereka tentunya bisa menjadi orang asing asal mereka menyatakan ke pengadilan bahwa mereka menolak Kewarganegaraan Indonesia. Tan Ling Djie berpedoman pada Manifesto Politik November 1945 yang ditanda tangani oleh Hatta, di mana jelas tercantum esensi jiwa proklamasi 1945, yaitu keinginan pemerintah menjadikan semua orang keturunan asing di Indonesia patriot dan warga negara Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin. Akan tetapi Lukman Hakim dari PNI menentang pendapat Tan Ling Djie. Ia menginginkan jalur aktif dengan menyatakan bahwa orang-orang keturunan Arab, Tionghoa dan Eropa sebaiknya dianggap sebagai orang asing sampai pada waktu mereka dengan aktif mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara, sambil melampirkan berbagai surat yang dibutuhkan untuk membuktikan bahwa mereka itu lahir di Indonesia. Perdebatan ini akhirnya dimenangkan oleh Tan Ling Djie. Undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada tanggal 10 April 1946 menyatakan bahwa semua orang yang lahir di Indonesia menjadi warga negara Indonesia, kecuali bilamana 100 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP ia menolak untuk menjadi warga negara Indonesia. Waktu mempertimbangkan untuk menolak diberikan selama 12 bulan, yaitu sampai 10 April 1947. Ini kemudian diperpanjang hingga tahun 1949 dan setelah KMB, diperpanjang lagi hingga Desember 1951. Pemerintah menganggap Undang-Undang Kewarganegaraan ini sebagai alat yang penting dalam meyakinkan masyarakat Tionghoa untuk mendukung pemerintah RI. Untuk memberi penjelasan tentang arti dan isi dari UU baru ini ke masyarakat Tionghoa yang sering menjadi korban dari keganasan berbagai laskar pemuda bersenjata, pemerintah mengirim Siauw Giok Tjhan dan Tan Po Goan, seorang pengacara dari Jakarta untuk mengunjungi semua kota di Jawa Timur pada bulan April dan Mei 1946. Kunjungankunjungan itu juga dilakukan untuk mendorong masyarakat Tionghoa untuk mendukung pemerintah RI. Akan tetapi Siauw dan Tan Po Goan mendapati reaksi yang dingin dari masyarakat Tionghoa. Pada umumnya mereka menganggap tidak ada gunanya menjadi warga negara Indonesia selama mereka masih dijadikan sasaran kemarahan Rakyat dan menjadi korban setiap kerusuhan yang terjadi. Mereka berpendapat bahwa menjadi warga negara Indonesia tidak menjamin keselamatan mereka. Banyak dari mereka juga khawatir bahwa dengan menjadi warga negara Indonesia, mereka akan dipaksa untuk menikah dengan orang-orang Indonesia “asli” dan tanah-tanah milik mereka akan dirampas oleh negara. Walaupun kunjungan ini mengecewakan Siauw dan Tan, tetapi hubungan kerja mereka tetap baik dan ini disusul dengan masuknya Tan Po Goan ke dalam Partai Sosialis untuk kemudian mewakili golongan minoritas di dalam KNIP15. Kegagalan pemerintah dalam meyakinkan masyarakat Tionghoa untuk mendukungnya dan masih sering terjadinya kerusuhankerusuhan yang bersifat rasialistis di daerah-daerah yang dikontrol 15 Siauw, Lima Jaman, pp 92-93; wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990 101 Siauw Giok Tjhan oleh pemerintah RI, mendorong pimpinan Partai Sosialis untuk membentuk sebuah kementerian di dalam kabinet yang khusus ditugaskan untuk menangani masalah minoritas. Tan Ling Djie menekankan pentingnya pemerintah konsekwen memenuhi janji yang tercantum di dalam Manifesto Politik November 1945. Hal ini dilaksanakan pada waktu Sjahrir dipaksa untuk mengubah struktur kabinetnya untuk kedua kalinya pada bulan Oktober 1946. Timbullah masalah, siapa yang harus duduk menjadi menteri menangani masalah minoritas. Calon utamanya adalah Siauw Giok Tjhan. Tetapi Tan Ling Djie mengubah pendirian Sjahrir dan Amir. Untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat Tionghoa di Jawa Barat, ia menganjurkan pemerintah mengangkat Tan Po Goan, pengacara dari Jakarta untuk menjabat posisi menteri ini. Maka diangkatlah Tan pada bulan Oktober sebagai menteri dengan tugas khusus, menyelesaikan masalah minoritas16. Perundingan antara RI dengan pemerintah Belanda yang berkepanjangan itu akhirnya menghasilkan Persetujuan Linggajati pada bulan November 1946. Di dalam persetujuan itu, Belanda mengakui kedaulatan RI di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua belah pihak juga setuju untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari 1949, yang mengikut sertakan RI dan beberapa negara bagian lainnya. Juga disetujui pembentukan persatuan Indonesia-Belanda, yang terdiri dari RIS dan Kerajaan Belanda. Persatuan ini akan dipimpin secara resmi oleh Ratu Belanda. Didalam RI, Persetujuan Linggajati ini didukung oleh partaipartai yang duduk dalam pemerintahan, tetapi ditentang habishabisan oleh kelompok-kelompok yang tadinya berada dalam naungan Persatuan Perjuangan. Untuk meresmikan penerimaan Persetujuan ini, KNIP harus bersidang. Untuk menjamin diterimanya Persetujuan Linggajati dalam KNIP, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 29 16 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990 102 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Desember 1946 yang mempertinggi jumlah anggota KNIP dari 200 menjadi 515. Ketika dekrit ini diperdebatkan, KNIP tadinya menolaknya, tetapi setelah Hatta mengancam bahwa Soekarno dan Hatta akan meletakkan jabatan kalau dekrit ini ditolak, akhirnya dekrit tersebut diterima. Dengan demikian, KNIP yang diperbesar diresmikan pada tanggal 2 Maret 1947. Dua anggota baru mewakili minoritas Tionghoa, Oei Hway Kiem dan Tan Boen An. Ada juga dua anggota baru yang terpilih, tetapi mereka tidak mewakili golongan minoritas melainkan mewakili Partai Sosialis (Oei Gee Hwat) dan PKI (Lauw King Ho). Pada tanggal 3 Maret 1947, Badan Pekerja dibubarkan oleh KNIP dan yang baru dibentuk pada hari yang sama dengan 47 anggota. Siauw Giok Tjhan diangkat sebagai satu-satunya wakil golongan Tionghoa di dalam Badan Pekerja. Tan Ling Djie tetap menjadi anggota Badan Pekerja, tetapi sebagai wakil resmi Partai Sosialis. Walaupun KNIP dan Badan Pekerjanya di perbesar dan banyak anggota-anggota baru diangkat di dalamnya, pengaruh Partai Sosialis dan pendukungnya masih tetap kuat. Posisi ini menguntungkan kedudukan pemerintah yang harus berhadapan dengan oposisi yang berasal dari PNI, Masjumi dan para pendukung Persatuan Perjuangan. Ketika pemungutan suara diambil, kekuatan suara yang mendukung kebijakan pemerintah masih lebih besar dari suara pihak oposisi. Dengan demikian, Persetujuan Linggajati diterima pada tanggal 5 Maret 1947 dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak (RI dan Belanda) pada tanggal 25 Maret 194717. Tidak lama setelah menjadi anggota Badan Pekerja, Sjahrir mengajak Siauw untuk ikut dalam rombongan Indonesia ke Inter Asian Conference yang pertama, yang diselenggarakan di New Delhi. Delegasi Indonesia cukup besar, termasuk Perdana Menteri Sjahrir, Agus Salim, Ali Sastroamidjojo dari PNI, Abu Hanifah dari Masjumi, Tambunan dari Parkindo, Djohan Sjahroesah dari Partai Sosialis, Maruto Darusman dari PKI. Siauw diangkat sebagai 17 Ibid. p206 103 Siauw Giok Tjhan sekretaris delegasi ini18. Salah satu peranan penting yang dimainkan oleh Siauw dalam delegasi ini adalah pengumpulan dana untuk perjalanan pulang pergi delegasi yang jumlah anggotanya cukup besar. Mereka meninggalkan Indonesia dengan uang asing pas-pasan dan pada waktu itu mata uang Rupiah tidak diakui di luar Indonesia. Ketika mereka tiba di Singapura, mereka seketika kehabisan uang. Keadaan menjadi serius ketika mereka ternyata harus menunggu untuk beberapa hari sebelum bisa meneruskan perjalanan ke India. Untunglah Siauw berhasil menghubungi kawan lamanya, Tan Kah Kee, yang ketika itu sudah kembali ke Singapura dan menjadi salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di sana. Dana segera disediakan oleh Tan Kah Kee dan ini menyelamatkan posisi delegasi Indonesia sehingga mereka bisa tiba di India beberapa hari kemudian tanpa kekurangan apa-apa19. Siauw teringat bahwa delegasi Indonesia disambut dengan hangat oleh Rakyat dan para pemimpin India. Keberanian Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaannya dihargai dan dihormati oleh para delegasi lainnya. Nehru yang dalam beberapa bulan mendatang menjadi Perdana Menteri India, dengan hangat menyambut kedatangan delegasi Indonesia. Sambutan pemerintah India juga baik. Setiap anggota delegasi Indonesia diberi mobil dan seorang guide. Yang menjadi guide Siauw adalah putri Nehru, Indira Gandhi yang di jauh hari kemudian menjadi Perdana Menteri India20. Konperensi itu juga dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah Kuo Min Tang Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menteri Luar Negerinya, George Yeh. Nama Indonesia sempat dirusak oleh pidato George Yeh yang mengecam Indonesia sebagai sebuah negara yang melakukan tindakan-tindakan kejam terhadap golongan Tionghoa18 19 20 Siauw, Lima Jaman, p110 Ibid. p113 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di Penjara RTM, 1970. 104 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP nya. Ali Sastroamidjojo sebagai menteri luar negeri dan Siauw berbicara dalam konperensi itu membela posisi RI. Siauw menegaskan bahwa ia sangat kecewa dengan sikap pemerintah Tiongkok yang mengecam pemerintah RI yang baru saja berdiri. Baginya sikap ini bertentangan dengan prinsip San Min Chu I yang semestinya menjunjung tinggi rasa solidaritas antar sesama negara baru. Adanya kerusuhan-kerusuhan rasial, menurut Siauw memang sangat disayangkan, tetapi itu diluar kontrol pemerintah RI yang sedang menghadapi berbagai upaya pihak Belanda untuk memperlemahnya. Dipertegas oleh Siauw, bahwa pemerintah RI tetap menentang rasisme dan akan melakukan berbagai kebijakan dalam mempercepat proses Nation-Building. Perdebatan Siauw dibela oleh KH Pannikar dari India yang kemudian menjadi Duta Besar India yang pertama di Tiongkok21. Para anggota delegasi yang berangkat dari Yogyakarta tidak sudi terbang kembali ke Indonesia melalui Jakarta, karena harus melalui protokol Belanda. Mereka ingin kembali langsung ke Yogyakarta. Oleh karenanya mereka harus kembali melalui Singapura lagi. Kali ini mereka tersangkut di Singapura selama hampir sebulan, karena tidak mendapatkan pesawat yang berani menerbangkan mereka ke Yogyakarta, setelah pihak Belanda mengancam untuk menembak setiap kapal terbang yang terbang langsung ke Yogyakarta. Keadaan ini menyebabkan Siauw kembali memainkan peranan dalam mengumpulkan dana untuk membayar ongkos tinggal dan makanan selama di Singapura. Akhirnya mereka berhasil mendapatkan sebuah perusahaan kapal terbang kecil dari India yang memberanikan diri untuk terbang langsung ke Yogyakarta dengan resiko akan ditembak jatuh oleh Belanda22. Episode ini ternyata sangat penting untuk karier Siauw yang telah menjalin hubungan erat dengan para tokoh nasionalis yang di kemudian hari memainkan peranan penting dalam percaturan politik Indonesia, 21 22 Ibid. pp113-114 Ibid. pp115-116 105 Siauw Giok Tjhan terutama dengan Ali Sastroamidjojo dan Agus Salim. Kabinet Amir Sjarifuddin Tidak lama setelah Persetujuan Linggajati ditanda tangani oleh RI dan Belanda, kedua belah pihak mulai menuduh satu sama lain atas berbagai pelanggarannya. Pihak Belanda telah mengartikan Persetujuan itu sebagai persetujuan yang memberikannya hak untuk berlaku sebagai pemimpin dalam proses pembentukan RIS. Pihak Indonesia di lain pihak menganggap Persetujuan Linggajati sebagai tanda bahwa kedua belah pihak berada dalam posisi yang sama tingginya dan diwajibkan bekerja sama dalam usaha membentuk RIS. Ketidak cocokan kedua belah pihak ini terus meningkat dan pada akhirnya menimbulkan adanya kebencian terhadap satu sama lain, sehingga sikap berkooperasi tidak lagi bisa diwujudkan. Pada tanggal 27 May 1947, pemerintah Belanda mengeluarkan ultimatum. Isinya adalah menyatakan bahwa Belanda akan berdaulat di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1949 dan sampai tanggal itu Indonesia akan diatur oleh pemerintah sementara yang dipimpin oleh Belanda. Pemerintah sementara inilah yang nantinya akan menentukan struktur dan undang-undang RIS. Gubernur Jendral Van Mook menyatakan bahwa bilamana pihak Indonesia menentang kehendak Belanda ini, perang antara Indonesia dan Belanda tidak akan bisa dicegah23. Sjahrir yang penuh dengan kesungguhan untuk menghindari perperangan dengan Belanda, di dalam berbagai perundingan menunjukkan kesediaannya untuk menerima tuntutan Belanda untuk menjadi pemimpin dari pemerintahan sementara yang akan dibentuk Tentunya persetujuan baru ini sangat merugikan posisi RI. Akan tetapi wakil-wakil partai di Jakarta, menurut Sjahrir, telah memberi persetujuannya atas rencana yang diajukan oleh Sjahrir ke pihak Belanda pada tanggal 20 Juni 1947 ini, yaitu membentuk 23 Kahin, Nationalism and Revolution, pp206-207 106 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP pemerintahan sementara yang akan didominasi oleh Belanda. Kahin menyatakan bahwa sikap Sjahrir ini telah disetujui dan didukung oleh para menteri yang menetap di Jakarta, termasuk Gani (PNI), Natsir (Masjumi) and Abdulmadjid (Partai Sosialis). Kahin juga menyatakan bahwa Amir Sjarifuddin yang mengunjungi Jakarta pada tanggal 20 Juni juga menyuarakan persetujuannya. Akan tetapi ketika Abdulmadjid pergi ke Yogyakarta untuk melaporkan hasil dari perundingan ini ke Partai Sosialis, Tan Ling Djie dan Wikana mengecam isi persetujuan ini dan mereka mengkritik Amir dan Abdulmadjid. Ketika Sjahrir tiba di Yogyakarta pada tanggal 26 Juni, ia juga diserang oleh Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Amir. Pada waktu yang bersamaan, semua partai besar kecuali Masjumi telah menarik dukungannya terhadap Sjahrir. Pada tanggal 27 Juni, Sjahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri24. Amerika Serikat tidak mendukung posisi para kelompok yang mengecam kebijakan Sjahrir. Pihak Amerika Serikat dengan keras menekan pemerintah Indonesia untuk menerima perjanjian baru itu. Soekarno mendesak Masjumi untuk membentuk kabinet baru yang berbentuk koalisi PNI, Partai Sosialis dan Masjumi, tetapi mereka gagal. Akhirnya, Amir Sjarifuddin diberi mandat untuk membentuk kabinet baru dan ini berhasil dilakukannya pada tanggal 3 Juli 1947. Kabinet yang dibentuk Amir menurut sertakan PNI, Partai Sosialis dan PSII. Masjumi tidak diikut sertakannya. Sjahrir juga menolak untuk ikut di dalamnya25. Ini merupakan tanda pertama akan adanya perpecahan yang pahit dalam tubuh Partai Sosialis, antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir. Kelompok Sjahrir merasa dihianati dan menjadi dendam terhadap kelompok Amir. Amir sebagai Perdana Menteri yang baru mengangkat Siauw Giok Tjhan sebagai Menteri untuk urusan Minoritas, menggantikan Tan Po Goan. Tadinya Siauw menolak untuk menjadi menteri, tetapi 24 25 Ibid. pp207-208 Ibid. pp209-210 107 Siauw Giok Tjhan Amir dan Tan Ling Djie mendesaknya26. Amir mengenal Siauw jauh lebih baik dari Tan Po Goan dan merasa lebih enak bekerja sama dengannya. Tan Po Goan selama dalam kabinet Sjahrir menunjukkan bahwa ia lebih cenderung bekerja erat dengan Sjahrir. Dengan demikian, pada awal bulan Juli, Siauw pindah ke Yogyakarta, meninggalkan keluarganya di Malang. Setibanya Siauw di Yogyakarta, ia tinggal di kantor kementeriannya. Tidak ada rumah yang disediakan untuknya dan untuk mengirit ongkos negara, ia tidur di atas meja kantornya pada malam hari. Ketika keluarganya datang di Yogyakarta tiga bulan kemudian, seorang teman baiknya, Liem Ting Tjay, Kepala hakim di kota itu, memberikan tempat tinggalnya yang cukup besar. Siauw mengajak dr. Tjokronegoro, dari Partai Sosialis yang menjabat Menteri Muda Sosial serta keluarganya untuk tinggal dalam rumah itu bersamanya. Kedua keluarga ini tinggal dalam rumah ini sampai tahun 1950, di waktu mana Siauw dan keluarganya pindah ke Jakarta. Salah satu inisiatif pertama yang diambil oleh Siauw adalah memulai siaran radio dalam bahasa Tionghoa untuk kemudian dipancarkan ke daerah-daerah di mana penduduk Tionghoanya banyak, seperti Bagan Siapi-api27. Akan tetapi pekerjaan Siauw sebagai menteri dipersulit dengan perkembangan politik di dalam negara dan tekanan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Kabinet Amir mengalami tekanan yang lebih berat dari apa yang pernah dialami oleh Kabinet Sjahrir. Amir kian ditekan untuk memenuhi segala permintaan Belanda untuk menghindari pertempuran yang diperkirakan akan merugikan pihak Indonesia. Akhirnya, Amir bersedia untuk mengadakan kompromi yang sifatnya malah lebih merugikan posisi Indonesia bilamana dibandingkan dengan apa yang Sjahrir tawarkan pada Belanda pada tanggal 20 Juni 1947. Pada saat ini, Belanda mengeluarkan 26 27 Siauw, Lima Jaman, p117 Ibid p119 108 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP tuntutan baru, yakni turut memerintah dan mengontrol semua daerah yang pada saat itu berada dalam naungan pemerintah RI. Karena persetujuan ini tidak bisa dicapai, pada tanggal 21 Juli, Belanda menyerang daerah-daerah yang dikuasai RI dengan menggunakan alasan mereka mengadakan aksi polisi untuk mengamankan daerah-daerah yang diganggu oleh kekacauan yang tidak bisa dipadamkan oleh pemerintah RI. Yang dimaksud dengan kekacauan tidak terkontrol ini adalah perampokan dan pengrusakan yang dilakukan oleh Rakyat setempat terhadap milik masyarakat Tionghoa. Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa kekacauankekacauan ini justru dilakukan oleh antek-antek Belanda. Banyak daerah di pulau Jawa dan Sumatra diserang dari darat, laut dan udara. Dalam waktu dua minggu, hampir semua kota besar di Jawa dan Sumatra jatuh ke tangan Belanda dan komunikasi antar kota dikuasai Belanda. Di Sumatra, Belanda menguasai hampir semua daerah yang menghasilkan minyak28. Pemerintah mendorong para laskar pemuda di daerah-daerah untuk mengambil inisiatif dalam melawan serangan-serangan Belanda. Para pemimpin laskar-laskar bersenjata ini menjadi komandan yang mempunyai wewenang penuh dalam melaksanakan kebijakan perangnya. Ini berarti nasib masyarakat di daerahdaerah sepenuhnya berada di tangan para pemimpin kekuatan bersenjata yang ada di daerah-daerah itu. Celakanya, banyak dari para pemimpin kekuatan bersenjata ini memiliki kebencian terhadap masyarakat Tionghoa. Ada yang menjalankan program “ethnic cleansing” - pembersihan golongan etnis. Dengan menggunakan alasan kepentingan keamanan setempat, banyak pimpinan kekuatan militer di daerah-daerah memaksa orang-orang Tionghoa yang menetap di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan pemerintah RI untuk meninggalkan rumah kediamannya dan banyak pula dari mereka yang kemudian digusur ke kamp-kamp tahanan yang 28 Kahin, Nationalism and Revolution, pp211-213 109 Siauw Giok Tjhan terletak di gunung-gunung. Setelah mereka meninggalkan rumah kediamannya, barang-barangnya dirampok dan dirusak. Banyak juga kamar-kamar dalam rumah yang digali untuk mencari harta karun yang dikabarkan terpendam di dalamnya. Perlakuan di kamp-kamp pun sangat buruk. Banyak yang dirampok, disiksa bahkan dibunuh. Di dalam buku Lima Jaman, Siauw menuturkan dua kasus yang meliputi pengusiran massal dari rumah-rumah kediamannya. Di Sala Tiga, seluruh penduduk Tionghoa di kota itu dipaksa untuk meninggalkan rumah kediamannya. Setelah itu isi rumahnya dirampok oleh Rakyat setempat. Siapa yang tidak bersedia untuk meninggalkan tempat tinggalnya dibunuh dengan kejam. Para pengungsi ini tidak mendapat tempat penampungan yang baik dan harus bersandar pada bantuan pemerintah untuk hidup. Siauw sebagai menteri yang memang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah minoritas ini, bergerak cepat dalam menangani masalahnya. Atas bantuan Chung Hua Tsung Hui di Solo, para pengungsi dari daerah-daerah sekitarnya berhasil ditampung di sekolah-sekolah Tionghoa. Di kota Kebumen, penduduk Tionghoanya mengalami nasib yang sama. Seluruh penduduk Tionghoa di kota itu dipaksa untuk meninggalkan tempat kediamannya. Tapi mereka lebih sial, karena mereka digiring dengan paksa untuk pergi ke sebuah kamp yang dengan darurat didirikan untuk menampung mereka. Fasilitas penampungan sangat buruk dan di kamp itu, banyak orang Tionghoa yang mendapat perlakuan sangat kejam. Banyak juga diantaranya dipaksa untuk mengganti agamanya ke Islam. Atas bantuan Chung Hua Tsung Hui dan beberapa pemuda Tionghoa yang aktif dalam berbagai kesatuan pemuda bersenjata, Siauw berhasil menemukan kamp-kamp darurat yang tersebar di daerah-daerah pedalaman. Juga atas bantuan Mustopo dan Soemarsono yang sangat berpengaruh di daerah-daerah pertempuran, para tahanan Tionghoa tersebut dibebaskan29. 29 Wawancara dengan Siauw Giok Bie, Mei 1990 dan Soemar- sono, Desember 1992 110 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Siauw tetap menganggap bahwa banyak kerusuhan anti Tionghoa itu disebabkan oleh kegiatan-kegiatan Belanda dalam mendorong berkembang biaknya kebencian rasial. Ia menerima banyak laporan yang menggambarkan taktik-taktik yang digunakan Belanda dalam menimbulkan kebencian rasial terhadap golongan Tionghoa, yang seolah-olah dilindungi oleh Belanda. Sering terjadi, menurut Siauw, keadaan di mana Belanda membebaskan para tahanan kriminal dari berbagai penjara untuk didorong merampok rumah-rumah penduduk Tionghoa. Ketika perampokan itu berlangsung, tentaratentara Belanda datang dan menembak para pelaku perampokan. Ini menimbulkan persepsi bahwa Belanda membela penduduk Tionghoa dan siap sedia membunuh Rakyat miskin30. Pada tanggal 22 Juli 1947, Siauw berpidato di radio pemerintah yang disiarkan ke seluruh daerah RI. Dalam pidatonya ini, Siauw mengutuk Belanda yang telah menimbulkan kekacauan yang menjatuhkan banyak korban. Ia menghimbau Rakyat untuk tidak mudah diprovokasi Belanda. Kemarahan Rakyat, menurut Siauw harus sepenuhnya dipusatkan ke kekuatan militer Belanda. Di dalam siaran yang sama, pidato-pidato Amir Sjarifuddin selaku Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan berjanji untuk melindungi jiwa dan harta penduduk Tionghoa. Soekarno-pun mengeluarkan pernyataan dalam siaran yang sama dan isinya mengutuk tindakantindakan yang bersifat rasis. Siauw juga berhasil mendorong Jendral Sudirman untuk mengeluarkan instruksi tegas ke seluruh daerah perang untuk melindungi penduduk Tionghoa dan menembak di tempat orang-orang yang tertangkap melakukan perampokan31. Untuk mengurangi penderitaan para pengungsi Tionghoa dan menjamin kekuatan militer untuk tetap melindungi nasib para pengungsi Tionghoa itu, Siauw menghimbau mereka untuk berdikari. Ia menganjurkan mereka untuk menghasilkan tahu tempe sendiri untuk mempertinggi kualitas makanan mereka dan mengurangi ketergantungan mereka pada pemerintah. Usul seperti 30 31 Wawancara dengan Siauw di penjara RTM, 1971 Siauw, Lima Jaman, pp 120-121 111 Siauw Giok Tjhan ini dikecam oleh berbagai surat kabar Tionghoa. Harian Sin Po dan Keng Po menjuluki Siauw menteri tahu-tempe. Kesulitan yang dihadapi oleh Siauw dalam menghimbau masyarakat Tionghoa untuk tetap percaya pada RI menjadi lebih besar pada saat itu. Serangan Belanda telah menyebabkan masyarakat Tionghoa mengalami penderitaan dan tekanan yang jauh lebih berat di daerah-daerah yang dikuasai oleh RI. Beritaberita juga disiarkan bahwa keadaan di daerah-daerah yang sudah jatuh ke tangan Belanda lebih aman bagi penduduk Tionghoa. Ini lalu menyebabkan terjadinya exodus penduduk Tionghoa dari daerah-daerah RI ke daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda. Walaupun Siauw telah memberi berbagai jaminan yang juga didukung oleh Soekarno dan Jendral Sudirman, penduduk Tionghoa tetap tidak mempunyai kepercayaan akan keamanan di daerahdaerah RI. Celakanya, banyak laskar pemuda tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang mempersulit penduduk Tionghoa dan ini dengan sendirinya mempersulit posisi Siauw sebagai menteri. Akibat kekacauan yang dialami oleh penduduk Tionghoa dan kurang mampunya pemerintah RI melindungi harta dan jiwa penduduk Tionghoa ini menyebabkan Siauw diinterpleasi oleh pihak oposisi di dalam Badan Pekerja. Siauw adalah satusatunya menteri yang diinterplasi semasa kekuasaan kabinet Amir. Dalam jawabannya di dalam Badan Pekerja, Siauw menekankan bahwa keadaan buruk yang dialami oleh penduduk Tionghoa ini merupakan warisan kolonialisme dan kurang disiplinnya laskarlaskar pemuda. Ia juga menegaskan bahwa taktik memecah belah yang digunakan oleh Belanda pada masa penyerangannya ini membuat daya upaya pemerintah untuk menangani kerusuhan menjadi sangat terganggu. Karena penduduk Tionghoa sering menjadi sasaran dari kesatuan-kesatuan pemuda yang bersenjata, Amir meminta Siauw untuk turut menghadiri semua rapat-rapat departemen pertahanan yang menyiapkan strategi pertahanan dan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Rapat-rapat yang sering diikuti oleh 112 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP jendral-jendral Urip, Sutomo, Soemarsono dan Sakirman, sering memformulasikan taktik “bumi hangus” di mana rumah-rumah di jalan-jalan raya di hancurkan dan dibakar sebelum pasukan Belanda datang menyerang atau masuk ke kota-kota. Siauw mengetahui bahwa banyak rumah-rumah di jalan-jalan besar ini dihuni oleh penduduk Tionghoa dan ia menentang taktik demikian. Ia menyatakan dalam rapat-rapat tersebut bahwa menghancurkan gedung-gedung di kota-kota besar malah melemahkan pertahanan karena gedung-gedung itu berguna untuk dijadikan bentengbenteng perlawanan. Ia berhasil meyakinkan para pemimpin pertahanan untuk tidak menghancurkan gedung-gedung di kotakota besar, tetapi tetap ada saja gedung-gedung yang dihancurkan dan dibakar32. Walaupun Siauw gagal meyakinkan sebagian besar masyarakat Tionghoa untuk mendukung RI, tindakan-tindakan Siauw telah mempersulit Belanda dalam mempropagandakan persepsi bahwa pemerintah RI bukan saja tidak berminat untuk melindungi penduduk Tionghoa melainkan menjadikannya sasaran empuk dari pasukan-pasukan liarnya. Pada bulan Oktober 1947, PBB mengirim delegasinya, yang terdiri dari wakil-wakil dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk memeriksa kemampuan pemerintah RI dalam menjaga keamanan di negaranya sendiri, setelah propagandapropaganda pihak Belanda. Berhasilnya Siauw dalam menemukan kamp-kamp liar yang menahan banyak penduduk Tionghoa dan membebaskannya sebelum kunjungan itu, telah memperkuat posisi RI di mata dunia internasional, karena walaupun ada tanda-tanda kerusuhan rasial, tapi pemerintah RI ternyata bisa bekerja cepat dalam menanganinya33. Sebuah hal lain yang menjadi tugas Siauw sebagai menteri berkaitan dengan urusan kewarga- negaraan Indonesia. Chia Tsia 32 33 Ibid. pp125-126 Ibid. pp122-123 113 Siauw Giok Tjhan Tung, wakil pemerintah Kuo Min Tang, mendapat dorongan dari sementara golongan Tionghoa yang merasa menjadi warga negara Indonesia merugikannya untuk mengunjungi Yogyakarta menuntut perubahan hukum kewarga negaraan. Pada waktu itu dirasakan oleh sementara penduduk Tionghoa bahwa lebih aman menjadi orang asing di Indonesia. Pada akhir 1947, Chia mengunjungi Yogyakarta untuk mendesak Siauw supaya mengganti sistem kewarganegaraan dari Pasif menjadi Aktif. Siauw menemuinya dan menjelaskan alasan-alasan pemerintah Indonesia dalam memilih sistem Pasif, yaitu di mana semua orang yang lahir di Indonesia sebelum kemerdekaan diterima oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia, sampai ia menolaknya. Chia Tsia Tung meninggalkan Yogyakarta dengan tangan kosong34. Selain tugas kementeriannya, Siauw tetap aktif di dalam Partai Sosialis, terutama di dalam seksi penerangannya. Oleh Partai Sosialis, ia diminta untuk memimpin terompet Partai Sosialis yang dinamakan harian Suara Ibu Kota. Dalam tugas ini, Siauw dibantu oleh dua tokoh PKI muda, DN. Aidit dan Njoto, kedua-duanya tinggal di Yogyakarta pada masa itu. Njoto, yang pada waktu itu baru berumur 20-an, dikatakan menerima pendidikan jurnalistiknya dari Siauw35. Siauw tetap memimpin harian ini sampai ia meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1950. Perlu juga dituturkan bahwa kepribadian Siauw dan kesungguhannya dalam memperjuangkan perbaikan posisi RI membuatnya diterima oleh berbagai kelompok politik di Yogyakarta, baik kanan maupun kiri. Dalam waktu singkat, ia diterima oleh berbagai tokoh di Yogyakarta sebagai salah satu “bung” dan keTionghoaannya tidak menghalangi terjalinnya hubungan baik dengan para pejuang yang berdomisili di Yogyakarta. Pada tanggal 11 November 1947, Amir mengubah struktur kabinetnya untuk mengakomodasi beberapa anggota Masjumi di dalamnya. Siauw tetap menjabat menteri. 34 35 Ibid. p124 Wawancara dengan Soemarsono, Juli 1992 114 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Karena tekanan internasional, pertempuran antara kedua negara ini akhirnya dihentikan dan perletakan senjata ini dicapai pada tanggal 4 Agustus 1947. Akan tetapi pada saat itu, daerah yang dikuasai RI menjadi jauh lebih kecil. RI hanya menguasai Jawa Barat, sebagian dari Jawa Timur dan Sumatra. Peranan PBB diperluas dan ditugaskan untuk menjadi koordinator dan pengawas perundingan baru antara Belanda dan RI. Perundingan yang diadakan di kapal Amerika Serikat bernama Renville, dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Setelah beberapa minggu berunding, perjanjian baru akhirnya diterima oleh kedua belah pihak dan ini ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian ini memberi konfirmasi bahwa Belanda tetap menguasai semua daerah yang ia duduki setelah aksi polisi yang dijalankannya pada bulan-bulan Juli dan Agustus 1947. Dengan demikian disetujui bahwa RI akan menarik semua kekuatan militernya dari daerah-daerah tersebut sampai terbentuknya RIS. Seperti Sjahrir, Amir menghadapi posisi politik yang sulit untuk dipecahkan. Kekuatan militer RI sangat lemah. Ia juga menerima banyak laporan yang menunjukkan kekuatan RI dalam bertahan semakin lemah, karena kurangnya senjata dan amunisi. Disamping itu, Amerika Serikat dan Inggris kian mendesak pemerintah RI untuk mencapai persetujuan melalui jalan berunding. Akhirnya, Amir mengalami apa yang Sjahrir alami 6 bulan sebelumnya. Sebelum ia menanda tangani persetujuan Renville tersebut, ia sudah mendapat persetujuan wakil-wakil berbagai partai politik yang duduk di dalam kabinetnya, terutama Masjumi, Partai Sosialis dan PNI. Siauw teringat bahwa walaupun dalam tubuh Partai Sosialis terdapat aliran yang ingin meneruskan perjuangan melalui pertempuran di lapangan, untuk mempertahankan persatuan di dalam tubuh partai ini, para pimpinannya memutuskan untuk sepenuhnya mendukung Amir36. Akan tetapi, setelah persetujuan Renville itu siap untuk ditanda tangani, PNI dan Masjumi 36 Ibid. p132 115 Siauw Giok Tjhan menyatakan bahwa mereka tidak mendukung persetujuan itu dan mengecam Amir. Mereka juga mengumumkan bahwa mereka akan keluar dari kabinet Amir. Pada tanggal 22 January 1948 Amir mengadakan pertemuan dengan para anggota kabinet yang berasal dari sayap kiri termasuk Abdulmadjid, Tjokronegoro, Hendromartono, Soyas, Setiadi, Siauw Giok Tjhan, Tamzil, Wikana and Maruto Darusman37. Di dalam pertemuan itu Amir menyatakan kekecewaannya dan merasa telah dihiananati oleh PNI dan Masjumi. Tanpa berkonsultasi dengan pimpinan Partai Sosialis lainnya, ia menyatakan akan meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri38. Pada tanggal 23 January 1948 ia secara resmi mengumumkan bahwa ia meletakkan jabatannya. Menurut Siauw, Soekarno segera mengembalikan mandat pada Amir untuk membentuk kabinet baru. Tetapi Amir, lagi-lagi tanpa berkonsultasi dengan pimpinan Partai Sosialis lainnya menolak. Akhirnya, seminggu kemudian, Hatta diminta oleh Soekarno untuk membentuk kabinet baru. Hatta menawarkan posisi Menteri Pertahanan pada Amir. Inipun ditolaknya39. Kabinet Hatta tidak lagi mempunyai kementerian yang khusus menangani masalah minoritas. Dengan mundurnya Amir, Siauw tidak lagi berada dalam kabinet. Keputusan Amir untuk tidak masuk ke dalam kabinet Hatta mungkin terdorong oleh kekecewaannya terhadap para pimpinan Masjumi seperti Sukiman yang terlihat dekat dengan Frank Graham, wakil dari Amerika Serikat yang menjadi anggota dari delegasi PBB. Frank Graham telah memainkan peranan penting dalam mendorong RI untuk menerima persetujuan Renville dan Amir merasa bahwa pihaknya menginginkan jatuhnya ia sebagai Perdana Menteri. Pihak Soviet Uni di kemudian hari menyatakan 37 38 39 I.N. Soebagijo: SK Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa, p159 Siauw, Lima Jaman, pp132-133 Ibid. p133 116 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP bahwa dekatnya pimpinan Masjumi dengan Graham menandakan bahwa pihak Amerika Serikat memainkan peranan penting dalam menjatuhkan pemerintahan Amir yang beraliran kiri40. Berada di Oposisi Kabinet Hatta yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1948 didominasi oleh Masjumi dan PNI. Untuk pertama kalinya sejak sistem kabinet parlementer dimulai pada tahun 1945, kelompok sayap Kiri yang dipimpin oleh Partai Sosialis tidak duduk dalam pemerintahan. Kabinet Hatta didominasi oleh Masjumi dan PNI yang tadinya menolak program perundingan yang dicapai oleh Amir Sjarifuddin beberapa minggu sebelumnya sehingga kabinet Amir jatuh, program politik kabinet ini ternyata mendukung dan menandatangani persetujuan Renville. Di dalam Partai Sosialis, ketegangan antara kelompok kiri yang terdiri dari orang-orang yang mendukung Amir dan kelompok kanan yang mendukung Sjahrir, semakin memuncak. Ketegangan ini dimulai dengan jatuhnya Sjahrir dari posisi Perdana Menteri pada bulan Juni 1947. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika Sjahrir kembali dari luar negeri pada akhir bulan Januari 1948. Walaupun Sjahrir mengecam Amir yang mendukung persetujuan Renville, ia juga tidak bisa menerima sikap Amir yang tidak mau bekerja sama dengan kabinet Hatta. Perlu diingat bahwa Sjahrir memang mempunyai hubungan erat dengan Hatta. Akhirnya, konflik ini memecahkan Partai Sosialis. Pada tanggal 13 Februari 1948, para pemimpin yang mendukung Sjahrir seperti Supeno, Subadio, Djohan Sjahroezah and Tan Po Goan meninggalkan Partai Sosialis dan mendirikan partai baru yang dinamakan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Cabang-cabang Partai Sosialis yang tadinya didominasi oleh para pendukung Sjahrir, terutama yang berada di Jawa Barat, Sumatra dan beberapa tempat di Jawa Timur, segera 40 Ibid. p 18 117 Siauw Giok Tjhan mendukung pembentukan PSI baru ini. Akan tetapi, sebagian besar anggota Partai Sosialis dan para pemimpinnya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Tan Ling Djie masih tetap setia pada Amir dan tetap mendukungnya dalam partai Sosialis. Perpecahan ini ternyata tidak terlalu mempengaruhi struktur Sayap Kiri, karena Partai Sosialis dengan 30.000 anggotanya, PBI dengan 1.000 anggota, Pesindo dengan 100.000 anggota, PKI dengan 3.000 anggota, SOBSI dengan 1 juta anggota dan BTI ternyata masih mendukung kepemimpinan Amir Sjarifuddin41. Pada tanggal 21 Februari 1948, Sayap Kiri ini mengadakan konperensi di Solo. Di situ, mereka bersepakat untuk mengganti nama mereka menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam konperensi yang sama, mereka mengecam Masjumi dan PNI yang telah menghianati Amir dan menyatakan bahwa mereka menentang kebijakan politik kabinet Hatta42. Gerakan politik di dalam RI ketika itu berporos pada kegiatan di tiga kota, Yogyakarta, Solo dan Madiun. Yogyakarta sebagai ibu kota, sudah sendirinya merupakan tempat domisili semua pemimpin partai politik. Kekuatan militer di kota itu berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX. Solo adalah pusat tiga kekuatan bersenjata, Pesindo, Barisan Banteng yang mendukung Tan Malaka dan kekuatan Hizbullah yang berkiblat ke Masjumi. Wikana, pemimpin Pesindo, diangkat oleh Amir untuk menjadi gubernur militer Solo dan tetap memegang posisi ini walaupun Amir telah jatuh pada bulan Januari 1948. Akan tetapi, ia tidak berdaya dalam menguasai keadaan Solo yang penuh dengan ketegangan akibat kehadiran kekuatan-kekuatan bersenjata yang tidak bersatu43. Madiun adalah pusat kekuatan Sayap Kiri. Di kota ini Sayap Kiri mendirikan Marx House di mana pendidikan politik dan 41 42 43 Ann Swift, The Road to Madiun, p 6 Ibid. p22 Ibid. p 15 118 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP berbagai macam pertemuan penting di adakan. Kader-kader Sayap Kiri dibina di sana. Pimpinan Sayap Kiri di kota ini diwakili oleh Soemarsono dan Oei Gee Hwat. Tan Ling Djie adalah pemimpin yang paling dominan dalam menentukan dasar-dasar pendidikan di Marx House. Siauw Giok Tjhan tetap memainkan peranannya sebagai perantara antara pimpinan Partai Sosialis dengan kelompok Pesindo44. Di bulan-bulan pertama setelah kabinet Hatta dibentuk, FDR melakukan oposisinya dengan cara-cara konvensional. Mereka mencoba menjatuhkan Hatta melalui Badan Pekerja dan pertemuanpertemuan umum lainnya. Amir dan para pimpinan FDR lainnya sering keliling di kota-kota besar di Jawa tengah untuk mendapatkan dukungan luas dalam menentang Hatta. Soekarno yang selalu menginginkan adanya persatuan berusaha keras untuk tidak memilih golongan, walaupun sering terlihat kecenderungannya untuk mendukung kelompok Amir. Pada pertengahan bulan Mei, terasa adanya kemungkinan untuk mengikut sertakan orangorang FDR di dalam kabinet Hatta. Dan semua partai politik pada saat itu bersedia mengeluarkan pernyataan yang mendukung adanya persatuan nasional. Akan tetapi perkembangan politik di akhir bulan Mei 1948 mengubah situasi secara dramatis, yang menyebabkan jurang pemisah kiri dan kanan menjadi semakin lebar. Ini disebabkan oleh garis politik yang diambil oleh FDR45. Seorang wakil FDR, Suripno berhasil mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Soviet Uni di Praha pada tanggal 22 Mei 1948. Dalam pertemuan itu dinyatakan bahwa Soviet Uni bersedia untuk menjalin hubungan diplomatik dengan RI. Atas tekanan Amerika Serikat, Hatta menunjukkan ketidak bersediaannya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Soviet Uni. Para pemimpin FDR pada saat ini mulai frustrasi dengan sikap Amerika Serikat yang menurutnya terlalu mendukung Belanda. 44 45 Wawancara dengan Soemarsono Ibid. p31 119 Siauw Giok Tjhan FDR mengeluarkan beberapa pernyataan yang mengecam sikap pemerintah Hatta yang selalu siap menerima petunjuk-petunjuk Amerika Serikat dan secara terang-terangan menyatakan sikap FDR yang cenderung berkiblat ke Soviet Uni. Sikap ini tentunya melenyapkan kemungkinan untuk menciptakan rekonsiliasi nasional dan menyebabkan FDR tetap berada di pihak oposisi. Peristiwa Madiun Dengan adanya konflik Soviet Uni dan Amerika Serikat seperti yang dituturkan di atas, pada awal bulan Juni 1948, FDR mulai mengkoordinasi pemogokan-pemogokan dan demonstrasidemonstrasi di berbagai kota besar. Agitasi militer dijalankan pula di berbagai kalangan militer. Sampai saat ini yang ditekankan oleh FDR tetap melaksanakan perjanjian Renville. Tidak banyak penekanan yang berhubungan dengan pengaruh politik internasional yang pada saat itu diwarnai oleh Amerika Serikat dan Soviet Uni. Tetapi dalam tuntutan-tuntutan FDR, ditekankan harapan agar hubungan diplomatik dengan Soviet Uni bisa segera terjalin46. Situasi ini berubah secara dramatis setelah Musso datang ke Yogyakarta pada tanggal 11 Agustus 1948. Musso, seorang pemimpin Komunis yang berpengalamn dan dihormati oleh banyak pejuang di Indonesia, dianggap membawa mandat dari pimpinan Soviet Uni untuk memimpin sebuah gerakan yang efektif. Dalam beberapa hari setelah kedatangannya, ia mempengaruhi PKI dan setelah itu FDR secara keseluruhan. Musso membawa sebuah rencana yang ia namakan Jalan Baru. Rencana ini semestinya disiapkan sebelum ia datang di Indonesia. Di dalamnya ia mengecam kaum komunis Indonesia dan caracara yang selama ini telah dipergunakan dalam memimpin FDR. Ia mengecam pimpinan komunis yang menurutnya telah menyerahkan kepemimpinan nasional ke kelompok burjuis. Juga dikecam peranan PKI di dalam FDR, yang baginya sangat kecil. 46 Ibid. p50 120 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Amir dikritiknya sebagai pemimpin yang tidak bijaksana karena telah menyerahkan palu pemerintahan ke pihak kanan sehingga mereka berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya. Ia juga menyatakan bahwa Partai Sosialis dan partai-partai yang tergabung di dalam FDR harus dilebur dalam PKI dan pembentukan front nasional yang akan datang harus dipimpin oleh PKI. Kehadiran Musso yang juga menuntut dibatalkannya persetujuan Renville dan dihentikannya politik berdiplomasi ternyata menggairahkan banyak anggota FDR yang sudah lama frustrasi dengan posisi lemah mereka. Oleh karena itu, dalam waktu singkat Musso diterima sebagai pemimpin baru yang berwibawa. Pada tanggal 31 Agustus 1948, PKI mengumumkan peleburan Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI. Pada waktu yang bersamaan mereka juga mengumumkan dibubarkannya FDR. Setelah itu Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, Abdulmadjid, Setiadjit and Wikana menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota PKI sejak tahun 1935. Banyak yang terkejut dengan pernyataan Amir Sjarifuddin ini. Juga dibuka ke umum bahwa Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Setiadjit sudah masuk ke dalam Partai Komunis Belanda sebelum mereka kembali ke Indonesia. Pada tanggal 1 September 1948 PKI mengumumkan Polit Biro barunya, yang beranggotakan Musso sebagai Sekretaris Jendral, Tan Ling Djie sebagai wakil Sekretaris Jendral dan Amir Sjarifuddin sebagai ketua seksi pertahanan. Jelas, peranan Amir diperkecil dan Musso-lah yang tampil sebagai pemimpin baru. Tan Ling Djie sebenarnya tidak 100% mendukung program kerja Musso, karena ia selalu lebih cenderung dengan cara kerja yang hati-hati dan efektif. Ia mendukung konsep bekerja di mana Partai Sosialis dengan FDR-nya tetap berkembang sebagai kekuatan nasional yang mengikut sertakan semua aliran politik dan PKI tetap merupakan partai kecil yang bekerja di belakang layar. Rencana kerja yang diajukan oleh Musso menurutnya berbahaya dan bisa menghancurkan organisasi. Tetapi ia mengambil keputusan untuk mengikuti arus untuk sementara waktu, karena memang 121 Siauw Giok Tjhan momentum kehadiran Musso sulit untuk dibendung pada waktu itu. Peleburan ini tidak 100% diterima oleh setiap anggota FDR. Para anggota yang berada dalam pihak yang moderat di Partai Sosialis, PBI dan SOBSI menolak untuk masuk ke PKI. Di antaranya Siauw Giok Tjhan. Ia melihat fungsinya sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukannya di luar PKI, karena program-program partai politik, menurutnya sering berkontradiksi dengan kepentingan golongan minoritas. Dengan dibubarkannya Partai Sosialis dan FDR, Siauw memilih untuk tetap berada di Badan Pekerja sebagai wakil golongan minoritas tidak ber-partai. Pandangannya ini diterima oleh Tan Ling Djie, yang tidak mendesaknya untuk masuk ke PKI. Walaupun Siauw tidak masuk ke PKI, hubungannya dengan para pimpinan PKI baru tetap baik47. Pada awal bulan September 1948, Musso, Amir, Setiadjit dan Wikana mulai berkeliling di daerah-daerah yang dikuasai RI (dikenal sebagai daerah Republiken). Tujuan utamanya adalah memperkenalkan program-program kerja PKI dan memperluas dukungan Rakyat untuk PKI. Di dalam pertemuan-pertemuan umum itu, Musso menyerukan agar persetujuan Renville dibatalkan. Seruan Musso disambut oleh hangat oleh Rakyat banyak. Dan keadaan ini mulai mengkhawatirkan pihak pemerintah yang sedang mengadakan perundingan dengan pihak Belanda untuk menghindari pertempuran. Pada waktu yang bersamaan, para pendukung Tan Malaka yang tadinya berada dalam barisan Persatuan Perjuangan mencoba untuk mengimbangi kepopuleran Musso. Timbullah konflik bersenjata antara Pesindo dan Barisan Banteng, diikuti dengan penculikan-penculikan atas para pemimpin PKI dan kelompok Tan Malaka di Solo. Kejadian ini mendorong Soemarsono, pemimpin Pesindo yang mengontrol Madiun untuk melucuti Barisan Banteng dari semua persenjatannya. 47 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di penjara RTM, 1970 122 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Tanpa diketahui oleh Soemarsono, tindakan dalam melucuti persenjataan Barisan Banteng digambarkan di luar Madiun sebagai tindakan kudeta. Walaupun ia tidak pernah mengeluarkan pernyataan apa-apa dan juga tidak mengambil alih kantorkantor pemerintahan, diumumkan oleh pemerintah RI bahwa Soemarsono telah menguasai kantor-kantor pemerintahan dan telah mengeluarkan pernyataan di radio Madiun bahwa di kota itu pada tanggal 18 September telah didirikan pemerintah Soviet. Ia dikatakan juga telah menyerukan pembentukan pemerintah Soviet di kota- kota lainnya. Juga dikabarkan bahwa Soemarsono telah menahan semua perwira yang mendukung pemerintah RI48. Ketika Musso, Amir, Setiadjit dan Wikana tiba di Madiun pada tanggal 19 September, mereka menghadapi situasi yang sulit. Kelompok-kelompok bersenjata yang menentang mereka telah berhasil didorong oleh pemerintah untuk menyerangnya di Madiun. Akhirnya mereka tidak mempunyai jalan lain, dan mulai melakukan perlawanan. Pada waktu bersamaan, Soemarsono dihubungi oleh Kolonel Soeharto (yang kemudian menjadi presiden RI kedua) dari Yogyakarta yang ditugaskan Jendral Sudirman untuk memastikan sampai di mana kebenaran berita bahwa di Madiun telah berdiri pemerintah Soviet. Ketika Soeharto sampai di Madiun, ia terkejut karena ternyata pemberitaan yang diumumkan di siaran-siaran radio serta surat-surat kabar tidak benar. Soemarsono mengajak Soeharto keliling kota Madiun membuktikan bahwa bendera merah putih-lah yang masih berkibar di seluruh pelosok kota. Penjarapenjara juga tidak penuh dengan tahanan-tahanan politik seperti yang diberitakan. Juga, tidak ada pengontrolan kantor-kantor pemerintah. Soeharto dikabarkan kembali ke Yogyakarta dengan laporan kunjungannya ini. Tetapi sikap pemerintah tidak berubah49. Perkembangan selanjutnya memburuk. Soekarno dan Musso 48 49 Wawancara dengan Soemarsono in Juli 1992 Ibid. 123 Siauw Giok Tjhan saling mengecam melalui siaran-siaran radio. Ini memperkuat tuduhan pemerintah RI bahwa Musso telah melakukan kudeta dan ingin menggantikan Soekarno dengan kekerasan. Dalam waktu dua bulan. Kekuatan PKI dihancurkan oleh kekuatan militer pemerintah yang didukung oleh Barisan Banteng dan Hizbullah. Kader-kader PKI dan pimpinannya terpaksa melarikan diri dan menjadi buronan. Musso sendiri terbunuh dalam salah satu pertempuran. Pertahanan PKI akhirnya berhenti dengan tertangkapnya Amir Sjarifuddin di Purwodadi pada tanggal 1 Desember 1948. Tidak sadar akan perkembangan di Madiun dan sekitarnya, banyak pimpinan PKI yang berada di Yogyakarta terkejut ketika mereka ditangkap oleh Angkatan Perang RI. Tan Ling Djie, Abdul Madjid dan banyak pemimpin lainnya ditangkap di Yogyakarta sekitar tanggal 19 September 1948. Siauw Giok Tjhan yang pernah menjadi tokoh FDR dan banyak tokoh kiri lainnya juga tidak lolos dari penangkapan pemerintah. Ia ditahan bersama Tan Ling Djie dan banyak tahanan lain di penjara Wirogunan di Yogyakarta. Peristiwa Madiun ini menghancurkan kekuatan PKI dan kekuatan kiri yang pernah mendominasi politik pemerintahan Indonesia. Hampir semua pemimpin utamanya ditangkap dan dibunuh. Musso, Amir Sjarifuddin, Suripno, Oei Gee Hwat dan banyak pemimpin lainnya diekesekusi tanpa proses pengadilan apapun, sebagai pelaksanaan kebijakan pemerintahan Hatta yang ingin memperoleh dukungan Amerika Serikat. Serangan Belanda ke dua dan Kelanjutannya Pada waktu yang bersamaan perundingan dengan Belanda gagal mencapai hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang daerah-daerah RI. Yogyakarta jatuh ditangannya pada tanggal 20 Desember. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan beberapa tokoh lainnya ditangkap dan dikirim ke Sumatra. 124 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP Ketika mengetahui akan adanya serangan Belanda, para komandan militer RI khawatir akan adanya tindakan balas dendam dari para tokoh PKI yang ditahan. Oleh karenanya mereka memerintahkan agar semua tahanan politik PKI dibunuh. Para penjaga penjara diperintahkan untuk melempar granat-granat ke dalam kamar-kamar penjara. Ini terjadi di berbagai penjara. Di Wirogunan, para penjaga penjara ternyata tidak sampai hati untuk melakukannya. Bukannya melempar granat, mereka malah membuka kunci-kunci kamar tahanan dan mendorong para tahanan untuk melarikan diri. Siauw Giok Tjhan dan Tan Ling Djie turut beruntung, karena bisa melarikan diri dari Wirogunan. Mereka kembali ke rumah masing-masing di Yogyakarta. Yang mempunyai latar belakang militer ternyata tidak melakukan tindakan balas dendam, melainkan menyatukan dirinya dengan gerakan bergerilya yang dipimpin oleh Jendral Sudirman. Banyak diantaranya menjadi pemimpin gerakan bergerilya ini dan diakui jasanya oleh Jendral Sudirman. Tidak lama setelah Siauw sampai di rumah, ia ditangkap lagi oleh pasukan Belanda yang menduduki Yogyakarta dan yang telah mempunyai daftar nama-nama tokoh yang harus ditahan. Jadi ia masuk kembali ke dalam penjara Wirogunan. Kali ini ia meringkuk di dalam penjara itu bersama para tokoh politik yang pernah menjadi musuh-musuh politik kelompok FDR, seperti Anwar Tjokroaminoto, Abikusno Tjokrosisworo dan Arudji Kartawinata dari PSII, Wilopo dan Sajuti Melik dari PNI dan Adam Malik dan Ibnu Parna dari partai Murba. Sikap Siauw yang supel dan ramah ternyata menyebabkan ia mampu bergaul dengan baik dengan semua tahanan politik. Bersama dengan Sajuti Melik dan Anwar Tjokroaminoto, Siauw menerbitkan harian yang mereka namakan Suara Tapa. Harian yang menuturkan berita-berita nasional dan internasional berserta analisa politik itu ditulis oleh Siauw sendiri. Ia disebar luaskan di dalam Wirogunan melalui pembagian kopi. Siauw memperoleh bahan-bahannya dari berbagai surat kabar yang bisa diselundupkan 125 Siauw Giok Tjhan ke dalam penjara dan juga siaran-siaran radio. Kemampuan Siauw dalam menyatukan pendapat di dalam kelompok politikus dari berbagai aliran jelas nampak di dalam penjara. Ia mengambil inisiatif untuk mengadakan diskusi-diskusi politik di dalam penjara. Salah satu hasil dari diskusi politik itu adalah Piagam Wirogunan yang diselundupkan ke luar penjara untuk dikirim ke PBB. Tidak jelas apa nasib Piagam yang juga ditulis oleh Siauw itu. Tetapi isinya mencerminkan keinginan para tahanan politik di sana untuk mendirikan Indonesia yang merdeka penuh dan yang bersifat sosialistis. Pada bulan Agustus 1949 penguasa penjara Belanda memindahkan Siauw dan lima tahanan lainnya, Achmad Subardjo, Anwar Tjokroaminoto, Aruji Kartawinata, Adam Malik dan S. Parman ke Ambarawa di Jawa tengah. Rupanya mereka dianggap kelas berat dan berbahaya oleh Belanda. Mereka adalah tahanantahanan yang terakhir dibebaskan oleh Belanda. Mereka dibebaskan dari Ambarawa pada bulan November 1949 setelah kedua pemerintah, RI dan Belanda mencapai kesepakatan dalam perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Meja Bundar (Round Table Conference). Dipenjarakannya Siauw dalam Wirogunan dan kemudian Ambarawa menyebabkan hubungan pribadinya dengan banyak tokoh nasional, terutama yang tidak berasal dari FDR, menjadi lebih dekat. Siauw menjadi sahabat kental tokoh-tokoh Murba, PNI dan PSII. Hubungan dekat ini nantinya sangat berguna bagi Siauw dalam perjuangannya di parlemen pada tahun 1950-an dan juga menyebabkan Siauw menjadi salah satu tokoh yang bisa diterima sebagai perantara dari berbagai aliran politik yang tidak bisa mencapai persetujuan dengan cara yang baik50. Begitu Siauw dibebaskan dari penjara, ia segera menghadiri rapat-rapat Badan Pekerja. Di situ ia mengecam Perjanjian Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference Agreement) 50 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, November 1997 dan Soemarsono, Juli 1992 126 Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP yang menjadi dasar pembentukan RIS. Menurut Siauw Perjanjian KMB ini mengandung beberapa hal yang sangat merugikan posisi RI. Ia menguraikan tentangannya terhadap pasal yang akan menyebabkan Indonesia berada di posisi lemah karena pasal itu mendorong berkembangnya kapital perusahaan-perusahaan asing. Ia juga menentang pasal yang mengizinkan orang Belanda menjadi warga negara Indonesia hanya setelah ia tinggal di Indonesia selama 6 bulan. Akan tetapi ia mendukung keputusan KMB yang mempertahankan sistem kewarga negaraan Pasif. Satu hal yang ia kecam dengan keras adalah kesediaan pemerintah RI dalam menerima tanggung jawab atas hutang-hutang Belanda dan membayar kerusakan-kerusakan yang diderita oleh warga negara Belanda serta perusahaannya semasa zaman revolusi. Menurut Siauw, ini akan menghancurkan ekonomi Indonesia. Ia kecam pula kesediaan pemerintah RI untuk menunda penyelesaian Irian Barat. Menurutnya ini memberi kesempatan kepada Belanda untuk mempertahankan sistem penjajahannya di tanah Indonesia, yang bisa membahayakan kemerdekaan Indonesia51. Akan tetapi posisi Hatta yang cenderung meratifikasi perjanjian ini sudah terlalu kuat. Tentangan di Badan Pekerja dan KNIP tidak cukup untuk mengubah posisinya. Akhirnya Perjanjian ini diterima secara resmi oleh pemerintah RI. Pada bulan Desember 1949, RIS secara resmi dibentuk. Siauw sebagai anggota Badan Pekerja otomatis menjadi anggota DPR RIS, mewakili pihak RI. Dengan demikian, ia harus pindah ke Jakarta, yang dijadikan ibu kota RIS, pada bulan Januari 1950. Pengalaman Siauw sebagai salah seorang pemimpin Partai Sosialis dan kehadirannya di Yogyakarta telah membawa Siauw ke kancah politik nasional. Walaupun ia tetap berfungsi sebagai wakil masyarakat Tionghoa di Badan Pekerja dan kemudian menjadi Menteri untuk urusan minoritas dalam kabinet Amir Sjarifuddin, ia tetap memperhatikan dan bekerja untuk berbagai kepentingan nasional. Hubungan baiknya dengan banyak tokoh dari berbagai 51 Pidato Siauw di Badan Pekerja, Desember 1949 127 Siauw Giok Tjhan aliran politik juga menyebabkan ia menjadi seorang figur yang diterima baik oleh berbagai golongan politik, kanan maupun kiri. Dibubarkannya Partai Sosialis dan FDR mendorongnya untuk tidak lagi melibatkan dirinya dalam partai politik apapun, termasuk PKI. Pengalamannya sebagai tokoh Partai Sosialis meyakinkannya bahwa program-program partai politik sering bertentangan dengan kepentingan golongan minoritas. Untuk bisa berfungsi sebagai wakil minoritas di dalam badan legislatif, Siauw berkesimpulan bahwa ia harus meneruskan tugasnya sebagai anggota parlemen yang tidak berpartai. Inilah yang ia lakukan dalam menempuh karier politiknya dalam 16 tahun mendatang. 128 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif BAB 5 JURNALISTIK DAN FRAKSI PROGRESIF Karier politik Siauw Giok Tjhan sangat erat berhubungan dengan jurnalistik dan keanggotaannya di parlemen. Begitu sampai di Jakarta pada awal tahun 1950, Siauw segera memulai kembali kegiatannya dalam bidang jurnalistik yang ia tekuni dan kerjakan selama ia di Surabaya, Semarang, Malang dan Yogyakarta. Demikian juga kegiatannya di dalam parlemen baru, parlemen RIS. Dalam periode selanjutnya, walaupun Siauw menjadi pemimpin berbagai publikasi surat kabar dan majalah-majalah politik, dan juga aktif dalam dunia jurnalistik sehingga sering terlihat dalam dunia para wartawan yang terkenal, tetapi karier-nya sebagai seorang wartawan tidak begitu banyak diketahui oleh umum. Ia ternyata lebih dikenal umum sebagai seorang pemilik perusahaan surat kabar dan keaktifannya di dalam SPS (Serikat Perusahaan Surat Kabar) memperkuat kepercayaan orang bahwa ia adalah pemilik atau direktur surat kabar ketimbang wartawan yang setiap harinya menulis berbagai macam artikel. Akan tetapi, keberhasilan Siauw yang paling penting dalam periode ini memang bukan dalam bidang jurnalistik, melainkan di parlemen. Di Jakarta, berkat hubungan baik yang ia jalin dengan para tokoh nasional yang menjadi pemimpin berbagai partai politik yang berpengaruh, ia menjadi seorang anggota parlemen yang ulung dan sering berhasil mencapai tujuan-tujuan politiknya atas dasar dukungan luas di parlemen. Dalam konteks ini, walaupun Siauw tetap memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan minoritas, tetapi ia mulai mengembangkan pengetahuan politik dan ekonomi yang ia tekuni dalam periode sebelumnya untuk diterapkan dalam berbagai formulasi yang diperdebatkan di parlemen. Dan formulasinya 129 Siauw Giok Tjhan tentang pembangunan Nasion Indonesia-pun berkembang di zaman ini. Dunia Jurnalistik Siauw Giok Tjhan Setelah perang dunia ke dua berakhir, pers di Indonesia, seperti sebelum Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, terdapat tiga aliran besar, yang berbahasa Indonesia, Tionghoa dan Belanda. Jakarta sebagai ibu kota RIS yang kemudian berubah menjadi negara kesatuan RI, menjadi pusat penerbitan surat-surat kabar yang berbobot dan besar sirkulasi-nya. Pada tahun 1950, jumlah total surat kabar yang beredar di Jakarta berjumlah 499.150. Darinya, jumlah peredaran surat kabar berbahasa Indonesia-lah yang terbanyak (338.300), diikuti dengan yang berbahasa Belanda (87.200) lalu yang berbahasa Tionghoa (73.650)1. Jumlah penduduk Belanda meningkat banyak dalam periode 1945-1948 karena kembalinya para pedagang, pegawai administrasi dan tentara Belanda ke Indonesia. Walaupun surat kabar berbahasa Belanda dibaca juga oleh orang-orang Indonesia dan Tionghoa yang berpendidikan Belanda, sebagian besar yang membacanya adalah orang-orang Belanda sendiri. Surat kabar berbahasa Tionghoa tentunya dibaca oleh masyarakat Tionghoa totok yang pada waktu itu terbagi dalam dua kelompok besar, kelompok yang mendukung Kuo Min Tang (Partai nasionalis Tiongkok yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek) dan kelompok yang mendukung Kun Chan Tang (Partai Komunis Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung). Dalam waktu singkat, jumlah yang mendukung Mao Tse Tung menjadi jauh lebih besar daripada kelompok yang mendukung Chiang Kai Shek, yang mendirikan Republik Tiongkok di Taiwan pada akhir tahun 1949. 1 Oey Hong Lee, Indonesian Government and Press During Guided Democracy, Hull Monographs on South East Asia, p 49. 130 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Surat kabar berbahasa Indonesia tentunya dibaca oleh orangorang Indonesia dan Tionghoa yang berpendidikan dan yang tinggal di kota-kota besar, terutama di pulau Jawa. Tidak jelas berapa besarnya penduduk Indonesia yang tinggal di luar Jakarta yang membaca surat kabar, akan tetapi menurut statistik, jumlah pembaca surat kabar berbahasa Indonesia yang menetap di Jakarta merupakan 50% dari jumlah seluruh pembaca surat kabar berbahasa Indonesia di Indonesia2. Banyak dari para pembaca surat kabar berbahasa Indonesia ini adalah peranakan Tionghoa. Akan tetapi, pada umumnya, para pembaca peranakan ini lebih menyukai surat kabar atau majalah yang diterbitkan oleh penerbitpenerbit yang dimiliki oleh peranakan Tionghoa juga. Publikasi surat kabar Tionghoa pada waktu itu didominasi oleh Sin Po yang dipimpin oleh Ang Jan Goan, yang pada waktu itu masih cenderung berkiblat ke Tiongkok dan Keng Po, yang dipimpin oleh Injo Beng Goat, beraliran politik kanan dan cenderung mendukung garis politik yang dianut oleh PSI. Adanya kenyataan bahwa jumlah pembaca dari kalangan masyarakat Tionghoa bertambah besar dan Sin Po maupun Keng Po tidak kuat berkiblat ke pemerintah RI, yang didominasi oleh tokoh-tokoh Yogyakarta, mendorong Siauw untuk mendirikan sebuah publikasi yang dengan tegas mendukung posisi pemerintah RI dan mengajak para pembacanya, terutama penduduk Tionghoa untuk berorientasi ke Indonesia. Oleh karenanya, begitu tiba di Jakarta pada akhir 1949, Siauw segera mencari kemungkinan untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang bisa menandingi Sin Po dan Keng Po, tapi berorientasi sepenuhnya ke Indonesia. Tentunya, yang menjadi masalah adalah pencarian dana untuk bisa menerbitkannya. Selama ia menjadi menteri urusan minoritas, Siauw berhubungan dengan banyak organisasi Tionghoa dan para pimpinannya. Diantaranya adalah para tokoh totok yang berdomisili di Jakarta. 2 Ibid. p 50 131 Siauw Giok Tjhan Banyak dari para tokoh yang dikenalnya dengan baik ini adalah pedagang-pedagang kelas menengah dan pendukung revolusi Mao Tse Tung di Tiongkok. Para tokoh totok Jakarta yang sering berhubungan dengan Siauw termasuk Then Djin Sen, Ang Hok Lim dan Lay Dje Hoa. Dengan ketiga tokoh inilah Siauw membicarakan kemungkinan penerbitan surat kabar berbahasa Indonesia di Jakarta. Ketika rencana untuk menerbitkan surat kabar ini matang, Lay Dje Hoa dan adiknya Lay Siauw Hoa, mengajak Siauw untuk menemui Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan yang menerbitkan harian Hong Po. Mereka mendengar bahwa Oei ingin menjual percetakannya dan ingin mendiskusikan kemungkinan Siauw untuk mengambil alih percetakan dan majalah berkala yang ia cetak3. Oei Tiang Tjoe yang pada waktu itu berumur sekitar 56 tahunan, adalah seorang tokoh Tionghoa yang ternama di Jakarta. Ia adalah pemimpin Hoo Hap, sebuah organisasi sosial Tionghoa yang ternama di Jakarta yang mengurus pemakaman dan memberikan berbagai macam perlayanan sosial lainnya kepada masyarakat Tionghoa. Hong Po yang dipimpinnya juga mengerjakan beberapa tokoh nasionalis Indonesia termasuk M. Gani dan Tjipto4. Seperti Mata Hari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat di zaman penjajahan Belanda dan Sin Tit Po yang dipimpin Tan Ling Djie, Hong Po juga berorientasi ke Indonesia5. Akan tetapi berbeda dengan Mata Hari dan Sin Tit Po yang jelas anti Jepang, Hong Po sangat mendukung Jepang. Itulah sebabnya, Oei pernah ditahan oleh Belanda pada tahun 1941, karena dianggap membahayakan posisi penjajahan Belanda di Indonesia6. 3 4 5 6 Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, adik Lay Dje Hoa, Okto ber 1994. M. Gani, Surat kabar Indonesia pada Tiga Zaman, Departe men Penerangan, 1978, p 103 Ibid, p 103 Ibid, p 109; Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, Gunung Agung Singapore, 1981, p 93 132 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Hong Po adalah satu-satunya harian yang diizinkan untuk beredar di Jakarta dan kota-kota lainnya. Oei sendiri pernah diangkat oleh Jepang untuk duduk dalam Badan Penasehat yang dipimpin oleh Soekarno. Pada akhirnya, Hong Po pun dilarang beredar oleh Jepang, tetapi para wartawannya diizinkan untuk meneruskan pekerjaannya dalam surat kabar yang diterbitkan di bawah pengawasan Jepang. Walaupun Hong Po tidak pernah terbit kembali setelah proklamasi kemerdekaan, perusahaan percetakannya terus berjalan, menerbitkan beberapa majalah berkala, diantaranya majalah mingguan Sadar. Oei tidak menyukai Injo Beng Goat, direktur Keng Po. Konfliknya berdasarkan perbedaan pendapat dan haluan politik, tetapi juga merupakan konflik pribadi. Selain memimpin Keng Po, Injo Beng Goat juga menerbitkan Star Weekly, majalah mingguan yang populer pada saat itu. Permusuhan pribadi antara Oei dan Injo diketahui oleh umum. Oei pernah dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas kejadian yang menyebabkan muka Injo Beng Goat tergores oleh pisau dalam salah satu perkelahian di pasar malam. Tidak jelas apakah percetakan Hong Po beruntung pada waktu Siauw datang mengunjunginya. Tetapi begitu ia mendengar bahwa Siauw siap untuk mengambil alihnya dan berencana menerbitkan surat kabar dan majalah mingguan, ia bersedia menjualnya dengan harga murah kepada kelompok usaha yang dipimpin oleh Siauw itu. Akan tetapi ia mengajukan satu permintaan, yaitu Siauw harus bekerja keras untuk bisa menandingi Injo Beng Goat, bahkan melebihi jumlah peredaran Keng Po dan Star Weekly. Dalam pertemuan itu, Siauw meyakinkan Oei bahwa ia mampu untuk menandingi Injo Beng Goat7. Demikianlah, bersandar pada dana yang dikumpulkan oleh para pedagang totok yang Siauw kenal baik, percetakan Oei Tiang Tjoei, yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara, di daerah kota 7 Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, Oktober 1994 133 Siauw Giok Tjhan China Town Jakarta, diambil alihnya. Percetakan yang diambil alih ini dinamakan Percetakan Persatuan. Siauw menjadi direktur percetakan itu sampai Oktober 1953. Para pedagang yang cenderung beraliran kiri itu mendukung Siauw bukan karena motivasi komersial. Mereka mengenal Siauw sebagai seorang yang mempunyai motivasi politik tinggi dan keuntungan usaha bukanlah tujuan utama kegiatan Siauw dalam bidang jurnalistik. Kerja sama dengan kelompok pedagang totok ini merupakan jalinan hubungan kerja politik yang pertama dalam karier Siauw, tetapi sekaligus merupakan sandaran penting bagi Siauw dalam menempuh langkah-langkah politiknya di masa mendatang. Seperti dituturkan di atas, sebelum Siauw mengambil alih percetakan Hong Po, majalah mingguan Sadar telah diterbitkannya. Mingguan Sadar ini dipimpin oleh Tio Ien Lok dan lebih banyak memusatkan pemberitaannya pada bidang kebudayaan dan olah raga. Kedatangan Siauw dan akan dihentikannya Mingguan Sadar diumumkan dalam penerbitan Sadar yang terakhir, pada bulan Desember 1949. Pada bulan Januari 1950, Siauw mulai mencetak dan menerbitkan majalah mingguan yang ia namakan Sunday Courier. Ia menggunakan nama Inggris untuk menyaingi Mingguan Star Weekly yang sudah berjalan beberapa tahun sebelumnya. Walaupun mingguan baru ini memuat banyak pemberitaan tentang Tiongkok dan perkembangan ekonomi-nya, banyak bahan-bahan mengenai Indonesia ditayangkan di sana. Siauw sendiri banyak menulis dalam penerbitan-penerbitan permulaannya. Ia banyak menganalisa keadaan ekonomi dan politik Indonesia dan secara teratur, ia menulis sebuah bagian yang ia namakan Serba Serbi Parlemen, di mana ia menuturkan kegiatan dan perdebatan di parlemen. Siauw banyak menggunakan waktunya untuk meng-edit artikelartikel yang dimuat dalam mingguan baru ini. Disamping itu, ia langsung terlibat dalam memimpin perusahaan baru yang belum 134 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif menghasilkan keuntungan apa-apa ini. Peranan utamanya adalah menghubungi para wartawannya dengan berbagai sumber berita yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi, baik dari parlemen, maupun dari dunia jurnalistik. Tugas paling pentingnya tentunya berhubungan dengan pengumpulan dana sehingga penerbitannya bisa berjalan lancar. Dalam hal ini, kelihatannya Siauw tidak pernah mengalami kesulitan. Dalam waktu singkat, Sunday Courier dikenal masyarakat, bahkan pada sebuah saat, jumlah peredarannya diperkirakan melebih peredaran Star Weekly8. Sebuah hal yang membuat para pendukungnya rela memberikan sumbangan besar pada usaha Siauw adalah kesederhanaannya. Karena Siauw pernah dididik oleh kakeknya, seorang pedagang totok yang juga sederhana, Siauw mempunyai kemampuan untuk mengebawahkan berbagai kepentingan materi. Bersama keluarganya, ia tinggal di kantor percetakan itu. Siangnya, kantor percetakan kecil di atas itu dijadikan kantor yang menampung tiga atau empat wartawan. Malamnya, kantor itu manjadi kamar tidur keluarganya yang terdiri dari Siauw dan istrinya, Tan Gien Hwa serta 5 anak-anak kecil dari umur 1 tahun hingga 9 tahun. Mereka tidur di atas meja-meja kantor. Anak-anaknya teringat kalau terkadang mereka jatuh dari “tempat tidur”-nya itu9. Untung bagi keluarganya, episode tidur di atas meja itu hanya berlangsung selama satu tahun, karena sebagai anggota parlemen yang duduk dalam Panitia Rumah Tangga Parlemen, yang harus berada di Jakarta terus menerus, Siauw mendapat prioritas mendapatkan tempat tinggal. Pada pertengahan tahun 1951, ia dan keluarganya pindah ke Jalan Tosari 70, di daerah elite Menteng, rumah yang dimiliki oleh BR. Moetik, pedagang kaya raya yang aktif dalam PSI. Rumah itu disewa oleh Siauw sampai keluarganya dikeluarkan oleh penguasa militer Jakarta pada tahun 1966. Setelah Siauw dan keluarganya pindah ke Tosari, kantor di Pintu Besar8 9 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Januari 1989 Wawancara dengan Ny. Tan Gien Hwa, Januari 1990 135 Siauw Giok Tjhan nya dipakai sebagai tempat tinggal oleh para wartawan yang pada waktu itu masih bujangan, diantaranya Njoto dan Tan Hwie Kiat. Ternyata Siauw tidak pernah mengambil kesempatan untuk membeli rumah di jalan Tosari itu dari B.R. Moetik, walaupun sebagai anggota parlemen, ia bisa mendapatkan potongan harga yang lumayan. Bilamana ia bersedia meminjam uang dari para relasi totok-nya yang selalu bersedia membantu, rumah itu dapat dengan mudah terbelinya. Tapi ia bersikap tidak mau meminjam uang untuk membeli rumah. Pinjaman uang sepenuhnya dipergunakan untuk usaha penerbitan. Memang orang mengenal kesederhanaan Siauw itu. Di rumahnya, ia biasa menggunakan kaos oblong dan celana pendek. Karena kantor dan rumah menjadi satu, ia berpakaian begitu sehari-harinya, kecuali kalau ia harus keluar ke parlemen. Liem Koen Seng, saudara sepupu Liem Koen Hian, yang kemudian aktif di Baperki tadinya tidak kenal dengannnya. Ia hanya tahu nama Siauw Giok Tjhan. Pada waktu ia berkunjung ke kantor Siauw di Jalan Pintu Besar, yang membukakan pintu adalah Siauw. Oleh Liem, Siauw dikira pembantu kantor dan dengan lagak memerintah, ia menyuruhnya untuk memanggil “tuan” Siauw. Ia menjadi kaget dan malu ketika mengetahui bahwa sang “jongos” itu adalah Siauw Giok Tjhan. Memang cara berpakaian Siauw lebih mirip cara berpakaian pedagang-pedagang totok Pintu Kecil di daerah Kota. Banyak orang menganggapnya sebagai seorang totok dan tidak mengetahuinya sebagai seorang peranakan yang berpendidikan Belanda. Dan iapun bisa bergaul dengan wajar dan luwes dengan para pedagang totok di daerah Kota itu. Kesukaannya adalah makan di restoranrestoran kecil di daerah Kota. Karena ia sudah dikenal oleh banyak orang dan diketahui sebagai seorang yang tidak memiliki uang banyak, seringkali kunjungannya itu gratis10. 10 Wawancara dengan Lay Siauw Hoa, Oktober 1995 136 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Ternyata cara berpakaian Siauw cukup sering menjadi bahan pembicaraan diantara rekan-rekan parlemennya11. Presiden Soekarno yang terkenal dengan keapikannya dalam berpakaian sering bergurau dengan para politikus di sekitarnya tentang cara Siauw berpakaian. Siauw keluar masuk istana dengan pakaian sederhananya dan kadang-kadang hanya mengenakan sandal saja. Kalau ia berpakaian resmi, dasinya sering terpakai “mencong”, sehingga Soekarno sering mengomentarinya. Pernah pada tahun 1947, Siauw ke istana di Yogyakarta dengan baju yang ada sobekannya. Presiden Soekarno kebetulan melihatnya dan segera masuk ke kamarnya untuk mengambil tiga baju baru untuk diberikan pada Siauw, yang menerimanya dengan tersipu-sipu12. Memang, kesederhanaannya sebagai seorang dari kelas menengah ini menjadi aset politiknya. Paling tidak ini membuatnya berbeda dengan banyak orang Tionghoa yang menjadi pedagang atau profesional yang kaya raya. “Trade-Mark” kesederhanaannya inilah yang mendorong banyak orang, seperti dituturkan sebelumnya, untuk selalu bersedia memberinya sumbangan-sumbangan yang diperlukan untuk melakukan berbagai kegiatan politik. Dan juga membuat orang yakin akan kesungguhannya sehingga dukungan moral-pun mudah untuk diperolehnya. Pada bulan Januari 1950, Siauw mulai meng-edit journal bulanan yang dinamakan Republik. Majalah ini dicetak oleh percetakan Tjoa Sik Ien di Surabaya, Percetakan Sin Tit Po. Majalah ini merupakan penerbitan politik dan berisi berbagai karangan yang mendiskusikan masalah politik nasional. Siauw juga memuat karangannya tentang perkembangan dan perdebatan parlemen di dalamnya. Disamping karangan-karangan Siauw sendiri, juga banyak sumbangan tulisan dari rekan-rekan Siauw di parlemen, 11 12 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Francisca Fanggidaj, Desember 1988 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1994 dan Go Gien Tjwan, Januari 1990 137 Siauw Giok Tjhan diantaranya I.J. Kasimo, pemimpin Partai Katolik, D.S. Diapari, pemimpin SKI (Serikat Kebangsaan Indonesia), Aruji Kartawinata, pemimpin PSII dan Ong Eng Die, dari PNI. Go Gien Tjwan, kawan Siauw dari zaman Malang yang pada waktu itu berada di Belanda, menjadi wakil-nya di Eropa. Dari segi komersial, Majalah Republik ini tidak menghasilkan keuntungan. Penerbitannya hanya berlangsung dua tahun, karena peminatnya kecil. Memang publikasi yang dipimpin oleh Siauw pada umumnya mengandung analisa-analisa politik dan pada saat itu, peminat untuk mengikuti bahan-bahan yang disajikan masih sangat terbatas. Disamping itu, gaya Siauw dalam menulis masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan menulis para wartawan di zaman penjajahan Belanda. Walaupun bahasa-nya sudah berubah dan tidak lagi berupa bahasa Tionghoa-Melayu, tetapi gaya menulisnya tidak banyak berubah. Pada umumnya, karangan-karangan Siauw panjang dan mengandung penuturan bahan yang diulangulang. Para pembantunya sering harus memotong karangankarangannya supaya bisa dimuat dalam penerbitan-penerbitan yang tentunya terbatas ruang karangannya. Tetapi Siauw tidak pernah memasalahkannya. Kalau dianggap perlu untuk dipotong, menurutnya tidak apa-apa, asal makna dari karangannya tidak hilang13. Kalau dikritik, Siauw dengan tersenyum menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mengulang-ulang analisa politiknya supaya si pembaca atau pendengar pidatonya itu benar-benar mengerti apa yang ia maksud dan ini penting karena kalau penuturan bahannya itu disalah mengerti, dampaknya bisa merugikan pergerakan. Menurut Go Gien Tjwan, bagi orang yang dekat dengan Siauw, cara penguraian Siauw baik secara tertulis maupun lisan dalam pidato-pidatonya, membosankan. Akan tetapi, ia mengakui bahwa cara yang digunakan Siauw dan style pembawaannya itu 13 Wawancara dengan Dr. Oey Hong Lee dan Tan Hwie Kiat, Januari 1989 138 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif sangat disenangi oleh massa Tionghoa-nya. Kalau Siauw pergi ke daerah-daerah, massa Tionghoa, baik peranakan dan totok, datang berbondong-bondong datang mendengarkan uraian Siauw dan mereka terlihat bisa mengikuti dan mengerti uraian Siauw yang memang menggunakan bahasa sederhana14. Pada bulan Januari 1951, Siauw mulai menerbitkan majalah mingguan yang ia namakan Suara Rakyat. Penerbitan ini ditujukan untuk massa “asli” Indonesia, tidak hanya untuk masyarakat Tionghoa. Pada bulan Juli tahun itu, setelah dana penerbitannya terkumpul, Siauw mengubah penerbitan ini menjadi sebuah harian, yang ia namakan Harian Rakyat. Kebanyakan dari wartawan yang Siauw kerjakan di Sunday Courier juga bekerja untuk Harian Rakyat. Staff-nya juga terdiri dari para wartawan “asli”, diantaranya Njoto, yang sudah menjadi pimpinan penting PKI, setelah dengan Aidit dan Lukman mengambil alih kekuasaan PKI dari tangan Tan Ling Djie secara bertahap. Selain Njoto, Siauw juga mengerjakan Surjono, Supeno dan Fransisca Fanggidaj, tokoh-tokoh Pesindo. Harian Rakyat memang menjadi surat kabar nasional pertama di tahun 1950-an yang dipimpin oleh seorang peranakan. Peranan Njoto sebagai pembantu Siauw di Harian Rakyat memang penting. Seperti dituturkan dalam bab sebelumnya, Njoto pernah bekerja sebagai pembantu Siauw dalam menerbitkan Suara Ibu Kota di Yogyakarta. Sebelum masuk ke Harian Rakyat, Njoto pernah memimpin redaksi penerbitan PKI yang dinamakan Bintang Merah. Bersama Aidit dan Lukman, Njoto diangkat masuk ke dalam Politbiro PKI menjelang tahun 1948. Njoto duduk juga dalam Badan Pekerja sebagai wakil PKI. Ketiga pemimpin muda ini menggunakan Bintang Merah sebagai sarananya untuk mengecam Tan Ling Djie dan Alimin. Mereka menyatakan dalam tulisan-tulisan di Bintang Merah bahwa Tan Ling Djie dan Alimin menyimpang dari Jalan Baru yang diformulasikan Musso. 14 Lima Jaman menunjukkan cara menulis-nya. 139 Siauw Giok Tjhan Dalam waktu singkat, Aidit, Lukman dan Njoto, ketika itu berumur 27, 30 dan 25 berhasil mendapat dukungan luas dari para pemimpin PKI. Akhirnya, pada tanggal 7 Januari 1951, mereka berhasil menggeser Tan Ling Djie dan Alimin. Aidit menggantikan Tan Ling Djie sebagai ketua Politbiro, yang kemudian beranggotakan orang-orang yang mendukung Aidit. Setelah itu, Tan Ling Djie dan Alimin tetap menjadi anggota Central Committee (CC) PKI, tetapi tidak lagi mempunyai pengaruh yang berarti dalam PKI. Kelompok Aidit tahu bahwa Siauw sangat dekat dengan Tan Ling Djie. Mereka pun mengetahui bahwa Tan Ling Djie tinggal di rumah Siauw Giok Tjhan. Akan tetapi mereka cukup yakin bahwa Siauw tidak dapat dipengaruhi oleh Tan. Oleh karenanya, mereka, terutama Njoto, tetap menganggap Siauw sebagai figur yang mereka hormati15. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Aidit, Lukman dan Njoto dalam menggeser Tan Ling Djie pada tahun 1951 dan meneruskan kampanye anti Tan Ling Djie-nya hingga tahun 1953 yang mengakibatkan digesernya Tan Ling Djie dari CC PKI, tidak menyenangkan Siauw. Sebagai seorang anggota parlemen yang ulung dan sebagai figur yang pernah merasakan kepahitan peristiwa Madiun, Siauw bersependirian dengan Tan Ling Djie bahwa PKI seharusnya berkembang menjadi partai kader yang bermutu dan yang kemudian mampu memimpin sebuah front nasional. Dengan jalan demikian, Siauw menganggap bahwa PKI bisa lebih efektif dalam mengumpulkan kekuatan yang mendukungnya di parlemen sehingga tujuan utamanya bisa dengan lebih cepat dicapai. Akan tetapi karena Siauw tidak menjadi anggota PKI, ia tidak bisa mempengaruhi jalannya perdebatan di dalam tubuhnya yang pada akhirnya menyimpang dari kebijakan strategi politik yang baginya lebih efektif. Oleh karena ia berada di luar partai, ketidak setujuannya tidak menghasilkan permusuhan dengan para 15 Wawancara dengan Jusuf Adjitorop, Oktober 1994. 