R esensi B uku Judul Buku Pengarang Penerbit Halaman : : : : Christ in Practice: A Christology of Everyday Life Clive Marsh Darton, Longman and Todd, London, 2006 xiii + 168 Who is Christ for us today? Ini adalah pertanyaan dasar yang dimunculkan dalam buku ini berkaitan dengan pertanyaan yang pernah diajukan oleh Dietrich Bonhoeffer. Who is Christ merupakan pertanyaan yang biasa untuk sebuah Kristologi namun dengan tambahan for us today hal ini mengharapkan adanya kontekstualisasi. Buku ini selalu mengawali setiap bab dengan pertanyaan. Clive Marsh, pengarang buku ini yang merupakan seorang Metodist, menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan di awal merupakan sebuah bentuk kekecewaannya atas bahasa yang sering digunakan oleh Gereja. Ia kerap mendengar bahwa Gereja selalu berbicara dan mengkaitkan berbagai hal dengan hidup Kristus maupun Yesus dan menurutnya hidup manusia sekarang ini tidak serta merta terkait dengan hidup Kristus dahulu. Clive Marsh menilai ada dua segi yang menggerakkan hidup kristiani sekarang ini, yaitu tentang kehidupan manusia sehari-hari dan tradisi Gereja, yang terkait dengan Alkitab dan teologi. Dua hal ini memang penting, namun juga berhubungan dan tidak terpisah sama sekali. Ketika kita bicara Kristologi kita juga harus berbicara mengenai hidup seseorang. Maka buku ini merupakan buku yang mengajak kita untuk mendalami seni hidup dalam Kristus yang terkait erat dengan Kristologi. Bagi Marsh, Kristologi merupakan hal penting, tidak hanya untuk sejarah kekristenan, namun juga untuk hidup manusia. Marsh menyatakan bahwa Kristus tidak terletak dalam Gereja, namun ditemukan secara luas dalam situasi-situasi kontemporer yang lepas dari ‘tembok-tembok’ Gereja dan strukturnya. Pada bagian awal, Marsh menyuling (refining) kembali apa yang pernah diutarakan oleh Bonhoeffer dari penjara Berlin pada 1944, yaitu who is Christ for us today? Dengan adanya kata ‘for us today’ Marsh mengajak pembacanya untuk memikirkan ulang sebuah Kristologi bagi kita sekarang ini. ‘for us today’ merupakan sebuah kata yang spesifik yang mengarah pada waktu ‘sekarang ini.’ Maka dari itu, dengan belajar dari Bonhoeffer, Marsh dengan bukunya ini ingin memulai teologinya yang sedikit agak berbeda dengan Bonhoeffer. Bonhoeffer memang seorang aktivis dan juga pemikir yang sangat kristosentris. Menurutnya, sebuah kristologi itu harus berangkat dari hati dari ajaran dan tindakan Kristiani. Identifikasi akan kristologi tersebut, bagi Bonhoeffer, terlihat dalam Sabda, Sakramen, dan Gereja karena Kristus ada untuk dunia atau untuk manusia. Resensi Buku — 107 Maka, manusia diajak untuk terlibat bersama Gereja dalam suatu komunitas resmi. Kristus pertama-tama hadir dalam Gereja, dan bukan secara personal. Bonhoefer, bagi Marsh, berpandangan bahwa Kristus adalah Gereja. Dia membawa Kristus dan Gereja pada suatu pertalian. Manusia yang bersatu dengan Kristus merupakan manusia yang aktif dan terlibat penuh dalam Gereja. Menjadi satu dengan Kristus berarti harus berada dalam Gereja. Berada bersama Gereja merupakan berada bersatu dalam Kristus dalam Gereja-Nya. Dalam Bab 2, Marsh mengidentifikasikan bentuk-bentuk kristologi dalam ke­ hidupan manusia. Ia mengawalinya dengan pertanyaan, “Seperti apa ‘wajah’ Kristus di tengah-tengah kehidupan manusia hari ini? Bagaimana kita dapat mengenali-Nya? Dalam kondisi seperti apa kita berharap akan menemukan Kristus?” Identifikasi akan Kristus ini oleh Marsh dimunculkan dari kehidupan manusia sehari-hari