140 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif pimpinan PKI. Ia tetap bisa bekerja sama dalam banyak bidang, terutama di parlemen dan Njoto tetap menjadi pembantu setianya di Harian Rakyat. Walaupun kehadiran Njoto di Harian Rakyat menyebabkan banyak pemberitaan tentang PKI dimuat di dalamnya, semua kebijakan pemberitaan dan garis yang dianut oleh Harian Rakyat sepenuhnya dikontrol oleh Siauw. Siauw tetap bisa menjamin bahwa Harian Rakyat tidak dikuasai oleh PKI16. Siauw memang langsung terjun dalam usaha penerbitan ini. Ia banyak menulis artikel-artikel yang dimuat dan menulis semua editorial untuk Sunday Courier dan Harian Rakyat. Dan ia pun turut serta dalam menentukan dan mengawasi peng-editan semua karangan-karangan yang masuk untuk diterbitkan17. Sebuah hal yang menonjol adalah cara bekerja Siauw. Ia adalah pekerja yang cepat. Karangan-karangan panjangnya dapat ia selesaikan dalam waktu singkat--pada umumnya kurang dari dua jam. Rutinnya di pagi hari adalah menulis editorial. Pengambil karangan itu biasanya datang pada pukul 6:30 pagi dan menunggu sekitar 10 sampai 15 menit untuk membawa editorial-nya itu ke kantor untuk kemudian dipersiapkan percetakannya. Di samping menulis untuk Sunday Courier dan Harian Rakyat, ia pun sering menulis untuk berbagai surat kabar, diantaranya Harian Sin Min yang terbit di Semarang. Ia juga sering menggunakan nama pena. Pada tahun 50-an, nama pena yang sering ia gunakan adalah namanama putranya, Tiong Ho dan Tiong Djin. Sebagai sebuah usaha komersial, Harian Rakyat rupanya tidak terlalu berhasil. Tan Hwie Kiat, Surjono dan Fransisca Fanggidaj teringat bahwa usahanya tidak terlalu menguntungkan, bahkan kemungkinan merugikan. Peredarannya cukup luas, mencakup kota-kota besar di Jawa dan Sumatra, akan tetapi pemasukannya 16 17 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, Penjara RTM, 1970; Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Desember 1993 Wawancara dengan Francisca Fanggidai, November 1988 141 Siauw Giok Tjhan tidak setinggi yang diharapkan. Memang, bagi Siauw, peredaran dan terbacanya surat kabar itu lebih penting daripada pemasukannya18. Yang jelas, Siauw harus tetap bersandar pada sumbangan para pedagang totok untuk terus menerbitkan Harian Rakyat dalam jumlah yang telah ditentukannya. Dalam mengumpulkan dana untuk berbagai kegiatan politiknya, Siauw memang selalu berhasil. Kesungguhannya untuk bekerja keras demi tujuan politik yang dianggapnya tepat, ditambah dengan cara hidupnya yang sederhana mendorong para pedagang totok yang dikenal baiknya untuk selalu bersedia menyumbang – apapun konsekwensi usaha dagang yang memerlukan sumbangan tersebut. Inilah keunggulan Siauw yang menyebabkan ia tidak pernah kekurangan dana dalam menjalankan gerakan politiknya, baik dalam bidang jurnalisme, maupun kemudian dalam mengembangkan Baperki dan lembaga pendidikannya. Akan tetapi, rupanya Siauw menganggap usaha menerbitkan surat kabar untuk peredaran besar seperti Harian Rakyat itu memerlukan waktu dan dana yang lebih besar. Kesibukannya di parlemen tidak memungkinkan ini. Inilah yang mendorongnya untuk membicarakan kemungkinan menjual usaha percetakannya itu ke PKI yang memang sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk memiliki trompet utamanya. Karena Njoto sudah lama bekerja di Harian Rakyat, keputusan untuk mengambil alih usaha ini dari Siauw dibuat dengan cepat. Akhirnya, pada bulan Oktober 1953, pengambil-alihan ini berlangsung. Dengan sendirinya, karena memang usaha itu tidak menguntungkan, Siauw tidak menerima apa-apa seperti lazimnya kalau pedagang menjual usahanya. Mulai tanggal 31 Oktober 1953, Siauw tidak lagi memimpin Harian Rakyat dan Percetakan Persatuan. Sejak saat itu, Njoto-lah yang menjadi pemimpin Harian Rakyat. Walaupun demikian, Siauw tetap banyak menulis karangan untuk dimuat dalam Harian Rakyat. 18 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Januari 1990 142 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Memang, tidak banyak orang mengetahui latar belakang Harian Rakyat dan bagaimana surat kabar itu di kontrol sebelum Oktober 1953. Pengambil-alihannya dari tangan Siauw-pun tidak diumumkan secara resmi. Yang nyata hanyalah nama pemimpin yang tertera di dalam surat kabar itu, yaitu sejak tanggal 31 Oktober, nama pemimpin dan penanggung jawabnya diubah dari Siauw Giok Tjhan menjadi Njoto. Karena Harian Rakyat setelah tanggal 31 Oktober 1953 itu resmi menjadi trompet PKI, banyak orang yang menganggap Siauw adalah anggota PKI. Pergantian pemimpin Harian Rakyat itu juga hampir berbarengan dengan dikeluarkannya Tan Ling Djie dari CC PKI. Tan Ling Djie dikeluarkan dari CC PKI pada pertengahan tahun 1953 setelah Aidit mendorong arus dalam partai yang mengecam apa yang ia namakan Tan Ling Djie-isme. Karena waktunya itu bersamaan, banyak orang lalu menganggap bahwa Siauw yang dikenal dekat dengan Tan Ling Djie itu juga telah dipecat oleh Aidit dari posisinya sebagai pemimpin Harian Rakyat. Akan tetapi ini tidak benar dan Siauw-pun dapat membuktikannya melalui kegiatannya di parlemen. Seperti yang dijelaskan di bagian lain, Siauw ternyata bekerja erat dengan kelompok Murba, yang bisa dikatakan musuh PKI. Walaupun Siauw tetap mempunyai hubungan baik dengan kelompok Aidit, terutama dengan Njoto, tetapi ia-pun cukup sering berbeda pendapat dan melakukan perdebatan terhadap mereka di dalam parlemen. Setelah keluar dari Harian Rakyat, Siauw tetap memimpin dan menerbitkan Sunday Courier sampai pertengahan tahun 1955. Pada waktu itu, Baperki sudah berdiri dan posisinya sebagai ketua dan juga persiapan dalam menghadapi Pemilihan Umum yang pertama menyebabkan ia tidak lagi mampu membagi waktunya untuk penerbitan Sunday Courier, walaupun secara komersial, Sunday Courier cukup menguntungkan dan mampu bersaing dengan Star Weekly19. 19 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat, Desember, 1993 143 Siauw Giok Tjhan Setelah Percetakan Persatuan dan Harian Rakyat dijual ke PKI, Siauw merasa bahwa komunitas totok tetap kurang menerima Indonesia. Ia ingin mengubah situasi ini. Oleh karenanya, pada tahun 1953, ia mendirikan sebuah yayasan penerbitan, khusus untuk komunitas Totok. Yayasan ini ia namakan Yayasan Kebudayaan Sadar. Lagi-lagi yayasan yang ia pimpin ini bersandar pada dana para pedagang totok yang ia kenal dengan baik, diantaranya Go Gak Cho dan Kho Nai Chong. Mereka ini juga pemimpin-pemimpin organisasi Tionghoa yang berkiblat ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Chiao Chung. Tujuan utamanya adalah menerbitkan berbagai publikasi termasuk majalah dan buku-buku yang bisa mempercepat proses diterimanya Indonesia sebagai tanah air oleh masyarakat Tionghoa totok. Majalah mingguan yang ia terbitkan dinamakan Chiao Xing (Sadar). Diterbitkan dalam bahasa Tionghoa - Mandarin. Peredarannya cukup luas dan ternyata cukup populer di komunitas Tionghoa totok. Penerbitan ini terus berlangsung sampai awal tahun 1960. Ia ditutup oleh pemerintah, karena memuat karangan tentang peristiwa Madiun yang dianggap bertentangan dengan versi resmi pemerintah20. Chiao Xing banyak memuat karangan-karangan Siauw dan banyak artikel yang dimuat dalam Sunday Courier diterjemahkan dan dimuat di dalamnya. Melalui majalah ini, Siauw menjangkau komunitas totok untuk menerima dorongan-dorongan yang sudah didengungkannya sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu untuk sebagian besar penduduk Tionghoa di Indonesia, peranakan maupun totok, Indonesia adalah tanah airnya. Untuk itu, penduduk Tionghoa harus siap sedia mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia dan menaruh perhatian besar akan perkembangan politik dan ekonomi Indonesia. 20 Wawancara dengan Lie Xie Thian dan Go Gak Cho, Januari 1988 144 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Yang dikerjakan oleh Siauw sebagai wartawan-wartawan adalah beberapa pemuda Tionghoa totok yang fasih dalam berbahasa Indonesia dan mandarin. Pada umumnya mereka ini berasal dari Sumatra. Siauw memimpin langsung pengolahan beritanya. Setiap minggu, sebelum majalah diterbitkan, para wartawan Chiao Xing, diantaranya Lie Xie Thian dan Tjang Tjing Kuok, pergi ke rumah Siauw untuk menerima petunjuk dan instruksi tentang pokokpokok pemberitaan dan isi majalah tersebut21. Untuk memperluas pengaruh Indonesia di dalam Yayasan Kebudayaan Sadar, Siauw mengajak beberapa rekan parlemennya untuk turut membina perkembangannya. Yang ia ajak aktif untuk turut dalam kegiatan Yayasan ini adalah Werdojo, yang pada waktu itu menjadi ketua Persatuan Marhaen Indonesia dan juga menjadi anggota dari Fraksi Nasional Progresif yang Siauw pimpin di parlemen. Pada tahun 60-an, Werdojo menjadi salah seorang pimpinan Partindo (Partai Indonesia). Oleh Siauw, Werdojo kemudian dijadikan ketua Yayasan Kebudayaan Sadar, sedangkan Siauw tetap memegang posisi Penanggung Jawab. Walaupun komposisi-nya demikian, Siauw-lah yang tetap memegang puncak pimpinannya22. Selain penerbitan Chaio Xing, Yayasan Kebudayaan Sadar juga menerbitkan buku-buku yang diterjemahkan dari Bahasa Tionghoa ke Indonesia dan sebaliknya. Juga diterbitkan kamus-kamus bahasa Tionghoa-Indonesia dan Indonesia-Tionghoa. Peredarannya cukup luas, melalui toko-toko buku di kota-kota besar. Sebagai sebuah usaha penerbitan, Yayasan ini cukup berhasil, dalam pengertian ongkos percetakan, penghasilan para wartawan dan pekerjanya bisa sepenuhnya dibiayai oleh penghasilan yang diterima dari penjualan buku-buku dan langganan majalahnya. Di samping kegiatan dalam penerbitan majalah-majalah dan surat kabar, Siauw-pun aktif dalam SPS (Serikat Perusahaan Surat 21 22 Wawancara dengan Lie Xie Thian, Januari 1988 Wawancara dengan Lie Xie Thian, Januari 1988 145 Siauw Giok Tjhan Kabar). Badan ini dibentuk oleh para anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada bulan Juni 1946. Akan tetapi, badan ini baru memiliki struktur organisasi yang resmi pada tahun 1949, dengan 33 perusahaan surat kabar dari seluruh Indonesia terdaftar sebagai anggotanya. Tujuan utamanya adalah menjamin kebutuhan perusahaan-perusahaan surat kabar itu dapat dipenuhi dengan baik dan masalah-masalah nasional yang penting turut diperhatikan oleh semua surat kabar yang beredar di Indonesia. Badan ini juga mengembangkan pendapat bahwa 60% pemilik surat-surat kabar di Indonesia adalah warga-warga negara Indonesia dan para pemimpinnya adalah warga-warga negara Indonesia23. Sampai bulan Januari 1951, SPS dan PWI secara organisasi dipimpin oleh orang-orang yang sama. Rapat-rapat mereka sering disebut rapat-rapat PWI/SPS. Akan tetapi setelah itu, ada keputusan untuk memisahkan kedua organisasi ini dan masing-masing dihendaki memiliki organisasi pimpinan yang berbeda. Pada akhirnya, berdirilah SPS yang lepas dari organisasi PWI dan sebagai Sekretaris Jendral pertamanya dipilih Sudarjo Tjokrosisworo, teman lama Siauw dari zaman Mata Hari24. Sebagai direktur Harian Rakyat dan Sunday Courier dan juga percetakan Persatuan, Siauw masuk ke dalam SPS secara resmi pada tahun 1951. Ia ternyata juga aktif dalam organisasi ini dan turut menentukan posisi SPS tentang berbagai aspek penerbitan surat kabar, terutama yang berhubungan dengan undang-undang penerbitan surat kabar. Ia turut duduk dan memimpin beberapa panitia di SPS yang dibentuk untuk menentukan masukan SPS ke parlemen tentang pembatasan peredaran dan penjualan majalahmalajah asing, etika periklanan dan pelarangan dimuatnya bahanbahan pornografi. 23 24 Sudarjo Tjokrosisworo, Sejarah Pers Sebangsa, SPS, 1958, p69 Ibid, pp75-76 146 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Siauw duduk di dalam Panitia Susila Pers yang beranggotakan tiga orang, pernah mengeluarkan sebuah rekomendasi untuk mengeluarkan atau memecat anggota-anggota SPS yang mengizinkan dimuatnya bahan-bahan cabul di dalam penerbitannya25. Memang, dalam memimpin penerbitan-penerbitannya, Siauw memegang standard moral yang cukup tinggi. Ia melarang para wartawannya memuat karangan-karangan yang bersifat porno. Kadang-kadang, ia terasa kaku dalam mempertahankan prinsip ini. Peredaran Sunday Courier pernah dikatakan lebih besar dari peredaran Star Weekly, karena di dalamnya termuat beberapa karangan bersambung yang disukai masyarakat. Salah satu karangan bersambung romantika ini oleh Siauw dianggap berisikan cerita-cerita cabul dan segera dilarangnya untuk diteruskan. Sebagai akibat larangan itu, peredaran Sunday Courier sejak pertengahan tahun 1954 berkurang dan jumlah pelanggannya juga turut berkurang. Anjuran dari bawahannya untuk memuat cerita bersambung romantika itu tidak diturutinya26. Aktifnya Siauw dalam SPS membuka pintu baginya untuk berkenalan dan dekat dengan banyak wartawan terkemuka dan para editor surat-surat kabar. Ia juga sering bertemu dan berhubungan dengan kawan-kawan yang sejak dari dulu ia kenalnya, seperti ketua PWI, Djawoto yang pernah bersama-samanya duduk dalam seksi penerangan di Partai Sosialis, Adam Malik yang pernah sama-sama meringkuk di penjara Wirogunan pada tahun 1949 dan kemudian menjadi anggota fraksi Nasional Progresif-nya di parlemen, M.Tabrani yang pernah menjadi staf-nya di kementerian minoritas dalam kabinet Amir Sjarifuddin dan kemudian menjadi pemuka Harian Pemandangan dan Joesoef Isak dari Harian Merdeka. Kontak-kontak seperti inilah yang memungkinkan Siauw memuat banyak karangan-karangannya, baik yang ia muat sebagai 25 26 Ibid, pp 92-93 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat yang teringat bahwa banyak karangan harus ditulis ulang karena tidak memenuhi standard yang diminta oleh Siauw. 147 Siauw Giok Tjhan tulisannya sendiri atau sebagai tulisan beberapa nama penanya, dalam berbagai surat kabar yang peredarannya luas di seluruh Indonesia. Karena tulisan-tulisannya serta pidato-pidatonya sering dimuat dalam berbagai surat kabar, nama Siauw mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama komunitas Tionghoanya. Jalan pikirannya yang berhubungan dengan aktifitas anti rasisme dan program-program ekonomi yang ia canangkan mulai tersiar luas pada awal tahun 50-an. Secara tidak langsung, ini memberinya sebuah kewibawaan yang penting dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat di parlemen. Upayanya melawan arus Rasisme di parlemen mendorongnya untuk menguasai ilmu ekonomi. Sejak tahun 50-an inilah, Siauw banyak mempelajari teori-teori ekonomi dari banyak text books asing dan majalah-majalah asing. Salah satu hobby-nya adalah mengumpulkan banyak buku-buku ekonomi terbitan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan menyusun banyak karangan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi nasional. Salah seorang teman karib Siauw yang banyak membantunya dalam men-supply buku-buku ini adalah S Parman, yang pada tahun 50-an bertugas di Inggris. S Parman, pada waktu itu berpangkat Kolonel, ini pernah bersamanya meringkuk di penjara Wirogunan, adalah adik Sakirman, salah satu pimpinan PKI. Seperti diketahui, S Parman kemudian menjadi salah satu Jendral Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh oleh gerakan yang dinamakan G-30-S pada tahun 1965. Selain S Parman, ada beberapa Duta Besar asing, terutama Amerika, Inggris, Perancis dan Soviet Union, yang sering memberinya buku-buku berbahasa asing kepada Siauw. Ini memungkinkan Siauw, yang tidak memiliki penghasilan tinggi, mengumpulkan ribuan buku asing dalam berbagai bahasa, Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman. Rumahnya penuh dengan buku, surat kabar dan majalah. Ia memerlukan waktu untuk menekuni teori ekonomi sehingga oleh para rekan DPR-nya, ia diterima sebagai 148 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif seorang akhli ekonomi. Karangan-karangan, banyak pidatonya baik di dalam maupun luar DPR, dan kemudian bahan-bahan kuliahnya pada zaman Demokrasi Terpimpin, menunjukkan keuletan dan disiplin Siauw dalam menekuni banyak-nya buku-buku asing yang ia peroleh dari berbagai sumber itu. Keberadaannya di dalam dunia jurnalistik ini menyebabkan ia pernah ditawarkan jabatan Duta Besar di Perancis oleh Soekarno pada tahun 1953. Memang pada tahun 50-an, banyak tokoh wartawan yang mengisi posisi-posisi Duta Besar. Rupanya, kebijakan pemerintah pada wajtu itu adalah menaruh tokohtokoh intelektual sebagai wakil-wakil RI di luar negeri. Tawaran ini ditolak oleh Siauw, yang menganggap kehadirannya di parlemen merupakan tugas yang lebih penting27. Siauw di Parlemen Karier Siauw sebagai anggota parlemen dalam zaman Demokrasi Berparlementer dimulainya pada bulan Januari 1950, ketika ia menjadi anggota DPR-RIS, sebagai wakil negara bagian RI, di Jakarta. Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibentuk pada tanggal 27 Desember 1949. Ia terdiri dari Republik Indonesia (RI) dan 15 negara bagian yang telah dibentuk oleh Belanda antara tahun 1946 dan 1949. Ke 15 negara bagian ini bekerja sama dalam sebuah badan yang dinamakan BFO (Badan Permusyawaratan Federasi). Ketika RIS dibentuk, dominasi RI di dalamnya sudah dapat diperkirakan. Dari 16 menteri di kabinet RIS yang dipimpin oleh Hatta sebagai Perdana Menteri, hanya 5 berasal dari negara-negara BFO. Dari 5 menteri ini, hanya dua yang dianggap betul-betul mendukung bentuk federasi dan mereka tidak memegang portfolio 27 Wawancara dengan Siauw, RTM, Jakarta, 1970 149 Siauw Giok Tjhan yang penting28. Di dalam parlemen RIS, ada beberapa anggota Tionghoa yang mewakili golongannya. Selain Siauw, ada tiga anggota lain yang mewakili daerah bagian RI, yaitu Yap Tjwan Bing dari PNI, Tan Boen An dari PSI dan Tjoa Sie Hwie dari PNI (bekas kawan sekolah Siauw di HBS Surabaya). Ada dua anggota Tionghoa lainnya yang mewakili BFO, yaitu Teng Tjin Leng dari negara bagian Indonesia Timur dan Tjoeng Lin Seng dari negara bagian Borneo29. Perdebatan-perdebatan di parlemen ini pada umumnya berpusat pada pilihan antara bentuk negara kesatuan dan federasi. Hampir semua partai politik yang ada pada waktu itu sebenarnya mendukung bentuk negara kesatuan, walaupun ada beberapa tokoh yang mendukung bentuk federasi. Yang paling gigih menentang bentuk federasi di parlemen adalah Mohamad Yamin. Walaupun ia tidak berpartai, tetapi ialah yang memimpin perdebatan di parlemen dalam menentang pandangan-pandangan yang diajukan oleh wakil-wakil BFO yang ia katakan sebagai negara-negara boneka Belanda. Yang paling gigih mendukung Yamin adalah partai Murba. PKI pada waktu itu masih lemah dan kacau, sebagai akibat pemberantasan pemerintah yang dijalankan sehubungan dengan peristiwa Madiun. Oleh karenanya PKI tidak begitu menonjol dalam mendukung gerakan kembali ke negara Kesatuan30. Masjumi, pada waktu itu juga tidak terlalu gigih dalam memperjuangkan bentuk negara kesatuan. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah motivasi politik. Walaupun kebanyakan anggota Masjumi mendukung bentuk negara kesatuan, tetapi mereka lebih cenderung memilih bentuk negara melalui jalur 28 29 30 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, pp 47-48 Kepartaian dan Parlementaria Indonesia, Departemen Penerangan, 1954, pp 629-630 Ibid, p.75 150 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif referendum atau pemilihan umum. Karena mereka yakin bahwa untuk kembali mendominasi dunia politik Indonesia, jalur pemilihan umum-lah yang terbaik, maka mereka tidak begitu antusias turut memperdebatkan bentuk negara di parlemen. Kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan tanpa proses pemilihan umum dikhawatirkannya akan memperlemah posisi politiknya31. Siauw yang memang mengagumi Yamin, sudah tentu mendukungnya sepenuh hati. Dalam proses ini, ia terlihat lebih tertarik untuk bekerja sama dengan para wakil Murba dan partaipartai nasionalis lainnya di parlemen daripada bekerja sama dengan para wakil PKI. Kedekatannya dengan Murba dan partaipartai nasionalis kecil inilah yang menjadi dasar kegiatannya di parlemen dalam zaman Demokrasi Berparlementer (1950-1959). Dalam waktu kurang dari 2 bulan, berbagai resolusi untuk meleburkan negara-negara BFO ke dalam RI bisa dicapai. Semua negara BFO, kecuali Negara Indonesia Timur pada akhirnya dileburkan ke dalam negara bagian RI. Ini terjadi karena tentangan dari wakil-wakil Indonesia Timur atas usaha peleburan itu cukup kuat. Pada awal bulan Mei 1950, perkembangan politik di dalam dan luar parlemen telah memaksa Hatta untuk memulai proses membentuk kembali negara kesatuan. Pada tanggal 19 Mei, Hatta mewakili RIS dan Abdul Halim mewakili RI membentuk panitia yang ditugaskan untuk mempersiapkan struktur negara kesatuan. Disamping panitia ini, sebuah panitia lainnya yang beranggotakan 14 orang dibentuk untuk mempersiapkan Undang-Undang negara kesatuan yang baru. Siauw Giok Tjhan adalah salah satu anggota di dalamnya. Panitia ini akhirnya berhasil menghasilkan Undang-Undang Sementara yang akan dipakai sebagai landasan negara kesatuan baru. Pada garis besarnya, UU Sementara ini mirip dengan UUD yang dikeluarkan pada bulan November 1945, yaitu negara kesatuan dengan bentuk kabinet parlementer. Yang dianggap penting oleh 31 Ibid, p 75 151 Siauw Giok Tjhan para anggota panitia ini adalah dimasukkan kembalinya pasal 33 dari UUD-45 yang telah dihapus dari UUD RIS. Pasal ini menjamin bahwa semua kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh negara dan kemakmuran yang dituju adalah kemakmuran yang bersifat sosialistis. UUD sementara ini diselesaikan pada bulan Juli dan setelah perdebatan sengit di parlemen, akhirnya diterima oleh parlemen RIS pada tanggal 14 Agustus 1950. Dengan demikian, pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia yang baru secara resmi didirikan kembali. Komposisi DPR negara kesatuan pada garis besarnya sama dengan komposisi DPR-RIS. Jumlah anggotanya 236 terdiri dari 148 bekas anggota DPR-RIS, 46 bekas anggota Badan Pekerja, 29 bekas anggota Senat RIS dan 13 bekas anggota DPA RI. Parlemen baru yang dinamakan DPR-Sementara ini secara resmi dibentuk pada tanggal 16 Agustus 195032. Pada tanggal 19 Agustus 1950, Sartono dipilih kembali sebagai ketua DPR, dengan Tambunan, Aruji Kartawinata and Tadjuddin Noor masing-masing dari Parkindo, PSII and PIR (Partai Indonesia Raya) sebagai para wakil ketuanya33. Parlemen ini terdiri dari 10 seksi utama, termasuk seksi-seksi Ekonomi, Keuangan, Masalah Luar Negeri, Pertahanan, Buruh dan Tenaga Kerja. Siauw masuk ke dalam seksi ekonomi yang beranggotakan 39 orang34. Ia juga diangkat sebagai anggota dua panitia penting di dalam DPR, Panitia Permusyawaratan dan Panitia Rumah Tangga. Panitia Permusyawaratan ditugaskan untuk memberi nasehat kepada ketua DPR dan menentukan program kerja DPR. Panitia inilah yang menjadi jembatan antara parlemen dan kabinet. Panitia yang beranggotakan 21 orang ini dipilih langsung oleh ketua DPR, 32 33 34 Departemen Penerangan, Kepartaian dan parlementaria di Indonesia, pp 626-630 Ibid, pp619-620 Ibid, pp643-644 152 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Sartono35. Panitia Rumah Tangga ditugaskan untuk mengawasi dan mengatur jalannya parlemen. Panitia ini juga diberi wewenang untuk mengerjakan dan memecat semua staf pekerja di DPR. Salah satu tugas utamanya adalah memperhatikan kesejahteraan semua anggota DPR. Seperti Panitia Permusyawaratan, para anggota Panitia Rumah Tangga yang beranggotakan 13 orang ini dipilih langsung oleh ketua DPR36. Keanggotaan Siauw dalam panitia Rumah Tangga inilah yang menyebabkan Siauw memperoleh fasilitas rumah sewa di jalan Tosari 70, di daerah elite Menteng. Sartono juga mengangkat Siauw untuk duduk dalam berbagai panitia lainnya, diantaranya panitia Angket. Memang, Sartono diketahui sangat menghargai kehadiran Siauw disekitarnya. Ia ternyata banyak bersandar pada Siauw yang diketahuinya telah menguasai segala macam peraturan parlemen dengan selak beluk kewajiban serta hak yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota parlemen. Sartono sering terlihat duduk dengan Siauw di waktuwaktu istirahat dan sering memalingkan pertanyaan-pertanyaan para anggota ke Siauw untuk dijawabnya. Kalau Sartono keluar negeri dan keliling Indonesia, ia selalu mengikut sertakan Siauw sebagai salah satu anggota delegasinya. Ini yang menyebabkan Siauw mempunyai sarana untuk mengunjungi hampir semua ibu kota propinsi di seluruh Indonesia dan melihat dari dekat perkembangan politik dan ekonomi di daerah-daerah dengan mata kepala sendiri. Kesempatan keliling ini juga sering digunakannya untuk berhubungan dengan masyarakat Tionghoa di daerah-daerah. Sebuah interaksi yang menguntungkan posisinya sebagai wakil golongan Tionghoa dan sekaligus menyebabkannya dikenal oleh masyarakat Tionghoa di banyak lokasi. Kunjungan-kunjungan berkali-kali keluar negeri parlemen ini memungkinkannya untuk berhubungan dekat dengan banyak politikus di Vietnam, Jepang, Amerika Serikat dan 35 36 Ibid, p589 Ibid, p 590 153 Siauw Giok Tjhan Tiongkok. Sikap Sartono ini ternyata menimbulkan keluhan banyak anggota parlemen yang tidak pernah kebagian diikut sertakan di dalam delegasi kelilingnya, apalagi mengingat bahwa Siauw adalah anggota yang tidak berpartai37. Sartono ternyata menangkis keluhan-keluhan ini dengan menjawab: “...Saya membutuhkan Siauw untuk memberi berbagai nasehat dan pendapat penting dan berguna dalam semua perjalanan saya...”38. Hubungan baik dengan Sartono ini memang telah terjalin sejak zaman Yogyakarta, ketika keduanya sama-sama duduk di dalam Badan Pekerja. Hubungan baik Siauw dengan tokoh-tokoh penting tidak terbatas pada Sartono dan Soekarno saja. Ia juga mempunyai hubungan khusus dengan banyak tokoh penting lainnya. Ia diketahui dekat sekali dengan Yamin, Aruji Kartawiniata (PSII), Tambunan (Parkindo), Ali Sastroamidjojo (PNI), D.S Diapari (SKI), Djodi Gondokusumo (PRN), Sukarni dan Adam Malik (Murba). Dalam hal ini, Siauw bisa dikatakan telah masuk ke dalam kelompok elite politik Indonesia, sebuah kelompok di mana para keluarganya saling mengenal dan sering saling mengunjungi. Pada waktu itu (tahun 50-an) hubungan pribadi ternyata lebih penting daripada disiplin partai-partai politik. Banyak hubungan kerja dan perjanjian politik dicapai melulu berdasarkan hubungan pribadi yang baik, lepas dari garis politik yang dimilikinya. Pada tahun 1950-an, Siauw mungkin merupakan satu-satunya politikus peranakan yang mempunyai hubungan dengan tokoh nasional sebanyak dan seluas itu. Tan Ling Djie yang tinggal di rumah Siauw, masih diliputi stigma peristiwa Madiun. Oleh karenanya secara politis cukup terisolasi39. Tjoa Sik Ien setelah dibebaskan dari penjara Wirogunan di Yogyakarta kembali ke 37 38 39 Pada tahun 1950-an, biasanya hanya orang-orang berpartai yang mendapat jatah keliling keluar negeri. Siauw, Lima Jaman, p 302; Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Sidik Kertapati , Desember 1988 walaupun ia tinggal di rumah Siauw, tetapi ia jarang mengikuti acara-acara sosial Siauw 154 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Surabaya dan tidak aktif dalam kegiatan politik. Liem Koen Hian juga sejak kemerdekaan 45 tidak pernah menonjol dalam gerakan politik. Walaupun mengenal banyak tokoh nasional, tetapi ia tidak lagi berada dalam kelompok elite politik Jakarta. Tan Po Goan dari PSI dan Yap Tjwan Bing dari PNI memang menjadi anggota-anggota parlemen. Tetapi mereka terlihat lebih banyak berhubungan dengan para tokoh dari partainya masing-masing. Kedua-duanya juga selain anggota parlemen adalah pengusaha. Tan di bidang bus sedangkan Yap memiliki apotek di Bandung. Menganalisa aliran politik Siauw dan paham politik yang dianutnya pada periode ini tidak mudah. Dalam berbagai tulisan dan pidatonya, Siauw tetap mencanangkan Marxisme dan ia jelas kagum dengan kemajuan yang dicapai oleh Soviet Uni dan RRT. Jalan keluar ekonomi yang ia sering ajukan bersandar pada pelaksanaan pembangunan ekonomi negara-negara sosialis. Dalam hal ini, ia menentang adanya monopoli-monopoli yang berada di tangan perusahaan-perusahaan asing raksasa dan menginginkan dilaksanakannya pasal 33 UUD secara tuntas. Tuntutan politiknya adalah menjamin adanya kemakmuran di kalangan masyarakat miskin dan mengurangi pengaruh perusahaan-perusahaan raksasa milik swasta, terutama asing. Walaupun ia jarang menggunakan kata-kata Marx atau Lenin dalam tulisan-tulisan dan pidatopidatonya, ia jelas mendukung paham-paham yang bisa digunakan untuk mempercepat proses menjadikan Indonesia negara sosialis. Dalam hal ini, Siauw terlihat memang seirama dengan para tokoh Murba pada waktu itu. Ia jelas lebih nasionalistis dan sosialistis daripada komunistis. Bagi Siauw, salah satu syarat bisa diwujudkannya kemakmuran adalah adanya Sistem yang demokratis. Oleh karenanya ia dengan gigih menentang Sistem yang bersifat diktatorial. Juga penting baginya menghilangkan sikap-sikap yang tidak demokratis dalam Sistem pemerintahan, dimulai dari persepsi bahwa pemerintah itu lebih berkuasa dan penting dari rakyat. Oleh karenanya, ia pernah mengusulkan dalam DPR agar istilah “pemerintah” diubah menjadi 155 Siauw Giok Tjhan “Abdi Rakyat”. “Pemerintah”, baginya memberi konotasi bahwa ia adalah majikan sang rakyat. Siauw menentang landasan politik yang dicanangkan oleh PSI yang cenderung menggunakan Sistem-sitim yang ada di negara-negara barat sebagai model dan solusi yang harus dianut oleh Indonesia. Akan tetapi, Siauw tetap dekat dengan Djohan Sjahroezah dan Tan Po Goan di parlemen. Dengan Djohan, ia sering terlihat berdiskusi dan bertukar pikiran. Jalan pikiran dari kedua orang ini tampak mempunyai banyak persamaan, tetapi Djohan terbatas akan disiplin partainya. Dengan Tan, Siauw tidak banyak mempunyai persamaan pandangan, tetapi mereka berdua tetap menjadi sahabat kental. Dengan Masjumi yang mempunyai sikap anti komunis, anti sosialis, Siauw terlihat mempunyai banyak perbedaan pendapat. Dalam banyak perdebatan di parlemen, Siauw jelas menentang garis politik yang dianut oleh Masjumi. Hubungan dengan para tokohnya juga tidak pernah dekat, walaupun tidak pernah terlihat adanya “hostilities”. Kalau dengan Masjumi Siauw terlihat susah bekerja sama, ia ternyata bisa mempunyai hubungan yang baik dengan banyak tokoh NU, terutama dengan ketuanya, Zainul Arifin. Banyak pandangan Siauw didukung oleh tokoh-tokoh NU dalam berbagai perdebatan. Demikian juga hubungannya dengan pimpinan Parkindo (Tambunan) dan Partai Katolik (I.J Kasimo). Walaupun pandangan politiknya sering berbeda, tetapi dalam banyak hal, Siauw sering mendapat dukungan dari mereka di Parlemen. Karena sikap Siauw yang demikian “flexible” dan kepribadiannya yang ramah tamah, ia praktis tidak memiliki musuh pribadi. Walaupun Siauw merasa dirinya sebagai seorang politikus berhaluan kiri, ia tidak pernah merasa kikuk bergaul dengan banyak tokoh yang berhaluan kanan dan yang sering bertentangan pendapat dengannya. Kepribadian inilah yang menyebabkannya berhasil mencapai banyak tujuan politiknya di parlemen. 156 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Sebagai politikus, Siauw bergerak bagaikan seorang “free agent”. Ia lebih bersedia bekerja sama dengan orang-orang yang menghormati pandangan politiknya dan bisa menerima argumentasiargumentasi yang ia ajukan, tanpa memperdulikan latar belakang politiknya. Siauw juga seorang politikus yang kelihatannya tidak senang diikat dengan berbagai peraturan dan disiplin, apalagi kalau ikatan atau batasan itu pada akhirnya mencelakakan tujuan politiknya. Ia sering menyatakan bahwa kepentingan partai-partai politik sering berbeda bahkan berlawanan dengan kepentingan golongan minoritas. Dalam konteks ini, bilamana ada partai yang ia rasa akan mengganggu posisi golongan yang ia wakili, ia senantiasa siap untuk menentangnya. Inilah yang menyebabkan ia tidak lagi bersedia untuk masuk ke dalam partai-partai politik, walaupun Sartono dikatakan pernah menghimbaunya untuk masuk PNI40. Fraksi Nasional Progresif Perkembangan dan komposisi politik di tahun 1950-an sangat kompleks. Seperti yang dituturkan sebelumnya, banyak diskusi dan persetujuan politik diadakan antara beberapa tokoh politik dari berbagai partai berdasarkan hubungan pribadi dan ambisiambisi pribadi ketimbang ideologi politik dari partai-partai yang dipimpinnya. Sampai dimana keberhasilan tokoh politik dalam mencapai tujuannya di dalam zaman demokrasi berparlementer itu sering tergantung dari berapa besar dukungan terhadap kepribadian dan kemampuannya dalam mengembalikan suara itu dengan berbagai macam perlayanan, baik yang bersifat politik maupun komersial. Pada waktu itu, disiplin partai-partai politik lemah. Hanya PKIlah yang mungkin memiliki sebuah disiplin yang diikuti dengan tertib oleh para anggotanya yang duduk di parlemen. Anggotaanggota dari partai-partai politik lainnya, terutama partai-partai 40 Wawancara dengan Tan Hwie Kiat dan Oei Tjoe Tat, Desem- ber 1991 157 Siauw Giok Tjhan kecil, sering menghianati tujuan dan garis partai-partainya, untuk kepentingan pribadinya. Pada umumnya politikus dan partai-partai politik saling bertentangan bukan karena perbedaan ideologi politik, melainkan karena adanya pengelompokan. Bila seorang berada dalam kelompok tertentu dan kelompok itu adalah pihak oposisi, orang itu dengan sendirinya menjadi musuhnya. Pada masa demokrasi berparlementer, ada dua kelompok politik besar yang saling bertentangan. Kelompok pertama didominasi oleh PNI dan Masjumi, didukung oleh PSI dan beberapa partai kecil lainnya, seperti Parkindo dan Partai Katolik. Kelompok lainnya terdiri dari partai-partai nasionalis kecil, Murba dan dibelakangnya, PKI. Terkadang, NU berada juga dalam barisan ini. Di dalam parlemen baru setelah DPR -RI dibentuk pada tahun 1950, Siauw tadinya terdaftar sebagai anggota fraksi SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia). Fraksi ini dipimpin oleh DS Diapari, seorang dokter yang berasal dari Batak. Tokoh-tokoh SKI memang orang-orang Batak. Sebenarnya SKI adalah sebuah partai politik. Tetapi pada waktu itu, seorang yang tidak berpartai seperti Siauw Giok Tjhan, bisa menjadi anggota fraksi partai politik tanpa menjadi anggota partai itu. Keputusan Siauw untuk bergabung dengan SKI berdasarkan sikap para pemimpinnya. Sebagai orang-orang Batak, para pemimpin SKI menganggap mereka-pun mengalami diskriminasi, karena bukan berasal dari golongan mayoritas. Dengan demikian, mereka sering kali membela posisi Siauw di dalam parlemen dalam melawan peraturan-peraturan yang mendiskriminasikan golongan Tionghoa. Partai SKI didirikan di Banjarmasin pada bulan Januari 1946 oleh D.S Diapari, A. Sinaga dan A. Rivai. Ketiga-tiganya adalah keturunan Batak yang kebetulan berada di Banjarmasin pada waktu yang bersamaan. Seperti banyak partai politik yang berdiri pada zaman itu, SKI tidak mempunyai haluan atau ideologi politik yang jelas. Para pemimpinnya berpendidikan Belanda nasionalistis dan 158 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif mempunyai pandangan politik yang serupa dengan Murba. Diapari yang menjadi ketuanya adalah seorang dokter. Setelah Diapari pindah ke Jakarta dalam rangka tugas parlemennya, Ferdinand Lumban Tobing, yang juga seorang dokter, turut memperkuat barisan SKI di parlemen. Pada awal 1951, Siauw mengambil inisiatif untuk mengumpulkan para wakil partai-partai nasionalis kecil yang ada di parlemen untuk mendirikan sebuah fraksi yang mempunyai sebuah kekuatan yang berarti dalam menghadapi partai-partai besar, Masjumi dan PNI. Akhirnya dibentuklah sebuah fraksi yang dinamakan Fraksi nasional Progresif yang terdiri dari SKI, Murba, Fraksi Persatuan Progresif, PRN (Partai Rakyat Nasional), PIR (Partai Indonesia Raya) Front Buruh, Golongan Tani, Fraksi Kedaulatan Rakyat, Persatuan Marhaen Indonesia dan beberapa anggota tidak berpartai seperti Mohamad Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri. Jadi fraksi baru ini lebih banyak merupakan sebuah koalisi beberapa partai dan fraksi yang sudah berdiri. Karena Siauw yang mengambil inisiatif dan bisa diterima oleh semua pihak, Siauw-lah yang diangkat menjadi ketua fraksi baru ini. Yang menarik adalah sebagian besar dari anggota fraksi ini adalah orang-orang yang berasal dari luar Pulau Jawa. Dasar persatuannya adalah nasionalisme dengan kecenderungan ke arah sosialisme41. Dipilihnya Siauw sebagai ketua fraksi merupakan sebuah hal yang menarik. Ke-Tionghoa-an Siauw tidak dimasalahkan. Yang diutamakan adalah kemampuannya sebagai pemimpin yang mahir dalam mencapai kesatuan berbagai pendapat yang berbeda. Siauw diterima para tokoh politik yang bernaung di dalam fraksi ini sebagai tokoh politik yang penuh dengan komitmen untuk Indonesia secara keseluruhan, walaupun kehadirannya di parlemen sebagai wakil golongan minoritas. Partai yang terbesar dan yang paling konservatif dalam fraksi ini adalah PIR yang dipimpin oleh Wongsonegoro. Oleh banyak orang, 41 Wawancara dengan Sidik Kertapati, Januari 1989 159 Siauw Giok Tjhan partai ini dianggap partai dari orang-orang Ningrat yang didukung oleh Pamong Praja di dalam dan luar Pulau Jawa42. Partai ini mempunyai 20 wakil dalam parlemen dan salah satu diantaranya adalah seorang peranakan Tionghoa, Tio Kiang Sun yang berasal dari Kalimantan Barat. PRN (Partai Rakyat Nasional) yang dipimpin oleh Djody Gondokusumo mempunyai 9 anggota di dalam DPR. Para pemimpin partai ini tadinya berasal dari PNI dan meninggalkan PNI sebagai protes terhadap Sidik Djojosukarto yang ditentangnya dan yang berhasil mendapat dukungan besar dalam PNI untuk menjadi ketuanya pada akhir tahun 1950. Walaupun menentang PNI, mereka tetap mendasarkan program partainya atas nasionalisme dan secara garis besar, program kerjanya searah dengan PNI. Oleh banyak orang, para pemimpin PRN dikategorikan sebagai orangorang burjuis yang berhaluan politik kanan. Djodi Gondokusumo sempat menghebohkan masyarakat, karena terbukti korupsi pada akhir masa kejayaannya sebagai menteri kehakiman pada tahun 1956. Siauw sangat dekat dengan Djody yang selalu menganggapnya sebagai teman baiknya. Partai yang paling berpengaruh dalam fraksi Nasional Progresif ini adalah partai Murba, yang dipimpin oleh Sukarni. Partai ini tumbuh pada zaman beradanya Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Partai ini secara resmi didirikan pada tanggal 7 November 1948 oleh pengikut-pengikut setia Tan Malaka. Tujuan utamanya adalah mencapai Indonesia Merdeka 100%, dengan pengertian terbentuknya negara Indonesia yang berlandaskan sosialisme. Karena arah politiknya berlandaskan kepemimpinan Tan Malaka yang pernah didukung oleh banyak pejuang nasionalis berkaliber tinggi, seperti Mohamad Yamin, Iwa Kusumasumantri dan Jendral Sudirman, cukup banyak nasionalis yang berkiblat ke Murba. Jumlah anggotanya di DPR hanya 4 orang, 42 Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, pp 143-144 160 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif tetapi banyak tokoh partai lain mengidentifikasikan dirinya sebagai pendukung Partai Murba (Partai “wong cilik”). Siauw sendiri sangat dekat dengan para pemimpin Murba, diantaranya Sukarni, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna. Disamping partai-partai tersebut di atas ada juga partai-partai kecil yang tidak terlalu aktif di dalam DPR tetapi mempunyai jumlah suara yang dapat menentukan perimbangan kekuatan politik. Ada juga tokoh-tokoh yang tidak berpartai seperti Mohamad Yamin. Ia adalah tokoh yang disegani di dalam kancah politik Indonesia. Seperti Siauw, ia juga tidak mau terikat dengan disiplin partai politik dan memilih untuk tetap tidak berpartai. Untuk orang-orang Masjumi dan PSI, Yamin dianggap sebagai orang kiri, karena memang visi politiknya serupa dengan aliran politik yang dianut oleh Murba. Ia dekat sekali dengan Siauw dan sering terlihat berada di tempat yang sama di gedung parlemen. Ia juga sering mengunjungi rumah Siauw untuk berbincang-bincang mengenai masalah politik. Hobby-nya dengan Siauw serupa, yaitu senang mengumpulkan dan membaca buku. Mereka saling tukar menukar buku43. Dukungan Yamin terhadap Siauw oleh banyak orang dianggap luar biasa. Ia pernah mengecam partai-partai yang bersikap anti Tionghoa di parlemen. Dalam salah satu pidatonya, ia pernah menyatakan dukungan penuhnya terhadap apa yang Siauw perdebatkan. Ia berkata:”...kalau saudara Siauw dianggap sebagai Hoakiao, maka saya harus disebut Minangkiao. Saya sepenuhnya mendukung apa yang diperjuangkan oleh saudara Siauw...”44. Dalam salah satu pertemuan antara Yamin dan Oei Tjoe Tat di tempat kediaman Siauw pada tahun 1950-an, Yamin menyatakan pada Oei:”...Siauw itu orangnya aneh. Sayangnya, Ia bukan asli Indonesia. Seandainya pandangan kita sudah lebih maju, pastilah Siauw sudah 43 44 Kekaguman Siauw terhadap Yamin ditunjukkan dalam buku Lima Jaman, p 299 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan di Penjara RTM, 1970 161 Siauw Giok Tjhan menjabat perdana menteri berkali-kali...”45. Kemahiran Siauw dalam memimpin sebuah organisasi yang beraneka ragam anggotanya tampak dalam zaman demokrasi berparlementer ini. Fraksi Nasional Progresif bisa dikatakan fraksi gado-gado. Aliran politik yang terkandung di dalamnya bercampur aduk. Para anggotanya juga orang-orang berbobot yang dikenal susah untuk diatur diantaranya Yamin, Iwa Kusumasumantri, Djody Gondokusumo dan F.L Tobing. Akan tetapi Siauw teringat bahwa setiap resolusi fraksinya selalu mendapat dukungan bulat dari para anggotanya dan perbedaan-perbedaan pendapat selalu bisa diatasinya dengan baik46. Banyak anggotanya memainkan peranan penting dalam berbagai panitia parlemen dan kabinet. Walaupun sebagian besar anggota fraksi ini adalah orang-orang yang bergelar, banyak yang lulus di negeri Belanda, tetapi mereka lebih cenderung pada gerakan politik yang berdasarkan program-program yang bisa diterima oleh orang banyak. Inilah yang mungkin menyebabkan mereka bisa menerima Siauw, seorang peranakan Tionghoa, yang tidak bergelar, sebagai ketua fraksi tersebut. Karena karakter fraksi ini lebih condong ke kiri, para anggotanya, kecuali dari PRN, tidak begitu cocok dengan kabinet-kabinet Natsir (September 1950 - April 1951) yang didominasi oleh orangorang Masjumi dan PSI. Juga oleh Sukiman, mereka tidak diikut sertakan dalam kabinetnya (April 1951 - Februari 1952). Dengan demikian, Fraksi Nasional Progresif dalam masa beberapa kabinet yang bersilih ganti ini, berada di dalam pihak oposisi sampai dibentuknya kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, yang mengubah haluan politik pemerintah Indonesia. Setelah Pemilihan Umum 1955, komposisi Fraksi Nasional Progresif berubah. Ia lebih kekiri dan elemen-elemen kanannya, 45 46 Oei Tjoe Tat, Memoar, p. 84 Wawancara dengan Sidik Kertapati; Siauw, Lima Jaman, p 241 162 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif yang diwakili oleh tokoh-tokoh PIR dan PRN, menghilang. Partindo dan Acoma (Angkatan Komunis Muda) masuk ke dalam fraksi Nasional Progresif. Siauw tetap diangkat sebagai ketuanya. Posisi Siauw sebagai ketua fraksi ini memperluas ruang lingkup perjuangannya dan sekaligus pengalaman politiknya. Kewibawaan politiknya baik di dalam maupun di luar DPR-pun meningkat. Dengan semakin giatnya dan efektifnya Siauw menentang peraturanperaturan serta Undang-Undang yang bersifat rasis, semakin mudah masyarakat Tionghoa di Indonesia menganggapnya sebagai pelindung dan pembela golongannya. Akan tetapi sampai saat ini, Siauw tetap tidak mempunyai massa sendiri. Ia tetap “terpisah” dari masyarakat yang ia bela dan wakili. Razia Sukiman Jatuhnya kabinet Natsir pada bulan April 1951 menimbulkan harapan kalangan PNI dan juga partai-partai nasionalis kecil dan Murba (yang berada dalam naungan Fraksi Nasional Progresif) bahwa mereka akan mempunyai banyak peluang untuk berpartisipasi dalam kabinet yang akan menggantikan kabinet Natsir. Akan tetapi, kelompok ini ternyata gagal membentuk kabinet. Pada akhirnya, kabinet Sukiman yang lagi-lagi didominasi oleh Masjumi dan PSI-lah yang menggantikannya. Garis politik yang dianut oleh Sukiman ternyata lebih tidak menguntungkan posisi kelompok oposisi. Karena pemerintah menghadapi kekacauan ekonomi yang kian parah keadaannya, Sukiman membawa kabinetnya ke arah yang bersifat anti komunis supaya bisa meyakinkan Amerika Serikat untuk lebih bermurah hati dalam membantunya. Disamping bantuan ekonomi, Sukimanpun mengharap Amerika Serikat akan membantu pemerintahannya untuk menekan Belanda untuk mempercepat penyelesaian masalah Irian Barat. Menjelang tahun 1951, prestasi RRT kian meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat menjadi lebih giat dalam 163 Siauw Giok Tjhan melaksanakan apa yang dinamakan the China Containment Policy. Perang Korea yang dimulai pada bulan Juni 1950 memberi sarana militer ke pada Amerika Serikat untuk memperluas kehadiran kekuatan militernya di kawasan Asia. Polarisasi politik antara yang pro komunis dan anti komunis semakin tajam di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Pemerintah RRT di Indonesia ternyata berhasil memobilisasi dukungan yang luas dari masyarakat Tionghoa totok. Seperti yang dituturkan sebelumnya, jumlah Tionghoa totok yang mendukung RRT pada tahun 1950-an jauh lebih tinggi dari mereka yang mendukung Taiwan. Kelompok yang kedua ini semakin kecil dan terpojok posisinya di Indonesia. Disamping itu, program yang dilaksanakan oleh kelompok Aidit setelah menggantikan Tan Ling Djie dan Alimin dari tampuk pimpinan, terlihat membawa hasil-hasil positif bagi PKI. Jumlah anggotanya meningkat secara dramatis dan dukungan massa di daerah-daerah untuk PKI kian meningkat. Disamping itu, antara bulan Juni dan Agustus 1951, sering terjadi pemogokan buruh-buruh dan demonstrasi-demonstrasi massa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Gerakan massa ini tentunya dihubungkan dengan kegiatan PKI. Walaupun PKI menyatakan tidak terlibat dalam mengorganisasi pemogokan-pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi yang menimbulkan kekacauan politik ini, Sukiman terlihat yakin bahwa PKI-lah yang bermain di belakang layar. Untuk menunjukkan sikap anti komunis-nya kepada dunia luar, Sukiman mengambil keputusan untuk menahan para pimpinan PKI dan pendukungnya pada bulan Agustus 1951. Banyak orang Tionghoa yang menjadi anggota berbagai organisasi yang berkiblat ke RRT juga ditahan. Jumlah orang yang ditahan di kota-kota besar dalam gebrakan yang dikenal sebagai Razia Bulan Agustus Sukiman ini adalah 15.00047. 47 Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, p 189 164 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Diantara orang-orang yang ditahan secara mendadak ini, terdapat 16 anggota DPR. Sebagian besar dari mereka adalah anggota-anggota yang mewakili PKI, kelompok Buruh dan Tani. sebelum mereka ditahan, daftarnya diserahkan pada Sartono yang tidak berdaya untuk mencegahya. Siauw Giok Tjhan yang juga ditahan pada tanggal 16 Agustus 1951 itu, ternyata tidak berada dalam daftar anggota DPR yang harus ditahan. Pada waktu istri Siauw pergi menemui Sartono, ia terkejut mengetahui bahwa Siauw ditahan juga. Siauw belakangan mengetahui bahwa namanya dicantumkan dalam daftar yang disiapkan oleh para aktivis Kuo Min Tang, yang memang aktif dalam membantu pemerintah Sukiman dalam menyiapkan daftar orangorang Tionghoa yang harus ditahan. Selain Siauw, Liem Koen Hian dan Ang Jan Goan, direktur Sin Po juga ditahan karena daftar Kuo Min Tang tersebut. Di Jakarta, sebagian besar para tahanan ditahan di Penjara Cipinang48. Akan tetapi, cara penangkapan yang dilakukan tidak efisien. Beberapa tokoh penting malah lolos dan gagal untuk ditahan. DN Aidit tidak tertangkap. Yang ditangkap malah ayahnya, Abdullah Aidit, yang pada waktu itu menjadi anggota DPR mewakili Masjumi. Lukman juga tidak tertangkap. Demikian juga dengan Njoto, yang pada waktu itu tinggal di kantor Harian Rakyat, berhasil lolos. Tan Ling Djie yang tidak berada dalam daftar, tidak beruntung, karena ia tinggal di rumah Siauw, ia turut ditangkap dengan Siauw. Tindakan Sukiman ditentang habis-habisan di parlemen. Kecaman terhadap tindakannya ini justru datang dari Tan Po Goan dari PSI dan Tambunan dari Parkindo. Mereka didukung oleh Iwa Kusumasumantri dan Yamin. Pidato-pidato mereka menyinggung masalah ditahannya Siauw Giok Tjhan dan menuntut agar semua yang ditahan segera dibebaskan. Akan tetapi Sukiman berhasil mengumpulkan suara di parlemen untuk mendukung tindakannya. Mosi Tan Po Goan dikalahkan. Ini berarti PKI dijadikan partai yang harus bergerak di bawah tanah semasa kabinet Sukiman yang 48 Siauw, Lima Jaman, p 168 165 Siauw Giok Tjhan berakhir pada bulan Februari 1952. Kalau masa tahanan di Wirogunan dan Ambarawa di tahun 1948-1949 menyebabkan Siauw menjadi dekat dengan banyak tokoh nasionalis, baik yang berasal dari partai-partai Islam maupun partai-partai nasionalis, masa tahanan di Cipinang membawanya ke dunia kiri kelompok totok. Di penjara Cipinang, Siauw memperkuat hubungannya dengan banyak aktivis totok yang nantinya akan lebih banyak membantu usaha-usaha politiknya. Tindakan Sukiman dalam memenjarakan begitu banyaknya penduduk Tionghoa totok membawa dampak yang negatif bagi usaha Siauw. Mereka yang ditahan semakin yakin bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa dipercaya dan tidak bisa didukung. Sebagai akibat dari penahanan masal ini, jumlah orang Tionghoa yang menolak kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember 1951 sangat tinggi -- diperkirakan melebihi 300.000 orang. Salah satu akibat tragis penahanan masal ini adalah keputusan Liem Koen Hian untuk menolak kewarga negaraan Indonesianya dari penjara. Liem merasa kecewa ditahan oleh pemerintah Indonesia. Ia menjadi lebih kecewa lagi ketika ia mengirim anaknya untuk menemui Achmad Subardjo, yang pada waktu itu menjadi Menteri Luar negeri, anaknya tidak ditemui dengan baik. Subardjo pernah menjadi kawan baik Liem Koen Hian dan pada waktu ia di Jepang pada tahun 40-an, Liem Koen Hian-lah yang mengongkosi hidupnya. Siauw mencoba meyakinkan Liem untuk tidak emosionil dan mengingatkannya bahwa tindakannya itu bisa merusak apa yang ia telah rintis berpuluhan tahun. Dengan air mata berlinang, Liem menyatakan bahwa ia selalu lolos dari penangkapan penjajah, tetapi malah meringkuk di penjara oleh pemerintah RI yang ia selamanya dukung. Baginya, Indonesia bukanlah tanah airnya lagi. Siauw gagal meyakinkannya. Jadilah Liem Koen Hian, yang sering dianggap sebagai bapak politik meng”Indonesiakan” masyarakat Tionghoa, seorang warga negara asing49. Masa penahanan Siauw terpotong pendek karena penyakit 49 Wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, Penjara RTM. 1970 166 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif matanya yang memerlukan operasi. Atas bantuan Sartono, ia diizinkan meninggalkan tahanan untuk dioperasi. Begitu pulang dari operasi matanya pada awal bulan Januari 1952, ia tidak kembali ke tahanan, melainkan segera pergi ke gedung DPR untuk bekerja. Sukiman yang ia temui di depan kantor DPR, ternyata minta maaf atas ditahannya Siauw dan menyatakan bahwa ia bisa bebas pada waktu itu juga50. Dengan jatuhnya Sukiman pada bulan Februari 1952 dan dibentuknya kabinet Wilopo pada bulan April 1952, semua tahanan politik dibebaskan. Kabinet Wilopo ini memberi kemungkinan bagi PKI untuk keluar kembali sebagai partai politik sah dan memulai kegiatan-kegiatan politiknya di atas permukaan. Pengalaman-pengalaman yang Siauw peroleh dalam periode ini membuat Siauw lebih dikenal dalam masyarakat Indonesia, terutama oleh masayarakat Tionghoa-nya. Kegiatannya dalam berbagai penerbitan surat kabar yang bersifat nasional telah banyak membantu usahanya dalam menjembatani golongan Tionghoa dan masyarakat Indonesia luas. Berhasilnya Siauw dalam membentuk Fraksi Nasional Progresif dan menjadi ketuanya mengkonsolidasi posisi Siauw sebagai seorang politikus berkaliber nasional. Dengan demikian, Siauw tampil sebagai satu-satunya calon ketua organisasi massa Tionghoa yang ingin didirikan di Jakarta pada tahun 1954, karena ia jelas mempunyai pengaruh dalam masyarakat pers, di dalam parlemen dan masyarakat Tionghoa, baik totok maupun peranakan. Dalam zaman ini, pengertian Siauw tentang pembangunan ekonomi nasional, sebagai bagian dari proses Nation Building terkonsolidasi. Pada waktu yang bersamaan, arus anti-Tionghoa yang bersandar atas politik ”asli” bangkit dan dikembangkan oleh para politikus yang berkepentingan. Upaya Siauw untuk melawannya di DPR memperoleh banyak dukungan para anggota parlemen yang dekat dengannya. Celakanya, 50 Ibid. 167 Siauw Giok Tjhan keberhasilan Siauw dalam mengurangi dampak arus Tionghoa ini, mendorong para politikus berpengaruh untuk menggunakan dalih pembangunan ekonomi nasional dengan meng-asing-kan sebanyak mungkin orang Tionghoa yang berdagang. Pasalnya, bilamana para pedagang Tionghoa ini menjadi warga negara asing, berdasarkan berbagai peraturan yang melarang orang asing untuk memperoleh berbagai macam lisensi dagang, mereka tidak lagi bisa ber-operasi. Ini, menurut banyak politikus, membuka kesempatan untuk para pedagang “asli” mengambil alih posisi dagang mereka. Hal ini akan dibicarakan di lain bagian. 168 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Siauw dengan Sartono dan rombongan DPR -1957 Sunito, Siauw dan Sartono di Vietnam Utara, 1958 169 Siauw Giok Tjhan Sartono dan Siauw dalam perjalanan ke Luar Negeri, 1956 Dengan seorang menteri negara Vietnam Utara - Hanoi, 1958 170 Jurnalistik, DPR dan Fraksi Nasional Progresif Dengan Sartono, Tambunan dan Chou En Lai, Beijing - 1956 171 Siauw Giok Tjhan BAB 6 LAHIRNYA BAPERKI Lahirnya BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954 dan terpilihnya Siauw sebagai Ketua Umumnya merupakan lembaran baru dalam sejarah perjuangan Siauw Giok Tjhan. Sebelum itu, kegiatan Siauw terbatas pada keaktifannya di Parlemen dan dunia pers. Sebagai pemimpin sebuah organisasi suara Siauw di parlemen dan media secara langsung merupakan suara organisasi yang dipimpinnya. Pada waktu yang bersamaan, ia mempunyai sarana untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasan dan pandanganpandangan politiknya. Ia pun dapat memobilisasi organisasinya untuk melaksanakan program-program politiknya. Perkembangan Politik setelah Juli 1953 Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dibentuk pada bulan Juli 1953, mengakhiri sebuah masa ketidak pastian di mana 3 kabinet bersilih ganti dalam waktu-waktu yang singkat-- masa hidupnya kurang dari setahun. Kabinet Ali yang didominasi oleh orang-orang PNI, PIR dan NU ini bertahan selama dua tahun. Jadi merupakan kabinet yang masa hidupnya terpanjang setelah kemerdekaan dicapai pada tahun 1945. Selain menjadi kabinet yang umurnya terpanjang, ia juga telah membuahkan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam kancah politik Indonesia. Sebagian dari perubahanperubahan ini langsung berdampak atas komunitas Tionghoa. Keadaan inilah yang mendorong Siauw untuk lebih meningkatkan kegiatannya dalam kancah politik dalam membela golongan Tionghoa dan melawan arus rasisme. Kabinet Ali juga merupakan kabinet yang pertama sejak kabinet 172 Lahirnya Baperki Hatta yang tidak menurut sertakan Masjumi dan PSI di dalamnya. Walaupun hal ini tidak terjadi karena tekanan atau usaha PKI, komposisi kabinet ini merupakan sebuah tanda akan adanya keberhasilan kelompok kiri dalam memojokkan kelompok kanan1. Orientasi politik kabinet ini dan juga para menteri yang duduk di dalamnya dianggap lebih bisa diterima oleh para politikus kiri. Walalupun di dalam kabinet ini tidak ada anggota-anggota PKI, tetapi dua menteri di dalamnya dapat dikatakan pendukung PKI, Sadjarwo dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Iwa Kusumasumantri dari Fraksi Nasional Progressive. Semasa kabinet Ali, stigma peristiwa Madiun jauh berkurang dan PKI mulai bisa secara terbuka menyebar-luaskan ideologi politiknya di berbagai pelosok Indonesia. Dengan bekerja sama dengan BTI, pengaruh PKI di daerah perdesaan juga kian meningkat. Jumlah anggota PKI meningkat pesat dalam masa kabinet Ali, dari 165.200 ke 500.0002. Dengan demikian, menjelang akhir masa kabinet Ali pada tahun 1955, PKI telah tumbuh menjadi salah satu partai politik yang besar. Karena garis politik dan cara bekerjanya, dukungan partai-partai politik yang tadinya berada di pihak oposisi meningkat. Inilah yang menyebabkan Kabinet Ali berhasil meng-goalkan banyak undangundang di parlemen. Banyak undang-undang yang macet di masa kabinet-kabinet sebelumnya, bisa disahkan oleh Kabinet Ali ini3. Kabinet Ali banyak mengubah politik luar negeri yang dianut oleh kabinet-kabinet sebelumnya. Kabinet-kabinet sebelumnya jelas menunjukkan sikap anti komunisme dan cenderung mendukung hampir semua kebijakan Amerika Serikat. Ali yang pernah menjadi seorang diplomat memberi prioritas tinggi untuk 1 2 3 Untuk daftar lengkap kabinet Ali, lihat Feith: The Decline of Constitutional Democracy, pp 330-339 dan Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, pp 228-237 Ibid. p 407 Ibid. p 412 173 Siauw Giok Tjhan kebijakan-kebijakan politik luar negeri kabinetnya. Ia ternyata berani menolak sikap Amerika Serikat dalam memusuhi RRT, bahkan bertekad untuk membangun hubungan yang baik dengan RRT. Dalam garis besarnya, Ali ingin membawa Indonesia ke posisi netral di mana ia berhubungan baik dengan negara-negara Komunis maupun negara-negara kapitalis. Di bawah pimpinan Ali, perjanjian perdagangan antar RI dan RRT ditanda tangani pada bulan Desember 1953 dan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut sampai tahun 1955. Ketika Konperensi Asia Afrika pertama diadakan di Bandung pada tahun 1955, Ali mendukung usul Nehru untuk mengundang Perdana Menteri Chou En Lai menghadiri konperensi ini. Juga, dalam masa kabinet Ali, beberapa tokoh Kuo Min Tang diusir keluar pada bulan Desember 1954 dan Februari 19554. Sikap pemerintah Ali terhadap RRT ini dengan sendirinya didukung oleh masyarakat totok yang berkiblat ke RRT. Sikap politik pemerintah yang demikian juga menyebabkan pengaruh golongan totok yang pro RRT menjadi lebih besar dan berhasil memojokkan pihak yang pro Taiwan. Perkembangan politik yang demikian mempermudah hubungan langsung antara pemerintah RRT dengan penduduk Tionghoa totok di Indonesia. Salah satu masalah yang banyak dibicarakan antara perwakilan pemerintah Tiongkok di Indonesia dengan penduduk totok adalah masalah kewarganegaraan. Ini merupakan sebuah masalah yang pelik. Undang-undang kewarganegaraan RRT mengakui setiap orang Tionghoa itu sebagai warga negaranya, kecuali bilamana ia menolak kewarga negaraan Tiongkok. Sedangkan undang-undang Indonesia menentukan setiap orang yang lahir di Indonesia dan tidak menolak kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember 1951 adalah warganegara Indonesia. Yang menjadi masalah, undang-undang Indonesia juga menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia tidak bisa 4 Ibid. p 389 174 Lahirnya Baperki memiliki kewarganegaraan negara lain. Selama belum ada persetujuan antara kedua negara tentang penyelesaiannya, semua orang Tionghoa yang berada di Indonesia yang tidak secara aktif menolak kewarganegaraan RRT dan kewarganegaraan RI, secara hukum, memiliki Dwi Kewarganegaraan -- kewarga-negaraan Tiongkok dan kewarga-negaraan Indonesia. Kemampuan RRT dalam membangun negaranya dan memperbesar pengaruhnya dalam dunia internasional telah membesarkan hati banyak orang Tionghoa di Indonesia, terutama penduduk totoknya. Keyakinan mereka mulai pulih bahwa RRT akan berkembang menjadi sebuah negara yang kuat yang bisa diandalkan oleh mereka. Banyak pedagang totok mulai terdorong untuk memulihkan angan-angannya, untuk pulang kembali ke Tiongkok pada hari tuanya, mengecapi keuntungan yang mereka peroleh dari usahanya di Indonesia. Sebagian besar penduduk totok masih dipengaruhi oleh trauma yang mereka alami dalam masa revolusi (1945-1949) dan masa pemerintahan Sukiman yang menahan banyak orang Tionghoa pada tahun 1951. Mereka tetap berpendapat bahwa menjadi warga negara Indonesia tidak menguntungkan posisi mereka. Mereka khawatir kalau mereka menjadi warga negara Indonesia, pemerintah Tiongkok tidak akan bisa membela kepentingan mereka lagi. Mereka-pun khawatir kalau sudah menjadi warga negara Indonesia, mereka tidak akan bisa menetap di RRT pada hari tuanya. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mendorong sebagian tokoh masyarakat totok mendesak pemerintah RRT untuk membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia agar sebagian besar penduduk Tionghoa totok di Indonesia pada akhirnya tetap menjadi warga negara Tiongkok5. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut di lain bagian. Penduduk Tionghoa juga merasa gembira melihat di dalam 5 Wawancara dengan Zhu Yi, Beijing, Oktober 1994 175 Siauw Giok Tjhan kabinet Ali terdapat dua menteri Tionghoa. Dr. Ong Eng Die, seorang akhli ekonomi PNI, duduk sebagai menteri keuangan. Dr. Lie Kiat Teng (juga dikenal sebagai Mohamad Ali), seorang dokter dari PSII, duduk sebagai menteri kesehatan. Sejak Siauw Giok Tjhan duduk sebagai menteri di dalam kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948), pengangkatan kedua menteri Tionghoa ini adalah yang pertama kalinya. Dekatnya pemerintahan Ali dengan RRT dan adanya dua menteri Tionghoa yang memegang peranan penting dalam pemerintahan menimbulkan harapan besar bahwa posisi golongan Tionghoa, baik dalam dunia perdagangan maupun politik akan lebih baik. Sebagai ketua Fraksi Nasional Progresif, Siauw-pun merasa gembira, karena di dalam kabinet Ali ini terdapat empat menteri penting dari fraksinya. Iwa Kusumasumantri duduk sebagai Menteri Pertahanan. Djody Gondokusumo duduk sebagai Menteri Kehakiman. Muhamad Yamin sebagai Menteri pendidikan dan Ferdinand Lumban Tobing sebagai Menteri Penerangan. Disamping itu, Siauw sangat dekat dengan Perdana Menteri Ali dan wakilnya, Zainul Arifin, dari NU. Juga dengan beberapa menteri lainnya, Aruji Kartawinata dan Sudibjo yang mewakili PSII6, hubungan intim yang terjalin sejak penjara Wirogunan di Yogyakarta. Tidaklah heran kalau Siauw-pun mempunyai harapan besar bahwa perjuangannya melawan rasisme dan usahanya untuk mempengaruhi parlemen dalam mengeluarkan berbagai macam undang-undang yang sesuai dengan pandangan politiknya, akan memperoleh hasil yang memuaskan pada masa kabinet Ali. Akan tetapi dugaan Siauw meleset. Justru dalam masa kabinet Ali yang haluan politiknya seirama dengan prinsip politiknya, ia harus menghadapi berbagai masalah pelik yang mengecewakannya. Di 6 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Tan Hwie Kiat, Desember, 1991. Ong Eng Die, seperti Siauw, pernah menjadi menteri dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada tahun 1947, sebagai menteri muda keuangan. Pada waktu itu Ong adalah anggota Partai Sosialis 176 Lahirnya Baperki dalam kabinet Ali ini ternyata ada beberapa menteri yang ingin mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang bertolak belakang dengan formulasi politik dan ekonomi Siauw dalam berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan formulasi pembangunan Nasion Indonesia. Masalah Kewarganegaraan Salah satu kebijakan politik kabinet Ali yang mengecewakan Siauw berhubungan langsung dengan masalah Kewarganegaraan. Menteri luar negeri Sunario, seorang tokoh PNI, menjelang akhir tahun 1953, mempelopori usaha pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan baru yang berdasarkan prinsip aktif. Undang-undang ini dengan sendirinya bertolak belakang dengan undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada tahun 1946, yang berdasarkan prinsip pasif. Untuk memperjelas implikasi undang-undang baru yang diprakarsai oleh Sunario, perlu dibahas bagaimana perkembangan undang-undang kewarganegaraan Indonesia sejak kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945. Pada tahun 1946, masalah kewarganegaraan Indonesia, terutama yang berhubungan dengan penduduk keturunan asing, diperdebatkan di dalam Badan Pekerja. Karena sebagian besar dari penduduk keturunan asing adalah orang Tionghoa, perdebatannya berfokus kepada golongan Tionghoa. Tan Ling Djie didukung oleh Siauw Giok Tjhan, seperti yang pernah dituturkan sebelumnya mendukung sistem pasif yang berdasarkan prinsip Jus Soli. Sistem ini menentukan bahwa semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan menetap di Indonesia adalah warga negara Indonesia, kecuali bilamana mereka menolak kewarganegaraan Indonesia. Tan dan Siauw berpendapat bahwa sebagian besar penduduk Tionghoa sudah bergenerasi menetap di Indonesia dan merupakan bagian penting dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menurut mereka, bilamana sebagian besar penduduk Tionghoa 177 Siauw Giok Tjhan menjadi warga negara Indonesia, mereka akan lebih bersedia mendukung pemerintah RI dalam menghadapi Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian besar anggota Partai Sosialis. Pihak yang menentang prinsip ini dipimpin oleh Sunario dan Lukman Hakim dari PNI. Mereka menganjurkan sistem Aktif. Berdasarkan sistem ini, setiap orang Tionghoa yang lahir di Indonesia harus secara aktif mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dan pada waktu bersamaan menyatakan bahwa ia tidak lagi ingin menjadi warga negara Tiongkok. Menurut Sunario, dengan menempuh jalan ini, hanya orang-orang yang setia dengan RI-lah yang menjadi warga negara Indonesia. Perdebatan ini, seperti yang dituturkan sebelumnya, diakhiri dengan keluarnya undang-undang kewarganegaraan tahun 1946 yang berdasarkan sistem Pasif. Setiap keturunan asing diberi waktu sampai tahun 1947 untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. Yang tidak menolak otomatis menjadi warga negara Indonesia. Waktu memilih ini diperpanjang hingga tahun 1949. Di dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan pada tahun 1949, perdebatan ini diulang lagi. Akan tetapi, kelompok yang mendukung sistem pasif lebih besar dan pada akhirnya perjanjian KMB itu juga mengesahkan UU kewarganegaraan yang bersandar pada sistem pasif. Waktu memilih diperpanjang hingga 27 Desember 1951. Seperti yang dituturkan sebelumnya, pada tanggal 27 Desember 1951, lebih dari 300 ribu orang Tionghoa ternyata menolak kewarganegaraan Indonesia. Sebagian besar dari yang menolak berasal dari golongan totok. Dengan demikian, sejak tanggal 27 Desember 1951, secara hukum, setiap orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan tidak menolak kewarganegaraan Indonesia adalah warga negara Indonesia. Demokrasi parlementer yang dianut oleh pemerintah RI pada tahun 50-an ternyata tidak berhasil menciptakan kestabilan politik. Keadaan ini menyebabkan bersarnya ketergantungan pemerintah 178 Lahirnya Baperki atas dukungan partai-partai politik dan para pemimpinnya. Partaipartai politik ini dengan sendirinya memerlukan dana untuk kegiatan politiknya. Dana ini mereka peroleh dari para pemimpin partai dan para pendukung politiknya. Usaha mendapatkan dana ini kemudian bermanifestasi dalam bentuk praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang berkuasa dalam mengeluarkan berbagai izin dagang dan kredit, memberikannya ke para kawan dan krabatnya. Keuntungan yang diperoleh kemudian dibagi, sebagian untuk kepentingan kegiatan partai politik yang didukungnya, sebagian untuk kepentingan mereka sendiri. Seringnya pergantian kabinet dan menteri menyebabkan jumlah tokoh yang berkepentingan dan para krabatnya menjadi besar. Timbullah sebuah kelas baru, kelas pedagang “asli” yang keberhasilannya tergantung atas kekuasaan yang bisa memberikan berbagai izin, fasilitas, kredit dan yang paling penting, perlindungan khusus, sehingga semua persaingan yang ada bisa dikurangi bahkan dilenyapkan. Di antara bidang usaha yang banyak menghasilkan keuntungan adalah export-import, transportasi, distribusi dan penggilingan beras. Bidang-bidang ini pada umumnya dikuasai oleh para pedagang Tionghoa, totok maupun peranakan, yang sudah melakukannya sejak zaman penjajahan Belanda. Timbullah keinginan para pedagang “asli” baru untuk mengambil alih semua usaha dagang yang menguntungkan ini dari tangan para pedagang Tionghoa. Mekanisme yang termudah bagi mereka adalah mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang melarang orang asing untuk berkecimpung dalam bidangbidang usaha tersebut. Selanjutnya, mendesak pemerintah untuk menjadikan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia warga negara asing. Penjelasan yang lebih mendetail mengenai implikasi dari strategi kaum pedagang “asli” baru ini akan dituturkan di bagian lain. Karena Kabinet Ali tergantung atas dukungan partai-partai politik, desakan para pemimpin partai dan para pendukungnya yang 179 Siauw Giok Tjhan berkecimpung atau ingin berkecimpung dalam beberapa sektor dagang tersebut di atas, telah mendorong Menteri Luar Negeri Sunario untuk mengeluarkan sebuah rancangan undang-undang kewarganegaraan baru yang selain membatalkan undang-undang kewarganegaraan 1946, juga membatalkan kewarganegaraan Indonesia yang seyogyanya dimiliki oleh setiap penduduk Tionghoa yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1951. Rancangan undang-undang ini dipersembahkan ke kabinet pada bulan Agustus 1953. Pasal-pasal yang terkandung di dalamnya antara lain: a. Hanya penduduk keturunan asing yang sudah menetap di Indonesia selama tiga generasi diizinkan mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia b. Yang memohon harus membuktikan bahwa orang tuanya lahir di Indonesia dan telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun berturut-turut. Bagi banyak orang Tionghoa, persyaratan semacam ini tidak mungkin dipenuhi. Sebagian besar penduduk Tionghoa tidak memiliki surat-surat bukti yang diperlukan. Banyak dari mereka yang tidak pernah mendaftarkan kelahiran, perkawinan dan kematiannya. Disamping itu kantor-kantor catatan sipil juga tidak memiliki sistem arsip yang baik. Lagi pula, banyak dokumentasi yang rusak atau hilang sebagai akibat perang dalam zaman pendudukan Jepang dan revolusi. Rancangan undang-undang ini mendapat tentangan keras dari masyarakat Tionghoa. Bilamana rancangan ini diterima sebagai undang-undang kewarganegaraan baru dan dilaksanakan, banyak sekali orang Tionghoa akan menjadi warga negara asing, bukan karena mereka mau menjadi asing, tetapi karena tidak memiliki bukti yang diinginakan untuk mempertahankan kewarganegaraan Indonesia-nya. Tokoh politik yang paling gigih menentang rancangan undang-undang ini adalah Siauw Giok Tjhan. Ia banyak berpidato di parlemen dan menulis berbagai karangan di berbagai 180 Lahirnya Baperki surat kabar untuk menentangnya. Menurut Siauw, rancangan undang-undang ini akan mementahkan apa yang secara hukum telah dilaksanakan dan disahkan oleh pemerintah RI. Kewarganegaraan seseorang tidak bisa begitu saja dibatalkan. pelaksanaannya juga akan membingungkan banyak orang akan siapa dan kapan seorang penduduk Indonesia itu menjadi warga negara Indonesia. Siauw menekankan bahwa tindakan semacam itu melanggar hukum internasional dan tidak boleh diterima oleh parlemen dan masyarakat Indonesia7. Kegigihan Siauw dalam menentang rancangan undang-undang ini dan dalam mendesak pemerintah untuk mencabut atau membatalkan berbagai peraturan ekonomi yang memojokkan posisi golongan Tionghoa, membuat Siauw menjadi lebih terkenal di kalangan komunitas Tionghoa. Pada waktu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) membentuk sebuah panitia untuk membahas implikasi rancangan undang-undang ini, mereka mengundang Siauw untuk memimpinnya. Juga pada waktu PDTI, yang merasakan dirinya sebagai organisasi yang tidak efektif, ingin mendirikan sebuah organisasi massa yang mampu melawan rasisme pada awal bulan Maret 1954, mereka juga mengundang Siauw untuk diangkat sebagai pemimpin barunya. Panitia yang dipimpin Siauw ini mengeluarkan berberapa pernyataan menentang Rancangan UU yang disinggung di atas. Atas bantuan para menteri yang menjadi anggota Fraksi Nasional Progresif dan kedua menteri Tionghoa di dalam Kabinet Ali, dan dukungan Perdana Menteri Ali sendiri, rancangan undang-undang kewarganegaraan ini dicabut oleh kabinet. Pencabutan dilakukan secara diam-diam. Sunario, untuk sementara harus menerima kekalahan ini. Akan tetapi, ia ternyata tidak menyerah begitu saja. Ia tetap menantikan kesempatan uang baik untuk meng-goal-kan sistem aktif yang sejak zaman revolusi ia perjuangkan. 7 Wilmott, National Status, p39 181 Siauw Giok Tjhan Yang menarik adalah hubungan pribadi antara Siauw dan Sunario. Walaupun pandangan mereka tentang kewarganegaraan Indonesia bertolak belakang, mereka ternyata cukup sering saling berkunjung ke rumah masing-masing. Go Gien Tjwan teringat bagaimana ke dua tokoh ini melanjutkan perdebatan di parlemen di rumah Siauw. Sampai saat itu, walaupun Siauw mempunyai banyak hubungan dengan berbagai organisasi politik Tionghoa seperti PDTI, ia tidak pernah menjadi anggota darinya. Ia tetap berfungsi sebagai seorang non-partai. Organisasi-organisasi Tionghoa pada tahun 50-an PDTI adalah kelanjutan sebuah organisasi politik yang lahir setelah kemerdekaan. Organisasi-organisasi Tionghoa memang bermunculan setelah Kemerdekaan diproklamasikan, karena di zaman Jepang, hanya ada satu organisasi yang boleh berdiri dan berfungsi, Kakyo Sho Kai. Pada tanggal 15 Oktober 1945, para pemimpin kakyo Sho Kai membentuk Chung Hua Tsung Hui (CHTH – Perkumpulan Tionghoa). Persatuan ini menurut sertakan para tokoh yang di zaman penjajahan Belanda berorientasi ke Belanda, para tokoh dan anggota Chung Hua Hui. CHTH pada awalnya didominasi oleh orang-orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda. Akan tetapi menjelang tahun 1948, organisasi ini didominasi oleh orang-orang totok yang pada waktu itu cenderung mendukung Kuo Min Tang. Pada tahun 1948, Thio Thiam Tjong, yang pernah duduk sebagai pemimpin CHTH keluar dari CHTH dan mendirikan Partai Persatuan Tionghoa, yang disingkat PT. Thio memang sudah lama berkecimpung dalam berbagai organisasi Tionghoa. Di zaman penjajahan Belanda, ia adalah salah satu pemimpin Chung Hua Hui. Semasa pendudukan Jepang, ia ditahan di kamp militer Jepang di Cimahi. Dalam zaman revolusi, karena Thio dianggap mempunyai 182 Lahirnya Baperki banyak pengalaman dan pengaruh, oleh Van Mook, ia diangkat sebagai salah satu penasehatnya. Ang Jan Goan, direktur Sin Po dan Injo Beng Goat, direktur Keng Po, juga diangkat oleh Van Mook sebagai penasehatnya. PT didominasi oleh beberapa tokoh peranakan yang juga memimpin Sin Ming Hui (Persatuan Sinar Baru) yang dibentuk pada tahun 1946 di Jakarta. Sin Ming Hui juga tadinya berada dalam naungan CHTH. Sin Ming Hui adalah sebuah organisasi sosial yang memberi perlayanan untuk masyarakat Tionghoa di Jakarta. Banyak pemimpinnya adalah pengacara-pengacara ternama di Jakarta, sehingga salah satu perlayanan masyarakatnya berbentuk bantuan/nasehat hukum. Disamping itu, organisasi ini juga berkecimpung dalam bidang pencarian tenaga kerja dan pendidikan praktis, seperti akademi asisten apoteker. Pada waktu PT terbentuk pada tahun 1948, Sin Ming Hui juga keluar dari naungan CHTH dan berkembang menjadi organisasi yang lebih berkiblat ke RI. Pemimpin-pemimpin PT termasuk Khoe Woen Sioe (Direktur KengPo), Injo Beng Goat (pemimpin redaksi Keng Po) dan Tan Po Goan, seorang pengacara yang pernah menjadi menteri dalam kabinet ketiga Sjahrir pada tahun 1946 dan anggota DPR mewakili PSI. Ketiga tokoh ini dekat dengan Sjahrir dan mendukung PSI. Disamping ketiga tokoh ini, ada juga Ang Jan Goan (direktur Sin Po) dan Yap Tjwan Bing, seorang apoteker di Bandung yang juga mewakili PNI di parlemen. Pada tahun 1950, tidak lama setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) dibentuk, Para pemimpin PT mengganti nama organisasinya menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Thio Thiam Tjong tetap menjabat sebagai ketua dan para pemimpin PT tetap memimpin organisasi yang bernama baru ini. Beberapa anggota parlemen Tionghoa yang juga menjadi anggota partai-partai politik lainnya seperti Tjung Tin Yan (Partai Katolik), Tan Boen An (PSI), Tjoa Sie Hwie (PNI) dan Yap Tjwan Bing (PNI) didaftar sebagai anggota-anggota PDTI. Walaupun mereka didaftar sebagai anggota 183 Siauw Giok Tjhan partai ini, sumbangsih mereka dalam pengembangannya tidak nampak. Bahkan mereka tidak pernah aktif di dalamnya. PDTI memang menganggap perwakilan di parlemen sebagai salah satu hal yang terpenting dari kehadirannya. Tidak jelas berapa jumlah anggota partai ini tetapi sambutan masyarakat Tionghoa akan kehadirannya terbatas. Dan mereka ternyata juga gagal mengajak banyak tokoh-tokoh peranakan Tionghoa yang pernah aktif dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tokoh-tokoh eks PTI seperti Tan Ling Djie, Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan menolak untuk masuk ke PDTI karena mereka pada waktu itu berprinsip tidak mau masuk ke dalam partai yang berlandaskan program yang melulu mementingkan masalah Tionghoa. Salah satu kelemahan PDTI adalah persepsi orang akan kesungguhan para pemimpinnya dalam mendukung RI. Thio Thiam Tjong pernah dekat dengan Van Mook pada zaman revolusi. Para anggota parlemen Tionghoa yang bergabung dengan PDTI juga mewakili negara-negara bagian yang dikuasai oleh Belanda. Para pemimpin lainnya, seperti Injo Beng Goat di dalam zaman revolusi tidak pernah jelas sepenuhnya mendukung RI. Inilah yang menyebabkan PDTI tidak pernah bisa dekat dengan partai-partai politik yang berpengaruh pada waktu itu. Menjelang akhir tahun 1953, anggota-anggota parlemen yang terdaftar sebagai anggota PDTI tidak lagi menyatakan bahwa mereka mewakili PDTI. Keadaan ini mengecewakan Thio Thiam Tjong yang di dalam salah satu Berita PDTI yang terakhir menyatakan bahwa PDTI tidak lagi efektif sebagai organisasi dan yang tinggal adalah namanya saja. Di luar Jakarta, beberapa organisasi semacam PDTI juga dibentuk. Pada umumnya mereka didirikan oleh orang-orang peranakan Tionghoa yang merasa kecewa atau tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan para pemimpin Chung Hua Tsung Hui yang semakin lama semakin didominasi oleh tokoh-tokoh totok. Para pemimpin totok ini lebih banyak berkecimpung dalam menjalankan sekolah-sekolah 184 Lahirnya Baperki berbahasa Tionghoa dan cenderung lebih banyak memperhatikan perkembangan politik di Tiongkok daripada Indonesia. Di Surabaya dibentuk PERWANIT (Persatuan Warganegara Indonesian Tionghoa). Di Kediri dibentuk PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) dan di Makasar, PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan). Walaupun organisasiorganisasi ini memiliki kesadaran politik, tetapi mereka tidak pernah aktif dalam kegiatan-kegiatan politik dan tidak memiliki kehadiran dalam kancah politik nasional8. Pada akhir tahun 1953, para pemimpin PDTI mengambil keputusan untuk membentuk sebuah panitia untuk membahas masalah rancangan undang-undang kewarganegaraan Indonesia. PDTI mengundang semua pengacara Tionghoa yang aktif baik di PDTI maupun di Sin Ming Hui untuk membentuk panitia ini, diantaranya Yap Thiam Hien, pengacara Kristen yang tidak berpartai, Auwyang Peng Koen, pengacara Katolik, Liem Koen Seng, tidak berpartai -- saudara sepupu Liem Koen Hian dan Gouw Giok Siong, seorang guru besar hukum yang ternama di Jakarta. Oei Tjoe Tat, wakil ketua PDTI, yang juga sarjana hukum, berfungsi sebagai pembentuk panitia. Di samping para akhli hukum ini, Oei Tjoe Tat juga ditugaskan untuk mengundang semua anggota parlemen Tionghoa, diantaranya Siauw Giok Tjhan, Tjung Tin Yan (partai Katolik), Tan Po Goan (PSI), Lie Poe Yoe (PNI). Panitia yang dinamakan Panitia Kerja Kewarganegaraan Indonesia ini memilih Siauw Giok Tjhan sebagai ketuanya. Oei Tjoe Tat teringat bahwa rapat-rapat panitia ini sepenuhnya didominasi oleh Siauw. Walaupun Siauw bukan sarjana hukum, tetapi ia mampu mengeluarkan argumentasi-argumentasi hukum yang tidak bisa dibantah oleh para akhli hukum yang hadir di dalam rapat-rapat panitia kerja itu. 8 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1992 185 Siauw Giok Tjhan Kesimpulan yang dicapai oleh panitia kerja itu antara lain9: A. Adalah sangat tidak bijaksana dan illegal memutar balik apa yang sudah dilaksanakan secara hukum. Penduduk Tionghoa yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1951 sudah secara hukum disahkan sebagai warga negara Indonesia. Kalau rancangan undangundang ini diterima, mereka yang sudah menjadi warga negara Indonesia mempunyai status asing lagi. Ini akan menghilangkan kepercayaan orang akan hukum di Indonesia. B. Catatan sipil untuk penduduk Tionghoa di mulai pada tahun 1918 di pulau Jawa dan pada tahun 1926 di luar pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Tionghoa juga terlalu miskin untuk membayar ongkos-ongkos yang diperlukan untuk mendapatkan dokumentasi kelahiran, perkawinan dan kematian. Disamping itu, banyak juga dari mereka yang tidak mengetahui prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dokumen-dokumen ini. Oleh karena itu, bilamana rancangan undang-undang ini diterima, maka banyak orang Tionghoa akan menjadi orang asing bukan karena mereka mau menjadi asing, melainkan karena mereka tidak memiliki semua dokumen yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara Indonesia. Kesimpulan panitia ini dikirim langsung ke Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dengan permintaan untuk mencabut Rancangan Undang-Undang kewarganegaraan itu. Karena Siauw dekat dengan Ali dan beberapa menteri lainnya, ditambah tekanan Ong Eng Die dan Lie Kiat Teng yang juga duduk di dalam kabinet, ia berhasil mendesak kabinet untuk membatalkan Rancangan Undang-Undang ini, sebelum ia diajukan ke dalam DPR untuk diperdebatkan10. Para anggota Panitia Kerja Kewarganegaraan Indonesia dengan sendirinya gembira melihat hasil usaha yang dicapai oleh Siauw. 9 10 Siauw, Lima Jaman, pp 230-233 Wilmott, National Status, p 34 186 Lahirnya Baperki Kemampuan Siauw untuk mempengaruhi keputusan kabinet dan mengajak para tokoh nasional untuk mendukung posisi politiknya menimbulkan kesimpulan di antara para pemimpin PDTI bahwa organisasinya memerlukan pemimpin berkaliber Siauw untuk bisa efektif dalam melawan arus rasisme di Indonesia11. Lahirnya Baperki Adanya Rancangan Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia pada akhir tahun 1953 menciptakan kekhawatiran di dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Pada bulan Februari 1954, dalam sebuah rapat, PDTI menyimpulkan bahwa organisasinya tidak lagi berdaya dalam melawan arus rasisme dan memutuskan untuk membentuk sebuah organisasi massa yang didukung oleh seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka kemudian menghubungi organisasi-organisasi Tionghoa yang mirip dengan PDTI, diantaranya PERWITT, PERWANIT dan PERTIP. Tujuannya adalah membentuk semacam federasi yang menggalang kesatuan kekuatan Tionghoa di seluruh Indonesia. Pimpinan PDTI yang menggodok pembentukan organisasi baru ini terdiri dari Thio Thiam Tjong, Khoe Woen Sioe, Injo Beng Goat, Auwyang Peng Koen, Tan Eng Tie, Yap Thiam Hien dan Oei Tjoe Tat. Semuanya adalah peranakan yang berpendidikan Belanda. Khoe Woen Sioe, pada waktu itu berumur 49, turut mendirikan Sin Ming Hui pada tahun 1946 dan diangkat sebagai ketua pertamanya. Ia adalah seorang wartawan kawakan. Pertama dengan Sin Po pada tahun 1923, kemudian pindah ke Keng Po yang ia pimpin terus sampai penerbitannya ditutup pada tahun 1958. Ia lebih banyak dikenal sebagai pemimpin Sin Ming Hui. Karena umur dan kewibawaannya di Sin Ming Hui, oleh para aktivis muda Sin Ming Hui seperti Oei Tjoe Tat dan Auwyang Peng Koen, ia dianggap sebagai guru. Oleh karena itu, walaupun ia tidak menjadi ketua dari PDTI, ia kelihatannya lebih dihormati dan disegani oleh 11 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Desember 1992 187 Siauw Giok Tjhan para anggotanya daripada Thio Thiam Tjong. Secara politik, ia cenderung mendukung PSI12. Injo Beng Goat, 50, juga seorang wartawan yang kawakan. Sebagai kepala redaksi harian Keng Po, ia dianggap dekat dengan Khoe Woen Sioe. Tidak jelas apakah ia masuk PSI, tetapi aliran politiknya cenderung mendukung PSI. Karena kepribadiannya, ia tidak sepopuler Khoe dalam kalangan PDTI dan Sin Ming Hui. Tetapi, ia tetap berpengaruh di dalamnya13. Auwyang Peng Koen, 34, adalah seorang pengacara muda yang lulus dari Universitas Indonesia pada tahun 1950. Ia seorang katolik dan mungkin juga anggota Partai Katolik pada waktu itu. Ia anti komunis dan bekerja dalam satu kantor pengacara di Jakarta bersama dengan Tan Po Goan, Oei Tjoe Tat and Yap Thiam Hien14. Tan Eng Tie, 47, adalah seorang dokter specialis kulit yang belajar di Belanda. Tadinya ia aktif di Chung Hua Tsung Hui and Sin Ming Hui. Seperti Thio Thiam Tjong ia tidak mempunyai hubungan resmi dengan partai politik lainnya15. Yap Thiam Hien, 41, adalah seorang pengacara yang lulus dari Belanda pada tahun 1947. Walaupun ia seorang yang beragama Kristen, tetapi ia tidak masuk ke dalam Parkindo. Seperti Auwyang Peng Koen, ia-pun anti komunis, tetapi bisa dengan baik bekerja dengan orang-orang yang berhaluan politik kiri Oei Tjoe Tat, 32, juga seorang pengacara. Seperti yang digambarkan di atas, ia memainkan peranan penting dalam membentuk Panitia Kerja Kewarganegaraan Indonesia yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Walaupun ia dekat dengan Khoe Woen Sioe dan mungkin 12 13 14 15 Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, p 45;Wawan cara dengan Oei Tjoe Tat Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, p 34; Wawan cara dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, pp99-100; Wawan cara dengan Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan dan Yap Thiam Hien. Ibid, p 127; Wawancara dengan Oei Tjoe Tat 188 Lahirnya Baperki juga mendukung program-program PSI, ia tidak pernah masuk ke PSI. Karena masih muda dan penuh dengan antusiasme, ia sering diminta oleh Thio Thiam Tjong untuk merancangkan berbagai dokumen hukum. Dari semua pimpinan PDTI, Oei-lah yang paling mengenal Siauw, karena mereka berdua pernah tinggal bersama dalam satu kost di kota Semarang pada tahun-tahun 1938-39. Pada waktu itu Oei masih duduk di sekolah menengah (HBS) sedangkan Siauw sudah bekerja di Mata Hari. Di dalam rapat bulan Februari 1954 itu, Thio Thiam Tjong menunjuk Oei Tjoe Tat untuk mengkoordinasikan rapat pembentukan sebuah organisasi baru itu. Keputusan mereka adalah membentuk sebuah organisasi massa, bukan partai politik. Mereka berpendapat bahwa dengan bentuk organisasi massa, mereka akan lebih mudah mendapatkan dukungan para tokoh peranakan yang berbobot tetapi yang menjadi anggota-anggota partai politik lain. Menurut mereka, organisasi massa memungkinkan orang dari berbagai aliran dan partai politik untuk masuk dan aktif di dalamnya16. Dalam rapat yang sama, mereka mengusulkan untuk menamakan organisasi baru ini BAPERWATT (Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa). Pada waktu itu perkataan permusyawaratan yang mengandung sikap demokratis memang populer di Indonesia. Oei juga ditugaskan untuk menyusun anggaran dasar organisasi baru ini. Oei teringat dengan diskusi tentang siapa yang harus menjadi ketua dari organisasi baru ini. Kriteria ketua yang disetujui adalah seorang yang mempunyai kaliber nasional, yang mempunyai pengaruh di dalam DPR sehingga posisi golongan Tionghoa bisa dilindungi dari segi hukum dan undang-undang. Menurut Oei, semua yang hadir pada waktu itu setuju bahwa calon ketua yang paling cocok untuk Baperwatt adalah Siauw Giok Tjhan. Keberhasilan Siauw di dalam parlemen dalam membatalkan atau 16 Ibid 189 Siauw Giok Tjhan mengubah berbagai macam undang-undang yang merugikan posisi golongan Tionghoa memperkuat keyakinan mereka bahwa Siauwlah yang harus diangkat menjadi ketua. Timbullah pertanyaan. Bagaimana para tokoh PDTI yang lebih banyak berkiblat ke PSI dan dekat dengan Sjahrir, bahkan anti komunis, bisa mendukung dipilihnya Siauw Giok Tjhan sebagai pemimpin mereka? Latar belakang Siauw, sebagai seorang yang aktif di Partai Sosialis, dekat dengan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie, dan memiliki aliran politik yang bertentangan dengan PSI, tentunya diketahui oleh mereka. Alasan utamanya adalah mereka menganggap reputasi Siauw dan diterimanya Siauw oleh berbagai partai politik lebih penting dari adanya perbedaan pendapat politik. Disamping itu, kehadiran kabinet Ali telah sedikit banyaknya mendorong masyarakat untuk lebih menerima paham-paham politik kiri. Ditambah dengan kenyataan bahwa RRT telah maju pesat dan mulai diterima dalam dunia internasional. Kesemuanya mendorong orang untuk lebih bisa menerima aliran politik kiri, jauh lebih banyak daripada tahuntahun sebelumnya. Satu aspek kepemimpinan Siauw yang mereka harapkan adalah koneksi dengan masyarakat totok yang tidak dimiliki oleh orangorang PDTI. Gigihnya Siauw membela kepentingan kaum pedagang totok telah menjadikannya pembela yang disegani oleh masyarakat totok. Dalam hal pengumpulan dana, mereka menyadari bahwa koneksi dengan masyarakat totok ini penting dan perlu digalang. Masyarakat totok memang pada waktu itu tidak tertarik dengan perdebatan masalah undang-undang kewarganegaraan Indonesia. Yang mereka lebih khawatirkan adalah adanya berbagai macam peraturan atau undang-undang yang membatasi ruang lingkup perdagangan mereka. Adanya organisasi massa yang mampu melawan arus rasisme dalam bidang perdagangan dan pendidikan diharapkan akan menciptakan dukungan masyarakat totok. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw tidak pernah masuk ke dalam PDTI, walaupun publikasi PDTI sering menerbitkan 190 Lahirnya Baperki pidato-pidatonya serta melaporkan kegiatannya di parlemen17. Hubungannya dengan PDTI terbatas pada hubungan pribadi dengan beberapa pimpinan PDTI, seperti Oei Tjoe Tat dan Ang Jan Goan. Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh PDTI untuk menghubungi Siauw Giok Tjhan dan mendorongnya untuk menerima pencalonannya sebagai ketua Baperwatt. Siauw menyatakan bahwa ia tidak bersedia menjadi ketua Baperwatt, tetapi tidak keberatan untuk datang ke rapat pembentukannya yang akan diadakan pada tanggal 13 Maret 1954 di gedung Sin Ming Hui. Memang bagi Siauw yang pernah bersepakat dengan Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien pada tahun 1945 untuk tidak membentuk kembali PTI karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip terbentuknya bangsa Indonesia, membentuk organisasi semacam Baperwatt tidak tepat. Dengan sendirinya ia menolak pencalonan para pemimpin PDTI untuk menjadi ketuanya. Memang banyak kawan dekat Siauw dan para pendukungnya sudah cukup lama mendorong Siauw untuk membentuk sebuah organisasi atau bergabung dengan organisasi yang sudah ada. Beberapa kawan dekatnya menjuluki Siauw sebagai seorang “panglima tanpa barisan”. Jadi datangnya Oei Tjoe Tat dengan tawaran menjadi ketua sebuah organisasi massa memang merupakan sebuah hal yang kebetulan. Dalam hal ini Siauw menghadapi sebuah dilema. Ia tentunya sadar bahwa ia tidak bisa selamanya terpisah dengan masyarakat yang ia bela di parlemen. Tetapi ia sadar bahwa membentuk organisasi semacam PTI atau PDTI juga bukan jalan yang tepat. Bergabung dengan partai politik-pun kurang ia dukung, karena ia melihat bahwa program-program partai politik sering bertentangan dengan kepentingan masyarakat Tionghoa. Tetapi rupanya Siauw secara diam-diam menganggap organisasi massa semacam Baperwatt, dengan perubahan strukturil, bisa dijadikan sarana yang baik untuk membantu perjuangannya di 17 Mary Somers, Peranakan Politics, p 144 191 Siauw Giok Tjhan arena parlemen. Yang diundang untuk acara pembentukan itu adalah para pemimpin organisasi-organisasi seperti PERWANIT, PERTIP dan PERWITT. PDTI juga mengundang banyak tokoh Tionghoa dari berbagai aliran masyarakat lainnya. Diantara orang yang diundang adalah Go Gien Tjwan. Go Gien Tjwan, 35, adalah kawan dekat Siauw dari Malang. Hubungannya dengan Siauw sejak zaman Angkatan Muda Tionghoa di Malang pada zaman pendudukan Jepang. Ia juga menjadi anggota Partai Sosialis dan turut memimpin Antara. Ia menjadi terkenal ketika ia bersama Sunito diusir dari negeri Belanda pada tahun 1953. Ketika itu, Go menjadi kepala kantor Antara di Belanda. Oleh para pemimpin PDTI, ia dikenal sebagai seorang kiri. Yang tidak diundang oleh PDTI adalah Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kemungkinan besar, nama mereka tidak berada dalam daftar karena mereka dianggap komunis. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang18. Semuanya adalah peranakan Tionghoa dan pada umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar berasal dari pulau Jawa, tetapi ada juga beberapa yang datang dari Padang, Palembang dan Banjarmasin19. Beberapa diantaranya juga pernah aktif dalam Chung Hua Hui, seperti Thio Thiam Tjong, Dr. Thung Sin Nio dan Tan Siang Lian. Yang tadinya berkiblat ke Tiongkok, hanya beberapa gelintir orang saja, diantaranya Ang Jan Goan. Ke 44 orang yang datang ini bisa dibagi dalam tiga golongan besar. Golongan pertama adalah golongan kanan. Mereka diwakili oleh orang-orang yang dekat dengan PSI dan Partai Katolik seperti 18 Risalah rapat menunjukkan ada 44 nama partisipan. Akan tetapi ada kemungkinan yang hadir lebih banyak dari 44, karena ada nama-nama orang yang disebut hadir oleh Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat yang tidak ada dalam daftar risalah rapat pembentukan ini. 19 Sebagian besar dari bagian ini ditulis berdasarkan risalah rapat pembentukan dan wawancara dengan Siauw Giok Tjhan, di penjara RTM, 1972. 192 Lahirnya Baperki Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyang Peng Koen dan Tan Siang Lian, teman baik Thio Thiam Tjong dari zaman penjajahan Belanda. Sebagian dari mereka yang berada dalam golongan ini mungkin juga mendukung Kuo Min Tang. Di pihak yang lain berada golongan kedua, golongan kiri. Ini diwakili oleh orang-orang yang memiliki pandangan politik yang pada waktu itu dianggap radikal. Mereka mendukung RRT dan menghargai hasil-hasil perjuangan Mao Tse Tung di RRT. Tokohtokoh dari golongan kiri ini adalah Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jan Goan. Diantara kedua golongan ini, terdapat golongan ketiga yang bergaris netral. Mereka tidak mempunyai komitmen dalam mendukung ideologi politik manapun. Diantaranya Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian (seorang pengacara dari Palembang) dan Liem Koen Seng, seorang anggota PDTI. Kebanyakan dari yang datang adalah orang-orang profesional dan pedagang-pedagang kecil-menengah. Beberapa diantaranya adalah pedagang besar yang sukses Thio Thiam Tjong dan Tan Siang Lian. Dalam rapat itu, Thio Thiam Tjong menggambarkan kegagalan PDTI menjadi organisasi yang efektif dan menunjukkan harapannya untuk membentuk sebuah organisasi baru di mana banyak organisasi semacam PDTI bersatu di dalamnya. Ia menyatakan bahwa kesatuan ini akan lebih efektif dalam melawan arus rasisme yang pada waktu itu kian meningkat. Oei Tjoe Tat menyusul pidato Thio dengan penjelasan bahwa yang ingin dibentuk adalah organisasi massa, bukan partai politik dengan nama Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa). Dengan demikian, menurut Oei, anggota-anggota berbagai partai politik lainnya bisa turut masuk ke dalamnya. Pada waktu istirahat, Siauw mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang yang datang dalam rapat itu dan menyatakan bahwa sebaiknya Baperwatt menggunakan organisasi semacam National 193 Siauw Giok Tjhan Association for the Advancement of Colored People (NAACP) yang didirikan di Amerika sebagai model. Siauw menganggap NAACP sebagai sebuah organisasi yang militan dalam melawan rasisme dan bebas dari aliran/ideologi politik20. Nama Baperwatt didukung oleh para pemimpin PDTI. Pembicara yang dengan gigih mendukungnya adalah Yap Thiam Hien dan Kwik Hay Gwan. Mereka menyatakan bahwa istilah Tionghoa harus tampil dalam nama organisasi ini karena ini mempertegas golongan mana yang dibela dan dengan demikian dukungan komunitas Tionghoa bisa diharapkan. Pada waktu Siauw diberi kesempatan untuk berbicara, Siauw mengusulkan untuk mengubah formulasi organisasi yang akan dibentuk secara strukturil. Pertama, tujuan organisasi ini harus berhubungan dengan masalah kewarganegaraan karena baginya masalah membangun bangsa Indonesia -- nation building tidak bisa dipisahkan dari pengertian tentang arti politik kewarganegaraan dan pembrantasan rasisme tidak bisa dipisahkan dari usaha mencapai persamaan diantara sesama warga negara. Persoalan nama juga dijadikan hal yang prinsipil oleh Siauw. Ia menentang adanya istilah Tionghoa dalam nama organisasi baru ini, karena menurutnya, Baperwatt dengan sendirinya membatasi keanggotaannya pada golongan Tionghoa. Baginya ini adalah tindakan yang bersifat eksklusif dan mengandung rasisme. Juga dikhawatirkan olehnya, bilamana organisasi ini mempertahankan nama Baperwatt, dukungan tokoh-tokoh nasional yang sangat diharapkan dalam mencapai tujuan organisasi yang akan dibentuk ini, tidak kunjung datang, karena ruang lingkupnya sempit dan rasistis. Oleh karena itu, ia menganjurkan nama Baperwatt diubah menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Ia percaya bahwa nama ini tetap menjunjung tinggi harapan para pendiri organisasi baru, tetapi dengan mempertegas bahwa misinya adalah mendidik masyarakat akan apa arti kewarganegaraan itu 20 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990 194 Lahirnya Baperki yang menjadi dasar perjuangan melawan rasisme. Uraian Siauw menggugah para partisipan rapat. Dalam waktu setengah jam, mereka mendukung formulasi Siauw dan mengusulkan nama Baperwatt diubah menjadi BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Pada saat ini, Siauw mungkin mulai bersiap siaga untuk menjadi ketua organisasi baru ini, karena dengan bentuk Baperki yang ia formulasikan, ia tidak menghianati kesepakatan yang ia capai dengan para pemimpin PTI di Surabaya pada tahun 1945, yaitu tidak lagi menghidupkan organisasi politik yang berdasarkan ke-Tionghoaan. Untuk menekankan bahwa Baperki adalah organisasi nasional, Siauw juga menganjurkan agar salah satu tujuan utama organisasi ini adalah: “Melaksanakan aspirasi nasional yang menjamin semua warga negara menjadi warga negara Indonesia sejati”. Ini berkaitan dengan janji yang tercantum dalam Manifesto Politik November 1945. Kedua tujuan utama lainnya adalah: “Menjamin dicapainya hak dan kewajiban dan kesempatan yang sama untuk semua warga negara tanpa membedakan latar belakang ras, kebudayaan maupun agamanya” dan “Menjunjung tinggi dilaksanakannya hakhak demokrasi dan hak-hak azazi manusia”. Pada waktu Siauw dicalonkan sebagai satu-satunya calon ketua, ia menerimanya. Terpilihlah Siauw, pada waktu itu berumur 40 tahun, secara bulat sebagai ketua umum organisasi baru ini. Pemilihan wakil ketuanya lebih kompleks. Ada 13 calon, termasuk Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Tjong Hian, Tan Siang Lan dan The Pek Siong (Ketua PERWANIT - Surabaya). Dari ke tiga belas ini, terpilih empat wakil ketua. Oei Tjoe Tat mengumpulkan suara terbanyak (83 suara), diikuti oleh Khoe Woen Sioe (58 suara), The Pek Siong (57 suara) dan Thio Thiam Tjong (48 suara)21. 21 Walaupun hanya ada 44 partisipan, tetapi wakil-wakil dari kota besar diberi 6 suara per wakil. Dari kota kecil, 4 suara sedangkan yang datang sebagai perorangan, 1 suara. 195 Siauw Giok Tjhan Pemilihan sekretaris dan bendahara dilakukan tanpa pemilihan suara. Tan Siang Lian menganjurkan agar Go Gien Tjwan dan Ang Jan Goan diangkat sebagai sekretaris dan bendahara. Usul ini diterima oleh rapat. Dengan demikian lahirlah Baperki dan mulailah Siauw memasuki lembaran baru dalam kegiatan politiknya. Para partisipan ternyata merasa yakin bahwa kepemimpinan Siauw akan menjadikan organisasi sebuah badan yang mampu melawan arus rasisme22. Dalam dua hari setelah pembentukannya, berbagai artikel dalam surat-surat kabar bermunculan. Sambutan masyarakat positif. Beberapa minggu setelah itu, laporan-laporan tentang kegiatan Baperki dan Siauw dimuat dalam banyak surat kabar, sehingga masyarakat Tionghoa di seluruh Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dengan cepat mengetahui bahwa Baperki telah berdiri. Siauw sejak dari permulaan khawatir kalau Baperki yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa saja, dicap sebagai organisasi Tionghoa. Untuk mengubah persepsi ini, Siauw mengundang beberapa kawan “asli”nya untuk turut memperkuat barisan Baperki pada tingkat pimpinan. Pada waktu cabang Baperki Jakarta dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954, Siauw mendorong pencalonan Sudarjo Tjokrosisworo sebagai ketuanya. Sudarjo sudah dekat dengan Siauw sejak zaman Mata Hari di Semarang. Ia, seperti yang dituturkan sebelumnya menjadi ketua pertama PERDI (Persatuan Djurnalis Indonesia), yang kemudian menjelma menjadi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Ia juga menjadi ketua SPS (Serikat Perusahaan Surat Kabar). Seorang kawan baik Siauw yang lain, D.S. Diapari, anggota parlemen yang duduk di dalam fraksi Nasional Progresif, dicalonkan dan diangkat sebagai wakil ketua Baperki cabang Jakarta. Di Surakarta Slamet Harto Prodjohartono menjadi ketua pertamanya. Di Menado B. Richter, seorang Indo Belanda menjadi salah satu pemimpinnya. Di Bandung, seorang Indo-Belanda lainnya, 22 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Go Gien Tjwan 196 Lahirnya Baperki J.F.G. Steyn dipilih sebagai sekretaris. Dukungan masyarakat Jawa di Sumatra juga bisa diandalkan oleh Baperki, karena mereka merasa dirinya sebagai golongan minoritas di sana. Akan tetapi, usaha Siauw ini kemudian terbukti gagal mengubah persepsi bahwa Baperki bukan semata-mata organisasi Tionghoa. Sebagian besar pemimpin dan anggotanya dalam tahun- tahun mendatang tetap orang-orang Tionghoa. Dan perjuangannya, walaupun banyak menyinggung masalah nasional, tetap berada disekitar usaha membela golongan Tionghoa. Untuk memobilisasi dukungan pihak pemerintah, Siauw segera menghubungi Perdana Menteri Ali untuk melaporkan berdirinya Baperki. Pada tanggal 26 Maret 1954, ia memimpin delegasi Baperki untuk mengunjungi kantor Ali untuk menjelaskan alasan hidup Baperki dan tujuannya. Ali ternyata dengan tegas menyatakan dukungannya23. Masyarakat Tionghoa menantikan tindak lanjut organisasi baru ini. Pimpinan Baperki tidak mengecewakannya. Dalam waktu beberapa minggu saja, puluhan cabang Baperki terbentuk di berbagai kota di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Salah satu program yang kemudian disebar luaskan dan yang menolong perkembangan pesat dari Baperki adalah turut sertanya Baperki dalam Pemilihan Umum (untuk DPR dan Konstituante) dan kegiatan kampanye Baperki menjelang Pemilihan umum ini pada tahun 1955. Peranan Tan Gien Hwa Orang yang dekat dengan Siauw mengetahui bahwa keberhasilannya di dalam kancah politik semasa hidupnya juga tergantung atas dukungan ia peroleh dari isterinya, Tan Gien Hwa. Tan-lah yang memungkinkan Siauw mencurahkan hampir seluruh jiwa raga-nya untuk kegiatan politik. Hampir semua tanggung jawab keluarga dan pendidikan anak-anaknya dilakukan oleh 23 Sin Min, 27 Maret 1954 197 Siauw Giok Tjhan Tan Gien Hwa, yang melakukannya tanpa memberi tekanan yang menyulitkan posisi Siauw sebagai seorang politikus. Tan bertemu dengan Siauw di rumah kost yang dimiliki oleh pamannya, Khouw Bian Tjeng, kakak Khouw Bian Tie yang pernah menjadi seorang akhli ekonomi ternama di Indonesia, di kota Semarang, pada tahun 1939. Siauw baru saja kembali dari Surabaya, setelah Kwee Hing Tjiat menutup kantor cabang Mata Hari yang dipimpin oleh Siauw dan memanggilnya kembali ke Semarang. Pada waktu itu Tan Gien Hwa, bersama kakanya, Tan Soen Hok, belajar di HBS Semarang. Seperti yang diceritakan sebelumnya, tidak lama setelah itu Kwee Hing Tjiat meninggal dan kepemimpinan Mata Hari jatuh ke tangan Siauw. Tan, lahir pada 22 Juni 1921, adalah anak kedua Tan Peng Hoat dan Yop Sin Lan yang menetap di kota Pemalang. Keberadaan Ta Gien Hwa di HBS Semarang menunjukkan bahwa kedua orang tuanya bukan saja berada tetapi juga termasuk maju. Pada zaman itu tidak banyak perempuan yang bersekolah hingga tingkat HBS. Pada tahun 1940, Siauw dan Tan menikah. Mereka pindah ke sebuah rumah kecil, tidak jauh dari kantor Mata Hari. Kedua orang tua Tan kerap mengunjungi mereka dari Pemalang. Pada waktu itu ibunya, Yo Sin Lan sedang mengandung anak ke 8. Beberapa bulan setelah mereka menikah, dalam perjalanan pulang ke Pemalang dari kunjungannya di Semarang, sang ibu mengalami keguguran di kereta api dan meninggal dunia di tengah perjalanan. Enam bulan setelah ibunya meninggal, ayahnya pun meninggal karena serangan jantung. Mereka berdua relatif muda, baru berusia 40-an. Ayah Tan Gien Hwa adalah seorang self-made man. Ia-pun ditinggali kedua orang tuanya ketika ia baru berumur 12 tahun. Sejak itu, dia harus bekerja mencari pencaharian, sebagai pedagang kueh di pasar di Pekalongan. Ketika dewasa ia pindah ke Pemalang dan mulai berkembang. Sebelum ia meninggal, ia berhasil menjadi pedagang yang lumayan. Rumahnya terletak di jalan raya. Ia menjadi pedagang yang mendistribusikan hasil bumi rakyat setempat 198 Lahirnya Baperki di Pemalang dan kota sekitarnya. Ia memiliki tempat penjualan bensin, satu-satunya di Pemalang dan memonopoli perdagangan arang di kota itu. Walaupun tidak sekolah tinggi, tetapi ia cukup fasih berbahasa Belanda. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Enam adik Tan Gien Hwa, yang berumur 2 tahun hingga 16 tahun dibawa Siauw dan Tan untuk tinggal di Semarang. Kedua pasangan muda ini segara dibebani kewajiban menyekolahkan dan menghidupi enam anak. Akan tetapi tidak lama setelah itu, adik tertua, Tan Soen An, pada waktu itu berumur 17 tahun, memutuskan untuk berhenti sekolah dan kembali ke Pemalang meneruskan usaha ayahnya. Ke lima adik lainnya tetap tinggal dengan Siauw dan Tan di Semarang. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, Siauw dan keluarga mengungsi ke Pemalang. Akan tetapi keadaan di kota itu juga tidak aman. Oleh karena itu Siauw memutuskan untuk membawa keluarganya ke Surabaya, kemudian, seperti yang diceritakan sebelumnya, ke Malang. Upaya pengungsian keluarga ini memang berat, karena mereka mengikut sertakan anak-anak kecil. Yang menampung-pun sulit karena sekali menerima, harus menyediakan tempat untuk banyak orang. Walaupun demikian Tan Gien Hwa tetap tabah dan penuh dengan tekad membesarkan semua adik dan anaknya. Di Semarang, ia melahirkan anak pertamanya, anak kedua hingga ke 4 lahir di Malang. Di Yogyakarta, lahir anak ke 5. Dan setelah di Jakarta pada tahun 50-an, lahir anak ke 6 dan ke 7. Setiap kali mereka pindah, harus berboyong karena jumlah anak yang turut serta besar. Akan tetapi, walaupun demikian, Siauw tetap bisa melakukan kegiatan politiknya – seperti yang digambarkan dalam buku ini. Ini bisa dilakukan karena dukungan penuh Tan Gien Hwa. Siauw, seperti yang digambarkan dalam buku ini, tidak berdagang. Penghasilan utamanya datang dari DPR. Kegiatannya di dalam dunia percetakan dan surat kabar tidak membuahkan pendapatan yang besar, karena memang motivasi utamanya bukan untuk 199 Siauw Giok Tjhan menciptakan kekayaan pribadi. Upaya beberapa teman dekatnya agar Baperki membayar gaji untuknya telah ditolak oleh Siauw mentah-mentah. Bahkan ketika ada desakan untuk menerimanya, Siauw pernah mengancam untuk berhenti memimpin Baperki. Ia menyatakan bahwa Baperki sebagai organisasi memerlukan semua dana yang diperoleh untuk perjuangan24 . Ia-pun menolak mengikuti jejak banyak sesama anggota parlemen yang menjadi kaya raya karena menjadi penyalur berbagai fasilitas perdagangan. Baginya ini merupakan tindakan korupsi jabatan, yang ia tentang keras. Akibatnya, keluarga Siauw hidup pas-pas-an. Tan Gien Hwa teringat bahwa gaji parlemen-nya dalam waktu 2 minggu habis dipakai untuk menghidupi dan menyekolahkan semua adik dan anak-anaknya. Ia harus bersandar atas sumbangan keluarga dan para teman yang bergilir membantu menyediakan beras dan keperluan lain. Akan tetapi walaupun penghidupan yang terbatas itu, di rumah Siauw, di jalan Tosari 70, yang selalu penuh dengan kunjungan orang, baik rekan-rekan DPR, rekan-rekan Baperki maupun teman dan anggota keluarganya, selalu tersedia nasi dan lauk pauk sederhana untuk disantap bersama. Tan Gien Hwa-lah yang memungkinkan ini semua. Tan Gien Hwa adalah seorang yang trampil di berbagai hal. Ia pandai masak. Semua hidangan, walaupun sederhana tetapi lezat, dimasak olehnya sendiri. Ia-pun pandai membuat pakaian. Hampir semua pakaian Siauw, kecuali pakaian lengkap-nya dibuat oleh Tan sendiri. Siauw cukup dikenal dengan “seragam”nya – baju putih atau krem dengan celana khaki-coklat. Anak-anak-nya pun demikian. Mereka mengenakan pakaian yang dibuat oleh Tan sendiri. Kebiasaan hidup sederhana dan hemat inilah yang juga memungkinkan Tan Gien Hwa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan budget yang sangat kecil. 24 Catatan Go Sien Ay, Majalah Sinergi, Desember 2004 200 Lahirnya Baperki Setelah Siauw ditahan oleh rezim Soeharto pada 4 November 1965, semua penghasilan yang biasa diterima oleh Siauw hilang. Teman-teman yang biasanya berdatangan ke rumah Siauw pun menghilang, baik ditahan, lari menghilangkan penangkapan maupun takut untuk berkunjung. Di saat itu, teman-teman Tionghoa totoklah yang menurunkan tangan membantu. Mereka, walaupun bukan pedagang besar, bergotong royong mengumpulkan dana untuk disampaikan ke Tan Gien Hwa. Dana ini tentu tidak berlebihan., tetapi dengan kesederhanaan Tan Gien Hwa di tambah bantuan keluarganya, ia berhasil mencukupi kebutuhan keluarga. Ia tetap bisa mengirim makanan ke penjara ber-tahun-tahun, kiriman mana yang oleh Siauw dibagi ke 6 hingga 8 sesama tahanan politik lainnya. Inilah, yang menurut Siauw, memperpanjang hidupnya di penjara. Sebab, bilamana hanya 100% tergantung atas makanan yang disediakan pihak tahanan, ia pasti kekurangan gizi dan tidak akan memiliki kemampuan bertahan sehingga ia keluar penjara. Tanpa pengorbanan dan komitmen Tan Gien Hwa yang berbakti tanpa pamrih ini, Siauw Giok Tjhan tidak akan mungkin tumbuh dan bertahan sebagai seorang tokoh politik berbobot di dalam kancah politik nasional. 201 Siauw Giok Tjhan BAB 7 BAPERKI DALAM PEMILIHAN UMUM 1955 Rencana untuk menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia sebenarnya diumumkan pada bulan Oktober 1945. Tetapi karena berbagai macam gangguan, termasuk terjadinya persengketaan bersenjata antara Belanda dan RI, penyelenggaraan pemilu ini dibatalkan dan ditunda tanpa ketetapan waktu. Setelah negara kesatuan RI dikonsolidasi pada tahun 1950, beberapa kabinet yang memerintah Indonesia selama tiga tahun berikutnya mengeluarkan banyak janji untuk segera menyelenggarakan pemilu. Akan tetapi banyak pemimpin partaipartai politik pada waktu itu juga mendesak pemerintah untuk tidak menyelenggarakan pemilu, karena mereka khawatir bahwa pemilu akan menyebabkan kekuasaannya berkurang karena banyak anggotanya kehilangan kursi di parlemen. Disamping itu, banyak pemimpin partai-partai nasionalis yang khawatir bilamana pemilu diadakan pada waktu itu, Masjumi dan NU akan mendominasi parlemen dan ini memungkinkan diubahnya RI menjadi negara Islam. Komposisi di parlemen pada waktu itu juga didominasi oleh tokoh-tokoh Jawa. Pemilu dikhawatirkan akan mengubah komposisi ini yang menyebabkan kekuatan non Jawa bertambah di parlemen. Adanya desakan partai-partai politik ini dan berbagai macam krisis, baik ekonomi maupun politik, menyebabkan pemilu tetap ditunda tanpa ketetapan kapan ia akan dilaksanakan. Masalah pemilu menjadi hal yang penting setelah krisis politik yang timbul dengan adanya demonstrasi pihak Angkatan Darat pada tanggal 17 Oktober 1952. Pada hari itu, beberapa perwira Angkatan Darat mengepung istana dan parlemen, menuntut diadakannya perubahan sistim pemerintahan yang strukturil. Walaupun para perwira tersebut gagal dalam mencapai perubahan-perubahan yang dituntutnya, tetapi tindakan mereka secara tidak langsung 202 Baperki dan Pemilihan Umum telah mendesak pemerintah untuk mempercepat persiapan pemilu. Rancangan Undang-Undang pemilu dipersembahkan ke parlemen pada tanggal 25 November 1952 dan pada tanggal 4 April 1953, Undang-Undang (UU) pemilu diratifikasi oleh parlemen. UU ini mencakup pemilu untuk DPR dan Konstituante, badan yang dibentuk untuk merancangkan UU- Dasar baru. Penduduk berwarganegara Indonesia bisa diwakili oleh partaipartai politik atau anggota-anggota tidak berpartai yang ditunjuk oleh paling sedikitnya 200 pemilih yang sah1. Selain itu, kelompok minoritas Tionghoa, Eropa dan Arab mempunyai masing-masing 9, 6 dan 3 wakil di dalam parlemen. Jika jumlah yang ditentukan ini tidak bisa dicapai dalam pemilu, maka pemerintah akan memilih para wakilnya untuk mengisi kursi-kursi yang disediakan untuk golongan-golongan minoritas2. Siauw menentang kebijakan yang memungkinkan pemerintah untuk menunjuk wakil-wakil golongan minoritas. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini akan mendorong pemerintah untuk memilih orang-orang yang mendukung garis politiknya sehingga penunjukkan mereka bukan semata-mata atas dasar kepentingan golongan minoritas. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa golongan minoritas akan diwakili secara “fair”. Atas desakan Siauw di parlemen, pemerintah mengakui bahwa penunjukkan para wakil minoritas itu harus berdasarkan keinginan golongan minoritas. Akan tetapi bagaimana ini dilaksanakan tidak pernah dijelaskan dan Siauw tidak mendesaknya di parlemen. Ternyata, kelalaian ini di kemudian hari menyebabkan tokoh-tokoh Baperki yang seyogyanya berhak menjadi wakil-wakil golongan minoritas, tidak ditunjuk oleh pemerintah pada tahun 1956. Walaupun UU pemilu diratifikasi pada tahun 1953, pelaksanaannya tetap ditunda sampai September 1955, setelah dua 1 2 Feith, Elections of 1955, p. 3; Siauw, Lima Jaman, p. 181; Harmaili Ibrahim: Pemilihan Umum di Indonesia 1955, 1971 dan 1977, CV Alhidayah, Jakarta, pp 16-17. Ibrahim, Pemilihan Umum, p 18. 203 Siauw Giok Tjhan kabinet, yaitu kabinet Wilopo dan kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh, masing-masing pada tahun 1953 dan 1955. Pelaksanaan Pemilu dijalankan oleh kabinet Burhanudin Harahap yang didominasi oleh Masjumi. Posisi Baperki dalam menghadapi Pemilu Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dari berbagai lapisan dan aliran masayarakat Tionghoa di Indonesia, Baperki seketika harus menghadapi berbagai masalah politik yang pelik. Dua hal yang paling penting untuk segera ditangani oleh para pemimpin baru Baperki pada awal tahun 1954 adalah masalah pemilu dan masalah kewarganegaraan. Walaupun masalah pemilu tidak dibicarakan secara panjang lebar dalam rapat pembentukan Baperki pada tanggal 13 Maret 1954, para peserta rapat bersepakat akan turut sertanya Baperki dalam pemilu. Bahkan pada akhir rapat pembentukan Baperki, Kwee Hwat Djien yang kemudian diangkat menjadi ketua panitia pemilu Baperki, menganjurkan agar para peserta segera mengumpulkan uang untuk dana pemilu Baperki. Pada akhir rapat itu, Panitia pemilu Baperki menurut sertakan Yap Thiam Hien dan Auwyang Peng Koen. Di dalam Berita Baperki pertama yang diterbitkan pada bulan April 1954, Baperki memastikan bahwa ia akan turut berpartisipasi dalam pemilu dengan mengajukan calon-calon yang akan mewakili golongan minoritas baik di DPR maupun Konstituante. Siauw menjelaskan keputusan ini dengan menyatakan:”...Kalau kebijakan dalam memilih wakil-wakil minoritas ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan partai-partai politik yang besar, dapat dipastikan bahwa kehadiran mereka di DPR dan Konstituante bukan untuk kepentingan golongan yang diwakilinya, melainkan untuk melindungi kepentingan partai-partai politik. Dengan demikian, dikhawatirkan kepentingan golongan minoritas akan dicatut....Baperki sebagai organisasi yang sebagian besar 204 Baperki dan Pemilihan Umum anggotanya adalah orang-orang yang berasal dari golongan minoritas harus menunjuk calon-calon Baperki untuk mewakili golongan minoritas dengan efektif di dalam DPR dan Konstituante...”. Siauw menambahkan:”... Baperki bukan partai politik. Oleh karenanya Baperki tidak akan bersaing dengan partai politik manapun. Baperki juga tidak bermotivasi untuk mendapatkan suara terbanyak di dalam parlemen untuk bisa memerintah. Wakil-wakil Baperki di dalam parlemen diberi kebebasan untuk mengajukan pandangan-pandangan politik dan ideologi politiknya. Akan tetapi, mereka harus senantiasa saling berunding diantara sesamanya di dalam bidang kewarganegaraan.…”3. Deklarasi Baperki untuk turut dalam pemilu ternyata mengundang reaksi PNI, PSI dan Partai Katolik. Keberhasilan Baperki dalam membuka banyak cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia dalam waktu singkat, mengkhawatirkan mereka yang juga mengharapkan dukungan masyarakat Tionghoa. Dalam waktu 3 bulan, Baperki telah membentuk 48 cabang dan mendaftar ribuan anggota4. Sarino Mangunpranoto dari PNI di dalam rapat yang diadakan pada tanggal 16 Juni 1954 menyatakan bahwa adanya keinginan golongan minoritas untuk mencalonkan wakil-wakilnya di DPR dan Konstituante merupakan sikap yang tidak bijaksana. Selanjutnya ia mengatakan bahwa sebaiknya golongan minoritas tetap bersandar pada partai-partai politik besar dan memilih calon-calon yang diajukan oleh mereka5. Di dalam parlemen pada waktu itu PNI diwakili oleh Lie Po Yoe, Yap Tjwan Bing, Tjoa Sie Hwie dan Tony Wen. Keberatan Partai Katolik terhadap turut sertanya Baperki di dalam pemilu dituangkan di dalam sebuah artikel yang dimuat di dalam majalah Penabur, tertanggal 30 Mei 1954. Artikel itu 3 4 5 Berita Baperki, 26 May 1954. Ibid. Sin Po, 19 June 1954 205 Siauw Giok Tjhan memperingati para peranakan Katolik akan bahayanya mendukung Baperki yang dianggapnya sebagai organisasi Komunis. Baperki, diuraikan sebagai organisasi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh komunis yang melulu berorientasi ke RRT. Selanjutnya artikel itu mempertegas bahwa bilamana masyarakat peranakan Tionghoa mendukung Baperki dan para wakil Baperki mengisi semua kursi minoritas di parlemen, kepentingan masyarakat Katolik akan dilalaikannya.6. Pada waktu itu, Partai Katolik diwakili oleh Tjung Tin Yan. Di lain pihak, Keng Po yang diketahui berkiblat ke PSI, menganjurkan masyarakat Tionghoa untuk tidak mendukung Baperki. Bagi mereka, bilamana Baperki berhasil mengisi kursikursi minoritas, Baperki akan mengisolasi masyarakat Tionghoa dari bangsa Indonesia7. Tan Po Goan yang pernah menjadi meneteri negara di dalam kabinet Sjahrir, mewakili PSI di parlemen pada waktu itu. Akan tetapi beberapa pemimpin Keng Po yang jelas mendukung aliran PSI, ternyata masuk ke dalam Baperki dan kelihatannya sampai pada bulan Oktober 1954, tidak ada tekanan dari PSI terhadap para pengikutnya atau pendukungnya untuk meninggalkan Baperki. Siauw dengan tegas membantah pernyataan-pernyataan PNI dan Partai Katolik. Ia tegaskan bahwa usul PNI agar golongan minoritas tidak mengajukan calon-calonnya sebagai sikap yang menentang demokrasi. Siauw mengutarakan kekecewaan sikap beberapa partai politik yang dianggapnya ingin menggunakan perwakilan golongan minoritas di parlemen untuk kepentingan partainya. Dengan demikian, ungkapnya, mereka khawatir dengan kemungkinan berhasilnya Baperki dalam mengisi kursikursi perwakilan minoritas yang akan menjamin perwakilan yang sesungguhnya8. Akan tetapi, tentangan yang paling berat untuk dihadapi Baperki 6 7 8 Penabur, 30 May 1954 Sunday Courier, 27 June 1954 Ibid. 206 Baperki dan Pemilihan Umum dan terutama Siauw, justru datang dari dalam Baperki sendiri. Pimpinan Baperki Surabaya yang didominasi oleh Tjoa Sik Ien ternyata menentang keras keputusan Baperki untuk turut serta di dalam pemilu. Tjoa yang pernah memimpin PTI ini berhasil meyakinkan para pemimpin Baperki Surabaya untuk bersatu dalam menentang keputusan Baperki pusat. Kritik mereka semula diajukan melalui surat menyurat dan pembicaraan-pembicaraan biasa. Tetapi, pimpinan di Jakarta selalu menolak pandangan mereka Tjoa mendasari posisinya atas perjanjian yang dibuat oleh Tan Ling Djie, Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan dengan dirinya sendiri di Surabaya pada bulan Agustus 1945. Seperti apa yang pernah dituturkan, ke empat tokoh ini bersepakat untuk tidak meneruskan PTI yang hanya beranggotakan orang-orang Tionghoa, melainkan untuk aktif dalam partai-partai politik nasional yang tidak khusus didirikan untuk sebuah golongan minoritas saja. Tjoa ternyata tidak keberatan dengan berdirinya Baperki, bahkan menyambutnya. Akan tetapi keputusannya untuk turut dalam pemilu dengan tujuan mewakili golongan minoritas Tionghoa di parlemen dan Konstituante, menyimpang dari perjanjian yang dibuat pada tahun 1945 itu. Baperki, menurutnya menjalankan apa yang PTI pernah jalankan di zaman penjajahan Belanda. Karena Siauw mengetahui posisi Tjoa, antara bulan April dan Agustus 1954, ia mengirim Go Gien Tjwan ke Surabaya untuk meyakinkan para pemimpin di Surabaya bahwa pandangan mereka tidak menguntungkan posisi Baperki, bahkan merugikan golongan Tionghoa secara keseluruhan. Dalam satu rapat pimpinan Surabaya yang dihadiri oleh Go, ia berhasil meyakinkan para pesertanya bahwa Baperki harus turut serta dalam pemilu. Akan tetapi, ia gagal dalam mengubah pandangan yang dianut oleh Tjoa dan beberapa pemimpin9. Isu pemilu ternyata menjadi hal utama di dalam Kongres Baperki yang diselenggarakan di Jakarta pada awal bulan Agustus 9 Wawancara dengan Go Gien Tjwan. 207 Siauw Giok Tjhan 1954. Kongres ini dihadiri oleh para wakil dari 58 cabang. Pada saat isu pemilu diperdebatkan, wakil-wakil Surabaya membagikan selebaran yang berisikan pernyataan yang dipersiapkan oleh Tjoa Sik Ien. Walaupun selebaran tersebut tidak langsung menyerang Siauw, akan tetapi di dalamnya terkandung kritikan pedas terhadap pimpinan Baperki pusat. Argumentasi mereka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, mereka menganggap Baperki sebagai organisasi massa yang berbeda dengan PDTI dan Perwitt karena ia memiliki identitas nasional. Oleh karena itu, Baperki tidak semata-mata didirikan untuk golongan Tionghoa. Dengan mengajukan caloncalon Tionghoa sebagai wakil-wakil golongan minoritas Tionghoa, Baperki telah menyimpang dari prinsip-prinsip utamanya dan berubah menjadi organisasi semacam PDTI dan organisasiorganisasi Tionghoa lainnya. Kedua, karena Baperki adalah sebuah organisasi massa, maka ia tidak memiliki ideologi politik. Bilamana ia berhasil mendapatkan beberapa calon di dalam parlemen, wakil-wakil Baperki akan memiliki pandangan dan ideologi politik yang berbeda-beda. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan yang akan merusak Baperki. Ketiga, dengan mencalonkan wakil-wakilnya, Baperki akan secara langsung berhadapan dengan partai-partai politik yang seyogyanya diajak untuk mendukung perjuangan Baperki. Mereka berpendapat bahwa sebaiknya Baperki mendorong para anggotanya untuk mendukung partai-partai politik yang mendukung garis Baperki daripada menjadi saingan politiknya di dalam kancah politik nasional10. Posisi Surabaya dengan sendirinya mengundang reaksi para anggota delegasi yang hadir. Pada umumnya, posisi Surabaya ditentang. Hanya wakil-wakil dari Pasuruan yang mendukungnya. Pada umumnya, para anggota delegasi menganggap sikap Surabaya 10 Wawancara dengan Go Gien Tjwan 208 Baperki dan Pemilihan Umum itu tidak menguntungkan posisi Baperki. Di dalam perdebatan ini, Siauw memilih untuk menjadi pembicara terakhir yang memberinya kesempatan untuk merangkum semua pendapat yang diajukan di dalam kongres. Ia menyatakan bahwa sebagai organisasi massa, Baperki akan selalu beranggotakan orang-orang yang memiliki berbagai macam pandangan politik, baik di parlemen maupun di luar parlemen. Menurutnya, dengan program kerja yang baik, perbedaan-perbedaan ini malah memperkuat posisi Baperki. Ia berpendapat, bilamana para anggota Baperki dianjurkan untuk mendukung partai-partai politik yang berpartisipasi di dalam pemilu, perpecahan, bukannya persatuanlah yang akan terwujud. Oleh Siauw, lagi-lagi ditegaskan bahwa bilamana Baperki tidak turut serta di dalam pemilu, usaha Baperki untuk melawan rasisme dan membela kepentingan golongan minoritas akan sulit untuk dilaksanakan. Baginya, kepentingan partai politik sering bertentangan dengan kepentingan golongan minoritas11. Perdebatan tentang pemilu ini merupakan ujian politik yang pertama bagi Siauw di dalam mempersatukan berbagai golongan di Baperki. Di dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat, sikap Siauw tetap konsisten. Ia cenderung membiarkan bahkan mendorong perdebatan di dalam berbagai pertemuan. Baru setelah semua pihak mengajukan pendapatnya, ia menyimpulkan perbedaan-perbedaan pendapat yang ada dan lalu menyajikan pendapatnya yang ia selalu formulasikan sebagai kompromi yang bisa diterima oleh banyak orang. Cara ini ternyata berhasil membuatnya seorang pemimpin yang disegani di Baperki. Hampir semua pendapat yang ia formulasikan pada akhirnya diterima sebagai dasar dari program-program kerja Baperki. Ketika diambil pemungutan suara, wakil Surabaya kalah total. Surabaya mendapat dukungan dari 14 suara, sedangkan yang 11 Kongres Baperki kedua - Risalah Rapat; Berita Baperki, 26 August 1954. 209 Siauw Giok Tjhan menentangnya 15512. Tjoa Sik Ien ternyata kecewa dengan hasil kongres ini. Walaupun ia tidak secara resmi mengundurkan diri dari Baperki, tetapi ia memutuskan untuk tidak lagi mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan Baperki. Akan tetapi, ia tetap dekat dengan Siauw dan pada tahun 1964, atas desakan Siauw, ia kembali aktif di dalam Baperki sebagai ketua Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki Jawa Timur13. Daftar calon-calon Baperki disusun setelah diskusi dan perundingan berbulan-bulan baik di Jakarta maupun di berbagai kantor cabang. Pada mulanya, didaftar juga beberapa calon non Tionghoa seperti Sidik Kertapati (ketua Acoma) dan S. Brata (Murba) yang juga dekat dengan Siauw di parlemen. Akan tetapi, pada akhirnya diputuskan hanya anggota-anggota Baperki saja yang bisa didaftar sebagai calon-calon Baperki. Walaupun demikian, ada juga seorang calon yang diajukan oleh Siauw, Teng Tjin Leng, seorang pengacara Katolik yang terkenal di Makasar. Ketika ia dicalonkan, cabang Makasar belum dibentuk dan Teng belum menjadi anggota14. Daftar calon untuk DPR yang disusun berdasarkan ranking yang disetujui adalah sebagai berikut15: 1. 2. 3. 4. 5. Siauw Giok Tjhan 7. Oei Tjoe Tat Go Gien Tjwan 8. Yap Thiam Hien Lim Tjong Hian 9. Tan Hwat Tiang Teng Tjin Leng 10. Tan Eng Oen Auwyang Peng Koen 11. Tan Po Goan 6. Tan Kian Lok 12. Tan Siang Lian Seperti dewan pimpinan Baperki, daftar calon ini mencerminkan 12 13 14 15 Ibid. Wawancara dengan Siauw Giok Bie, April 1989 dan Go Gien Tjwan, Desember 1993 Risalah Rapat, Baperki 1954. Berita Baperki, 26 August 1954 210 Baperki dan Pemilihan Umum spektrum politik Baperki. Yang kiri diwakili oleh Siauw dan Go. Kelompok Katolik diwakili oleh Teng Tjin Leng dan Auwyang Peng Koen. Kelompok “tengah” diwakili oleh Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien dan Lim Tjong Hian. Kelompok PSI diwakili oleh Tan Po Goan. Untuk Konstituante, daftar calon yang berjumlah 24 ini dimulai dengan Siauw sebagai calon utama, diikuti oleh Auwyang Peng Koen, Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan dan Yap Thiam Hien. Daftar calon ini juga mencerminkan adanya spektrum politik yang besar di dalam tubuh Baperki16. Perjanjian Vote-Pooling Undang-undang pemilu memungkinkan adanya kerja sama antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang turut dalam pemilu. Ini memungkinkan surplus suara yang diperoleh oleh satu partai politik untuk dibagi dengan partai lainnya sehingga memungkinkan gabungan dari surplus suara itu menghasilkan tambahan kursi perwakilan di DPR dan Konstituante17. Hal ini mendorong Baperki untuk mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Diantaranya memilih partai-partai politik yang dianggap sealiran dengan Baperki untuk diajak bekerja sama dalam membagi surplus suara-suara. Partai pertama yang menghubungi Baperki untuk berkooperasi dalam hal ini adalah PSI. Pada tanggal 29 Juni 1954, Subadio Sastrosatomo dan Major Polak dari PSI bertemu dengan Siauw Giok Tjhan, Khoe Woen Sioe, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Auwyang Peng Koen. Soebadio menyatakan bahwa PSI ingin bekerja sama dengan Baperki asal Baperki bersedia untuk masuk ke dalam fraksi PSI di DPR. Sebagai timbal baliknya, PSI akan memberi calon-calon kuat Tionghoa yang berada dalam barisan PSI untuk masuk dalam daftar calon Baperki18. 16 17 18 Ibid. Feith, The Indonesian Elections, p 63. Risalah Rapat Baperki, 29 June 1954 211 Siauw Giok Tjhan PKI juga tertarik untuk bekerja sama dengan Baperki. Seperti PSI, PKI-pun bersedia menyediakan calon-calon kuat untuk dimasukkan ke dalam daftar Baperki, akan tetapi PKI tidak menekan Baperki untuk masuk ke dalam fraksinya di DPR. Yang diminta dari Baperki hanyalah dukungannya terhadap program-program utama PKI di DPR. Yang paling menonjol dalam menunjukkan keinginan untuk bekerja sama dengan Baperki adalah PRN (Partai Rakyat Nasional). Pada bulan Juli 1954, ketua PRN, Djodi Gondokusumo yang dekat dengan Siauw, bertemu dengan pimpinan Baperki. Dalam pertemuan itu, ia menyatakan bahwa PRN hanya bersedia bekerja sama dengan Baperki dalam vote-pooling19. Pada waktu vote-pooling itu dimasalahkan dalam Baperki, politik di Indonesia mengalami polarisasi yang mencolok. Koalisi MasjumiPSI-Katolik yang tidak diwakili dalam kabinet Ali berfungsi sebagai pihak oposisi terhadap pemerintah yang didominasi oleh PNI dan yang memperoleh dukungan PKI. . Perdebatan antara kedua kelompok yang bertentangan di tingkat atas sangat tegang dan Angkatan Darat terlihat memihak pada kelompok oposisi karena kabinet Ali dianggap berhaluan kiri. Disamping itu, pihak oposisi juga berhasil memojokkan pemerintah yang ternyata beberapa menterinya terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Adanya ketegangan politik seperti itu juga mempengaruhi Baperki yang juga beranggotakan orang-orang yang berkiblat ke PSI, Partai Katolik, PNI dan PKI. Oleh karenanya, timbullah perdebatan yang cukup sengit tentang dengan siapa Baperki harus bekerja sama. Tadinya Siauw mendukung ide vote-pooling dengan beberapa partai politik yang ia percaya akan mendukung dan memperkuat posisi politik Baperki. Akan tetapi setelah melihat adanya ketegangan di dalam tubuh Baperki, ia memutuskan untuk menganjurkan Baperki berdiri sendiri dan tidak bekerja sama dengan siapa-pun. Dengan demikian, ketika dipungut suara, para 19 Risalah Rapat Baperki, 23 Juli 1954. 212 Baperki dan Pemilihan Umum pendukung vote-pooling dikalahkan20. Kampanye Baperki Setelah Baperki mengkonsolidasi posisinya untuk turut serta dalam pemilu, ia dengan cepat membentuk badan yang ditugaskan untuk menyiapkan Baperki berkampanye. Panitia Pemilu yang dibentuk ini diketuai oleh Kwee Hwat Djien, seorang apoteker dan pemimpin dari Sin Ming Hui. Anggota-anggota panitia ini termasuk Auwyang Peng Koen dan Yap Thiam Hien. Walaupun Yap Thiam Hien tidak berhasil dipilih sebagai wakil ketua Baperki dalam rapat pembentukan Baperki, ia tetap menjadi salah seorang anggota dewan pimpinan yang berpengaruh. Ia memainkan peranan penting dalam menentukan program-program kerja Baperki. Sumbangannya jelas diakui oleh Siauw dan para pemimpin lainnya sehingga pada waktu The Pek Siong meletakkan jabatannya sebagai wakil ketua pada bulan Agustus 1954, Yap segera diangkat sebagai penggantinya21. Risalah-risalah rapat panitia pemilu juga menunjukkan bahwa Yap-lah yang memainkan peranan terpenting di dalamnya. Ketika Kwee Hwat Djien mengundurkan diri dari Baperki pada bulan September 1955, Yap ditunjuk oleh Siauw untuk menggantikannya sebagai ketua panitia pemilu22. Pada bulan April 1955, Siauw mengeluarkan pedoman pemilu yang disebar luaskan ke seluruh cabang Baperki. Pedoman ini mencakup beberapa hal yang Siauw sering tegaskan dalam berbagai pidato dan artikel pada bulan-bulan menjelang persiapan Baperki berkampanye, diantaranya: Diulang oleh Siauw bahwa Baperki tidak memiliki ideologi politik dan sebagai organisasi massa, ia beranggotakan orang-orang dari berbagai macam aliran politik. Dijelaskan oleh Siauw bahwa 20 21 22 Risalah Rapat Kongres Baperki, August 1954. Risalah Kongres menyatakan bahwa The Pek Siong mengun durkan diri karena alasan kesehatan. Risalah Rapat Baperki, Oktober 1955 213 Siauw Giok Tjhan perjuangan Baperki berhubungan erat dengan nation Building dan terciptanya masyarakat yang tidak mengenal rasisme. Disamping itu, tujuan utama Baperki adalah turut menciptakan negara yang demokratis yang bersih dari elemen-elemen kolonialisme. Ditekankan oleh Siauw bahwa Baperki akan memperjuangkan adanya UU kewarganegaraan yang memungkinkan sebanyak mungkin anggota masayarakat Indonesia keturunan asing menjadi warga negara Indonesia. Juga ditekankan oleh Siauw bahwa Baperki akan memperjuangkan dikeluarkannya undang-undang yang menjunjung tinggi motto negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Baperki, menurut Siauw, akan memperjuangkan dijunjung tingginya Deklarasi PBB tentang Hak Azazi Manusia (United Nations’ Universal Declaration of Human Rights) yang menentang diskriminasi rasial. Sehubungan dengan isu-isu politik dan ekonomi umum, Siauw menekankan bahwa Baperki akan memperjuangkan dikeluarkan dan dilaksanakannya Undang-Undang yang menjamin semua usaha mengexploitasi kekayaan alam negara Indonesia ditujukan untuk memakmurkan rakyat terbanyak. Baperki akan memperjuangkan adanya Undang-Undang yang melindungi hak-hak perempuan dan adanya sistim pendidikan yang bisa dinikmati oleh semua warga negara tanpa pertimbangan latar belakang etnis-nya. Akhirnya, Siauw menegaskan bahwa Baperki akan berfungsi sebagai wakil golongan minoritas dan perwakilannya di DPR dan Konstituante akan bebas dari pengaruh partai-partai politik yang sering memiliki program yang rasistis. Dengan pedoman pemilu ini, pimpinan Baperki mulai berkeliling di seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Yang paling banyak keliling adalah Siauw, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan Auwyang Peng Koen. Perhatian utama diberikan pada pulau Jawa dan Madura, di mana terdapat lebih dari 600.000 orang Tionghoa23. Siauw dan Go Gien Tjwan yang berkeliling bersama sering 23 Somers, Peranakan Chinese Politics in Indonesia, p 147 214 Baperki dan Pemilihan Umum terperanjat dengan antusiasme masyarakat peranakan Tionghoa dalam menerima dan mendukung Baperki di daerah-daerah pedalaman. Reputasi Siauw sebagai politikus yang membela kepentingan golongan Tionghoa di dalam berbagai bidang dan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh orang banyak ternyata telah mendorong banyak orang Tionghoa di kotakota kecil untuk datang mendengar kampanye Siauw. Go Gien Tjwan teringat bahwa walaupun kebanyakan dari mereka yang datang itu tidak mengerti dan tidak tertarik dengan politik, tetapi mereka, termasuk para perempuan tua datang berbondong-bondong mendengar uraian Siauw di berbagai kampanye Baperki24. Penekanan program Baperki di dalam kampanyenya tentu berbeda dengan partai-partai politik. Baperki mencanangkan program yang berjanji untuk memperbaiki penghidupan golongan Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, program Baperki dapat lebih mudah di”jual” ke masyarakat Tionghoa daripada program para partai politik lainnya. Disamping itu, banyak program yang diuraikan oleh tokoh-tokoh partai politik pusat sering tidak dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Tionghoa di daerahdaerah pedalaman25. Adanya jumlah pendengar yang besar dari kampanye-kampanye para partai politik tidak bisa dijadikan ukuran akan berapa besar dukungan yang ada untuk para partai tersebut pada hari pemilu. Banyak dari mereka yang datang ke acara-acara kampanye politik itu karena tertarik dengan keramaian dan acara entertainment yang disajikan26. Baperki memiliki kekhususan dalam hal ini. Karena penjelasannya diarahkan ke masyarakat Tionghoa dengan janji-janji perlindungan politik bagi masyarakat Tionghoa, jumlah orang yang datang ke acara-acara Baperki bisa merupakan sebuah 24 25 26 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan Siauw Giok Bie. Feith, The Indonesian Elections of 1955, p 18 Ibid, p 22 215 Siauw Giok Tjhan ukuran atas jumlah orang yang akan memilih wakil-wakil Baperki pada hari pemilu. Di dalam kampanye-kampanye itu, Siauw menekankan bahwa banyak partai politik yang ingin mendapat dukungan komunitas Tionghoa justru menjalankan politik rasisme dan menekan golongan Tionghoa. Dalam hal ini Siauw menggunakan kesempatan untuk menonjolkan praktek-praktek politik diskriminasi yang dilaksanakan oleh beberapa partai politik. Diantaranya praktek politik “asli” yang menimbulkan pelaksanaan sistim Ali-Baba dan yang menyebabkan kekacauan ekonomi Indonesia. Contohcontoh yang diungkapkan oleh Siauw termasuk Pedoman Baru yang membatasi orang Tionghoa berkecimpung dalam dunia transportasi dan dibatasinya orang-orang Tionghoa dalam usaha menggiling padi. Program-program ekonomi yang memojokkan golongan Tionghoa itu oleh Siauw dikaitkan dengan PSI dan PNI. Berdasarkan inilah, Siauw menganjurkan komunitas Tionghoa untuk mendukung Baperki dan memilih calon-calonnya. Baperki ternyata berhasil menciptakan antusiasme dalam kalangan Tionghoa untuk mendukungnya. Dukungan komunitas Tionghoa di Jawa dan beberapa daerah di Sumatra jelas ada. Di Kalimantan Selatan, di mana penduduk Tionghoa-nya beragama katolik, dukungan terhadap Baperki tidak besar. Ini mungkin disebabkan adanya kekecewaan terhadap Siauw yang turut aktif dalam mengusahakan diusirnya Pastor Taiwan yang bekerja di sana, bernama Wang, dari Kalimantan27. Akan tetapi, antusiasme komunitas Tionghoa yang diwujudkan oleh kampanye-kampanye Baperki menciptakan ketegangan antara Baperki dengan PSI dan Partai Katolik yang selamanya juga mengandalkan dukungan komunitas Tionghoa. Pada akhirnya, ini juga menimbulkan perpecahan dalam tubuh Baperki sebulan sebelum pemilu yang diadakan pada tanggal 29 September 1955. PSI mulai mendorong para anggota dan simpatisannya untuk 27 Siauw, Lima Jaman, p 250 216 Baperki dan Pemilihan Umum meninggalkan barisan Baperki. Tan Po Goan, seorang tokoh PSI yang namanya terdaftar dalam daftar Baperki, merupakan tokoh pertama yang meninggalkan Baperki. Tan meninggalkan Baperki tanpa mengeluarkan keluhan atau kecaman terhadap Baperki atau pimpinannya. Alasan yang digunakannya adalah ia hanya ingin mewakili PSI di DPR. Walaupun keluar dari Baperki, ia tidak pernah mengecam Siauw dan ia tetap dekat dengan Siauw.28. Tidak lama setelah Tan Po Goan meninggalkan Baperki, Khoe Woen Sioe, juga seorang simpatisan PSI mengundurkan diri dari posisi wakil ketua Baperki. Seperti Tan Po Goan, Khoe meninggalkan Baperki dengan baik-baik dan tidak pernah mengecam Baperki di depan umum29. Kalau Tan dan Khoe meninggalkan Baperki tanpa ramai-ramai, Injo Beng Goat, juga seorang simpatisan PSI, editor dari Keng Po, meninggalkan Baperki dengan penuh kecaman dan serangan pedas. Artikel-artikel yang ditulis oleh Injo Beng Goat dan dimuat dalam Keng Po tertanggal 9, 13 dan 24 September, menyerang Siauw Giok Tjhan dan Go Gien Tjwan yang dituduhnya tokoh-tokoh komunis. Menurut Injo, Siauw dekat dengan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie dan juga terlibat dalam peristiwa Madiun. Injo juga menyatakan bahwa setelah Tan Po Goan dan Khoe Woen Sioe berpijak dari Baperki, organisasi itu didominasi oleh Komunis. Dan tanpa Tan dan Khoe, menurut Injo, Baperki akan hancur dalam waktu singkat. Oleh karena itu, Injo menganjurkan para pembacanya untuk mendukung PSI.30. Sebagai reaksi tuduhan Injo Beng Goat, Baperki mengeluarkan beberapa artikel dalam berbagai surat kabar dan Berita Baperkinya. Artikel-artikel ini menyatakan bahwa dekatnya Siauw dengan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie tidak otomatis membuatnya seorang Komunis. Artikel-artikel ini juga menyerang Injo Beng Goat sebagai seorang yang oportunistis, karena di zaman revolusi, 28 29 30 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, July 1993; Berita Baperki, 7 October 1955 Keng Po, 9, 13, 24 September 1955 217 Siauw Giok Tjhan ia dikatakan mendukung penjajah Belanda. Baperki menuntut PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk mencabut keanggotaan Injo dari organisasi ini dan menghukum Keng Po yang telah memfitnah Baperki31. Sampai tahap ini, kampanye-kampanye Baperki tidak mengikut sertakan serangan-serangan terhadap partai-partai politik lainnya. Akan tetapi serangan Injo Beng Goat terhadap Baperki dan Siauw ternyata mendorong pimpinan Baperki untuk mulai menyerang PSI. Baperki menyatakan bahwa PSI tidak pernah membela posisi Tionghoa dan tidak berbuat apa-apa ketika politik “asli” yang sangat rasis itu dilaksanakan. Selain pertikaian yang terjadi antara Baperki dan para pendukung PSI, terdapat juga ketegangan antara kelompok kiri dan kanan di dalam tubuh Baperki, terutama ketika adanya perdebatan tentang daftar calon anggota DPR dan ranking yang telah disepakati. Dua Minggu sebelum pemilu, Auwyang Peng Koen yang didaftar sebagai calon ke lima menghubungi Oei Tjoe Tat dan Yap Thiam Hien. Ia menunjukkan ketidak puasannya terhadap ranking yang telah disepakati itu32. Menurut Auwyang, bilamana Baperki diwakili oleh Siauw dan Go (calon nomor satu dan dua) yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh kiri, Baperki tidak menyuarakan semua aliran politik yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, ia menganjurkan agar Go Gien Tjwan, sebagai calon ke dua diganti dengan orang seperti dia untuk mengimbangi paham kiri yang dianut oleh Siauw. Ketika Oei dan Yap menghubungi Siauw tentang ini, ia menyetujui adanya perubahan dalam ranking. Dalam pembicaraannya dengan Go Gien Tjwan, Go setuju untuk menarik namanya dari posisi ke dua. Akan tetapi, ia berkeberatan bilamana posisi kedua ini diisi oleh Auwyang Peng Koen. Ia menyatakan bahwa posisi ini bisa saja 31 32 Berita Baperki 7 October 1955; Antara, 26 September 1955. Sebelum ini, Auwyang juga pernah meninggalkan Baperki karena adanya perdebatan tentang masalah sekolah Tionghoa. Akan tetapi, ia masuk ke Baperki lagi. 218 Baperki dan Pemilihan Umum diisi oleh Yap Thiam Hien atau Teng Tjin Leng33. Didalam pertemuan tanggal 16 September 1955 yang dihadiri oleh Siauw, Oei, Yap , Go dan Auwyang, Auwyang diberitahu bahwa Go telah bersedia untuk mundur dari posisi kedua supaya posisi ini bisa diisi oleh calon lain. Go menyatakan bahwa ia akan mengumumkan keputusannya itu pada kongres Baperki yang akan diadakan pada tanggal 19 September 1955. Di dalam rapat itu Auwyang tidak dijanjikan untuk bisa segera mengisi posisi kedua itu, tetapi ia ternyata menganggap rapat itu telah menyetujuinya sebagai calon kedua34. Akan tetapi kongres tersebut memutuskan untuk tidak mengganti Go Gien Tjwan sebagai calon kedua. Auwyang ternyata memutuskan untuk tidak menentang keputusan itu di dalam kongres35. Ia menunggu sampai tiga hari sebelum pemilu diadakan. Pada tanggal 26 September, ia mengeluarkan artikel yang diterbitkan oleh Keng Po. Di dalamnya ia menyatakan bahwa ia keluar dari Baperki dan menuduh Siauw dan Go sebagai tokoh-tokoh Komunis yang dengan curang telah mengelabuinya dalam menentukan rankingnya di dalam daftar calon anggota DPR Baperki. Ia memperingati para pembaca Keng Po untuk waspada akan motivasi pimpinan Baperki yang garis politiknya akan mengundang kemarahan dan serangan dari kelompok-kelompok Islam. Ini, menurutnya, akan membahayakan posisi komunitas Tionghoa di Indonesia36. Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat semuanya menulis surat ke Keng Po pada tanggal 26 September mengutuk tindakan Auwyang Peng Koen yang digambarkannya sebagai seorang penipu. Dari ketiga surat ini, hanya surat Oei Tjoe Tat yang 33 1 34 35 36 Wawancara dengan Go Gien Tjwan. Berita Baperki 7 October 955. Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat. Surat Yap Thiam Hien dimuat dalam Berita Baperki, 7 October 1955. Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat Keng Po, 26 September 1955. 219 Siauw Giok Tjhan dimuat oleh Keng Po. Akan tetapi surat-surat Yap Thiam Hien dan Go Gien Tjwan dimuat dalam Berita Baperki yang diterbitkan pada tanggal 7 Oktober 1955. Seperti biasa, Siauw sendiri tidak mengambil bagian dalam mencaci maki Auwyang Peng Koen. Surat terbukanya dimuat juga dalam Berita Baperki tertanggal 7 Oktober 1955. Di suratnya, sama sekali tidak mengacu pada artikel Auwyang. Yang ia tegaskan adalah, Baperki akan tetap mewakili berbagai aliran politik37. Kampanye politik berakhir pada tanggal 24 September 1955. Pada tanggal 29 September, 39 juta penduduk Indonesia yang berhak memilih, memilih di seluruh Indonesia untuk DPR. Pada tanggal 15 Oktober, pemilu diulangi untuk Konstituante. Hasil Pemilu 10 hari setelah pemilu, hasilnya mulai diketahui. Hasil ini mengejutkan banyak orang karena telah mengubah struktur politik yang ada. NU merupakan partai yang paling banyak kenaikan jumlah anggotanya, diikuti oleh PKI. Yang paling banyak kehilangan kursi adalah Murba, PRN, PSI, PIR dan SKI . Walaupun terjadi exodus pimpinan dari Baperki dalam beberapa minggu sebelum pemilu, Baperki cukup banyak dalam mengumpulkan suara. Total suara yang dikumpulkan oleh Baperki adalah 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante. Table 7.1 memperlihatkan jumlah suara yang terkumpul untuk Baperki38. Dari table ini jelas bahwa sekitar 80% dari suara yang diperoleh oleh Baperki berasal dari Jawa dan Baperki ternyata berhasil mengumpulkan 70% suara komunitas Tionghoa di Jawa. Baperki jelas berhasil meraih jauh lebih banyak suara Tionghoa dari semua organisasi yang berpartisipasi dalam pemilu39. 37 38 39 Berita Baperki 7 October 1955. Feith, The Indonesian Elections of 1955, p. 65; Somers, Pera nakan Chinese Politics In Indonesia, p 146 Somers, peranakan Chinese Politics In Indonesia, pp 147-148 220 Baperki dan Pemilihan Umum Propinsi Parlemen Konstituante Jawa Timur 35,489 33,369 Jawa Tengah 44,743 44,908 Jawa Barat 38,376 33,595 Jakarta 26,944 23,384 Sumatra Selatan 10,178 8,496 Sumatra Tengah 4,495 3,918 Sumatra Utara 4,674 4,044 Kalimantan Selatan 2,132 1,981 Kalimantan Timur 536 441 Sulawesi Utara 2,195 2,100 Sulawesi Selatan 1,462 1,165 Nusatenggara Timur 3,784 1,111 Nusatenggara Barat 3,859 1,981 Table 7.1 - Suara yang dikumpulkan Baperki Di berbagai tempat pemilu, jumlah suara Baperki melebihi jumlah suara yang terkumpul oleh partai-partai politik. Di beberapa kota seperti Semarang, Bandung dan Cirebon, jumlah suaranya termasuk yang paling tinggi40. Juga terdapat beberapa hal yang mengejutkan. Di desa Bobotsari dekat Purbolinggo, Jawa Tengah, yang tidak memiliki penduduk Tionghoa, Baperki memperoleh semua suara pemilihan. Ternyata penduduk daerah itu yang beragama Kejawen menganggap Baperki yang mempunyai lambang bunga teratai, sebagai organisasi yang akan melindunginya -- karena simbol Baperki juga merupakan simbol agama Kejawen41. 178.887 suara yang berhasil dikumpulkan oleh Baperki menyebabkannya berhak untuk mendapat satu kursi di DPR. Sebagai calon pertama, Siauw Giok Tjhan lah yang mengisi kursi 40 41 Ibid, p 148; Antara 6 October 1955; Berita Baperki, 7 October 1955 Siauw, Lima Jaman, p 265 221 Siauw Giok Tjhan di DPR ini. Karena Baperki tidak memiliki vote-pooling dengan organisasi lainnya, surplus suara yang melebih 43 ribu itu tidak membuahkan kursi tambahan untuk Baperki. Selain Siauw, ada juga calon Tionghoa yang terpilih, Tjoo Tik Tjoen, 34 dari Surabaya. Tjoo terpilih dengan ticket PKI. Pada waktu ia dipilih, ia menjabat sekretaris PKI di Surabaya Karena UU pemilu menyatakan bahwa golongan minoritas Tionghoa dapat memiliki 9 orang wakil di DPR, Siauw mengharap bahwa ke 8 perwakilan orang Tionghoa di DPR ini sebagian besar akan diisi oleh Baperki. Di dalam pernyataannya yang dikeluarkan pada bulan Februari 1956, Siauw mengungkapkan bahwa hak-hak golongan minoritas hanya bisa diperjuangkan oleh wakil-wakil yang dipilih oleh golongan itu sendiri. Menurut Siauw, daftar calon Baperki merupakan daftar yang seharusnya dijadikan pegangan pemerintah dalam menunjuk wakil-wakil minoritas Tionghoa, bukan daftar yang dikeluarkan oleh partai-partai politik42. Dalam bulan yang sama, Baperki dan GIKI (Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia) mengeluarkan pernyataan bersama yang menuntut turut sertanya Presiden Soekarno dalam menunjuk wakil-wakil minoritas di DPR dan Konstituante43. Baperki berkampanye untuk menjadi satu-satunya organisasi yang sah dalam mewakili golongan Tionghoa. Dalam bulan-bulan pertama di tahun 1956, Baperki berhasil mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan dari masyarakat Tionghoa sebagai tanda adanya dukungan luas terhadapnya. Di Semarang, wakil Baperki Tan Hong Hie berhasil mengumpulkan 22.000 tanda tangan. Di Jakarta, Yap Thiam Hien-pun berhasil mengumpulkan 17.000 tanda tangan. Dan Teng Tjin Leng di Makasar, berhasil mengumpulkan 16.000 tanda tangan44. Akan tetapi daya upaya Siauw tidak mendapat sambutan positif dari pemerintah. Pada bulan Agustus 1956, nama-nama dari para 42 43 44 Berita Baperki, 15 March 1956 Berita Baperki, 15 March 1956. Berita Baperki 15 November 1955 222 Baperki dan Pemilihan Umum calon anggota minoritas Tionghoa di DPR dimuat dalam berbagai surat kabar. 6 dari ke 7 calon ini adalah anggota dari partai-partai politik. Satu dari Parkindo, satu dari Partai Katolik, dua dari NU dan dua dari PNI. Partai-partai ini juga diwakili di dalam kabinet Ali yang ke dua45. Siauw bertindak cepat di dalam DPR untuk menentang rencana ini. Sikap Siauw didukung sepenuhnya oleh pihak oposisi, PKI dan Mohamad Yamin. Sakirman dari PKI menyatakan bahwa daftar Baperki-lah yang seharusnya dipergunakan dalam memilih caloncalon wakil minoritas di DPR, karena Baperki memiliki surplus suara yang cukup besar46. Atas desakan Siauw, pemerintah menghasilkan kompromi. Pengangkatan Ko Kwat Oen, sebagai wakil NU dibatalkan. Ia diganti oleh Ang Tjiang Liat , seorang hakim yang ternama di Banjar Masin. Pilihan Siauw mengejutkan banyak orang, karena nama Ang tidak pernah berada di dalam daftar calon yang diperjuangkan oleh Baperki. Tetapi kebijakan ini diambil Siauw untuk mengurangi ketegangan di dalam Baperki. Bilamana ia memilih Go Gien Tjwan, pihak kanan tentu berkeberatan. Bilamana ia memilih Yap Thiam Hien yang protestan, pihak Katolik akan protes. Demikian juga, bilamana ia memilih Teng Tjin Leng yang katolik, pihak Kristen protestan yang akan protes47. Untuk Konstituante, kompromi pihak pemerintah menyebabkan Baperki bisa memperoleh banyak tambahan kursi perwakilannya. Hasil pemilu untuk Baperki diisi oleh Siauw dan Oei Tjoe Tat. Ada tiga wakil Tionghoa lain yang terpilih dalam proses pemilu, yaitu Tan Ling Djie dan Oey Hay Djoen dari PKI dan Tony Wen dari PNI. Hasil kompromi ini adalah tambahan kursi untuk Baperki yang diisi oleh Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng , Oen Poen Djiang, Jan Ave and C.S Richter. Dua yang terakhir adalah wakil45 46 47 Berita Baperki, 15 September 1956 Republik, 6 September 1956 Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat 223 Siauw Giok Tjhan wakil Baperki untuk golongan Indo48. Dengan adanya wakil-wakil Baperki baik di DPR maupun di Konstituante, Siauw lebih giat lagi dalam melawan rasisme. Siauw berkampanye di Banda Aceh 1955 48 Bersama dengan pimpinan Baperki Aceh, 1955 Republik, 21 November 1957 224 Baperki dan Pemilihan Umum Berkampanye di Solo, 1955 Kunjungan ke Den Pasar, Bali, 1955 225 Siauw Giok Tjhan Berkampanye di Makasar 226 Pembangunan Ekonomi Nasional BAB 8 PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL Salah satu tema penting kebijakan politik pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an adalah Indonesianisasi ekonomi. Setiap kabinet di masa ini menyatakan bahwa dasar ekonomi Indonesia harus bersih dari elemen-elemen kolonialisme. Program ekonomi masa itu juga dikenal sebagai program ekonomi nasional. Akan tetapi, oleh banyak tokoh politik, ekonomi nasional berarti dikuranginya bahkan dihapuskannya peranan pedagang-pedagang Tionghoa dalam ekonomi dan digantikannya mereka dengan pedagang-pedagang “asli”. Motivasi politik ini jelas berkaitan dengan kepentingan ekonomi pribadi para pejabat dan tokoh politik yang mencanangkan program yang dinamakan ekonomi nasional. Di lain pihak, kapital monopoli raksasa Belanda yang mendapat perlindungan dari ketetapan-ketetapan KMB 1949, tidak dikutikkutik. Siauw merupakan salah seorang anggota DPR yang paling gigih dalam menentang dilindunginya kekuatan ekonomi raksasa Belanda. Ia selalu menuntut pemerintah untuk bertindak tegas dalam mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang menurutnya telah menguras kekayaan Indonesia. Argumentasi Siauw tentunya mendapat dukungan berbagai kekuatan politik. Tetapi ketika ia membela kepentingan golongan Tionghoa, ia harus melawan arus nasionalisme yang pada waktu itu dimanifestasikan dalam bentuk pengambil alihan usaha dari tangan Tionghoa ke tangan pedagang “asli. Bagi Siauw, pembangunan ekonomi nasional tidak bisa tidak berarti menghancurkan struktur ekonomi kolonial dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang mempercepat kemakmuran Rakyat. Siauw kerap berargumentasi bahwa kebijakan ekonomi pemerintah, sejak zaman RIS tidak mengarah ke pembangunan ekonomi nasional yang dikehendaki Rakyat. 