yaitu dalam kesengsaraan, solidaritas, pengampunan, transformasi hidup, otentisitas diri, kebenaran, kekuasaan, kreatifitas, kesejahteraan, dan lainnya. Semuanya ini ingin mengarah bahwa manusia sendiri secara personal hidup dalam Kristus, tanpa harus memunculkan Gereja. Kita memang berada dalam Gereja, namun pikiran dan tindakan kita merupakan otentisitas hidup kita sehari-hari dalam Kristus, bukan semata-mata ajaran dan tindakan Kristiani (Gereja). Hidup dalam Kristus berarti kita hidup dalam situasi-situasi terkini, yang melampaui tebalnya dinding-dinding Gereja dan juga struktur-struktur yang dibuatnya. Dalam bab selanjutnya, kita diajak untuk melihat bentuk-bentuk yang lebih detil, lebih kecil, lebih lokal, dan lebih konkrit di mana dalam bentuk-bentuk tersebut kita menganggap bahwa Kristus hadir di dunia sekarang ini. Bentuk-bentuk tersebut, oleh Marsh, dikonsepkan dalam tiga hal yaitu ras, negara, dan kesukuan. Ras merupakan sebuah bentuk partisipasi dalam Kristus untuk memahami diri bahwa kita adalah manusia yang diciptakan-Nya. Hal ini ingin mengarah pada kemanusiaan secara universal. Berbagai ras yang ada di dunia ini akan selalu memunculkan hal baru karena ada berbagai partisipasi manusia dari berbagai ras tersebut dalam kait­annya dengan pertemuan dalam Kristus. Setiap ras akan menginterpretasikan Kristus dan kemudian menemukan klaim kebenaran yang akan menjadikan me­ reka hidup dalam Kristus, dan kemudian menjadi manusia yang utuh. Dalam hal negara, kita diingatkan bahwa tidaklah bijak untuk mengklaim Kristus ada dan hidup dalam suatu negara tertentu. Kristus adalah ada dan hidup dalam keluarga, gereja, perkawinan, persahabatan, budaya, dll. Konsep akan Kristus yang mewujud dalam suatu negara tertentu, klaim kebenaran bahwa Kristus adalah milik negara Barat, harus dipisahkan dari teologi. Kemudian, hidup seperti Kristus itu adalah hidup ketika Yesus berada dalam dunia, dalam kelompok sosial atau suku tertentu. Namun, pemahaman teologi kita akan hidup dalam Kristus tidaklah diarahkan dari penghayatan suku tersebut. Kesukuan tidak dengan sendirinya membuat kita paham siapakah Kristus bagi kita. Hidup dalam Kristus tidak tergantung dari hidup sesuai dengan suku tertentu. 108 — Orientasi Baru, Vol. 20, No. 1, April 2011 Kemudian, setelah menunjukkan klaim-klaim pada ras, negara, dan kesukuan, Marsh mengajak pembacanya untuk maju pada komunitas yang lebih universal. Ia menyebutnya sebagai “community of practice’. Tema ini merupakan jantung dari buku ini yang dijelaskan dalam tiga bab. Jadi, bab ke 4 hingga 6 menjelaskan mengenai community in practice, sebagai arti dan kontekstualisasinya, yaitu dalam kerja, pendidikan, keluarga, teman, dan gereja. Community in Practice bagi Marsh sendiri akan memampukan kita melihat siapakah Kristus bagi kita sekarang ini. Marsh menjelaskannya lewat enam poinnya yang sangat kristologis. Pertama adalah Kristus dialami dalam konteks kekuatan yang membangkitkan dari sebuah komunitas. Tentu saja di saat sekarang ini Roh Kudus sangat berperanan dalam membangun komunitas. Kedua, Kristus hadir dalam dan melalui sebuah jalan bahwa seseorang itu saling berelasi dengan lainnya, tidak ada yang individualis. Ketiga, Kristus sudah hadir di dalam diri setiap orang dalam kerja untuk menghasilkan yang terbaik. Keempat, semua orang masih berada ‘dalam Kristus’ walaupun mereka terpisah secara fisik. Berpartisipasi dalam Kristus itu tidak harus bertemu muka satu sama lain, melainkan juga hadir dalam rasa