227 Siauw Giok Tjhan Yang dijalankan, menurut Siauw, justru mempertahankan struktur ekonomi kolonial, di mana penindasan terhadap Rakyat tetap dilaksanakan demi kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan besar milik asing. Pelaksanaan UUD 45 pasal 33 yang menjamin kekayaan alam dimiliki dan dikuasai oleh negara merupakan salah satu dasar pembangunan ekonomi nasional, yang menurut Siauw, tidak pernah dengan konsekwen dilakukan. Siauw menghadapi kenyataan di mana bukan perusahaanperusahaan asing yang menghisap kekayaan alam Indonesia yang diambil alih dan kepemilikan dan kontrol-nya dikuasai negara, tetapi fokus perjuangan para politikus adalah pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Tionghoa yang merupakan modal domestik yang sudah berjalan lancar dan terbukti turut berjasa dalam melancarkan roda ekonomi Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Salah satu alasan kenapa Siauw menghadapi perlawanan dalam usahanya membela kepentingan golongan Tionghoa adalah dari segi ideologi politik. Orang-orang Tionghoa distereotipe-kan sebagai orang-orang kaya yang cenderung eksklusif dan mementingkan dirinya sendiri, yang mencapai keberhasilannya dengan korupsi, yang berjiwa oportunistis dan yang tidak loyal pada RI. Dengan demikian, usaha Siauw dalam membela kepentingan golongan Tionghoa, walaupun dilakukan dalam konteks membangun ekonomi nasional, sering ditentang keras oleh banyak tokoh politik, baik yang berada dipihak pemerintah maupun oposisi. Alasan lain yang menyebabkan perjuangan Siauw menjadi lebih berat adalah adanya pengertian di dalam arus politik utama ketika itu bahwa perwujudan ekonomi nasional berarti pedagangpedagang “asli” harus mendapatkan prioritas dan perlindungan dalam menghadapi persaingan terhadap pedagang-pedagang asing, terutama Tionghoa. Juga terdapat tekanan keras dari pihak PNI dan Masjumi yang mendesak pemerintah untuk memberi berbagai fasilitas dagang 228 Pembangunan Ekonomi Nasional pada para tokohnya sehingga mereka bisa berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Politik “Asli” Beberapa saat sebelum Konperensi Meja Bundar (KMB) 1949, tokoh-tokoh nasional sudah mulai berbicara tentang Ekonomi Nasional yang didasari atas pengertian diambil alihnya investment dan kapital perusahaan-perusahaan asing oleh perusahaanperusahaan nasional Indonesia. Bagaimana program ekonomi ini dilaksanakan ternyata menimbulkan adanya program yang dikenal sebagai politik “asli”. Politik “asli” berdasarkan keinginan para tokoh yang berkecimpung dalam bidang ekonomi untuk membatasi bahkan menghilangkan pengaruh pedagang Tionghoa dalam bidang ekonomi dan mengembangkan kelas pedagang “asli”. Siauw sangat menentang dipergunakannya istilah “asli” dalam formulasi ekonomi dan kebangsaan. Di dalam semua pidato dan tulisannya, ia selalu menulis perkataan “asli” dengan tanda kutib. Tiada ada seorang Indonesia-pun yang bisa mengatakan bahwa ia memiliki darah Indonesia “asli”, demikian ujar Siauw. Istilah “asli” yang digunakan oleh para tokoh politik, menurutnya, tidak mempunyai dasar hukum dan harus dilenyapkan. Siauw selalu menegaskan bahwa Nasion Indonesia bukanlah Nasion yang terdiri dari satu ras Indonesia. Ras Indonesia, menurutnya tidak ada. Yang ada adalah Nasion yang terdiri atas berbagai suku. Berdasarkan pengertian ini, menurut Siauw, terminologi “asli” tidak masuk diakal dan tidak memiliki landasan hukum. Politik “asli” menurut Siauw diperkenalkan dan dimulai oleh Djuanda, pada waktu ia menjadi menteri keuangan di dalam kabinet RIS pada bulan Desember 1949. Program politik “asli” ini diperbincangkan di dalam Konperensi Ekonomi Indonesia yang 229 Siauw Giok Tjhan diselenggarakan di Yogyakarta pada bulan Desember 19491. Kebijakan “asli” ini ditujukan untuk melindungi posisi golongan ekonomi lemah. Menurut Djuanda, golongan ekonomi lemah ini terdiri dari orang-orang Indonesia “asli”, sedangkan orang-orang Tionghoa dimasukkan ke dalam kategori golongan ekonomi kuat. Berdasarkan definisi ini, Djuanda berpendapat bahwa berbagai peraturan harus dibuat sehingga orang-orang dari golongan ekonomi lemah ini bisa memperoleh keringanan beban pinjaman dan memperoleh perlayanan khusus yang memudahkan proses untuk mendapatkan berbagai macam izin dagang. Ditambahkan oleh Djuanda, untuk memperkecil pengaruh golongan ekonomi kuat, orang-orang dari golongan ini harus dilarang untuk mendapatkan kredit dan izin-izin dagang di dalam bidang-bidang tertentu. Sejak politik “asli” ini dimulai, Siauw telah mengutuknya sebagai sebuah sistem yang diskriminatif dan yang akan membuat orangorang Tionghoa diperlakukan sebagai “anak-tiri”. Siauw menyatakan bahwa ia sepenuhnya mendukung program yang dilaksanakan untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Tapi bilamana definisi yang dipakai itu berdasarkan ras, ia menentangnya. Orang-orang Tionghoa banyak yang miskin dan mereka yang miskin ini, menurut Siauw, berada di dalam golongan ekonomi lemah yang juga patut mendapat perlindungan dan bantuan pemerintah. Di lain pihak, ujarnya, banyak pula pedagang-pedagang “asli” yang jelas berada dalam kategori golongan ekonomi kuat. Siauw menganggap politik “asli” ini sebagai politik rasis yang harus dikutuk. Di dalam pidatonya di DPR-RIS pada bulan Agustus 1950, Siauw menuntut penjelasan pemerintah tentang definisi golongan ekonomi lemah. Posisi Siauw pada waktu itu didukung oleh Hamid Algadrie, wakil minoritas Arab di DPR, anggota PSI. Perdana Menteri Hatta ternyata memastikan bahwa tidak semua penduduk 1 John Sutter, Indonesianisasi: Politics In A Changing Economy, 1940-1955, Cornell University, April 1959, p 1125; Berita Baperki, Nomor Istimewa, December 1954, p 11 230 Pembangunan Ekonomi Nasional “asli” bisa dikategorikan golongan ekonomi lemah. Akan tetapi Hatta tidak menjamin bahwa ukuran posisi ekonomi seseorang tidak akan dilakukan berdasarkan ras semata-mata2. Pergantian pemerintah pada tahun 1950 ternyata tidak mengganti konsep politik “asli”. Siauw tetap menentangnya. Sebagai reaksi protes dan kritikan Siauw tentang adanya politik “asli” ini, Perdana Menteri Natsir berjanji pada bulan Oktober 1950 bahwa pemerintahnya akan mengadakan perubahan-perubahan yang di dalam program ekonomi pemerintah sehingga pelaksanannya bersih dari diskriminasi rasial3. Belum ada perubahan yang nyata, Natisr-pun jatuh dan diganti oleh Sukiman. Semasa kekuasaan Sukiman, Siauw tetap konsisten dalam mengutuk program politik “asli” dan menuntut agar politik ini dicabut. Siauw mulai mendorong pemerintah untuk membedakan antara perusahaan-perusahaan besar asing yang dimiliki oleh Belanda, Inggris dan Amerika dengan perusahaan-perusahaan kecil-menengah yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Siauw berargumentasi bahwa perusahaan-perusahaan raksasa asing yang dimiliki oleh Belanda, Inggris dan Amerika menguras kekayaan alam Indonesia dan keuntungan yang mereka peroleh tidak diputar di Indonesia, melainkan dibawanya ke luar negeri. Perusahaan-perusahaan inilah yang menurut Siauw harus diambil alih oleh pemerintah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, karena mereka langsung menguasai kekayaan alam yang seharusnya dimiliki oleh negara. Di lain pihak, ia mendorong pemerintah untuk melindungi dan membantu perusahaan-perusahaan kecil-menengah yang sudah berjalan lama, walaupun mereka dimiliki oleh orangorang Tionghoa yang berstatus asing. Menurut Siauw, modal perusahaan-perusahaan ini adalah modal domestik. Keuntungan yang diperolehnya akan tetap dipertahankan di Indonesia untuk kemajuan perusahaan-perusahaan lokal ini, yang secara langsung 2 3 Ichtisar Parlemen, 1950, pp 353-474 Risalah Parlemen, 1950, pp 2205-2207 231 Siauw Giok Tjhan membantu perkembangan ekonomi nasional. Bagi Siauw, membangun ekonomi nasional berarti menciptakan sektor industri yang dimiliki oleh negara dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan raksasa asing dan diperkuatnya sektor industri swasta yang dijalankan oleh modal domestik untuk kemakmuran Rakyat. Siauw mengkritik sikap sementara tokoh politik yang menganggap sebaiknya pemerintah memusatkan perhatian ke perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa karena dianggap mereka lebih mudah untuk dikelola dibandingkan perusahaanperusahaan besar yang dimiliki oleh Belanda. Jalan pikiran ini, menurut Siauw sesat dan harus diubah. Sambutan Sukiman terhadap kritikan dan protes Siauw sama dengan para pendahulunya, yaitu, ia berjanji bahwa pemerintahnya tidak akan membeda-bedakan para warga negara Indonesia4. Kritikan Siauw terhadap politik “asli” ini didukung oleh para anggota Fraksi Nasional Progresif-nya. Iwa Kusumasumantri, Mohamad Yamin dan DS Diapari sering berpidato di DPR mendukung argumentasi Siauw. Disamping mereka, tokoh-tokoh seperti Sakirman dari PKI, Kasimo dari Partai Katolik, Tambunan dari Parkindo, Subadio Sastrosatomo dari PSI dan Snel, wakil golongan minoritas Eropa, juga sering mendukungnya. Kementerian ekonomi dari tahun 1950 sampai 1953 dipimpin oleh Hatta, Djuanda, Sjarifuddin Prawiranegera dan Sumitro. Walaupun mereka tidak menghapus program politik “asli”, mereka tetap membantah adanya diskriminasi rasial. Akan tetapi ketika Iskaq, dari PNI menjadi menteri Ekonomi di dalam kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, program politik “asli” ini dikembangkan secara lebih terang-terangan. Ini akan diuraikan dengan lebih mendetail di bagian lain. Contoh-contoh dari politik “asli” ini diuraikan di bawah ini. 4 Risalah Parlemen, 1951, pp 4426 - 4778 232 Pembangunan Ekonomi Nasional Politik “benteng” dan Importir Nasional Pada tahun 1949, Djuanda sebagai menteri ekonomi mengeluarkan peraturan yang didesain untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Pada bulan April 1950, Djuanda mengeluarkan peraturan baru untuk melindungi posisi para importir “asli”. Peraturan ini menyatakan bahwa barang-barang yang didefinisikan sebagai barang-barang benteng, hanya boleh diimport oleh importir “asli”. Importir asing (Tionghoa) tidak diizinkan mengimportnya. Perusahaan-perusahaan yang 70% dari kapitalnya dimiliki oleh pedagang “asli” bisa mengimport barangbarang benteng ini. Disamping itu, pemerintah juga memberi keringanan khusus dalam bentuk kredit dan pemberian berbagai izin kepada para perusahaan “asli” ini5. Politik benteng dijalankan oleh keempat kabinet yang menggantikan kabinet RIS ini. Menjelang akhir tahun 1950, Indonesia memiliki 250 impotir “asli”. Pada April 1952, ketika Wilopo menjadi Perdana Menteri, jumlah importir “asli” yang terdaftar naik menjadi 741. Akan tetapi ini masih merupakan sebagian kecil dari seluruh importir di Indonesia yang berjumlah 3119. Sebagian besar darinya adalah pedagang-pedagang Tionghoa6. Karena pedagang-pedagang Tionghoa, baik yang WNI maupun yang masih berstatus asing, lebih berpengalaman dan lebih banyak memiliki kontak di dalam dunia internasional, mereka tetap mendominasi bidang export dan import di Indonesia. Hal ini lalu menciptakan pola perdagangan yang tidak sehat. Banyak pedagang-pedagang “asli” yang tidak memiliki modal, pengalaman maupun koneksi internasional, menjual” ke “asli”annya ke pedagang-pedagang Tionghoa yang berpengalaman, bermodal dan mempunyai koneksi internasional. Timbullah sistem kerja sama yang dikenal sebagai “Ali-Baba”. Si Ali, pedagang “asli” 5 6 Sutter, Indonesianisasi, p 1018 Ibid. 233 Siauw Giok Tjhan terdaftar sebagai pemilik perusahaan, tetapi yang memodali dan menjalankan perusahaan adalah si Baba, pedagang Tionghoa. Pidato-pidato Siauw di dalam DPR menegaskan bahwa pola perdagangan seperti ini sangat merugikan negara dan Rakyat Indonesia, karena merupakan sistem korupsi yang merusak. Akarnya, menurut Siauw, adalah kebijakan pemerintah yang salah dan rasis. Pada waktu Iskaq Tjokroadisurjo menjadi menteri ekonomi pada tahun 1953, proses Indonesianisasi dalam bidang ekonomi dipercepat. Indonesianisasi menurut Siauw berarti berkurangnya ketergantungan Indonesia atas penghasilan export bahan-bahan mentah dan dengan diperkuatnya industri lokal. Akan tetapi, fokus Iskaq adalah mengambil alih kontrol usaha dagang dari tangan pedagang-pedagang Tionghoa ke tangan pedagang-pedagang asli. Juga usaha untuk membentuk kelas menengah pedagang “asli” dijadikan salah satu fokus utamanya7. Iskaq tidak saja melanjutkan politik “benteng”, tetapi juga mengeluarkan sebuah peraturan baru di dalam bidang import. Hanya perusahaan-perusahaan yang terdaftar sebagai importir nasional diizinkan mengimport barang dari luar negeri. Perusahaanperusahaan yang terdaftar sebagai importir nasional ini harus terdiri dari para pemegang saham yang sebagian besar darinya adalah pedagang-pedagang “asli”. Disamping itu semua pemegang saham dari perusahaan-perusahaan ini harus membuktikan bahwa mereka adalah WNI8. Sebelum Iskaq menjadi menteri, para importir nasional menguasai 40% dari kegiatan dalam bidang import. Pada akhir masa Iskaq sebagai menteri, persentasi-nya naik sampai 80-90%. Jumlah importir nasional yang terdaftar juga meloncat menjadi paling sedikitnya 2211, tetapi mungkin 4000 - 50009. 7 8 9 Feith, The Decline of the Constitutional Democracy in Indone sia, p 374 Sutter, Indonesianisasi, p 1022 Feith, The Decline of Constitutional democracy in Indonesia, pp 374-375 234 Pembangunan Ekonomi Nasional Siauw mengecam kebijakan Iskaq ini, yang menurutnya ingin memaksakan para importir untuk bekerja sama dengan para pedagang “asli” dalam bentuk partnership atau persereoan. Siauw menyatakan bahwa kerja sama dagang di antara saudara saja sering tidak bisa jalan, bagaimana para pedagang Tionghoa dipaksakan untuk ber-partner dengan orang-orang yang ia tidak kenal dengan baik10. Ia mendesak Iskaq untuk mengubah peraturan itu sehingga para perusahaan yang berkecimpung dalam bidang import tidak diharuskan terdiri dari para pemegang saham “asli”. Dengan bantuan Tjung Tin Yan dari Partai Katolik, Siauw berhasil memaksa Iskaq untuk mengeluarkan pernyataan pada tanggal 2 December 1953 bahwa diskriminasi rasial di dalam bidang perdagangan akan dihentikan dan perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam bidang import akan dinyatakan sebagai importir nasional bilamana para pemegang sahamnya WNI. Jumlah pemegang saham “asli” tidak lagi dipentingkan dalam revisi peraturan ini11. Dengan adanya peraturan semacam ini, pedagang-pedagang Tionghoa yang berstatus asing harus mencari koneksi “asli” untuk secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai pemilik perusahaan. Dengan koneksi “asli” ini, mereka bisa melanjutkan usahanya dalam bidang import. Timbullah istilah “perusahaan Aktentas”, di mana pedagang-pedagang “asli” keluar masuk berbagai instansi pemerintah dengan membawa tas yang berisikan dokumen-dokumen pendaftaran perusahaan. Pemilik perusahaan sesungguhnya adalah pedagang-pedagang Tionghoa yang berstatus asing. Dari beberapa ribu importir nasional yang terdaftar, diperkirakan hanya 50 yang benar-benar memenuhi persyaratan sebagai importir nasional12. 10 11 12 Pidato Siauw April 1953 Ichtisar Parlemen, 1953, pp 1172-1173 Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, p 375 235 Siauw Giok Tjhan Berdasarkan perkembangan ini, Siauw lagi-lagi mengecam kebijakan pemerintah. Menurutnya, peraturan ini telah mengembang-biakkan korupsi. Untuk mendapatkan izin-izin import, para pegawai kantor urusan import harus disogok. Komisi yang berjalan pada waktu itu sekitar 200%. Ini menimbulkan situasi di mana banyak orang yang seyogyanya berhak untuk mendapatkan izin, tidak bisa memperolehnya. Banyak dari izinizin yang menguntungkan usaha dagang ini jatuh ke tangan orangorang PNI yang menyokong keberlangsungannya pemerintah13. Karena yang diimport hanyalah barang-barang yang menghasilkan keuntungan besar, kebutuhan suku cadang dan bahan mentah untuk kebutuhan produksi diabaikan. Akibatnya banyak produksi macet dan kapasitas produksi negara menurun pesat. Situasi ini menyebabkan hutang pemerintah meningkat berkali lipat dari Rp 1051 juta pada bulan Juni 1953 sampai Rp 3,410 juta pada bulan September 1954. Dalam periode yang sama, persediaan uang asing jatuh Rp 1,145 juta sampai ke minus Rp 20 juta. Inflasi juga melonjak hebat pada tahun 1954. Harga-harga dari 44 barang yang diimport lompat hampir 60%14. Disamping kemerosotan ekonomi seperti yang tergambar di atas, Iskaq juga dituduh korupsi. Perkembangan ini mendorong pihak oposisi untuk mendesak Perdana Menteri Ali untuk memecat Iskaq. Tjikwan dari partai oposisi Masjumi memimpin usaha di DPR untuk memecat Iskaq. Usaha ini didukung oleh Siauw. Pada bulan November 1954, Iskaq dipaksa untuk meletakkan jabatannya dan ia diganti oleh Rooseeno dari PIR. Beberapa bulan setelah Iskaq meletakkan jabatannya, Margono Djojohadikoesoemo, anggota DPR yang tidak berpartai mendesak dibentuknya sebuah panitia DPR untuk memeriksa kasus korupsi 13 14 Sutter, Indonesianisasi, p 1082 Feith, The Decline of Constitutional democracy in Indonesia, P 376 236 Pembangunan Ekonomi Nasional Iskaq, terutama dalam bidang perdagangan dan import. Pada tanggal 28 Januari 1955, Panitia Pemeriksa ini dibentuk, terdiri Tjikwan, Margono, Jusuf Muda Dalam dan Siauw. Walaupun panitia ini tidak berhasil menyimpulkan pemeriksaannya, ia menyelesaikan sebuah laporan yang merekomendasi agar Iskaq mempertanggung-jawabkan kasuskasus korupsi di kementeriannya. Sebelum Iskaq dipanggil untuk memberi kesaksian, ia sudah meninggalkan Indonesia dengan alasan perawatan kesehatan salah satu anggota keluarganya 15. Transportasi Bis dan Truk Orang-orang Tionghoa di Indonesia sudah sejak zaman penjajahan Belanda mendominasi bidang transportasi bis dan truk. Walaupun pada tahun 50-an terdapat pengusaha-pengusaha “asli” di dalam bidang ini, sebagian besar dari para pengusaha adalah orang-orang Tionghoa, baik WNI maupun yang berstatus asing. Pada awal tahun 50-an, Djuanda menjadi menteri. Transportasi bis dan truk berada dalam naungan kementeriannya. Pada akhir Januari 1951, sebuah panitia DPR yang ditugaskan untuk mempelajari tentang keadaan transportasi bis dan truk di Jawa dan Sumatra menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan bis dan truk yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa lebih canggih dari pada yang dimiliki oleh pengusaha “asli”. Disamping itu, panitia ini juga melaporkan bahwa pengusaha-pengusaha Tionghoa berhasil dalam meraih keuntungan yang besar. Oleh karenanya, panitia ini mengusulkan agar dikeluarkan peraturan yang membatasi keterlibatan pengusaha Tionghoa di dalam bidang transportasi dan melindungi para pengusaha “asli”16. Berdasarkan rekomendasi ini, Djuanda mengeluarkan RUU (Rancangan Undang-Undang) yang dinamakan Pedoman Baru, di 15 16 Sutter, Indonesianisasi, p 1089 Ibid p 907-908 237 Siauw Giok Tjhan mana ditentukan17: 1. Separoh dari pemilikan usaha bis diberikan pada WNI yang sudah sejak zaman Belanda berkecimpung di dalam bidang transportasi bis. Sisahnya harus dimiliki oleh para pengusaha yang berada dalam kategori golongan ekonomi lemah. 1. Sebuah perusahaan baru bisa dikatakan perusahaan Indonesia kalau 75% dari sahamnya dimiliki oleh WNI. Perdebatan tentang RUU ini dimulai pada tanggal 19 Juni 1951. Siauw segera menentangnya. Menurutnya, Indonesia seharusnya menggunakan pengalaman, keakhlian dan modal yang sudah lama dipupuk oleh para pengusaha Tionghoa, baik WNI maupun asing, untuk memajukan dunia distribusi. Walaupun Siauw mendukung usaha pemerintah untuk melindungi golongan ekonomi lemah, tetapiia, secara konsisten, menentang pengkategorian pengusaha “asli” sebagai golongan ekonomi lemah. Dalam perdebatan ini, Siauw menghadapi tentangan keras, termasuk dari Sakirman yang mewakili PKI. Oleh karenanya, usaha Siauw untuk membatalkan RUU ini gagal dan ia disahkan sebagai UU pada bulan Juni 1951. Pelaksanaannya menyebabkan adanya reduksi pengusaha bis asing dari 64% pada awal tahun 1951 menjadi 6.4% pada akhir tahun yang sama18. Tetapi Siauw tetap menggunakan berbagai kesempatan di DPR untuk menentangnya. Dalam hal ini, ia didukung oleh Diapari, Iwa Kusumasumantri dan Tan Po Goan. Atas desakan Siauw yang dilakukan berulang kali, Djuanda akhirnya menyatakan kesediaannya pada bulan Februari 1953 untuk melakukan perubahan dalam Pedoman Baru yang menghilangkan perbedaan antara pengusaha WNI dengan pengusaha “asli”. Tidak jelas berapa jumlah pengusaha yang mengalami kesulitan ekonomi karena adanya peraturan semacam ini, karena Pedoman Baru telah mendorong adanya partnership antara pengusaha Tionghoa dan 17 18 Ibid, p 911 Risalah Parlemen 1951 238 Pembangunan Ekonomi Nasional “asli”. Para pemilik perusahaan yang sesungguhnya tetap para pengusaha Tionghoa, baik WNI maupun19. Penggilingan Padi Seperti halnya bidang transportasi, usaha penggilingan padi juga didominasi oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa, baik WNI maupun asing. Iskaq mengeluarkan peraturan yang di sebut Peraturan no. 42 pada tahun 1954 yang pada pokoknya melarang orang asing untuk memiliki usaha penggilingan padi. Siauw dengan tegas menentang peraturan ini. Lagi-lagi ia mengecam tindakan yang ingin mengurangi jumlah pengusaha yang telah bergenerasi berkecimpung dalam bidang penggilingan padi sehingga memiliki pengalaman dan kapital yang bisa diandalkan. Walaupun yang ditonjolkan oleh peraturan ini adalah WNI, tetapi pada akhirnya para pengusaha Tionghoa didesak untuk melakukan korupsi supaya bisa terus bertahan. Siauw juga menyatakan bahwa peraturan ini melanggar UU yang berlaku karena tidak ada satu barang penduduk-pun yang bisa begitu saja dirampas dan diambil alih20. Disamping itu Siauw menyatakan bahwa banyak dari pengusaha yang dikatakan asing itu sebenarnya adalah WNI, karena mereka memiliki dwi-kewarganegaraan. Protes Siauw mendesak Iskaq untuk menegaskan bahwa yang dimaksud dengan asing adalah orang-orang asing, bukan orangorang yang memiliki dwi-kewarganegaraan. Pada Bulan November 1954, Peraturan ini diubah sesuai dengan penegasan Iskaq di DPR. Karena perubahan ini, banyak pengusaha Tionghoa yang tadinya terancam untuk kehilangan usahanya bisa meneruskan usaha penggilingan paddi. Izin penggilingan padi ini kemudian diperpanjang sampai akhir tahun 1956. Keberhasilan Siauw dalam menekan pemerintah untuk 19 20 Sutter, Indonesianisasi, p 922. Ichtisar Parlemen 1954 239 Siauw Giok Tjhan mengubah peraturan ini menggembirakan para pengusaha Tionghoa. Untuk menyatakan rasa terima kasih mereka, para pengusaha penggilingan padi Tionghoa di Jawa Barat bersepakat untuk mengumpulkan dana yang ingin disampaikan pada Siauw pribadi. Seorang wakil dari mereka datang ke rumah Siauw pada awal tahun 1955 untuk memberikan padanya dana yang terkumpul itu. Oleh Siauw, pemberian itu ditolak dan ia meminta si pembawa untuk mengantarkan dana itu ke kantor Baperki. Di kantor Baperki, Yap Thiam Hien-lah yang menerima dana yang oleh Siauw seluruhnya dimasukkan ke dalam kas Baperki21. Formulasi Ekonomi Nasional Pembentukan Ekonomi Nasional menurut Siauw adalah sebuah upaya dalam menjamin penggunaan kekayaan alam dan sumber daya manusia Indonesia untuk kepentingan Rakyat Indonesia. Ekonomi Nasional, ujar Siauw, mengenal adanya tiga macam perusahaan: 1. Perusahaan-perusahaan negara yang harus berkewajiban dalam menjamin kemakmuran Rakyat. 2. Perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh koperasi Rakyat 3. Perusahaan-perusahaan swasta kecil - menengah Semua perusahaan yang langsung berhubungan dengan kemakmuran Rakyat seperti pertambangan, perkebunan gula dan karet dan transportasi harus dimiliki oleh negara. Jadi perusahaanperusahaan asing yang pada waktu itu memonopoli banyak usaha dalam bidang pertambangan dan perkebunan, harus diambil alih. Prioritas dari program ekonomi pemerintah, menurut Siauw harus dikerahkan ke arah ini. Siauw berpendapat bahwa pemerintah telah dengan sengaja menunda usaha untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan 21 Wawancara dengan Yap Thiam Hien, Melbourne, 1988 240 Pembangunan Ekonomi Nasional yang berhubungan dengan kekayaan negara dari tangan monopoli raksasa asing. Usaha dikerahkan pada pengambil alihan usaha yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa. Perusahaanperusahaan kecil-menengah, baik yang dimiliki oleh WNI maupun Tionghoa asing, menurut Siauw, perlu dikembangkan untuk membantu mempercepat kemakmuran merata. Pengusahapengusaha Tionghoa ini tidak mengalihkan keuntungan yang mereka peroleh ke luar negeri, melainkan diputarkan di Indonesia untuk pengembangan usahanya, yang secara langsung menguntungkan perkembangan ekonomi Indonesia. Kalau pemerintah tidak merubah strategi-nya, Siauw berargumentasi, Indonesia akan tetap dikontrol oleh kekuatan asing dan tidak akan bisa mencapai kemerdekaan penuh. Oleh karenanya ia menganjurkan adanya kesungguhan dari pihak pemerintah untuk menjalankan program ekonomi yang benarbenar ditujukan untuk membangun ekonomi nasional. Konsep Ekonomi yang dituturkan di atas ini lalu diterima oleh Baperki pada bulan November 1954 sebagai dasar formulasi program ekonominya. Gerakan Assaat Pada bulan Maret 1956, di dalam salah satu pertemuan yang dihadiri oleh para importir, Assaat, anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik WNI maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Assaat lebih radikal lagi dari Iskaq. Tanpa tedeng aling-aling, ia menunjukkan bahwa ia siap melaksanakan program anti Tionghoa. Ia-pun mengeluarkan seruan-seruan yang jelas bersifat rasis. Baginya, orang-orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak bisa dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Yang ganjil, kalau ia menyerang golongan Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal 241 Siauw Giok Tjhan terhadap RI, ia mengkategorikan golongan keturunan Arab sebagai “asli” dan tidak memasalahkan kesetiaannya. Assaat memang seorang tokoh yang berkaliber. Ia pernah menjadi pejabat Presiden RI ketika Soekarno dan Hatta ditahan oleh Belanda dari tahun 1949 - 1950. Jadi pernyataan anti-Tionghoa-nya mengejutkan banyak orang. Tetapi, yang mendukung pendapatnya juga banyak, terutama dari Masjumi dan PSI. Dalam beberapa minggu setelah ia meluncurkan program anti Tionghoanya, dukungan di mana-mana segera terlihat. Lahirlah sebuah gerakan yang lalu dinamakan Gerakan Assaat. Baperki segera menentang kehadiran gerakan yang menghidupkan rasisme di bidang ekonomi ini. Argumentasi Siauw adalah gerakan ini berbahaya dan merusak persatuan bangsa. Ia juga menentang pendapat yang disebar luaskan oleh Gerakan Assaat ini bahwa golongan Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia. Gerakan Assaat mencapai puncaknya pada waktu Konperensi Ekonomi Seluruh Indonesia (KENSI) diadakan. Para pengusaha “asli” yang hadir dalam konperensi itu mendukung Assaat dan gerakannya. KENSI menghendaki dipercepatnya proses pegambil alihan usaha-usaha ke pengusaha-pengusaha asing dari tangan orang-orang Tionghoa. Siauw berhasil mengumpulkan dukungan di DPR untuk melawan arus Gerakan “Assaat” ini. Partai-partai nasionalis termasuk NU, Partai Katolik, Parkindo, Murba dan PKI juga mengecam gerakan Assaat yang dilihatnya sebagai bagian gerakan Masjumi dan PSI22. PNI akhirnya menentang Gerakan Assaat. Pada bulan September 1956, Kongres PNI menentangnya. Pada bagian terakhir tahun 1956, gerakan Assaat mulai kehilangan dukungan dan pengaruhnya, karena Masjumi dan PSI terlibat dalam gerakan yang menentang RI. Pada waktu tokoh-tokoh Masjumi, PSI dan Assat sendiri terlibat gerakan PRRI/Permesta pada tahun 1958 yang kemudian berhasil ditumpas oleh Angkatan Darat dan menjadi pelarian politik. Gerakan Assaat juga terpengaruh dengan kejadian ini dan 22 Berita Baperki 15 October 1956, Republik, 23 October 1956 242 Pembangunan Ekonomi Nasional Assaatisme kehilangan dukungannya. Dukungan terhadapnya semakin berkurang dengan perkembangan politik yang memungkinkan proses pengambil-alihan perusahaan-perusahaan asing yang dimulai pada akhir tahun 1957. Ini memungkinkan para pengusaha “asli” untuk mengalihkan usahanya untuk menjadi eksekutif perusahaan-perusahaan asing yang diambil alih. Kegiatan Siauw di parlemen memang berhasil mengurangi dampak negatif berbagai peraturan yang ingin membatasi ruang gerak pengusaha Tionghoa di Indonesia. Dalam perdebatan ini, Siauw berhasil mendesak pemerintah untuk mengakui bahwa sebagian besar pengusaha Tionghoa adalah WNI. Konsekwensi dari keberhasilan ini adalah semakin besarnya keinginan para tokoh politik yang ingin menciptakan kelas menengah baru - kelas pedagang “asli” untuk membatalkan kewarganegaraan sebagian besar pengusaha Tionghoa yang telah menjadi WNI berdasarkan UU Kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB 1946. Ini memerlukan perjuangan Siauw dalam melawan arus ini. 243 Siauw Giok Tjhan Tan Ling Djie bersama putra putri Siauw, Jakarta, 1955 Siauw bermain catur dengan putra-putra-nya, 1956 244 Pembangunan Ekonomi Nasional Dengan Sunito dan putri, Siauw May Lan di Shang Hai, 1958 245 Siauw Giok Tjhan BAB 9 KEWARGANEGARAAN INDONESIA DAN DWI-KEWARGANEGARAAN Seperti yang diuraikan dalam bab ke 6, para pendiri Baperki sangat khawatir dengan adanya usaha beberapa tokoh pemerintah untuk mengurangi jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan mengeluarkan UU kewarganegaraan baru. Keberhasilan Siauw di dalam DPR untuk menghentikan usaha mengubah UU Kewarganegaraan 1946 dan ketetapan KMB (Konperensi Meja Bundar) tentang kewarganegaraan RI, ternyata tidak bertahan lama. Tidak lama setelah Baperki berdiri, Rancangan UU (RUU) Kewarganegaraan baru yang tadinya dicabut dari program kabinet Ali pada awal tahun 1954, dibicarakan kembali bahkan disampaikan pada parlemen untuk diperdebatkan. Beberapa bulan setelah itu, pemerintah-pemerintah RI dan RRT juga memulai pembicaraan tentang penyelesaian masalah dwikewarganegaraan. Pembicaraan tentang penyelesaian masalah kewarganegaraan berganda ini didominasi oleh pihak Indonesia yang terdiri dari para tokoh yang ingin mengubah UU Kewarganegaraan 1946. Dengan demikian, baik RUU Kewarganegaraan maupun perjanjian dwi-kewarganegaraan yang dipersiapkan mengandung prinsip-prinsip yang bertentangan dengan UU Kewarganegaraan 1946. Kalau UU Kewarganegaraan 1946 ini menetapkan kebijakan pasif di mana semua orang yang lahir di Indonesia otomatis menjadi WNI kecuali bilamana ia menolaknya, RUU kewarganegaraan dan perjanjian dwi-kewarganegaraan menetapkan kebijakan di mana setiap keturunan asing untuk mengajukan lamaran untuk menjadi WNI dengan melampirkan bukti-bukti kelahirannya dan kelahiran orang tuanya. Bilamana ia gagal dalam membuktikan tempat kelahirannya dan kelahiran orang tuanya, ia akan menjadi orang 246 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan asing. Siauw gigih melawan arus kuat yang ingin mengubah sistem dan UU kewarganegaraan Indonesia. Ia akhirnya menerima sebuah kompromi yang dimanifestasikan dalam UU Kewarganegaraan Indonesia tahun 1958. RUU Kewarganegaraan Seperti yang diuraikan sebelumnya, atas desakan Siauw, Ong Eng Die dan Tan Kiem Liong, RUU ini tidak jadi diperdebatkan di dalam parlemen pada bulan Maret 1954. Akan tetapi dengan alasan RI dan RRT akan menetapkan sebuah perjanjian tentang DwiKewarganegaraan, RUU ini diubah dan diajukan lagi oleh kabinet untuk diperdebatkan di dalam parlemen pada tanggal 15 Oktober 1954. Perubahan utama berhubungan dengan masalah dwikewarganegaraan. Pada waktu RUU ini diperdebatkan di parlemen, perundingan antara RI dan RRT tentang dwi-kewarganegaraan dimulai. Yang menjadi perdebatan sengit adalah pasal RUU yang berhubungan dengan syarat yang diperlukan oleh penduduk keturunan asing untuk menjadi WNI. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah: 1. Ia harus lahir di Indonesia dan harus menetap di Indonesia. 2. Ayahnya harus lahir di Indonesia dan telah menetap di Indonesia selama 10 tahun berturut-turut. 3. Dalam waktu setahun setelah ia mencapai umur 18 tahun, ia harus menghadap ke kantor kehakiman untuk menyatakan bahwa ia ingin menjadi WNI. Syarat-syarat ini berarti hanya penduduk yang sudah menetap di Indonesia selama tiga generasi-lah yang bisa menjadi WNI. Dengan demikian, RUU ini hendak membatalkan kewarganegaraan 247 Siauw Giok Tjhan Indonesia sebagian besar penduduk Tionghoa yang menurut UU Kewarganegaraan 1946 dan ketetapan KMB tentang Kewarganegaraan 1949, telah menjadi WNI setelah Desember 1951. Pelaksanaan RUU ini berarti setiap penduduk yang telah menjadi WNI karena UU dan ketetapan KMB tersebut, kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya. Pemerintah menjustifikasikan RUU ini dengan menyatakan bahwa bilamana setiap penduduk Indonesia keturunan asing dari generasi pertama diizinkan menjadi WNI, tidak akan ada jaminan bahwa mereka itu loyal terhadap RI dan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Sedangkan orang-orang yang telah menetap di Indonesia lebih dari tiga generasi dianggap telah menghilangkan hubungan emosionil-nya dengan tanah leluhurnya sehingga bisa dipercaya akan menganggap Indonesia sebagai negaranya sendiri1. Di dalam pidato-pidato dan pernyataan-pernyataan tertulis yang dikeluarkan dalam bulan-bulan Oktober dan November 1954, Siauw menyatakan bahwa pada umumnya penduduk Indonesia akan mengalami kesulitan dalam membuktikan tempat kelahiran sendiri, apalagi tempat kelahiran ayahnya. Juga sulit untuk penduduk biasa membuktikan bahwa ayahnya telah menetap di Indonesia selama 10 tahun berturut-turut. Siauw berargumentasi bahwa catatan sipil untuk penduduk Tionghoa dilakukan pada tahun 1919 di Jawa dan 1929 di luar Jawa. Pada umumnya dokumentasi yang terdapat dalam kantor-kantor catatan sipil ini telah hilang atau rusak dalam zaman pertempuran dan revolusi. Oleh karena itu, Siauw bersikeras bahwa RUU ini merusak jerih payah yang telah dilakukan untuk membangun bangsa Indonesia dan menciptakan rasa cinta tanah air sebagai WNI dari penduduk keturunan asing. Selanjutnya Siauw menyatakan bahwa merampas kewarganegaraan penduduk sebuah negara adalah tindakan yang 1 Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 36. 248 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan menentang prinsip kebangsaan yang dicanangkan di Den Haag pada tahun 1930 yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang tidak bisa secara sewenang-wenang dibatalkan. Setiap penduduk Indonesia yang dianggap memiliki dwi-kewarganegaraan, menurut Siauw, harus tetap diperlakukan sebagai WNI sampai adanya penyelesaian yang disetujui oleh RI dan RRT. Oleh karenanya, Siauw bersikeras bahwa setiap penduduk yang sudah menjadi WNI karena hukum-hukum yang berlaku, harus tetap dianggap sebagai WNI. Status-nya tidak bisa diubah secara sewenang-wenang. Pada tanggal 10 November 1954, Baperki menuntut pemerintah untuk mengubah RUU ini. Ia juga menuntut syarat-syarat yang mengharuskan penduduk yang ingin menjadi WNI untuk pergi ke kantor kehakiman dengan membawa bukti-bukti tempat kelahiran ayahnya, dicabut sama sekali. Disamping itu, Baperki juga menuntut pemerintah untuk memberi kesempatan pada orang-orang yang pada tanggal 27 Desember 1951 telah menolak kewarganegaraan Indonesia, untuk mempertimbangkan kembali keputusannya itu, sehingga mereka bisa menjadi WNI2. Perkembangan politik ketika itu memang ganjil dan membingungkan. Siauw yang dekat dengan Perdana Menteri Ali, dengan sendirinya mendukung berbagai kebijakan politik kabinet Ali. Di dalam kabinet, seperti yang dituturkan sebelumnya terdapat beberapa anggota fraksi Nasional progresif yang ia pimpin. Juga di dalamnya terdapat dua menteri Tionghoa, Ong Eng Die - Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng - Menteri Kesehatan. Yang menjadi Menteri Kehakiman pada waktu itu adalah Djody Gondokusumo, dari PRN yang selain menjadi anggota dari Fraksi Nasional Progresif, juga kawan dekat Siauw yang sering mengunjungi rumahnya. Menteri Luar Negeri pada waktu itu adalah Sunario dari PNI, yang menjadi otak dan motor RUU kewarganegaraan ini. Walaupun jelas bahwa Sunario dan Siauw bertentangan pendapat tentang masalah kewarganegaraan dan 2 Berita Baperki, October-November 1954 249 Siauw Giok Tjhan perdebatan yang dilakukan di parlemen diantaranya sangat sengit, Sunario ternyata juga sering berada di rumah Siauw3. Yang mengherankan, walaupun Djody mengetahui posisi Siauw tentang RUU ini, ia-lah yang menandatangani RUU ini dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kehakiman. Akan tetapi, Siauw tidak pernah menyatakan RUU ini sebagai dokumen yang dikelola oleh Djody. Tekanan PNI , yang diwakili oleh Iskaq dan Sunario di dalam kabinet mungkin terlalu besar untuk ditentang oleh Djody, sehingga ia terpaksa meresmikan RUU ini. Di dalam perdebatan di parlemen tentang RUU ini, Siauw memainkan peranan yang paling dominant. Ia beruntung karena mendapat dukungan dari fraksi-nya, Fraksi Nasional Progresif dan PKI. Argumentasi-nya juga didukung oleh Masjumi, PSI, Partai Katolik dan Parkindo, yang menjadi partai-partai oposisi. Tentunya dukungan mereka tidak semata-mata membela posisi Siauw, melainkan untuk memperlemah posisi kabinet Ali. Atas desakan dan pertanyaan-pertanyaan Siauw di DPR, Djody pada akhirnya menyatakan bahwa ia bersedia mempertimbangkan perubahan-perubahan yang diajukan oleh Siauw dan para oposan lainnya, terutama yang berhubungan dengan diperlukannya buktibukti tempat kelahiran. Ia juga menyatakan bahwa RUU ini bisa saja diubah isinya untuk kemudian diperdebatkan kembali4. Karena tentangan terhadap RUU ini besar, akhirnya pada bulan November 1954, pemerintah memutuskan untuk menarik RUU ini dari perdebatan di parlemen dan menyatakan bahwa isu kewarganegaraan akan dibicarakan pada lain kesempatan. Setelah perdebatan ini dihentikan di parlemen, Djody yang jelas dipengaruhi oleh Siauw, mengubah pandangannya. Mulai awal 1955, Djody mulai sering berbicara di berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh Baperki di Semarang, Surabaya, 3 4 Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Tan Hwie Kiat, De- sember 1993 Sin Po, 1 November 1954 250 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan Malang, Yogyakarta and beberapa kota lainnya di luar Jawa. Dalam pertemuan-pertemuan itu, Djody menyatakan bahwa ia mendukung pandangan Baperki tentang kewarganegaraan. Oleh karenanya ia menyatakan bahwa semua penduduk Indonesia yang lahir di Indonesia dan yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia adalah WNI. Walaupun ia tidak berjanji bahwa UU kewarganegaraan yang baru akan tetap mengandung prinsip pasif seperti yang terkandung di dalam UU Kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB, ia menyatakan bahwa ia mendukung prinsip pasif5. Ini merupakan kemenangan politik yang berarti bagi Siauw. Surat Bukti Kewarganegaraan Ketika RUU kewarganegaraan ini diperdebatkan, masyarakat Tionghoa juga menghadapi tekanan birokrasi dalam bentuk peraturan yang menuntut masyarakat Tionghoa yang seharusnya sudah menjadi WNI untuk membuktikan kewarganegaraannya. Dokumen yang diperlukan oleh peraturan yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 1954 ini dinamakan STKI (Surat Tanda Kewarganegaraan Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Kartu Kuning. Peraturan tentang pembuktian kewarganegaraan ini dikeluarkan oleh UPBA (Urusan Peranakan dan Bangsa Asing) yang dibentuk pada awal 1954 dan merupakan bagian Kementerian Dalam Negeri. Pada bulan Mei 1954, UPBA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan semua WNI keturunan asing untuk memiliki STKI. Kepala UPBA, Oetojo, juga menulis pada semua kantor cabang Departemen Dalam Negeri untuk menyatakan bahwa semua WNI keturunan asing hanya bisa memilih di pemilu bilamana mereka memiliki STKI6. 5 6 Berita Baperki, 26 February 1955. Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan Tan Hwie Kiat Berita Baperki, 26 June 1954 251 Siauw Giok Tjhan Siauw segera menentang peraturan ini. Ia menyatakan bahwa UPBA tidak memiliki kekuasaan sah untuk mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan kewarganegaraan. Kehadiran UPBA dan STKI-nya, menurut Siauw merupakan pelanggaran UU yang berlaku. Atas desakan Siauw, Djody sebagai menteri kehakiman juga menulis surat resmi ke Menteri Dalam Negeri untuk menyatakan bahwa tindakan UPBA melanggar hukum. Ia-pun menyatakan dengan tegas di dalam DPR bahwa WNI keturunan asing tidak diwajibkan untuk memiliki STKI untuk membuktikan kewarganegaraan Indonesianya7. Akan tetapi sistem STKI tetap dilaksanakan di berbagai kantor pemerintah. Walaupun Oetojo, akhirnya menyatakan bahwa STKI bukan merupakan surat yang harus dimiliki oleh setiap WNI keturunan asing, akan tetapi ia tetap menganjurkan agar setiap WNI untuk memiliki STKI8. Pernyataan ini ternyata mendorong berbagai instansi pemerintah untuk menggunakan STKI sebagai sarana untuk menambah penghasilan melalui proses pemerasan, korupsi dan ongkos-ongkos administrasi lainnya. Orang-orang Tionghoa diharuskan memiliki STKI sebelum ia memperoleh passport, untuk mendaftarkan anakanaknya di sekolah, untuk memperoleh berbagai izin kerja dan dagang dan meminjam uang dari Bank. Bilamana mereka tidak memiliki STKI, mereka akan diperlakukan sebagai orang asing9. Perkembangan ini mendorong Siauw menuntut pemerintah untuk menyatakan bahwa tidak ada orang yang perlu memperoleh STKI untuk kehidupan sehari-hari. Siauw berpendapat bahwa sekali orang menjadi WNI, ia tetap WNI sampai ia menanggalkan kewarganegaraannya. Oleh karena itu, SKTI tidak diperlukan. Siauw juga menuntut dibubarkannya UPBA dan dibentuknya sebuah badan yang terdiri dari wakil-wakil minoritas serta wakil-wakil 7 8 9 Risalah Parlemen 1954 Keng Po, 5 July 1954 Berita Baperki, 26 July 1954 252 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan kementerian kehakiman, keuangan dan dalam negeri. Panitia ini, menurut Siauw harus ditugaskan bukan untuk mempertanyakan kewarganegaraan penduduk yang sudah menjadi WNI, melainkan untuk menangani dan mencari jalan keluar berbagai masalah minoritas. Protes-protes Siauw tentang STKI memperoleh beberapa reaksi positif berbagai tokoh politik. Pada bulan Juli 1954, Menteri Dalam Negeri, Hazairin dari PIR, menyatakan di dalam parlemen bahwa penduduk yang sudah menjadi WNI tidak diwajibkan untuk memperoleh STKI. Ia juga menegaskan bahwa STKI bukanlah syarat kewarganegaraan Indonesia10. Banyak penyalah-gunaan STKI dibatasi setelah protes keras dari Baperki. Pemerintah pusat mengeluarkan instruksi-instruksi ke pemerintah daerah yang melarang adanya pendaftaran penduduk sebagai warga negara asing bilamana mereka tidak memiliki STKI atau tidak bersedia melamar untuk mendapatkan STKI. Juga ditegaskan dalam berbagai instruksi itu bahwa STKI tidak diperlukan untuk membuktikan kewarganegaraan seseorang. Akhirnya Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Dekrit Menteri yang menyatakan bahwa mulai tanggal 1 Maret 1956, STKI tidak lagi dikeluarkan oleh pemerintah11. Akan tetapi, banyak instansi pemerintah tidak menghiraukan instruksi menteri ini dan tetap memaksakan penduduk Tionghoa untuk memiliki STKI sebelum mereka memperoleh berbagai macam izin. Setelah STKI tidak lagi bisa diperoleh, orang-orang Tionghoa yang berusaha untuk mendapatkan berbagai macam izin mengalami kesulitan. Keadaan ini menyuburkan praktek-praktek korupsi. Keberhasilan Baperki dalam menghapuskan STKI ternyata disusul dengan keluarnya peraturan dari pihak ABRI yang mulai berkuasa di Indonesia setelah keadaan darurat disahkan pada tahun 1957. Peraturan yang berhubungan dengan kewarganegaraan 10 11 Berita Baperki, Oktober-November 1954 Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 81 253 Siauw Giok Tjhan ini dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada tanggal 4 Juni 1957. Menurut peraturan baru ini, setiap orang yang memerlukan bukti atas kewarganegaraannya harus memperoleh bukti itu dari pengadilan12. Tarif untuk mendapatkan surat keterangan pengadilan ini ternyata relatif tinggi dan memberatkan banyak orang Tionghoa. Siauw dengan keras mengkritik tindakan pemerintah dan menuntut diturunkannya tarif ini. Di dalam pertemuan Perdana Menteri Djuanda dan Siauw yang dilaporkan oleh Sin Po dan Keng Po pada bulan Juli 1957, Djuanda berjanji untuk meninjau tarif yang telah ditentukan13. Siauw juga menuntut agar surat keterangan kewarganegaraan ini hanya diperlukan bilamana memang ada keperluan yang tertentu. Jadi penduduk Tionghoa tidak dipaksa memperolehnya untuk kehidupan dan perdagangan sehari-hari. Pada bulan Oktober 1957, peraturan ini diubah isinya dan perubahannya memang seirama dengan tuntutan Siauw Giok Tjhan. Dinyatakan dalam peraturan baru ini bahwa surat keterangan ini hanya dibutuhkan pada waktu instansi pemerintah harus menentukan apakah seseorang itu WNI atau WNA (Warga Negara Asing) dalam memberikan izin-izin yang hanya berlaku untuk WNI. Jadi tidak diperlukan untuk masuk sekolah atau mendapatkan surat pengemudi mobil14. Pada bulan Maret 1958, tarif untuk surat keterangan kewarganegaraan diturunkan dari Rp 100.000 ke Rp. 600015. Masalah Dwi-Kewarganegaraan UU Kewarganegaraan RRT berdasarkan Jus Sanguinis, yang berarti setiap anak warga negara Tiongkok, di manapun ia lahir, 12 Ibid, p 82 13 Ibid, p 83 14 Ibid, p 84 15 Ibid, p 84 254 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan adalah warga negara Tiongkok. Munculnya RRT sebagai sebuah kekuatan yang berarti di dalam dunia internasional telah membuat para negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak penduduk Tionghoa khawatir akan pengaruh Tiongkok dalam perkembangan politik di dalam negerinya. Di Indonesia, kekhawatiran ini digabungkan dengan masalah kekuatan ekonomi golongan Tionghoa. Oleh karena ini, negara-negara Asia Tenggara mulai mengajukan usul untuk menyelesaikan perjanjian antara negaranya dengan RRT untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia pada tahun 1954 berpendapat bahwa mereka tidak menginginkan adanya dwi-kewarganegaraan di Indonesia. Jadi, orang Tionghoa di Indonesia harus memilih, menjadi WNI atau menjadi warga negara Tiongkok. Dalam hal ini, Siauw mendukung posisi pemerintah Indonesia. Posisi demikian ternyata juga mendapat dukungan kuat dari para partai politik di parlemen. Pada bulan September 1954, Chou En Lai menyatakan di hadapan Kongres Rakyat Tiongkok bahwa pemerintah RRT siap untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan masyarakat Tionghoa yang menetap di negara-negara Asia Tenggara. Dinyatakan juga bahwa pemerintah RRT akan menghormati UU kewarganegaraan yang berlaku di negara-negara itu16. Rupanya Perdana Menteri India, Nehru memainkan peranan penting dalam mendorong RRT untuk bersikap demikian. Dalam tahun yang sama, pemerintah India telah menyatakan bahwa para keturunan India yang menetap di luar India tidak lagi memiliki dwi-kewarganegaraan17. Pembicaraan awal antar RI dan RRT dimulai pada tanggal 2 November 1954 di Beijing. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sukardjo Wirjopranoto, dari kementerian luar negeri. Di dalamnya terdapat Duta Besar Arnold Mononutu, Tajib Napis dari Kementerian 16 17 Willmott, The National Status of The Chinese In Indonesia, pp 44-45 Ibid p 45 255 Siauw Giok Tjhan Kehakiman dan Suhardjo, seorang pengacara. Delegasi Tiongkok dipimpin oleh Chang Han Fu, Wakil Menteri Luar Negeri, Duta Besar Huang Chen, dan Konsul Jendral Chao Chung Shi18. Pembicaraan ini berakhir pada tanggal 23 Desember 1954. Walaupun isi pembicaraan tidak pernah diumumkan, tetapi pada umumnya orang berkesimpulan bahwa pemerintah RRT telah menyatakan kesediaannya untuk menerima sebanyak mungkin penduduk Tionghoa di Indonesia sebagai warga negaranya. Sikap ini diambil oleh pihak Tiongkok karena penduduk Tionghoa di Indonesia, terutama yang totok, memang merasa lebih baik untuk menjadi warga negara Tiongkok. Dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan antara Huang Chen dengan pimpinan Chung Hua Chiao Chung Hui Tuan (Federasi Perkumpulan-Perkumpulan Tionghoa), organisasi totok yang berkiblat ke RRT, Huang Chen didesak untuk melindungi posisi penduduk Tionghoa di Indonesia dengan menjadikan sebanyak mungkin dari mereka warga negara Tiongkok. Sikap demikian timbul karena penduduk totok berpendapat bahwa sebagai warga negara Tiongkok di Indonesia, mereka akan memperoleh perlindungan yang berarti bilamana pemerintah RI melakukan tindakan-tindakan yang menekan mereka19. Pada waktu kedua delegasi ini bertemu kembali pada awal 1955, yang disetujui adalah penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan dengan prinsip aktif, jadi penduduk Tionghoa diharuskan memilih kembali kewarganegaraannya dan mengeluarkan bukti-bukti sesuai dengan UU kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia20. Perundingan ini menghasilkan dokumen yang dinamakan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan yang dipercepat penyelesaiannya supaya ia bisa ditanda tangani oleh Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo 18 19 20 Berita Baperki, 26 February 1955. Wawancara dengan Go Gak Cho, Hongkong, Januari 1989. Willmott, The National Status of The Chinese in Indonesia, pp 46-47 256 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan pada waktu konperensi Asia Afrika pertama diselenggarakan pada bulan April 1955 di Bandung. Perjanjian ini ternyata mirip dengan RUU kewarganegaraan yang telah berulang kali diperdebatkan di parlemen dan yang telah ditarik oleh Kabinet Ali karena protes yang diluncurkan oleh Siauw Giok Tjhan. Jadi Perjanjian ini membatalkan kewarganegaraan Indonesia dari hampir semua penduduk Tionghoa yang telah menjadi WNI berdasarkan UU Kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB 1949. Juga ditetapkan bahwa semua orang yang telah menolak kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1951, akan tetap diperlakukan sebagai warga negara Tiongkok. Setiap orang yang lahir di Tiongkok dan tidak pernah menjadi kaula Belanda juga diperlakukan sebagai warga negara Tiongkok. Beberapa butir penting yang terkandung di dalam Perjanjian ini adalah: 1. Setiap orang dewasa yang memiliki dwikewarganegaraan diberi waktu dua tahun untuk memilih kewarganegaraannya. Mereka diharuskan untuk menghadap kantor yang berkepentingan untuk menyatakan kewarganegaraan apa yang ia pilih. 2. Mereka yang tidak memenuhi persyaratan di atas, otomatis memiliki kewarganegaraan ayahnya. 3. Setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun memiliki kewarganegaraan ayahnya. 4. Setiap anak yang ayahnya warga negara asing dengan sendirinya menjadi warga negara asing pada waktu ia berumur 18 tahun. Perjanjian ini merupakan sebuah kemenangan yang gemilang bagi tokoh-tokoh yang menginginkan diperkecilnya jumlah penduduk Tionghoa yang menjadi WNI. PNI dengan cepat mendukung Perjanjian ini. Berita Minggu yang diterbitkan oleh orang-orang PNI mendukung isi Perjanjian ini karena menurutnya, kewarganegaraan Indonesia seyogyanya tidak diobral ke penduduk Tionghoa dan Perjanjian ini bisa dijadikan alat 257 Siauw Giok Tjhan untuk mengubah struktur ekonomi di perdesaan, yang menurut PNI, dikuasai oleh orang-orang Tionghoa21. PKI juga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 17 Mei 1955, mendukung isi Perjanjian ini. Walaupun partai ini mendukung prinsip pasif, kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah dwi-kewarganegaraan telah mendorongnya untuk membenarkan prinsip aktif yang terkandung di dalam Perjanjian yang telah ditanda tangani oleh Chou En Lai dan Sunario22. Untuk Siauw, Perjanjian ini merupakan tamparan di mukanya. Memang dengan para pemimpin Chiao Chung, Siauw telah berulang kali mengadakan pembicaraan. Dalam pembicaraan-pembicaraan itu, Siauw selalu menekankan bahwa penduduk Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia seharusnya menjadi WNI dan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Pihak Chiao Chung pecah. Ada yang menyetujui dan ada yang menentang pendapat Siauw. Walaupun pada umumnya mereka selalu menghargai Siauw sebagai tokoh yang telah banyak membela kepentingan mereka, sebagian besar pimpinan Chiao Chung bersikeras untuk mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok-nya. Akan tetapi Siauw tetap bertekad untuk menentang arus ini. Ia segera menyuarakan kekecewaan dan kritikan terhadap isi Perjanjian ini. Menurut Siauw23:”...Masalah Dwi-Kewarganegaraan di Indonesia dijadikan masalah besar karena ia dikaitkan dengan ukuran loyalitas seseorang terhadap RI. Memiliki DwiKewarganegaraan otomatis diartikan memiliki loyalitas ganda. Jadi orang-orang yang berada di dalam kategori ini dianggap sebagai orang-orang yang bersifat oportunistis. Persepsi ini jelas salah. Baperki kecewa dengan isi Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan karena: 1. Didalam Perjanjian ini terkandung pasal-pasal RUU Kewarganegaraan yang menciptakan kebingungan dan kekacauan 21 22 23 Berita Baperki, 26 May 1955 Harian Rakyat, 17 may 1955 Pidato Siauw, May 1955. 258 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan tentang definisi siapa sebenarnya golongan yang telah menjadi WNI dan siapa yang memiliki dwi-kewarganegaraan. Disamping itu, syarat-syarat yang terkandung di dalam Perjanjian ini belum diterima oleh parlemen yang telah berulang kali menentang disahkannya RUU Kewarganegaraan. 2. Perjanjian ini tidak menyelesaikan masalah DwiKewarganegaraan, karena seorang wanita yang WNI bisa tetap mempertahankan kewarganegaraannya, walaupun ia menikah dengan seorang lelaki yang berkewarganegaraan asing. Jadi di dalam keluarga tetap terdapat kewarganegaraan ganda. Dengan demikian, Indonesia akan selamanya memiliki masalah dwikewarganegaraan. 3. Perjanjian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah WNI keturunan Tionghoa. Jadi, ia menggantikan prinsip Jus Soli dengan Jus Sanguinis. Dengan demikian di Indonesia akan terdapat sebuah golongan besar yang senantiasa menjadi warga negara asing walaupun mereka sudah menetap di Indonesia bergenerasi. 4. Perjanjian ini membatalkan status hukum banyak orang yang telah menjadi WNI di dalam periode 1946-1948 dan 1949-1951”. Untuk memperjelas siapa yang berada dalam kategori kelompok yang memiliki dwi-kewarganegaraan, Siauw menyuarakan definisinya: 1. Mereka yang menyatakan bahwa mereka memiliki Dwi-Kewarganegaraan. 2. Mereka yang memiliki dua passport dalam bepergian ke luar negeri, passport Indonesia dan passport Tiongkok. 3. Mereka yang belum mencapai umur 18 sebelum periode 27 Desember 1949-27 Desember 1951 dan yang orang tuanya telah menolak kewarganegaraan Indonesia dalam periode yang sama. Siauw mendorong pemerintah untuk menganggap orang yang tidak di dalam definisinya sebagai WNI. Siauw juga menuntut 259 Siauw Giok Tjhan pemerintah untuk menganggap semua prang yang pernah memilih dalam pemilu, pegawai negeri, bekas menteri-menteri, anggota parlemen dan pegawai negeri sebagai WNI. Ternyata Siauw tidak sendirian. Selain didukung oleh para anggota Fraksi Nasional Progresif, ia juga didukung oleh berbagai tokoh politik lainnya baik di dalam parlemen maupun berbagai surat kabar. Partai-partai oposisi seperti Masjumi, PSI, Partai Katolik dan Parkindo juga menyatakan tentangannya terhadap Perjanjian ini24. Chou En Lai ternyata terkejut mendengar Siauw Giok Tjhan. Zhu Yi, staf kementerian luar negeri Tiongkok menyatakan ke Chou bahwa bilamana perjanjian ini ditolak oleh Siauw, ia tidak akan diratifikasi di parlemen. Zhu Yi, yang akhli tentang politik Indonesia, sudah cukup lama memperhatikan gerak-gerik politik Siauw. Chou meminta Huang Chen untuk mengundang Siauw untuk membicarakan aspek-aspek Perjanjian yang ditentang oleh Siauw. Pertemuan ini diadakan di kantor Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta pada akhir April 1955. Chou dan Siauw berbicara dari pukul 11 malam sampai pukul 4 pagi25. Pertemuan yang juga disetujui oleh Perdana Menteri Ali ini ternyata mengubah pandangan Chou En Lai dan membuatnya menyesal atas tindakannya dalam menanda tangani Perjanjian itu. Siauw berhasil meyakinkan Chou bahwa staff-nya dan Menteri Luar Negeri Sunario telah memberi informasi yang salah padanya. Perjanjian ini, menurut Siauw akan merugikan ratusan ribu orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, karena mereka akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya. Menurut Siauw, ini akan menyulitkan mereka dalam berdagang, mendapat pendidikan dan berbagai fase kehidupan sehari-hari. Siauw juga menuturkan latar belakang politik kelompok yang dipimpin oleh Sunario dan Iskaq dalam mempersiapkan naskah Perjanjian yang sudah ditanda 24 25 Ibid, pp 49-50 Wawancara dengan Go Gak Cho, pada waktu itu Sek Jen dari Chung Hoa Chiao Chung Hui Tuan, yang berfungsi sebagai penterjemah dalam pertemuan Chou-Siauw itu. 260 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan tangani itu, yaitu mengganti pedagang-pedagang Tionghoa dengan pedagang-pedagang “asli” tanpa memperdulikan dampak terhadap kemakmuran dan kelancaran ekonomi nasional. Juga berhasil diyakinkan Siauw bahwa jalan keluar jangka panjang bagi penduduk Tionghoa di Indonesia adalah menjadi WNI karena mereka lahir, dibesarkan dan akan dikubur di Indonesia. Tiongkok bukanlah tempat mereka, demikian ujar Siauw pada Chou. Berdasarkan penguraian ini, Siauw juga berhasil meyakinkan Chou untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam Perjanjian dengan mengeluarkan Exchange of Notes, sehingga dampak Perjanjian ini bisa dibatasi26. Chou ternyata menerima semua uraian Siauw dan memarahi Duta Besar Huang Chen dan staf-nya yang selama itu terlibat dalam berbagai pembicaraan dengan pihak pemerintah Indonesia. Dengan tegas ia mengatakan bahwa untuk selanjutnya, mereka harus berkonsultasi dengan Siauw sebelum menyimpulkan posisi RRT tentang kewarganegaraan27. Siauw dengan cepat menyiapkan dokumen yang akan dinamakan Exchange of Notes dan menyerahkan draft-nya ke Perdana Menteri Ali, yang mendukung isinya. Akan tetapi, di kabinet, perubahan ini tidak begitu saja diterima oleh tokoh-tokoh PNI, terutama Sunario. Perdana Menteri Ali mengunjungi RRT pada awal bulan Juni 1955. Di dalam pertemuannya dengan Chou, dibicarakan juga masalah Dwi-Kewarganegaraan. Kedua belah pihak menyetujui untuk mengubah isi Perjanjian yang sudah ditanda tangani ini dengan mengeluarkan Exchange of Notes28. Pada tanggal 3 Juni 1955, Chou En Lai mengirim surat resmi ke Ali. Surat itu yang kemudian menjadi dasar dari Exchange of Notes mengikut sertakan pandangan-pandangan Siauw, termasuk:29. 26 27 28 29 Wawancara dengan Go Gak Cho, Go Gien Tjwan dan Zhu Yi, pada waktu itu staf kementerian Luar Negeri Tiongkok. Wawancara dengan Zhu Yi Wawancara dengan Zhu Yi, Oktober 1994 Wawancara dengan Zhu Yi. 261 Siauw Giok Tjhan 1. Kedua pemerintah menyetujui adanya sebagian penduduk Tionghoa di Indonesia yang telah diakui secara sah sebagai WNI. Kelompok ini akan tetap diperlakukan sebagai WNI dan tidak berada dalam kategori kelompok orang yang memiliki Dwi-Kewarganegaraan. Oleh karenanya mereka tidak perlu melalui proses yang terkandung di dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. 2. Setelah orang-orang yang bersangkutan memilih kewarganegaraannya, mereka tidak perlu lagi memilih kewarganegaraannya di lain waktu, walaupun Perjanjian ini habis waktunya. 3. Status hukum orang-orang yang bersangkutan selama periode dua tahun tetap diakui, yaitu memiliki dwikewarganegaraan. Pilihan harus diambil sebelum periode dua tahun ini habis. Ali menjawab bahwa syarat-syarat yang diajukan oleh Chou bisa diterimanya. Berdasarkan jawaban ini, dokumen Exchange of Notes dipersiapkan. Pada tanggal 7 Juni 1955, Perdana Menteri Ali melaporkan hasil pembicaraannya dengan Chou di parlemen30. Siauw tentunya gembira dengan hasil yang dicapai. Tetapi ia menyayangkan kurangnya dipertegas definisi siapa yang dianggap telah menjadi WNI. Di dalam wawancara pers yang ia berikan, Siauw menyatakan bahwa semua penduduk Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang kecil, buruh dan petani harus dianggap sebagai WNI dan tidak harus melalui proses penentuan kewarganegaraan lagi. Menurut Siauw, semua anggota parlemen, kabinet dan para anggota berbagai partai politik dan organisasi massa adalah WNI31. Pada waktu Siauw siap untuk mendorong diratifikasi-nya 30 31 Mary Somers, Questions Concerning The Chinese In Indonesia Since The Chou-Sunario Treaty, April 4, 1960 Willmott, The National Status of The Chinese in Indonesia, p56 262 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dengan Exchange of Notes-nya ini, kabinet Ali jatuh pada bulan Juli 1955. Perjanjian ini tidak pernah diganggu gugat oleh kabinet Burhanuddin Harahap yang menggantikannya. Juga ketika kabinet Ali yang ke dua terbentuk, masalah ini tidak diselesaikan. Pada tanggal 5 Desember 1957, Siauw Giok Tjhan dan 13 anggota parlemen yang mewakili PNI, PKI, Baperki, NU, Masyumi and Partai Katolik, mengajukan petisi pada pemerintah sambil menuntut semua orang yang telah ikut dalam pemilu dibebaskan dari pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. Menteri luar negeri Subandrio dalam kabinet Djuanda dalam menjawab petisi itu memastikan bahwa usul Siauw itu diterima. Pada tanggal 17 Desember 1957, Perjanjian itu akhirnya diratifikasi32. Pada tanggal 30 December 1957, Kongres RRT-pun meratifikasi Perjanjian ini. Akan tetapi, Siauw mengalami masalah lagi. Perdana Menteri Djuanda ternyata menolak definisi yang dianjurkan oleh Siauw, yang sebelumnya sudah diterima oleh Meneteri Luar Negeri Subandrio yaitu semua orang yang pernah ikut pemilu tidak perlu melalui proses memilih kewarganegaraannya lagi. Atas desakan Siauw, pada bulan Januari 1958, Djuanda akhirnya menyatakan bahwa ia akan mempertimbangkan permintaan Siauw. Pada tanggal 20 Januari 1960, dua tahun setelah Perjanjian DwiKewarganegaraan dengan Exchange of Notes-nya itu diratifikasi, semua orang yang ikut memilih dalam pemilu dinyatakan bebas dari kewajiban memilih kewarganegaraan. Walaupun demikian, pelaksanaannya tetap tertunda sampai tahun 1962. UU Kewarganegaraan 1958 Seperti yang diuraikan sebelumnya, ratifikasi Perjanjian DwiKewarganegaraan tertunda karena pergantian kabinet-kabinet. Juga ditunda karena ada arus di parlemen yang menghendaki dikeluarkannya UU Kewarganegaraan baru terlebih dahulu. 32 Sin Po, 17 December 1957 263 Siauw Giok Tjhan Pada bulan November 1957, Kabinet Djuanda mengeluarkan RUU kewarganegaraan, yang isinya sama dengan apa yang pernah dirancangkan oleh kabinet Ali dengan perubahan-perubahan yang diajukan oleh Siauw Giok Tjhan. Siauw dengan gigih memperdebatkan RUU ini. Pada akhirnya dicapailah sebuah kompromi, antara mereka yang menginginkan sebuah UU Kewarganegaraan yang membatasi jumlah orang Tionghoa menjadi warga negara dan mereka yang diwakili oleh Siauw. Kompromi ini menmbuahkan sebuah RUU yang bisa diterima oleh Siauw dan para pendukungnya di parlemen. RUU ini secara garis besar menyatakan: Semua orang yang sudah menjadi WNI berdasarkan UU dan peraturan yang disahkan sejak 17 Agustus 1945 akan tetap diperlakukan sebagai WNI. Kebutuhan untuk memilih kewarganegaraan secara aktif hanya berlaku untuk orang-orang yang berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki dwi-kewarganegaraan. 1. Semua Peranakan yang telah menjadi WNI berdasarkan UU kewarganegaraan 1946 dan Ketetapan KMB 1949, tetap diperlakukan sebagai WNI. 2. Berlaku prinsip Jus-soli dengan dua generasi. Seorang asing yang lahir dan menetap di Indonesia bisa memohon untuk menjadi WNI bilamana ayahnya juga lahir di Indonesia dan telah menanggalkan kewarganegaraan lamanya. UU Kewarganegaraan ini akhirnya dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1958. Walaupun Siauw tetap menyesalkan dirubahnya prinsip pasif menjadi prinsip aktif, ia terpaksa menerimanya. Kemenangan yang paling penting untuk-nya adalah adanya ketentuan yang mempertegas bahwa mereka yang sudah menjadi warga negara Indonesia berdasarkan UU yang berlaku sebelum UU baru ini, tetapi diperlakukan sebagai WNI. 264 Kewarganegaraan dan Dwi-Kewarganegaraan Perjuangan Siauw untuk menjamin posisi hukum penduduk Tionghoa di Indonesia memang kurang dirasakan kebergunaannya pada tahun 50-an. Akan tetapi, ini menjadi hal yang penting bagi penduduk Tionghoa di Indonesia setelah tahun 60-an. 265 Siauw Giok Tjhan Dengan Go Gak Cho, tokoh Chiao Chung, Jakarta, 1956 Dalam sebuah acara Baperki - 1956 266 Transisi ke Demokrasi Terpimpin BAB 10 TRANSISI KE DEMOKRASI TERPIMPIN Sebagai seorang yang menjunjung tinggi demokrasi, Siauw sebenarnya mengharap bahwa pemilu 1955 akan membawa Indonesia ke fase demokrasi yang baru, di mana kestabilan politik bisa dicapai dan undang-undang dasar baru bisa diwujudkan. Ia juga berharap UU yang berhubungan dengan kewarganegaraan dan pelaksanaan ekonomi nasional dapat diratifikasi dengan cepat, sehingga posisi hukum orang-orang Tionghoa di Indonesia lebih terjamin. Akan tetapi, seperti banyak politikus lainnya, Siauw menjadi kecewa dengan perkembangan politik setelah pemilu. Pada tahun 1957, Keadaan Darurat diumumkan dan penguasa militer memainkan peranan penting dalam kancah politik, bahkan dalam banyak hal, mereka lebih dominan dari pemerintah sipil yang dipimpin oleh Djuanda. Perkembangan situasi ini akhirnya mematikan sistem demokrasi parlementer pada tahun 1959. Antara tahun 1956 dan 1959, Siauw, seperti banyak anggota parlemen dan Konstituante lainnya, giat memperdebatkan bentuk demokrasi yang harus dianut oleh RI. Karena Siauw menjadi frustrasi dengan ketidak stabilan politik yang menyebabkan seringnya kabinet berjatuhan yang berakibat terundurnya penyelesaian UU, Siauw menjadi salah satu politikus pertama yang mendukung gagasan Presiden Soekarno untuk mengubah sistem demokrasi Indonesia. Siauw mainkan dalam masa transisi ke Demokrasi Terpimpin, terutama dalam perdebatan berbagai pasal yang seharusnya dimasukkan ke dalam UUD baru. Masa Pergantian Politik (1956-1958) Banyak orang berharapan besar bahwa pemilu 1955 akan menyelesaikan banyak persoalan. Mereka mengira bahwa stabilitas 267 Siauw Giok Tjhan politik bisa direalisasi dan sistem pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Akan tetapi perkembangan politik setelah pemilu mengecewakan banyak orang. Keempat partai besar, PNI, Masjumi, NU dan PKI tetap mempunyai program politik yang berbeda-beda sehingga sulit untuk dipersatukan. Ini menyebabkan kabinet Ali yang ke dua, yang terdiri dari orang-orang PNI, Masjumi dan NU, tetap tidak efektif dalam menjalankan pemerintahannya. Disamping itu, berbagai peristiwa politik yang terjadi tidak lama setelah pemilu turut mengganggu kestabilan politik. Dimulai percobaan kudeta yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis pada tahun 1956. Kemudian terjadinya penyelundupan besar-besaran yang dilakukan oleh para komandan militer yang berkuasa di Sulawesi Utara dan Sumatra yang lalu menyebabkan digantinya komandan-komandan militer dari Jawa itu dengan komandankomandan yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Persitiwaperistiwa ini lalu mendesak jatuhnya kabinet Ali pada bulan Maret 1957. Jurang pemisah antara Masjumi yang didukung oleh PSI, Parkindo dan Partai Katolik dengan PNI yang didukung oleh PKI dan NU semakin besar setelah pemilu. Secara kebetulan, perbedaan kedua blok politik ini juga berhubungan dengan dari mana para pimpinannya dan pendukungnya berasal. Pimpinan dan pendukung blok Masjumi pada umumnya berasal dari luar Jawa, sedangkan blok PNI berasal dari Jawa. Hasil pemilihan umum memperkuat analisa ini. PNI, NU dan PKI mempunyai hasil yang besar di pulau Jawa. Disamping itu, kedua blok ini juga memiliki pelindung-pelindung utama yang berbeda. Blok Masjumi menjagoi Hatta sedangkan blok PNI menjagoi Soekarno. Jurang pemisah ini juga didasari atas faktor ekonomi. Pulaupulau di luar Jawa memiliki sarana besar untuk menghasilkan bahan-bahan mentah dan pertambangan yang menjadi sumber dari penghasilan negara. Sedangkan Pulau Jawa yang tidak banyak menghasilkan hasil bumi, menjadi tempat kekuasaan negara yang 268 Transisi ke Demokrasi Terpimpin mengontrol hasil jerih payah penduduk pulau-pulau luar Jawa. Menjelang akhir tahun 1956, ada tiga kekuatan yang menguasai politik Indonesia. Kelompok pertama diwakili oleh Masjumi, PSI dan para komandan militer dari luar Jawa. Mereka inilah yang mendesak mundurnya Perdana Menteri Ali dan menuntut pemerintah untuk memberi kekuasaan yang lebih besar pada pemerintah-pemerintah daerah. Mereka juga menuntut kembalinya Hatta sebagai Perdana Menteri. Tuntutan-tuntutan yang tidak dihiraukan oleh pemerintah pusat ini akhirnya menyebabkan dimulainya pemberontakan di Jawa dan Sumatra pada tahun-tahun 1957 dan 1958. Kelompok kedua dipimpin oleh Soekarno sendiri. Soekarno sudah sejak November 1945 tidak langsung memegang peranan eksekutif dalam pemerintahan. Karena menginginkan keterlibatan dalam memerintah dan frustrasi melihat tidak berdayanya kabinetkabinet dalam menjalankan tugasnya, Soekarno mengeluarkan gagasan tentang sistem pemerintahan yang harus dianut oleh RI. Antara akhir tahun 1956 dan permulaan tahun 1957 Soekarno sering berbicara tentang kegagalan demokrasi parlementer dan mulai menganjurkan sistem demokrasi yang ia namakan Demokrasi Terpimpin. Salah satu aspek penting gagasannya adalah dibentuknya kabinet yang terdiri dari PNI, Masjumi, NU dan PKI. PNI dan PKI serta partai-partai nasionalis kecil dan Baperki mendukung gagasan Soekarno ini. Kelompok ketiga diwakili oleh Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jendral Nasution. Tuntutan utama kelompok ini adalah diperbesarnya kekuasaan militer dalam dunia politik. Dengan tumbuhnya kekuatan kelompok pertama yang didukung oleh beberapa kekuatan militer daerah, pemerintah dan Soekarno menjadi lebih tergantung pada keberadaan dan dukungan Nasution. Apalagi setelah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia - Indonesian Revolutionary Government) didirikan pada bulan Februari 1958. Pimpinan Angkatan Darat menjadi pengimbang kekuatan antara Soekarno dan kelompok luar Jawa. Setelah DPR yang baru ini dilantik pada tahun 1956, Siauw 269 Siauw Giok Tjhan membentuk kembali Fraksi Nasional Progresif-nya. Kali ini, fraksi itu terdiri Baperki, Murba, PRN, Permai, Garindo, SKI, Acoma, Partindo, Mohamad Yamin and Sudjono. Siauw terpilih kembali sebagai ketua fraksi. Soekarno membicarakan masalah bentuk pemerintahan yang baru untuk pertama kalinya pada bulan Oktober 1956, ketika ia baru kembali dari Tiongkok dan Uni Soviet. Perjalanan ke dua negara ini, menurutnya telah membuka matanya dan mendorongnya untuk mengeluarkan gagasan tentang bentuk pemerintahan yang menurutnya ideal untuk Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1956, pada hari perayaan Sumpah Pemuda, ia mengatakan bahwa Demokrasi Parlementer telah gagal karena di Indonesia terdapat terlalu banyak partai politik yang tidak bersedia untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan politik utama. Ia juga menyatakan bahwa impiannya adalah para pemuda berbagai organisasi itu bermusyawarah untuk mengubur semua partai politik. Dua hari kemudian, pada acara Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), ia mengulangi seruannya untuk mengubur partai-partai politik dan di situ ia memperkenalkan gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin yang ia katakan lebih tepat untuk Indonesia ketimbang Demokrasi Barat1. Di dalam pidatonya di Konstituante pada tanggal 10 November 1956, ia berbicara tentang bagaimana pentingnya Indonesia untuk memiliki UUD yang tepat untuk Indonesia dan memperingatkan Konstituante bahwa UUD itu tidak boleh dijiplak dari negara lain. Ia pun berbicara tentang perlunya UUD itu diciptakan sesuai dengan karakter dan identitas Indonesia2. Siauw sudah lama frustrasi karena kelambanan proses merealisasi UU yang ia berhasil perjuangkan di dalam DPR, terutama yang berhubungan dengan masalah kewarganegaraan. Sebagai seorang yang mengagumi berbagai keberhasilan RRT dan 1 2 Siauw, Lima Jaman, p 270; Legge, Soekarno, p271, p 279 Legge, Soekarno, p 280 270 Transisi ke Demokrasi Terpimpin Uni Soviet -- Siauw sering menulis tentang berbagai keberhasilan ke dua negara ini di dalam mengembangkan ekonomi sosialisme dan perindustrian-- ia penuh berharap bahwa sistem pemerintahan yang Soekarno ingin trapkan di Indonesia, yang ia dasari atas pengamatannya selama berkunjung di kedua negara itu, akan mempercepat proses pengesahan UU yang memperbaiki posisi Indonesia umumnya dan golongan Tionghoa khususnya. Dalam hal ini, Siauw kelihatannya mulai merasa bahwa lebih baik Indonesia dipimpin oleh seorang yang populer dan kuat seperti Soekarno, yang mendukung sosialisme daripada bersandar pada proses Demokrasi Parlementer yang selama ini gagal dalam menjamin kestabilan politik. Inilah yang menyebabkan Siauw menjadi antusias dalam mendukung gagasan Soekarno. Iapun secara langsung diminta oleh Soekarno untuk memberikan pandangan-pandangannya tentang bentuk Demokrasi yang bisa dikembangkan di Indonesia3. Siauw mendukung analisa Soekarno tentang sistem pemerintahan yang ia amati di Uni Soviet. Di dalam salah satu pidatonya pada tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa di dalam negara-negara yang mengenal satu partai politik, proses perubahan dapat dicapai dengan mudah. Sekali partai tersebut sudah sepakat untuk melaksanakan perubahan, proses perubahan bisa segera dimulai. Ia pun tertarik dengan sistem pemerintahan Uni Soviet yang terdiri dari pemerintah yang dipilih oleh Presidium yang dipilih oleh Supreme Soviet yang juga dipilih oleh rakyat. Jadi pemerintah adalah sambungan masyarakatnya4. Posisi Siauw dalam mendukung gagasan Soekarno ini didukung oleh Fraksi-nya, Fraksi Nasional Progresif. Akan tetapi, keinginan untuk menciptakan satu partai ini tentunya ditentang oleh partaipartai besar, termasuk PKI. Gagasan Soekarno ternyata tidak diformulasikan secara 3 4 Wawancara dengan Oey Hay Djoen dan Oei Tjoe Tat Ghoshal, Indonesian Politics 1955-59, p96 271 Siauw Giok Tjhan mendetail, sehingga pada akhir 1956, masyarakat masih belum bisa membayangkan apa Demokrasi Terpimpin dan bentuk negara apa yang akan diperkenalkan oleh gagasan Soekarno itu. Konsepnya baru mulai jelas pada bulan Februari 1957. Pada waktu itu, Soekarno tidak lagi berbicara tentang penguburan partai-partai politik. Ia lebih banyak memusatkan pembicaraannya pada pembentukan kabinet gotong royong di mana semua partai besar, termasuk PKI diwakili. Disamping itu, ia mencanangkan konsep pembentukan Dewan Nasional yang berfungsi sebagai badan penasehat dalam memformulasi berbagai kebijakan negara. Dewan ini, menurut Soekarno, harus terdiri dari para pemimpin partai-partai politik dan organisasi massa, serta perwakilan daerah. Siauw memimpin delegasi Fraksi Nasional Progresif untuk mengunjungi Soekarno pada tanggal 20 Februari 1957. Di dalam pertemuan itu, Siauw meyakinkan Soekarno bahwa fraksinya mendukung gagasan Soekarno dan menganjurkannya untuk mempercepat perubahan strukturil yang diusulkannya itu5. Pimpinan PKI ternyata juga menunjukkan dukungan serupa sehari sebelum Siauw dan delegasinya mengunjungi Soekarno6. Akhirnya pada tangal 21 Februari 1957, Soekarno membentangkan konsepnya. Dalam pidato yang dibacakan di hadapan parlemen, Soekarno menyalahkan demokrasi parlementer sebagai dasar adanya ketidak stabilan politik dan perpecahan yang berlangsung selama 11 tahun setelah kemerdekaan. Ia menekankan bahwa demokrasi barat tidak cocok untuk Indonesia, yang sangat mementingkan konsep gotong royong dan yang lebih cenderung menyandarkan kedemokrasia-annya pada proses permusyawarahan dan permufakatan, dari pada pengambilan suara. Oleh karenanya, pihak oposisi tidak perlu lagi berada di dalam sistem demokrasi ala Indonesia. Setiap partai harus bekerja sama dan mencapai keputusan bersama melalui proses 5 6 Republik, 21 February 1957 Ibid. 272 Transisi ke Demokrasi Terpimpin permusyawaratan. Ia lalu memberi partai-partai politik 7 hari untuk mempertimbangkan gagasannya dan memberi jawaban resmi ke pemerintah 7. Dalam beberapa hari saja, partai-partai besar menunjukkan sikapnya. PNI dan PKI mendukung Konsepsi Soekarno ini. Masjumi dan NU menentangnya. Pada tanggal 25 Februari 1957, Baperki juga mengeluarkan pernyataan mendukung konsep Soekarno. Di dalam pernyataan yang jelas disiapkan oleh Siauw, Baperki mengemukakan bahwa demokrasi parlementer membawa empat kegagalan utama: Pertama, sistem demokrasi parlementer ini gagal mengubah berbagai undang-undang kolonialisme yang mengandung rasisme dengan Undang-Undang baru yang menjamin hapusnya diskriminasi rasial di setiap bidang. Kedua, sistem demokrasi parlementer gagal melikwidasi ekonomi kolonial dan gagal mewujudkan ekonomi nasional yang seharusnya menggunakan dan mengembangkan modal domestik, baik yang dimiliki oleh WNI atau WNA yang sudah lama menetap di Indonesia. Ketiga, sistem ini menimbulkan seringnya terjadi pergantian kabinet sehingga stabilitas politik tidak pernah tercapai. Setiap pergantian kabinet diikuti dengan munculnya kelompok-kelompok pedagang baru disekitar para menteri yang terpaksa mengeluarkan banyak peraturan-peraturan baru yang menjamin diperkayanya mereka dan para menteri itu. Keadaan ini, menurut Baperki telah merusak ekonomi dan kapasitas produksi negara. Keempat, sistem ini gagal menciptakan UU kewarganegaraan baru yang baik yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan. Berdasarkan adanya kegagalan tersebut, Baperki menyatakan harapannya bahwa sistem yang digagaskan Soekarno bisa menjamin adanya stabilitas politik yang memperbaik penghidupan golongan 7 Republik, 22 February 1957; Ghoshal, Indonesian Politics 1955-59, pp 80-81 273 Siauw Giok Tjhan minoritas di Indonesia8. Akan tetapi perdebatan tentang kabinet Gotong Royong terhenti dalam waktu singkat. Pada awal bulan Maret 1957, Komandan Daerah Indonesia Timur mengambil alih pemerintahan sipil di kawasan itu dengan mendeklarasikan situasi perang. Pada tanggal 14 Maret kabinet Ali jatuh dan atas desakan jendral Nasution, Soekarno juga menyatakan Indonesia berada dalam keadaan perang dan darurat, keadaan yang memberi kekuasaan penuh pada ABRI untuk mengambil tindakan-tindakan militer yang dianggap perlu untuk mengamankan negara. Dengan demikian, pengaruh politik Angkatan Darat meningkat dan dalam batas-batas tertentu, ia menandingi kekuasaan pemerintah sipil yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda yang membentuk kabinetnya pada bulan April 1957. Pada tahun yang sama, misalnya, pihak Angkatan Darat mengeluarkan larangan untuk mogok. Ia pun membatasi kebebasan pers. Perkembangan ini melemahkan pengaruh partai-partai politik dan juga parlemen dalam bidang politik. Ini merupakan permulaan luluhnya sistem demokrasi parlementer. Pada bulan Mei 1957, Dewan Nasional dibentuk. Badan ini dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri dan terdiri dari semua pimpinan ABRI dan partaipartai politik. Tadinya badan ini dibentuk untuk memusyawarahkan berbagai masalah penting dan juga berfungsi sebagai penasehat Presiden. Akan tetapi lama-kelamaan, badan ini berkembang menjadi lembaga yang lebih penting dari DPR. Bahkan sejak awal tahun 1958 sampai diakhirinya sistem demokrasi parlementer, banyak kebijakan pemerintah diperbincangkan dan diperdebatkan di dalam Dewan Nasional. DPR terpaksa menerima hasil-hasilnya dan meresmikannya sebagai undang-undang, yang kemudian dilaksanakan oleh kabinet Djuanda. Pada bulan Desember 1957, pengambilan alih perusahaanperusahaan milik Belanda mulai dilaksanakan. Para perwira tinggi Angkatan Darat memainkan peranan penting dalam 8 Republik, 25 February 1957 274 Transisi ke Demokrasi Terpimpin proses pengambilan alihnya. Walaupun para buruh perusahaanperusahaan asing yang memulai gerakan perebutan kantor-kantor dan administrasi, lowongan yang ditinggalkan oleh para pengusaha Belanda segera diisi oleh para perwira tinggi Angkatan Darat. Perusahaan-perusahaan yang dijadikan sasaran adalah kantorkantor perdagangan, pertambangan, perkebunan dan perkapalan. Proses inilah yang menimbulkan exodus penduduk Belanda dari Indonesia. Sekitar 46.000 warga Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1958. Jatuhnya management perusahaan-perusahaan asing yang diambil alih itu ke tangan para perwira tinggi Angkatan Darat memperbesar pengaruh mereka dalam dunia ekonomi dan politik. Kekuatan mereka dikonsolidasi dengan adanya pemberontakan PRRI/Permesta yang didukung oleh Masjumi dan PSI. Soekarno dan pemerintah Djuanda tidak bisa tidak bersandar pada kekuatan Angkatan Darat untuk memadamkan pemberontakan ini. Demikianlah, mulai pertengahan 1958, Angkatan Darat menjadi sebuah kekuatan yang paling berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan militer di Indonesia, sebuah posisi yang tidak pernah dimilikinya sebelum itu. Masa Permusyawarahan (Pertengahan 1958 - Awal 1959) Pada waktu yang bersamaan, Konstituante mulai dengan permusyawaratannya untuk menciptakan UUD yang baru. Di dalam proses ini, Siauw juga turut memainkan peranan terutama dalam menentukan formulasi dasar negara dan pasal-pasal yang berhubungan dengan Hak Azazi Manusia (HAM). Di dalam Konstituante Siauw membentuk dua fraksi, fraksi Baperki yang diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Jan Ave dan C.S Richter dan Fraksi Lima Orang yang terdiri dari Go Gien Tjwan, Yap Thiam Hien, Liem Koen Seng, Ang Pin Hian dan Oen Poe Djiang. Kedua fraksi ini lalu digabung dalam Fraksi Bhinneka Tunggal Ika, yang dipimpin oleh Siauw. Pembentukan fraksi ini didasari 275 Siauw Giok Tjhan keinginan Siauw untuk mendapatkan dukungan seluas mungkin di dalam Konstituante, sehingga posisi Baperki di dalamnya menjadi lebih kuat9. Pengetahuan Siauw tentang pola kerja parlemen dan berbagai macam prosedur legislatif menyebabkannya diangkat sebagai anggota sebuah panitia yang ditugaskan untuk menentukan peraturan-peraturan Konstituante dan cara pemilihan ketuanya10. Wilopo dari PNI akhirnya terpilih sebagai ketua. Pada waktu pemilihan wakil ketua diadakan, Siauw memperjuangkan Nyonya Ratu Aminah Hidayat dari IPKI, yang akhirnya berhasil menduduki salah satu posisi wakil ketua11. Tetapi karena kesibukannya di Jakarta dengan tugas-tugas Baperki, penerbitan harian Republik dan tugas-tugas parlemennya, Siauw menunjuk Oei Tjoe Tat, Liem Koen Seng, Yap Thiam Hien dan Jan Ave untuk mewakili Baperki di dalam Panitia Persiapan Konstitusi. Para anggota panitia ini harus berada di Bandung hampir setiap hari selama masa permusyawaratan Konstituante (November 1956 sampai Juli 1959)12. Di dalam Konstituante terdapat tiga kelompok utama. Yang terbesar, dinamakan kelompok Pancasila terdiri dari PNI, PKI, PRN, Parkindo, Partai Katolik dan beberapa partai kecil lainnya. Baperki berada di dalam kelompok ini. Kelompok ini menginginkan Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara. Kelompok kedua terdiri Masjumi, NU, PSII, Perti dan partai-partai Islam kecil lainnya. Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kelompok yang terkecil terdiri dari Partai Buruh, Murba dan Acoma. Mereka menginginkan Indonesia menganut jalur sosialisme13. 9 10 11 12 13 Wawancara Dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan Republik, 13 November 1956. Panitia ini juga terdiri dari Mohamad Yamin, Zainul Arifin dari NU, Leimena dari Parkindo dan Kasimo dari Partai Katolik Wawancara Dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan Oei, Meomar, p 87 Nasution, The Aspiration for Constitutional Government In 276 Transisi ke Demokrasi Terpimpin Walaupun perdebatan di Konstituante ini tidak melahirkan Undang-Undang Dasar baru, dan proses permusyawaratannya tidak memainkan peranan di dalam kancah politik di masa transisi menuju ke periode Demokrasi Terpimpin, pidato-pidato Siauw di Konstituante mencerminkan prinsip-prinsip dan harapan-harapan politiknya pada waktu itu. Dalam banyak perdebatan di Konstituante, Siauw dengan tegas menyatakan bahwa pihak Baperki menginginkan dicantumkannya pasal 33 dari UUD-45 di dalam UUD yang baru. Menurutnya, pasal ini sangat penting karena menjamin kekayaaan alam Indonesia tetap dikuasai oleh negara untuk rakyat Indonesia. Di dalam pidato yang ia bawakan di Konstituante pada tanggal 25 Agustus 1958 ia mengatakan:”...Bilamana pemerintah memiliki dan menguasai tanah, air dan semua kekayaan alam dan mengexploitasikannya untuk kepentingan rakyat, perwujudan masyarakat yang adil dan makmur dapat dijamin. Masyarakat yang demikian menjamin tidak adanya pengangguran dan setiap krisis ekonomi dapat ditanggulangi...”14. Siauw mendorong Konstituante untuk mengeluarkan UndangUndang yang bisa menjamin perbaikan standard hidup para pegawai negeri. Bilamana negara memiliki dan mengontrol semua kekayaan alam, jumlah pegawai negeri, menurut Siauw, besar. Bilamana penghasilan mereka rendah, menurut Siauw, mereka tidak akan melakukan tugasnya dengan baik dan hasilnya akan merugikan negara. Siauw juga berpendapat:”...Sangat penting merubah cara berpikir semua pegawai negeri. Mereka harus disadarkan bahwa mereka bekerja untuk memperbaiki standard hidup rakyat Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, saya usulkan agar istilah pegawai negeri diubah menjadi Abdi-Negara...”15. Salah satu masalah yang cukup lama diperdebatkan berhubungan dengan HAM. Banyak anggota Konstituante menganggap masalah 14 15 Indonesia, pp 32-34 Risalah Perundingan, 1958, Volume V, pp 2329-2331 Ibid, pp 2935-2936 277 Siauw Giok Tjhan HAM tidak kalah pentingnya dengan dasar negara. Bahkan, banyak yang menginginkan masalah HAM dikumpulkan dalam satu bagian tersendiri di dalam kerangka Undang-Undang Dasar yang baru16. Di dalam perdebatan-perdebatan tentang HAM, Siauw merupakan salah satu pembicara utama. Pada tanggal 11 Februari 1958, Siauw mengajukan argumentasi utamanya. Ia menyatakan salah satu prinsip yang harus dijadikan sebagai dasar UU yang berhubungan dengan HAM adalah prinsip yang terkandung di dalam UUD Jerman yang menyatakan: “Tidak ada orang yang bisa didiskriminasi hanya karena sex, latar belakang ras, agama, kepercayaan dan pandangan politiknya”. Siauw juga tertarik dengan Undang-Undang yang tercantum di dalam UUD RRT: “Setiap suku bangsa berhak untuk secara bebas menggunakan dan mengembangkan bahasanya masing-masing dan juga mempertahankan kebiasaan tradisional-nya dan kebudayaannya”. Menurut Siauw, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa harus memiliki UUD yang melindungi hak setiap suku bangsa untuk hadir di dalam masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi apapun. Setiap suku bangsa harus bisa secara bebas menggunakan bahasanya masing-masing dan mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan tradisional-nya. Pada waktu itu, Siauw sudah ber-teori bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia bisa dikategorikan sebagai suku Tionghoa. Alasannya adalah, di berbagai pelosok Indonesia, seperti Bagan Si Api-api, terdapat penduduk Tionghoa yang sudah menetap di daerah tersebut lebih dari 10 generasi. Bahasa yang dipergunakan berbeda dengan bahasa dialek yang kini dikenal di daerah asal leluhur mereka. Cara berpakaian dan makan mereka-pun sudah disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Berdasarkan pengertian ini, suku Tionghoa merupakan bagian tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia. 16 Nasution, The Aspirations for Constitutional Democracy in Indonesia, p 131 278 Transisi ke Demokrasi Terpimpin Siauw juga aktif dalam perdebatan tentang masalah perkembangan dan pengontrolan ekonomi Indonesia. Ia menyatakan bahwa penggunaan dana dan budget negara harus selalu dipertanggung-jawabkan dan harus ada mekanisme kontrol yang ampuh. Oleh karenanya, UU harus menjamin DPR untuk memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak budget yang dipersiapkan pemerintah. Ia-pun mengusulkan agar Dewan Pengawas Keuangan diberi wewenang penuh untuk memeriksa dan memperhitungkan penggunaan budget negara17. Masalah Demokrasi Terpimpin tidak menjadi bahan perdebatan yang utama di dalam Konstituante. Ini malah dimusyawarahkan di dalam Dewan Nasional. Bahkan di dalam Dewan Nasional inilah lebih banyak dibicarakan bagaimana struktur negara dan sistem Undang-Undangnya harus diubah bilamana Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin. Diskusi tentangnya di Konstituante hanya merupakan gema dari apa yang dimusyawarahkan di Dewan Nasional. Hancurnya Demokrasi Parlementer dan Kembali ke UUD-45 (1959) Pada waktu Konstituante bersidang dan dalam batas-batas tertentu mencapai hasil-hasil yang bisa diandalkan, perubahan politik di luar Konstituante dan DPR berjalan dengan pesat. Perubahan-perubahan ini akhirnya meremehkan hasil-hasil yang dicapai oleh Konstituante. Situasi politik di dalam periode ini sangat tergantung atas sikap dan permainan politik antara Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat. Mereka terkadang bekerja sama, tetapi sering juga saling bersaing dalam meraih pengaruh politik. Seperti yang diuraikan sebelumnya, munculnya Angkatan Darat sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi sangat mengurangi 17 Risalah Perundingan Konstituante, Volume VI, pp2932-2934 279 Siauw Giok Tjhan pengaruh DPR dan kabinet Djuanda. Disamping kekuatan Angkatan Darat, membesarnya pengaruh Soekarno dengan Dewan Nasionalnya juga memperkecil peranan DPR dan kabinet Djuanda. Pada dasarnya, pimpinan Angkatan Darat menyetujui dipergunakannya Demokrasi Terpimpin sebagai kerangka politik negara yang baru. Akan tetapi, mereka tidak mendukung gagasan-gagasan Soekarno tentang undang-undang yang harus dipergunakan. Pimpinan Angkatan Darat menginginkan adanya peranan besar pihaknya dalam bidang politik melalui Golongan Karya. Sebuah panitia dibentuk pada bulan Agustus 1958 oleh Soekarno untuk merencanakan bagaimana Demokrasi Terpimpin itu akan dilaksanakan. Panitia ini dipimpin oleh Tumakaka, seorang kawan Siauw yang juga menjadi anggota penasehat Baperki. Beberapa kawan dekat Siauw juga menjadi anggota dari panitia ini, diantaranya Iwa Kusumasumantri, Nja Diwan and Tjan Tjoe Som. Yang kedua terakhir ini juga berhubungan erat dengan Baperki. Panitia ini ternyata gagal dalam menyimpulkan bagaimana Demokrasi Terpimpin itu dilaksanakan. Yang menjadi permasalahan adalah berapa besar perwakilan Golongan Karya itu di DPR. Golongan Karya terdiri dari orang-orang tidak berpartai yang mewakili berbagai golongan, ABRI, karyawan, wanita, pemuda, dll. Orang-orang yang anti partai politik menginginkan Golongan Karya mempunyai 50% kursi di DPR. Para wakil partai politik menolak tuntutan ini dan hanya bersedia menerima tidak lebih dari 30%. Akhirnya pada bulan Oktober 1958, para anggota Dewan Nasional mengambil suara dan dengan dukungan ABRI, pihak yang menghendaki Golongan Karya memiliki 50% dari total kursi di DPR, menang dengan suara mayoritas yang besar. Rekomendasi Dewan Nasional kepada Kabinet adalah sbb18: 18 a. Setengah dari jumlah kursi di DPR akan diisi oleh Golongan Karya Ibid. pp 221-222 280 Transisi ke Demokrasi Terpimpin b. Calon-calon Golongan Karya dipilih melalui Front Nasional yang dipimpin oleh Presiden Soekarno c. Cara memilih dilakukan dua kali. Yaitu pertama kali untuk pemilihan wakil dari partai-partai politik. Kedua kalinya khusus untuk wakil-wakil Golongan Karya. Kejadian yang diuraikan di atas merupakan permulaan dari berakhirnya sistem politik yang tergantung pada kegiatan partaipartai politik. Juga menjadi jelas di kalangan masyarakat bahwa Golongan Karya yang terdiri dari orang-orang yang tidak berpartai, jadi yang tidak bisa dikontrol oleh partai-partai politik akan memainkan peranan yang lebih besar dari partai-partai politik di DPR. Pimpinan ABRI tidak berhenti di situ saja. Pada bulan November 1958, Nasution mendesak agar perwakilan ABRI di Golongan Karya berjumlah paling sedikit 50%. Nasution juga menginginkan agar para anggota ABRI dipilih oleh Presiden menjadi anggota-anggota DPR, jadi tidak dengan cara pemilihan umum19. Tuntutan Nasution untuk memainkan peranan lebih penting dalam DPR ditentang keras oleh PKI dan Baperki. Dalam berbagai artikel yang dimuat di dalam Harian Rakyat dan Republik, Siauw menekankan bahwa anggota-anggota ABRI sebaiknya memusatkan perhatiannya pada masalah pertahanan negara dan tidak terlalu banyak terlibat dalam bidang politik, terutama dalam bidang legislatif. Walaupun Siauw tidak berkeberatan akan adanya beberapa anggota ABRI di dalam pemerintahan, ia menganggap tidak pantas kalau ABRI memainkan peranan besar dalam bidang legislatif20. Akan tetapi partai-partai politik lainnya ternyata pecah dalam menghadapi tuntutan Nasution. PNI dan NU tidak begitu keras menentangnya. Masjumi yang baru saja mengalami berbagai 19 20 Ibid., p 225 Harian Rakjat, 14 November 1958; Republik, 14 November 1958 281 Siauw Giok Tjhan serangan baik militer maupun politk, telah lumpuh dan tidak menunjukkan dukungan atau tentangannya. Setelah berbulanbulan berdebat dan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, Kabinet masih belum bisa menyimpulkan bagaimana ABRI itu diwakili di DPR dan berapa jumlah kursi yang disediakan untuknya. Akhirnya, pada bulan Februari 1959, sebuah kompromi dilahirkan. Kompromi ini berupa diterima kembalinya UUD45 sebagai UUD negara yang baru. Penerimaan kembali UUD45 tadinya diusulkan oleh Nasution pada tahun 1957. Menurut Dan Lev, gagasan Nasution itu didasari atas keinginannya untuk membatasi pengaruh partai-partai politik. Menurut UUD-45, kekuasaan Presiden besar sekali, melampaui pengaruh partai-partai politik. Yang lebih penting lagi bagi Nasution, UUD-45 memberi peluang munculnya Golongan Karya di dalam kancah legislatif dan eksekutif. Kembali ke UUD-45 juga berarti pemerintah tidak lagi perlu menunggu hasil Konstituante yang ketika itu tidak bisa menyelesaikan perdebatan yang berlarut-larut tentang diterima tidaknya Islam sebagai dasar negara Indonesia21. Walaupun Soekarno tadinya menolak gagasan Nasution ini, tetapi pada awal 1959, ia mendukungnya. Soekarno melihat keuntungankeuntungan untuk pihaknya bilamana UUD-45 dijadikan UUD. Dan ia-pun berkeyakinan bahwa ia akan mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam mengatur pembagian kursi di Kabinet dan DPR antara partai-partai politik dan Golongan Karya22. Akhirnya pada bulan Februari 1959, Kabinet Djuanda dengan resmi mengusulkan kembali ke UUD-45 dan mencanangkan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin sesuai dengan UUD-45. Pada tanggal 20 Februari, Soekarno menerima keputusan Kabinet ini dan mendukungnya secara terbuka23. Dua hari kemudian, Soekarno dengan resmi mengusulkan pada Konstituante untuk menerima UUD-45 sebagai UUD negara, karena menurutnya UUD ini sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan merupakan manifestasi dari 21 Lev, Transition to Guided Democracy, pp 207-208 22 Ibid ., pp 240-242 23 Ibid, p 311 282 Transisi ke Demokrasi Terpimpin ideologi Indonesia24. Dengan mengacu pada UUD-45 kekuasaan kabinet diperbesar sedangkan pengaruh DPR jauh berkurang. Presiden yang menjadi pimpinan badan eksekutif tidak bertanggung jawab pada DPR melainkan pada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Disamping itu, walaupun UUD-45 tidak memberi gambaran yang jelas tentang Golongan Karya, beberapa pasal di dalamnya dapat diartikan bahwa Golongan Karya ini dapat memainkan peranan tertentu dalam kancah politik. Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyatakan bahwa ia mendukung gagasan bahwa ABRI akan diwakili di dalam DPR, MPR dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dengan cara pengangkatan. Disamping ini, ia juga menganjurkan agar UUD-45 diterima oleh Konstituante tanpa perubahan apapun25. Seusai pidato Soekarno, Konstituante mulai dengan permusyawaratan tentang diterima kembalinya UUD-45 sebagai UUD. Sebagian besar partai-partai politik, termasuk Baperki menyatakan setuju dengan kembali ke UUD-45 asal diadakan berbagai perubahan. Hanya Murba dan IPKI yang bersedia menerimanya tanpa perubahan. Masjumi, Partai Buruh, Partai Katolik dan beberapa partai Islam kecil lainnya dengan tegas menentang UUD-4526. Di dalam pidatonya pada tanggal 11 Mei 1959, Siauw menyatakan keberatannya dengan pasal 6 yang menentukan Presiden RI harus seorang Indonesia asli. Siauw menyatakan bahwa perkataan “asli” di dalam UUD bisa dijadikan landasan berbagai tindakan diskriminatif yang prinsipnya ditentang oleh UUD itu. Siauw juga mengingatkan bahwa perkataan “asli” itu dimuat di dalam UUD45 untuk mencegah kemungkinan orang Jepang menjadi Presiden RI. Oleh karena itu, Siauw mengusulkan pada Konstituante untuk 24 25 26 Ibid, pp 247 Nasution, The Aspiration For Constitutional Government, p322 Ibid. p325 283 Siauw Giok Tjhan menghilangkan perkataan asli dari pasal 627. Karena bagi Siauw UUD-45 mengandung berbagai pasal yang bisa dijadikan landasan usaha membangun masyarakat yang adil dan makmur dan yang tidak mengenal diskriminasi rasial, Ia menyatakan dukungannya, dengan syarat dihilangkannya perkataan asli dari pasal 6. Disamping itu, ia mendesak Konstituante untuk mengikut sertakan berbagai kesimpulan Konstituante tentang HAM, sebagai pedoman pelaksanaan UUD-45. Pendapat Siauw didukung oleh 29 anggota Konstituante lainnya. Dua anggota lainnya, Mang Reng Say dari Partai Katolik dan Chanafiah dari PKI, walaupun tidak bergabung langsung dalam kelompok Siauw, juga mengajukan pendapat-pendapat serupa. Atas desakan mereka, pemerintah menyatakan kesediaannya untuk melakukan perubahan-perubahan yang diusulkannya28. Perdebatan di Konstituante akhirnya berhubungan dengan Piagam Jakarta yang dikeluarkan pada bulan Agustus 1945, yang menyatakan bahwa orang Islam di Indonesia berada dalam naungan hukum-hukum Islam (Syariah). Pemerintah mengusulkan agar Piagam Jakarta diakui sebagai dokumen penting tetapi tidak merupakan bagian UUD-45. Akan tetapi, ini tidak cukup untuk partai-partai Islam. NU dan Masjumi menuntut agar Piagam ini dimasukkan sebagai preamble UUD-45. Partai-partai Nasionalis, Parkindo dan partai Katolik menolak tuntutan ini. Akibatnya, karena tidak memperoleh dukungan dari partaipartai Islam, Konstituante gagal menerima UUD-45 sebagai UUD, walaupun pemungutan suara dilakukan tiga kali berturut-turut, pada tanggal 30 May, 1 Juni dan 2 Juni 195929. Kegagalan ini mendorong Nasution mengeluarkan peraturan yang melarang partai-partai politik untuk melakukan kegiatan politiknya. Disamping itu, peraturan ini juga melarang Konstituante untuk 27 28 29 Republik, 12 May 1959 Nasution, The aspirations for Constitutional Democracy, pp386-387 Ibid. p. 397 284 Transisi ke Demokrasi Terpimpin mengadakan pertemuan-pertemuan sampai Soekarno kembali dari kunjungannya di luar negeri. IPKI, yang mewakili Angkatan Darat, juga menganjurkan di dalam Konstituante untuk membubarkan Konstituante. Anjuran IPKI ternyata didukung oleh 17 partai politik yang tergabung dalam Front Pembela Pancasila. Akhirnya, PNI dan PKI-pun mendukung gagasan untuk membubarkan Konstituante. Mereka menyatakan hanya akan menghadiri rapat Konstituante yang diadakan untuk membubarkannya30. Beberapa hari kemudian, Aidit dari PKI, Suwirjo dari PNI dan Djodi Gondokusumo dari Front Pembela Pancasila mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit yang membubarkan Konstituante dan menerima UUD-45 sebagai UUD RI31. Siauwpun mendukung keputusan ini32. Pada tanggal 29 Juni, Soekarno kembali dari perjalanannya di luar negeri dan segera ia didesak untuk mengeluarkan dekrit33. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan menerima UUD-45 tanpa perubahan sebagai UUD yang baru. Era Demokrasi Parlementer dianggap berakhir pada tanggal 5 Juli 1959. Dalam beberapa jam setelah dekrit ini diumumkan, Siauw mengeluarkan pernyataan yang dimuat dalam harian Republik, mendukung kebijakan Soekarno34. Pada tanggal 9 Juli 1959, kabinet presidensiel yang pertama dibentuk dengan Soekarno berfungsi sebagai ketua kabinet dan Djuanda ditentukan sebagai Menteri Pertama. Pada tanggal 29 Juli 1959, DPA dibentuk yang terdiri dari 46 anggota. Siauw diangkat oleh Soekarno sebagai salah seorang anggotanya. Di dalam DPA, juga diangkat Utrecht, Tumakaka dan Adam Malik. Ketiga-tiganya sangat bersimpati pada Baperki. 30 31 32 33 34 Lev, Transition to Guided Democracy, p 275 Republik, 4 July 1959 Ibid. Lev, Transition to Guided Democracy p 276 Republik, 6 July 1959 285 Siauw Giok Tjhan Pada bulan Agustus 1959, sebuah panitia yang terdiri dari 5 orang dibentuk untuk menentukan prosedur-prosedur baru yang harus ditentukan untuk DPR baru ini. Siauw diangkat sebagai salah seorang anggotanya35. Konflik dalam Baperki Tentang Demokrasi Terpimpin Perdebatan tentang UUD-45 menimbulkan konflik baru di dalam tubuh Baperki. Kali ini tentangan keras datang dari Yap Thiam Hien, yang sejak tahun 1955 telah menjadi wakil ketua Baperki. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Yap tidak mengikuti jejak para tokoh anti komunis yang meninggalkan Baperki pada tahun 1955. Bahkan ia mendukung posisi Siauw dan mengecam para tokoh yang meninggalkan Baperki dengan tuduhan bahwa Siauw adalah seorang Komunis. Yap mengagumi Siauw dan menghargai dedikasi dan kesungguhannya. Ia juga sangat menghargai kejujuran Siauw. Ia selalu terkenang dengan sikap Siauw yang menolak berbagai sumbangan uang dalam jumlah besar yang ditujukan untuk dirinya sendiri dan memasukkannya ke kas Baperki. Karena Yap mengetahui penghidupan sederhana Siauw, dalam salah satu rapat kerja Baperki pada tahun 1956, ia menganjurkan agar Baperki menyisihkan uang organisasi untuk menggaji Siauw dan seorang supir untuk membantu kegiatan Siauw. Siauw menolak usul simpatik Yap dengan menyatakan bahwa kebutuhan organisasi lebih besar dari kebutuhan pribadinya36. Hubungan Yap dan Siauw mulai renggang pada tahun 1957, ketika Siauw mulai menunjukkan dukungannya terhadap Demokrasi Terpimpin. Yap menentangnya, karena baginya, Demokrasi Terpimpin merusak demokrasi dan menimbulkan sebuah kekuatan dikatatorial yang merugikan. 35 36 Republik, 8 August 1959. Wawancara Dengan Yap Thiam Hien December 1989 286 Transisi ke Demokrasi Terpimpin Jawaban Siauw tentang mengapa ia mendukung Demokrasi Terpimpin seirama dengan apa yang ia dengungkan di parlemen dan Konstituante. Baginya, kegagalan demokrasi parlementer harus dipertimbangkan dan perkembangan politik yang mendorong digantinya sistem itu dengan Demokrasi Terpimpin harus ditanggapi oleh Baperki secara bijaksana. Ia tetap berharap bahwa Demokrasi Terpimpin bisa mempercepat proses dikeluarkannya UU yang bisa melindungi posisi golongan minoritas di Indonesia. Disamping itu, dijelaskan oleh Siauw bahwa melawan arus Demokrasi Terpimpin berarti Baperki akan berada di pihak oposisi, yaitu Masjumi dan beberapa partai Islam kecil lainnya. Ini, menurut Siauw akan merugikan posisi Baperki. Pada tanggal 12 Mei 1959, Yap berpidato di Konstituante menentang kembalinya UUD-45 sebagai UUD baru dan secara tidak langsung, ia-pun menyatakan penolakannya terhadap Demokrasi terpimpin37. Sikap ini diterima oleh Siauw dan ia sendiri tidak mengambil langkah-langkah negatif terhadap Yap. Setelah ini hubungan Yap dengan para pemimpin Baperki, terutama dengan Go Gien Tjwan, Boejoeng Saleh dan Tan Foe Kiong memburuk. Dengan mereka sering terjadi pertikaian di dalam rapat-rapat Baperki. Dengan Siauw sendiri tidak pernah terjadi perdebatan pribadi. Siauw memang tidak mengajak Yap ke dalam arena di mana mereka berdua berdebat mengenai perbedaanperbedaan pendapat yang ada. Pada rapat pimpinan Baperki yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 1959, pimpinan Baperki mendesak Siauw untuk menggantikan Yap sebagai wakil ketua Baperki. Siauw menolak dan menyatakan bahwa kongres Baperkilah yang nantinya menentukan38. Kongres Baperki ini diadakan pada bulan Desember 1959. Yap datang sebagai wakil ketua dan mengeluarkan pernyataan bahwa 37 38 Risalah Perundingan, Konstituante, 1959, Volume II, pp 615- 619 Risalah Rapat Baperki, 27 August 1959 287 Siauw Giok Tjhan ia tidak lagi bisa bekerja dengan para pimpinan Baperki dan menuntut digantinya pimpinan Baperki. Usul ini segera ditolak oleh Kongres. Yap akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi memperoleh dukungan di dalam Baperki. Sejak saat itu, Yap tidak lagi mengaktifkan diri, walaupun tidak pernah menyatakan keluar dari Baperki. Akan tetapi, ia tetap menghormati Siauw dan pada tahun 1988 ia menyatakan pada penulis bahwa baginya Siauw adalah salah seorang dari empat orang yang paling ia hormati di dalam hidupnya. Dengan nada yang menyesal ia mengatakan:”... Ayahmu tidak pernah membalas serangan-serangan saya terhadapnya. Ia selalu bijaksana. Sebenarnya serangan-serangan saya ditujukan pada beberapa pemimpin Baperki lainnya, bukan pada Siauw sendiri...”39 39 Wawancara dengan Yap Thiam Hien, Desember 1988 288 Transisi ke Demokrasi Terpimpin Siauw mengucapkan Selamat Tahun baru kepada Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta, 1 Januari 1960 289 Siauw Giok Tjhan BAB 11 ZAMAN DEMOKRASI TERPIMPIN Setelah kembali ke UUD-45 pada tanggal 5 Juli 1959, Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin. Di dalam era ini, Soekarno menjadi pemimpin utama pemerintahan RI dan gerakan politik di Indonesia, yang dinamakannya, Revolusi Indonesia. Di dalam zaman demokrasi parlementer, Siauw berhasil mendapatkan dukungan banyak anggota DPR dengan bersandar pada dasar-dasar hukum dan argumentasi bahwa nama Indonesia akan tercemar di dunia internasional bilamana pemerintahnya mendiskriminasikan penduduk Tionghoa-nya. Di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, keberhasilan Siauw lebih banyak berhubungan dengan kemampuannya meyakinkan Soekarno untuk mendukung program-program politiknya dan untuk melindungi kedudukan Baperki dalam kancah politik yang bergejolak pada waktu itu. Di dalam zaman ini, dasar-dasar hukum tidak lagi memainkan peranan penting, karena yang ditekankan oleh Soekarno adalah ideologi politik dalam mentransformasi masyarakat Indonesia secara radikal. Walaupun Siauw tetap menjadi anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), ia lebih banyak menyalurkan ide-ide politiknya sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dan dalam berbagai acara pertemuan langsung ke Soekarno. Dalam zaman ini, ia tetap mendapat dukungan dari teman-teman yang berasal dari berbagai aliran politik yang berpengaruh. Struktur Pemerintahan Baru dan Formulasi Ideologi Baru Menurut UUD-45, kekuasaan mutlak berada di tangan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Presiden hanya bertanggung jawab pada MPR, tidak pada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). 290 Zaman Demokrasi Terpimpin Ini berarti Presiden tidak tergantung pada DPR. Ia diangkat dan dipecat hanya oleh MPR. Di dalam menciptakan UU, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Setiap UU harus disetujui oleh DPR dan budget negara harus juga disetujui oleh DPR sebelum digunakan. Presiden tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan DPR. Sebaliknya, pengaruh DPR akan kekuasaan Presiden hanya bisa disalurkan melalui MPR, karena anggota-anggota DPR otomatis menjadi anggota-anggota MPR. Menurut UUD-45, para menteri diangkat oleh Presiden dan mereka bertanggung jawab pada Presiden. Dengan demikian hanya Presidenlah yang mempunyai kekuasaan untuk membubarkan kabinet. Jadi UUD-45 tidak lagi memungkinkan DPR menjatuhkan kabinet seperti yang terjadi di zaman demokrasi parlementer. Setelah tanggal 5 Juli 1959, Soekarno dengan cepat membentuk kabinet presidensiel pertamanya, dengan menunjuk Djuanda sebagai Menteri Pertama. Kabinet ini dinamakan Kabinet Kerja. Soekarno juga berfungsi sebagai Perdana Menteri. Untuk menghindari konflik di dalam kabinet seperti yang dialami dalam zaman demokrasi parlementer, Soekarno menuntut setiap anggota partai yang duduk di dalam kabinetnya untuk menyatakan bahwa mereka tidak duduk di dalam kabinet sebagai wakil-wakil para partai politiknya. Pada bulan Agustus 1959, Soekarno membentuk DPA yang terdiri dari 43 anggota. Soekarno berfungsi sebagai ketuanya dan sebagai wakil ketua ia angkat Roeslan Abdulgani. Dewan ini terdiri dari semua pimpinan partai-partai politik, kepala-kepala staf Angkatan Bersenjata dan para wakil Golongan Karya. Soekarno menganggap DPA sebagai politbiro negara. Banyak peraturan-peraturan penting, isi pidato Soekarno dan kebijakankebijakan politiknya dibicarakan dan diputuskan dalam DPA. PKI, PNI dan NU memiliki representasi yang baik di dalam DPA. Sedangkan Masjumi dan PSI yang dinyatakan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta tidak turut serta di dalamnya. 291 Siauw Giok Tjhan Soekarno mengangkat Siauw Giok Tjhan sebagai anggota DPA. Dalam bulan yang sama, Depernas (Dewan Perancang Nasional) dibentuk dan diketuai oleh Mohamad Yamin. Badan yang beranggotakan 77 orang ini menurut sertakan PKI, PNU, NU dan partai-partai kecil lainnya. Program ekonomi negara tentang pembangunan dirumuskan di dalam badan ini. Pada awal tahun 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum dan menggantikannya dengan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Pembubaran DPR itu dilakukan setelah ia tidak bersedia menyetujui budget yang diajukan oleh Kabinet presidensiel baru. DPRGR yang beranggotakan 283 orang diresmikan pada bulan Juni 1960. Ia terdiri dari para anggota 10 partai politik yang diizinkan berdiri dan berfungsi di Indonesia, termasuk PNI, PKI dan NU yang mendominasinya. Masjumi dan PSI yang telah dilarang dengan sendirinya tidak diwakili dalam DPRGR. Kali ini, seperti yang telah dirancangkan sebelumnya, DPRGR juga mengikut sertakan anggota-anggota baru yang mewakili Golongan Karya, termasuk ABRI, kaum pekerja, perempuan, pemuda dan wakil-wakil minoritas. Siauw Giok Tjhan tetap duduk dalam DPRGR, dan ia berada di dalam Golongan Karya. Pada bulan Agustus 1960 Soekarno membentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Dikatakan Sementara karena ke 623 anggotanya diangkat oleh Soekarno. Badan ini terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan 241 anggota Golongan Karya dan 95 perwakilan daerah. Sebagai anggota DPRGR, dengan sedirinya Siauw juga duduk di dalam MPRS, lagi-lagi mewakili Golongan Karya. Dalam tahun yang sama, Soekarno mendorong dibentuknya Front Nasional. Yang menjadi ketua adalah Soekarno. Sudibjo dari PSII diangkat sebagai Sekretaris Jendralnya. Badan ini terdiri dari wakil-wakil para partai politik, Golongan Karya, pemerintah dan DPA. Tugas utamanya adalah memobilisasi massa dan menyebarluaskan ideologi Soekarno. Badan ini juga memiliki cabang-cabang di daerah-daerah yang turut menstimulasi antusiasme massa 292 Zaman Demokrasi Terpimpin dalam perjuangan membebaskan Irian Barat dan kampanye Ganyang Malaysia pada tahun-tahun 62-65. Pada masa terakhir zaman Demokrasi Terpimpin, PKI mempunyai pengaruh besar di dalam organisasi ini. Banyak anggota Baperki juga aktif di dalam Front Nasional. Ideologi yang mendasari Demokrasi Terpimpin dikandung di dalam sebuah Manifesto Politik yang dipaparkan Soekarno di dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959. Di dalamnya terdapat lima tema utama, yaitu UUD-45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kebudayaan IndonesiaIdentitas Indonesia. Konsep ini lalu dikenal sebagai ManipolUSDEK. Setiap partai politik diharuskan menyatakan dukungannya Manipol-USDEK dan para pemimpinnya harus mengaku dirinya sebagai orang-orang manipolis. Soekarno menyatakan bahwa Indonesia telah keluar dari rail revolusi di zaman demokrasi parlementer dan hanya dengan jalan Demokrasi Terpimpin-lah revolusi Indonesia akan mencapai hasilnya. Tujuan revolusi ini, menurut Soekarno adalah: 1. Terwujudnya negara kesatuan RI yang demokratis, yang mengikut sertakan Irian Barat. 2. Terwujudnya Sosialisme ala Indonesia, yaitu sosialisme yang sesuai dengan karakter, psikologi dan kebudayaan bangsa Indonesia. 3. Terjalinnya persahabatan dengan semua negara yang anti kolonialisme dan anti imperialisme dalam memperjuangkan dicapainya masyarakat Internasional yang bersih dari kolonialisme dan imperialisme. Aspek utama Manipol adalah revolusi menuju sosialisme. Dengan sendirinya partai-partai politik yang berhaluan kiri seperti PKI, Murba dan sebagian besar dari PNI menerima konsep Manipol ini dengan senang hati. Siauw juga membawa Baperki untuk mendukungnya. Musuh-musuh politik mereka yang berada di pihak politik kanan, seperti NU, Parkindo, Partai Katolik dan pimpinan Angkatan Darat terpaksa menerimanya juga walaupun mereka 293 Siauw Giok Tjhan berkeberatan menerima terminologi sosialisme. Satu konsep penting lain yang dikembangkan di dalam zaman ini adalah formulasi Nasakom (Nasionalis Agama Dan Komunis). Soekarno mendorong adanya persatuan antara kelompokkelompok Nasionalis, agama dan komunis. Ini sudah dari tahun 1927 dicanangkannya. Melalui formulasi ini, Soekarno memaksakan kerja sama antara kelompok nasionalis yang diwakili oleh PNI, Partindo dan Murba; kelompok agama yang diwakili oleh NU, PSII, Parkindo dan Partai Katolik; Kelompok Komunis yang diwakili oleh PKI dan para organisasi massa-nya.. Di masa akhir zaman Demokrasi Terpimpin, setiap organisasi massa dan instansi pemerintah diharuskan untuk memiliki dewan pimpinan yang terdiri dari elemen-elemen Nasionalis, Agama dan Komunis. Zaman ini juga merupakan zaman yang penuh dengan slogan politik. Soekarno mengeluarkan berbagai macam slogan ideologi yang dengan singkatan-singkatan yang dijadikan semacam rumusrumus gerakan politik. Diantaranya Berdikari, Maju Terus Pantang Mundur, Tavip (Tahun yang berbahaya), Resopim (Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan) dan Trisakti (Tiga panji sakti). Pada umumnya para pimpinan politik di zaman itu, termasuk Siauw terpaksa mengikut sertakan slogan atau semboyansemboyan ini dalam setiap pidato-pidatonya untuk menunjukkan dukungannya terhadap ideologi Soekarno dan kesetiaan pada kepemimpinan Soekarno. Akan tetapi secara diam-diam, banyak diantara mereka yang hanya melakukan lip-service belaka, tidak memiliki kesungguhan dalam mendukung politik Soekarno. Reaksi Siauw terhadap Demokrasi Terpimpin Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Siauw memang dengan antusias mendukung diwujudkannya Demokrasi Terpimpin dan kembalinya UUD-45 sebagai UUD negara. Akan 294 Zaman Demokrasi Terpimpin tetapi, pelaksanaan dari Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan dari UUD-45 ini cukup mengecewakannya. Salah satu aspek negatif Demokrasi Terpimpin adalah dihapuskannya perwakilan minoritas di DPRGR. Badan yang diresmikan pada tanggal 24 Juni 1960 ini tidak lagi mengenal perwakilan minoritas. Komposisi-nya juga sangat berbeda dengan komposisi DPR yang digantinya. Fraksi-fraksi, termasuk Fraksi Nasional Progresif dibubarkan. Yang dibentuk adalah lima fraksi baru, yaitu fraksi Nasionalis (PNI, Partindo, IPKI dan Murba); Fraksi Islam (NU, PSII dan Perti); Fraksi Komunis (PKI); Fraksi Kristen (Parkindo and Partai Katolik). Keempat fraksi ini memiliki 130 anggota yang didominasi oleh partai-partai besar, 44 anggota PNI, 36 anggota NU dan 30 anggota PKI. Fraksi ke lima terdiri dari 153 anggota Golongan Karya yang mewakili golongan-golongan ABRI, pemuda, perempuan, buruh dan tani. Dengan komposisi baru ini, Ang Tjiang Liat anggota DPR yang mewakili Baperki kehilangan kursinya di DPRGR. Siauw tetap menjadi anggota DPRGR dan masuk dalam Golongan Karya dan menjadi anggota seksi kooperasi. Siauw tadinya mengajukan protes dengan halus dan hati-hati. Ia menyatakan dihadapan kongres Baperki pada tahun 1960: “... Sulit untuk mendefinisikan perwakilan minoritas sebagai bagian Golongan Karya. Golongan minoritas seharusnya diperlakukan sebagai golongan yang terpisah sendiri seperti golongan-golongan pemuda dan perempuan di dalam Golongan Karya...”1. Di dalam pidato yang sama, Siauw menjelaskan bahwa bilamana dilihat dari jumlah perwakilan Baperki di dalam DPRGR, posisi Baperki lebih lemah daripada posisinya di zaman Demokrasi parlementer. Akan tetapi, menurutnya, Baperki harus melihat proses pergantian komposisi DPRGR ini sebagai bagian proses perbaikan sistem politik yang pada akhirnya mempercepat 1 Pidato Siauw, Kongres Baperki, Semarang, 25-28 Desember 1960 295 Siauw Giok Tjhan dicapainya cita-cita Baperki. Perombakan komposisi DPR daerah ternyata juga menyebabkan para anggota Baperki kehilangan kursi-kursi yang diraihnya dalam pemilu. Akan tetapi ada juga anggota-anggota Baperki yang diangkat menjadi anggota-anggota DPRDGR untuk mewakili profesi-nya dalam Golongan Karya, kelompok pedagang, guru dan buruh2. Kekecewaan Siauw dikompensasi dengan diturut sertakannya di dalam DPA oleh Soekarno. Disamping dirinya, Dr. Ernst Utrecht, seorang anggota Baperki yang menjadi dekan universitas Baperki, diangkat juga sebagai anggota DPA. Professor Tjan Tjoe Som, salah seorang anggota senior Baperki dan dekan universitas Baperki diangkat sebagai anggota Depernas. Sebagai anggota parlemen yang kawakan dan yang menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, Siauw tentunya kecewa melihat dipretelinya norma-norma demokrasi secara bertahap. Belasan tahun kemudian, pada tahun 1981, Siauw menyatakan kekecewaannya terhadap proses yang menghancurkan normanorma demokrasi yang dijunjung tinggi olehnya. Di dalam Lima Jaman ia menyatakan bahwa di dalam prakteknya konsensus yang ingin dicapai di dalam DPR tidak jalan, karena kelompok minoritas terpaksa mengalah terhadap kelompok mayoritas. Akibatnya, banyak anggota-anggota yang mewakili partai-partai kecil tidak lagi menyuarakan aspirasinya, bahkan malas untuk datang menghadiri sidang-sidang DPRGR. Permusyawaratan hanya dilakukan oleh partai-partai besar saja3. Ia kecewa melihat DPRGR tidak lagi berfungsi sebagai wakil rakyat. Ia-pun kecewa melihat kekaburan dalam pelaksanaan tugastugas legislatif, eksekutif dan judikatif. Ia tidak mendukung adanya pimpinan DPR, DPA dan MPRS sebagai anggota-anggota Kabinet. 2 3 Ibid. Siauw, Lima Jaman, p 291 296 Zaman Demokrasi Terpimpin Mana mungkin mereka ini kritis akan kebijakan badan eksekutif di mana mereka merupakan bagian penting darinya sendiri, demikian ujar Siauw. Ia pun kecewa melihat DPA berkembang menjadi badan penasehat biasa tanpa mengeluarkan pendapat-pendapat yang kritis terhadap jalannya pemerintahan dan MPRS yang anggotanya semua diangkat oleh Soekarno tidak mempunyai gigi untuk menegur penyerongan-penyerongan pemerintah. Dan, iapun kritis dengan ditetapkannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS pada tahun 1963. Akan tetapi, ia tidak berdaya, karena kalah suara dengan para partai politik besar yang berpengaruh4. Salah satu peraturan pemerintah yang mengecewakan Siauw berhubungan dengan PP - 11 tahun 1963 yang memungkinkan pemerintah menangkap orang yang dituduh melakukan tindakan subversi. Ketika usul untuk mengeluarkan peraturan ini dibicarakan di dalam DPA, Siauw dengan keras menentangnya. Akan tetapi, ia didesak oleh Aidit dan Njoto untuk tidak menentangnya karena mereka menginginkan adanya kekuatan hukum bagi Soekarno untuk menindak lawan-lawan politiknya5. Walaupun Siauw tidak menyetujui banyak peraturan dan undangundang yang dikeluarkan dalam Zaman Demokrasi Terpimpin ini, Siauw tidak pernah secara langsung menantang rezim Soekarno. Ada beberapa alasan: Pertama Siauw menganggap Soekarno sebagai seorang sosialis. Ia berpendapat lebih baik memilki pemimpin yang program politiknya sesuai dengan komitment dirinya sendiri. Siauw sangat terhibur dengan formulasi Soekarno yang diucapkannya dalam pidato 17 Agustus 1960 di mana ia menyatakan bahwa tujuan utama dari revolusi Indonesia adalah mewujudkan sosialisme ala Indonesia. Kedua ia melihat Soekarno sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu berhadapan dan mengontrol pimpinan Angkatan Darat 4 5 Wawancara dengan Siauw di RTM, 1972 Disampaikan oleh Hardojo, Mantan Ketua Umum CGMI, April 1998 297 Siauw Giok Tjhan yang dianggapnya mempunyai kemampuan untuk menghancurkan struktur pemerintahan yang favorable untuk usaha mencapai sosialisme. Ketiga, Siauw tidak mau mendukung golongan yang menentang Soekarno, yaitu golongan yang didominasi oleh Masjumi dan PSI, karena golongan ini selalu mendukung aliran yang ingin merugikan golongan Tionghoa. Keempat, Siauw melihat kebijakan politik Soekarno terhadap golongan Tionghoa menguntungkannya. Jadi selama kediktatoran Soekarno menguntungkan Baperki dan golongan Tionghoa di Indonesia, Siauw berkesimpulan ia bersedia mendukung Soekarno walaupun ini berarti ia harus menanggalkan beberapa prinsip politiknya6. Siauw menggunakan slogan menuju sosialisme ala Indonesia sebagai landasan argumentasinya dalam hal penggunaan modal domestik yang dimiliki oleh pedagang-pedagang Tionghoa. Dalam salah satu pidatonya, ia mengutip seruan Soekarno yang diucapkan di DPRGR pada tahun 1961 yang mendorong digunakannya semua “funds and resources yang progresif” untuk membangun Indonesia. Menurut Soekarno, “progressive Funds and Resources” ini bisa saja dimiliki oleh orang-orang asing yang telah lama menetap di Indonesia. Formulasi ini jelas seirama dengan formulasi Siauw sejak tahun 50-an7. Memang kedekatan Siauw dengan Soekarno memungkinkan masuknya berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang ia canangkan pada tahun 50-an, ke dalam berbagai 6 7 Wawancara dengan Yap Thiam Hien ,1989, Oei Tjoe Tat , Phoa Thoan Hian, Go Gien Tjwan, 1992 dan Utrecht, 1981. Pidato Siauw: Baperki Berdiri Bulat Tegak atas Rel Revolusi 1945, Konperensi Baperki, Jakarta -29 July 1961. Dilihat dari isi pidato Soekarno, kemungkinan besar text-nya dipersiapkan oleh Siauw sendiri, karena terminologi yang dipakai sama dengan apa yang Siauw utarakan bertahun tahun di zaman Demokrasi Parlementer. 298 Zaman Demokrasi Terpimpin pidato Soekarno. Soekarno jelas berpaling ke Siauw bilamana kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan modal domestik diformulasikan. Formulasi yang diucapkan oleh Soekarno ini mendorong Siauw untuk menyatakan: “... Dari formulasi Presiden Soekarno jelas modal domestik yang dimiliki oleh setiap penduduk Indonesia, termasuk yang berstatus asing, harus didorong untuk berkembang sehingga mempunyai kemampuan yang maksimal dalam membangun Indonesia dan mempercepat dicapainya tujuan revolusi Indonesia...”8. Siauw juga mendukung garis politik luar negeri Soekarno yang mendekati RRT pada tahun 1963. Bagi Siauw, kebijakan ini memberi peluang yang baik untuk mengkonsolidasi posisi golongan Tionghoa dan mempercepat penyelesaian masalah kewarganegaraan yang sampai tahun 1963 masih belum tuntas dilaksanakan. Dukungan Siauw terhadap Soekarno dan diterimanya Siauw sebagai salah satu orang yang dekat oleh Soekarno memungkinkannya untuk mempengaruhi berbagai diskusi yang berlangsung dalam DPA. Banyak keputusan pemerintah yang berhubungan dengan masalah Tionghoa didasari atas formulasi Siauw. Beberapa pidato penting Soekarno jelas menunjukkan pengaruh pikiran Siauw9. Sebuah contoh yang paling menyolok didapati dalam pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1964, di mana ia menyatakan:”... Penting sekali kita hapuskan semua elemen rasialisme. Saudarasaudara ketahui bahwa yang saya impikan adalah adanya keharmonisan antar semua suku di Indonesia, termasuk suku-suku keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa, Pakistan dan Yahudi.... Tidak mungkin kita menghilangkan rahang Batak, kesipitan mata Tionghoa, atau kebesaran hidung Arab. Ini bukan masalahnya. Yang penting adalah mewujudkan keharmonisan, persatuan untuk 8 9 Ibid. Wawancara dengan Ernst Utrecht. Banyak pidato Soekarno seirama dengan apa yang Siauw tulis tentang rasialisme 299 Siauw Giok Tjhan membangun bangsa Indonesia...”10. Dari diskusi ini jelas bahwa walaupun Siauw kecewa dengan berbagai perkembangan politik yang baginya merusak normanorma demokrasi, ia berhasil memasukkan formulasi-formulasi politik yang telah diperjuangkannya selama belasan tahun sebagai formulasi-formulasi yang dicanangkan oleh Soekarno. Masalah Kewarganegaraan Salah satu hasil yang Siauw perjuangkan di dalam zaman ini berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dan UU Kewarganegaraan tahun 1958. Seperti yang digambarkan sebelumnya, UU kewarganegaraan tahun 1958 mengandung hal-hal yang telah lama diperjuangkan oleh Siauw di parlemen. Diantaranya dimungkinkannya anakanak dari sekitar 300.000 orang Tionghoa yang telah menolak kewarganegaraan Indonesia antara 1949 dan 1951, untuk bisa diproses menjadi warga negara Indonesia. Walaupun instansiinstansi pemerintah lamban dalam memproses lamaran-lamaran untuk menjadi warga negara, Baperki berhasil membantu puluhan ribu orang yang ingin menjadi WNI. Anggota-anggota Baperki, terutama di pulau Jawa aktif dalam memberi penjelasan-penjelasan yang diperlukan oleh masayarakat Tionghoa. Mereka juga tetap menganjurkan pada masyarakat Tionghoa untuk menjadi WNI. Kali ini, usaha ini lebih berhasil dari usaha-usaha yang pernah Siauw lakukan di zamanzaman sebelumnya. Alasan utama keberhasilan Baperki dalam mendorong orang-orang yang berstatus asing untuk menjadi WNI adalah penyebar-luasan berita tentang 140.000 orang yang pergi ke RRT sebagai akibat dari pelaksanaan PP 10 (1959-1960), yang melarang orang-orang Tionghoa berdagang dan menetap di daerah 10 Pidato Soekarno pada tanggal 17 August 1964 300 Zaman Demokrasi Terpimpin pedalaman. Banyak dari orang-orang yang “pulang ke Tiongkok” mendapati hidup di RRT berbeda dengan harapannya dan merasa tidak betah. Tidak betah, karena RRT bukanlah tempat tinggal idaman mereka. Akan tetapi kegiatan Siauw dalam bidang kewarganegaraan dipusatkan pada pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan antara RRT dan RRI. Setelah penundaan bertahun-tahun, Perjanjian dan Exchange of Notes yang didesain oleh Siauw ini akhirnya diratifikasi di DPR pada tahun 1958. Dalam tahun yang sama, panitia yang ditugaskan untuk merencanakan pelaksanaan dari Perjanjian ini dibentuk, dipimpin oleh Susanto Tirtoprodjo. Akan tetapi persetujuan akan bagaimana Perjanjian ini dilaksanakan tidak juga dicapai. Siauw menyatakan keluhannya dan menyalahkan pihak Indonesia yang terus menerus gagal dalam menerima usulusul pelaksanaan yang diajukan pihak11. Pada tanggal 22 November 1960, Susanto Tirtoprodjo mengajukan rekomendasi panitia ini ke kabinet. Di dalam rekomendasi panitia itu terkandung permintaan Siauw yaitu anak-anak dari orang-orang yang telah menolak kewarganegaraan Indonesia antara tahun 1949 dan 1951 diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Rekomendasi ini ditolak oleh beberapa menteri dalam kabinet. Mereka menyatakan bahwa rekomendasi ini memungkinkan orang-orang muda yang telah memperoleh indoktrinasi komunisme menjadi WNI. Oleh karena itu, panitia ini didesak untuk mengubahh rekomendasinya. Soekarno ternyata kecewa dengan kelambanan pihak RI dalam melaksanakan Perjanjian ini. Ia memanggil Soekarni, Duta Besar Indonesia di Beijing dan beberapa menteri yang memasalahkan rekomendasi Panitia yang disebut di atas. Menurut Siauw, Soekarno berseru pada mereka:”...Penyelesaian masalah Dwi-Kewarganegaraan adalah masalah politik dan langsung berhubungan dengan persahabatan RI-RRT. Kita harus positif 11 Pidato Siauw, Kongres Baperki February 1960 301 Siauw Giok Tjhan dan tegas dalam menyelesaikannya dan tidak macet hanya karena masalah detail. Walaupun benar bahwa ada ribuan pemuda yang sudah menerima indoktrinasi komunisme, kita tidak perlu khawatir. Di Indonesia sudah ada 8 juta WNI yang mempunyai orientasi komunisme”12. Dibelakang layar, Siauw melobby untuk dicapainya penyelesaian cepat yang memungkinkan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia menjadi WNI. Ia tetap menginginkan agar jumlah orang yang diharuskan memilih kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ini diperkecil. Siauw lagi-lagi mendorong kedua belah pihak, RRT dan RI untuk membuat perjanjian yang membebaskan semua orang yang ikut pemilu dan yang hidup sebagai petani dari proses pemilihan. Ia juga menganjurkan agar proses pemilihan dibuat semudah dan semurah mungkin13. Kali ini, usaha Siauw yang didukung oleh Baperki juga ditunjang oleh Huang Chen Duta Besar RRT di Indonesia. Huang menganjurkan masayarakat Tionghoa di Indonesia untuk memilih kewarganegaraan Indonesia14. Pada saat ini, kebanyakan orang Tionghoa yang berstatus asing, terutama dari kalangan totok mulai mempunyai keinginan untuk menjadi WNI. Terutama bagi mereka yang berdagang, karena kewarganegaraan Indonesia bisa membantu usaha mereka. Pergantian sikap dari RRT ini didorong atas instruksi Perdana Menteri RRT, Chou En Lai dan Menteri Luar Negerinya, Chen Yi. Mereka ternyata mendukung pendapat yang diajukan oleh Siauw yang merekomendasi dijadikannya sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia WNI15. 12 13 14 15 Ibid. Wawancara dengan Go Gak Cho, Januari 1990, Hongkong. Menurut Go, isi perjanjian yang akan ditanda tangani oleh Soekarno dan Chen Yi dirancang oleh Siauw dan Huang Chen. Wawancara dengan Oei Hiem Hwie, yang turut mendengarkan ceramah-ceramah Huang pada tahun 1960 di Jawa Timur. Wawancara dengan Go Gak Cho and Chu Ie 302 Zaman Demokrasi Terpimpin Persetujuan antara RI dan RRT tentang pelaksanaan Perjanjian ini akhirnya dicapai dalam pertemuan antara Soekarno dan Chen Yi pada tanggal 24 Desember 1960. Disitu dijelaskan hal yang telah lama diperjuangkan oleh Siauw yaitu bahwa semua orang yang turut dalam pemilu dinyatakan telah menjadi WNI, jadi tidak perlu melalui proses pemilihan kewarganegaraan lagi. Menurut Siauw, jumlah orang yang pernah ikut pemilu ini adalah 65% dari semua orang yang pernah dianggap memiliki kewarganegaraan berganda. Perjanjian ini juga mengikut sertakan permintaan Siauw yang lain, yaitu semua orang yang hidup sebagai petani dinyatakan telah berkewarganegaraan Indonesia. Jadi tidak perlu melalui proses memilih kewarganegaraan lagi16. Satu hal lain yang dicantumkan di dalam perjanjian ini adalah orang-orang yang memiliki kewarganegaraan berganda bisa menyatakan keinginannya untuk menolak kewarganegaraan Tiongkoknya melalui pos. Mereka tidak perlu datang ke kantorkantor Kementerian Kehakiman di kota-kota besar. Waktu yang diberikan untuk memilih adalah antara 20 Januari 1961 dan 20 Januari 1962. Sebelum Perjanjian antara Soekarno dan Chen Yi ini dicapai, orang-orang yang dianggap memiliki kewarganegaraan berganda tidak bisa menjadi WNI. Untuk menjadi WNI, mereka harus mengeluarkan dokumen-dokumen yang membuktikan tempat kelahiran mereka dan orang tua mereka. Dokumen-dokumen pada umumnya sulit untuk diperoleh, karena kelemahan kantor catatan sipil di zaman Belanda dan kerusakan-kerusakan kantor catatan sipil dalam zaman perang. Akan tetapi pelaksanaan perjanjian yang isinya memuaskan Siauw ini ternyata tidak sesuai dengan isi perjanjian itu sendiri. Sampai bulan Februari 1962, masih terdapat puluhan ribu orang yang masih belum secara resmi memilih kewarganegaraan 16 Pidato Siauw yang disampaikan di Konperensi Baperki 29 July 1961 303 Siauw Giok Tjhan Indonesia. Jumlah yang diperkirakan oleh Siauw adalah 20.000 orang. Menurut Siauw, mereka ini tidak ingin menolak menjadi WNI, tetapi mereka terbentur oleh birokrasi instansi-instansi pemerintah yang menangani masalah kewarganegaraan. Walalupun menurut perjanjian, proses pemilihan dapat dilakukan melalui pos, banyak yang diharuskan datang ke kantor-kantor Kementerian Kehakiman di kota-kota besar dan di sana mereka terpaksa mengeluarkan banyak uang untuk memproses pilihannya. Banyak pula yang dimintai dokumen-dokumen yang membuktikan tempat kelahiran mereka dan orang tuanya17. Atas desakan dan protes Baperki, Kementerian Kehakiman akhirnya menyetujui adanya perubahan dalam menangani proses orang-orang yang telah terlambat secara resmi memilih kewarganegaraan Indonesia. Bagi mereka yang dianggap miskin, surat keterangan tentang tempat kelahirannya dari lurah di mana mereka menetap dianggap cukup18. Pada akhir tahun 1963, hampir setiap orang Tionghoa di Indonesia jelas berada di dalam dua grup, grup WNI dan grup asing. Dari jumlah orang Tionghoa yang lahir di Indonesia , yang menjadi WNI merupakan mayoritas. Tidak mudah memastikan berapa jumlah orang yang dipengaruhi oleh perkembangan ini. Skinner memperkirakan pada tahun 1962 ada 2,45 juta orang Tionghoa di Indonesia. Sekitar 1 juta darinya lahir di luar Indonesia. Sekitar 200.000 menolak kewarganegaraan Indonesia antara 1949-1951 dan darinya ada 50.000 anak. Jadi diperkirakan jumlah total Tionghoa asing sekitar 1,25 juta. Berarti 1,2 juta lainnya memiliki status WNI atau berkewarganegaraan ganda. Antara 600.000 dan 800.000 darinya telah dianggap WNI19. Berdasarkan perhitungan ini, usaha Siauw yang didukung oleh Baperki telah berhasil memastikan menjadinya sekitar 1,4 juta orang Tionghoa warga-warga negara Indonesia. 17 18 19 Pidato Siauw, 22 February 1962. Pidato Siauw, Kongres Baperki, March 1963 Skinner, The Chinese Minority, pp 111-112 304 Zaman Demokrasi Terpimpin PP-10 - Larangan Berdagang di Daerah Pedalaman Sebuah masalah yang dihadapi oleh orang Tionghoa di permulaan zaman Demokrasi Terpimpin berhubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden 10 yang lebih dikenal sebagai PP-10. Peraturan ini dikeluarkan pada bulan November 1959. Dikeluarkannya PP-10 sebenarnya merupakan konsolidasi Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan di dalam Kabinet Djuanda, Rachmat Muljomiseno. Peraturan Menteri yang dikeluarkan pada bulan Mei 1959 ini melarang orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman20. Ketika peraturan ini dikeluarkan, Siauw segera menentangnya di DPR. Ia menyatakan bahwa peraturan semacam ini tidak bisa dikeluarkan oleh seorang Menteri. Menurut Siauw, karena dampak peraturan ini besar sekali, ia harus dimuat dalam UU yang harus disahkan oleh DPR. Siauw menyatakan bahwa para pedagang Tionghoa memiliki usaha yang sah di daerah-daerah pedalaman dan dengan sendirinya usaha dagang mereka mendapat perlindungan hukum-hukum internasional yang harus dipatuhi pemerintah RI. Yang lebih penting lagi, menurut Siauw, bilamana mereka dipaksa untuk berhenti berdagang dan keluar dari tempat kediamannya, ekonomi Indonesia akan mundur banyak karena diperdesaan keakhlian yang sudah dimiliki bergenerasi ini akan hilang dan jaringan distribusi di daerah pedalaman akan lumpuh21. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Soekarno sedang berada di luar negeri. Ketika ia kembali, Soekarno ternyata marah dengan Rachmat Muljomiseno yang tidak diturut sertakan lagi dalam kabinet yang dibentuk setelah 5 Juli 1959. Ketika Subandrio, sebagai menteri luar negeri mengunjungi RRT pada bulan Oktober 1959, ia-pun ditekan oleh pihak RRT untuk menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Indonesia. Ia ditekan 20 21 Muljomiseno, tokoh NU, yang pernah aktif di KENSI. Republik, 21 May 1959 305 Siauw Giok Tjhan untuk menarik peraturan yang dianggap bersifat rasis itu. Sebagai kompromi, pada bulan November 1959, Soekarno menandatangani PP-10. Sayangnya, ia tidak memahami dampak PP-10 yang ditanda tangani ini. Kenapa ia bersedia menanda-tangani PP-10 tetap merupakan pertanyaan yang kontroversial. Menurut Siauw, Soekarno ditekan oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai Islam yang berargumentasi bahwa sosialisme memerlukan proses yang menjamin adanya perpindahan kepemilikan usaha dari tangan asing ke tangan orang Indonesia “asli” di daerah pedalaman. Siauw sendiri ternyata juga berkali-kali dipanggil oleh Soekarno untuk menjelaskan keberatan-keberatannya22. Perdagangan eceran di daerah pedalaman memang sebagian besar berada di tangan orang Tionghoa. Dalam hal ini, mereka bersaing dengan pedagang-pedagang Islam yang mulai bermunculan. Akan tetapi karena jaringan mereka lebih baik dan pengalaman serta hubungannya lebih baik, mereka bisa mengalahkan posisi pedagang-pedagang Islam. Jadi PP-10 ini menguntungkan posisi para pedagang Islam, baik yang berkiblat ke NU maupun Masjumi. Ketika PP-10 dikeluarkan, penyelesaian masalah DwiKewarganegaraan belum dilaksanakan. Dengan demikian banyak orang Tionghoa yang tinggal dan berdagang di pedalaman bisa dianggap sebagai orang-orang yang memilki kewarganegaraan ganda. Baperki harus sering membela orang-orang yang dianggapnya sudah menjadi WNI supaya toko-toko-nya tidak dirampas oleh pihak penguasa. PP-10 mungkin merupakan peraturan anti-Tionghoa yang paling buruk untuk penduduk Tionghoa di Indonesia sejak berdirinya RI pada tahun 1945. Yang terkena oleh peraturan ini diperkirakan sekitar 25.000 pedagang. Akan tetapi walaupun peraturannya ditujukan ke orang asing dan hanya melarang orang asing itu 22 Wawancara dengan Siauw , Amsterdam 1980; Wawancara dengan Oey Hay Djoen in April 1998 306 Zaman Demokrasi Terpimpin untuk berdagang, pelaksanaannya di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, lebih dari itu. Disamping larangan untuk berdagang, mereka-pun diusir dari tempat tinggalnya. Dan juga tidak dibatasi pada para pedagang. Yang tidak berdagang-pun dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke kota-kota. Timbullah kekacauan besar, karena tempat penampungan di kota-kota tidak ada dan mereka dipaksa untuk mengatur tempat penampungan di kota-kota sendiri. Pelaksanaannya berbeda-beda, tergantung lokasinya. Yang tercatat paling keras adalah di Jawa Barat, di mana pengaruh golongan Islam-nya kuat. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyak penguasa dan penduduk setempat tidak memaksa penduduk Tionghoa untuk meninggalkan tempat tinggalnya23. Dampak sosial pelaksanaan PP-10 ini tentunya besar sekali. Orang Tionghoa, baik totok maupun peranakan lagi-lagi kehilangan kepercayaan bahwa masa depannya di Indonesia terjamin, apalagi setelah disiarkan desas desus bahwa penduduk Tionghoa di kotapun akan mengalami nasib serupa. Ketika pemerintah RRT menyatakan bahwa ia akan menerima orang-orang Tionghoa yang ingin kembali ke RRT dengan tangan terbuka, sambutan komunitas Tionghoa di Indonesia berupa besarnya hasrat untuk pergi meninggalkan Indonesia. Ketika RRT mengirim kapal-kapal-nya menjemput mereka yang ingin ke Tiongkok, jumlah yang meninggalkan Indonesia cukup besar, sekitar 136.000 dalam tahun 1960 saja24. Siauw dan para pemimpin Baperki lainnya baik di kota maupun di daerah-daerah mencoba untuk meyakinkan masyarakat Tionghoa untuk tidak memilih kembali ke Tiongkok. Mereka berkali-kali menyatakan bahwa Indonesia-lah tanah airnya, bukan Tiongkok. Oleh karena itu, mereka didorong untuk tetap menetap di Indonesia. 23 24 Mackie, Anti-Chinese Outbreaks, pp95-96 ; Somers, Pera nakan Chinese Politics, p 198 Mackie, Anti-Chinese Outbreaks, p 95 307 Siauw Giok Tjhan Akan tetapi pengalaman pahit mereka mendorong sebagian besar dari mereka yang ingin ke Tiongkok tidak menghiraukan anjuran Siauw. Salah seorang paman Siauw sendiri ternyata memutuskan untuk “pulang ke Tiongkok”, walaupun Siauw berulang kali mendorongnya untuk tidak meninggalkan Indonesia. Baru setelah terdengar laporan-laporan tentang penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang sudah hidup menetap di Tiongkok, animo untuk kembali ke Tiongkok berkurang menjelang akhir tahun 1960. PP-10 juga membuat hubungan RRT dan RI sempat renggang. Huang Chen berkali-kali menyuarakan protes-nya. Hubungan menjadi lebih buruk ketika terdengar kasus-kasus di mana penduduk Tionghoa yang tidak bersedia meninggalkan tempat tinggalnya dipaksa keluar dengan kekerasan. Di Cimahi pada bulan Juli 1960, terjadi penembakan yang menyebabkan seorang perempuan Tionghoa tewas tertembak, karena ia dan keluarganya tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya. Kejadian ini ternyata mendorong keterlibatan Soekarno yang lalu mengeluarkan instruksi ke penguasa militer untuk tidak lagi memaksa orang Tionghoa keluar dari tempat tinggalnya di daerah-daerah pedalaman25. PP-10 seperti yang dinyatakan oleh Siauw di DPR, menimbulkan kekacauan dan kerusakan ekonomi di daerah pedalaman. Kurangnya pengalaman, jaringan distribusi dan koneksi dagang menyebabkan para pedagang baru tidak bisa menjalankan usaha se-efektif para pedagang Tionghoa yang diusir. Akibatnya harga barang-barang di daerah pedalaman naik pesat dan barang-barang tidak bisa dijajakan dan disebar luaskan di banyak tempat. Di samping itu, pada akhirnya orang sulit untuk mendapatkan komoditi di pedalaman. Juga banyak orang yang kehilangan kerjaan sehingga tidak bisa hidup secara wajar di daerah-daerah yang memerlukan bantuan ini. Ekonomi Terpimpin dan Kegagalannya 25 Mackie, Anti-Chinese Outbursts, p 94 308 Zaman Demokrasi Terpimpin Siauw dianggap oleh banyak pemimpin pada waktu itu sebagai seorang akhli dalam bidang ekonomi. Ia selalu menyumbangkan pikiran-pikirannya dalam diskusi-diskusi tentang ekonomi di DPA dan pada tahun 1963, ia diangkat sebagai penasehat Menteri Keuangan dan Ekonomi. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Utrecht, sebagian besar usul-usul yang diajukan oleh Siauw tidak diterima atau bilamana diterima, ujar Utrecht, tidak dilaksanakan. Utrecht yang selalu mendukung usul-usul ekonomi Siauw di DPA, menyalahkan kelompok “Subandrio-Chaerul Saleh-Leimena” untuk kegagalan-kegagalan ekonomi di Indonesia26. Pada bulan Agustus 1961, Soekarno meluncurkan Rencana Pembangunan yang mencakup masa 8 tahun, sebagai hasil permusyawaratan di Depernas. Zaman yang dicakup adalah dari tahun 1961 sampai tahun 1969. Rencana ini dijadikan basis apa yang lalu dinamakan Ekonomi Terpimpin. Rencana ini mencakup jumlah proyek yang besar dari produksi makanan, tekstil sampai pada pembinaan mental termasuk pengembangan dunia pers Indonesia. Modal yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyekproyek ini direncanakan akan diperoleh dari penghasilan negara di bidang export (minyak, alumunium, karet, kopra dan kayu) dan juga turisme. Tetapi dalam kenyataannya, Rencana ini merupakan usaha simbolik belaka. Ia terdiri dari 17 volume, 8 seksi dan 1945 klausa. Di dalamnya juga terdapat proyek-proyek raksasa untuk membangun stadium olah raga megah untuk Asian Games yang akan diadakan di Indonesia pada tahun 1962, dan juga pembangunan hotel-hotel mewah serta gedung pertokoan27. Akan tetapi masalahnya tidak terbatas pada keinginan untuk mengeluarkan rencana simbolik, melainkan juga adanya mismanagement dalam melaksanakan program-program ekonomi 26 27 Wawancara dengan Ernst Utrecht, Amsterdam, 1981 Feith, Dynamics of Guided democracy, p 384 309 Siauw Giok Tjhan negara. Kegagalan ekonomi mulai nampak setelah perusahaanperusahaan Belanda diambil alih dan management mereka diserahkan ke tangan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat pada tahun-tahun 1957-1958. Yang diambil alih termasuk perusahaan-perusahaan dalam bidang pertanian dan perkebunan, pertambangan, bank-bank, export-import dan berbagai pabrik besar (tekstil, kertas, percetakan dan alat-alat listrik)28. Pengambil alihan ini menyebabkan sekitar 46.000 penduduk Belanda meninggalkan Indonesia29. Kurangnya pengalaman dalam bidang management dan industri serta adanya korupsi menyebabkan jatuhnya produksi di segala bidang dan ini mengurangi kapasitas untuk export. Pelaksanaan PP-10 juga lebih banyak merusak keadaan ekonomi Indonesia. Disamping itu, kampanye untuk memerdekakan Irian Barat memerlukan kegiatan militer yang memakan banyak ongkos negara. Sebagai akibat dari ini semua, budget negara menjadi defisit dan inflasi menanjak dengan hebat pada akhir tahun 196230. Belum selesai menanggulangi masalah inflasi dan defisit negara, Indonesia mulai dengan program “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Kampanye yang juga ditujukan pada pemerintah Inggris ini, ini ternyata menyebabkan berhentinya bantuan luar negeri yang diperlukan untuk meringankan beban ekonomi negara pada waktu itu -- 250 juta dollar pada tahun 1964. Disamping itu, mundurnya export, sangat berkurangnya kapasitas produksi menyebabkan inflasi menanjak pesat dan sangat membengkaknya defisit budget negara yang pada tahun 1963 dan 1964 lebih besar dari penghasilan negara31. Siauw selalu menyatakan dukungannya pada pasal 33 UUD28 29 30 31 L. Castle: The Fate of the Private Enterpreneur, TK Tan (ed): Soekarno’s Guided Indonesia, The Jacaranda Press, 1967, p 76 Feith, Dynamics of Guided Democracy, p 321 Mackie, Problems of the Indonesian Inflation, p32 Mackie, Konfrontasi, pp 220-221 310 Zaman Demokrasi Terpimpin 45 yang menyatakan bahwa semua kekayaan alam Indonesia dimilliki dan dikontrol oleh negara. Akan tetapi ia sangat kritis terhadap pelaksanaan program ekonomi pemerintah. Sebagai jalan keluarnya, ia mengajukan beberapa pertimbangan32: Pertama, Siauw beranggapan bahwa diperlukan akhli-akhli ekonomi yang bisa dengan kompeten mengeluarkan rencanarencana pembangunan ekonomi dan mengontrol pelaksanaannya. Para akhli yang mengontrol perkembangan ekonomi Indonesia, menurut Siauw dididik oleh penjajah Belanda, sehingga yang dilaksanakan tidak banyak beda dengan program ekonomi kolonial. Kedua Siauw menyatakan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil adalah bersandar pada bantuan ekonomi luar negeri. Tetapi bantuan ini, tidak digunakan untuk mempertinggi daya produksi dan mentransfer teknologi ke Indonesia. Bantuan, Siauw menambahkan, lebih banyak digunakan untuk menutupi gap antara ongkos import yang kian meningkat dan penghasilan dari export yang kian menurun. Ketiga, rasisme terus menerus merusak ekonomi Indonesia. Adanya politik “asli” telah menimbulkan keganjilan-keganjilan yang membawa Indonesia ke tahap yang lebih buruk. Ia mengetengahkan bahwa daripada meminjam modal luar negeri, sebaiknya Indonesia menggunakan dengan efektif modal-modal yang ada di Indonesia, tanpa memperdulikan latar belakang ras para pemilik modal itu. Keempat, Siauw mengkritik cara pemerintah dalam menanggulangi inflasi. Menurutnya cara pemerintah yang merendahkan harga-harga produksi lokal untuk merendahkan inflasi sebagai usaha yang salah, karena ini akan menghilangkan incentives yang sangat dibutuhkan untuk menggalakkan produksi lokal dan kapasitasnya. Pada tahun 1963 ada beberapa indikasi ekonomi yang menunjukkan kegagalan dalam management ekonomi. Harga karcis kereta api naik 300%. Tarif Bus naik 500%. Tarif listrik air dan perangko naik 400%. Harga barang-barang import naik 100% 32 Pidato Siauw, Kongres Baperki, 12 November 1962 311 Siauw Giok Tjhan juga33. Untuk mengatasi masalah ini, Djuanda mengeluarkan program ekonomi pada tanggal 26 Mei 1963. Di dalamnya terdapat 14 peraturan ekonomi yang perlu dimodali oleh pinjaman IMF. Djuanda berharap ke 14 peraturan ini bisa menstabilkan harga Masalah harga memang merupakan salah satu topik pembicaraan di DPA. Mengetahui kemampuan Siauw dalam mengeluarkan formulasi-formulasi ekonomi, Soekarno menyatakan di DPA pada bulan Juli 1963 bahwa ia ingin mengangkat Siauw sebagai Menteri Urusan Harga dengan tugas utama menurunkan inflasi. Oleh Siauw tawaran ini ditolaknya. Ia mengusulkan agar Soekarno mengangkat Oei Tjoe Tat, salah satu wakil ketua Baperki yang juga aktif sebagai seorang pemimpin Partindo. Alasan Siauw untuk menolak adalah ia merasa bahwa persoalan harga berkaitan dengan program ekonomi negara. Selama program ekonominya tidak sesuai dengan apa yang ia canangkan, inflasi tidak akan bisa dikontrolnya. Disamping itu, ia juga tidak bersedia memasuki kelompok eksekutif yang lebih berkeinginan untuk mempertahankan peranannya sebagai menteri daripada mencari jalan keluar yang baginya lebih tepat. 6 bulan kemudian, anjuran Siauw dipenuhi oleh Soekarno. Oei Tjoe Tat, diangkat sebagai menteri negara, membantu Subandrio, Chaerul Saleh dan Leimena34. Ketika Malaysia dibentuk pada bulan September 1963, Soekarno memulai program konfrontasi-nya terhadap Malaysia. Program politik ini lagi-lagi menguras kas negara dan memperburuk keadaan ekonomi Indonesia. Sikap Soekarno yang tidak bersedia mengubah politik luar negerinya menyebabkan program IMF dibatalkan. Kejadian yang digambar ini memperburuk ekonomi Indonesia dan sukarnya Indonesia mendapatkan bantuan luar negeri menyebabkan Soekarno terdorong untuk mendekati RRT dan Uni 33 Oey Hong Lee’s Indonesian Government And Press During Guided Democracy, pp 105-106 34 Wawancara dengan Siauw, Amsterdam, 1979 312 Zaman Demokrasi Terpimpin Soviet. Terjalinlah sebuah hubungan dengan negara-negara sosialis yang semakin mendorong Soekarno ke kiri. Kerusuhan anti Tionghoa 1963 Beberapa hari setelah Soekarno menghadiri peringatan hari ulang tahun Baperki ke 9 pada tanggal 13 Maret 1963 di Jakarta, kerusuhan anti-Tionghoa meledak di Cirebon. Kerusuhan ini dimulai dengan kasus pengadilan di mana seorang anak “asli”, anak seorang dokter yang aktif di PSI dijatuhi hukuman karena menabrak seorang pelajar Tionghoa sehingga ia meninggal di jalan raya Cirebon. Beberapa jam setelah keputusan itu dibacakan, rumah-rumah, toko-toko penduduk Tionghoa diserbu oleh massa yang marah. Peristiwa ini terjadi sebelum kedatangan Presiden Liu Sao Chi dari Tiongkok, yang sebenarnya akan menunjukkan dunia akan baiknya hubungan RI dan RRT. Kunjungan Liu merupakan kunjungan kepala negara Tiongkok yang pertama ke Indonesia. Para anggota Baperki dan Partindo yang dikirim ke Cirebon untuk menolong para korban dan menginvestigasi sebab-musabab terjadinya, menyimpulkan bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh para aktivis PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan isi pidato Soekarno pada upacara penyambutan Liu Sao Chi sebagai tanda bahwa orang Tionghoa adalah musuh golongan Islam. Di dalam pidato itu, Soekarno mengucapkan terima kasih pada RRT yang dikatakan telah membantu RI dalam menumpas pembrontakan PRRI/Permesta35. Seminggu setelah kerusuhan di Cirebon, terjadi juga kerusuhankerusuhan anti Tionghoa di tempat-tempat lain di Jawa Barat36. Akan tetapi, yang paling hebat terjadi di Bandung pada tanggal 35 36 Laporan ini ditulis oleh para anggota Baperki dan Partindo dan dipersembahkan pada Siauw dan Oei pada bulan April 1963. Mackie, Anti-Chinese Outbreaks In Indonesia, p 98 313 Siauw Giok Tjhan 10 Mei 1963. Kerusuhan yang menghancurkan toko-toko dan perumahan penduduk Tionghoa merupakan yang terbesar dalam zaman kemerdekaan Indonesia. Disamping rusaknya ratusan toko dan rumah, dikabarkan terdapat juga korban jiwa. Keesokan harinya kerusuhan ini menyebar ke Bogor, Cianjur, Garut, Cipayung dan Sukabumi. Kerusuhan ini tidak menjalar ke Jakarta yang telah dijaga ketat. Mahasiswa-mahasiswa di Universitas Indonesia telah diperingati oleh rektor-nya untuk tidak terlibat dalam gerakan antiTionghoa37. Pada tanggal 19 Mei 1963, Soekarno mengutuk kerusuhan anti Tionghoa ini yang ia katakan didukung oleh PSI, Masjumi and sisasisa PRRI/Permesta. Soekarno menyatakan bahwa kekacauan ini ditujukan untuk merusak reputasi Indonesia dan ditujukan pada dirinya sendiri. Ia juga menambahkan bahwa kekacauan ini dilakukan untuk menghalangi kebijakan pemerintah dalam menumpas imperialisme38. Siauw-pun cepat menyerukan kutukannya melalui beberapa tulisan di berbagai surat kabar. Dalam tulisan-tulisannya ini, ia menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan menumpas gerakan anti-Tionghoa di Indonesia. PKI juga mengambil sikap serupa dan mengikuti jejak Soekarno dalam menuduh PSI dan Masjumi sebagai dalang dari kerusuhan. Baperki menerima surat selebaran yang menyalahkan penduduk Tionghoa yang tidak bersedia mengassimilasi dirinya ke dalam tubuh masyarakat Indonesia. Kalau assimilasi dijalankan, kekerasan yang mereka alami ini tidak akan terjadi. Baperki mendapatkan bukti bahwa LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) terlibat dalam menyebarkan surat-surat selebaran ini. Beberapa pemimpin Baperki turut menyalahkan LPKB sebagai organisasi yang mengipasi kemarahan massa39. 37 38 39 Ibid. p 100 Ibid. Wawancara dengan Go Gien Tjwan and Oei Tjoe tat in 1992 314 Zaman Demokrasi Terpimpin Golongan anti-komunis pada waktu itu memang khawatir dengan semakin dekatnya Soekarno dengan negara-negara sosialis, terutama RRT. Polisi dan Angkatan Darat tidak terlihat aktif mencegah ledakan-ledakan anti Tionghoa. Jadi walaupun kerusuhan ini dikaitkan dengan kegiatan PSI dan Masjumi, tetapi terlihat adanya protes kekuatan anti-Komunis terhadap kebijakan pemerintah yang kian dekat dengan RRT. Kemarahan Siauw terhadap gerakan anti-Tionghoa ini diikutsertai kegiatan Baperki dalam mengumpulkan bantuan untuk para korban. Dengan bantuan PKI dan Partindo, Baperki membentuk PPKK (Panitia Penolong Korban Kontra Revolusi). Kesediaan Partindo untuk membantu dihargai oleh penduduk Tionghoa dan ini lalu menyebabkan Partindo menjadi partai yang populer di kalangan Tionghoa. Cukup banyak peranakan Tionghoa yang masuk ke Partindo dan aktif di dalamnya setelah kerusuhan Mei 196340. Kerusuhan di Jawa Barat mengirim signal kuat pada masyarakat Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat rawan di saat-saat kesulitan ekonomi. Tidak jelas sampai di mana pengaruh kerusuhan ini dalam membangkitkan dukungan dukungan masyarakat Tionghoa untuk Baperki. Akan tetapi, bisa dilihat bagaimana masyarakat Tionghoa menghargai bantuan Baperki dan kecepatan Soekarno dalam mengambil sikap yang mengutuk gerakan antiTionghoa. Di lain pihak, cukup banyak orang Tionghoa yang juga melihat kerusuhan di Jawa Barat ini sebagai tanda bahwa kekuatan antikomunis mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kekacauan berdarah dan ini sebagai peringatan bagi penduduk Tionghoa untuk tidak terlalu berorientasi kekuatan kiri, yang nantinya harus berhadapan dengan kekuatan kanan yang didukung oleh Angkatan Darat. 40 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat; Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, p 47 315 Siauw Giok Tjhan Posisi Politik Baperki Setelah mengambil keputusan untuk mendukung Soekarno dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya, Siauw dan Baperki-nya tetap berpijak di atas kubu Soekarno yang setelah tahun 1963, lebih dekat dengan PKI. Jadi berada di kubu yang berhadapan langsung dengan Masjumi, PSI, beberapa partai politik kecil lainnya. Walaupun Siauw tetap dekat dengan para pemimpin partai-partai politik, keberadaannya di kubu Soekarno dan PKI menyebabkan adanya kerenggangan dengan pihak kanan. Pada waktu yang bersamaan PKI terus berkembang menjadi sebuah kekuatan Komunis yang terbesar, diluar RRT dan Uni-Soviet. Jumlah anggotanya sendiri terus meningkat dan ia didukung oleh beberapa organisasi massanya. Jumlah total masyarakat Komunis yang berada di bawah naungan Aidit, ketua PKI, mendekati 7 juta anggota. Soekarno yang sudah bekerja sama dengan pimpinan Angkatan Darat dalam merombak struktur pemerintahan demokrasi parlementer, memerlukan sebuah organisasi yang bermassa dan mampu berhadapan dengan pihak militer. Untuk ini, Soekarno membutuhkan PKI . Sebaliknya, pihak militer menginginkan PKI dibatasi ruang lingkupnya. Pihak Angkatan Darat berkali-kali mencoba membatasi perkembangan PKI . Pembatasan ruang gerak ini dipatuhi di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sumatra Selatan. Pimpinan Angkatan Darat tadinya juga ingin melarang acara peringatan hari ulang tahun PKI pada bulan Mei 1959. Tetapi larangan itu batal, karena Presiden Soekarno turut datang memeriahkannya41. Menjelang akhir tahun 1963, posisi politik PKI berubah -menjadi lebih dekat dengan Soekarno. Soekarno yang memerlukan Partai Politik sebagai sandaran untuk menyebar-luaskan ideologi politiknya, memilih PKI sebagai partner-nya. PNI bagi Soekarno kurang militan dan tidak memiliki sarana untuk menjangkau massa 41 Ibid. P 339 316 Zaman Demokrasi Terpimpin seperti PKI. Banyak orang mengira bahwa bilamana Soekarno meninggal, PKI akan siap untuk mengambil alih kekuasaan politik. Akan tetapi PKI tidak berhasil menguasai berbagai aparat pemerintah. Walaupun para anggotanya bisa menduduki posisiposisi tinggi, mereka tidak berhasil menduduki posisi-posisi yang memimpin dan memegang peranan terpenting. Demikian juga dalam hal pembentukan kabinet Nasakom. Pimpinan PKI, Aidit, Lukman dan Njoto berhasil masuk ke Kabinet pada tahun 1963, tetapi mereka tidak memegang portfolio yang menentukan. Kehadirannya lebih banyak berfungsi simbolik. Pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai anti Komunis tetap berhasil mencegah adanya pengaruh berarti dari kelompok PKI di Kabinet. Keputusan Siauw untuk dekat dengan Soekarno pada akhirnya membawanya ke kubu yang didominasi oleh Soekarno dan PKI. Jika di zaman Demokrasi parlementer, Siauw sering mengambil posisi yang bertentangan dengan posisi PKI, di zaman Demokrasi Terpimpin, PKI selalu mendukung usaha dan permintaan Baperki, terutama dalam bidang rasisme. Pimpinan PKI melalui Harian Rakyat-nya selalu mendukung tulisan-tulisan Siauw. Pidato-pidato mereka dalam berbagai acara umum-pun seirama dengan apa yang Siauw dengungkan. Pimpinan Baperki dan PKI sering saling memuji di depan umum. Ketika pihak Angkatan Darat mensponsori pembentukan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) pada tahun 1962, PKI juga mendukung Baperki dalam menyerang kehadirannya. Banyak tokoh Baperki masuk ke PKI. Dan sebagai timbal balik, ada juga beberapa tokoh PKI yang masuk ke Baperki dan duduk sebagai pimpinan. Sebagian besar pimpinan Baperki cabang Jawa Timur adalah anggota-anggota PKI. Banyak anggota organisasi pemuda Baperki, PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) dan Dewan-Dewan Mahasiswa Universitas Respublica masuk dan menjadi pimpinan Pemuda Rakyat, CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) 317 Siauw Giok Tjhan yang berada di bawah naungan PKI. Akan tetapi, Siauw sadar akan berbahayanya posisi Baperki bilamana ia terlalu dekat dengan PKI dan tetap menginginkan adanya jarak antara kedua organisasi ini. Walaupun ia sering menganjurkan para anggota Baperki untuk masuk ke dalam partaipartai politik, ia tidak pernah menganjurkan mereka untuk memilih PKI. Ketika Liem Koen Seng, salah seorang pemimpin Baperki yang dekat dengan Siauw masuk ke PKI, Siauw agak kecewa karena Liem menjalankannya tanpa berkonsultasi dengannya42. Sikap Siauw terhadap Partindo berbeda. Siauw mengenal para pemimpin Partindo karena mereka duduk di dalam Fraksi Nasional Progresif di zaman Demokrasi Parlementer. Tokoh-tokoh Partindo seperti Danu Asmoro,Winoto Asmara Hadi dan Armunanto sangat dekat dengan Siauw. Winoto masuk Baperki sebagai salah seorang anggota Dewan Harian Baperki. Pembicaraan tentang bagaimana Partindo dan Baperki bekerja sama sebenarnya dimulai sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Pembicaraan antara Siauw, Oei Tjoe Tat dan para tokoh Partindo itu diakhiri dengan kesimpulan masuknya tokohtokoh Baperki ke Partindo. Tidak lama setelah itu, Oei Tjoe Tat masuk Partindo dan menjadi salah seorang wakil ketuanya. Tidak lama setelah Oei, Phoa Thoan Hian yang turut mendirikan Baperki juga menjadi pimpinan Partindo. Di zaman Demokrasi Terpimpin, kedua organisasi ini bekerja sama di dalam berbagai bidang43. Ketika Baperki me-Nasakom-kan dirinya, Siauw memilih Partindo, Murba dan PNI kiri sebagai elemen Nasional. Elemen Agama diisi oleh tokoh-tokoh Perti dan PSII. Mereka diikutsertakan di dalam Dewan Harian dan Penasehat Baperki. Dengan berkurangnya pengaruh DPRGR dalam bidang politik, Siauw tidak lagi bisa menggunakan sarana parlemen dalam mencapai tujuan politiknya. Ia harus bersandar pada para tokoh yang berpengaruh di dalam DPRGR, MPRS dan kabinet. Diantara 42 43 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat dan Go Gien Tjwan Wawancara dengan Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian 318 Zaman Demokrasi Terpimpin tokoh yang selalu siap untuk mendukungnya Chaerul Saleh (Murba) - Ketua MPRS, Sartono (PNI) - Wakil Ketua DPA, Aruji Kartawinata (PSII) - Ketua DPRGR, Soedibyo (PSII) - Menteri dan juga Sekretaris J 319 Siauw Giok Tjhan BAB 11 Kunjungan Siauw di Banda Aceh, 1964 Siauw dengan pengurus Baperki Jawa Timur, di antaranya Njoo Soen Hian dan Siauw Giok Bie, 1965 320 Zaman Demokrasi Terpimpin Dari kiri ke kanan, Oei Tjoe Tat, Ny. Oei Tjoe Tat, Werdojo dan Siauw Giok Tjhan, di acara Baperki, 1965 Siauw bersama isteri mengunjungi sebuah sekolah menengah di Beijing, 1964 321 Siauw Giok Tjhan Siauw dan insteri bersama Chung Chin Fa, kepala urusan Hoa Kiao Tiongkok, Beijing, 1964 322 Dunia Pendidikan Baperki BAB 12 PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BAPERKI Setelah 1957, Baperki membuka dan menjalankan banyak sekolah dan universitas yang memiliki beberapa kampus di beberapa kota besar. Walaupun institusi pendidikan Baperki ini terbuka untuk umum, tetapi sebagian besar muridnya adalah orang-orang Tionghoa, kebanyakan dari golongan peranakan. Baperki juga menerima anak-anak yang berstatus asing yang tidak bisa masuk sekolah-sekolah nasional dan universitas-universitas negara. Karena kebijakan dalam menerima murid dan mahasiswa dianggap baik dan kualitas pendidikannya tinggi, masyarakat Tionghoa, baik peranakan dan totok sangat mendukung kehadiran Baperki. Inilah sebabnya Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dalam pengumpulan dana untuk membangun gedunggedung sekolah dan universitas-nya. Universitas Baperki menjadi universitas swasta yang terbesar di Indonesia dengan fasilitasfasilitas modern yang tidak kalah mutunya bila dibandingkan dengan fasilitas-fasilitas yang tersedia di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia. Menjelang akhir zaman Demokrasi Terpimpin, Baperki lebih dikenal sebagai organisasi pendidikan. Dalam hal ini, ia memiliki prestasi serupa dengan Tiong Hoa Hwee Kwan yang didirikan pada tahun 1901. Perbedaan utamanya terletak pada penekanan. Tiong Hoa Hwee Kwan menitik beratkan pendidikannya pada nasionalisme Tionghoa dan Kong Hu Cu-isme, sedangkan Baperki menekankan nasionalisme Indonesia, integrasi dan pendidikan politik yang berorientasi ke Indonesia. 323 Siauw Giok Tjhan Latar Belakang Terjunnya Baperki dalam Dunia Pendidikan Sebelum Perang Dunia II sebagian besar pelajar Tionghoa belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan pelajarpelajar Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua pelajar Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah yang dinamakan Tjing Iem ini mengakomodasi ribuan pelajar yang ingin meneruskan pelajaran-pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Angkatan Muda Tionghoa yang dibentuk oleh Siauw di Malang juga mendirikan sekolah yang menampung ratusan pelajar Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan Belanda sampai tahun 1948. Akan tetapi, setelah kemerdekaan sampai akhir tahun 50-an, sebagian besar penduduk Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Kualitas pendidikan di sekolahsekolah ini dianggap baik dan uang sekolah-nya tidak terlalu tinggi. Siauw Giok Tjhan-pun mengirim ke lima anaknya ke sekolahsekolah Tionghoa di Jakarta. Bukan karena ia tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan ia merasa kualitas pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa itu memenuhi harapannya. Adanya kenyataan bahwa banyak pelajar Tionghoa WNI 324 Dunia Pendidikan Baperki yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD Jakarta sebagai wakil PSI, mengajukan mosi di DPRD yang menuntut dikeluarkannya 200.000 pelajar Tionghoa WNI dari sekolahsekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasiorganisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung pelajar-pelajar WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa komunitas Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolahsekolah yang berkurikulum nasional untuk anak-anaknya1. Siauw mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat dalam Berita Baperki, Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan cukup tempat belajar untuk semua warga negaranya, pelajar-pelajar Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya pelajar Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa menampungnya. Demikian ujar Siauw2. Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu memperbaiki pengertian tentang masalah yang dihadapi oleh golongan Tionghoa, tidak ada jalan keluar yang bisa disimpulkan3. Untuk sementara tidak ada tindak lanjutnya. Mosi Takdir tidak menyebabkan keluarnya peraturan-peraturan 1 2 3 Berita Baperki, 26 July 1954 Ibid. Ibid 325 Siauw Giok Tjhan yang melarang pelajar-pelajar Tionghoa WNI belajar di sekolahsekolah Tionghoa. Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI.. Reaksi Baperki ternyata berbeda-beda. Ada beberapa pemimpin Baperki seperti Auwyang Peng Koen yang mendukung konsep ini. Lainnya, seperti Siauw menentangnya. Siauw menganggap konsep ini akan mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat4. Pada bulan Mei 1955, Baperki mengadakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini akhirnya sepakat untuk menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Ia menuntut pemerintah untuk mempercepat pendirian sekolahsekolah yang bisa menampung semua warga negaranya dan mempertinggi kualitas buku-buku pelajaran. Juga disimpulkan bahwa Baperki akan mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI5. Desakan para anggota Baperki agar Baperki mendirikan sekolah-sekolahnya sendiri semakin gencar pada tahun 1955. Akan tetapi kesibukan Baperki dalam menghadapi pemilu dan dalam memperjuangkan penyelesaian masalah kewarganegaraan Indonesia telah menghambat proses pendirian sekolah-sekolah. Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki Masalah kehadiran pelajar-pelajar Tionghoa WNI di sekolahsekolah Tionghoa diungkit kembali pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. 4 5 Risalah Baperki , Juni 1955 Ibid. 326 Dunia Pendidikan Baperki Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan yang sama dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturanperaturan juga dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI6. Dalam tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan guru sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing juga harus dibatasi7. Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 sampai 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 sampai 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah pelajar-pelajar Tionghoa8. Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih banyak sekolah-sekolah yang bisa menampung para pelajar yang kehilangan tempat sekolah. Beberapa cabang Baperki sebenarnya sudah mulai menjalankan sekolah-sekolah dasar sejak akhir tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra9. Untuk mempercepat usaha pengumpulan dana yang diperlukan untuk membangun sekolah-sekolah, Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan, yang dipimpin oleh Siauw, pada awal tahun 1958. Yayasan ini ditugaskan untuk mengawasi dan 6 7 8 9 Somers, Peranakan Chinese Politics In Indonesia, p164 Ibid. Ibid, pp 164-165 Ibid, p 166; Wilmott, The National Status of the Chinese in Indonesia, p 87; Berita Baperki, 15 Oktober 1956 327 Siauw Giok Tjhan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki10. Melalui koneksi Siauw dengan pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki dapat bekerja sama dengan erat dengan para direktur dan pemimpin sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah yang mampu untuk menampung ribuan pelajar yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah. Kebijakan yang diambil pada waktu itu adalah Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah yang dijalankan oleh Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih besar pula. Kesemuanya ini dilakukan oleh perkumpulanperkumpulan Tionghoa itu secara cuma-cuma. Siauw berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung bahwa mereka-pun harus turut bertanggung jawab dalam membantu anggota masyarakat Tionghoa WNI. Dari para pedagang Tionghoa, Baperki juga mendapat sumbangan-sumbangan besar, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan lancar dan mereka dapat pula menjamin kualitas pendidikannya11. Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan kepemilikan sekolah-sekolah itu pernah menjadi masalah yang diperdebatkan dalam rapat pimpinan Baperki. Dalam rapat yang diadakan pada tanggal 8 Februari 1958, di hari mana Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki diresmikan pendiriannya, Yap Thiam Hien mengajukan keberatannya akan keterlibatan Baperki di dalam bidang pendidikan. Menurutnya, Baperki lebih baik terus 10 11 Laporan Sekretariat Yayasan Pendidikan Dan Kebudayaan Baperki, 29-30 July 1961 Wawancara dengan Go Gak Cho dan Kho Nai Chong; Siauw, Lima Jaman, p 253. 328 Dunia Pendidikan Baperki melawan tindakan penguasa militer dalam menutupi sekolahsekolah Tionghoa daripada membuka sekolah-sekolah sendiri. Yap khawatir kalau Baperki nanti gagal dalam menjalankan sekolahsekolah ini dan tidak mampu meneruskan tugasnya dengan baik karena masalah keuangan12. Siauw menanggapi Yap dengan penjelasan bahwa bilamana Baperki berhasil menjadi sebuah institusi yang bisa menampung pelajar-pelajar Tionghoa yang tidak bisa sekolah, dukungan masyarakat Tionghoa terhadap Baperki akan meningkat. Siauw menyatakan juga bahwa menurut pengamatannya, Baperki tidak akan mengalami kesulitan dalam pengumpulan dana. Akhirnya Yap menerima penjelasan ini dan mulai mendukung kegiatan Baperki di dalam bidang pendidikan13. Sebagian besar dana datang dari uang sekolah. Orang tua yang mampu dihimbau untuk memberi sumbangan-sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cumacuma. Disamping ini, Baperki berhasil mendapatkan sumbangansumbangan kaum pedagang Tionghoa untuk pembangunan gedung-gedung dan penambahan berbagai fasilitas14. Jumlah sekolah Baperki juga bertambah terus. Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi15. Di kota-kota besar, kualitas pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki. 12 13 14 15 Risalah Baperki, 8 Februari 1958 Ibid. Wawancara dengan Mrs. Lie Tjwan Sien, Go Gien Tjwan dan Siauw Giok Bie Laporan Tentang Keadaan Pendididakn di Sekolah Baperki, Desember 1960 s/d Juli 1961 329 Siauw Giok Tjhan Berdirinya Universitas Baperki Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitasuniversitas negara, yang pada umumnya memberi pembatasan untuk orang Tionghoa (tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah mahasiswa baru per tahunnya). Pada tahun 1958, beberapa pelajar Tionghoa yang lulus SMA dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas, para pelajar ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan mereka adalah pelajar-pelajar Tionghoa. Situasi ini mendorong beberapa pemimpin Baperki untuk mendesak Siauw untuk membuka universitas Baperki. Setelah mengadakan beberapa pembicaraan, akhirnya Baperki memutuskan untuk membuka universitas16. Yang pertama dibuka adalah Akademi Fisika dan Matematika, yang dijalankan untuk mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Siauw mendapatkan dana yang lebih besar, ia mendorong dimulainya fakultas kedokteran, kedokteran gigi dan teknik. Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi dibuka. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan juga. Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada keberhasilan RRT yang mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Ia berpendapat, dengan teknologi, pembangunan bisa dipercepat dan ketergantungan negara pada dunia luar bisa diperkurang. Oleh karenanya ia menganjurkan universitas Baperki untuk 16 Wawancara dengan Go Gien Tjwan dan Mrs. Lie Tjwan Sien 330 Dunia Pendidikan Baperki mengutamakan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekannya untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya di masyarakat17. Bilamana Siauw kurang berhasil dalam mengajak banyak tokoh politik “asli” untuk aktif dalam Baperki, ia cukup berhasil dalam menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu mengembangkan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso sebagai dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai dekan fakultas ekonomi dan Hukum. Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter suku Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman demokrasi parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor pada tahun 1959, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhineka Tunggal Ika yang ingin dipromosikan oleh Baperki18. Beberapa bulan setelah Universitas Baperki dibuka, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan untuk membangun universitas Baperki, cuma-cuma. Akan tetapi setelah ditinjau, tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, untuk Baperki, di Grogol19. Pada tahun 1962 Baperki membuka kampus di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga. 17 18 19 Pidato Siauw, 10 November 1959 Pidato Siauw, 28 October 1960 Wawancara dengan Siauw, Januari 1978. 331 Siauw Giok Tjhan Jumlah mahasiswa di tahun ini juga meloncat tinggi. Jumlah mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.20. Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1962, Siauw yang selalu menghargai dan menghormati perempuan yang aktif di masyarakat, menunjuk Ny. Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya21. Dalam tahun yang sama, Siauw menganjurkan agar nama universitas Baperki diubah menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Soekarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Respublica, sekali lagi Respublica”. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai URECA. Pada tahun 1964, Kementerian Pendidikan menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari URECA dengan lulusan sarjana muda para universitas negara22. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi URECA juga diakui sebagai sarjana penuh. Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa URECA bertambah dari 3000 menjadi 4000 dalam waktu setahun. Dari 4000 mahasiswa ini, terdapat 300 sarjana muda23. Atas anjuran Siauw, URECA menjalankan program orientasi yang unik. Perploncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para pedagang Tionghoa. Disamping itu, para mahasiswa URECA juga dihimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas 20 21 22 23 Laporan Pendidikan Pada Konperensi Pleno Pusat Baperki di Jakarta, 10 - 12 November 1962 Siauw, Lima Jaman, p. 259 Laporan Rektor Universitas Respublica on 27 April 1964 Ibid. 332 Dunia Pendidikan Baperki yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dan ongkos pembangunan bisa dibuat rendah24. Dalam menerima mahasiswa baru, Siauw mengeluarkan kebijakan yang tidak membedakan status kewarganegaraan para pendaftar. Yang angkanya memadai, walaupun ia berstatus asing, diterima juga oleh Baperki. Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa baginya walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap warga Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Disamping itu, Siauw berpendapat bahwa di kemudian hari, bisa saja mereka yang tadinya berstatus asing menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangansumbangan dalam jumlah besar25. Untuk menstimulasi masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”, Siauw mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di URECA. Disamping itu, karena reputasi URECA baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di URECA.26. Menjelang Mei 1965, URECA mempunyai cabang-cabang di beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (fakultas ekonomi dan pendidikan), Semarang (fakultas kedokteran), Yogyakarta (fakultas ekonomi). Sebelum peristiwa G-30S, pembangunan gedung-gedung di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah dimulai27. 24 25 26 27 Siauw, Lima Jaman, p 256-257 Ibid p.255 Ibid. p 256 Wawancara dengan Siauw Giok Bie dan Ny Lie Tjwan Sien 333 Siauw Giok Tjhan Aktifitas Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan URECA Seperti Soekarno, Siauw juga menyenangi penggunaan definisidefinisi yang sederhana dalam memperbesar gaerah orang untuk berbuat secara positif untuk gerakan politik. Di dalam bidang pendidikan, Siauw menganjurkan apa yang ia namakan PancaCinta: a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian c. Cinta Pengetahuan dan kebudayaan d. Cinta bekerja e. Cinta orang tua Program pendidikan Baperki didasarkan atas Panca Cinta ini yang dipuji oleh Menteri Pendidikan Prijono sebagai program yang seirama dengan program politik yang didengungkan oleh Soekarno. Siauw menekankan pendidikan politik di sekolah-sekolah dan universitas Baperki. Mata pelajaran Civic yang dijadikan mata pelajaran yang harus dikerjakan oleh setiap mahasiswa URECA dipegang sendiri oleh Siauw. Di dalam menyusun bahanbahan kuliah ini, Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik yang ia tangani sendiri. Ia mengeluarkan diktat-diktat kuliah yang dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah yang juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Di sekolah-sekolah Tionghoa sebagian besar bahan pendidikannya berasal dari Tiongkok. Kurikulum pelajarannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan pelajarannya di universitas-universitas Tiongkok. Pendidikan kebudayaannya juga erat berhubungan dengan kebudayaan Tiongkok. Disamping itu, bilamana ada pendidikan 334 Dunia Pendidikan Baperki politik, yang ditekankan adalah nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah perjuangan Mao Tse Tung dalam memenangkan revolusi Tiongkok-nya. Jadi bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia terbatas sekali. Di sekolah-sekolah Baperki dan URECA, yang digunakan adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajaran dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Program pendidikan di sekolah-sekolah Baperki juga menekankan pengenalan siswa dengan kebudayaan Indonesia. Para siswa didorong untuk mempelajari tarian-tarian Indonesia. Dari segi pendidikan politik, seperti yang dituturkan di atas, Siauw menekankan pandangan bahwa Indonesia adalah tanah air sebagian besar penduduk Tionghoa, bukan Tiongkok. Jadi institusi pendidikan Baperki melaksanakan program yang meng-Indonesia-kan semua siswanya, baik yang peranakan maupun yang totok. Sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan URECA berasal dari kelompok totok. Mereka inilah yang lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifannya di bidang politik. Ini tentunya disebabkan oleh latar belakangnya. Pada umumnya siswa dari kelompok totok berasal dari keluarga yang kurang mampu. Disamping itu, pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa telah memperkenalkan mereka dengan cerita-cerita revolusi Tiongkok. Jadi pada umumnya, mereka lebih tertarik akan kegiatan politik daripada para siswa yang berasal dari kelompok peranakan. Pada tahun 1955, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan pemuda. Dengan adanya sekolah-sekolah Baperki dan URECA, kebanyakan anggotanya adalah siswa-siswa sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa URECA. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia. 335 Siauw Giok Tjhan Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Kerja sama mereka dengan Lekra erat. Kualitas tarian dan kemampuan para penari PPI menyebabkan Soekarno memintanya untuk sering melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah28. Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didrikan di setiap sekolah Baperki, yang dinamakan Ikatan Pelajar. Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalahmajalah berkalanya. Kegiatan agrikulturil juga dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu Soekarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik URECA didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara URECA dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini sebenarnya akan dijadikan landasan usaha penilitian URECA, yaitu menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani29. Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan URECA menjadi lebih mencolok setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki akan menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki yang menjadi pimpinan IPPI. Tadinya kegiatan politik di kampus-kampus URECA terbatas pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di zaman tahun 50-an pernah menamakan dirinya Ta Hshue Hsue Seng Hui. Disamping Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik 28 29 Wawancara dengan Tan Swie Ling, Juli 1994 Harian Rakyat, 14 March 1965 336 Dunia Pendidikan Baperki Indonesia) dan CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia). Banyak mahasiswa URECA yang menjadi pimpinan para organisasi ini. Di dalam keluarga, Siauw-pun mendorong pendidikan politik. Anak-anaknya dianjurkan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sekolah dan universitas. Pada waktu itu, anak tertuanya, Siauw May Lan baru lulus dari Universitas Tian Jin di RRT, sebagai seorang insinyur teknik kimia. Pada bulan Juli 1965, Siauw menyuruhnya pulang ke Indonesia untuk menyumbangkan tenaga nya di tanah air. Sambil menunggu kesempatan bekerja yang lebih kongkrit, ia menyuruhnya menjadi guru di SMA Xing Hua, di Pasar Baru. Sayang tidak lama setelah ia tiba di Jakarta, telah terjadi peristiwa G-30-S, sehingga upaya untuk bekerja di bidangnya terpaksa dihentikan. Anak Kedua-nya, Siauw May Lie, ketika itu sedang menyelesaikan studi-nya di Universitas Beijing, di bidang Kedokteran. Ia dianjurkan untuk aktif dalam kegiatan mahasiswa Indonesia di sana. Anak ketiganya, Siauw Tiong Tjing, ketika di SMA Baperki di Pasar Baru, ikut aktif dalam kegiatan Ikatan Pelajar. Ketika masuk URECA pada bulan Juli 1965, sebagai mahasiswa teknik, ia-pun aktif dalam kegiatan mahasiswa di kampus dan masuk dalam CGMI. Anak ke-empatnya, Siauw Tiong Hian, ketika itu masih duduk di SMA Baperki di Pasar Baru. Ia-pun aktif dan turut memimpin Ikatan Pelajar di Pasar baru. Anak ke lima, Siauw Tiong Ho baru saja lulus SMP Baperki di Pasar Baru. Ia tidak sempat aktif, tetapi turut dalam grup drumband pelajar Baperki yang kerap memeriahkan acara-acara Baperki, sebagai pemain terompet. Yang ke enam, penulis dan ke 7 Siauw Lee Ming, masih kecil. Tidak berkesempatan masuk organisasi pelajar. Akan tetapi mereka-pun tumbuh dalam suasana rumah yang penuh dengan diskusi politik, karena rumahnya selalu dikunjungi banyak orang untuk keperluan berdiskusi politik. Penulis sering duduk di ruang tamu mendengarkan pembicaraan politik. Salah satu yang paling mengesankan adalah kunjungan 337 Siauw Giok Tjhan berkali-kali Evie Tjoa sebelum Maret 1963, seorang komponis terkenal, puteri Nyonya Tjoan Hien Hwie, ketua Wanita Baperki. Kunjungan itu dilakukan dalam rangka menggubah sebuah nyanyian yang akan dipentaskan di Kongres Baperki ke 8 di Gelora Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1963, di mana Bung Karno hadir. Judul nyanyiannya adalah Bung Karno, pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Siauw yang menyusun kata-katanya, Evie Tjoa yang menciptakan lagunya. Sebagai ayah, Siauw kerap menekankan betapa pentingnya orang hidup sosial dan tidak menyalah-gunakan posisi yang dipegangnya. Posisi dan kepopuleran Siauw memang menyebabkan adanya kecenderungan pegawai atau guru di sekolah-sekolah Baperki untuk memberi berbagai pengecualian, atau adanya teman-teman yang memiliki toko-toko untuk memberi barang secara cuma-cuma. Penulis teringat ketika ia jalan-jalan di toko Eropa, milik keluarga Bendahara Baperki Pusat, Oei Phoei Tjiep, ia meminta kepada salah seorang yang mengantarnya, mobil mainan. Oleh pegawai toko, mainan tersebut diberikan ke penulis, yang pada waktu itu berumur 8 tahun secara cuma-cuma. Ketika sampai di rumah dan oleh Siauw diketahui bahwa penulis mendapatkan mainan itu dengan meminta, ia marah dan esoknya meminta bantuan orang untuk mengembalikan mainan tersebut ke toko Eropa. Siauw selalu menolak untuk meminta perlayanan khusus. Ia berpendapat, kalau perlayanan khusus itu diberikan tanpa meminta dan tidak merugikan orang lain, bisa saja diterima. Tapi janganlah kita meminta, ujarnya ke pada anak-anak-nya. Siauw sering memperoleh undangan untuk berbagai acara kesenian dan olah raga – artinya memperoleh karcis gratis. Dalam salah satu acara kesenian Tiongkok pada tahun 1965, ia memperoleh empat karcis. Akan tetapi kebetulan ada beberapa saudara dari Malang yang ingin ikut, sehingga jumlah yang ingin menonton, termasuk penulis, 6 orang. Ketika sampai di lokasi penjagaan karcis, yang menjaga tidak memperkenankan ke-enam orang masuk. Hanya 4 orang diizinkan masuk. Tanpa protes, Siauw segera menarik tangan 338 Dunia Pendidikan Baperki penulis untuk pulang, dan menyuruh ke empat tamu masuk. Akan tetapi Siauw, yang memiliki pembawaan khusus ini segera dikenali tim penyelenggara yang memarahi si penjaga. Olehnya, Siauw diminta untuk masuk dan duduk di bagian VIP. Baru-lah setelah itu Siauw mengajak penulis untuk masuk. Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa URECA yang masuk dalam Pemuda Rakyat dan CGMI, keduaduanya dekat bahkan berafiliasi dengan PKI. Pada acara-acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan. Kejadian ini nantinya menimbulkan konflik di dalam tubuh Baperki. Ini akan lebih banyak didiskusikan di dalam bab 14. Dari penuturan di atas, bisa dilihat bahwa Siauw berhasil menstimulasi para siswa dan mahasiswa Baperki untuk memiliki kesadaran politik. Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, di mana sebuah organisasi Tionghoa menganjurkan semua pendukungnya untuk aktif berpartisipasi dalam politik nasional, sebagai bagian proses pembangunan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. 339 Siauw Giok Tjhan Siauw bersama para anggota kesenian PPI - Pemuda Permusyawaratan Indonesia, Pemuda Baperki 340 Dunia Pendidikan Baperki Siauw dikelilingi para mahasiswa URECA di kampus Grogol, Jakarta, 1964 Para dosen dan mahasiswa URECA - beristirahat dalam pembangunan gedung URECA Surabaya, Desember 1964 341 Siauw Giok Tjhan BAB 13 NATION BUILDING, INTEGRASI DAN ASSIMILASI Kedekatan Siauw dengan Soekarno seperti yang dituturkan sebelumnya telah memungkinkan Siauw untuk mengkonsolidasi posisi politik Baperki di zaman Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi pada awal tahun 1960, pandangan Siauw yang disebar-luaskan oleh Baperki ditentang oleh sekelompok peranakan Tionghoa yang mencanangkan ide assimilasi sebagai solusi masalah minoritas Tionghoa. Di dalam kelompok ini terdapat juga orang-orang yang ikut mendirikan Baperki, tetapi telah meninggalkannya pada tahun 1955. Pada tahun 1962, kelompok assimilasi ini membentuk badan yang dinamakan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Lembaga ini secara resmi didukung oleh pimpinan Angkatan Darat dan beberapa tokoh politik seperti Roeslan Abdulgani. Dibentuk untuk melawan Baperki dan membatasi pengaruhnya di dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Walaupun sebagian besar pimpinan LPKB bersimpati pada politik yang berhaluan kanan, jadi anti komunisme, pertentangan utama dengan Baperki, yang berada di dalam kubu politik kiri, terletak pada cara penyelesaian masalah minoritas. Siauw menolak konsep assimilasi dan menganjurkan konsep integrasi, yang dijadikan dasar perjuangan Baperki. Mulailah perdebatan antara assimilasi dan integrasi sejak tahun 1960-an. Lahirnya Gerakan Assimilasi Pelaksanaan PP-10 merupakan sebuah pukulan berat untuk masyarakat Tionghoa, terutama di pulau Jawa. Dampaknya seperti yang telah dituturkan, tidak terbatas pada penduduk Tionghoa 342 Nation Building dan Integrasi asing tetapi juga menimpa golongan peranakan Tionghoa. Hilangnya kepercayaan masyarakat Tionghoa akan kebijakan pemerintah RI menyebabkan perginya sekitar 136.000 orang Tionghoa ke Tiongkok, dan munculnya istilah yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, Hwe Kuok (Pulang kembali ke Tiongkok). Pada waktu masyarakat Tionghoa merasakan penasaran, kecewa dan khawatir itu, sekelompok peranakan Tionghoa meluncurkan perdebatan tentang jalan keluar yang harus ditempuh oleh orang Tionghoa, terutama peranakannya, di Indonesia. Pada awal 1960, kelompok ini mengeluarkan beberapa karangan yang diterbitkan oleh Star Weekly, majalah mingguan yang dipimpin oleh Auwyang Peng Koen yang menjadi anggota penting kelompok peranakan ini. Menurut mereka, salah satu alasan utama mengapa golongan Tionghoa mengalami kepahitan di dalam hidupnya di Indonesia adalah cara mereka hidup dalam masyarakat Indonesia. Ong Hok Ham, seorang mahasiswa sejarah UI pada waktu itu, mengatakan bahwa assimilasi adalah proses yang telah berhasil menghilangkan kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat Indonesia. Ia mengacu pada perkembangan sejarah Indonesia. Menurutnya, banyak orang Tionghoa yang datang ke Indonesia pada abad ke - 18 dan 19 adalah nenek moyang dari golongan yang disebut “asli”. Ia berargumentasi, pendatang-pendatang Tionghoa itu ber-assimilasi dengan penduduk lokal dan masuk Islam. Anakanak dan keturunannya kemudian diakui sebagai “asli”. Ong juga menegaskan bahwa jalan terbaik untuk menghilangkan konflik antara golongan mayoritas dan golongan minoritas adalah adanya assimilasi antara kedua golongan ini. Golongan Tionghoa harus menjadi orang “asli”. Menurutnya, assimilasi berarti hilangnya identitas golongan minoritas. Ganti nama hanya merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Tapi ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan integrasi dalam bidang ekonomi dan politik. Jadi menurutnya, ke-eksklusifan golongan Tionghoa harus dilenyapkan.1. 1 Star Weekly, 27 February 1960 343 Siauw Giok Tjhan Di dalam sebuah artikel Star weekly lainnya, Ong mengatakan bahwa kegagalan golongan minoritas dalam meleburkan dirinya ke dalam tubuh golongan mayoritas adalah kesalahan pihaknya sendiri, karena mereka mempertahankan identitas golongannya. Jadi menurutnya, golongan minoritas harus sadar bahwa mereka tidak bisa menjadi WNI tetapi berbuat seperti orang asing. Meleburnya mereka ke dalam tubuh golongan mayoritas adalah satu-satunya jalan keluar, demikian Ong2. Di dalam beberapa artikel lainnya, Ong mempertegas dukungannya terhadap assimilasi dengan mengetengahkan keberhasilan assimilasi golongan Tionghoa di Filipina. Di dalam artikel yang dimuat oleh Star Weekly pada tanggal 26 Maret 1960, kelompok yang mendukung konsep assimilasi ini menyatakan bahwa lambang Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menolak teori assimilasi. Menurut mereka, lambang ini dicanangkan untuk menjalin persatuan, tetapi tidak pernah diciptakan untuk menghentikan proses yang menghilangkan ciri-ciri etnisitas. Mereka menekankan juga bahwa perkawinan campuran antar golongan etnis akan menghilangkan tembok pemisah di antara golongan-golongan etnis, dengan demikian, Indonesia hanya mengenal satu bangsa, bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menurut mereka, orang-orang peranakan seharusnya bersedia untuk menikah dengan orang-orang “asli”. Selama golongan peranakan Tionghoa mempertahankan keeksklusifannya, mereka akan selalu mengalami diskriminasi rasial3. Pada tanggal 24 Maret 1960, sekelompok yang terdiri dari 10 orang peranakan Tionghoa mengeluarkan pernyataan yang dinamakan Pernyataan Assimilasi. Di dalam pernyataan itu, mereka mengecam Siauw Giok Tjhan yang dengan gigih menentang konsep assimilasi. Dengan tegas, kesepuluh orang ini menyatakan bahwa assimilasi adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa ditempuh 2 3 Star Weekly, 2 April 1960 Star Weekly, 26 March 1960. 344 Nation Building dan Integrasi oleh golongan peranakan Tionghoa Indonesia. Pernyataan ini juga menyinggung pidato Soekarno yang diucapkan pada tanggal 22 Desember 1959 di Yogyakarta, di mana ia menganjurkan adanya perkawinan campuran antara suku-bangsa Indonesia. Kelompok ini terdiri dari tokoh-tokoh seperti Injo Beng Goat, Kwee Hwat Djien dan Auwyang Peng Koen yang turut mendirikan Baperki pada tahun 1954 tetapi lalu meninggalkannya pada tahun 1955. Kelompok ini menginginkan golongan peranakan Tionghoa untuk memisahkan dirinya dari golongan totok Tionghoa. Artikel-artikel Star Weekly itu menimbulkan reaksi di kalangan pembacanya, baik peranakan maupun “asli”. Sebagian besar para pembaca “asli” mendukung gerakan assimilasi ini, walaupun ada beberapa diantaranya yang menunjukkan keraguan akan kesungguhan golongan peranakan dalam ber-assimilasi. Dari golongan peranakan, reaksinya terbagi dua, sebagian mendukung dan sebagian menentang. Terminologi assimilasi yang dihubungkan dengan golongan Tionghoa di Indonesia mungkin dipergunakan untuk pertama kalinya oleh salah seorang guru Siauw Giok Tjhan pada tahun 30an, Kwee Hing Tjiat. Kwee menulis sebuah artikel, berjudul Baba Dewasa yang dimuat dalam nomor perdana harian Mata Hari yang terbit pada tanggal 1 Agustus 1934. Di dalam tulisan ini, Kwee menganjurkan agar golongan peranakan menjadi bumiputra dan memiliki kewajiban yang sama dengan mereka yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Walaupun Kwee menganjurkan assimilasi, ia tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan assimilasi. Ia tidak menyebut masalah ganti nama dan ganti agama4. Istilah assimilasi dipakai oleh Kwee untuk menyampaikan pandangannya bahwa orang Tionghoa di Indonesia pada akhirnya akan terabsorbsi di dalam tubuh masyarakat Indonesia, seperti orang-orang Tionghoa di Filipina, Muangthai dan tempat-tempat lainnya5. Siauw sendiri 4 5 Mata Hari, 1 August 1934 Djawa Tengah Review, August 1934. 345 Siauw Giok Tjhan mengintepretasikan pendapat Kwee itu sebagai dorongan untuk orang Tionghoa ber-assimilasi dalam bidang politik, sehingga mereka memiliki rasa beridentitas Indonesia, bukan Tiongkok6. Akan tetapi, kelompok assimilasi cenderung menganggap Liem Koen Hian dan PTI-nya sebagai ayah gerakan assimilasi7. Padahal yang Liem canangkan pada tahun 30-an, adalah assimilasi politik, di mana golongan Tionghoa berpartisipasi dalam gerakan politik nasional. Junus Jahja (Lauw Chuan To), salah seorang pemimpin kelompok assimilasi, ini pernah mengatakan bahwa Siauw sendiri tadinya adalah pendukung assimilasi pada waktu ia aktif di PTI8 --Bilamana yang dimaksud assimilasi dalam bidang politik, Junus Jahja memang tepat, karena Siauw selalu ingin menjadi bagian dari gerakan politik nasional. Yap Thiam Hien yang baru meletakkan jabatannya sebagai wakil ketua Baperki pada akhir tahun 1959 juga menolak teori assimilasi. Menurut Yap, proses Nation-Building bisa dicapai dengan adanya kerja sama antara semua golongan etnis. Menurutnya assimilasi hanya bisa sukses kalau golongan mayoritas sudah siap untuk menerima golongan Tionghoa. Kalau tidak, assimilasi tidak akan bisa berhasil. Ia mendukung konsep integrasi dengan penekanan dijunjung tingginya pelaksanaan hukum yang melarang diskriminasi rasial. Akan tetapi, ia memisahkan dirinya dari aliran Siauw Giok Tjhan, yang ia katakan menganut komunisme9. Siauw dengan cepat menanggapi tuduhan Yap bahwa ia menganut paham komunisme. Siauw pertegas. Bahwa yang ia selalu dengungkan adalah perwujudan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan yang diformulasi oleh Soekarno yang didukung oleh semua partai politik10. 6 7 8 9 10 Siauw, Lima Jaman, pp 53-54 Leo Suryadinata, Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900-1977, Institute of South East Asian Studies, 1979, p 134 Wawancara dengan Junus Jahja, Agustus 1989 Star Weekly, 16 April, 20 April and 17 May 1960 Star Weekly, 23 April 1960 346 Nation Building dan Integrasi Editorial Star Weekly mencela “terapi” integrasi yang dicanangkan oleh Yap Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan. Bagi mereka, kedua “terapi” ini akan mempertahankan struktur masyarakat yang diciptakan kaum penjajah dan golongan peranakan akan selalu menghadapi bahaya untuk diserang oleh penduduk “asli” bilamana mereka mempertahankan cara hidup yang eksklusif dan mempertahankan adat istiadat mereka sebagai golongan Tionghoa. Mereka juga mencela konsep yang memformulasi golongan Tionghoa sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Suku bangsa, menurut mereka, memiliki daerah, sedangkan golongan peranakan tidak memiliki daerah di Indonesia. Daerah nenek moyang mereka berada di Tiongkok. Akhirnya, mereka tekankan bahwa “terapi” integrasi menyebabkan hubungan psikologis antara golongan peranakan dan Tiongkok akan tetap terjalin yang tidak menguntungkan proses nation building. Pada bulan Januari 1961, kelompok assimilasi ini menyelenggarakan sebuah konperensi tentang kesadaran nasional yang dihadiri oleh 30 orang. Hasil konperensi yang diadakan di Bandungan ini adalah dikeluarkannya Piagam Assimilasi. Pokokpokok yang dicantumkan dalam Piagam ini adalah sbb11: 1. “...Assimilasi adalah proses penyatu-gabungan golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan pernyataan-pernyataan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi sebuah kebulatan sosiologis yang harmonis dan bermakna, yaitu yang dalam hal ini dinamakan bangsa (nation) Indonesia. 2. Khusus untuk WNI keturunan Tionghoa: assimilasi dalam hal ini berarti: masuk -- dan diterimanya orang-orang yang berasal keturunan Tionghoa ke dalam tubuh bangsa (nation) Indonesia tunggal sedemikian rupa, sehingga akhirnya golongan yang semula khas tidak ada lagi. Dengan demikian assimilasi khusus inipun ditempatkan dalam rangka “nation11 Dikutip dari Lahirnya Konsepsi Asimilasi, Yayasan Tunas Bangsa, Jakarta, Cetakan ke V, 1977(?), pp 20-26 347 Siauw Giok Tjhan building” Indonesia. 3. Aliran assimilasi tidak menghendaki “pulau-pulau Tionghoa maupun peranakan Tionghoa” di Indonesia dan dengan tegas menolak aliran Baperki (aliran Integrasi) yang apriori hendak mempertahankan golongan peranakan sebagai golongan ras/keturunan Tionghoa. 4. Pemberian kewarganegaraan RI semata-mata dilakukan untuk memungkinkan dan merealisasi assimilasi peranakan dengan rakyat Indonesia keseluruhannya, sehingga hilanglah golongan-golongan zaman kolonial dan lebih terjaminlah keutuhan bangsa dan lancarnya proses “nationbuilding”, demi kebahagiaan generasi-generasi yang akan datang. 5. Penerimaan kewarganegaraan Indonesia oleh peranakan berarti bahwa mereka menurut logika pula menghendaki assimilasi mereka dengan rakyat Indonesia seluruhnya....Dengan demikian setiap peranakan yang menerima kewarganegaraan Indonesia, telah menyatakan kesediaannya untuk turut meniadakan golongannya yang lama, sehingga lebih terjaminlah pembinaan bangsa Indonesia yang bersatu, bulat dan homogeen demi kebahagiaan generasi-generasi yang akan datang... 6. Assimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan (kelima-limanya harus segera dilaksanakan secara serentak (synchroon) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang sebaik-baiknya • assimilasi politik • assimilasi kulturil • assimilasi ekonomi • assimilasi sosial/campur gaul • assimilasi kekeluargaan (pernikahan) 7. Yang pokok adalah mengakhiri gejala eksklusivisme dalam bentuk apapun juga di kelima bidang kehidupan di atas: • Dibidang kegiatan politik: janganlah 348 Nation Building dan Integrasi dimungkinkan adanya organisasi massa yang tujuannya bertentangan dengan konsepsi assimilasi negara.... harus berpedoman bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi peranakan adalah persoalan-persoalan umum-nasional dan oleh karenanya harus disalurkan melalui partai-partai/organisasi-organisasi politik yang umum nasional pula. • Organisasi peranakan di bidang sosial/campur gaul (sekolah, olah-raga, pemuda, mahasiswa, pelajar, pramuka dan lain-lain) harus segera ditiadakan untuk menstimulir terutama angkatan pemuda peranakan memasuki organisasi-organisasi nasional...” Pada tahun 1962, kelompok assimilasi berhasil meyakinkan beberapa pemimpin Angkatan Darat seperti Jendral Nasution dan kolonel Soetjipto untuk mendukungnya. Mereka juga berhasil mengajak beberapa tokoh politik yang berhaluan kanan untuk mendukung gerakannya. Sebagai hasil dari usaha ini, mereka mendirikan organisasi yang mereka namakan Organisasi Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang beroperasi di bawah naungan Angkatan Darat12. Pada tahun 1963, kelompok assimilasi ini mendirikan lembaga yang resmi berada di bawah naungan Angkatan Darat, dengan nama LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Pada bulan Juli 1963, mereka memperoleh dukungan Roeslan Abdulgani, pada waktu itu, Menteri Penerangan, sehingga lembaga ini menjadi bagian kementerian Penerangan dan namanya diganti menjadi LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Ketua LPKB adalah Letnan Sindhunatha yang tadinya bernama Ong Tjong Hay13. 12 13 Somers, Peranakans Chinese Politics In Indonesia, pp260-261; Copple’s Indonesian Chinese in Crisis, p 45 Coppel, Indonesian Chinese In Crisis, pp 46-47 349 Siauw Giok Tjhan Formulasi Siauw: Nation-Building dan Integrasi Bagi Siauw, proses Nation-Building adalah bagian terpenting perjuangannya. Kegiatannya di bidang kewarganegaraan, penghapusan diskriminasi rasial dan penyelesaian masalah minoritas mencerminkan pengertiannya tentang Nation Building. Dalam berbagai pidato dan kuliah yang ia sampaikan pada Baperki, kader-kader Baperki serta murid-murid dan mahasiswamahasiswa Baperki, Siauw berulang kali menjelaskan pengertian Nation-Building. Presiden Soekarno pernah mengatakan pada Oei Tjoe Tat bahwa orang yang yang paling berbobot dalam Nation-Building di Indonesia adalah Siauw Giok Tjhan14. Ucapan serupa sebelumnya diutarakan di hadapan delegasi Baperki yang mengunjungi Soekarno pada bulan Juli 1954, di mana Soekarno menyatakan kegembiraannya akan kehadiran Baperki dalam dunia politik Indonesia, karena ia yakin Baperki akan membantu meluruskan pengertian dan makna Nation-Building15. Pembangunan Nasion Indonesia, menurut Siauw, mencakup lima bidang. Dan paham-paham inilah, seperti yang dituturkan sebelumnya, menjadi dasar perjuangan Siauw dalam kancah politik nasional. Nasion Indonesia Bagi Siauw, yang terpenting adalah menjiwai apa yang para pejuang kemerdekaan kehendaki pada waktu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Apa yang diartikan dengan Bangsa-Nasion Indonesia harus jelas. Siauw sering menyayangkan penggunaan kata “bangsa” dalam menterjemahkan kata-kata “race” dan “nation”. Menurut Siauw, digunakannya kata “bangsa” untuk kedua hal yang memiliki perbedaan arti dan makna ini telah menimbulkan kekaburan dan kesalah pahaman yang merusak usaha perwujudan “Nasion” yang 14 15 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat, Juli, 1994 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Desember 1990 350 Nation Building dan Integrasi sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan. Menurut Siauw, “race” adalah definisi biologis yang mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri biologis yang sama. Sedangkan “nation” adalah istilah politik yang mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri politik. Karena adanya kekaburan ini, Siauw menganjurkan agar perkataan “bangsa” hanya dikaitkan dengan pengertian “nation”, sedangkan kata “race” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “keturunan” atau “golongan etnis”16. Dalam pidato-pidatonya, untuk mempertegas apa yang ia maksud dengan Nasion, Siauw ternyata cenderung menggunakan perkataan “Nasion” daripada “Bangsa”. Siauw berargumentasi bahwa “Indonesian Race” tidak ada dan tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, ia menanentang adanya definisi Indonesia “asli”. Menurutnya, tidak ada seorang Indonesiapun yang bisa menganggap dirinya “asli”. Dengan demikian, definisi “asli” tidak bisa hadir dalam negara yang mengenal hukum. Dan ini tidak bisa dijadikan dasar kebijakan berbagai kebijakan yang mendiskriminasikan komunitas Tionghoa. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw beranggapan bahwa banyak dari mereka yang menamakan dirinya “asli” justru keturunan orang asing, termasuk Tionghoa. Yang lebih penting lagi, Siauw menentang dikaitkannya loyalitas seseorang dengan ke “aslian” –nya. Kesetiaan seseorang terhadap Indonesia, menurut Siauw, tergantung atas kesadaran politiknya. Mengenai terbentuknya “Nasion” Indonesia, Siauw ternyata menggunakan 4 kriteria, yang ia simpulkan dari pendapat-pendapat berbagai pemikir terkenal, seperti John Stuart Mill, Otto Bauer, Renan dan Stalin. Terwujudnya nasion Indonesia berdasarkan keempat kriteria ini17: 16 17 Kuliah Siauw Giok Tjhan Tentang Pancasila, Seminar Organi- sasi Pusat Baperki, 22-28 Desember 1962 Siauw Giok Tjhan, Kuliah Ideologi Negara - Universitas Res- publica, 17 Oktober 1962 351 Siauw Giok Tjhan 1. Adanya kesamaan wilayah yang ada karena penjajahan Belanda mempersatukan kepulauan Indonesia dengan menggunakan kekerasan bersenjata. 2. Adanya kesamaan kehidupan ekonomi, yang diciptakan oleh imperialisme Belanda dengan membangun infrastruktur transportasi di seluruh Indonesia sehingga timbul kesatuan ekonomi 3. Adanya kesamaan bahasa yang terwujud dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, di mana bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia. 4. Adanya kesamaan susunan kejiwaan yang menampakkan diri dalam kesamaan ciri-ciri khas kebudayaan nasional. Inipun terjadi pada waktu Sumpah Pemuda dibacakan pada tahun 1928. Dengan demikian, Siauw berkesimpulan bahwa “Nasion” Indonesia telah terbentuk pada tahun 1928. Karena di Indonesia itu terdapat banyak suku bangsa, Siauw menyatakan “Nasion” Indonesia adalah “multi-race nation”. Jadi Siauw menolak konsep perlu dibentuknya “Nasion” yang homogeen -- “single-race nation” karena menurutnya, ini tidak mungkin diwujudkan di Indonesia. Di dunia ini, ia tegaskan, hanya di negaranegara kapitalis Eropa Barat saja yang memungkinkan adanya “single-race nation”, seperti Jerman Barat dan Belanda. Semua “Nasion” yang tumbuh karena perjuangan kemerdekaan, terutama di kawasan Asia dan Afrika, terdiri dari banyak suku-bangsa. Atas dasar ini, Siauw menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang menurutnya diambil dari kalimat yang ditulis oleh empu Tantular dalam bahasa Jawa kuno: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mandrawa : Berbeda-beda, tetapi tetap satu - tak ada peraturan yang mendua. Mendua, bagi Siauw berarti diskriminasi. Dengan demikian, bagi Siauw, masyarakat Bhinneka Tunggal Ika dengan akurat mencerminkan “Nasion” Indonesia 352 Nation Building dan Integrasi yang sesungguhnya, yang sesuai dengan jiwa proklamasi 45, yaitu “Nasion” yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang bertekad untuk bersatu dan menjadi isi wilayah Indonesia dan “Nasion” yang menentang adanya diskriminasi18. “Nasion” yang berjiwa proklamasi-45 dirumuskan oleh Soekarno sebagai terwujudnya masyarakat Panca Sila yang mewujudkan pelaksanaan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak akhir tahun 50-an, Siauw telah mencanangkan konsep bahwa golongan Tionghoa di Indonesia, khususnya golongan peranakannya, bisa dikategorikan sebagai suku Tionghoa. Berdasarkan konsep ini, Siauw mengatakan bahwa suku Tionghoa adalah bagian dari masyarakat yang ber- Bhinneka Tunggal Ika. Integrasi ke dalam Tubuh Bangsa Indonesia Pada tahun 1958, Siauw berulang kali menekankan bahwa UUD Indonesia tidak pernah memasalahkan hilangnya identitas etnis yang dicerminkan oleh nama, tradisi dan kebudayaannya. Di tahun yang sama, protes dari luar pulau Jawa meningkat sehingga masalah perlakukan berbeda terhadap suku bangsa menjadi penting dalam perdebatan-perdebatan politik di parlemen. Siauw menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan dan mempopulerkan konsep yang menggambarkan bahwa golongan Tionghoa, khususnya peranakannya, sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Diterimanya ide bahwa golongan Tionghoa adalah salah satu suku Indonesia, menurut Siauw akan mempercepat proses penghapusan diskriminasi rasial. Desakan Siauw agar kategori suku Tionghoa diterima oleh pimpinan politik nasional Indonesia akhirnya diterima oleh Soekarno. Soekarno menggunakannya di dalam pidatonya di peringatan hari ulang tahun Baperki yang ke 9, 13 Maret 1963: “... Sebetulnya di Indonesia, kita tidak mengenal minority. Di Indonesia 18 Siauw Giok Tjhan: Kuliah Ideologi Negara, Universitas Res- publica. 1964 353 Siauw Giok Tjhan kita hanya mengenal suku-suku. Saya tidak akan berkata suku itu adalah minority, suku itu adalah minority, suku Dayak adalah minority, suku Irian adalah minority, suku Tionghoa adalah minority, tidak!. Tidak ada minority. Yang ada hanyalah suku-suku...Suku itu artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya, seperti luwing, saudara-saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia...”. Dalam konteks suku Tionghoa dan Nation Building ini, kebijakan Siauw tetap konsisten. Ketika Baperki berdiri pada tahun 1954, Nation-Building dikaitkan dengan usaha mewujudkan “Nasion” yang sesuai dengan jiwa proklamasi 45. Pada tahun 1958, rumusan Nation-Building dikaitkan dengan perwujudan masyarakat adil dan makmur yang menghapuskan sifat-sifat “under-developed” dan mencapai “full-employment”. Setelah dikeluarkan dekrit Presiden pada tahun 1959 dan era Demokrasi Terpimpin dimulai, program Nation-Building Baperki dikaitkan dengan masyarakat sosialis yang bersih dari penindasan manusia atas manusia. Akan tetapi Siauw selalu hati-hati dalam mencanangkan program ini. Ia selalu mempertahankan bahwa formulasi ini bukanlah formulasi komunis, melainkan sejalan dengan yang apa Soekarno selalu dengungkan dan yang didukung oleh setiap partai politik yang aktif pada masa itu. Dalam Nation Building ini, Siauw selalu bersandar pada konsep yang ia kembangkan dengan lebih giat lagi setelah istilah assimilasi total muncul dalam perdebatan-perdebatan politik, yaitu konsep integrasi, sebagai lawan konsep assimilasi. Walaupun istilah integrasi baru dipergunakan setelah tahun 1959, konsep yang mendasari istilah itu sudah dikembangkan sejak Baperki didirikan pada tahun 1954. Siauw selalu yakin bahwa memiliki nama Indonesia atau agama tertentu, bahkan memiliki bentuk dan ciri “asli” bukanlah ukuran yang bisa digunakan untuk menentukan setia atau tidak setianya seseorang terhadap Indonesia. Yang penting, menurut Siauw adalah 354 Nation Building dan Integrasi suasana dan kondisi yang mendorong orang-orang yang memiliki nama-nama Tionghoa dan yang masih menjalankan adat istiadat serta kebudayaan Tionghoanya untuk berbakti pada Indonesia. Dalam hal ini, Siauw bisa menggunakan konsep yang bersandar pada “mental-retooling” yang dipopulerkan oleh Soekarno setelah 1959. Soekarno menganjurkan mental-retooling untuk setiap warga negara, tanpa memperdulikan latar belakang ras, agama, untuk membangun masyarakat sosialis. Ini, menurut Siauw, hanya bisa dicapai bilamana setiap suku, termasuk suku Tionghoa mengintegrasikan dirinya di dalam masyarakat dan segala kegiatan politik dan sosial sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi aspirasi suku-suku ini. Dengan integrasi, Siauw maksudkan golongan Tionghoa tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya membangun “Nasion” Indonesia. Jadi konsep integrasi-nya sangat erat berkaitan dengan NationBuilding dan kesukuan. Menurutnya assimilasi telah gagal di beberapa negara lainnya, termasuk Amerika Serikat. Amerika yang mengenal konsep “melting-pot” atau peleburan total, ternyata, menurut Siauw, tidak berhasil menyelesaikan masalah “negro”. Ia menentang assimilasi karena walaupun yang dianjurkan itu bersifat sukarela, tetapi program LPKB mengandung sebuah paksaan yang bisa meluncur ke proses penghilangan identitas biologis dari sebuah suku-bangsa. Ini, menurutnya melanggar HAM, bahkan bisa dikategorikan usaha genocide yang terkutuk. Disamping itu, urusan nama, perkawinan bahkan agama adalah urusan pribadi setiap orang. Ia juga mengungkapkan bahwa pengaturan yang diadakan untuk mengganti nama, agama dan calon istri maupun suami., merupakan pelanggaran HAM. Siauw lebih lanjut mencanangkan harapannya bahwa komunitas Tionghoa meng-integrasikan dirinya dalam semua kegiatan pembangunan “Nasion” Indonesia, terutama dalam pembangunan ekonomi nasional, dalam kegiatan politik yang menjamin 355 Siauw Giok Tjhan keberadaan hukum yang melarang rasisme, dalam kegiatan politik mewujudkan demokrasi dan keadilan, dalam pendidikan masyarakat sehingga aspirasi Rakyat dijadikan aspirasi semua suku yang ada. Kewarganegaraan Indonesia Siauw mengetengahkan bahwa posisi hukum keberadaan komunitas Tionghoa sebagai bagian Nasion Indonesia adalah Kewarganegaraan Indonesia. Ia mendambakan terwujudnya Citizenship-Based Nation, Nasion yang hanya mengenal satu macam Kewargangeraan, sehingga latar belakang etnisitasnya, dalam mata hukum, tidak memainkan peranan apapun. Seetiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal ini, Siauw, senantiasa mengingatkan para politikus yang ingin mempersulit orang Tionghoa menjadi WNI, bahwa Manifesto Politik November 1945 mencantumkan salah satu jiwa proklamasi 45, yaitu ingin menjadikan semua keturunan asing di Indonesia, warga negara Indonesia dan patriot sejati Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin. Menurut Siauw, janji yang terkandung dalam Manifesto Politik itu dipenuhi dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1946, sebuah UU yang menjadikan semua orang yang lahir di Indonesia, baik asing maupun tidak, warga negara Indonesia, dengan sistem pasif. Oleh karenanya, Siauw sangat menentang arus yang ingin mengubah UU kewarganegaraan ini, apalagi bilamana alasan yang dipergunakan adalah keinginan untuk membatasi kegiatan pedagang Tionghoa yang sudah lama beroperasi di Indonesia dan yang memiliki kemampuan untuk membantu pembangunan ekonomi nasional. Di samping itu, Siauw-pun berkeyakinan bahwa Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa yang sudah bergenerasi menetap di Indonesia. Sudah wajar bilamana mereka ini menjadi warga negara 356 Nation Building dan Integrasi Indonesia, sehingga bisa didorong untuk membantu pembangunan ekonomi dan Nasion Indonesia. Oleh karena ini, seperti yang dituturkan dalam bagian sebelumnya, Siauw didukung oleh Baperki sangat giat dan gigih memperjuangkan sebanyak mungkin penduduk Tionghoa menjadi WNI. Memang pada tahun 50-an dan 60-an, argumentasi Siauw tentang kewarganegaraan Indonesia kurang mendapat perhatian komunitas Tionghoa, terutama yang berada di luar Jawa. Baru sejak tahun 70-an, pentingnya menjadi WNI dirasakan oleh sebagian besar penduduk Tionghoa di Indonesia. Pengembangan Modal Domestik Seperti yang dituturkan sebelumnya, bagi Siauw, modal yang dimiliki dan dikembangkan oleh para pedagang Tionghoa, baik yang sudah menjadi WNI maupun asing, bukan saja harus dilindungi, tetapi juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mempercepat pembangunan ekonomi nasional menuju ke masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena ini, Siauw sangat gigih menentang berbagai kebijakan rasis yang didesain untuk mengambil alih peranan yang dimainkan oleh pedagang Tionghoa dan menggantikannya dengan pedagang-pedagang “asli” . melulu karena keserakahan pribadi tanpa mengindahkan dampak tindakannya. Siauw berpendapat, bahwa yang harus diutamakan adalah pengambilan alih perusahaan-perusahaan asing yang jelas menguras kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan negaranegara maju yang menindas perkembangan negara-negara yang berkembang. Fokus nasionalisasi harus ditujukan untuk merealisasi UUD pasal 33, bukan untuk menghancurkan modal domestik yang sudah jelas memiliki andil besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, Siauw secara gamblang memperjuangkan 357 Siauw Giok Tjhan dipertahankannya sistem kapitalisme yang menjamin tumbuhnya modal domestik, yang pada umumnya berada dikelola oleh para pengusaha Tionghoa. Banyak pengusaha yang terlibat dalam pengelolaan modal domestik ini kemudian menjadi pendukung Baperki. Bahkan sebagian besar anggota Baperki terdiri dari para pengusaha kecil menengah. Prinsip ini dengan sendirinya bertentangan dengan paham komunisme dan di dalam berbagai perdebatan di parlemen, Siauw kerap bertentangan dengan para politikus PKI. Pendidikan Politik Siauw berpendapat bahwa sebagai akibat sistem penjajahan yang berkepanjangan, prinsip-prinsip yang dicanangkannya itu tidak mudah untuk diterima begitu saja, baik oleh mereka yang “asli” maupun oleh komunitas Tionghoa. Oleh karenanya pendidikan politik yang bersifat menyeluruh dan jangka panjang harus dilakukan. Seperti yang dituturkan sebelumnya, inilah yang mendorong Siauw untuk mengerahkan para tokoh Baperki untuk terjun langsung memberi pendidikan politik ke massa-nya, mengajak massa-nya untuk terjun dalam kegiatan politik nasional. Ia-pun mengerahkan institusi pendidikan Baperki untuk menyebar luaskan paham-paham yang ia canangkan sejak tahun 30-an. Penekanan Nation Building dan kewarganegaraan Indonesia merupakan hal yang terpenting dalam pendidikan massa ini. BAPERKI VS LPKB Perdebatan antara assimilasi dan integrasi mencapai puncaknya pada tahun 1963. Pihak LPKB mengetahui bahwa Siauw kian dekat dengan Soekarno dan semakin sering mendapatkan perlindungan 358 Nation Building dan Integrasi darinya. Mereka-pun khawatir kalau keadaan perang/ darurat yang akan berakhir pada tahun 1963, sehingga kekuatan politik Angkatan Darat menurun, akan melemahkan posisi mereka. Untuk memperbaiki posisinya, LPKB mengadakan sebuah konperensi pada tanggal 10-12 Maret 1963 di Jakarta di mana beberapa tokoh pemerintah diundang. Sebagian dari mereka turut hadir. Diantaranya Roeslan Abdulgani, Menteri Penerangan, Chaerul Saleh, Ketua MPRS, Muljadi Djojomartono, Menteri Sosial, Ipik Gandamana, Menteri Pekerjaan Umum, Jendral Nasution, KASAD. Sebagian besar dari tamu-tamu penting yang diundang ini mengirim teks pidato-pidatonya. Juga diterima pidato tertulis Sunario, lawan Siauw dalam bidang kewarganegaraan. Yang menarik adalah waktu pengadaan konperensi ini, yaitu sekitar perayaan hari ulang tahun ke 9 Baperki, di mana Soekarno hadir dan memberikan amanatnya. Konperensi ini menonjolkan klarifikasi tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut mereka, Soekarno telah menjelaskan padanya bahwa arti Bhinneka itu keadaan sekarang sedangkan Tunggal Ika adalah tujuan yang ingin dicapai. Juga ditekankan oleh mereka bahwa Soekarno menyatakan bahwa sebuah bangsa yang memiliki minority bukanlah bangsa. Kelompok assimilasi mengintepretasikan ini sebagai tanda bahwa Soekarno seirama dengan mereka dalam membentuk “Nasion” yang homogeen, yang tidak mengenal suku bangsa. Akan tetapi banyak pidato tertulis yang dibacakan dalam konperensi itu tidak secara gamblang mendukung konsep assimilasi. Sebagian, seperti Chaerul Saleh dan Ipik Gandamana menganjurkan solusi yang malah mendekati apa yang Siauw canangkan19. Dua hari setelah LPKB dibentuk, pada tanggal 14 Maret 1963, Baperki menyelenggarakan peringatan hari ulang tahun ke 9 -nya. Soekarno turut menghadiri acara ini dan memberi sambutan. Pada waktu itu, kedatangan Soekarno dalam acara-acara organisasi 19 Pidato-pidato ini dikumpulkan oleh LPKB di Assimilasi, Jajasan Pembinaan Kesatuan Bangsa,diterbitkan oleh Department Penerangan,1964. 359 Siauw Giok Tjhan menunjukkan dekatnya Soekarno dengan pemimpin organisasi yang mengundangnya. Dalam pidatonya Soekarno menunjukkan bahwa ia mendukung konsep-konsep yang dicanangkan Siauw, terutama yang berhubungan dengan suku Tionghoa dan assimilasi. Tentang assimilasi, ia berkata: “...Cak Siauw tadi berkata, janganlah mengutik-ngutik assimilasi...Baik Bung Siauw, saya tidak akan mengutik-ngutik....Nama saya sendiri itu Soekarno. Apa itu nama Indonesia asli? Tidak. Itu asalnya sanskrit. ....Cak Ruslan namanya asal Arab, jadi campuran...what is in a name? Kalau saudara ingin menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama... Tidak, itu urusan pribadi. Agama-pun pribadi...”. Pidato ini menunjukkan dukungan Soekarno terhadap konsepkonsep Siauw Giok Tjhan. Akan tetapi, sebagai pemimpin yang ingin menjaga kesetimbangan, ia ternyata harus memenuhi permintaan LPKB untuk meresmikan pendiriannya sebagai salah satu departemen kementerian Penerangan. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1963, ia merestui pembentukan LPKB di departemen Penerangan yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani. Walaupun demikian, dalam pidatonya di hadapan LPKB, ia tidak berbicara tentang pergantian nama dan agama. Siauw tidak banyak menanggapi peresmian LPKB itu, kecuali menuntut LPKB untuk me-Nasakom-kan organisasinya. Pada tanggal 17 Agustus 1963, Soekarno memenuhi permintaan Siauw dan menekankan perlunya LPKB di-Nasakom-kan. Akan tetapi LPKB tidak melayani permintaan Soekarno. Mereka tetap terdiri dari orang-orang yang anti komunis20. Pada bulan November 1963, LPKB mulai menyerang Baperki melalui pemerintah. Ketuanya, Sindhunatha, mengirim surat ke beberapa anggota kabinet menuntut agar Baperki yang 20 Coppel, Patterns of Chinese Political Activity In Indonesia, p 58 360 Nation Building dan Integrasi digambarkannya sebagai organisasi eksklusif, dibubarkan21. Akan tetapi posisi Baperki terlalu kuat untuk dipengaruhi. Seperti yang dituturkan sebelumnya, sebelum surat LPKB diterima, Soekarno sudah merencanakan pengangkatan Siauw sebagai menteri. Tawaran ini ditolak dan sebagai gantinya, Oei Tjoe Tat diangkat sebagai menteri tidak lama setelah surat Sindhunata diedarkan. Hal ini merupakan pukulan bagi LPKB. Dukungan Soekarno terhadap Baperki terlihat dari pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1964. Di dalam pidato ini Soekarno mengulang dukungannya pada konsep golongan Tionghoa dianggap sebagai suku. Walaupun tidak secara langsung mengecam konsep assimilasi, tetapi ia jelas terlihat berat sebelah terhadap Baperki. Yang paling keras memukul LPKB adalah desakan Soekarno yang diucapkan dalam pidato kenegaraan itu untuk membersihkan LPKB dari komunis-phobia dan untuk me-Nasakomkan organisasinya. Sejak itu, Soekarno jelas memihak pada Baperki. Untuk sementara, posisi Baperki lebih kuat bila dibandingkan dengan posisi LPKB. Adanya polarisasi politik yang tajam menyebabkan perdebatan antara Baperki dan LPKB pada akhir zaman Demokrasi Terpimpin lebih berpusat pada garis politiknya daripada perbedaan konsep assimilasi dan integrasi. Ini menyebabkan LPKB menjadi organisasi yang didukung orangorang yang takut dengan berkembang pesatnya komunisme. Ia juga mendapat dukungan dari orang-orang yang khawatir dengan perkembangan Baperki yang semakin kiri haluannya. 21 Ibid p59. Siauw, Lima Jaman, p 311 361 Siauw Giok Tjhan BAB 14 AKHIR HIDUP BAPERKI Sebagai akibat kedekatan Siauw dengan Presiden Soekarno dan kekuatan politik yang mengelilinginya di zaman Demokrasi Terpimpin, yang kini dikenal sebagai zaman Orde Baru, Siauw berhasil memasukkan berbagai objektif penting Baperki ke dalam pidato-pidato penting Soekarno dan berbagai kebijakan pemerintah. Secara hukum dan di atas kertas, posisi Baperki dan golongan Tionghoa di Indonesia terlindungi, lebih daripada yang pernah dialami pada zaman-zaman sebelumnya. Menjelang tahun 1965, Siauw telah membangun Baperki sebagai organisasi massa golongan Tionghoa terbesar dalam sejarah Indonesia. Baperki berhasil menjadi sebuah kekuatan politik yang sering diandalkan oleh beberapa partai politik besar, karena selain jumlah anggota yang cukup besar, melebih 600.000 orang, ia memiliki banyak pendukung dan simpatisan di seluruh Indonesia. Hasil yang terpenting yang dicapai Siauw dalam karier politiknya adalah terbinanya massa Baperki untuk memiliki kesadaran politik. Organisasi-organisasi Tionghoa sebelumnya, seperti Tiong Hoa Hwee Kwan, Chung Hua Chung Hui, PDTI tidak memiliki kesungguhan dalam melaksanakan pendidikan politik untuk para anggotanya. Siauw, melalui sarana organisasi dan institusi pendidikannya, berhasil menyebar luaskan konsep-konsep politiknya, terutama yang berhubungan dengan Nation Building, integrasi dan makna politik kewarganegaraan Indonesia. Pada zaman ini, banyak anggota Baperki yang aktif dalam kegiatan politik dan masuk partai-partai politik atau organisasiorganisasi massa lainnya. Sebagian besar yang aktif masuk ke dalam PKI dan Partindo, sedangkan pemuda dan pelajar Baperki masuk bahkan memegang peranan pimpinan di dalam Pemuda Rakyat, Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia). 362 Akhir Hidup Baperki Akan tetapi, Siauw agak kecewa dengan perkembangan politik yang mendorong para kader dan pemuda Baperki di saatsaat terakhir zaman Demokrasi Terpimpin, yang meletakkan kepentingan Baperki di bawah kepentingan PKI dan para organisasi yang berafiliasi dengannya. Usaha Siauw untuk membatasi sikap militan yang dianggap olehnya merugikan posisi Baperki ini, tidak begitu berhasil. Situasi dan Lingkungan Politik Pada awal tahun 1965, polarisasi politik antara kiri dan kanan berkembang secara ekstrim. Soekarno dan PKI menjadi lebih dekat dan saling tergantung satu sama lainnya. Karena kepopuleran Soekarno dan kemampuannya mendominasi kancah politik, kekuatan politik kiri terlihat menang di atas angin. Pimpinan Angkatan Darat dan kekuatan politik kanan lainnya yang sebagian besar diwakili oleh NU, Parkindo dan partai Katolik, terpaksa untuk sementara menerima keadaan ini dan mengikuti arus politik Walaupun Soekarno tidak menerima semua tuntutan PKI, tetapi ia tidak menyembunyikan keberat-sebelahannya terhadap partai ini. Setiap kali ada konflik antara PKI dengan musuh-musuhnya, ia mendukung posisi PKI. Murba membentuk dan memimpin BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme) dengan tujuan untuk kembali memainkan peranan penting dalam kancah politik yang kian didominasi oleh PKI. Gerakan yang didukung oleh sebagian pimpinan Angkatan Darat dan berbagai surat kabar itu ditentang oleh PKI. Atas desakannya, Soekarno mengeluarkan larangan yang membatasi ruang gerak Murba dan menutup surat-surat kabar yang mendukung BPS. Tidak lama setelah ini, Adam Malik, pada waktu itu Meneteri Perdagangan dan Chaerul Saleh, ketua MPRS, kedua-duanya diassosiasikan dengan Murba, diserang oleh PKI sebagai anti-Soekarnois. Pada bulan Maret 1965, kedua-duanya didemosi dalam sebuah kabinet 363 Siauw Giok Tjhan reshuffle1. Pada bulan September 1965, Murba secara resmi dilarang dan beberapa pemimpinnya termasuk ketuanya, Sukarni dipenjarakan. Setelah menyerang Murba dan berhasil melemahkan posisi politiknya, PKI mulai menyerang kekuatan Islam yang diwakili oleh NU dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Pada bulan Maret 1965, terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan kota-kota Jawa Timur yang diorganisasi oleh CGMI dan Pemuda Rakyat menuntut dibubarkannya HMI. Walaupun Soekarno berkali-kali memperingati kekuatan Islam untuk menghilangkan komunisphobia-nya, ia memutuskan untuk tidak membubarkan HMI. Akan tetapi keadaan menunjukkan bahwa HMI dan dalam hal ini, NU berada di pihak yang defensif -- tidak bisa mengerahkan kekuatan massa-nya untuk secara terang-terangan melawan dorongandorongan pihak PKI dan para organisasi massanya. PKI juga mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengumpulkan dan mengontrol massa. Pada bulan Mei 1965, ketika merayakan hari ulang tahun ke 45-nya, PKI menyatakan bahwa ia memiliki 3 juta anggota dan para organisasi massa yang berafiliasi dengannya memiliki 20 juta anggota, yang menjadikannya kekuatan komunis terbesar ke tiga di dunia. Akan tetapi, tantangan paling berat bagi PKI adalah menggoyahkan kekuatan Angkatan Darat. Pada awal tahun 1965, PKI meningkatkan serangannya terhadap apa yang mereka namakan koruptor dan kapitalis-birokrat (Kapbir). Ini ditujukan pada para perwira Angkatan Darat yang sejak tahun 1957-1958 menjadi pemimpin berbagai perusahaan-perusahaan yang tadinya dimiliki oleh Belanda. PKI menuduh mereka sebagai kekuatan yang selalu terlibat dalam menyebar-luaskan propaganda anti-komunis dan menghalangi program Soekarno dalam menciptakan kesatuan Nasakom. Seruan-seruan PKI ini akhirnya mendorong Soekarno untuk turut mengecam sikap para perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggapnya memiliki sikap reaksioner dan hidup dalam 1 Harian Rakyat, 1 April 1965 364 Akhir Hidup Baperki kemewahan2. Pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat menjadi lebih sengit ketika PKI menuntut agar Front Nasional dijadikan Angkatan ke 5 dan dipersenjatai. Konsep PKI adalah Angkatan ke 5 ini terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai sehingga bisa membantu ABRI dalam mempertahankan keamanan dan menghalau serangan luar. Lagi-lagi, Soekarno mendukung gagasan ini dan mendorong pimpinan ABRI untuk mempertimbangkannya dan merencanakan pembentukannya. Dorongan Soekarno ternyata juga didukung oleh Kepala Staf Angkatan Udara dan Kepala Staf Angkatan laut. Akan tetapi, Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Yani menentangnya. Pada tanggal 27 September 1965, Yani mempertegas penolakannya3. Walaupun kekuatan kanan terlihat berada di bawah angin, secara kongkrit, kekuatan PKI terbatas. Jendral Nasution dan Yani berhasil mencegah Soekarno dalam mengangkat tokoh-tokoh PKI menjadi menteri-menteri dengan portfolio yang menentukan. Seperti dituturkan sebelumnya, Aidit, Lukman dan Njoto diangkat menjadi menteri-menteri negara tanpa tugas eksekutif yang menentukan. Di pemerintahan daerah, kekuatan PKI juga terbatas. Dari 24 gubernur, 12 adalah perwira tinggi Angkatan darat. Tidak terdapat satupun gubernur dari PKI. Situasi politik menjelang akhir zaman Demokrasi Terpimpin memang berubah. Pada bulan Mei 1965, Setiadi Reksoprodjo, bekas pemimpin Pesindo diangkat sebagai menteri Listrik dan Energi. Njoto juga semakin besar pengaruhnya di dalam kabinet. Bahkan ia menjadi salah seorang kepercayaan Soekarno yang sering menulis banyak pidato-pidato pentingnya. Mismanagement dalam bidang ekonomi terus mencekam pelaksanaan program pemerintah di saat-saat terakhir zaman ini. Pada tahun 1962, defisit negara berjumlah 12.8 miliard Rupiah. Dalam tahun-tahun 1963 dan 1964, walaupun pemasukan menurun, 2 3 Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno, pp 383-384 Ibid. p 385 365 Siauw Giok Tjhan defisit terus menanjak, bahkan lebih besar dari pemasukan (103% dari pemasukan pada tahun 1963 dan 113% pada tahun 1964) 4. Menjelang akhir tahun 1965, defisit membengkak menjadi 3000% dari jumlah pemasukan5. Besarnya defisit ini sebagian disebabkan oleh ketidak mampuan pemerintah dalam mengontrol inflasi. Menurunnya export dan menanjaknya import menyebabkan terkurasnya devisa uang asing. Dan karena ketergantungan atas barang-barang import kian membesar, sedang daya produksi di dalam negeri tidak dikembangkan, inflasi terus menanjak. Keadaan menyedihkan ini menyebabkan hanya 50% dari bis dan truk yang beroperasi di jalanjalan karena kekurangan spare-parts dan kapasitas produksi yang berjalan hanya 25-30% dari kapasitas totalnya6. Keadaan ekonomi menjadi lebih parah dengan dimulainya kampanye “Ganyang Malaysia” yang menelan biaya besar. Di kwartal terakhir tahun 1964, harga hampir semua barang naik dua kali lipat. Nilai Rupiah jatuh dari Rp. 3.000 per US dollar di bulan September hingga Rp 8.000 di bulan Desember 19657. Pada tahun 1965, harga banyak barang naik sampai 500% dan harga beras naik 900%8. Tekanan untuk mencari bantuan negara-negara yang lebih mampu semakin besar setelah tahun 1963. Dengan sikap Soekarno yang bermusuhan dengan negara-negara Amerika Serikat dan Inggris, bantuan dari kedua negara ini tidak kunjung datang. Akhirnya, Soekarno terdorong untuk berpaling ke negara-negara Sosialis-komunis, terutama Uni Soviet dan RRT. 4 5 6 7 8 J.A.C. Mackie, Problems of The Indonesian Inflation, Mono graph Series, Cornell University, 1967, p. 8 Bruce Grant, Indonesia, Melbourne University Press, Second Edition, 1966, p. 97 Ibid. p. 90 Mackie, Problems of The Indonesian Inflation, p 42 Grant, Indonesia, p 97 366 Akhir Hidup Baperki Di dalam pidato 17 Agustus 1965, Soekarno berbicara tentang terbentuknya poros Jakarta-Phnom Penh - Hanoi - Peking Pyongyang yang dikatakannya sebagai anti imperialis. Indonesia tetap aktif dalam mengupayakan diselenggarakannya Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) di Jakarta pada awal tahun 1966. Dengan demikian Soekarno mengajak Indonesia ke dalam kubu kiri di dalam kancah internasional, berhadapan dengan kekuatan kapitalis Barat. Pimpinan Angkatan Darat di bawah Yani bersikap hatihati dalam menentang kebijakan politik Soekarno baik dalam maupun luar negeri. Mereka tidak terang-terangan menentang keputusan Soekarno untuk dekat dengan RRT dan kebijakan politik konfrontasinya dengan Malaysia dan dunia Barat. Secara diam-diam dan rahasia mereka melakukan tindakan-tindakan yang mensabotase berbagai kebijakan Soekarno. Para pendukung Soekarno, terutama yang berada di kalangan Angkatan Laut dan Angkatan Udara sering frustrasi karena sikap Angkatan Darat yang mengabaikan instruksi pelaksanaan kebijakan konfrontasi. Di antara tahun 1964 dan 1965, sekolompok perwira Angkatan Darat malahan menjalin hubungan rahasia dengan pihak Malaysia. Tujuannya adalah meyakinkan Malaysia bahwa pihak Angkatan Darat sedang mencari jalan untuk membatalkan kebijakan politik konfrontasi sehingga perang anta ke dua negara ini bisa dihindari9. Akan tetapi kekuatan Angkatan Darat sendiri juga pecah. Walaupun pimpinannya didominasi oleh kelompok anti-komunis, ada juga beberapa perwira tinggi yang memiliki kesungguhan mendukung Soekarno dan bersimpati pada PKI Pada bulanbulan Agustus dan September, mereka inilah yang mengambil inisiatif untuk menyingkirkan jendral-jendral anti komunis dengan kekerasan. Manifestasi rencana ini adalah gerakan yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. 9 Crouch, The Army And Politics In Indonesia, pp 74-76 367 Siauw Giok Tjhan Soekarno dan Siauw Berpalingnya Indonesia ke kubu negara-negara berhaluan kiri dan semakin dekatnya Soekarno dengan RRT menolong posisi Siauw dan Baperki. Dengan situasi politik demikian, Siauw berhasil mendorong dihilangkannya berbagai peraturan yang mendiskriminasikan golongan Tionghoa. Dan perjuangannya didukung secara terang-terangan oleh Soekarno dan PKI. hubungan Siauw dengan Soekarno juga menjadi lebih intim. Siauw sering diundang ke pertemuan-pertemuan makan-pagi di istana di mana berbagai hal penting dibicarakan dan diputuskan. Akses Siauw ke Soekarno mudah dan ia bisa setiap saat mengunjungi tempat kediaman pribadi Soekarno untuk membicarakan hal-hal yang dianggap mendesak. Seringnya ia mengunjungi Soekarno menyebabkan ia diberi izin oleh protokol istana untuk keluar masuk istana dengan pakaian sederhana dan dengan mengenakan sandal10. Secara politis, Siauw selalu mendukung kebijakan politik Soekarno. Sebagai timbal balik, Soekarno-pun selalu mendukung program-program Baperki dan memberi perlindungan politik yang diperlukan. Ia-pun menerima hampir semua usul-usul Siauw di DPA dan berbagai tempat pertemuan lainnya dan memasukkan konsep-konsep Siauw ke dalam pidato-pidatonya. Salah satu konsep Siauw yang dimasukkan ke dalam pidatopidato penting Soekarno berhubungan dengan penggunaan modal domestik, yang dimiliki oleh baik pedagang Tionghoa WNI maupun asing, untuk pembangunan Indonesia. Konsep ini sudah didengungkan oleh Siauw sejak tahun 50-an. Dalam pidato Soekarno yang dijuduli Banting Stir Untuk Berdikari, yang dibacakan dalam sidang MPRS pada tanggal 11 April 1965, konsep Siauw yang dibicarakan dalam salah satu rapat di DPA didengungkan oleh 10 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat in July 1994 and Fransisca Fanggidaj , November 1987 368 Akhir Hidup Baperki Soekarno11. Soekarno menyerukan:”... Kenapa kita mesti banting stir? Seperti kuperingatkan di dalam revolusi selalu ada dua macam kesalahan, yaitu reformisme dan phasensprong. Yang penyakit reformisme, terutama menghalang-halangi ekonomi sektor negara memegang dominasi dan menghalang-halangi landreform dijalankan secara konsekwen, dus menghalang-halangi revolusi nasional-demokratis. Yang phasensprong terutama tidak mau mengikut sertakan modal swasta dan modal domestik, mau me-negarakan segala sesebuah dan dengan demikian mau langsung ke sosialisme...”. Dalam pidato yang sama, Soekarno menegaskan:”...Kepada sekalian pembantuku, kepada MPRS dan DPRGR dan instansiinstansi kuserukan supaya benar-benar memeras otak untuk mengatasi gejala inflasi dan membuang peraturan-peraturan kolonial dan semi kolonial -- umpamanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh menteri perdagangan dan menteri perindustrian yang mengandung diskriminasi rasial dan praktis menutup pintu bagi modal domestik untuk menanam modal di bidang produksi -yang masih mengikat kaki-tangan kita dan menciptakan peraturanperaturan yang benar-benar nasional, yang bukan mempersulit kita sendiri, melainkan memudahkan usaha-usaha kita...”12. Konsep yang tertuang di dalam pidato Soekarno ini kemudian dimasukkan ke dalam Ketetapan MPRS No. VI/1965, pasal 13 yang mengharuskan: 1. Penggunaan funds and resources swasta termasuk modal nasional dan domestik yang progresif untuk pembangunan di bidang produksi 2. Diciptakannya iklim ekonomi yang favourable untuk menghilangkan semua peraturan yang menghambat dikeluarkannya berbagai izin dan fasilitas untuk produksi. 11 12 Wawancara dengan Utrecht in 1981 Soekarno, Banting Stir Untuk Berdikari , 11 April 1965 369 Siauw Giok Tjhan Siauw sangat mendukung kebijakan politik luar negeri Soekarno. Ia memuji Soekarno yang dikatakannya memiliki visi dan kesungguhan dalam melawan imperialisme. Dengan demikian, ia juga mendukung keputusan Soekarno untuk keluar dari PBB dan cenderung meletakkan lebih banyak harapan pada hasil-hasil CONEFO. Dengan sendirinya, Siauw sangat mendukung keputusan Soekarno untuk lebih dekat dengan RRT. Dalam hal ini, Siauw memainkan peranan yang cukup penting. Banyak pembicaraan antara pimpinan RRT dengan Soekarno dibicarakan melalui Siauw13. Siauw berharap hubungan baik ini juga akan mempercepat penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan. Ia mengeluh walaupun Perjanjian untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan itu telah ditanda tangani selama 6 tahun, pihak pemerintah Indonesia masih mengabaikan apa yang tertera di dalam Perjanjian itu. Siauw menyatakan bahwa masih banyak orang yang mengalami kesulitan dalam mendapati kewarganegaraan Indonesia walaupun status mereka sudah WNI: “ Banyak pengadilan-pengadilan daerah menolak lamaran untuk menjadi WNI berdasarkan alasan kurangnya dokumentasi yang membuktikan tempat kelahiran mereka yang melamar dan orang tuanya. Bilamana dokumentasinya ada, tapi ada kesalahan ejaan, permohonan mereka dihambat. Banyak pula permohonan untuk menjadi WNI ditolak karena mereka yang memohon pernah mendaftarkan diri sebagai orangorang yang ingin meninggalkan Indonesia sebagai akibat PP-10 pada tahun 1959. Di Sumbawa terdapat 270 orang, 200 di Bali dan 700 di Jakarta14. Siauw tetap mendesak pemerintah RI dan RRT untuk mengadakan pertemuan membicarakan penyelesaiannya sehingga masalah kewarganegaraan ini bisa segera diselesaikan. Sebenarnya pihak Duta Besar RRT, Yao Chung Ming sudah memberikan komitmen pada Siauw untuk mempercepat penyelesaiannya, akan tetapi 13 14 Wawancara dengan Go Gak Cho, Desember, 1989 Ibid. 370 Akhir Hidup Baperki usaha ini harus dihentikan dengan terjadinya G-30-S15. Siauw tidak pernah menghargai di-korupnya kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, ia secara diamdiam menentang tingkah laku Soekarno yang seperti Sultan ketimbang pemimpin besar revolusi. Ia terutama kecewa dengan penghamburan uang untuk proyek-proyek prestige di Jakarta. Ia juga kecewa dengan sikap para pemimpin yang mengelilingi Soekarno, termasuk Subandrio dan Chaerul Saleh16. Akan tetapi selama mereka mengisi kekuasaan dengan garis-garis politik yang menolong dicapainya tujuan politiknya, Siauw bersedia menerima kelemahan-kelemahan yang dihadapinya itu. PKI dan Siauw Seperti pimpinan PKI dan partai-partai politik lainnya, untuk mencapai tujuan politiknya, terutama yang berhubungan dengan mekanisme yang melindungi golongan Tionghoa, Siauw terpaksa harus dekat dengan Soekarno dan bersandar pada kebijakan dan kebijakan politiknya. Akan tetapi dengan demikian, Siauw mau tidak mau harus membawa Baperki dan dirinya sendiri ke dalam kubu politik yang didominasi oleh Soekarno dan PKI. PKI memang mendukung Baperki dalam berbagai bidang. Melalui Harian Rakyat-nya, kegiatan-kegiatan Baperki dan juga pidato-pidato Siauw Giok Tjhan dipuji dan didukung. Aidit sendiri sering menyatakan bahwa dalam hal golongan Tionghoa ia selalu mendukung pandangan-pandangan Siauw17. Dalam pidatonya yang dibacakan pada Kongres Baperki di Malang pada tanggal 12 Mei 1965, ia menyatakan bahwa ia menganggap Baperki sebagai alat revolusi yang baik dan oleh karenanya kawan seperjuangan PKI yang bisa selalu diandalkan. PKI, akan selalu membantu Baperki 15 Wawancara dengan Go Gak Cho 16 Yang dimaksud oleh Siauw adalah Subandrio dan Chaerul Saleh 17 Wawancara dengan Njoo King Ming, anggota CDB PKI Jawa Timur, Melbourne, Juni 1990 371 Siauw Giok Tjhan dalam melawan rasisme. Akan tetapi, dekat dengan PKI tidak berarti Siauw selalu menyetujui tindak tanduk PKI. Di dalam saat-saat terakhir zaman Demokrasi Terpimpin, telah terjadi beberapa konflik antara Siauw dan pimpinan PKI, terutama dengan Aidit sendiri. Pada tahun 1965, PKI aktif memobilisasi massa untuk menunjukkan kekuatannya di jalan-jalan. Demonstrasidemonstrasi di jalan-jalan ini memerlukan massa, transportasi dan dana. Massa yang diandalkan biasanya adalah pemuda-pemudi terutama pelajar-pelajar. Untuk inilah PKI berpaling ke Baperki untuk bantuan, terutama untuk berbagai kegiatan di Jakarta. Baperki memiliki banyak sekolah dan jumlah pelajar yang ditampung di sekolah-sekolah Baperki, berjumlah puluhan ribu. Tentunya ini merupakan massa yang oleh PKI dapat diandalkan turun ke jalan-jalan. Di samping itu, banyak anggota dan pendukung Baperki adalah pedagang-pedagang yang siap untuk memberikan sumbangan-sumbangan yang dianggap berguna untuk kepentingan mereka sendiri. Diantara pendukung Baperki, ada pula yang memiliki perusahaan bis yang cukup besar di Jakarta. Datanglah PKI kepada mereka untuk meminta bantuannya, melalui tokohtokoh Baperki. Kalau ada jumlah demonstran dibutuhkan dari luar kota untuk memeriahkan acara-acara PKI, orang-orang Baperki yang juga dimintai bantuan untuk memberikan tempat dan biaya penampungan. Ketika PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya mengadakan latihan militer, banyak pemuda-pelajar Baperki turut berpartisipasi. Diantara ratusan pemuda yang dilatih di Lubang Buaya di mana 6 Jendral Angkatan Darat dibunuh dan ditanam, pada waktu peristiwa G-30-S terjadi, terdapat juga beberapa pelajar-mahasiswa Baperki. Banyak pengaturan yang digambarkan di atas dibuat oleh pimpinan Baperki yang juga menjadi anggota PKI dan organisasiorganisasi-nya, seperti LEKRA dan CGMI. Siauw-pun sering tidak mengetahuinya. Ia sering kecewa dengan pernyataan-pernyataan 372 Akhir Hidup Baperki PKI yang mengklaim massa Baperki sebagai massa-nya sendiri. Ia selalu menyatakan bahwa Baperki bukan organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Massa Baperki bukanlah massa PKI. Oleh karenanya ia sering menegur kader-kader Baperki yang bertindak dengan pengertian penggunaan massa Baperki untuk acara-acara PKI adalah lumrah dan harus dijalankan. Dorongan untuk mendekatkan Baperki dengan PKI sering timbul dari dalam Baperki sendiri. Pada bulan Maret 1965 misalnya, beberapa pemimpin dewan Mahasiswa URECA (Universitas Respublica) berencana untuk memobilisasi para mahasiswa URECA untuk membantu PKI dan CGMI yang mau mengadakan demonstrasi pada tanggal 13 Maret untuk menentang diputarnya film-film Amerika. Program demonstrasi ini berbarengan dengan acara ulang tahun Baperki yang dengan sendirinya memerlukan kehadiran massa Baperki. Melalui Go Gien Tjwan, Siauw menginstruksikan semua mahasiswa Baperki untuk turut menghadiri acara perayaan Baperki dan tidak memeriahkan acara yang diatur oleh PKI.18. Kritik-kritik Siauw terhadap pimpinan PKI ternyata disampaikan pada Aidit sendiri. Pada bulan September, Aidit menyatakan pada Go Gien Tjwan bahwa kader-kader Baperki yang belajar di URECA telah didisiplin untuk memberi prioritas pada kepentingan Baperki dan PKI berjanji untuk tidak menggunakan fasilitas-fasilitas-nya tanpa berkonsultasi dengan pimpinan Baperki19. Akan tetapi arus di kalangan pemuda Baperki untuk menjadi anggota dari CGMI dan Pemuda Rakyat cukup kuat. Bagi mereka, sikap Siauw dianggap kurang militan, bahkan konservatif. Walaupun demikian, dominasi Siauw dalam Baperki masih cukup kuat dan pada umumnya apa yang ia instrusikan dijalankan dengan penuh kepatuhan20. Walaupun Siauw tidak pernah mengkritik pimpinan PKI di 18 19 20 Wawancara dengan Go Gien Tjwan in December 1990 Wawancara dengan Go Gien Tjwan in December 1990 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, Tan Tjin Siang and a number of former Baperki’s activists 373 Siauw Giok Tjhan depan umum, ia sering berbicara tentang kelemahan-kelemahan mereka dengan beberapa teman dekatnya. Menurutnya, PKI sudah berubah menjadi partai yang lebih mementingkan posisi daripada perjuangan pokoknya. Tokoh-tokoh dan kader-kader tinggi PKI ternyata lebih tertarik untuk memegang posisi-posisi di DPRGR, MPRS, kabinet dan di berbagai instansi dan institusi pemerintah. Kalau sementara anggota Baperki yang telah masuk PKI dan para organisasi politik yang bernaung di bawah PKI menganggap Siauw sebagai seorang yang konservatif, Siauw bersikap bahwa para tokoh yang bersikap demikian sudah tidak lagi mewakili partai dan organisasinya. Banyak anggota PKI yang menjadi anggota badan-badan legislatif dan eksekutif, menurut Siauw cenderung lebih senang menjalankan tugas-tugas kantornya yang memberikan berbagai fasilitas. Pada hari ulang tahun PKI yang ke 45, Siauw mengkritik Aidit yang datang ke acara itu dengan pakaian menteri. Siauw berkata padanya:”... Kau datang ke sini sebagai ketua PKI bukan sebagai menteri negara. Seharusnya kau tidak mengenakan pakaian menteri...”