dan tujuan. Kelima, Kristus menghilangkan batas-batas yang ada dalam diri setiap orang. Komunitas ini lebih mengangkat nilai dan kemudian menerapkan nilai tersebut kepada orang lain sehingga kebaikan menjadi semakin luas. Keenam, menghargai Kristus sebagai sebuah community of practice berarti mengetahui berbagai cara menuju Kristus agar kemanusiaan semakin terwujud. Kristus sebagai community of practice merupakan Kristus yang membawa kita untuk berani hidup secara personal dalam Kristus, bukan hidup seturut ajaran dan tindakan Gereja. Community of practice adalah komunitas yang hidup bersatu dalam Kristus (partisipasi dalam Kristus) yang menjadikan Kristus sebagai sumber dan puncak kegiatan sehari-hari mereka. Itulah kemudian yang menjadi kesimpulan Clive Marsh dalam bab terakhirnya. Menurutnya, Kristologi harus berefek pada kegiatan seharihari seseorang dalam mengerjakan perkerjaannya, sekolahnya, persahabatannya, dan hidup berkeluarganya. Kristologi harus mendarat dan juga mengakar dalam diri manusia. Kristologi tidaklah hanya melakukan sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Gereja yang sering dikatakan sebagai pemikiran Allah atau sabda Allah. Maka, ada dua kesimpulan yang dijabarkan oleh Marsh dalam buku ini yaitu partisipasi dalam hidup sosial dan reifikasi (memandang hal yang abstrak menjadi lebih konkrit dalam hidup sehari-hari). Partisipasi dalam hidup sosial berarti menjalankan cinta dan keadilan dalam komunitas atau hidup sehari-hari bersama dengan yang lain. Kristus memberikan api dalam menjalankan kegiatan dan aktivitas sehari-hari kita. Reifikasi berarti kita tidak lagi berpikir Kristus sebagai sesuatu yang abstrak, tinggi, dan agung melainkan pribadi yang dekat dan mengajak kita untuk selalu berbuat baik dalam hidup sehari-hari. Siapakah Kristus bagi kita sekarang ini? Ia adalah pribadi yang memampukan kita menemukan seni hidup dalam Kristus dengan penuh perjuangan (api) yang tidak dibatasi oleh ‘tembok-tembok’ Gereja. (windar santoso) Resensi Buku — 109 Judul : Pengarang : Penerbit : Jumlah halaman : The Presence Of Christ In The Gathered Assembly Judith M. Kubicki Continuum, 2006 xii +179 hal. Teologi yang kental mewarnai Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium ialah teologi kehadiran Kristus. Judith Kubicki, asisten profesor teologi di Universitas Fordham, memaparkan penelusurannya atas teologi kehadiran Kristus tersebut dalam buku “The Presence Of Christ In The Gathered Assembly”. Subjek dari buku ini adalah kehadiran Kristus sebagai simbol yang mencakup kebersamaan jemaat dalam ibadat. Kehadiran Kristus tidak hanya dipahami dalam kehadiran-Nya dalam Tubuh dan Darah Kristus. Kehadiran Kristus semestinya dipahami sebagai kehadiran-Nya dalam seluruh tindakan liturgi yang dilaksanakan secara sadar dan aktif oleh jemaat yang bersekutu dalam perayaan liturgi. Judith Kubicki menegaskan tiga alasan mengapa teologi kehadiran Kristus dalam jemaat menjadi penting bagi Gereja Katolik pada jaman ini. Pertama. Teologi kehadiran Kristus menyadarkan kaum awam bahwa mereka adalah juga subyek aktif liturgi. Kedua, Teologi kehadiran Kristus mengingatkan seluruh anggota Gereja akan tanggungjawab untuk merayakan liturgi dengan baik. Ketiga, Teologi kehadiran Kristus menandaskan pentingnya dialog antara teologi dengan budaya masa kini dalam upaya merefleksikan iman akan Allah yang hadir dalam pergulatan hidup umat-Nya. Kubicki mengawali pembahasan mengenai teologi kehadiran Kristus dengan menelusuri makna