. Aidit cukup marah dengan teguran Siauw itu, tetapi tidak menjawabnya21. Untuk mempertahankan image bahwa Baperki tidak berada di bawah naungan PKI, Siauw lebih sering menginstruksikan kader-kadernya untuk tidak mencampuri-baur kegiatan-kegiatan organisasi dan penggunaan massa dan fasilitas Baperki untuk kegiatan PKI. Lama-kelamaan, ini menimbulkan konflik antara mereka yang mendukung Siauw dengan mereka yang sudah masuk PKI dan ingin lebih banyak mendorong Baperki untuk mendukung PKI dalam acara-acara umum ini. Tetapi bilamana konflik ini sampai ke tangan Siauw, keputusannya selalu didasari atas pertimbangan politik. Siauw menyatakan bahwa yang Baperki dukung adalah program politik Soekarno. Bilamana ada konflik antara program 21 Wawancara dengan Siauw and verified by Oei Tjoe Tat July 1990. 374 Akhir Hidup Baperki PKI dan Soekarno, Baperki akan mendukung program Soekarno22. Beberapa minggu sebelum terjadinya peristiwa G-30-S tersebar desas-desus di kalangan Baperki terbatas bahwa Aidit menginginkan Liem Koen Seng untuk mengambil alih pimpinan Baperki dari tangan Siauw Giok Tjhan. Liem, pada waktu itu sudah menjadi anggota PKI. Akan tetapi Liem sangat menghargai Siauw dan usaha semacam itu dapat dipastikan ditolak oleh sebagian besar pimpinan Baperki lainnya. Yang jelas, para kader tinggi Baperki tetap menginginkan Siauw memegang tampuk pimpinan tertinggi Baperki23. Walaupun ada tanda-tanda bahwa hubungan Siauw dan Aidit ada kerenggangan sebelum peristiwa G-30-S, hubungan Siauw dengan Njoto dan Lukman tetap dekat. Njoto masih cukup sering berkunjung ke rumah Siauw. Selain berhubungan baik dengan PKI, Baperki juga berhubungan erat dengan berbagai partai politik lainnya, terutama dengan Partindo. Seperti yang dituturkan sebelumnya, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menjadi pimpinan Partindo. Hubungan baik juga digalang dengan Perti dan PSII. Nja Diwan, ketua Perti duduk di dalam Dewan Penasehat Baperki dan kerap mengunjungi rumah Siauw. Sudibjo, pemimpin PSII dan sekretaris Jendral Front Nasional sering datang ke acara-acara Baperki dan selalu menyatakan dukungannya. Satu aspek penting dari sikap politik Siauw di saat-saat terakhir zaman Demokrasi Terpimpin adalah dipertahankan prinsipnya untuk tetap berhubungan baik dengan para tokoh yang di”retooled” oleh Soekarno dan PKI. Walaupun tokoh-tokoh Murba diserang dan dipojokkan oleh PKI, Siauw tetap berhubungan baik dengan Adam Malik, Sukarni dan Pandu. Siauw-pun menolak untuk mengikuti jejak PKI dalam mengutuk Murba dan mengecam para tokohnya. 22 23 Wawancara dengan Tan Tjin Siang, July 1989 dan Phoa Thoan Hian, December 1993 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Tan Tjin Siang, Ny. Lie Tjwan Sien dan Oei Tjoe Tat 375 Siauw Giok Tjhan Adam Malik tetap duduk sebagai anggota Dewan Penasehat Baperki pada waktu Murba secara resmi dibubarkan. Keputusannya untuk tidak meninggalkan Adam Malik ketika ia dan kelompoknya sedang dalam kesusahan ternyata membantu Siauw dalam mengurangi penderitaannya sebagai tahanan politik setelah November 1965. Adam Malik kerap, secara diam-diam, membantu Siauw di tahanan, terutama dalam melakukan pemeriksaan kesehatan di RSPAD. Peristiwa G-30-S Pada bulan September 1965, PKI masih belum berhasil menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Kekuatannya masih terbatas pada kemampuan dalam memobilisasi massa di jalanjalan. Walaupun demikian, keseganan terhadap PKI ada karena Soekarno selalu mendukungnya. Belakangan, pimpinan Angkatan Udara, beberapa perwira tinggi Angkatan Laut dan Angkatan Darat juga menujukkan simpati mereka terhadapnya. Akan tetapi, dukungan ini tidak cukup untuk mewujudkan keinginan PKI untuk membentuk Angkatan ke 5. Pada pertengahan tahun 1965, desas-desus beredar bahwa sebuah Dewan Jendral sedang mempersiapkan diri untuk mendongkel Soekarno. Desas-desus semacam ini ditambah dengan memburuknya kesehatan Soekarno menyebabkan pimpinan PKI panik. Pada awal bulan September terdengar juga desas-desus bahwa pihak Angkatan Darat akan menjalankan kudeta pada hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Pasukan-pasukan dalam jumlah yang besar memang sedang berdatangan ke Jakarta dalam rangka perayaan hari Angkatan Bersenjata itu. Khawatir dengan perkembangan situasi ini, Aidit dibantu oleh Syam, kepala Biro Khusus PKI, mengambil keputusan untuk mendahului “rencana” Angkatan Darat itu dengan menculik jendraljendral Angkatan Darat yang dianggap anti-komunis. Lahirlah gerakan yang dinamakan Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, anggota Cakra Birawa, pasukan 376 Akhir Hidup Baperki pengawal Presiden Soekarno. Pada tanggal 1 Oktober 1965 - di pagi hari, pasukan-pasukan yang dikoordinasi oleh G-30-S ini menyerang rumah-rumah 7 jendral-jendral. Mereka berhasil menculik semua jendral kecuali jendral Nasution yang berhasil meloloskan diri. Tiga diantaranya, termasuk Jendral Yani tewas dalam proses penculikan. Mereka semua dibawa ke daerah Halim, Markas Angkatan Udara dan yang masih hidup kemudian dibunuh. Semua mayat korban dimasukkan ke dalam sumur di daerah yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Pasukan-pasukan G-30-S berhasil menguasai RRI dan pusat telekomunikasi di Jakarta. Mereka juga mengepung Istana Merdeka. Pada pukul 7:15 pagi - 1 Oktober, Gerakan itu mengumumkan di radio bahwa G-30-S telah berhasil menangkap para anggota Dewan Jendral yang berencana untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Dinyatakan juga bahwa Presiden Soekarno berada dalam keadaan aman dan dilindungi oleh G-30-S. Pada pukul 11 pagi pada hari yang sama, siaran radio yang lain diumumkan oleh G-30-S. Mereka mengumumkan telah dibentuknya Dewan Revolusi yang mengambil alih pemerintahan sampai dilaksanakannya pemilu. Pada pukul 2 siang, nama-nama para anggota Dewan Revolusi, yang terdiri dari 45 anggota ini diumumkan. Di dalamnya terdapat Wakil-Wakil Perdana Menteri Subandrio dan Leimena. Juga terdaftar sekitar 20 perwira tinggi Angkatan Bersenjata. Siauw Giok Tjhan juga dicantumkan sebagai satu-satunya anggota peranakan Tionghoa. Di kemudian hari diketahui bahwa banyak anggota yang didaftar dalam Dewan Revolusi, termasuk Siauw, tidak pernah dikonsultasi atau diberi tahu tentang keanggotaannya. Siauw mendengar tentang adanya G-30-S pada pukul 7:30 pagi dari Sunito, anggota DPRGR dari Partindo yang mengunjungi rumahnya dalam perjalanan menuju ke kantor. Siauw pergi ke kantor DPRGR seperti biasa, tetapi tidak mendapatkan berita apaapa. Siangnya, ia memberi ceramah di KOTOE (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi) yang selesai sekitar pukul 7 malam. Pada pukul 377 Siauw Giok Tjhan 9 malam, ia diberitahu oleh para informan-nya bahwa Jendral Suharto, Komandan KOSTRAD telah mematahkan kekuatan G-30-S dan pimpinan G-30-S sudah melarikan diri. Siauw melihat keterlibatan pimpinan PKI di dalam gerakan ini sebagai sebuah kesalahan besar yang fatal. Ia beranggapan bahwa pimpinan PKI tidak perlu mengambil inisiatif menyerang pimpinan Angkatan Darat, karena iklim politik baik di dalam negeri maupun di luar negeri cukup favourable bagi aliansi Soekarno-PKI. Secara politis, pihak Angkatan Darat sudah berada dalam posisi defensif. Siauw juga menyesalkan adanya gerakan yang tidak memperoleh persiapan dan petunjuk yang baik. Yang paling ia kecam adalah sikap pimpinan PKI yang memulai gerakan dan segera melarikan diri ketika berhadapan dengan krisis24. Dalam beberapa minggu setelah G-30-S dihancurkan, Soeharto berhasil mengkonsolidasi kekuatan militernya. Pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat dalam waktu singkat dimenangkan oleh Angkatan Darat dan Soeharto dengan cekatan mengambil alih kekuasaan politik dari tangan Soekarno. Walaupun Soekarno tetap menjadi Presiden sampai tahun 1967, kekuasaannya sedikit demi sedikit direnggut oleh Soeharto. Tidak tahunya Siauw tentang adanya G-30-S ini jelas terlihat dari terlambatnya ia dalam mengeluarkan pernyataan. Pimpinan PKI yang langsung terlibat telah mengeluarkan pernyataan dalam mendukung G-30-S pada tanggal 2 Oktober, melalui Harian Rakyatnya. Siauw menunggu sampai Soekarno mengeluarkan pernyataan pertamanya pada tanggal 3 Oktober. Esoknya, Baperki menyatakan bahwa Siauw tidak terlibat dalam G-30-S dan tidak tahu menahu tentang dicantumkan namanya di dalam Dewan Revolusi. Siauw mengikuti sikap Soekarno dalam menyatakan bahwa peristiwa G-30-S ini merupakan urusan intern Angkatan Darat. 24 Wawancara dengan Siauw, RTM, 1972 378 Akhir Hidup Baperki Akibat Peristiwa G-30-S Pada tanggal 4 Oktober, jenazah 6 jendral diketemukan di Lubang Buaya. Penemuannya di pancarkan melalui TV dan disebar luaskan dengan cerita tentang bagaimana mereka disiksa dan dimutilasi sebelum jenazahnya dikubur dalam sumur tua di Lubang Buaya. Yang ditekankan adalah kekejaman para anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani yang terlibat dalam G-30-S. Pada tanggal 5 Oktober, mereka dikubur di Taman Pahlawan Kali Bata dengan upacara resmi negara. Dengan latar belakang ini Soeharto, didukung oleh Nasution bergerak cepat menghancurkan PKI dan semua organisasi massa yang berafiliasi dengannya. Yani dan orang-orang yang dekat dengannya sebelum peristiwa G-30-S cenderung menghindari konfrontasi dengan Soekarno. Hilangnya mereka dari pimpinan Angkatan Darat berarti Soekarno harus berhadapan dengan kelompok pimpinan baru. Pada tanggal 2 Oktober, Soeharto dan kelompoknya menolak menerima penunjukkan Jendral Pranoto oleh Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Yani. Pembangkangan Soeharto terhadap Soekarno yang paling jelas berkaitan dengan pembubaran PKI. Soeharto memobilisasi pasukannya di seluruh Indonesia untuk menangkapi para anggota PKI dan simpatisannya. Gedung-gedung PKI dan organisasiorganisasi kiri lainnya diserang, di bakar dan dirusak. Pimpinan Angkatan Darat juga mendorong para anggota NU, HMI dan Partai Katolik untuk membersihkan masyarakat dari elemen-elemen komunisme. Dorongan ini lalu berubah menjadi gerakan yang dengan Sistematis membunuh ratusan ribu orang yang dituduh anggota PKI dan simpatisannya Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Aceh. PKI dan para organisasi massanya, tanpa pemimpinnya harus menerima nasib dibantai, ditangkap dan disiksa tanpa mampu memberi perlawanan. Organisasi anti komunis yang menuntut dibubarkannya PKI dan para organisasi massanya, juga menuntut dibubarkannya Baperki 379 Siauw Giok Tjhan yang mereka tuduh sebagai cukong PKI. Tidak sulit bagi mereka untuk menunjukkan bahwa Baperki telah memberi banyak bantuan pada PKI dalam menyelanggarakan berbagai demonstrasi PKI dan oleh karenanya, bagi mereka Baperki tidak berbeda dengan Pemuda Rakyat, CGMI dan BTI. Disamping itu, Baperki juga dianggap sebagai organisasi pro RRT yang dituduh terlibat dalam G30S. LPKB menggunakan kesempatan ini untuk aktif berkampanye membubarkan Baperki. Mereka menyatakan bahwa Baperki tidak mengutuk G-30-S dan tidak berduka cita atas tewasnya para Jendral Angkatan Darat. Mereka mendorong semua orang Tionghoa untuk meninggalkan Baperki yang dinyatakan sebagai aliansi PKI dan RRT. Sebagai akibat dari seruan LPKB, sampai pada tanggal 3 Desember, 25 cabang Baperki telah dibubarkan atau membubarkan diri di seluruh Indonesia25. Pada tanggal 15 Oktober, gedung URECA diserang oleh ribuan mahasiswa dan pemuda. Gedung-gedungnya dibakar dan dirusak. Mahasiswa-mahasiswa URECA mencoba melindungi gedunggedung dari serangan, tetapi jumlah mereka terlampau sedikit. Setelah bertahan selama 1 jam, sebagian besar gedung-gedung URECA dibakar. Siauw sendiri mendorong Soekarno untuk bertindak menghentikan pengrusakan ini. Ia berhasil menemui Soekarno di istana dan dengan helicopter, Soekarno dan Siauw menyaksikan pembakaran gedung-gedung URECA. Soekarno tidak berdaya mencegahnya. Akan tetapi ia masih sempat menginstruksikan pengawalan tempat kediaman Siauw supaya tidak dibakar pula. Jalan di mana rumah Siauw terletak di tutup dan pengawalan disekitarnya cukup ketat26. Pembakaran URECA sangat memukul Siauw. Berdiri di atas puing-puing bangunan yang dibangun atas jerih payah para mahasiswanya, dan dikelilingi oleh ratusan mahasiswa yang 25 26 Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, pp 56-57 Wawancara dengan Siauw, RTM, 1972 380 Akhir Hidup Baperki dengan penuh kesungguhan dan keberanian mencoba melindungi universitasnya, Siauw mengucurkan air matanya. Ia berjanji untuk membangun lagi universitas ini. Akan tetapi, gerakan anti-Baperki tidak berhenti di situ saja. Di luar Jakarta, banyak anggota Baperki dikejar dan ditangkap. Yang menjadi anggota PKI, Pemuda Rakyat dan CGMI ditangkap terlebih dahulu. Sebagian besar dari para anggota Baperki dan simpatisannya tidak ditangkap, tetapi dijadikan korban pemerasan oleh penguasa militer. Pimpinan Baperki mengadakan beberapa pertemuan untuk menganalisa sitiuasi dan mencari jalan keluar. Beberapa orang menganjurkan Siauw dan para pemimpin lainnya untuk mengikuti jejak para pemimpin PKI, Pemuda Rakyat dan lain-lainnya, melarikan diri. Siauw dengan tegas menolak usul ini. Sebagai seorang legalist, ia beranggapan, Baperki tidak bersalah, oleh karena itu, ia sebagai ketuanya tidak boleh melarikan diri. Melarikan diri, menurutnya memperkuat prasangka bahwa Baperki bersalah. Selain itu, Ia menyatakan bahwa ia siap mempertanggung jawabkan semua kebijakan dan keputusan politik Baperki, sehingga para anggota dan pendukung Baperki lepas dari pengejaran dan penangkapan massal. Ia mengirim adiknya, Giok Bie, ketua Baperki Jawa Timur, yang kebetulan berada di Jakarta pada waktu itu, untuk pulang ke Jawa Timur membereskan organisasinya. Ia-pun mendorong para pimpinan Baperki bersikap demikian, tidak melarikan diri dan siap membela para anak buahnya. Akan tetapi, ia menganjurkan pada semua anggota Baperki untuk mencoba sekuat tenaga menghindari penangkapan27. Go Gien Tjwan ingat ada beberapa pemimpin Baperki yang tidak setuju dengan Siauw dan tetap melarikan diri. Siauw juga menolak tawaran para mahasiswa Baperki yang memiliki senjata dan pernah dilatih untuk mengawalnya. Di dalam dua minggu pertama di bulan Oktober, ia tetap menjalankan 27 Wawancara dengan Go Gien Tjwan, Siauw Giok Bie and Tan Tjin Siang, Desember 1988 381 Siauw Giok Tjhan tugasnya baik di DPRGR maupun di KOTOE. Rumah Siauw berkali-kali diserang oleh KAMI dan KAPPI. Tetapi, ia beruntung, karena rumahnya tidak dibakar. Hanya digeledah dan ratusan buku-bukunya dirampas. Tembok rumahnya dipenuhi oleh coretan-coretan yang menggambarkannya sebagai cukong PKI yang harus diganyang. Pada pertengahan bulan Oktober 1965, bersama Go Gien Tjwan, Siauw mengunjungi Subandrio, Chaerul Saleh, Adam Malik dan beberapa menteri senior lainnya untuk melindungi posisi Baperki. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan-tindakan melindungi Baperki. Siauw juga mendorong pemerintah untuk mengadilinya, sehingga ia bisa membersihkan nama Baperki. Akan tetapi, Indonesia sedang dalam keadaan kacau balau. Subandrio dan para menteri lainnya tidak lagi mempunyai pengaruh politik. Mereka sendiri-pun berada dalam keadaan yang sangat lemah28. Siauw tidak berdaya melindungi masyarakat Tionghoa yang juga dijadikan target serangan massa dan penguasa militer. Walaupun jumlah orang Tionghoa yang dibunuh secara relatif rendah, tetapi mereka tetap mengalami serangan-serangan berupa dirusaknya toko-toko serta rumah-rumah milik mereka. Terkadang, mereka juga mengalami siksaan-siksaan fisik. Kerusuhan yang paling berat dialami oleh penduduk Tionghoa di Makasar dan Medan. Di Makasar toko-toko, dan rumah-rumah 2000 keluarga dirusak dan rampok. Di Medan selain kerusakan benda, 200 orang Tionghoa tewas di dalam kerusuhan rasial29. Pada tanggal 4 November 1965, sekelompok tentara datang ke rumah Siauw dan setelah menggeledah rumahnya, mereka menahan Siauw. Pada bulan Januari 1966, ia dipecat dengan hormat dari DPRGR, MPRS and DPA. Soekarno berusaha keras untuk mengembalikan sisitim yang sedang dihancurkan Soeharto. Akan tetapi, dengan tidak adanya 28 29 Wawancara dengan Go Gien Tjwan Coppe,l Indonesian Chinese in Crisis, pp60-61 382 Akhir Hidup Baperki PKI, ia sangat terisolasi dan tidak mempunyai kekuatan maupun pengaruh politik lagi. Walaupun demikian, ia tetap tidak mau mengutuk PKI dan tetap mempertahankan prinsip Nasakom-nya. Menjelang Januari 1966, jalan-jalan di Jakarta dan Bandung dikontrol oleh para mahasiswa-pelajar dan pemuda yang dipengaruhi oleh golongan kanan. Mereka tetap menginginkan PKI dibubarkan dan Subandrio serta para menteri yang berhaluan kiri dipecat. Akan tetapi Soekarno tetap melindungi PKI dan para tokoh kiri. Jendral Supardjo yang terlibat G-30-S dilindunginya di istana Bogor. Omar Dhani, Kepala Staf Angkatan Udara juga dilindungi dengan cara yang sama. Di dalam sebuah pertemuan kabinet yang diadakan pada bulan Desember 1965, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk membebaskan Siauw Giok Tjhan dari tahanan. Sebuah perintah yang tidak pernah ditanggapi oleh Soeharto30. Pada tanggal 21 Februari 1966, Soekarno me-reshuffle kabinetnya. Nasution digeser, demikian juga beberapa menteri yang anti-komunis. Para menteri kiri ternyata tetap dipertahankan oleh Soekarno, termasuk, Subandrio, Omar Dhani, Setiadi Reksoprodjo dan Oei Tjoe Tat. Soekarno juga memasukkan menteri-menteri baru, terdiri dari orang-orang yang dianggap bisa mendukungnya, termasuk Jendral Mursid, Jendral Hartono, Laksamana Udara Herlambang and Komodor Mulyadi. Kabinet baru ini jelas menunjukkan bahwa Soekarno bermaksud melawan pimpinan Angkatan Darat. Akan tetapi, ia berada di pihak yang lemah. Pada tanggal 11 Maret 1966, pimpinan Angkatan Darat berhasil memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif ke Jendral Soeharto. Penyerah-terimaan kekuasaan eksekutif ini dikandung dalam apa yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Pada tanggal 12 Maret, Soeharto mengeluarkan instruksi yang meresmikan pembubaran PKI dan para organisasi massa lainnya, termasuk Baperki. Beberapa hari kemudian Subandrio, Omar Dhani, Chaerul Saleh, Setiadi, Sumardjo 30 Wawancara dengan Oei Tjoe Tat. Siauw mendengar sendiri tentang ini dari Sumardjo di Nirbaya pada tahun 1972. 383 Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat ditangkap. Berakhirlah eksistensi Nasakom di dunia politik Indonesia. Pada waktu itu, Baperki telah dibubarkan. Para pemimpin senior organisasinya ditahan. Universitasnya telah dibangun kembali dengan nama Trisakti dan diubah komposisinya. Tokoh-tokoh LPKB menjadi pimpinan Yayasan Universitas Trisakti. Sekolahsekolah Baperki diambil alih oleh Departemen Pendidikan – dijadikan sekolah-sekolah negeri. Dosen-dosen serta guru-guru yang berhaluan kiri dipecat. Siauw sendiri harus meringkuk dalam tahanan selama 12 tahun mendatang. 384 Zaman Orde Baru BAB 15 ZAMAN ORDE BARU Tahanan Politik (Tapol) Pada tanggal 4 November 1965, sekitar pukul 2 pagi, dua truk yang dipenuhi dengan tentara tiba di rumah kediaman Siauw. Mereka menggedor pintu dan menyatakan ingin menggeledah rumahnya. Isteri dan anak-anaknya, termasuk penulis, terbangun pula. Sejak peristiwa G-30-S, rumah Siauw memang sudah berkalikali didatangi rombongan pemuda dan tentara yang melakukan penggeledahan rumah. Pada umumnya dilakukan pada siang hari bolong. Dalam salah satu penyerangan, dinding rumah Siauw dipenuhi corat-coret yang berbunyi: Baperki cukong PKI, Ganyang Baperki, Ganyang Siauw Giok Tjhan. Jadi kejadian malam itu bukanlah hal yang mengejutkan lagi. Bahkan, seminggu sebelum kejadian ini, ada-pula serombongan tentara yang datang untuk mencari salah seorang putera Siauw, Siauw Tiong Tjing yang sebulan sebelumnya sudah berangkat ke RRT untuk meneruskan studi-nya di Universitas Qing Hua di Beijing. Siauw Tiong Tjing pernah sebentar belajar di fakultas teknik URECA dan aktif di CGMI di kampus URECA. Dari teman-teman Tiong Tjing yang kemudian ditahan bersama Siauw di Salemba, Siauw ketahui bahwa ketika teman-teman CGMI ini diinterogasi di penjara, mereka memang sengaja melimpahkan banyak hal ke Tiong Tjing yang diketahui sudah keluar negeri. Dicari-lah Siauw Tiong Tjing oleh pihak penguasa militer. Akan tetapi ketika Siauw menyatakan bahwa Tiong Tjing sudah pergi ke Tiongkok, rombongan tentara yang ditugaskan untuk menahan Tiong Tjing tersebut, tidak menggeledah rumah. Mereka menerima penjelasan Siauw dan pergi tanpa ribut-ribut. Memang salah satu kemahiran Siauw adalah menenangkan para demonstran yang siap menyerbu rumahnya. Corat coret yang 385 Siauw Giok Tjhan disinggung terjadi karena Siauw tidak ada di rumah. Dalam serbuanserbuan lain, Siauw di rumah. Dengan tenang dan berwibawa, ia selalu bisa meyakinkan para demonstran untuk tidak melakukan pengrusakan apa-apa. Yang dilakukan adalah penggeledahan dan pengambilan buku-buku. Kali ini, mereka masuk dan membongkar berbagai lemari, ranjang dan menarik keluar semua buku dari rak-rak buku di seluruh rumah. Ternyata mereka-pun datang dengan beberapa gerobak yang disiapkan untuk membawa buku-buku. Ratusan buku Siauw diambil oleh mereka. Setelah menggeledah sekitar 2 jam, kepala rombongan tersebut menyatakan ke Siauw untuk ganti pakaian dan bersiap diri untuk dibawa ke sebuah markas militer untuk memberi berbagai penjelasan. Permintaan dilakukan dengan sopan. Dengan tenang Siauw-pun bertanya apakah mereka memiliki surat perintah penahanan yang ia bisa lihat. Jawabannya tidak ada. Ketika ia bertanya mau dibawa ke mana, tidak ada jawaban yang diberikan. Dengan tenang Siauw-pun bersiap. Setelah bersalaman dengan istri dan anak-anak-nya sambil berkata:” ... Tidak usah khawatir, tidak apa-apa...”, ia masuk ke dalam pick-up yang sudah menantikan di halaman rumah. Sekitar pukul 4 pagi, berangkatlah rombongan tentara tersebut. Isteri dan anak-anaknya tentu khawatir karena sudah sering didengar cerita tentang tokoh politik yang dibawa oleh serombongan tentara dan kemudian hilang, tidak diketahui nasibnya. Apalagi tentara yang membawa-nya tidak mau memberi tahu di mana Siauw akan dibawa. Putera Siauw, Siauw Tiong Hian bergegas mengikuti rombongan tersebut dengan sepeda motor. Pada waktu itu sebenarnya berlaku jam malam, tetapi ia tidak memperdulikannya. Ia berhasil mengetahui kemana Siauw dibawa, yaitu ke daerah lapangan Banteng, yang kemudian oleh keluarga diketahui sebagai tempat yang dinamakan LIDIKUS (Penyelidikan Khusus lapangan Banteng. Tempat itu berdampingan dengan sebuah markas KODAM, tetapi 386 Zaman Orde Baru gedungnya terlihat tua dan tidak terurus. Pada pukul 7 pagi, isteri Siauw, Tan Gien Hwa berhasil menemui komandan yang mengepalai tempat itu dan diizinkan menemui Siauw sebentar. Tan, yang sudah mengalami hidup dengan Siauw yang ditahan di berbagai zaman, sudah berpengalaman. Ia membawa pakaian dan makanan untuk disampaikan ke Siauw. Tempat itu tampak padat – mungkin menampung seratus tahanan. Siauw ditaruh di sebuah kamar besar, di mana terdapat belasan tahanan. Semua tidur di atas lantai – hanya dengan tikar. Penulis yang waktu itu baru berusia 9, diperkenankan masuk melihat kamarnya. Siauw di sana selama sebulan. Pertemuan dengannya diperkenankan seminggu sekali dan ia diperkenankan menulis surat ke keluarga dan menerima surat dari keluarga seminggu sekali. Makanan boleh dikirim setiap hari. Tempat yang bisa dikatakan “run down” – tak terurus ini, penuh sesak dengan tahanan. Tempat meneduh-pun terbatas, sehingga para tahanan, di siang hari digilir berteduh. Mereka yang tidak dapat berteduh harus berdiri di tengah hari bolong di bawah terik matahari atau hujan. Tidak lama setelah Siauw ditahan, beberapa tokoh Baperki lainnya juga ditahan, termasuk Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng dan Lie Tjwan Sien. Mereka ditahan di tempat yang sama. Isteri Lie Tjwan Sien, Go Tjoe Nio, yang menjadi sekretaris Jendral Baperki pusat-pun ditahan, di tempat penahanan yang berbeda. Pada minggu-minggu pertama, dilakukanlah pemeriksaan. Oleh tim pemeriksa, Siauw diberi tahu bahwa ia berada di tempat itu dalam rangka “di-aman-kan” dari kemarahan Rakyat. Bukan ditahan. Pemeriksaan-pemeriksaan sering dilakukan di tempat lain, bukan di tempat tahanan tersebut. Dalam salah satu pemeriksaan, Go Tjoe Nio dan Siauw diperiksa bersama. Go Tjoe Nio teringat bagaimana Siauw dengan tenang menjawab semua pertanyaan dan memperlihatkan kewibawaan di atas angin. Ia-pun teringat bagaimana dengan tenang Siauw 387 Siauw Giok Tjhan menyatakan ke tim pemeriksa bahwa semua kebijakan dan pelaksanaan garis politik Baperki datang dari dirinya, sehingga sebaiknya semua pertanyaan yang berkaitan dengan Baperki ditujukan ke dirinya saja dan semua tokoh Baperki lainnya dibebaskan1. Ternyata, permintaan yang ia lakukan di berbagai pemeriksaan ini tidak digubris. Cukup banyak tokoh Baperki yang tetap meringkuk di penjara untuk jangka waktu lama. Setelah di LIDIKUS sebulan, Siauw dan banyak tokoh politik lainnya dipindah ke tempat penahanan yang dulunya adalah gedung sebuah universitas yang dinamakan Universitas Rakyat – UNRA, di daerah Kramat. Entah mengapa, keluarga tidak diizinkan mengirim makanan langsung ke UNRA. Pengiriman makanan tetap dibawa ke LIDIKUS-Lapangan Banteng, untuk kemudian dibawa ke UNRA. Pertemuan keluarga juga tetap dilakukan di LIDIKUS. Para tahanan di bawa dengan pick-up atau bis ke LIDIKUS untuk bertemu dengan keluarganya. Sampai saat itu, pertemuan lebih jarang, hanya sebulan sekali. Tetapi surat menyurat dengan Siauw masih diizinkan. Pada bulan Maret 1966, Siauw dengan beberapa tokoh Baperki lainnya, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng dan Lie Tjwan Sien dipindah ke penjara terbesar di Jakarta, Salemba, di mana sudah tertampung ribuan tahanan politik. Setiap tapol yang berada di Salemba diberi nomor tahanan. Nomor tahanan Siauw adalah 2371, kemungkinan berarti ia adalah tahanan yang ke 2371 ketika memasuki penjara Salemba. Seorang tokoh PKI yang juga ditahan di sana, Tjoo Tik Tjoen memiliki nomor tahanan 2373, masuk ke Salemba pada waktu yang bersamaan. Pada waktu bertemu untuk pertama kalinya dengan Siauw di Salemba, Siauw memperingati Tan Gien Hwa, masuknya ia ke Salemba berarti ia masuk dalam kategori tahanan tetap dan akan meringkuk di sana untuk jangka waktu lama. Rupanya, para tahanan yang masih dalam proses disaring, berkeliaran di luar penjara-penjara besar seperti Salemba, Tanggerang dan Cipinang. 1 Wawancara dengan Go Tjoe Nio, Amsterdam, Desember 1989 388 Zaman Orde Baru Setelah dipastikan akan ditahan untuk jangka waktu lama, mereka dipindah. Yang dianggap tokoh dan cendekiawan, cenderung dikirim ke Salemba. Yang muda dengan fisik kuat, cenderung dikirim ke Tanggerang. Yang harus diadili dipindah ke RTM – Rumah Tahanan Militer di Lapangan Banteng. Para mantan menteri yang ditahan setelah SUPERSEMAR 1966, ditahan di sebuah tempat tahanan elite, di Nirbaya, dekat bandara udara Halim. Rumah-rumah penjara yang disinggung semua penuh sesak. Salemba adalah penjara yang dibangun oleh Belanda di awal abad ke 20. Ia dibangun untuk menampung sekitar 1000 tahanan. Ketika Siauw masuk pada bulan Maret 1966, jumlah tahanan yang ditampung sekitar 3000-an. Dalam waktu singkat, ini meningkat melebihi 4000-an tahanan. Penjara-penjara yang lain-pun demikian. Hal ini terjadi karena penguasa militer yang dipimpin oleh Soeharto selain membantai sejuta orang, juga menangkapi ratusan ribu orang yang dituduh PKI dan simpatisannya. Dalam 12 bulan pertama, penguasa menahan 600.000 sampai 750.000 tahanan politik2. Keadaan buruk yang tergambar di atas itu berlangsung selama 12 bulanan dan baru membaik setelah jumlah tahanan berkurang menjelang akhir tahun 1966. Keadaan demikian menyebabkan para tapol yang ditahan di Salemba harus hidup dengan kondisi yang parah. Kamar-kamar penjara kecil yang dibangun untuk menampung seorang tahanan diisi oleh 4 sampai 5 tahanan. Begitu sesaknya kamar-kamar itu, di malam hari, para tahanan harus bergilir untuk tidur terlentang. Bilamana seorang tapol ingin ke belakang, semua yang ada di kamar harus berdiri memberi jalan. Kemampuan Tapol untuk bisa hidup di awal zaman Orde Baru sangat tergantung atas makanan yang ia bisa peroleh dari keluarganya. Bilamana ia hanya tergantung atas makanan yang disediakan penguasa tahanan, dalam beberapa bulan saja ia 2 Amnesty International Report, Indonesia, sebuah laporan Amnesty International, pp 47-48 389 Siauw Giok Tjhan akan meninggal. Kualitas dan kuantitas makanan sangat rendah dan tidak bergizi. Tan Ling Djie, mentor Siauw yang ditahan di Surabaya pada tahun 1966, tidak memperoleh kiriman keluarga. Pada usia 65, ia menderita penyakit beri-beri karena kekurangan makanan dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Kuburannya-pun tidak diketahui di mana. Padahal, ia sangat berjasa dalam perjuangan mencapai kemerdekaan dan mengkonsolidasi kemerdekaan Indonesia. Siauw lebih beruntung dari Tan Ling Djie. Karena kesetiaan Tan Gien Hwa, ia tetap memperoleh kiriman makanan secara teratur. Akan tetapi makanan yang diterima oleh Siauw harus dibagi dengan 6 sampai 8 sesama tapol yang tidak menerima makanan dari luar. Dalam hal ini sikap Siauw terpuji. Ia tidak pernah memilih makanan-makanan yang ia sukai dulu baru kemudian membaginya. Sebaliknya. Ia menunjuk salah seorang yang berada di kelompok pembagian makanan itu untuk membagi secara adil dan tidak pernah meminta porsi lebih besar untuk dirinya sendiri. Ternyata tidak semua tapol yang menerima makanan bersikap demikian. Ada yang membagi makanan setelah yang ia sukai diambilnya terlebih dahulu. Ada pula yang menyimpan Kesukaannya itu sampai busuk karena terlalu lama disimpan sebelum sempat dibagi3. “Menu” makanan yang disiapkan Tan Gien Hwa terdiri dari makanan yang bisa disimpan paling sedikit dua hari. Di dalamnya selalu ada dendeng sapi, abon, ikan asin dan telur asin. Diselingi dengan kerupuk udang, empal, rendang, gulai dan berbagai macam sayur-sayuran yang dimaksaknya sendiri. Yang dipentingkan tentunya adalah isi perut, sehingga Siauw dan para tapol-lainnya tidak kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin Tan Gien Hwa berpikir untuk menyiapkan makanan segar dan sehat. Mudahlah dimengerti mengapa kesehatan Siauw, dengan gizi dan tekanan hidup di penjara bertahun-tahun itu, rusak. Tekanan darah tinggi tidak dapat dikontrol dengan baik dan dengan cara makan 3 Wawancara dengan Tan Lok Djoen, tapol yang ditugaskan oleh Siauw untuk membagi makanan di Salemba 390 Zaman Orde Baru seperti yang digambarkan, kolesterol tubuh yang mempercepat penyumbatan pembuluh darah meningkat. Tidaklah heran ketika Siauw di penjara, ia mendapat serangan jantung, paling sedikit dua kali dan setelah keluar dari penjara, ia menderita berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit jantung. Untuk menambah persediaan makanan, para tapol mengambil inisiatif menanam singkong dan bayam di semua lahan tanah yang tidak dipakai di kompleks penjara-penjara. Ketika “proyek” ini berhasil membantu penguasa tahanan untuk menambah makanan tapol, porsi makanan yang disediakan penguasa dikurangi. Komandan Tahanan juga lalu memberi izin kepada sekelompok tapol untuk bercocok tanam di tanah-tanah sekitar penjara yang tidak terpakai. Tidak ada yang menyangka bahwa inisiatif untuk mempertinggi kualitas makanan ini ternyata mendorong pemerintah mengurangi supply makanan untuk tapol dan mereka dipaksa untuk menyediakan makanan sendiri. Anggaran makanan untuk tapol ternyata lebih rendah dari apa yang disediakan untuk para tahanan kriminal, yang juga meringkuk di salah satu blok di Salemba. Kualitas dan kuantitas makanan tahanan kriminal ternyata jauh lebih baik dan oleh karenanya mereka memiliki kondisi fisik yang jauh lebih baik. Untuk mengurangi anggaran makanan tapol, sejak tahun 1967 penguasa militer mengganti beras dengan bulgur. Ini menyebabkan gizi makanan turun drastik. Antara tahun 1968 dan 1969, di penjara Salemba, ratusan tapol meninggal dunia karena kelaparan, penyakit yang tidak memperoleh perawatan layak dan siksaan-siksaan keji. Perlakuan terhadap tapol tidak layak dan tidak berprikemanusiaan. Hampir setiap tapol mengalami interogasi yang disertai dengan siksaan sadistik. Cukup banyak tapol yang menjadi cacat seumur hidup akibat siksaan fisik yang dilakukan oleh para algojo terlatih di saat-saat interogasi. Para tapol yang disiksa harus bersandar kepada bantuan sesama tapol untuk menyembuhkan luka-luka akibat siksaan keji. Di tahun-tahun pertama di Salemba, Siauw cukup sering 391 Siauw Giok Tjhan diperiksa. Tetapi ia termasuk untung, karena ia tidak pernah disiksa. Pemeriksaan-pemeriksaan ini jelas membuat Siauw marah dan tertekan, apalagi bilamana dilakukan di dalam ruangan yang berdekatan dengan tempat-tempat penyiksaan, di mana rintihan para tapol yang disiksa bisa terdengarnya. Para pemeriksa ternyata bersikap hormat pada Siauw. Banyak orang mengatakan ini terjadi karena pembawaan Siauw sendiri. Ia selalu tersenyum dan menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan berwibawa. Siauw tidak pernah memanggil para pemeriksanya dengan perkataan “bapak”, melainkan cenderung memanggil mereka sebagai “dik”. Dalam salah satu pemeriksaan, seorang tapol menyaksikan bagaimana Siauw ternyata memberi “kuliah” pada orang yang melakukan interogasi terhadap dirinya. Obat-obatan sangat terbatas. Bilamana seorang tapol sakit dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia di penjara, ia harus berusaha mendapatkannya sendiri. Beruntunglah ia kalau memiliki keluarga yang mampu membelinya di luar. Kalau tidak, ia harus menerima nasibnya. Dalam keadaan seperti ini, teknik pengobatan akupunktur sangat membantu. Beberapa tapol yang juga dokter dan mahir dalam mempraktekkan akupunktur dikerahkan untuk menurunkan ilmunya ke sesama tapol untuk membantu sesamanya yang menderita berbagai macam penyakit. Dr Lie Tjwan Sien, salah seorang tokoh Baperki yang meringkuk lama di Salemba adalah salah satu dokter yang banyak berjasa dalam menurunkan ilmu akupuntur-nya ke banyak tapol muda. Sebagian tapol yang menguasai teknik akupunktur ini membuka klinik-klinik akupuntur di Jakarta setelah mereka dibebaskan. Siauw termasuk tapol yang sering menderita sakit. Tekanan darah tingginya sering meloncat tinggi. Penglihatan mata kirinya kian memburuk dipenjara. Ia-pun diganggu penyakit sinisitus kronik, Beruntunglah ia mendapat perawatan cukup baik dari para tapol yang menguasai teknik akupuntur dan menerima kiriman obat dari isterinya. Kawan baiknya Adam Malik yang pada waktu itu menteri luar negeri, ternyata cukup sering memperhatikan kesehatannya. 392 Zaman Orde Baru Beberapa kali ia, melalui koneksi-nya, memerintahkan kepala penjara untuk mengirim Siauw ke RSPAD untuk diperiksa dan di beri obat-obatan. Siauw yang suka makan enak, setiap kali dikirim ke RSPAD, membujuk para pengawalnya untuk mampir di restoranrestoran para temannya untuk makan enak. Salah satu restoran yang sering dikunjunginya dalam perjalanan ke RSPAD ini adalah Restoran Jawa, yang dimiliki salah satu teman baiknya sejak zaman Kapasan di Surabaya. Tapol dilarang membaca buku, surat kabar dan mendengar radio atau melihat TV. Buku-buku yang diperbolehkan masuk dan beredar di dalam penjara hanyalah buku-buku agama. Siauw yang senang memberi kuliah mencoba menggunakan kesempatan di penjara untuk memberi pelajaran bahasa asing ke sesama tapol, terutama bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis yang ia kuasai dengan baik. Dalam kesempatan ini, ia sering memberi kuliah tentang mekanisme ekonomi dan demokrasi di negara-negara maju. Tentunya diskusi ini sering pula diselingi diskusi politik yang dilarang. Siauw pernah beberapa kali dihukum karena membangkang larangan melakukan diskusi politik. Hukumannya: ia dikirim ke blok tahanan kriminal selama dua atau tiga bulan dan selama ini tidak boleh menerima kiriman makanan dan tidak boleh bertemu dengan keluarga. Sikap dan kepribadian Siauw ternyata menyelamatkan dirinya. Ia tidak pernah mengalami siksaan karena berkawan dengan banyak tahanan yang lain. Bahkan menurut ceritanya sendiri, ia bisa “menikmati’ makanan yang lebih bergizi selama masa hukuman itu. Banyak kesempatan waktu luang digunakan para tapol untuk bertukar pikiran dan menerima pelajaran-pelajaran yang berguna dari para tapol yang memiliki pengetahuan luas. Ketika peraturan penjara diperlunak, setelah tahun 70-an, para tapol diizinkan berkumpul di blok masing-masing antara pukul 5 pagi hingga 7 malam. Siauw ternyata sering mendapat giliran untuk memberi 393 Siauw Giok Tjhan ceramah-ceramah, terutama tentang teori-teori ekonomi4. Pertemuan dengan keluarga dibatasi sebulan sekali. Ini-pun sering dipersulit. Biasanya dilakukan dalam sebuah ruangan besar yang dipisahkan dengan dinding kawat. Para tapol di satu bagian dan keluarganya di bagian yang lain. Pembicaraan dilakukan melalui dinding kawat itu. Akan tetapi, pertemuan Siauw dengan keluarganya sering dilakukan dalam sebuah ruangan kecil terpisah di mana beberapa petugas turut duduk mendengarkan semua pembicaraan. Ini menyebabkan pembicaraan keluarga-pun tidak bisa dilakukan dengan bebas dan terbuka. Pada hari-hari raya tertentu, seperti Lebaran dan 17 Agustus, di awal masa penahanan ini, anak-anak di bawah umur 12 diperkenankan masuk ke dalam halaman penjara di dalam untuk bertemu dengan para ayah-nya selama satu jam. Penulis dan adik, Siauw Lee Ming yang baru berumur 9 tahun pada waktu itu, berkesempatan untuk mengikuti pertemuan-pertemuan ini dan melihat dari dekat bagaimana pembagian penjara itu dilakukan. Dalam pertemuan itu pembicaraan bisa dilakukan dengan cukup bebas. Terkadang kami dengan Siauw duduk di bawah pohon-pohon untuk berbicara, sambil bersalaman dengan para tapol lainnya. Sikap pihak penjara berubah keras setelah pemberontakan Blitar pada tahun 1968. Pertemuan anak –anak di halaman dalam penjara tidak lagi diperkenankan. Di dalam penjara Salemba, Siauw dikumpulkan dengan para tapol yang di zaman Demokrasi Terpimpin mempunyai posisi di lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif. Juga dikumpulkan mereka yang tadinya aktif dalam berbagai kegiatan politik dan pers sebagai intelektuil. Salemba terdiri dari berbagai blok, dari A hingga R. Siauw lama menghuni blok R, yang ia juluki sebagai blok Raden. Terkadang ia ditaruh di blok Q. Para tapol yang dikumpulkan di blok Q dan R ini pada umumnya tidak diberi tugas-tugas fisik yang berat. Para tapol yang langsung terlibat dalam G-30-S, seperti Kolonel Latief dan Kapten Heru, ditahan dalam blok N, yang setiap kamarnya 4 Wawancara dengan Joesoef Isak, Jakarta, Juli 1997 394 Zaman Orde Baru dikunci dan penghuninya dilarang bertemu dengan sesama tapol lainnya. Siauw ternyata mempertahankan sikap dan kepribadiannya di dalam penjara. Ia tidak pernah mau masuk ke dalam klik atau kelompok apapun yang bermunculan di penjara. Ia selalu bisa bergaul dan berhubungan dengan setiap kelompok yang ada. Dalam hal ini, cukup banyak tapol yang menganggap Siauw sebagai “tetua”. Seperti di zaman-zaman sebelumnya, ke Tionghoa-annya tidak menimbulkan masalah baginya dalam menjalin hubungan dengan banyak tapol dari berbagai aliran dan suku di penjara5 Siauw sering menceritakan pengalamannya. Menurutnya, di dalam penjara, semua kepribadian dan sikap tapol yang sesungguhnya terbuka. Mereka yang tadinya menjadi tokoh dan menjadi pimpinan PKI atau berbagai organisasi massa, sering menjadi sorotan para anak buahnya. Cukup banyak yang tidak tahan uji dan menjadi pengkhianat. Ada yang karena sebatang rokok saja siap untuk “menjual” teman-teman yang pernah menolongnya. Ada yang di zaman Demokrasi Terpimpin terlihat sangat gagah berani, tetapi satu gebrakan meja di saat pemeriksaan cukup untuknya membongkar berbagai hal yang mengorbankan banyak rekan seorganisasinya. Ada juga seperti yang dituturkan di atas yang tidak memiliki rasa sosial untuk membagi makanan dengan sesama tapol. Walaupun Siauw mengakui bahwa ia tidak pernah disiksa dan tidak bisa menjamin bahwa bila ia disika, ia bisa tahan siksaansiksaan fisik yang kejam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan tidak pernah membocorkan rahasia organisasi atau mengorbankan rekan-rekan perjuangannya. Dalam semua pemeriksaan ia tegas bahwa hanya dia-lah yang bertanggung jawab atas semua kebijakan politik Baperki dan pelaksanaannya. Berdasarkan ini, ia meminta semua aktivis Baperki dibebaskan dari tahanan. 5 Wawancara dengan Joesoef Isak, Oey Hay Djoen, Tan Tjin Siang dan beberapa eks tapol lainnya 395 Siauw Giok Tjhan Ia kecewa melihat kualitas banyak tokoh dalam penjara. Ia lebih menghargai para tapol yang berasal dari kalangan bawah – grass roots level. Mereka, menurutnya, tahan uji dan tidak mudah dipatahkan semangatnya. Ia-pun cukup bangga dengan para mahasiswa URECA dan para anggota PPI yang turut ditahan. Menurutnya, hampir tidak ada dari mereka ini yang berkhianat, walaupun mengalami siksaan-siksaan kejam. Banyak dari mereka ini sangat dipengaruhi cerita-cerita perjuangan revolusi Tiongkok. Bertahan menghadapi berbagai siksaan keji dianggap sebagai tantangan dan kemampuan melalui siksaan tanpa membocorkan atau mencelakakan teman seperjuangan dianggap sebagai sikap pahlawan yang terpuji. Penderitaan para keluarga tapol juga tidak kalah beratnya. Pada umumnya mereka kehilangan sumber penghasilan dan harus tergantung sepenuhnya atas kebaikan sanak saudara dan handai taulannya. Sebagian besar dari mereka juga tidak bisa memperoleh pekerjaan karena masuknya para suami, isteri, ayah, ibu, anak, kakak atau adiknya dalam penjara berarti mereka tidak akan memperoleh surat bebas G-30-S. Pengaitan hubungan keluarga juga sering menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, karena tidak bebas dari kebijakan “bersih lingkungan” yang kerap diadakan di perusahaan-perusahaan negara atau ABRI. Cukup banyak pegawai yang seyogyanya naik pangkat ketika dilakukan penyelidikan malah dipecat karena ketahuan memiliki hubungan persaudaraan dengan tapol. Mereka yang tidak memiliki sanak saudara atau teman yang bersedia membantu, penghidupan sangat sulit. Jangankan mengirim makanan ke penjara, untuk hidup sendiri saja sulit. Keluarga Siauw termasuk beruntung. Disamping bantuan saudara-saudara istrinya, keluarga ini juga mendapat bantuan sekelompok pedagang Tionghoa yang mengagumi Siauw. Mereka bersepakat mengumpulkan dana secara teratur yang menunjang kehidupan keluarga Siauw dan menyekolahkan anak-anaknya. Ini menyebabkan Tan Gien Hwa bisa mengirim makanan secara teratur 396 Zaman Orde Baru ke penjara selama berbelas tahun. Setelah Siauw dijadikan tahanan rumah, Tan Gien Hwa masih tetap mengirim makanan ke beberapa tapol yang masih meringkuk dalam penjara Salemba. Sumbangan uang ini tetap mengalir sampai Siauw dan Tan Gien Hwa pergi ke Belanda pada tahun 1978. Puluhan ribu tapol yang meringkuk dalam penjara untuk jangka panjang tanpa pengadilan ini dibagi dalam 3 kategori. Mereka yang langsung terlibat dalam peristiwa G-30-S dan yang dianggap perlu diadili masuk dalam grup A. Jumlahnya kecil, tidak melebihi ratusan orang. Dan tidak semua yang berada dalam kategori ini sempat diadili. Grup B terdiri dari tapol yang tidak langsung terlibat, tetapi pernah menjadi anggota PKI dan para organisasi massanya. Mereka dianggap berbahaya tetapi tidak memiliki bahan untuk diadili. Sebagian besar tapol berada dalam grup C. Mereka tidak terbukti sebagai anggota PKI, tetapi dianggap bersimpati pada paham komunisme. Pembagian ini tidak terlalu tegas dan sistematis. Para tapol sendiri sering tidak mengetahui dalam kategori apa mereka sebenarnya berada. Pengkategorian juga sering berganti-ganti. Seorang tapol yang tadinya berada dalam grup C, bisa saja dipindah ke Grup A bilamana ada data-data baru yang memungkinkannya diadili. Data-data ini biasanya diperoleh bilamana ada yang membocorkan peranan yang mereka lakukan di dalam PKI. Biasanya datang dari para tokoh PKI yang menjadi informan di dalam tahanan, seperti Sjam. Ada pula tapol yang pindah dari grup C ke grup B, atau sebaliknya. Cukup banyak pemuda yang pada waktu ditahan berumur 15 tahun. Tetapi karena mereka kebetulan berada di Lubang Buaya ketika ditahan, mereka ternyata dimasukkan dalam kategori grup B. Kemungkinan pengkategorian ini dilakukan pula untuk mencapai keseimbangan jumlah pemuda yang ber-fisik kuat untuk bekerja keras demi mempertahankan hidup para tapol. Jadi tidak berkaitan dengan data politik atau peranan yang dimainkan para tapol muda sebelum mereka ditahan. 397 Siauw Giok Tjhan Sering juga terjadi kekacauan informasi. Seorang bernama Tjia Koen Hwa, bisa ditahan 12 tahun karena ia dianggap Tan Hwie Kiat, salah satu tokoh Baperki yang menjadi pimpinan harian WartaBhakti. Tan Hwie Kiat berhasil menghindari penangkapan dan tinggal di luar negeri. Sedangkan Tjia Koen Hwa yang jelas bukan Tan Hwie Kiat dan walaupun kemudian diketahui pihak penguasa bahwa mereka salah menangkap orang, tetap ditahan berbelas tahun di Salemba, walaupun sebelum peristiwa G-30-S ia tidak pernah aktif dalam kegiatan politik. Nama dan raut muka-nya saja berbeda. Tetapi tidak mengubah nasibnya. Banyak hal seperti ini terjadi. Memang ada kebijakan pihak militer: Lebih baik salah menangkap 100 orang daripada meloloskan seorang anggota PKI. Pengkategorian ini menjadi lebih jelas antara tahun 1969 dan 1971. Mereka yang masuk dalam grup B dibuang ke pulau Buru, di kepulauan Maluku. Jumlah yang diasingkan di Pulau Buru untuk jangka waktu 10 tahunan itu besar, sekitar 10.000 orang. Pada gelombang-gelombang pengiriman pertama, para tapol hanya diberi waktu satu jam untuk menyiapkan dirinya. Para anggota keluarganya tidak diberi tahu sebelum mereka diberangkatkan ke pulau Buru. Harus dengan kecewa dan sedih mengetahuinya ketika mengirim makanan ke penjara dan diberitahu bahwa sang suami, anak, kakak, adik telah dikirim ke Pulau Buru. Pada waktu mereka dikirim ke pulau Buru, tidak ada kejelasan untuk berapa lama mereka dibuang ke sana. Pulau Buru adalah pulau gersang yang tidak dipersiapkan untuk menampung tahanan. Para tapol dipaksa untuk membangun perumahan dan menciptakan ladang-ladang yang sanggup menghasilkan makanan untuk para tapol. Kamp besar ini kemudian berubah menjadi tempat yang berhasil menampung dan menghidupi ribuan tapol yang diasingkan pemerintah Orde Baru. Siauw kerap mengecam kebijakan pemerintah untuk itu. Ia teringat, penjajah Belanda saja, yang mengirim banyak tahanan ke Boven Digul sebagai tempat pembuangan, memberi persiapan 398 Zaman Orde Baru akomodasi dan makanan yang cukup layak. Di zaman kemerdekaan, pemerintah malah memaksa para tapol yang dibuang ke pulau Buru dipaksa untuk membangun tempat tinggal dan menyediakan makanan untuk Penghidupannya semasa pembuangan. Siauw sendiri tidak pernah mengetahui dengan jelas dalam grup apa ia berada. Pada bulan November 1969, Tan Gien Hwa memperoleh berita bahwa Siauw masuk dalam daftar tapol yang akan diberangkatkan ke pulau Buru. Tan Gien Hwa segera mengunjungi Adam Malik, ketika itu menteri luar negeri, untuk meminta bantuan agar keberangkatannya dibatalkan, mengingat kesehatan Siauw. Ia juga menemui Mursalin, ketika itu menteri perhubungan, salah satu sahabat lama Siauw, sejak zaman revolusi di Malang. Kedua teman baik Siauw ini berjanji untuk berupaya mencegah keberangkatan Siauw. Tidak jelas apa yang diupayakan oleh kedua tokoh ini. Yang jelas, Siauw tidak diberangkatkan dan seperti yang dituturkan sebelumnya, Siauw kemudian kerap dibawa ke RSPAD untuk memperoleh pemeriksaan dan perawatan kesehatan. Salah seorang dokter yang memeriksanya menyampaikan ke Siauw bahwa ia diperintahkan Adam Malik untuk memberi perawatan sebaik mungkin untuknya. Dari perkembangan ini bisa disimpulkan bahwa pihak penguasa, pada tahun 1969, memasukkan Siauw ke dalam Grup B. Perkembangan selanjutnya juga menarik perhatian. Pada bulan Juni 1970, Siauw dipindah ke sebuah tempat tahanan, yang dinamakan SATGAS (Satuan Tugas) di Kebayoran Lama. Di situ ia diberitahu bahwa ia akan diadili dan untuk itu ia harus “dipersiapkan”. Jadi kategori-nya diubah dari grup B menjadi grup A. Ada yang memberi tahu Siauw bahwa pemerintah menginginkan seorang tokoh peranakan Tionghoa masuk dalam daftar tokohtokoh yang diadili. Siauw disiapkan sebagai seorang Tionghoa pertama yang diadili dalam hubungan dengan G-30-S. SATGAS Kebayoran Lama adalah tempat pemeriksaan tapol. Tempat ini merupakan salah satu pusat pemeriksaan yang tentunya sering dilakukan dengan berbagai penyiksaan fisik untuk 399 Siauw Giok Tjhan membongkar jaringan PKI dan ormas-nya. Di tempat inilah, para tapol yang berkhianat mengkonfrontasi para tapol yang ingin dipaksa untuk memberi berbagai pengakuan. Dan cukup banyak pula para tapol yang kurang waspada terkicuh oleh pengkhianatan terselubung. Dalam pengertian, para tapol yang sudah berkhianat diselundupi di kalangan para tapol untuk menarik berbagai informasi secara halus. Tekanan terhadap Siauw berat sekali di tempat ini. Karena, menurutnya, di tempat itu, sulit untuk mengetahui siapa yang telah berkhianat dan siapa yang tidak. Menurut Siauw, yang lebih menekan adalah mengetahui di antara para pengkhianat itu ada beberapa teman karib-nya sendiri. Siauw bercerita bahwa Hancurnya PKI dipercepat dengan penghianatan yang dilakukan oleh para tokoh PKI, yang bukan saja membongkar jaringan organisasi, tetapi juga berfungsi sebagai interrogator, bahkan terkadang, algojo penyiksaan. Pada bulan Agustus 1970, Siauw dipindah ke RTM - Rumah Tahanan Militer di Lapangan Banteng, Jakarta. Proses pemeriksaan dilanjutkan di penjara ini. Siauw menyambut persiapan untuk masuk pengadilan ini dengan baik. Baginya, pengadilan merupakan sarana yang baik untuk membela diri dan merehabilitasi nama Baperki dari keterlibatan dalam peristiwa G-30-S. Ia siap untuk membela diri dan mengeluarkan kritikan keras terhadap pelanggaran UndangUndang dan HAM. Mulailah proses interogasi yang berlangsung selama 18 bulan. Pemeriksaan ini dilakukan secara tidak teratur. Terkadang ia diperiksa berturut-turut selama 1 bulan, lalu pemeriksaan dihentikan selama 4 bulan. Lalu dimulai lagi untuk 2 bulan, sebelum dihentikan lagi berbulan-bulan. Walaupun Siauw tidak pernah disiksa dan pemeriksaan dilakukan secara sopan, ia diteror. Pemeriksaan sering dilakukan pada malam hari, selama berjamjam sampai pagi hari. Terkadang ia hanya diberi kesempatan 1-2 jam beristirahat untuk kemudian diperiksa lagi sampai malam 400 Zaman Orde Baru hari. Terkadang calon saksinya diperiksa dalam satu ruangan dan keterangan yang diberikannya dikonfrontasikan. Dalam sebuah pemeriksaan berganda ini, salah seorang saksinya disiksa di hadapan Siauw. Rupanya ini-lah strategi tim pemeriksa, untuk melelahkan dan membuat yang diperiksa lengah. Disamping itu, mungkin tim pemeriksa mengumpulkan data-data dari para tapol yang diperiksa dalam rangka memberatkan kasus Siauw. Karena dalam waktu bersamaan, banyak calon saksi diperiksa untuk memberatkan Siauw. Pemeriksaan ini difokuskan untuk membuktikan bahwa Siauw adalah seorang anggota senior PKI. Ingin dibuktikan bahwa ia adalah pimpinan PKI yang dirahasiakan. Juga ingin dibuktikan bahwa Baperki berada dalam naungan PKI sebagai salah satu organisasi massanya. Pimpinan PKI yang berada di RTM juga diperiksa dalam rangka ini. Sjam, ketua Biro Khusus, yang dikatakan mendalangi G-30-S –pun diperiksa untuk mengaitkan Siauw dengan PKI. Sjam banyak membuka kasus tokoh-tokoh yang memiliki kaitan dengan PKI secara tertutup. Siauw tidak bisa memastikan peranan Sjam dalam pemeriksaan terhadap dirinya sendiri. Ia tidak kenal Sjam sebelum masuk penjara. Pembicaraan dengan Sjam di penjara ia batasi, karena ia mengetahui bahwa Sjam telah menjebloskan banyak kawannya dalam penjara. Bilamana ada kesempatan bicara, Siauw hanya menyampaikan kritikan halusnya. Akan tetapi tim pemeriksa ternyata gagal menemukan bukti-bukti yang diperlukan. Siauw tidak dapat dibuktikan keanggotaannya dalam PKI, karena tidak ada satu orang-pun yang bisa membuktikan bahwa ia pernah disumpah sebagai seorang anggota PKI. Ada beberapa anggota PKI yang menjadi informant, memang menyatakan bahwa Siauw cukup sering diundang oleh pimpinan PKI untuk hadir dalam berbagai rapat tingkat tinggi. Ini, menurut mereka, membuktikan bahwa Siauw adalah anggota PKI tingkat tinggi. Ada pula yang melaporkan bahwa Siauw terlihat 401 Siauw Giok Tjhan memberi kuliah di Akademi Ali Archam, lembaga pendidikan politik PKI di mana para kader PKI memperoleh gelar Sarjana Marxis. Siauw bisa menjelaskan bahwa pimpinan PKI tingkat CC dan Politbiro memang kerap mengundangnya untuk menghadiri beberapa rapat partai, bukan sebagai anggota penting, melainkan sebagai seorang akhli dalam bidang ekonomi. Kehadirannya di lembaga Ali Archam-pun dalam kapasitas sebagai seorang dosen dalam bidang ekonomi. Siauw tetap menantikan kesempatan diadili. Pada waktu itu, ia berpendapat lebih baik diadili, sehingga ia bisa mengetahui secara lebih definitif berapa lama ia akan ditahan. Menurutnya, walaupun pengadilan merupakan sandiwara politik pihak penguasa militer, ia ingin menjadikannya mimbar perdebatan di mana ia bisa membela secara terbuka posisi hukum dirinya dan Baperki dalam sejarah Indonesia. Tetapi rupanya tim pemeriksa berkesimpulan bahwa mereka tidak bisa membawa Siauw ke pengadilan. Mungkin juga ada kekhawatiran bahwa Siauw yang di saat-saat pemeriksaan di penjara tidak pernah tunduk dan bersedia untuk “bekerja sama”, akan menggunakan kesempatan ini untuk memperbesar simpati orang terhadap dirinya dan Baperki. Perubahan yang mencolok dengan keberadaan Siauw di RTM adalah kondisi tahanan dan frekwensi pertemuan dengan keluarga. Tan Gien Hwa diizinkan mengirim makanan setiap hari dan keluarga bisa menemui Siauw seminggu sekali – sejam setiap pertemuan. Pertemuan diadakan di sebuah ruangan yang cukup besar, sekitar 15 tapol dan keluarganya duduk bersama di dalam ruangan ini. Hanya ada seorang penjaga duduk di ujung ruangan. Dengan demikian pembicaraan bisa dilakukan bebas. Seperti yang dituturkan sebelumnya, penulis yang ketika itu berumur belasan tahun, berkesempatan untuk mengenal Siauw, baik dari dirinya sendiri, maupun dari para tapol yang sering ditemuinya di ruangan pertemuan tersebut. Penulis diminta oleh Siauw untuk mendengar berbagai siaran radio, untuk kemudian 402 Zaman Orde Baru dihapal, sehingga bisa disampaikan dalam pertemuan mingguan ini. Penulis-pun diminta untuk mengumpulkan berbagai guntingan surat kabar dan majalah asing yang digemarinya, termasuk Far Eastern Economic Review, Time, News Week, untuk diselundupkan masuk. Setiap minggu, ketika penulis berjabatan tangan dengan Siauw, guntingan-guntingan, dalam bentuk gumpalan kertas, disampaikan ke Siauw. Karena Siauw dalam proses pemeriksaan, ia ternyata banyak berpikir bagaimana karier politiknya yang panjang itu diceritakan ke tim pemeriksa. Pengkonsolidasian bahan ini juga disampaikan kepada penulis dalam pertemuan mingguan ini. Dengan demikian, pertemuan mingguan ini berubah menjadi kesempatan untuk menuturkan sejarah perjuangan Siauw. Setelah pemeriksaan Siauw dihentikan, fokus upaya pengadilan dialihkan ke Oei Tjoe Tat. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1975, Oei Tjoe Tat-lah, yang diadili, bukan Siauw Giok Tjhan. Pada bulan Agustus 1972, pemeriksaan dihentikan dan Siauw dipindah ke penjara Nirbaya. Nirbaya, singkatan dari “Interniran dalam Keadaan Berbahaya”, dijadikan rumah tahanan yang khusus untuk tapol elite - para mantan menteri dan perwira tinggi ABRI. Kondisi Nirbaya jauh lebih baik dari Salemba dan RTM. Setiap tapol diberi satu unit yang terdiri dari kamar dan kamar mandi sendiri. Pertemuan dengan keluarga bisa dilakukan seminggu sekali. Karena jumlah penghuninya kecil dan sebagian besar dari mereka memperoleh kiriman makanan, mereka memang tidak kekurangan makanan. Di situ Siauw berkumpul dengan Omar Dhani (eks Kepala Staf Angkatan Udara), Pranoto (eks Kepala Staf Angkatan Darat), Komodor Purnomo, Jendral Mursyid,, Jendral Roekman, Setiadi (eks Menteri PLN), Astrawinata (eks menteri kehakiman), Oei Tjoe Tat (eks menteri negara) dan banyak mantan jendral, laksamana, komodor, komisaris polisi dan kolonel lainnya. Entah mengapa, pihak penguasa memutuskan untuk memindah Siauw dari Nirbaya ke Salemba lagi pada bulan Juli 1973. Ada yang mengatakan ini dilakukan untuk mempermudah proses 403 Siauw Giok Tjhan pemindahan status menjadi tahanan rumah. Karena memang kenyataannya, pada bulan September 1975, Siauw diizinkan pindah dari Salemba ke rumahnya, sebagai Tahanan Rumah. Penghuni Nirbaya tidak ada yang diizinkan pulang hingga tahun 1978. Sebelum itu dilaksanakan, Siauw sempat menuntut agar Liem Tjwan Sien dan Phoa Thoan Hian, tokoh-tokoh Baperki yang sama-sama meringkuk dengannya di Salemba, untuk turut diubah statusnya pada waktu bersamaan. Tidak jelas peranan apa yang dimainkan oleh beberapa sahabat Siauw yang menjadi menteri dalam kabinet untuk mencapai perubahan status ini. Siauw yakin, Adam Malik memainkan peranan besar dalam membantunya. Oleh karena itu, walaupun ber-status tahanan rumah dan diharuskan melapor ke KODAM seminggu sekali, Siauw membangkang. Seminggu setelah di rumah, ia memutuskan untuk pergi mengunjungi para sahabat yang ia anggap telah banyak membantunya selama di penjara. Pihak penguasa ternyata tidak membatasi ruang gerak Siauw pula. Tidak ada yang mencegahnya keluar dari rumah dan pada waktu melapor, tidak ada teguran. Orang yang pertama dikunjungi adalah Adam Malik. Dengan kesederhanaannya, ketika ia sampai di rumah kediaman Adam Malik, ia hanya disuruh menunggu di ruang picket di luar rumah ber-jam-jam. Rupanya kehadirannya tidak disampaikan para penjaga ke Adam Malik. Mungkin si penjaga menganggap Siauw, yang datang dengan pakaian sederhana, tidak ber-jas dan berdasi seperti tamu-tamu lainnya, adalah seorang yang tidak waras. Siapa yang berani menemui Adam Malik dengan cara berpakaian seperti itu? Kebetulan, Adam Malik keluar dalam mobil dinas-nya. Siauw bergegas keluar mencegat mobil. Melihat Siauw, Adam Malik keluar dari mobil dan segera merangkulnya. Adam Malik ternyata membatalkan rencananya keluar rumah dan segera mengajak Siauw masuk ke rumahnya. Siauw sempat menggerutu: “... wah susah ketemu dengan Bung Adam ya. Saya harus menunggu berjam-jam di luar...”. Adam menyatakan bahwa ia tidak tahu. Sejak 404 Zaman Orde Baru saat itu, setiap kali Siauw berkunjung ke rumahnya, ia tidak perlu lagi menunggu di luar. Setelah Adam, Siauw mengunjungi Mursalin, Sultan Hamengku Buwono dan Sudibjo. Mereka dengan hangat menerimanya, walaupun Siauw menyatakan bahwa statusnya adalah tahanan rumah. Setelah itu, walaupun tetap berstatus tahanan rumah, ia mulai menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh Angkatan 45. Ia pernah duduk sebagai pimpinan Dewan Harian Angkatan 45 sebelum ditahan. Di dalam acara-acara itu, ia mulai lagi menjalin hubungan dengan para tokoh dari berbagai aliran. Keramahan dan kesupelannya menyebabkan ia segera diterima dengan hangat oleh para tokoh yang bergabung dalam Angkatan 45. Mereka ternyata tidak memasalahkan kehadirannya di sana, walaupun ia berstatus tahanan rumah. Akan tetapi Siauw masih terisolasi dari dunia luar. Yang sering datang berhubungan dengannya adalah eks tapol dan keluarganya. Sebagian besar teman-teman dari sebelum tahun 1965 belum berani mengunjunginya. Kenyataan bahwa ia masih tahanan rumah yang resminya tidak boleh menerima tamu-pun, membuat orang lebih takut mengunjunginya. Antara tahun 1975 dan 1976, Siauw merampungkan tiga manuscript: Suatu Renungan, Lima Jaman dan For a Brighter Future. Keadaan tidak memungkinkan karyanya diterbitkan di Indonesia. Ketiga-tiganya diterjemahkan dalam bahasa Tionghoa dan diterbitkan di Hongkong pada tahun 80-an. Dua bab dari Lima Jaman diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Australia dalam bentuk monograf. Hanya Lima Jaman yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1981 di Amsterdam. Akan tetapi beberapa bulan setelah diterbitkan, pada awal tahun 1982, ia dilarang oleh pemerintah. Walaupun sudah ditahan berbelas tahun, prinsip perjuangan Siauw tidak berubah, malah terkonsolidasi. Buku-buku yang disinggung di atas menunjukkan sikap ini, sikap yang masih 405 Siauw Giok Tjhan sangat positif dan penuh keyakinan bahwa pada akhirnya, dengan perjuangan bersama, Nasion Indonesia yang terwujud adalah Nasion yang tidak mengenal diskriminasi dan Indonesia akan menjadi negara yang demokratis dan makmur. Yang menarik adalah keteguhan Siauw bahwa dasar perjuangan Indonesia tetap tepat, yaitu UUD-45 dan Pancasila. Ini bertentangan dengan pendapat banyak orang di dunia pelarian di luar negeri yang berpendapat bahwa UUD-45 dan Pancasila usang dan harus diganti dengan segala sesuatu yang lebih progresif. Banyak orang yang menerima manuscript buku-buku Siauw mendorongnya untuk menulis ulang para manuscript-nya dan menghentikan penggunaan Panca Sila dan UUD-45 sebagai pedoman perjuangan. Siauw dengan tegas menolaknya. Argumentasi Siauw adalah: untuk apa mencari formulasi yang berbeda dengan UUD-45 dan Panca Sila? Baginya bilamana UUD-45 dan Panca Sila dilaksanakan secara konsekwen, situasi dan kondisi politik Indonesia sudah jauh berbeda dan Rakyat akan mengecapi penghidupan yang jauh lebih baik. Perkembangan Politik di zaman Orde Baru Tulisan-tulisan Siauw menunjukkan keyakinannya bahwa kejadian G-30-S merupakan rekayasa kekuatan luar negeri yang mendukung kekuatan anti Soekarno di Indonesia6, terutama pihak Amerika Serikat dan USSR. Menurutnya pihak Amerika Serikat lebih lincah. USSR yang tadinya bermotivasi mengurangi pengaruh Tiongkok dan menjadikan pengaruhnya lebih dominan dari pengaruh Tiongkok, terdorong. Karena bukan saja pengaruh Tiongkok hilang, seluruh kekuatan kiri yang tadinya mendominasi arena politik di Indonesia dibasmi oleh kekuatan kanan yang 6 Pandangan ini dituangkan dalam berbagai manuscript dan tulisan yang digabung dalam buku yang disunting oleh penu lis, Renungan seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan, Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, Maret 2010. 406 Zaman Orde Baru didukung oleh Amerika Serikat. Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa kedua supra power ini menginginkan gerakan anti Tiongkok bangkit di Indonesia. Gerakan anti-Tiongkok ini kemudian berkembang sebagai gerakan antiTionghoa yang ganas dalam awal zaman yang dinamakan zaman Orde Baru, di bawah pimpinan Jendral Soeharto. Gerakan anti Tiongkok diawali dengan penyebaran berita bahwa G-30-S dibiayai oleh RRT. Pernyataan yang tidak pernah dibuktikan dalam arena hukum ini, dan tidak pernah ada seorang pejabat RRT yang dituntut di pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan tuduhan pimpinan Orde Baru, menjadi dasar utama gerakan anti Tionghoa. Gerakan anti Tionghoa inti menjadi lebih hebat atas bantuan dua lembaga yang di zaman Demokrasi Terpimpin tidak bisa berkembang, karena kehadiran Baperki, yaitu LPKB dan KENSI. LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat menggunakan kesempatan ini untuk mendorong konsepsi assimilasi-nya: pergantian nama, penanggalan kebudayaan Tionghoa dan kawin campuran. Akibat desakan LPKB, terjadilah pergantian nama massal di berbagai tempat, seperti di Sukabumi pada tahun 1966. Dalam waktu 2 tahunan, sebagian besar orang Tionghoa, terutama mereka yang berdagang, telah mengubah namanya, dari nama Tionghoa ke nama yang tidak lagi mengandung ke-Tionghoaan. Cukup banyak dari mereka yang memilih nama Menado, Jawa dan Barat. Ada pula yang kreatif, tetap mempertahankan koneksinya dengan nama Tionghoa asalnya. Seperti salah satu saudara Siauw, Tan Soen An, mengganti namanya menjadi Sunanta. Gerakan ganti nama ini lalu menjurus ke gerakan yang anti segala sesuatu yang berasal dari Tiongkok. Dimulai dengan penutupan sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tanpa memperdulikan nasib ratusan ribu siswa yang tidak ada tempat penampungan sekolah – pada pertengahan tahun 1966. Sejak saat itu, sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak boleh beroperasi di Indonesia lagi. 407 Siauw Giok Tjhan LPKB mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden No 14/1967 yang membatasi pelaksanaan peribadahan dan kebudayaan Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Melakukan ibadah Tionghoa di depan umum dianggap merugikan proses assimilasi. Instruksi ini juga mempertegas bahwa agama dan adat istiadat yang berasal dari negeri leluhur bisa membawa dampak negatif dalam perkembangan psikologis, mental dan moril para warga negara Indonesia. Sebagai akibat dari adanya Instruksi Presiden ini, Indonesia, mungkin satu-satunya negara di dunia, di mana perayaan tahun baru Imlek, pertunjukan Barongsai dan Liang Liong, dilarang. Komunitas Tionghoa harus bersembunyi bilamana ingin melakukan ibadah yang mengandung ke-Tionghoa-annya. Pemerintah-pun mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan bahasa Tionghoa dan Mandarin. Penggunaan huruf Tionghoa disamakan dengan Narkotika. Hingga tahun 90-an, kartu imigrasi untuk para pendatang dari luar ke Indonesia harus mendeklarasikan apakah mereka membawa materi yang mengandung huruf Tionghoa. Membawa materi berbahasa Tionghoa dilarang. KENSI juga tidak tinggal diam. Kehadiran rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto membatalkan program yang terkandung dalam Deklarasi Ekonomi – DEKON, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa pengembangan modal domestik yang banyak dibina oleh komunitas Tionghoa, harus dijamin dalam membangun ekonomi nasional. KENSI mendorong diperluasnya PP-10. Pedagang Tionghoa yang berstatus asing, bukan saja dilarang berdagang di daerah pedalaman atau kecamatan, tapi hendaknya, demikian tuntutan KENSI, dilarang berdagang di kota-kota pula. Akibat tuntutan ini, Panglima Jawa Timur, Jendral Sumitro, pada tahun 1966, mengeluarkan instruksi yang melarang pedagang Tionghoa yang berstatus asing untuk berdagang di seluruh Jawa Timur, kecuali di ibu kota propinsi, Surabaya. Ia-pun mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan bahasa Tionghoa dalam perdagangan, baik berbentuk surat menyurat atau diskusi 408 Zaman Orde Baru komunikasi lisan. Ini kemudian ditingkatkan pula dalam bentuk larangan orang Tionghoa untuk pindah ke lain propinsi tanpa izin dan dikenakannya pajak kepala. Di Aceh, pada tahun 1967, Panglima setempat juga mengeluarkan instruksi yang mengusir semua orang Tionghoa dari propinsi Aceh. Ini berakibat adanya exodus besar-besaran dari Aceh ke kota-kota lain di Sumatra Utara. Di Kalimantan Barat, pada waktu yang hampir bersamaan telah bangkit gerakan anti Tionghoa yang tidak kalah kejamnya. Orangorang Tionghoa diusir dari daerah pedalaman, terutama mereka yang memiliki kebun-kebun pertanian. Yang berusaha untuk mempertahankannya, diusir dengan kekerasan bahkan ada yang dibunuh. Dikatakan ada sekitar 100 ribu orang Tionghoa yang mengalami pengusiran kasar ini dan harus hidup berserakan di kota-kota pesisir, seperti Singkawang, Mempawah dan Pontianak. Ledakan-ledakan anti Tionghoa juga terjadi di mana-mana. Pada bulan Oktober 1968, setelah Singapura melaksanakan hukuman mati terhadap dua perwira Indonesia yang ditangkap, timbul ledakan anti Tionghoa di Jakarta dan Surabaya, yang terlihat dipimpin oleh orang-orang militer berpakaian preman. Pada tahun 1967, istilah melalui peraturan pemerintah, istilah “Cina” dijadikan istilah resmi menggantikan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok”. Ini dilakukan untuk membangkitkan inferiority complex dalam kalangan komunitas Tionghoa. Pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan yang seyogyanya menyelesaikan masalah kewarganegaraan banyak penduduk Tionghoa dengan sendirinya terhambat. Pada tanggal 9 November 1966, Menteri Kehakiman mengeluarkan Instruksi no D/T/1/2 yang menangguhkan pelaksanaan perjanjian tersebut yang dibekukan selama 2 tahun. Pelaksanaan baru ingin dimulai, tapi kemudian dihentikan lagi untuk selamanya dengan pembatalan perjanjian oleh pemerintah Indonesia secara sepihak setelah hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan pada tahun 1968. Tanpa organisasi semacam Baperki, yang memiliki kekuatan 409 Siauw Giok Tjhan politik untuk melawan arus rasisme, Komunitas Tionghoa di awal zaman Orde Baru, harus menelan dan menerima berbagai tindakan dan kebijakan politik resmi yang meng-anak-tirikan mereka. Mereka tidak berdaya untuk melawan. Menunjukkan simpati terhadap apa yang Baperki telah lakukan-pun berbahaya, karena bisa berakibat masuk penjara. Mereka harus menerima nasib. Yang paling Siauw sesalkan adalah dilanggarnya pasal 33 UUD45, yang menjamin kekayaan alam tetap dimiliki dan dikontrol oleh Indonesia. Ketergantungan atas bantuan ekonomi negara-negara maju tidak bisa tidak memaksa pemerintahan Orde Baru membuka pintu lebar-lebar untuk disedot kekayaannya. Pen-jendralan semua infrastruktur pemerintahan, baik pusat maupun daerah menimbulkan aliansi tidak sehat, antara kelompok pedagang Tionghoa yang memiliki hubungan baik di luar Indonesia, terutama dengan Taiwan, Singapura dan Hongkong, dengan para jendral atau relasi-nya yang berkuasa. Bangkit dan berkembanglah sistem “cukong-isme” yang menimbulkan kesan salah bahwa komunitas Tionghoa berdosa atas pemerasan kekayaan dan kemelaratan yang dialami Rakyat sebagai akibatnya. Setelah Soekarno sebagai Presiden secara perlahan dan sistematik disingkirkan, demokrasi di Indonesia-pun dihancurkan. Dengan demikian kekuasaan Jendral Soeharto bisa berkembang dan terkonsolidasi tanpa oposisi yang berarti. Menjadi Pelarian Politik di Belanda Pada bulan Agustus 1978, Siauw dibebaskan secara resmi. Akan tetapi kartu penduduknya mengemban kode ET (Eks Tapol). Resminya, status ini menyebabkannya ia dicekal, berstatus tahanan dalam negeri. Artinya tidak bisa keluar dari Indonesia, tidak bisa memperoleh Exit Permit. Karena kesehatannya memburuk, anaknya, Siauw May Lie, yang berpraktek sebagai seorang dokter di Belanda, memanggilnya 410 Zaman Orde Baru untuk pindah ke Belanda. Atas bantuan Adam Malik, yang pada waktu itu sudah menjadi Wakil Presiden, ia diberi izin meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Belanda. Berangkatlah Siauw dan istrinya, Tan Gien Hwa, ke Belanda pada bulan September 1978. Begitu tiba di Belanda, Siauw bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya, segera aktif berpolitik. Bukan beristirahat dan berobat seperti yang dianjurkan para dokternya di Belanda, ia malah melakukan berbagai kegiatan politik yang jelas mengandung beban-beban emosional. Siauw segara menjalin hubungan dengan para pelarian politik Indonesia yang bermukim di Eropa dan Tiongkok. Sebagai seorang yang baru bebas dari tahanan dan yang memilki nama “bersih”, artinya tidak dianggap sebagai tapol yang berkhianat, Siauw dihargai dan dihormati banyak pelarian politik Indonesia itu. Para pelarian politik di luar Indonesia, terutama yang di Eropa, terpecah belah dalam berbagai kelompok yang saling bertentangan.. Perpecahan sedemikian dalamnya sehingga ada kelompok yang tidak sudi berbicara dengan kelompok lainnya. Kehadiran Siauw di Belanda ternyata sejenak mengubah situasi ini. Ia berhasil mempertemukan banyak kelompok yang tadinya tidak bersedia bekerja sama dan mendorong mereka untuk saling bertukar pikiran. Tempat kediaman Siauw yang kecil di Amsterdam sering dijadikan tempat pertemuan di mana orang-orang dari berbagai kelompok bertemu. Salah satu kegiatan utama Siauw adalah pengumpulan dana untuk membantu tapol yang baru dibebaskan dan keluarganya. Sebagian dana yang terkumpul digunakan untuk memulai usaha-usaha yang memungkinkan para eks tapol menunjang kehidupan sehariharinya. Usaha-usaha ini berupa peternakan ayam, penerbitan sederhana, penterjemahan buku-buku, klinik akupunktur, bengkelbengkel dll. Sebagian besar dari dana digunakan untuk biaya pengobatan, perbaikan tempat tinggal dan pembayaran uang sekolah anak-anak eks tapol. 411 Siauw Giok Tjhan Bersama LSM-LSM yang ada di Eropa, termasuk TAPOL – organisasi yang didirikan oleh Carmel Budiardjo di Inggris, dan Komite Indonesia di Belanda – yang menurut sertakan Prof Wertheim dan Go Gien Tjwan, Siauw mendorong kampanye-kampanye untuk membebaskan para tapol di Indonesia. Ia sering memberi bahanbahan tentang penghidupan di berbagai penjara yang ia pernah huni di Jakarta pada para LSM yang membutuhkannya. Disamping itu, Siauw pun cukup sering memberi ceramahceramah tentang perkembangan politik Indonesia dan pengalaman perjuangannya. Yang tercermin dalam ceramah-ceramah ini adalah keteguhannya atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya selama puluhan tahun. Ia tetap teguh berpendirian bahwa sosialisme adalah jalan keluar yang harus ditempuh Indonesia. Dalam konteks ini ia menekankan bahwa sosialisme yang terwujud harus bersandar kepada sistem pemerintahan yang demokratis dengan program ekonomi yang menciptakan kemakmuran merata. Ia turut kecewa dengan kegagalan RRT dan Uni Soviet dalam menciptakan masyarakat yang makmur dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Kegagalan ini menurutnya, bukan karena konsep politik, melainkan karena kualitas pimpinan politik dan pelaksanaan program politik yang tidak tepat. Dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya, Siauw tetap tegas dengan konsep integrasi. Ia yakin bahwa jalan assimilasi yang dicanangkan LPKB tidak akan menghilangkan rasisme. Baginya, integrasi tetap merupakan pemecahan yang paling bijaksana dalam menyelesaikan masalah minoritas di Indonesia. Ia tetap menghendaki komunitas Tionghoa diakui sebagai suku Indonesia dan peng-integrasiannya di dalam tubuh bangsa Indonesia dilakukan tanpa pergantian nama dan penanggalan ciri-ciri etnisitas Tionghoa. Siauw tetap menjalankan rutinitas sebagai seorang wartawan. Ia rajin mengikuti berbagai berita yang disiarkan TV dan radio dan berbagai surat kabar. Setiap pagi, di kursi malasnya, ia membaca berbagai surat kabar dan majalah dalam berbagai bahasa, kemudian 412 Zaman Orde Baru dilanjutkan dengan mendengarkan berbagai siaran radio dan TV. Pada malam harinya, ia merangkum semua yang ia baca dan dengar dalam sebuah buku harian, sebagai editorial. Ia pun sering menulis berbagai makalah panjang, mengenai kewarganegaraan Indonesia, integrasi, ekonomi dan sejarah parlemen. Kegiatan-kegiatan ini menyebabkan Siauw tidak bisa memperpanjang passport Indonesia-nya di Belanda. Dengan demikian Siauw memperoleh status “pelarian politik” di Belanda. Pada bulan April 1980 terjadi ledakan anti Tionghoa di UjungPandan – Makasar. Pada bulan November, terjadi pula ledakan anti Tionghoa yang berlangsung selama beberapa minggu, dimulai dari Purwokerto, kemudian ke kota-kota besar lainnya di Jawa Tengah, hingga Madiun di Jawa Timur. Siauw cepat menyatakan, dalam beberapa kesempatan bicara dengan para pemuda di Eropa bahwa ini ledakan-ledakan anti Tionghoa yang menurutnya direkayasa oleh penguasa ini, menujukkan bahwa paham assimilasi gagal menciptakan keharmonisan. Pembangunan Nasion Indonesia, menurutnya, tidak bisa bersandar semata-mata atas upaya ganti nama dan penanggalan ciri-ciri ke-Tionghoaan. Perlu diciptakan kondisi yang mendukung integrasi dan kerja sama erat antara suku minoritas dan suku mayoritas. Siauw mengumpulkan beberapa tokoh Tionghoa yang menetap di Belanda, Ong Eng Die, mantan menteri keuangan di kabinet Ali Sastroamidjojo, Sie Hok Tjwan, mantan tokoh Baperki Jawa Timur dan Tan Hwie Kiat, tokoh Baperki yang kemudian menjadi jurnalis kawakan di Warta Bhakti, untuk menulis sebuah pernyataan yang dikirimnya ke PBB. Surat yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Siauw itu dikirim ke PBB pada tanggal 2 Pebruari 1981. Isinya mengecam berbagai kebijakan pemerintah RI yang telah menganak tirikan komunitas Tionghoa sebagai pelanggaran UUD, HAM dan hukum internasional dan mendorong PBB untuk menekan pemerintah RI memberi perlindungan yang mencegah jatuhnya korban di kalangan komunitas Tionghoa. Seperti yang diharapkan, 413 Siauw Giok Tjhan surat itu tidak memperoleh respons yang diinginkan. Pemerintah Soeharto belum bisa digoyahkan. Salah satu penanda tangan surat itu, Sie Hok Tjwan, sebagai reaksi keganasan ledakan anti-Tionghoa mendorong terbentuknya sebuah kelompok di Eropa yang dinamakan Na-Han. Kelompok ini menginginkan didirikannya negara “Tiongkok” ke 4, yaitu setelah RRT, Taiwan dan Singapura, untuk menampung semua orang Tionghoa di Indonesia. Kelompok ini berkeyakinan bahwa inilah jalan keluar yang paling baik untuk komunitas Tionghoa di Indonesia. Mereka, memulai upaya untuk mencari sebuah pulau di kepulauan Indonesia di mana impian ini bisa direalisasi. Sie Hok Tjwan menguraikan pendapatnya ini dalam sebuah harian Belanda, Trouw pada tanggal 9 Maret 1981. Siauw menyambutnya dengan sebuah surat tertulis pendek yang dikirim ke banyak temannya di Eropa dan kepada penulis. Ia menyatakan bahwa pendapat Sie Hok Tjwan itu berbahaya karena: 1. Tanpa disadari anjuran Sie Hok Tjwan bisa meluncur sebagai gerakan zionisme yang akan menimbulkan mala petaka besar. 