persepsi, kehadiran, dan sakramentalitas dalam konteks postmodern. Konteks Posmodern ditandai dengan percampuran antara kenyataan dan fiksi, kehadiran dan ketidakhadiran. Perkembangan teknologi, terutama film, televisi, komputer, dan telepon seluler, memberikan kontribusi pada fenomena ini. Berkaitan dengan karakteristik postmodern tersebut, apa implikasinya ini bagi penjelasan akan sakramentalitas kristiani? Menurut beberapa teolog, konteks postmodern membuka peluang untuk menjelaskan gagasan sakramentalitas. Ditinjau dari sudut pandang postmodern, sakramentalitas dipahami sebagai suatu kesadaran mendalam bahwa kehadiran Allah yang tak terlihat disingkapkan melalui realitas ciptaan yang terlihat. Selanjutnya, dalam bab kedua, Kubicki memaparkan gagasan sakramentalitas dalam persekutuan jemaat kristiani. Sejauh mana jemaat yang merayakan sakramensakramen menyadari bahwa mereka menjadi tanda atau simbol dari kehadiran Kristus di dunia? Untuk menjawab pertanyaan ini, Kubicki menggali pandangan para teolog dan pandangan resmi Konsili Vatikan II. Schillebeeck berpendapat, kehadiran nyata Kristus dalam ekaristi adalah tanda nyata kehadiran-Nya dalam Gereja. Schoonenberg berpendapat bahwa Kristus hadir dalam paguyuban umat 110 — Orientasi Baru, Vol. 20, No. 1, April 2011 yang merayakan ekaristi. Sementara itu, Louis-Marie Chauvet menyatakan bahwa Kristus sendirilah yang bertindak dalam liturgi. Peran Kristus tersebut menjadi nyata dalam persekutuan umat beriman. Litugi yang dirayakan umat beriman memuat aneka simbol untuk menyatakan kehadiran Allah. Bertolak dari kenyataan ini, Kubicki melanjutkan pemaparannya dengan mengupas pemahaman akan simbol. Simbol-simbol liturgi berfungsi sebagai mediasi untuk menghadirkan Yang Ilahi. Melalui arsitektur, tata gerak, nyanyian, dan simbol-simbol liturgi lainnya, umat beriman diantar kepada Allah. Dalam bab keempat, Kubicki mengetengahkan pemahaman akan sakramen­ talitas waktu. Waktu harian (siklus siang dan malam, terang dan gelap) memiliki dimensi sakramentalitas yang kuat. Menurut tulisan Clemens dari Roma (abad 1 M), siklus siang dan malam menampilkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Sebagaimana siang yang terang menggantikan malam yang gelap demikian juga Kristus, Sang Terang, membangkitkan manusia yang jatuh dalam dosa yang gelap. Lantas bagaimana sakramentalitas waktu yang menampakan kehadiran Kristus itu terhayati dalam keseharian? Secara konkret, dimensi sakramentalitas ini dapat kita hayati dengan mendoakan Ibadat Harian (bdk. SC 89; SC 94). Kubicki mengakhiri pembahasannya mengenai teologi kehadiran Kristus dengan menegaskan pentingnya katekese agar umat memahami makna bagianbagian liturgi Ekaristi. Secara teologis, umat merupakan subyek liturgi. Umat men­ jadi tanda kehadiran Kristus ketika mereka beribadat bersama. Oleh karena itu, umat seharusnya memahami dan memaknai simbol-simbol liturgi dengan serius. Gagasan Kubicki dalam buku The Presence of Christ in The Gathered Assembly ini membantu kita untuk memahami seluk-beluk teologi kehadiran Kristus dari sudut pandang filsafat dan teologi kontemporer. Kubicki juga berusaha menerjemahkan teologi kehadiran Kristus tersebut ke dalam praksis liturgi. Kristus sungguh hadir ketika jemaat bersama-sama merayakan liturgi-liturgi Gereja. Oleh karena itu, umat semestinya merayakan liturgi secara sadar dan aktif. Immaculada, Andri Astanto, Lambertus, Bobby, Dody Kurnianto, Ferdinandus, Bonifasius, Dedi Rusdianto Resensi Buku — 111