2. Pembentukan negara baru ini memerlukan dukungan banyak negara yang mampu mempersenjatai gerakan ke arah itu dan pasti menyebabkan pertumpahan darah dan membangkitkan terorisme. 3. Rasisme tidak bisa dilawan dengan rasisme. Jalan keluarnya adalah menunggal dengan Rakyat terbanyak dan ikut membangun nasion Indonesia yang bersih dari Rasisme Sie Hok Tjwan yang tadinya menginginkan dukungan dari Siauw tentunya kecewa dengan sikap Siauw. Beberapa majalah yang dikeluarkan oleh kelompok Na Han mengecam Siauw sebagai antek nasionalisme Indonesia yang membiarkan dirinya sendiri dan komunitas yang dibelanya, disiksa oleh pemerintah RI. Dukungan terhadap kelompok ini tidak berumur panjang. Majalahmajalah berkala yang mereka keluarkan hanya terbit beberapa kali. Memang konsep yang sedemikian radikal-nya tidak akan menerima 414 Zaman Orde Baru dukungan luas. Pada bulan September 1981, Siauw diundang oleh Wakil Perdana Menteri RRT, Chi Peng Fei untuk mengunjungi Tiongkok, resminya untuk mengikuti perayaan 1 Oktober di Tien An Men. Walaupun Siauw tidak lagi memegang jabatan resmi dalam pemerintahan RI, tetapi ia tetap diterima sebagai tamu agung kenegaraan di RRT dan memperoleh perlayanan istimewa. Ia turut menghadiri perayaan 1 Oktober, yang pada tahun itu dilakukan dengan sangat terbatas, sebagai tamu negara mewakili Tionghoa Indonesia. Di Beijing diadakan pula sebuah reuni khusus untuk nya, di mana semua tokoh RRT yang pernah berada di Indonesia sebagai diplomat berkumpul. Di antaranya Huang Chen, mantan Duta Besar RRT di Indonesia pada tahun 50-an, yang ketika itu menjadi Menteri Sosial di RRT dan Xu Ren, mantan Konsul Jendral RRT di Indonesia pada tahun 60-an, ketika itu menjadi direktur Bank of China. Siauw-pun melalui berbagai macam pemeriksaan kesehatan dan dianjurkan untuk tinggal lebih lama dari yang direncanakan untuk berobat di Beijing. Oleh tim dokter dinyatakan bahwa jantungnya membengkak dan fungsi liver-nya sangat berkurang. Siauw, seperti yang terjadi pada tahun 1964, ternyata memilih untuk menolak. Ia merasa sungkan memperoleh perlayanan tamu agung di sana dan ingin berobat di Belanda di bawah pengawasan putrinya sendiri. Undangan penulis untuk pergi ke Australia dari Tiongkok atau Hongkong ditolaknya pula. Ia berpendapat, ia tidak boleh menyalah gunakan kebaikan pemerintah Tiongkok yang sudah membayar semua ongkos perjalanannya dari Belanda. Dalam suratnya, ia menyatakan bahwa ia lebih suka pergi ke Australia langsung dari Belanda saja, sehingga tidak ada kesan ia menyalah gunakan kebaikan pemerintah RRT. Ia kembali di Belanda pada tanggal 25 Oktober 1981. Sekembalinya di Belanda, ia lebih giat lagi menulis dan berceramah. Pada tanggal 12 November ia berceramah di Berlin, bersama dengan seorang tokoh LBH, Todung Mulya Lubis, di mana ia berbicara selama 3 jam. 415 Siauw Giok Tjhan Pada tanggal 20 November 1981, ia diundang oleh universitas Leiden untuk memberi ceramah di hadapan para Indonesianis. Beberapa menit sebelum Siauw berpidato di hadapan para akhli Indonesia di universitas Leiden, Siauw meninggal dunia karena serangan jantung. Topik pembicaraannya adalah Kegagalan Eksperimen Demokrasi di Indonesia. Di dalam pidato ini Siauw bermaksud menggambarkan kegagalan RI dalam menciptakan kemakmuran dan demokrasi. Ia juga hendak membahas masalah Orde Baru dan pelanggaran UUD 45 dan HAM. Siauw meninggal sebagai seorang patriot di negara asing dan sebagai seorang pelarian politik – jauh dari tanah air yang ia cintai. Dan Nasion Indonesia, yang ia turut bangun dengan jiwa raganya masih belum terwujud dalam bentuk yang ia impikan dan perjuangkan. Berakhirlah karier politik Siauw dalam membangun Nasion Indonesia. 416 Zaman Orde Baru Siauw dengan isteri, putri bungsu dan adik ipar di RSPAD, setelah operasi hidung sebagai tapol 1973 417 Siauw Giok Tjhan Hadiah seorang tapol untuk Siauw ketika ia diubah statusnya sebagai tahanan rumah dari Salemba, September 1975 418 Zaman Orde Baru Tan Gien Hwa - mempersiapkan makanan untuk dikirim ke tahanan, Juli 1974 419 Siauw Giok Tjhan Siauw dan isteri semasa berstatus tahanan rumah, Januari 1976 420 Zaman Orde Baru Siauw dan isteri di Madame Tussaud, Amsterdam, 1980 Siauw, penulis dan Siauw Giok Bie, Koln, 1980 421 Siauw Giok Tjhan Dengan Chi Peng Fei, Wakil Perdana Menteri RRT, Beijing, Oktober 1981 422 Zaman Orde Baru Go Gien Tjwan, Siauw dan Tjoa Sik Ien, Amsterdam, 1981 423 Siauw Giok Tjhan Reuni keluarga Siauw ketika Siauw Giok Tjhan meninggal pada 20 November 1981, 7 anak Siauw Giok Tjhan, 5 anak Siauw Giok Bie, plus Tan Soen Houw, Siauw Giok Bie dan isteri, Tan Gien Hwa, Go Gien Tjwan dan isteri, Amsterdam, 23 November 1981 424 Kesimpulan BAB 16 KESIMPULAN Siauw Giok Tjhan memang lebih dikenal sebagai tokoh Tionghoa. Akan tetapi ruang lingkup perjuangannya nasional dan didasari atas kepentingan nasional. Salah satu program perjuangan utama Siauw berkaitan dengan Nation-Building, sebuah perjuangan mewujudkan “Nasion” Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, termasuk suku Tionghoa. Selama 40 tahun terakhir ini pengertian Bangsa dan Kebangsaan Indonesia telah menjadi kabur. Untuk bisa menganalisis perkembangan sejarah secara objektif, sejarah yang pernah dikaburkan oleh rezim Orde Baru perlu diluruskan. Penuturan sejarah perjuangan Siauw Giok Tjhan ini diharap bisa membantu proses pengertian dan penggalian program-program politik yang masih relevan untuk diterapkan di masa yang akan datang. Ketokohan Siauw Giok Tjhan Ketokohan dan keberhasilan Siauw Giok Tjhan di dalam zamannya, berkaitan erat dengan empat pembawaan utamanya: Pertama, walaupun Siauw adalah seorang keturunan Tionghoa dan duduk di berbagai lembaga legislatif dan eksekutif sebagai wakil golongan minoritas Tionghoa, ia selalu menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Dengan demikian, perjuangan politiknya selalu berorientasi kepada kepentingan Nasional. Walaupun kadang-kadang yang ia perjuangkan merupakan pembelaan langsung terhadap kepentingan golongan Tionghoa, tetapi implikasi pembelaan itu adalah perbaikan yang menguntungkan Rakyat Indonesia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, ia bisa dianggap sebagai seorang patriot Indonesia. Kedua, Siauw sangat gamblang dengan terwujudnya persatuan 425 Siauw Giok Tjhan Nasional. Komitmen ini jelas tampak dari pola perjuangannya. Ia selalu berusaha untuk bekerja sama dengan semua tokoh Nasional dan kelompok politik yang bersedia untuk bekerja sama dengannya dalam mencapai objektif Nasional, tanpa memperdulikan latar belakang serta ideologi politik mereka. Inilah yang menyebabkan ia bekerja erat dengan berbagai tokoh Nasional dari berbagai aliran di zaman-zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Kawan-kawan dekatnya termasuk Sartono dan Ali Sastroamidjojo (PNI); I.J Kasimo (Partai Katolik); Tambunan (Parkindo); Sukarni dan Adam Malik (Murba); Zainul Arifin (NU); Aruji Kartawinata (PSII); Nya Diwan (Perti); dan Lukman; Njoto (PKI). Ketiga, Siauw adalah seorang legalist. Baginya RI harus berkembang menjadi sebuah negara yang mengindahkan undang-undang dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, semua perdebatannya baik di dalam maupun luar parlemen, berkaitan dengan UU Dasar yang berlaku. Perjuangannya dalam melawan diskriminasi rasial bersandar pada pengertian bahwa tindakan rasis bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional. Berdasarkan argumentasi hukum inilah, Siauw mengembangkan pengertian “Kewarganegaraan dan Warganegara Indonesia”. Baginya istilah Indonesia “asli” tidak bisa dilegitimasikan. Keempat, Siauw adalah seorang politikus yang menghayati aspirasi ketiga golongan yang senantiasa berinteraksi dengannya: golongan yang dinamakan Indonesia “asli”, golongan Tionghoa totok, yang masih kokoh mempertahankan kebudayaan Tionghoa dan golongan Tionghoa peranakan yang sudah berakulturisasi dengan masayarakat setempat. Karakter inilah yang menyebabkan Siauw mampu berkecimpung di dalam ketiga “dunia” tanpa kehilangan arah dan pijakan politiknya. Keempat pembawaan yang diuraikan memungkinkan Siauw diterima oleh banyak pemimpin Nasional dan oleh massa Tionghoa yang diwakilinya, baik yang peranakan maupun yang totok di dalam berbagai zaman politik di Indonesia. 426 Kesimpulan Aktifitas Politik Siauw tidak bisa dikatakan sebagai seorang Tionghoa biasa, karena pembawaannya berlawanan dengan stereotipe orang Tionghoa. Sejak berusia 18 tahun ia berkecimpung di dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan setelah kemerdekaan tetap aktif di dalam gerakan politik yang oleh banyak orang Tionghoa dianggap sebagai profesi yang “onghiam” – berbahaya. Seperti yang digambarkan di dalam buku ini, Siauw duduk di dalam badan legislatif (Komite Nasional Indonesia Pusat dan Badan Pekerjanya) sejak tahun 1946 sampai ia “dengan hormat” dihentikan oleh rezim Orde Baru dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal tahun 1966. Di dalam zaman revolusi (19451949), bersama Tan Ling Djie, Oey Gee Hwat dan Go Gien Tjwan, Siauw turut memimpin dan mempengaruhi berbagai kebijakan Partai Sosialis – partai utama yang memimpin pemerintahan sampai awal tahun 1948. Ia pernah menjadi menteri di dalam kabinet Amir Sjarifuddin antara tahun 1947 dan 1948. Di zaman Demokrasi Terpimpin, ia juga diangkat oleh presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dan di dalam berbagai zaman ia memimpin beberapa penerbitan surat kabar dan majalah. Kehadiran Siauw di dalam parlemen dan keaktifannya dalam melawan berbagai UU dan peraturan rasis berhasil mengurangi dampak UU dan peratutan itu terhadap golongan Tionghoa. Yang jelas, usaha sementara pimpinan pemerintah dalam menjalankan program ekonomi yang mendiskriminasikan golongan Tionghoa dengan dalih ekonomi Nasional atau kepentingan Nasional, seperti Pedoman Baru untuk usaha Bis, Peraturan penggilingan padi dan kebijakan import “benteng”, mendapat perlawanan yang gigih dari Siauw. Kebijakan rasis ini menurut Siauw merugikan Indonesia secara keseluruhan karena bukan saja menimbulkan pemborosan dan brain-drain tetapi juga menghambat pengembangan industri 427 Siauw Giok Tjhan lokal yang penting untuk pembangunan negara. Baperki, Nation-Building dan Integrasi Bagian terpenting karier politik Siauw berkaitan dengan usahanya dalam mendirikan dan memimpin Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Di bawah pimpinannya, Baperki berkembang menjadi organisasi massa yang secara efektif mampu melawan diskriminasi rasial melalui kancah politik. Baperki mengutamakan gerakan politik dan pendidikan politik. Orientasi politiknya sepenuhnya didasari oleh UUD yang berlaku. Pada zaman Demokrasi parlementer, UUDS-50 menjadi dasar perjuangannya, yang kemudian diganti dengan UUD-45 di dalam zaman Demokrasi Terpimpin. Dan yang menjadi pokok perjuangan Siauw dan Baperki-nya adalah pembangunan “Nasion” Indonesia. Nation Building – istilah yang kerap dipergunakan oleh Bung Karno -- bagi Siauw berkaitan dengan kewarganegaraan Indonesia dan Moto negara, Bhinneka Tunggal Ika. Sejak dari mula, Siauw menginginkan sebanyak mungkin orang Tionghoa menjadi Warga Negara Indonesia. Visi ini didasari pandangan bahwa bagi sebagian besar penduduk Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya. Mereka tidak akan bisa nikmat hidup di Tiongkok. Disamping itu, Siauw-pun berpendapat bahwa dengan menjadi WNI, hak dan kewajiban mereka lebih terjamin secara hukum. Dan yang lebih penting lagi, Siauw percaya bahwa dengan menjadikan sebanyak mungkin orang Tionghoa WNI, proses pembangunan Indonesia akan dipercepat, karena mereka terdorong berbakti untuk Indonesia. Oleh karena itu, Siauw selalu memperjuangkan dipertahankannya UU Kewarganegaraan 1946 yang mengadopsi sistim Pasif – yang memungkinkan setiap orang yang lahir di Indonesia diakui sebagai WNI tanpa harus lebih dahulu secara aktif memilih kewarganegaraan Indonesia. 428 Kesimpulan Dengan gigih Siauw memperjuangkan keluarnya UU dan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan yang menjamin sebagian besar penduduk Tionghoa kelahiran Indonesia menjadi WNI. Usahanya ini berhasil menjadikan sebagian besar orang Tionghoa kelahiran Indonesia, pada tahun 1965, WNI. Pada tahun 60-an dan 70-an, kebenaran visi Siauw bahwa sebaiknya sebagian besar orang Tionghoa yang hidup di Indonesia itu menjadi WNI, diakui oleh banyak orang. Kini kenyataannya lebih dari 70% penduduk Tionghoa di Indonesia adalah WNI. Siauw sering menyayangkan penggunaan kata “bangsa” dalam menterjemahkan kata-kata “race’ dan “nation”. Menurutnya kata “bangsa” dipergunakan untuk kedua hal yang memiliki perbedaan arti dan makna yang telah menimbulkan kerancuan dan kesalah pahaman, yang merusak usaha perwujudan “Nasion” yang sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan. “Nasion” yang dikehendaki para pejuang kemerdekaan terdiri dari berbagai suku bangsa yang bertekad untuk bersatu dan menjadi isi wilayah Indonesia. Race adalah pengertian biologis yang mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri biologis yang sama. Sedangkan “nation” adalah istilah politik yang mendefinisikan satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri politik. Menurut Siauw, Indonesian Race – Ras Indonesia – tidak ada. Yang ada adalah “Nasion” Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Dan menurut Siauw, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari “Nasion” Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan “Nasion” Indonesia – Nasion yang ber Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, menurut Siauw, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh “Nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi “Nasion” Indonesia itu menjadi aspirasi 429 Siauw Giok Tjhan setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia. Menurut Siauw, kecintaan seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran untuk berbakti kepada Indonesia. Oleh karena itu Siauw menentang konsep assimilasi yang dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) pada awal 1960-an. LPKB mencanangkan assimilasi sebagai “terapi” penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan assimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaannya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama ke nama-nama yang tidak berbau Tionghoa dan kawin campuran. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Kalau ini dijalankan, mereka menyatakan, lenyaplah diskriminasi rasial. Akan tetapi, Siauw tidak menentang proses assimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genocide, seperti yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II. Sayangnya perdebatan tentang “terapi” penyelesaian masalah minoritas Tionghoa ini lalu dipengaruhi oleh perkembangan politik yang kian berpolarisasi di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, sehingga yang ditekankan adalah garis politik. Solusi Integrasi dikaitkan dengan solusi “kiri” sedangkan Assimilasi, solusi “kanan”. Karena Baperki didukung oleh Presiden Soekarno, yang 430 Kesimpulan beraliansi dengan PKI di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, posisi politiknya lebih kuat dan konsep integrasi-lah yang didukung oleh Presiden Soekarno. Baperki memang berkembang sebagai organisasi yang membela hak-hak orang Tionghoa baik sebagai WNI maupun penduduk di Indonesia. Yang ditampung oleh Universitas dan sekolahsekolah Baperki sebagian besar adalah orang-orang Tionghoa. Ini lalu menimbulkan kesan bahwa Baperki berkembang menjadi sebuah organisasi eksklusif. Tuduhan ini bisa beralasan bilamana memang kegiatan itu semata-mata untuk golongan Tionghoa, tanpa memperdulikan masalah Nasional. Akan tetapi pada kenyataannya, ke”eksklusifan”-nya terbatas pada sarana pertemuan saja. Baperki menganjurkan para siswa dan massa-nya untuk meleburkan dirinya ke dalam kegiatan di berbagai bidang bersama pihak mayoritas, demi kepentingan Nasional. Para siswa-nya dianjurkan untuk masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Mereka didorong untuk menghayati kebudayaan Indonesia, sebuah program yang menghasilkan penari-penari tradisional Indonesia dari suku Tionghoa yang terbaik. Para anggotanya yang berniat untuk aktif di dalam gerakan politik dianjurkan untuk masuk Partindo (Partai Indonesia). Jadi ke”eksklusifan” itu dipergunakan untuk mendidik massa Baperki untuk berorientasi ke Indonesia – aktif bahu membahu dengan semua komponen bangsa lainnya dalam membangun Indonesia. Program Ekonomi Salah satu sumbangan penting Siauw dalam memformulasikan program ekonomi Nasional berkaitan dengan anjurannya agar modal domestik – tanpa memperdulikan siapa dan latar belakang ras pemiliknya – dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat dikerahkan untuk membangun ekonomi negara dan mempercepat kemakmuran rakyat. 431 Siauw Giok Tjhan Menurut Siauw, pemilik modal domestik memiliki pembawaan yang sangat berbeda dengan pemilik modal-asing, apalagi yang bersifat multi-Nasional. Tujuan utama mereka yang memiliki modal luar negeri adalah mengeruk keuntungan sebanyak mungkin tanpa memperdulikan kemakmuran atau nasib Rakyat, dan keuntungan ini ditarik keluar dari Indonesia. Sedangkan mereka yang memiliki modal domestik, hidup di Indonesia dan akan memutarkan keuntungan yang diperolehnya di Indonesia, bilamana memang program politik dan ekonomi pemerintah mendorongnya. Dengan demikian, ia berpendapat, sebaiknya pemerintah lebih mengutamakan usaha untuk mengembangkan modal domestik daripada bersandar pada “bantuan” luar negeri, termasuk IMF. Kebijakan ini diadopsi oleh pemerintah RI mulai tahun 1963 dan masuk pula dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) – MPRS. Baperki dan Siauw Komunis? Baperki dan Siauw oleh musuh-musuh politiknya dikatakan komunis. Di zaman Orde Baru, semua hal yang berkaitan dengan Baperki dan Siauw di-komuniskan. Bahkan, “terapi” integrasi yang dicanangkan oleh Siauw-pun dikatakan sebagai “terapi” komunis. Oleh sementara tokoh LPKB seperti Sindhunatha dan Junus Jahja, Siauw dianggap berdosa karena telah “mengajak” massa-nya dan golongan Tionghoa secara keseluruhan untuk berkiblat ke komunis sehingga setelah pergantian politik pada tahun 1965, golongan Tionghoa secara keseluruhan mengalami malapetaka. Pimpinan LPKB-pun mengklaim bahwa mereka-lah yang “menyelamatkan” golongan WNI keturunan Tionghoa dari malapetaka dengan menunjukkan kedekatan mereka dengan Angkatan Darat dan politik anti-Komunis dan anti-RRT yang dianutnya. Mereka juga menuntut masyarakat untuk membedakan WNI Tionghoa dengan Tionghoa totok dengan anjuran menunjukkan kemarahan dan serangan ke RRT dan Tionghoa totok. Sebagai akibat dari tindakan meng-komuniskan Baperki itu, 432 Kesimpulan Baperki dibubarkan; tokoh-tokohnya, termasuk Siauw, ditangkap dan meringkuk di dalam penjara berbelas tahun tanpa proses pengadilan apapun – mereka yang tidak ditangkap dijadikan korban pemerasan teror, Universitas-nya dibakar dan kemudian diambil alih (kini dinamakan Trisakti), dan sekolah-sekolahnya dijadikan sekolah-sekolah negeri. Stigma yang berkaitan dengan tuduhan bahwa Baperki dan Siauw komunis itu memang masih melekat dalam benak banyak orang, sampai sekarang. Akan tetapi pengamatan sejarah yang kritis akan menyimpulkan bahwa tuduhan LPKB yang kemudian dijadikan versi resmi rezim Orde Baru itu, tidak beralasan. Pidato-pidato, tulisan-tulisan Siauw Giok Tjhan, juga dokumendokumen Baperki tidak pernah mencanangkan komunisme sebagai objektif perjuangan politik mereka. Yang didambakan oleh Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia yang diformulasikan Presiden Soekarno dan yang sesuai dengan UUD45. Memang ada orang-orang Komunis di dalam tubuh Baperki. Akan tetapi terdapat juga para anggota partai-partai Islam, Nasionalis, Katolik dan Kristen di dalamnya. Perlu diingat bahwa pada zaman Demokrasi Terpimpin, setiap organisasi politik dianjurkan untuk mengandung elemen Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dan pada waktu itu, PKI, bukan saja resmi berdiri tetapi juga merupakan salah satu partai terbesar. Siauw sendiri tidak pernah menjadi anggota PKI. Program ekonomi Siauw menganjurkan dipertahankannya sistim kapitalisme yang memungkinkan pengembangan modal domestik untuk pembangunan ekonomi Nasional. Paham ini jelas bertentangan dengan paham komunisme. Massa Baperki terdiri dari orang-orang yang berasal dari kelas menengah bawah. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang kecil-menengah, yang jelas tidak bisa begitu saja menerima paham komunisme. Memang Baperki di akhir zaman Demokrasi terpimpin jelas 433 Siauw Giok Tjhan mendukung Presiden Soekarno, jadi berpijak di dalam kamp aliansi Soekarno dan PKI. Ia memang dekat dengan Soekarno dan tokohtokoh PKI. Akan tetapi, ia tidak kalah dekatnya dengan tokoh-tokoh Nasional lainnya yang dikenal sebagai musuh-musuh PKI. Dosa Baperki dan Siauw? Dapatkah malapetaka yang dialami oleh banyak orang Tionghoa di Indonesia setelah Oktober 1965 dikaitkan semata-mata dengan kebijakan politik Siauw dan Baperki, seperti yang dikatakan oleh tokoh-tokoh LPKB? Pengamatan yang jujur akan menyimpulkan bahwa pernyataan ini tidak benar. Perkembangan politik di akhir zaman Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Soekarno memang menimbulkan ketegangan politik yang tidak lepas dari pengaruh politik Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kedekatan pemerintah RI dengan RRT dengan sendirinya mengkhawatirkan kedua super-powers yang ingin merealisasi politik mengisolasi RRT. Kesempatan untuk menghantam semua yang berhubungan dengan RRT itu timbul ketika Jendral Soeharto secara bertahap merenggut kekuasaan pemerintah dari tangan Presiden Soekarno pada akhir tahun 1965/ awal 1966. Gerakan anti-komunis yang dipimpin oleh Soeharto ini lalu mengikut sertakan politik anti-RRT dan anti Tionghoa yang membuahkan pogrom anti Tionghoa yang ganas. Kiri atau tidak kirinya Baperki dan Siauw, bahkan ada atau tidak adanya Baperki dan Siauw dalam kancah politik sebelum gerakan anti-Komunis itu dilangsungkan pada akhir tahun 65/awal 66, tidak akan sedikitpun mempengaruhi keberlangsungan gerakan anti-Tionghoa itu. Walaupun beberapa bekas tokoh LPKB menyatakan bahwa mereka telah berhasil menyelamatkan golongan Tionghoa dari musibah yang lebih hebat pada awal zaman Orde Baru, mungkin tanpa mereka sadari, mereka telah melempar “bensin” ke api anti Tionghoa yang sedang membara di masa itu. Mereka menganjurkan berbagai kebijakan assimilasi dalam bentuk menghantam RRT 434 Kesimpulan dan Tionghoa totok yang berkiblat ke RRT, melarang penggunaan bahasa Tionghoa, melarang melakukan ibadah Tionghoa, “memaksa” penggantian nama secara massal. Kesemuanya ini malah melahirkan berbagai kebijakan rasis yang lebih mengisolasi golongan Tionghoa yang seyogyanya diajak untuk berbakti kepada Indonesia. Setelah assimilasi “dipaksakan” selama 32 tahun di zaman Orde Baru, masalah Tionghoa semakin parah – klimaks-nya dirasakan pada bulan Mei 98 – dan jelas tidak memenuhi harapan para pencetusnya. Ke depan Pengalaman Baperki dan Siauw menunjukkan bahwa: a. Golongan Tionghoa perlu memilki sebuah organisasi yang bisa membela kepentingannya di arena politik. Organisasi ini, seperti Baperki, harus memiliki program Nasional yang diterima dan didukung oleh tokoh-tokoh Nasional. Program kerja organisasi ini harus mengikut sertakan pendidikan politik yang bisa mendorong golongan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia tanpa menghilangkan ke Tionghoaannya dan mendorong mereka untuk berbakti sepenuhnya demi kepentingan Indonesia, di bidang politik, sosial dan ekonomi. b. Golongan Tionghoa juga perlu memiliki wakilwakilnya di dalam partai-partai politik yang berpengaruh, sehingga bisa mempengaruhi program-program para partai tersebut – yang menjamin hilangnya program politik yang bersifat rasis. c. Dalam waktu bersamaan, golongan Tionghoa harus memiliki wakil-wakil di badan-badan legislatif dan eksekutif tertinggi sehingga penghapusan UU yang bersifat rasis bisa diperjuangkan dan diubah dengan UU yang konstruktif mengajak semua komponen bangsa untuk membangun 435 Siauw Giok Tjhan Indonesia. d. Golongan Tionghoa perlu aktif dalam bergerak di “grass-roots” level dan berjuang mempercepat proses pembangunan Nasion Indonesia. Keinginan untuk berpihak pada Rakyat terbanyak, Menunggal dengan Rakyat, tidak semata-mata pada pihak penguasa, harus diperbesar. Diharap buku Siauw Giok Tjhan ini bisa meluruskan sejarah yang telah dipalsu selama ini, sehingga berbagai kebijakan yang dicanangkan oleh Siauw dan Baperki dipelajari secara lebih objektif. Bilamana kebijakan-kebijakan itu dianggap relevan, hendaknya diterapkan dalam membangun Nasion Indonesia untuk kebaikan Rakyat Indonesia secara keseluruhan. 436 Amanat Bung Karno - 1963 AMANAT BUNG KARNO Pidato Presiden Soekarno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI di Istana OIah Raga Gelora Bung Karno pada 14 Maret 1963. BAPERKI SUPAYA MENJADI SUMBANGAN BESAR TERHADAP REVOLUSI INDONESIA Saudara-Saudara dan Anak-Anakku sekalian, Lebih dahulu saya menyatakan terima-kasih saya serta rasa haru hati saya berhubung dengan dibuatnya dan dinyanyikanaya lagu “Hidup lah Bung Karno” yang beberapa detik yang lalu kita bersama telah mendengar. Terima kasih. Di samping mengucapkan terima kasih itu saya menyatakan kekaguman saya atas kemahiran komponis lagu itu, yang dari Saudara Siauw Giok Tjhan saya mendengar bahwa komponisnya ialah seorang puteri, komponiste, yaitu Saudari Evie Tjoa. Terima kasih. Saudara-Saudara sekalian, sekarang saya diminta untuk memberi sambutan amanat sekadarnya kepada resepsi pembukaan Kongres Baperki yang ke-8 ini. Tadi Bapak Roeslan Abdulgani telah berkata, bahwa beliau bicara sebagai voorrijder dari saya. Saudara tahu, kalau saya resmi sebagai presiden berkendaraan mobil ke sesuatu tempat, lantas ada voorrijdernya. Orang-orang yang mendahului perjalanan mobil saya itu untuk membuka jalan, voorrijder. Malah ada yang lebih lagi mendahului perjalanan saya, itu bukan voorrijder, tetapi sweeper, penyapu bersih. Presiden harus diadakan voorrijder, harus diadakan sweeper. Sering saya berkata, mbok ya zonder voorrijder, zonder sweeper, tidak perlu pakai sirene mengaung-ngaung. Tetapi anggota-anggota pemerintah dan semua staf Istana berkata: “Menurut aturan harus demikian, Pak.” Jadi, ya, saya nurut saja. Maunya itu kadang-kadang 437 Siauw Giok Tjhan saya mau ngluyur sendiri, Saudara-Saudara, tapi tidak boleh! Selalu harus dengan voorrijder, harus dengan sweeper. Nah, ini tadi Pak Roeslan bicara, kata beliau, sebagai voorrijder saya. Pada waktu saya mendengar pidato Pak Roeslan, saya kok ingat kepada kerbau dan gudel. Tahu gudel itu apa? Anak kerbau. Anak kerbau itu dalam bahasa Jawa dinamakan gudel. Anak ayam dinamakan kuthuk. Anak ikan bandeng dinamakan nener. Anak kuda dinamakan belo. Dalam bahasa Jawa anak kerbau dinamakan gudel. Ada peribahasa Jawa “kebo nyusu gudel”, kerbau menyusu kepada anaknya sendiri. Kerbau menyusu kepada gudel, kepada anaknya sendiri. Pak Roeslan itu dulu murid bapak, murid saya. Terutama sekali di dalam ilmu politik. Waktu belakangan ini, beberapa tahun belakangan ini tiap kali saya mendengar Cak Roeslan Abdulgani berpidato, saya mendapat perasaan, wah ini, gudelnya ini bukan main! Gudel ini ngalahkan kebo! Tapi saya senang dan bergembira atas hal yang demikian itu, moga-moga malahan Cak Roeslan dari gudel Menjadi lah banteng iang sehebat-hebatnya! Dan juga pemuda-pemuda, pemudi-pemudi yang duduk di situ supaya semuanya menjadi banteng-banteng Indonesia! Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan pembukaan kongresnya yang ke-8, masuk tahun yang ke-10, kata Cak Siauw. Dengan lentong Jawa Timur Cak Siauw tadi berkata, Baperki sekarang masuk usia yang ke-10. Jawa Timur-nya Cak Siauw, “Demokrasi Terpempin”. Malah mengeluarkan perkataan tiap- tiap kali yang dimaksudkan itu alasan, beliau berkata “Alesan.” ..... Oo, itu dapat dari mana itu, perkataan “alesan”?! Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan kongres yang ke-8, saya diundang datang di sini. Jauh-jauh sebelum ada kongres ini, dan pada waktu pertama kali ditanya kepada saya: “Sudi apa kah kiranya PYM Presiden datang di kongres Baperki?” Saya menjawab, mau. Insya Allah, mau. Apa sebab? Sebabnya ya, Baperki itu satu perkumpulan yang baik. Baperki tegas berdiri di atas Pancasila. 438 Amanat Bung Karno - 1963 Baperki tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat. Baperki tegas berdiri di atas Manipol-Usdek dan lain-lain sebagainya. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh karena itu saya datang. Ya, kita sekalian ini sebenarnya, Saudara-Saudara, untuk menyelesaikan Revolusi. Kalau, baik Nyonya Lie maupun Cak Siauw berkata: “Bung Karno yang tercinta”, saya mengerti itu sebenarnya bukan tercinta kepada persoon saya, meski pun hal ini ada ceritanya ini. Tetapi tercinta, cinta kepada Revolusi Indonesia, yang saya ini oleh MPRS dijadikan Pemimpin Besar Revolusi. Dan saya pernah berkata, saya tidak menganggap diri saya menjadi pemimpin. Saya tidak lah mengangkat diri saya menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Tidak! Di dalam salah satu pidato saya berkata, bahwa pemimpin itu, pemimpin yang pemimpin, bukan karena angkatan sendiri, tidak. Tetapi dia itu adalah perasan wartawan, perasan! Dulu ada wartawan yang menulis perasaan, bukan, perasan, diperas..nah keluar. Satu Rakyat berjoang, dalam perjoangan itu seperti memeras. Nah, keluar lah pemimpinnya. Pemimpin yang benar pemimpin adalah perasan dari perjuangan. Saya, Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemimpin Besar Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah salah satu perasan dari Revolusi itu. Maka oleh karena itu manakala Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia. Nah, Baperki itu demikian. Berulang-ulang Baperki berkata, aktif menyelesaikan Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas segala hal yang mengenai Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas Pancasila, tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk menyelesaikan Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu saya dengan gembira dan senang hati datang di kongres-resepsi Baperki ini. Saudara-saudara, saya ini diangkat menyadi Presiden Republik 439 Siauw Giok Tjhan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. UndangUndang Dasar 1945 itu begini, Saudara-saudara. Pada 17 Agustus 1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan Timur yang sekarang berdiri di sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Poa itu ada tugu, tugu itu ditaruh persis di tempat yang dulu saya injak membacakan Proklamasi itu. Jadi kalau Saudara-Saudara ingin mengetahui tempat yang saya membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945, tugu Pegangsaan Timur 56 itu lah tempatnya. Di atas tugu itu diadakan gambarnya petir, gambar bledek, oleh karena di tempat itu dulu dibacakan naskah proklamasi. Dan naskah proklamasi itu memang boleh dikatakan petir, geledek, yang didengarkan oleh lima benua dan tujuh samudera! Tempo hari saya pernah pidato, nama Indonesia itu terkenal dan termasyhur, pertama kali pada tahun 1883, tatkala gunung Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah pertama kali mengorbitkan batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau meledak, batu dan pasirnya disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam orbit mengelilingi dunia bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim waktu senja, sore, langit di Amerika, langit di Eropa kelihatan warna dari pengorbitan batu-batu dan pasir-pasir Indonesia itu. Pada 1883 pertama kali Indonesia mengagumkan dunia. Kemudian di dalam pidato, yaitu pidato Front Nasional 13 Februari yang lalu saya berkata, ke dua kalinya nama Indonesia termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah, Saudara-Saudara, saya menghendaki agar supaya nama Indonesia itu sering menjadi sebutan orang di dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan Indonesia yang jelek, tidak, tetapi hendaknya karena perbuatanperbuatan bangsa Indonesia, Rakyat Indonesia sebagai mercusuar, kataku, dari umat manusia di dunia ini. Saudara-Saudara, di dalam keadaan yang demikian itu lah kita sekarang ini berada, kita telah dapat memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik, akan nanti terlaksana pada tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal puluhan hari lagi. Itu pun seperti satu ledakan dari gunung Krakatau, dilihat dan disaksikan 440 Amanat Bung Karno - 1963 oleh seluruh dunia. Kita telah dapat menyelesaikan soal keamanan dalam garis besarnya. Tinggal satu yang belum, yaitu program ke tiga dari Tri-program Pemerintah, Sandang-pangan. Dan di sini kita sekalian harus mencurahkan kita punya tenaga agar supaya soal sandang-pangan ini lekas bisa terpecahkan. Dan tadi Pak Roeslan, Cak Roeslan, telah menggambarkan pada Saudara-Saudara, tekad daripada Pemerintah Republik Indonesia, bahwa Republik Indonesia, Pemerintahnya tetap memegang teguh kepada Tri-program ini. Tetap hendak menyelesaikan Tri-program ini. Tetap dus akan menyelesaikan program ke tiga dari Tri-program yang berbunyi sandang-pangan. Bukan meninggalkan Tri-program ini, tetapi tetap berpegang teguh kepada Tri-program ini sambil meng-integrasikan segenap tenaga Rakyat, apa yang dimaksudkan oleh Panca Program Front Nasional. Nah ini, maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong, bukan saya menyokong, bahkan ikut serta, ingin ikut serta, ingin dibawa ikut serta di dalam pelaksanaan Panca Program Front Nasional itu, maka saya merasa amat sekali berbahagia dan memberi restu saya kepada Baperki. Saya tadi berkata, saya berpidato di sini bukan saya sebagai Bung Karno yang tercinta, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden dari Republik Indonesia, yang di dalam Undang-Undang Dasar 45 --saya tadi belum ceritakan, dibacakan Proklamasi tanggal 17 Agustus 45. Keesokan harinya, 18 Agustus 45, diterima lah dengan resmi oleh Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD 45. Jadi UUD 45 itu sebetulnya resmi lahirnya pada tanggal 18 Agustus 1945. Nah, Di dalam UUD 45 ini ada ditullis satu hal. Dan hanya sekali itu disebut, Saudara-Saudara, perkataan “asli”, yaitu bahwa Presiden Republik Indonesia harus seorang Indonesia “asli”. Dituliskan di dalam UUD 45, Presiden harus orang Indonesia “asli”. Saya dianggap orang Indonesia “asli”. Garis tiga di bawah perkataan “dianggap” itu. Nah, taruh garis tiga di bawah perkataan “dianggap”. Dianggap, 441 Siauw Giok Tjhan strip, strip, strip, “drie strepen onder dat woord” ‘dianggap’ orang Indonesia asli. Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener “asli”? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep (tidak tahu--red.). Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa menunjukkan “asli” atau tidak “asli” dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap “asli”. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada darah Tionghoa di dalam badan saya ini! Kalau melihat sifat saya, Saudara-Saudara, saya ini sedikitsedikit rupa Tionghoa. Nah, terang-terangan, saya ini kan rupanya saya sudah kelihatan sedikit Tionghoa! Lain dengan Cak Roeslan, sedikit Keling dia itu! Jadi siapa bisa menyebutkan dirinya “asli” atau tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara. Kalau melihat jaman dekat saya, Saudara-Saudara, jaman dekat, saya ini adalah anak hasil perkawinan dari orang suku Jawa dengan orang suku Bali. Ibu saya itu orang Bali, bapak saya orang Jawa. Saya sudah belasteran antara Bali dan Jawa. Belasteran. Ya maklum, Cak Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa Timuran, arek Suroboyo! Ibu saya itu orang Bali. Katanya orang Bali itu ada darah dari Majapahit. Majapahit itu ada darah dari Hindu. Bahkan orang Majapahit itu banyak sekali turunan dari Campa, Saudara-Saudara. Barangkali Saudara-Saudara pernah baca di dalam kitab sejarah, di Majapahit itu banyak sekali puteri-puteri dari Campa. Putri Cempo, kata orang Surabaya. Jadi mungkin di dalam tubuh ibu itu sudah mengalir darah Campa. Saya pun katanya dari suku Jawa, tapi bapak itu siapa tahu, campuran, campuran. Ayo, aku tanya kepada Saudara yang duduk di sini dengan dasi yang baik itu. Apa Saudara bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa. Maka itu, Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai persoon, saya sendiri tidak tahu “asli” atau tidak “asli” itu. Saya 442 Amanat Bung Karno - 1963 sendiri tidak mengadakan perbedaan antara “asli” dengan tidak “asli”. Tidak. Saya mau cerita satu rahasia, tatkala saya masih muda, SaudaraSaudara, hampir-hampir saya ini kawin dengan orang Nio! Saya cuma sebut nama, she-nya tidak saya sebutkan. Saya tidak sebutkan she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja. Tapi, yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial, alam pramerdeka. Orang tuanya Thiam Nio --she-nya tidak saya sebutkan-dia berkata: “Masak kawin sama orang Jawa!” Saya dikatakan orang Jawa. Sepihak dari orang tua saya berkata: “Masak kawin sama orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!” Alam demikian pada waktu itu, sehingga tidak terjadilah perkawinan antara Sukarno dengan Thiam Nio itu. He, tapi satu rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara, saya sendiri tidak berdiri di atas “asli” atau tidak “asli”, tidak, tidak, sama sekali tidakl Karena itu maka saya pada tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita mengadakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahkan pada waktu itu di bawah ancaman bayonet Jepang, SaudaraSaudara, saya telah ucapkan “Lahirnya Pancasila”, yang tadi diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan Abdulgani. Lantas Cak Roeslan Abdulgani bertanya kepadamu sekalian, engkau anggota-anggota Baperki, apa kah betul-betul engkau memegang teguh kepada nasionalisme?! Memegang teguh kepada Pancasila?! Sebagai diucapkan beberapa kali. Jawab Saudara-Saudara sekalian ialah, ya, kita berpegang teguh kepada Pancasila. Kita oleh karenanya cinta kepada tanah-air, bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai ke Merauke. Di dalam “Lahirnya Pancasila” memang saya terangkan hal yang demikian itu. Saya citeer Ernest Renan. Kemudian saya koreksi. Ernest Renan adalah terlalu sempit. Saya koreksi dengan Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa “Eine nation ist eine aus Schickselgemeinschaft erwachsene Karaktergemeinschaft”, sebagai yang diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun 443 Siauw Giok Tjhan saya koreksi, saya bawa lanjut kepada persatuan dari tanah-air, hubungan antara manusia dengan buminya Itu tahun 45, Saudara-Saudara. Sekarang bagi saya sendiri, bahkan lebih dari itu. Saya adalah nasionalis Indonesia. Saya adalah orang Indonesia. Saya adalah pencinta bangsa dan tanahair Indonesia ini, bukan hanya oleh karena nasionalisme-ku adalah satu jiwa ingin bersatu, Renan, ‘le desir d’etre ensemble’ yaitu keinginan untuk bersatu. Ingin kah kita bersatu ini, aku dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan kita sekalian dari Sabang sampai Merauke? Lebih dari itu, kataku. Otto Bauer berkata, bahkan sekadar ingin bersatu, bukan sekadar satu jiwa, un ame, artinya jiwa, tidak. Bukan sekadar itu, tetapi adalah persatuan perangai. Karaktergeimeinchaft. Kita mempunyai kepribadian sendiri, karakter, karakter Indonesia. Adakah engkau dari kepribadian ini?! Adakah engkau dari karakter ini? Adakah karaktermu, karakterku, karaktermu sama? Lebih dari itu sekarang, Saudara-Saudara. Di dalam “Lahirnya Pancasila” sudah saya tambahkan lagi persatuan antara manusia dengan buminya, yang bumi Indonesia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa telah dikumpulkan menjadi satu antara dua benua dan dua samudra. Ini satu petunjuk. Dan bukan saja itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di bumi ini, kita akan mati di bumi ini. Adakah persatuan antaramu dengan bumi yang disatukan oleh Tuhan ini dari Sabang sampai ke Merauke? Satu pernyataan pula. Sekarang aku tambah lagi, bagiku sendiri bukan sekadar persatuan antaraku dengan bumiku, dengan Sabangku, dengan Sumtateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan Baliku, dengan Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan Irian Baratku, tidak. Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu, mu, mu, mu, dengan geografi yang bernama Indonesia. Tidak. Aku sudah naik kelas yang lebih tinggi dari itu, naik kelas 444 Amanat Bung Karno - 1963 kepada apa yang saya pernah ucapkan di sini, di gedung ini, Sport Hall Senayan, bahwa bagiku Indonesia adalah sudah lebih lagi daripada satu geografi, bahwa bagiku Indonesia sudah lebih lagi daripada rasa d’etre ensemble, bahwa bagiku Indoaesia sudah lebih daripada satu Karaktergemeinschaft. Sebab apa, kataku? Aku berkata secara poetis di dalam pidatoku itu waktu, kalau aku mencium, Indonesia. Kalau aku berdiri di pinggir pantai selatan dan aku menutupkan aku punya mata dan aku mendengarkan lautan sana itu berombak, bergelora membanting di pantai itu, aku mendengarkan Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di atas gunung Tangkubanprahu, aku melihat awan-awan Indonesia, yang lain dengan awan-awan di Switzerland atau awan-awan di Amerika. Kalau aku mendengarkan burung perkutut menyanyi di pepohonan, aku mendengarkan Indonesia. Kalau melihat sinar matanya anak-anak yang berdiri di pinggir jalan, sinar mata anakanak yang berteriakkan “Merdeka Pak, Merdeka, Merdeka”, aku melihat Indonesia. Bahkan aku melihat hari depan Indonesia. Indonesia bagiku adalah sudah satu totaliteit bukan sekedar satu geografi, bukan sekedar satu desir d’etre ensemble, bukan sekedar satu Gemeinschaft karakter. Nah, Indonesia sudah satu totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi Indonesia. Laut, laut Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia. Suara burung, burung Indonesia. Sinar mata manusia, sinar mata Indonesia. Segala angin yang berbisik mengelilingiku ini, angin Indonesia. Dan itu semuanya kucintai. Nah, aku bertanya kepada anggota-anggota Baperki, sudah kah Saudara-Saudara sekalian demikian? Sebab kita ini semuanya sudah seia-sekata mengabdi Revolusi, mengabdi kepada Amanat Penderitan Rakyat yang harus dilaksanakan berdasarkan atas Manipol, berdasarkan atas Usdek, dan lain-lain sebagainya. Persatuan Bangsa yang saya sebutkan berulang-ulang itu sebenarnya sekedar alat, Saudara-Saudara. Saya berkata di JAREK. JAREK itu singkatan dari “Jalannya Revolusi Kita”, yang saya katakan seperti malaikat, di dalam JAREK saya sudah berkata, persatuan 445 Siauw Giok Tjhan adalah mutlak, absolut untuk mencapai tujuan kita. Jikalau kita benar-benar hendak menyelesaikan Revolusi kita, kita harus bersatu. Jikalau kita hendak benar-benar ingin menjadi mercusuar didalam hidup manusia di dunia ini, kita-harus. bersatu. Dan di dalam hal persatuan ini saya berkata, saya menghendaki supaya di dalam persatuan segala unsur bangsa Indonesia itu disatukan. Suku apa pun, ya suku Sumatera, ya suku Jawa, ya suku Kalimantan, ya suku Bali, ya suku apa pun, bersatu lah. Agama apa pun yang dipeluk oleh rakjat Indonesia ini, bersatu lah, dan jangan lah berpecah-belah di atas perlainan-perlainan agama itu. “Asli” atau tidak “asli”, bersatulah. Persatuan adalah mutlak, Saudara-Saudara. Nah, maka oleh karena itu di dalam kita sekarang hendak melanjutkan Revolusi kita ini berlandaskan Manipol dan Usdek, dalam hal ini saya berkata, persatuan tetap mutlak, maka saya menghendaki agar supaya seluruh warga negara, tanpa perbedaan “asli” atau tidak “asli”, tanpa perbedaan agama, tanpa perbedaan suku, semuanya di-Manipol-kan; semuanya kita mengerjakan Manipol dan Usdek itu! Sampai kepada sekolah-sekolah, jangan pun universitasuniversitas, kepada sekolah-sekolah yang sedang melatih kita punya cindil-cindil abang (anak tikus --red.). Saudara-saudara, harus sudah di-Manipol-kan. Cindil-cindil kita yang duduk di bangku sekolah, Manipol-kan. Apalagi yang sudah gerang-gerang (besar), tua bangka seperti kita ini, Manipolkan semuanya! Nah itu lah, Saudara-Saudara, sebabnya, maka saya di sini pun minta kepada Baperki supaja bekerja keras di lapangan ini. Sekarang ini, sebagai tadi sudah saya katakan, Tri-program pemerintah itu satu belum terlaksana. Sandang-pangan. Dan memang ini adalah satu soal yang sulit, tetapi harus kita atasi. Dan sebagai dikatakan oleh Cak Roeslan tadi, pemerintah, dan terutama sekali presidennya, perdana menterinya, Bung Karno-nya telah berketetapan hati untuk terutama sekali berdiri di atas pengerahan tenaga Rakyat. Oleh karena itu maka Panca Program Front Nasional yang sudah saya katakan harus dilaksanakan oleh Front Nasional itu 446 Amanat Bung Karno - 1963 di-integrasikan di dalam usaha kita melaksanakan Tri-program Pemerintah ini. Baperki saya harap benar-benar membantu terlaksananya Panca Program Front Nasional itu, oleh karena dengan terlaksananya Panca Program Front Nasional, kita membantu juga terlaksananya seluruh Triprogram Pemerintah. Saudara-Saudara, Revolusi berjalan terus, dan Revolusi kita ini sebagai yang sudah saya katakan bukan Revolusi kecil-kecilan, Revolusi Panca-muka kataku, bahkan jikalau dipikir lebih luas, sebetulnya kataku, pada waktu aku berpidato kemarin-kemarin dulu---apa waktu itu ya, di Istana Negara, seminar Hukum Nasional-sebetulnya Revolusi kita ini bukan lagi Panca-muka, panca itu lima, bukan cuma lima, yaitu Revolusi Politik, Revolusi Nasional, Revolusi Ekonomi, Revolusi Sosial, Revolusi membentuk Manusia Baru, lima, tidak, sebenarnya Revolusi kita itu ada lebih dari lima muka. Maka boleh dikikatakan Revolusi Sapta-muka, sapta itu artinya tujuh. Bisa dinamakan hasta-muka, hasta itu delapan. Boleh dinamakan dasa-muka, dasa yaitu sepuluh. Pendek kata Revolusi kita ini adalah benar dikatakan satu Revolusi multi-kompleks. “A summing up of many Revolutions in one generation”. Revolusi Indonesia itu adalah satu “nation building” Indonesia yang sehebat-hebatnja. Itu, nation building Indonesia yang sehebathebatnya. Dan didalam hal usaha nation building itu, segala unsurunsur daripada nation building harus dilaksanakan. Apa unsur nation building? Bukan sekadar soal ekonomi bukan sekadar soal politik, bukan sekadar soal kultur, bukan soal nama, tidak nation building adalah satu pekerjaan yang multi-kompleks pula. Tujuan dari Revolusi Indonesia adalah nation building Indonesia. Nation building bukan didalam arti yang sempit, sekadar membentuk satu “nation” Indonesia. Tidak lebih dari itu pula. Nation Indonesia yang bahagia, nation Indonesia yang berkepribadian tinggi, nation Indonesia yang hidup di dalam satu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Nation building dalam arti yang seluas-luasnya. Nah, ini 447 Siauw Giok Tjhan yang kita kerjakan sekarang ini, Saudara-Saudara. Oleh karena itu saya berkata, jangan lah kita, jikalau kita hendak mendirikan nation Indonesia dalam arti yang luas itu, jangan kita masih berdiri di atas dasar-dasar yang usang, yang tadi disebutkan oleh Pak Roeslan Abdulgani. Sudah pernah saya terangkan, kekuasaan imperialisme dulu di Indonesia apa? Negeri Belanda yang pada waktu itu Rakyatnya hanya 6 juta, telah mengalahkan satu bangsa yang 40 juta. 6 Menjadi 7, 40 menjadi 50. 7 Menjadi 8, 50 menjadi 70. 8 juta menjadi 9 juta, sini menjadi 80 juta. Sekarang di sana 10 juta, sini 100 juta. Pada waktu, imperialisme Belanda mengekang, mengereh, mengalahkan Indonesia, Rakyat kecil mengalahkan Indonesia dengan apa? Saya sudah berkata, baca lah kitab dari Sir John Seeley. He, mahasiswa-mahasiswi, Sir John Seeley, menulis satu kitab yang ia beri judul ‘The Expansion of England”. Dan di situ persis ia terangkan juga, bangsa Inggris di India itu berapa orang? Hanya 40 ribu orang Inggris di India bisa mengalahkan satu Rakyat yang 230 juta orang. 40 ribu mengalahkan 230 juta orang, dengan apa? Dengan alat-alat terutama sekali memecah-belah bangsa India itu, divide and rule, divide et impera. Persis di sini pun terjadi demikian. Di sini pun berjalan pemecah- belahan. Di sini pun berjalan divide and rule. Oleh karena itu pernah saya beberkan segala usaha dari imperialisme ini dengan berkata, kekuasaan imperialisme itu ada dua macam. Dalam bahasa asingnya machtsfactor. Macht yaitu kekuasaan. Factor kekuasaan imperialisme itu dua macam. Ada yang riil, ada yang abstrak. Ada yang bisa dilihat, bisa diraba, ada yang tak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Yang riil yaitu machtsfactor, power factor yang riil. Apa itu? Angkatan perangnya, polisinya, penjarapenjaranya, bedil-bedilnya, meriam-meriamnya, itu ada lah power factor, machtsfactor yang riil. Tapi ini tidak besar, Saudara-Saudara; lebih besar daripada machtsfactor yang riil ini adalah machtsfactor yang abstrak, yang tidak bisa dilihat, yang tidak bisa diraba. Dan machtsfactor yang abstrak ini apa kah, Saudara-Saudara? Terutama 448 Amanat Bung Karno - 1963 sekali ialah divide and rule policy, pemecah-belahan suku dihasut benci kepada suku yang lain. Tidak ada persatuan, tidak boleh ada persatuan antara suku-suku Indonesia. Dan tidak boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisah-pisahkan mayoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada mayoritas dan dibuat mayoritas ini benci kepada minoritas. Kalau Saudara ingin mengetahui terjadinya minoritas, yang dinamakan minoritas Peranakan Tionghoa, minoritas Tionghoa di Indonesia ini, pemuda-pemuda, baca lah kitabnya Prof de Haan. Prof de Haan menulis kitab tebal, tiga jilid, titelnya yaitu “Priangan”, ditulis oleh Prof de Haan. Dan di situ Prof de Haan menerangkan, bahwa pihak Belanda dari jaman Jan Pieterszoon Coen membentuk satu minoritas untuk kepentingan mereka itu. Satu minoritas yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Peranakan Tionghoa. Dengan sengaja dipisahkan dari mayoritas. Dengan sengaja dipergunakan untuk kepentingan pihak Belanda sendiri. Dan ini merembes terus-menerus sampai jaman yang akhir-akhir ini, rasa tidak senang antara minoritas dan mayoritas, mayoritas terhadap minoritas. Sampai-sampai yang Thiam Nio itu tadi tak bisa kawin dengan Bung Karno! Ya, dari pihaknya tidak mau, tidak boleh kawin sama orang Jawa, dari pihak saya pun tidak boleh kawin dengan Peranakan Tionghoa. Saudara-Saudara, bagaimana pun juga ini adalah akibat dari kolonialisme, akibat dari imperialisme. Maka oleh karena itu, Saudara-Saudara, kita di dalam Republik Indonesia, di dalam alam baru ini kita harus sama sekali tinggalkan dasar yang salah ini. Kita membentuk nation Indonesia yang baru, yaitu sebetulnya pun kelima dari Panca-muka Revolusi Indonesia ini. Dan di dalam hal ini Baperki bisa bekerja keras, bisa memberi sumbangan yang sebesar-besarnya. Terus terang saya, Saudara-saudara, saya pernah bicara dengan, bukan saja bicara, saya pernah berada di beberapa negara sosialis. Ya di Soviet Uni, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Vietnam Utara, ya di Cekoslawakia, ya di Polandia. Malah saya di negara-negara itu 449 Siauw Giok Tjhan berkata, hhh, Republik Indonesia lebih jauh dari kamu di sini. Pernah di kota Hanoi, ibu kota negara Vietnam Utara, saya dengan Pak Ho, Paman Ho, Ho Chi Minh. Datang lah suatu delegasi, Saudara-Saudara, satu delegasi dari satu golongan minoritas. Dan kelihatan, memang ini tidak sama dengan Rakyat Vietnam yang lain. Ini kelihatannya agak kemelayu-melayuan, potongan badannya, roman mukanya, pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, ini adalah beda dari Rakyat Vietnam Utara yang lain-lain. Pak Ho, Ho Chi Minh, Paman Ho dengan bangga berkata kepada saya: “Bung Karno, ini adalah delegasi dari minoritas, ingin bertemu muka dengan Bung Karno”. Saya berkata kepada delegasi itu, dan kepada Pak Ho saya berkata, sebetulnya di Indonesia kita tidak mengenal minoritas. Dan saya tidak mau mengenal minoritas di lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal suku-suku. Saya tidak akan berkata, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dayak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu, suku Kubu adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab manakala ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada mayoritas, dia lantas exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit oleh majoriteit. Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa itu di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari Rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa Indonesia. Itu, yang duduk di sana, jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung dari mana, Bung? Dari Medan? Dari mana? Coba sini! Siapa namanya? Jawabnya, Amar Singh, katanya. Anggota Baperki. Warga Indonesia. Haa, Indonesia! For me you are not a minority, you are just an Indonesian. Haa, ini orang Indonesia, Saudara-saudara, bukan minoriteit! Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada 450 Amanat Bung Karno - 1963 suku-suku. Suku itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ya, suku artinya kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia. Nah, Pak Ho, kataku, demikian lah Indonesia. “Ya, that is better”, kata Pak Ho. Ya memang, itu lebih baik, Saudara-Saudara, karena itu aku tadi berkata, ya kami bangga, Indonesia lebih, lebih dari di negara-negara sosialis atau negara-negara yang kita kenal sebagai sosialis. Tetapi, Saudara-Saudara, segala hal itu sebagai saya katakan di dalam pidato Front Nasional, adalah satu perjoangan. Jangan mengharap segala sesuatu itu beres, datang dari langit seperti embun di waktu malam, tidak! Perjoangan! Jikalau umpamanya Saudara-Saudara atau Rakyat Indonesia semuanya ingin supaya di dalam UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis “Presiden Republik Indonesia harus orang Indonesia asli”, berjoang lah agar supaya hilang perkataan ini! Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama supaya perkataan “asli” dari UUD 45 ini dicoret sama sekali. Begitu pula kalau saudarasaudara menghendaki sekarang ini hilangnya perasaan tidak enak dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan dirinya minoritas, itu pun memerlukan perjoangan. Perjoangan agar supaya hilang rasa tidak senang kepada minoritas. Sebaliknya pun minoritas saya minta berjoang, berjoang, sekali lagi berjoang, agar supaya tidak ada rasa kebencian dari minoritas kepada mayoritas. Terus terang saja, Saudara-Saudara, saya pernah di dalam Gedung Senat Washington, Capitol Washington, saya pernah menggugat, apakah benar Amerika itu berdiri di atas demokrasi. “Yes”, kata orang-orang yang ada di situ, senator-senator, Saudara-Saudara, orang-orang biasa. “Amerika berdiri di atas dasar demokrasi. Yes.” Amerika menulis di dalam “Declaration of Independence”-nya, yang ditulis oleh Thomas Jefferson dalam 1776, bahwa semua manusia itu dilahirkan sama. “That all men are created equal”. 451 Siauw Giok Tjhan Benarkah begitu?! “Yes. This is written in our Declaration of Independence, that all men are created equal.” Sama. Tidak ada perbedaan antara manusia dengan manusia. Bahwa manusia itu karena samanya, tiap-tiap manusia mempunyai hak untuk life, liberty, the pursuit of happiness. Demikian lah tertulis di dalam “Declaration of Independence” Amerika. Bahwa manusia created equal, bahwa manusia semuanya itu mempunyai hak, hak yang primordial, hak yang terbawa dari sebelum ia lahir di dunia ini, sudah membawa hak tiga: life, liberty, kemerdekaan; the pursuit of happiness, mencari, mengejar kebahagiaan. Manusia tidak dilahirkan untuk tidak “life”, manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk “tidak hidup”. Manusia tidak dilahirkan untuk tidak “liberty”, untuk tidak “merdeka”. Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk dari kecilnya sudah membawa rantai di kakinya, tidak bisa bergerak ke mana-mana oleh karena ia orang tidak merdeka. Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk tidak boleh pursuit of happiness, mengejar kebahagiaan. Is it true, in your declaration of independence is written, life, liberty and the pursuit of happiness? “Yes, it is true”, kata senator-senator itu. Jadi diakui. Ada pertanyaan; bahwa all men are created equal, manusia dilahirkan sama, that all men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Boleh, semuanya sama. Waktu itu, perdebatan antara saya dengan senator-senator itu mengenai Irian Barat, Saudara-Saudara, sebab salah satu senator itu kulitnya agak hitam, memang dia adalah kulitnya agak hitam, dia membantah, kenapa kok Indonesia mau mengclaim Irian Barat? Sebab orang Irian Barat itu kulitnya hitam, lain ras dari Indonesia yang kebanyakan, kata senator itu. Saya berkata, ha, Amerika mengatakan all men are created equal. Amerika mengatakan that all men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Kenapa kok mengandalkan pernyataan demikian, kataku. Apakah bangsa itu terdiri dari satu warna kulit? 452 Amanat Bung Karno - 1963 Sebaliknya kubertanya kepadamu, kenapa di Amerika masih ada segregation? Segregation yaitu orang Negro di beberapa tempat masih dianggap sebagai orang yang inferior. Restoran, only for white men, orang hitam tidak boleh masuk restoran. Movie, only for white men, tidak boleh orang hitam masuk di dalam movie itu. Autobus ditulis, only for white men. Tidak boleh orang Negro naik di autobus itu. Saya berkata demikian. Jawabnya bagaimana? Jawabnya ialah, ya, segala hal itu harus kami perjoangkan. Itu kan undang-undang yang mengatakan, bahwa all men are created equal. Di dalam “Declaration of Independence” itu dia punya mukadimah dari pernyataan kemerdekaan ialah ditulis, tulis zwart op wit, tetapi toh kertas, Saudara-Saudara, that all men are created equal. Di atas kertas ditulis, bahwa tiap-tiap manusia itu mempunyai hak atas life, 1iberty, and the pursuit of happiness, di atas kertas, but in the reality of life masih harus diperjoangkan. Segala itu adalah hasil dari perjoangan. Dan senator itu berkata: “Ya, kami senator-senator --kami yang duduk di sini ini kami memperjoangkan agar supaya di Amerika ini, tidak ada segregation. Kami memperjoangkan agar supaya orang Amerika semuanya suka menerima warganegara Amerika yang berkulit hitam sebagai warganegara yang full dan sejati.” Saya berkata, I can appreciate it. Saya bisa mengerti ini dan saya bisa appreciate ini. Sebaliknya pun aku berkata kepada bangsa Indonesia tempo hari, tatkala aku mengadakan pidato Front Nasional, jangan lupa segala sesuatu itu adalah perjoangan, harus kita perjoangkan, perjoangkan. Aku berkata, Panca Program itu bagiku pun satu perjoangan, saya harus mengerahkan segenap Rakyat, mengerahkan segenap Rakyat, mengerahkan segenap menteri, mengerahkan segenap pegawai, mengerahkan segenap petugas Republik Indonesia ini untuk menjalankan, melaksanakan Panca Program dari Front Nasional. Mengerahkan perjoangan! 453 Siauw Giok Tjhan Karena itu, Saudara-Saudara, saya berkata jikalau Rakyat Indonesia menghendaki supaya di dalam UUD-nya jangan ditulis “asli- aslian” sebagai Presiden, perjoangkan hal ini, kerahkan lah segenap tenaga, agar supaya hilang dari UUD kita. Jika bangsa Indonesia tidak mau mengenal adanya minoritas dan mayoritas, jikalau bangsa Indonesia memang hanya mengenal satu bangsa Indonesia yang tiada mayoritas dan tiada minoritas, perjoangkan hal ini bersama-sama dengan saya, bersama-sama dengan pergerakanpergerakan yang ada di Indonesia ini. Sebab itu tadi Pak Roeslan berkata, tanpa effort tidak bisa kita mencapai sesuatu hal. Dus manakala saya di sini, Saudara-Saudara, memeluk Baperki, saya boleh juga dikatakan, saya mengajak Baperki untuk berjoang bersama-sama dengan saya, bersama-sama dengan seluruh Rakyat Indonesia agar supaya Amanat Penderitaan Rakyat bisa selesai, agar supaya semua cita-cita kita bisa terlaksana. Ada pendirian-pendirian saya pribadi, ada, itu pribadi, SaudaraSaudara. Saya ulangi lagi, pribadi, mengenai soal assimilasi misalnya yang tadi Cak Siauw berkata, mbok ya jangan diutik-utik soal asimilasi. Ya, saya, tidak mau ngutik-ngutik, sebab Cak Siauw, wah itu bisa juga cuma menyimpangkan perhatian saja. Ya, Bung Siauw, saya tidak akan mengutik-utik. Tapi perasaan pribadi saya, saya ini tidak kenal Saudara-Saudara, akan perbedaan darah itu, tidak. Nama pun, nama saya sendiri itu Sukarno, apa itu nama Indonesia “asli”? Tidak. Itu asalnya Sanskrit, Saudara-Saudara. Sukarna. Nah, itu Abulgani, Arab. Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Sukarna. Pak Ali itu campuran, Ali-nya Arab, Sastraamijaja itu Sanskrit, campuran dia itu. Nah karena itu; Saudara-Saudara pun ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk, pribadi, what is in a name? Walau Saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit, Saudara-Saudara. Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit. Buat apa saya mesti 454 Amanat Bung Karno - 1963 menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok.. Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak? Tidak. Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campurcampur. Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar -benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia. Bahkan sebagai kukatakan tadi mbok ya seperti saya ini, kalau boleh saya pakai contoh, bukan sekedar Renand, bukan sekedar Otto Bauer, bukan sekedar geografi, kataku, lebih dari ini, lebih dari ini, lebih dari geografi. Indonesia bagiku adalah satu totalitas, ya burungnya, ya udaranya, ya suaranya, ya gelora lautnya, segala-galanya ialah Indonesia, Indonesia, Indoneisia, dan untukmu aku hidup di sini, kecuali di samping untuk Allah SWT. Saudara-Saudara, kalau tidak salah, duduk di muka saya ini penari ulung, apa betul? Dari Bandung? Apa betul dari Bandung? Dia itu, siapa namanya, lupa lagi saya. Tan Tian Ie, nah sini Nak, sini. Ini Tan Tian Ie misalnya kalau menari, Saudara-Saudara, menari tari-tarian Sunda …hh, banyak wanita-wanita Sunda itu kalah sama dia. Dan dia betul-betul merasa Indonesia, sampai yaitu, segala taritarian yang lemah-lembut dia bisa tarikan. Apa pernah saja berkata kepadamu, Tan Tian Ie, kau mesti ubah namamu?! Tidak. Tetap lah engkau bernama Tan Tian Ie. Ini pendirian saya pensoonlijk, pribadi, Saudara-Saudara. Baik saya mencurahkan rasa hatiku terhadap kepada Saudara-Saudara agar supaya Saudara-Saudara yang berkata kepadaku, Bung Karno yang tercinta, mengetahui betul-betul. Bung Karno ini apa! Bung Karno ini kecuali ini, daging, darah, tulang ialah rupa begini, isi hatinya ialah demikian. Dan saya harap agar supaya Baperki dalam menjalankan tugasnya sebagai Baperki sebagai tadi sudah saya harapkan, berperasaan sama-sama dengan Bung Karno yang dikatakan dicintai oleh Saudara-saudara itu. Demikianlah, Saudara-Saudara, moga-moga kongres Baperki 455 Siauw Giok Tjhan yang ke-8 sukses, moga-moga Baperki selalu maju pesat, mogamoga Baperki benar-benar menjadi sumbangan yang besar terhadap kepada Revolusi Indonesia. Sekian. Terima kasih. 456 Index A Abdulmadjid 49, 93, 107, 116, 121 Acoma 163, 210, 270, 276 Adam Malik 2, 4, 97, 125, 126, 147, 154, 161, 285, 363, 375, 376, 382, 392, 399, 404, 411, 426 Agus Salim 103, 106, 124 Aidit 114, 139, 140, 143, 164, 165, 285, 297, 316, 317, 365, 371, 372, 373, 374, 375, 376 Alimin 49, 139, 140, 164 Ali Sastroamidjojo 2, 103, 105, 106, 154, 162, 172, 186, 204, 232, 256, 413, 426 Amir Sjarifuddin 23, 51, 55, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 99, 106, 107, 111, 117, 118, 121, 124, 127, 147, 176, 190, 217, 427 AMT 79, 80, 81, 82, 83 Ang Hok Lim 132 Ang Jan Goan 131, 165, 183, 191, 192, 193, 196 Angkatan Muda Tionghoa 79, 192, 324 Ang Tjiang Liat 223, 295 Ann Swift 118 Arnold Mononutu 255 Aruji Kartawinata 2, 126, 138, 152, 176, 319, 426 Assaat 241, 242 assimilasi 9, 17, 25, 47, 314, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 354, 355, 358, 359, 360, 361, 407, 408, 412, 413, 430, 434, 435, 454 Auwyang Peng Koen 185, 187, 188, 193, 204, 210, 211, 213, 214, 218, 219, 220, 326, 343, 345 B Badan Pekerja 1, 85, 90, 96, 99, 100, 103, 112, 119, 122, 126, 127, 139, 152, 154, 177 Baperki 2, 3, 4, 7, 10, 14, 22, 24, 25, 56, 70, 136, 142, 143, 187, 195, 196, 197, 200, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 230, 240, 241, 242, 246, 249, 250, 251, 252, 253, 256, 258, 263, 266, 269, 270, 273, 275, 276, 277, 280, 281, 283, 285, 286, 287, 288, 290, 293, 295, 296, 298, 300, 301, 302, 303, 304, 306, 307, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 320, 321, 323, 324, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 342, 345, 346, 348, 350, 351, 353, 354, 357, 358, 359, 360, 361, 362, 363, 368, 371, 372, 373, 374, 375, 376, 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384, 385, 387, 388, 392, 395, 398, 400, 401, 402, 404, 407, 409, 410, 413, 428, 430, 431, 432, 433, 434, 435, 436, 437, 438, 439, 441, 443, 445, 446, 447, 449, 450, 454, 455, 456 Baperwatt 189, 191, 193, 194, 195 BAPERWATT 189 Barisan Banteng 118, 122, 123, 124 Baswedan 47 Berita Baperki 204, 205, 209, 210, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 242, 249, 251, 252, 253, 256, 258, 325, 327 Bhinneka Tunggal Ika. 5, 3, 214, 339, 353, 359, 428 Bintang Merah 139 Biro Khusus 376, 401 457 Index Boen Bio 32, 58 BPRI 81, 82, 83 BTI 118, 173, 336, 380 Bung Tomo 81, 82 Buru 398, 399 C Carmel Budiardjo 412 CGMI 297, 317, 337, 339, 362, 364, 372, 373, 380, 381, 385 Chaerul Saleh 97, 309, 312, 319, 359, 363, 371, 382, 383 Chiao Chung 144, 256, 258, 260, 266, 328 Chi Peng Fei 415, 422 Chou En Lai 171 Chung Hua Hui 20, 41, 42, 47, 49, 84, 182, 192 CONEFO 367, 370 Coppel 5, 10, 13, 315, 349, 360, 380 Crouch 367 Cungkup 32–31, 58 D DEKON 408 Demokrasi Terpimpin 3, 22, 25, 149, 267, 269, 270, 272, 277, 279, 280, 282, 286, 287, 290, 293, 294, 295, 297, 305, 317, 318, 323, 342, 354, 361, 362, 363, 365, 372, 375, 394, 395, 407, 426, 427, 428, 430, 431, 433, 434 Dewan Revolusi 377, 378 Diapari 138, 154, 158, 159, 196, 232, 238 Djawoto 147 Djodi Gondokusumo 2, 154, 160, 212, 285 Djohan Sjahroesah 95, 103 Djuanda 229, 230, 232, 233, 237, 238, 254, 263, 264, 267, 274, 275, 280, 282, 285, 291, 305, 312 Dwi-Kewarganegaraan 247, 254, 256, 258, 259, 261, 262, 263, 264, 301, 302, 306, 409, 429 E Edgar Snow 51, 85 Ekonomi Terpimpin 293, 308, 309 F FDR 118, 119, 120, 121, 122, 124, 125, 126, 128 Fraksi Nasional Progresif 1, 23, 145, 157, 162, 163, 167, 176, 181, 232, 249, 250, 260, 270, 271, 272, 295, 318 Fransisca Fanggidaj 5, 139, 141 G G-30-S 7, 148, 337, 371, 372, 375, 376, 377, 378, 379, 380, 383, 385, 394, 396, 397, 398, 399, 400, 401, 406, 407 Go Gak Cho 144, 256, 260, 261, 266, 302, 328, 370, 371 Go Gien Tjwan 4, 5, 10, 69, 76, 80, 81, 83, 84, 85, 95, 102, 138, 176, 182, 188, 192, 193, 194, 195, 196, 207, 208, 210, 211, 214, 215, 217, 218, 219, 223, 250, 261, 275, 276, 287, 298, 314, 318, 329, 330, 350, 373, 375, 381, 382, 387, 388, 412, 423, 424, 427 Go In Tjhan 52 Golongan Karya 280, 281, 282, 283, 291, 292, 295, 296 Go Sien Ay 200 458 Index Go Tjoe Nio 387, 388 H Han Kang Hoen 68, 71 Han Tik Djien 69, 85 Hardojo 297 Harian Rakyat, 139, 141, 142, 143, 165, 258, 336, 364 Hatta 39, 49, 50, 53, 64, 70, 78, 79, 90, 91, 92, 93, 96, 97, 98, 100, 103, 116, 117, 118, 119, 120, 124, 127, 149, 151, 173, 230, 231, 232, 242, 268, 269 Herbert Feith 4, 10, 150 HMI 364, 379 Ho Chi Minh 97, 450 Hong Po 72, 84, 132, 133, 134 I I.J Kasimo 156, 426 Injo Beng Goat 98, 131, 133, 183, 184, 187, 188, 217, 218, 345 integrasi 9, 2, 25, 323, 342, 343, 346, 347, 354, 355, 358, 361, 362, 412, 413, 429, 431, 432 IPPI 336, 431 Iskaq 232, 234, 235, 236, 237, 239, 241, 250, 260 J Jan Ave 223, 275, 276 Joesoef Isak 2, 5, 10, 147, 394, 395 John Sutter 230 Jusuf Adjitorop 5, 140 K Kabinet Ali 172, 173, 179, 181, 257 Kahin 10, 99, 106, 109 Kakyo Shokai 70, 71, 72, 73, 79 Kapasan 49, 58 Kebotai 73, 74, 79, 83 Keibodan 73, 74, 75 Keng Po 112, 131, 133, 183, 187, 188, 206, 217, 218, 219, 252, 254 KENSI 242, 305, 407, 408 Khoe Woen Sioe 187, 193, 195, 211, 217 Kho Nai Chong 144, 328 KMB 101, 127, 178, 227, 229, 243, 246, 248, 251, 257, 264 KNIP 1, 23, 85, 89, 90, 96, 98, 101, 102, 103, 127 Ko Kwat Oen 223 KOTOE 377, 382 Kwan Tjian Nio 29, 33, 59 Kwa Tjwan Sioe 84 Kwee Hing Tjiat 22, 23, 45, 47, 52, 53, 55, 132, 198, 345 Kwee Hwat Djien 204, 213, 345 L Lay Dje Hoa 132 Lay Siauw Hoa 132, 133, 136 Leimena 276, 309, 312, 377 LEKRA 317, 372 Leo Suryadinata 10, 19, 31, 132, 188, 346 Lev 4, 5, 10, 282, 285 Liberty 85 LIDIKUS 386, 388 Lie Kiat Teng 176, 186, 249 Liem Koen Hian 21, 22, 23, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 55, 66, 69, 72, 76, 77, 89, 98, 136, 155, 165, 166, 184, 185, 191, 207, 346 Liem Koen Seng 136, 185, 193, 223, 275, 276, 318, 375, 387, 388 Lie Poe Yoe 185 Lie Tjwan Hie 53, 69 459 Index Lie Tjwan Sien 329, 387, 392 Lie Xie Thian 5, 144, 145 Lim Tjong Hian 193, 210, 211 Lin Chi Ming 84 Linggajati 102, 103, 106 LPKB 25, 314, 317, 342, 349, 355, 358, 359, 360, 361, 380, 384, 407, 408, 412, 430, 432, 433, 434 Lubang Buaya 372, 377, 379, 397 Lukman 100, 139, 140, 165, 178, 317, 365, 375, 426 M Mackie 10, 307, 308, 310, 313, 366 Madiun 99, 118, 120, 122, 123, 124, 140, 144, 150, 154, 173, 217, 413 Manipol-USDEK 293 Mao Tse Tung 51, 55, 75, 85, 130, 132, 193, 335 Masjumi 90, 91, 98, 103, 107, 114, 115, 116, 117, 118, 150, 156, 158, 159, 161, 162, 163, 165, 173, 202, 204, 212, 228, 236, 241, 242, 250, 260, 268, 269, 273, 275, 276, 281, 283, 284, 287, 291, 292, 298, 306, 313, 314, 315, 316 Mata Hari 45, 46, 47, 48, 52, 53, 54, 55, 61, 62, 64, 66, 67, 74, 132, 146, 189, 196, 198, 345 Moetik 135, 136 Mohamad Yamin 2, 24, 99, 150, 159, 160, 161, 223, 232, 270, 276, 292 Murba 1, 2, 125, 126, 143, 150, 151, 154, 155, 158, 159, 160, 161, 163, 210, 220, 242, 270, 276, 283, 293, 294, 295, 318, 319, 363, 364, 375, 376, 426 Musso 49, 50, 92, 94, 120, 121, 122, 123, 124, 140 Mustopo 76, 110 N Nasution 269, 281 Nation-Building 105, 346, 350, 354, 355, 425, 428 Natsir 107, 162, 163, 231 Nehru 104, 174, 255 Nirbaya 7, 383, 389, 403, 404 Njono 91 Njoto 114, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 165, 297, 317, 365, 375, 426 NU 2, 156, 158, 172, 176, 202, 220, 222, 223, 242, 263, 268, 269, 273, 276, 281, 284, 291, 292, 293, 294, 295, 305, 306, 363, 364, 379, 426 O Oei Gee Hwat 51, 119 Oei Phoei Tjiep 338 Oei Tiang Tjoei 132, 133 Oei Tjoe Tat 5, 53, 69, 137, 157, 161, 162, 185, 187, 188, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 210, 211, 214, 215, 217, 218, 219, 223, 251, 271, 275, 276, 298, 312, 315, 318, 321, 350, 361, 368, 373, 374, 375, 383, 384, 403 Oey Hay Djoen 5, 69, 73, 74, 126, 223, 271, 306, 395 Oey Hong Lee 130, 138, 312 Ong Eng Die 138, 176, 186, 247, 249, 413 Ong Siang Tjoen 71 P 460 Index Palang Biru 83 Pancasila 77, 276, 285, 351, 406, 438, 439, 443, 444 Paras 91 Parkindo 2, 103, 152, 154, 156, 158, 165, 188, 222, 232, 242, 250, 260, 268, 276, 284, 293, 294, 295, 363, 426 Parsi 91 Partai Sosialis 23, 85, 86, 89, 90, 91, 93, 94, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 107, 108, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 127, 128, 147, 176, 178, 190, 192, 427 Partindo 145, 163, 270, 294, 295, 312, 313, 315, 318, 362, 375, 377, 431 PBB 113, 115, 116, 126, 214, 370, 413 PBI 40, 91, 118, 122 PDTI 181, 182, 183, 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 208, 362 Pemoeda 85 Persatuan Perjuangan 97, 98, 99, 100, 102, 103, 122, 160 Persatuan Tionghoa 20, 70, 182 Perti 276, 295, 318, 375, 426 PERTIP 185, 187, 192 PERWANIT 185, 187, 192, 195 Pesindo 82, 92, 95, 97, 118, 119, 122, 139, 365 PETA 73, 78 PIR 1, 152, 159, 163, 172, 220, 236, 253 PKI 7, 3, 5, 7, 25, 50, 51, 91, 92, 103, 114, 118, 120, 121, 122, 124, 125, 128, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 148, 150, 151, 157, 158, 164, 165, 167, 173, 211, 212, 220, 222, 223, 232, 238, 242, 250, 258, 263, 268, 269, 271, 272, 273, 276, 281, 284, 285, 291, 292, 293, 294, 295, 314, 315, 316, 317, 318, 339, 358, 362, 363, 364, 365, 367, 368, 371, 372, 373, 374, 375, 376, 378, 379, 380, 381, 382, 383, 385, 388, 389, 395, 397, 398, 400, 401, 402, 426, 431, 433, 434 PMKRI 336 PNI 2, 45, 90, 98, 99, 100, 103, 107, 115, 116, 117, 118, 125, 126, 138, 150, 154, 155, 157, 158, 159, 160, 163, 172, 176, 177, 178, 183, 185, 205, 206, 212, 216, 223, 228, 232, 236, 242, 249, 250, 257, 258, 261, 263, 268, 269, 273, 276, 281, 285, 291, 292, 293, 294, 295, 316, 318, 319, 426 PP-10. 305, 306, 408 PPI 317, 335, 336, 340, 396 PRN 2, 154, 159, 160, 162, 163, 212, 220, 249, 270, 276 PRRI 242, 269, 275, 292, 313, 314 PSI 117, 118, 131, 135, 150, 155, 156, 158, 161, 162, 163, 165, 173, 183, 185, 188, 189, 190, 192, 205, 206, 211, 212, 216, 217, 218, 220, 230, 232, 242, 250, 260, 268, 269, 275, 291, 292, 298, 313, 314, 315, 316, 325 PSII 2, 107, 125, 126, 138, 152, 154, 176, 276, 292, 294, 295, 318, 319, 375, 426 PTI 21, 40, 41, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 56, 72, 76, 89, 94, 184, 191, 195, 207, 346 PWI 146, 147, 196, 217 461 Index R Renville 115, 116, 117, 120, 121, 122 Republik 223, 242, 272, 273, 274, 276, 281, 284, 285, 286, 305, 440 Rex Mortimer 10, 365 Richter 223 RIS 1, 102, 106, 115, 127, 129, 130, 149, 150, 151, 152, 183, 227, 229, 230, 233 Roeslan Abdulgani 34, 76, 291, 342, 349, 359, 360, 437, 438, 443, 448 Roestam Efendi 49 RTM 6, 7, 49, 55, 95, 104, 111, 122, 141, 149, 161, 166, 192, 297, 378, 380, 389, 400, 401, 402, 403 Ruth McVey 49 RUU Kewarganegaraan 246, 247, 258, 259 S Sadjarwo 173 Sajuti Melik 125 Sakirman 113, 148, 223, 232, 238 Salemba 6, 7, 9, 385, 388, 389, 390, 391, 392, 394, 397, 398, 403, 404, 418 San Min Chu I 78, 105 Sardjono 49 Sartono 2, 152, 153, 154, 157, 165, 167, 169, 170, 171, 319, 426 SATGAS 6, 7, 399 Setiadi 5, 95, 116, 365, 383, 403 Siauw Giok Bie 5, 37, 52, 68, 73, 80, 82, 83, 84, 110, 210, 320, 329, 333, 381, 421, 424 Siauw Giok Tjhan 2, 4, 5, 7, 9, 1, 5, 6, 9, 10, 11, 14, 15, 20, 21, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 38, 47, 48, 49, 54, 55, 59, 63, 64, 66, 72, 74, 77, 78, 79, 89, 95, 96, 97, 101, 102, 103, 104, 107, 116, 118, 119, 122, 124, 125, 129, 130, 136, 140, 141, 143, 151, 158, 161, 165, 166, 172, 176, 177, 180, 184, 185, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 201, 207, 210, 211, 217, 221, 254, 257, 260, 263, 264, 292, 321, 324, 344, 345, 346, 347, 350, 351, 353, 360, 371, 375, 377, 383, 385, 403, 406, 424, 425, 433, 436, 437 Sidik Kertapati 5, 154, 159, 162, 210 Sie Hok Tjwan 413, 414 Sin Ming Hui 183, 185, 187, 188, 191, 213 Sin Po 19, 20, 21, 41, 44, 45, 47, 52, 112, 131, 165, 183, 187, 205, 250, 254, 263 Sin Tit Po 37, 39, 41, 44, 45, 48, 49, 51, 52, 132, 137 Sjahrir 64, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 103, 106, 107, 108, 115, 117, 124, 183, 190, 206 Sjam 397, 401 Sjarifuddin Prawiranegera 232 SKI 2, 138, 154, 158, 159, 220, 270 Skinner 13, 14, 304 Soedisman 76, 82 Soeharto 4, 15, 123, 201, 378, 379, 382, 383, 389, 407, 408, 410, 414, 434 Soekarno 2, 3, 21, 22, 23, 24, 25, 34, 37, 39, 45, 47, 50, 55, 56, 64, 66, 70, 72, 76, 77, 78, 79, 83, 89, 90, 93, 96, 97, 98, 99, 102, 103, 107, 111, 112, 116, 119, 123, 124, 133, 137, 149, 154, 222, 242, 267, 268, 269, 270, 462 Index 271, 272, 273, 274, 275, 279, 280, 281, 282, 283, 285, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 305, 306, 308, 309, 310, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 332, 334, 336, 342, 345, 346, 350, 353, 354, 355, 358, 359, 360, 361, 362, 363, 364, 365, 366, 367, 368, 369, 370, 371, 374, 375, 376, 377, 378, 379, 380, 382, 383, 406, 410, 427, 430, 431, 433, 434, 437 Soemarsono 5, 76, 82, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 110, 113, 114, 119, 122, 123, 126 Soetomo 23, 39, 40, 44, 55, 63 Somers 4, 5, 13, 49, 65, 70, 71, 72, 191, 214, 220, 262, 307, 327, 349 S Parman 148 SPS 129, 146, 147, 196 Star Weekly 133, 134, 135, 143, 147, 343, 344, 345, 346, 347 STKI 251, 253 Suara Tapa 125 Subandrio 305, 312, 382, 383 Subardjo 49, 126, 166 Sudarjo Tjokrosisworo 47, 146, 196 Sudibjo 2, 176, 292, 375, 405 Sudirman 97, 111, 112, 123, 125, 160 Sukarni 2, 97, 154, 160, 161, 364, 375, 426 Sukiman 91, 116, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 175, 231, 232 Sumitro 232 Sunario 177, 178, 180, 181, 182, 249, 250, 258, 260, 261, 262, 359 Sunday Courier 134, 135, 139, 141, 143, 144, 146, 147, 206 Sunito, 169, 377 Supeno 117, 139 SUPERSEMAR 389 Surjono 139, 141 Suryadinata 10, 19, 31, 44, 45, 52, 132, 188, 346 T Tabrani 147 Tan Boen An 103, 150, 183 Tan Eng Tie, 187, 188, 193 Tan Gien Hwa 3, 5, 4, 53, 61, 62, 87, 135, 197, 198, 199, 200, 201, 387, 388, 390, 396, 397, 399, 402, 411, 419, 424 Tan Hoo Kiet 69, 83 Tan Hwie Kiat 5, 69, 135, 136, 137, 138, 141, 142, 143, 147, 154, 157, 176, 250, 251, 398, 413 Tan Kah Kee 75, 104, 331 Tan Ling Djie 21, 22, 23, 49, 50, 51, 55, 56, 66, 69, 77, 86, 89, 92, 93, 94, 98, 100, 102, 103, 107, 108, 118, 119, 121, 122, 124, 125, 132, 139, 140, 143, 154, 164, 165, 177, 184, 190, 191, 192, 207, 217, 223, 244, 390, 427 Tan Malaka 97, 98, 99, 118, 122, 160 Tan Peng Hoat 53, 198 Tan Po Goan 101, 102, 107, 108, 117, 155, 156, 165, 183, 185, 188, 193, 206, 210, 211, 216, 217, 238 Tan Sie Liep 83 Tan Sien Giok 85 Tan Soen Houw 5, 62, 68, 424 Then Djin Sen 132 The Pek Siong 195, 213 The Siauw Giap 85 The Tjing Djien 84 THHK 18, 29, 30, 31, 33, 35, 40, 46, 71, 324 463 Index Thio Kong An 74 Thio Thiam Tjong 182, 183, 184, 187, 188, 189, 192, 193, 195 Thung Sin Nio 192 Tio Ien Lok 134 Tio Oen Bik 49 Tjikwan 236, 237 Tjin Tjay Hwee 48, 51, 52, 54, 63, 64, 73, 75 Tjipto Mangunkusumo 21, 22, 23, 37, 39, 43, 44, 47, 55, 57, 63, 64 Tjoa Sik Ien 21, 40, 48, 49, 50, 55, 56, 66, 69, 77, 89, 137, 154, 184, 191, 192, 207, 208, 209, 423 Tjoa Tjie Liang 46, 62, 66 Tjokroaminoto 125, 126 Tjokronegoro 108, 116 Tjung Tin Yan 183, 185, 206, 235 Tobing 24, 159, 162, 176, 331, 332 Tony Wen 205, 223 U Universitas Baperki 4, 323, 330, 331 Universitas Trisakti. 384 UNRA 388 UPBA 251, 252 URECA 332, 333, 334, 335, 336, 337, 339, 341, 373, 380, 385, 396 Utami Suryadarma 332 Utrecht 5, 285, 296, 298, 299, 309, 331, 369 UU Kewarganegaraan 243, 246, 247, 248, 251, 254, 257, 263, 264, 300, 356, 428 Werdojo 145, 321 Wilmott 181, 186, 327 Wilopo 125, 167, 204, 233, 276 Wirogunan 124, 125, 126, 147, 148, 154, 166, 176 X Xu Ren 415 Y Yani 365, 367, 377, 379 Yap Thiam Hien 5, 10, 45, 185, 187, 188, 193, 194, 195, 204, 210, 211, 213, 214, 218, 219, 222, 223, 240, 275, 276, 286, 288, 298, 328, 346, 347 Yap Tjwan Bing 71, 72, 76, 98, 150, 155, 183, 205 Yayasan Kebudayaan Sadar 144, 145 Z Zainul Arifin 156 Zhu Yi 175, 260, 261 V Van Mook 106, 183, 184 W Wang Chi Wei 70 464